PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR (Studi Kasus Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu)
Oleh: Maya Samiya I34070084
Dosen Pembimbing Dr. Arif Satria, SP, M.Si
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
MAYA SAMIYA. The Effect of Patront-Client Ties in Coastal Resource Management Case Study on Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Under supervision of ARIF SATRIA. This paper focuses on analyzing the effect of patron-client ties in coastal resource management in Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Patron-client ties are the particular characteristic in coastal community. Patron-client usually understood as asymmetrical, long-term, and multifaceted relations that comprised a strong element of affection and stretch over a wide and loosely defined domain. The mutual obligations of this parties are the exchange of specific goods and services. This paper also shows the patterns of patron-client ties in fisheries enterprise, and its impact to coastal resource management. By analyzing its impact on coastal resource management, the government should consider the participation of coastal community in rules making. Keywords: patron-client ties, fisheries enterprise, coastal resource management
ii
RINGKASAN MAYA SAMIYA. Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir: Studi Kasus Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. (Di bawah bimbingan ARIF SATRIA) Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya. Agar kondisi tersebut dapat terus terjaga diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan baik dari segi ekonomis maupun ekologis. Pengelolaan sumberdaya dapat berjalan secara baik jika terdapat partisipasi dari setiap pihak yang terkait dengan sumberdaya tersebut. Pihak yang secara langsung menerima dampak dari pengelolaan sumberdaya pesisir adalah masyarakat pesisir. Dalam hubungan sosial yang terjadi di wilayah pesisir, terdapat suatu kekhasan hubungan yaitu adanya ikatan patron-klien sebagai upaya penjaminan kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat. Ikatan patron-klien yang terjadi pada usaha perikanan yang dijalankan oleh masyarakat, dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rezim pengelolaan yang terdapat di wilayah pesisir Pulau Panggang, mempelajari pola ikatan patron-klien pada wilayah tersebut, serta menganalisis pengaruh ikatan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh penduduk Pulau Panggang yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Sedangkan sampel dari penelitian ini diperoleh melalui teknik pengambilan sampel acak distratifikasi (stratified random sampling). Teknik ini digunakan karena populasi tersebut terbagi menjadi empat kategori nelayan yang berbeda yaitu: nelayan perikanan tangkap jaring muroami, nelayan perikanan tangkap bubu, nelayan perikanan tangkap ikan hias serta nelayan perikanan budidaya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Metode pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi langsung pada objek penelitian. Sedangkan pengambilan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner, dengan teknik wawancara langsung kepada responden penelitian. Data kuantitatif yang didapat, digunakan sebagai pendukung data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat dua rezim pada pengelolaan sumberdaya pesisir di Pulau Panggang, yaitu rezim pemerintah dan rezim masyarakat. Sementara pola ikatan patron-klien pada wilayah tersebut memiliki pola umum pada tiap jenis usaha perikanan yang berbeda yaitu, ikatan yang terjadi tidak terlalu mengikat, karena nelayan dapat berpindah kepada tengkulak lain jika tidak terdapat hutang pada tengkulak sebelumnya. Ikatan patron-klien yang terjadi di wilayah pesisir Pulau Panggang memiliki pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini dapat dilihat dari adanya aturan-
iii
aturan dalam ikatan yang berpengaruh positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. Aturan tersebut yaitu: larangan penggunaan potasium dan bom pada usaha perikanan dengan cara tidak menyediakan potasium bagi nelayan dan kewajiban yang terdapat pada nelayan ikan hias untuk melaporkan lokasi dan waktu penangkapan ikan kepada patron. Hasil penelitian menemukan terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ikatan patron-klien dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Faktor tersebut adalah akses aktor terhadap sumberdaya dan derajat ketergantungan dalam ikatan patron-klien. Dengan asumsi, jika akses aktor terhadap sumberdaya semakin rendah, maka derajat ketergantungan yang terjadi dalam ikatan tersebut semakin tinggi. Hal tersebut akan berpengaruh pada penegakan aturan dari patron yang berdampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir.
PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR (Studi Kasus Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu)
Oleh: Maya Samiya I34070084
SKRIPSI Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
: Maya Samiya
Nomor Pokok
: I34070084
Departemen
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
: Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (Studi Kasus Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan:
ii
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL PENGARUH IKATAN PATRON-KLIEN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PESISIR
(STUDI
KASUS
PULAU
PANGGANG,
KELURAHAN PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU), ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN, SEMUA
DATA
DINYATAKAN
DAN
INFORMASI
DENGAN
JELAS
YANG DAN
DIGUNAKAN DAPAT
TELAH
DIPERIKSA
KEBENARANNYA.
Bogor, 21 Januari 2011
Maya Samiya I34070084
iii
RIWAYAT HIDUP
Maya Samiya dilahirkan di Cairo pada tanggal 21 Mei 1989. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Pendidikan yang telah ditempuh adalah taman kanak-kanak selama satu tahun di TK Aisyiyah IV Jakarta, sekolah dasar selama enam tahun di SDS Muhammadiyah 06 Jakarta, sekolah menengah pertama selama tiga tahun di SMPN 115 Jakarta, dan sekolah menegah atas selama tiga tahun di SMAN 37 Jakarta. Masuk universitas pada tahun 2007 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis merupakan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) dengan
minor
Manajemen Fungsional. Mulai aktif berorganisasi sejak di bangku sekolah menengah pertama. Pada bangku kuliah, penulis aktif dalam komunitas radio kampus IPB Agri FM sebagai penyiar, dan program director. Serta aktif dalam UKM Kesenian IPB Gentra Kaheman, dalam divisi tari saman. Penulis pernah meraih prestasi sebagai lulusan terbaik SMA N 37 Jakarta dan Juara I dalam lomba debat tingkat nasional dengan tema ”Ekologi Politik” pada acara INDEX. Selain itu, penulis juga pernah menjadi reporter magang di TVRI Nasional, serta moderator dan pembawa acara pada beberapa kegiatan di dalam dan luar kampus. Penulis memiliki hobi membaca, dan traveling. Penulis juga memiliki minat yang besar pada isu-isu pengembangan masyarakat serta kajian sosial pesisir dan kelautan.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, ridho dan segala kemudahan dalam proses penulisan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (Studi Kasus Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu)” ini merupakan syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang keilmuan khususnya dalam bidang pengelolaan sumberdaya pesisir.
Bogor, 21 Januari 2011
Maya Samiya I34070084
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pengatur dan pemerlancar segala urusan. Atas rahmat dan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Arif Satria, SP, MSi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan banyak waktu dan tenaga untuk dapat membimbing, memberi saran, kritik, bantuan baik moril maupun materil serta motivasi yang demikian besarnya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. 2. Dr. Satyawan Sunito, selaku Dosen Pembimbing Akademik. Serta Dr. Anna Fatchiya selaku Dosen Penguji skripsi. 3. Kedua orangtua tercinta Komariah Karim dan Budiman Latief Sa’dami atas segala doa yang mengalir tanpa diminta dan motivasi agar penulis dapat terus membanggakan keluarga. 4. Ibu, Encah, Abang Ridwan, Anna, Romy dan Raehan atas segala keceriaan, dukungan dan doa bagi penulis. 5. Bakhtiar Rahmat Imawan atas segala doa, semangat, dan nasehat agar penulis tetap berjuang meraih mimpi. 6. Dewi, Aci, Asih, Bio dan Uty untuk tawa, cerita, semangat dan dukungan yang memberi kekuatan penuh pada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi. 7. Bang Dadi, Mas Taufik, Pak Asep, Ibu Kiki, Ibu RT, para pegawai Taman Nasional Kepulauan Seribu, serta seluruh masyarakat Pulau Panggang. 8. Teman-teman akselerasi Friska, Syifa, Dina, Anis, Nyimas, Laila, Nene, Nendy, Manda, Icha, Mbak Yun, Umi, Isma, Dewi Agustina, Gege, dan MV. 9. Teman-teman Ekoman kelompok Kamal Muara dan kelompok KKP Pulau Panggang yang telah memberi inspirasi pada penulis untuk mencintai laut dan lingkungan. 10. Teman-teman Departemen SKPM angkatan 44, serta Departemen lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 11. Teman-teman kosan Wisma Gareulis, Enen, Mia, Via, Woro, Nda, Hana, Linda, dan Evi yang menjadi teman diskusi dan pelarian dari tugas-tugas kuliah. 12. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesai skripsi ini.
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2
Perumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 3
1.4
Kegunaan Penelitian ........................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 4 2.1
Tinjauan Pustaka................................................................................................. 4
2.1.1
Masyarakat Pesisir .............................................................................................. 4
2.1.1.1
Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir .............................................................. 5
2.1.1.2
Stratifikasi Sosial ................................................................................................ 7
2.1.2
Patron-Klien........................................................................................................ 9
2.1.3
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ...................................................................... 11
2.1.3.1
Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir ............................................................... 13
2.1.3.2
Pengelolaan Berdasarkan Sifat Sumberdaya .................................................... 13
2.1.3.2.1 Sifat Sumberdaya Alam (Pesisir) “Milik Bersama” ......................................... 14 2.1.3.2.2 Kegunaan Sistem Sumberdaya Milik Bersama ................................................ 15 2.1.3.3
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat .................................... 16
2.1.3.3.1 Unsur Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat .............................................. 17 2.1.3.3.2 Prinsip Pengelolaan Berbasis Masyarakat ........................................................ 19 2.1.4
Pengaruh Hubungan Patron-Klien Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ...................................................................... 19
2.2
Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 23
2.3
Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 24
2.4
Definisi Konseptual .......................................................................................... 25
2.5
Definisi Operasional ......................................................................................... 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 29 3.1
Metode Penelitian ............................................................................................. 30
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 30
3.3
Teknik Pengumpulan Data ............................................................................... 31
3.4
Teknik Analisis Data ........................................................................................ 33
vii BAB IV GAMBARAN UMUM ....................................................................................... 34 4.1
Kondisi Geografis ............................................................................................. 34
4.2
Sejarah Pulau Panggang ................................................................................... 35
4.3
Kondisi Sosial ................................................................................................... 36
4.3.1
Sistem Kekerabatan .......................................................................................... 36
4.3.2
Kepercayaan Lokal ........................................................................................... 37
4.4
Struktur Sosial dalam Usaha Perikanan ............................................................ 38
4.4.1
Jaringan Sosial .................................................................................................. 38
4.4.2
Stratifikasi Sosial .............................................................................................. 39
4.5
Kondisi Ekonomi .............................................................................................. 42
4.5.1
Mata Pencaharian ............................................................................................. 42
4.5.2
Pendapatan Penduduk ....................................................................................... 44
4.6
Kependudukan .................................................................................................. 46
4.6.1
Pendidikan ........................................................................................................ 46
4.6.2
Kesehatan.......................................................................................................... 48
BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR .................................................... 51 5.1
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Pulau Panggang ....................................... 51
5.1.1
Aturan Pemerintah ............................................................................................ 51
5.1.2
Aturan Lokal ..................................................................................................... 54
5.2
Relasi antara Rezim Pemerintahan dan Rezim Masyarakat pada Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Pulau Panggang ........................................... 56
BAB VI POLA HUBUNGAN PATRON-KLIEN............................................................ 59 6.1
Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Tangkap ...................................... 59
6.1.1
Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Muroami ..................................... 62
6.1.2
Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Bubu ........................................... 67
6.1.3
Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Ikan Hias ..................................... 70
6.2
Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Budidaya ..................................... 73
6.3
Perbandingan Pola Hubungan Patron-Klien pada Usaha Perikanan di Pulau Panggang ................................................................ 78
BAB VII IKATAN PATRON-KLIEN DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR ............................................................................... 81 7.1
Pengaruh Hubungan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ...................................................................... 81
7.2
Faktor yang Berpengaruh terhadap Hubungan Patron Klien dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ...................................................................... 83
viii BAB VIII PENUTUP ....................................................................................................... 85 8.1
Kesimpulan ....................................................................................................... 85
8.2
Saran ................................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 88 LAMPIRAN..................................................................................................................... 91
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Naskah
Halaman
Tabel 1. Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir di Indonesia ........................................ 6 Tabel 2. Ciri-Ciri Hubungan Tengkulak dan Nelayan di Kelurahan Pulau Panggang ................................................................................ 11 Tabel 3. Pembagian Pemangku Kepentingan Berdasarkan Kepentingan dalam Pengelolaan Berbasis Masyarakat ..................................................................... 18 Tabel 4. Definisi Operasional dan Skor Tingkat Pengaruh Patron-Klien ........................ 29 Tabel 5. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Mata Pencaharian .................... 42 Tabel 6. Tabel Musim Melaut dan Jenis Ikan ................................................................. 45 Tabel 7. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Rukun Warga (RW) ................. 46 Tabel 8. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan .................. 47 Tabel 9. Jumlah Ketersedian Sarana Pendidikan menurut Pengelolaan dan Tingkat Pendidikan ............................................................................................ 48 Tabel 10. Jumlah Ketersediaan Sarana Kesehatan ............................................................ 49 Tabel 11. Jumlah Karyawan Tenaga Medis....................................................................... 49 Tabel 12. Bentuk-Bentuk Aturan Lokal Masyarakat Pulau Panggang dan Tujuannya ................................................................................................... 55 Tabel 13. Periodisasi Jenis Alat Tangkap atau Sarana Perikanan di Pulau Panggang ............................................................................................. 60 Tabel 14. Perbandingan Pengaruh Tengkulak pada Usaha Perikanan di Pulau Panggang ............................................................................................. 79 Tabel 15. Pengaruh Hubungan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir berdasarkan Jenis Usaha Perikanan ...................................................... 83 Tabel 16. Faktor yang Berpengaruh terhadap Hubungan Patron-Klien dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ....................................................................... 84
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Naskah
Halaman
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 24
Gambar 2.
Metode Pengambilan Sampel Penelitian ...................................................... 33
Gambar 3.
Jaringan Sosial antara Tengkulak dan Nelayan di Pulau Panggang ............. 39
Gambar 4.
Stratifikasi Sosial dalam Usaha Perikanan di Pulau Panggang .................... 41
Gambar 5.
Relasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ....................................................... 57
Gambar 6.
Diagram Alir Pertukaran Ekonomi pada Usaha Perikanan Tangkap Jaring Muroami ............................................................................................. 64
Gambar 7.
Tingkat Pengaruh Nelayan Pemilik pada Usaha Perikanan Tangkap Jaring Muroami ............................................................................................ 65
Gambar 8.
Arus Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Jaring Muroami ..................... 67
Gambar 9.
Diagram Alir Pertukaran Ekonomi pada Usaha Perikanan Tangkap Bubu ............................................................................................... 68
Gambar 10. Arus Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Bubu ....................................... 69 Gambar 11. Tingkat Pengaruh Tengkulak pada Usaha Perikanan Tangkap Bubu.............................................................................................................. 70 Gambar 12. Tingkat Pengaruh Tengkulak pada Usaha Perikanan Tangkap Ikan Hias ....................................................................................................... 71 Gambar 13. Arus Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Ikan Hias ................................ 72 Gambar 14. Diagram Alir Pertukaran Ekonomi pada Usaha Perikanan Tangkap Ikan Hias ........................................................................................ 74 Gambar 15. Diagram Alir Pertukaran Ekonomi pada Usaha Perikanan Budidaya Kerapu .......................................................................................... 75 Gambar 16. Tingkat Pengaruh Tengkulak pada Usaha Perikanan Budidaya ................... 76 Gambar 17. Arus Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Budidaya ................................ 77 Gambar 18. Perbandingan Tingkat Ketergantungan pada Ikatan Patron-Klien Berdasarkan Jenis Usaha Perikanan ............................................................. 80
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran 1.
Naskah
Halaman
Aturan Pusat yang Berlaku di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu ..................................................................................91
Lampiran 2.
Peta Wilayah Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu ...................93
Lampiran 3.
Hasil Pengolahan Data Kuantitatif........................................................94
Lampiran 4.
Dokumentasi Penelitian .......................................................................95
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumberdaya yang dapat pulih (seperti perikanan, kehutanan mangrove, dan terumbu karang) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan tambang lainnya). Melihat kekayaan yang dimiliki tersebut, dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk serta semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan harapan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional di masa yang akan datang. Ini terkait dengan perjalanan menuju era desentralisasi, dimana wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama untuk perkembangan kegiatan industri, pariwisata, agribisnis, agroindustri, pemukiman, transportasi dan pelabuhan. Kondisi yang demikian menyebabkan banyak kota-kota yang terletak di wilayah pesisir terus dikembangkan dalam menyambut tata perekonomian baru dan kemajuan industrialisasi (Dahuri et al. 1996). Berbagai alasan tersebut kemudian mengharuskan Indonesia membangun sebuah strategi pengelolaan sumberdaya pesisir yang efektif dan berkelanjutan, agar kemudian dapat memberikan berbagai manfaat, baik dari segi ekonomi maupun konservasi. Namun, pengelolaan sumberdaya pesisir tidak dapat dilakukan secara efektif dengan hanya mengandalkan kemampuan pemerintah dalam membuat dan menegakkan peraturan saja. Berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya pesisir harus samasama menyadari perlunya pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan serta dapat melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya dengan baik. Masyarakat pesisir merupakan pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki kepentingan langsung dengan sumberdaya pesisir tersebut. Menurut Satria (2009), masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya
2
pesisir. Kekhasan wilayah pesisir, menimbulkan adanya stratifikasi sosial dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Struktur sosial masyarakat nelayan dicirikan oleh kuatnya ikatan patron-klien. Hal tersebut dikarenakan kegiatan penangkapan ikan yang memiliki resiko tinggi mengharuskan nelayan menjalin ikatan dengan patron untuk dapat menjamin kelangsungan kegiatan perikanan mereka (Satria, 2002). Terdapat berbagai bentuk hubungan yang terjadi dalam ikatan patronklien. Hubungan yang terjadi dalam ikatan tersebut tidak hanya bersifat ekonomi semata, namun juga dapat mencakup aspek lain yang berkaitan dengan pihakpihak yang berkepentingan dalam ikatan tersebut. Hal inilah yang membedakan hubungan patron-klien dengan hubungan produksi yang hanya dilandasi oleh kepentingan ekonomis. Ikatan patron-klien yang terjadi pada usaha perikanan di wilayah pesisir sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan para aktor terhadap sumberdaya pesisir. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilihat pengaruh ikatan patron-klien yang terdapat pada wilayah pesisir terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat diketahui bahwa penelitian ini mengkaji pengaruh hubungan patron-klien pada pengelolaan sumberdaya pesisir di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta. Mengingat mayoritas penduduk Pulau Panggang berprofesi sebagai nelayan. Kemudian secara spesifik penelitian ini memusatkan perhatian pada permasalahan yang disebutkan di bawah ini: 1. Rezim apa saja yang terdapat pada pengelolaan sumberdaya pesisir di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu? 2. Bagaimana pola ikatan patron-klien yang terjadi terkait dengan usaha perikanan yang dilakukan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu? 3. Bagaimana pengaruh ikatan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu?
3
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi rezim yang berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.
2.
Mengidentifikasi pola ikatan patron-klien yang terjadi pada komunitas nelayan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu terkait dengan usaha perikanan yang mereka lakukan.
3.
Menganalisis pengaruh ikatan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.
1.4 Kegunaan Penelitian Mengacu kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian ini terbagi menjadi kegunaan penelitian bagi pemerintah, masyarakat awam dan akademisi. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Kegunaan Penelitian bagi Pemerintah Penelitian ini dapat digunakan sebagai media evaluasi pemerintah dalam melakukan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir, dengan memperhatikan keterlibatan masyarakat dan institusi patron-klien di dalamnya.
b.
Kegunaan Penelitian bagi Masyarakat Awam Bagi masyarakat awam, penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat mengenai hubungan pengaruh antara institusi patron-klien dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Dan bagi masyarakat pesisir khususnya, penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan bagaimana pengaruh ikatan patron-klien yang terjadi terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan dapat memperlihatkan peran nyata mereka terhadap pengelolaan pesisir tersebut.
c.
Kegunaan Penelitian bagi Akademisi Bagi akademisi, khususnya yang mendalami bidang ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran. Serta dapat dijadikan landasan bagi penelitian maupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Masyarakat Pesisir Karakteristik alam Indonesia sangat mendukung kegiatan ekonomi
berbasis kelautan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan luas laut sekitar 5,8 juta km² (0,8 juta km² perairan territorial; 2,3 juta km² perairan nusantara; dan 2,7 juta perairan ZEE Indonesia), (Dahuri et al. 1996). Melihat fakta tersebut, sebagian penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Horton et al. dikutip oleh Satria (2002) mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Menurut Satria, masyarakat pesisir merupakan sekumpulan masyarakat yang mendiami wilayah pesisir secara bersama-sama, membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait dengan ketergantungan pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Tidak hanya nelayan, termasuk juga didalamnya pembudidaya ikan dan pedagang ikan (Satria, 2009). Sedangkan secara lebih dalam, Satria (2002) membedakan karakteristik nelayan tangkap dan pembudidaya ikan: “Dalam hal ini usaha pembudidaya ikan dapat digolongkan ke dalam usaha masyarakat pertanian (agraris) karena sifat sumberdaya yang dihadapi relatif mirip. Kemiripan ini terletak pada penentuan jumlah tempat, dan waktu pembudidayaan. Dalam hal ini, pembudidayaan ikan dilakukan dengan ditangkap sehingga pola panennya lebih terkontrol….Karakteristik tersebut berbeda sama sekali dengan nelayan, nelayan menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya seperti ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Dengan demikian, elemen resikonya menjadi sangat tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan terbuka.”
5
2.1.1.1 Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir Merujuk pada klasifikasi Redfield (1941) dikutip oleh Koentjaraningrat (1990), masyarakat pesisir Indonesia berada pada tiap tipe komunitas yang telah diklasifikasikannya1, namun kebanyakan merupakan representasi dari komunitas desa petani dan desa terisolasi. Masyarakat pesisir yang berjenis desa pantai dan desa terisolasi dicirikan oleh sikap mereka yang tunduk terhadap alam (Kluckhon dikutip oleh Satria, 2002). Pemahaman mengenai karakteristik sosial masyarakat pesisir penting dipahami untuk dapat menganalisis lebih jauh perihal hubungan patron klien. Karakteristik sosial masyarakat pesisir tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1) Ketidakstabilan kondisi sumberdaya merupakan tantangan bagi para nelayan, khususnya bagi nelayan perikanan tangkap. Berdasarkan karakteristik sumberdaya tersebut, terbentuk beberapa karakteristik sosial masyarakat pesisir, yaitu: a) Memiliki sikap tunduk dan selaras dengan alam (Kluckhon dikutip oleh Satria, 2002; Hartono et al., 2007). Hal ini didasari oleh: (i)
Sistem kepercayaan masyarakat pesisir yang percaya bahwa laut memiliki kekuatan magis (Satria, 2002).
(ii) Komunitas kecil merupakan bagian yang terintegrasi dari lingkungan alam tempat komunitas tersebut berada (Koentjaraningrat dikutip oleh Satria, 2002). b) Sistem pengetahuan pada masyarakat pesisir berdasarkan warisan maupun pengalaman empiris (Satria, 2002; Hartono et al., 2007). 2) Karakteristik sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat akses terbuka. Karakteristik tersebut menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Hal ini membuat elemen resiko usaha perikanan tangkap menjadi sangat tinggi (Satria, 2002). Maka berdasarkan hal tersebut, terbentuk beberapa karakteristik sosial masyarakat pesisir, antara lain: a) Memiliki karakter tegas, keras, dan terbuka (Satria, 2002).
1
Menurut Redfield, terdapat empat tipe komunitas, yaitu city (kota), town (kota kecil), peasant village (desa petani), dan tribal village (desa terisolasi). Dimana setiap tipe komunitas memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
6
b) Kuatnya ikatan patron-klien, sebagai upaya untuk penjaminan kehidupan sosial dan ekonomi (Satria, 2002; Hartono et al., 2007). 3) Memiliki ciri hubungan solidaritas mekanik2 pada hubungan masyarakat (Durkheim dikutip oleh Satria, 2002). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a) Terdiri dari jumlah penduduk yang sangat terbatas (Redfield dikutip oleh Satria, 2002). b) Bersifat seragam dan diferensiasi terbatas (Redfield dikutip oleh Satria, 2002). c) Terdapat rasa ketergantungan yang besar terhadap sesama (Satria, 2002). Tabel 1. Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir di Indonesia Aspek Karakteristik
Penjelasan
1) Karakter 2) Tipe Komunitas *
1) Keras, tegas, terbuka. 2)Desa petani dan desa terisolasi.
3) Sikap Terhadap Alam**
3) Tunduk dan selaras dengan alam.
4)Hakikat Hubungan Antar Sesama**
4)Orientasi kolateral (horizontal) dengan rasa ketergantungan pada sesama (berjiwa gotong royong).
5) Jenis Solidaritas*** 6) Sistem Pengetahuan
5) Solidaritas mekanik. 6) Berdasarkan warisan atau pengalaman empiris.
7) Sistem Kepercayaan
7) Laut memiliki kekuatan magis.
8) Peran Wanita
8)Ranah domestik dan ekonomi, terkadang juga pada ranah sosial.
9) Posisi Sosial Nelayan 9) Relatif rendah. Keterangan: * : Mengacu pada pemikiran Redfield dalam Satria (2002) ** : Mengacu pada pemikiran Kluckhon dalam Satria (2002) *** : Mengacu pada pemikiran Durkheim dalam Satria (2002) Sumber: Satria (2002)
2
Menurut Satria (2002), ciri solidaritas mekanik ditandai dengan masih kuatnya kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai basis ikatan sosial. Sistem hukumnya pun masih bersifat represif sebagai bentuk kemarahan kolektif, yang berarti belum berlakunya hukum formal dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.
7
2.1.1.2 Stratifikasi Sosial Sistem lapisan dalam masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification (stratifikasi sosial). Sorokin dikutip oleh Soekanto (1990) menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Dalam masyarakat pesisir, hal ini umumnya terjadi karena perbedaan akses individu terhadap sumberdaya ekonomi, alam, maupun sosial. Individu yang lebih mudah aksesnya terhadap sumberdaya tersebut akan berada di lapisan yang lebih tinggi. Sedangkan individu yang tidak mampu mengakses atau tingkat aksesibilitasnya rendah terhadap sumberdaya akan berada di lapisan yang lebih rendah. Adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat, ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama (Soekanto, 1990). Stratifikasi yang terjadi dalam masyarakat pesisir, umumnya terjadi karena perbedaan akses individu terhadap sumberdaya ekonomi, alam, maupun sosial. Individu yang lebih mudah aksesnya terhadap sumberdaya tersebut akan berada di lapisan yang lebih tinggi. Secara singkat, stratifikasi sosial terjadi karena: 1) Adanya proses-proses kelembagaan yang menetapkan suatu tipe barang dan jasa tertentu sebagai sesuatu yang bernilai dan diinginkan. 2) Adanya aturan-aturan alokasi yang mendistribusikan barang dan jasa tersebut kepada beragam kedudukan-kedudukan atau pekerjaan; dan 3) Adanya mekanisme mobilitas (gerak berubah) yang mengkaitkan antara individu-individu dengan pekerjaannya atau kedudukannya itu. Bentuk stratifikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai aspek, antara lain aspek sosial, ekonomi, dan politik. Berikut pembagian bentuk stratifikasi seperti dikutip oleh Satria (2002) pada Sorokin (1962): 1) Stratifikasi berdasarkan ekonomi (economically stratified), yaitu jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan atau ketidaksetaraan status ekonomi. 2) Stratifikasi berdasarkan politik (politically stratified), yaitu jika terdapat rangking sosial berdasarkan otoritas, pretise [sic!], kehormatan dan gelar, atau jika ada pihak yang mengatur (the rulers) dan yang diatur (the ruled).
8
3) Stratifikasi berdasarkan pekerjaan (occupationally stratified), yaitu jika masyarakat terdiferensiasi ke dalam berbagai pekerjaan dan beberapa diantara pekerjaan itu lebih tinggi statusnya dibandingkan pekerjaan lain. Sedangkan stratifikasi tersebut dapat bersifat sementara atau permanen, tergantung dari sistem stratifikasi yang mendasari terjadinya pelapisan tersebut. Soekanto (1990) menguraikan sifat sistem pelapisan sosial yang terdiri dari dua macam, yaitu: 1) Sistem lapisan yang bersifat tertutup (closed social stratification). Sistem lapisan ini mempunyai sifat membatasi kemungkinan adanya perpindahan atau masuknya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerakan sosial ke bawah, yaitu masuknya anggota lapisan tinggi ke lapisan yang lebih rendah. Maupun gerakan sosial ke atas, yaitu masuknya anggota lapisan rendah ke lapisan tinggi. Satu-satunya cara untuk dapat menjadi anggota dari lapisan tertentu adalah kelahiran. 2) Sistem lapisan yang bersifat terbuka (open social stratification). Secara terbuka lapisan ini memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk berusaha menjadi anggota dalam lapisan yang dikehendaki, baik lapisan atas maupun lapisan bawah berdasarkan kecakapan atau kemampuan seseorang untuk menjadi anggota dalam lapisan yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Pada lapisan yang terbuka ini, kemungkinan terjadinya mobilitas sangat besar. Kedudukan (status) dan peranan (role) merupakan unsur baku dalam sistem lapisan masyarakat (stratifikasi sosial), dan mempunyai arti penting bagi sistem masyarakat (Soekanto, 1990). Kedudukan merupakan tempat atau posisi seseorang
dalam
suatu
kelompok
sosial.
Masyarakat
pada
umumnya
mengembangkan dua macam kedudukan yaitu (Soekanto, 1990): a. Ascribed-Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Pada umumnya ascribed-status dijumpai dalam masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup. b. Achieved-Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usahausaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran.
9
Akan tetapi bersifar terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan. c. Assigned-Status, yaitu kedudukan yang diberikan. Assigned-Status sering mempunyai hubungan yang erat dengan achieved-status. Artinya suatu kelompok memberi kedudukan yang lebih tinggi pada seseorang yang telah berjasa ataupun memiliki kemampuan.
2.1.2
Patron-Klien Seperti telah diuraikan sebelumnya, struktur sosial dalam masyarakat
nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Platteau (1995) mendefinisikan hubungan patron-klien sebagai hubungan yang bersifat asimetris dan bersifat jangka panjang. Hubungan ini tidak hanya tercipta dari pertukaran barang dan jasa dari kedua belah pihak saja, kadang terbentuk pula hubungan kesalingtergantungan dan kekerabatan yang timbul akibat relasi dan kepercayaan yang berlangsung cukup lama. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari tingginya resiko kegiatan perikanan tangkap. Menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting dalam menjaga kelangsungan pola kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi (Satria, 2002). Dalam hubungan patron-klien yang umumnya terjadi di sektor agraris, terdapat berbagai pola hubungan yang berbeda. Pola hubungan yang berbeda ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kondisi alam, perekonomian, sosial, dan kultur yang melekat pada daerah dimana hubungan itu tercipta. Kesalingtergantungan dalam hubungan patron-klien juga menciptakan dinamika dalam pola hubungan yang terbentuk nantinya. Legg (1983) dikutip oleh Najib (1999) dikutip oleh Satria (2002) mengungkapkan bahwa tata hubungan patronklien umumnya berkaitan dengan: (1) Hubungan antar pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama. (2) Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban. (3) Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan. Mengutip pendapat Platteau (1995), tak jarang hubungan patron-klien mengarah pada suatu bentuk perbudakan, bahkan hubungan patron-klien tidak
10
hanya berorientasi pada keuntungan ekonomis yang didapatkan oleh kedua belah pihak, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Di beberapa kasus yang ada, beberapa patron juga berperan dalam pembangunan mental spiritual klien. Koentjaraningrat (1990), melihat pola patron-klien dalam kerangka jaringan sosial. Pola patron-klien merupakan pola hubungan yang didasarkan pada principle of reciprocity atau asas timbal balik. Sementara Scott dalam Satria (2002), melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. Menurut Scott dikutip oleh Satria (2002), arus dari patron-klien meliputi: (1) Penghidupan subsisten dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan sarana produksi padi, jasa pemasaran dan bantuan teknis. (2) Jaminan krisis subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi. (3) Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi) maupun ancaman umum (tentara, pejabat, maupun pemungut pajak). (4) Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat (sekolah, tempat ibadah, atau jalan) serta mendukung festival atau perayaan desa. Dilihat kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam, mekanisme hubungan patron-klien dapat bersifat eksploitatif maupun sebaliknya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh karakteristik sosial, ekonomi dan budaya daerah dimana hubungan patron-klien tersebut terbentuk. Ini merupakan cerminan dari usaha patron untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin, tentunya tujuan tersebut dicapai dengan cara mendorong klien untuk dapat memanfaatkan hasil sumberdaya sebanyak mungkin dengan cara apapun. Mekanisme hubungan tersebut juga dapat bersifat sebaliknya. Di beberapa daerah pesisir, pedagang ikan memberikan harga yang tinggi bagi ikan dengan kualitas baik. Tentu saja untuk mendapatkan hal tersebut, sumberdaya perikanan harus ditangkap dengan cara yang aman tanpa menggunakan racun dan bom. Dengan adanya permintaan akan hasil tangkapan yang berkualitas baik, patron mendorong klien untuk tidak menggunakan alat dan bahan tangkap yang
11
berbahaya dan bersifat merusak. Dalam penelitian Anggraini (2002) ditemukan bentuk hubungan patron-klien yang tidak bersifat eksploitatif pada komunitas nelayan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Berikut disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Ciri-ciri Hubungan Tengkulak dan Nelayan di Kelurahan Pulau Panggang3 Ciri-Ciri Ciri Umum
Bentuk Hubungan 1. Kedua belah pihak menguasai sumberdaya yang berbeda. 2. Hubungan terbentuk atas dasar kekeluargaan.
saling percaya dan suasana
3. Hubungan yang berdasarkan azas “saling menguntungkan” serta saling memberi dan menerima. Ciri Khusus
1. Tidak bersifat eksploitatif. 2. Tidak terdapat hubungan mengikat. 3. Kebebasan nelayan dalam memilih pembeli. 4. Terdapat peran nelayan dalam menentukan harga.
Sumber: Anggraini (2002)
2.1.3
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang mencakup 70 persen dari
keseluruhan wilayah negara Indonesia menjadi sumber berbagai kegiatan penghidupan mayoritas masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Selain pemanfaatan dari berbagai hasil perikanan sebagai sumber bahan makanan utama, wilayah pesisir juga memiliki fungsi lain seperti transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agrobisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan kemudian menjadi suatu keharusan mengingat banyaknya kegiatan yang bertumpu pada wilayah pesisir. Berbagai kebijakan dan perundangan telah dibuat dan diberlakukan terkait dengan isu pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut. Dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-PPK),
pemerintah
mengalokasikan
ruang
perairan
pesisir
untuk
3
Berdasarkan hasil penelitian (skripsi) Eva Anggraini yang berjudul Analisis Penyusunan Model Pengelolaan Sumberdaya Laut: Tinjauan Sosiologi dan Kelembagaan di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Pada tahun 2002.
12
dimanfaatkan, direhabilitasi dan dikonservasi, termasuk didalamnya pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Dalam UU PWP-PPK juga disebutkan pemberian hak masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan bahkan telah menjadi cabang ilmu baru bukan saja di Indonesia, tetapi juga di tingkat dunia (Dahuri et al., 1996). Sorensen and McCreary (1990) dikutip oleh Dahuri et al. (1996) mendefinisikan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Management atau disingkat ICZM) sebagai: “Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyuluruh (comprehensive assesment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat didalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi dan budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada.” Penurunan kualitas sumberdaya pesisir dan kelautan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun utamanya disebabkan oleh eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya laut. Terjadinya eksploitasi berlebihan dan degradasi lingkungan ini ditengarai merupakan dampak dari masalah sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, perhatian utama terhadap pengelolaan sumberdaya laut hendaknya dihubungkan dengan masalah kesejahteraan manusia dan konservasi sumberdaya laut guna kelangsungan hidup generasi yang akan datang (Saad, 2009). Pada pengelolaan terpadu wilayah pesisir, Dahuri et al. (1996) menguraikan tiga dimensi tahapan yang penting, yaitu: (1) Proses perencanaan pengelolaan, yakni formulasi-implementasi dan pemantauan evaluasi, (2) Identifikasi isu pengelolaan, seperti pencemaran yang berakibat hilangnya habitat tertentu dan penangkapan yang berlebihan, dan (3) Pelaksanaan pengelolaan yang
13
dilaksanakan untuk mengatas setiap isu tersebut untuk menentukan pilihan pengelolaan. Setiap pilihan pengelolaan memerlukan beberapa pertimbangan, yaitu: pertimbangan ekonomis, pertimbangan lingkungan, dan pertimbangan sosial budaya. Oleh karena itu menurut Pomeroy (1994) dikutip oleh Saad (2009), yang seharusnya menjadi fokus dalam sistem pengelolaan sumberdaya laut adalah manusianya, bukan sumberdayanya. Kebijakan yang akan ditempuh hendaknya memperhatikan masalah ini guna memperoleh hasil yang maksimal.
2.1.3.1 Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Untuk dapat mengetahui lebih lanjut mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir, diperlukan definisi dan batasan mengenai wilayah pesisir itu sendiri. Meskipun belum ada ketetapan definisi dan batasan yang jelas mengenai wilayah pesisir terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. Definisi wilayah pesisir yang dilakukan di Indonesia menurut Soegiarto (1976) dikutip oleh Dahuri et al. (1996), adalah: “Daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.” Sedangkan pembatasan wilayah pesisir juga memiliki peraturan tersendiri sesuai dengan karakteristik lingkungan, sumberdaya, dan sistem pemerintahan tersendiri (khas). Mengenai batasan wilayah pesisir, telah ada kesepakatan umum dunia yang menyatakan bahwa (Dahuri et al.,1996): “Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore).” 2.1.3.2 Pengelolaan Berdasarkan Sifat Sumberdaya Banyak pendapat yang menjelaskan mengenai penyebab terjadinya pengurasan (depiction) sumberdaya dan penangkapan berlebihan (overfishing).
14
Salah satunya adalah bahwa faktor pencetus terjadinya hal tersebut secara teoritis berpangkal pada pandangan tentang sifat sumberdaya alam. Pandangan yang sangat dominan dan menjadi dasar dari kebijakan perikanan di banyak negara adalah bahwa sumberdaya alam (perikanan) merupakan “milik bersama” (Christy, 1982; Smith and Panayotou, 1984; dikutip oleh Saad, 2009).
2.1.3.2.1
Sifat Sumberdaya Alam (Pesisir) “Milik Bersama”
Berdasarkan rezim pengelolaan sumberdaya alam, Bromley (1992) mengajukan empat rezim (regimes) yang dapat dijadikan dasar, yaitu: a.
Rezim milik negara (state own property regimes).
b.
Rezim milik swasta (private own property regimes).
c.
Rezim milik bersama (common own property regimes).
d.
Rezim tanpa milik (non-property regimes atau open access).
Ostrom dan Schlager dalam Satria (2006), mendefinisikan property right (hak kepemilikan) sebagai kewenangan penuh untuk melakukan beberapa tindakan pada suatu barang atau jasa. Dalam konteks ini, property regimes (rezim kepemilikan) didefinisikan sebagai seperangkat aturan (hukum, ketentuan, dan kebiasaan) yang menjelaskan mengenai hak kepemilikan (property right). Penggunaan istilah common property (milik bersama) menjadi sebuah istilah yang kontroversial. Dikarenakan terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu pandangan tradisional dan pandangan Barat. Menurut pandangan Barat sumberdaya
milik
bersama
merupakan
sumberdaya
yang
tidak
diatur
pemanfaatannya secara pribadi, sehingga beberapa sumberdaya bersifat terbuka (open-access) dan dapat secara bebas digunakan oleh siapapun. Pandangan ini direpresentasikan oleh teori Tragedy of the Common yang dikemukakan oleh Hardin. Sedangkan pandangan tradisional memandang sumberdaya milik bersama merupakan sumberdaya yang dimiliki
secara kolektif oleh suatu kelompok
(Berkes, 1989). Hal ini diperkuat oleh Bromley (1992) yang menyatakan bahwa common property (kepemilikan bersama) terbentuk ketika masing-masing individu dalam suatu kelompok menyetujui untuk membatasi pemanfaatan mereka akan suatu sumberdaya, dengan asumsi anggota lain dalam kelompok akan memanfaatkan pula sumberdaya tersebut.
15
2.1.3.2.2
Kegunaan Sistem Sumberdaya Milik Bersama
Berkes (1989), menyimpulkan bahwa terdapat lima fungsi utama dari sistem kepemilikan bersama, yaitu: 1) Ketahanan nafkah (livelihood security) Pengelolaan berbasis masyarakat secara tradisional merupakan salah satu dari prinsip dasar ketahanan nafkah (Korten dikutip oleh Berkes, 1989). Dengan jaminan hak akses pada sumberdaya yang penting, setiap orang di suatu komunitas memiliki kesempatan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk menjamin bahwa tidak ada satu orang pun yang kelaparan dalam komunitas, banyak komunitas yang membuat peraturan mengenai pembagian hasil sumberdaya tersebut. 2) Kesetaraan akses dan resolusi konflik (access equity and conflict resolution) Sistem sumberdaya milik bersama umumnya memberikan suatu mekanisme pengaturan penggunaan sumberdaya secara adil antar anggota komunitas dengan harapan dapat meminimalkan terjadinya konflik. Peraturan yang disetujui oleh seluruh anggota komunitas membuat penegakan aturan menjadi lebih efektif. 3) Cara produksi (mode of production) Sistem
pengelolaan
sumberdaya
berbasis
masyarakat
umumnya
membentuk dasar dari sistem produksi. Sistem pengelolaan sumberdaya dilaksanakan oleh suatu komunitas yang terdiri dari banyak rumah tangga di dalamnya. Anggota komunitas kemudian saling berbagi kebudayaan, serta
pengetahuan
mengenai
sumberdaya
alam
dan
pengaturan
penggunaannya. Hal ini kemudian dapat membentuk suatu sistem produksi yang khas pada komunitas tersebut. 4) Konservasi sumberdaya (resource conservation) Sistem sumberdaya milik bersama mengatur pemanfaatan sumberdaya sebaik mungkin, dengan prinsip ‘memanfaatkan yang diperlukan’ atau ‘taking what is needed’. Masyarakat diatur agar tidak memanfaatkan sumberdaya secara berlebihan, dan jika hal tersebut dilanggar, terdapat sanksi yang akan diberikan. Hal ini membuat kondisi sumberdaya dapat
16
terjaga, karena pemanfaat sumberdaya tersebut yakni komunitas, menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya secara bertanggung jawab. 5) Keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) Suatu komunitas umumnya telah memanfaatkan sumberdaya alam secara turun temurun. Oleh karena itu, prinsip keberlanjutan merupakan prinsip dasar
dalam
pemanfaatan
sumberdaya.
Komunitas
harus
tetap
mempertahankan keberlanjutan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam yang terdapat di komunitas mereka, agar kemudian generasi penerus mereka
dapat
tetap
menikmati
sumberdaya
tersebut
untuk
mempertahankan hidup. Berbagai pengaturan yang dibuat oleh komunitas tersebut, tanpa disadari oleh komunitas itu sendiri dapat berperan dalam keberlangsungan ekologis sumberdaya alam.
2.1.3.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan lautan yang dimiliki Indonesia tentunya memerlukan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat secara efektif meningkatkan kualitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Hingga saat ini, para ahli masih terus mencari model pengelolaan yang dapat mencakup kedua hal tersebut. Upaya tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez (1995) dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan sumberdaya tersebut telah mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku secara turun temurun. Hal ini disebabkan, peraturan yang dibuat oleh pemerintah tidak memperhitungkan pengetahuan lokal yang telah ada dalam masyarakat. Padahal, pengetahuan lokal yang ada dapat sangat berperan dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat yang telah tinggal dan memiliki pengalaman secara turun temurun berdampak pada pengenalan mereka yang tinggi akan kondisi alam, dan bagaimana pengelolaan sumberdaya yang harus dilakukan.
17
Adanya permasalahan tersebut kemudian mendorong para ahli untuk merekomendasikan pengembangan pengelolaan kemitraan antara pemerintah dan nelayan lokal. Sebagian ahli menyebutnya sebagai pengelolaan bersama dan sebagian lagi menyebutnya sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (Community-based Fisheries Management). Saad (2003), mendefinisikan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai pembagian tanggung jawab dan atau otoritas antara pemerintah dan sumberdaya setempat (local community) untuk mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan perikanan berbasis masyarakat diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Konsekuensi dari penyerahan hak milik tersebut, akses dan kontrol atas sumberdaya perikanan menjadi milik anggota-anggota dari masyarakat tertentu. Orang-orang yang bukan anggota masyarakat tersebut tidak lagi leluasa, sebagaimana ketika sumberdaya alam tersebut masih menjadi “milik bersama”. Hal ini berarti penyerahan hak milik, bukan sekedar hak pengelolaan yang tidak bersangkut-paut dengan persoalan siapa pemilik hak atas sumberdaya alam perikanan tersebut. Segenap nelayan yang menjadi anggota masyarakat pemilik sumberdaya perikanan, selain berhak menggunakannya juga bertanggungjawab untuk melindunginya. Dengan demikian, kondisi akses terbuka atas sumberdaya alam digantikan dengan kondisi pemilikan masyarakat yang jelas (Dela Cruz dikutip oleh Saad, 2003).
2.1.3.3.1
Unsur Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat
Pengelolaan pesisir berbasis masyarakat pada dasarnya melibatkan seluruh unsur yang terlibat, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sumberdaya pesisir. Dutton dikutip oleh Saad (2003), memberi penjelasan mengenai keragaman pemangku kepentingan serta kepentingan mereka didalam pengelolaan pesisir berbasis kerakyatan. Pada saat ini, kebanyakan perencanaan partisipatif memfokuskan perhatian kepada pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki “kepentingan langsung”. Namun dalam banyak kasus, keberadaan kelompok yang memiliki “kepentingan tidak langsung” ternyata sama pentingnya.
18
Dari perspektif hukum dan kelembagaan, menurut Jentoft (1989) dikutip oleh Saad (2003) keterlibatan pemangku kepentingan dapat diperoleh dengan dua cara, yakni: (1) pemerintah secara formal mengakui peraturan informal yang berlaku di tengah masyarakat, baik yang secara tradisi sudah ada maupun yang dibentuk oleh masyarakat pada zaman sekarang (neotradisional); (2) pemerintah menyerahkan sebagian wewenangnya dalam implementasi peraturan yang dibuat oleh pemerintah kepada masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan sebuah bentuk pengelolaan sumberdaya yang tercipta karena kondisi sumberdaya yang semakin menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Menurut Ruddle (1999) dalam Ruddle dan Satria
(2010),
unsur-unsur
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
berbasis
masyarakat antara lain: (1) Territorial Boundary (batasan wilayah) (2) Rules (peraturan) (3) Rights (hak) (4) Authority (kewenangan) (5) Monitoring (pengawasan) (6) Sanctions (sanksi) Tabel 3. Pembagian Pemangku Kepentingan Berdasarkan Kepentingan dalam Pengelolaan Berbasis Masyarakat Jenis Kepentingan
Pemangku Kepentingan
Berkepentingan Langsung
-
Penduduk Industri Pemda Peneliti Masyarakat Lokal
Berkepentingan Tak Langsung
-
Lembaga Ilmiah Lembaga Konservasi
-
Polisi Wisatawan Investor Potensial Provinsi/Pusat LSM Industri Hilir PERS*
Keterangan: * : Mengacu pada pemikiran Saad Sumber: Dutton (1996) dalam Saad (2003)
19
2.1.3.3.2 Prinsip Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pelaksanaan prinsip pengelolaan berbasis masyarakat terdiri dari empat prinsip
yaitu
“kesamaan”
(equity),
“pemberdayaan”
(empowerment),
”keberlanjutan” (sustainability), dan “orientasi sistem” (system oriented), (Dela Cruz dikutip oleh Saad, 2003). Pemberdayaan berarti ada peralihan wewenang politik dan ekonomi dari segelintir orang pengusaha dan pemerintah kepada masyarakat pengguna sumberdaya perikanan. Sedangkan prinsip kesamaan berkaitan dengan prinsip pemberdayaan. “Kesamaan” berarti adanya akses dan peluang yang sama diantara rakyat dengan kelompok masyarakat lainnya. Sementara itu prinsip “keberlanjutan”, bukan berarti agar sumberdaya alam tidak dimanfaatkan. Namun, yang dituntut adalah agar setiap generasi mengakui kewajibannya untuk menjaga sumberdaya alam pesisir demi generasi masa depan. Adapun ”orientasi sistem” berarti analisis ekosistem pantai tidak akan dipisahkan dari ekosistem lainnya, seperti ekosistem dataran tinggi dan dataran rendah.
2.1.4
Pengaruh Hubungan Sumberdaya Pesisir
Patron-Klien
Terhadap
Pengelolaan
Pengelolaan sumberdaya pesisir di Indonesia hingga saat ini dianggap belum dapat mencapai bentuk pengelolaan yang dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap kesejahteraan nelayan, dan di sisi lain, kelestarian sumberdaya alam tetap dapat terjaga (Saad, 2003). Berbagai upaya pengelolaan sumberdaya pesisir yang selama ini dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah masih menggunakan pendekatan yang bersifat dari atas (top down) terbukti tidak efektif. Adanya pengelolaan pesisir berbasis masyarakat menjadi salah satu jalan keluar yang tepat agar tercipta suatu bentuk pengelolaan yang efektif. Pengelolaan ini mengutamakan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai pada tahapan evaluasi.
Pelaksanaan prinsip pengelolaan
berbasis masyarakat terdiri dari empat prinsip yaitu “kesamaan” (equity), “pemberdayaan” (empowerment), ”keberlanjutan” (sustainability), dan “orientasi sistem” (system oriented) (Dela Cruz dikutip oleh Saad, 2003). Menurut Ruddle dikutip oleh Satria (2004) terdapat karakteristik dari pengelolaan berbasis
20
tradisional, yang dapat dijadikan acuan Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat (PSBM) antara lain: 1) Fokus pada pengurangan dampak negatif dari penggunaan alat tangkap dan permasalahan waktu panen. 2) Peraturan didasari pada kondisi geografis daerah. 3) Kontrol terhadap akses. 4) Pengawasan mandiri berdasarkan sistem pengetahuan lokal. 5) Diperkuat oleh moral lokal dan kewenangan politik. Dalam kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat pesisir, terdapat salah satu bentuk ikatan yang khas, yaitu ikatan patron-klien. Unsur pengelolaan berbasis masyarakat di wilayah pesisir tentunya tidak dapat mengesampingkan peran patron-klien tersebut. Hubungan patron-klien yang tercipta sebagai jaminan atas kebutuhan klien dapat menjadi salah satu aspek yang diduga memiliki pengaruh kuat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Patron yang secara sosial maupun ekonomi memiliki strata yang lebih tinggi dibandingkan klien dapat berpengaruh besar terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. Patron dapat mempengaruhi klien agar melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sumberdaya pesisir, baik itu usaha perikanan tangkap maupun budidaya yang dapat memberikan keuntungan baik secara ekonomis maupun ekologis. Peran patron-klien dapat dilihat pengaruhnya berdasarkan empat rezim sumberdaya yang diajukan Bromley (1992), yaitu: a. Rezim milik negara (state own property regimes). b. Rezim milik swasta (private own property regimes). c. Rezim milik bersama (common own property regimes). d. Rezim tanpa milik (non-property regimes atau open access). Dalam rezim milik negara, hubungan patron-klien dapat memberi dampak positif maupun negatif kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam. Pengaturan pengelolaan sumberdaya dalam rezim ini sepenuhnya berada di tangan pemerintah, masyarakat dapat memanfaatkan namun tetap dengan mengikuti aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Pengelolaan sumberdaya ini juga dapat dipengaruhi oleh empat hal: (a) karakteristik patron, (b) karakteristik klien, (c)
21
karakteristik institusi patron-klien, serta (d) karakteristik rezim sumberdaya. Hubungan patron-klien akan berdampak positif jika pola eksploitasi sumberdaya alam sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini, peranan patron sangat besar, karena patron secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola eksploitasi yang dilakukan oleh klien. Patron dapat berperan dalam mendukung peraturan pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya pada tahap pelaksanaan. Patron yang peduli terhadap keberlanjutan sumberdaya akan mendukung peraturan pemerintah, namun hal tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika klien tidak mendukung patron dalam strategi pemanfaatan tersebut. Keterkaitan empat karakteristik yang telah diuraikan sebelumnya sangat berperan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Pengaruh positif institusi patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir pada rezim pemerintah, tidak dapat berjalan dengan baik apabila terdapat ketimpangan tujuan atau pola pemanfaatan pada tiap unsur yaitu patron, klien, dan institusi patron-klien. Dalam rezim milik swasta, umumnya masyarakat hanya diberikan proporsi lahan pemanfaatan sumberdaya yang lebih sedikit jumlahnya dibandingkan pemanfaatan oleh pihak swasta. Pada rezim ini, kemungkinan terjadi dampak negatif yang dipengaruhi oleh hubungan patron-klien cukup besar. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak terlalu besar membuat patron dapat memaksakan klien untuk tetap memberikan penghasilan atas sumberdaya semaksimal mungkin. Hal ini tentunya dilakukan dengan cara melanggar peraturan yang telah dilakukan oleh pihak swasta tersebut. Ini merupakan akibat dari timpangnya pengaturan pada karakteristik rezim milik swasta. Pihak swasta yang membuat peraturan tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat akan menyebabkan pola pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prinsip ekologis pada tiga karakteristik lainnya, yaitu karakteristik patron, klien dan institusi patron-klien. Namun demikian, dampak positif dapat pula terjadi jika peraturan yang dibuat oleh pihak swasta tidak mengesampingkan kebutuhan masyarakat akan sumberdaya. Jika hal tersebut terjadi akan tercipta pola pemanfaatan sumberdaya yang sesuai dengan peraturan yang ada.
22
Sedangkan pada rezim milik bersama, sangat besar pengaruh patron-klien yang terjadi. Dalam rezim ini, peraturan mengenai pemanfaatan sumberdaya berasal dari kelompok yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Patron-klien yang merupakan bagian dari kelompok akan sangat besar pengaruhnya karena pelaksanaan dan peraturan mengenai pemanfaatan sumberdaya dijalankan langsung oleh mereka. Peraturan yang dibuat berdasarkan inisiatif masyarakat, akan lebih ditaati jika diasumsikan peraturan yang ada dapat memenuhi kebutuhan semua pihak. Hal ini dapat berdampak sebaliknya jika masing-masing individu yang didalamnya terdapat hubungan patron-klien, bertindak serakah dan tidak mementingkan kepentingan anggota kelompok lain. Maka yang terjadi kemudian adalah eksploitasi sumberdaya secara besar-besaran. Meskipun patron memiliki wewenang atas pengaturan pengelolaan sumberdaya pesisir dan telah membuat peraturan yang sejalan dengan prinsip ekologis maupun ekonomis, hal ini kemudian tidak akan berjalan dengan baik jika klien tidak mengikuti peraturan yang telah dibuat oleh patron. Ini kemudian akan menimbulkan ketimpangan pada pelaksanaan peraturan pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut. Pada rezim tanpa milik atau akses terbuka (open access), karakteristik rezim yang didalamnya tidak terdapat aturan yang jelas mengenai kontrol terhadap akses karena semua pihak dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut. Maka dalam rezim tersebut, diperlukan pihak-pihak pengguna yang sadar akan keberlanjutan sumberdaya baik secara ekologis maupun ekonomis. Hubungan patron-klien dapat berdampak positif jika patron dapat memberikan pengaturan pembatasan pemanfaatan sumberdaya, dengan memperhatikan kepentingan pengguna lain. Namun, perlu diperhatikan pula aspek klien dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Meskipun patron telah membuat aturan pada kelembagaan usaha pemanfaatan sumberdaya, tidak akan berjalan dengan baik jika klien tidak menaatinya. Dalam hal ini diperlukan patron yang dapat mendorong kliennya untuk dapat mengikuti peraturan yang telah dibuat. Pada rezim ini, pemanfaatan yang dilakukan tanpa peraturan dari pengguna akan berdampak pada pemanfaatan secara berlebihan. Namun, hubungan patron-klien juga dapat berdampak negatif
23
jika masing-masing patron maupun klien menginginkan pemanfaatan sumberdaya secara maksimal tanpa melihat kepentingan pengguna lain. Hubungan patron-klien yang memiliki dampak positif maupun negatif ini sangat penting peranannya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Oleh karena itu, dalam strategi pengelolaan sumberdaya pesisir diperlukan sebuah strategi untuk mempertimbangkan keberadaan institusi patron-klien agar kemudian institusi tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya pesisir. Pengaruh positif tersebut dapat terjadi jika kesadaran patron maupun klien yang tinggi akan pentingnya keberlanjutan sumberdaya pesisir.
2.2 Kerangka Pemikiran Institusi patron-klien yang terbentuk di wilayah pesisir, merupakan dampak dari sifat kegiatan perikanan tangkap yang memiliki resiko dan ketidakpastian tinggi. Pada institusi patron-klien terdapat karakteristik hubungan antara patron dengan kliennya. Karakteristik hubungan tersebut dibentuk dari tingkat ketergantungan dalam hubungan yang terjadi. Dalam institusi patron-klien ini, peran hubungan patron-klien jika dikaitkan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir akan terbagi menjadi dua, yaitu yang berperan positif terhadap sumberdaya pesisir, serta yang berperan negatif terhadap sumberdaya pesisir. Peran negatif maupun positif itu kemudian mempengaruhi pengelolaan sumberdaya pesisir. Bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir ini juga dipengaruhi oleh rezim pengelolaan sumberdaya yang terdiri dari empat tipe, yaitu: rezim milik negara, rezim milik swasta, rezim tanpa milik atau akses terbuka dan rezim milik bersama. Secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.
24
Institusi PatronKlien Sifat Kegiatan Perikanan Tangkap
Peran Ikatan PatronKlien terhadap Sumberdaya Pesisir
Karakteristik Patron-Klien
• Resiko Tinggi • Ketidakpastian Tinggi
Tingkat Ketergantung an pada hubungan patron-klien
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
• Positif terhadap SD • Negatif terhadap SD
Rezim Pengelolaan Sumberdaya a. b. c. d.
Milik negara Milik swasta Milik ersama Tanpa milik (open access)
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka disusunlah hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Diduga
terdapat
hubungan
antara
sifat
kegiatan
perikanan
dengan
pembentukan institusi patron-klien. 2. Diduga terdapat hubungan antara institusi patron-klien dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. 3. Diduga terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan pada institusi patronklien dengan peran ikatan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir.
25
2.4 Definisi Konseptual Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu: 1. Institusi patron-klien merupakan sebuah bentuk ikatan sosial yang terjadi sebagai bentuk jaminan atas kebutuhan sosial ekonomi. Bentuk hubungan ini umumnya terjadi antar pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama, dan didasarkan pada asas saling menguntungkan. 2. Peran hubungan patron-klien merupakan bentuk hubungan patron-klien yang terjadi terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, yang dibedakan menjadi: (i) Negatif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir Sifat hubungan patron-klien dapat dikatakan negatif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir jika: a. Patron mempengaruhi klien untuk melakukan kegiatan perikanan berbahaya, seperti: menggunakan racun, bom, alat tangkap yang dilarang, dan melakukan perusakan terhadap ekosistem laut seperti terumbu karang, mangrove dan sebagainya. b. Patron tidak mempengaruhi klien secara langsung untuk melakukan kegiatan perikanan yang membahayakan sumberdaya pesisir. Namun secara tidak langsung mempengaruhi klien untuk dapat memperoleh hasil maksimal dengan menggunakan berbagai cara. c. Patron telah mempengaruhi klien untuk melakukan kegiatan perikanan yang tidak membahayakan sumberdaya pesisir, namun klien tetap melakukan kegiatan perikanan yang berbahaya dengan tujuan memaksimalkan keuntungan. (ii) Positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir Sifat hubungan patron-klien dapat dikatakan positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir jika:
26
a. Patron mempengaruhi klien untuk melakukan kegiatan perikanan tidak berbahaya, seperti: melarang penggunaan racun, bom, serta alat tangkap yang dilarang serta melarang perusakan ekosistem laut. b. Patron mempengaruhi klien secara tidak langsung untuk tidak melakukan
kegiatan
perikanan
yang
berbahaya
dengan
cara
menetapkan harga yang tinggi untuk kualitas tangkapan yang baik. Kualitas yang baik ini dapat diperoleh dengan menghindari penggunaan alat tangkap maupun bahan yang membahayakan. c. Meskipun patron telah mempengaruhi klien untuk melakukan kegiatan perikanan yang membahayakan sumberdaya pesisir, namun klien memiliki
pendirian
untuk
bersikap
tidak
eksploitatif
dengan
melakukan kegiatan perikanan yang tidak membahayakan sumberdaya pesisir. 3. Pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir. Pengelolaan ini dapat dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait seperti: pemerintah daerah, masyarakat setempat, kelembagaan masyarakat, dan sebagainya. 4. Rezim pengelolaan sumberdaya merupakan seperangkat aturan (hukum, ketentuan, dan kebiasaan) yang menjelaskan mengenai hak kepemilikan (property right) pada suatu sumberdaya. Rezim ini dibagi menjadi empat, yaitu: a. Rezim milik negara (state own property regimes). Pada rezim kepemilikan milik negara, hak pemanfaatan sumberdaya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah memutuskan segala sesuatu yang berkaitan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi sumberdaya alam. b. Rezim milik swasta (private own property regimes). Sumberdaya bukan dimiliki oleh negara, melainkan dimiliki oleh organisasi atau individu. Terdapat aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak pemilikan dapat dipindah tangankan.
27
c. Rezim milik bersama (common own property regimes). Sumberdaya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota mempunyai kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan. Pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan. Hak pemilikan tidak bersifat eksklusif, dan terdapat aturan yang mengikat kelompok. d. Rezim tanpa milik (non-property regimes atau open access). Tidak terdapat hak atau pemilikan atas sumberdaya. Sumberdaya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun. Tidak ada regulasi yang mengatur.
2.5 Definisi Operasional dan Pengukuran Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu: 1. Tingkat pengaruh tengkulak pada usaha perikanan merupakan bentuk pengaruh tengkulak pada kegiatan yang terkait dengan jenis usaha perikanan yang mendasari hubungan patron-klien. Tingkat pengaruh ini dibagi kedalam empat jenis pengaruh (Tabel 4), yaitu: 1) Pemberian pinjaman yang dilakukan tengkulak pada nelayan: a. Tengkulak tidak memberikan pinjaman baik berupa pinjaman harian maupun pinjaman sarana prasarana perikanan. b. Tengkulak memberikan pinjaman berupa sarana prasarana perikanan tangkap/budidaya. c. Tengkulak memberikan pinjaman harian serta sarana prasarana perikanan tangkap/budidaya dan pembayaran dilakukan setelah tangkapan/panen dihasilkan. 2) Pengaruh pada pemilihan alat tangkap/sarana budidaya: a. Tengkulak
tidak
memiliki
pengaruh
pada
pemilihan
alat
tangkap/sarana budidaya yang dilakukan nelayan. b. Tengkulak
memberi
saran
mengenai
pemilihan
jenis
alat
tangkap/sarana budidaya, namun keputusan tetap ada di nelayan. c. Tengkulak menentukan jenis alat tangkap/sarana budidaya yang dilakukan nelayan.
28
3) Pengaruh pada penentuan harga ikan: a. Pemberian harga ikan ditentukan oleh nelayan. b. Pemberian harga ikan ditentukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan sebelumnya. c. Pemberian harga ikan dilakukan oleh tengkulak dan nelayan tidak memiliki hak dalam menentukan harga. 4) Kewenangan tengkulak dalam menentukan jumlah hasil perikanan yang harus dihasilkan nelayan: a. Tengkulak tidak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan. b. Tengkulak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan, namun tidak memberikan sanksi/denda jika anda tidak mencukupi batas minimum tersebut. c. Tengkulak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan dan memberikan sanksi/denda jika anda tidak mencukupi batas minimum tersebut. 2. Tingkat ketergantungan merupakan hubungan yang terbentuk berdasarkan pengaruh patron terhadap usaha perikanan yang dilakukan klien. Semakin tinggi patron menggunakan pengaruh pada usaha klien, maka semakin tinggi tingkat ketergantungan klien terhadap patron. Skor dalam tingkat ketergantungan didapat melalui total skor yang diperoleh tiap responden pada tingkat pengaruh tengkulak (poin1). Tingkat ketergantungan ini dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1) Rendah (tingkat ketergantungan pada ikatan patron klien rendah dinyatakan dengan interval skor 4 – 6.67). 2) Sedang (tingkat ketergantungan pada ikatan patron klien sedang dinyatakan dengan interval skor 6.68 – 9.35). 3) Tinggi (tingkat ketergantungan pada ikatan patron klien tinggi dinyatakan dengan interval skor > 9.36).
29
Tabel 4. Definisi Operasional dan Skor Tingkat Pengaruh Patron-Klien Variabel 1) Pemberian pinjaman yang dilakukan tengkulak pada nelayan: a. Tengkulak tidak memberikan pinjaman baik berupa pinjaman harian maupun pinjaman sarana prasarana perikanan. b. Tengkulak memberikan pinjaman berupa sarana prasarana perikanan tangkap/budidaya. c. Tengkulak memberikan pinjaman harian serta sarana prasarana perikanan tangkap/budidaya dan pembayaran dilakukan setelah tangkapan/panen dihasilkan. 2) Pengaruh pada pemilihan alat tangkap/sarana budidaya: a. Tengkulak tidak memiliki pengaruh pada pemilihan alat tangkap/sarana budidaya yang dilakukan nelayan. b. Tengkulak memberi saran mengenai pemilihan jenis alat tangkap/sarana budidaya, namun keputusan tetap ada di nelayan. c. Tengkulak menentukan jenis alat tangkap/sarana budidaya yang dilakukan nelayan. 3) Pengaruh pada penentuan harga ikan: a. Pemberian harga ikan ditentukan oleh nelayan. b. Tengkulak memberi saran mengenai pemilihan jenis alat tangkap/sarana budidaya, namun keputusan tetap ada di nelayan. c. Pemberian harga ikan dilakukan oleh tengkulak dan nelayan tidak memiliki hak dalam menentukan harga. 4) Kewenangan tengkulak dalam menentukan jumlah hasil perikanan yang harus dihasilkan nelayan: a. Tengkulak tidak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan. b. Tengkulak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan, namun tidak memberikan sanksi/denda jika anda tidak mencukupi batas minimum tersebut. c. Tengkulak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan dan memberikan sanksi/denda jika anda tidak mencukupi batas minimum tersebut.
Skor Skor 1 Skor 2 Skor 3
Skor 1 Skor 2 Skor 3
Skor 1 Skor 2 Skor 3
Skor 1 Skor 2 Skor 3
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif
yang didukung
dengan data kuantitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini lebih banyak mengkaji mengenai institusi patron-klien yang ada dan melihat pengaruhnya pada pengelolaan sumberdaya pesisir. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang mementingkan diperolehnya informasi atau data dari subyek penelitian secara alamiah, berdasarkan pengalaman sosial mereka masing-masing, dan data yang didapatkan merupakan data deskriptif. Dalam pendekatan kualitatif, penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Metode studi kasus digambarkan sebagai suatu kesatuan dalam bentuk unit tunggal seperti misalnya individu, lembaga atau organisasi (Kusmayadi & Endar, 2000). Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendukung data kualitatif yang ada, karena terdapat beberapa variabel penelitian yang diukur secara kuantitatif. Untuk mendapatkan data kuantitatif, digunakan metode penelitian survei. Metode penelitian survei adalah penelitian dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel dengan menanyakan melalui angket atau wawancara supaya menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Koentjaraningrat, 1994).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kelurahan Pulau Panggang masuk dalam Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kelurahan Pulau Panggang mencakup 13 pulau kecil, yaitu Pulau Karang Beras, Pulau Air, Pulau Sekati, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Karya, Pulau Semak Daun, Pulau Karang Congkak, Pulau Kotok Besar, Pulau Kotok Kecil, Pulau Karang Bongkok, Pulau Opak Kecil dan Pulau
31
Peniki. Dari 13 pulau kecil tersebut, penelitian ini dilakukan di wilayah Pulau Panggang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pula pada mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar merupakan nelayan dan wilayah Pulau Panggang merupakan wilayah pesisir. Selain itu, Kepulauan Seribu juga merupakan wilayah Taman Nasional. Dari bentuk taman nasional tersebut dapat dilihat keterkaitan nelayan dalam institusi patron-klien yang ada dengan pengelolaan sumberdaya pesisir yang dijalankan. Waktu pengumpulan data tahap pertama dilakukan pada bulan September – Oktober 2010, pengumpulan data tahap kedua dilakukan pada bulan November Desember 2010. Sedangkan pengolahan data dan penulisan hasil laporan penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 - Januari 2011.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam, focus group discussion (diskusi kelompok terarah) dan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner. Teknik pertanyaan melalui kuesioner tersebut dilakukan dengan cara menanyakan langsung isi kuesioner kepada responden dalam wawancara tatap muka. Unit analisis pada penelitian ini adalah individu, yaitu nelayan sebagai responden penelitian. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik pengambilan sampel acak distratifikasi (stratified random sampling). Teknik ini digunakan karena karakteristik populasi yang didasarkan pada profesi masyarakat tidak homogen (Singarimbun dan Effendi, 2006). Populasi pada penelitian ini adalah penduduk Pulau Panggang yang bermatapencaharian sebagai nelayan (1722 orang). Mata pencaharian nelayan kemudian akan dibagi menjadi sub populasi berdasarkan jenis usaha perikanan yang dilakukan, yaitu: nelayan jaring muroami (706 orang), nelayan tangkap ikan hias (500 orang), nelayan tangkap bubu (174 orang), dan nelayan budidaya (280 orang). Oleh karena itu, kerangka sampling (sampling frame) pada penelitian ini adalah seluruh populasi nelayan yang terbagi atas empat jenis usaha perikanan
32
yang berbeda. Kemudian pengambilan sampel secara acak dilakukan pada setiap sub populasi. Responden merupakan orang-orang yang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 40 orang yang terdiri dari sepuluh orang nelayan jaring muroami, sepuluh orang nelayan tangkap bubu, sepuluh orang nelayan tangkap ikan hias dan sepuluh orang nelayan budidaya. Jumlah sampel tersebut diambil berdasarkan penggunaan Rumus Slovin. Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan angka kesalahan 0.16, diperoleh jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 sampel dari pembulatan hasil penghitungan sebesar 38.196. Berikut hasil penghitungan jumlah sampel dengan menggunakan Rumus Slovin: N
Keterangan:
n = -----------------1 + N(e)²
n = sampel N = populasi e = error/kesalahan
1722 n = ------------------1 + 1722 (0.16)² n = 38.196 dibulatkan menjadi 40 Penelitian ini menggunakan jumlah sampel yang diambil dari keseluruhan populasi nelayan. Akan menjadi lebih baik jika jumlah sampel diambil berdasarkan jumlah populasi pada tiap jenis usaha perikanan, dan menghasilkan jumlah sampel yang berbeda pada masing-masing usaha perikanan. Dengan demikian kemungkinan terjadinya bias informasi akan menjadi lebih sedikit. Informan merupakan seorang dari anggota kelompok yang dapat berbicara hanya semata-mata mengenai kelompok tersebut. Informan pada penelitian ini berasal dari berbagai kalangan mulai dari pemerintah daerah, petugas Balai Taman Nasional, tokoh masyarakat, nelayan, serta tengkulak.
Pemilihan informan
ditentukan dengan teknik bola salju. Teknik bola salju merupakan teknik dimana seorang subyek akan menunjukkan kepada peneliti subyek selanjutnya untuk
33
diwawancarai. Secara ringkas, metode pengambilan sampel pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
NELAYAN PULAU PANGGANG
NELAYAN JARING MUROAMI
NELAYAN TANGKAP BUBU
NELAYAN IKAN HIAS
NELAYAN BUDIDAYA
10 Responden
10 Responden
10 Responden
10 Responden
TOTAL : 40 Responden
Gambar 2. Metode Pengambilan Sampel Penelitian 3.4 Teknik Analisis Data Data kualitatif yang terkumpul dianalisis dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sedangkan data kuantitatif yang telah terkumpul dianalisis menggunakan tabulasi silang dan tabel frekuensi pada software SPSS for Windows versi 16.0 dan Microsoft Office Excel 2007. Data kuantitatif yang didapat digunakan untuk mendukung data kualitatif pada penelitian ini.
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1 Kondisi Geografis Kepulauan Seribu merupakan satu-satunya kabupaten yang terdapat di DKI Jakarta. Perubahan status kawasan Kecamatan Kepulauan Seribu yang terletak di Kotamadya Jakarta Utara menjadi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu ini dilakukan pada tahun 2001. Kabupaten tersebut dibagi menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, dengan pusat pemerintahan terletak di Pulau Pramuka. Pulau-pulau tersebut secara geografis dibagi atas empat kelurahan, yaitu Kelurahan Untung Jawa, Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Panggang, dan Kelurahan Pulau Kelapa. Pulau Panggang merupakan salah satu dari 106 gugusan pulau-pulau kecil yang menyebar dari utara ke selatan di sekitar Teluk Jakarta.
Secara administratif, Pulau Panggang masuk ke dalam wilayah
Kelurahan Pulau Panggang dimana terdapat pula 12 pulau lainnya yaitu, Pulau Pramuka, Karya, Kotok Kecil, Kotok Besar, Karang Bongkok, Gosong Pandan, Karang Congkak, Semak Daun, Gosong Balik Layar, Gosong Sekati, Peniki, Air Besar dan Opak Kecil. Hanya dua buah pulau yang dijadikan pemukiman masyarakat dari 13 pulau tersebut yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Pulau Panggang memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan Pulau Pramuka. Sedangkan jika dilihat dari pola penataan daerah, Pulau Pramuka memiliki pola penataan daerah yang lebih baik dibandingkan Pulau Panggang mengingat Pulau Pramuka berdiri sebagai Pusat Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu.
Sedangkan Pulau Karya yang terletak diantara Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, difungsikan menjadi rumah tinggal pegawai Suku Dinas Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dan pemakaman bagi masyarakat di pulau-pulau sekitar Pulau Karya. Batasan teritorial Kelurahan Pulau Panggang diatur berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1986/2000 tanggal 27 Juli
35
2000, tentang Pemecahan, Pembentukan, Penetapan Batas dan Nama Kelurahan di Kecamatan Kepulauan Seribu Wilayah Kotamadya Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta. Batasan Kelurahan Pulau Panggang adalah sebelah Utara 05’41’41” LS sampai dengan 05’41’41” LS, sebelah Selatan 106’44’50” BT, sebelah Barat 106’19’30” BT, sebelah Timur 05’47’00” LS sampai dengan 05’45’14” LS.
4.2 Sejarah Pulau Panggang Masyarakat Pulau Panggang memiliki cerita sejarah4 mengenai awal mula Pulau Panggang dihuni oleh masyarakat tersebut. Cerita tersebut disampaikan secara turun temurun sehingga terus diyakini masyarakat Pulau Panggang sampai saat ini. Masyarakat percaya bahwa dahulu pulau tersebut merupakan salah satu wilayah kekuasaan dari Ratu Cina dimana pusat kekuasaannya terletak di Pulau Karya (dahulu dikenal dengan Pulau Cina) yang letaknya tak jauh dari Pulau Panggang. Kekayaan kerajaan tersebut memancing kedatangan para bajak laut untuk merebut kekayaannya. Namun, karena kuatnya kerajaan tersebut, upaya bajak laut untuk menguasai kekayaan kerajaan sia-sia, dan untuk menghukum para bajak laut kerajaan memutuskan untuk membakar mereka hidup-hidup. Akhirnya dilakukanlah pembakaran para bajak laut secara besar-besaran, dan pulau yang berlokasi diseberang Pulau Karya dipilih menjadi lokasi pembakaran tersebut, dimana pulau tersebut sekarang dikenal dengan nama Pulau Panggang. Sejarah itulah yang melatarbelakangi penamaan Pulau Panggang, karena pulau tersebut digunakan sebagai tempat ‘memanggang’ para bajak laut. Setelah periode Kerajaan Cina usai, para pendatang yang diantaranya berasal dari suku Bugis, Banten, Mandar dan Tangerang, mulai menghuni pulau tersebut. Para penyebar agama Islam juga mendatangi dan menetap di pulau tersebut untuk menyiarkan dakwahnya, beberapa habib keturunan Arab merupakan penyebar Islam pertama di wilayah Pulau Panggang tersebut. Hal ini terbukti dari tersebarnya beberapa makam habib di beberapa wilayah Pulau Panggang. 4
Sejarah ini diperoleh melalui diskusi kelompok dengan masyarakat Pulau Panggang, yang terdiri dari tokoh masyarakat, nelayan, pegawai kelurahan, dan para Ibu Rumah Tangga.
36
4.3 Kondisi Sosial 4.3.1
Sistem Kekerabatan Masyarakat Pulau Panggang memiliki pola kekerabatan yang khas
mengingat
masyarakatnya
merupakan
masyarakat
campuran
pendatang
diantaranya dari Bugis, Banten, Mandar dan Tangerang. Banyaknya masyarakat Bugis ke pulau tersebut dilatarbelakangi oleh budaya masyarakat Bugis yang menjadikan laut sebagai sumber kehidupan mereka. Sedangkan kehadiran masyarakat Banten dan Tangerang didasari oleh kedekatan geografis Kepulauan Seribu dengan daerah tersebut. Kondisi Pulau Panggang yang jauh dari daratan dan pusat kota menyebabkan terjadinya banyak pernikahan sesama penduduk pulau yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda. Hal tersebut terus berlangsung hingga saat ini, sehingga mayoritas masyarakat Pulau Panggang kebanyakan tidak membedakan diri mereka dengan yang lainnya berdasarkan status etnis yang melekat pada diri mereka. Mereka sudah menganggap diri mereka sebagai ‘orang pulo5’ sehingga beberapa masyarakat bahkan kurang mengetahui secara pasti dari etnis mana mereka berasal. Seperti diungkapkan oleh seorang ibu TS (52 tahun) pada saat ditanya mengenai asal beliau dan suaminya, “Kalo udah tinggal disini udah jadi orang pulo mbak, tapi memang orangtua kami dulu ada yang dari Bugis ada juga yang dari Banten”.
Bercampurnya masyarakat dari berbagai suku tersebut membuat bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk setempat menjadi sangat khas. Interaksi masyarakat yang cukup lama tersebut menimbulkan percampuran bahasa yang digunakan sehari-hari. Logat yang digunakan menyerupai logat Bugis namun juga bercampur dengan logat Banten yang kental. Begitu pula mengenai suku kata yang digunakan yang juga merupakan campuran dari beberapa etnis tersebut. Masyarakat setempat menyebut bahasa yang mereka gunakan sebagai ‘bahasa pulo’. Ikatan kekerabatan yang terjadi di Pulau Panggang bisa dikatakan sangat erat. Eratnya hubungan kekerabatan ini menciptakan keharmonisan hubungan 5
Masyarakat Kepulauan Seribu menyebut kata ‘pulau’ dengan sebutan ‘pulo’. Hal ini berhubungan dengan logat yang mereka gunakan dalam bahasa sehari-hari.
37
sosial yang mereka lakukan. Kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada sesamanya juga menimbulkan rasa aman pada masyarakat. Jarang sekali ditemukan kasus pencurian ataupun kejahatan lainnya di pulau tersebut. Meskipun kadang tercipta pula beberapa konflik laten yang biasanya disebabkan oleh ketimpangan akses masyarakat terhadap modal perikanan. Konflik ini biasanya muncul karena banyaknya bantuan yang datang dari berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta dengan tujuan memajukan usaha perikanan budidaya yang sedang dikembangkan di pulau tersebut. Banyaknya bantuan yang datang tersebut tidak disertai dengan distribusi bantuan secara merata. Maka yang kemudian terjadi adalah isu yang berkembang di masyarakat bahwa beberapa orang melakukan monopoli terhadap bantuan yang datang dan hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati hal tersebut. Namun isu tersebut tidak sampai berkembang menjadi konflik terbuka, karena masyarakat masih merasa kurang pantas untuk bertikai dengan kerabat mereka sendiri.
4.3.2
Kepercayaan Lokal Agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat di wilayah
Pulau Panggang, tak dapat dipungkiri memberi pengaruh yang besar pada tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat setempat. Salah satu kepercayaan lokal yang sangat mencolok adalah larangan untuk menangkap ikan di laut pada hari Jumat. Hal ini terkait dengan kepercayaan warga yang sudah turun temurun bahwa hari Jumat adalah hari yang dikhususkan untuk beribadah. Nelayan yang biasanya menangkap ikan di laut memanfaatkan hari Jumat tersebut untuk beristirahat dan memperbaiki alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk melaut seperti memperbaiki kapal dan jaring. Kepercayaan lokal lainnya adalah ‘ngahol’6atau berdoa di makam habib yang terletak di beberapa wilayah Pulau Panggang. Pada ritual ‘ngahol’, umumnya kaum pria akan berjalan bersama untuk kemudian mendoakan habib yang dipercaya sebagai pelopor penyebar agama Islam di daerah tersebut. Selain ritual ‘ngahol’ ada pula kegiatan marowah yang dilakukan sebelum bulan Ramadhan. Pada kegiatan tersebut biasanya para anggota keluarga akan 6
Diambil dari istilah haul yang berarti mendoakan orang yang telah meninggal.
38
mengundang pemuka agama mendoakan keluarga mereka yang telah meninggal dan menyuguhi undangan tersebut dengan berbagai macam makanan kecil. Kegiatan marowah ini tidak mengharuskan keluarga untuk mengundang penduduk lainnya, beberapa penduduk hanya mengundang pemuka agama untuk mendoakan anggota keluarga yang telah meninggal dan memberikan makanan seadanya kepada pemuka agama tersebut.
4.4 Struktur Sosial dalam Usaha Perikanan 4.4.1
Jaringan Sosial Usaha perikanan merupakan mata pencaharian utama penduduk di Pulau
Panggang. Salah satu karakteristik dari usaha tersebut adalah terciptanya hubungan-hubungan sosial yang bertujuan untuk melancarkan usaha perikanan yang mereka jalankan. Hubungan sosial ini menjadi penting karena secara geografis Pulau Panggang berjarak cukup jauh dari pusat ibukota Jakarta dan usaha perikanan memiliki resiko yang tinggi. Pada masyarakat pesisir Pulau Panggang, pekerjaan sebagai nelayan dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu: nelayan tangkap dan nelayan budidaya. Nelayan tangkap melakukan aktivitasnya dengan cara mencari ikan secara langsung di laut, baik dengan menggunakan jaring, pancing, bubu, dan lain-lain. Sedangkan usaha perikanan budidaya merupakan usaha perikanan yang dilakukan oleh nelayan dengan cara pembiakan atau pembesaran biota laut, seperti: rumput laut, ikan, karang hias, dan lain-lain. Menurunnya hasil tangkapan di laut dan tingginya resiko perikanan tangkap membuat sebagian nelayan menjadikan perikanan budidaya sebagai alternatif bagi upaya pemenuhan ekonomi mereka. Dalam usaha perikanan yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat di Pulau Panggang, terbentuk jaringan sosial yang secara umum dapat ditemui di wilayah pesisir lainnya. Jaringan sosial tersebut tercipta dari hubungan antara tengkulak dengan nelayan. Hubungan khusus antara tengkulak dengan nelayan, secara sosiologi disebut sebagai hubungan patron-klien. Terbentuknya hubungan ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat setempat (Gambar 3).
39
PASAR
TENGKULAK Hasil Perikanan
Hasil Penjualan Ikan NELAYAN
Gambar 3. Jaringan Sosial antara Tengkulak dan Nelayan di Pulau Panggang Hubungan tengkulak dengan nelayan yang terbentuk di Pulau Panggang didasari oleh hubungan saling menguntungkan. Dalam hubungan tersebut, tengkulak memanfaatkan kemampuan nelayan dalam menyediakan hasil perikanan laut yang dibutuhkan oleh pasar. Sedangkan nelayan membutuhkan tengkulak untuk memasarkan hasil perikanan yang mereka dapatkan. Dalam hal ini, tengkulak biasanya memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kondisi pasar ikan dibandingkan nelayan. Pola hubungan antara tengkulak dan nelayan di Pulau Panggang berbedabeda tergantung dari jenis usaha perikanan yang dijalankan oleh masing-masing nelayan. Pada daerah tersebut, terdapat perbedaan antara nelayan tangkap dan budidaya seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Namun, dalam usaha perikanan tangkap pun dibedakan lagi menjadi tiga pola hubungan tengkulak dan nelayan. Pertama adalah pola hubungan pada tengkulak dan nelayan jaring muroami. Kedua, pola hubungan tengkulak dan nelayan bubu. Ketiga adalah pola hubungan tengkulak dan nelayan tangkap ikan hias.
4.4.2
Stratifikasi Sosial Dalam masyarakat terdapat sistem lapisan sosial yang secara sosiologi
dikenal sebagai stratifikasi sosial. Pada masyarakat pesisir stratifikasi sosial ini umumnya terjadi karena perbedaan akses individu terhadap sumberdaya. Individu yang lebih mudah aksesnya terhadap sumberdaya akan berada pada lapisan yang
40
lebih tinggi. Dalam hubungan sosial yang terjadi di masyarakat Pulau Panggang, maka stratifikasi sosial disebabkan oleh akses masyarakat yang berbeda terhadap sumberdaya pesisir yang merupakan sumberdaya utama masyarakat setempat. Akses masyarakat yang berbeda ini disebabkan oleh perbedaan kepemilikan modal pada tiap masyarakat. Adanya perbedaan kepemilikan modal (kapital) pada tiap individu yang berbeda menciptakan perbedaan pula pada kemampuan mereka dalam mengakses sumberdaya yang lain. Modal yang dimiliki individu tersebut dapat berupa modal fisik maupun non fisik. Modal fisik misalnya adalah perbedaan dalam kepemilikan sarana usaha perikanan seperti kapal motor, jaring, kompresor dan keramba budidaya. Pada masyarakat Pulau Panggang, nelayan yang memiliki modal berupa kapal motor, jaring muroami7 (kongsi) dan kompresor merupakan nelayan pemilik usaha perikanan di bidang jaring muroami. Pada jenis usaha tersebut, nelayan yang memiliki fasilitas untuk usaha jaring muroami bertindak langsung sebagai tengkulak. Karena nelayan pekerja yang meminjam fasilitas jaring muroami tersebut diharuskan untuk menyerahkan hasil perikanan yang mereka dapatkan kepada nelayan pemilik, untuk kemudian dijual oleh pemilik ke pasar di Jakarta. Kepemilikan modal lainnya yang juga menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat Pulau Panggang adalah kepemilikan keramba budidaya. Usaha perikanan budidaya saat ini sedang gencar dilakukan di pulau tersebut, namun dari mayoritas nelayan yang ada hanya sebagian kecil yang sudah terjun ke usaha budidaya perikanan. Hal ini dikarenakan untuk memulai usaha tersebut dibutuhkan modal yang cukup besar. Untuk memulai usaha tersebut dibutuhkan setidaknya dana sebesar 10.000.000,00 rupiah sampai 20.000.000,00 rupiah. Dana tersebut dibutuhkan untuk membeli bambu dan kayu sebagai bahan dasar keramba serta pembelian bibit ikan kerapu yang merupakan jenis ikan budidaya andalan pulau tersebut. Besarnya modal yang dibutuhkan untuk budidaya tersebut tentunya tidak dapat dijangkau oleh setiap masyarakat. Modal non fisik lainnya yang dimiliki misalnya, jejaring sosial yang dimiliki oleh nelayan. Jejaring sosial ini dapat membantu nelayan dalam mengembangkan usaha perikanan yang mereka lakukan. Umumnya, nelayan yang 7
Muroami (bahasa Jepang) berasal dari kata “muro” dan “ami”. Ami artinya alat sedangkan muro adalah sebangsa ikan Carangidae.
41
memiliki jaringan dengan pengusaha besar di daerah lain akan lebih mampu untuk mengendalikan harga ikan di pulau. Nelayan yang memiliki jaringan tersebut biasanya akan berperan sebagai tengkulak yang membawa hasil perikanan untuk dijual ke pasar di Jakarta. Modal non fisik lainnya yang berperan dalam menciptakan stratifikasi sosial adalah kemampuan teknis dalam mengelola usaha perikanan. Nelayan yang dapat mengembangkan usaha perikanan dengan sukses umumnya memiliki kemampuan mengelola usaha perikanan yang mereka lakukan, baik usaha perikanan tangkap maupun usaha perikanan budidaya. Kelompok selanjutnya setelah nelayan budidaya adalah nelayan pekerja kongsi (muroami). Nelayan pekerja kongsi merupakan nelayan yang mencari ikan dengan menggunakan jaring kongsi (muroami). Dalam pencarian ikan menggunakan jaring tersebut, dibutuhkan setidaknya 15-18 orang pekerja dalam satu kapal yang melaut. Nelayan-nelayan pekerja tersebut bekerja pada nelayan pemilik jaring. Jaring muroami tidak dapat dimiliki oleh setiap nelayan karena modal yang dibutuhkan untuk membeli peralatan jaring kongsi tersebut cukup besar, yaitu sekitar 100.000.000,00 rupiah. Jenis nelayan lainnya yang juga terdapat di Pulau Panggang adalah nelayan tangkap ikan hias. Usaha perikanan tangkap ikan hias ini tidak membutuhkan modal yang cukup besar. Karena untuk dapat menjalankan usahanya, nelayan cukup memiliki pancing ataupun tombak mandarin dan kapal motor. Nelayan tangkap ikan hias akan menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak ikan hias. Tengkulak ikan hias biasanya akan meminta nelayan untuk mencari jenis ikan hias tertentu sesuai permintaan pasar.
Nelayan Pemilik Jaring ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
Tengkulak Ikan Hias Tengkulak Budidaya Nelayan Budidaya Nelayan Pekerja Kongsi Nelayan Tangkap Ikan Hias Nelayan Tangkap Bubu
Gambar 4. Stratifikasi Sosial dalam Usaha Perikanan di Pulau Panggang
42
Maka stratifikasi sosial yang terdapat di Pulau Panggang dapat dibagi menjadi, nelayan pemilik jaring, tengkulak ikan hias, tengkulak budidaya, nelayan budidaya, nelayan pekerja kongsi, nelayan tangkap ikan hias dan nelayan bubu (Gambar 4). Stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Pulau Panggang ini dapat berubah. Hal ini dikarenakan sistem lapisan sosial yang terdapat pada masyarakat tersebut merupakan sistem lapisan sosial yang bersifat terbuka. Secara terbuka, sistem lapisan seperti ini memberi kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berusaha menjadi anggota dalam lapisan yang mereka kehendaki.
4.5 Kondisi Ekonomi 4.5.1 Mata Pencaharian Penduduk di Pulau Panggang mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, baik sebagai nelayan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Berdasarkan Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang tahun 2009 (Tabel 5), dapat dilihat bahwa 75,26 persen penduduk yang bekerja memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Hal tersebut disebabkan oleh masih melimpahnya sumberdaya alam laut yang tersedia di wilayah tersebut. Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Mata Pencaharian Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase
Pekerjaan Karyawan swasta/Pemerintah/ABRI Pedagang Nelayan Pensiunan Pertukangan Lain-lain Jumlah
Laki-laki
Perempuan
(dalam %)
297
51
348
15.21
95 1722 19 22 58
19 5 -
114 1722 24 22 58 2288
4.98 75.26 1.05 0.96 2.53 100
Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, 2009
Pada mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tersebut, sebagian besar diantaranya merupakan nelayan perikanan tangkap dan sisanya merupakan nelayan budidaya. Nelayan perikanan tangkap terdiri atas
43
beberapa jenis yaitu nelayan jaring muroami (kongsi), nelayan bubu, dan nelayan pancing ikan hias. Kondisi perikanan budidaya di Pulau Panggang pada saat ini cenderung meningkat dibandingkan sepuluh tahun terakhir. Budidaya perikanan yang pernah marak di pulau ini salah satunya adalah budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut mulai dikembangkan sejak tahun 1982. Kepulauan Seribu bahkan menjadi salah satu pemasok utama rumput laut di Indonesia. Namun sekitar tahun 2000 budidaya rumput laut tersebut mengalami keterpurukan. Penyakit menyerang tanaman rumput laut yang dikenal penduduk setempat dengan sebutan ‘ice-ice’8 dimana rumput laut yang dibudidaya berubah warna menjadi keputihan dan mati. Masyarakat menduga penyakit tersebut disebabkan oleh menurunnya kualitas air laut karena meningkatnya pencemaran dan perubahan kondisi alam itu sendiri. Setelah peristiwa tersebut terjadi, budidaya rumput laut perlahan-lahan ditinggalkan oleh nelayan dan nelayan kembali menangkap ikan di laut. Sekitar tahun 2005 masyarakat mulai mengenal budidaya kerapu. Ikan kerapu yang merupakan komoditas unggulan dibudidayakan pada awalnya dengan teknik yang relatif sederhana. Berkembangnya budidaya kerapu di Pulau Panggang dilatarbelakangi pula oleh program Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengalihkan profesi nelayan tangkap menjadi nelayan budidaya. Program tersebut dibuat mengingat semakin berkurangnya kuantitas ikan di laut lepas yang berpengaruh langsung terhadap menurunnya pendapatan nelayan tangkap. Sehingga perikanan budidaya yang dianggap sebagai usaha perikanan yang minim resiko dan ketidakpastian diupayakan sebagai mata pencaharian utama nelayan saat ini. Kondisi perikanan budidaya kerapu khususnya di Pulau Panggang, belum dapat dikatakan stabil. Sebagian besar nelayan budidaya kerapu belum dapat melakukan panen secara berkala. Panen dilakukan selama setahun sekali, sehingga masyarakat setempat menyebut usaha budidaya kerapu sebagai ‘tabungan lebaran’. Hal ini dikarenakan waktu penyebaran bibit kerapu dilakukan biasanya 8
Ice-ice merupakan penyakit rumput laut atau algae yang disebabkan oleh perubahan lingkungan dan bakteri seperti pseudoalteromonas gracilis, pseudomonas spp dan vibrio spp. Pemicu utamanya adalah perubahan lingkungan yang mendadak. Munculnya penyakit ice-ice ini ditandai dengan timbulnya bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya akan menjadi putih.
44
pada bulan puasa, sehingga panen pun akan dilakukan pada bulan puasa berikutnya dimana hasil panen yang cukup besar tersebut akan digunakan sebagai ‘modal lebaran’. Belum berkalanya panen yang dilakukan oleh nelayan budidaya kerapu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurangnya pengetahuan nelayan mengenai teknik budidaya dan kurangnya modal serta ketersediaan bibit ikan kerapu. Telah banyak program pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk membantu nelayan dalam upaya mengembangkan budidaya kerapu tersebut, namun rendahnya keberlanjutan dalam keberlangsungan program menjadi permasalahan utama dalam upaya tersebut. Sebagian masyarakat beranggapan, program yang telah ada diberikan tanpa mengupayakan sisi pengembangan masyarakat di Pulau Panggang. Maka yang terjadi kemudian adalah berhentinya program pengembangan usaha budidaya setelah pihak pemberi bantuan tidak lagi memberikan bantuan baik berupa sarana prasarana maupun pendampingan.
4.5.2
Pendapatan Penduduk Nelayan memiliki karakteristik pendapatan yang sangat fluktuatif. Hal ini
dikarenakan pendapatan yang diperoleh oleh nelayan sangat bergantung pada kondisi alam. Masyarakat Pulau Panggang mengenal dua musim dalam melaut, yaitu musim Barat dan musim Timur. Musim Barat biasanya berlangsung pada bulan Januari hingga bulan Mei, sedangkan Musim Timur berlangsung pada bulan Juni hingga Desember (Tabel 6). Namun penentuan musim berdasarkan hitungan bulan tersebut saat ini sulit untuk diprediksi. Memburuknya kondisi alam saat ini juga berpengaruh pada arah angin laut yang menjadi dasar penentuan musim tersebut. Saat ini arah angin ke Barat ataupun ke Timur dapat berubah-ubah hanya dalam hitungan hari. Hal ini membuat nelayan kesulitan dalam memprediksi kondisi laut. Pada nelayan tangkap bubu dan jaring muroami, ikan yang didapat diharga per kilogramnya dengan harga 11.000,00 rupiah. Sedangkan pada nelayan tangkap ikan hias ikan dihargai per ekornya dengan harga 500,00 rupiah sampai 1.000,00 rupiah tergantung dari jenis ikan hias yang didapat.
45
Tabel 6. Tabel Musim Melaut dan Jenis Ikan Musim Barat Timur
Jenis Ikan Bandeng
01
02
03
04
05
√
√
√
√
√
06
Bulan 07
08
09
10
11
12
√
√
√
√
√
√
√
Tongkol, Tenggiri, Teri
Pada nelayan perikanan budidaya, keterampilan dan pengetahuan nelayan mengenai teknik budidaya sangat berpengaruh pada pendapatan yang mereka dapatkan di setiap panen yang mereka lakukan. Mayoritas nelayan perikanan budidaya kerapu hanya dapat melakukan panen setahun sekali dengan hasil panen sebesar 5.000.000,00 rupiah sampai 10.000.000,00 rupiah. Besarnya hasil panen tersebut sangat bergantung pada jumlah bibit ikan yang disebar oleh nelayan di keramba yang mereka miliki. Umumnya nelayan di Pulau Panggang menyebar bibit sebanyak 150 sampai 300 ekor per kotak keramba. Bibit yang telah disebar tersebut biasanya tidak seluruhnya dapat dipanen, karena yang biasanya terjadi adalah terdapat beberapa ikan yang kemudian mati ataupun cacat. Tentunya tingkat
keberhasilan
pengembangan
bibit
ini
bergantung
pada
tingkat
pengetahuan dan keterampilan nelayan mengenai budidaya, khususnya budidaya kerapu. Tidak hanya pada nelayan perikanan tangkap, kondisi alam pun sangat mempengaruhi keberhasilan budidaya yang dilakukan oleh nelayan Pulau Panggang. Kualitas air laut yang saat ini semakin memburuk seiring bertambahnya pencemaran di Pulau Panggang membuat ketahanan hidup ikan kerapu semakin menurun. Hal tersebut berdampak pada menurunnya hasil panen nelayan budidaya. Berdasarkan pengamatan dan informasi yang didapat dari berbagai informan, masyarakat Pulau Panggang dapat dikatakan sebagai masyarakat yang konsumtif. Hal ini dapat dilihat dari perilaku konsumsi masyarakat setempat. Masyarakat di daerah tersebut umumnya lebih menyenangi membeli makanan di warung terdekat dibandingkan dengan memasak sendiri karena membeli makanan jadi dianggap lebih praktis.
46
Kondisi perumahan di Pulau Panggang juga menjadi indikator tingginya perilaku konsumsi masyarakat. Berdasarkan pengamatan, tidak terdapat perumahan warga yang berada dalam kondisi yang buruk seperti yang biasa kita jumpai pada daerah pesisir. Kondisi perumahan warga dapat terbilang cukup baik. Walaupun di beberapa rumah tidak ditemui adanya jamban, namun hal tersebut mereka lakukan bukan karena ketidakmampuan secara ekonomi namun lebih kepada kebiasaan mereka untuk menggunakan beberapa jamban umum yang tersedia di beberapa titik di pinggir laut. 4.6 Kependudukan Dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu, Pulau Panggang merupakan pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi. Jumlah penduduk di Pulau Panggang hingga tahun 2009 adalah sebesar 4075 jiwa (Tabel 7). Jumlah tersebut cukuplah tinggi mengingat luas wilayah Pulau Panggang hanya sebesar 62,10 ha. Penyebab tingginya jumlah penduduk di wilayah ini salah satunya adalah terjadinya perkawinan antar penduduk Pulau Panggang itu sendiri. Faktor lain yang menyebabkan tingginya jumlah penduduk adalah cukup banyaknya pendatang dari daerah lain yang kemudian menetap di pulau ini. Biasanya pendatang tersebut pindah ke Pulau Panggang untuk kemudian membuka berbagai macam usaha kecil. Tabel 7. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Rukun Warga (RW) RW 01 02 03 Jumlah
Jumlah
Total
Laki-laki
Perempuan
727 689 663 2079
718 678 600 1996
1445 1367 1263 4075
Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, 2009
4.6.1
Pendidikan Pulau Panggang telah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam
bidang pendidikan jika dibandingkan dengan sepuluh tahun silam. Peningkatan jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan wajib sembilan tahun cukup signifikan, ditambah peningkatan lulusan perguruan tinggi dari wilayah tersebut.
47
Hal tersebut sebagian disebabkan oleh tingginya perhatian pihak pemerintah maupun organisasi non pemerintah pada kondisi pendidikan khususnya di Pulau Panggang. Permasalahan yang perlu diperhatikan dalam kondisi pendidikan di Pulau Panggang adalah pengorganisasian lulusan-lulusan Pulau Panggang untuk pemberdayaan wilayah tersebut. Berdasarkan Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, terdapat 103 penduduk lulusan perguruan tinggi (Tabel 8). Lulusan perguruan tinggi di pulau tersebut yang kemudian menjadi pengangguran menjadi permasalahan utama bagi masyarakat. Padahal perkembangan pesat yang sedang dialami daerah tersebut tentunya membutuhkan banyak tenaga terampil lokal. Masyarakat beranggapan, pemerintah daerah tidak memanfaatkan tenaga terampil lokal. Tabel 8. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan Pendidikan
Jenis Kelamin
Jumlah
Lakilaki 20
Perempuan 22
42
Tamat SD
370
318
688
Tamat SMP
180
130
310
Tamat SMA
140
145
285
Tamat Perguruan Tinggi
66
37
103
Tidak Tamat SD
Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, 2009
Hal ini dapat terlihat dari beberapa staf kabupaten di daerah tersebut masih berasal dari luar daerah. Padahal jika dilihat kedalam, cukup banyak tenaga terampil lokal yang dapat dimanfaatkan keterampilannya. Pemanfaatan tenaga terampil lokal tersebut dapat mengefisienkan kinerja pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan
tidak
diperlukannya
biaya
operasional
yang
terlalu
besar
dibandingkan jika pemerintahan merekrut tenaga luar daerah untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Jika dilihat dari tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan, dapat dikatakan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi. Masyarakat sudah memiliki anggapan bahwa pendidikan sudah harus dimulai sejak usia dini. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas balita di daerah tersebut sudah disertakan pada sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang kini keberadaannya sedang berkembang dengan baik.
48
Tabel 9. Jumlah Ketersedian Sarana Pendidikan Menurut Tingkat Pendidikan Jenis Pendidikan
Negeri
Swasta
Gedung
Sekolah
Guru
Murid
Gedung
Sekolah
Guru
Murid
Kelompok Bermain
-
-
-
-
-
3
20
96
TK
-
1
2
32
3
3
15
184
SD
3
3
45
752
-
MI
-
1
15
66
2
2
15
170
SMP
1
1
20
373
-
-
-
-
MTs
-
1
16
55
-
-
-
-
SMA
1
1
30
462
-
-
-
-
Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, 2009
Salah satu penyebab meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan adalah bergesernya pola pikir masyarakat mengenai profesi sebagai nelayan. Pada kurun waktu sepuluh tahun silam, masyarakat masih memiliki pandangan bahwa pekerjaan sebagai nelayan jauh lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pekerjaan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dikarenakan pendapatan yang didapat dari pekerjaan sebagai nelayan jauh lebih besar walaupun besarnya pendapatan tersebut tidak dapat diprediksi. Saat ini, masyarakat memiliki pola pikir bahwa pekerjaan sebagai PNS jauh lebih menjanjikan dibandingkan nelayan. Besaran pendapatan yang pasti dan berbagai tunjangan yang didapat tentunya lebih menguntungkan dibandingkan pekerjaan sebagai nelayan yang pendapatannya bergantung pada kondisi alam.
4.6.2
Kesehatan Wilayah Pulau Panggang yang merupakan pulau yang paling padat
penduduknya diantara pulau lain di Kepulauan Seribu, membuat wilayah ini memiliki penataan dan kebersihan wilayah yang kurang baik jika dibandingkan dengan pulau lain. Permasalahan ini kemudian berdampak pada memburuknya kondisi kesehatan masyarakat setempat. Hal tersebut diperburuk pula oleh kebiasaan masyarakat untuk membuang limbah rumah tangga mereka langsung ke laut. Padahal telah banyak dicanangkan program-program pengolahan limbah rumah tangga oleh pemerintah daerah. Kebiasaan masyarakat lainnya yang sulit untuk diubah adalah pembuangan limbah manusia yang masih dilakukan di tepi laut. Padahal mayoritas rumah
49
warga telah dilengkapi dengan fasilitas WC didalamnya. Untuk menyikapi hal tersebut, pemerintah setempat membuat fasilitas WC terapung di beberapa titik di tepian pulau. Namun, masih banyak warga yang lebih memilih untuk melakukan pembuangan limbah manusia ditempat selain WC terapung tersebut, dengan anggapan lebih praktis dan dekat dengan tempat tinggal mereka. Tabel 10. Jumlah Ketersediaan Sarana Kesehatan Jenis Sarana
Jumlah
Daya Tampung
Puskesmas Pos Kesehatan
1 buah 1 buah
17 orang 5 orang
Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, 2009
Fasilitas kesehatan yang didapat oleh masyarakat Pulau Panggang dapat dikatakan sangat baik. Pada Pulau Panggang, terdapat satu buah Puskesmas dan satu buah pos kesehatan (Tabel 10). Puskesmas yang terdapat di Pulau Panggang memiliki sarana yang cukup lengkap, karena didalamnya terdapat tenaga medis seperti dokter umum, bidan, dan ahli gizi (Tabel 11). Kegiatan kesehatan seperti Posyandu juga berpusat di Puskesmas tersebut. Namun, kegiatan Posyandu yang diadakan rutin setiap bulan seperti penimbangan balita, pemberian makanan bergizi, dan pemantauan kondisi balita gizi kurang dilakukan di tiap-tiap Posyandu yang tersebar di setiap RW. Tabel 11. Jumlah Karyawan Tenaga Medis Karyawan Tenaga Medis Dokter Umum Para Medis Bidan Dukun Bayi Karyawan Non Medis Ahli Gizi Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, 2009
Jumlah 1 orang 4 orang 2 orang 2 orang 4 orang 1 orang
Terdapat perubahan kualitas kesehatan ke arah yang kurang baik, jika dilihat dari segi penyakit yang diderita warga. Hal ini dikarenakan, terjadinya peningkatan jumlah warga yang menderita penyakit degeneratif, seperti diabetes, kanker, kolesterol, dan lain-lain. Padahal dalam kurun waktu sepuluh tahun
50
sebelumnya, penyakit tersebut jarang sekali diderita oleh warga setempat. Penyebab terjadinya permasalahan tersebut dianggap sebagai akibat pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat yang kurang sehat.
BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR
5.1 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Pulau Panggang Pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan sumberdaya pesisir sangat rentan dan sensitif terhadap perubahan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan lingkungan yang bersifat alamiah ataupun faktor manusia yang merupakan variabel penting dalam penentuan status pemanfaatan dan potensi sumberdaya perikanan. Terdapat dua aturan yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya pesisir pada wilayah Kepulauan Seribu, khususnya Pulau Panggang, yaitu aturan pemerintah dan aturan lokal. Aturan pemerintah merupakan seperangkat aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kementerian Kehutanan yang membawahi langsung Taman Nasional Kepulauan Seribu. Sedangkan aturan lokal adalah seperangkat aturan yang dibentuk oleh masyarakat baik dalam proses pembuatan, pelaksanaan, maupun pengawasan. Aturan lokal ini biasanya dibentuk berdasarkan pengetahuan lokal yang diperoleh masyarakat setempat secara turun temurun ataupun berdasarkan pengalaman mereka setelah sekian lama berinteraksi dengan lingkungan setempat.
5.1.1
Aturan Pemerintah Pulau Panggang merupakan salah satu gugusan pulau yang terdapat di
Kepulauan Seribu dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional9 Kepulauan Seribu. Kawasan tersebut mulai ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu sejak tahun 1995. Masuknya wilayah tersebut menjadi kawasan taman nasional membuat diberlakukannya beberapa aturan yang dibuat oleh pemerintah yang bertujuan untuk menjaga kelestarian ekologis wilayah tersebut. 9
Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang No. 5 Tahun 1990).
52
Oleh karena otoritasnya berada di tangan pemerintah, semua tahapan dan komponen pengelolaan sumberdaya pesisir mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh pemerintah. Berbagai kebijakan dan perundangan telah dibuat dan diberlakukan terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. Dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWPPPK), pemerintah mengalokasikan ruang perairan pesisir untuk dimanfaatkan, direhabilitasi dan dikonservasi, termasuk didalamnya pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Dalam UU PWP-PPK juga disebutkan pemberian hak masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir. Aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir di Pulau Panggang utamanya mengenai pembagian zonasi laut10, perlindungan terhadap beberapa jenis ikan dan biota laut yang sudah dianggap langka, pengambilan terumbu karang dan pasir laut serta larangan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang berbahaya bagi ekologi pesisir11. Pengawasan dan sanksi hukum yang diberikan kepada nelayan yang menggunakan potasium juga sangat ketat dilaksanakan. Seperti yang diungkapkan oleh DD (47 tahun) yang sempat menggunakan potasium, “Dulu saya dikejar-kejar sama polisi laut gara-gara pake portas (potasium), sampe dibawa ke kantor polisi di Jakarta. Disana dinasehatin kalo pake portas itu bahaya buat laut, kita disuruh janji buat ga pake portas lagi. Kapok juga sih”.
Berbagai aturan dan larangan yang ada tersebut pelaksanaan serta pengawasannya dilakukan oleh pihak Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKPS). Pada pengenalan berbagai aturan tersebut, pihak TNKPS terjun langsung ke masyarakat untuk mensosialisasikan berbagai peraturan yang ada. Sedangkan dalam tahap pengawasan, TNKPS telah memiliki petugas-petugas 10
Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir (Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). 11 Lihat Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 35.
53
polisi air dan laut (biasa disebut polairut) yang bertugas mengawasi keadaan wilayah Kepulauan Seribu dan mengawasi pula kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Petugas polisi air dan laut juga melakukan pengawasan ekstra pada zona-zona perlindungan. Sehingga dengan melihat keberadaan petugas tersebut, nelayan dapat mengetahui bahwa wilayah tersebut terlarang untuk kegiatan penangkapan ikan. Selain keberadaan petugas polisi air dan laut, TNKPS yang berada di bawah Kementerian Kehutanan juga menempatkan rambu-rambu peringatan pada zona-zona12 tersebut. Pembagian zonasi berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut13: 1) Zona Inti Taman Nasional (4.449 Ha) adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. 2) Zona Perlindungan Taman Nasional (26.284,50 Ha) adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional. 3) Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional (59.634,50 Ha) adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. 4) Zona Pemukiman Taman Nasional (17.121 Ha) adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk masyarakat. Pembagian zonasi tersebut menetapkan wilayah Pulau Panggang sebagai zona pemanfaatan tradisional yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat lokal dengan cara penangkapan tradisional yang tidak merusak ekosistem laut (Lampiran 1). Berbagai aturan yang diberlakukan di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu tersebut dibentuk oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan partisipasi dari masyarakat setempat. Maka yang terjadi kemudian adalah kurangnya pemahaman masyarakat akan peraturan-peraturan yang ada dan 12
Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya (Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). 13 Buku Informasi Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (1999/2000).
54
berdampak pula pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut. Tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan aturan tersebut juga berarti pengabaian terhadap pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat setempat mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir.
5.1.2
Aturan Lokal Interaksi antara manusia dengan alam yang telah berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup lama akan menghasilkan bermacam pengetahuan yang berkaitan dengan cara hidup manusia dengan alamnya. Hal tersebut juga berlaku pada masyarakat Pulau Panggang yang selama ini menggantungkan kehidupan mereka pada kondisi laut. Sikap tunduk dan selaras pada alam merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat pesisir. Sehingga umumnya sistem pengetahuan yang mereka miliki berasal dari informasi yang disampaikan secara turun temurun ataupun pengalaman empiris. Berdasarkan pengetahuan tersebut, terbentuklah beberapa aturan yang tercipta dari masyarakat Pulau Panggang. Terbentuknya aturan tersebut dipengaruhi pula oleh terjadinya beberapa perubahan pada kegiatan perikanan yang dilaksanakan oleh nelayan setempat. Aturan lokal yang terdapat di Pulau Panggang yang berkaitan dengan kegiatan perikanan yang nelayan setempat lakukan dan berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya pesisir antara lain: pertama, adanya larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut pada hari Jumat. Mayoritas penduduk yang beragama Islam menjadikan aturan ini melekat pada kegiatan perikanan yang masyarakat jalankan. Menurut masyarakat setempat hari Jumat adalah hari yang dikhususkan untuk beribadah. Sehingga pada hari tersebut, nelayan yang biasanya pergi melaut pada pagi hari hingga sore hari akan menggunakan waktunya untuk memperbaiki alat-alat yang digunakan pada kegiatan perikanan yang mereka lakukan. Kebiasaan untuk tidak melaut pada hari Jumat ini juga berdampak baik bagi lingkungan, karena memberikan sedikit waktu bagi pemulihan kondisi alam. Kedua, adanya larangan yang ditegakkan oleh nelayan setempat untuk tidak menggunakan potasium dan bom pada kegiatan perikanan yang mereka
55
lakukan. Larangan ini dibentuk atas kesadaran masyarakat setempat akan bahaya penggunaan potasium dan bom bagi keberlangsungan ekologi laut. Seperti yang diungkapkan oleh AS (50 tahun) seorang nelayan setempat, “Udah haram pake portas (potasium) sekarang. Bahaya buat laut, karang pada rusak, anak ikan pada mati. Makan apa anak cucu kita nanti kalo ikan di laut habis?”.
Selain kesadaran masyarakat yang tinggi akan bahaya penggunaan potasium, banyak masyarakat setempat yang beranggapan bahwa solusi terbaik untuk menghilangkan penggunaan potasium adalah dengan menghentikan produksi potasium itu sendiri. Seperti ungkapan SN (47 tahun), “Kalo mau ngilangin portas (potasium), tutup aja pabriknya. Kalo masih diproduksi terus, nelayan juga mau gak mau make portas”.
Penggunaan potasium memang sempat marak dilakukan oleh nelayan setempat pada kurun waktu 1980an. Dalam kurun waktu tersebut, potasium digunakan oleh mayoritas nelayan setempat. Pada periode 1990an, potasium mulai dikurangi penggunaannya karena sosialisasi akan bahaya penggunaan potasium mulai gencar dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan nelayan setempat umumnya tidak menggunakan bom pada kegiatan perikanan tangkap yang mereka lakukan. Penggunaan bom di wilayah perairan setempat dilakukan oleh nelayan pendatang yang berasal dari daerah lain. Namun saat ini, nelayan pendatang yang menggunakan bom pada kegiatan perikanan tangkap sudah jarang ditemukan pada wilayah perairan Kepulauan Seribu. Tabel 12. Bentuk-Bentuk Aturan Lokal Masyarakat Pulau Panggang dan Tujuannya Aturan Lokal Larangan melaut pada hari Jumat.
Tujuan Waktu khusus yang digunakan untuk beribadah.
Larangan penggunaan potasium dan bom pada kegiatan perikanan.
Perlindungan terhadap ekosistem laut.
Pemetaan wilayah untuk lokasi keramba budidaya (dalam proses)
Kerapihan wilayah dan kesadaran keterbatasan daya dukung lingkungan.
terhadap
Mulai berkembangnya budidaya ikan kerapu dengan sarana budidaya berupa keramba apung juga menimbulkan kesadaran masyarakat setempat untuk
56
melakukan pengelolaan dalam penempatan keramba budidaya tersebut (Tabel 12). Saat ini, belum ada aturan mengenai penempatan keramba budidaya. Kerambakeramba apung yang ada ditempatkan secara bebas oleh nelayan. Penempatan keramba yang tidak teratur tersebut membuat wilayah perairan Pulau Panggang terlihat kumuh dan tidak tertata. Masyarakat setempat memiliki ide untuk membuat pemetaan keramba yang telah ada dan membuat peraturan terkait lokasi dan penempatan keramba yang diperbolehkan. Hal tersebut didasari oleh kesadaran warga akan daya dukung laut yang memiliki keterbatasan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang nelayan budidaya RY (45 tahun), “Kalo terlalu banyak keramba di satu tempat aja, air laut jadi tidak bagus untuk ikan, makanya harus ada aturan untuk lokasi keramba”.
Pembuatan aturan ini masih merupakan inisiatif dari sebagian besar masyarakat setempat, namun masyarakat telah berencana untuk meminta bantuan pemerintah dan lembaga penelitian untuk kemudian melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana kondisi air laut di wilayah perairan setempat terkait dengan penggunaan keramba apung pada usaha perikanan budidaya yang mereka jalankan.
5.2 Relasi antara Rezim Pemerintahan dan Rezim Masyarakat pada Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Pulau Panggang Terdapat sebuah keterkaitan antara peraturan yang berasal dari pemerintah dan peraturan lokal yang berasal dari masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Panggang. Aturan dari pemerintah yang menetapkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai kawasan taman nasional didasari oleh Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/1995 tanggal 21 Maret 1995 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu.
Penetapan
kawasan Kepulauan Seribu sebagai taman nasional didukung dengan adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-PPK).
57
Pada UU PWP-PPK Pasal 35 terdapat aturan mengenai larangan penggunaan alat tangkap berbahaya. Aturan ini sejalan dengan adanya aturan lokal yang melarang penggunaan potasium pada kegiatan perikanan nelayan Pulau Panggang. Serta sejalan pula dengan UU No. 5 Tahun 1990 pasal 5 mengenai kegiatan konservasi alam melalui pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya14 (Gambar 5). Hubungan antara kedua aturan yang berasal dari pemerintah dan masyarakat ini dapat saling mendukung dalam upaya pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. UU No. 5 Tahun 1990
UU No. 27 Tahun 2007
Aturan Lokal
Pemegang Hak
Pemerintah
Pemerintah
Masyarakat
Dasar Peraturan
Peraturan Formal
Peraturan Formal
Kebijakan Lokal
Isi Peraturan
Otoritas
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pengelolaan Wilayah Pesisir diantaranya meliputi zonasi dan larangan penggunaan alat tangkap berbahaya.
Larangan Penggunaan Potasium dan Larangan Melaut pada hari Jumat.
Pemerintah
Pemerintah
Masyarakat
Gambar 5. Relasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Relasi antara rezim pemerintah dan masyarakat dapat pula menghasilkan sebuah hubungan yang negatif jika terdapat aturan yang saling meniadakan satu dengan lainnya. Untuk menghindari hal tersebut, pemerintah sebagai pembuat 14
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Pasal 5 berbunyi: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
58
aturan formal sebaiknya menyertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan
yang
terkait
dengan
pengelolaan
sumberdaya
pesisir.
BAB VI POLA HUBUNGAN PATRON-KLIEN
6.1 Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Tangkap Mata pencaharian sebagai nelayan tangkap masih menjadi pilihan utama masyarakat Pulau Panggang. Melimpahnya sumberdaya perikanan yang terdapat di Kepulauan Seribu membuat masyarakat sulit untuk berpindah ke profesi yang lain. Namun demikian, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, terjadi penurunan hasil tangkapan yang cukup signifikan. Meskipun hal tersebut berpengaruh besar pada keadaan ekonomi masyarakat setempat, masyarakat masih sulit untuk beralih ke profesi lain karena mata pencaharian sebagai nelayan tangkap telah membudaya pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Usaha perikanan tangkap telah mengalami perkembangan sejak Pulau Panggang menjadi wilayah pemukiman penduduk. Pada awalnya, nelayan setempat masih menggunakan pancing sederhana, bubu, jaring tangsi dan perahu layar. Wilayah jangkauan nelayan untuk melakukan penangkapan ikan juga umumnya belum terlalu jauh, karena ikan-ikan masih dapat dengan mudah dijumpai di sekitar Pulau Panggang. Meningkatnya jumlah penduduk di wilayah tersebut dan tingginya tingkat polusi baik yang berasal dari daerah lain ataupun limbah rumah tangga pulau, menjadi salah satu penyebab dalam menurunnya persediaan ikan di lautan. Seperti yang dikemukakan oleh JN (64 tahun) seorang tokoh masyarakat di wilayah tersebut, “Jaman dulu mah beda, tinggal mancing di pinggir juga sudah dapat banyak ikan, kita gak perlu melaut jauh-jauh. Tidak seperti sekarang”.
Pada kurun waktu 1970-an perahu motor dengan kapasitas kecil mulai digunakan oleh beberapa nelayan setempat. Penggunaan perahu motor ini membuat nelayan-nelayan setempat dapat menjangkau wilayah tangkapan yang lebih jauh. Pada kurun waktu tersebut, tidak terdapat perubahan yang cukup signifikan dalam penggunaan alat tangkap oleh nelayan. Hingga pada periode
60
1980-an, penggunaan potasium15 atau lebih dikenal masyarakat setempat dengan sebutan portas mulai marak digunakan sebagai alat bantu nelayan dalam menangkap ikan (Tabel 13). Tabel 13. Periodisasi Jenis Alat Tangkap atau Sarana Perikanan di Pulau Panggang Jenis Alat Tangkap/Sarana Perikanan Pancing Bubu Jaring Tangsi Perahu Layar Perahu Motor Kecil Perahu Motor Besar Potasium Jaring Muroami Bubu Kawat Sonar Ikan Tombak Mandarin
Tahun 1970
1980
1990
2000
2010
√ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √ √
√ √
√ √
√ √ √
√ √ √ √
Penggunaan potasium ini membahayakan bagi keberlangsungan hidup biota laut. Potasium ini digunakan dalam berbagai cara yang berbeda. Pertama, adalah dengan melarutkan potasium tersebut dan menempatkannya pada alat semprot, potasium semprot tersebut kemudian disemprotkan pada terumbu karang yang merupakan tempat berlindung ikan laut. Kemudian ikan-ikan yang berada di dalam terumbu karang yang sulit dipancing akan keluar dari terumbu karang dalam keadaan pingsan. Ikan yang pingsan tersebut kemudian akan sadar, dan dapat dijual kembali dalam keadaan segar. Hal tersebut berlaku untuk ikan dalam ukuran tubuh relatif besar. Sedangkan akan berdampak mematikan pada ikan-ikan kecil dan terumbu karang itu sendiri. Cara kedua adalah dengan memasukkan potasium yang telah dihaluskan sehingga menjadi bubuk untuk kemudian dimasukkan pada badan ikan kecil yang telah dipotong. Ikan-ikan yang telah dimasukkan potasium didalamnya tersebut
15
Potasium Sianida atau lebih dikenal sebagai potasium, merupakan bahan kimia berbahaya yang biasa digunakan pada industri pertambangan emas yang berfungsi untuk memisahkan bulir-bulir emas dari batuan dan tanah. Sianida sendiri berwujud gas, namun umumnya dijumpai di pasaran dalam bentuk tepung atau bubuk mirip garam berkat campuran potasium (Na) sehingga membentuk Kristal garam (NaCN).
61
kemudian dilemparkan ke laut agar kemudian dimakan oleh ikan-ikan besar yang biasa menjadikan ikan-ikan kecil tersebut sebagai makanannya. Cara ketiga merupakan cara yang lebih sederhana namun berdampak lebih buruk terhadap ekosistem laut. Potasium yang ada akan dihancurkan dan disebarkan langsung ke laut. Hal ini akan membuat banyak ikan pingsan dan mati, sehingga nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang besar. Namun, pada saat itu nelayan belum menyadari bahwa potasium merupakan alat bantu penangkapan yang dapat berakibat buruk pada keseluruhan biota laut. Potasium yang larut didalam laut akan berdampak mematikan pada ikan-ikan kecil dan terumbu karang. Hal tersebut tentunya berpengaruh langsung pada kelangkaan dan penurunan kuantitas ikan dan terumbu karang di kawasan tersebut. Jaring muroami atau yang biasa disebut masyarakat setempat jaring kongsi mulai digunakan oleh nelayan setempat pada periode 1990-an. Jaring muroami merupakan alat penangkapan ikan yang mampu menjaring banyak ikan sekaligus. Jaring ini dipakai dengan teknik selam menggunakan kompresor. Teknik perikanan tangkap kemudian berkembang kembali pada sekitar tahun 2000-an. Pada kurun waktu tersebut, nelayan mulai mengembangkan pembuatan bubu menggunakan kawat. Teknik penangkapan ikan menggunakan bubu ini sudah ada sejak lama. Pada saat itu bahan dasar pembuatan bubu masih menggunakan bambu. Teknik pembuatan bubu menggunakan kawat ini dikembangkan karena bubu dengan bahan dasar bambu tidak memiliki ketahanan yang cukup lama, mengingat bubu tersebut ditempatkan di bawah laut. Bubu kawat ini memiliki ketahanan yang lebih lama dibandingkan bubu yang terbuat dari bambu. Selain bubu kawat, usaha perikanan tangkap di Pulau Panggang tersebut juga saat ini banyak dibantu oleh alat pemindai lokasi ikan di laut atau biasa disebut masyarakat setempat sebagai sonar. Sonar ini digunakan untuk mendeteksi keberadaan ikan di laut sehingga nelayan dapat dengan mudah memilih lokasi penangkapan ikan. Usaha perikanan hias juga mengalami perkembangan jenis alat tangkap. Jenis alat tangkap yang baru-baru ini dikenal oleh masyarakat setempat adalah alat tangkap ikan hias yang biasa disebut oleh masyarakat setempat sebagai tombak mandarin. Alat tersebut berbentuk tombak dengan mata pisau yang tipis yang biasa digunakan untuk menangkap ikan hias mandarin, sehingga alat tersebut
62
disebut tombak mandarin. Saat ini, usaha perikanan tangkap di Pulau Panggang secara umum terbagi menjadi tiga kategori nelayan berdasarkan alat tangkap dan jenis ikan yang mereka tangkap. Kategori tersebut antara lain nelayan muroami (kongsi), nelayan bubu, dan nelayan ikan hias.
6.1.1
Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Muroami Usaha penangkapan ikan di laut dengan menggunakan jaring muroami16
merupakan usaha perikanan tangkap yang paling banyak membutuhkan pekerja nelayan pada tiap kegiatan penangkapan ikan yang mereka lakukan. Setidaknya dibutuhkan sekitar 15-20 nelayan pekerja pada tiap kegiatan yang mereka lakukan. Dari keseluruhan jumlah pekerja tersebut, pekerjaan dibagi menjadi pekerja selam dan penjaga selang yang bertugas menjaga di atas kapal. Pekerja yang menyelam tersebut biasanya berjumlah 10 orang, dan sisanya bertugas di atas kapal. Para penyelam tersebut menggunakan kompresor berselang panjang agar mereka dapat kuat menyelam ke bawah laut. Pekerja selam tersebut bertugas untuk menggiring jaring muroami agar banyak ikan-ikan yang masuk kedalam jaring. Sedangkan pekerja yang berada diatas kapal bertugas mengawasi selang-selang yang menghubungkan penyelam dengan kompresor, agar kemudian dapat memperingati penyelam yang berada dibawah laut jika panjang selang sudah tidak mencukupi untuk dibawa ke kedalaman yang lebih jauh. Penggunaan kompresor pada teknik penangkapan ini sebenarnya sangat berbahaya bagi penyelam. Karena gas yang dikeluarkan dari kompresor dan dihirup oleh penyelam sangat berbahaya bagi tubuh. Banyak dari penyelam-penyelam tersebut yang kemudian menderita kelumpuhan dan penyakit lainnya. Kegiatan penangkapan ikan menggunakan jaring muroami, dapat menyebar jaring pada lima sampai enam titik lokasi yang berbeda setiap harinya. Keesokan harinya sekelompok nelayan muroami tersebut akan mencari lokasi yang berbeda dengan lokasi yang telah didatangi sebelumnya. Nelayan melakukan ini dengan alasan jumlah ikan sudah sedikit pada lokasi yang sudah didatangi. Padahal jika dilihat lebih jauh, kebiasaan nelayan tersebut dapat berdampak baik 16
Seperangkat muroami terdiri dari beberapa bagian, yaitu: bagian jaring yang berukuran cukup besar dan dapat memuat hingga 3 ton ikan; pelampung; pemberat, dan penggiring (Subani dan Barus, 1989).
63
pada keberlangsungan hidup ikan laut, dengan begitu terdapat jangka waktu untuk perkembangan ikan. Awalnya
penggunaan
jaring
muroami
ini
menimbulkan
sedikit
permasalahan dengan nelayan yang masih menggunakan jaring sederhana. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan jaring muroami jauh lebih besar dibandingkan hasil tangkapan nelayan yang menggunakan jaring sederhana. Namun, permasalahan tersebut tidak sampai bergulir menjadi konflik terbuka. Saat ini, masyarakat sudah tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena jumlah nelayan yang bekerja menggunakan jaring muroami juga menjadi lebih banyak dibandingkan saat pertama jaring muroami tersebut digunakan di wilayah tersebut. Besarnya modal yang dibutuhkan untuk membeli sarana lengkap kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring muroami tersebut membuat pemilik jaring dan kompresor di Pulau Panggang relatif sedikit. Hal ini menjadikan pemilik jaring muroami berperan langsung sebagai tengkulak bagi pekerja muroami yang bertugas melakukan penangkapan ikan di laut. Hasil tangkapan yang telah diperoleh dan dibawa ke pulau akan langsung ditimbang dan dipilah berdasarkan jenis dan ukuran ikan. Hal ini dikarenakan harga ikan akan dibedakan sesuai dengan ukuran ikan. Ukuran tersebut dikategorikan menjadi beberapa level. Makin tinggi level ikan, berarti makin besar ukuran ikan, dan semakin tinggi pula harganya. Umumnya jenis ikan yang didapat dengan menggunakan jaring muroami adalah ikan ekor kuning. Dilihat dari segi hasil tangkapan, saat ini umumnya nelayan jaring muroami mampu mendapatkan hasil tangkapan ikan sebanyak dua sampai tiga kwintal. Jumlah ini tentunya masih sangat rendah jika dibandingkan dengan hasil tangkapan ikan pada periode 10 tahun silam. Menurut nelayan setempat, hasil tangkapan ikan menggunakan jaring muroami pada saat itu bisa mencapai angka dua ton per hari. Sedangkan saat ini, hasil tangkapan sebesar tiga kwintal sudah termasuk hasil yang besar. Hasil tangkapan ikan tersebut biasanya dihitung dengan menggunakan sistem tris (keranjang yang terbuat dari anyaman bambu). Satu tris keranjang biasanya dapat menampung ikan seberat 70 kilogram. Penghitungan menggunakan tris ini bertujuan untuk memudahkan nelayan
64
pemilik dan nelayan pekerja dalam mengetahui berat hasil tangkapan yang mereka dapatkan. Ikan yang telah didapat oleh nelayan umumnya akan dihargai sebesar 11.000,00 rupiah per kilogram. Uang hasil tangkapan tersebut biasanya akan dikurangi terlebih dahulu dengan jumlah hutang yang dimiliki nelayan dan kemudian dibagi rata untuk seluruh nelayan pekerja jaring muroami. Sedangkan tengkulak akan mengambil keuntungan sebesar 3000,00 rupiah per kilogram berat ikan, dan menjual ke pasar ikan di Jakarta dengan harga 14.000 rupiah per kilogram dalam kondisi beku (Gambar 6).
PASAR IKAN Harga jual Rp 14.000,00/kg Pinjaman kapal, jaring, dan kompresor
NELAYAN PEMILIK Pinjaman menginap (babang) harian Rp 50.000,00 sampai Rp 100.000,00
NELAYAN PEKERJA (15‐20 orang)
Uang hasil tangkapan Rp 11.000,00/kg (bagi rata)
Ikan dalam kondisi mati
HASIL TANGKAPAN
Keterangan: : Arus Hasil Tangkapan : Arus Uang
Gambar 6. Diagram Alir Pertukaran Ekonomi pada Usaha Perikanan Tangkap Jaring Muroami Dilihat dari segi hasil perikanan yang diperoleh, nelayan pemilik tidak mengharuskan nelayan untuk menangkap ikan dengan besaran tertentu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7 bahwa sebanyak sepuluh orang responden memberikan skor 1 untuk pengaruh nelayan pemilik pada aspek penentuan hasil tangkapan. Nelayan pemilik jaring muroami memiliki pengaruh yang tinggi pada pemberian modal, penentuan harga ikan dan penggunaan alat tangkap. Dapat
65
dilihat pula sebagian besar responden memberikan skor 3 untuk pengaruh nelayan pemilik pada aspek pengaruh pemberian modal, penentuan alat tangkap dan
Jumlah Responden
penentuan harga ikan.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Skor 1 Skor 2 Skor 3 Pemberian Modal
Penentuan Alat Tangkap
Penentuan Harga Ikan
Penentuan Hasil Tangkapan
Aspek Pengaruh
Gambar 7. Tingkat Pengaruh Nelayan Pemilik pada Usaha Perikanan Tangkap Jaring Muroami Kesadaran nelayan pemilik dan nelayan muroami akan perlindungan terhadap sumberdaya pesisir dan lautan semakin meningkat dibandingkan tahun 1990-an. Pada periode tersebut, nelayan pemilik dan nelayan muroami masih menggunakan potasium pada kegiatan penangkapan ikan yang mereka lakukan. Penggunaan potasium ini dilakukan jika penggiringan ikan menuju jaring sulit dilakukan. Nelayan yang bertugas menyelam akan menyemprot ikan-ikan yang sulit dijaring menggunakan potasium. Nelayan pemilik pun mendukung penggunaan potasium tersebut dengan menyediakan potasium bagi nelayan. Saat ini, nelayan pemilik sudah tidak menyediakan potasium bagi nelayan muroami. Selain keberadaannya yang telah dilarang oleh pemerintah khususnya Taman Nasional Kepulauan Seribu, nelayan pemilik juga telah memahami dengan baik bahwa penggunaan potasium dapat berakibat buruk pada keseimbangan ekosistem laut. Para nelayan beranggapan, penggunaan potasium hanya menguntungkan pada saat itu saja, namun merugikan bagi anak cucu mereka di masa depan.
66
Selain penggunaan potasium, kepatuhan nelayan akan zona-zona penangkapan ikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah juga menjadi perhatian bagi pemerhati lingkungan dan pemerintah setempat khususnya Taman Nasional Kepulauan Seribu. Pada zona-zona yang didalamnya dilarang untuk dilakukan penangkapan ikan, biasanya terdapat petugas Taman Nasional Kepulauan Seribu yang berjaga. Dalam hal ini, nelayan pemilik biasanya tidak terlalu memberikan larangan atau perintah kepada nelayan untuk tidak melakukan penangkapan di zona-zona tertentu. Hal ini dikarenakan, nelayan pemilik merasa bahwa nelayan lebih mengenal kondisi laut dan dapat mengambil keputusan sendiri terkait dengan lokasi penangkapan yang akan mereka lakukan. Nelayan pemilik pada kegiatan penangkapan ikan menggunakan jaring muroami juga memberikan pinjaman berupa bekal atau biasa disebut masyarakat setempat sebagai ransum. Bekal ini diberikan mengingat penangkapan ikan menggunakan muroami dapat berlangsung dari dini hari hingga sore hari. Bahkan jika wilayah penangkapan menjangkau daerah yang lebih jauh, sekelompok nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan tersebut harus sampai menginap di laut atau biasa disebut masyarakat setempat sebagai babang. Nelayan pemilik juga akan memberikan pinjaman kepada nelayan berupa bekal uang yang akan diberikan nelayan kepada keluarganya di pulau jika nelayan sampai menginap di laut. Uang tersebut diberikan untuk penggunaan harian keluarga nelayan tersebut. Pinjaman pribadi juga dapat diberikan kepada nelayan pekerja yang dibawahi oleh nelayan pemilik tersebut. Besarnya pinjaman kemudian akan dicatat oleh nelayan pemilik sebagai hutang pribadi nelayan bersangkutan. Biasanya pembayaran hutang tersebut dilakukan secara dicicil dari hasil tangkapan yang telah diperoleh nelayan. Namun, besaran cicilan hutang dapat ditentukan sendiri oleh nelayan, hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi nelayan. Arus hubungan yang terjadi antara nelayan pemilik dan nelayan jaring muroami ini dapat dilihat pada Gambar 8.
67 Pinjaman kapal, jaring, kompresor Pemberian bekal bagi nelayan di laut Pinjaman untuk keperluan harian
NELAYAN PEMILIK
NELAYAN PEKERJA Hasil tangkapan ikan
Gambar 8. Arus Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Jaring Muroami Hubungan nelayan pemilik dan nelayan pekerja jaring muroami ini biasanya didasari atas hubungan kekerabatan. Hal ini mengingat keterikatan masyarakat yang cukup tinggi satu sama lain. Aturan yang terdapat pada hubungan patron-klien di usaha perikanan tangkap menggunakan jaring muroami antara lain: 1) Nelayan tidak dapat melakukan perpindahan kerjasama dengan nelayan pemilik lain jika masih terdapat hutang nelayan yang belum dilunasi. 2) Kewajiban untuk menjual hasil tangkapan langsung kepada nelayan pemilik yang meminjamkan alat tangkap, bukan kepada nelayan pemilik lain. Aturan-aturan tersebut biasanya dipatuhi oleh para nelayan pekerja jaring muroami. Jika terdapat nelayan yang melanggar aturan tersebut, nelayan pemilik akan menegurnya. Hal ini dikarenakan hubungan kekerabatan antara masyarakat yang masih tinggi membuat masyarakat merasa tidak pantas jika harus menyelesaikan masalah tersebut dengan bertengkar. Jika setelah ditegur nelayan pekerja masih melanggar aturan tersebut, maka nelayan pemilik akan memutuskan kerjasama dalam usaha perikanan yang mereka jalankan.
6.1.2
Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Bubu Alat penangkapan ikan berupa bubu merupakan salah satu alat yang sudah
cukup lama digunakan masyarakat setempat. Bubu17 adalah alat tangkap ikan yang umumnya terbuat dari bambu (saat ini telah dikenalkan inovasi bubu yang 17
Bentuk bubu sangatlah bervariasi ada yang seperti sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, dan lain-lain. Secara garis besar bubu terdiri dari beberapa bagian, yaitu: bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu (Subani dan Barus, 1989).
68
terbuat dari kawat) dan dianyam sedemikian rupa sehingga berbentuk perangkap yang dapat menahan ikan yang telah masuk dan ikan tidak dapat keluar dari bubu tersebut. Bubu biasanya ditempatkan di dekat terumbu karang tempat bernaungnya ikan-ikan. Sehingga kemudian ikan akan masuk kedalam bubu dan terjebak di dalamnya. Nelayan yang menggunakan bubu pada usaha perikanan tangkap biasanya berhubungan dengan tengkulak ikan tangkap maupun tengkulak ikan hias tergantung dari jenis ikan yang masuk ke dalam bubu yang mereka pasang. Jika jenis ikan konsumsi yang masuk ke dalam bubu, maka hasil tangkapan tersebut akan akan dijual kepada tengkulak ikan tangkap. Sedangkan jika ikan hias yang masuk ke dalam bubu maka hasil tangkapan tersebut akan dijual kepada tengkulak ikan hias (Gambar 9).
PASAR IKAN
Harga jual Rp 14.000,00/kg
Harga jual Rp 1500,00 sampai Rp 2000,00/ekor
TENGKULAK IKAN KONSUMSI
TENGKULAK IKAN HIAS
Hasil tangkap ikan konsumsi Pinjaman Uang hasil tangkapan Rp 11.000,00/kg
Hasil tangkap ikan hias
NELAYAN BUBU
Pinjaman
Uang hasil tangkapan Rp 500,00 sampai Rp 1000,00/ekor
Keterangan: : Arus Hasil Tangkapan : Arus Uang
Gambar 9. Diagram Alir Pertukaran Ekonomi pada Usaha Perikanan Tangkap Bubu
69
Tidak ada hubungan yang cukup mengikat antara nelayan bubu dengan tengkulaknya. Tingkat keterikatan akan menjadi lebih tinggi jika nelayan yang bersangkutan mempunyai hutang dengan tengkulaknya. Namun, pada nelayan bubu, peminjaman hutang tidak dilakukan sesering nelayan muroami. Hal ini dikarenakan, usaha penangkapan ikan yang dilakukan dengan menggunakan bubu tidak mengharuskan nelayan untuk terlalu lama menginap di laut, dan tentunya tidak membutuhkan bekal pada kegiatan penangkapannya. Nelayan hanya harus membenamkan dan mengangkat bubu pada waktu yang telah mereka tentukan. Arus hubungan antara tengkulak dan nelayan bubu ini dapat dilihat pada Gambar 10. Pinjaman untuk keperluan harian
TENGKULAK BUBU
NELAYAN BUBU Hasil tangkapan ikan
Gambar 10. Arus Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Bubu Dilihat dari segi pemberian modal dan pinjaman, penentuan alat tangkap, dan penentuan harga ikan tengkulak memiliki pengaruh yang rendah, dibuktikan dari sepuluh orang responden keseluruhannya memberikan skor 1 pada ketiga aspek pengaruh tersebut. Sedangkan jika ikan hias yang didapat oleh nelayan, maka bisa terjadi proses negosiasi dalam penetapan harga ikan. Karena umumnya, ikan hias memiliki harga yang berbeda-beda dan harganya relatif berubah di pasaran. Ini dapat dilihat dari sepuluh responden, sebanyak lima orang memberikan skor 2 dan lima orang lainnya memberikan skor 3 pada aspek penentuan harga ikan (Gambar 11). Pola hubungan yang terjadi antara tengkulak dan nelayan bubu juga sudah tidak banyak kita temui di Pulau Panggang. Hal ini dikarenakan menurunnya jumlah nelayan yang masih mengandalkan bubu sebagai sarana perikanan tangkap yang mereka lakukan. Aturan yang terdapat pada hubungan patron-klien di usaha perikanan tangkap bubu adalah nelayan tidak dapat berpindah kerjasama dengan tengkulak lain jika masih terdapat hutang dengan tengkulak tersebut.
70
Jumlah Responden
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Skor 1 Skor 2 Skor 3 Pemberian Modal
Penentuan Alat Tangkap
Penentuan Harga Ikan
Penentuan Hasil Tangkapan
Aspek Pengaruh
Gambar 11. Tingkat Pengaruh Tengkulak pada Usaha Perikanan Tangkap Bubu
6.1.3 Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Ikan Hias Keanekaragaman jenis ikan yang terdapat di wilayah perairan Kepulauan Seribu sangat menjanjikan bagi usaha perikanan tangkap khususnya usaha ikan hias. Untuk usaha ikan hias tersebut, nelayan masih mengandalkan upaya penangkapan langsung di laut. Umumnya nelayan ikan hias mencari jenis-jenis ikan hias tertentu dengan cara memancing ataupun dengan menggunakan bubu. Usaha nelayan untuk mencari ikan hias biasa disebut masyarakat setempat dengan sebutan nanggo atau tanggo. Dalam sehari umumnya nelayan bisa mendapatkan hasil tangkapan sebanyak 50-200 ekor. Banyaknya hasil tangkapan yang didapat tersebut tergantung pada kondisi laut dan keterampilan individu masing-masing nelayan. Ikan hias dihargai oleh tengkulak berdasarkan jenis dan kualitas dari ikan tersebut. Jenis dan jumlah ikan yang akan dicari oleh nelayan bergantung pada permintaan yang diberikan oleh tengkulak. Dari sepuluh responden, sebanyak enam responden memberikan skor 3 pada aspek penentuan harga ikan (Gambar 12). Hal ini dilakukan karena tengkulak lebih mengetahui jenis ikan mana yang sedang tinggi tingkat permintaan dan harganya.
71
Jumlah Responden
7 6 5 4 3
Skor 1
2
Skor 2
1
Skor 3
0 Pemberian Modal
Penentuan Alat Tangkap
Penentuan Harga Ikan
Penentuan Hasil Tangkapan
Aspek Pengaruh
Gambar 12. Tingkat Pengaruh Tengkulak pada Usaha Perikanan Tangkap Ikan Hias Di Pulau Panggang, nelayan ikan hias telah memiliki sebuah organisasi tersendiri dimana didalamnya terdapat beberapa aturan yang mengatur nelayan untuk melakukan penangkapan ikan yang aman bagi lingkungan. Aturan tersebut antara lain: 1) Melaporkan lokasi dan waktu penangkapan ikan kepada tengkulak ikan hias. Hal ini dilakukan untuk menghindari penangkapan ikan pada zona-zona larangan. 2) Tidak menggunakan potasium dan alat tangkap berbahaya lainnya pada usaha perikanan tangkap yang nelayan jalankan. 3) Tidak berpindah kerjasama dengan tengkulak ikan hias lainnya, jika masih terdapat hutang dengan tengkulak sebelumnya. Peraturan yang ada tersebut dijalani oleh tengkulak maupun nelayan dengan kesadaran dan kemauan yang tinggi, karena nelayan sendiri umumnya telah memiliki pemahaman yang baik mengenai kerugian dan bahaya yang ditimbulkan potasium bagi kondisi laut di wilayah mereka. Aturan yang harus dipatuhi oleh nelayan ini digambarkan secara ringkas pada Gambar 13.
72
Pemberian modal pembelian BBM
TENGKULAK IKAN HIAS
NELAYAN IKAN HIAS Hasil tangkapan ikan
Laporan lokasi dan waktu penangkapan
Gambar 13. Arus Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Ikan Hias Tengkulak memiliki peranan yang sangat berarti pada penegakan aturan tersebut. Hal tersebut dilakukan tengkulak dengan cara tidak menyediakan potasium bagi nelayan, karena pada saat potasium masih marak digunakan, nelayan mendapat pasokan potasium dari tengkulak mereka. Jika tengkulak tidak menyediakan potasium, nelayan pun tidak dapat menggunakan potasium untuk kegiatan penangkapan yang mereka lakukan. Nelayan dan tengkulak yang telah melakukan kegiatan penangkapan ikan yang aman bagi kelangsungan ekologi laut dan pesisir tersebut akan mendapatkan sertifikasi ramah lingkungan. Sertifikasi ramah lingkungan tersebut dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Pertanian. Hubungan usaha yang terjadi antara tengkulak dan nelayan ikan hias, tengkulak memberikan modal berupa biaya untuk pembelian BBM (Bahan Bakar Minyak) yang diberikan kepada nelayan setiap minggunya. Besarnya biaya yang diberikan tersebut berbeda-beda tergantung dari kebijakan para tengkulak. Umumnya biaya pembelian BBM yang diberikan berkisar antara 25.000,00 rupiah sampai 50.000,00 rupiah. Dari segi pemberian harga ikan, ikan hias dihargai per ekornya kepada nelayan dengan kisaran harga antara 500,00 rupiah sampai 1000,00 rupiah. Pemberian harga ikan hias tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan yang terjadi antara tengkulak dan nelayan. Umumnya para tengkulak tersebut mengambil keuntungan hingga 1000,00 rupiah per ekornya (Gambar 14).
73
PASAR IKAN HIAS Harga jual Rp 1500,00 sampai Rp 2000,000/ekor
Modal BBM Rp 25.000,00 sampai Rp 50.000,00/minggu
TENGKULAK
NELAYAN IKAN HIAS
Uang hasil tangkapan Rp 500,00 sampai 1000,00/ekor
Ikan hias hidup
HASIL TANGKAPAN
Keterangan: : Arus Hasil Tangkapan : Arus Uang
Gambar 14. Diagram Alir Pertukaran Ekonomi pada Usaha Perikanan Tangkap Ikan Hias
6.2 Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Budidaya Menurunnya jumlah hasil tangkapan yang didapat oleh nelayan serta makin rendahnya kualitas sumberdaya perikanan lainnya membuat program pengalihan nelayan perikanan tangkap menjadi perikanan budidaya dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Usaha perikanan budidaya dianggap memiliki resiko ketidakpastian yang lebih rendah dibandingkan perikanan tangkap. Usaha perikanan tangkap yang sangat bergantung pada alam menjadi salah satu faktor rendahnya kondisi ekonomi masyarakat pesisir pada umumnya. Upaya mengalihkan jenis usaha perikanan dari tangkap menjadi budidaya pada masyarakat pesisir khususnya Pulau Panggang merupakan hal yang tidak mudah. Usaha perikanan tangkap dan segala kegiatan pendukungnya telah membudaya pada masyarakat pesisir. Perubahan tersebut tentunya akan berdampak pada berubahnya aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Usaha perikanan budidaya sudah dikenal masyarakat Pulau Panggang sejak periode 1980-an. Pada periode tersebut masyarakat menjadikan usaha
74
budidaya rumput laut sebagai usaha utama mereka. Pada saat itu budidaya rumput laut yang mereka lakukan berkembang sangat baik, sehingga kondisi perekonomian masyarakat pun meningkat. Kepulauan Seribu pada saat itu menjadi salah satu pemasok andalan rumput laut baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Namun, sekitar tahun 2000 usaha budidaya rumput laut mengalami kemunduran sejak ditemukannya penyakit ice-ice yang menyerang tanaman rumput laut tersebut. Sejak usaha budidaya rumput laut menurun dan berangsur-angsur ditinggalkan oleh penduduk setempat, masyarakat pun kembali ke kegiatan perikanan tangkap mereka. Sekitar tahun 2000 masyarakat mulai mengupayakan kembali budidaya perikanan untuk ikan jenis kerapu. Usaha masyarakat untuk melakukan budidaya kerapu ini didukung oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Dukungan tersebut biasanya berupa bantuan sarana dan prasarana penunjang kegiatan budidaya perikanan khususnya kerapu, seperti pemberian modal bibit ikan kerapu, pembuatan keramba apung, pelatihan yang terkait dengan budidaya perikanan serta pembentukan beberapa organisasi yang mewadahi kegiatan nelayan-nelayan budidaya tersebut. Modal yang dibutuhkan untuk dapat melakukan usaha perikanan budidaya kerapu tidaklah sedikit. Untuk membuat satu unit keramba apung yang berbahan dasar bambu (dalam setiap unit terdapat empat buah persegi dengan luas masingmasing 3x3 m²) dibutuhkan dana sekitar 5.000.000,00 rupiah sampai 6.000.000,00 rupiah. Sedangkan untuk pembuatan satu unit keramba apung berbahan dasar balok kayu dibutuhkan dana sekitar 14.000.000,00 rupiah sampai 17.000.000,00 rupiah. Selain modal untuk pembuatan keramba, modal yang dibutuhkan untuk pembelian bibit juga sangatlah besar. Bibit ikan kerapu biasanya dihargai per sentimeter panjang tubuhnya. Untuk bibit ikan kerapu jenis kerapu macan dihargai sebesar 1000,00 rupiah per sentimeter. Sedangkan bibit ikan kerapu jenis bebek lebih mahal harganya, yaitu sebesar 2500,00 rupiah per sentimeter. Bibit ikan yang dapat digunakan untuk usaha budidaya adalah bibit dengan ukuran tubuh sebesar sepuluh sentimeter. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko kematian bibit sebelum panen dilakukan.
75
Umumnya jumlah bibit yang disebar pada setiap kotak keramba adalah sebanyak 100 sampai 300 ekor bibit ikan kerapu. Di Pulau Panggang, bibit ikan kerapu macan lebih banyak dikembangkan dibanding dengan bibit ikan kerapu bebek karena harga bibit kerapu macan yang lebih rendah dibandingkan kerapu bebek. Dari keseluruhan bibit yang disebar di keramba tersebut, pemanenan ikan kerapu baru dapat dilakukan pada ikan kerapu dengan berat minimum sepuluh ons. Untuk mencapai berat tersebut umumnya nelayan baru dapat melakukan panen dalam waktu satu tahun. Dengan penghasilan panen sebesar 5.000.000,00 rupiah sampai 10.000.000 rupiah tergantung dari jumlah bibit yang disebar serta jumlah kematian ikan. Dari pemberian harga hasil panen oleh tengkulak tersebut, umumnya tengkulak budidaya kerapu akan mengambil keuntungan sebesar 10.000,00 rupiah sampai 20.000,00 rupiah per kilogram berat ikan tersebut (Gambar 15). PASAR IKAN Dijual dengan keuntungan tengkulak Rp 10.000,00 sampai Rp 20.000/kg kerapu Pinjaman
TENGKULAK
NELAYAN BUDIDAYA
Uang hasil panen Rp 100.000,00 sampai Rp 350.000,00/kg kerapu
Ikan kerapu hidup Keterangan:
HASIL PANEN IKAN KERAPU
: Arus Hasil Panen : Arus Uang
Gambar 15. Diagram Alir Pertukaran Ekonomi pada Usaha Perikanan Budidaya Kerapu Waktu pemanenan
ikan yang membutuhkan waktu sekitar satu tahun
tersebut membuat masyarakat menyebut usaha budidaya ikan kerapu sebagai tabungan lebaran. Hal ini dikarenakan, nelayan setempat umumnya menyebar bibit ikan kerapu pada saat menjelang lebaran, sehingga panen pun akan
76
dilakukan pada waktu menjelang lebaran di tahun selanjutnya. Dari seluruh keramba apung yang tersebar di beberapa lokasi di Pulau Panggang, terdapat beberapa keramba yang didalamnya tidak ditemukan bibit ikan kerapu dan hanya dibiarkan begitu saja. Hal tersebut dikarenakan kurangnya modal nelayan untuk dapat membeli bibit kembali setelah panen sebelumnya dilakukan. Penjualan hasil panen budidaya tersebut diserahkan sepenuhnya kepada tengkulak-tengkulak ikan kerapu yang terdapat di Pulau Panggang. Para tengkulak tersebut biasanya akan menjual hasil panen para nelayan kepada bandar besar di Jakarta seperti di Muara Saban atau Muara Angke ataupun langsung dijual kembali kepada beberapa distributor ikan kerapu yang kemudian akan mengirimkan ikan kerapu tersebut untuk keperluan konsumsi dalam negeri maupun luar negeri. Jaringan sosial yang dimiliki oleh tengkulak perikanan budidaya inilah yang membuat mereka memiliki peranan besar dalam menentukan
Jumlah Responden
harga hasil panen nelayan.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Skor 1 Skor 2 Skor 3 Pemberian Modal
Penentuan Alat Tangkap
Penentuan Harga Ikan
Penentuan Hasil Tangkapan
Aspek Pengaruh
Gambar 16. Tingkat Pengaruh Tengkulak pada Usaha Perikanan Budidaya Para tengkulak tersebut dianggap lebih mengetahui harga ikan kerapu sehingga nelayan biasanya akan menerima penetapan harga yang telah dilakukan oleh tengkulak. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16, sebanyak empat orang responden memberikan skor 3 dan enam orang responden memberikan skor 2 pada aspek penentuan harga ikan. Ini memperlihatkan bahwa dalam usaha
77
perikanan budidaya harga ikan ditentukan oleh tengkulak dan dapat pula terjadi negosiasi harga antara nelayan dan tengkulak jika harga yang ditetapkan terlalu rendah. Aturan-aturan yang terdapat pada hubungan patron-klien di usaha perikanan budidaya antara lain: 1) Penyusutan berat ikan yang akan mengurangi harga ikan pada proses distribusi ke Jakarta ditanggung sepenuhnya oleh nelayan budidaya, bukan oleh tengkulak. 2) Hasil panen budidaya kerapu tidak dibayar secara kontan, namun dibayarkan oleh tengkulak pada nelayan setelah ikan tersebut dijual ke pasar ikan di Jakarta. 3) Jika terdapat hutang dengan tengkulak, nelayan tidak dapat berpindah kerjasama dengan tengkulak lain. Aturan-aturan yang diberikan sebenarnya membuat ketidakpuasan bagi banyak nelayan. Namun hal tersebut belum berubah hingga saat ini, karena nelayan beranggapan sistem tersebut masih lebih menguntungkan dibandingkan mereka harus repot menjual hasil panen mereka sendiri ke Jakarta. Pinjaman untuk keperluan harian
TENGKULAK BUDIDAYA
NELAYAN BUDIDAYA Hasil panen ikan
Gambar 17. Arus Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Budidaya Pada hubungan yang terjadi antara tengkulak dan nelayan budidaya, tengkulak tidak memberikan pinjaman-pinjaman khusus yang berhubungan dengan modal usaha budidaya perikanan yang nelayan lakukan. Nelayan juga sangat jarang melakukan pinjaman berupa uang untuk keperluan sehari-hari (Gambar 17). Hal ini dikarenakan, dengan tidak adanya hutang, nelayan dapat dengan bebas memilih pada tengkulak mana ia akan menjual hasil panennya. Oleh
78
karena itu, persaingan penetapan harga hasil panen ikan kerapu biasa terjadi antara tengkulak dengan tengkulak lain.
6.3 Perbandingan Pola Hubungan Patron-Klien pada Usaha Perikanan di Pulau Panggang Hubungan patron-klien yang terjadi pada usaha perikanan di Pulau Panggang memiliki pola yang berbeda berdasarkan jenis usaha yang dilakukan. Ini disebabkan oleh perbedaan tingkat resiko dan kemudahan aktor-aktor didalamnya dalam memperoleh sumberdaya, baik yang diperlukan pada usaha perikanan mereka maupun untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Perbedaan pola hubungan ini mengakibatkan pula perbedaan pada tingkat pengaruh tengkulak pada nelayannya. Pengaruh tengkulak pada tiap jenis usaha perikanan memiliki perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan kebutuhan dan bentuk usaha pada tiap usaha perikanan yang ada. Pada usaha perikanan tangkap menggunakan jaring muroami, tengkulak secara tidak langsung memiliki pengaruh yang tinggi pada pemilihan alat tangkap yang digunakan. Tingginya harga alat tangkap berupa jaring muroami, kompresor dan kapal motor mengharuskan nelayan meminjam alat tersebut pada nelayan pemilik yang berperan juga sebagai tengkulak Selain pengaruh pada alat tangkap, nelayan pemilik pada usaha perikanan jaring muroami juga memiliki pengaruh pada penentuan harga ikan hasil tangkapan. Ini dikarenakan nelayan pemilik lebih mengetahui kondisi harga di pasar ikan Jakarta. Pengaruh yang tinggi pada aspek tersebut menyebabkan keterikatan yang tinggi pula pada hubungan antara nelayan pemilik dan nelayan pekerja. Keterikatan yang tinggi ini membuat nelayan menjadi lebih enggan untuk berpindah pada nelayan pemilik lainnya. Sedangkan pada usaha perikanan tangkap bubu, tengkulak tidak memberikan pinjaman atau berperan dalam pemilihan alat tangkap karena alat tangkap bubu dapat dengan mudah dimiliki oleh nelayan mengingat harganya yang tidak terlalu tinggi. Pinjaman yang diberikan pun biasanya berupa pinjaman untuk biaya sehari-hari, dan umumnya nelayan tidak melakukan pinjaman karena jika terdapat pinjaman, nelayan tidak dapat melakukan penggantian tengkulak. Tingkat pengaruh tengkulak tinggi dalam aspek penentuan harga ikan, karena
79
tengkulak dianggap lebih mengetahui kondisi harga di pasar. Hal ini juga berlaku pada usaha perikanan budidaya dimana tengkulak hanya memberikan pinjaman harian. Pada usaha perikanan tangkap ikan hias, pemberian modal yang diberikan oleh tengkulak pada nelayan berupa biaya pembelian BBM dan pinjaman harian. Pengaruh lainnya adalah pada penentuan jumlah ikan hias yang harus didapat oleh nelayan. Tengkulak ikan hias biasanya memberikan batasan minimum ikan hias dan jenis ikan hias yang harus didapat berdasarkan permintaan pasar di Jakarta. Secara ringkas, perbandingan pengaruh tengkulak pada jenis usaha perikanan yang berbeda dapat dilihat di Tabel 14. Tabel 14. Perbandingan Pengaruh Tengkulak pada Usaha Perikanan di Pulau Panggang Ciri
Muroami Pemberian ‐ Pinjaman alat Modal atau tangkap (kapal Pinjaman motor, jaring, dan kompresor). ‐ Pemberian bekal di laut (ransum). ‐ Pinjaman untuk keluarga jika menginap di laut (babang). Pemilihan Alat Ditentukan oleh Tangkap/ nelayan pemilik. Sarana Budidaya Penentuan Ditentukan oleh Harga Ikan nelayan pemilik.
Penentuan Jumlah Hasil Tangkapan/Pa nen
Tidak ada batasan minimum jumlah ikan yang harus ditangkap.
Jenis Usaha Perikanan Bubu Ikan Hias Pinjaman ‐ Pemberian biaya untuk biaya pembelian BBM (Rp sehari-hari 25.000,00 sampai Rp nelayan. 50.000,00/minggu). ‐ Pinjaman untuk biaya sehari-hari
Budidaya Pinjaman untuk biaya sehari-hari nelayan.
Ditentukan sendiri oleh nelayan.
Ditentukan sendiri oleh nelayan.
Ditentukan sendiri oleh nelayan.
Ditentukan oleh tengkulak, namun kadang terjadi negosiasi harga oleh nelayan. Tidak ada batasan minimum jumlah ikan yang harus ditangkap.
Ditentukan oleh tengkulak, namun kadang terjadi negosiasi harga oleh nelayan.
Ditentukan oleh tengkulak.
Terdapat batasan minimum jumlah ikan yang harus ditangkap.
Tidak ada batasan minimum jumlah ikan yang harus dipanen.
80
Tingkat pengaruh tengkulak ini menentukan tingkat ketergantungan pada hubungan patron-klien yang terjadi di tiap jenis usaha perikanan. Semakin tinggi tingkat pengaruh tengkulak, maka semakin tinggi pula tingkat ketergantungan pada hubungan patron-klien yang terjadi. Pada analisis menggunakan software SPSS for Windows versi 16.0 menggunakan statistik deskriptif tabulasi silang didapat sebanyak 30 persen responden memiliki ketergantungan yang tinggi pada patronnya di jenis usaha perikanan tangkap muroami. Sedangkan pada usaha perikanan tangkap ikan hias sebanyak 20 persen responden memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap patronnya. Pada usaha perikanan tangkap bubu dan budidaya, tidak terdapat responden yang memiliki ketergantungan tinggi dengan patronnya (Gambar 18 ).
Persentase Responden
100% 80% 60%
Tingkat Ketergantungan Rendah
40%
Tingkat Ketergantungan Sedang
20%
Tingkat Ketergantungan Tinggi
0% Muroami
Bubu
Ikan Hias Budidaya
Jenis Usaha Perikanan
Gambar 18. Perbandingan Tingkat Ketergantungan pada Ikatan Patron-Klien berdasarkan Jenis Usaha Perikanan
Berdasarkan persentase tingkat ketergantungan yang diperoleh melalui total skor pada tingkat pengaruh tengkulak pada nelayan, maka didapat tingkat ketergantungan yang tertinggi terdapat pada usaha perikanan jaring muroami. Selanjutnya adalah pada usaha perikanan tangkap ikan hias, perikanan budidaya dan
perikanan
tangkap
bubu.
BAB VII IKATAN PATRON-KLIEN DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR
7.1 Pengaruh Hubungan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Faktor manusia dan hubungan sosial yang terjadi antar manusia merupakan variabel penting yang menentukan status pemanfaatan dan potensi sumberdaya pesisir. Sayangnya, faktor manusia dan hubungan yang terjadi didalamnya seringkali tidak diperhitungkan secara serius atau diremehkan dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir. Pengelolaan sumberdaya pesisir pada hakekatnya
adalah
pengelolaan
terhadap
manusia
yang
memanfaatkan
sumberdaya tersebut (Nikijuluw, 2002). Wilayah pesisir yang didiami oleh sekelompok masyarakat umumnya memiliki kekhasan dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang mereka jalankan. Salah satunya adalah terbentuknya sebuah hubungan patron-klien yang merupakan upaya penjaminan kehidupan sosial dan ekonomi yang dijalankan oleh nelayan. Resiko yang tinggi pada kegiatan perikanan tangkap disertai pula dengan ketidakstabilan kondisi alam, mengharuskan nelayan (klien) membentuk hubungan yang saling menguntungkan dengan para tengkulak (patron). Hubungan yang terbentuk antara patron dan klien tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang diperhitungkan dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir. Sebagai contoh pada pola hubungan patron-klien yang terjadi pada usaha perikanan tangkap nelayan jaring muroami, pada kurun waktu 1980-an nelayan setempat marak menggunakan potasium sebagai alat bantu kegiatan perikanan tangkap yang mereka jalankan. Penyediaan bahan potasium tersebut didapat nelayan melalui tengkulak mereka masing-masing. Pada saat penggunaan potasium dilarang oleh pemerintah, tengkulak memiliki peranan penting dalam kelancaran upaya penghentian penggunaan potasium tersebut. Tengkulak yang telah menaati peraturan akan menghentikan penyediaan potasium bagi nelayan. Hal tersebut akan membuat nelayan tidak menggunakan
82
potasium pada kegiatan perikanan yang mereka lakukan. Seperti yang diungkapkan oleh TF (53) seorang nelayan jaring muroami, “Jaman sekarang tengkulak kita gak ada yang berani ngasih portas. Kalo ada, mungkin masih ada juga beberapa nelayan yang berani make”.
Selain alasan tersebut, pada saat potasium sedang marak digunakan di wilayah perairan Pulau Panggang, polisi air dan laut yang mendapati nelayan sedang menggunakan potasium juga akan memberikan sanksi tegas pada tengkulaknya. Inilah yang kemudian membuat para tengkulak menghentikan penyediaan potasium untuk nelayan. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan AD (57 tahun) seorang tengkulak jaring muroami, “Dulu kita yang nyediain portas buat nelayan, sekarang udah susah. Kalo nelayan ketangkep polisi, kita juga ikutan ditangkep”.
Adanya peranan tengkulak pada penghentian penyediaan potasium bagi nelayan tersebut, memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut. Dengan dihentikannya penggunaan potasium, kerusakan terumbu karang dan kelangkaan beberapa jenis ikan tertentu dapat dikurangi. Selain pengaruh tengkulak terhadap penggunaan potasium pada nelayan jaring muroami, terdapat pula bentuk hubungan lain yang berpengaruh positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir, yaitu bentuk hubungan pada tengkulak dan nelayan ikan hias. Tengkulak mengharuskan nelayan untuk melaporkan lokasi dan waktu penangkapan ikan hias yang mereka lakukan. Tengkulak mewajibkan hal tersebut bagi nelayannya dikarenakan adanya sertifikasi ramah lingkungan yang diberikan oleh Dinas Kelautan dan Pertanian Kepulauan Seribu. Dengan adanya kewajiban tersebut, nelayan secara tidak langsung harus menaati aturan zonasi yang telah diberlakukan oleh pihak taman nasional. Pelaporan nelayan mengenai lokasi dan waktu penangkapan tersebut berdampak baik bagi pengelolaan sumberdaya pesisir. Dengan adanya pelaporan tersebut tengkulak dapat memantau kepatuhan nelayan dalam menaati zona penangkapan ikan yang telah ditetapkan. Kepatuhan nelayan dalam menaati zona secara langsung akan berdampak baik bagi keberlangsungan ekologi laut karena
83
penetapan zonasi yang ada di Kepulauan Seribu ditujukan bagi perlindungan ekologi laut. Pengaruh positif hubungan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir yang terdapat di wilayah pesisir Pulau Panggang dapat ditingkatkan jika faktor hubungan tengkulak dan nelayan yang terjadi tersebut diperhitungkan dalam implementasi pengelolaan sumberdaya yang ada, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan.
Secara
ringkas,
pengaruh
hubungan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Pengaruh Hubungan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir berdasarkan Jenis Usaha Perikanan Aspek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Penggunaan Alat Tangkap/Sarana Budidaya
Kepatuhan terhadap Zonasi
Muroami Larangan penggunaan potasium oleh nelayan pemilik, dengan cara tidak menyediakan potasium tersebut untuk nelayan. Nelayan pemilik membebaskan nelayan untuk memilih lokasi penangkapan ikan.
Jenis Usaha Perikanan Bubu Ikan Hias Larangan Larangan penggunaan penggunaan potasium oleh potasium oleh tengkulak, tengkulak, dengan cara karena adanya tidak sertifikasi menyediakan ramah potasium lingkungan. tersebut untuk nelayan. Tengkulak Kewajiban membebaskan nelayan untuk nelayan untuk melaporkan memilih lokasi waktu dan penangkapan lokasi ikan. penangkapan ikan.
Budidaya Tengkulak membebaskan nelayan untuk memilih sarana budidaya.
Tengkulak membebaskan nelayan untuk memilih lokasi pembuatan keramba
7.2 Faktor yang Berpengaruh terhadap Hubungan Patron Klien dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Hubungan antara ikatan patron-klien pada masyarakat pesisir Pulau Panggang dan pengelolaan sumberdaya pesisir dapat terjadi karena disertai pula oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengaruh positif yang diberikan oleh tengkulak kepada nelayan dan berdampak positif bagi pengelolaan sumberdaya pesisir dapat terjadi jika terdapat faktor-faktor penentu dalam hubungan tersebut. Pertama adalah akses kedua pihak yaitu tengkulak maupun nelayan kepada sumberdaya, baik berupa modal, sarana perikanan, ataupun sumberdaya lainnya
84
yang dapat menunjang kegiatan perikanan yang mereka lakukan. Akses kepada sumberdaya ini kemudian akan mempengaruhi derajat ketergantungan nelayan kepada tengkulaknya ataupun sebaliknya. Sebagai contoh, jika nelayan mampu mendapatkan modal bagi usahanya sendiri tanpa bantuan tengkulak, maka asumsinya nelayan tidak memiliki kewajiban yang terlalu besar dalam hal kepatuhan terhadap aturan yang diberikan tengkulak. Baik aturan yang berhubungan langsung dengan pengelolaan sumberdaya pesisir ataupun yang tidak berhubungan langsung dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. Contoh lainnya adalah akses tengkulak kepada potasium. Pada saat tengkulak tidak lagi menyediakan potasium bagi nelayan, otomatis nelayan tidak lagi menggunakan potasium pada kegiatan perikanan tangkap yang mereka lakukan. Karena satu-satunya penyedia potasium bagi nelayan setempat adalah tengkulaknya. Tabel 16. Faktor yang Berpengaruh terhadap Hubungan Patron-Klien dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Faktor Akses masing-masing aktor (tengkulak dan nelayan) terhadap sumberdaya.
Asumsi Semakin mudah akses masing-masing aktor terhadap sumberdaya, semakin rendah derajat ketergantungannya terhadap aktor lain.
Derajat ketergantungan terlibat.
Semakin tinggi derajat ketergantungan antara aktor yang terlibat, semakin tinggi pula derajat kepatuhan yang terjadi antara masing-masing aktor.
antara
aktor
yang
Kedua adalah derajat ketergantungan nelayan pada tengkulak. Semakin tinggi derajat ketergantungan nelayan semakin patuh pula nelayan pada aturanaturan yang diberikan oleh tengkulak (Tabel 16). Sebagai contoh pada nelayan ikan hias, ketergantungan nelayan yang cukup tinggi pada tengkulak membuat nelayan mematuhi aturan tengkulak untuk melaporkan lokasi dan waktu penangkapan ikan yang mereka lakukan. Tingginya derajat ketergantungan antara nelayan dengan tengkulaknya salah satunya dipengaruhi oleh pemberian modal dan pinjaman yang diberikan oleh tengkulak pada nelayan.
BAB VIII PENUTUP
8.1 Kesimpulan Pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Panggang yang masuk dalam wilayah Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh rezim pemerintah dan rezim masyarakat (rezim milik bersama). Pengelolaan sumberdaya berdasarkan rezim pemerintah dapat dilihat dari pembentukan wilayah Kepulauan Seribu menjadi taman nasional yang di dalamnya terdapat aturan-aturan tertentu. Aturan tersebut antara lain: pembagian zonasi pada wilayah Kepulauan Seribu, larangan menggunakan alat tangkap yang berbahaya bagi lingkungan laut, larangan menangkap jenis ikan dilindungi, dan lain-lain. Sedangkan rezim pengelolaan oleh masyarakat dapat dilihat dari adanya aturan-aturan lokal yang dibuat, dilaksanakan, dan diawasi prosesnya oleh masyarakat setempat. Aturan lokal tersebut antara lain: larangan menggunakan potasium dan bom pada usaha perikanan serta larangan melaut pada hari Jumat. Adanya interaksi antara dua rezim ini bersifat saling mendukung karena memiliki kesamaan tujuan dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Di wilayah pesisir Pulau Panggang, terdapat sebuah hubungan yang merupakan kekhasan dari masyarakat pesisir, yaitu terbentuknya ikatan patronklien. Pada ikatan patron-klien yang terjadi di wilayah Pulau Panggang, pola hubungan yang terbentuk berbeda sesuai dengan jenis usaha perikanan. Namun demikian, terdapat pola umum yang dapat terlihat pada ikatan tersebut yaitu ikatan yang terjadi tidak terlalu mengikat, karena nelayan dapat berpindah kepada tengkulak lain jika tidak terdapat hutang pada tengkulak sebelumnya. Oleh karena itu, nelayan Pulau Panggang sangat menghindari peminjaman hutang kepada patron di luar urusan usaha perikanan yang mereka jalankan. Pola ikatan patron-klien yang terjadi dapat berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya pesisir di wilayah tersebut. Dalam ikatan yang terjadi, patron dapat mempengaruhi klien baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan kegiatan perikanan yang berdampak positif pada sumberdaya pesisir
86
ataupun sebaliknya. Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat beberapa aturan antara patron dengan klien yang berpengaruh positif terhadap pengelolaan pesisir. Pertama adalah larangan menggunakan potasium dalam kegiatan perikanan dengan cara tidak menyediakan potasium tersebut untuk nelayan. Kedua adalah kewajiban melaporkan lokasi dan waktu penangkapan bagi nelayan ikan hias untuk menghindari kegiatan perikanan tangkap di zona larangan. Ikatan patron-klien yang terdapat di Pulau Panggang memiliki tingkat ketergantungan yang berbeda berdasarkan jenis usaha perikanan yang dilakukan. Tingkat ketergantungan paling tinggi terdapat pada ikatan patron-klien pada usaha perikanan tangkap jaring muroami, kemudian pada ikatan patron-klien usaha perikanan tangkap ikan hias, ikatan patron-klien pada usaha perikanan budidaya dan
terakhir
pada
usaha
perikanan
tangkap
bubu.
Perbedaan
tingkat
ketergantungan ini dinilai berdasarkan perbedaan pengaruh patron terhadap usaha perikanan yang klien lakukan. Terdapat faktor yang berpengaruh pada hubungan antara dua variabel yang saling mempengaruhi yaitu ikatan patron-klien dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Faktor yang pertama adalah akses aktor terhadap sumberdaya dan yang kedua adalah derajat ketergantungan yang terjadi dalam ikatan patron-klien. Asumsinya, jika akses aktor terhadap sumberdaya semakin rendah, maka derajat ketergantungan yang terjadi dalam ikatan patron-klien semakin tinggi dan hal tersebut akan berpengaruh pada penegakan aturan dari patron yang berdampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir.
8.2 Saran Adanya pengaruh ikatan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam hal pembuatan kebijakan yang terkait bagi pengelolaan sumberdaya pesisir. Partisipasi masyarakat pesisir harus disertakan tidak hanya dalam pelaksanaan aturan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, tetapi juga dalam proses pembuatan, pelaksanaan hingga pengawasan. Dengan begitu, masyarakat akan lebih memiliki kesadaran terhadap aturan yang ada. Selain hal tersebut, pemahaman masyarakat setempat mengenai karakteristik sumberdaya alam
87
setempat yang terangkum dalam pengetahuan lokal masyarakat dapat menjadi tambahan pertimbangan pembuatan aturan pengelolaan sumberdaya pesisir yang memiliki dampak berkelanjutan. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menyertakan pihak patron maupun klien yang memiliki pengaruh besar pada ikatan tersebut. Untuk kemudian membantu pemerintah dalam tahap pengawasan penegakan aturan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir.
88
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Eva. 2002. “Analisis Penyusunan Model Pengelolaan Sumberdaya Laut: Tinjauan Sosiologi dan Kelembagaan di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu”. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 1999/2000. Buku Informasi Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Berkes, Fikret. 1989. Common Property Resources, Ecology and CommunityBased Sustainable Development. London: Belhaven Press. Bromley, Daniel W. 1992. Making the Commons Work. San Fransisco: Institute for Contemporary Studies. Dahuri, M., J.Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Geheb, Kim and Kevin Crean. 2002. “Community-level Access and Control in The Management of Lake Victoria’s Fisheries”. Journal of Environmental Management, Vol. 67, pp 99-106. Tahun 2003 Hartono, Tjahjo Tri & Agus Heri Purnomo & Zahri Nasution. 2007. Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Horton, Paul B & Chester L. Hunt. 1991. “Sosiologi”. Terj. Sociology. Jakarta: Penerbit Erlangga. Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan dan Mentalitas. Jakarta: Gramedia. . 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Ed 3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kusmayadi dan Endar Sugiarto. 2000. Metodelogi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nikijuluw, Victor.P.H. 1998. “Management of Coastal Areas by Villagers of Jemluk, Bali Island”. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Vol.1, No.1, Tahun 1998 . 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan PT. Pustaka Cidesindo. Platteau , Jean-Philippe.1995. “A Framework for the Analysis of Evolving PatronClient Ties in Agrarian Economies”. World Development Journal, Vol. 23, No. 5, pp.767-768, Tahun 1995
89
Ruddle, Kenneth dan Arif Satria. 2010. Managing Coastal and Inland Waters, pre-existing Aquatic Management Systems in Southeast Asia. Germany: Springer. Saad, Sudirman. 2009. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan Eksistensi dan Prospek Pengaturannya di Indonesia. Yogyakarta: LKiS. . 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Jakarta: Dian Pratama Printing. Satria, Arif dan Yoshiaki Matsuda. 2004. ” Decentralization Policy: An Opportunity for Strengthening Fisheries Management System?”. Journal of Environment & Development, Vol. 13, No. 2, pp. 179-196, Tahun 2004 Satria, Arif, Yoshiaki Matsuda dan Masaaki Sano. 2006. “Contractual Solution to the Tragedy of Property Right in Coastal Fisheries”. Journal of Marine Policy, Vol. 30, pp. 226-236, Tahun 2006 Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo. . 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. 2009. Bogor: IPB Press. Singarimbun Masri dan Sofian Effendi. 2006. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Pustaka LP3ES. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Subani, Waluyo. 1989. ”Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia”. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, Nomor: 50, Tahun 1988/1989 Tim Editor Sosiologi Umum Institut Pertanian Bogor. 2003. Sosiologi Umum. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Pustaka Wirausaha Muda.
90
LAMPIRAN
91
Lampiran 1. Aturan Pusat yang Berlaku di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu Zona a.
Inti I
Peruntukan Perlindungan penyu sisik
Diizinkan Pendidikan dan penelitian ilmiah
‐ ‐ ‐
b.
Inti II
Perlindungan mangrove dan tempat peneluran penyu
c.
Inti III
Perlindungan terumbu karang
Perlindungan
Pariwisata terbatas, kegiatan pendidikan, penelitian
Perkemahan, rekreasi pantai dan berlayar
‐
‐ Pariwisata
Pulau-Pulau Gosong Rengat
Penjaliran Barat, Penjaliran Timur, Peteloran Barat, Peteloran Timur Pulau Kayu Angin Bira, Belanda
‐
Pemanfaatan Intensif
Aktivitas Dilarang Dilarang masuk tanpa izin dari TNKPS Seluruh aktivitas manusia yang merusak alam Membuat bangunan
Membangun hotel dan rumah, penangkapan tradisional, rekreasi dan olahraga air
‐ ‐ ‐ ‐
Membangun hotel, rumah, dan bungalow Semua aktivitas memancing kecuali dengan pancing kail Menebang pohon dan menambang koral
Pulau Buton, Jagung, Karang Manyang, Rengit, Nyamplung, Sebaru Besar dan Kecil, Lipan, Kapas, Bunder, Hantu Timur dan Barat, Yu Timur dan Barat, Satu dan Kelor Timur
Merusak terumbu karang Menebang pohon dan menambang karang Mengambil kerang dan karang untuk dijual Penangkapan selain dengan alat tradisional
Pulau Kelor Barat, Gosong Laga, Gosong Sepa, Sepa Barat dan Timur, Jagung, Melinjo, Cina,Semut Besar dan Kecil, Melintang, Perak Petondan Barat dan Timur, Panjang Bawah, KA.Melintan, KA.Putri, Tongkeng, Macan Kecil, Putri Besar dan Kecil, Kuburan Cina, dan Pulau Bulat
92
Pemanfaatan Tradisional
Penangkapan tradisional oleh penduduk Kepulauan Seribu dan Budidaya
Seluruh aktivitas yang menyebabkan kerusakan bagi zona inti dan perlindungan
Pulau Dua Barat dan Timur, Kaliage Besar dan Kecil, Semut, Karang Ketamba, Karang Mungu,Opak Besar dan Kecil, Karang Bongkok, Kotok Besar dan Kecil, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Kelapa, Karya, Pramuka, Panggang.
Menyangga keberadaan jenis Pengembangan budidaya dan biota laut dan ekosistem yang pengembangan serta terdapat dalam wilayah pemanfaatan lain untuk TNKPS kesejahteraan masyarakat Sumber: Buku Informasi Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
Seluruh aktivitas yang menyebabkan kerusakan bagi zona inti dan perlindungan
Di luar kawasan taman nasional.
Penyangga
Pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional
93
Lampiran 2. Peta Wilayah Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu
Sumber: Buku Informasi Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
94
Lampiran 3. Hasil Pengolahan Data Kuantitatif
Tabel 1. Tabel Frekuensi Skor Responden berdasarkan Tingkat Pengaruh Variabel Tingkat Pengaruh Jenis Usaha Perikanan
Pemberian Modal
Penentuan Alat Tangkap
Penentuan Harga Ikan
Penentuan Hasil Tangkapan
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Muroami
1
3
6
3
0
7
0
3
7
10
0
0
Bubu
10
0
0
10
0
0
0
5
5
10
0
0
Ikan Hias
7
2
1
6
1
3
4
3
3
1
3
6
Budidaya
7
2
1
6
0
4
0
6
4
10
0
0
Tabel 2. Hasil Pengolahan Data Tabulasi Silang menggunakan SPSS for Windows versi 16.0 Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Jenis Usaha Perikanan * 40
Tingkat Ketergantungan
100.0%
0
.0%
40
100.0%
Jenis Usaha Perikanan * Tingkat Ketergantungan Crosstabulation Count Tingkat Ketergantungan Rendah Jenis Usaha Perikanan
Muroami
Tinggi
Total
1
6
3
10
10
0
0
10
Ikan Hias
4
4
2
10
Budidaya
5
5
0
10
20
15
5
40
Bubu
Total
Sedang
95
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Foto 1. Wilayah Pulau Panggang
Foto 2. Keramba Apung pada Usaha Perikanan Budidaya
96
Foto 3. Penempatan Bibit Ikan Kerapu pada Usaha Perikanan Budidaya
Foto 4. Perahu Nelayan dengan Alat Pancing, Bubu, dan Jaring Sederhana
97
Foto 5. Alat Tangkap Bubu Kawat