STUD1 KONSTRUKSI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING ( KASUS DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU)
AGUS IWAN HASWANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITLJTPERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMAS1 Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)" adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau hkutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak hterbitkan dari penuiis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2006
Agus Iwan Haswanto NRP. A. 155030061
ABSTRAK
AGUS W A N HASWANTO, Studi Konstndsi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). (SETIA HAD1 sebagai Ketua dan LUW ADRJANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Penerapan konsepsi sea f m i n g di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yang pengelolaannya bersifat limited enhy memerlukan konstruksi kelernbagaan Penelitian ini bertujuan memberikan input dalam proses konshuksi kelembagaan, berupa kajian kelembagaan existing dan kajian kelembagaan sea farming. Kajian kelembagaan existing didekati dari beberapa isy yaitu pola pemanfaatan sumberdaya selama ini, stukehoIders yang terlibat, aturan formal dan non formal yang ada xata persepsi masyarakat terhadap sumberdaya perikanan dan laut Kajian terkait kelembagaan sea f m i n g (berdasar konsepsi) didekati melalui potensi interaksi stakeholders (analisis game theory). Ditemukan akiivitas pemaufaatan sumberdaya selama ini telah sesuai dengan konsepsi sea farming walau belum terorganisasi secara utuh, mencakup 13 stakehoIders terkait yang didasarkan pada atumn formal (pemerintah). Persepsi masyarakat menunjukkm adanya kesiapan dalam penerapan konsepsi seafarming dan basil analisis game theory menunjukkan adanya potensi penerapan limited entry namun harus disertai dengan aturan yang jelas dan tegas. Dirasa perlu adanya komunikasi yang tepat antar stakeholders agar kelembagaan pengelolaan seafarming &pat terbentuk. Key word : kelembagaan, seafarming, limited enhy, stakeholders
STUD1 KONSTRUKSI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING ( KASUS Dl PULAU P NGGANG
hPZnAuAN sERrBU)
KAsuPATEN ADMINIS~RASI
AGUS IWAN HASWANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanam Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Tesis Nama Mahasiswa
NRP
: Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming
(Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) : Agus Iwan Haswanto : A155030061
-
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. 1r.Setia Hadi. M.Si Ketua
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembanrmnan Wilayah dan ~ e r d e & n
.
Dr. Ir.Lukv Adrianto. M.Sc Anggota
-kan
Sekolah Pascasarjana
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D
11 Mei 2006 Tanggal Ujian :..........................
d'
r .,I..< . 3 1 MAY 2006
O Hak cipta milik Agus Iwan Haswanto, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengut.@dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Imtitut Pertanian Bogor. sebagian atau seluruhnya dalam be& apa pun, bazk cetak,fotocopi, mmikrofilm, dun sebagainya
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul "Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)". Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis merasa, hampir tidak mungkin stud^ dan tesis ini bisa selesai tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh karenannya wajib kiranya mengucapkan terima kasih terutama kepada Dr. Ir.Setia Hadi, MSi dan Dr. Ir.Luky Adrianto, MSc atas kesabarannya didalam membibing dan mengarahkan penulis, serta kepada Dr. Ir. Ahmad Fauzi, MSc yang berkenan menguji demi sempurnanya tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bupati Rembang atas kesempatan yang diberikan, Bappenas atas pembiayaannya, Ketua Program studi, dosen dan staf Program Studi PWD atas ilmu dan pelayanannya, Rekan-rekan PWD 2003 atas kebersamaannya dan PKSPL-IPB atas kerjasama dan kesempatan yang diberikan kepada penulis, untuk lebih mendalami tentang pesisir dan laut. Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak, ibu, kakak dan adik baik di Rembang maupun di Singkil atas doa dan dorongan yang tak pernah hentihentinya. Tak lupa kepada istri dan anakku tercinta atas doa, kesabaran dan pengertiannya. Mohon maaf jika banyak melupakan kewajiban karena tesis ini. Akhimya, bersama rangkaian kata berikut, penulis berharap semoga hasil penelitian ini ada manfaatnya. "
Belajar ifu ibarat mendaki ke tempat finggi, agar dapat melilzat jauh di bawah
sana, untuk lebih tahu siapa kita, danpuncaknya adalah semakin b ~ a k s m "
Bogor, Mei 2006
Agus Iwan Haswanto
RIWAYAT HIDW
Penulis dilahirkan di Demak Jawa Tengah pada Tanggal 19 Agustus 1975, dari pasangan Ayahanda Moch Hasyim dan Ibunda Suwami, sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Pada Tahun 1987 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN I Dempet Demak, Tahun 1990 menamatkan pendidikan sekolah m e n e w pertarna di SMPN I Lasem Rembang dan Pada Tahun 1993, penulis lulus dan
SMA Negeri I Rembang. Pada tahun yang sarna, penulis melanjutkan studi di Fakultas Peternakan Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Diponegom Semarang dan
berhasil meraih gelar sarjana pada Tahun 1997. Pada Tahun 1998 penulis diterima sebagai PNS di Pemerintah daerah Kabupaten Rembang dan di Tahun 2003 berkesempahn melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi nmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan atas beasiswa dari Bappenas. Pada Maret 2005 penulis menikah dengan Ami Agusniar, SP dan saat ini telah dikaruniai seorang putra bemama : Sinau Hisyam Alfansuri.
DAFTAR IS1 Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................. I.
PENDAHULUAN ............................................ 1.1, Latar Belakang ....................................... 1.2. Perumusan Masalah .................................. .. 1.3. Tujuan Penellban ..................................... .. 1.4. Kegunaan Penelltian ..................................
I1.
TINJAUAN PUSTAKA ..................................... 2.1. Kelembagaan ........................................... 2.1.1. Konsep Umum ................................ 2.1.2. Kelernbagaan Masyarakat Pesisir ............ 2.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ............... 2.2.1. Pengelolaan Berdasar Sifat Open Access.. 2.2.2. Pengelolaan Berdasar Sifat Limited Entry 2.3. Sea Farming ........................................... 2.3.1. Konsep Dasar ........................... 2.3.2. Teknis Sea Fanning ........................ 2.3.3. Pengelolaan Sea Fanning............... 2.3.4. Konsepsi Kelembagaan Sea Fanning ....
111.
METODOLOGI PENELITIAN ............................. 3.1. Kerangka Pemikiran .................................. 3.2. Kerangka Pendekatan Operasional .................. 3.3. Metode Penelitian .................................... 3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................. 3.3.2. Jenis dan Sumber Data ............................ 3.4. Metode Analisis ...................................... 3.4.1. Analisis Deskriptif Pemanfaatan Sumber Daya Laut Puiau Panggang ............... 3.4.2. Analisis Stakeholder ......................... 3.4.3. Analisis Peraturan Perundangan .......... 3.4.4. Analisis Persepsi Masyarakat ............ 3.4.5. Analisis Game Theory ......................
IV.
KAJIAN KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN . . . . 4.1. Kondrs~F I S I............................................ ~ 4.2. Kondisi Kependudukan ................................ 4.3. Kondisi Sosial dan Budaya........................... 4.3.1. Kelembagaan Formal ........................... 4.3.2. Kelembagaan Adat ............................. 4.4. Kondisi perekonomian wilayah.......................
4.5. Kondisi Sarana Infrastruktur ......................... 4.5.1. Fasilitas Pendidikan ............................ 4.5.2. Fasilitas Penerangan ............................ 4.5.3. Fasilitas Air Bersih ............................. 4.5.4. Fasilitas Jalan dan Darmaga ...................
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................... 5.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Laut Pulau Panggang...................................................... 5.1.1. Perikanan Tangkap ................................... 5.1.2. Budidaya ................................................... 5.1.3. Wisata Bahari ............................................ 5.1.4. Konservasi ................................................ 5.1.5. Interaksi Antar Akhvitas Pemanhatan .... 5.2. Stakeholder Pemanfaat Sumber Daya Laut Pulau Panggang...................................................... 5.3. Peraturan Perundangan dalam Pemanhtan Sumber Daya Laut Pulau Panggang .................... 5.3.1. Hukum Tertulis .......................................... 5.3.2. Hukum Tak Tertulis (Norma) .................... 5.3.3. Peraturan perundangan sebaga~Landasan Penerapan Sea Farming .............................. 5.4. Persepsi Masyarakat Pulau Panggang ..................... 5.5. Potensi Interaksi Stakeholder ................................. 5.5.1. Pemerintah dengan Nelayan ....................... 5.5.2. Nelayan dengan Nelayan ........................... 5.6. Konstruksi Kelembagaan pengelolaan Sea Farming (Rekomendasi) ......................................................... 5.6.1. Proses Konstruksi .............................. 5.6.2. Output Konstruksi Kelembagaan ............
VI.
SIMPULAN DAN SARAN............................... 6.1. Simpulan ............................................................. 6.2. Saran ...................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................
DAFTAR TABEL
I . Pendekatan pemelihaman sumberdaya perikanan &lam konteks sea farming .di. Jepang .............................................. 2 Jadwal kegiatan penelltlan ........................................................ 3. Aspek variabel dan sumber data penelitian ............................. 4 . Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan stakeholder ............................................................................. resultan posisi stakeholder pada kuadran...................... 5. 6. Pemain, pilihan stmtegi danpay-offanalisis game theory ....... 7. M a h k sbtegi dan pahala permainan ...................................... 8. Pulau-pulau di Kelurahan Pdau Panggang.............................. 9. Parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan reefflat dan laguna pulau-pulau di gugus Pulau Panggang Kepulauan Seribu..................................................................... 10. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dan Penduduk Pulau Panggang 11 Pertumbuhan penduduk di Kelurahan Pulau Panggang ............. 12. Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang menurut umur.... 13. Jumlah penduduk berdasar tingkat pendidikan ......................... 14. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ................... 15. Data warung dan toko di Pulau Panggang................................. 16. Layanan transportasi di Kelurahan Pulau Panggang................. 17. Data Wisatawan dan tujuan Kunjunganya................................ 18. Data fasilitas pendidikan m u m di Kelurahan Pulau Panggang 19. Karakteristik alat tangkap nelayan Pulau Panggang.................. 20. Identitas stakeholder dan peranannya........................................ 21. Perbedaan antara UU No 9 Tahun 1985 dengan UU No 31 Tahun 2004............................................................. 22. Landasan Hukurn Konsepsi Sea Farming................................. 23. Daftar pendapat responden terkait kondisi sumber daya dan konsepsi seafarming .......................................................... 24 . Hasil analisis regresi nilai WTA terhadap karakteristik responden................................................................................ 25. Matrik pahala permainan pemerintah dengan nelayan.............
.
26. Matrik pahala permainan nelayan dengan nelayan.................. 27. Matrik pahala permainan nelayan dengan nelayan.................. 28. Rincian informasi terkait proses konstruksi kelembagaan ...... 29. Aturan main kelembagaan pengelolaan sea farming ..............
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Spektrum kontinum dari kemunglanan bentuk-bentuk organisasi ekonomi (Anwar.2001) .................................................................
2. Konsep Teknis Seafarming dengan beberapa teknologi budidaya perikanan laut yang saling bersinergi ............................................ 3. Konsepsi kelembagaan sea fanning di Pulau Panggang ( Adrianto. 2005) ........................................................................ 4. Pilar .pilar kelembagaan seafarming (Adrianto. 2005) ............ 5. Kerangka pemikiran penelitian ................................................... 6. Kerangka pendekatan operasional .............................................. 7. Peta lokasi penelitian (Soebagio, 2005) ....................................... 8 . Matrik analisis stakeholder Abbas (2005) ................................... 9. Pemanfaahn ~ a n laut g Pulau panggang selama ini ................... 10. Kelembagaan ekonomi dan rantai pemasaran hasil tangkapan ... . . 11. ~ e l e m b a & nlransPlantasi h g d i Pulau Panggang ............... 12. Interaksi antara berbagai pemanfaatan ruang laut di perairan Pulau Panggang p a d o p s i dari Harahap, 2005) .......................... 13. Pemetaan stakeholder pemadaatan perairan Pulau Panggang ..... 14. Urutan permainan, pilihan strategi danpay ofpermainan pemerintah dengan nelayan ........................................................... 15. Interaksi stakeholder dalam proses konstruksi kelembagaan ....... 16. Organisasi pengelolaan seafanning di Pulau Panggang ..............
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut Pulau Panggang .................... ......................... ................. 2. Data persepsi ekonomi masyarakat Pulau Panggang ..... 3. Perhitungan pay-offuntuk analisis game theory ... ... .. . .
I. PENDAHULUAN
Dahuri et. al. (2001) menyebutkan bahwa wilayah pesisir dan laut Indonesia yang menyusun sekitar 70% dari keseluruhan wilayah teritorial, merupakan salah satu sistem ekologi yang produktif, beragam dan kompleks serta menjadi andalan Di wilayah ini terkandung berbagai kekayaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan, misalnya : perikanan,
pariwisata, hutan mangrove, terumbu karang, bahan tambang dan jasa perhubungan. Secara logika seharusnya Indonesia sangat mungkin untuk menjadi negara yang berkecukupan, minimal bagi penduduk yang hidupnya tergantung pada laut, jika mampu mengelolanya dengan benar. Namun fakta yang kita jumpai saat ini ternyata be-
bahwa masyarakat
nelayan sebagian besar masih tergolong sebagai penduduk miskin. Degradasi sumberdaya laut pun terus terjadi, mulai dari overjshing hingga perusakan terumbu karang. Status sumberdaya laut dan perikanan sebagai milik negara (state property), pengaturannya dikendalikan oleh pemerintah pusat melalui
berbagai peraturan perundangan. Namun luasnya wilayah perairan laut negara ini menjadikan hampir tidak mungkin untuk mengklaim/menegaskan hak negara atas seluruh sumber daya yang ada karena biaya transaksi yang diperlukan sangatlah besar, terutama biaya monitoring. Kondisi ini mejadikan smberdaya laut kita bersifat quasr open access. Seperti yang diramalkan oleh Garret Hardin, yang dikenal dengan istilah The Tragedy of Commons, sumber daya yang bersifat open access dengan tidak
adanya ketegasan hak pengelolaan akan mendorong banyak pihak untuk ikut serta memanfaatkan secara maksimal namun tidak satupun berinisiatif untuk menjaganya. Tidak adanya kepastian juga mendorong sernakin tingginya persaingan dan
konflik yang pada gilirannya akan menyingkirkan nelayan-
nelayan tradisional sebagai akibat ekstemalitas teknologi. Dampak lebih lanjut adalah semakin tidak pedulinya nelayan setempat terhadap sumberdaya laut di wilayahnya.
Kondisi serupa dapat dijumpai dalam pemanfaatan sumberdaya laut di Kepulauan Seribu umumnya dan Pulau Panggang khususnya. Digunakannya potassium untuk menangkap ikan maupun dirusaknya terumbu karang oleh
nelayan setempat bukan karena tidak phamnya akan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup ikan dan juga dirinya, namun lebih karena penilaii bahwa t~dakada jaminan jika dia tidak melakukannya, maka nelayan yang lain juga tidak akan mae-
(diLema).
S e p d umumnya masyarakat pesisir dan pulau kecil, ketergantur~gan
masyarakat Pulau Panggang terhadap laut sangatlah tinggi. Sebagian besar bekeda sebagai nelayan (>SO??) dengan cara menangkap (berburu) yang merupakan cara turun-temurun Rusaknya sumberdaya laut di sekitar Pulau Panggan& menjadikan semakin tidak pasti hasil tangkapan, sementara modal (input) yang hams dikeluarkan cenderung tern meningkat. Hal ini merupakan masalah penting ba@ keberlangsungan kehidupan masyamkat Pulau Panggang secara keseluruhan. Oleh karenanya perlu upaya mengelola sumberdaya laut ini dengan pengelolaan yang mengarah pada kondisi lestari. Merespn kondisi ini, dengan mempertimbangkan berbagai basil kajian terkait, Pemerintah Kabupaten Administmi Kepulauan Seribu men& mengembangkan budidaya laut berdasar pada konsepsi sea fmming. Pada area gosong Pulau Semak Daun yang memiliki karang dalam seluas 315 ha dengan reeffrat seluas 303 ha, laguna 10 ha dan teluk seluas 2 ha (PKSPL, 2004) akan
dimanfaatkan untuk budidaya dengan berbagai teknologi seperti karamba jaring apung, karamba tancap serta area penebaran benih (sea ranching). Konsepsi sea farming yang dalam aktivitasnya akan melibatkan berbagai pelaku usaha dm menggunakan berbagai alternatif sistem teknologi, tentunya memerlukan suatu kelembagaan didalam pengelolaamya. Adanya teknologi budidaya dengan penebaran benih di laut bebas yang hanya mengandalkan batas alam (reefflat) tentu akan berpotensi menimbulkan konflik dalam memanfaatkan area tersebut jika tanpa ada pengaturan.
Karena di Pulau Panggang belum
terdapat kelembagaan yang sesuai untuk mengelola sea farming maka diperlukan konstruksi kelembagaan pengelolaan sea farming.
1.2. Perumusln Masalah
Mengkonstruksi suatu kelembagaan umumnya bukanlah proses yang sederhana, namun sebaliknya m e ~ p a k a nproses bertahap, memerlukan waktu dan bersifat multidisiplin. Oleh karenanya penelitian ini membatasi dengan penekanan
pada kajian sosial ekonomi terkait kelembagaan lama (existing) serta konsepsi kelembagaan barn sebagai bahan pertimbangan (input) dalam proses konstruksi kelembagaan pengelolaan sea fanning.
Lebih rinci pennasalahan yang akan
diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang
KAKS selama ini?
2. Siapa saja stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
dan laut Pulau Panggang KAKS? 3. Apa saja aturan formal dan non formal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang? 4. Bagaimana persepsi masyarakat tentang kondisi sumberdaya perikanan clan
laut Pulau Panggang saat ini serta tentang konsepsi seafarming? 5. Bagaimana potensi interaksi antar stokeholder dalam konsepsi kelembagaan
seafarming? 1 3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan : 1.
Mengetahui pola pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang KAKS selama ini.
2. Mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan clan laut Pulau Panggang KAKS. 3.
Mengetahui aturan formal dan non formal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan hut di Pulau Panggang
4. Mengetahui persepsi masyarakat tentang kondisi sumberdaya perikanan dan laut Pulau Panggang saat ini serta tentang konsepsi seafarming 5.
Mengetahui potensi interaksi dalam konsepsi kelembagaan seafarming.
1.4 Kegunaan Penelitiari Hasil penelitian ini diharaph dapt digunaksn sebagai bahan pertimbangan dalam proses ko&&i
kelerhgaan pnge!olaar. sea farming di
Pulau Panggang khiiswnya &n Kepulauan Seribu pada umumnya.
11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelembagaan 2.1.1. Konsep Umum
Poloma (2000) mendefinisikan kelembagaan sebagai organisasi atau
kaidah-kaidahbaik formal maupun informal yang mengatur prilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-haxi maupun dalam usahanya untuk mencapai tujltiln tertentu. Sedangkan menurut Kherallah dan
Kirsten dalam Fauzi (2005), secara mum kelembagaan diartikan sebagai suatu gugus aturan ( d e of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi,
pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagamya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok. Kelembagaan itu sendiri sebagian besar muncul dari kehidupan bersama dan merupakan ha1 yang tidak direncanakan Para warga masyarakat pada awalnya menCan cara-carayang &pat digunakan sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kemudian mereka menemukan beberapa pola yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam proses selanjutnya diperkuat melalui kebiasaan yang dibakukan (Taneko, 1984). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kelembagaan memberi ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Disamping itu tiap anggota mendapat suatu jaminan hak dan perlindungan dari masyarakat Menurut Anwar (2001), agar kelembagaan dapat berjalan dan Qtaati oleh para anggotanya, maka dalam kelembagaan tersebut harus ada struktur insentif
yang mengandung pahala(reward) dan sanksi (sanction). Tanpa sbuktur insentif, kelembagaan yang berbentuk hukum (legal) sekalipun tidak akan berjalan, sehingga hukum tertulis hanya ada & atas kertas saja. Secara ekonomi, menurut Pakpahan (1991) arti kelembagaan adalah memberikan kepastian tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyaknya. Adanya kelembagaan akan menurunkan derajat ketidakpastian dari a l i m manfaat atau ongkos yang akan diterima oleh partisipan dalam suatu sistem ekonomi.
Kelembagaan &pat diartikan sebagai organisasi atau aturan main Dari perspektif ekonomi, lembaga dalam artian organisasi biasanya menggambarkan abvitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administmi atau komando. Pasar bisa menjadi batas ektemal dari suatu organisasi akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordiiikan secara administratif. Selanjutnya dijelaskan kembali
oleh Pakpahan (1991), bahwa
kelembagaan dicirikan oleh tiga ha1 yaitu : hak-hak kepemilikan (propery right) yaitu berupa hak atas benda materi rnaupun non materi, batas yuridiksi (juridictional bowday) dan aturan representasi (role of representatian).
Perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan dari salah satu atau lebih unsurunsur kelembagaan tersebut di atas.
a Hak-halt kepemilikan @roper@ rigw, mengandung pengertian tentang hak dm kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat &lam hal kepentingannya terhadap surnber daya , situasi atau kondisi. Dalam bentuk formal, property right merupakan produk dari sistem hukum formal, dalam bentuk lainnya merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang &pat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Memiliki property right berarti memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan penggunaan sumberdaya untuk menciptakan ongkos bagi orang lain apabila ia menginginkan sumberdaya tersebut b. Batas yuridiksi (iuridictional boundary), menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaaan atau otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Duelaskan oleh Shaffer dan Schmid bahwa perubahan batas yuridiksi akan menghasilkan performance seperti yang diharapkan ditentukan oleh paling tidak empat hal, yaitu : perasaan sebagai satu masyamkat(sense of community),ekstemalitas, homogenitas dan skala ekonomi. c. Aturan representasi (role of representation) mengatur pernasalahan s i a p
yang berhak berpartisipasi dalam mengambil keputusan yang berhubungan
dengan sumberdaya yang dibicarakan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap per$omance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Ekonomi kelembagaan merupakan suatu sistem dalam pengambilan keputusan yang dianut oleh masyarakat dan melahirkan suatu aturan main yang menyangkut alokasi sumberdaya serta cam memanfaatkannya guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Menurut Anwar (2001) dalam dunia nyata pa& dasamya ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu (1) transaksi melalui pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya dan (2) transaksi melalui sistem organisasi yang berhierarkhi di luar sistem pasar (extra marker institution) dimana otoritas dan kewenangan berperan sebagai
koordinator dalam mengatur alokasi sumberdaya. Keterkaitan kedua bentuk organisasi ekonomi dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya, dijelaskan oleh Anwar (2001) seperti pada Gambar 1. Garis diagonal mencerminkan pencampuran (mixed)dari peranan harga sebagai invisrble hand dan karakteristik organisasi yang dikelola secara koordinasi yang terdapat dalam kelima alternatif strategi untuk koordinasi integral vertikal. Pada ujung kin spektrum dicirikan oleh karakteristik invisible hand yang
dilakukan oleh peranan harga sebagai sumber informasi.
Pada ujung lain,
koordinasi yang terkendali dibangun atas dasar mutual interest dari aktor ekonorni yang mempexkhrkan barang dan jasa dan mengikuti hubungan yang bersifat jangka panjang, mambagi keuntungan dan terbuka pada aliran informasi yang mantap yang saling mendukung dalam hubungm saling ketergan2.1.2. Kelembagaan Masyarakat Pesisir
Menurut Anwar (2002) masyarakat nelayan yang bermukim di wilayah pesisir mempunyai institusi tradisional yang telah lama dianut dan dipegang
-
secara turun temurun hingga sekarang dalam ha1 pengelolaan sumberdaya perairan secara berkelanjutan, sebagaimana kelembagaan adat pada kehutanan rnaupun perladangan. Institusi ini bertanggung jawab terhadap menejemen lingkungan menurut keahlian orang-orang/anggota yang terlibat dalam kegiatan
produksi tradisional tersebut. Praktek institusi yang berdasarkan tradisi lokal sangat dihormati oleh m a s y h t n y a . Pilihan-Pilihan Strategi ke arah koordinasi v e d a l Spo1/Cmh Market
Sitem kontrak
Aliansi Stintegis
Koperasi Fonnal
Int-i
Vertikai Karakteristik kcordinasi yeng dikelola
Karakteristik kcordinasi dari
Invisible Hand SeIfInierest Huburn jangka pendek
Mutual Inieresl Hubungan Longterm
Bwnded rafionali~, m y a kornpleksitas mengarah pada opportunisme
Pembagian hntungan
Pembagian (distdibusi) informasi yg mhka
Ke&hmsm
Distribusi Infomi
Stabilitas Interdipen-
FIexbifiiy independem
&MY
Pengendalian Ekskmat via harga dan
pembakuankualitas
Pengendalian Ekstemsl
via Spesifikasi dan ikatan legal
Saling mengontrol pihak yang satu
temadap yang lain
Pengendalian internal via st~hr terdesemra
Peagendali an internal via sa~kw tersentralisasi
lisasi
Sistem Pengendalian (Control System)
Gambar 1. Spektrum kontinum dan kemunglanan bentuk-bentuk organisasi ekonomi (Anwar,2001)
Terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut, Ruddle (1997) merinci unsur-unsur kelembagaan pengelolaannya sebagai berikut : a. A~hority(wewenang). Sumberdaya laut biasanya dikontrol penggunaannya oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencenninkan organisasi sosial lokaL Ada 4 (empat ) prinsipal yang diienali yaitu : kepala desa, pemimpin agama, ketua organisasi masyarakat, dan pemilik hak (ownership). Kategorikategori ini sering ditemui secara bersamaan pada satu individu (overlapping). Pengaturan di sini Giasanya terkait dalam pemdaatan dan perlind~mgan sumberdaya.
b. Right (hak kepemilikatl). Di bawah sistem tradisional, eksploitasi sumberdaya
hut diatur oleh hak kepemilikanlpenggunaan. Hak di sini menegaskan siapa saja yang dapat mengakses area laut Cfihing ground) dan bagi siapa yang melanggar ada sanksi hukumnya Pada umumnya masyarakat pesisir secara otomatis memiliki hak memanfaatkan sumberdaya laut terkait dengan statusnya sebagai masyarakat nelayan. c. Rules (aturan).
Aturan d i s i ~menjelaskan : substansi dm struktur hak
kepemilikan melalui penentuan bagaimana suatu hak dapat digunakan. Melalui aturan ini ditetapkan area geogafis penangkapan ikan, siapa yang
diphlehkan menangkap dan siapa yang tidak, dan bagaimana aturan jika orang luar ingin ikut memanfaatkan. d. Monitoring, accuntability dan enforcement.
Agar hak-hak dapat diterapkan
perlu adanya monitoring pelaksanaan aturan Bagi yang melanggar a& sanksi hukumnya. Pada pengelolaan sumberdaya hut berbasis masyarakat, tugas monitoring dan penegasan ahran dilakukan oleh masyarakat lokal. e. Sanction (Sanksi) Sanksi diperlukan bagi pelanggaran atas hak pemanfaatan sumberdaya dan pelanggaran atau pemsakan aturan lokal. Empat prinsip tipe sanksi adalah : sosial, ekonomi, hukuman fisik dan supernatural (ha1 gaib). Menurut Scott dalam Jentoft (2003) tedapat tiga pilar &lam kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu pilar peraturan (regulative pillar), pilar nilai (normative pillar) dan pilar kesadaran (cognitive pillar). Pilar peraturan menegaskan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pengaturan umumnya didasarkan pada peraturan formal. Sumberdaya perikanan yang bersifat
kompleks, bemgam dan dinamis menjadikan peraturan cenderung tern bertambah, berbeda dengan peraturan pada sumberdayalbidang lain. Pelaksanaan berbagai aturan ini tidak semata-mata tergantung dari keberadaan peraturan formal tersebut, tapi juga tergantung pada nilai moral yang ada pada masyarakat. Contoh kasus terdapat di sebagian wilayah Indonesia dimana nelayan mentaati aturan karena rasa takut pada Tuhan. Pilar kesadaran menunjukkan pentingnya komunikasi antara pemerintah dengan nelayan. Pada kasus tertentu nelayan melanggar aturan bukan karena sengaja namun lebih karena ketidakhhuan Hal ini karena aturan dalam perikanan sangat beragam dan dinamis. Berbagai bentuk aturan permainan baik yang bersifat formal maupun informal yang mengatur hubungan antara masyarakat nelayan dapat dijumpai di hampir setiap desa pantai di Indonesia (Scott,1994). Dari bentuk tersebut ada 4 (empat) sistem organisasi/kelembagaan yang sering ditemui yaitu : kelembagaan sistem bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan pemasaran dan kelembagaaa perkreditan. Fakta menunjukkan bahwa keempat bentuk kelembagaan ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pada umumnya masyarakat sering terlibat dalam hubungan ganda. Sistem bag^ hasil merupakan suatu kelembagaan perikanan yang terdapat
di desa pantai yang sering kali masih bersifat asli dan merupakan adat kebiasaan masyarakat nelayan secara turun - temurun. Pada umumnya sistem bagi hasil yang berlaku adalah : 1) pembagian hasil antar pemilik modal dengan operator, dan 2) pembagian antar operator (Juragan laut dengan anak buah kapal ). Besamya pembagian untuk masing-masing nelayan bisa berbeda, tergantung pada teknologi yang diterapkan dan komponen biaya yang ditanggung masing-masing pihak Dalam upaya meningkatkan kesejahteman nelayan dan pemerataan hasil sumberdaya perikanan sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak pengelola sumberdaya tersebut, pemerintah telah men&
mengatur sistem bagi hasil
perikanan melalui UU No 16 Tahun 1964 (tentang bagi hasil perikanan, tapi penerapan undang-undang tersebut banyak mengalami hambatan dikarenakan sistem bagi hasil perikanan lebih merupakan ikatan antar nelayan pemilik dan nelayan buruh yang bersifat lokal dan sangat berbeda antar daerah maupun peralatan yang digunakan (Taryono, et al., 1993). Kelembagaan bagi h a i l
perilcanan sebetulnya sudah melembaga jauh sebelum diundangkannya UU No. 16 Tahuti 1964 yaitu yang dibuat oleh masyarakat komunal setempat. Kelembagaan hubungan k q a yang mutualistik merupakan suatu hubungan keja antar pihak yang memiliki kelebihan dan juga sekaligus kekurangan dalam mengakses sumberdaya tertmtu. Pemilik modal punya kelebihan akses modal, tetapi kekurangan akses tenaga kerja. Sebaliknya terjadi
pada pihak pekej a (Mintoro et al., 1993). Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada kondisi ini masing-masing pihak menyadari kelebihan dan kekurangannya, sehingga dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar sesuai dengan apa yang ada pada diri masing-masing pihak tersebut. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia, sistem kelembagaan ini memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan antara "punggawa
-
sawi", di pantai utara jaw d i k e d istilah "juragan -
pandega", sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara 'Taukenelayan". Kelembagaan pemasaran didefinisikan sebagai badan - badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen ke pihak konsumen (Karsyono dan Syafaat, 2000). Termasuk dalam kelembagaan ini adalah produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa lainnya. Pemilihan bentuk saluran pemasaran yang panjang tentunya akan melibatkan berbagai stakeholder dalam saluran tersebut. Semakin panjang suatu rantai pemasaran, semakin tinggi harga akhir yang akan ditanggung konsumen dibandingkan harga jual pertama dari tangan produsen. Kelebihan ini mencerminkan insentif yang dikehendaki oleh pelaku rantai pemasaran sebagai pengganti dari fungsi pengangkutan, pergudangan, grading dan ha1 lainya yang mereka keluarkan. Namun hasil penelitian Pranadji (1989) menemukan fakta agak berbeda bahwa rantai pemasaran udang yang pendek di Jawa Timur tidak selalu beratti efisien dan menguntungkan bagi petani tarnbak. Hal ini tejadi karena petani tambak tidak bisa langsung berhubungan dengan para eksportir karena adanya ~katanhutang dengan penyalurlpedagang perantam.
Menurut Kusnadi (2001), pada negara berkembang pekejaan sebagai nelayan tidak selalu menyenangkan karena rasionalisasi dari hubungan kredit dan pemasaran (proses ekonomi). Keadaan ini disebabkan oleh 5 ha1 yaitu : 1) kondisi pasar tidak bersaing sempurna, dan lebih mengarah pada monopsoni, 2) hubungan nelayan kecil dengan para pedagang dalam bentuk kontrak cendenrng menguntungkan pedagang, 3) terkait dengan permintaan dan penawaran ikan melalui penjualan ikan oleh nelayan kecil yang terikat oleh bunga yang tinggi sebagai imbalan kredit yang diterimanya daii pedagang, sehingga pedagang bebas melalrukan proteksi melalui struktur pasar monopsonistik, 4) tidak adanya organisasi nelayan yang solid, sehingga masih menguntungkan &gang
dan
pabrik pengolah ikan dm 5) adanya hubungan kumulatif antara pemberi kredit dengan penerima kredit dalam pemasaran hasil-hasil perikanan mengikuti mekanisme yang dikembangkan sepanjang waktu. Kondisi nelayan yang serba tergantung, menjadikan sumber kredit yang paling penting bagi nelayan adalah dari pedagang pengumpul. Pedagang tidak hanya memberi kredit dalam bentuk uang tapi juga alat-alat produksi sampai dengan kapal dan kebutuhan lainnya dengan jaminan nelayan harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang tentunya relatif rendah dari harga pasar, ha1 ini menceminkan semakin lemahnya posisi tawar nelayan (Sidik, et al., 2000). Anwar (2001) menjelaskan bahwa disamping berfungsi untuk mengatur,
kelembagaan juga dapat menjelaskan siapa saja yang berhak mengambil keputusan dan siapa pemegang hak atas sumber daya Distribusi manfaat dan ongkos dalarn suatu masyarakat bukanlah ditentukan teknologi atau swnber daya
alam, melainkan ditentukan oleh keputusan masyarakat yang tercemin dalam bentuk kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat dan yang sesuai dengan taw-menawar yang telah ditentukan.
2.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan 2.2.1. Pengelolaan Berdasar Sifat Open Access
Kondisi open access telah menjadi ciri dari pemanfaatan sebagian besar perikanan laut di seluruh dunia berabad-abad lamanya. Pengelolaan sumberdaya
perikanan yang bersifat open access pada mulanya &pat memberikan dampak positif (terutama dalam jangka pendek) bagi nelayan secara keseluruhan atau kelompok masyankat, namun &lam jangka panjang adanya modemisasi sektor bahari yang bersifat tangkapan di wilayah pesisir dapat menimbulkan akibatakibat yang tidak menguntungkan (Anwar, 2001). Menurut Christy (1994) ada beberapa dampak nyata dari kondisi open access, yaitu : 1.
Adanya kecendeungan pemborosan sumberdaya secara fisik Tak seorang nelayanpun berminat menangguhkan penangkapannya sehubungan dengan pemulihan sumberdaya, karena apa yang disisakan untuk esok dapat saja ditangkap orang lain pada hari ini. Selungga stok ikan cenderung dimanfaatkan melebihi batas tangkapan lestari.
2.
Terjadinya pemborosan ekonomi. Dalam perikanan akses terbuka , adanya surplus keuntungan bagi nelayan pada awalnya, akan menarik nelayan lebih banyak untuk turut serta melaut, sehingga mendorong meningkatnya biaya total tanpa mampu meningkatkan penerimaan total.
3.
Rata-rata pendaptan nelayan skala kecil di negara-negara berkembang cenderung berada atau mendekati angka paling rendah. Hal ini karena akses terbuka d a p t menciptakan eksternalitas teknologi, dimana hasil tangkapan nelayan yang satu sangat tergantung pada tangkapan nelayan yang lain, dan
kemampuan nelayan menangkap salah s w y a ditelltukan dari teknologi yang digunakan 4.
Potensi terjadinya konflik Konflik dapat tejadi diantara nelayan yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan alat tangkap yang sama, atau antara nelayan yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan alat tangkap berbeda khususnya antara nelayan skala besar dengan nelayan skala kecil. Hal yang sama disampaikan oleh Anwar (1992) bahwa laut sebagai
common property resources yang tak mengenal batas-batas wewenang individual
bagi siapa saja yang memanfaatkannya, maka dari sudut teori maupun pengalaman empiris ekonomi, bahwa pemanfaatan sumberdaya tersebut akan mengarah kepada tejadinya misalokasi sumberdaya dan mengum kekayaan alam
tersebut. Hal ini disebabkan karena setiap individu nelayan atau perusahaan berkeinginan untuk memaksimumkan nilai tangkapannya, sehingga sumberdaya yang terbatas jumlahnya maupun kemampuan daya reproduksiiya mudah mengalami proses pengurasan dan hasil tangkapan per upaya tangkapan (catch per unit effort) makin lama lama semakin turun. SedangLan sumberdaya lain
seperti modal dan tenaga keja untuk menangkap ikan yang bersangkutan akibatnya menjadi terlalu mubazir dipakai pada kegiaian yang ti& pada pertumbuhan ekonomi. Akibat selanjutnya a h l a h bahwa kelestarian
sumberdaya pesisir akan menjadi terancam sehingga pada gilirannya akan terjadi proses pemiskinan para nelayan dan sumbangannya terhadap ekonomi menjadi hilang bahkan akan merugikan masyarakat secara keseluruhm Pada akhirnya proses tersebut dapat menimbulkan alribat lebih lanjut dengan punahnya beberapa jenis ikan dan biota lainnya yang bermanfaat sebagaimana yang terjadi pada beberapa wilayah di bagian dunia lainnya, seperti yang oleh Garret Hardin (1973) disebut The Tragedy of Commom. 2.2.2. Pengelolaan Berdasar Sifat Limited Entry
Gagalnya pengelolaan yang berdasar si& open access mendorong munculnya bentuk pengelolaan lain yaitu limited enby. Menurut Andersen yang diacli dalam Satria (2001) paling ti&
.
ada 2 kategori yaitu (1) berciasarkw
pembatasan input yang membatasi jumlah pelaku, jumlah dan jenis kapal serta jenis alat tangkap, dan (2) berdasarkan pembatasan output yang membatasi berapa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan quota Penerapan pengelolaan dengan adanya batasan--
ini cendenmg membentuk adanya
zonasi penangkapn ikan dan adanya Hak Penangkapan Ikan @PI) atau fishing rjght kepada sekelompok masyarakat tertenas sekqaimana hasil penelitian Saad (2000) untuk pengelolaan perikanan kepulauan. Selanjutnya ditambahkan
bahwa konsep HPI ini memiliki ciriciri yang cendenrng berkesesuaian dengan konsepnpemilikan tunggal" yang merupakan kebalikan dari konsep "milik bersama" (commonproperty). Alternatif pengelolaan sumber daya pesisir ,menunrt Anwar (2001) perlu adanya suatu pemikiran yang mengarah kepada tejadinya pelimpahan wewenang
pengelolaan (decentralitation) yang diberikan kepada komunitas masyarakat nelayan kecil atau pemerintah lokal desa. Pada gilirannya diharapkan dapat menjaga kerberlanjutan pemungutan dan pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir untuk masa yang lebih panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1. Dilimpahkannya hak-hak untuk memperoleh akses terbadap sumberdaya
perairan pesisir yang dapat menjamin ke-
individual nelayan
kelompok nelayan atau komunitas masyarakat nelayan
2. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan dari pemerintah pusat kepada kelompok masyarakat pesisir dan nelayan-nelayan lokal. Proses yang berlangsung seeam ketergantungan dari kemampuan masyaraka~setempat untuk dapat mengelola masalah-masalah secara selektif 3. Dikembangkannya suatu zona pungutan dan tan-
yang eksklusif yang
disebut hak-hak ulayat atau hak-hak teritorial (teritorial use right). Oleh karenanya kelembagaan addah sangat penting bagi surnber daya yang bersifat common resources, sebab tidak akan ada yang mengatur tentang pemakaian sumberdaya yang semakin langka (scarcity) tanpa adanya suatu
kelembagaan. Adapun contoh pengelolaan tradisional yang bersifat limited ently dapat dijumpi di Aceh ( H u hA d a t h r ) dan di Maluku (%I)
(Anwar, 1992).
Lembaga H u b Adat Laot berpusat di Banda Aceh, meskipun lama dihormati masyarakat tetapi baru diakui sejak Tahun 1972 oleh nelayan dengan dikoordinasikan oleh Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Lembaga ini membuat peraturan-peraturan secara tertulis yang bersumber dari peraturan-
peraturan yang sebenamya telah lama ada narnun tak tertulis. Untuk mengepalai dan mengawasi terlaksananya ketentuan adai laut tersebut diangkat seorang
pimpinan yang disebut Panglima Laot sekaligus sebagai Ketua Lembaga Hukum Adat Laot. Penentuan seorang Panglima Laot akan dipilih oleh masyarakat nelayan yang diwakili oleh para pawang. Dahulu jabatan Panglima Laot bersifat turuntennurun, namun sekarang telah berubah dimana semua nelayan berhak asal memenuhi syarat tertentu.
Tugas-tugas Panglima Laot meliputi: 1. mengawasi dan memelihara pelaksanaan Hukum Adat Laot
2. mangatur tata cara penangkapan ikan 3. menyelesaikan berbagai pertikaian yang tejadi dalam hubungannya dengan
penangkapan ikan di laut 4. menyelenggarakan upacara adat laut, gotong royong dan masalah-masalah
lainnya 5. menjaga/mengawasi kelestarian pohon-pohon di tepi pantai, terumbu karang,
biota-biota laut serta ekosistem laut secara keseluruhan
6. merupakan badan penghubung antara nelayan dengan panerintah dan panglima laot lainnya Kesediaan masyarakat memberikan legitimasi dan pengakuan terhadap kepemimpinannya bukan disebabkan oleh unsur paksaan, tetapi bersifat sukarela dan hormat,bahkan &pat dikatakan sesuatu yang wajar. Dengan demikian dalam
kepemimpinannya seorang pemimpin memiliki kekuasaan dan wewenang. Wewenang dari kepemimpinan panglima laot merupakan gabungan antara wewenang tradisional dan rasional (legal). Wewenang tradisional dapat dipunyai seseorang maupun kelompok orang, muncul karena kelompoknya sudah lama melembaga dan menjiwai masyarakst, sedangkan wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Adapun hal-ha1 yang diatur dalam Hukum Adat Laot seperti penggunaan alat tangkap, waktu penangkapan ikan, pantang laot atau ban-hari yang dilarang melaut, adat bag basil, wilayah penangkapan, sanksi hukum, sistem pelaporan, adat sosial, adat pemeliharaan lingkungan. Jika melihat ini semua maka kelembagaan hukum adat laot mempunyai arah untuk melakukan konservasi terhadap sumberdaya perairan dan desa pantainya. Sementara tentang mi, Anwar (2002) menjelaskan bahwa hukum adat yang berlaku di Maluku ini telah menggunakan aturan-aturan sistem legal dan strategi sosial yang mengarah kepada sistem pengelolaan yang efektif bagi sumberdaya hayati di wilayah pantai dan bahari di sekitar tempat pemukiman nelayan atas dasar tiga tujuan : (1) menjamin adanya akses terhadap kesempatan
di antara komunitas penduduk lokal yang lebih adil dan merata untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya alam peraimn pesisir; (2) menjamin sistem pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan secara efektif dari jenis-jenis biota yang berharga
dan menetap di sekitar perairan tempat tinggal komunitas dan, (3) menjamin bahwa anggota komunitas mempunyai kesempatan untuk secara tens-menerus memperoleh sumber makanan dan sumber pendapatan dari jenis-jenis biota wilayah pesisir dan bahari yang sewaktu-walrtu datang atau secara rnenetap hidup dalam wilayah perairan komunitas (Anwar, 1992). Masyarakat komunal nelayan lokal telah menciptakan berbagai pengahuan untuk mencapai tujm-tujuan di atas. Aturan-aturan ini dapat mempeogaruhi : (1) waktu musim tangkap; (2) mengkinkan atau menolak alat tangkap tertentu; (3) mengizinkan atau menolak tindakan penangkapan atau teknik-teknik tertentu; (4) pengatman panen untuk jenis-jenis b u s atau pengaturan cadangan khusus;
(5) menetapkan musim tangkapan khusus dalam wilayah perairan masyarakat komunal; (6) membuat konsepsi batas teritorial dan pemberian tanda-tan& batas secara fisik. Kata susi sebenarnya memiliki makna harfiah "larangan sementara" ,
seperti larangan untuk memanen kerang lola yang nilainya sangat tingg. Adapun pertimbangan yang digunakan untuk membuka dan menutup susi tersebut &lam suatu keluasan lahan maupun perairan beragam menurut faktor-faktor berikut : a derajat kebutuhan keuangan dari komunal seperti kebutuhan untuk upacara agama atau perkawinan yang akan datang, maka susi dapat dibuka, b. tingkat kematangan ikemasakan darijenis-jenis yang akan dipanen; c. keadaan cuaca seperti pada musim hujan yang anginnya kencang, maka
menyelam untuk mengambil ketimun laut tidak dizinkan 2.3. Sea Fuming
23.1. Konsep Dasar
Awalnya sea farming yang berupa ranching selanjutnya disebut sea ranching dapat didefinisikan sebagai aktivitas melepas telur ,larva, juvenile atau
ikan muda ke laut untuk me~ngkatkanpopulasi ikan atau hasil tangkapan Sea farming sudah dimulai sejak Abad 17 di Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat
Di dua negara terakhir, kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak Tahun 1887, dan kegiatan ini terus berlangsung sampai dengan Tahun 1967, namun tanpa dibarengi dengan evaluasi akan keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan ataupun hasil tangkapan
atau dampak ekologis dari akiivitas yang telah d i k h k a n (Plarenw & Bappekap KAKS, 2004) Dijelaskan lebih lanjut, strategi yang digunakan untuk melepaskan larva ke laut pada saat itu adalah dzngan mensikronkan waktu pelepasan dengan waktu dimana makanan larva di area pelepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidup larva dapat ditingkatkan. Hal di atas temyata menghadapi banyak hambatan, seperti adanya pemangsa, pola arus dan sulitnya penentuan
waktu yang tepat (terkait dengan kelimpaban prey). Oleh karenanya dilakukan penelitian-penelitian lanjutan yang memperoleh kesimpulan bahwa pelepasan juvenile atau ikan muda memberikan tingkat keberhasilan temnggi. Pelepasan ikan pada stadiajuvenile diawali oleh Jepang pada Tahun 1965, yang kemudian diikuti oleh Norwegia pada Tahun 1976 dan Amerika Serikat pada Tahun 1979. Selanjutnya teknologi pelepasan ikan tern berkembang dimana metode evaluasi dan hitungan ekonomis dan dampak sosialnya juga t e r n diiembangkan Sampai saat ini hanya tiga negara tersebut yang memilki perhatian tinggi terhadap kegiatan sea f m i n g tersebut dan Jepang menjadi kiblat dari
kegktan ini. Tujuan pelepasan ikan ke laut menurut Plarenco & Bappekap KAKS (2004) dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu : membangun suatu populasi atau
meningkatkan populasi ikan di suatu areal, menopang kegiatan spor$shing dan rekreasi serta meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Pelepasan ikan pada daerah tertentu harus memperhatikan aspek ekologis dan ekonomis. Aspek ekologis ini dimaksudkan agar tidak mengganggu proses rantai makanan di suatu areal tertentu dimana ikan yang dilepas haruslah ikan asli dari daerah tersebut atau ikan yang
ada pada daerah tersebut. Aspek ekonomis yang dimaksud adalah bahwa ikan yang dilepas haruslah memiliki nil& ekonomis yang penting pada suatu areal / daerah/ negara tertentu.
2.3.2. Teknis Sea Fanning
Pengembangan perikanan budidaya laut (marikultur) dalam rangka pemadhtan kawasan dapat a x q g m h n konsep sea fanning. Menurut Soebagio (2005), Seafammng adalah kegiatan berusaha tani di laut yang bisa dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan kemampuamya, yang terdiri dari : pembenihan ikan (hatchery), budidaya ikan dalarn karamba jaring apung (KJA), budidaya nunput laut dengan sistem longline, budidaya ikan dalam k a r a m b h d a n g tancap (pen culture), budidaya ikan dalam kandang sekat (enclosure), dan penangkapan ikan dalam kawasan sea ranching yang telah ditebari ikan (restocking) dimana setiap kegiatan budidaya tersebut saling mendukung dan sinergi (Gambar 2). PKSPL (2005) menjetaskan bahwa tujuan diterapkannya konsep sea farming meliputi: 1.
peningkatan produksi perilranan melalui kegiatan peningkatan stok ikan dan kegiatan budidaya
2.
pe~ngkatankesejahteraan dengan peningkatan pendapatan dan kegiatan ekonomi lokal
perairan
3.
menunjang konse~asi -1
4.
membangun sistem pengelolaan perikanan laut terpadu berbasis masyarakat yang berkelanjutan sebagai salah satu altematif mata pencaharian menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Secara teknis masing-masing aktivitas budidaya dalam sea fanning oleh Soebagio (2005) dijelaskan sebagai berikut: 2.3.2.1. Sea Ranching
Sea ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan lam yang terisolasi secara geografi dan alami. Kawasan karang dalam adalah suatu kawasan yang secara geografis dan alamiah mengisolasi ikan-ikan karang (demersal species), teripang, moluska dan crustacea (udang dan lobster). Secara reguler hatchery swasta melakukan kegiatan restocking beberapa benih ikan potensial ke &lam kawasan sea ranching (Nurhakim , 2001). Pemanenan dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Harmonisasi antara pihak hatchery yang melakukan
restocking
Laut dalam Gambar 2. Konsep Teknis Sea Farming dengan beberapa teknologi budidaya perikanan laut yang saling bersinergi
dengan nelayan yang melakukan pemanenan (pemgkapan) maka dibutuhkan kelembagaan yang memadai dan handal. 23.2.2. Enclosure
Enclosure adalah sistem budidaya yang dilakukan di peraim laut dimana sebagian besar dinding wadah dari sistem tersebut mempkan dinding alam (teluk, perairan di antara beberapa pulau) dan sebagian kecil berupa dinding buatan manusia (man made) bempa jaring, pagar kayu atau batu (PiUay, 1990). Kepadatan organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Prakteknya, budidaya &lam sistem enclosure ini tidak dilakukan pemberian pakan (no feeding) clan hanya mengandalkan ketersedian pakan alami. Kegiatan ini mengandalkan benih dari hatchery yang berlokasi di dekatnya Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fattening) di sistem cage culture atau pen culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang rendah 23.23. Pen Cultnre
Pen culture adalah sistem budidaya menggunakan wadah dengan dinding buatan manusia yank terbuat dari jaring atau kayu, semen-
dasar wadah berupa
dinding alam (Pillay, 1990). Kepadatan organisme budidaya tergantung kepada komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Beberapa komoditas yang potensial dalam sistem ini adalah abalon (Fall& 1991), teripang dan ikan kerapu. Prakteknya, budidaya dalam sistem pen cutrure ini bisa dilakukan pemberian pakan atau tanpa pemberian pakan (no feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemelihaman) untuk keperluan pembesaran (fattening) di sistem cage culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuam pembudidayaan menengah. 23.2.4. Cage Culture
Cage culture adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring, baik mengapung voating net cage) rnaupun menancap (Pillay, 1990). Semua dinding
wadah adalah buatan manusia. Sistem ini menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengngat kepadatan ikan tinggi , maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik yang mampu mensuplai oksigen yang cukup baik bagi organisme budidaya dm ketersediaan pakan yang cukup. Sistem budidaya h i seyogyanya dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi dengan menggunakan benih yang bermutu (Cowey & Cho, 1991). 2.3.2.5. Hatchery
Hatchery adalah unit pembenihan yang berfungsi menghasilkan benih bagi kebutuhan sistem'budidaya lainnya (Tucker Jr., 1998) untuk memproduksi benih dilakukan serangkaian kegiatan seperti pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva, pemeliharaan benih dan kultur pakan alami (Woynarovich & Howart, 1980). Dalam kegiatan budidaya perikanan faktor utama yang perlu diperhatikan antarti lain adalah pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya termasuk aktivitas di lahan atas, dan pengaruh kegiatan budidaya terhadap lingkungan Pengendalian pengaruh
kegiatan budidaya terhadap lingkungan perlu
dilakukan secara baik dan terencana. Penggunaan pakan tambalm, pupuk dan obat pembemntas hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya Aplikasi bahan-bahan tersebut dengan takaran yang tidak tepat, baik dosis maupun sifat persistensinya serta rembesan-rembesan (leachmng) dapat mencemari lingkungan perairan pesisir sekitarnya 2.3.3. Pengelolaan Sea Farming
Peran teknologi penangkapan yang ramah lingkungan dan selektif sangat menentukan keberhasilan sea farming. Untuk itu perlu adanya pengaturan terhadap jenis teknologi, metode pengoperasian, waktu penangkapan dan aturanaturan yang harus dipatuhi oleh nelayan dalam pelaksanaan operasi penangkapan Di jepang pengelolaan sea fanning mensyaratkan penggunaan teknologi ramah lingkungan, yaitu seperti memiliki selektifitas yang tinggi , sedapat mungkin
menangkap ikan dalam kondisi hidup dan dalam pengoperasiannya tidak mengganggu atau merusak lingkungan (Plarenco & Bappekap KAKP, 2004). Duelaskan pula bahwa keberhasilan dari kegiatan sea farming tentunya tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan teknologi budidaya semata dan aspek lainnya yang telah disebutkan, tetapi juga ditentukan oleh aspek sosial dari masyarakat dan peranan pemerintah daerah maupun pusat. Pengertian dari masyarakat pengguna sumberdaya laut dan pesisir secara langsung dan peranan pemerintah baik dalam ha1 dam maupun penyediaan aturan hukum lengkap dengan upaya penegakkannya sangat diperlukan dalam penerapan konsep sea farming.
Menurut OFCF (2002) ada tiga pendekatan pemeliharaan sumberdaya perikanan dalam konteks sea farming di Jepang yaitu (1) pengelolaan sumberdaya; (2) peningkatan kualitas lingkungan; dan (3) produksi benih . Masing - masing metode pendekatan tersebut di atas memiliki macam kegiatan seperti tertulis di Tabel 1. Tabel 1. Pendekatan pemeliharaan sumberdaya perikanan dalam konteks sea farming di Jepang No
Metode Pendekatan
, 2
I Peningkatan kualitas
Jenis Kegiatan
I
I Konservasi daerah pemijahan termasuk
lingk&an daerah penangkapan
I
I
[j - - - - f ~ & x n i h
I
Sumber : OFCF (2002)
I
melalui upaya rebolsasi bawah laut I'emeliharaan kualitas lingkungan air Pencegahan pencemaran
-
I
I Produksi benih dan transplantasi ikan . .....
Produksi dan transplantasi alga Rekayasa arus
.
I
Lebii lanjut dijelaskan bahwa &lam skala mikro ketiga pendekatan tersebut dilakukan secara aktif oleh koperasi perikanan sebagai representasi dari nelayan yang sekaligus menjadi anggota. Di Jepang, anggota koperasi dibagi menjadi dm, yaitu anggota penuh dan anggota tambahan. Anggota penuh memiliki kualifikasi sebagai orang yang tinggal di wilayah dimana koperasi berlokasi dan aktif melakukan penangkapan ikan 90
-
120 hari per tahun.
Sedangkan anggota tambahan berlaku untuk nehym p g tidak tinggal di daerah dimana koperasi berada tapi memiliki keinginan untuk melakukan kegiatan
perikanan di lokasi tersebut 2.3.4. Konsepsi Kelembagaan Sea Fanning
Adrianto (2005) rnenjelaskan bahwa sea farming pada dasamya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output (Gambar 3). Sub-sistem input merupakan prasyarat a w l pembentukan kelembagaan sea farming yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia falrtor pendukung (stppoTtingfactors) bagi beroperasinya sea farming di lokasi yang dituju Dalam sub-sistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demrca~ed fnhing rights sebagai penyamtan batas sistem operasi sea farming secara geografis (system boundary). Penentuan
fuhing right ini tidak &pat dilepaskan dari analisis h u a i a n ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi seafanning secara teknis ekologis. Sub-sistem kedua adalah marikultw (budidaya kelautan) dimana kegiatan pembenihan, pdedemn hingga pembesaran komoditas sea farming dilakukan. Sub-sistem ini merupakan jantung dari kegiatan sea farming karena input dan output ekonomi sea fanning pada dasarnya b e d dari sub sistem marikultur ini. Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output dimana komoditas sea farming akan diperdagangkan rnelalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku
sea farming pada saat yang sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Fungsi konservasi ini &pat melibatkan pemerintah daerah sebagai penjamin pasar bagi pelaku seafanning Dengan kata lain pemerintah daerah mermbeli stok dari pelaku
sea farming bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan pengkayaan stok alam perairan yang sesuai.
Masvarakat
Sea Farming
Definisi nelayan dan pembudidaya ikan
Fishing Right
Community Based Agribusiness System
4 Pendeder 3
Pembesar
1
Stock Enhancement
-
Pasar
b
T
Nelayan
t
Distribusi
4
Gambar 3. Konsepsi kelembagaan sea farming di Pulau Panggang ( Adrianto, 2005)
Selanjutnya dijelaskan oleh Adrianto (2005) bahwa terdapat tiga pilar kelembagaan sea farming yaitu Jishing right, insentif teknis, sosial dan ekonomi dan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Secara diagram ketiga pilar kelembagaan sea farming dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
SEA FARMING
v FISHING RIGHTS
&
Common Fishing Right Demarcated Fishing Right Set net Fishing Right
I
INSENTIF TEKNIS, SOSL* DAN EKONOMI
v SkiUteImis Skill b i Jaminan Pasar Social capitaIizing
v PENGELOLAAN SUMBER DAYA
&
Pagelolaan lingkungan perairan Pengaturan pemanfaatan sumber daya NaturaI capitalizing
Gamber 4. Pilar - pilar kelembagaan sea farming (Adrianto, 2005)
111. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Keberhasilan pembangunan secara umum termasuk sektor perikanan sekurang-kurangnya ditentukan oleh empat faktor penggerak yaitu sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), teknologi dan kelembagaan. Keempat faktor ini merupakan syarat kecukupan, artinya satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan maka tujuan untuk menmpaipr$ormance yang diharapkan tidak akan tercapai (Garnbar 5). Sama halnya dalam pengelolaan sumber daya laut dan perikanan Pulau Panggang, harapan terwujudnya kondisi lestari dari sumber daya yang Eersifat renewable namun terbatas, ternyata sulit terwujud karena ketiga faktor lain belum sesuai dengan persyaratan yang diharapkan. Faktor teknologi didominasi oleh cara tangkap dengan sebagian menggunakan alat dan cara yang tidak ramah lingkungan, sedangkan faktor SDM masyarakat Pulau Panggang masih terbatas dalam tingkat pendidikan maupun kemampuan dalam berorganisasi. Sementara faktor kelembagaan yang ada, tidak mampu memberi kepastian dan dorongan kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumber daya secata lestari. Kondiii ini t e m mendorong terjadinya degradasi sumber daya Iaut dan perikanan Pulau Panggang. Merespon kondisi ini, berangkat dari berbagai kajian terkait, Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mencoba mengembangkan model pengelolaan surnberdaya laut dan perikanan yang berbasis budidaya berdasar pada konsepsi sea farming. tepatnya di Gosong Semak Daun Kelurahan Pulau Panggang. Upaya ini diharapkan &pat mewujudkan pemanfaatan SDA laut Pulau Panggang secara lestari, sehingga diperlukan penyesuaian-penyesuaian pada faktor lainnya, baik SDM masyarakat Pulau Panggang maupun kelembagaannya. Sejalan dengan ha1 tersebut di atas, Fauzi (2005) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi akan menjadi driver perubahan kelembagaan perikanan, sehingga perubahan teknologi yang mengarah ke minimalisasi biaya transaksilah pang mestinya h a m didorong oleb pemerintah baik di tingkat lokal maupun pusat.
/ I I
Sumber Daya Manusia inasyarakat Pulau Panggang M
L
/
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Kajian dan hasil penelitian selama ini
1
Kelembagaan Bersifat Quasr open Access
x
Teknologi Dominan tangkap dan digunakannya cara tidak ramah lingkungan I
-
f '
I
1
Sumberdaya Alam Laut Pulau Panggang yang terdegradasi
4 Teknologi Marikultur berdasar Konsepsi Sea Farming di gosong Semak Daun
L
,
f .--* ----------
t
f
Area Studi Pola pemanfaatan sumherdaya Identitas dan peta stakeholder Aturan format dan non formal Persepsl masyarakat
]=I
Sumberdaya Alam Laut Pulau Panggang Yang lestari
Gambar 5 . Kerangka Pemikiran Penelitian
Kelembagaan Bersifat Lmrted Entry (Konsepsi)
J
\
t
t ................................................................
KONSTRUKSI KELEMBAGAAN Rekomendasi
r .
G u m b e r Days Manusia masyarakat Pulau Panggang
\
\ , _ _ _ _._. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
-
\
1
7
/
------
1
+ Interaksi stakeholder Persepsi masyarakat
.
N
m
Konsepsi sea farming yang pada prinsipnya adalah upaya mengelola potensi laut berbasis budidaya dengan beberapa teknologi yang saling bersinergi dan melibatkan berbagai pihak, tentunya memerlukan pengaturaa-pengaturan. Ruang laut Pulau Panggang utamanya Gosong Semak Daun yang tadinya bersifat terbuka bag^ siapa saja yang ingin memanfaatkan (quasi open uccess), ketika konsepsi sea farming diterapkan maka hams ada pembatasan (limited entry). Pembatasan ini dapat berupa jumlah nelayan, area tangkap, alat tangkap, waktu tangkap ataupun ukuran ikan yang ditangkap. Oleh karena kelembagaan lama tidak memungkinkan untuk mengatur pemaniktan berdasar konsepsi seafarming,, maka diperlukan upaya konstruksi kelembagaan. Mengingat proses membangun kelembagaan adalah proses yang bersifat multidisiplin, maka penelitian ini membatasi dengan penekanan pada kajian sosial ekonomi terkait kelembagaan lama (aisting)maupun kelembagaan bam (berdasar konsepsi) untuk memberikan rekomendasi bagi proses konstruksi kelembagaan pengelolaan seafarming. 3.2. Kerangka Pendekatan Operasional
Berdasarkan data primer dan sekunder akan dilakukan kajidanalisii terkait kelembagaan existing dan kelembagaan sea fnrming (berdasar konsepsi). Kajian ten&% kelembagaan existing meliputi pola p
e
e sumber daya,
stakeholder yang terlibat, aturan main dalam memanfaatkan sumber daya serta
persepsi masyarakat terkait kondisi sumber daya. Sementara kajian terkait kelembagaan sea farming, ditekankan pada potensi interaksi antar stakeholder
serta persepsi masyarakat tentang konsepsi sea farming (Garnbar 6). Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui jenis-jenis aktivitas pemanfaatan sumberdaya, interaksi antar aktivitas serta kelernbagaan pemasaran hasil tangkapan. Analisis ini juga digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat Pulau Panggang tentang kondisi sumber daya saat ini. Analisis peraturan perundangan digunakan untuk mengdentifikasi berbagai aturan formal maupun non formal serta payung hukum yang terkait bagi kegiatan sea farming. Sementara analisis Stakeholder bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan stakeholder berdasar perngaruh dan kepentingannya terkait pemanfaatan sumber
Kelembagaan pengelolaan sumberdaya laut Pulau Panggang (Existing)
Proses Konstruksi
Kelembagaan pengelolaan Seu Farming di Pulau Panggang
Data Sekunder
Data Primer
Data primer
I
1
Analisis Peraturan Perundangan
Data Sekunder
Analisis Stakeholder v Analisis Deskriptif
Analisis ,Gametheory
v
1 I
I
interaksi stakeholder dalam memanfaatkan
tentang kondisi SDA laut Pulau Panggang serta pola pemanfaatannya Gambar 6. Kerangka pendekatan operasional
Rekomendasi
masyarakat tentang SDA laut W a u Panggang
penerapan konsepsi seafarmlng
1
Analisis Deskriptif
daya. Sedangkan analisis Willingness to Accept (WTA) &&an
untuk
mengetahui persepsi ekonomi masyarakat Pulau Panggang terkait kondisi sumber daya. Analisis yang digunakan untuk kelembagaan sea farming (berdasarkan konsepsi) digunakan game theory analysis clan analisis deskriptif. Hasil analisis game teori diharapkan adalah potensi interaksi dan kecenderungan strategi yang dipilih oleh sfakehoIder.Sementara analisis CEeSkriptif ditujukan untuk mengetahui gambaran kesiapan masyarakat di dalam penerapan konsepsi sea farming. Informasi yang terkumpul baik yang terkait kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan &n hut Pulau Panggang selama ini dan kelembagaan sea farming (berdasar konsepsi), diharapkan dapat menjadi acuan bagi proses konstruksi kelembagaan pengelolaan sea farming di Pulau Panggang. 33. Metode Penelitian 33.1. Lokasi dan WaMu Penelitian
Lokasi penelitian adaIah di Kelurahan PuIau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, dimana
secara geografis wilayah ini terletak pada 106°08'00" BT hingga 106?8'W BT dan 5"40'00" hingga 5'47'00" LS. Kelurahan ini terdiri dari 13 pulau kecil dengan total luas mencapai 62,60 ha . Sementara jika ditambah dengan luas daerah
perairan mencapai 58,5 krn2 (Gambar 7). Adapun waktu penelitian direncanakan selama 6 bulan dari Juli hingga Desember 2005 (Tabel 2). Tabel 2 Jadwal kegiatan penelitian
No
Kegiatan
Waktu April - Juli 2005
1.
Pembuatan Proposal Penelitian
2.
Pengambilan Tabulasi data
3.
Analisis data hasil Januari -April 2006 penelitian dan penyusunan tesis
dan Juli - Desember 2005
Keterangan Studi Pustaka Pengumpulan data sekunder dan primer Tiap tahapan draft dilakukan konsultasi Perorangan maupun melalui sidang knmiqi
_
pur*nseut
"
*-Ksd,
TorQlnpp*-l
P
4P PebnbnW
,..., '", I
I,'.
.
'
P Pm-
P Pa(eqKen
'-linDBM
V K d w Duo
P W q a
PHasen
Keterangan :
0 0 0
: Wilayah Administrasi Kelurahan Pulau Panggang
: Area Seafarming (stock enhancement) : Area pemukiman
Gambar 7. Peta lokasi penelitian (Soebagio, 2005)
33.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang diperlukan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang belum tersedia clan diperoleh dengan cara mengambil langsung di lapangan melal~ri wawancara dengan responden. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi terkait serta laporan hasil - hasil studi dan penelitian tentang kegiatan di kawasan Kepulauan Seribu, baik dari instansi yang
ada di lapang maupun studi kepustakaan. Adapun aspek, variabel dan sumber data seperti terlihat @a Tabel 3. Penentuan responden dilakukan secara pmposive smnplng (analisis
stakeholder) dan random sampling (WTA Analysis dan persepsi masyarakat) dengan penggalian data menggunakan panduan kuesioner. Sementara jumlah responden didekati dengan rumus SIovin (1960) sebagaimana diacu Nirmala (2004), yaitu :
N n
=
1 +~ e ' Keterangan : N : Ukuran Populasi
n : Ukuran samplelresponden e : Nilai kesalahan yang ditentukan (10Y0) Penggalian data primer selain melalui penyebaran kuesioner, juga dilakukan melalui pendekatan PRA ( P d i s i p o r y Rural Apprasial) dengan melakukan FGD
focus group discussion).
3.4.1. Analisis Deskriptif Pemanfaatan Sumberdaya Laut Pulau Panggang
Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan pola pemanfaatan sumberdaya laut Pulau Panggang selama ini berdasarkan jenis aktivitas, interaksi diantara aktivibs-aktivitas serta pola pemasaran hasil tangkapan
34
Tabel 3. Aspek ,variabel dan sumber data penelitian
Hukurn DKI, DKP,
3.4.2. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan
pemahaman pada suatu sistem melalui identifikasi aktor kunci atau stakeholder pada suatu sistem dan menduga peranannya pada sistem tersebut (Grimble dan Chaq1995). Stakeholder didefinisikan sebagai semua yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh suatu kebijakan politik ataupun kegiatan pada suatu sistem, bisa sebagai individu, kelompok sosial, komunitas atau lembaga pada be*
level
dan tingkat sosial. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan stakeholder (tingkat kepentingan dan pengaruhnya) dalarn memanfaatkan sumberdaya laut di Pulau Panggang, serta potensi kerjasama dan konilik diantara stakeholder. Identifikasi dan pemetaan stakeholder dilakukan melalui wawancara dengan
panduan pertanyaan. Pengolahan data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data beqenjang lima (Tabel 4 ). Tabel 4 . Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan stakeholder
Sumber : Abbas (2005) Nilai tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder disandingkan sehingga diperoleh koordinatnya. Alat analisis yang digunakan adalah stakeholder grid dengan perangkat lnnak Microsofr Excel . Hasil analisis mengkategorikan stakeholder menurut tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap isu yang
dialamatkan (Gambar 8). Sementara posisi pada kuadran menggambarkan status stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya laut Pulau Panggang (Tabel 5 ).
Diketahuinya posisi ini merupakan informasi bagi potensi keterlibatan stakeholder didalam proses konstruksi kelembagaan. 3.43. Analisis Peraturan Perundangan
Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengkaji aturan formal maupun non formal yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah serta oleh masyarakat setempat dalam mengelola mang pesisir dan laut secara umum atmpun secara Wlusus untuk Pulau Panggang. Adapun aturan
Subjects (Kuadran I)
Bystanders (Kuadran HI)
Players (Kuadran 11)
Actors
6-
rV)
Gambar 8 . Matrik analisis stakeholder Abbas (2005) Tabel 5. Matrik resultan posisi stakeholder pada kuadran Pengaruh tinggi Pengaruh rendah Kelompk stakeholder yang Kelompk stakeholder Kepentingan tinggi yang penting namun perlu paling kritis (Kuadran I1 - Players) pemberdayaan (Kuadtan I-subject) Kelompok stakeholder yang Kepentingan rendah Kelompok stakeholder bermanfaat untuk perumusan yang paling rendah atau menjembatani keputusan kepentingannya (Kuadran III - bystanders) dan opini (Kuadran N - Actors) Sumber : Abbas (2005) pe~ndangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan, meliputi : - Undang-undang ( Perikanan, Perlindungan SDA & Lingkungan serta Otonomi daerah)
-
PPKepresKepmen (Budidaya Perilcanan, Taman Nasional dan Pulau-Pulau Kecil)
-
Perda DKI & KAKS (Pembentukan KAKS, Usaha Perikanan, Perlindungan lingkungan, Pengaturan ruang laut, Tata ruang Kepulauan Seribu)
-
A t m non formal masyarakat Pulau Panggang (Kesepakatan-kesejdcatan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya laut).
Hasil inventarisasi dan kajian ini digunakan mtuk menentukan landasan bagi aturan hukum &lam konsepsi seafarming di Pulau Panggang. 3.4.4. Analiis Persepi Masyarakst
Analisis ini mtujukan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang kondisi sumberdaya laut Pulau Panggang serta konsepsi sea farming. Penggalian data persepsi terkait kondisi fisik sumberdaya laut Pulau Panggang saat ini serta konsepsi sea fanning dilakukan melalui warn-
dengan panduan kuesioner.
Sementara untuk pengukuran nilai lingkungan digunakan pendekatan Contingent Valuation Met&
(0 Terkait . penilaian
lingkungan, Fauzi (2005)
menegaskan bahwa salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama be*
disiplin ilmu adalah pemberian harga (price tag).
Metode ini pada prinsipnya ingin mengukur seberapa besar responden ingin dibayar atau mau menerima kompensasi (Willingness to Accept/ ETA) atas rusaknya sumberdaya laut karena pengelolaan dalam kondisi quasi open access. Adapun mus yang digunakan adalah sebagai berikut : WTAi
=
f(l, E, A, Q. JJ
dimana I adalah pendapatan, E adalah tingkat pendidikan, A adalah umur, Q adalah jumlah tanggungan dan J adalah jenis pekejaan (Adrianto, 2005).
Tahapan dalam analisis willingness to accept ini adalah : 1. Mengetahui nilai maksimum keinginan menerima dari responden dilakukan dengan pertanyaan terbuka, 2. Menghitung rataan WTA setiap individu.
3. Memperkirakan kurva lelang, yang diperoleh dengan meregresikan WTA
sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas : Wi =f (l,E. A. Q, J ) 4. Mengagregatkan rataan nilai lelang, dengan melibatkan konversi data rataan
=pel
ke rataan populasi, yaitu dengan mengalikan rataan sampel dengan
jumlah rumah tangga dalam populasi 0.
Hubungan antara nilai WTA dengan karakteristik responden yang mencerminkan tingkat penghargaan pengguna terhadap sumberdaya yang selama ini diinfaatkannya, menurut Adrianto (2005) dapat diduga dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut :
dimana WTA
=
Jumlah minimum keinginan responden menerima kompensasi atas Nsaknya suatu sumberdaya
Xi
=
parameter pengukuran ke-i (seperti pendapatan, umur, pendidikan , jumlah tanggungan dan jenis pekejam)
3.4.5. Analisis Game Theory
M e m t Anwar (2002), teori permainan (game theoy) merupakan penelaahan mandasar yang menyangkut interaksi antara para pengambil keputusan terutama yang menyangkut interaksi strategik yang terjadi antara para peserta ekonomi. Teori ini menjadi penting karena &pat memberikan landasan fundamental bagi setiap interaksi hubungan-hubungan sosial dan ekonomi antar manusia. Lebih jauh Anwar (2002) menyatakan bahwa secara garis besar, permainan (game) dapat dibagi menjadi dua, yaitu permainan yang tidak bekerjasama (non cooperutive) dan permainan yang bekejasama (cooperative). Dalam permainan yang tidak bekej a sama, penyelesaian umumnya menggunakan pendekatan Nash equilibriwn. Jika ada segugus strategi yang mempunyai karakterist~kdimana tidak satupun pemain yang dapat beruntung dengan merubah strateginya, sementara pernain lainnya juga tetap mempertahankan (tidak mengubah) strategi mereka, maka gugus strategi itu dan pahala yang berkaitan dengannya dikatakan sebagai keseimbangan Nash (Nmh Equilibrium). Dalam permainan yang bekerjasama (cooperative game), menggunakan landasan pareto optimum, yaitu jika tidak ada seseorang yang dapat dibuat lebih baik keadaannya tanpa membuat seseorang lain menjadi lebih jelek. Apabila
tejadi perubakan dari keadaan pareto optimum, maka ini akan tejadi kerugian untuk keseluruhannya. Bentuk game ektensif (extensive form game) merupakan salah satu permainan bekeqasama (cooperative game). Manurut Anwar (2002) representasi dari suatu bentuk permainan yang ekstensif mempunyai kekhususan, yaitu : 1). Ada pemain-pemain &lam permainan
2). Bilarnana masing-masing pemain berge&
apa yang dapat diperbuat oleh
masing-masing pemain dalam kesempatannya untuk bergerak, apa yang dikatahui oleh masing-masing pemain pada kesempatamya untuk bergerak 3). Pahala @ay-om yang diterima oleh masing-masing pemain untuk setiap
kombinasi gerakan-gerakan yang &pat dipilih oleh pemain. Ada dua permainan yang disimulasikan dalam penelitian ini, yaitu antara pemerintah dengan masyarakat (P-M) dan antara nelayan dengan nelayan (N-N) (Tabel 6). Permainan antara pemerintah dengan nelayan digunakan bentuk ekstensif game, sementara permainan antara nelayan dengan nelayan menggunakan bentuk strategik game. Tabel 6 Pemain, pilihan stmtegi danpay-off analisii game theoy Permainan Pilihan s!mtegi Pemerintah - Quasi open access -Limited Enhy & Nelayan - Eksploitatf- Sustainable Nelayan & Nelayan
-
Menerima konsep seafarmrng Menolak konsep seafarming
Data pay- off
-
Biaya pengawasan - Manfaat konsewasi Pendapatan nelayan Predlksi pendapatan nelayan karena sea farming
Secara umum langkah - langkah yang ditempuh adalah sebagai krikut :
-
Membuat tabel pay-off dari masing-masing stakeholder (pmain), kemudian menetapkan besarnya nilai keuntungan dan kemgian dari masing-masing stakeholder berdasar strategi pilihannya (Tabel 7).
Tabel 7. Matrik strategi dan pahala permainan Pemain 2
I Pemain 1
A
B
A
1A;2A
1A;2B
B
1B;2A
1B;2B
-
Menetapkan kriteria strategi permainan. Pilihan strategi dan konsekuensinya untuk permainan antara pemerintah dengan nelayan adalah : Strategi pemerintah : memilih Quasi open access, dengan konsekuensi bagi pemerintah adalah
mengeluarkan biaya pengawasan untuk
menjamin b e r h g n y a
eksploitasi Iperusakan pada terumbu karang dan dapat dikendalikannya penangkapan yang tidak ramah lingkungan, atau Limited e n w , menegaskan hak pada kelompok masyarakat dan
menyerahkan pengawasan sepenuhnya pada masyarakat. Strategi Nelayan : memilih eksploitutg melakukan eksploitasi seperti biasa dengan menggmakan cara
tangkap relatif tidak ramah lingkungan sehingga mengakibatkan degradasi terhadap sumberdaya laut (terumbu karang). stlrrainable, melakukan eksploitasi berdasar kesepakatan kelompok
dengan menggunakan cara tangkap yang ramah lingkungan sehingga keberadaan sumberdaya laut (terumbu karang) dapat terjaga. Pilihan strate@ dan konsekuensinya untuk permainan antara nelayan dengan nelayan adalah : menolak konsep seafarming, dengan konsekuensi tetap melakukan upaya penangkapan ikan di laut secara eksploitatif, dengan resiko distribusi sumberdaya tidak merata dan proporsional dalam masyarakat nelayan dan menyelesaikan permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan hanya diantara nelayan sendiri tanpa mekanisme lembaga dan mediasi, atau menerima konsep sea farming, dengan konsekuensi memanfaatkan
sumberdaya
perikanan
laut
secara berkelanjutan
(penerapan konsep sea farming) dan distribusi sumberdaya relatif lebih merata dan proporsional dalam masyarakat nelayan sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan dan menyelesaikan permasalahan dalarn pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut melalui mekanisme kelembagaan dibantu mediator
ke dalam zona perlindungan Pulau Karya dan Pulau Peniki masuk pada pemanfaatan khusus yang masing-masing dipe~ntukkanbag TPU, perkantoran
dan rambu lalu lintas kapal. Pulau Kotok Besar diarahkan menjadi pulau wisata sementara pulau yang lain pada prinsipnya menjadi pulau penghijauan. Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185Kpts-IU1997 tanggal 3 1 Maret 1997 tentang Organisasi dan Tata Kej a Balai Taman Nasional dan Unit
Taman Nasional, sembilan pulau dari gugus pulau di Kelurahan Pulau Panggang termasuk dalam wilayah keja Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Menurut ketentuan di atas pulau-pulau tersebut yaitu Pulau Panggang, Pulau Kiuya, Pulau Kotok Besar, Pulau Kotok Kecil, Pulau Opak Kecil, Pulau Karang Bongkok, Pulau Karang Congkak, Pulau Pramuka, dan Pulau Semak Daun termasuk Zona Pemanfaatan tradisional yang berfungsi sebagai penyaring dam*
negatif dari
kegiatan manusia di dalam maupun di luar kawasan. Keberadaan zona ini sangat penting bagi kawasan konsewasi laut, sebab untuk menetapkan garis batas yang tegas sangat sulit dilakukan. Selain b g s i di atas, Pulau Semak Daun merupakan
pulau cagar alam dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, yaitu tempat bertelur, menwi makan dan
tumbuh dewasa penyu sisik serta tempt beristirahatnya burung-burung yang d i l i i seperti raja udang, camar laut, pecuk ular dan dara laut. Kelurahan Pulau Panggang secara geografis berada dalam sistem musim ekuator yang dipengaruhi oleh variasi tekanan udara. Musim barat terjadi pada bulan Oktober
- April, dimana tiupn angin bergerak dari barat laut ke
utara.
Kecepatan angin barat bewariasi antara 7 - 20 knot per jam bertiup dari arah barat daya sampai barat laut, angin kencang tejadi dari Bulan Desember sampai Februari hingga mencapai 20 knot'jam, sedangkan musim tenggara atau timur terjadi pada Bulan Mei hingga September, angin bertiup dari arah tenmenuju timur dengan kecepatan bervariasi dari 7-15 knot per jam. Musim pancaroba tejadi antam bulan April
-
Mei dan Oktober
-
November, dimana arah pergerakan angin tidak menentu dengan kecepatan angin rendah. Saat musim barat, biasanya nelayan mengurangi frekuensi melaut dengan mempertimbangkan cuaca dan gelombang, sehingga pada musim ini pendapatan
relatif menurun. Kondisi ini menunjukkan adanya hambatan-hambatan yang bersifat alami bagi aktivitas nelayan tangkap. Musim hujan berlangsung pada Bulan November hingga April, dengan jumlah hari hujan mencapai 10-20 hari per bulan dan puncak curah hujan tertinggi
teqadi pada Bulan Januari. Sedangkan musim kemarau berlangsung pada Bulan Mei sarnpai Oktober denganjumlah hari hujan 4-10 hari per bulan, dimana curah hujan terendah teqadi pada bulan Juni hingga Agustus. Air hujan bagi sebagian besar masyarakat Pulau Panggang mempakan sumber air minum, ha1 ini karena air tanah sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai sumber air minum
.
Kedalarnan air di wilayah Pulau Panggang s e m umum berkisar antara 40-50 m, namun terdapat juga beberapa tempat yang memiliki kedalaman 70 m (Dishidros, 1986). Secara umum kondisi pasang sumt di Kepulauan Seribu bersifat harian tunggal. Kedudukan air tertinggi adalah 0,6 m di atas duduk tengah dan air terendah berada 0,s m di bawah duduk tengah. Rata-rata tunggang air pada
pasang perbani adalah 0,9 m dan rata-rata tunggang air pada pasang mati adalah 0,2 m (Dinas Perikanan DKI, 1998) Kondisi Fisik, kimia dan mikrobiologi perairan Pulau Panggang secara umum masih tergolong baik (Tabel 9). Parameter suhu, kecedan, arus dan kekeruhan masih memenuhi ambang batas baku m u h Parameter kewaban yang berpengaruh bagi kehidupan biota laut yang berkorelasi dengan sedimentasi menunjukkan rata-rata jauh di atas ambang batas (>3 m), kecuali di Pulau Panggang yang merupakan p e m u k i i padat. Tingginya pembuangan limbah rumah tangga dan kapal (oli dan bahan bakar) saat berada di pelabuhan me~pakansalah satu sebab menurunnya kualitas fisik air laut di sekitar Pulau Panggang. Kondsi tutupan terumbu karang di Kepulauan Seribu umumnya dan Pulau Panggang khususnya menunjukkan kecenderungan p e n m a n . Penelitian pada
Tahun 1987 oleh Balai TNKS mencatat tutupan terumbu karang di Kepulauan Seribu berkisar 18,5%
- 82,5%, sementara khusus di Pulau Panggang berkisar
antara 36%-62%. Penelitian Tahun 1995 oleh Balai TNKS khusus di Pulau Panggang diperoleh nilai persentase penutupan karang 9,97% - 42,51% dan pada
Tahun 2001 penelitian Balai TNKS menunjukkan tutupan karang di Pulau Panggang tinggal2,61 - 37,5%. Tabel 9. Parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan reeffat dan laguna pulau-pulau di gugus Pulau Panggang Kepulauan Seribu
Sumber : -agio,
R&ya
2005
t e m b u karang akan menimbulkan banyak konsekuensi negatif
seperti abrasi, hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya nilai estetika panorama bawah laut yang akan berujung pada hilangnya swnber pengtudupan masyarakat . Penelitian Nirmala (2003) menyimpulkan bahwa kerusakan tenunbu karang di Pulau Panggang adalah lebih karena ulah manusia (antropogenic),
karena faktor lingkungan seperti kondisi fisik dan kimia laut (seperti kecerahan, kekeruhan, salinitas , suhu dan kandungan bahan kimia) masih dalam batas yang mampu menunjang pertumbuhan terumbu karang. Perairan laut di Kepulauan Seribu terdiri dari laut dangkal (shollow sea), perairan karang dalam berupa reef flat, laguna (goba), dan teluk serta selat merupakan potensi untuk aktivitas budidaya laut (marikultur) . Luas kawasan
potensial untuk marikultur tersebut diperkirakan mencapai 4.376 ha (Soebagio, 2005). Pulau Panggang yang mempakan gugus pulau di bagan utara Kepulauan Seribu memiliki potensi budidaya tersebar dengan rincian sebagai berikut : Pulau Semak Daun 315 ha; Pulau Karang Congkak 189,22 ha; Pulau Karang Bongkok 103,7 ha; Pulau Panggang 102,77 ha; Pulau Air dan Pulau Gosong Air 80,12 ha serta Pulau Kotok Kecil21,46 ha Namun potensi ini bampir belum t e d t k a n sama sekali. Disamping
karena aktivitas budidaya laut di Pulau Panggang masih jarang, masyarakat yang
berminat berbudidaya lebih cenderung memilih lokasi budidaya yang berdekatan dengan tempat tinggal, dengan alasan mudah &lam pengawasan dan pemeliharaannya Sementara diketahui bahwa kualitas air di sekitar pemukiman Pulau Panggang relatif kurang baik dibandingkan dengan lokasi lainnya. 4.2. Kondii Kependudukan
Kelurahan Pulau Panggang yang secara administrasi terbagi dalam 5 RW memiliki jumlah penduduk mencapai 4434 jiwa (Tabel 10). Ketiga RW pertama (01,02 dan 03) berada di Pulau Panggang yang memiliki luas 9 ha, sementara RW 04 dan 05 berada di Pulau Pramuka dengan luas 16 ha. Kepadatan penduduk di
masing-masing pulau adalah 379,67 jiwa/ha untuk Pulau Panggang dan 63,56 jiwaha untuk Pulau Pramuka. Kepadatan penduduk di Pulau Panggang termasuk kategori sangat padat, sementara di Pulau Pramuka tergolong kurang padat. Tabel 10. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dan Penduduk Pulau Panggang Per RW
Sunzber : Laporan Bulanan Kelurahan P. Panggang /Mei 2005)
Tingginya kepadatan hunian di Pulau Panggang telah memberi tekanan yang berarti bagi daya dukung pulau. Dampak yang telah terasa adalah terkonfaminasinya air tanah dengan air hut sehingg tidak layak untuk sumber air
minum. Limbah rumah tangga juga telah mencemari perairan sekitar pulau karena terbatasnya area damt untuk pembuangan sampah. Kondisi ini diperburuk dengan jumlha penduduk yang tern bertambah (Tabel 11) Tabel 11 Perturnbuhan penduduk di Kelurahan Pulau Panggang
( Laju rata- ]
Tahun (Jiwa)
I
I
Pramuka
876
I
906
I
950
I
I
963
1017
3.3
Sumber : Soebagio, 2005 Jumlah penduduk yang terns bertambah tentunya akan menjadi persoalan tersendiri bagi pengelolaan wilayah Pulau Panggang yang luasannya terbatas. Mengantisipasi bertambahnya penduduk, saat ini telah dilakukan kebijakan reklamasi di bagian selatan pulau untuk mengimbangi bertambahnya jumlah penduduk Disatu sisi upaya ini berdampak positif bagi tersedianya tempat tinggal masyardat, namun disii lain upaya ini berpotensi me&
ekosistem pesisir
(padang lamun) yang sedikit banyak akan berpengaruh pada kehidupan biota laut lainnya. Kornposisi penduduk menurut umur menunjukkan bentuk piramida,
dimana usia muda menduduki jumlah terbanyak dan semakin sedikit dengan meningkatnya usia (Tabel 12). Usia
produktif (15
-
60 tahun) memiliki
proporsi mencapai 60,08%. Proporsi ini dish sisi menunjukkan adanya potensi bagi tenaga kerja, namun disisi lain jika tidak disertai dengan adanya lapangan usaha maka akan menimbulkan banyak pengangguran yang betakibat lanjut pada
berbagai penyakit sosial di masyarakat. u m &pat Kondisi pendidikan masyarakat Pulau Panggang secanr m
digolongkan masih rendah (Tabel 13). Lebih dari 70% penduduk memiliki tingkat pendidikan maksimal tamat sekolah dasar, sementara yang melanjutkan hingga ke jenjang perguruan tingg kurang dari 2%. Ada beberapa sebab, yang utama adalah kesadaran yang masih kurang, disamping ha1 lain se@ dan
keterbatasan ekonomi
minimnya sarana prasarana. Rendahnya kesadaran masyarakat nelayan
terhadap pentingnya pendidikan karena prasyxat pekejaan nelayan (tradisional) yang kurang mementingkan tingkat pendidikan tapi lebih pada keterampilan.
Tabel 12. Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang menurut umur
Tabel 13. Jumlah penduduk berdasar tingkat pendidkin No
Tingkat Pendidikan Junllah 1 2823 Tidak dan k l u m sekolah 2 22 Tidak tamat SD 3 280 Tamat SD 4 132 Tamat SMP 125 5 Tamat SMA 6 52 Tamat Akademil Sarjana Sumber : Laporan Bulanan Kelurahan Pulau Panggang (Mei 2005) 4.3. Kondisi Sosial dan Budaya
Kondisi sosial dan budaya masyarakat pada umumnya t e r m i n dari berbagai aktivitas bersama baik dalam wadah kelembagaan formal maupun non formal.
4.3.1.
Kelembagaan
Kelurahan Pulau Panggang adalah satu dari tiga kelurahan yang ada di Kecamatan Kepulauan Seribu Utam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kelurahan ini terbagi menjadi 5 Rukun Warga (RW) dengan 29 Rukun Tetangga (RT), dimana 3 RW terletak di Pulau Panggang sedangkan 2 RW ada di Pulau Pramuka. Kepengurusan RT dan RW dibentuk melalui penunjukkan clan pemilihan langsung. Disamping pengurus RW dan RT di setiap RW juga ada Dewan Kelurahan yang ditunjuk langsung oleh masyarakat sebagai fungsi penyeimbang kepengurusan formal RW. Petanan kelembagaan pemerintah sangat terasa di masyiuakat. Berbagai aktivitas sosial seperti kerja bakti, pertemuan-pertemuan, serta kegiatan sosial lainnya pada umumnya di bawah koordinasi kelurahan. b. Kelompok Masyarakat
Kelembagaan formal yang dibentuk oleh masyarakat umumnya terkait dengan aktivitas kesehariannya Di Pulau Panggang terdapat beberapa organisasi nelayan, namun yang aktif saat penelitian dilaksanakan didapti organisasi Pernitas dan Dewan Perlindungan Laut (DPL). Pernitas (Perhimpunan Nelayan Ikan Hias dan Tanaman Hias ) didirikan pa& Tahun 2004 sebagai upaya untuk menjamin kelancaran tramaksi ikan hias dan tanaman hias dari Kepulauan Seribu pada umumnya dan Pulau Panggang khususnya. Menurut keterangan pengurus Pernitas, selama ini sering transaksi ikan dan tanaman hias (sebelum dilarang) dikenai berbagai biaya transaksi (pungli) yang tidak semestinya selarna dalam pejalanan menuju Muara Angke oleh para oknum. Keberadaan perhimpunan ini bertujuan untuk mempermudab diperolehnya surat jalan dari Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu sehingga lancar dalam proses pengirimannya. Pada waktu didirikan, Pemitas beranggotakan 150 orang yang terdiri dari nelayan dan supplier. Namun adanya pelarangan perdagangan tanaman hias (karang) menjadikan sebagian anggota yang kegiatannya adalah nelayan dan supplier tanaman hias menjadi kurang aktif
Dewan Perlindungan Laut (DPL), suatu lembaga / kelompok nelayan yang dibentuk atas inisiatif pemerintah namun proses pemilihan anggotanya dilakukan langsung oleh masyarakat. Lembaga ini diberi kepercayan untuk mengelola sebagian wilayah perairan Kelurahan Pulau Panggang (300mZ)sebagai kawasan perlindungaa Pada area ini dilakukan penebaran benih (restocking)atas fasilitasi pemerintah dan dilindungi dari upaya penangkapan. Berdasar penuturan pengurus DPL, respon masyarakat terhadap larangan menangkap di area restocking sebagairnana tersebut di atas, tergolong baik, walaupun terkadang masih ada yang men&
melanggar. Hal ini tedmntu oleh
letak lokasi restocking yang dekat dengan jalur pelayaran sehingga memudahkan
dalam pengawasan.
Kelembagaan adat yang umum dijumpai di pemukiman pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia bagian timur, ternyata tidak dijumpai di Pulau Panggang. Tradisi atau kesepakatan lokal didalam memanfatkan suatu sumberdaya terutama hut, saat ini sulit dijumpai. Wawancara dengan beberapa warga, menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dulu pernah ada terkait pemanfaatan sumberdaya perikananlaut, sekarang telah mulai memudar. Diduga terdapat dua sebab utarna, yaitu bervariasinya asal penduduk Pulau Panggang dan tingginya interaksi dengan masyarakat luar. Beberapa masyarakat menyatakah W w a sebagian besar penduduk Pulau Panggang addah ketumnan suku Bugis dan Mandar, sedangkan penduduk lainnya berasal dari Betawi, Sunda
dab Jawa. Namun saat ini sebagian masyarakat sudah mulai kesulitan untuk menyatakan dari mana a d usulnya (keturunan suku apa). Ititeraksi yang tinggi dengan masyarakat luar, terutama dengan Jakarta terjadi karena semakin meningkatnya layanan transportasi, baik oleh fasilitasi pemerintah maupun masyarakat sendiri, bersamaan dengan dijadikannya Kepulauan Seribu sebagai tujuan wisata bahari.
Ada berbagai aktivitas yang menggerakkan perekonomian di Kelurahan Pulau Panggang seperti tercermin dari jenis-jenis pekerjaan masyarakat F'ulau Panggang (Tabel 14). Kegiatan penkanrJl di Pulau Panggang mempakan kegiatan ekonomi hulu yang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi selanjutnya. Tinggi rendahnya hasil tangkapan akan sangat mempengaruhi tingkat transaksi aktivitas lainnya, seperti perdagangan maupun jasa transportasi. Tabel 14. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Sumber : Lapom Bul-
Kelurahan P.Panggang (2005)
Lebih dari 800?penduduk Pulau Panggang menekuni pekejaan nelayan Alat tangkap yang digunakanpun beragarn, mulai dari pancing, buby jaring
insaag, jaring pyang, jaring muroami maupun jaring ikan hias. W i g - m a s i n g alat akan memberikan hasil tangkapan yang berbeda, mulai dari ikan pelagis kecil hingga besar, ikan demersal clan juga ikan hias. Berdasarkan pengelompokan saat penjualan, hasil tangkapan nelayan dapat dibedakan dalam ikan konsumsi dijual mati, ikan konsumsi dijual hidup dan ikan hias, masing-masing memilii
pengumpul yang be*-beda. Berdasarkan status kepemilikan alat tangkap atau modal, nelayan di Pulau panggang dapat dibedakan menjadi nelayan pemilik (21,55%) dan nelayan buruh (78,44%). Dari total nelayan yang ada 96,100? adalah nelayan penetap sedangkan
sisanya merupakan pendatang yang umumnya berasal dari Subang, Indramayu, Jawa Tengah dan Sulawesi. Status hubungan kerja antara pemilik modal dengan nelayan pekerja dijumpai beragarn. Ada yang menerapkan model bagi hasil, sistem gaji maupun kontrak. Umumnya nelayan yang tipe harian (pancing, buby ikan hias, payang) menggunakan sistem bagi hasil sesuai kese-.
Sedangkan nelayan mingguan
dan bulanan (muroami) lebih sering menggunakan sistem gaji dan kontrak ditambah adanya insentif tergantung hasil tangkapan. Pemasaran hasil tangkapan sebagai transaksi perdagangan rutin yang utama, nelayan biasanya memilih ke pengumpul setempat yang biasanya merangkap sebagai pemilik kapal. Pemilihan ini bukan semata-mata karena harga atau sukarela, tapi lebih karena adanya ikatan diantara mereka. Ikatan umumya dalam bentuk hutang maupun bantuan dari supllierlpelele kepada nelayan
Selain transaksi perdagangan basil laut, banyak dijumpai pula transaksi
barang dan jasa lainnya (Tabel 15). Data ini belum mencatat aktivitas rumah tangga yang dilakukan oleb sebagian ibu rumah tangga dengan membuat makanan kecil. Diduga dari berbagai aktivitas perdagangan diantara sesama rnasyarakat pulau, merupakan potensi tejadinya pendistribusian pendapatan. Umumnya barang-barang kebutuhan primer dapat dicukupi melalui perdagangan di pulau, sedangkan barang-barang sekunder dan tersier (elektronik, sepeda motor dll) harus dibeli langsung ke Jakarta atau Tangerang. Tabel 15 Data warung dan toko di Pulau Panggang Jenis Wanmg makan Penjual bakso Toko kelontong Toko material Fotokopi Sumber : data diolah (2005)
Jumlah 6 5 47 3 2
Kegiatan transportasi relatif lancar baik antat pulau pemukiman dalam satu kelurahan maupun ke Jakarta, Tangerang dan kelumhan lain (Tabel 16). Selain melayani penumpang, kapal-kapal ini juga mendistribusikan hasil laut ke pasar Jakarta. Kegiatan pariwisata bahari di kelurahan Pulau Panggang umumnya karena ketertarikan pada kondisi pulau s e a m fisik dan panorama bawah hut. Kondisi fisik perairan Pulau Panggang dan sekitarnya masih relatif bersih jika dibandingkan dengan perairan di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Disarnping terdapat penginapan (Di Pulau Prarnuka) juga dsedakan persewaan alat untuk menyelam dan snorkling. Proporsi wisatawan yang berkunjung di Kepulauan Seribu dengan tujuannya dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 16 Layanan transportasi di Kelurahan Pulau Panggang layanan Waktu Rute P Pramuka- I Ojek kecil ( Pagi hingga sore P. Panggang P Pramuka - Ojek besar Pagi dan siang M Angke P Pramuka - Kapal wisata Pagi dan siang Marina & pemerintah Pagi tiap hari P pramuka - Ojek besar P m &an P Pramuka - Oiek besar Pagi - dan sore P harapan Sumber : Data diolah (2005)
1
2000
I Jumlah I 7 kapal
25.000
7 kapal
35.000&100.000
2 kapal
25.000
2 kapal
5.000
5 kapal
Biaya (Rp)
I
I
1
Tabel 17 Data Wisatawan dan tujuan Kunjunganya
1
Asal
I
Proporsi
I
Tujuan
Domestik
(%) 84,33
Berenang, mancingjalan-jalan
Manca Negara
15,67
Menyelam, snorkling, bedemur
1
Sumber : Harahap (2005) 4.5. Sarana Infrastruktur Secara umum pembangunan sarana infiastruktur di Pulau Panggang tergolong maju dan relatif lebih baik dibandingkan lokasi lain di Pulau Jawa apalagi luar Jawa. Di lokasi ini hampir tidak ditemui jalan yang rnasih terbuat dari
tanah, berbeda dengan di daerah lain Besarnya anggaran Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memungkinkan untuk memberi pelayanan yang baik bagi warganya termasuk masyarakat Kepulauan Seribu. Namun tingginya potensi pembangunan fisik di Pulau Panggang (luas 9 ha), menjadi hal yang perlu diwaspadai. Keterbatasan luasan pulau dengan sifat-
sifat alaminya berpotensi terganggu alabat pembangunan yang tidak terarah. Pembangunan sarana fisik di Pulau Panggang seharusnya mengikuti arahan tata ruang yang selalu memperhatikan daya dukung lingkungan.
4.5.1. FasiLitas Pendidikan
Fasilitas pendidikan di Pulau Panggang tersedia dari pendidikan dasar hingga tingkat atas (Tabel 18). Lokaslnya berada di dua pulau pemukiman, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Fasilitas ini tidak hanya untuk masyarakat Pulau Panggang saja, tapi juga untuk kelurahan sekitar. Tabel 18. Data fasilitas pendidikan mum di Kelurahan Pulau Panggang
12 SMAN69 Jakarta
295
40
Sumber : Laporan bulanan Kelurahan Pulau Panggang (2005) Mengingat bahwa Kepulauan Seribu memiliki keunggulan pada potensi kelautan baik perikanan maupun wisatanya, maka di bidang pendidikan sangat layak untuk didirikan sekolah kejuruan yang sesuai. Hal ini agarmemberi kemampuan pada masyarakat lokal untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam disekitarnya. Kasus di bidang pariwisata menunjukkan rendahnya serapan tenaga keja asal lokal, dengan alasan rendahnya kemampuan masyarakat lokal, sehingga perusahaan lebih memilih tenaga kej a dari luar.
4.5.2. Fasilitas Penerangan Saat ini seluruh pulau pernulaman telah memanfaatkan listrik yang berasal dari pembangkit desel (PLTD). Data tahun 2001 di Kelurahan Pulau Panggang dan Pramuka terdapat 1167 KK yang telah memanfaatkan layanan listrik (100%).
Adanya pasokan listrik yang memadai bagi warga telah mampu mendorong munculnya kegiatan ekonomi seperti fotokopi, wartel, pembuatan minuman es, rental komputer dan lainnya. Sarana penerangan memang sangat vital diperlukan untuk berbagai aktivitas masyarakat Pulau Panggang. Tetapi posisi relatifnya yang terpencil dari pulau utama menjadikan biaya pengadaan energ menjadi mahal. Oleh karenannya perlu upaya-upaya alternatif, seperti pemanhatan energi surya, ha1 ini mengingat intensitas sinar matahari yang tinggi.
4.53. Fasilitas Air Bersih Hampir seluruh warga pulau memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih (untuk minum, mencuci dan mandi). P e m n h t a n air tanah (sumur) masih bisa dilakukan di Pulau Pramuka tapi tidak di Pulau Panggang karena air tanahnya telah terkontaminasi dengan air laut sehingga tidak layak untuk diminurn. Data Tahun 2001 menunjukkan sebanyak 1.122 KK memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih. Tingginya terkanan terbadap daya dukung Pulau Panggang, menyebabkan fimgsi serapan tanah menjadi terganggu. Beberapa tahun terakhir, ketika terjadi kemarau panjang, air hujan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Pulau Panggang, sehingga masyarakat harus mendatangkan dari Jakarta dan Tangerang. Harga air menjadi relatif mahal karena adanya tarnbahan biaya transportasi. Oleh karenanya hams segera dipikirkan pemanfatan sumber daya air minum lokal. Pembangunan fisik yang berpotensi mengurangi kemampuan seliipan tanah dan tutupan pohon harus dikontrol secara ketat. 4.5.4. Fasilitas Jalan dan Darniaga
Data kelurahan menunjukkan terdapat 40.700 m jalan setapak yang terbuat dari beton ataupun paving dengan lebar rata-rata antara 1- 2 meter. Jika dikonversi pada ukuran luas, rnaka diperoleh total luas jalan 6,l ha Hal ini berarti dari keseluruhan luas pulau pemukiman (15 ha), harnpir setengahnya dipakai untuk jalan. Kondisi ini tentunya akan mengurangi tutupan pohon dan kemampuan serapan tanah. Akibat lebih jauhnya adalah menurunnya ketersediaan air tanah ( t a w ) . Jika diperhatikan potensi pemanfaatan jalan di Pulau Panggang
secara umum, jarang ditemui s a m transportasi yang mampu memindahkan barang atau manusia pada jumlah besarkrat, seNngga sesungguhnya jalan paving yang masih memungkinkan terjadinya serapan tanah sudah cukup untuk jalan di area pulau. Fasilitas darmaga tersedia di setiap Pulau Pemukiman. Kondisi darmaga di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang tergolong baik, namun darmaga yang berada di sisi selatan Pulau Panggang kondisinya rusak parah.
V HASIL DAN PEMBABASAN 5.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Laut Pulau Panggang Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Kelurahan Pulau Panggang yang memiliki luas 58,7 km2 dengan panjang garis pantai mencapai 22,74 km &pat dibagi dalam 4 aktivitas pemanfaatan, yaitu aktivitas perikanan tangkap, budidaya laut, wisata bahari serta konservasi. Pembagian ruang laut bagi berbagai aktivitas tersebut di atas seperti pada Garnbar 9.
Aktivitas p e r i k tangkap mendominasi pemanfaatan sumber daya perikanan dan laut Pulau Panggang dengan memanfaatkan ruang laut mulai dari perairan dangkal hingga perairan dalam tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Sementara aktivitas budidaya, masih sedikit dilakukan dan umumnya memilih ruang laut di sekitar pulau pemukiman. Aktivitas konservasi disamping dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, juga diiakukan oleh masyarakat Pulau Panggang dalam bentuk Dewan Perlindungan Laut @PL).
Lembaga ini diberi kewenangan oleh
Pemerintah KAKS lllltuk meliiungi luasan paairan di sekitar Pulau Panggang (300 m2). Area ini ditebari benih ikan dan dilindungi dari upaya penangkapan.
Aktivitas wisata didominasi oleh wisatawan domestik dengan daya tarik wisata yang diminati adalah panorama bawah laut disamping keindahan alam pesisir dan kepulauan.
5.1.1. Perikanan Tangkap Aktivitas perikanan tangkap adalah aktivitas yang pertama kali dikenal oleh masyarakat Pulau Panggang secara turun-temurun. Lebih dari 80% masyarakat Pulau Panggang bennatapencaharian nelayan E e r k k a n alat tangkap yang digunakan, nelayan Pulau Panggang dapat dibagi menjadi nelayan pancing, nelayan bubu, nelayan jaring, nelayan muroami (kongsi) dan nelayan ikan hias (Tabel 19). Sebagian besar nelayan konsisten dengan alat tangkap yang ditekuninya, namun ada pula nelayan yang berganti-ganti alat tangkap sesuai dengan musim dan pertimbangan lain.
Area Tangkap (perairan dangkal - perairan dalam)
Area budidaya & konservasi
Pulau Pemukiman
Daratan
Reef Flat
Gambar 9. Peinanfaatan ruang laut Pulau Panggang selama ini
Goba
Barrier Reef
Laut dalam
Tabel. 19 karakteristik alat tangkap nelayan Pulau Panggang
4 Muroami mini
kelompok
Harianlmingguan
5 Jaring ikan hias
kelompok
Hatian
Sumber : data diolah (2005)
perairan sedang-dalarn
ikan karang
perairan berterumbu karang
ikan hias
50-1000
sedang
20-100 ekor
besar
-
membalas dengan menjual hasil tangkapannya kepada pemilik modal berdasar harga sepihak.
Mekanisme pasar
.---------------.--------------------------A-----------------------------------------
MUARA ANGKE
SUPPLIER (ikan dijual hidup & ikan hias)
-
Keterangan : : aliran maten
PELELE (Ikan dijual mati)
Kelompok
-:
Nelayan Individu
Vertikal
Nelayan
Ilcatan
Gambar 10. Kelembagaan ekonomi dan rantai pemasaran hasid tangkapan Hubungan seperti tersebut di atas menciptakan proporsi p e m k a n nilai tangkapan antara nelayan, pengumpul lokal dan pengumpul besar (h4mAngke) berkisar pada angka 40?&:25%:35%.Nelayan yang menanggung resiko terbesar temyata hanya mendapat share 40%, sementara 60% laimya d i i para penguasa saluran distibusi. Namun sering kondisi ini tidak terlalu dikeluhkan oleh nelayan. Berbagai jaminan yang diberikan oleh pemodal kepada keluarganya dinilai sangat berarti dalam kondisi pekerjaan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Mengacu pada spelchum kontinum bentuk organisasi ekonomi (Anwar, 2001), pola patron klien yang ada di Pulau Panggang dapat digolongkan pada koordinasi vertikal sistem kontrak ataupun aliansi strategis. Pada sistem kontrak ditandai adanya pengendalian eksternal via spesifikasi dan ikatan legal, sementara aliansi strategis ditandai dengan saling mengontrol pihak yang satu terhadap pihak lainnya. Walaupun ikatan antara patron klien di Pulau Panggang tidak dalam bentuk legal, namun diantara pemilik modal dengan para ne!ayan ada saling kontrol.
5.1.2. Budidaya Aktivitas budidaya yang dilakukan oleh masyarakat P u b Panggang meliputi budidaya rumput hut, budidaya kerapu dan tmnsplantasi karang Budidaya rumput laut pernah menjadi andalan masyarakat Pulau Panggang pada Tahun 1999-2002, namun karena penyakit dan tidak bagusnya hasil panen, saat ini tinggal beberapa nelayan yang masih menekuninya. Sementara budidaya kerapu oleh masyarakat Pulau Panggang masih sedilcit ditemui. Umumnya budidaya yang ada dalarn skala sederhana dan sering karena fasilitasi dari dinas terkait. Kerapu merupakan jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Ikan ini memiliki banyak jenis, seperti kerapu lodi, kerapu tikus, kerapu macan, kerapu bebek dan juga kerapu hitam (menurut istilah masy&).
Harganya
berkisar mulai dari Rp. 50.000 hingga Rp. 300.0001 ekor hidup. Nilainya yang tinggi ini menarik nelayan untuk mencari dengan berbagai cara, tennasuk menggunakan pottasium cyanida, dengan disemprotkan langsung di tempat persembunyiannya (terumbu karang). Cara ini sesungguhnya sangat beresiko, disamping merusak terumbu karang, dapat membunuh benih-benih ikan juga membahayakan kesehatan nelayan itu sendiri. Dampak dari cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan mulai dirasakan dengan semakin sulitnya memperoleh tangkapan ikan kerapu, sehingga stok untuk memenuhi pasar tidak mencukupi yang pada gilirannya semakin menaikkan harp jualnya Kondisi inilah yang mendorong berbagai pihak untuk bemsaha membudidayakannya, termasuk pihak pemerintah maupun swasta di Kepulauan Seribu. Saat ini pihak swasta telah berhasil membudidayakan, rnulai dari tahap pembenihan hingga pembesamn, namun produksinya belum mampu mencukupi kebutuhan pasar daiam negeri. Budidaya yang dilakukan masyarakat Pulau Panggang ada yang secara pribadi ataupun berkelompok dengan bantuan dari pemerintah. Tehologi yang digunakan masyarakat umumnya sangat sederhana (berupa kammba jaring apung ataupun kandang tancap) dengan lokasi di sekitar pemukiman. Bibit sebagian besar dari hasil tangkapannya sendiri yang belum layak jual, namun ada juga yang membeli dari hatchery bagi mereka yang bermodal.
Aktivitas budidaya lainnya adalah transplantasi karang, yang merupakan inisiasi pihak TNKS dan AKKI, sebagai upaya memanfaatkan peluang pasar tanaman hias dengan tetap menjaga konsewasi terumbu karang. Transplantasi karang adalah pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempt yang karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan terumbu karang alami (Haniott dan Fisk dalam Sadarun,l999). Dijelaskan pula bahwa tramplantasi karang berperan dalam mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, clan dapat pula dipakai untuk membangun d a d tenrmbu karang barn yang sebelumnya tidak ada Kegiatan transplantasi karang di Pulau Panggang muncul sebagai alternatif pelarangan per-gan
tanaman hias oleh pemerintah Di bawah pengawasan
dan pengendalian Balai TNKS dan AKKI, para pemilik modal (eksportir) melakukan hubungan kerja dengan nelayan Pulau Panggang untuk melakukan transplantasi karang. Pemilik modal berkewajiban melatih para nelayan dan menyedialcan saraaa (peralatan) serta menggaji nelayanlpekeja Sedangkan nelayan berkewajiban mengerjakan proses transplantasi dengan mengambil bibit
dari dam (atas ijin Balai TNKS),merawat hingga keturunan kedua (filial 2) dan memanennya untuk disetor ke eksportir pemberi modal. Minimal memerlukan
waktu 8 bulan untuk menanam kamg dari alam ke substrat hingga siap panen Berbeda dengan tujuan-tujuan transplantasi yang dilakukan oleh beberapa negara tersebut di stas, transplantasi karang di Kepulauan seribu ini lebih sebagai upaya pemenuhan permintaan pasar akan tanaman hias, namun secara tidak langsung juga dapat memperbaiki kondisi terumbu karang di lokasi setempat dengan mengurangi tingkat pencurian karang. Wawancara dengan pelaku transplantasi menyatakan bahwa transplantasi karang memang belum memberi manfaat langsung untuk perbaikan kondisi terumbu karang alam di Pulau
Panggang, tetapi secara tidak langsung adanya transplantasi ini telah mengendalikan para nelayan pengambil tanaman hias untuk tidak asal mengambil kecuali sesuai kebutuhan yang akan ditanamrya. Kelembagaan dalam aktivitas transplantasi karang dapat dilihat parh Gambar 11.
I
Modal & Pelatihan
Syarat Teknis & Pengawasan
TRANSPLANTASI KARANG Gambar 11 Kelembagaan transplantasi karang di Pulau Panggang
MAC (Marine Aquarium Cormnision) sebagai asosiasi ikan hias dan koral internasional berkoordinasi dengan asosiasi karang Indonesia (AKKI) menentukan kuota perdagangan (eksport). Balai TNKS sebagai wakil pemerintah yang mengelola terumbu karang memberi ijin atas pelaksanaan transplantasi karang utamanya dalam ha1 pengaturan teknis pengambilan bibit slam dan aturan main lainnya. Eksportir sebagai pemilik modal dan yang mengetahui kondisi pasar koral bekerjasama dengan supplier di pulau untuk rnelakukan transplantasi karang. Sementara lokasi ditentukan secara bersama dengan pihak kelurahan. Berbagai aktivitas budidaya di Pulau Panggang seperti tersebut di atas, umumnya memilih lokasi yang berdekatan dengan pulau. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan. Hingga saat ini karena ruang laut yang tersedia masih cukup luas, konflik karena ruang masih jarang ditemui, namun potensi berbudidaya ke depan yang besar, harus diantisipasi dengan adanya pengaturan ruang. Hal ini telah dipelopori oleh kegiatan transplantasi karang, dimana lokasinya harus seijin dari pihak kelurahan. Pengaturan ruang secara teknis juga perlu, disamping karena adanya kapasitas tampung maksimal ruang secara fisik juga kemampuan menyuplai nutrisi secara alami. Pengalaman budidaya rumput laut menunjukkan hal penting perlunya pengaturan ruang. Menurut masyarakat Pulau Panggang disamping
karena bibit yang telah lama dipakai, jumlah luasan yang &@an
untuk
budidaya rumput laut telah melampaui daya dukung lingkungan. PKSPL (2004) menjelaskan bahwa budidaya rumput Iauf membutuhkan nutrien yang berasal dari air di terumbu karang yang memiliki kemampuan menstabilkan nuhien Namun, pengembangan budidaya mmput laut &pat menghambat penetrasi cahaya untuk kelangsungan proses fotosintesis. Gangguan metabolisme karang pada gilirannya akan mengganggu simbiosis antara ikan dengan karang.
Sesuai Dokumen Tata Ruang Kepulauan Seribu, terdapat 7 pulau di wilayah Kelurahan Pulau Panggang yang sesuai penggunaannya sebagai wisata, namun hanya satu pulau (Kotok Besar) yang dimanfaatkan untuk tujuan wisata urnurn, sementara 6 pulau yang lain ditujukan untuk wisata pribadi @ulau Opgk Kecil, h a n g Bongkok, Karang Congkak, Gosong Pandan, Gosong Sekati dan Pulau Air).
Pulau Pramuka yang dimanfaatkan sebagai lokasi pemukiman
melayani juga aktivitas wisaia dengan didirikan beberapa villa tempat menginap wisatawan Harahap (2005) menyebutkan bahwa dari total wisatawan yang berkunjung ke Pulau Seriby 84,33% adalah wisatawan domestik dan 15,67% adalah wisatawan mancanegara. Pada umumnya wisatawan domestik lebih memilih berenang, memancing dan jalan-jalan di pulau. Sementara wisatawan mancanegaa terhik dengan diving rnaupun snorkling (panorama bawah laut). Penelitian Siturnorang (2004) menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dari keberadaan obyek wisata di Pulau Seribu pada umumnya kurang dapat dinikmati oleh masyarakat asli. Hanya sekitar 15% karyawan yang bekerja di pulau-pulau wisata yang berasal dari pulau, sementara sisanya (85%) berasal dari luar Kepulauan Seribu
5.1.4. Konservasi Sejak Tahun 1995,78 pulau dan 110 pulau yang ada di Kepulauan Seribu menjadi kawasan Taman Nasional, yang ditetapkan melalui SK Menteri
Kehutanan Nomor 162Kpts-IV1995. Pengelolaanya dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) dengan membagi menjadi 4 zona peruntukan, yaitu mna inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan mna penyangga. Hampir keseluruhan pulau di kelurahan Pulau Panggang termasuk dalam mna pemanfaatan tradisional, dimana mna ini ditujukan untuk mendukung sosial ekonomi dan budaya masyarakat di dalam kawasan, seperti perikanan tangkap tradisiow budidaya dan sarana urnurn. Adanya mna-mna ini disamping memudahkan dalam pengelolaan juga memberikan batasan bagi pemanfaatan (utamanya secara ekonomi) yang cenderung mengarah pa&
kerusakan
sumberdaya laut. Kegiatan konservasi dalam wadah Area Perlindungan Laut (APL) juga dilakukan oleh masyarakat setempat di peraim Pulau Panggang dengan melindungi area seluas 300 m2 dan melakukan p e n e b m benih kerapu. Area ini dilindungi dari aktivitas penangkapan, namun diperbolehkan untuk aktivitas penelitian dan wisata terbatas. 5.1.5. Interaksi Antar Aktivitas Pemanfaatan
Dari keempat aldivitas pemanfaatan sebagaimana terurai di atas pada ruang laut yang sama tentunya menimbulkan berbagai kemungkinan interaksi, bisa berupa konflik maupun kerjasama. Secara lengkap penggambaran interaksi dalam pemanfaatan ruang laut Pulau Panggang seperti pada Gambar 12. Interaksi dalam kntuk konflik paling banyak terjadi pada perikanan tangkap. Konflik ini terjadi baik diantam sesarna nelayan tangkap dengan alat yang berbeda atau dengan akivitas utama laimya, seperti konservasi dan wisata Hal ini wajar terjadi karena sifatnya yang relatif nwbil sehingga berpotensi mendatangi aktivitas lainnya. Sementara itu aktivitas konsewasi adalah akhvitas yang banyak memberi manfaat (secara teknis) bagi aktivitas utama laimya. Dilindunginya terumbu karang dan padang lamun yang merupakan habitat ikan dan biota laut lainnya tentunya akan memberi kemampuan pada lingkungan untuk menjaga stok ikan bagi nelayan. Namun konflik tetap berpotensi teqadi lebih karena dipicu tindakan nelayan tangkap ataupun sebaliknya adanya larangan dari pihak pengelola TNKS.
k
n
-eS
C
m r
V1
-=
0, C
m
2s € 8 0 r-4
z8 C
m C
2'
=a r >!2
Y o -
- m 5 1
o m c r w c
.-
5gg
zm b
g '-
'0
...... 0
Em m .m
.-k .E c
x+o
Aktivitas yang relatif tidak menimbulkan banyak kontlik adalah budidaya laut, sifatnya yang menetap (tidak mobil) relatif tidak bersinggungan dengan aktivitas lainnya Namun perlu disadari bahwa kedepan sangat mungkin tejadi konflik perebutan area budidaya laut bagi masyarakat Pulau Panggang . ha1 ini karena kecenderungan masyarakat untuk lebih memilih area yang dekat dengan tempat tinggalnya untuk mudah mengawasi sehingga kedepan perlu dibuat aturan main dalam memanfaatkan area laut di sekitar Pulau Panggang.
5.2. StakeholderPemanfaat Sumber Days Laut Pulau Panggang Hasil identifikasi stakeholder terkait pengelolaan sumber daya perikanan dan laut Pulau Panggang, dikenal 13 stakeholder dengan berbagai peran (Tabel 20 ). Secara garis besar dapat dikelompokkan didalam peran pemanfaah dan peran pengaturn. Diantara dua peran ini terdapat peran fasilitasi (penghubung). Peran pemanfaatan dilakukan oleh masyarakat pada umumnya baik dari Pulau Panggang maupun dari luar serta oleh para pengusaha baik budidaya maupun wisata, sementara peran pengaturan dilakukan oleh pihak pemerintah dengan berbagai unsurnya. Sedangkan peran fasilitasilpenghubung dilakukan oleh akademisi dan LSM Hasil pemetaan stakeholder berdasar derajat kepentingan dan pengaruhnya
didslam memanfaatkan ruang laut Pulau Panggang seperti terlihat pada Gambar 13. Pada kuadran I (subject) ditempati oleh masyarakat Pulau Panggang, organisasi masyarakat (pernitas dan DPL) serta pengusaha wisata dan budidaya. Kelompok ini memiliki kepentingan tinggi terhadap sumberdaya namun kurang terlibat dalam merurnuskan berbagai kebijakan pengelolan sumberdaya tersebut. Ketergantungan tinggi disini terkait kepentingan ekonomi yang ditentukan oleh kualitas sumberdaya laut. u m maupun dalam wadah Masyarakat Pulau Panggang secara m
kelompok (Pernitas dan DPL) memanfaatkan sumber daya laut Pulau Panggang sebagai lokasi menangkap, buhdaya serta konsewasi. Sama halnya dengan pengusaha perikanan yang sangat bergantung pada kondisi kualitas air but. Sementara pengusaha wisata, berkepentingan terhadap kondisi pemandangan
Tabel 20 Identitas stakeholder dan peranannya No 1 2 3 4 5 6
/
1
Peranan1 Pemanfaatan I Masyarakat Pulau Panggang I lokasi menangkap ikan dan lokasi budidaya lokasi menangkap ikan Nelayan Luar Pulau Panggang lokasi usaha I budidaya Pengusaha perikanan laut lokasi usaha wisata laut Pengusaha Wisata Dewan Perlindungan Laut (APL) lokasi konsemasi (300mZ) fasilitasi anggota (nelayan kan hias Pemitas (kelompok nelayan) Stakeholder
Sumber : data diolah (2005)
Pernetaan Stakeholder I
'..
U?sy P Paogeaq
perikanaow
5m
-
pennussfia
15 -
uisata
.-C
+
&.,
+
...
'
PengeldaRIKS
phi@
4
C
a,
Dioas
M luar Pulau Al&Polaind
+
Prm8intah KAKS
...
+
-. .+ LSM
..
"-..
Wisatawan
0 0
5
10 15 Pengaruh
20
.
. 25
Gambar 13. Pemetaan stakeholder pemanfaat perairan Pulau Panggang.
1
perairan secara umum temasuk panorama bawah laut sebagai daya tarik para wisatawan. Jika dilihat dari tingkat pengaruhnya, masyarakat dalam wadah organisasiilcelompok memiliki pengaruh yang lebih tinggi. Hal ini dimunglunkan karena semakin besar kesempatan untuk menyampailcan aspirasi. Kuadran I1 @layers) yang memiliki kepentingan dan pengaruh thggi, ditempati oleh Pemerintah KAKS dan Pengelola TNKS. Kelompok ini memililu posisi penting dalam pengelolaan sumberdaya perairan Pulau Panggang melalui p e m u s a n berbagai kebijakan. Pengelola TNKS melalui regulasinya menetapkan wilayah perairan Pulau Panggang sebagai bagian dari zona pemanfaatan tradisional. Sementara Pemerintah Kabupaten Administmi Kepulauan Seribu melalui dinas teknisnya berhak mengatur pemanfaatan tradisional (tangkap maupun budidaya). K u a h ID (bystanders)ditempati oleh masyarakat lw Pulau Panggang pihak keamanan, wisatawan dan Dinas Perhubungan. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu tergantung oleh kondisi perairan dan juga tidak terlalu berpengamh terhadap pengelolaan sumber daya perairan Pulau Panggang. Nelayan dari luar
Pulau Panggang memiliki alternatif area penangkapan selain di Perairan Pulau Panggang, sementara wisatawan hanya memerlukan peraim Pulau Panggang sebagai area rekreasi saja. P
i keamanan dinilai banya sebagai pelaksana aturan
yang telah ada sedangkan Dinas Perhubungan hanya mengatur alur pelayaradtransportasi yang memang tidak terlalu berpengaruh bagi pengelolaan sumber daya laut Pulau Panggang Kuadran IV sebagai kuadran yang memiliki pangaruh tinggi dengan sedikit kepentingan ditempati oleh Akademisi dm LSM Melalui berbagai kajian dan penelitian, akademisi dan LSM mampu mempenganh pengelolaan perairan Pulau Panggang lewat berbagai program pemerintah. Pada studi lain terkait pengelolaan sumber daya, biasanya kuadran ini juga ditempati oleh para donatur yang mampu mempengaruhi berbagai kebijakan narnun tidak memiliki kepentingan secara langsung. Terkait dengan proses konstruksi kelembagaan pengelolaan sea farming, keterlibatan stakeholder pada proporsi yang tepat sangatlah penting Berdasarkan garis bantu diagonal (Gambar 13) dapat dipisahkan stakeholder yang harus
dilibatkan secara langsung (bagian atas) dengan stakeholder yang tidak hams terlibat secara langsung (bagian bawah). Bagian sisi atas garis bantu meliputi masyarakat Pulau Panggang, DPL, Pemitas, Pengelola TNKS, Pemerintah KAKS dan Akademisi. Sementara stakeholder laimya tetap harus dilibatkan secara tidak Iangsung seperti melalui dengar pendapat dan cara lainnya. Idealnya kelembagaan sea farming yang berciri co-management diharapkan mampu menggeser para stakeholder di kuadran I ke Kuadran I1 melalui pengelolaan bersama antara pemerintah dengan masyarakat. 5.3. Peraturan Perundangan dalam Pemanfaatan Sumber Days h u t Pulau
Panggang Peraturan pemndangan dalam penelitian ini dibedakan dalam peraturan perundangan formal (hukum tertulis) clan non formal (hukum tak tertulidnoma) terkait pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut Pulau Panggang.
Landasan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam tennasuk laut dan perikanan di Indonesia adalah UUD 1945 Pasal33 ayat 3 yang berbunyi " Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-bemnya kemakmuran rakyat". Landasan ini menegaskan bahwa seluruh sumberdaya dikuasai, dimiliki dan dimanfaatkan oleh negara (state property). Hingga saat ini terdapat 20 Undang
-
Undang dan 5 konvensi
intemasional yatig telah diratifikasi Indonesia, yang memberi legal mandat terhadap 14 sektor pembangunan dalam meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir , baik langsung maupun tidak langsung. Namun realita di Iapangan menunjukkan bahwa pengrusakan sumberdaya perikanan dan laut tern saja tejadi. Menempatkan negara sebagai sentral yang mengatur pemanfwdan kekayan negeri untuk kemakmuran rakyat memerlukan prasyarat negara yang kuat dan netral bebas dari kepentingan lain selain mensejahterakan rakyat. Pada kenyataannya yang terjadi tidaklah demikian, dalam pelaksanaanya negara kemudian diboncengi oleh sejumlah kepentingan kelompok rnaupun individu yang mengatasnamakan kepentingan umum atau rakyat.
Sejalan dengan ha1 tersebut di atas, Anwar (2005) memberikan analisis bahwa yang menjadi akar masalah semua ini adalah kesaiahan tafsir penyelenggara pemerintahan atas pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kata "dikuasai" lebih diartikan sebagai "dimiliW bukan "dikelola", sehingga produk-produk hukum turunannya memposisikan sumberdaya hut sebagai state property dengan kecenderungan mengabaikan pengelolaan berdasar hukum adat yang pemah ada. Luasnya Negara
ini
menjadikan hampir tidak mas&
aka1 untuk
mengklaimhenegaskan hak negara atas seluruh sumber days yang ada karena biaya transaksi yang diperlukan sangatlah besar, terutama biaya monitoring. Kondisi ini mejadikan sumberdaya laut kita bersifat quasi open access.
Nuansa sentralistik terkesan kuat pada W No. 9 Tahun 1985 sebagai produk hukum atas penjabaran
UUD 1945 yang memposisikan sumber daya
sebagai milik negara. Hadi (2005) menyatakan setidaknya terdapat 6 ha1 sebagai kelemahan - kelemahan pedekatan sentralistik di dalam pembangunan, yaitu :
-
terjadinya potensi pengurasan sumber daya dan kebocoran regional yang sangat tinggi
-
tidak jelasnya skenario pengembangan wilayah sehingga terjadi ketimpangan pembangunan wilayah
-
pengambilan keputusan secara terpusat dan seragam mengabaikan aspek keberagaman wilayah baik secara fisik, sosial maupun ekonomi.
-
Arah pembangunan wilayah tidak mengikuti arahan pemaafaatan ruang dalam perencanaan tata ruang tetapi berdasarkan kekuatan tarikan ekonomi sehingga banyak tejadi konversi lahankumber daya yang tidak terarah dan terkendali
-
Rendahnya kwrdinasi antar sektor, menyebabkan sering terjadinya konflik pemanfaatan antar sektor sehingga proses pembangunan suatu sektor menjadi sia-sia karena terganggu atau tidak ditunjang oleh sektor lain, dan
-
Besamya kewenangan pemerintah pusat menyebabkan rentang kendali yang sangat jauh dan panjang sehingga banyak hak yang diklaim pemerintah pusat di daerah menjadi tidak bisa ditegakkan Tejadinya perkembangan nyata politik Indonesia yang ditandai dengan
bergulimya era reformasi telah merubah arah kebijakan selama ini. Nuansa
sentralistik yang sering mengabaikan keberadaan aturan tradisional yang telah lama ada tergeser menuju ke arah desentralistik. Pengelolaan swnberdaya perikanan ditandai dengan digantinya UU No 9. Tahun 1985 menjadi UU No 31 Tahun 2004. Perubahan nuansa sentralistik menjadi desentralistik dapat terlihat dari perbedaan dua Undang-Undang tersebut di atas (Tabel 21). Desentralisasi pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan juga dikuatkan melalui terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana dijelaskan bahwa daexah memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan latau kearah perairan kepulauan untuk provinsi dan 113 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupatenkota. Kewenangan ini meliputi :
-
eksplorasi, ekploitasi, konse~asidan pengelolaan kekayaan Iaut pengalman adminisbratif pengaturantataruang penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang klimpahkan kewenangannya oleh pemerintah
-
ikut serta dalam pemeliharaan keamanan serta ikut serta &lam pertahanan kedaulatan negara. Hasil inventarisasi produk-produk hukum yang terkait dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang dapat dirinci sebagai berikut :
* Undang-Undang Peraturan Pemerintah
* Keputusan Presiden
: llbuah : 5 buah : 3 buah
Keputusan Menteri
: 5 buah
Peraturan Daerah
: 1 buah
Surat Keputusan Gubemur
: 2 buah
Selengkapnya tentang perihal yang diatur oleh masing-masing produk hukurn serta hasil inventarisasi pasal-pasal yang terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut Pulau Panggang seperti terlihat pada pada Lampiran .
Tabel 2 1 Perbedaan antara UU No 9 Tahun 1985 d e w UU No 31 Tahun 2004 W N o . 31 12004 UU No. 91 1985 I 1 Menekankan pada ( Menekankan pengaturan akt~Vitas kegiatan dari pra hingga pra dan produksi saja pasca produksi berdasar sistem bisnis (hulu(hulu) hilir) Pemerintah sebagai Adanya pertimbangan ~englolaan adat dan tanPa hukum Sumberdaya Perikanan pengelola kearifan lokal serta rnempertirnbangkan peran serta masyarakat keikutsertaan dalam pengelolaan masyarakat sumberdaya Perihal Ketentuan Umum
13 4
I
,
Infonnasi dan 1 Tidak diatur data Statistik 1 Pemberdayaan I Tidak diatur Nelayan
I Sistem
I
penjelasan
I
1 Diatur
i Diatur
Adanya tentang masyarakat untuk ikut
Smber : Data diolah (2005)
Secara mum peraturan pemdangan yang ada saat ini telah mengatur sumberdaya perikanan dan laut, baik dalam hal penataan m g , eksploitasi maupun perlindungannya dengan mempemahkan aturan tmdisional yang telah ada maupun perm serta masyarakat. Pengaturan ini jelas disebutkan dalam Undangundang NO. 31 Tahun 2004 tentang perikanan sebagai payung hukum krtinggi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut di Indonesia. Namun kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pengaturan pengelolaan sumber daya ini belum banyak dilakukan, ha1 ini terbukti masih belum adanya per& yang mengatur ha1 tersebut. Sejalan dengan penjelasan Adnanto (2005) yang menyebutkan bahwa Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang tejadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles (2001). Kelemahan
inilah yang seharusnya ditutupi oleh pemerintah daerah melalui Perda.
5.3.2. Hukum Tak tertuliis (Norma)
Hukum tak tertulis atau sering dikenal sebagai kesepakatan, norma dan ~lai-nilaimasyarakat yang terkait dengan pemanfaatan surnber daya hut Pulau Panggang tidak banyak dijumpai. Hal utama yang diduga menjadi penyebab adalah beragamnya suku nenek moyang masyarakat Pulau Panggang, seperti Bugis, Mandar, Sunda dan Betawi. Dari keempat suku ini tidak ada yang mendominasi, sehingga suiit dijumpai adat mana yang berlaku di masyarakat. Ditambah pula dengan banyaknya pendatang dari Jaw3 Tengah dan Jawa Barat. W a w a n ~ ~ i dengan i beberapa masyarakat menunjukkan semakin memudamya aturan-aturan tak tertulis 1 kesepakatan yang pernah ada. Kesepakatan untuk tidak melaut pada Hari Jum'at adalah satu eontoh hukum tak tertulis yang relatif masih ditaati hingga saat ini. Sedangkan kesepakatan yang sudah hilang, berdasarkan penuturan beberapa nelayan Pulau Panggang adalah kebiasaan untuk menyisihkan sebagian h a i l tangkapannya (terutama saat along/hasil banyak) untuk dibagikan kepada yatim piatu maupunjanda. Memudarnya berbagai kearifan masyarakat Pulau Panggang dalam mengelola sumberdaya hut sangat mungkin diibabkan adanya interaksi dengan masyarakat luar yang cukup t i m . Disamping melalui perdagangan, datangnya nelayan dari luar Pulau juga sangat mempengaruhi. Hal ini karena posisi relatif Pulau Panggang rang berdekatan dengan Jakarta serta dijadikannya Kepulauan Seribu sebagai tujuan wisata membuat semakin tinggi intensitas pendatang. Terkait pemanfaatan ruang di perairan Pulau Panggang, terutama untuk aktivitas budidaya, masyarakat dapat bersepakat. Anggota masyarakat berhak memanfaatkan bagian dari mang perairan laut di sebelah manapun untuk aktivitas yang tidak dilarang oleh hukum, dengan catatan tidak mengganggu pemanfaatan sebelumnya. Dengan kata lain mereka yang lebih dulu memanhtkan ruang tersebut tidak akan diganggu oleh pemanfaahn baru. Hal ini d a p t dilihat saat komoditas rumput laut dibudidayakan hampir oleh seluruh masyarakat,mereka dapat berkoordinasi untuk m e m b - b a g i ruang laut disekitar Pulau Panggang.
5.3.3. Peraturan Perundangan Sebagai Landasan Penerapan Sea F d n g
Peraturan perundangan yang ada baik dalam bent& undang-undang maupun peraturan hukum di bawahnya ada yang secara implisit tebh mengahrr pengelolaan sumber daya berdasar konsepsi seafarming. Sesuai dengan 3 pilar sea farming, yaitu fishing right, insentif teknis, sosial dan ekonomi serta
pengelolaan sumber daya, maka dapat ditemukan beberapa peraturan perundangan sebagai landasannya (Tabel 22). Pada prinsipnya, aktivitas sea farming dapat bejalan jika ada peluang untuk menegaskan hak bagi suatu masyarakat / kelompok masyadcat untuk memanfaatkan ruang laut yang bersifat common property, serta adanya jaminan hukum atas keterlibatan masyarakat secara aktif. Hal ini telah ada dengan dikeluarkannya W No. 3 1 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta peraturan- peraturan lainnya
5.4. Persepsi Masyarakat PuIau Panggang
Kajian persepsi masyarakat Pulau Panggang tentang sumberdaya laut dan pen*
serta konsepsi sea farming didekati secara diskriptif melalui wawancara
dan valuasi lingkungan melalui analisis WTA (Willingness to Accept). Hasil
kajian ini penting untuk mengetahui kesiapan masyarakat terkait rencana penerapan konsep seafanning dalam pengelolaan sumbesdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang. Hasil wawancara dengan responden tentang kondisi sumberdaya laut serta rencana penerapan konsepsi seafarming seperti terlihat pada Tabel 23. Hampir keseluruhan responden menyatakan bahwa sekarang ini kondisi laut Pulau Panggang telah rusak akibat dari penggunaan potassium dan pengambilan tenunbu karang. Kerusakan ini dirasa telah merugikan mereka, terasa dari semakin tidak pasti dan menurunnya hasil tangkapan. Mengingat kondisi seperti tersebut di atas, seluruh responden menyatakan setuju jika masyarakat Pdau Panggang mulai mengusahakan budidaya. Terkait konsepsi sea farming (restocking) yaitu pengelolaan sebagian wilayah laut Pulau Panggang secara limited entry, mayoritas respnden setuju jika wilayah tersebut hanya boleh diakses oleh masyarakat Pulau Panggang.
rabel 22. Landasan Hukum Konsepsi Sea Farming Penjelasan UU No 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang
Pesisir dan laut merupakan bagian wilayah penafaan ruang Kabupaten maupun propinsi dan perlunya peran serta masyarakat
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Perlunya pendapat masyarakat didalam suatu usaha yang berdampak pada lingkungan hidup Adanya pertimbangan hukum a&t dan kearifan lokal serta peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya (termasuk pengawaan)
I
4
1 UU No, 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Tentang Pengendalian Pencemaran clanlatau 2002 tentang pedoman Umum pengelolaan PulauPulau Kecil (PPK) (Petunjuk ~eknis). ( Kep.O9/Men/2002 tentang ~ntensifikasi pembudidayaan Ikan
I
AIam No 5/ IV W 2 0 0 4
tentang Zonasi TN Laut I Kepulauan Seribu Surnber : data diolah (2005)
kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut l e p dm latau kearah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan - -provinsi untuk kabupate&ota. Perlindungan laut dan upaya perusakan dan pencemaran Pemanfaatan pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan berbagai hal, salah satunya karakter sosial, budaya clan kelembagaan masyarakat lokal mengembangkan pengelolaan usaha pembudidayaan ikan ramah lingkungan dalam kawasan secara efektif, efisien, dan berorientasi pasar, serta ditunjang dengan pola perencanaan partisipatif dari tingkat lapangan; Gugus Pulau Panggang termasuk pada zona pemanfaatan tradisional
Tabel 23 . Daftar pendapat responden terkait sumberdaya laut dan konsepsi seafarming
Hanya warga P Panggang yang nelayan Hanya warga pulau panggang yang nelayan dim biasa menangkap di Iokasi tersebut di atas (semak daun) 4 4
Namun 22% menyatakan tidak setuju adanya pembatasan akses. Perihal pengaturan Iainnya (alat tangkap, waktu tangkap dan lainnya) hampir keseluruhan menyatakan setuju dan memang @u. Penegasan hak dalam pengelolaan ruang laut memang menjadi isu krusial dan berpotensi menciptakan konflik Namun penegasan hak juga syarat wajib untuk dapat dijalankannya konsepsi sea farming, karena hampir tidak munglun melakukan restocking namun tidak diikuti pengontrolan pemanenannya. Sehingga komunikasi yang baik dalam merumuskan aturan-aturan dengan melibatkan berbagai kepentingan yang ada sangat diperlukan Pengukuran persepsi ekonomi masyarakat terhadap lingkungan perairan laut tempat mereka beraktifitas melalui metode CVM dengan pengukuran WTA (Willingness to Accept) menunjukkan h a i l seperti Lampiran . Nilai ini didekati responden dari pendapatan yang h i l a n g l b e r k g karena menwunya kuditas swnberdaya laut. Rata-rata keinginan menerima ganti rugi karena menurunnya daya dukung laut sebesar Rp. 997.059, sehingga secara akumulasi sesuai jumlah penduduk diperoleh nilai Rp. 4.420.959.606,-. Studi S o e w o (2005) yang memprediksi manfaat ekonomi dari kegiatan sea farming, menunjukkan adanya peningkatan Rp 750.000/bulanbagi mereka yang terlibaf dalam aktivitas sea farming, sehingga dapat dikatalcan bahwa penerapan konsepsi sea farming mendekati keinginan masyarakat atas kerugian karena rusaknya sumber daya laut Pulau Panggang. Sementara angka Rp.
4.420.959.606merupakan prediksi kasar atas manfaat jika konsepsi sea farming digunakan untuk mengelola seluruh pemiran hut Pulau Panggang.
Hasil regresi nilai WTA terhadap karakteristik responden untuk mengetahui ha1 yang betpen&
terhadap penilaian sumberdaya laut &pat
dilihat pada Tabel 24. Karakteristik responden yang digunakan adalah umur, jumlah tanggungan, jenis pekejaan, lama pendidikan dan tingkat pendapatan Umur terkait dengan h a r a p memanfaatkan sumber daya, jumlah tanggungan terkait beban yang hams ditanggung oleh responden. Jenis pekejaan sebagai representasi ketergantungan terhadap sumber daya sementam lama pendidikan mempakan indikator tingkat pemahaman responden krhadap nllai sumber daya.
Sedangkan tingkat pendapatan menunjukkan kemampuan finansial responden untuk menghargai sumber daya. Tabel 24 Hasil analisis regresi nilai WTA terhadap karakteristik responden
I
Variabel
Parameter (p)
I
I
I
I
1
-,498 I
1
,620 1
21077,079
TanggUnsafl
-1857,513
2 1946,874
-,085
,933
86 1024,450
110633,832
7,783
,000
341086,818
-2,516
,015
-858249,249
Dummy pendapatan I
I
1,421
1
Pendidikan Dummy Keja
14830,938
,010
2,670
4426,579
-2205,764
Um~r
1 T hitung / Signf 1
453236,403
1210001,845
Konstanta
Std. Error
,161
I
Sumber :data diolah (2005) Jika ditulis dalam bentuk persarnaan diperoleh rumus sebagai berikut : WTA= 1.210.001,85 - 2.205,76 XI+ 2 1077,079 X2-1857,513X3i 861024,450X4
(2,670) - 858249,249
(-0,498)
(1,421)
(-0,085)
(7,783)**
X5
(-2,5 16)* Keterangan :
R'= 0,5802
X2
= lama pendidikan
X3
= jumlah
X4
= dummy j
X5
= dummy tingkat pendapatan (< 1 juta)
tanggungan e ~ pekejaan s (nelayan)
Variabel jenis pekejaan (dibedakan nelayan dengan non nelayan)
berpengaruh sangat nyata terhadap nilai WTA (taraf 1%) dan tingkat pendapatan (dibedakan rendah, sedang dan tinggi) berpengaruh nyata (taraf 5%), sementara variabel lainnya tidak berpengaruh nyata. Pekejaan nelayan dan pedagang ikan memberikan apresiasi lebih tinggi terhadap nilai WTA sangatlah wajar karena mereka yang secara langsung menerima akibat dari rusaknya laut. Sementaia tingkat -pendapatan berpengaruh nyata, utamanya untuk kategori pendapatan rendah. Menurunnya daya dukung perairan laut Pulau Panggang menjadikan neiayan hams menangkap di area yang semakin jauh sehingga inputnya semakin bertambah sementara hasil tangkapan relatif menurun sehingga margin
'
keuntungannya semakin kecil. Kondisi ini sangat terasa bagi nelayan dengan modal kecil. Lama pendidikan tidak berpengaruh nyata diduga karena telah banyaknya media pendidikan lain, seperti radio, televisi, surat kabar, pelatihan-pelatihan yang mampu meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya laut. Umur responden yang diharapkan memberi gambaran apresiasi atas harapan tebadap p e h t a n sumberdaya, ternyata tidak berpengaruh nyata. Sementarajumlah tanggunganSnga tidak menjadi pertimbangan bagi responden. Diketahuinya nilai WTA ini, merupakan taksiran kasar atas manfaat dari penerapan konsepsi sea fuming. Hal ini berangkat dari logika bahwa jika pengelolaan sumberdaya laut dengan konsep ini mampu memperbaiki kondisi sumberdaya laut seperti waktu dahulu, maka setara dengan membayar kerugian masyarakat seperti tercermin dalam nilai WTA. 5.5. Potensi Interaksi Slakeholder Analisis game theory digunakan untuk menggambarkan interaksi diantara pemain (ageng yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya laut dan perilcanan di perairan Pulau Panggang. Quasi open access atau limited entfy adalah kondisi yang merupakan pilihan bagi para pemain Kondisi ini akan menciptakan kecende-
bagi pemain untuk bersifat eksploitatif ataukah
sustainable. Dalam analisis ini akan dilakukan dua simulasi permainan, yaitu antara pemerintah dengan nelayan dan antara nelayan dengan nelayan. 5.5.1. Pemerintah dengan Nelayan
Selain keuntungan ekonomi &lam bentuk meningkatnya pendapatan nelayan, penerapan konsepsi sea farming (utamanya sea ranchmng) juga akan memberi keuntungan lingbungan (konsewasi). Namun sesuai hukum ekonomi, karena manfaat kegiatan konservasi tidak bisa diambil sepenuhnya oleh pelaku, maka pihak swasta Imasyarakat menjadi tidak m r i k untuk melakukannya. Oleh karena itu pihak pemerintahlah yang hams mengambil alih tanggung j a m b untuk melaksanakannya. Matrik pay off (pahala) permainan antara pemerintah dengan nelayan dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25 Matrik pahala permainan pemerintah dengan nelayan
Nelayan
I
I
Ehploitatif
Sustainable
412.392.598;900.000
416.937.598;600.000
I Quasi open access
Pemerintah
I
I
LimitedEntry Sumber :data diolah (2005)
1 446.612.402;2.275.000 1 492.062.402;1.350.000 1
Dalam permainan ini, pengambil langkah pertama adalah pemerintah sebagai pemilik hak atas sumber daya laut dan perikanan (state property), sementam nelayan akan berespon atas keputusan pemerintah (Gambar 14).
Pemerintah
Nelayan
% sustainable
492.062.402; 1.350.000
Gambar 14 Unrtan permainan, p i l i strategi danpy-offpermainan pemerintah dengan nelayan Kondisi selama ini tercermin pada keseimbangan di kuadran saw dimana pengeiolaan sumber daya perikanan dan laut berdasar peraturan dari pemerintah pusat mendorong terciptanya kondisi guasi open access. Tidak adanya kepastian clan jaminan bagi nelayan untuk dapat memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya, menjadikan nelayan cendemng bersikap eksploitatif karena akan menghasilkan pay-oHlebih besar dibanding ketika bersikap sustain. Kondisi ini tejadi karena ikan yang tidak ditangkap oleh nelayan yang bersikap sustain berpotensi ditangkap oleh nelayan lainnya yang lebih agresif menangkap (eksploitatif). Bagi pemerintah, kondisi quasi open access memberi total manfaat sebesar Rp. 412.392.598, lebih kecil dari manfaat utuh konservasi (Rp. 454.500.000). Hal
ini tejadi karena rusaknya terwnbu karang dan kecenderungan untuk term menurun dengan laju degradasi mencapai 1%. Pengrusakan terwnbu karang masih
saja berlangsung walaupaun pemerintah melakukan p e n g a m ha1 ini karena rentang kendali pemerintah yang panjang menjadikan tidak efektif penerapan dan penegasan aturan yang ada. Sejalan dengan penjelasan Anwar (2005), bahwa kegagalan pemerintah &lam pengelolaan suatu sumber daya yang diklaim sebagai miliknya adalah disebabkan besamya biaya transaksi untuk menegaskan hak ini, utamanya biaya monitoring. Sementara dengan adanya penegasan bak, pengawasan akan dilakukan oleh rnasyarakat setempat, yang sangat mungkin lebih efektif dan efisien Sementara jika pemerintah memilih untuk menegaskan hak kepada nelayan lokal melalui pengelolaan secara limited entry, pihak pemerintah akan mendapat manfaat sebesar Rp. 446.612.402. Manfaat ini lebih besar dibanding saat kondisi qvosi open access karena adanya penghapusan biaya pengawasan , walaupun sesungguhnya tekanan terhadap terumbu karang jauh lebih besar (10 kali) karena nelayan berlaku eksploitatif. Bagi nelayan ketika pemerintah memilih pengelolaan secara limited enhy, akan meningkatkan pendapatannya secara signifikanjika mentaati aturan yang ada (berlaku sustainable) jika dibanchngkan pada saat kondisi quasi open access.. Namun terdapat peluang untuk mendapatkan hasil yang lebii besar dengan berlaku eksploitatif, yaitu dengan mernanfaatkan tenunbu karang secara langsung karena tidak adanya pengawasan dari pemerintah Adanya potensi penyalahgunaan hak oleh masyarakat yang akan menimbulkan efek jauh lebih buruk terhadap sumber daya dari kondiii quasi open access, merupakan signal perlunya aturan (sanksi) yang jelas dan tegas.
Pemerintah juga
perlu
melakukan
pendampingan-pendampingan untuk
menguatkan kelembagaan masyarakat sehingga peluang penyalahgunaan hak dapat diminimalkan. Sanksi yang jelas dan penerapan yan tegas ,diharapkan membuat nelayan cenderung berlaku sustainable. Mengacu pada Tabel 25, maka sanksi minimal bagi pelanggar adalah sebesar selisih antara pendapaian nelayan disaat berlaku eksploitatif dengan disaat berlaku sustain (Rp. 2.275.000- 1.350.000).
5.5.2. Nelayan dengan Nelayan
Pay-off (pahala) yang digunakan dalarn permainan ini adalah tambahan
pendapatan yang akan didapat jika gosong Semak Daun dikelola dengan konsepsi sea farmmg. Menurut Soebagio (2005) yang menghitung keuntungan ekonomi
dari penerapan konsep sea fonning di Kepulauan Seribu, menyebutkan bahwa nelayan akan mendapatkan tambahan pendapatan Rp. 750.000 setiap bulannya. Adapun matriks pay off seperti terlihat pada Tabel 26 di bawah ini : Tabel 26. Matrik pahala permainan nelayan dengan nelayan Nelayan 2
I
1
I Nelayan I
menerima
menolak Sumber : data diolah (2005)
I
1
menerima
I
menolak
750.000; 750.000
]
0 ;1.500.000
I
I
1.500.000 ;0
0;O
Jika nelayan 1 memilih bersabar dan mentaati kesepakatan dalam sea farming dan nelayan 2 juga melakukan ha1 yang m a ,maka me&
akan
mendapatkan tambahan pendapatan masing-masing Rp. 750.000 tiap bulannya. Namun Ketika nelayan 1 memilii menerima (mentaati), nelayan 2 memiliki peluang untuk memperoleh keuniungan lebih besar jika menolak (melanggar) yaitu Rp. 1.500.000. Jika ha1 ini yang tejadi maka nelayan 1 lebii baik memilih strategi melanggar (menangkap Iebih dulu) agar keuntungamya tidak diambil oleh nelayan 2. Ujungnya adalah terjadi kerugian bersama, dimana keuntungan akibat seafurmrng menjadi hilang.
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa konsepsi sea farming tidak bisa dikelola dalarn kondisi quasi open access. Pengelolaan sea farming memedukan prasyarat adanya kelembagaan yang sesuai,yaitu limited entry. Perlunya aturan main yang jelas dan tegas lengkap dengan sanksi bagi para pelanggar dari kesepakatan yang ada. Penegasan sanksi yang tegas bagi pelanggar dalam pelaksanaan sea farming akan menjadi sarana repetitive permainan untuk dapat menggeser strategi
nelayan kearah mentaati kesepakatan pengelolaan sea farming. Menumbuhkan
rasa memiliki area sea ranching (penegasan properry right) pada para nelayan diyakini akan mampu mendorong keingnan untuk ikut mengawasi sehingga peluang pelanggaran akan dapat diminimalkan. Mengacu pada analisis game theory antara pemerintah dengan nelayan (Tabel 25) dimana adanya potensi penerapan sanksi minimal sebesar Rp 925.000 bagi nelayan yang melanggar kesepakatan, maka keseimbangan permainan antara nelayan dengan nelayan dapat berubah sebagaimana Tabel 27. Tabel 27. Matrik pahala permainan nelayan dengan nelayan dengan sanksi
Nelayan 2
Nelayan 1
menerima
menolak Sumber : data diolah (2005)
menerima
menolak
750.000 ;750.000
0 ;575.000
575.000 ;0
0;O
Permainan ini memberi peluang terjadinya keseimbangan di dua titik, yaitu sama-sama menerima atau sama-sama menolak. Jika permainan dapat dimulai dengan strategi menerima untuk semua pemain, maka tidak ada peluang untuk memperbaiki pendapatan dengan merubah strategi. Pilihan menolak justru akan menurunkan puy-ofiya karena adanya sanksi. Namun sebaliknya jika permainan dimulai dari strategi sama-sama menolak, maka secara rasional tidak munglan salah satu pemain akan merubah strateginya dengan menerima, karena hanya akan memberi manfaat pada lawannya. Cooper dalam Ostrom et a1 (2002) menjelaskan bahwa adanya komunikasi didalam memanfaatkan sumberdaya yang bersifat common resources akan mampu mendorong tejadinya efisiensi yang lebih baik. 5.6. Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Rekohendasi)
Berdasarkan kajian terkait kelembagaan lama dan konsepsi kelembagaan baru diperoleh informasi-informasi bagi upaya konstruksi kelembagaan sea farming (Tabel 28). Kajian tentang kelembagaan lama (existing) menunjukkan
beberapa ha1 diantmnya telah adanya beberapa aktivitas yang sesuai dengan
konsepsi sea farming, telah adanya peraturan perundangan formal baik yang mengatur pengelolan sumber daya perikanan dan laut secara m u m maupun yang terkait langsung dengan potensi penerapan konsepsi sea farming. Analisis
stakeholder memberikan informasi tentang siapa saja yang hams terlibat langsung maupun tidak langsung di dalam konstruksi kelembagaan Tabel 28. Rincian informasi terkait proses konstruksi kelembagaan No Kajian 1 Pemanfaatan Sumber daya
-
-
Stukeholder
2
3
1 Peraturan
1 I-
-
Informasi terdapat 4 alctivitas utama pemanfaatan sumber daya di Pulau panggang, yaitu : perikanan tangkap, budidaya, wisata dan konsewasi adanya pemanfaat sumber daya (nelayan) dari luar Pulau Panggang adanya kecenderungan masyarakat untuk memilih lokasi diikitar pemukiman untuk aktivitas budidaya terdapat model patron-klien di masyarakat Pulau Panggang. Pemasaran hasil tangkapan menggunakan koordinasi vertikal terdapat 13stakeholder terkait pemanfatan sumber daya perikanan dan laut di Pulau Panggang masyarakat Pulau Panggang, Pernitas, DPL, Pemerintah KAKS, Pengelola TNKS clan akademisi adalah stakeholder yang hams terlibat secara langsung telah adanya peraturan formal tentang pengelolaan sumber daya adanya peluang bagi pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk mengelola sumber daya laut di wilayahnya adanya penegasan pentingnya peran serta masyarakat dalam mengelola sumber daya telah memudarnya aturan non formal dari masyarakat terkait pengelolaan sumber daya laut adanya penilaian masyarakat bahwa sumber daya laut Pulau Panggang Semakin rusak adanya keinginan masyarakat untuk mencoba berbididaya persepsi ekonomi masyarakat menunjukkan nilai yang mendckati predksi manfaat ekonomi seu konsepsi seu/iut&ng tidak bisa aalankan kondisi quasi open access, oleh karenannya perlu konstruksi kelembagaan yang sesuai repetitive game, dapat memberi pilihan keseimbangan antara efisien dan inefisien Diperlukan komunikasi diantara pemain (stakeholder) agar dicapai keseimbangan yang paling efisien
r -
-
Masyarakat Pulau Panggang -
I
>
-
1
I-
stakeholder (Game Theory)
i
1
-
Sumber : data diolah (2005)
Sementara analisis persepsi masyrakat baik tentang kondisi sumber daya saat ini clan tentang konsepsi sea farming menunjukkan siapnya masyarakat terhadap penerapan konsep sea farming. Terkait kelembagaan baru (konsepsi) diperoleh informasi tentang perlunya komunikasi yang intensif antara pihak pemerintah dan masyarakat serta adanya sanksi yang jelas dan tegas di dalam peraturan pengelolaan area seafarming. 5.6.1. Proses Konstruksi
Mengingat kelembagaan yang ingin dibangun adalah kelembagaan yang berbasis masyarakat, maka proses partisipatif adalah persyaratan muthk. Keterlibatan stakeholder secara proporsional diharapkan dapat memberi informasi sebanyak mungkm (Gambar 15 ). Disamping itu keterlibatan masyarakat Pulau Panggang secara langsung akan menimbulkan rasa memilib kelembagaan yang terbentuk sehingga keinginan mtuk mentaatinya akan semakin besar.
............................................................................
i Interakasi langsung ALademisi
;
Panggang, Pemitas dan
.............................................................................
Keterangan : e--, 4 .-.--b
: Komunikasi : Fasilitasi : Informasi
Gambar 15 Interaksi stakeholder dalam proses konstruksi kelembagaan
Masyarakat Pulau Panggang termasuk didalamya Pernitas dan DPL sebagai stakeholder yang akan ditegaskan haknya untuk mengelola sumber daya
harus berkomunikasi secara langsung dengan stakeholder yang memegang hak pengelolaan selama ini (Pemerintah KAKS dan Pengelola TNKS). Komunikasi ini sebaiknya difasilitasi oleh Akademisi yang menguasai informasi tentang teknologi sea farming agar lebih efektif. Di satu sisi akademisi diharapkan dapat
menggandeng LSM untuk upaya pendampingan bagi masyarakat. Sementara stakeholder lain tetap hams dilibatkan, namun secara tidak langsung. Keberadaan pengusaha perikanan yang telah mapan dalam pembenihan kerapu diharapkan rnampu menjembatani prose restocking sebelum masyarakat mampu mel-ya
Demikian halnya dengan pengusaha wisata, yang
diharapkan mau memanfaatkan peluang sea fanning sebagai obyek wisata bahari agar memberi nilai tambah. Pihak lain, seperti masyarakat dari luar Pulau Panggang yang biasanya memanfaatkan sumber daya di Pulau Panggang, Dinas Perhubungan serta pihak keamanan juga harus didengar pendapatnya. 5.6.2. Output Konstruksi Kelembagaan Interaksi diantara stakeholder diharapkan dapat melahirkan orga~sasidan aturan main untuk mengelola sea farming di gosong Semak Daun Pulau Panggang. Diagram organisasi pengelola sea farming di Pulau Panggang seperti terlihat pada Gambar 16. Pemerintah KAKS bersama masyarakat diharapkan bersepakat dalam membentuk kelompok yang akan mengelola sea farming. Anggota kelompok diharapkan adaiah warga Pulau Panggang yang berminat dan sesuai dengan kemampuannya. Seksi budidaya diharapkan dapat diutamakan bag masyarakat yang telah mencoba berbudidaya selama ini. Seksi pemasaran diharapkan diisi oleh para supplier yang telah terbiasa memasafkan hasil laut namun dengan kesepakatan baru (bukan patron-klien). Sedangkan kelompok sea ranching diharapkan diisi oleh nelayan dengan alat tadgkap yang seslllii (bubu dan pawing).
Pemerintah dan Masyarakat ( Ekstern) Kelompok (Intern)
Gambar 16 Organisasi pengelolan seafarming di Pulau Panggang Hal-ha1 pokok terkait dengan aturan main seperti telihat pada Tabel 29. Hal terpenting didalam aturan main adalah proses penyusunannya. Diharapkan berbagai aturan didalam memanfaatkan sumberdaya laut Pulau Panggang dominan berasal dari inisiatif masyarakat. Hal ini disamping karena masyarakat lebih memahami tentang sumberdaya laut Pulau Panggang, juga bertujuan agar rasa memiliki dan tanggung jawab untuk mentaatinya semakin besar. Pihak pemerintah yang memberi payung hukum, cukup mensikronkan dengan aturan formal lain yang lcbih tinggi agar tidak terjadi aturan yang bertentangan dengan payung hukum di atasnya
Tabel 29 Aturan main kelembagaan pengelolaan seafarming POKOK Hak
Aturan pemanfaatan
PENJELASAN Pemerintah dan masyarakat Kesepakatan pemberi hak
PERIHAL pemberi hak area penegasan hak (batas fisik) kelompok pemegang hak Cjumlah anggota) masa pemberian hak dan aturan pencabutannya budidaya (pen dun cage -
Disesuaikan kapasitas tampung area Kesepakatan pemberi hak pertimbangan teknis
cu~hrrk) -
penebaran benih (sea ranching) penangkapan (waktu,alat dan frekuensi) penjualan hail (melihat ukuran ikan) Sanksi pelanggaran & Pengawasan Pemanfaatan oleh pihak luar Pengawasan Kinej a kelompok Aturan teknis Evaluasi Dampak teknis I Damoak sosial Dampak ekonomi Sumber : data diolah (2005)
pertimbangan teknis Kesepakatan kelompok Memperhatikan rantai penjulalan (pendeder) Kesepakatan kelompok Kesepakatan pemberi hak
I
Pemerintah dan masyarakat Kelompok Akademisi
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan
1.
Sumberdaya laut dan perikanan Pulau Panggang selama ini telah dimanfaatkan untuk aktivitas perikanan tangkap, perikanan budidaya, wisata serta konsewasi, yang semua aktivitas ini merupkan bagian dari peran dalam konsepsi sea farming. Sementam pemasaran hasil tangkap masih mengikuti kelembagaan patron-klien.
2.
Teridentifikasi 13 stakeholders terkait p e h t a n sumberdaya hut dan perikanan. Masyarakat Pulau Panggang, Pernitas, Dewan Perlindungan Laut
(DPL), Pemerintah Kabupakn Administrasi Kepulauan Seribu clan Pengelola TNKS adalah stakeholders yang hams terlibat langsung didalam konstruksi kelembagaan seafarming dengan fasilitasi dari akademisi. 3.
Kajian terhadap penhum perundangan menunjukkan bahwa aturan h u b formal tentang pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan telah tersedia, sedangkan aturan non formal dari masyamkat tergolong tidak ada, diduga telah memudar. Pemerintah daerah memiliki peluang untuk mengeluarkan kebijakan didalam memanfaatkan sumber daya laut di wilayahnya.
4.
Masyarakat Pulau Panggang siap mtuk menerima konsepsi sea farming tercennin dari persepsi bahwa kondisi sumberdaya laut dan perikanan Pulau Panggang saat ini semakin rusak clan memerlukan model budidaya. Persepsi ekonomi terhadap sumberdaya perikanan dan laut masyarakat Pulau Panggang rata-rata adalah Rp. 997.059,- dengan karakteristik responden yang bepengaruh nyata adalah jenis pekejaan dan tingkat pendapatan.
5.
Interaksi antar
stakeholders
(pemerintah dan masyamfrat)
dab
kelembagaan sea farming mengindikasikan perlunya pengelolaan secara bersama dengan aturan yang mempertimbangkan keinginan masyarakat dan dilaksanakan secara tegas agar muncul kepercayaan diantara para stakeholders.
6.
Terkait proses konstruksi kelembagaan maka proses parrisipsi hams mampu melibatkan stakeholders pada proporsi yang tepat. Sementara aturan main
ham dibuat sejelas mungkin dengan mengutamakan inisiatif dari masyarakat. 6.2. Saran
Perlunya penelitian lanjutan untuk mengetahui efektifitas kelembagaan sea farming dalam mengelola sumberdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang. Hal
ini penting untuk dapat melakukan 4ustrnent (penyesuaian) secara terusmenerus hingga didapat wujud kelembagaan yang paling efektif.
DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L. 2004. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB, Bogor. Adrianto, L. 2005. Konsep Kelembagaan Sea Farming. PKSPL-IPB, Bogor Anwar, A. 1997. Analisis Ekonomi Biaya-Biaya Transaksi (Transaction Costs Economics Analysis). Makalah disampaikan dalam ceramah Umum mahasiswa Program Studi Ilmu PerenPembangunan Wilayah clan Perdesaan Ps IPB. Bogor
. 2001. Dasar-Dasar Teori Agency. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangaunan Wialayah dan Perdesaan. Program Pasca Saqana IPB, Bogor. . 2002. Suatu Arahan tentang Analisis Institusi Sistem Kontrak pertanian di Wilayah Pedesaan. Suatu etunjuk bagi Keperluan Penelitian Bisnis di Wilayah Pedesaan. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan perdesaan, Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
. Teori Permainan (Game Theory) dan Aplikasinya dalam Analisis Ekonomi dan Kelembagaan. Bahan kuliah ekonomi organisasi Perdesaan Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor. . 1993. Perlunya Memahami Kelembagaan Tradisional Lokal dalam Rangka Meningkatkan Kehidupaan Nelayan. Makalah Seminar, Bogor.
BardachJ. E., J. H. Ryther & W.O. McLamey. 1972. Aquaculture, The Farming and Husbandry of Freshwater and Marine Organism. John Wiley & Sons Inc., New York, London ,Sydney, Toronto. Chnsty, F. T. 1994. Hak Gum Wilayah dalam Perikanan Laut (Definisi dan Kondisi) Ditejemahkan oleh Mulyam Rasdani. Bagian Proyek Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang, Semarang. Dahuri, R. J, Rais. S, P, Ginting dan M, J, Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta Effendi, I., W. Oktariza & Taryono. 2003. Penataan Kawasan Budidaya Laut (Penyusunan Rencana Budidaya Laut Pulau Semak Daun, Pulau Karang Congkak, Pulau Karang Bongkok dan Pulau karang Berm). Pemkab Kepulauan seribu- LPM, IF'B, Bogor. 163 Hal.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Gramed'ia, Jakarta. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis dan Gagasan. Gramedia, Jakarta. Fally R Abalone Farming. Fishing News Books, Oxford, London, Edinburg Cambridge, Victoria. Field, B. C. 1994. Environmental Economics-An Introduction McGraw-Hill, Inc, New York. Grimble, R, dan Chan, MK. 1995. Stakeholder Analysis for natural Resources management in Developing Countries. Natural Resources forum, Great Britain. Hadi, S. 2005. Dampak Pembangunan terhadap Pengembangan Wilayah. Makalah pelatihan Amdal, kerjasama P4W-LPPM IPB dengan Kabupaten Bogor, Bogor. Harahap, A. B. S. 2005. Pembangunan Perekonomian Kepulauan Seribu Berbasis Sumberdaya Kelauatan. Tesis Sekolah Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Jentoft, S. 2003. Institution in Fisheries : What they are, What they do, and How they change. Departement of Planning and Community Studies, Faculty of Social Sciene, University of Tromso, Norway Kelurahan Pulau Panggang. 2005. Laporan Bulanan Kelurahan Pulau Panggang, Jakarta. Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan jaringan Sosial. HUP, Bandung. Mintoro et al., 1993. Keragaan beberapa Pola Usaha penangkapan Ikan di Laut oleh Rakyat di Indonesia. Dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 10. No. 2, 1993. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Nirmala, R. 2003. ~ a r t i s i ~ aMasyarakat si dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan (Kasus di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) Nurhakim, S. 2001. Sea Farming sebagai upaya pemngkatan Prcduksi Melalui Perlindungan clan Pengkayaan, Hal.:IO-16. Dalam A. Sudrajat, E. s. hemwati, A. OFCF (Overseas Fishery Cooperation Foundation). & Policy Of Japan. Japan.
Fisheries Administration
Ostrom, E., Distz, T., Dolsak, N., Stem, P.C., Stonicb, S., Weber, E.U. The Drama of The Comtnons. National Academy Press, Washington, DC Poemomo, A. Rukyani, J. Widodo & E. Danakusumah (Eds). Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan, Jakruta. Pakpahan, A. 1991. Keranka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial : Perspektif Ekonomi Institusi. Parker, R. 2002. Aquaculture Science. Delmar, Thomson Learning Inc., New York. Pillay, T. V. R. 1990. Aquaculture, Principles and Practices. Fishing News Books, Oxford, London, Edinburg, Cambridge, Victoria. PKSPL-IPB. 2002. Evaluasi Pembangunan Wilayah Kabupaten Admi~strasi Kepulauan Seribu Plarenco, PT & Badan Perencanaan Kabupaten Adminstrasi Kepulauan Seribu. 2004. Kajian Pengembangan Sea farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Poloma, M. M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Pranadji, T. 1989. Sistem Pemasaran Udang Windu Tambak Rakyat di Jawa Timur. FAE. Vo1.7 No. 1 Juli 1989. Ruddle, K. 1999. The Role of Local management and Knowledge Systems in Small- scale Fisheries : a Review of Major Issues ang research Needs in Asian coastal Zones. Kwansei Gakuin University Policy Studies Association. Sadarun. 1999. Transplantasi Karang Batu (Stony Coral) di Kepulauan Seribu Teluk Jakarta Satria, A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan . Bandung : HUP Scott, J. C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Shell, E. W & T. F. Lowell. 1993. The Development and Aquaculture : anecosystem Perspective. Alabama Agriculture Experiment Station, Aubum University, Alabama.
Soebagio, 2005. analisis Kebijakan Pemanhtan Ruang Pesisir dan h u t Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat melalui Kegiatan Budidaya Periakan dan Pariwisata. Disertasi. PS Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SPS IPB, Bogor. Taryono et al., 1993. Analisis kelembagaan bagi hasil Perikanan h u t . Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Tucker Jr., J. W. 1998. Marine Fish Culture. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht Tha Netherlands.
Lampiran 1
Daftar peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perilcanan dan laut Pulau Panggang.
23 Kepmen No. 67 Tahun 2002
pedoman Urnum pengelolaan PulauPulau Kecil (PPK) (Petunjuk Teknis)
24 Kepmen No. 39/Men/ 2004
Pedoman Umum investasi di Pulau-
r
Pembentukan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan beserta batas-batasnya Larangan penangkapan ikan dengan mempergunakan jaring bagan Larangan pengambilan batu karang, pasir laut serta sejenisnya dari pulau-pulau di Ibukota Jakarta No.211971 kepulauan Seribu I 281 SK Gubernur DKI Jakarta Rumput laut meniadi salah satu komiditas unggulan di DKI Jakarta No 6811999 291 SK Gubernur DKI Jakarta Wilayah kecamatan dan Kelurahan bese& batas-Batasnya di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu I I Surnber : data diolah (2005)
25 Perda DKI Jakarta N0.4/2001
I
Lampiran 2 Data perrepsf ekonomi masyarakat Pulau Panggang
Larnpiran
Perhitungan Pay-off untuk Analisis Game Theory
A. Pemerintah dengan Nelayan Pay-off Pemerintah Biaya pengawasan (BP) : Rp.499.276.232Jtahun (Situmorang, 2004) Luasan terumbu karang Kepulauan Seribu : 4.027,45 ha (Soebagio, 2005) L& terumbu k g di area seafarming : 303 ha (Soebagio, 2005) Manfaat konservasi (MK) : US $ 15.OOOKm2/tahun (Iswahyudin ,2005) Sehingga : Biaya pengawasan area seafarming : (303/4.027,45) x Rp.499.276.232 = Rp. 37562.402 Manfaat konservasi area seafarming : 3,03 x Rp. 150.000.000 = Rp. 454.500.000 Nelayan Pemerintah
Quasi open access Limited Entry
Eksploitatif (MK-l%MK) -BP (MK-10%MK) + BP
Sustainable MK - BP MK + BP
Pay off nelayan :
- Peningkatan pendapatan karena seafarming (Soebagio, 2005) :Rp. 750.000 (SF) - Pendapatan nelavan muroami : Rp. 900.000 (representasi eksploitatif) (NM) - pendabtan nelaian bubu : Rp. 600.000 (repiesentasi sustainable) (Nb) - Potensi pemanfaatan terumbu karang sebagai sumber tanaman hias nilai ekonomi tanaman hias di Kepulauan Seribu Rp. 219.300.000/tahun (Situmorang, 2005) Hasil konversi ke gosong Semak Dam : (303/4027,45) X 219.300.000 / 12 = Rp. 1.374.896hulan (TH) Nelayan Pemerintah
Quasi open access Limited Enby
Ek~ploitatif NM NM+TH
Sustainable NB NB + SF
B. Nelayan dengan Nelayan
-
Peningkatan pendapatan karena sea farming (Soebagio, 2005) : Rp. 750.000 (SF) - Sanksi atas pelanggaran : 2.275.000-1.350.000= 925.000 (SP) Permainan tipe one shot game
Nelayan
Nelayan Menerima SF; SF 2SF ;0
Menerima Menolak
Menolak 0 ;2SF 0 ;0
Permainan dengan repetitive -
Nelayan
.
Nelayan
Menerima Menolak
Menerima SF; SF 2SF-SP ;0
Menolak 0 ;2SF-SP 0;O