VI. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KEPULAUAN SERIBU
6.1.
Karakteristik Fisik Sumberdaya Pesisir Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara darat dan lautan, dimana
ke arah laut mencakup perairan laut sejauh 12 mil dari garis pantai pada saat surut terendah, dan ke arah darat meliputi seluruh atau sebagian wilayah desa yang berbatasan langsung dengan garis pantai. Wilayah daratan dengan karakteristik daratannya dan wilayah lautan dengan karakteristik lautannya membawa dampak yang cukup signifikan terhadap terbentuknya karakteristik wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) terdapat keterkaitan ekologis yang erat antara wilayah pesisir dengan daratan dan lautan, 2) terdapat lebih dari dua sumberdaya alam dan jasa lingkungan di wilayah pesisir, 3) terdapat lebih dari dua kelompok masyarakat dengan preferensi yang berbeda, 4) pemanfaatan secara ”single use” lebih rentan dari ”multiple use” baik secara ekologis maupun ekonomis, 5) sumberdaya wilayah pesisir dan lautan merupakan sumberdaya milik bersama (common property/open access). Berdasarkan karakteristik wilayah pesisir tersebut maka sumberdaya pesisir termasuk dalam sumberdaya bersama (common property) dan akses terbuka (open access), sehingga tingkat persaingan dalam berusaha dan berkompetisi memperebutkan akses sumberdaya di laut sangat ketat dan keras. Hanya pelaku yang memiliki keterampilan, modal besar, tingkat teknologi maju dan kelembagaan usaha yang mapan yang mampu memobilisasi secara optimal tingkat produksinya serta memenangkan kompetisi. Sumberdaya bersama atau akses terbuka (open access) memiliki karakteristik (a) excludability atau kontrol terhadap akses oleh pemakai potensial (potential users) nampaknya tidak dimungkinkan; dan (b) subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain. Permasalahan yang dihadapi di perairan Kepulauan Seribu terkait karakteristik fisik sumberdaya pesisir dan lautan diantaranya adalah semakin
57
sulitnya memperoleh tangkapan ikan kerapu di alam disebabkan oleh banyaknya nelayan dari pulau lain (di luar Kepulauan Seribu) seperti Bangka Belitung, Madura, dan Makassar yang menggunakan alat tangkap lebih besar dari mereka. Akibatnya kegiatan pemanfaatan oleh nelayan luar mengurangi manfaat yang bisa diambil oleh nelayan Kepulauan Seribu. Kondisi tersebut seringkali menimbulkan konflik diantara nelayan. Disamping itu terjadi overfishing yang menurut nelayan sudah terasa dampaknya sejak awal 1990. Cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, khususnya penangkapan ikan hias, seperti penggunaan potas sebagai sebab utama menurunnya hasil tangkapan dalam 20 tahun terakhir. Kondisi sumberdaya bersama semacam ini cenderung menyebabkan penggunaan sumberdaya bersama secara berlebih-lebihan atau menghabiskan sumberdaya secara cepat bahkan menghancurkan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Kegagalan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tercermin dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 yang meliputi Laut Jawa, termasuk perairan Kepulauan Seribu telah mengalami overfishing. Secara geografis potensi sumberdaya ikan di perairan Kepulauan Seribu merupakan potensi sumberdaya ikan di Laut Jawa. Hampir sebagian besar daerah penangkapan (fishing ground) nelayan-nelayan Kepulauan Seribu adalah di perairan Laut Jawa. Menurut hasil penelitian PKSPL tahun 2000, potensi sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa sudah semakin sulit untuk dikembangkan. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa sudah mencapai 178,67% dari potensi yang ada, hal ini menunjukkan bahwa perairan Laut Jawa sudah over exploitation. Secara lengkap potensi, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa tersaji pada Tabel 15 dan Gambar 10. Tabel 15 Potensi, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa
No.
Sumberdaya ikan laut
Laut Jawa 1997
2000
1.
Potensi (103 ton/tahun)
340,00
214,20
2.
Produksi (103 ton/tahun)
442,90
382,71
130,26
178,67
3. Pemanfaatan (%) Sumber : PKSPL IPB 2003
58
450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
Potensi (ton/tahun) Produksi (ton/tahun)
1997
2000
Gambar 10 Potensi dan produksi sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa. Hasil studi Aziz dan Vitner (2004) dalam PKSPL-IPB (2006) tentang dinamika populasi ikan di beberapa pulau dari gugusan Kepulauan Seribu terutama di bagian selatan menunjukkan bahwa populasi ikan di perairan ini sudah mengalami penurunan stok. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu umumnya dikategorikan dalam kondisi rusak hingga sedang. Menurut BPLHD (2001) 50% terumbu karang Kepulauan Seribu terdiri dari pecahan karang, karang mati dan pasir. Berdasarkan Penelitian Yayasan Terangi tahun 2003 dan 2005 yang dilakukan di 22 lokasi menunjukkan peningkatan rerata penutupan karang keras (KK) dari 33,1% (2003) menjadi 34,2% (2005). Sementara penelitian pada tahun 2007, hasil kerjasama Sudin Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan Yayasan Terangi menunjukkan penurunan penutupan karang menjadi 31,7%. Penurunan persentase penutupan KK pada tahun 2007 berbanding terbalik dengan persentase penutupan abiotik dan karang mati (KM). Kondisi ini dapat menggambarkan adanya hubungan antara persentase penutupan KK yang hilang dengan kenaikan persentase penutupan karang mati dan abiotik. Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh kombinasi antara pencemaran minyak yang terjadi tahun 2003-2004, serta eksploitasi berlebih terhadap terumbu karang dan penggunaan sianida. Tutupan karang paling rendah di sekitar Pulau Bidadari (paling dekat dengan daratan Jakarta) yang hanya mencapai 0,38%, sedangkan tutupan karang terbaik di sekitar Pulau Karang Bongkok yang mencapai 71,83%. Kelimpahan ikan karang pada tahun 2003, 2005, dan 2007 adalah sebanyak 37.649 ind/ha, 45.489 ind/ha, dan 32.603 ind/ha (TERANGI 2008).
59
6.2. Tragedi Kebersamaan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dengan adanya pengambilan bebas atas sumberdaya bersama ini jelas tidak akan memberikan insentif untuk mempraktekkan penangkapan ikan secara selektif, pengembangbiakan buatan, yang dampaknya bersifat jangka panjang terhadap populasi ikan. Apabila seseorang yang merasakan manfaat untuk mengembangbiakan populasi ikan, berarti orang lain juga akan menerima manfaat tanpa harus ikut menanggung biayanya yang disebut dengan free riders (pengguna bebas). Bagi setiap individu sikap untuk menjadi free riders merupakan tindakan yang rasional, akan tetapi apabila semua orang bertindak sebagai free riders maka semua orang akan rugi. Kelangkaan sumberdaya perikanan di perairan Kepulauan Seribu sudah mulai terlihat, seperti penurunan stok ikan (hasil penelitian PKSPL) dan penurunan tutupan terumbu karang (hasil penelitian Yayasan Terangi) akibat overfishing dan over-exploitation. Akibat pengguna atau kelompok pengguna tidak mau bekerjasama dan cenderung menghabiskan sumberdaya alam, maka dapat menimbulkan tragedi kebersamaan (tragedy of common). Disamping itu tragedi kebersamaan muncul ketika sumberdaya tidak ada yang memiliki dan tidak ada yang mengatur. Dalam kasus tragedi kebersamaan dalam sektor perikanan, maka pemerintah harus melakukan pengaturan atas penggunaan sumberdaya perikanan. Sehingga peranan pemerintah sangat penting dalam mengalokasikan penggunaan sumberdaya bersama agar tercapai kepuasan bersama yang optimal dalam jangka pendek dan jangka panjang. 6.3.
Property Right Regime Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Property right regime terdiri atas non property (akses terbuka), state
property (negara), common property (masyarakat) dan private property (swasta) (Charles 2001). Esensi common property adalah hak milik swasta dalam kelompok masyarakat, dan kelompok yang menentukan siapa yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari sumberdaya alam milik bersama. Sementara itu open access diartikan sebagai suatu situasi sumberdaya alam tanpa hak milik (no property right). Situasi tersebut muncul karena tidak adanya atau gagalnya sistem pengelolaan dan wewenang yang bertujuan menerapkan norma
60
dan kaidah tingkah laku yang berhubungan dengan sumberdaya alam. Dengan kata lain, open access muncul akibat gagalnya ketiga rezim sebelumnya untuk membawa misi kesejahteraan bersama. Karena karakteristik laut yang bersifat open access, berarti bahwa sumberdaya tersebut tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu selama ini sebagian dilakukan oleh individu atau sekelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Apabila lokasi budidaya sudah ditentukan, maka individu atau kelompok lainnya akan mencari tempat lain. Dengan demikian terdapat kesepakatan dengan lokasi yang telah ditentukan, yang berarti sudah ada unsur “siapa memiliki apa’. Apabila lokasi yang telah dipilih ternyata kurang memenuhi syarat untuk budidaya ataupun ingin memperluas usahanya, maka mereka akan mencari tempat lain dengan tidak mengganggu areal budidaya yang dimiliki individu atau kelompok lainnya. Jika fungsi hak kepemilikan sumberdaya bersama tidak berjalan, maka setiap orang cenderung untuk menggunakan laut bebas secara berlebihan. Gagalnya kelembagaan suatu kelompok masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam menyebabkan individu-individu melakukan tindakan mengejar kepentingan pribadi tanpa melihat batasan-batasan yang telah disepakati dalam kelembagaan. Sebagai contoh adalah tidak adanya larangan bagi individu untuk memanfaatkan laut, termasuk petani rumput laut dalam menentukan lokasi budidaya dan umumnya penentuan lokasi tersebut ditentukan oleh petani rumput laut sendiri. Kenyataannya bahwa tidak ada legalitas dalam pemilikan lahan budidaya, khususnya dari pemerintah daerah. Kondisi tersebut akibat karakteristik laut yang bersifat open access. 6.4. Aransemen Kelembagaan Semakin sulitnya memperoleh tangkapan ikan kerapu di alam disebabkan oleh cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Akibatnya kebutuhan untuk memenuhi pasar tidak mencukupi sehingga akan menaikkan harga jual ikan
61
kerapu di pasaran. Kondisi inilah yang membuat berbagai pihak untuk berusaha membudidayakannya, termasuk pemerintah dan pihak swasta. Budidaya ikan kerapu yang telah dicobakan atas bantuan pemerintah sebagian besar gagal. Kekurangan dari berbagai bantuan proyek selama ini adalah: (1) Pendampingan; dari pihak dinas terkait dalam implementasi proyek, sehingga kesulitan teknis di lapangan tidak dapat diantisipasi oleh nelayan (2) Organisasi; dalam hal pengorganisasian nelayan belum mengenal budaya organisasi yang baik, sehingga masing-masing anggota saling menyalahkan jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan (perencanaan), hal ini berpengaruh besar pada keberhasilan proyek-proyek terdahulu (3) Aturan main; antara pihak yang terlibat belum bisa dijalankan, karena kepentingan-kepentingan yang berbeda belum terkoordinasikan dengan baik. Untuk aturan main konservasi sudah ada inisiasi daerah perlindungan laut (DPL), sedangkan jaring tegur yang diinisiasikan nelayan ikan hias sudah berjalan lebih lama, seiring dengan penggantian alat tangkap dari penggunaan sianida dan potas ke jaring tegur. Berbagai proyek yang gagal lebih banyak disebabkan oleh aturan main yang tidak jelas atau tidak dijalankan oleh si pembuat. Pengalaman berkelompok selama ini tidak begitu mengesankan bagi orang pulau, mungkin disebabkan oleh homogenitas masyarakat yang tinggi, sehingga kohesifitas sosial yang berkaitan dengan evaluasi dan saling tegur menjadi rendah, sebab utamanya mereka enggan dan sungkan karena sebagian masyarakat Pulau Panggang adalah bersaudara (memiliki hubungan kekerabatan). Sebab lain adalah pihak pembina atau pemerintah kurang optimal menyiapkan kelembagaan terlebih dahulu sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakat. Pengertian tentang organisasi dan aturan main adalah pemahaman mereka (dinas) bukan pemahaman orang pulau. Sehingga pengertian tentang koperasi (cooperative-kerjasama)
lebih
banyak
dipahami
sebagai
membangun
organisasi (Badan Hukum) koperasi dibandingkan menanamkan aturan main nilai-nilai koperasi itu sendiri.
62
Berdasarkan pengalaman di atas, maka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di perairan Kepulauan Seribu perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan Kepulauan Seribu dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. 6.4.1. Kelembagaan Formal Dalam kerangka pengelolaan sumberdaya kelautan, hukum harus difungsikan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Secara ekonomi diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan bagi para pelaku (user)
dan
secara
ekologi
terciptanya
pengelolaan
sumberdaya
yang
berkelanjutan. Pemeliharaan keseimbangan antara dua kepentingan tersebut bersamaan dengan tujuan negara untuk menciptakan keseimbangan antara aspek kesejahteraan (welfare) dan aspek keselamatan (safety). Keseimbangan yang telah dicapai senantiasa dipertahankan melalui pemeliharaan ketertiban dalam bermasyarakat disertai dengan pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum dan pengembangan fungsi dan peranan norma-norma hukum. Beberapa dasar hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut: a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang tersebut mengamanatkan tentang pentingnya keseimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan seperti yang telah disebutkan di atas. Namun pemanfaatan sumberdaya kelautan yang tidak ramah seperti penggunaan potas untuk menangkap ikan hias masih dijumpai. b. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Disamping dimanfaatkan
oleh
sektor perikanan,
wilayah
laut
juga
dimanfaatkan oleh sektor perhubungan laut atau pelayaran. Kegiatan pelayaran yang sangat membahayakan kegiatan perikanan, khususnya budidaya laut adalah pembuangan limbah atau bahan lain yang dihasilkan kapal. Aturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran oleh
63
kapal yang diatur dalam UU ini belum efektif dalam memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan akibat pencemaran dari kebocoran minyak dari kapal-kapal tanker maupun kapal-kapal nelayan di kawasan ini. c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pengembangan usaha budidaya laut harus mengacu pada tata ruang, sehingga akan menciptakan keterpaduan dengan sektor lain, keselarasan dan keseimbangan dalam pembangunan berkelanjutan. Namun penataan ruang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang, yaitu (1) Rencana tata ruang belum merupakan satu kesatuan dalam produk rencana pembangunan daerah lainnya seperti Renstra, RTRW, dan lain-lain: (2) Rencana tata ruang terlambat dibanding dengan perkembangan pembangunan; (3) Rencana tata ruang belum diperkuat oleh aturan perundangandan lemahnya penegakkan hukum dalam menangani konflik kepentingan antara stakeholders; (4) Kualitas sumberdaya manusia perencan di daerah yang masih perlu peningkatan, sehingga belum bisa memahami dan memanfaatkan rencana tata ruang secara optimal; dan (5) Rendahnya kesadaran publik akan nilai strategis sumberdaya kelautan, khususnya sumberdaya hayati (Soebagio 2004). d. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Merupakan undang-undang yang mengamanatkan untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai jaminan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun masalah limbah rumah tangga (penempatan jamban/wc dan pembuangan sampah) masih menjadi kendala dalam menjaga kelestarian lingkungan. e. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Obyek Retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipangut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut
64
pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Pajak daerah belum mampu mendorong terciptanya infrastruktur yang memadai, seperti keterbatasan air tawar, keterbatasan sumber energi/listrik, serta sarana dan prasarana lainnya. f. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Pasal 2 tertuang delapan asas pengelolaan perikanan, yaitu asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Larangan melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/ atau lingkungannya kadang-kadang masih dijumpai. g. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Permasalahan yang masih dihadapi terkait UU No. 32 tahun 2004 adalah belum optimalnya pengaturan administratif dan tata ruang daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan seribu, sehingga menimbulkan berbagai konflik pemanfaatan ruang. h. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang memberikan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) untuk kurun waktu 20 tahun bertujuan mendorong orang,
kelompok
masyarakat,
atau
pengusaha
untuk
memanfaatkan
sumberdaya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai. Pengaplingan pesisir untuk menopang HP3 dilakukan bersama-sama oleh Pemerintah Daerah, masyarakat pesisir, dan pengusaha dan dinilai akan memberikan kepastian hukum untuk berinvestasi dan sekaligus perlindungan kawasan pesisir. HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir dan menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum dalam mengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap ikan di perairan. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 diharapkan menjadi payung hukum bagi para stakeholders untuk mengelola wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Hadirnya UU tersebut dinilai banyak kalangan
65
merupakan sebuah langkah strategis guna mengubah arah kebijakan pembangunan nasional dari berbasis matra darat menjadi laut. Undang-undang ini juga mengamanatkan masyarakat pesisir terlibat dalam sistem pengawasan berbasis masyarakat, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir akan dapat diawasi dan dikendalikan oleh berbagai lapisan masyarakat. Namun, disadari bahwa tidak semua kewenangan bisa diserahkan kepada masyarakat, begitu pula tidak semua kewenangan dapat diserahkan kepada pemerintah. Hal ini sangat tergantung pada skala, kompleksitas isu pengelolaan dan tingkat keberdayaan masyarakat. Masyarakat biasanya efektif sebagai pengelola dalam skala desa atau kecamatan. Sedangkan dengan skala pengelolaan makin besar dan isu makin kompleks, dibutuhkan peran pemerintah. Apalagi di wilayah Kepulauan Seribu yang terdapat aktifitas selain perikanan, seperti transportasi, wisata bahari dan pertambangan. i. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut. Terjaganya kualitas air laut akan sangat berpengaruh besar dalam menciptakan keberhasilan pengembangan usaha perikanan. Oleh karenanya, dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, diharapkan kualitas air laut dapat terjamin. Pencemaran akibat penambangan pasir tahun 2008 sangat berdampak bagi pembudidaya ikan yang mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di keramba jaring apung. Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut tidak berjalan efektif. Penegakan aturan terkait ganti rugi bagi pihak yang dirugikan belum diatur. j. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom Sedangkan
kewenangan
provinsi
sebagai
daerah
otonom
mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/ kota serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya antara lain adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro, pelatihan
66
bidang tertentu, alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang provinsi. Pelayanan
izin
usaha
pembudidayaan
dan
penangkapan
ikan
serta
pengawasannya di wilayah laut belum optimal dilakukan oleh provinsi. 6.4.2. Kelembagaan Informal Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal. Norma dan tradisi atau kesepakatan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya laut Pulau Panggang tidak banyak dijumpai. Menurut Haswanto (2006), penyebab hal tersebut di atas diduga karena beragamnya suku nenek moyang masyarakat Pulau Panggang, seperti Suku Bugis, Mandar, Sunda dan Betawi yang tidak ada suku satupun yang mendominasi. Akibatnya sulit dijumpai adat mana yang berlaku di masyarakat. Disamping melalui perdagangan, datangnya nelayan dari luar Pulau juga sangat mempengaruhi. Hal ini karena posisi relatif Pulau Panggang yang berdekatan dengan Jakarta serta dijadikannya Kepulauan Seribu sebagai tujuan wisata membuat semakin tinggi intensitas pendatang. Memudarnya berbagai kearifan masyarakat Pulau Panggang dalam mengelola sumberdaya laut sangat mungkin disebabkan adanya interaksi dengan masyarakat luar yang cukup tinggi. Beberapa norma atau aturan tak tertulis yang masih dapat dijumpai diantaranya adalah : a) Nelayan meliburkan diri melaut pada hari Jumat. Mereka beramai-ramai menyelam untuk memungut sampah hingga kedalaman 20 meter atau 30 meter.
Sampah-sampah
bawah
laut
harus
diangkat
sebagai
upaya
menyelamatkan sumber pangan mereka. Lemahnya kebijakan pengelolaan sampah di Jakarta telah mengorbankan perairan Kepulauan Seribu sebagai tempat pembuangan akhir sampah. b) Kebiasaan untuk menyisihkan sebagian hasil tangkapan (terutama saat hasil banyak) untuk dibagikan kepada anak yatim piatu maupun janda.
67
c) Kesepakatan masyarakat lainnya terkait pemanfaatan ruang dalam aktivitas budidaya komoditas laut yaitu pemanfaatan bagian dari ruang perairan laut di sebelah manapun untuk aktivitas yang tidak dilarang oleh hukum, dengan catatan tidak mengganggu pemanfaatan sebelumnya. Hal ini dapat dilihat saat masyarakat Pulau Panggang membudidaya komoditas rumput laut dengan melakukan pembagian ruang laut disekitar Pulau Panggang. 6.5. Sistem Pengelolaan dan Alternatif Kebijakan Komponen sistem pengelolaan memiliki peranan yang penting dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan. Komponen ini merupakan perangkat untuk memberikan pedoman pada semua komponen dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan agar berjalan serasi dan tidak saling mengganggu. Kebijakan pengelolaan hendaknya dilaksanakan dengan arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan sistem sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sistem pengelolaan mengarah pada pencapaian “societal objectives” yang dimengerti dan disepakati bersama. Sistem manajemen di kawasan Kepulauan Seribu ditekankan pada upaya penyadaran melalui jalur birokrasi, hukum dan politik, yaitu sebagai berikut : 1) Melakukan penataan ruang aktivitas yang bertujuan untuk memperkecil dampak kerusakan habitat sumberdaya pesisir dan lautan. 2) Melakukan penataan alokasi lahan dan pemanfaatan sumberdaya agar tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan. 3) Membuat kebijakan, strategi, program dan rencana aksi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang terpadu dan berkelanjutan. 4) Membuat peraturan atau aspek hukum yang terkait dengan pengelolaan dan pengaturan kegiatan di kawasan perairan Kepulauan Seribu. 5) Menentukan nilai kompensasi pada perusahaan yang memberikan kontribusi pencemaran dan kerusakan pada habitat sumberdaya pesisir dan lautan. 6) Memberikan insentif dan disinsentif terhadap upaya pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat dan stakeholder lainnya. 7) Melakukan lebih banyak penelitian/riset, asessment dan konservasi stok serta pengumpulan data untuk tersedianya keputusan ilmiah yang mendukung pengelolaan.
68
8) Peningkatan infrastruktur, kemampuan teknologi, produktivitas institusi dan individu, melalui pelatihan teknologi marikultur, pelatihan manajemen usaha, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan lain-lain. 9) Peningkatan
arus
manfaat
secara
lestari
dari
perikanan
meliputi
pengembangan pasar, kesejahteraan dan kualitas nelayan, sehingga dapat ditekan penjualan ikan ke luar Kepulauan Seribu sehingga struktur harga dapat ditentukan sendiri. Alternatif kebijakan yang dapat ditempuh diantaranya adalah : (1) Merancang program-program yang dapat meningkatkan daya saing dan pengembangan sistem dan teknologi alternatif yang dapat menekan ekonomi biaya tinggi yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat perikanan, seperti rumpon, pertanian laut, penyaluran BBM. (2) Penataan sistem produksi perikanan dan pemasaran yang lebih efisien dan kompetitif, termasuk pengembangan kemampuan buididaya laut yang lebih menghemat BBM. Disamping itu aparat penegak hukum menindak dan memberantas illegal fishing dan pungutan liar yang sangat membebani nelayan. (3) Pemerintah perlu mengembangkan sistem pengelolaan perikanan dan program pelestarian sumberdaya ikan melalui kegiatan penstokan ulang atau pertanian laut (sea farming) untuk jenis ikan yang tidak bermigrasi, seperti ikan kerapu. Program ini dapat dikembangkan pada daerah-daerah yang memiliki kondisi perairan yang khas seperti atol, goba, dan perairan semi tertutup semisal teluk.