KAJIAN INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN BERBASIS INTEGRASI VALUASI EKONOMI (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)
JUMAIDI INDRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir proposal penelitian ini.
Bogor, Agustus 2012
Jumaidi Indra NIM H352080051
ABSTRACT
JUMAIDI INDRA. Study of Ecological Sensitivity Index Based Economic Valuation Integration (Case Study of Pramuka Island, Kepulauan Seribu Regency). Under the direction of TRIDOYO KUSUMASTANTO, FREDINAN YULIANDA and LUKY ADRIANTO. Environmental sensitivity index (ESI) is a systematic approach to compiling information about the sensitivity of the coastal, biological resources and human resources are utilized (NOAA 2001). Michel and Dahlin (1993) in Metrianda (2000) stated environmental sensitivity index is a classification of coastal areas based on the level of sensitivity to damage from oil pollution and other damage sources. The benefit of the index calculation of ESI is information about the environmental sensitivity of coastal areas, beaches, and sea that require protection, maintenance and restoration. Sloan (1993) clarified that ESI divided into three index are yaitu vulnerability index (VI); ecologycal index (EI) and Social-economic index (SI). In its development, environmental sensitivity index approach taken is still not optimal in responding to actual conditions of an area. With the more advanced aspects of ecology, ESI sometimes have problems in its application. This is presumably because the ESI not fully touching matters related to the economic value of resources in each region. Socio-Economic Index, which is one of the 3 (three) factor in ESI has always been based on the "benefit transfer" which cannot describe the real conditions of the total economic value of resources in the study area of ESI. Therefore, we need comprehensive calculations based on the actual conditions of the region. SI is combination between social value (SV) and economic value (EV). Calculation EV as one component of ESI determinants can be achieved by integrating the total value of economic resources from the surrounding environment and community. To simplify some points mentioned above into an implementation would be seen in a smaller area. District Administration (Adm.) Thousand Islands are expected to represent the form and a small sample of coastal and small island management. Based on the results obtained values ESI respective ecosystems ranging from fairly sensitive as fishing ground (Damaged reef ecosystems) to highly sensitive ecosystems such as seagrass. The sensitivity level is obtained after integrating the value of benefits is calculated as a result of total economic value, are: (1) mangrove ecosystem of North Mangrove Ecosystem (NME) = IDR 11.747.918.974 and South Mangrove Ecosystem (NMS) = IDR 7.729.766.460; (2) Coral reef ecosystems fro North Coral Ecosystem (NCE) = IDR 110.216.425.580 and South Coral Ecosystem (SCE) = IDR 110.178.911.910, (3) Seagrass Ecosystems of North Seagrass Ecosystem (NSE) = IDR 8.059.157.445 and South Seagrass Ecosystem (SSE) = IDR 8.059.217.031, whereas Damaged Reef Ecosystem (DRE) is obtained with volume total economic value of the catch of 63,960 kg/year or IDR 973.200.000. The economic value represents the actual conditions and based on the preferences of the people who were around Scout Island. Keywords: Pramuka Island, environmental sensitivity index, the total economic value
RINGKASAN
JUMAIDI INDRA. Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, FREDINAN YULIANDA dan LUKY ADRIANTO. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan yang memiliki ketersediaan sumberdaya alam kelautan yang berlimpah. Hal ini kemudian dijadikan sebagai sektor ekonomi andalan masyarakat setempat. Dengan potensi produksi perikanan serta keanekaragaman ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan lainnya, maka lingkungan laut dan pesisir Kab. Administrasi Kepulauan Seribu akan menghadapi tantangan dalam pengelolaannya. Salah satu contoh nyata bahwa kawasan laut Kepulauan Seribu hingga saat ini mengalami tantangan tersebut adalah potensi ekonomi yang dimiliki, tetapi secara langsung atau tidak juga berfungsi sebagai penyangga kelangsungan hidup masyarakat serta ekosistem sekitar. Kondisi tersebut akan sangat berbahaya apabila dibiarkan berlarut-larut, dan dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Sehingga salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di sekitar wilayah tersebut adalah melakukan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan dengan pendekatan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL). Penentuan IKL didasarkan kepada tiga indeks, diantaranya adalah Indeks Kerentanan (IK); Indeks Ekologi (IE) serta Indek Sosial Ekonomi (IS). Pendekatan ini salah satu cara untuk memetakan potensi sumberdaya alam ke dalam beberapa kelompok wilayah berdasarkan tingkat sensitifitas dan kepekaannya terhadap lingkungan dan aktifitas sekitar. Dalam perkembanganya, pendekatan indeks kepekaan lingkungan yang dilakukan masih dirasa belum optimal dalam menjawab kondisi aktual suatu kawasan. Dengan lebih mengedepankan aspek ekologi, IKL terkadang mengalami hambatan dalam penerapannya. Hal ini diduga karena IKL belum secara utuh menyentuh hal yang terkait kepada nilai ekonomi sumberdaya pada masing-masing wilayah tersebut. Indeks SosialEkonomi yang merupakan salah satu dari 3 (tiga) faktor penentu dalam IKL selama ini selalu didasari kepada “benefit transfer” yang belum bisa menggambarkan kondisi nyata terhadap nilai total ekonomi sumberdaya pada wilayah studi IKL tersebut. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu perhitungan yang didasarkan kepada kondisi aktual kawasan tersebut. Perhitungan NEk sebagai salah satu komponen penentu IKL dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai total ekonomi sumberdaya yang berasal dari lingkungan dan masyarakat sekitar kedalam penentuan indeks kepekaan lingkungan, dalam hal ini adalah Indeks Sosial Ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai IKL masing-masing ekosistem beragam mulai dari cukup peka seperti Daerah Penangkapan Ikan (ekosistem karang gosong) sampai sangat peka seperti ekosistem Lamun. Tingkat kepekaan tersebut di peroleh setelah mengintegrasikan nilai manfaat yang dihitung dengan nilai ekonomi total yaitu: (1) Ekosistem mangrove untuk Ekosistem Mangrove Utara (EMU) = Rp.11.747.918.974 dan Ekosistem Mangrove Selatan (EMS) = Rp. 7.729.766.460; (2) Ekosistem terumbu karang untuk Karang Hidup Utara (KHU) = Rp. 110.216.425.580 dan Karang Hidup Selatan (KHS) = Rp. 110.178.911.910; (3) Ekosistem Lamun untuk Ekosistem Lamun Utara (ELU) = Rp. 8.059.157.445 dan Ekosistem Lamun Selatan (ELS) = Rp. 8.059.217.031, sedangkan Ekosistem
Karang Gosong (EKG) diperoleh nilai ekonomi total dengan volume jumlah tangkapan sebesar 63.960 kg/tahun atau Rp. 973.200.000. Nilai ekonomi tersebut mewakili kondisi aktual dan berdasarkan preferensi dari masyarakat yang berada di sekitar Pulau Pramuka. Beberapa saran dari penelitian ini adalah; (1) Disarankan pengelolaan Ekosistem Lamun, Terumbu Karang, dan Mangrove dapat dilakukan dengan baik melalui monitoring, berdasarkan hasil penelitian ekosistem tersebut termasuk peka terhadap dampak aktivitas terutama apabila terjadi tumpahan minyak; (2) Perlu dilakukan pengkajian lanjutan yang terkait dengan interaksi antar ekosistem, antar pulau disekitarnya dan analisis dinamik sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan ganti rugi apabila terjadi bencana lingkungan. Kata kunci: Pulau Pramuka, indeks kepekaan lingkungan, nilai ekonomi total
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN BERBASIS INTEGRASI VALUASI EKONOMI (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)
JUMAIDI INDRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Ario Damar, M.Sc
LEMBAR PENGESAHAN
JuduL
: Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)
Nama
: Jumaidi Indra
NIM
: H352080051
Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua
Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Anggota
Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 28 Juni 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulisan tesis yang berjudul “Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)” dapat penulis selesaikan. Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis telah mencurahkan segala kemampuan, waktu dan tenaga yang dimiliki untuk mendapatkan hasil yang baik. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magistes Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bimbingan, bantuan dan arahan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: 1) Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan sabar telah memberikan arahan penelitian dan pembahasan berbagai aspek pada proses penulisan tesis. 2) Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, kritik dan saran yang konstruktif dlam setiap konsultasi, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. 3) Dr. Ir. Ario Damar, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi. 4) Keluarga besar Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, PKSPL-IPB (Kang Yudi Wahyudin, Mas Hermanto, Mas Arsyad, dan teman-teman lainnya) atas motivasi, bantuan dan dukungan yang telah diberikan. 5) Keluarga besar PS. ESK yang dengan sabar selalu mengingatkan dan memberi motivasi serta bekerjasama selama mengikuti proses belajar di IPB. 6) Keluarga besar Karak Stone (Ahmad Munawar (Alm); Ibunda Nurhayati Chan; Riry Isramiwarti; Rahmat Ifraja; Adhe Zulfajri) serta keluarga yang lainnya dan tak bisa disebut satu persatu yang selalu memberikan motivasi dalam menyelesaikan studi ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengelolaan ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil secara berkelanjutan
Bogor, Agustus 2012 Jumaidi Indra
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi, pada tanggal 3 Mei 1980 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Drs. H. Ahmad Munawar, MM (Alm) dan Hj. Nurhayati Chan. Setelah berhasil menamatkan pendidikan menengah tingkat atas di SMU 1 Muaro Sijunjung pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pendidikan Sarjana diselesaikan pada tahun 2003. Setelah memperoleh pengalaman kerja sampai pada tahun 2008, penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dam memilih Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika.
LEMBAR PENGESAHAN
JuduL
: Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Integrasi Valuasi Ekonomi (Studi Kasus Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)
Nama
: Jumaidi Indra
NIM
: H352080051
Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua
Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Anggota
Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 28 Juni 2012
Tanggal Lulus:
xi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xix
1. PENDAHULUAN.................................................................................. 1.1. Latar Belakang............................................................................... 1.2. Rumusan Masalah.......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.4. Ruang Lingkup ............................................................................. 1.5. Manfaat Penelitian .......................................................................
1 1 3 4 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil .......... 2.1.1. Ekosistem Mangrove .......................................................... 2.1.2. Ekosistem Terumbu Karang .............................................. 2.1.3. Ekosistem Lamun .............................................................. 2.1.4. Daerah Penangkapan Ikan .................................................. 2.2. Indeks Kepekaan Lingkungan ....................................................... 2.2.1. IKL Ekosistem Mangrove ................................................... 2.2.1.1. Indeks Kerentanan dan Ekologi .................................. 2.2.1.2. Indeks Sosial-Ekonomi ............................................... 2.2.2. IKL Ekosistem Terumbu Karang ........................................ 2.2.2.1. Indeks Kerentanan dan Ekologi .................................. 2.2.2.2. Indeks Sosial-Ekonomi ............................................... 2.2.3. IKL Ekosistem Lamun ........................................................ 2.2.3.1. Indeks Kerentanan dan Indeks Ekologi ...................... 2.2.3.2. Indeks Sosial-Ekonomi ............................................... 2.2.4. IKL Daerah Penangkapan Ikan ........................................... 2.2.4.1. Indeks Kerentanan dan Indeks Ekologi ...................... 2.2.4.2. Indeks Sosial-Ekonomi ............................................... 2.3. Nilai Total Ekonomi Sumberdaya (Valuasi Ekonomi) ................. 2.3.1. Nilai Guna/Pemanfaatan (Use Value) ................................. 2.3.1.1. Pendekatan Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value) ........................................................................... 2.3.1.2. Pendekatan Nilai Penggunaan Tidak Langsung (Direct Use Value) ........................................................ 2.3.1.3. Pendekatan Nilai Pilihan (Option Value) .................... 2.3.2. Nilai Bukan Guna/Pemanfaatan (Non-Use Value) .............. 2.3.2.1. Nilai Warisan (Bequest Value)..................................... 2.3.2.2. Nilai Eksistensi (Existance Value) ..............................
5 5 7 10 13 16 18 21 21 23 24 24 25 26 26 27 28 28 29 29 35
3. KERANGKA PEMIKIRAN ....... .........................................................
40
35 36 38 39 39 39
xii
Halaman 4. METODOLOGI....... .............................................................................. 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 4.2. Metode Penelitian ......................................................................... 4.3. Jenis dan Sumber Data................................................................... 4.4. Metode Pengambilan Data ............................................................ 4.4.1. Metode Pengambilan Sampel Responden............................ 4.4.2. Metode Pengamatan Ekosisten Mangrove ......................... 4.4.3. Metode Pengamatan Ekosisten Terumbu Karang .............. 4.4.4. Metode Pengamatan Ekosisten Lamun .............................. 4.5. Metode Analisis ............................................................................ 4.5.1. Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) .................................. 4.5.1.1. Indeks Kerentanan (IK) ............................................... 4.5.1.2. Indeks Ekologi (IE) .................................................... 4.5.1.3. Indeks Sosial-Ekonomi (IS) ........................................ 4.5.1.3.1. Nilai Sosial (NS) ................................................. 4.5.1.3.2. Nilai Ekonomi (NE) ............................................ 4.5.1.3.3. Nilai Ekonomi Total ............................................ 4.6. Batasan Penelitian .........................................................................
43 43 43 43 44 44 45 46 47 48 48 49 50 53 54 55 58 62
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 5.1. Keadaan Umum Pulau Pramuka ................................................... 5.1.1. Kondisi Geografi dan Oceanografi ..................................... 5.1.2. Kondisi Kependudukan Pulau Pramuka Kelurahan Pulau Panggang................................................................... 5.1.3. Karakteristik Responden di Wilayah Studi.......................... 5.1.4. Kegiatan Perikanan Tangkap Pulau Pramuka ..................... 5.1.5. Kegiatan Pariwisata Pulau Pramuka ................................... 5.2. Indeks Kepekaan Lingkungan Pulau Pramuka ............................. 5.2.1. Ekosistem Mangrove ........................................................... 5.2.1.1. Indeks Kerentanan........................................................ 5.2.1.2. Indeks Ekologi ............................................................ 5.2.1.3. Indeks Sosial-Ekonomi ............................................... 5.2.1.3.1. Nilai Sosial .......................................................... 5.2.1.3.2. Nilai Ekonomi ..................................................... 5.2.1.4. Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove... 5.2.2. Ekosistem Terumbu Karang ................................................ 5.2.2.1. Indeks Kerentanan ....................................................... 5.2.2.2. Indeks Ekologi ............................................................ 5.2.2.3. Indeks Sosial-Ekonomi ............................................... 5.2.2.3.1. Nilai Sosial .......................................................... 5.2.2.3.2. Nilai Ekonomi ..................................................... 5.2.2.3.3. Indeks Sosial Ekonomi ........................................ 5.2.2.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Terumbu Karang .......................................................... 5.2.3. Ekosistem Lamun ................................................................ 5.2.3.1. Indeks Kerentanan (IK) ...............................................
64 64 64 67 68 70 71 73 74 75 76 78 78 80 84 85 86 87 89 89 91 95 96 96 97
xiii
Halaman 5.2.3.2. Indeks Ekologi (IE) .................................................... 5.2.3.3. Indeks Sosial-Ekonomi (IS) ........................................ 5.2.3.3.1. Nilai Sosial .......................................................... 5.2.3.3.2. Nilai Ekonomi ..................................................... 5.2.3.3.3. Indeks Sosial Ekonomi ........................................ 5.2.3.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Lamun ......................................................................... 5.2.4. Ekosistem Karang Gosong (Daerah Penangkapan Ikan)..... 5.2.4.1. Indeks Kerentanan ...................................................... 5.2.4.2. Indeks Ekologi ........................................................... 5.2.4.3. Indeks Sosial-Ekonomi .............................................. 5.2.4.3.1. Nilai Sosial .......................................................... 5.2.4.3.2. Nilai Total Ekonomi ............................................ 5.2.4.3.3. Indeks Sosial Ekonomi ........................................ 5.2.4.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Kegiatan Perikanan ..................................................................... 5.3. Pemetaan indeks Kepekaan Lingkungan di Pulau Pramuka ........ 5.4. Perbandingan Antara IKL Dengan atau Tanpa Integrasi Valuasi Ekonomi .......................................................................................
98 99 99 101 104
6. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 6.1. Kesimpulan....................................................................................... 6.2. Saran.. ............................................................................................ ..
113 113 113
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
115
LAMPIRAN...... .........................................................................................
120
104 105 105 106 107 108 108 109 110 110 112
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1.
Kriteria dan Kondisi Ekosistem Lamun .................................................
16
2.2.
Tingkat kepekaan lingkungan berdasarkan nilai IKL .............................
19
2.3.
Skor dan Penilaian Indeks Kerentanan Pada Wilayah Pesisir ...............
21
2.4.
Kriteria Indeks Ekologi Ekosistem Mangrove .......................................
22
2.5.
Skor dan Penetapan Kriteria Indeks Ekologi(IE) Ekosistem Mangrove
23
2.6.
Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Mangrove ...................................
24
2.7.
Kriteria Indeks Ekologi (IE) Ekosistem Terumbu Karang .....................
25
2.8.
Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Terumbu Karang .........................
25
2.9.
Kriteria Indeks Ekologi (IE) Ekosistem Lamun ....................................
27
2.10. Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Lamun .......................................
27
2.11. Nilai IKL Berdasarkan Sifat Penting Kawasan.......................................
28
2.12. Kriteria Indeks Ekologi Daerah Penangkapan Ikan ...............................
29
2.13. Kriteria Nilai Sosial (NS) Daerah Penangkapan Ikan.............................
29
2.14. Defenisi dan Contoh Komposisi Nilai Ekonomi Total (NET) ...............
34
2.15. Spesifikasi Metoda Valuasi Contingent .................................................
35
2.16. Spesifikasi Pendekatan Pasar Konvensional...........................................
36
2.17. Spesifikasi Metoda Biaya Perjalanan......................................................
37
2.18. Spesifikasi Perilaku Pengeluaran ...........................................................
37
2.19. Spesifikasi pendekatan pengaruh produksi .............................................
37
2.20. Spesifikasi pendekatan harga properti ...................................................
38
2.21. Spesifikasi pendekatan harga properti ....................................................
38
4.1.
Kelas Dominansi Penutupan Ekosistem Lamun .....................................
47
4.2.
Skor Tingkat Kepekaan Lingkungan IKL ..............................................
47
4.3.
Skor dan Metode Penilaian Indeks Kerentanan .....................................
48
4.4.
Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Mangrove ........................
49
4.5.
Skor dan Penetapan Kriteria Variabel Ekologi Ekosistem Mangrove....
50
4.6.
Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Terumbu Karang ............
50
4.7.
Skor dan Penetapan Indeks Ekologi Ekosistem Terumbu Karang .........
51
4.8.
Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Padang Lamun ...............
51
4.9.
Kriteria indeks ekologi (IE) ekosistem padang lamun ...........................
51
xv
Halaman 4.10. Kriteria indeks ekologi daerah penangkapan ikan .................................
52
4.11. Kriteria Nilai Sosial Untuk Pengamatan Masing-Masing Ekosistem ....
53
4.12. Kriteria Nilai Sosial Untuk Daerah Penangkapan Ikan .........................
54
4.13. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove ......................
55
4.14. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang ...........
56
4.15. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Padang Lamun ...............
56
4.16. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Daerah Penangkapan Ikan ...............
57
4.17. Matriks Jenis Dan Sumber Data ............................................................
62
5.1.
Pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ............................................................................................
64
5.2.
Luasan Yang Teridentifikasi sebagai Wilayah Studi .............................
66
5.3.
Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenis Kelamin dan Umur ...............................................................................................
67
5.4.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..............................
68
5.5.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian .......................
68
5.6.
Jumlah Responden Nelayan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang.................................................................................................
70
Jenis Alat Tangkap, Jumlah serta Pendapatan Yang Diperoleh Oleh Nelayan Responden ................................................................................
71
Persentase Armada Nelayan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang.................................................................................................
71
Kriteria dan Skor dari Tiap Indeks Ekologi Mangrove Pulau Pramuka .
77
5.10. Skor Penilaian Nilai Sosial Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka .........
79
5.11. Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka..
81
5.12. Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Masing-MasingManfaat ..................................................................................................
84
5.14. Kriteria dari Tiap Variabel Ekologi Terumbu Karang Pulau Pramuka ..
88
5.15. Skor Penilaian Nilai Sosial Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka .................................................................................................
90
5.16. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka
93
5.17. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka
93
5.18. Manfaat Pilihan Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka................
94
5.19. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka ........
95
5.20. Kriteria dan Skor Tiap Variabel Ekologi Lamun Pulau Pramuka ..........
98
5.7. 5.8. 5.9.
xvi
Halaman 5.21. Skor Penilaian Indeks Sosial Ekosistem Lamun Pulau Pramuka ...........
100
5.22. Manfaat Pilihan Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka................
102
5.23. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Lamun Pulau Pramuka .......................
103
5.24. Kriteria dan Penentuan Skor Indeks Kerentanan Daerah Penangkapan Ikan Pulau Pramuka ...............................................................................
104
5.25. Skor Penilaia Indeks Ekologi Daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka .................................................................................................
107
5.26. Skor Penentuan Nilai Sosial Daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka ..................................................................................................
108
5.27. Volume Daerah Penangkapan Ikan Berdasarkan Lokasi Penangkapan..
109
5.28. Nilai IKL dan Tingkat Kepekaan di Pulau Pramuka. .............................
111
5.29. Perbandingan Antara IKL Terintegrasi Valuasi Ekonomi dengan IKL Tanpa Integrasi Valuasi Ekonomi...........................................................
112
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1.
Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Balitbang KP, 2012). ...................................................
17
2.2.
Surplus Konsumen dan Surplus Produsen .............................................
31
2.3.
Tipologi nilai ekonomi total (NET) ........................................................
33
3.1.
Kerangka Pemikiran................................................................................
41
4.1.
Teknik Pengamatan Manta Tow (Rodgers, 2001) .................................
45
4.2.
Transek Pengambilan Contoh Lamun ....................................................
46
5.1.
Sebaran Ekosistem di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (sumber google map)...............................................
66
5.2.
Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin .....................................
69
5.3.
Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.............................
69
5.4.
Jumlah Responden Berdasarkan Mata Pencaharian ..............................
69
5.5.
Asal Lokasi Wisatawan ..........................................................................
72
5.6.
Kegiatan Pariwisata yang Diminati oleh Wisatawan..............................
72
5.7.
Ekosistem Mangrove (EMU dan EMS) di Pulau Pramuka ....................
74
5.8.
Ekosistem Mangrove bagian Utara (EMU) di Pulau Pramuka ..............
75
5.9.
Anakan dan Semaian Ekosistem Mangrove di Bagian Selatan (EMS) di Pulau Pramuka ....................................................................................
76
5.10. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (EMU=Ekosistem Mangrove Utara; EMS=Ekosistem Mangrove Selatan)................................................................................................ ...
85
5.11. Ekosistem Terumbu Karang (KHU dan KHS) di Pulau Pramuka (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan) ..................
86
5.12. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang (KHU) di Pulau Pramuka ............
87
5.13. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang (KHS) di Pulau Pramuka.............
88
5.14. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan) ..................
96
5.15. Ekosistem Lamun (ELU dan ELS) di Pulau Pramuka (ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan).....................................
97
5.16. Kondisi Ekosistem Lamun Pulau Pramuka (ELS)..................................
98
xviii
Halaman 5.17. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Lamun di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan)........
104
5.18. Ekosistem Karang Gosong/Daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka (EKG=Ekosistem Karang Gosong) .........................................
105
5.19. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (EKG=Ekosistem Karang Gosong).........................................................
110
5.20. Peta Indeks Kepekaan Lingkungan daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan; ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan; EMU=Ekosistem Mangrove Utara; EMS=Ekosistem Mangrove Selatan; EKG=Ekosistem Karang Gosong)...................................................................................................
111
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Data Lokasi dan Pengambilan Sampel Penelitian.........................................
121
2. Perhitungan Effect On Production ...............................................................
125
3. Hasil Perhitungan CVM untuk Ekosistem Mangrove ..................................
132
4. Perhitungan Travel Cost Methods ................................................................
136
5. Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Mangrove ...........
139
6. Perhitungan Contingent Valuation Method untuk Terumbu Karang............
141
7. Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Terumbu Karang
147
8. Perhitungan CVM untuk Ekosistem Lamun ................................................
149
9. Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Lamun ...............
155
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional Indonesia bergantung pada beberapa hal, diantaranya ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), sumberdaya alam (SDA) dan kebijakan-kebijakan yang menyertainya. Ketersediaan sumberdaya manusia dikaitkan dengan kemampuan dan keberdayaannya sebagai pemeran utama dalam pembangunan. Pada sisi lain, ketersediaan sumberdaya alam dikaitkan kepada modal awal dan bahan dasar dalam pembangunan yang bergantung kepada daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya. Pemerintah berperan penting dalam menetapkan kebijakan yang mengatur interaksi antara faktor SDM dan SDA tersebut. Pemerintah memiliki kewajiban dalam merencanakan, mengelola dan memantau seluruh kegiatan yang terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Keberhasilan pemerintah dapat tercermin dari efektifitas dan efisiensi pengelolaan SDM dan SDA pada tiap level kepemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian, keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh kebijakan pemerintah di dukung oleh swasta dan masyarakat. Kebijakan pembangunan tersebut mencakup wilayah daratan, pesisir dan lautan. Sebagaimana diketahui bahwa secara umum pengelompokan populasi penduduk di Indonesia lebih di dominasi berada di wilayah pesisir.
Berbeda dengan wilayah pedalaman, kawasan pesisir dan laut di
Indonesia merupakan wilayah yang memiliki karakteristik unik dan kompleksitas yang tinggi dalam pengelolaannya. Keunikan dan kompleksitas inilah yang menjadi salah satu tantangan untuk mencapai keberhasilan pengoptimalisasian potensi yang dimiliki, baik SDM maupun SDA. Kebijakan pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dimaksudkan untuk pendayagunaan sumberdaya pesisir dan lautan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan terpeliharanya daya dukung ekosistem pesisir dan laut. Sehingga arah kebijakan pembangunan dapat diuraikan secara ringkas melalui (1) mengelola dan mendayagunakan potensi sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara lestari berbasis masyarakat, (2) memperkuat pengendalian dan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, (3) meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil serta merehabilitasi ekosistem yang rusak,
2
(4) mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut, perairan tawar, dan pulau-pulau kecil, (5) mengembangkan upaya mitigasi lingkungan laut dan pesisir, dan (6) memperkuat kapasitas dan fasilitas pendukung pembangunan kelautan yang meliputi iptek, sumberdaya manusia, kelembagaan, dan peraturan perundang-undangan (Kusumastanto 2009). Untuk menyederhanakan beberapa point tersebut diatas kedalam suatu implementasi, kiranya dapat dilihat dalam suatu wilayah yang lebih kecil. Kabupaten Administrasi (Adm.) Kepulauan Seribu diharapkan mampu mewakili bentuk dan contoh kecil dalam pengelolaan wilayah pesisir. Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan yang memiliki ketersediaan sumberdaya alam kelautan yang potensial. Hal ini kemudian menjadi sektor andalan bagi masyarakat setempat. Potensi produksi perikanan serta keanekaragaman ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, lamun yang dimiliki oleh Kab. Adm. Kepulauan Seribu akan menghadapi tantangan apabila tidak memiliki suatu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Salah satu contoh nyata adalah tantangan antara kegiatan manusia yang memanfaatkan dan bergantung kepada berbagai jasa lingkungan di Pulau Pramuka serta kelestarian ekosistem di satu sisi dengan ancaman degradasi lingkungan ketika terjadi pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan akibat terjadi tumpahan minyak. Sebagaimana diketahui wilayah pesisir Pulau Pramuka selain berpotensi secara ekonomi juga merupakan penyangga kelangsungan hidup masyarakat dan ekosistem sekitar. Kondisi tersebut akan sangat berbahaya apabila dibiarkan berlarut-larut, dan dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan pendekatan penetapan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL). Pemetaan wilayah berdasarkan IKL akan memberikan informasi mengenai wilayah prioritas untuk dilakukan konservasi berdasarkan prinsip optimalisasi dalam pembangunan berkelanjutan. Pemetaan IKL juga dapat memberikan informasi mengenai lokasi-lokasi dan jenis sumberdaya pesisir yang rentan terhadap akibat tumpahan minyak. Dalam perkembanganya, pendekatan IKL ditentukan oleh tiga parameter yaitu indeks kerentanan (IK), indeks ekologi (IE) dan indeks sosial-ekonomi (IS). Dengan lebih mengedepankan aspek ekologi (fungsi dan keberadaan suatu ekosistem terhadap daya dukung lingkungan masing-masing menjadi prioritas), IKL terkadang mengalami hambatan dalam penerapannya. Hal ini diduga karena IKL belum secara
3
utuh menyentuh hal yang terkait kepada keterwakilan nilai ekonomi sumberdaya pada masing-masing wilayah tersebut. Indeks Sosial-Ekonomi yang merupakan salah satu dari 3 (tiga) faktor penentu dalam IKL masih mengacu pada nilai dari benefit transfer sehingga belum bisa menggambarkan kondisi nyata terhadap nilai total ekonomi sumberdaya pada wilayah studi IKL tersebut. Berdasarkan informasi diatas, maka perlu dilakukan suatu metode dalam mengintegrasikan nilai total ekonomi sumberdaya yang berasal dari lingkungan dan masyarakat sekitar kedalam suatu valuasi ekonomi dalam penentuan indeks kepekaan lingkungan di wilayah studi.
Dengan demikian proses pengambilan
keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat secara komprehensif mempertimbangkan aspek nilai ekonomi sumberdaya kelautan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. 1.2. Rumusan Masalah Penerapan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) selama ini umumnya masih berorientasi kepada faktor keberadaan ekosistem (Indeks Ekologi). Hal tersebut dapat menjadi masalah ketika terjadi konflik kepentingan antara ekologi dan ekonomi, misalnya ketika ada satu ekosistem dinyatakan sensitif menurut IKL, tetapi menurut masyarakat dinyatakan tidak sensitif karena beberapa pertimbangan, terutama ekonomi. Dalam pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki ekosistem yang khas sehingga diperlukan metode perhitungan yang holistik dengan mengintegrasikan nilai ekonomi sumberdaya dalam penyusunan IKL tersebut. Berdasarkan keadaan diatas, maka perumusan masalah dapat dinyatakan ke dalam beberapa bentuk pertanyaan: 1) Bagaimana cara menentukan IKL di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil? 2) Bagaimana menentukan faktor dan parameter dari tiap-tiap wilayah yang telah dikategorikan dalam suatu hasil penentuan IKL? 3) Dapatkah faktor dan parameter tersebut di integrasikan dengan suatu valuasi ekonomi? 4) Seperti apa bentuk pemetaan dari hasil integrasi valuasi ekonomi dalam suatu kajian IKL tersebut?
4
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Melakukan identifikasi dan analisis faktor dan parameter terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. 2) Melakukan analisis IKL berdasarkan tiga faktor penentu yaitu Indeks Kerentanan (IK), Indeks Ekologi (IE) dan Indeks Sosial-Ekonomi (IS). 3) Melakukan analisis dan kajian nilai total ekonomi sumberdaya dan mengintegrasikannya kedalam IKL serta menyajikannya dalam bentuk peta. 1.4. Ruang Lingkup Pulau Pramuka memiliki tiga ekosistem khas wilayah pesisir yaitu ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Ekosistem tersebut memiliki ketergantungan dengan aktifitas manusia secara langsung maupun tidak. Melalui metode penentuan IKL, maka akan dihitung indeks kerentanan (IK); indeks ekonomi (IE) serta indeks sosialekonomi (IS). Kajian ini mencakup penentuan krakteristik ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, menyusun IKL serta mengintegrasikan nilai ekonomi total kedalam penghitungan IKL tersebut. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa: 1) Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi S-2 pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK). 2) Tersedianya informasi bagi pemerintah, swasta dan masyarakat berupa nilai indeks kepekaan lingkungan beserta pemetaannya di sekitar Pulau Pramuka untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan sumberdaya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Sementara ekosistem itu sendiri adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Dalam konteks wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sumberdaya yang ada meliputi: a) Sumberdaya manusia, yaitu manusia yang terlibat dan mempunyai kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. b) Sumberdaya alam hayati, yaitu sumberdaya perikanan (plankton, benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut, lamun, mangrove, terumbu karang. c) Sumberdaya alam non-hayati, yaitu antara lain minyak dan gas, timah, biji besi, pasir, bauksit, mineral dan bahan tambang lainnya. d) Sumberdaya alam buatan, antara lain pelabuhan, jalan, perpipaan, kapal, perahu, bagan dan tambak. Sumberdaya alam hayati merupakan salah satu sumberdaya yang diharapkan mampu menjadi penggerak utama dalam pembangunan nasional. Hal ini berdasarkan pada fakta fisik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km, luas laut 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan territorial dan 2.8 juta km2 perairan nusantara) (Supeni 2010). Pemanfaatan optimal sumberdaya alam tersebut harus senantiasa memperhatikan aspek-aspek bioekologi, ekonomi dan sosial kelembagaan. Hal tersebut karena pemanfaatan sumberdaya terbarukan senantiasa mengedepankan aspek keberlanjutan. Sumberdaya alam pesisir dan lautan merupakan sumberdaya yang relatif kompleks.
Seperti halnya pengelolaan
6
sumberdaya perikanan sangat berbeda dari sumberdaya terestrial, seperti pertanian dan perkebunan (Supeni 2010). Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan yang memiliki biodiversiti layaknya suatu kawasan pesisir. Terdiri dari berbagai pulau yang memiliki tipe ekosistem yang berbeda-beda. Ekosistem mangrove, Ekosistem Lamun dan terumbu karang mendominasi di beberapa pulau, salah satunya Pulau Pramuka. Jenis-jenis karang yang dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, diantaranya adalah jenis karang keras (hard coral) seperti karang batu (massive coral) misalnya Monstastrea dan Labophyllia karang meja (Table coral), karang kipas (Gorgonia), karang daun (Leaf coral), karang jamur (Mushroom coral), dan jenis karang lunak (Soft coral) (www.kepulauanseribu.net). Jenis ikan hias yang banyak ditemukan diantaranya adalah jenis-jenis yang termasuk dalam famili Chaetodontidae, Apogonidae dan Pomancanthidae, sedangkan jenis ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi antara lain adalah Baronang (Family Siganidae), Ekor Kuning (Family Caesiodiae), Kerapu (Family Serranidae) dan Tongkol (Eutynus sp.).
Echinodermata yang banyak dijumpai
diantaranya adalah Bintang Laut, Lili Laut, Teripang dan Bulu Babi yang juga merupakan indikator kerusakan terumbu karang. Crustacea yang banyak dikonsumsi antara lain kepiting, rajungan (Portunus sp.) dan udang karang (Spiny lobster). Moluska (binatang lunak) yang dijumpai terdiri dari Gastropoda, Pelecypoda, termasuk jenis yang dilindungi diantaranya adalah Kima Raksasa (Tridacna gigas) dan Kima Sisik (Tridacna squamosa). Kawasan Kepulauan Seribu juga merupakan habitat bagi Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) yang dilindungi, dan keberadaannya cenderung semakin langka. Dalam upaya pelestarian satwa ini, selain dilakukan perlindungan terhadap tempat-tempat penelurannya seperti Pulau Peteloran Timur, Penjaliran Barat, Penjaliran Timur dan Pulau Belanda, telah dilakukan juga pengembangan pusat penetasan, pembesaran dan pelepasliaran Penyu Sisik di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa. Untuk jenis tumbuhan laut, kawasan Kepulauan Seribu ditumbuhi jenis lamun (seagrass) seperti thalasia dan enhalus, dan ganggang laut/algae/rumput laut (seaweed) seperti Halimeda, Sargassum dan Caulerpa. Jenis-jenis tumbuhan darat yang banyak ditemukan antara lain adalah kelapa (Cocos nucifera), mengkudu
7
(Morinda citrifolia), ketapang (Terminalia catappa), butun (Baringtonia asiatica), sukun (Artocarpus atilis), pandan laut (Pandanus tectorius), sentigi (Pemphis acidula), dan cemara laut (Casuarina equisetifolia). Di beberapa pulau juga ditemukan ekosistem mangrove yang di dominasi oleh jenis-jenis Bakau (Rhizophora sp.), Api-api (Avicenia sp.), Tancang (Bruguiera sp.), Temu dan Prepat (Sonneratia sp.). Potensi sumberdaya alam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara khas adalah sebagai berikut: 2.1.1. Ekosistem Mangrove Mangrove adalah suatu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai produktivitas tinggi (Murachman et al. 2000). Merupakan ekosistem pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruhi oleh iklim. Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berlempung atau berpasir, dimana daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air bersalinitas payau (2-12 permil) hingga asin (mencapai 38 permil). Vegetasi ini dapat ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2001). Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik, karena di dalam ekosistem mangrove terpadu dua tipe karakteristik ekosistem, yaitu karakteristik ekosistem lautan dan daratan. Kondisi semacam ini mengakibatkan jenis biota yang hidup di habitat mangrove pun terdiri atas biota laut dan biota darat. Dari segi biota, banyak penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem mangrove adalah biota laut (Kusmana 1995). Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau jalurjalur. Berdasarkan hal tersebut hutan mangrove dapat dibagi dalam beberapa zona, yaitu : Sonneratia, Avicenia, Rhizophora, Brugulera, Cerlops dan Asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari yang paling kuat pengaruh angin dan ombak, yakni zona terdepan yang digenangi air berkadar garam yang tinggi dan ditumbuhi pohon pioneer (misalnya Sonneratia sp) dan di tanah lebih padat tumbuh Avicenia.
8
Menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan dalam Aprilwati (2001) adalah : 1) Zona Avicennia Zona ini terletak paling luar dari hutan mangrove, memiliki tanah lumpur agak lembek dan sedikit mengandung humus dengan kadar garam yang tinggi. Biasanya didominasi oleh Sonneratia spp, Avicennia spp, dan kadang-kadang bercampur dengan Rhizophora spp. 2) Zona Rhizophora Zona ini terletak di belakang zona Avicennia dengan tanah berlumpur lembek sebagian besar didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp, kadang-kadang di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis Bruguiera spp. 3) Zona Brugulera Zona ini terletak di belakang zona Rhizophora dengan tanah berlumpur agak keras. Pada zona ini sebagian besar ditumbuhi jenis Bruguiera spp, kadangkadang berasosiasi dengan jenis lain seperti Ceriops spp dan Lumitzera spp. 4) Zona Kering dan Nypa Pada zona ini, salinitas air sangat rendah dan tanahnya keras serta kurang dipengaruhi oleh pasang surut. Sering dijumpai Nypa Fruticans, Deris sp dan sebagainya. Menurut Odum dan Johannes (1975) dalam Supriharyono (2000), ada beberapa fungsi dan manfaat penting hutan mangrove, diantaranya : 1) Kayunya dapat dipakai sebagai kayu bakar. Karena nilai kalorinya yang tinggi, maka kayu mangrove dapat dipakai sebagai arang (charcoal). Selain itu, beberapa jenis pohon mangrove tertentu mempunyai kualitas kayu yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perumahan dan konstruksi kayu. 2) Kulit kayu merupakan sumber tannin yang biasa digunakan untuk penyamak kulit dan pengawet jala atau jaring ikan. Selain itu, tannin juga merupakan sumber lem plywood dan beberapa zat warna. 3) Daunnya dapat digunakan sebagai makanan ternak. Beberapa daun dari jenis-jenis tertentu digunakan sebagai obat tradisional, baik untuk manusia
9
ataupun ternak, bahkan ada pula yang digunakan sebagai pengganti untuk teh dan tembakau. 4) Bunga-bunganya merupakan sumber madu. 5) Buah-buahnya ada yang dapat dimakan, walaupun beberapa dari buah tersebut ada yang beracun dan ada yang beracun juga untuk ikan. 6) Akar-akarnya efektif untuk perangkap sedimen, memperlambat kecepatan arus, dan mencegah erosi pantai. 7) Tempat mencari makan dan berlindung bagi berbagai ikan dan hewanhewan air lainnya (seperti kerang-kerangan) terutama pada tingkat juvenile. 8) Hutan mangrove merupakan suatu penyangga antara komunitas daratan dan pesisir (laut), misalnya antara terumbu karang dan lamun (seagrass). Manfaat dan nilai hutan mangrove tersebut dapat lebih dipahami dengan melakukan penggolongan terhadap fungsi yang dimilikinya (Tribowo 1997), yaitu : 1) Fungsi fisik, menjaga garis pantai agar stabil, mencegah instrusi air laut, menyaring limbah serta menjaga keseimbangan iklim mikro pantai. 2) Fungsi biologi, menjadi tempat perkembangbiakan dan pengasuhan berbagai biota laut karena produktivitasnya tinggi. 3) Fungsi ekonomis produktif, berkaitan dengan pemanfaatan produk hutan mangrove yang bisa diperjualbelikan baik produk kayu (kayu bakar, arang, bahan bangunan, pulp, kertas) maupun non-kayu (obat-obatan, madu, ikan) secara tradisional maupun intensif-modern. Ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan (Tomascik et al. 1997) yaitu : 1) Suhu tropis Hutan mangrove yang berkembang baik hanya ditemukan di sepanjang pantai yang mempunyai rata-rata suhu minimum bulanan lebih besar dari 20oC dan perubahan suhu musiman tidak lebih dari 5oC. Rata-rata suhu minimum bulanan udara dan perairan di Indonesia lebih baik dari persyaratan suhu yang sesuai untuk perkembangan mangrove.
10
2) Salinitas air tanah Salinitas air tanah adalah faktor penting yang memacu pertumbuhan, tinggi, daya tahan, dan zonasi mangrove. Salinitas air tanah diatur oleh beberap faktor, yaitu : genangan air pasang, tipe tanah dan topografi, kedalaman tanah yang kedap air, jumlah dan curah hujan musiman, masukan air tawar dan sungai, masukan ion garam dari daerah yang berbatasan, dan evaporasi. Mangrove biasanya ada dan tumbuh di estuary yang mempunyai kisaran salinitas air tanah antara 10-30 ppt. Kawaroe et al. (2001) menyatakan dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali adalah kerusakan ekosistem mangrove karena terputusnya mata rantai kehidupan antara ekosistem mangrove dengan ekosistem lain maupun di dalam ekosistem itu sendiri. Keadaan ini secara jelas akan mengurangi fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang kehidupan biota air yang memanfaatkan keberadaan hutan mangrove tersebut sebagai tempat pembiakan dan pembesaran (spawning graound dan nursery ground) serta tempat mencari makan (feeding ground).
Menurut Bengen (2002) menyatakan bahwa
identifikasi yang dapat dilakukan pada mangrove yaitu: a. Tingkat semai, adalah permudaan dari mulai kecambah hingga tinggi 1,5 meter. b. Tingkat pancang, adalah permudaan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter < 10 cm. c. Tingkat pohon, adalah tumbuhan berkayu berdiameter batang ≥ 10 cm. 2.1.2. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang adalah ekosistem perairan laut dangkal di kawasan tropis dan sub-tropis, yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur, yaitu polip karang dan alga berkapur (calcareous algae). Polip karang dan alga (zooxanthellae), hidup bersimbiosis secara mutualistis. Polip karang yang merupakan hewan renik, memiliki tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dan bahan makanan berupa plankton. Oleh alga yang hidup di dalam polip karang, bahan makanan tersebut kemudian dikonversi menjadi enargi melalui proses fotosintesa dengan memanfaatkan radiasi matahari yang mencapai dasar laut. Karang yang merupakan endapan masif kristal kalsium karbonat (CaCO3), adalah akumulasi kalsium karbonat yang disekresikan oleh polip karang secara terus-
11
menerus dalam jangka waktu yang lama. Simbiosis mutualistis antara polip karang dengan alga tersebut merupakan mesin kehidupan pembentuk terumbu karang. Nybakken (1982) dalam Situmorang (2004) bahwa keberadaan alga (zooxanthellae) yang bersimbiosis dengan polip karang menentukan laju proses pembentukan kapur (kalsifikasi). Terumbu karang terdiri dari dua jenis yaitu karang batu dan karang bercabang. Kecepatan tumbuh kedua jenis karang tersebut berbeda dimana laju pertumbuhan karang bercabang lebih besar dari pada karang batu. Laju pertumbuhan kareang bercabang bisa mencapai 10 cm pertahun, sedangkan karang batu (massive) laju pertumbuhannya hanya antara 0.3 cm sampai 2 cm pertahun (Barnes 1993). Ekosistem terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, yaitu (Nybakken 1992) : 1) Suhu, karang dapat tumbuh secara optimal pada perairan yang mempunyai suhu tahunan 23-25oC. 2) Cahaya, terumbu karang harus mendapatkan cukup cahaya (intensitasnya lebih rendah 15-20 % dari intensitas cahaya di permukaan) agar zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang dapat berfotosintesis. 3) Salinitas, karang hermatipik dapat tumbuh pada kisaran salinitas lautan normal, yaitu 32-35‰. Jika aliran air tawar dari sungai terlalu besar, maka tidak dapat ditemukan terumbu. 4) Sedimentasi, karang tidak mampu bertahan dalam lingkungan yang mempunyai tingkat pengendapan yang berat, karena endapan dapat menutupi hewan karang tersebut, menyumbat struktur pemberian makanannya, dan mengurangi intensitas cahaya yang dibutuhkan organisme zooxanthellae untuk berfotosintesis. Secara ekologis, terumbu karang mempunyai berbagai fungsi. Terumbu karang telah lama dikenal sebagai daerah dengan produktivitas tinggi, walaupun secara umum perairan bahari di daerah tropis miskin nutrient, namun produktivitas pada terumbu karang sangat tinggi (Nybakken 1992). Tingginya produktivitas primer pada terumbu karang dapat disebabkan oleh banyaknya jaringan tumbuhan yang mempunyai kemampuan fotosintesis tinggi di terumbu karang dan kemampuan untuk menahan nutrient-nutrien dalam sistemnya (Nybakken 1992).
12
Bentuk terumbu karang yang rumit dan berliku-liku sering dimanfaatkan biota laut sebagai tempat yang aman untuk memijah (spawning ground) dan meletakkan telurnya. Setelah telur-telur tersebut menetas, biota laut yang masih berbentuk juvenile itu menghabiskan sebagian masa berkembangnya di daerah terumbu. Jadi terumbu karang juga berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground) (Bangen 2001). Fungsi lain terumbu karang terkait dengan bahan pembentuknya. Karena terumbu terbentuk dari endapan kalsium karbonat yang masif dan letaknya yang mengelilingi pantai (terutama terumbu karang tepi dan penghalang), maka ekosistem ini juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang penyebab abrasi (Bengen 2001). Sebagai daerah yang kaya terumbu karang tak lepas dari kegiatan pemanfaatan yang dilakukan manusia untuk menunjang perekonomiannya. Terumbu karang adalah rumah bagi berbagai biota laut yang dimanfaatkan manusia untuk konsumsi, seperti ikan karang, moluska, dan krustasea. Hampir 1/3 spesies ikan laut dunia berada di ekosistem terumbu karang (Moberg dan Folke 1999) dan 10% ikan yang dikonsumsi manusia berasal dari terumbu karang (Moberg dan Folke 1999). Selain itu, di beberapa daerah masih di temukan pengambilan terumbu untuk konstruksi bangunan dan pembuatan kapur. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa substansi-substansi yang ditemukan di terumbu karang dapat digunakan sebagai bahan baku farmasi (Bengen 2001). Secara tidak langsung, terumbu karang memberikan manfaat ekonomi. Ekosistem terumbu karang kini telah dijadikan objek wisata bahari yang menguntungkan. Jadi, masyarakat di sekitar wilayah terumbu karang juga mendapat manfaat terumbu karang sebagai objek wisata. Ancaman terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang bersumber dari dua hal yakni faktor alami dan faktor manusia. Faktor alam, antara lain kenaikan suhu air laut yang melebihi normal seperti yang terjadi akibat munculnya fenomena El Nino pada tahun 1982-1983, yang menyebabkan naiknya suhu rata-rata air laut di Indonesia, diperkirakan merupakan penyebab timbulnya coral bleaching yang menyebabkan matinya karang batu di laut Jawa. Selain itu, ledakan populasi pemangsa karang, seperti Bulu Seribu (Acanthaster planci) di berbagai tempat di Indonesia juga merupakan faktor lain penyebab kerusakan terumbu karang di Indonesia, seperti yang terjadi di Kepulauan Seribu (DeVantier et al. 1998 dalam Situmorang 2004).
13
Sedangkan faktor-faktor manusia berupa kegiatan yang mengancam kelestarian fungsi dan manfaat terumbu karang antara lain pembangunan kawasan pesisir, misalnya pengurukan untuk penyediaan lahan bagi industri, perumahan, rekreasi dan lapangan udara, ataupun pengurukan untuk memperdalam alur pelayaran bagi pelabuhan atau marina. Kegiatan tersebut memberi dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan karang, karena menimbulkan kekeruhan air dan mengubah pola arus. Sedimen yang tersuspensi dalam air di kawasan terumbu karang dapat menghentikan pertumbuhan polip, yang sekaligus menghentikan pertumbuhan terumbu. Kegiatan penambangan karang batu untuk kebutuhan pembuatan kapur dan bahan pembangunan jalan dan rumah, secara tidak langsung merusak terumbu karang dan di pihak lain dapat menyebabkan erosi dan berpindahnya pasir ke lokasi lain akibat perubahan pola sirkulasi dan arus. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan dan biota karang secara berlebihan dapat menimbulkan kerusakan pada karang itu sendiri. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potassium, merusak ekosistem terumbu karang dalam skala luas, karena menghancurkan terumbu dan membunuh terumbu serta berbagai jenis ikan yang berasosiasi. Kondisi terumbu karang kepulauan Seribu telah banyak diteliti oleh berbagai lembaga penelitian seperti P3O LIPI, IPB, UNESCO, LAPI-ITB, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, dan lain-lain. Secara umum kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu dikategorikan dalam kondisi buruk hingga sedang (LAPI-ITB 2001). Presentase tutupan karang hidup hanya berkisar antara 0-24,9% dan 2549,9%. Kerusakan terumbu karang sebagian diakibatkan oleh penambangan karangan batu untuk bahan bangunan serta penangkapan ikan dengan menggunakan peledak dan bahan kimia (LAPI-ITB 2001). 2.1.3. Ekosistem Lamun Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga yang terdapat di laut. Lamun hidup di perairan laut yang dangkal, mempunyai tunas berdaun yang tegak, berbunga, berbuah dan menghasilkan biji (Romimohtarto dan Juwana 2005). Komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Wimbaningrum 2002).
14
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang (Bengen 2001). Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 50 jenis lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis yaitu Cymnodocea rotundata, Cymnodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule univerves, Halophila decipiens, Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum (Romimohtarto dan Juwana 2005). Lamun merupakan tumbuhan monokotil laut yang banyak tersebar di daerah tropis dan mampu beradaptasi untuk hidup di dalam substrat lunak (pasir, pasir berlumpur, lumpur lunak dan atau terumbu karang) antara dan sepanjang daerah pasang. Diduga lamun merupakan turunan rerumputan air tawar yang mampu secara khusus bertoleransi terhadap salinitas. Beberapa sifat yang harus dimiliki oleh lamun agar dapat bertahan hidup di laut yaitu (Merryanto 2000): 1) Mampu beradaptasi untuk hidup di dalam media air asin. 2) Mampu tumbuh dalam keadaan yang terbenam seluruhnya. 3) Mempunyai sistem perakaran yang sanggup menahan aksi gelombang dan arus pasang surut. 4) Mempunyai kesanggupan untuk melangsungkan penyerbukan dalam air. 5) Mampu bersaing dengan baik dalam lingkungan air laut. Hutomo dan Azkab (1987) menjelaskan bahwa rimpang dan akar lamun menangkap dan menggabungkan sedimen, sehingga meningkatkan stabilitas permukaan di bawahnya dan pada saat yang sama menjadikan air jadi lebih jernih oleh karena begitu sedimen halus tersebut ke bawah dan berada di antara akar, ia tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak dan arus. Selain itu, daun sendiri dapat menangkap sedimen halus melalui kontak dengan mikroorganisme yang banyak tinggal di daun. Jadi, lapisan lamun dapat memodifikasi sedimen yakni menstabilkan ukuran pasir dan menyebabkan perairan menjadi tenang. Akan tetapi, dalam jumlah yang besar timbunan sedimen dapat menjadi pembatas pertumbuhan lamun. Tomascik et al. (1997) mengatakan bahwa ekosistem lamun tidak terisolasi tetapi berinteraksi secara ekologis terutama di ekosistem pantai tropik (misalnya
15
terumbu karang, lamun dan mangrove). Hal ini sejalan dengan pendapat UNESCO (1963) dalam Hutomo dan Azkab (1987) yang melihat adanya interaksi ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove meliputi lima bentuk interaksi utama yaitu interaksi fisik, nutrien dan bahan organik terlarut, bahan organik berbutir, ruaya hewan dan dampak manusia. Nybakken (1992) menyebutkan bahwa secara ekologis ekosistem lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi daerah pesisir yaitu : 1) Sumber utama produktivitas primer. 2) Sumber makanan penting bagi organisme (dalam bentuk detritus). 3) Menstabilkan dasar yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang. 4) Tempat berlindung organisme. 5) Tempat pembesaran bagi beberapa spesies yang menghabiskan masa dewasanya di lingkungan ini, misalnya udang dan ikan baronang. 6) Sebagai peredam arus sehingga menjadikan perairan di sekitarnya tenang. 7) Sebagai tudung pelindung dari panas matahari yang kuat bagi penghuninya. Secara umum lamun juga banyak mempunyai kegunaan bagi manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Fortes (1990) dalam Merryanto (2000) menyebutkan ada dua kategori kegunaan lamun bagi manusia, yaitu : 1) Kegunaan tradisional Sebagai bahan tenunan untuk keranjang, dibakar menjadi garam, soda dan penghangat, bahan isian kasur, atap jerami, bahan pelapis dan pembungkus, kompos dan pupuk, peredam bunyi dan panas, pengganti benang dalam pembuatan nitrosellulosa, tumpukan untuk pembuatan tanggul dan rokok dan mainan anak. 2) Kegunaan kontemporer Sebagai penyaring air buangan, stabilizer pantai, pembuatan kertas, sumberdaya kimiawi, pupuk dan makanan ternak dan makanan dan obat bagi manusia. Keberadaan lamun tidak terlepas dari gangguan atau ancaman terhadap kelangsungan hidupnya baik berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktivitas
16
manusia. Besarnya pengaruh terhadap integritas sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun dapat dipandang di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang meyediakan lebih dari 60% protein hewani yang dibutuhkan dalam menu makanan masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun untuk produktifitas dan pemeliharaanya. Selain itu kerusakan ekosistem lamun oleh manusia akibat tambat labuh kapal yang tidak terkontrol (Sangaji 1994). Tabel 2.1. Kriteria dan Kondisi Ekosistem Lamun Kriteria Baik
Kondisi Kaya/sehat Kurang kaya/kurang sehat
Rusak Miskin Sumber : KepMenLH No. 200/2004
Persentase Penutupan (%) ≥ 60 30-59,9 ≤ 29,9
Kriteria padang lamun berdasarkan persentase penutupan, yang dibagi menjadi dua kondisi yaitu baik dan rusak. Kondisi baik lamun yaitu dengan persentase ≥ 60% terdiri dari kategori kaya (sehat), sedangkan kondisi rusak terdiri dari dua kategori yaitu kurang kaya (kurang sehat) dan miskin dengan persentase penutupan yang berbeda masing-masing (Tabel 2.1). Secara spesifik keberadaan lamun di Kepulauan Seribu telah menghadapi ancaman yang cukup serius, salah satunya adalah pencemaran minyak yang terjadi beberapa kali di tahun 2004 yang mengakibatkan lapisan permukaan air tertutup oleh tumpahan minyak berwarna hitam pekat. Dan juga meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun menambah tekanan terhadap Ekosistem Lamun (Kawaroe et al. 2004). 2.1.4. Ekosistem Karang Gosong (Daerah Penangkapan Ikan) Daerah penangkapan ikan merupakan suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis (Mukhtar, 2011).
Suatu wilayah
perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah penangkapan ikan” apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Hal ini dapat diterangkan bahwa walaupun pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan yang
17
dikarenakan berbagai faktor, seperti antara lain keadaan cuaca, maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya.
Gambar 2.1. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Balitbang KP, 2012). Secara alami tanda-tanda fisik daerah penangkapan ikan (Fishing ground) berdasarkan pengalaman nelayan, yang catchable area diantaranya ditandai oleh warna perairan lebih gelap dibandingkan perairan sekitarnya, ada banyak burung beterbangan dan menukik-nukik ke permukaan air, banyak buih di permukaan air, dan umumnya jenis ikan ini bergerombol di sekitar batang-batang kayu yang hanyut di perairan atau bersama dengan ikan yang berukuran besar seperti paus. Dengan adanya rumpon dan penggunaan cahaya lampu disuatu perairan maka daerah penangkapan ikan dapat dibentuk, sehingga nelayan dan unit kapal penangkap ikan tidak tergantung lagi dengan tanda-tanda fisik daerah penangkapan ikan yang bergantung pada kondisi lingkungan alami perairan. Sebagai salah satu ekosistem laut di perairan Utara Jakarta, wilayah perairan Kepulauan Seribu didominasi oleh ekosistem terumbu karang, lamun dan daratan pulau-pulau karang yang menjadi habitat penting berbagai jenis biota perairan laut. Menurut pemetaan yang dilakukan oleh Balitbang KP 2012 menunjukkan bahwa
18
daerah Kepulauan Seribu yang terletak di sebelah utara merupakan daerah yang mempunyai potensi sebagai daerah penangkapan ikan (Gambar 2.1). Pemanfaatan sumberdaya hayati laut terutama sumberdaya ikan menjadi sumber utama penghidupan sebagian besar masyarakat yang tinggal di kepulauan. Sekitar 71,6% penduduk Kepulauan Seribu adalah nelayan yang menggantungkan kehidupannya pada hasil penangkapan ikan baik ikan karang, ikan hias, dan biota laut lainnya merupakan target penangkapan para nelayan Kepulauan Seribu (BPS, 2011). Pulau Pramuka yang kaya akan hamparan ekosistem karang gosongnya, dijadikan sebagai daerah perikanan tangkap ikan karang, yang merupakan mata pencaharian utama nelayan Pulau Pramuka.
Hasil tangkapan nelayan Pulau
Pramuka kebanyakan adalah jenis ikan karang. Ikan karang yang banyak di peroleh yaitu jenis ikan baronang, kakatua, kerapu, dan lainnya yang merupakan jenis ikan karang yang terdapat di perairan Pulau Pramuka. Pengambangan perikanan tangkap meskipun
prospektif
tetapi
memerlukan
suatu
pengelolaan
yang
tepat.
Perkembangan terakhir mengindikasikan bahwa populasi sumberdaya ikan semakin menurun (Sachoemar 2008). 2.2. Indeks Kepekaan Lingkungan Kepekaan adalah tidak tolerannya suatu habitat, komunitas atau spesies terhadap faktor luar, sehingga mudah rusak atau bahkan mati. Suatu habitat, komunitas atau spesies menjadi rawan ketika terkena pengaruh dari luar (lingkungan). Kepekaan disebabkan oleh kerentanan ketika berhubungan dengan dampak fisik atau kondisi lingkungan yang sangat ekstrim (Tyler-Walter et al. 2001 dalam Muarif 2002). Tingkat kerawanan merupakan gambaran kemungkinan suatu habitat terhadap faktor luar yang bersifat peka.
Tingkat kerawanan (vulnerability rating) suatu
ekosistem terhadap dampak kegiatan pembangunan bergantung pada respons ekosistem tersebut terhadap suatu dampak dan peluang terjadinya dampak atas ekosistem. Respon ekosistem pesisir terhadap suatu dampak ada yang sangat peka sampai yang tidak peka, bergantung pada karakteristik biologi dan ekologi dari ekosistem yang bersangkutan. Peka dalam hal ini artinya jika ekosistem tersebut terkena suatu dampak, maka ekosistem ini akan mudah rusak tetapi sukar pulih untuk menjadi baik (Muarif 2002).
19
Indeks kepekaan lingkungan (IKL) merupakan pendekatan secara sistematis mengkompilasi informasi mengenai kepekaan pantai, sumberdaya biologi dan sumberdaya yang dimanfaatkan manusia (NOAA 2001). Michel dan Dahlin (1993) dalam Metrianda (2000), indeks kepekaan lingkungan merupakan pengklasifikasian suatu wilayah pesisir dan pantai berdasarkan tingkat kepekaan terhadap kerusakan akibat pencemaran minyak dan sumber kerusakan lainnya. Manfaat yang didapat di daerah pesisir, pantai dan laut, dari penghitungan indeks kepekaan lingkungan adalah informasi tentang wilayah pesisir, pantai, dan laut yang memerlukan perlindungan, perawatan dan perbaikan kembali. Informasi ini tersaji dalam bentuk peta indeks kepekaan lingkungan (peta IKL) (Metrianda 2000). Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) menggambarkan nilai kepekaan relatif dari masing-masing daerah yang dihitung dan ditampilkan sebagai sebuah peta. Beberapa komponen yang menggambarkan suatu nilai kepekaan lingkungan yaitu kerentanan, ekologi dan sosial. Indeks Kerentanan (IK) yaitu menggambarkan kerentanan lingkungan terhadap pengaruh suatu dampak kegiatan baik langsung ataupun tidak.
Indeks Ekologi (IE) menggambarkan tingkat kemampuan dan
sensitifitas suatu ekosistem dalam beradaptasi dengan dampak suatu kegiatan. Sementara Indeks Sosial Ekonomi (IS) lebih menggambarkan kesensitifitasan masyarakat dan kegiatannya dalam menghadapi potensi dampak dari suatu kejadian. Indeks Sosial-Ekonomi (IS) terdiri dari agregasi dua nilai yang terdiri dari Nilai Sosial (NS) dan Nilai Ekonomi (NE). Masing-masing komponen tersebut memiliki nilai antara 1 (paling tidak peka) sampai 5 (paling peka). Nilai komposit IKL adalah hasil perkalian antara komponen-komponen tersebut, dimana berkisar dari 1 (paling tidak peka) hingga 125 (paling peka) (PKSPL-IPB 2009) (Tabel 2.2). Tabel 2.2. Tingkat kepekaan lingkungan berdasarkan nilai IKL Nilai IKL
Tingkat Kepekaan
1
Tidak Peka
2–8
Kurang Peka
9 – 27
Cukup Peka
28 – 64
Peka
65 – 125 Sumber : Sloan (1993) modifikasi PKSPL-IPB (2009)
Sangat Peka
20
Penghitungan IKL secara umum merupakan berbasis spasial/wilayah, dimana penetapannya dengan melihat seberapa besar tingkat sensitifitas suatu wilayah terhadap pengaruh yang timbul dari suatu perubahan. Dalam hal wilayah dan eksosistem pesisir dan lautan, terjadinya dampak secara garis besar dapat terjadi melalui : 1) Eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam. 2) Pencemaran. 3) Perubahan pola hidrologi dan oseanografi. 4) Degradasi fisik habitat dan perubahan tata guna lahan. Eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam menyebabkan berkurangnya kemampuan alam dalam melakukan pemulihan diri.
Melalui pencemaran pada
ekosistem akan mengakibatkan terjadinya kerusakan atau kematian biota wilayah pesisir serta segenap fungsi ekologi dan sistem penunjang kehidupan yang ada di dalamnya. Demikian juga halnya dengan perubahan pola hidrologi dan oseanografi, yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi proses ekologi serta sedimentasi dan erosi di wilayah pesisir. Sedangkan degradasi fisik habitat dan perubahan tata guna lahan biasanya merusak fungsi konservasi atau preservasi dari kawasan pesisir. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik dan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat disekitarnya. Terjadinya suatu dampak akan memberikan tekanan baik secara ekologi maupun ekonomi terhadap ekosistem yang ada. Beberapa ekosistem pesisir dan lautan yang termasuk wilayah pesisir secara umum terdiri dari Ekosistem Mangrove, Ekosistem Lamun serta Ekosistem Terumbu Karang. Terlepas dari tiga ekosistem umum tersebut, daerah penangkapan ikan juga merupakan suatu wilayah yang memiliki tingkat sensitifitas terhadap suatu pencemaran. Studi ini disusun berdasarkan atas asumsi kejadian tumpahan minyak sebagai penentu nilai IKL.
Hal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang
dirancang oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA, 2001), Sloan (1993) dan dimodifikasi oleh PKSPL IPB (2009).
Secara umum, terdapat
tiga tipe informasi yang dapat dilihat dari sistem IKL, diantaranya yaitu: 1) Klasifikasi Garis Pantai, ditentukan berdasarkan keterkaitan tingkat sensitif, ketahanan sumberdaya alam terhadap tumpahan minyak dan tingkat kemudahan dalam upaya pembersihan.
21
2) Sumberdaya Alam Biologi, tingkat sensitifitas dari tiap makhluk hidup dan habitatnya seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. 3) Sumberdaya Alam yang dimanfaatkan oleh manusia, dimana secara spesifik sangat penting bagi manusia dalam hal nilai tambah seperti pantai untuk kegiatan pariwisata, dll. Berdasarkan penilaian dari Sloan (1993) dan NOAA (2001) tingkat kepekaan dari masing-masing ekosistem yang ada adalah sangat peka bagi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang (skor 5).
Tingkat sensitifitas tersebut
dikarenakan pengaruh tumpahan minyak yang sangat berpengaruh bagi ekosistem, baik dari sisi ancaman terhadap organisme maupun lamanya paparan akibat minyak untuk dapat di rehabilitasi dan mengembalikan ekosistem kepada fungsi sebelumnya.
Sementara itu tingkat sensitifitas untuk daerah tangkapan ikan,
diidentifikasikan kepada tingkatan cukup peka (skor 2). Secara lengkap skor IK pada tiap-tiap ekosistem dan daerah tangkapan ikan ditampilkan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Skor dan Penilaian Indeks Kerentanan Pada Wilayah Pesisir Ekosistem
Tingkat Kepekaan
Sumber dan Literatur
Skor
Mangrove
Sangat Peka
Sloan (1993), NOAA (2001)
5
Lamun
Sangat Peka
NOAA (2001)
5
Terumbu Karang
Sangat Peka
Sloan (1993), NOAA (2001)
5
Daerah Tangkapan Ikan
Cukup Peka
Sloan (1993)
2
Sumber: Sloan (1993), NOAA (2001)
2.2.1. IKL Ekosistem Mangrove 2.2.1.1. Indeks Kerentanan dan Ekologi Ekosistem mangrove mempunyai arti penting karena memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Ekosistem mangrove memberikan perlindungan bagi organisme tertentu, pemijahan, pembesaran dan tempat mencari makan dari berbagai organisme perairan.
Ekosistem mangrove merupakan
ekosistem yang paling rentan terhadap pencemaran minyak (Sloan 1993). Kerusakan ekosistem mangrove bersifat jangka panjang dan akan mempengaruhi habitat lain yang berasosiasi. Hal tersebut juga sejalan dengan NOAA (2001) dimana menyebutkan bahwa wilayah mangrove merupakan daerah yang sangat
22
sensitif dikarenakan oleh tingginya nilai biodiversitas, tingkat kesulitan dalam proses pembersihan, serta lamanya dampak yang dirasa oleh banyak jenis organisme.
Indeks ekologi (IE) ekosistem mangrove dapat dinilai berdasarkan
interpretasi dari lima kriteria yaitu diversitas, kerapatan, status perlindungan, dan habitat kehidupan liar sebagaimana tertera pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Kriteria Indeks Ekologi Ekosistem Mangrove Kriteria
Indeks
*
Diversitas )
Kerapatan Mangrove*)
Status Perlindungan**)
Habitat satwa liar**)
1
Keterangan Hanya ditemukan 1 jenis mangrove pada lokasi pengamatan
<3
Ditemukan lebih dari 2 dan kurang dari tiga (sebanyak 2 jenis mangrove)
>3
Ditemukan 3 atau lebih jenis Mangrove di lokasi studi
< 500
Kepadatan pohon mangrove kurang Dari 500 pohon/ha dari semua jenis Mangrove yang ada di tiap lokasi
501-1000
Kepadatan pohon mangrove antara 501-1.000 pohon/ha dari semua jenis mangrove yang ada di tiap lokasi
> 1000
Kepadatan pohon mangrove lebih Dari 1.000 pohon/ha dari semua Jenis mangrove yang ada di tiap Lokasi
Tidak Dilindungi
Ekosistem mangrove yang ada di Lokasi pengamatan tidak termasuk Dilindungi
Dilindungi Secara Lokal
Ekosistem mangrove termasuk Dilindungi dalam kategori kawasan konservasi lokal yaitu kawasan sempadan pantai
Dilindungi Secara Nasional
Ekosistem mangrove di lindungi dalam kategori nasional (taman nasional)
Tidak Tersedia 1-2 3
Tidak ditemukan satwa yang dilindungi pada lokasi pengamatan Ditemukan 1-2 jenis satwa yang Dilindungi Ditemukan 3 jenis satwa/biota yang Dilindungi
Ditemukan lebih dari 3 jenis satwa/biota yang dilindungi Sumber : *) Pengembangan dari Kathiresan, R. 2007 dan Fabiyi 2008 **) Pengembangan dari NOAA 1997 >3
Kondisi Pada semua Lokasi ditemukan sedikitnya 1 jenis dan lebih dari 5 jenis Kerapatan mangrove pada lokasi pantai berkisar antara 300-1.400 phn/ha dan ke arah daratan antara 1.0001.500 pohon/ha Mangrove termasuk ekosistem yang dilindungi baik konservasi setempat maupun taman nasional
23
Kriteria indeks ekologi pada Tabel 2.4. kemudian disederhanakan kedalam pengklasifikasian nilai berdasarkan tingkatan kepekaan yang telah disusun dan dimodifikasi PKSPL-IPB (2009) berdasarkan Sloan (1993) dan Jupiter (2006) sebagaimana terlampir pada Tabel 2.5. dibawah ini. Tabel 2.5. Skor dan Penetapan Kriteria Indeks Ekologi (IE) Ekosistem Mangrove Skor
Jumlah Spesies
Kerapatan Mangrove (Ind/ha)
Status Perlindungan
Habitat Kehidupan Liar
1
1
< 500
Tidak Terlindungi
Tidak Ada
Bruguiera
Genus
2
-
-
-
1-2
Lumnitzera, Xylocarpus, Scyphiphora
3
<3
501-1000
Secara Lokal
3
Rhizophora, Ceriops
4
-
-
-
-
Sonneratia, Excoeceria
5
>3
> 1000
Konservasi
>3
Avicennia
Sumber : NOAA 1997 Kathiresan, R. 2007 dan Fabiyi 2008 modifikasi oleh PKSPL-IPB (2009)
Indeks ekologi (IE) pada ekosistem mangrove ditentukan dengan menghitung agregasi dari jumlah spesies, kerapatan mangrove, status perlindungan, habitat kehidupan liar dan jenis spesies mangrove. Nilai IE pada ekosistem mangrove akan semakin tinggi apabila terdiri dari lebih dari 3 spesies, memiliki kerapatan yang lebih dari 1000 ind/ha, merupakan daerah konservasi, beralienasi dengan lebih dari 3 habitat kehidupan liar, serta merupakan genus yang sensitif terhadap pencemaran akibat tumpahan minyak seperti Avicennia (Jupiter et al, 2006). 2.2.1.2. Indeks Sosial-Ekonomi Indeks Sosial-Ekonomi merupakan agregat dari nilai sosial dan nilai ekonomi. Nilai sosial (NS) untuk ekosistem mangrove dihitung berdasarkan beberapa kriteria yang mungkin terdampak sebagai akibat tumpahan minyak, seperti pengembangan area potensi wisata, daerah penangkapan, dan pemanfaatan lainnya. Ketiga kriteria tersebut dikelompokkan menjadi lima (5) kelompok. Hal ini sebagaimana hasil modifikasi PKSPL-IPB berdasarkan pengembangan dari Sloan (1993) (Tabel 2.6). Sedangkan nilai ekonomi (NE) mangrove dihitung berdasarkan perhitungan nilai ekonomi total dari sumberdaya mangrove yang terdiri dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan serta manfaat keberadaan.
24
Tabel 2.6. Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Mangrove No.
Penjelasan
Kriteria
Skor
1
Pengembangan area potensial wisata
Sangat potensial Potensial Cukup potensial Kurang potensial Tidak potensial
5 4 3 2 1
2
Daerah penangkapan ikan
Sangat intensif Intensif Cukup intensif Kurang intensif Tidak intensif
5 4 3 2 1
3
Pemanfaatan lainnya
Sangat bermanfaat Bermanfaat Cukup bermanfaat Kurang bermanfaat Tidak bermanfaat
5 4 3 2 1
Sumber: Grigalunas, TA and R Congar (1995) di adopsi dan dimodifikasi oleh PKSPL-IPB (2009)
Pengembangan area potensi wisata dikategorikan kedalam 5 kriteria potensial. Penentuan kriteria ini didasarkan kepada beberapa hal seperti intensitas kegiatan wisata serta kebijakan daerah setempat terhadap keberadaan ekosistem mangrove. Daerah penangkapan ikan dikelompokkan kedalam 5 kriteria, mulai dari sangat intensif sampai kepada tidak intensif. Disebut sangat intensif apabila kegiatan di sekitar wilayah di dominasi oleh kegiatan perikanan setiap harinya dan jenis peralatan tangkap yang aktif seperti pancing dan jala di sekitar ekosistem mangrove. Sementara itu, penentuan skor dengan kriteria sangat bermanfaat sampai tidak bermanfaat ditentukan oleh seberapa besar ekosistem mangrove dimanfaatkan untuk kegiatan lain. 2.2.2. IKL Ekosistem Terumbu Karang 2.2.2.1. Indeks Kerentanan dan Ekologi Nilai Kerentanan ekosistem terumbu karang dikelompokkan ke dalam empat kriteria yaitu persentase penutupan karang, kerapatan karang, kelandaian karang, dan keberadaan spesies yang dilindungi (Sloan 1993). Menurut NOAA (2001) menyatakan bahwa tingkat kerentanan untuk eksosistem terumbu karang apabila terkena pencemaran minyak adalah sangat tinggi, sehingga indeks kerentanan (IK) untuk ekosistem terumbu karang adalah 5.
25
Sedangkan nilai Indeks ekologi (IE) pada ekosistem terumbu karang dihitung dengan menggunakan parameter ekologi karang seperti persentase penutupan karang, kerapatan karang, kelandaian karang, dan keberadaan spesies yang terlindungi (Sloan 1993 modifikasi PKSPL-IPB 2009). Tabel 2.7. Kriteria Indeks Ekologi (IE) Ekosistem Terumbu Karang Skor
Persentase Penutupan Karang
Kerapatan Karang
Kelandaian Karang
Keberadaan Spesies yang Dilindungi
1
0,0 – 10,9
Sangat rendah
Tubir
Tidak ada
2
11,0 – 30,9
Rendah
Sangat curam
-
3
31,0 – 50,9
Cukup
Curam
-
4
51,0 – 75,9
Tinggi
Landai
Ada
5
76,0 – 100
Sangat tinggi
-
-
Sumber: PKSPL-IPB (2009)
Indeks ekologi (IE) pada ekosistem terumbu karang ditentukan dengan menghitung agregasi dari persentase penutupan karang, kerapatan karang, kelandaian karang serta keberadaan spesies yang dilindungi (Tabel 2.7). Persentase penutupan karang adalah luasan areal yang ditutupi oleh karang, sementara kerapatan karang adalah posisi dan letak antara karang satu dengan yang karang yang lainnya, baik satu spesies ataupun spesies yang berbeda (Rodgers 1994). 2.2.2.2. Indeks Sosial-Ekonomi Nilai sosial (NS) untuk ekosistem terumbu karang dihitung menggunakan beberapa kriteria seperti area potensial pengembangan wisata, daerah penangkapan pada ikan karang, dan pemanfaatan lainnya sebagaimana modifikasi PKSPL-IPB 2009. Tabel 2.8. Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Terumbu Karang No.
Penjelasan
Kriteria
Skor
1
Pengembangan area potensial wisata
Sangat potensial Potensial Cukup potensial Kurang potensial Tidak potensial
5 4 3 2 1
2
Daerah penangkapan ikan
Sangat intensif Intensif Cukup intensif Kurang intensif Tidak intensif
5 4 3 2 1
26 No. 3
Penjelasan
Kriteria
Pemanfaatan lainnya
Sangat bermanfaat Bermanfaat Cukup bermanfaat Kurang bermanfaat Tidak bermanfaat
Skor 5 4 3 2 1
Sumber: Grigalunas, TA and R Congar (1995) di adopsi dan dimodifikasi oleh PKSPL-IPB (2009)
Sama halnya dengan ekosistem mangrove, pengembangan area potensi wisata untuk ekosistem terumbu karang dikategorikan kedalam 5 kriteria potensial (Tabel 2.8). Penentuan kriteria NS ini didasarkan kepada seberapa potensial, intensif dan bermanfaatnya eksositem terumbu karang bagi masyarakat dan pemerintah sekitar pulau Pramuka. Penilaian tersebut untuk kemudian ditentukan tingkat kepekaannya setelah dilakukan agregasi dari tiga paramater NS yang diperoleh. Sedangkan nilai ekonomi (NE) mangrove dihitung berdasarkan perhitungan nilai ekonomi total dari sumberdaya mangrove yang terdiri dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan serta manfaat keberadaan. NE merupakan gambaran dari preferensi masyarakat terhadap nilai sumberdaya, dapat dihitung berdasarkan aktual ataupun literatur yang ada. 2.2.3. IKL Ekosistem Lamun 2.2.3.1 Indeks Kerentanan dan Indeks Ekologi Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup dalam air di lingkungan perairan dangkal.
Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam
kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas pada lingkungan laut, di wilayah perairan pesisir mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 40 meter (Kiswara 1997). Stabilitas pertumbuhan lamun tergantung dari kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan kecepatan arus. Selain itu kondisi substrat dasar, kejernihan perairan dan adanya pencemaran sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis, kerapatan, dan biomassa lamun. Secara fisik, lamun berfungsi untuk menstabilkan dasar perairan, menangkap sedimen hasil erosi dari daratan (Kiswara 1993). Lamun yang terdapat di hamparan karang juga berfungsi untuk menenggelamkan, menyangga, serta menyaring nutrient dan bahan kimia yang masuk ke lingkungan perairan (English et al. 1994). Peran lamun secara biologis adalah sebagai habitat penting bagi ikan-ikan (spawning,
27
nursery, dan feeding ground), memberikan perlindungan bagi ikan, sumber utama detritus, mendukung rantai makanan, dan juga berfungsi sebagai produsen. Berbagai fungsi dan peran padang lamun yang sangat tinggi tersebut, sehingga untuk Ekosistem Lamun merupakan ekosistem yang termasuk rentan terhadap suatu pencemaran (tumpahan minyak). NOAA 2001 mengkategorikan Ekosistem Lamun sebagai ekosistem yang rentan terhadap kejadian tumpahan minyak (IK = 5). Menurut Sloan (1993) dalam menentukan IE untuk eksosistem padang lamun dapat dihitung dengan cara melihat karakteristik pesisir serta luas penutupan seagrass, dimana nilai akhir merupakan agregat dari dua nilai tersebut. Karakteristik pantai berlumpur memiliki tingkat kepekaan yang cukup tinggi dibanding dengan pantai yang berkarakteristik berbatu (Tabel 2.9). Tabel 2.9. Kriteria Indeks Ekologi (IE) Ekosistem Lamun Skor
Karakteristik Pantai
Persen Penutupan
1
Pantai Berbatu
0 – 20
2
Pantai Berpasir
20 – 40
3
Terpapar oleh Pasang Surut
40 – 60
4
Terlindung dari Pasang Surut
60 – 80
5 Sumber : Sloan (1993)
Pantai Berlumpur
80 – 100
2.2.3.2 Indeks Sosial-Ekonomi Nilai sosial untuk Ekosistem Lamun dihitung menggunakan beberapa kriteria seperti area potensial pengembangan wisata, daerah penangkapan ikan karang, dan pemanfaatan lainnya (PKSPL-IPB 2009).
Sama halnya dengan penetapan nilai
sosial (NS) pada ekosistem yang lain, terdapat tiga (3) kriteria penentuan skor dari NS tersebut (Tabel 2.10). Sedangkan untuk nilai ekonomi pada Ekosistem Lamun dihitung berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi. Tabel 2.10. Kriteria Nilai Sosial (NS) Ekosistem Lamun No. 1
Penjelasan Pengembangan area potensial wisata
Kriteria Sangat potensial Potensial Cukup potensial Kurang potensial Tidak potensial
Skor 5 4 3 2 1
28 No.
Penjelasan
Kriteria
Skor
2
Daerah penangkapan ikan
Sangat intensif Intensif Cukup intensif Kurang intensif Tidak intensif
5 4 3 2 1
3
Pemanfaatan lainnya
Sangat bermanfaat Bermanfaat Cukup bermanfaat Kurang bermanfaat Tidak bermanfaat
5 4 3 2 1
Sumber: Grigalunas, TA and R Congar (1995) di adopsi dan dimodifikasi oleh PKSPL-IPB (2009)
2.2.4. IKL Daerah Penangkapan Ikan 2.2.4.1. Indeks Kerentanan dan Indeks Ekologi Indeks kerentanan dapat dilihat dari seberapa besar potensi pengaruh kejadian pencemaran terhadap daerah tangkapan ikan. Sloan (1993) menyebutkan bahwa daerah penangkapan ikan/perikanan termasuk ke dalam tingkat yang kurang peka apabila terjadi tumpahan minyak (IK = 2). Kerentanan tersebut diambil berdasarkan sifat penting kawasan apabila terjadi kejadian tumpahan minyak (Tabel 2.11). Daerah penangkapan ikan di Pulau Pramuka merupakan kawasan karang gosong yang mengitari kawasan tersebut. Tabel 2.11. Nilai IKL Berdasarkan Sifat Penting Kawasan Skor
Sifat Penting Kawasan
1
Pelabuhan
2
Daerah Penangkapan Ikan / Perikanan
3
Pemukiman dan Pembangkit Listrik
4
Daerah Budidaya Perikanan
5 Sumber : Sloan (1993)
Kawasan Wisata (termasuk titik penyelaman dan Snorkling)
Sementara itu IE dapat ditentukan oleh jenis dan jumlah ikan yang mendominasi di daerah penangkapan tersebut. Menurut Sloan (1993) Secara umum sumberdaya ikan dikelompokkan ke dalam ikan demersal dan pelagis.
Terkait
dengan akibat pencemaran minyak, penentuan nilai IE lebih kepada ketergantungan status dan spesies ikan serta jumlah tangkapan ikan di daerah tersebut seperti tertera pada Tabel 2.12, dimana ikan pelagis pelagis besar lebih rentan dibanding demersal (disarikan dari NOAA, 2001).
29
Tabel 2.12. Kriteria Indeks Ekologi Daerah Penangkapan Ikan Skor
Indeks Ekologi
1
Ikan demersal
2
-
3
Ikan pelagis kecil
4
Ikan pelagis besar
5 Moluska, udang, ikan yang dilindungi (mamalia laut, lumba-lumba, paus, penyu, dll) Sumber : Modifikasi NOAA (2001)
2.2.4.2. Indeks Sosial-Ekonomi Nilai sosial (NS) untuk daerah penangkapan ikan dihitung menggunakan beberapa kriteria seperti jumlah tangkapan, biaya ekstraksi (ikan tangkapan), dan pemilihan alat tangkap (PKSPL-IPB 2009). Kriteria tersebut dilihat dari seberapa mahal dan selektifnya aktifitas perikanan di sekitar lokasi yang terdampak dari kejadian tumpahan minyak (Tabel 2.13). Sedangkan untuk nilai ekonomi pada daerah penangkapan ikan dihitung berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi. Tabel 2.13. Kriteria Nilai Sosial (NS) Daerah Penangkapan Ikan Skor
Biaya pemancingan (ikan tangkap) atau biaya produksi (budidaya)
Pemilihan alat tangkap atau volume budidaya
1
Sangat mahal
Sangat selektif atau sangat kecil volumenya
2
Mahal
Selektif atau kurang volumenya
3
Cukup mahal
Cukup
4
Murah
Kurang selektif atau banyak volumenya
5
Sangat murah
Tidak selektif atau sangat banyak volumenya
Sumber : PKSPL-IPB (2009)
2.3. Nilai Total Ekonomi Sumberdaya (Valuasi Ekonomi) Valuasi ekonomi adalah penjumlahan dari preferensi individu dalam keinginannya untuk membayar (willingness to pay) dalam mengkonsumsi lingkungan yang baik. Adrianto (2006) menyatakan bahwa valuasi ekonomi adalah alat untuk mengukur keinginan masyarakat untuk lingkungan yang baik melawan lingkungan yang buruk. Apa yang dinilai dalam lingkungan terdiri dari dua kategori yang berbeda yaitu :
30
1) Nilai preferensi masyarakat terhadap perubahan lingkungan, sehingga masyarakat memiliki preferensinya dalam tingkat risiko yang dihadapi dalam hidupnya, sehingga memunculkan keinginan untuk membayar willingness to pay (WTP) agar lingkungan tidak terus memburuk. 2) Sumberdaya alam dan lingkungan sebagai aset kehidupan memiliki nilai instrinsic. Hal ini merupakan bentuk dari nilai ekonomi secara intrinsic (instrinsic values) dari eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan. Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya adalah penting dalam kebijakan pembangunan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah ekonomi, karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus bahwa hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi. Dalam hal ini, kuantifikasi manfaat dan “kerugian” (cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (fairness). Dalam pandangan ecological economics, tujuan valuation tidak semata terkait dengan maksimalisasi kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan tujuan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi (Constanza dan Folke 1997). Bishop (1997) dalam Adrianto (2005) menyatakan bahwa valuation berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan ekologi dan keadilan distribusi tersebut. Dalam konteks ini, kemudian Constanza (2001) menyatakan bahwa perlu ada tiga nilai yang berasal dari tiga tujuan utama efesiensi, keadilan dan keberlanjutan. Nilai ekonomi (economic value) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS) (Grigalunas dan Conger 1995; Freeman III 2003 in Adrianto 2005).
31
S u p p ly C u rv e
C o n su m e rs S u rp lu s
P
P ro d u c e rs S u rp lu s
D em an d C u rv e
Q
Gambar 2.2. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara actual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, surplus produser (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa (Gambar 2.2). Sementara itu, Freeman III (2003) in Adrianto (2005) menyebutkan bahwa pengertian “value” dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu nilai intrinsik (intrinsic value) atau sering disebut juga sebagai Kantian value dan nilai instrumental (instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai intrinsik apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri. Artinya nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang mungkin terkait dengan komoditas lain. Komoditas yang sering disebut memiliki intrinsic value adalah komoditas yang terkait dengan alam (the nature) dan lingkungan (the environments). Sedangkan instrumental value dari sebuah komoditas adalah nilai yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu. Dalam konteks tipologi nilai tersebut diatas, Freeman III (2003) in Adrianto (2005) beragumentasi bahwa konsep instrumental value lebih mampu menjawab persoalan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan, termaksud dalam hal ini pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut, dari pada konsepsi intrinsic value. Untuk mengetahui nilai instrumental dari alam, tujuan spesifik dari upaya tersebut
32
harus disusun. Dalam konteks ini, nilai ekonomi sumberdaya alam (the value of nature) lebih diarahkan pada konsepsi tujuan untuk kesejahteraan manusia (human walfare). Dengan kata lain, sebuah komponen alam akan bernilai tinggi apabila kontribusinya terhadap kesejahteraan manusia juga tinggi. Sebuah pemikiran antroposentris yang memang melekat erat dengan disiplin ilmu ekonomi ortodoks. Konsep-konsep seperti individual walfare, individual preferences, dan lain-lain menjadi komponen utama bagi penyusunan konsep nilai ekonomi ini, seperti yang telah dijelaskan melalui konsep CS dan PS diatas. Secara empiris, valuasi ekosistem berbasis pada dua nilai terakhir (F-value dan S-value) relatif masih sedikit dilakukan. Namun demikian hal ini tidak mengurangi semangat dari pandangan ecological economics bahwa perlu ada penyusunan format nilai ekosistem yang lebih komprehensif, tidak hanya berbasis pada preferensi individu seperti metode standar yang ada. Ketiga nilai tersebut dapat diintegrasikan dengan pendekatan diskusi publik seperti yang disarankan oleh Sen (1995). Dengan pendekatan uji publik yang demokratis, nilai dari sebuah ekosistem dapat ditentukan untuk mencapai tujuan yang efisien, adil dan berkelanjutan. Sebagai contoh, dalam kasus mempertahankan sebuah kawasan ekosistem sebagai kawasan preservasi, maka pengambilan keputusan akan mempertimbangkan biaya-biaya langsung yang diperlukan untuk menjaga kawasan tersebut ditambah dengan potensi hilangnya manfaat pembangunan apabila kawasan tersebut dikonversi. Total cost ini lah yang kemudian menjadi basis bagi pengambilan keputusan dan dapat didekati dengan metode valuasi ekonomi. Demikian juga sebaliknya (vice versa) dalam kasus konversi ekosistem menjadi pemanfaatan lain. Selain biaya langsung yang diperlukan untuk mengkonversi ekosistem, maka nilainilai ekosistem yang hilang akibat konversi tersebut harus pula dipertimbangkan. Masalahnya, nilai ekosistem tersebut tidak seluruhnya dapat didekati dengan menggunakan pendekatan pasar (market approach), sehingga seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan sektor swasta (private) maupun sektor publik. Dengan demikian, estimasinya seringkali masuk ke dalam kategori under-estimate yang pada akhirnya berdampak pada “kesalahan” tingkat eksploitasi terhadap ekosistem tersebut. Tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambilan keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi (economic efficiency) dari berbagai
33
pemanfaatan (competing uses) yang mugkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada dikawasan. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, faktor distribusi kesejahteraan (welfare distribution) menjadi salah satu isu penting bagi valuasi ekonomi yang lebih adil (fair) seperti yang dianut oleh kalangan ecological economist. Banyak literatur dalam bidang valuasi ekonomi seperti Barton (1994), Barbier (1993), Freeman III (2002) menggunakan tipologi nilai ekonomi dalam terminologi Total Economic Value (TEV). Dalam konteks ini, TEV merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/ penggunaan (Use Value; UV) dan nilai ekonomi berbasis bukan pemanfaatan/ penggunaan (Non-Use Value; NUV). UV terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value; DUV), nilai ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value; IUV), nilai pilihan (Option Value; OV). Sementara itu, nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan (NUV) terdiri dari 2 komponen nilai yaitu nilai bequest (Bequest Value; BV) dan nilai eksistensi (Existence Value; EV). Gambar 2.3, berikut ini menyajikan tipologi TEV di mana definisi dan contoh dari masing-masing nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.14.
Total Economic Value
Non-Use Value
Use Value
Direct Use Value
Indirect Use Value
Option Value
Bequest Value
Gambar 2.3. Tipologi nilai ekonomi total (NET)
Existence Value
34
Pendekatan ekonomi lingkungan paling sedikit memiliki tiga pokok kajian, yaitu (Ho-Sung OH 1993 dalam Adrianto 2005): 1) Membahas penggunaan dan degradasi sumberdaya, terutama untuk memahami secara ekonomi dalam penetapan harga yang dipandang terlalu rendah, property right yang belum sempurna, struktur insentif yang berkontribusi pada kerugian pada lingkungan. 2) Mengukur jasa lingkungan, meliputi pengukuran maksimisasi asset lingkungan, untuk memaksimalkan nilai asset lingkungan, maka harus diketahui nilai jasa lingkungan, termaksud penggunaan dalam penerimaan limbah. 3) Menghambat degradasi lingkungan untuk mencapai tahap pembangunan berkelanjuan. Tabel 2.14. Defenisi dan Contoh Komposisi Nilai Ekonomi Total (NET) No
Jenis Nilai
1
Direct Use Value
2
Indirect Use Value
3
Option Value
Defenisi
Contoh
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem
Manfaat penyedia buahbuahan, kayu hutan, genetic material, dll
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem
Fungsi ekosistem hutan sebagai natural water reservoir, fungsi hutan sebagai tempat berkembang biak berbagai jenis fauna, dll
Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem di maa datang
Manfaat keanekaragaman hayati, spesies baru, dll
Nilai ekonomi yang diperoleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaan (existence) Existence dari sebuah ekosistem/sumberdaya itu ada, 4 Value terlepas dari apakah ekosistem/sumberdaya tersebut dimanfaatkan atau tidak Sumber : Modifikasi Barton (1994)
Ekosistem hutan hujan tropis yang terancam punah, endemic species, dll
Teknik valuasi ekonomi terbagi atas pendekatan langsung dan tidak langsung (direct and indirect approaches). Pendekatan langsung dilakukan melalui survey dan percobaan seperti metode Contingen Valuation (CV) dengan metode wawancara dan pengisian kuesioner dengan responden masyarakat. Pendekatan tidak langsung dilakukan melalui penggalian informasi seperti pengamatan transaksi barang dan jasa di pasar. Teknik pengukuran ini meliputi
35
Harga Hedonic (hedonic pricing), Teknik Pengupahan (Wage Techniques), Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Methode), Perilaku mencegah pencemaran (Avertive Behaviour) dan pendekatan pasar konvensional (Conventional Market Approaches). Beberapa teknik Analisis Nilai ekonomi (Economic Valuation) yang dapat digunakan dapat dijelaskan dalam uraian di bawah ini. 2.3.1. Nilai Guna/Pemanfaatan (Use Value) Nilai guna/pemanfaatan (Use Value) pada dasarnya diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan, yang didalamnya termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (Fauzi 1999). Dimana Use Value terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value), nilai penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value), dan nilai pilihan (Option Value). 2.3.1.1. Pendekatan Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value) Nilai penggunaan langsung (Direct Use Value) merupakan pernyataan masyarakat dalam menghadapi perubahan lingkungan. Metode Valuasi Contingent adalah teknik survei untuk memperoleh nilai tentang harga yang diberikan pada komoditas lingkungan yang tidak memiliki pasar (Adrianto et al. 2007). Spesifikasi metode ini secara umum dapat dipaparkan sebagai berikut : Tabel 2.15. Spesifikasi Metoda Valuasi Contingent. Penggunaan
Digunakan secara luas hampir seluruh perubahan lingkungan, cara untuk memperoleh non-use value, air bersih, kualitas air dan hutan Prosedur Pengisian kuesioner kepada masyarakat tentang Willingness to Pay (WTP) atau Willingness to Accept (WTAC), pendekatan yang dapat digunakan antara lain menggunakan ekonometrik. Metode yang digunakan a. Metode Bertanya. b. Metode Tawar menawar c. Pertanyaan terbuka d. Metode Kartu Pembayaran e. Metode Pertanyan Dikotomi f. Metode Ranking Validitas Potensi Kesalahan a. Kesalahan Hipotesis (hypothetical bias) b. Kesalahan strategis (strategic bias) c. Kesalahan Informasi (information bias) d. Kesalahan Titik Awal (starting point bias) e. Kesalahan Alat (vehicle bias) Sumber : Adrianto et al (2007)
36
Metode valuasi contingent merupakan suatu metode untuk mengetahui preferensi masyarakat terhadap nilai suatu sumberdaya. Dapat dilakukan dengan cara bertanya, tawar menawar, pertanyaan terbuka dan dikotomi atau bahkan dengan penentuan rangking (Tabel 2.15). 2.3.1.2. Pendekatan Nilai Penggunaan Tidak Langsung (Indirect Use Value) 1)
Pendekatan Pasar Konvensional Metode ini menggunakan pendekatan pasar konvensional sebagai informasi
dasar dalam pendugaan nilai perubahan lingkungan (Adrianto et al. 2007). Digunakan secara luas untuk melihat hubungan antara pencemaran dan dampak yang diketahui. Secara lengkap dapat dipaparkan pada Tabel 2.16 sebagai berikut: Tabel 2.16. Spesifikasi Pendekatan Pasar Konvensional. Penggunaan
Digunakan secara luas untuk melihat hubungan antara pencemaran dan dampak yang diketahui. Misal untuk melihat dampak pencemaran pada tanaman, hutan, dan kesehatan.
Prosedur
Dose-Respons: menghubungkan antara Pencemaran (dose) dan Dampak (response) dan nilai dengan dampak akhir pada pasar atau shadow price. Umumnya digunakan regresi berganda Replacement Cost (biaya penggantian) mengetahui kerusakan lingkungan dengan pasti dan kemudian memperkirakan biaya perbaikan lingkungan hingga mencapai keadaan seperti semula Opportunity Cost. Mengetahui fungsi dari penggunaan sumberdaya alam yang hilang dan memperkirakan pendapatan dari penggunan SDA tsb.
Validitas
Dose-Respons: Ketidak pastian hubungan antara dose dan respon. Replacement Cost: Validitas terbatas pada konteks terhadap biaya standar yang disepakati Opportunity Cost: Lebih kompleks meliputi kehilangan surplus konsumer Sumber : Adrianto et al (2007)
2)
Pendekatan Pasar Rumah Tangga A. Fungsi Produksi Rumah Tangga A.1. Metoda Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) Metode ini digunakan menggunakan pasar buatan (surrogate market) untuk
memperkirakan nilai ekonomi terhadap perubahan lingkungan. TCM ini digunakan untuk mencari nilai kunjungan wisata. Metode biaya perjalanan dilakukan untuk melihat manfaat tidak langsung dari suatu ekosistem. Beberapa model yang dipakai dalam metode ini adalah zona, individu dan pilihan (Tabel 2.17).
37
Tabel 2.17. Spesifikasi Metoda Biaya Perjalanan. Penggunaan
Umumnya digunakan secara terbatas pada sebuah tempat dan menilai terhadap waktu. Sering dikenal dengan pilihan diskrit (discrete choice).
Prosedur
Survei secara detil terhadap perjalanan kemudian dihitung jumlah biaya perjalanannya.
Cukup rumit dan terdapat tempat yang kompetitif dan tujuan ganda dari perjalanan, yang mengganggu korelasi perjalanan dengan harga. Tiga kelompok dasar dalam Travel Cost Model adalah : Zonal Travel Cost Model, Individual Travel Cost Model, Discrete Choice Travel Cost Model Sumber : Adrianto et al (2007) Validitas
A.2. Perilaku Pengeluaran Metode ini digunakan menggunakan perilaku ekonomi untuk memperkirakan nilai ekonomi terhadap perubahan lingkungan (Tabel 2.18). Metoda ini jarang digunakan tetapi secara metodologi cukup potensial untuk digunakan. Tabel 2.18. Spesifikasi Perilaku Pengeluaran. Penggunaan
Penggunaannya terbatas pada kasus dimana rumah tangga mengeluarkan uang untuk menanggulangi masalah lingkungan, misalnya penggunaan bahan kedap suara, penggunaan detektor asap, sabuk pengaman, saringan air dsb.
Prosedur
Jarang digunakan namun secara metodologi cukup potensial digunakan. Metode ini dilakukan melalui survei terhadap pengeluaran rumah tangga terhadap permasalahan lingkungan yang dihadapinya.
Validitas Menggunakan pengeluaran aktual akan relatif valid Sumber : Adrianto et al (2007)
A.3. Pengaruh Produksi (Effect On Production) Metode ini digunakan untuk menduga nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya terhadap produktivitas perikanan, dimana dikategorikan ke dalam beberapa teknik seperti pendekatan pendapatan dan pendekatan biaya sewa (Barton 1994). Pola pendekatan ini mengabaikan biaya produksi yang dikeluarkan (Tabel 2.19). Tabel 2.19. Spesifikasi pendekatan pengaruh produksi. Penggunaan
Penggunaannya memiliki asumsi dimana agen ekonomi yang terpengaruh tidak mengkompensasi untuk merubah produktivitas, misal meningkatkan effort, bila terjadi maka harus ada prediksi respon pasar. Kegiatan, dampak lingkungan dan perubahan output diasumsikan tidak mempengaruhi harga pasar.
Prosedur
Keterbatasan metode ini adalah ketidakpastian dampak ekonomi yang terjadi karena ketidakpastian perubahan sistem alami. Tidak menangkap nilai nonmarketed secara langsung.
Validitas Pendekatan ini mengabaikan biaya produksi yang dikeluarkan. Sumber : Adrianto et al (2007)
38
B. Pendekatan Hedonik B.1. Harga Properti Metode ini digunakan hanya untuk karakter lingkungan tertentu yang dibangun dalam pembangunan rumah atau properti (Tabel 2.20). Tabel 2.20. Spesifikasi pendekatan harga properti. Penggunaan
Digunakan hanya untuk karakter lingkungan tertentu yang dibangun dalam pembangunan rumah atau properti.
Prosedur
Pendekatan umumnya melibatkan data penjualan rumah atau estimasi harga rumah oleh agen properti bersamaan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga. Regresi berganda sangat dibutuhkan untuk memperoleh estimasi harga implisit.
Validitas
Harga dan faktor
Perkiraan akhir tidak dalam bentuk kurva permintaan. determinan sering sulit didapatkan. Sumber : Adrianto et al (2007)
B.2. Upah : Pendugaan Risiko (Risk Estimation) Metode ini digunakan sangat terbatas pada resiko kesehatan yang berwujud resiko yang digunakan sebagai nilai dari kehidupan. (Tabel 2.21). Tabel 2.21. Spesifikasi pendekatan harga properti. Penggunaan
Digunakan sangat terbatas pada risiko kesehatan yang berwujud risiko morbiditas dan mortalitas. Digunakan sebagai nilai dari kehidupan. Digunakan secara luas seperti pendekatan dose-response
Prosedur
Pendekatan menggunakan teknik regresi berganda dari upah/gaji terhadap faktor-faktor determinan dalam risiko kecelakaan.
Validitas Sama dengan validitas Contingen Valuation Methode (CVM). Sumber : Adrianto et al (2007)
2.3.1.3. Pendekatan Nilai Pilihan (Option Value) Option Value lebih diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya di masa mendatang. Dengan kata lain option value juga merupakan nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya (option) masih tersedia untuk masa yang akan dating. Option Value, mengandung makna ketidakpastian. Manfaat pilihan ekosistem dapat menggunakan nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) dari suatu ekosistem seperti yang dijelaskan Ruiteenbeek (1999) dimana nilai keanekaragaman hayati dapat bernilai minimal US$ 15 per hektar per tahun.
39
2.3.2. Nilai Bukan Guna/Pemanfaatan (Non-Use Value) Komponen Non-Use Value adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung, yang lebih bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pengamatan langsung (Fauzi 1999). Non-Use Value terdiri atas nilai warisan (Bequest Value) dan nilai eksistensi (Existence Value). 2.3.2.1. Nilai Warisan (Bequest Value) Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang (mereka yang lahir). Jadi bequest value diukur berdasarkan keinginan membayar masyarakat untuk memelihara (to preserve) sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang sehingga mereka dapat menikmatinya. 2.3.2.2. Nilai Eksistensi (Existence Value) Existence Value atau nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan meskipun masyarakat misalnya tidak akan memanfaatkan atau mengunjunginya. Sebagai contoh, seseorang misalnya mungkin mau membayar untuk menjaga keberdaan Taman Nasional Laut Pulau Seribu meskipun yang bersangkutan belum pernah mengujunginya. Nilai eksistensi ini sering juga disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam itu sendiri.
3. KERANGKA PEMIKIRAN
Keberadaan sumberdaya alam dan manusia dapat digambarkan secara sederhana dalam konteks ilmu ekonomi sebagai produsen dan konsumen. Alam dalam hal ini merupakan penyedia sumberdaya (produsen) yang dibutuhkan manusia, sedangkan manusia pada sisi yang lain merupakan penerima manfaat dari sumberdaya (konsumen) yang disediakan oleh alam. Sumberdaya yang disediakan oleh alam dalam hal ini dibagi menjadi tiga (3) komponen sumberdaya, yaitu sumberdaya terbaharukan (renewable resources), sumberdaya tak terbaharukan (non renewable resources), dan jasa lingkungan (environmental services). Oleh karena itu, kemampuan alam untuk menyediakan atau mensuplai sumberdaya juga tergantung dari karakteristik sumberdayanya. Secara ekologi, wilayah pesisir terdiri dari beberapa ekosistem, yaitu ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang. Ekosistem tersebut memiliki kemampuan dan daya adaptasi yang berbeda masing-masingnya terhadap suatu kegiatan maupun dampak dari kegiatan. Ekosistem Mangrove, merupakan daerah yang didalamnya terdapat ketergantungan organisme yang tinggi serta memiliki fungsi yang sangat penting, sehingga menjadi daerah yang sangat rentan terhadap suatu kegiatan dan dampaknya. Ekosistem Lamun merupakan ekosistem pantai yang terdiri dari tanaman tingkat tinggi. Ekosistem ini juga memiliki kerentanan terhadap suatu kegiatan.
Selanjutnya adalah ekosistem Terumbu Karang yang
merupakan tempat berkembangnya ikan karang dan juga sering dijadikan sebagai obyek wisata. Terumbu karang tergolong memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi dan sangat rentan terhadap perubahan terutama terkait dengan faktor kualitas air. Pembangunan di segala bidang memicu timbulnya ancaman yang serius bagi sumberdaya alam, sehingga butuh tindakan pengelolaan untuk keberlanjutan sumberdaya alam. Berbagai teknik dan implementasi pengelolaan telah diadaptasi, salah satunya adalah dengan mengidentifikasi suatu lingkungan berdasarkan tingkat kepekaan, dimana selanjutnya dikenal dengan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL). IKL diperoleh dengan menggabungkan tiga parameter penilaian yaitu 1) indeks kerentanan (IK); 2) indeks ekologi (IE) dan 3) indeks sosial ekonomi (IS). Kajian ini selanjutnya mengambil suatu studi kasus dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yaitu Pulau
41
Pramuka.
Pulau Pramuka mempunyai potensi sumberdaya alam yang khas.
Berdasarkan studi literatur yang didapat, ekosistem dan tempat-tempat serta aktifitas yang bernilai penting di wilayah studi adalah ekosistem terumbu karang; mangrove; lamun; kegiatan perikanan tangkap dan budidaya serta pariwisata. Potensi yang bernilai penting tersebut merupakan sumber kegiatan perekonomian bagi masyarakat Kepulauan Seribu. Adanya upaya untuk tetap melestarikan ekosistem yang ada di Kepulauan Seribu disatu sisi, serta tingkat kebutuhan akan sumberdaya alam yang ada sebagai tuntutan dan desakan ekonomi disisi lainnya secara langsung dan tidak langsung akan dapat menimbulkan konflik kepentingan antara ekologi dan ekonomi.
Untuk mengatasi hal tersebut maka
diperlukan suatu pendekatan baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Secara ringkas kerangka pemikiran dapat diilustrasikan seperti Gambar. 3.1.
Potensi Ekosistem Pulau Pramuka Kepulauan Seribu
Identifikasi Ekosistem di Pulau Pramuka
Indeks Kerentanan (IK) Indeks Ekologi (IE) Indeks Sosial-Ekonomi (IS)
Skala Spasial Indeks Kepekaan Lingkungan
Integrasi Skala Spasial IKL dan Nilai Total Ekonomi Sumberdaya
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya - Use Value - Non Use Value
IKL dari masing-masing Ekosistem di Pulau Pramuka
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan cara melakukan inventarisasi keberadaan ekosistem dan masyarakat di wilayah studi berdasarkan data primer dan
42
sekunder. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi fisik dan ekosistem yang ada, termasuk keberadaan masyarakat serta faktor penunjang lainnya yang berhubungan baik langsung ataupun tidak langsung dengan wilayah studi. Sementara, pendekatan kualitatif dilakukan dengan menghitung dan melihat tingkat kepekaan dari ekosistem yang ada di wilayah studi. Analisis indeks kepekaan lingkungan terhadap ekosistem berdasarkan kriteria yang ada merupakan salah satu cara untuk melihat keadaan wilayah studi secara kualitatif. Hasil IKL yang diperoleh merupakan analisis dari data yang diperoleh baik primer maupun sekunder, merupakan gabungan dari Indeks Kerentanan, Indeks Ekologi serta Indeks Sosial-Ekonomi.
IK ditentukan berdasarkan analisis data
sekunder dan primer yang diperoleh selama penelitian. IE ditentukan berdasarkan modifikasi PKSPL-IPB (2009), Sloan (1993) dan NOAA (2001). Sementara, IS ditentukan dengan perhitungan agregat nilai sosial (NS) dengan nilai ekonomi (NE). Dalam menghitung nilai ekonomi sumberdaya ke dalam nilai IKL, dilakukan dengan menghitung manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat keberadaan dan manfaat pilihan dari masing-masing ekosistem yang ada. Selanjutnya, dilakukan integrasi nilai ekonomi total tersebut ke dalam penentuan IS. Dengan harapan, ketika nilai total ekonomi suatu wilayah diintegrasikan kedalam penghitungan IKL, maka tingkat sensitifitas dan kepekaannya tidak saja berdasarkan kepada fungsi ekologi semata, tetapi juga sudah mewakili kepentingan lingkungan tersebut dari sisi sosial-ekonomi.
Sehingga, dengan pendekatan tersebut diharapkan mampu
memberikan gambaran tingkat sensitifitas yang lebih mendekati dengan keadaan yang aktual, baik dari aspek ekologi maupun ekonomi di sekitar wilayah studi.
4. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Mei 2012, penelitian ini meliputi penyusunan proposal penelitian, survei lapangan, pengolahan data, dan penyusunan hasil tesis. Lokasi penelitian berada pada kawasan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta dengan mengambil studi kasus pada Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 4.2. Metode Penelitian Metode yang dilakukan terhadap penelitian indeks kepekaan lingkungan ini adalah studi kasus (case study). Dimana metode studi kasus adalah penelitian tentang suatu obyek yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan formalitas (Maxfield 1930 in Nazir 1988). Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat. Tujuan dari studi kasus ini adalah memberikan gambaran yang mendetail tentang latar belakang dari sifat-sifat serta karakter-karakter yang kemudian dari sifat-sifat tersebut akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Nazir 1988). Studi kasus dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan, wisatawan dan pemerintah yang berada di kawasan kelurahan Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 4.3. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang lokasi, keadaan lingkungan kawasan pengamatan, lokasi perumahan penduduk dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi dan lembaga terkait seperti kantor Dinas Perikanan dan Kelautan, kantor BPS dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan materi penelitian, maupun yang berasal dari publikasi dan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Secara lengkap jenis dan sumber data tersaji pada Tabel 4.17.
44
Tabel 4.17. Matriks Jenis Dan Sumber Data No 1
2
3
4
5
6
Data Sosial ekonomi : - Jumlah penduduk - Pendidikan - Mata Pencaharian Ekosistem Mangrove : - Jumlah spesies - Kerapatan mangrove - Status perlindungan - Habitat kehidupan liar - Jenis spesies Ekosistem Terumbu karang : - Persen penutupan - Kerapatan karang - Kelandaian karang - Keberadaan spesies yang dilindungi Ekosistem Lamun - Persentase penutupan - Jenis lamun - Jenis substrat Daerah Penangkapan Ikan : - Produksi ikan - Jenis, jumlah dan harga ikan - Jenis dan jumlah alat tangkap - Jumlah kapal - Biaya operasi kapal/perahu - Biaya operasi alat tangkap - Biaya ransum per hari - Jumlah tenaga kerja Pariwisata : - Jumlah wisatawan - Lama tinggal - Sewa penginapan - Pengeluaran makan - Sewa transportasi - Sewa alat selam
Jenis
Sumber Data
Sekunder Sekunder Sekunder
Laporan Tahunan Kec. Kepulauan Seribu (Pulau Pramuka)
Primer Primer Primer Primer Primer
Kuesioner Transek Garis Kuesioner Kuesioner Kuesioner
Primer Primer Primer Primer
Manta Tow Manta Tow Manta Tow Identifikasi jenis
Primer Primer Primer
Transek Kuadrat Survei/Identifikasi jenis Survei
Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer
Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner
Primer Primer Primer Primer Primer Primer
Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner
4.4. Metode Pengambilan Data 4.4.1. Metode Pengambilan Sampel Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat warga Kepulauan Seribu yang tersebar di Pulau Pramuka, kelurahan Pulau Panggang, serta sejumlah wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Seribu.
Berdasarkan karakteristik
populasi yang ada di tempat-tempat tersebut, maka teknik pengambilan contoh dilakukan secara acak sederhana. Agar pengambilan sampel benar-benar mewakili seluruh komponen keluarga nelayan Kelurahan Pulau Panggang (Pulau Pramuka), maka dilakukan pengambilan sampel dengan cara pendekatan untuk mewawancarai semua kelompok responden yang
45
terpilih sehingga dapat diperoleh sampel representatif yang dapat mewakili masyarakat secara keseluruhan.
Terkait dengan penetapan jumlah responden, dengan jumlah
populasi wilayah penelitian sekitar 5.849 orang akan diperlukan sampel sebanyak 98 orang/responden, hal ini dilakukan dengan metode pengambilan sampel non-acak berdasarkan purposive sampling dengan pertimbangan pengelompokkan responden. Penelitian yang dilakukan merupakan suatu studi kasus dalam suatu wilayah untuk mengetahui kondisi wilayah tersebut dengan melakukan pengkajian atau pengamatan lapangan. Penelitian studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian deskriptif, dimana menggambarkan keadaan-keadaan yang mungkin terdapat dalam situasi tertentu. Sedangkan untuk pengambilan contoh sampel responden wisatawan sebanyak 20 orang/responden yang dipilih secara purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang didasarkan atas pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu yang dimaksud adalah orang yang dijadikan sampel adalah orang yang memanfaatkan kawasan Pulau Pramuka sebagai daerah wisata. Jumlah sampel yang diambil adalah beberapa wisatawan yang ada dan dianggap mewakili sampel dari jumlah total wisatawan di Kepulauan Seribu. 4.4.2. Metode Pengamatan Ekosistem Mangrove Pengamatan mangrove yang dilakukan pada setiap ekosistem mangrove dengan lingkup sebagai berikut : 1) Mengidentifikasi setiap spesies mangrove yang berada di wilayah studi dan posisi geografis. 2) Mengestimasi kerapatan dan fungsi ekologi lainnya. 3) Memproyeksikan ke dalam peta. Pengamatan mangrove dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu : 1) Persiapan dan studi literatur. 2) Data evaluasi. 3) Survei lapangan yang bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove yang ada di wilayah studi. 4) Pengumpulan data dan analisis data untuk penentuan nilai Indeks Kepekaan Lingkungan.
46
Pengamatan ekosistem mangrove dilakukan dengan membuat transek kuadrat berukuran 10 x 10 m. data yang diambil pada pengamatan ekosistem mangrove yaitu dengan melihat jenis mangrove yang berada di dalam transek kuadrat serta jenis perakarannya, kemudian dilakukan perhitungan kerapatan dengan menghitung jumlah individu yang terdapat pada pembagian tansek yang berukuran 5 x 5 m. 4.4.3. Metode Pengamatan Ekosistem Terumbu Karang Pengamatan pada terumbu karang dilakukan pada setiap ekosistem terumbu karang yang berada di wilayah studi. Pengamatan ini dilakukan di sepanjang lokasi studi dengan penentuan lokasi yang diambil mewakili setiap ekosistem terumbu karang yang ada di wilayah studi. Pengamatan ekosistem terumbu karang dilakukan dengan : 1) Snorkling di area terumbu karang yang menjadi titik pengamatan. 2) Pencatatan kondisi ekosistem terumbu karang pada setiap pengamatan. 3) Menentukan posisi geografis (koordinat) dari pengamatan terumbu karang. Metode pengamatan terumbu karang yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Manta Tow (Rogers et al, 2001). Metode Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan cara pengamatan di belakang perahu kecil bermesin dengan menggunakan tali sebagai penghubung antara perahu dengan pengamat (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Teknik Pengamatan Manta Tow (Rodgers, 2001) Dengan kecepatan perahu yang tetap (1,50 knot) dan melintasi di atas terumbu karang dengan lama tarikan 2 menit, pengamatan akan melihat beberapa objek terlintas serta menilai persentase penutupan karang hidup dan karang mati.
47
Data yang teramati dicatat pada tabel data dengan menggunakan nilai kategori atau dengan nilai persentase bilangan bulat. Untuk tambahan informasi yang menunjang pengamatan ini, dapat pula diamati dengan dicatat persen penutupan pasir dan patahan karang serta objek lain yang terlihat dalam lintasan pengamatan. 4.4.4. Metode Pengamatan Ekosistem Lamun Pengamatan ekosistem lamun yang dilakukan dengan mengamati kondisi lamun yang terdapat di wilayah studi. Pengamatan kondisi lamun dilakukan dengan menggunakan metode observasi langsung pada tiap perwakilan kondisi lamun (padat, sedang, rusak). Data lamun yang diambil dengan antara lain persentase penutupan, kerapatan, jenis lamun, dan jenis substrat. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan transek garis dengan posisi sejajar satu sama lain. Pada tiap transek garis ditempatkan sebuah transek kuadrat dengan ukuran 50 x 50 cm yang disekat menjadi 25 bagian dengan ukuran masing-masing petak 10 x 10 cm (Gambar 4.1.). Jarak antara transek kuadrat diseragamkan dan disesuaikan dengan luas padang lamun yan diamati.
Gambar 4.2. Transek Pengambilan Contoh Lamun Dalam tiap transek kuadrat yang telah ditempatkan, dilihat jenis dan kerapatannya. Kerapatan diketahui dengan menghitung jumlah tegakan lamun per spesies yang sama. Selain kerapatan, dihitung pula persentase penutupan lamun pada tiap transek kuadrat. Identifikasi jenis lamun berpedoman pada CRC Reef Research Center (2004) serta McKenzie and Yoshida (2009). Sedangkan penentuan persentase penutupan lamun mengacu pada kelas dominansi yang dikembangkan Saito dan Atobe (1970) in English et al. (1994). Kelas dominansi tersaji dalam Tabel 4.1.
48
Tabel 4.1. Kelas Dominansi Penutupan Ekosistem Lamun Kelas
Jumlah Substrat yang Tertutup
Persentase Penutupan Substrat
Titi Tengah Persentase (%)
5
½ hingga semua
50,00-100,00
75
4
¼ hingga ½
25,00-50,00
37,50
⅛ hingga ¼
12,50-25,00
18,75
6,25-12,50
9,38
< 6,25
3,13
0
0
3
1
2
/16 hingga ⅛ 1
1
< /16
0 Absent Sumber : Saito dan Atobe (1970) in English et al. (1994)
4.5. Metode Analisis 4.5.1. Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi survei lapangan dan analisis data. Pendekatan tersebut memiliki dua sistem penting. Menurut PKSPL (2009) menyatakan bahwa dua sistem penting dalam pendekatan survei lapangan untuk wilayah pesisir adalah sistem ekologi (bersumber pada pesisir dan kelautan), dan sistem sosial (bersumber pada komunitas pesisir). Pendekatan yang digunakan dalam penentuan indeks kepekaan lingkungan (IKL) terbagi atas tiga tipe elemen dasar yaitu indeks kerentanan (IK), indeks ekologi (IE) dan indeks sosial-ekonomi (IS). Indeks kepekaan lingkungan diinterpretasikan ke dalam formula yang mencakup ketiga elemen tersebut (Sloan, 1993). IKL = ( IK x IE x IS ) Dimana : IKL : Indeks Kepekaan Lingkungan IK : Indeks Kerentanan IE : Indeks Ekologi IS : Indeks Sosial-Ekonomi Tabel 4.2. Skor Tingkat Kepekaan Lingkungan IKL Nilai IKL
Tingkat Kepekaan
1
Tidak Peka
2–8
Kurang Peka
9 – 27
Cukup Peka
28 – 64
Peka
65 – 125 Sumber : Sloan 1993 modifikasi PKSPL-IPB 2009
Sangat Peka
49
Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian indeks kepekaan lingkungan ini, di bagi ke dalam beberapa lokasi yang diasumsikan merupakan daerah berpotensi terkena dampak dan merupakan daerah sensitif.
Penetapan tingkat kepekaan selanjutnya
ditetapkan berdasarkan nilai IKL yang diperoleh oleh masing-masing ekosistem, seperti yang tertera pada Tabel 4.2. 4.5.1.1. Indeks Kerentanan (IK) Indeks kerentanan merupakan suatu gambaran seberapa besar kondisi ekosistem terpengaruhi oleh dampak yang terjadi. Pengamatan indeks kerentanan dalam penelitian ini yaitu melihat kondisi ekosistem atau parameter yang dapat dijadikan sebagai daerah sensitif apabila terkena potensi dampak akibat kejadian tumpahan minyak pada lokasi penelitian. Dalam hal ini, ekosistem yang ada di sekitar wilayah Pulau Pramuka adalah ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun. Ekosistem terumbu karang selanjutnya dibedakan antara karang hidup dan karang gosong yang selanjutnya menjadi daerah penangkapan ikan. Skor indeks kerentanan dari masing-masing ekosistem tersaji pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Skor dan Metode Penilaian Indeks Kerentanan Tingkat Kepekaan
Sumber dan Literatur
Skor
Hutan Mangrove
Ekosistem
Sangat Peka
Sloan (1993), NOAA (2001)
5
Padang Lamun
Sangat Peka
NOAA (2001)
5
Terumbu Karang
Sangat Peka
Sloan (1993), NOAA (2001)
5
Daerah Tangkapan Ikan
Cukup Peka
Sloan (1993)
2
Sumber: Sloan (1993), NOAA (2001)
Penentuan dan penetapan skor dari indeks kerentanan dilakukan berdasarkan penilaian secara kualitatif dengan 5 (lima) tingkat kepekaan dalam melihat kondisi lingkungan yang diamati (Sloan, 1993). Penentuan tingkat kepekaan yang dilakukan untuk indeks kerentanan terhadap masing-masing pengamatan ekosistem dan daerah penangkapan ikan dilakukan dengan melihat kondisi lingkungan pada wilayah studi. Penetapan tingkat kepekaan terhadap masing-masing ekosistem diidentifikasi dengan mengasumsikan jika ekosistem tersebut mendapat suatu pengaruh dari lingkungan berupa pencemaran (paparan minyak) sehingga keberadaannya di alam menjadi terganggu dan dapat menghilangkan fungsi atau kegunaan ekosistem tersebut untuk dimanfaatkan. Berdasarkan hal tersebut, maka penentuan tingkat kepekaan terhadap ekosistem
50
mangrove, terumbu karang, dan daerah penangkapan ikan dilakukan berdasarkan penilaian subjektif (expert justification) berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Sloan (1993), NOAA (2001) serta modifikasi PKSPL-IPB (2009). 4.5.1.2. Indeks Ekologi (IE) Indeks Ekologi dari masing-masing ekosistem dan kegiatan yang terdapat dilokasi pengamatan dapat dihitung dengan menggunakan teknik agregasi rataan geometrik sebagai berikut (Sloan 1993) :
Keterangan : IEj = Nilai indeks ekologi j Eji = Skor nilai ekologi kriteria i di lokasi j Penghitungan dan penentuan skor dari masing-masing ekosistem ditentukan berdasarkan metode yang diperoleh berdasarkan referensi yang ada.
Skor dari
masing-masing nilai ekologi masing-masing ekosistem secara rinci dapat dihitung ditentukan sebagai berikut: a.
Ekosistem Mangrove Pengamatan nilai ekologi dan skoring yang dilakukan pada penelitian ini
berdasarkan tiap kriteria ekosistem yang diamati. Untuk analisis indeks ekologi dari ekosistem mangrove mencakup kriteria jumlah spesies, kerapatan, status perlindungan, habitat kehidupan liar, dan jenis spesies (genus) (PKSPL-IPB 2009). Metode penilaian terhadap nilai ekologi pada ekosistem mangrove dilakukan berdasarkan hasil survei lapangan dan wawancara yang dilakukan selama penelitian (Tabel 4.4.). Tabel 4.4. Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Mangrove No
Kriteria Pengamatan
Metode Penilaian Indeks Ekologi
1
Jumlah Spesies
2
Kerapatan Mangrove
Transek Garis
Survei
3
Status Perlindungan
Survei/Wawancara/Data Sekunder
4
Habitat Kehidupan Liar
5
Jenis Spesies/Genus
Sumber: PKSPL-IPB (2009) dan Rencana Penelitian (2012)
Survei/Data Sekunder Survei /Identifikasi Jenis
51
Penetapaan skor mengikuti proses yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (2009), dimana masing-masing kriteria ditetapkan secara parsial. Hal ini karena batasan dari masingmasing kriteria ditetapkan berdasarkan keadaan dan kondisi di lapangan (Tabel 4.5). Tabel 4.5. Skor dan Penetapan Kriteria Variabel Ekologi Ekosistem Mangrove Skor
Jumlah Spesies
Kerapatan Mangrove (Ind/ha)
Status Perlindungan
Habitat Kehidupan Liar
Genus
1
1
< 500
Tidak Terlindungi
Tidak Ada
Bruguiera
2
-
-
-
1-2
Lumnitzera, Xylocarpus, Scyphiphora
3
<3
501-1000
Secara Lokal
3
Rhizophora, Ceriops
4
-
-
-
-
Sonneratia, Excoeceria
5
>3
> 1000
Konservasi
>3
Avicennia
Sumber : PKSPL-IPB (2009)
Pengamatan dan pengambilan data untuk kriteria diatas dilakukan dengan pengamatan visual dilapangan. Identifikasi jenis mangrove dilakukan secara insitu berdasarkan identifikasi. b.
Ekosistem Terumbu Karang Penghitungan skor indeks ekologi untuk ekosistem terumbu karang mencakup
kriteria persentase penutupan karang, kerapatan karang, kelandaian karang, dan keberadaan spesies yang dilindungi. Metode penilaian skor dan nilai ekologi dilakukan dengan memanfaatkan data primer, survei dan wawancara di lapangan (Tabel 4.6.). Tabel 4.6. Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Terumbu Karang No
Kriteria Pengamatan
Metode Penilaian Indeks Ekologi
1
Persen Penutupan Karang
Manta Tow
2
Kerapatan Karang
Manta Tow
3
Kelandaian Karang
Manta Tow
4
Keberadaan Spesies yang Dilindungi
Manta Tow/Wawancara
Sumber: PKSPL-IPB (2009) dan Rencana Penelitian (2012)
Skoring kriteria nilai ekologi terumbu karang diperoleh dari data primer yang dikumpulkan. Penentuan skor untuk presentase penutupan karang berkisar diantara
52
selang 0,0 % - 100 %; selain itu juga diamati kerapatan karang serta bentuk dasar tanaman karang tersebut (Tabel 4.7.). Tabel 4.7. Skor dan Penetapan Indeks Ekologi Ekosistem Terumbu Karang Skor
Persentase Penutupan Karang
Kerapatan Karang
Kelandaian Karang
Keberadaan Spesies yang Dilindungi
1
0,00 – 10,90
Sangat rendah
Tubir
Tidak ada
2
11,00 – 30,90
Rendah
Sangat curam
-
3
31,00 – 50,90
Cukup
Curam
-
4
51,00 – 75,90
Tinggi
Landai
Ada
5
76,00 – 100,00
Sangat tinggi
-
-
Sumber: PKSPL-IPB (2009)
c. Ekosistem Lamun Penentuan nilai ekologi dan skoring yang dilakukan pada penelitian ini berdasarkan tiap kriteria ekosistem yang diamati. Untuk analisis indeks ekologi dari Ekosistem Lamun mencakup kriteria persentase penutupan, kerapatan, dan jenis spesies. Metode penilaian terhadap nilai ekologi pada Ekosistem Lamun dilakukan berdasarkan hasil survei lapangan dan wawancara yang dilakukan selama penelitian (Tabel 4.8.). Tabel 4.8. Metode Penilaian Indeks Ekologi Ekosistem Lamun No
Kriteria Pengamatan
1
Persentase Penutupan
2
Karakteristik Pantai
Metode Penilaian Indeks Ekologi Transek Kuadrat Survei /Identifikasi Jenis
Tiap-tiap kriteria diberikan nilai skor untuk pengelompokan kelas yang selanjutnya akan dijadikan dasar sebagai penentu rangking dari ekosistem tiap pengamatan. Skoring kriteria nilai ekologi padang lamun diperoleh dari data yang dikumpulkan pada proses survei (4.9). Tabel 4.9. Kriteria indeks ekologi (IE) Ekosistem Lamun Skor
Karakteristik Pantai
Persen Penutupan
1
Pantai Berbatu
0 – 20
2
Pantai Berpasir
20 – 40
3
Terpapar oleh Pasang Surut
40 – 60
4
Terlindung dari Pasang Surut
5 Sumber : Sloan (1993)
Pantai Berlumpur
60 – 80 80 – 100
53
d. Daerah Penangkapan Ikan Pengamatan pada daerah penangkapan ikan dilakukan dengan melihat kondisi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan di wilayah studi. Kegiatan yang diamati meliputi daerah penangkapan ikan, alat tangkap, dan armada penangkapan ikan. Metode penentuan indeks ekologi untuk daerah penangkapan ikan di wilayah studi mencakup kriteria jenis spesies tangkapan. Adapun metode penilaian yang akan dilakukan selama penelitian adalah pengamatan visual dan hasil dari wawancara dengan responden yang telah direncanakan (Tabel 4.10). Tabel 4.10. Kriteria indeks ekologi daerah penangkapan ikan Skor
Jenis Ikan
1
Ikan demersal
2
-
3
Ikan pelagis kecil
4
Ikan pelagis besar
5 Moluska, udang, ikan yang dilindungi (mamalia laut, lumba-lumba, paus, penyu, dll) Sumber : Modifikasi Sloan (1993) dan NOAA (2001)
Penetapan skoring menurut Sloan (1993) yang dimodifikasi menjelaskan bahwa untuk penetapan skoring jenis tangkapan berdasarkan kepada asal tempat ikan tersebut diambil, apakah demersal atau pelagis. 4.5.1.3. Indeks Sosial-Ekonomi (IS) Indeks sosial-ekonomi (IS) ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, Ekosistem Lamun, dan daerah penagkapan ikan terdiri dari nilai sosial (NS) dan nilai ekonomi (NE). Perhitungan indeks sosial ekonomi (IS) ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan daerah tangkapan ikan menurut PKSPL-IPB (2009) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: IS = Indeks sosial ekonomi ekosisetm dan daerah penangkapan ikan NS = Nilai sosial ekosistem dan daerah penangkapan ikan NE = Nilai ekonomi ekosistem dan daerah penangkapan ikan
54
Selanjutnya dalam penentuan NS dan NE dari tiap-tiap ekosistem dapat dilakukan dengan pendekatan dari masing-masing tipe ekosistem atau kegiatan tersebut. Penghitungan tersebut meliputi: 4.5.1.3.1. Nilai Sosial (NS) Nilai sosial masing- masing ekosistem serta bentuk kegiatan yang ada di lokasi studi dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa kriteria.
Menurut PKSPL-IPB
(2009) beberapa kriteria nilai sosial untuk ekosistem pesisir yaitu pengembangan area potensial wisata, daerah penangkapan ikan dan pemanfaatan lain seperti pendidikan alam dan penelitian (Tabel 4.11). Tabel 4.11. Kriteria Nilai Sosial Untuk Pengamatan Masing-Masing Ekosistem No.
Parameter Pengamatan
Kriteria
Skor
1
Pengembangan area potensial wisata
Sangat potensial Potensial Cukup potensial Kurang potensial Tidak potensial
5 4 3 2 1
2
Daerah penangkapan ikan
Sangat intensif Intensif Cukup intensif Kurang intensif Tidak intensif
5 4 3 2 1
3
Pemanfaatan lainnya
Sangat bermanfaat Bermanfaat Cukup bermanfaat Kurang bermanfaat Tidak bermanfaat
5 4 3 2 1
Sumber: PKSPL-IPB (2009)
Ketiga parameter tersebut masing-masing memiliki kriteria dari: (1) tidak bermanfaat – sangat bermanfaat; (2) tidak intensif – sangat intensif; serta (3) tidak potensial – sangat potensial. Penentuan skoring terhadap masing-masing kriteria ditentukan berdasarkan hasil wawancara terhadap responden mengenai potensi dan manfaat dari masing-masing ekosistem terhapat parameter pengamatan yang ditentukan. Berbeda halnya terhadap daerah penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah studi. Dimana kategori penentuan nilai sosial diperoleh dari (1) biaya ekstraksi
55
untuk kegiatan perikanan tangkap; (2) biaya produksi untuk perikanan budidaya; serta (3) pemilihan alat tangkap (Tabel 4.12) Tabel 4.12. Kriteria Nilai Sosial Untuk Daerah Penangkapan Ikan Skor
Biaya ekstraksi (ikan tangkapan)
Biaya produksi (budidaya)
Pemilihan alat tangkap
1
Sangat Mahal
Sangat Mahal
Sangat Selektif
2
Mahal
Mahal
Selektif
3
Cukup Mahal
Cukup Mahal
Cukup Selektif
4
Murah
Murah
Kurang Selektif
5
Sangat Murah
Sangat Murah
Tidak Selektif
Sumber: PKSPL-IPB (2009)
Skor nilai sosial dari masing-masing ekosistem dan daerah penangkapan ikan dilokasi pengamatan yang diperoleh kemudian dipadukan dengan menggunakan teknik agregasi rataan geometrik sebagai berikut untuk memperoleh Nilai Sosial sebagaimana yang dijelaskan oleh Sloan (1993) sebagai berikut:
Keterangan : NSj = Nilai sosial lokasi j Sji = Skor nilai sosial kriteria i di lokasi j 4.5.1.3.2. Nilai Ekonomi (NE) Nilai ekonomi masing-masing ekosistem serta daerah penangkapan ikan yang ada di lokasi studi diidentifikasi berdasarkan nilai valuasi ekonomi.
Valuasi
ekonomi masing- masing ekosistem serta daerah penangkapan ikan yang ada di lokasi studi diperoleh berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi yang didalamnya terdapat beberapa kriteria penilaian nilai ekonomi berdasarkan jenis manfaat yang dihitung, antara lain nilai manfaat langsung (Direct Use Value), nilai manfaat tidak langsung (Indirect Use Value), nilai manfaat pilihan (Option Value), dan nilai manfaat keberadaan (Existence Value). Nilai ekonomi dari masing-masing ekosistem dan kegiatan dilokasi pengamatan dapat dihitung dengan menggunakan teknik agregasi rataan geometrik yang dinyatakan oleh Sloan (1993) sebagai berikut:
56
Keterangan : NEj = Nilai ekonomi pada lokasi j Ej = Skor nilai ekonomi kriteria i di lokasi j Dalam perhitungan nilai ekonomi sebelumnya dibutuhkan penetapan dan penentuan skor. Menurut Sloan (1993) penetapan skor dapat dilakukan dengan menentukan skor ekonomi melalui rumus sebagai berikut:
Dimana : NE NE max
1)
= Nilai ekonomi ekosistem dan daerah penangkapan ikan lokasi –i = Nilai ekonomi maksimum ekosistem dan daerah penangkapan ikan yang terobservasi.
Ekosistem Mangrove Daya dukung lingkungan dibagi atas dua yaitu daya dukung ekologis dan daya
dukung ekonomi (Praseryawati 2001). Dalam analisis ekonomi suatu sumberdaya yang kompleks seperti mangrove, harus diatasi keterkaitan antara ekonomi dan lingkungan. Keterkaitan ini sangat penting karena lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya setelah di dapat nilai dari masing-masing manfaat akan dibuat penetapan skor sesuai dengan yang di tetapkan oleh Sloan (1993). Penilaian ekonomi ekosistem mangrove dapat dilihat pada (Tabel 4.13). Tabel 4.13. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove No
Jenis Manfaat
Metode Penilaian Nilai Ekonomi
1
Manfaat Langsung
2
Manfaat Tidak Langsung
Data Sekunder
3
Manfaat Pilihan
Data Sekunder
4
Manfaat Keberadaan
Sumber: PKSPL-IPB (2009)
Kuesioner/Wawancara/EOP
Contingent Valuation Methode (CVM)
57
2)
Ekosistem Terumbu Karang Kegiatan eksploitasi terumbu karang yang selama ini terjadi tidak
memperhitungkan seluruh manfaat (ekonomi dan ekologis) dari fungsi-fungsi yang terkandung dalam ekosistem tersebut. Sehingga keberadaannya di alam menjadi rusak bahkan punah. Selanjutnya setelah di dapat nilai dari masing-masing manfaat akan dibuat penetapan skor sesuai dengan yang di tetapkan oleh Sloan (1993). Penilaian ekonomi terhadap ekosistem terumbu karang di wilayah studi disajikan pada Tabel 4.14. Tabel 4.14. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang No
Jenis Manfaat
Metode Penilaian Indeks Ekonomi
1
Manfaat Langsung
Kuesioner/Wawancara/EOP
2
Manfaat Tidak Langsung
Travel Cost Method (TCM)
3
Manfaat Pilihan
4
Manfaat Keberadaan
Data Sekunder Contingent Value Method (CVM)
Sumber: PKSPL-IPB (2009)
3)
Ekosistem Lamun Ekosistem Lamun memiliki peran cukup penting dari sisi ekologis, yaitu
berperan sebagai pelindung atau tempat kehidupan berbagai organisme di perairan pesisir, sehingga keberadaannya di alam tergolong cukup penting bagi kehidupan organisme lain. Selanjutnya setelah di dapat nilai dari masing-masing manfaat akan dibuat penetapan skor sesuai dengan yang di tetapkan oleh Sloan (1993). Penilaian ekonomi terhadap Ekosistem Lamun di wilayah studi disajikan pada Tabel 4.15. Tabel 4.15. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Ekosistem Lamun No
Jenis Manfaat
1
Manfaat Langsung
2
Manfaat Tidak Langsung
3
Manfaat Pilihan
4
Manfaat Keberadaan
Sumber: PKSPL-IPB (2009)
Metode Penilaian Indeks Ekonomi Kuesioner/Wawancara/EOP Kuesioner/Wawancara Data Sekunder Contingent Value Method (CVM)
58
4) Daerah Penangkapan Ikan Nilai ekonomi untuk daerah penangkapan ikan ditentukan berdasarkan volume tangkapan maupun budidaya. Dalam pengkajian ini, penentuan volume tangkapan dapat di identifikasi dengan melihat jumlah hasil tangkapan ikan (volume tangkapan) yang diperoleh nelayan Pulau Pramuka dalam sekali melaut dan memperbandingkan dengan hasil tangkapan ikan (volume tangkapan) dengan daerah yang merupakan satu lokasi perairan dengan Pulau Pramuka yaitu Perairan Utara Jawa (Tabel 4.16). Tabel 4.16. Metode Penentuan Nilai Ekonomi Daerah Penangkapan Ikan No
Lokasi Penagkapan Ikan
1
Kepulauan Seribu (P.Pramuka)
2
Banten
Metode Penilaian Indeks Ekonomi Survei/Wawancara Data Sekunder
3
DKI Jakarta
Data Sekunder
4
Jawa Barat
Data Sekunder
5
Jawa Tengah
Data Sekunder
6
Jawa Timur
Data Sekunder
Sumber: PKSPL-IPB (2009)
Selanjutnya setelah diperoleh nilai dari masing-masing lokasi penangkapan ikan, maka akan dibuat penetapan skor sesuai dengan yang di tetapkan oleh Sloan (1993). 4.5.1.3.3. Nilai Ekonomi Total Secara keseluruhan konsep yang digunakan dalam mengukur nilai ekosistem suatu sumberdaya, dalam hal ini ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan daerah penangkapan ikan adalah konsep Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value). Konsep ini menjumlahkan seluruh nilai dari barang dan jasa yang terdapat dalam suatu lingkungan sumberdaya. Secara umum, Nilai Ekonomi Total (NET) yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari nilai pakai (use value) dan bukan nilai pakai (non-use value). Teknik valuasi ekonomi terbagi atas pendekatan langsung dan tidak langsung (direct and indirect approaches). Didalam menghitung nilai ekonomi total umumnya menggunakan beberapa metode sesuai dengan peruntukan masing-masing.
59
Menurut Adrianto et al. (2007) menyatakan bahwa nilai ekonomi total terdiri dari dua nilai yaitu nilai pakai (use value) dan bukan nilai pakai (non use value), secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (XV +BV) Dimana : TEV NUV IUV XV
= Total Economic Value = Non Use Value = Indirect Use Value = Existence Value
UV DUV OV BV
= Use value = Direct Use Value = Option Value = Bequest Value
1) Metode Contingent Valuation Methods (CVM)) Pendekatan langsung dilakukan melalui survei dan percobaan seperti metode Contingent Valuation (CV). Metode ini menggunakan metode wawancara dan pengisian kuesioner dengan masyarakat terhadap perubahan lingkungan yang diusulkan. Pendekatan tidak langsung dilakukan melalui penggalian informasi tidak langsung, yaitu melalui pengamatan transaksi barang dan jasa di pasar (Adrianto et al. 2007). Menurut FAO (2000), pendekatan langsung (direct use value) dengan penilaian berdasarkan preferensi (Contingent Valuation Method) adalah sebuah metode yang digunakan untuk melihat atau mengukur seberapa besar nilai suatu barang berdasarkan estimasi seseorang. CVM juga dapat diumpamakan sebagai suatu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai yang diberikan seseorang untuk memperoleh suatu barang (willingness to pay, WTP) dan seberapa besar nilai yang diinginkan untuk melepaskan suatu barang (willingness to accept, WTA). Valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan laut dengan menggunakan teknik CVM mendasarkan pada survei untuk menduga persepsi populasi terhadap nilai manfaat atau biaya sumberdaya. Dengan demikian data yang diperlukan adalah data primer dengan menggunakan teknik kuesioner sebagai alat utama survei. Data sekunder diperlukan untuk mengetahui sebaran populasi dan karakteristiknya sebagai penduga ukuran contoh dan metode pengambilan contohnya. Operasional dalam melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahap kegiatan atau proses. Tahap tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut : a)
Membuat hipotesis pasar terhadap ekosistem yang diamati. Caranya adalah dengan membuat suatu kuesioner yang berisi informasi lengkap kondisi
60
ekosistem yang diamati, manfaat ekosistem, dan perkiraan nilai dari satu hektar luasan ekosistem yang baik kualitasnya. Kuesioner ini diberikan kepada responden yang terdiri dari nelayan dan masyarakat sekitar. b)
Mendapatkan nilai lelang (bids), dilakukan dengan mewawancarai langsung responden dengan bantuan kuesioner, untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP) responden terhapad ekosistem.
c)
Menghitung rataan WTP dan WTA. Nilai ini dihitung berdasarkan hasil nilai lelang (bids) yang diperoleh pada tahap 2. Perhitungan didasarkan pada nilai mean (rata-rata) dan nilai median (nilai tengah).
d)
Meregresikan nilai WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel) dengan beberapa variabel bebas, yaitu pendapatan (I), pendidikan (E), dan umur (A). Secara matematis dituliskan sebagai : Wi = ƒ (I, E, A) Persamaan diatas secara lebih eksplisit dituliskan dalam fungsi logaritma sehingga dapat diestimasi dengan metode regresi biasa, sebagai berikut : Ln Wi = α0 + α1 ln I + α2 ln E + α3 ln A + ℮ Dimana i W I E A
e)
: : Indeks responden : Variabel WTP : Variabel pendapatan : Variabel pendidikan : Variabel umur
Mengagregatkan data, degan cara mengagregatkan rataan nilai lelang yang diperoleh pada tahap 3. Proses ini melibatkan konversi dari rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan.
2) Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method (TCM)) Teknik valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan tidak langsung (indirect use value) dilakukan dengan penilaian berdasarkan preferensi metode biaya perjalanan (Travel Cost Method). Metode biaya perjalanan (TCM) merupakan metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value) dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak dimiliki nilai pasar (non market good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada suatu
61
tempat wisata menimbulkan atau mengganggu biaya ekonomi, dalam bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat (Lipton DW et al. 1995 dalam PKSPL-IPB 2007). Tujuan melakukan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata melalui estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di lokasi tersebut. Fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata sebagai berikut : V = ƒ (TC, S) Dimana V TC S
: : Jumlah kunungan : Biaya perjalanan pada suatu lokasi wisata : Vektor biaya perjalanan pada lokasi wisata alternatif
Perhitungan TCM dalam penelitian ini dilakukan atas fungsi permintaan kunjungan wisata secara individual. fungsi logaritma dari kunjungan wisata secara individual sebagai berikut : Ln Vi = β0 – β1 ln TCi + β2 ln Yi + β3 ln Si Dimana Vi TCi Yi Si
: : Trip kunjungan individu ke-i : Biaya perjalanan individu ke-i : Pendapatan individu ke-i : Biaya perjalanan ke lokasi wisata substitusi yang dikeluarkan oleh individu ke-i
Data yang dikumpulkan dalam TCM antara lain adalah biaya perjalanan, jumlah kunjungan,
data
demografi,
lokasi
wisata
alternatif
(faktor-faktor
yang
mempengaruhi permintaan atas kunjungan wisata). Faktor yang mempengaruhi antara adalah: pendapatan rumah tangga (household income), umur dan pendidikan. 3) Pengaruh Faktor Produksi (Effect on Production) Pendekatan untuk menduga nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya terhadap produktivitas perikanan dikenal sebagai pendekatan effect on production (EOP). Barton (1994) mengkategorikan beberapa jenis teknik EOP, yaitu: A. Pendekatan Pendapatan (income approach) B. Pendekatan Biaya Sewa (residual rent approach) Berikut adalah cara perhitungan dari pendekatan pengaruh faktor produksi
62
a) Membangun fungsi permintaan terhadap penggunaan suatu sumberdaya b) Mentransformasi fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan harga linear
c) Mentransformasi kembali fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan asal (langkah 1). d) Mentransformasi fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan harga nonlinear. e) Mengestimasi total kesediaan membayar, dan f)
Mengestimasi surplus konsumen
Beberapa prinsip EOP adalah (1) perubahan kualitas lingkungan, perubahan produktivitas dan biaya produksi, perubahan harga dan output, dapat dilihat & dinilai; (2) kualitas lingkungan sebagai faktor produksi serta (3) nilainya merupakan nilai langsung, untuk estimasi tidak langsung fungsi ekosistem menggunakan ecological quantitatif analysis (EQA). Sehingga dengan metoda EOP ini dapat menduga manfaat langsung maupun tidak langsung yang ditimbulkan sebagai akibat dari aktifitas produksi perikanan. 4.6. Batasan Penelitian Penelitian dilakukan berdasarkan batasan-batasan penelitian yang terdiri dari beberapa hal yaitu : 1)
IKL merupakan indeks kepekaan lingkungan yang terdiri dari indeks kerentanan (IK), indeks ekologi (IE) dan indeks sosial-ekonomi (IS).
2)
Nilai ekonomi total merupakan salah satu cara untuk menghitung nilai ekonomi sumberdaya sebagai bagian dari IS.
3)
Wilayah studi adalah Pulau Pramuka yang terdiri dari beberapa ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil seperti ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang.
63
4)
Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka terletak di sebelah utara yaitu Ekosistem Mangrove Utara (EMU) dan sebelah selatan yaitu Ekosistem Mangrove Selatan (EMS).
5)
Ekosistem Lamun Pulau Pramuka terletak di sebelah utara yaitu Ekosistem Lamun Utara (ELU) dan sebelah selatan yaitu Ekosistem Lamun Selatan (ELS).
6)
Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka dalam hal ini adalah karang hidup terletak di sebelah utara yaitu Karang Hidup Utara (KHU) dan sebelah selatan yaitu Karang Hidup Selatan (KHS).
7)
Daerah penangkapan ikan atau fishing ground adalah wilayah karang gosong yang terletak dan mengitari Pulau Pramuka.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Keadaan Umum Pulau Pramuka 5.1.1.
Kondisi Geografi dan Oceanografi Pulau Pramuka terletak di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Secara geografis, Kelurahan Pulau Panggang terletak pada posisi 5o40’00’’-5o47’00’’ LS dan 106o8’00’’-106o28’00’’ BT.
Wilayah
Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 14 Pulau dengan luas 62,10 Ha, dimana Pulau Pramuka sebagai pusat pemerintahan kabupaten memiliki wilayah terluas kedua setelah Pulau Kotok Besar dengan luas 16 Ha (Tabel 5.1). Pulau Pramuka memiliki luas daratan yang dipengaruhi oleh adanya pasang surut yang mencapai ketinggian 1-1,5 m di atas permukaan laut. Tipe iklimnya yaitu tropika panas dengan suhu maksimum 29,5°C-32,9°C, suhu minimum 23,0°C-23,8°C dan suhu rata-rata berkisar antara 26,5°C-28,5°C serta kelembaban nisbi berkisar antara 75%-99% dengan tekanan udara antara 1009,0 mb–1011,0 mb (Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2008). Tabel 5.1. Pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Pulau Pulau Panggang Pulau Pramuka Pulau Karya Pulau Peniki Pulau Karang Bongkok Pulau Karang Congkak Pulau Kotok Besar Pulau Air Besar Pulau Gosong Sekati Pulau Semak Daun Pulau Gosong Pandan Pulau Opak Kecil Pulau Kotok Kecil Gosong Pramuka
Luas (Ha) 9,00 16,00 6,00 3,00 0,50 0,60 20,75 2,90 0,20 0,75 0,40 1,10 1,30 1,61
Jumlah 62,10 Sumber : Laporan Tahunan Kelurahan Pulau Panggang 2011
Peruntukan Pemukiman Pemukiman/Pusat Pemerintahan Perkantoran/TPU Navigasi Peristirahatan Peristirahatan Pariwisata Peristirahatan Peristirahatan PHU Peristirahatan Peristirahatan PHU DPL
65
Secara spesifik, pulau-pulau tersebut dibentuk dari gosong karang. Gosong karang terbentuk karena pengaruh perubahan musim. Selama musim angin barat (Desember-Mei), air tawar yang mengalir dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan membawa kandungan nutrient yang berpengaruh bagi terumbu karang. Kandungan nutrient tersebut menyebabkan jumlah fitoplankton, zooplankton, dan tutupan alga meningkat sehingga menekan karang dan menyebabkan karang memutih dan mati. Karang yang mati tersebut membentuk gosong secara akumulatif dapat membentuk pulau-pulau kecil setelah ratusan hingga jutaan tahun (Tomascik et al. 1997). Pulau Pramuka juga dikenal dengan sebutan Pulau Elang. Pulau ini mulai dihuni penduduk yang sebagian besar berasal dari Pulau Panggang pada tahun 1972. Pulau Panggang berjarak seperempat jam dengan speedboat dari Pulau Pramuka memiliki kepadatan penduduk yang dinilai sangat tinggi. Cuaca di lingkungan Pulau Pramuka relatif baik pada bulan Desember-Maret sedangkan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan basah yaitu bulan Januari dan bulan kering terjadi pada bulan Juni-September. Cuaca mengalami perubahan yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi hingga mencapai 100-400 nm. Curah hujan sangat dipengaruhi oleh musim barat (musim angin barat disertai hujan lebat) dan musim timur (musim angin timur disertai kekeringan). Musim pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot yang biasanya terjadi pada bulan Desember-Februari sedangkan pada musim timur berkisar antara 7-15 knot yang bertiup dari arah Timur Laut sampai Tenggara. Arus permukaan di Pulau Pramuka pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/d dengan arah ke timur sampai tenggara, begitu juga dengan musim timur berkecepatan maksimum 0,5 m/d. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mencapai ketinggian antara 0,5-1,75 m dan musim timur 0,5-1,0 m. Suhu air permukaan pada musim barat berkisar antara 28,5°C-30,0°C dan musim timur suhu permukaan berkisar antara 28,5°C-31,0°C, sedangkan salinitas permukaan berkisar antara 30‰-34‰ baik pada musim barat maupun musim timur. Lahan daratan Pulau Pramuka sulit untuk digunakan untuk kegiatan pertanian karena kondisi tanahnya didominasi oleh pasir, sehingga mata pencaharian penduduk mayoritas nelayan. Masing-masing ekosistem memiliki total wilayah yaitu 7,42 Ha untuk ekosistem Mangrove; 2,13 Ha untuk ekosistem Lamun; 3,52 Ha untuk ekosistem Karang Hidup;
66
dan 125,36 Ha untuk ekosistem Karang Gosong yang selanjutnya teridentifikasi sebagai daerah penangkapan ikan (Tabel 5.2). Ekosistem mangrove di wilayah Pulau Pramuka dibagi menjadi dua wilayah besar yang terdiri dari ekosistem mangrove yang berada di bagian utara (EMU) dan bagian Selatan (EMS), begitu juga halnya dengan Ekosistem Lamun yang dibagi menjadi ekosistem lamun bagian utara (ELU) dan selatan (ELS). Sementara ekosistem terumbu karang terdiri dari tiga (3) kelompok yaitu dua (2) karang hidup bagian utara (KHU) dan selatan (KHS) dan satu (1) karang gosong yang didentifikasi sebagai daerah penangkapan ikan (DPI) (Gambar 5.1).
ELU
KHU EMU
ELS DPI
EMS
KHS
Gambar 5.1. Sebaran Ekosistem di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (sumber google map) Tabel 5.2. Luasan Yang Teridentifikasi sebagai Wilayah Studi No
Ekosistem
Simbol
Luasan (Ha)
1
Mangrove bagian Utara
EMU
3,74
2
Mangrove bagian Selatan
EMS
3,68
3
Lamun bagian Utara
ELU
1,28
4
Lamun bagian Selatan
ELS
0,85
5
Karang Hidup bagian Utara
KHU
2,72
6
Karang Hidup bagian Selatan
KHS
0,80
DPI
125,36
Karang Gosong Pulau Pramuka (Daerah Penangkapan Ikan) Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 7
67
5.1.2.
Kondisi Kependudukan Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk di Kelurahan Pulau Panggang pada
tahun 2012 adalah 5.849 jiwa yang terdiri dari 2.981 laki - laki dan 2.868 perempuan. Mayoritas mata pencaharian penduduk di Kelurahan Pulau Panggang adalah nelayan sebanyak 1.722 orang, hal ini disebabkan kondisi tanahnya didominasi oleh pasir sehingga kurang memungkinkan untuk melakukan kegiatan pertanian. Selain itu, mata pencaharian penduduk di Kelurahan Pulau Panggang adalah Karyawan swasta, PNS, ABRI sebanyak 348 orang dan lain-lain seperti pensiunan, pedagang, dan jasa/pertukangan sebanyak 218 orang, total masyarakat yang memiliki pekerjaan yaitu 2.288 orang dari 5.849 jumlah penduduk di Kelurahan Pulau Panggang (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2012). Adapun jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin di Kelurahan Pulau Panggang dapat dilihat pada Tabel 5.3. Berdasarkan jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin, maka penduduk di Kelurahan Pulau Panggang di dominasi oleh usia muda (0-14 tahun) dan usia produktif (15-64 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa angkatan kerja produktif di Kelurahan Pulau Panggang lebih besar dibanding pada angka kerja non-produktif. Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Pulau Panggang tahun 2012 tergolong sudah memadai karena tidak terdapat lagi penduduk yang tidak pernah sekolah dan penduduk yang tidak tamat SD berjumlah sedikit dibanding penduduk yang mengenyam pendidikan. Jumlah penduduk yang telah menyelesaikan studi sampai dengan SD dan SLTP adalah 998 orang, dan 285 orang yang tamat SLTA, sedangkan yang tamat akademi dan perguruan tinggi berjumlah 103 orang (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2012). Tabel 5.3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenis Kelamin dan Umur Jenis Kelamin
No
Umur (Tahun)
1
00-14
1.095
1.064
2.159
2
15-64
1.827
1.753
3.580
3
65 keatas
59
51
110
2.868
5.849
Laki-laki
Jumlah 2.981 Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang 2012
Perempuan
Jumlah
68
Penduduk Kelurahan Pulau Panggang yang telah melewati pendidikan dasar 9 tahun ternyata memiliki jumlah yang cukup besar yaitu 998 orang.
Meskipun
demikian jumlah penduduk yang mampu mengenyam pendidikan tingkat SLTA, Akademik dan perguruan tinggi juga masih menunjukkan angka yang lumayan besar yaitu 388 orang, dan sisa jumlah penduduk yang tidak bersekolah dan tidak tamat SD menunjukkan angka yang relatif sedikit yaitu 42 orang (Tabel 5.4). Tabel 5.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4 5 6
Jenjang Pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Jumlah (orang)
20 370 180 140 66
22 318 130 145 37
42 688 310 285 103
652
1.428
Tidak Sekolah Tidak Taman SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademik/PT
Jumlah 776 Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang 2012
Sementara itu, mata pencaharian penduduk yang ada di Kelurahan Pulau Panggang
terdiri
dari
karyawan
swasta,
pedagang,
nelayan,
pensiunan,
jasa/pertukangan, dan lain-lain. Dimana sebagian besar penduduk Kelurahan Pulau Panggang bermata pencaharian sebagai nelayan, karyawan swasta, dan pedagang (Tabel 5.5.). Tabel 5.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian No
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian
1 Karyawan Swasta 2 Pedagang 3 Nelayan 4 Pensiunan 5 Jasa/Pertukangan 6 Lain-lain Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang 2012
5.1.3.
Jumlah (orang) 348 114 1.722 24 22 58
Karakteristik Responden di Wilayah Studi Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat yang
berada di Kelurahan Pulau Panggang (Pulau Pramuka dan Pulau Panggang) dan Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka. Hal ini sesuai dengan yang telah
69
dijelaskan pada bab metodologi dalam penelitian ini. Dari penelitian yang dilakukan, responden lebih di dominasi oleh laki-laki yaitu sekitar 80% dari jumlah responden di wilayah studi (Gambar 5.2).
Gambar 5.2. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Sementara itu, dari keseluruhan responden yang terlibat dari penelitian ini ratarata di dominasi oleh responden dengan tingkat pendidikan berada pada tingkat dasar (SD) dan lanjutan tingkat pertama (SLTP). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.3 yang secara sederhana menggambarkan kondisi responden berdasarkan tingkat pendidikannya. Rata-rata tingkat pendidikan responden di dominasi pada tingkat SD dan SLTP, hal ini setidaknya mampu menjelaskan bahwa sebagian umum masyarakat kelurahan Pulau Panggang khususnya yang mendiami pulau Pramuka adalah melek aksara.
Gambar 5.3. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Berdasarkan data di lapangan, sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai nelayan sebanyak 50%, sedangkan yang lainnya bekerja sebagai pedagang sebesar 20%, PNS sebesar 13% dan lain-lain 17% (Gambar 5.4).
Gambar 5.4. Jumlah Responden Berdasarkan Mata Pencaharian
70
Hal ini sesuai dengan data yang menyatakan bahwa mata pencaharian utama masyarakat Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang adalah nelayan. Beberapa dari responden juga memiliki pekerjaan sampingan seperti pemandu wisata, buruh kasar dan lain sebagainya. Pekerjaan sampingan tersebut dilakukan untuk menambah pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 5.1.4.
Kegiatan Perikanan Tangkap Pulau Pramuka Kegiatan perikanan tangkap di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang
Kepulauan Seribu dominan dilakukan nelayan tradisional, dengan menggunakan alat tangkap seperti bubu, jaring (insang) dan pancing.
Jumlah dan penyebaran nelayan
berdasarkan alat tangkap dapat diuraikan pada Tabel 5.6, dimana jumlah nelayan jaring (insang) adalah yang paling banyak sebesar 34,62%, kemudian diikuti nelayan jaring dan pancing sebanyak 26,92%, nelayan bubu sebanyak 21,15% dan yang lain. Dimana pemanfaatannya diperuntukan untuk menangkap ikan karang dan non karang. Tabel 5.6. Jumlah Responden Nelayan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang No
Nelayan
Jumlah
Persentase (%)
1
Bubu
11
21,15
2
Jaring
18
34,62
3
Pancing
8
15,38
4
Jaring dan Pancing
14
26,92
5
Jaring dan Bubu
Total Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
1
1,92
52
100,00
Pemanfaatan alat tangkap sederhana tersebut diidentifikasi kedalam hasil perikanan tangkap yang diperoleh berupa Ikan Karang dan Non-karang. Pendapatan nelayan responden dari hasil tangkapan ikan karang lebih besar dibanding dengan hasil tangkapan dari non karang.
Jumlah hasil tangkapan yang bervariasi sesuai
dengan alat tangkap yang digunakan memberikan pendapatan total kepada nelayan dalam periode setahun sebesar
Rp. 181.465.000 untuk ikan karang, dan Rp.
178.962.000 untuk ikan non-karang (Tabel 5.7). Penggunaan alat tangkap jaring dan pancing mendominasi jumlah hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan setempat dengan menghasilkan jumlah hasil tangkapan untuk ikan non karang (8.899 Kg) serta ikan karang (2.093 Kg).
71
Tabel 5.7. Jenis Alat Tangkap, Jumlah serta Pendapatan Yang Diperoleh Oleh Nelayan Responden Ikan Karang No
Alat Tangkap
1
Jaring dan Pancing
2
Pancing
3 3 4
Harga (rata)
Kg 2.093
16.798
Ikan Non Karang
Pendapatan (Rp) 81.005.000
Kg
Harga (rata)
Pendapatan (Rp)
8.899
218.256
146.020.000
104
20.000
5.260.000
972
136.910
17.810.000
Jaring
2.961
17.443
46.076.000
880
46.364
15.132.000
Bubu Bubu dan Jaring
2.130
23.565
48.701.000
-
-
28
15.107
423.000
-
-
Total Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
181.465.000
178.962.000
Rata-rata hasil tangkapan dengan menggunakan pancing dan jaring merupakan hal yang dominan dan sebanding dengan hasil yang diperoleh oleh masyarakat Pulau Seribu, hal ini terlihat dari jumlah yang besar dan pendapatan yang diperoleh dengan menggunakan alat tersebut. Sedangkan armada yang rata-rata digunakan oleh nelayan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang disajikan pada Tabel 5.8. dimana sebagian besar kapal yang digunakan yaitu kapal motor < 10 GT sebesar 98,31%. Tabel 5.8. Persentase Armada Nelayan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang No
Nelayan
Jumlah (unit)
Persentase (%)
1
Perahu Layar
1
1,69
2
Kapal Motor < 10 GT
58
98,31
59
100,00
Total Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Hasil tangkap perikanan di dominasi oleh alat tangkap pancing dengan menggunakan kapal motor berkapasitas mesin yang kecil di bawah 10 GT, hal ini dikarenakan aktifitas penangkapan dilakukan di daerah yang tidak begitu jauh dari Pulau Pramuka (Tabel 5.8). 5.1.5.
Kegiatan Pariwisata Pulau Pramuka Wisatawan yang datang ke Pulau Pramuka berdasarkan hasil penelitian terhadap
responden yang terpilih menunjukkan sekitar 70% dari pengunjung berasal dari Jakarta dan 30% berasal dari Bogor (Gambar 5.5).
72
Gambar 5.5. Asal Lokasi Wisatawan Untuk mencapai daerah Pulau Pramuka dapat menggunakan kapal motor berkapasitas 150 orang, atau dengan menggunakan kapal-kapal pesiar.
Lokasi
keberangkatan dapat melalui daerah Muara Angke atau Ancol. Waktu perjalanan di laut menuju Pulau Pramuka membutuhkan waktu ± 2 jam perjalanan, dimana waktu keberangkatan wisatawan umumnya selalu di pagi hari yaitu pukul 07.00 wib. Responden wisatawan didominasi oleh pria dan karyawan swasta dengan umur 26-36 tahun sebesar 50%; 15-25 tahun sebesar 35%; dan selebihnya adalah umur 37 tahun keatas sebesar 15%. Tujuan utama wisatawan adalah menyelam (diving), snorkeling, mancing dan untuk pendidikan/penelitian. Kegiatan wisata yang banyak dilakukan yaitu snorkling sebesar 45%, pendidikan/penelitian sebesar 25%, dan selebihnya adalah memancing dan diving yang masing-masing sebesar 15% (Gambar 5.6).
Gambar 5.6. Kegiatan Pariwisata yang Diminati oleh Wisatawan Rata-rata wisatawan yang berkunjung sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai pengusaha/pekerja swasta sebanyak 65% dan mahasiswa sebanyak 35%. Informasi mengenai wisatawan belum begitu lengkap karena keterbatasan waktu, sarana dan fasilitas selama penelitian. Selain kegiatan wisata, kawasan Pulau Pramuka juga sering dimanfaatkan untuk pendidikan alam atau penelitian. Hal ini sejalan dengan data yang di dapat dari banyaknya responden yang juga melaksanakan kegiatan pendidikan dan penelitian sebesar 25%.
73
Perkembangan dan peningkatan jumlah wisatawan yang datang ke ke Pulau Pramuka dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 jumlah wisatawan mencapai 7.543 jiwa, tahun 2008 sebesar 14.000 jiwa, tahun 2009 sebesar 22.689 jiwa dan pada tahun 2010 jumlah kunjungan sebesar 25.654 jiwa. Peningkatan jumlah wisatawan yang terjadi akibat pengembangan wisata bahari di Pulau Pramuka dilakukan secara inovatif dan juga dikarenakan meningkatnya minat masyarakat sekitar untuk mengelola sarana wisata secara lebih efektif sejak tahun 2003 (Kepulauan Seribu, 2011). 5.2. Indeks Kepekaan Lingkungan Pulau Pramuka Kepekaan merupakan suatu gambaran untuk mengetahui seberapa besar kondisi ekosistem yang sensitif terhadap suatu dampak. Tingkat toleransi suatu habitat, komunitas atau spesies terhadap faktor luar, sehingga mudah rusak atau bahkan mati. Suatu habitat, komunitas atau spesies menjadi rawan ketika terkena pengaruh dari luar (lingkungan). Kepekaan disebabkan oleh kerentanan ketika berhubungan dengan dampak fisik atau kondisi lingkungan yang sangat ekstrim (Tyler-Walter et al. 2001 dalam Muarif 2002). Indeks kepekaan lingkungan (IKL) merupakan pendekatan secara sistematis mengkompilasi informasi mengenai kepekaan pantai, sumberdaya biologi dan sumberdaya yang dimanfaatkan manusia (NOAA 2001).
Penetapan nilai IKL
didasarkan kepada potensi dampak yang timbul dari suatu kejadian tumpahan minyak. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa penetapan nilai IKL dilakukan berdasarkan dari Sloan (1993) dan NOAA (2001) dengan mendapatkan modifikasi dari PKSPL-IPB (2009).
IKL ini selanjutnya akan
menggambarkan nilai kepekaan relatif dari masing-masing daerah yang dihitung dan memperoleh kategori sesuai dengan hasil perhitungan yang diperoleh. Setiap komponen yaitu indeks kerentanan, ekologi dan sosial-ekonomi memiliki nilai antara 1 (minimum = yang paling tidak peka) sampai 5 (maksimum = yang paling peka). Kemudian penetapan IKL total berdasarkan nilai komposit antara komponenkomponen tersebut, dimana nilainya berkisar dari 1 (paling tidak peka) hingga 125 (yang paling peka). Keberadaan ekosistem yang dimanfaatkan di Pulau Pramuka selanjutnya diidentifikasi dan diolah dalam suatu perhitungan yang memberikan informasi
74
mengenai kepekaan ekosistem yang ada disekitar wilayah studi. Wilayah studi yang dimaksud berdasarkan dominan keberadaan lingkungan yang dimanfaatkan oleh masyarakat serta informasi awal dari penelitan, dimana dibagi menjadi tiga fokus penelitian yaitu ekosistem Mangrove; Lamun; Terumbu Karang dan daerah penangkapan ikan (Lampiran 1). Pembahasan masing-masing wilayah tersebut adalah sebagai berikut: 5.2.1.
Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove di wilayah pulau Pramuka dapat dikelompokkan kedalam
dua kelompok besar, dimana satu wilayah berada di sebelah utara dan timur pulau pramuka (EMU) dengan luasan wilayah adalah sekitar 3,74 Ha sementara wilayah berikutnya berada di bagian selatan pulau pramuka (EMS) dengan luas 3,68 Ha (Gambar 5.7.)
Nilai Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) ekosistem mangrove
diperoleh dengan melakukan integrasi nilai IK, IE dan IS.
EMU
EMS
Gambar 5.7. Ekosistem Mangrove (EMU dan EMS) di Pulau Pramuka Penghitungan tiga parameter penentu IKL terhadap 2 wilayah ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
75
5.2.1.1. Indeks Kerentanan Tingkat kerentanan (vulnerability rating) suatu ekosistem terhadap dampak kegiatan pembangunan bergantung pada respon ekosistem tersebut terhadap dampak pada peluang terjadinya dampak atas ekosistem. Respon ekosistem pesisir terhadap suatu dampak ada yang sangat peka (sensitive) sampai yang tidak peka, bergantung pada karakteristik biologi dan ekologi dari ekosistem yang bersangkutan. Peka dalam hal ini artinya jika ekosistem tersebut terkena suatu dampak, maka ekosistem tersebut akan mudah rusak dan sukar untuk kembali pulih seperti keadaan sebelumnya. Penyebaran ekosistem mangrove di Pulau Pramuka bervariasi dan rata-rata di dominansi oleh mangrove yang bersifat anakan. Pengamatan mangrove dilapangan dilakukan secara visual.
Dari hasil pengamatan lapang, kondisi mangrove yang
berada di Pulau Pramuka di dominasi oleh kategori anakan dan semaian dengan sedikit terkategori sebagai indukan.
Mangrove yang berada di pulau Pramuka
merupakan mangrove buatan yang ditanam oleh masyarakat dan pihak pengelola TNKS Kepulauan seribu dan bukan merupakan mangrove yang hidup atau tumbuh secara alami. EMU lebih memiliki variasi umur, walaupun hanya terdiri dari satu jenis dibanding dengan EMS. EMU memiliki indukan pohon mangrove yang memiliki kerapatan yang cukup tinggi yaitu 2.256 ind/Ha (Gambar 5.8).
Gambar 5.8. Ekosistem Mangrove bagian Utara (EMU) di Pulau Pramuka Sementara, ekosistem mangrove sebelah selatan (EMS) lebih di dominasi oleh jenis anakan dengan kerapatan sekitar 1.861 ind/Ha. Hal ini dikarenakan bahwa bagian selatan baru dijadikan sebagai tempat penanaman dan revegetasi mangrove, sehingga belum ada yang berupa indukan (Gambar 5.9).
76
Mangrove yang terdapat di Pulau Pramuka yaitu jenis Rhizophora sylosa yang struktur perakarannya bertipe penyangga atau tongkat. Bentuk akar penyangga atau tongkat merupakan bentuk perakaran yang mempunyai lentisel untuk mengambil oksigen dari luar tanah.
Gambar 5.9. Anakan dan Semaian Ekosistem Mangrove di Bagian Selatan (EMS) di Pulau Pramuka Berdasarkan kriteria Sloan (1993), kerentanan mangrove terhadap suatu pencemaran (tumpahan minyak) adalah yang paling rentan karena berlokasi di wilayah intertidal, yang berarti bahwa ekosistem ini mudah terpapar pada saat pencemaran. Mangrove juga rentan karena tanaman ini secara biologi bersifat sensitif terhadap paparan minyak. Ekosistem ini juga sensitif terhadap tumpahan minyak karena manggrove bukan hanya sekelompok tanaman, tapi juga berperan sebagai habitat bagi beberapa biota perairan seperti ikan, krustase, echinoderms, moluska, hewan benthik, plankton, dan satwa liar daratan seperti ular, burung, dan kadal. Berdasarkan kriteria yang dipaparkan Sloan (1993), kondisi mangrove di wilayah studi yang berlokasi pada daerah interdial tidak terkecuali adalah sangat rentan terhadap paparan minyak sehingga kedua wilayah mangrove (EMU dan EMS) memiliki nilai kerentanan paling tinggi (skor 5). 5.2.1.2. Indeks Ekologi Penentuan dalam indeks ekologi didasarkan kondisi lingkungan yang mempengaruhi keberadaan ekosistem didalamnya. Sensitifitas lingkungan dari tiap ekosistem mangrove di wilayah studi adalah fungsi dari nilai kerentanan, nilai ekologi, dan nilai sosial. NOAA (1997) menggolongkan mangrove sebagai wilayah
77
yang sangat sensitif terhadap pencemaran (tumpahan minyak) karena ekosistem ini memiliki konfigurasi fisik dan substrat berlumpur yang sulit untuk dibersihkan selama terjadi pencemaran. Ekosistem mangrove dilihat dari indeks ekologi dapat dikatakan sensitif dengan melihat kondisi lingkungan habitatnya. Mangrove yang merupakan ekosistem yang memiliki kerentanan yang tinggi ini apabila terkena suatu bentuk pencemaran tidak hanya dapat merusak ekosistem tersebut, tetapi juga akan mempengaruhi aktivitas disekitarnya.
Peran yang penting dalam menyokong nelayan setempat karena
berfungsi sebagai nursery ground, feeding ground, dan spawning ground. Namun demikian, tingkat sensitifitas secara ekologi tersebut kemudian juga ditentukan oleh beberapa kriteria sebagaimana yang dimodifikasi oleh PKSPL-IPB (200 IE untuk masing-masing wilayah ekosistem mangrove (EMU dan EMS) secara umum memiliki nilai yang hampir sama, dimana spesies yang ada berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh hanya terdiri dari satu spesies yaitu Rhizophora spp. Sementara status dari kedua wilayah ekosistem mangrove tersebut adalah kawasan konservasi nasional yang berada dibawah pengawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS). Tabel 5.9. Kriteria dan Skor dari Tiap Indeks Ekologi Mangrove Pulau Pramuka No
Kriteria Pengamatan
Metode Penilaian Indeks Ekologi
EMU
EMS
EMU
EMS
Survei
1 Spesies
1 Spesies
1
1
Transek Garis (10 x 10)
2.256 ind/ha
1.861 ind/ha
5
5
Survei dan Wawancara
Konservasi Nasional
Konservasi Nasional
5
5
Hasil Pengamatan
Skor
1
Jumlah Spesies
2
Kerapatan Mangrove (ind/ha)
3
Status Perlindungan
4
Habitat Kehidupan Liar
Survei
Ada
Tidak ada
5
1
5
Jenis Spesies
Survei
Rhizophora spp
Rhizophora spp
3
3
3
2
Indeks Ekologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Ekosistem mangrove yang berada di Pulau Pramuka merupakan mangrove buatan yang ditanam oleh pihak pengelola TNKS dan masyarakat setempat, bukan mangrove yang tumbuh secara alami.
Ekosistem tersebut merupakan daerah
konservasi yang dilindungi dari segala bentuk pemanfaatan langsung, sehingga keberadaan mangrove hanya berperan secara ekologi.
78
Kondisi mangrove yang ada di Pulau Pramuka merupakan mangrove buatan yang ditanam oleh pihak pengelola TNKS dan masyarakat setempat. Dengan status keberadaannya sebagai daerah konservasi mangrove.
Mangrove yang berada pada
wilayah EMU lebih bervariasi dalam segi ukuran, sehingga ada terdapat kehidupan liar di sekitarnya, dimana setidaknya 2 jenis yaitu penyu dan kepiting, kenyataan ini di dukung dengan fakta bahwa terdapat penangkaran penyu di pulau Pramuka yang pada waktu-waktu tertentu akan di lepas ke alam.
Sementara EMS yang masih di
dominansi anakan belum terlihat bentuk kehidupan liar di sekitarnya. Selengkapnya penetapan skor dalam indeks ekologi dapat dilihat pada Tabel 5.9. Berdasarkan pengamatan dan perhitungan diatas, maka indeks ekologi mangrove Pulau Pramuka untuk EMU dan EMS memiliki tingkat sensitifitas masingmasingnya dengan skor 3 dan skor 2. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekologi tingkat sensitifitas hutan mangrove pada saat penelitian adalah cukup dan kurang peka. Faktor tersebut dikarenakan rata-rata ekosistem mangrove disana masih belum dimanfaatkan secara optimal bagi organisme lain karena rata-rata masih baru. 5.2.1.3. Indeks Sosial Ekonomi Dalam indeks kepekaan lingkungan, penilaian sosial dan ekonomi didasarkan kepada dua nilai penting yaitu nilai sosial dan nilai ekonomi. Besarnya manfaat yang diperoleh dari suatu lingkungan terhadap penggunanya (manusia) dapat diidentifikasi sebagai nilai sosial.
Sementara nilai ekonomi suatu sumberdaya merupakan
perwujudan dari preferensi masyarakat terhadap keberadaan suatu ekosistem, baik secara langsung maupun tidak. Indeks Sosial Ekonomi selanjutnya menggambarkan tingkat sensitifitas aktual suatu wilayah dari sudut pandang sosial dan ekonomi. 5.2.1.3.1. Nilai Sosial Nilai sosial dari ekosistem mangrove diartikan sebagai fungsi ekosistem mangrove dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar Pulau Pramuka. Manfaat sosial terhadap ekosistem untuk wilayah pesisir menurut Grigalunas, TA and R Congar (1995) di adopsi dan dimodifikasi oleh PKSPL-IPB (2009) dapat diidentifikasi berdasarkan
peran
ekosistem
terhadap
kepentingan
masyarakat
dalam
hal
pengembangan area potensi wisata, daerah penangkapan ikan dan pemanfaatan lainnya. Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menyatakan bahwa
79
fungsi pariwisata akan diarahkan pada upaya menjadikan pariwisata sebagai sumber sangat potensial dalam penciptaan pendapatan masyarakat, penyerapan lapangan kerja dan penerimaan daerah serta wahana pelestarian sumber daya pariwisata potensial yang menjadi andalan perekonomian daerah (http://kepulauanseribu.net). Kebijakan tersebut menjelaskan bahwa pemerintah menetapkan salah satu potensi yang akan dikembangkan adalah sektor pariwisata (skor 4).
Pemerintah
berencana untuk mengembangkan wisata berwawasan lingkungan atau yang dikenal dengan ekowisata serta menjadikan daerah pulau Pramuka sebagai pusat penelitian dan pengembangan sumberdaya perairan salah satu contoh adalah penangkaran penyu (Kepulauan Seribu 2012).
Dengan sebaran wilayah dalam dua kelompok yang
berbeda, wilayah EMU lebih banyak dijadikan sebagai daerah penelitian karena memiliki ragam umur mangrove yang berbeda, mulai dari anakan sampai kepada pohon/indukan dibanding dengan EMS (Tabel 5.10). Tabel 5.10. Skor Penilaian Nilai Sosial Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka No
Kriteria Pengamatan
Sebagai Pengembangan 1 Area Potensial Wisata 2 Daerah Penangkapan Ikan Pemanfaatan Lainnya 3 (penelitian) Nilai Sosial Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Metode Penilaian Survei Lapangan Survei Lapangan Survei Lapangan
Hasil Pengamatan EMU Sangat Potensial Insentif sangat bermanfaat
Skor
Skor
2
EMS Sangat Potensial Intensif
5
bermanfaat
4
4
3
4 2
3
Nilai sosial dari sisi daerah penangkapan ikan, diidentifikasi belum cukup intensif untuk dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan tanpa dibedakan oleh jenis dan bentuk ukurannya. Berdasarkan pengamatan dilapangan, diketahui dari aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan pancing, jaring dan bubu bahwa belum ada yang melakukan penangkapan ikan di daerah mangrove tersebut (skor 2). Sementara itu untuk pemanfaatan lainnya, ekosistem mangrove Pulau Pramuka
dirasakan
bermanfaat untuk dijadikan sebagai objek penelitian, hal ini terlihat dari 25% wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka adalah untuk melakukan penelitian. Dengan kondisi tersebut, maka nilai sosial dari masing-masing wilayah ekosistem mangrove EMU dan EMS adalah sama yaitu skor 3, hal ini berarti bahwa ekosistem mangrove di Pulau Pramuka memiliki nilai sosial yang cukup sensitif.
80
5.2.1.3.2. Nilai Ekonomi Penentuan nilai ekonomi dalam suatu indeks kepekaan lingkungan dilihat berdasarkan besarnya manfaat yang dihasilkan dari sumberdaya yang dapat menyokong kehidupan masyarakat sekitar. Pendekatan nilai ekonomi total yang dilakukan dalam studi Pengkajian Indeks Kepekaan Lingkungan Berbasis Valuasi Ekonomi adalah dengan cara menilai secara ekonomi seluruh manfaat dari suatu ekosistem berdasarkan preferensi masyarakat sekitar.
Dalam menilai sumberdaya secara ekonomi, Ruitenbeek (1991) dalam
Fahrudin (1996) menggunakan pendekatan tiga tahap, yaitu : 1) Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi antar komponen sumberdaya. 2) Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi kedalam nilai uang, dalam hal ini rupiah. 3) Penilaian
alternatif
pilihan
dan
evaluasi
kebijakan
pemanfaatan
sumberdaya. Menurut PKSPL (2009) bahwa nilai ekonomi dari ekosistem mangrove didefenisikan sebagai nilai fungsi mangrove yang dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitar untuk kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari-harinya. Nilai ekonomi sumberdaya mangrove dihitung berdasarkan rata-rata nilai sosial yang dikalikan dengan nilai standar ekonomi sumberdaya yang dapat diperoleh dari integrasi dengan teori valuasi ekonomi. Penghitungan Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove secara rinci dapat dilihat sebagai berikut: a)
Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki fungsi salah satunya
adalah sebagai feeding ground dan nursery ground. Manfaat langsung dari ekosistem mangrove secara preferensi masyarakat belum dapat ditentukan. Hal ini dikarenakan bahwa ekosistem mangrove yang ada di Pulau Pramuka masih di dominasi oleh anakan yang bagi masyarakat sekitar belum bisa dimanfaatkan. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, bahwa nilai manfaat langsung ekosistem mangrove yang dapat diperoleh apabila mangrove tersebut telah dewasa yaitu pada pemanfaatan buah mangrove sebagai bahan obat diare.
81
Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka berada dalam tahap pengembangan. Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) dengan masyarakat Pulau Pramuka melakukan penanaman mangrove dengan harapan nantinya akan memberikan manfaat langsung terhadap masyarakat Pulau Pramuka apabila telah mencapai kondisi dewasa. Penanaman hutan mangrove diharapkan dapat meningkatkan fungsi ekologi mangrove sebagai habitat bagi organisme lainnya. Ekosistem mangrove memberikan manfaat langsung untuk sumberdaya perikanan, dalam hal ini adalah ikan non karang. Sehingga Dari hasil identifikasi dilapangan, manfaat langsung yang diberikan adalah nilai pengaruh produksi ikan non karang sebagai akibat eksistensi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka adalah sebesar Rp. 5.522.073.325 untuk kedua wilayah Mangrove EMU dan EMS (perhitungan EOP ikan non karang lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 2). b)
Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) Manfaat tidak langsung yang berhasil diidentifikasi di wilayah studi adalah manfaat
tidak langsung secara fisik. Manfaat tidak langsung secara fisik diestimasikan melalui pendekatan fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai. Hal ini didasarkan kepada kondisi wilayah pulau pramuka adalah pulau kecil, sehingga peran ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi sangat dirasa penting. Pendekatan manfaat penahan abrasi dilakukan dengan pembangunan pemecah gelombang (break water) apabila ekosistem hutan mangrove itu tidak ada. Nilai pemecah gelombang diasumsikan sama dengan hasil perhitungan yang telah dilakukan oleh Aprilwati (2001) dimana biaya pembangunan fasilitas pemecah gelombang (break water) yang berukuran 1m x 11m x 2,5m (panjang x lebar x tinggi) dengan daya tahan 10 tahun adalah sebesar Rp. 4.163.880/m3 (Tabel 5.11). Tabel 5.11. Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka Keterangan Luasan Areal Tinggi rata-rata pohon Volume Harga Breakwater Nilai Abrasi 10 tahun Nilai Abrasi 1 tahun Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
EMU
EMS
37.400
36.800
0,75 28.050 4.163.880 116.796.834.000
0,50 18.400 4.163.880 76.615.392.000
11.679.683.400
7.661.539.200
82
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, wilayah luasan hutan mangrove Pulau Pramuka adalah 3,74 Ha (28.050 EMS) untuk EMU dan 3,68 Ha (18.400 EMS) untuk EMS. Sehingga dapat diestimasikan manfaat tidak langsung sebesar Rp. 11.679.683.400 untuk EMU dan Rp 7.661.539.200 untuk EMS per tahun. c)
Manfaat Pilihan Manfaat pilihan hutan mangrove diperhitungkan dari manfaat biodiversity yang
diperoleh dari keberadaan hutan mangrove.
Ruitenbeek (1991) dalam Fahrudin
(1996) mengemukakan nilai manfaat pilihan berupa manfaat biodiversity sebesar US$ 1.500 per kEMS per tahun atau sebesar US$ 15 per ha per tahun dapat digunakan untuk hutan mangrove di Indonesia bila keberadaan hutan mangrove secara ekologis penting. Nilai tukar rupiah terhadap US$ saat ini (Agustus 2012) sebesar Rp. 9.238 per US$ dan luas hutan mangrove Pulau Pramuka EMU adalah 3,74 Ha dan EMS adalah 3,68 Ha (Tabel 5.12). Tabel 5.12. Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka Keterangan
EMU
Nilai tukar rupiah 2012 Nilai manfaat biodiversity
EMS
Rp. 9.238
Rp. 9.238
$ 15,00/Ha
$ 15,00/Ha
Luas lahan mangrove
3,74 Ha
3,68 Ha
Nilai Manfaat Pilihan
Rp. 518.251,80
Rp. 509.937,60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Dengan demikian, maka nilai manfaat biodiversity sebagai manfaat pilihan untuk hutan mangrove pulau Pramuka masing-masingnya untuk EMU adalah Rp. 518.251,80 dan EMS adalah Rp. 509.937,60. d)
Manfaat Keberadaan (Existence Value) Manfaat keberadaan (existence value) diestimasikan melalui pendekatan
Contingent Valuation Method (CVM) yang diperoleh melalui WTP dari responden. Responden
kemudian
dikelompokan
berdasarkan
tingkat
pendidikan,
mata
pencaharian, dan lokasi tempat tinggal dengan jumlah responden sebanyak 98 orang. Metode ini diperjelas dengan mengalikan rat-rata WTP yang diberikan oleh responden terpilih dengan jumlah rumah tangga Pulau Pramuka (penduduk).
83
Tingkat pendidikan dan pengetahuan dari responden sedikit banyak berpengaruh terhadap penilaian fungsi ekologis untuk menjaga kelestarian dari sumberdaya hutan mangrove. Berdasarkan hasil wawancara dengan kuesioner, diperoleh nilai terendah WTP yang diberikan oleh responden sebesar Rp. 5.000 dan nilai tertinggi sebesar Rp. 35.000. Beragamnya nilai WTP yang diperoleh disebabkan karena sifat kuesioner yang terbuka. Responden bebas menentukan besaran nilai tanpa dibatasi rentang nilai tertentu. Secara lengkap perhitungan WTP dapat dilihat pada Lampiran 3. Fungsi WTP didapatkan dengan meregresikan nilai WTP per-individu, tingkat pendidikan, usia, dan pendapatan responden. Berdasarkan analisis regresi yang dilakukan di peroleh fungsi sebagai berikut : Ln WTP = 9,9512 + 0,0544 Ln E – 0,2535 Ln A + 0,0159 Ln I Adjusted R-Sq = -0,0129 Keterangan : WTP = Keinginan untuk membayar E = Edukasi / Pendidikan A = Age / Umur I = Income / Pendapatan Nilai eksistensi ekosistem mangrove Pulau Pramuka diperoleh dari nilai rupiah dari persepsi sejumlah responden. Dari beberapa penilaian responden setelah dirataratakan dengan menggunakan persamaan yang diperoleh dari persamaan regresi diperoleh nilai rata-rata WTP individu adalah sebesar Rp. 11.577,59. Dengan memperhitungkan jumlah populasi yang mendiami Pulau Pramuka sebanyak 5.849 jiwa, maka hasil tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai total WTP sebesar Rp. 67.717.322, 28 per tahun (perhitungan dapat di lihat pada Lampiran 3). e)
Nilai Total Ekonomi. Wilayah hutan mangrove Pulau Pramuka yang terbagi menjadi 2 wilayah besar
yaitu EMU dan EMS dengan luas 7,42 Ha memiliki manfaat yang sangat beragam, mulai dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Dimana secara garis besar nilai total ekonomi dari pemanfaatan hutan mangrove Pulau Pramuka dapat dilihat pada Tabel 5.13. Rata-rata nilai ekonomi sumberdaya ekosistem mangrove di dua wilayah yang terpisah hampir memiliki nilai
84
yang hampir sama. Perbedaan dari keduanya adalah luasan dan ragam ukuran dari pohon mangrove yang teridentifikasi. Tabel 5.13. Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Pulau Pramuka Berdasarkan Masing- Masing Manfaat No
Jenis Manfaat
EMU (Rp)
1
Manfaat Langsung 5.522.073.325 Manfaat Tidak 2 11.679.683.400 Langsung 3 Manfaat Pilihan 518.252 Manfaat 4 67.717.322 Keberadaan Nilai Ekonomi Total 17.269.992.299 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Persen (%)
Persen (%)
Skor
EMS (Rp)
Skor
31,97
3
5.522.073.325
41,67
3
67,63
5
7.661.539.200
57,81
4
0,00
1
509.938
0,00
1
0,39
1
67.717.322
0,51
1
100,00
2
13.251.839.785
100,00
2
Perhitungan nilai ekonomi untuk ekosistem mangrove dilakukan menggunakan perhitungan valuasi ekonomi yang dikonversi kedalam suatu persamaan. Sementara, rincian penentuan skor tingkat kepekaan lingkungan daerah kajian mangrove berdasarkan manfaat yang diperoleh dapat dilihat pada Lampiran 4. f)
Indeks Sosial Ekonomi Berdasarkan nilai sosial dan nilai ekonomi yang diperoleh diatas, maka indeks
sosial ekonomi dari ekosistem mangrove yang diperoleh masing-masingnya adalah skor 3 baik untuk EMU maupun EMS (Lampiran 4). Skor tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kepekaan ekosistem mangrove dari sisi sosial ekonomi termasuk kedalam kategori cukup peka. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Pulau Pramuka memiliki NS yang lebih tinggi dari NE, dimana secara ekonomi mangrove di Pulau Pramuka masih tergolong belum optimal karena keberadaannya masih tergolong baru dan rata-rata di dominasi oleh anakan. 5.2.1.4. Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove Dari data yang diperoleh, diperoleh nilai IKL dari pengkalian IK, IE dan IS untuk ekosistem Mangrove masing-masingnya adalah skor 45 untuk EMU dan skor 30 untuk EMS (Lampiran 4). Hasil tersebut diatas mengindikasikan bahwa di lokasi penelitian yaitu Pulau Pramuka, tingkat sensitifitas ekosistem mangrove berdasarkan
85
klasifikasi Indeks Kepekaan Lingkungan berada pada tingkat peka, dimana masingmasing wilayah dapat dipetakan sebagaimana dijelaskan pada Gambar 5.10.
EMU
45 (peka)
30 EMS
Gambar 5.10.
5.2.2.
(peka)
Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (EMU=Ekosistem Mangrove Utara; EMS=Ekosistem Mangrove Selatan).
Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem Terumbu Karang di pulau Pramuka yang di identifikasi dalam studi
ini adalah lokasi terumbu karang (karang hidup) yang masih bagus dan bukan merupakan karang gosong yang secara umum hampir mengitari pulau Pramuka. Gugusan karang yang dimaksud didasarkan kepada survey lapangan dengan metoda manta tow.
Wilayah ekosistem terumbu karang yang diamati selanjutnya dibagi
menjadi dua wilayah yaitu KHU dan KHS. Dimana masing-masing wilayah memiliki luas 2,72 Ha untuk KHU dan 0,80 Ha untuk KHS.
Penetapan lokasi tersebut
berdasarkan hasil tracking dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk selanjutnya di delineasi (Gambar 5.11).
86
KHU
KHS
Gambar 5.11.
Ekosistem Terumbu Karang (KHU dan KHS) di Pulau Pramuka (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan)
Penghitungan terhadap tiga parameter penentu IKL ekosistem terumbu karang sebagaimana dipetakan diatas akan ditentukan berdasarkan perhitungan masingmasing paramater yang terpengaruh diantaranya adalah Indeks Kerentanan (IK), Indeks Ekologi (IE) serta Indeks Sosial Ekonomi (IS) yang terdiri dari Nilai Sosial (NS) dan Nilai Ekonomi (NE). Perhitungannya adalah sebagai berikut: 5.2.2.1. Indeks Kerentanan Ekosistem terumbu karang ditemukan hampir pada seluruh perairan Pulau Pramuka. Terumbu karang terletak di bawah permukaan perairan dan selalu tergenang selama surut terendah. Ekosistem ini tidak dapat hidup pada kondisi kering dan juga keruh. Terumbu karang memiliki persyaratan terhadap kecerahan dan intensitas cahaya. Berhubungan dengan pencemaran (paparan minyak), hewan karang dan ekosistemnya dapat terancam baik secara langsung maupun tidak. Hal ini dikarenakan ekosistem terumbu karang berada di bawah perairan laut. Akan tetapi sifat minyak yang begitu cenderung mengapung di permukaan perairan karena massa jenis yang rendah. Sehingga terumbu karang dapat terpengaruhi langsung jika terjadi pencemaran
87
seperti tumpahan minyak, seperti pada saat kekeruhan perairan yang tinggi, dimana minyak akan berkoagulasi dengan material tersuspensi dan akan turun ke dasar perairan dan akan menutupi hewan karang.
Selain itu, kandungan kimia yang
disebabkan oleh tumpahan minyak akan dibawa oleh biota yang berasosiasi dengan karang yang akan berakibat fatal. Dengan kondisi tersebut dan berdasarkan Sloan (1993) dan NOAA (2001) maka kerentanan ekosistem terumbu karang (KHU dan KHS) di Pulau Pramuka dikategorikan sebagai sangat peka dengan skor 5. Tingkat kerentanan yang ada mengindikasikan bahwa secara ekosistem, terumbu karang sangat sensitif dan rentan apabila terjadi kejadian tumpahan minyak di pulau Pramuka.
Gambar 5.12. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang (KHU) di Pulau Pramuka. 5.2.2.2. Indeks Ekologi Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif secara biologis, namun juga merupakan ekosistem yang paling sensitif terhadap tekanan (Birkeland 1997). Perubahan iklim telah memberi banyak bukti akan menjadi ancaman besar bagi pertumbuhan terumbu karang yang telah menjadi gantungan hidup untuk beragam kebutuhan seperti pangan, wisata, dan perlindungan pantai (Wilkinson 2008). Berdasarkan hasil survei lapangan yang dilakukan di wilayah studi menunjukkan bahwa kondisi substrat ekosistem terumbu karang Pulau Pramuka yaitu berupa pasir dan pecahan-pecahan karang mati. Selain itu, dari hasil pengamatan persentase tutupan karang secara umum lebih didominasi oleh karang mati dibandingkan dengan karang hidup.
88
Lokasi pengamatan persentase penutupan dilakukan dengan memilih lokasi sampling yang mewakili keseluruhan daerah terumbu karang yang terdapat di Pulau Pramuka, dengan pembagian dua wilayah terumbu karang yaitu KHU dan KHS. KHU merupakan terumbu karang yang berada di sekitar wilayah utara dan timur pulau Pramuka, dimana rata-rata penutupannya adalah persentase penutupan yang diperoleh titik pengamatan ke-1 diperoleh penutupan karang hidup 40% dan karang mati 60% (Utara), titik pengamatan ke-2 diperoleh persentase penutupan karang hidup 70% dan karang mati 30% (Timur). Wilayah KHS diperoleh dari pengamatan di sekitar selatan dan barat pulau pramuka. Pengamatan kondisi penutupan karang dilakukan pada kedalaman perairan antara 1,50-2,00 meter.
Gambar 5.13. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang (KHS) di Pulau Pramuka. Secara umum, kriteria penilaian mencakup antara lain persen penutupan, kerapatan karang, kelandaian karang, keberadaan spesies yang dilindungi. Tiap variabel dihitung dan skor untuk nilai sensitifitas ekologi, berkisar dari 1 hingga 5 (Sloan 1993). Rincian tiap kriteria untuk ekosistem terumbu karang berdasarkan data sekunder dapat dilihat pada Tabel 5.14. Tabel 5.14. Kriteria dari Tiap Variabel Ekologi Terumbu Karang Pulau Pramuka No
Kriteria Pengamatan
Hasil Pengamatan
Metode Penilaian Indeks Ekologi
KHU
Skor
KHS
Skor
1
Persen Penutupan Karang
Mantatau
55,00%
4
32,50%
3
2
Kerapatan Karang
Mantatau
Tinggi
4
Tinggi
4
Mantatau
Landai Tidak ada
4
Landai Tidak ada
4
3
Kelandaian Karang Keberadaan Spesies yang 4 Dilindungi Nilai Indeks Ekologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Mantatau
1 3
1 3
89
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, persentase tutupan karang di Pulau Pramuka sebesar 55 % untuk KHU dan 32,50% untuk KHS, hal ini diperkirakan karena pertumbuhan alga yang tinggi dan menyebabkan pertumbuhan karang terhambat. Sedangkan untuk kerapatan karang yang diamati di lapang menunjukkan kerapatan yang cukup tinggi, dengan kondisi kelandaian karang bersifat landai. Spesies karang yang ada di Pulau Pramuka merupakan spesies yang umum di temukan di perairan dan tidak terdapat spesies khusus yang dilindungi. Berdasarkan kriteria penentuan indeks ekologi diatas, maka ekosistem terumbu karang Pulau Pramuka masing-masingnya (KHU dan KHS) memiliki skor 3 dengan tingkat kepekaan yang cukup peka apabila terkena suatu bentuk beban pencemar minyak. 5.2.2.3. Indeks Sosial Ekonomi Dalam indeks kepekaan lingkungan, penilaian sosial dan ekonomi didasarkan kepada dua nilai penting yaitu nilai sosial dan nilai ekonomi. Besarnya manfaat yang diperoleh dari suatu lingkungan terhadap penggunanya (manusia) dapat diidentifikasi sebagai nilai sosial.
Sementara nilai ekonomi suatu sumberdaya merupakan
perwujudan dari preferensi masyarakat terhadap keberadaan suatu ekosistem, baik secara langsung maupun tidak. Indeks Sosial Ekonomi selanjutnya menggambarkan tingkat sensitifitas aktual suatu wilayah dari sudut pandang sosial dan ekonomi. 5.2.2.3.1. Nilai Sosial Nilai sosial dari ekosistem Terumbu Karang diartikan sebagai fungsi ekosistem terumbu karang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar Pulau Pramuka. Manfaat sosial ekosistem terumbu karang dapat diklasifikasikan atas pemanfaatan langsung yang dirasakan masyarakat seperti pengembangan area potensi wisata, daerah penangkapan dan pemanfaatan lainnya.
Penilaian preferensi masyarakat
terhadap nilai sosial diambil dari pola kebijakan pembangunan daerah dan hasil wawancara langsung di lapangan dengan masyarakat dan literatur yang ada. Manfaat sosial terhadap ekosistem untuk wilayah pesisir menurut Grigalunas, TA and R Congar (1995) di adopsi dan dimodifikasi oleh PKSPL-IPB (2009) dapat diidentifikasi berdasarkan peran ekosistem terhadap kepentingan masyarakat dalam hal pengembangan area potensi wisata, daerah penangkapan ikan dan pemanfaatan
90
lainnya. Penilaian nilai sosial terhadap ekosistem terumbu karang berdasarkan potensi lokasinya disajikan pada Tabel 5.15. Tabel 5.15. Skor Penilaian Nilai Sosial Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka No
Kriteria Pengamatan
1
Sebagai Pengembangan Area Potensial Wisata
2
Daerah Penangkapan Ikan
Pemanfaatan Lainnya (penelitian) Nilai Sosial Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 3
Metode Penilaian Survei Lapangan Survei Lapangan Survei Lapangan
Hasil Pengamatan KHU Sangat Potensial
Skor
KHS Sangat Potensial
Skor
Insentif
4
Intensif
4
sangat bermanfaat
5
sangat bermanfaat
5
5
5
5
5
Berdasarkan hasil survei, potensi keberadaan terumbu karang sebagai pengembangan area wisata di wilayah studi sangat potensial. Dilihat dari minat para pengunjung wisata yang kebanyakan memilih ekosistem terumbu karang sebagai objek wisata di Pulau Pramuka seperti snorkeling, diving, dan memancing di sekitar lokasi yang terdapat ekosistem terumbu karang terutama di wilayah utara dan timur pulau pramuka (KHU) (skor 5). Wilayah KHU lebih berpotensial untuk dapat dikembangkan untuk wisata, karena mempunyai kondisi karang yang lebih bagus dibanding dengan KHS. Dengan kondisi terumbu karang tersebut ditunjang dengan keberadaan karang gosong, memberikan nilai positif bagi kegiatan perikanan di sekitar pulau. Hamparan karang gosong yang sangat luas ini dimanfaatkan sebagai daerah fishing ground (penangkapan ikan) oleh nelayan Pulau Pramuka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sehingga keberadaan terumbu karang pulau Pramuka intensif digunakan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan Pulau Pramuka (skor 4). Sementara itu untuk pemanfaatan lainnya yaitu sebagai sarana pendidikan (penelitian) ekosistem terumbu karang Pulau Pramuka sangat bermanfaat dijadikan sebagai objek penelitian bagi para mahasiswa ataupun peneliti lainnya. Hal ini juga disampaikan oleh LAPI ITB (2001) bahwa lokasi dan sumberdaya terumbu karang kepulauan seribu sangat bermanfaat untuk suatu penelitian (skor 5).
Berdasarkan agregasi
penilaian indeks sosial yang dilakukan, terumbu karang Pulau Pramuka memiliki nilai tingkat kepekaan yang sangat peka untuk kedua wilayah KHU dan KHS dimana masing-masingnya memiliki skor 5.
91
5.2.2.3.2. Nilai Ekonomi a)
Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Nilai manfaat langsung terumbu karang (Direct Use Value) adalah nilai yang
diperoleh dari pemanfaatan komoditas yang diperoleh masyarakat dengan cara mengambil langsung dari alam.
Komoditas tersebut bermanfaat bagi masyarakat
karena memiliki nilai ekonomi, sehingga dapat dijual. Jenis pemanfaatan langsung yang ditemukan di kawasan terumbu karang perairan Pulau Pramuka adalah manfaat penangkapan ikan penghuni asli terumbu karang. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa nelayan yang menjadi responden, terdapat 8 jenis ikan karang yang dimanfaatkan.
Dengan menggunakan metode
pengaruh pada produksi (Effect on Production/EOP), maka total penerimaan dari ikan karang ini adalah sebesar Rp. 2.532.467.964 per tahun dalam kondisi optimal aktifitas penangkapan ikan selama 9 bulan (274 hari) dalam setahun. Nilai EOP ini berlaku untuk kedua wilayah KHU dan KHS (rincian dapat dilihat pada Lampiran 2). Komoditas manfaat langsung (ikan) dari kawasan terumbu karang di Pulau Pramuka biasanya dipasarkan kepada pedagang pengumpul ataupun langsung dipasarkan kepada warga yang ingin membeli. b)
Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) Nilai manfaat tidak langsung (Indirect Use Value) merupakan nilai dari manfaat
yang dirasakan oleh pengguna kawasan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka secara tidak langsung. Jenis pemanfaatan tidak langsung yang dapat diidentifikasi di kawasan terumbu karang perairan Pulau Pramuka terdiri dari : b.1) Manfaat Feeding Ground Salah satu manfaat tidak langsung dari ekosistem terumbu karang adalah sebagai tempat mencari makan (feeding ground) biota baik yang hidup di lingkungan ekosistem terumbu karang maupun yang hanya singgah untuk mencari makan. Manfaat feeding ground didekati dari nilai penjualan ikan yang tidak hidup di ekosistem terumbu karang, tetapi tertangkap di wilayah ekosistem terumbu karang. Perhitungan EOP untuk kawasan terumbu karang perairan Pulau Pramuka ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
92
Berdasarkan hasil perhitungan, terdapat 4 jenis ikan yang memenuhi klasifikasi diatas. Nilai manfaat feeding ground ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Pramuka berdasarkan kepada pengaruh produksi ikan non karang sebesar Rp. 5.522.073.325. Dimana kegiatan melaut optimal adalah selama 9 bulan dalam setahun. b.2) Manfaat Pariwisata Manfaat pariwisata adalah manfaat yang diperoleh dari kegiatan pariwisata yang dilakukan di kawasan terumbu karang perairan Pulau Pramuka. Kegiatan pariwisata yang dapat diidentifikasi di kawasan terumbu karang Pulau Pramuka terdiri dari diving dan snorkling. Metode biaya perjalanan (Travel Cost Method) adalah metode yang digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap kegiatan wisata snorkling dan diving di kawasan terumbu karang Pulau Pramuka.
Metode ini diaplikasikan untuk
menganalisa biaya perjalanan yang dikeluarkan individu untuk melakukan kegiatan wisata di kawasan Pulau Pramuka. Hasil analisa kemudian digunakan untuk membangun kurva permintaan dan surplus konsumen kegiatan wisata yang kemudian menjadi nilai manfaat pariwisata kawasan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka. Fungsi permintaan kegiatan kawasan ekosistem terumbu karang Pulau Pramuka diperoleh dengan meregresikan umur, pendidikan, pekerjaan, tujuan wisata, informasi dan lama tinggal (hari) serta penghasilan dari responden. Analisis regresi yang dilakukan menghasilkan persamaan sebagai berikut : TCM = 19,7361 + 0,00000183 TC - 0,04692860 AGE - 0,11524998 EDU 1,91218603 JOB + 1,20237628 AIM - 4,09866847 INFO - 0,96950323 DUR - 0,00000013 INCOME Dimana TC AGE EDU JOB
= Biaya Total = Umur = Pendidikan = Pekerjaan
AIM INFO DUR INCOME
= Tujuan Wisata = Informasi = Lama Waktu = Penghasilan
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa surplus konsumen kegiatan wisata sebesar Rp. 3.977.681 per-individu per-tahun. Berdasarkan data yang diperoleh jumlah kunjungan wisatawan tahun 2010 sebanyak 25.654 jiwa. Dengan demikian nilai surplus konsumen di kawasan wisata terumbu karang Pulau Pramuka adalah Rp 102.043.425.407 per tahun (Lampiran 5).
93
b.3) Manfaat Perlindungan Pantai Ekosistem terumbu karang memiliki fungsi perlindungan pantai dari gelombang dan bahaya abrasi. Jika terumbu karang tersebut rusak atau hilang, maka masyarakat akan menanggung sejumlah kerugian. Untuk itu, perlu dihitung manfaat perlindungan pantai yang dimiliki terumbu karang di perairan Pulau Pramuka. Manfaat perlindungan pantai yang dimiliki oleh terumbu karang dapat didekati dengan biaya rehabilitasi yang dilakukan apabila terumbu karang tersebut hilang atau rusak. Biaya yang dikeluarkan untuk rehabilitasi terumbu karang adalah sebesar US$ 2100 per ha (Heeger dan Sotto 2000). Jadi, untuk menggantikan fungsi perlindungan pantai yang dimiliki oleh ekosistem terumbu karang (KHU) di perairan Pulau Pramuka seluas 2,72 ha adalah Rp. 52.767.456 per tahun dan KHS dengan luas 0,8 Ha adalah
Rp.
15.519.840 (Tabel 5.16). Tabel 5.16. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka Keterangan Nilai tukar rupiah 2012 Nilai rehabilitasi TK Luasan Terumbu Karang Nilai Manfaat Perlindungan Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
KHU
KHS
Rp. 9.238
Rp. 9.238
$ 2.100/Ha
$ 2.100/Ha
2,72 Ha
0,80 Ha
Rp. 52.767.456
Rp. 15.519.840
b.4) Total Nilai Manfaat Tidak Langsung Terumbu Karang Setelah menghitung nilai masing-masing komponen manfaat tidak langsung ekosistem terumbu karang, didapatkan nilai total manfaat tidak langsung ekosistem terumbu karang (KHU dan KHS) di perairan Pulau Pramuka diperoleh nilai masingmasingnya adalah Rp. 107.618.266.188 untuk TK 1 dan Rp. 107.581.018.572 untuk KHS, rincian penjumlahan dari manfaat tidak langsung KHU dan KHS seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.17. Tabel 5.17. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka No
Jenis Manfaat Tidak Langsung
1
Feeding Ground
2
Pariwisata
3.
Perlindungan Pantai
Total Nilai Manfaat Tidak Langsung Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
KHU
KHS
5.522.073.325
5.522.073.325
102.043.425.407
102.043.425.407
52.767.456
15.519.840
Rp. 107.618.266.188
Rp. 107.581.018.572
94
c)
Manfaat Pilihan Manfaat pilihan ekosistem terumbu karang dalam penelitian ini menggunakan
nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) dari ekosistem tersebut seperti yang dijelaskan Ruiteenbeek (1999).
Nilai keanekaragaman hayati ekosistem terumbu
karang bernilai minimal US$ 15 per hektar per tahun. Dengan demikian, untuk ekosistem terumbu karang perairan Pulau Pramuka yang memiliki luas KHU adalah 2,72 Ha dan KHS seluas 0,80 Ha, dimana nilai manfaat pilihan yang diperoleh sebesar US$ 40,8 untuk KHU dan US$ 12 untuk KHS. Dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp. 9.238 (Agustus 2012), maka nilai manfaat pilihan kawasan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka adalah sebesar Rp. 376.910 (KHU) dan Rp. 110.856 (KHS) (Tabel 5.18). Tabel 5.18. Manfaat Pilihan Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka Keterangan
KHU
Nilai tukar rupiah 2012
KHS Rp. 9.238
Rp. 9.238
Nilai manfaat biodiversity
$ 15/Ha
$ 15/Ha
Luas Terumbu Karang
2,72 Ha
0,80 Ha
Rp. 376.910
Rp. 110.856
Nilai Manfaat Pilihan Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
d)
Manfaat Keberadaan (Existense Value) Manfaat keberadaan ekosistem terumbu karang di kawasan perairan Pulau
Pramuka dianalisis dengan pendekatan teknik Contingent Valuation Method (CVM). Teknik ini dapat menghasilkan nilai Willingness to Pay (WTP) atau keinginan untuk membayar terhadap pemanfaatan terumbu karang di kawasan Pulau Pramuka. Berdasarkan hasil wawancara dengan kuesioner, diperoleh nilai terendah WTP sebesar Rp. 5.000 dan nilai WTP tertinggi sebesar Rp. 35.000. Responden bebas menentukan besarnya nilai WTP terhadap terumbu karang sesuai dengan kehendak tanpa dibatasi rentan nilai tertentu. Hasil regresi menghasilkan fungsi sebagai berikut : Ln WTP = 9,5327 + 0,0565 Ln E - 0,2412 Ln A + 0,03917 Ln I Keterangan : WTP : Keinginan membayar E : Education / Pendidikan A : Age / Umur I : Income / Pendapatan
95
Hasil perhitungan menyatakan bahwa nilai rata-rata WTP individu adalah sebesar RP. 11.166,78. Dengan memperhitungkan jumlah populasi yang mendiami Pulau Pramuka sebanyak 5.849 jiwa, maka hasil tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai total WTP sebesar Rp. 65.314.517,66 per tahun (Lampiran 6). e)
Nilai Total Ekonomi Nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Pramuka
merupakan penjumlahan dari nilai-nilai manfaat yang telah diuraikan diatas, yaitu nilai manfaat langsung (Direct Use Value), nilai manfaat tidak langsung (Indirect Use Value), nilai manfaat pilihan, dan nilai manfaat keberadaan yang dapat diidentifikasi di kawasan tersebut. Tabel 5.19 menyajikan Nilai Ekonomi Total tersebut. Tabel 5.19. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka No
Jenis Manfaat
1
Manfaat Langsung
2
Manfaat Tidak Langsung
3
Manfaat Pilihan
4
Manfaat Keberadaan
KHU (Rp)
Persen (%)
Skor
KHS (Rp)
Persen (%)
Skor
2.532.467.964
2,30
1
2.532.467.964
2,30
1
107.618.266.188
97,64
5
107.581.018.572
97,64
5
376.910
0,00
1
110.856
0,00
1
65.314.518
0,06
1
65.314.517
0,06
1
Nilai Ekonomi Total 110.216.425.580 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
100
2
110.178.911.909
100,00
2
Perhitungan nilai ekonomi untuk terumbu karang dilakukan menggunakan perhitungan valuasi ekonomi yang dikonversi kedalam suatu persamaan dalam menentukan skor tingkat kepekaan lingkungan daerah kajian mangrove berdasarkan manfaat yang diperoleh. Masing-masing ekosistem memiliki skor 2. 5.2.2.3.3. Indeks Sosial Ekonomi Berdasarkan nilai sosial dan nilai ekonomi yang diperoleh, maka indeks sosial ekonomi dari ekosistem terumbu karang dapat diperoleh yaitu skor 3 untuk ekosistem terumbu karang (KHU) dan skor 3 untuk ekosistem terumbu karang KHS (Lampiran 7). Tingkat sensitif yang sama dari sisi sosial-ekonomi menjelaskan bahwa perbedaan cara pandang dan preferensi masyarakat antara ekosistem terumbu karang yang di bagian utara dan bagian selatan hampir tidak ada.
96
5.2.2.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Terumbu Karang Tingkat sensitifitas ekosistem Terumbu Karang berdasarkan klasifikasi Indeks Kepekaan Lingkungan wilayah KHU dan KHS berada pada tingkat peka. Masingmasing wilayah memiliki skor 45 untuk KHU dan skor 45 untuk KHS (Gambar 5.14).
IKL yang diperoleh oleh masing-masing ekosistem terumbu karang
menjelaskan bahwa kedua ekosistem (KHU dan KHS) tersebut akan berdampak apabila terjadi pencemaran dalam hal ini adalah tumpahan minyak. Dampak tersebut termasuk ke dalam tingkat peka, suatu kondisi yang harus menjadi prioritas.
KHU
45 (peka)
KHS
45 (peka)
Gambar 5.14.
5.2.3.
Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan)
Ekosistem Lamun Ekosistem Lamun di pulau Pramuka yang di identifikasi dalam studi ini adalah
dua wilayah umum yaitu Ekosistem Lamun di bagian Utara (ELU) dengan luas wilayah sekitar 0,85 serta Ekosistem Lamun di bagian selatan Pulau Pramuka (ELS) dengan luasan wilayah adalah 1,28 Ha (Gambar 5.15).
Kedua luasan ekosistem
tersebut diperoleh dengan melakukan sensus langsung ke lapangan.
97
ELU
ELS
Gambar 5.15.
Ekosistem Lamun (ELU dan ELS) di Pulau Pramuka (ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan)
5.2.3.1. Indeks Kerentanan (IK) Lamun (seagras) merupakan salah satu ekosistem penting di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memegang peranan penting dalam melindungi garis pantai serta daratan pulau kecil. Secara ekologi ekosistem lamun memiliki peran penting bagi ekosistem. Lamun merupakan sumber pakan bagi invertebrate, tempat tinggal bagi biota perairan dan sebagai tempat berlindung biota dari serangan predator. Ekosistem lamun yang ditemukan di wilayah studi secara umum hidup pada perairan dangkal yang berpasir. Dari hasil survei lapangan, dengan melihat kondisi ekosistem lamun yang berada di wilayah studi, sangat lah rentan jika perairan yang ditumbuhi lamun tersebut terkena dampak pencemaran berupa tumpahan minyak. Hal tersebut dilihat dari kondisi bahwa apabila terjadi gelombang pasang yang membawa arus akan langsung dapat mengenai Lamun. Sehingga apabila perairan tersebut terkena suatu bentuk pencemar (tumpahan minyak) maka arus yang membawa arus tersebut dapat mempengaruhi kondisi perairan tempat Lamun tersebut hidup. Dengan melihat kondisi tersebut dan berdasarkan ranking NOAA (2001),
98
maka kerentanan ekosistem Lamun (ELU dan ELS) yang berada di wilayah studi termasuk kategori sangat peka dengan skor 5.
Gambar 5.16. Kondisi Ekosistem Lamun Pulau Pramuka (ELS) 5.2.3.2. Indeks Ekologi (IE) Ekosistem lamun dilihat dari indeks ekologi adalah sensitif dengan melihat kondisi lingkungan habitatnya. Ekosistem lamun memiliki kerentanan yang peka apabila terkena suatu bentuk pencemaran. Berdasarkan hasil survei lapangan, kondisi Lamun di wilayah studi terdiri dari beberapa jenis yaitu Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Kerapatan Lamun yang dilakukan pada tiap stasiun pengamatan berkisar antara 497 ind/EMS untuk ELU sampai 376 ind/EMS untuk ELS. Kondisi Lamun yang ada di wilayah studi memiliki persentase penutupan sebesar 80,55%, dengan kondisi substrat dasar adalah pasir. Berdasarkan persentase penutupan yang diperoleh, maka kondisi lamun di wilayah studi tergolong baik. Hal ini sesuai dengan kriteria Lamun berdasarkan persentase penutupan yang mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004.
Selengkapnya penetapan skor
dalam indeks ekologi dapat dilihat pada Tabel 5.20. Tabel 5.20. Kriteria dan Skor Tiap Variabel Ekologi Lamun Pulau Pramuka Kriteria Pengamatan
Metode Penilaian
1
Persentase Penutupan (%)
Transek Kuadrat
2
Karakteristik Pantai
Survei
Nilai Indeks Ekologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
ELU
Skor
ELS
Skor
65,00%
5
80,55%
5
Terlindung dari Pasut
4
Terlindung dari Pasut
4
5
5
99
Berdasarkan Tabel 5.15, kondisi ekosistem Lamun di wilayah studi memiliki nilai indeks ekologi sangat tinggi (skor 5) untuk masing-masing wilayah baik ELS maupun ELU, sangat peka apabila terjadi tumpahan minyak dilihat dari sudut pandang ekologi. Penentuan skoring terhadap masing-masing kriteria pengamatan dilakukan dengan melihat kondisi ekosistem Lamun yang berada di wilayah studi. Berdasarkan hasil perhitungan persentase penutupan, kondisi Lamun di wilayah studi tergolong baik dengan persentase sebesar 80,55% dan 65%, dengan kondisi yang baik tersebut maka
apabila
perairan
tersebut
tercemar
akan
tumpahan
minyak,
sangat
mempengaruhi keberadaan ekosistem lamun. Jenis lamun yang teridentifikasi di wilayah studi ada dua jenis, yaitu Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Jenis lamun Thalassia hemprichii ini merupakan lamun yang sangat sensitif terhadap suatu bentuk pencemaran. Karena jenis lamun ini dapat berkembang dengan baik pada kondisi lingkungan perairan yang jernih, sehingga apabila kondisi perairan tidak jernih akibat pencemaran (tumpahan minyak) maka dapat mempengaruhi pertumuhannya. Begitupula jenis lamun Halophila ovalis, jenis lamun ini juga sangat peka terhadap apabila terjadi perubahan kondisi lingkungan yang diakibatkan oleh pencemaran. Dari kedua jenis lamun yang ditemukan di wilayah studi, jenis lamun Halophila ovalis lebih tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan dibanding jenis Thalassia hemprichii. Sehingga dalam penentuan skoring untuk kriteria berdasarkan jenis, maka lamun jenis Thalassia hemprichii lebih rentan dibanding Halophila ovalis. 5.2.3.3. Indeks Sosial-Ekonomi (IS) 5.2.3.3.1. Nilai Sosial Nilai sosial dari ekosistem Lamun diartikan sebagai fungsi ekosistem Lamun dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar Pulau Pramuka. Manfaat sosial ekosistem Lamun dapat diklasifikasikan atas pemanfaatan langsung yang dirasakan masyarakat seperti pengembangan area potensi wisata, daerah penangkapan dan pemanfaatan lainnya. Penilaian nilai sosial terhadap ekosistem Lamun berdasarkan potensi lokasinya memiliki nilai yang sama, baik ekosistem Lamun di bagian utara (ELU) maupun ekosistem Lamun yang berada di bagian selatan pulau Pramuka (ELS), lebih lengkap disajikan pada Tabel 5.21.
100
Tabel 5.21. Skor Penilaian Indeks Sosial Ekosistem Lamun Pulau Pramuka No
Kriteria Pengamatan
Hasil Pengamatan
Metode Penilaian
ELU
Skor
ELS
Skor
1
Sebagai Pengembangan Area Potensial Wisata
Survei Lapangan
Kurang Potensial
2
Kurang Potensial
2
2
Daerah Penangkapan Ikan
Survei Lapangan
Cukup Insentif
4
Cukup Intensif
4
3
Pemanfaatan Lainnya (penelitian)
Survei Lapangan
Bermanfaat
4
Bermanfaat
4
Nilai Sosial Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
3
3
Berdasarkan hasil survei, potensi keberadaan Lamun sebagai pengembangan area wisata di wilayah studi kurang potensial. Hal tersebut ditinjau dari minat para pengunjung wisata yang kebanyakan memilih ekosistem terumbu karang sebagai objek wisata di Pulau Pramuka seperti snorkeling, diving, dan memancing dibandingkan keberadaan ekosistem Lamun. Hasil survei lapangan menggambarkan bahwa kondisi Lamun yang terdapat di perairan Pulau Pramuka sangat sedikit dibandingkan keberadaan ekosistem terumbu karang. Sehingga belum banyak memberikan kontribusi bagi nelayan Pulau Pramuka khususnya dan nelayan Kepulauan Seribu pada umumnya. Hamparan Lamun yang terdapat di Pulau Pramuka masih sedikit dimanfaatkan sebagai daerah fishing ground (penangkapan ikan) oleh nelayan Pulau Pramuka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal tersebut dilihat dari kondisi Lamun yang berada di lokasi studi keberadaannya masih jarang-jarang dan keberadaannya kebanyakan tertutup oleh substrat pasir sehingga biota (ikan) masih sedikit yang memanfaatkan Lamun sebagai habitat. Sehingga keberadaan Lamun Pulau Pramuka kurang intensif digunakan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan Pulau Pramuka. Sementara itu untuk pemanfaatan lainnya yaitu sebagai sarana pendidikan (penelitian) ekosistem Lamun Pulau Pramuka sangat bermanfaat dijadikan sebagai objek penelitian bagi para mahasiswa ataupun peneliti lainnya. Dengan melihat kondisi Lamun yang berada di lokasi studi masih sangat minim pemanfaatnya, sehingga dapat lokasi penelitian bagi para pelajar (mahasiswa). Berdasarkan penilaian indeks sosial Lamun Pulau Pramuka memiliki nilai tingkat kepekaan yang cukup peka dengan skor 3.
101
5.2.3.3.2. Nilai Ekonomi a)
Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Nilai manfaat langsung Lamun (Direct Use Value) adalah nilai yang diperoleh
dari pemanfaatan komoditas yang diperoleh masyarakat dengan cara mengambil langsung dari alam. Jenis pemanfaatan langsung yang ditemukan pada ekosistem Lamun perairan Pulau Pramuka adalah manfaat penangkapan ikan dan teripang yang berada pada ekosistem Lamun dengan menggunakan bubu dan pancing. Untuk penangkapan ikan yang dilakukan nelayan Pulau Pramuka pada ekosistem Lamun umumnya menggunakan alat tangkap jaring dan bubu. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa nelayan yang menjadi responden, jenis ikan yang terdapat pada ekosistem Lamun adalah ikan baronang, kakatua, dan kerapu. Total penerimaan dari penangkapan ikan tersebut berdasarkan EOP untuk ikan non karang adalah sebesar Rp. 5.522.073.325 per tahun dalam kondisi optimal aktifitas penangkapan ikan selama 9 bulan (274 hari) dalam setahun. Secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2. b)
Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) Nilai manfaat tidak langsung (Indirect Use Value) merupakan nilai dari manfaat
yang dirasakan oleh pengguna kawasan Lamun di perairan Pulau Pramuka secara tidak langsung. Jenis pemanfaatan tidak langsung yang dapat diidentifikasi di kawasan Lamun perairan Pulau Pramuka adalah sebagai ekosistem yang melindungi ekosistem terumbu karang dalam hal perangkap sedimen dan juga merupakan sebagai feeding ground.
Sehingga nilai manfaat tidak langsung dari Lamun dapat diidentifikasi
dengan melihat nilai yang diperoleh oleh terumbu karang, dalam hal ini adalah EOP yang berasal dari ikan karang. Berdasarkan hasil survei dan wawancara terhadap responden, terdapat beberapa jenis ikan yang menggunakan lamun sebagai daerah feeding ground. Ikan tersebut merupakan ikan yang bukan penghuni tetap habitat Lamun, melainkan hanya memanfaatkan Lamun tersebut sebagai tempat mencari makan (feeding ground). Dari hasil penelitian, diketahui bahwa EOP yang berasal dari ikan karang adalah sebesar Rp. 2.532.467.964 per tahun (Lampiran 2).
102
c)
Nilai Manfaat Pilihan Manfaat pilihan ekosistem Lamun dalam penelitian ini menggunakan nilai
keanekaragaman hayati dari ekosistem tersebut seperti yang dijelaskan Ruiteenbeek (1999). Nilai keanekaragaman hayati ekosistem Lamun bernilai minimal US$ 15 per hektar per tahun. Dengan demikian, untuk ekosistem Lamun perairan Pulau Pramuka yang memiliki luas 1,28 Ha untuk ELS dan 0,85 Ha untuk ELU, menghasilkan nilai manfaat pilihan sebesar US$ 19,2 dan US$ 12,75. Dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp. 9.23 (Agustus 2012), maka nilai manfaat pilihan kawasan Lamun di perairan Pulau Pramuka adalah sebesar Rp. 177.370 untuk ELS dan Rp. 117.784 (Tabel 5.22). Tabel 5.22. Manfaat Pilihan Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka Keterangan
Lamun (ELU)
Nilai tukar rupiah 2012
Lamun (ELS)
Rp. 9.238
Rp. 9.238
Nilai manfaat biodiversity
$ 15/Ha
$ 15/Ha
Luas Terumbu Karang
0,85 Ha
1,28 Ha
Rp. 117.784
Rp. 177.370
Nilai Manfaat Pilihan Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
d)
Manfaat Keberadaan (Existense Value) Pendekatan yang digunakan dalam menghitung manfaat keberadaan ekosistem
Lamun Pulau Pramuka adalah dengan menggunakan Contingent Value Methode (CVM). Jumlah responden yang diambil adalah 98 orang yang dipilih berdasarkan pertimbangan tingkat pendidikan, usia dan pendapatan. Dari hasil kuesioner, penduduk pulau Pramuka hanya mengetahui bahwa fungsi ekosistem Lamun sebagai lokasi habitat ikan, dan ada beberapa jenis yang dimanfaatkan untuk menjadi bahan makanan. Namun dalam hal pelestariannya sangat didukung oleh kondisi sosial ekonomi penduduk setempat. Hal tersebut juga sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia, dan pendapatan masyarakat dalam memberikan penilaian terhadap kelestarian Lamun tersebut. Dari hasil kuesioner diperoleh nilai terendah WTP yang diberikan responden sebesar Rp. 5.000 dan nilai WTP tertinggi sebesar Rp. 35.000. Beragamnya nilai WTP yang diperoleh disebabkan karena pertanyaan tentang besarnya nilai WTP yang bersifat terbuka kepada responden.
103
Fungsi WTP didapatkan dengan meregresikan nilai WTP per individu, tingkat pendidikan, usia, dan pendapatan responden. Hasil regresi ini akan digunakan untuk mengestimasi nilai WTP rata-rata bagi keberadaan Lamun di Pulau Pramuka. Analisis regresi yang dilakukan menghasilkan fungsi sebagai berikut : Ln WTP = -15,4816 + 0,9684 Ln E + 0,2913 Ln A + 1,3407 Ln I Adjusted R-Sq = 0,0538 Keterangan : WTP : Keinginan membayar E : Education / Pendidikan A : Age / Umur I : Income / Pendapatan Hasil perhitungan menyatakan bahwa nilai rata-rata WTP individu adalah sebesar RP. 769,0839. Dengan memperhitungkan jumlah populasi yang mendiami Pulau Pramuka sebanyak
5.849 jiwa, maka hasil tersebut kemudian dikonversi
menjadi nilai total WTP sebesar Rp. 4.498.372 per tahun untuk masing-masing wilayah ekosistem Lamun ELS dan ELU (Lampiran 8). e)
Nilai Total Ekonomi Nilai ekonomi total ekosistem Lamun di perairan Pulau Pramuka merupakan
penjumlahan dari nilai-nilai manfaat yang telah diuraikan diatas, yaitu nilai manfaat langsung (Direct Use Value), nilai manfaat tidak langsung (Indirect Use Value), nilai manfaat pilihan, dan nilai manfaat keberadaan yang dapat diidentifikasi di kawasan tersebut. Kedua ekosistem memiliki nilai ekonomi total yang hampir sama, dimana ELU adalah Rp. 8.059.157.445 sedangankan ELS adalah Rp. 8.059.217.031 (Tabel 5.23). Tabel 5.23. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Lamun Pulau Pramuka ELU (Rp)
Persen (%)
Skor
ELS (Rp)
Persen (%)
No
Jenis Manfaat
Skor
1
Manfaat Langsung
5.522.073.325
68,52
5
5.522.073.325
68,52
5
2
Manfaat Tidak Langsung
2.532.467.964
31,42
3
2.532.467.964
31,42
3
3
Manfaat Pilihan
117.784
0,00
1
177.370
0,00
1
4
Manfaat Keberadaan
4.498.372
0,06
1
4.498.372
0,06
1
Nilai Ekonomi Total 8.059.157.445 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
100,00
2
8.059.217.031
100,00
2
104
5.2.3.3.3. Indeks Sosial Ekonomi Berdasarkan nilai sosial dan nilai ekonomi yang diperoleh, maka indeks sosial ekonomi dari ekosistem Lamun menunjukkan bahwa kedua ekosistem lamun baik yang di bagian utara (ELU) maupun selatan (ELS) memiliki skor 3 (Lampiran 9). Hal ini menggambarkan bahwa dengan luasan yang tidak begitu luas, tetapi peran dan fungsi lamun dari sisi sosial dan ekonomi cukup peka untuk diperhatikan.
5.2.3.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Lamun Hasil penghitungan nilai IKL mengindikasikan bahwa di lokasi penelitian yaitu Pulau Pramuka, tingkat sensitifitas ekosistem Lamun di bagian utara dan selatan berdasarkan klasifikasi Indeks Kepekaan Lingkungan berada pada tingkat sangat peka, dimana masing-masing wilayah memiliki skor 75 untuk ELU dan skor 75 untuk ELS (Gambar 5.17).
ELU
75 (sangat peka)
ELS
75 (sangat peka)
Gambar 5.17.
Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Lamun di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan)
105
5.2.4.
Ekosistem Karang Gosong (Daerah Penangkapan Ikan) Nilai Indeks Kepekaan Lingkungan diperoleh dengan melakukan integrasi nilai
ekonomi total kedalam penentuan indeks sosial ekonomi. Daerah penangkapan ikan di pulau Pramuka di identifikasi dalam studi ini adalah wilayah karang gosong dan sekitarnya yang dijadikan sebagai wilayah aktifitas penangkapan ikan berdasarkan wawancara yang dilakukan (Gambar 5.18).
EKG
Gambar 5.18.
Ekosistem Karang Gosong/Daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka (EKG=Ekosistem Karang Gosong)
Penghitungan terhadap tiga parameter penentu IKL daerah penangkapan ikan diperoleh dari perhitungan sebagai berikut:
5.2.4.1. Indeks Kerentanan Fishing ground (daerah penangkapan ikan) dalam hal ini diartikan sebagai aktivitas perikanan yang mencakup kegiatan perikanan tangkap. Selama penelitian, aktivitas penangkapan ikan yang teridentifikasi yaitu dengan menggunakan jenis alat tangkap jaring, pancing dan bubu.
Penangkapan ikan yang dilakukan ditunjang
dengan menggunakan kapal motor berkapasitas kecil yaitu < 10 GT.
106
Daerah penangkapan ikan dalam hal ini kegiatan penangkapan yang dilakukan berlokasi pada perairan terbuka, yaitu kondisi perairan yang digunakan nelayan sebagai tempat mereka beraktifitas sehari-hari.
Hampir dari keseluruhan nelayan
Pulau Pramuka melakukan kegiatan melaut di sekitar wilayah studi (Pulau Pramuka). Indeks kerentanan yang diidentifikasi untuk daerah penangkapan ikan dalam studi ini berdasarkan kriteria alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di lokasi studi meliputi jaring, bubu (perangkap), dan pancing. Berikut kriteria indeks kerentanan yang diidentifikasi untuk daerah penangkapan ikan di wilayah studi (Tabel 5.24.). Tabel 5.24. Kriteria dan Penentuan Skor Indeks Kerentanan Daerah Penangkapan Ikan Pulau Pramuka No
Kriteria Pengamatan
Metode Penilaian Indeks Kerentanan
1
Alat Tangkap
Survei
Hasil Pengamatan Jaring Bubu Pancing
Penilaian Indeks Kerentanan
Skor
Statis Pasif aktif
4 3 1
Indeks Kerentanan
2
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan Tabel 5.20, untuk daerah penangkapan ikan (fishing ground) di Pulau Pramuka nilai kerentanannya memiliki skor 2 (kurang peka), hal ini juga sama dengan yang ditetapkan oleh Sloan (1993). 5.2.4.2. Indeks Ekologi Daerah penangkapan ikan merupakan kegiatan utama bagi orang lokal khususnya di kawasan Pulau Pramuka. Penangkapan ikan merupakan mata pencaharian utama penduduk Pulau Pramuka yang didominasi oleh nelayan. Nelayan di Pulau Pramuka hampir semuanya adalah para nelayan tradisional dengan berbagai tipe, yaitu nelayan harian, nelayan mingguan, dan nelayan bulanan. Penghasilan yang diperolehpun tidak menentu tergantung musim, ketika sedang musim ikan nelayan bisa mendapat ikan dengan nilai diatas Rp. 100.000 per hari, tetapi ketika musim ikan berkurang untuk memperoleh Rp. 20.000 cukup sulit. Hal tersebut yang menyebabkan para nelayan tangkap sangat mengandalkan alam
107
(Harahap 2005). Aktivitas perikanan tangkap di Pulau Pramuka didominasi oleh nelayan dengan skala usaha dan modal kecil serta penggunaan armada berupa perahu tanpa motor yang hanya mampu beroperasi di sekitar perairan pantai saja. Selain kegiatan penangkapan ikan, aktivitas lain yang banyak dilakukan nelayan Pulau Pramuka adalah kegiatan budidaya. Mata pencaharian nelayan di Pulau Pramuka kebanyakan berupa dari penangkapan ikan dan kegiatan budidaya. Aktivitas penangkapan ikan dilakukan oleh komunitas nelayan dengan menggunakan alat tangkap dengan teknologi tradisional. Rata-rata hasil tangkapan nelayan Pulau Pramuka adalah ikan konsumsi yang merupakan jenis ikan karang. Penetapan indeks ekologi menurut PKSPL-IPB (2009) yang dimodifikasi dari Sloan (1993) menyebutkan bahwa kepekaan wilayah dapat dilihat dari jenis ikan yang dominansi di sekitar wilayah DPI. Tabel 5.25. Skor Penilaia Indeks Ekologi Daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka No
Kriteria Pengamatan
Metode Penilaian Indeks Ekologi
Hasil Pengamatan
1
Jenis Tangkapan
Survei/Wawancara
Ikan Konsumsi
Indeks Ekologi
Penilaian Indeks Ekologi Demersal Pelagis
Skor 3 4 4
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Secara umum, dalam penelitian ini kriteria indeks ekologi daerah penangkapan ikan di Pulau Pramuka diidentifikasi berdasarkan kriteria kelompok ikan hasil tangkapan. Tiap variabel dihitung dan skor untuk nilai sensitivitas ekologi, berkisar dari 1 hingga 5 (Sloan 1993). Berdasarkan hasil perhitungan indeks ekologi untuk daerah penangkapan ikan di Pulau Pramuka tergolong peka dengan skor 4 (Tabel 5.25). 5.2.4.3. Indeks Sosial Ekonomi Penentuan indeks kepekaan lingkungan tidak hanya di lihat dari segi kerentanan dan ekologi, tetapi faktor sosial dan ekonomi juga termasuk didalamnya. Dalam indeks kepekaan lingkungan penilaian sosial dan ekonomi didasarkan berdasarkan besarnya manfaat yang diperoleh dari suatu lingkungan terhadap penggunanya (manusia).
108
5.2.4.3.1. Nilai Sosial Penentuan indeks sosial untuk daerah penangkapan ikan di identifikasi berdasarkan beberapa kriteria antara lain Biaya ekstraksi (ikan tangkapan) atau biaya produksi (budidaya) dan pemilihan alat tangkap. Penentuan nilai sosial untuk daerah penangkapan ikan yang terdapat di wilayah studi dilakukan dengan melihat hasil perolehan (hasil jual) tangkapan yang diperoleh oleh nelayan dalam sekali melaut (trip). Dari hasil survei diperoleh hasil tangkapan yang diperoleh nelayan Pulau Pramuka tidak sebanding dengan nilai jual hasil tangkapan mereka.
Hal ini
disebabkan murahnya harga jual yang di tawarkan oleh pembeli dari hasil tangkapan para nelayan. Sedangkan untuk kegiatan budidaya, masih terkendala dengan aspek biaya yang sangat tinggi (mahal), kondisi tersebut yang membuat nelayan Pulau Pramuka masih memperoleh penghasilan yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukannya (melaut). Tabel 5.26. Skor Penentuan Nilai Sosial Daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka No
Parameter Penilaian
Metode Penilaian Indeks Sosial
Kriteria
Skor
1
Biaya ekstraksi (ikan tangkapan)
Survei/Wawancara
Murah
4
2
Biaya Produksi (budidaya)
Survei/Wawancara
Sangat Mahal
1
3
Alat tangkap
Survei
Cukup Selektif
Nilai Sosial
3 2
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Penggunaan alat tangkap yang digunakan masih dalam kriteria yang sesuai untuk peruntukan alat tangkap yang ramah lingkungan dan cukup selektif (Tabel 5.26). Alat tangkap yang digunakan yaitu berupa pancing, jaring, dan bubu (perangkap).
Berdasarkan data diatas maka diperoleh nilai sosial untuk daerah
penangkapan ikan dengan skor 2. 5.2.4.3.2. Nilai Total Ekonomi Nilai ekonomi untuk daerah penangkapan ikan ditentukan dengan menghitung volume tangkapan ikan yang diperoleh nelayan dalam sekali melaut dan membandingkan dengan hasil tangkapan dengan daerah-daerah yang berdekatan dengan lokasi studi (Perairan Utara Jawa).
109
Tabel 5.27. Volume Daerah Penangkapan Ikan Berdasarkan Lokasi Penagkapan Lokasi Penagkapan Ikan
Metode Penilaian Indeks Ekonomi
Volume Tangkapan (kg/tahun)
1
Kepulauan Seribu (P.Pramuka)
Survei/Wawancara
63.960
2
Banten
Data Sekunder
7.559
3
DKI Jakarta
Data Sekunder
23.874
4
Jawa Barat
Data Sekunder
21.894
5
Jawa Tengah
Data Sekunder
36.692
Data Sekunder
37.714
No
6 Jawa Timur Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan hasil survei lapangan dan wawancara yang dilakukan diperoleh informasi bahwa jenis hasil tangkapan nelayan antara lain ikan baronang, kakatua, kerapu, tongkol, kakap, lencam, dan lain-lain. Rata-rata volume tangkapan nelayan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu sebesar 63.960 kg/tahun dengan perolehan pendapatan sebesar Rp. 973.200.000 kg/tahun (Lampiran 10). Volume tangkapan nelayan Pulau Pramuka lebih mendominasi dibandingkan daerah penangkapan ikan lainnya yang berada pada perairan Utara Jawa yaitu sebesar 63.960 kg/tahun (Tabel 5.27). Hal ini menggambarkan kondisi perairan Pulau Pramuka yang melimpah akan sumberdaya perikanannya (hasil tangkapan), maka jika terjadi pencemaran (ceceran minyak) pada perairan Pulau Pramuka, maka dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya. Perbandingan volume daerah penangkapan ikan tersebut menjadi dasar dalam penetapan skoring terkait dengan tingkat kepekaan lingkungan terhadap pengaruh kejadian tumpahan minyak. Hal ini diidentifikasi berdasarkan perbandingan pada daerah penangkapan ikan yang berada di sekitar perairan Utara Jawa. Berdasarkan hasil perhitungan persamaan diatas maka nilai ekonomi untuk daerah penangkapan ikan Pulau Pramuka yaitu dengan skor 5, karena volume tangkapan lebih besar dari 51.168 kg/tahun. 5.2.4.3.3. Indeks Sosial Ekonomi Berdasarkan nilai sosial dan nilai ekonomi yang diperoleh, maka indeks sosial ekonomi dari daerah penangkapan ikan yang diperoleh adalah skor 3.
Skor ini
menjelaskan bahwa tingkat kepekaan ekosistem karang gosong atau daerah penangkapan ikan tergolong ke dalam cukup peka.
110
5.2.4.4. Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan Kegiatan Perikanan Dari hasil perhitungan diatas, dapat diperoleh nilai IKL untuk ekosistem Karang Gosong yang diidentifikasi sebagai daerah penangkapan ikan adalah skor 24. Hasil tersebut diatas mengindikasikan bahwa di lokasi penelitian yaitu Pulau Pramuka, tingkat sensitifitas daerah penangkapan ikan berdasarkan klasifikasi Indeks Kepekaan Lingkungan berada pada tingkat cukup peka (Gambar 5.19).
24 (cukup peka) EKG
Gambar 5.19.
5.3.
Peta Indeks Kepekaan Lingkungan Daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (EKG=Ekosistem Karang Gosong)
Pemetaan Indeks Kepekaan Lingkungan di Pulau Pramuka Hasil IKL yang diperoleh secara integrasi dapat disusun kedalam suatu pemetaan
yang disajikan pada Gambar 5.20. Tingkat kepekaan yang paling rendah terdapat pada ekosistem Karang Gosong yaitu skor 24.
Karang Gosong merupakan daerah yang
mengitari pulau Pramuka yang dijadikasn sebagai daerah penangkapan ikan. Tingkat kepekaan yang tertinggi terdapat di ekosistem Lamun dengan skor 75 yaitu sangat peka. Selanjutnya tingkat kepekaan berada pada skor 30 dan 45 yang menyebar merata pada ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang (Tabel 5.28).
111
ELU
45
75
peka
sangat peka EMU
KHU
45
peka
ELS EKG
75
sangat peka
24
cukup peka
EMS
30
peka KHS
45
peka
Gambar 5.20.
Peta Indeks Kepekaan Lingkungan daerah Penangkapan Ikan di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KHU=Karang Hidup Utara; KHS=Karang Hidup Selatan; ELU=Ekosistem Lamun Utara; ELS=Ekosistem Lamun Selatan; EMU=Ekosistem Mangrove Utara; EMS=Ekosistem Mangrove Selatan; EKG=Ekosistem Karang Gosong)
Tabel 5.28. Nilai IKL dan Tingkat Kepekaan di Pulau Pramuka.
1
Mangrove bagian Utara
EMU
45
Tingkat Kepekaan Peka
2
Mangrove bagian Selatan
EMS
30
Peka
3
Lamun bagian Utara
ELU
75
Sangat Peka
No
Ekosistem
Simbol
Nilai IKL
4
Lamun bagian Selatan
ELS
75
Sangat Peka
5
Karang Hidup bagian Utara
KHU
45
Peka
6
Karang Hidup bagian Selatan
KHS
45
Peka
EKG
24
Cukup Peka
Karang Gosong Pulau Pramuka (Daerah Penangkapan Ikan) Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 7
112 5.4.
Perbandingan Antara IKL Dengan atau Tanpa Integrasi Valuasi Ekonomi Sebagaimana disinggung pada Bab terdahulu bahwa Indeks Kepekaan Lingkungan
(IKL) merupakan pendekatan secara sistematis yang mengkompilasi informasi mengenai kepekaan pantai, sumberdaya biologi dan sumberdaya yang dimanfaatkan manusia (NOAA 2001). Perbandingan antara IKL yang menerapkan valuasi ekonomi lebih ke arah menambahkan, memperkuat dan menjadikan nilai ekonomi dari sumberdaya sebagai sebuah pertimbangan dalam penentuan kesensitifitasan suatu wilayah. Sebagai contoh, bahwa ketika IKL wilayah pesisir berdasarkan NOAA (2001) untuk ekosistem mangrove adalah sangat peka (klasifikasi 10D), disisi lain berdasarkan parameter pilihan oleh Sloan adalah cukup peka, sedangkan dengan integrasi valuasi ekonomi yang dihasilkan pada penelitian ini dengan menggunakan metoda modifikasi PKSPL-IPB 2009 hasilnya adalah peka.
Sehingga penetapan
tingkat sensitifitas berdasarkan preferensi masyarakat terhadap sumberdaya alam tersebut dapat ditentukan dengan merubahnya ke dalam bentuk valuasi ekonomi. Perbandingan antara IKL yang di integrasikan dengan nilai ekonomi sumberdaya secara sederhana dapat dilihat dari pengaruh preferensi masyarakat sekitar, perbedaan nilai, serta keterwakilan terhadap kondisi aktual suatu wilayah dari sisi sosial-ekonomi (Tabel 5.29). Tabel 5.29. Perbandingan Antara IKL Terintegrasi Valuasi Ekonomi dengan IKL Tanpa Integrasi Valuasi Ekonomi IKL dengan Integrasi Valuasi Ekonomi Indeks Kepekaan Lingkungan
IKL Tanpa Integrasi Valuasi Ekonomi
Dipengaruhi oleh preferensi masyarakat sekitar.
Tidak dipengaruhi oleh preferensi masyarakat.
Kecenderungan tidak memiliki nilai yang tetap untuk waktu dan tempat berbeda
Memiliki nilai yang sama dan tetap dengan metode benefit transfer
Penerapan nilai ekonomi menggambarkan kondisi aktual
Penerapan nilai ekonomi belum menggambarkan kondisi aktual
Dapat dijadikan dasar perhitungan kompensasi apabila terjadi tumpahan minyak karena data yang diperoleh adalah insitu
Tidak dapat dijadikan dasar perhitungan kompensasi apabila terjadi tumpahan minyak karena bukan data insitu
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Penentuan nilai IKL yang terintegrasi dengan valuasi ekonomi merupakan modifikasi PKSPL-IPB (2009) berdasarkan NOAA (2001) dan Sloan (1993) dapat menggambarkan kondisi indeks sosial ekonomi secara aktual di wilayah studi. Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Wilayah ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Pramuka berdasarkan karakteristik ekosistem dengan luasan masing-masingnya adalah (1) Ekosistem Mangrove yaitu EMU (3,74 Ha) dan EMS (3,68 Ha); (2) Ekosistem Terumbu Karang yaitu KHU (2,72 Ha) dan KHS (0,80 Ha); (3) Ekosistem Lamun yaitu ELU (1,28 Ha) dan ELS (0,85 Ha), sementara wilayah karang gosong (EKG) yang dijadikan sebagai daerah aktifitas penangkapan ikan di sekitar pulau pramuka memiliki luas 125,36 Ha. 2. Nilai IKL masing-masingnya adalah EMU (skor 45/peka); EMS (skor 30/peka); KHU (skor 45/peka); KHS (skor 45/peka); ELU (skor 75/sangat peka); ELS (skor 75/sangat peka); dan EKG (skor 24/cukup peka). 3. Nilai ekonomi total dari ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Pramuka adalah: (1) Ekosistem Mangrove untuk EMU = Rp.11.747.918.974 dan EMS = Rp. 7.729.766.460; (2) Ekosistem Terumbu Karang untuk KHU = Rp. 110.216.425.580 dan KHS = Rp. 110.178.911.910; (3) Ekosistem Lamun untuk ELU = Rp. 8.059.157.445 dan ELS = Rp. 8.059.217.031, sedangkan Ekosistem Karang Gosong (EKG) yang merupakan daerah penangkapan ikan diperoleh nilai ekonomi total yaitu Rp. 973.200.000. 6.2. Saran Beberapa saran dari penelitian ini adalah: 1. Disarankan pengelolaan Ekosistem Lamun, Terumbu Karang, dan Mangrove dapat dilakukan dengan baik melalui monitoring, berdasarkan hasil penelitian ekosistem tersebut termasuk peka terhadap dampak aktivitas terutama apabila terjadi tumpahan minyak.
114
2. Perlu dilakukan pengkajian lanjutan yang terkait dengan interaksi antar ekosistem, antar pulau disekitarnya dan analisis dinamik sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan ganti rugi apabila terjadi bencana lingkungan.
115
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2005. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Paper disampaikan pada Sosialisasi Pedoman Investasi Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Mataram, 28 Juli 2005. Bogor. Adrianto. L, 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL), IPB. Bogor. Adrianto et al. 2007. Konsep Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Modul disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Teknik dan Metode Pengumpulan Data Valuasi Ekonomi. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut BAKOSURTANAL. Bogor. Aprilwati, S. 2001. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Kawasan Batu Ampar Kabupaten Pontianak [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Barbier, E.B. 1993. Sustainable Use of Wetlands-Valuing Tropical Wetland Benefits. The Geographical Journal 159. Barnes, D.J and B. Lazar. 1993. Metabolic Performance of A Shallow Reef Patch Near Eliat in The Red Sea. J Exp Mar Biol and Ecol 174; 1-13. New York. Barton, D. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR-report 14/94. Univeritetet I Bergen Senter For Miljo – OG. Ressursstudier. Norway. Bengen, D.G. 2001. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bengen, D.G. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-pulau Kecil. Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik Jakarta Utara. 2011. Kepulauan Seribu Dalam Angka 2011. Jakarta Utara, DKI Jakarta. Birkeland, C. (ed). 1997. Life and Death of Coral Reefs. Chapman and Hall. New York.
116
Cesar, H.S.J., M.C. Ohman, P. Espeut and M. Honkanen. 2000. An Economic Valuation of Portland Bight, Jamaica: an Integrated Terrestial and Marine Protected Area. Working Paper 00/03. Institute for Environmental Studies, Free University, Amsterdam. English S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources, 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Australia. FAO. 2000. Application of Contingent Valuation Method in Developing Countries. FAO Economic and Social Development Papers No. 146/200. FAO. Rome. Fahrudin, A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fauzi, A. 1999. Teknik Valuasi Ekosistem Mangrove, Bahan Pelatihan “Management for Mangrove Forest Rehabilitation”. Bogor. Harahap. 2005. Pembangunan Perekonomian Kepulauan Seribu Berbasis Sumberdaya Kelautan [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heeger, T and F.B.Sotto. 2000. A Coral Farm http://www.gtz.de/toeb/scripts-e/einzelvolhaben.
in
The
Philippine.
Hutomo, M dan M.H. Azkab. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Osean. XII (1): 13-23. Kawaroe, M. D.G. Bengen, M. Eidman dan M. Boer. 2001. Kontribusi Ekosistem Mangrove Terhadap Struktur Komunitas Ikan di Pantai Utara Kabupaten Subang. Jawa Barat. Pesisir dan Lautan 3: 12-26. Kawaroe et al. 2004. Pemetaan Bioekologi Padang Lamun (seagrass) di Kepulauan Seribu. Jakarta Utara. Ringkasan Hasil Penelitian Pengkajian Kebaharian Tahun 2004. Kusmana, C. 1995. Habitat Hutan Mangrove dan Biota. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusmana, C. 1997. Metode Survai Vegetasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kusumastanto, T., 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
117
Kusumastanto, T., 2009. Bahan Ajar Mata Kuliah Kebijakan Pembangunan Kelautan pada program Pasca Sarjana IPB, Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan. IPB, Bogor. LAPI-ITB. 2001. Pengelolaan Laut Lestari; Pendataan dan Pemantauan Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk Jakarta. Laporan Akhir Kerjasama Bapedalda DKI Jakarta dengan Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) Institut Teknologi Bandung (ITB). 93 hal. Jakarta. Merryanto, Y. 2000. Struktur Komunitas Ikan dan Asosiasinya dengan Padang Lamun di Perairan Teluk Awur Jepara [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Metrianda, S.U. 2000. Pemetaan Indeks Kepekaan Lingkungan untuk Konservasi Daerah Wisata (Daerah Studi: Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu) [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Program Studi Lingkungan, Universitas Indonesia. Jakarta. Moberg, F. and C. Folke. 1999. Ecological Goods and Services of Coral Reef Ecosystems. Ecological Economic, Vol. 29, pp. 215-233. Muarif. 2002. Analisis Indeks Kepekaan Lingkungan Pesisir Selat Malaka di Wilayah Sumatera Utara Terhadap Tumpahan Minyak (Oil Spill) [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Murachman, et al. 2000. Potensi dan Keragaman Ekosistem dan Sumberdaya Kelautan. Institu Pertanian Malang. Jawa Timur. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Jakarta. NOAA. 2001. Introduction to ESI Maps. Office of Response and Restoration, National Ocean service, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Washington. Noor, A. 2003. Analisis Kebijakan Pengembangan Marikultur di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari Marine biologi: an ecological approach]. Eidman HM, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. xiii + 459 hlm. Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2005. Buku Saku Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. [BAPEKAB] Badan Perencanaan Kabupaten Kepulauan Seribu. 90 hlm. Kepulauan Seribu. Jakarta. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 2008. Laporan Tahunan. Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 40 hlm. Jakarta.
118
PKSPL-IPB. 2007. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB. Bogor. PKSPL-IPB. 2009. Sensitivity Area Mapping Project for Offshore and Onshore Operations. PKSPL-IPB. Bogor. Prisantoso dan B. Iskandar. 2011. Assessment and management of the Dermersal Fisheries of the Java Sea, Indonesia, Master of Martitime Studies thesis, Faculty of Law, University of Wollongong, http://ro.uow.edu.au/theses/3230. Rahmania, R. 2005. Analisis Kepekaan Lingkungan Di Teluk Luar Kendari Dan Sekitarnya Melalui Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 106 hal. Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2005. Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut. cet. Ke-2. Jakarta: Djambatan. Rodgers, S C. et al. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic, National Park Service, Virgin Islands, St. John. USVI Ruitenbeek, H.J. 1999. Mangrove Management An Economic Analysis of Management Option With a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI. Sevilla, C.G et al. 1993. Analisis Biaya Manfaat: Pendekatan Ekonomi Politik, terjemahan Nizam A. Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta. Situmorang, B. 2004. Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kepulauan Seribu [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sloan N.A. 1993. Berbagai Dampak Minyak Terhadap Sumberdaya Laut. Suatu Tinjauan Pustaka Dari Seluruh Dunia yang Relevan Bagi Indonesia. EMDIKLH. Jakarta. Suhendrata, T. 2001. Kajian Ekologi-Ekonomi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supeni, E.A. 2010. Analisis Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. TERANGI. 2007. Buku Panduan Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu 2003-2007. Jakarta: TERANGI. 88 hal.
119
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M.K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas. The Ecology of Indonesian Series. Vol.VIII. Periplus Edition (Hk) ltd. Singapore. UU. No. 23. Tahun. 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Wimbaningrum, R. 2002. Pola zonasi lamun (Seagrass) dan invertebrata makrobentik yang berkoeksistensi di rataan terumbu pantai bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Dasar, Vol.3 No.1, 2002:1-7. http://kepulauanseribu.net. 2012. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/8084/Peta-Prakiraan-Daerah-PenangkapanIkan-Tanggal-06-07-Agustus-2012.
121
Lampiran 1. Data Lokasi dan Pengambilan Sampel Penelitian A. PENGAMBILAN SAMPEL MANGROVE Kerapatan (ind/ha) 5x5 10x10 Ekosistem Mangrove (EMU) 300 250 Renggang 1000 250 200 500 360 Renggang 1360 300 200 360 200 Renggang 970 200 210 2025 900 Sedang 4175 750 500 1360 375 Sedang 2440 400 300 800 739 Rapat 3589 1120 930 Persen Penutupan
No. GPS
Jenis Mangrove
106,61599
044
Rhizophora
05,74316
106,61642
046
Rhizophora
Timur
05,74350
106,61652
047
Rhizophora
Pasir
Timur
05,74396
106,61655
048
Rhizophora
Pasir
Timur
05,74417
106,61649
049
Rhizophora
Pasir
Timur
05,74450
106,61638
050
Rhizophora
Tipe Substrat
Lokasi
Pasir
Titik Koordinat South
East
Timur
05,74249
Pasir
Timur
Pasir
121
122
Lampiran 1. Lanjutan (1) Kerapatan (ind/ha) 5x5 10x10 Ekosistem Mangrove (EMS)
No. GPS
Jenis Mangrove
106,61612
051
Rhizophora
05,74560
106,61604
052
Rhizophora
Timur
05, 74592
106,61591
053
Rhizophora
Pasir
Barat
05,74978
106,61151
054
Rhizophora
458
Pasir
Barat
05,74939
106,61125
055
Rhizophora
288
Pasir
Selatan
05,74902
106,61121
056
Rhizophora
Persen Penutupan
Rapat
Sedang
Renggang
Renggang
Renggang
Renggang
2240 2310 1240 975 600 730 600 430 200 137 150 175 120 150 235 185 100 115 100 143 65 85 65 73
Tipe Substrat
Lokasi
6765
Pasir
2360
Titik Koordinat South
East
Timur
05,74528
Pasir
Timur
662
Pasir
630
122
123
Lampiran 1. Lanjutan (2) B. PENGAMBILAN SAMPEL TERUMBU KARANG
No
Parameter
KHU
KHS
Persen Penutupan (%)
Substrat
Lokasi
Kedalaman (m)
Utara
Pasir
Titik Koordinat
No GPS
South
East
1,5
05,74148
106,61410
057
Timur
2
05,73986
106,62094
058
Pasir
Selatan
2
05,75183
106,61604
059
Pasir
Barat
2
05,75047
106,60896
060
Karang Hidup
40
Pasir
Karang Mati
60
Karang Pecah
Karang Hidup
70
Karang Mati
30
Karang Hidup
30
Karang Mati
70
Karang Hidup
35
Karang Mati
65
Keterangan 1
Metode pengamatan karang yaitu Mantatau * Durasi waktu pengamatan 2 menit/lokasi * Kecepatan Kapal 1,50 knot
2
Lokasi Terumbu Karang merupakan daerah Fishing Ground * Bubu * Pancing * Tombak * Jaring
123
124
Lampiran 1. Lanjutan (3) C. PENGAMBILAN SAMPEL LAMUN Lamun Padat Fi
stasiun
Rfi
TOTAL
TH
CR
HO
TH
CR
HO
1
0,96
0,96
0,00
2
0,88
0,84
0,00
1,92
0,50
0,50
0,00
1,72
0,51
0,49
0,00
3
0,72
1,00
0,00
1,72
0,42
0,58
0,00
rata-rata
0,85
0,93
0,00
1,79
0,48
0,52
0,00
TH
CR
HO
Lamun sedang Fi
stasiun
Rfi
TOTAL
TH
CR
HO
1
0,84
0,80
0,28
1,92
0,44
0,42
0,15
2
0,76
0,84
0,24
1,84
0,41
0,46
0,13
3
0,88
0,68
0,24
1,80
0,49
0,38
0,13
rata-rata
0,83
0,77
0,25
1,85
0,45
0,42
0,14
TH
CR
HO
Lamun gundul Fi
stasiun
Rfi
TOTAL
TH
CR
HO
1
0,72
0,76
0,24
1,72
0,42
0,44
0,14
2
0,60
0,52
0,12
1,24
0,48
0,42
0,10
3
0,80
0,44
0,16
1,40
0,57
0,31
0,11
125
Lampiran 2. Perhitungan Effect On Production I.
Data Penangkapan Ikan Non Karang
No
Responden
Jenis Ikan
1
Abdula
Tongkol
2
Ahmad
Selar
Q
P
Alat Tangkap
305
15000
Jaring & Pancing Jaring & Pancing
Pendapatan 4.575.000
100
3000
Kembung
1505
20000
30.100.000
Tongkol
505
15000
7.575.000
3
Ali
Cumi
101
25000
4
Moh. Yani
Kembung
105
20000
2.100.000
60
10000
600.000
Ekor Kuning
Pancing
300.000
5
Sail
Cumi
31
25000
6
Salim
Kembung
102
20000
2.040.000
Tongkol
110
15000
1.650.000
Tongkol
152
15000
Kembung
52
20000
7
Nurdin
Pancing
2.525.000
Jaring & Pancing
775.000
2.280.000 1.040.000
8
Dahlawi
Cumi
31
25000
9
Wahid
Tongkol
105
15000
1.575.000
Kembung
110
20000
2.200.000
10
Jaya
Tongkol
102
15000
Ekor Kuning
103
10000
Pancing
Jaring & Pancing
775.000
1.530.000 1.030.000
11
Masahut
Tongkol
250
15000
Pancing
3.750.000
12
Herman
Tongkol
220
15000
Jaring & Pancing
3.300.000
Kembung
115
20000
2.300.000
13
Santo
Kembung
115
20000
2.300.000
14
Maman
Tongkol
102
15000
1.530.000
Baronang
32
23000
736.000
15
Kulsum
Ekor Kuning
600
10000
Jaring
6.000.000
16
Juki
Tongkol
340
23000
Jaring & Pancing
5.100.000
Selar
130
3000
390.000
Ekor Kuning
440
10000
4.400.000
17
Saidah
1020
12000
Kembung
Marlin
510
20000
Jaring & Pancing
10.200.000
12.240.000
Selar
510
3000
1.530.000
18
Jalal
Tongkol
110
15000
19
Sanawi
Tongkol
110
15000
Baronang
55
23000
1.265.000
Kakap
52
40000
2.080.000
20
Husen
Tongkol
Abdul Jalal
Jaring & Pancing
1.650.000
1500
15000
11
10000
Tongkol
110
15000
1.650.000
Kembung
105
23000
2.100.000 1.650.000
Ekor Kuning 21
1.650.000 Jaring & Pancing
22.500.000 110.000
22
Muslim
Tongkol
110
15000
23
Suratno
Tongkol
315
15000
24
Adil
Tongkol
110
15000
1.650.000
Ekor Kuning
200
10000
2.000.000
Pancing
4.725.000
126
Lampiran 2. Lanjutan (1) Kesimpulan No
Responden
Q
Abdula
305
15000
2
Ahmad
2110
3
Ali
101
4
Moh. Yani
165
16363,63636
5
Sail
31
25000
6
Salim
212
17405,66038
Pancing-Jaring
5.300.000
7
Nurdin
204
16274,5098
Pancing-Jaring
8.820.000
8
Dahlawi
31
25000
9
Wahid
215
17558,13953
Pancing-Jaring
8.494.000
10
Jaya
205
12487,80488
Pancing-Jaring
2.560.000
11
Masahut
250
15000
Pancing
3.750.000
12
Herman
335
16716,41791
Pancing-Jaring
5.600.000
13
Santo
115
20000
14
Maman
134
16910,44776
15
Kulsum
600
10000
16
Juki
17
Saidah
18
Jalal
19 20 21
Abdul Jalal
22
Muslim
110
15000
Pancing
2.690.000
23
Suratno
315
15000
Pancing
4.725.000
24
Adil
310
11774,19355
Pancing-Jaring
4.915.000
1
P
Alat Tangkap
Pendapatan
Jaring & Pancing
4.575.000
17.998
Jaring & Pancing
37.975.000
25000
Pancing
2.525.000
Jaring
3.896.000
Pancing
Pancing
775.000
775.000
Jaring
5.236.000
Pancing
2.570.000
Jaring
6.000.000
910
10868,13187
Pancing-Jaring
9.890.000
2040
11750
Pancing-Jaring
23.970.000
110
15000
Pancing-Jaring
1.926.000
Sanawi
217
23018,43318
Pancing-Jaring
4.995.000
Husen
1511
14963,60026
Pancing-Jaring
22.610.000
215
17441,86047
Pancing-Jaring
4.390.000
127
Lampiran 2. Lanjutan (2) II.
Perhitungan EOP untuk Ikan Non Karang
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square
0,962604867 0,92660813
Adjusted R Square Standard Error
0,91559935 172,3508196
Observations
24
ANOVA df
SS
MS
F
Significance F
Regression Residual
3 20
7.500.753 594.096
2.500.251 29.705
84,1699
1,62069E-11
Total
23
8.094.849
Intercept
Coefficients 619,7530917
Standard Error 325
t Stat 1,909160887
P-value 0,070694135
Lower 95% -57,39376406
Upper 95% 1296,899947
Lower 95.0% -57,39376406
Upper 95.0% 1296,899947
P FG INCOME
-0,024074593 -62,74508168 6,32322E-05
0 62 0
-2,636503807 -1,019709468 14,77045355
0,015823922 0,320043541 3,19705E-12
-0,043122061 -191,099236 5,43022E-05
-0,005027125 65,60907268 7,21622E-05
-0,043122061 -191,099236 5,43022E-05
-0,005027125 65,60907268 7,21622E-05
a= b= Q rataan=
850,7367731 -0,024074593 447,9583333
Nilai ekonomi ikan non karang individu Jumlah nelayan penangkap ikan non karang Nilai ekonomi ikan non karang
Rp. 4.167.602,51 1.325 Rp. 5.522.073.325
127
128
Lampiran 2. Lanjutan (3) Data Penangkapan Ikan Karang No
Responden Ramdan
Suhaemi Tahir Nur
Q Baronang
203
P 23.000
FG Bubu
Income 4.669.000
Kakatua
51
2.000
102.000
Kerapu
102
30.000
3.060.000
Baronang
102
23.000
Bubu
2.346.000
Bubu
4.715.000
Baronang
205
23.000
Kerapu
102
30.000
Baronang
205
30.000
3.060.000 Bubu
4.715.000
Kakatua
105
2.000
210.000
Kerapu
103
30.000
3.090.000
Abdula
Tongkol
305
15.000
Baronang
110
23.000
Mahmud
Ekor Kuning
230
10.000
Baronang
52
23.000
Baronang
82
23.000
Kakatua
71
2.000
Saiman
Pancing-Jaring
4.575.000 2.530.000
Jaring
2.300.000 1.196.000
Jaring
1.886.000 142.000
Bakar
Baronang
10
23.000
Jaring
Dulhair M
Baronang
93
23.000
Pancing-Jaring
2.139.000
Asad
Baronang
202
23.000
Bubu-Jaring
4.646.000
Moh. Yani
Baronang
52
23.000
Pancing-Jaring
1.196.000
Ekor Kuning
60
10.000
600.000
Kembung
105
20.000
2.100.000
Salim
Jalaludin
Nurdin
Ali
Jaring
230.000
Baronang
70
23.000
Kembung
102
20.000
2.040.000
Tongkol
110
15.000
1.650.000
Baronang
11
23.000
Ekor Kuning
11
10.000
110.000
Lencam
6
10.000
60.000
Tongkol
152
15.000
Ekor Kuning
550
10.000
Kembung
52
20.000
Baronang
82
23.000
Kakatua
51
2.000
Bubu
1.610.000
Pancing-Jaring
253.000
2.280.000 5.500.000 1.040.000
Pancing-Jaring
1.886.000 102.000
Duhalim
Baronang
7
23.000
Jaring
161.000
Wahid
Baronang
53
23.000
Jaring
1.219.000
Ekor Kuning
350
10.000
Jaya
3.500.000
Tongkol
105
15.000
1.575.000
Kembung
110
20.000
2.200.000
Tongkol
102
15.000
Ekor Kuning
103
10.000
Pancing
1.530.000 1.030.000
129
Lampiran 2. Lanjutan (4) No
Responden Santo
Q
P
Kakap
55
40.000
Kembung
115
20.000
FG Jaring
Income 2.200.000 2.300.000
Baronang
32
23.000
Samsul
Ekor Kuning
800
10.000
Pancing-Jaring
8.000.000
Maman
Kue
52
20.000
Pancing-Jaring
1.040.000
Tongkol
102
15.000
Kulsum
Ekor Kuning
600
10.000
Bubu
6.000.000
Juki
Tongkol
340
23.000
Bubu
5.100.000
Jalal Buhari Suriman Yusuf
736.000
1.530.000
Selar
130
3.000
390.000
Ekor Kuning
440
10.000
4.400.000
Baronang
12
23.000
Tongkol
110
15.000
Baronang
203
23.000
Kerapu
101
30.000
Kerapu
31
30.000
Jaring Jaring
Bubu
276.000 1.650.000
Bubu
4.669.000 3.030.000 930.000
Baronang
103
23.000
Kerapu
202
30.000
6.060.000
2.369.000
Kakatua
51
2.000
102.000
Maad
Baronang
6
23.000
Jaring
138.000
Nawi
Baronang
53
23.000
Jaring
1.219.000
Kakatua
31
2.000
Baronang
83
23.000
Pancing-Jaring
1.909.000
Pancing-Jaring
2.139.000
Muimin Mamat Sharulla Sanawi
Baronang
93
23.000
Kakatua
41
2.000
62.000
82.000
Baronang
105
23.000
Kakatua
51
2.000
Jaring
2.415.000
Tongkol
110
15.000
Baronang
55
23.000
1.265.000
Kakap
52
40.000
2.080.000
1500
15.000
102.000 Pancing-Jaring
Husen
Tongkol Ekor Kuning
11
10.000
Bahrun
Baronang
12
23.000
Lencam
8
10.000
Kue
32
20.000
Tongkol
110
15.000
1.650.000
Kembung
105
23.000
2.100.000
Baronang
11
23.000
Ekor Kuning
11
10.000
Abdul Jalal
Zaenudin
Jaring
1.650.000
22.500.000 110.000
Pancing
276.000 80.000
Pancing-Jaring
Bubu
640.000
253.000 110.000
130
Lampiran 2. Lanjutan (5) No
Responden
Q
Muslim Adil
Zamar
P
Kue
52
20.000
Tongkol
110
15.000
Baronang
55
23.000
Ekor Kuning
200
10.000
Tongkol
110
15.000
Baronang
205
23.000
Lencam
33
10.000
FG
Income
Bubu
1.040.000 1.650.000
Pancing-Jaring
1.650.000 Pancing-Jaring
P
Alat Tangkap
Responden
Q
1
Abdula
305
15000
Jaring & Pancing
4.575.000
2
Ahmad
2110
17.998
Jaring & Pancing
37.975.000
Pendapatan
Pancing
2.525.000
Jaring
3.896.000
3
Ali
101
25000
4
Moh. Yani
165
16363,63636
5
Sail
31
25000
6
Salim
212
17405,66038
Pancing-Jaring
5.300.000
7
Nurdin
204
16274,5098
Pancing-Jaring
8.820.000
Pancing
775.000
8
Dahlawi
31
25000
9
Wahid
215
17558,13953
Pancing-Jaring
8.494.000
10
Jaya
205
12487,80488
Pancing-Jaring
2.560.000
11
Masahut
250
15000
12
Herman
335
16716,41791
13
Santo
115
20000
14
Maman
134
16910,44776
15
Kulsum
600
10000
16
Juki
910
10868,13187
Pancing
775.000
Pancing
3.750.000
Pancing-Jaring
5.600.000
Jaring
5.236.000
Pancing
2.570.000
Jaring
6.000.000
Pancing-Jaring
9.890.000
17
Saidah
2040
11750
Pancing-Jaring
23.970.000
18
Jalal
110
15000
Pancing-Jaring
1.926.000
19
Sanawi
217
23018,43318
Pancing-Jaring
4.995.000
20
Husen
1511
14963,60026
Pancing-Jaring
22.610.000
21
Abdul Jalal
215
17441,86047
Pancing-Jaring
4.390.000
22
Muslim
110
15000
Pancing
2.690.000
23
Suratno
315
15000
Pancing
4.725.000
24
Adil
310
11774,19355
Pancing-Jaring
4.915.000
Jumlah Pembagian nelayan berdasarkan data responden
4.715.000 330.000
Kesimpulan No
1.265.000 2.000.000
131
Lampiran 2. Lanjutan (6) III.
Perhitungan EOP untuk Ikan Karang
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations
0,552249154 0,304979128 0,247060722 161,9299694 40
ANOVA df Regression
SS 3
Residual
36
Total
39 Coefficients
Intercept P FG INCOME a= b= Nilai ekonomi ikan karang individu Jumlah nelayan penangkap ikan karang Nilai ekonomi ikan karang
MS
Significance F
943967,3395 26221,31499 1358185,6 Standard Error
372,7227322 -0,011373303 -12,74821831 1,55318E-05
F
414218,2605 138072,7535 5,265668543 0,004084578
142,5994625 0,004802713 17,33830722 6,57045E-06
t Stat 2,613773752 -2,368099617 -0,735263146 2,363885136
P-value
Lower 95%
Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
0,012990331 83,5176197 661,9278447 83,5176197 661,9278447 0,023370507 -0,021113656 -0,001632949 -0,021113656 -0,001632949 0,466942578 -47,91193492 22,41549831 -47,91193492 22,41549831 0,023600885 2,2063E-06 2,88573E-05 2,2063E-06 2,88573E-05
399,2032346 -0,011373303 Rp. 1.470.655,03 1.722 Rp. 2.532.467.964
131
132
Lampiran 3. Hasil Perhitungan CVM untuk Ekosistem Mangrove Data Perhitungan CVM Mangrove No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
Pendapatan
Pendapatan
WTP
Ln WTP
1
16
PNS
40
2500000
2500000
12500
9,4335
Ln Pendidikan 2,7726
3,6889
Ln Pendapatan 14,7318
2
16
PNS
45
3000000
3000000
12500
9,4335
3
16
PNS
45
3000000
3000000
12500
9,4335
2,7726
3,8067
14,9141
2,7726
3,8067
14,9141
4
6
Nelayan
70
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
4,2485
14,0387
5
6
Nelayan
48
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,8712
14,0387
6
6
Nelayan
54
500000 - 1000000
750000
5000
8,5172
1,7918
3,9890
13,5278
7
9
Pedagang
30
8
6
Pedagang
53
8000000
8000000
12500
9,4335
2,1972
3,4012
15,8950
9000000
9000000
12500
9,4335
1,7918
3,9703
16,0127
9
6
Nelayan
69
500000 - 1000000
75000
12500
9,4335
1,7918
4,2341
11,2252
11
12
PNS
28
2500000
2500000
5000
8,5172
2,4849
3,3322
14,7318
12
9
Pedagang
25
9000000
9000000
12500
9,4335
2,1972
3,2189
16,0127
14
9
Nelayan
37
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,6109
14,0387
Ln usia
17
6
Nelayan
30
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,4012
14,0387
19
9
Nelayan
70
1000000 - 1500000
1250000
5000
8,5172
2,1972
4,2485
14,0387
23
9
Nelayan
40
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,6889
14,0387
25
6
Nelayan
35
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,5553
14,0387
26
16
PNS
35
2000000
2000000
12500
9,4335
2,7726
3,5553
14,5087
28
9
Nelayan
41
2000000
2000000
12500
9,4335
2,1972
3,7136
14,5087
29
6
Nelayan
42
500000 - 1000000
750000
12500
9,4335
1,7918
3,7377
13,5278
32
9
Pedagang
43
8500000
8500000
12500
9,4335
2,1972
3,7612
15,9556
37
12
Nelayan
25
1000000 - 1500000
1250000
5000
8,5172
2,4849
3,2189
14,0387
38
12
Pedagang
50
10000000
10000000
12500
9,4335
2,4849
3,9120
16,1181
132
133
Lampiran 3. Lanjutan (1) No
Ln Pendidikan 2,1972
Ln usia
Ln Pendapatan 14,0387
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
Pendapatan
Pendapatan
WTP
Ln WTP
40
9
Budidaya
30
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
41
12
PNS
60
2000000
2000000
12500
9,4335
2,4849
4,0943
14,5087
45
9
Nelayan
30
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,4012
14,0387
46
9
Nelayan
35
2000000
2000000
12500
9,4335
2,1972
3,5553
14,5087
47
0
Nelayan
28
4000000
4000000
35000
10,4631
0,0000
3,3322
15,2018
48
16
PNS
40
1000000 - 1500000
1250000
22500
10,0213
2,7726
3,6889
14,0387
49
12
PNS
38
2500000
2500000
22500
10,0213
2,4849
3,6376
14,7318
3,4012
51
6
Nelayan
45
3000000
3000000
17500
9,7700
1,7918
3,8067
14,9141
52
6
Juragan Kapal
38
10000000
10000000
5000
8,5172
1,7918
3,6376
16,1181
54
0
Nelayan
81
5000000
5000000
5000
8,5172
0,0000
4,3944
15,4249
56
6
Nelayan
45
500000 - 1000000
750000
12500
9,4335
1,7918
3,8067
13,5278
60
6
Nelayan
52
1000000 - 1500000
1250000
5000
8,5172
1,7918
3,9512
14,0387
62
9
Nelayan
40
1000000 - 1500000
1250000
5000
8,5172
2,1972
3,6889
14,0387
63
9
Budidaya
38
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,6376
14,0387
66
6
Budidaya
50
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,9120
14,0387
67
6
Nelayan
32
1000000 - 1500000
1250000
5000
8,5172
1,7918
3,4657
14,0387
69
12
Nelayan
38
100000 - 500000
300000
12500
9,4335
2,4849
3,6376
71
6
Nelayan
52
2000000
2000000
12500
9,4335
1,7918
3,9512
12,6115 14,5087
72
9
Nelayan
44
500000 - 1000000
750000
10000
9,2103
2,1972
3,7842
73
6
Nelayan
40
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,6889
13,5278 14,0387
74
6
Nelayan
45
2000000
2000000
12500
9,4335
1,7918
3,8067
14,5087
75
16
PNS
27
2000000
2000000
32500
10,3890
2,7726
3,2958
14,5087
76
6
Ojek Kapal
25
100000 - 500000
300000
12500
9,4335
1,7918
3,2189
12,6115
77
6
Nelayan
40
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,6889
14,0387
133
134
Lampiran 3. Lanjutan (2) No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
Pendapatan
Pendapatan
WTP
Ln WTP
82
16
PNS
40
2000000
2000000
12500
9,4335
Ln Pendidikan 2,7726
3,6889
Ln Pendapatan 14,5087
83
16
PNS
50
2000000
2000000
12500
9,4335
2,7726
3,9120
14,5087
84
9
Pedagang
21
500000 - 1000000
750000
10000
9,2103
2,1972
3,0445
13,5278
85
9
Pedagang
43
1000000 - 1500000
1250000
17500
9,7700
2,1972
3,7612
14,0387
87
9
Pedagang
40
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,6889
14,0387
89
9
Pedagang
45
90
6
Pedagang
40
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,8067
14,0387
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,6889
14,0387
92
6
Pedagang
42
1000000 - 1500000
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,7377
14,0387
94
12
Pedagang
25
9000000
9000000
12500
9,4335
2,4849
3,2189
16,0127
95
12
Pedagang
40
8500000
8500000
12500
9,4335
2,4849
3,6889
15,9556
96
6
Pedagang
52
7500000
7500000
12500
9,4335
1,7918
3,9512
15,8304
Ln usia
97
9
Pedagang
51
8500000
8500000
12500
9,4335
2,1972
3,9318
15,9556
98
16
Guru Honor
36 2473, 00 25,23
1000000 - 1500000
1250000
17500
9,7700
2,7726
3,5835
14,0387
165925000,00 1693112,24
742500,00 12584,75
552,0528
123,8013
218,1579
851,0241
9,36
2,10
3,70
14,42
Jumlah Rata-rata
534,00 5,45
134
135
Lampiran 3. Lanjutan (3) Hasil Regresi dan Perhitungan Contingent Valuation Method untuk Ekosistem Mangrove Keterangan Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error
0,198609689 0,039445809 -0,012948056 0,424395261
Observations
Intercept
Ln WTP
Variabel 1 Variabel 2
Ln Pendidikan Ln Usia
Variabel 3 Jumlah Warga
Ln Pendapatan 5849
59
ANOVA df
SS
Regression Residual
3 55
0,406801675 9,906123576
Total
58
10,31292525
Coefficients
Standard Error
MS
F
0,135600558 0,180111338
t Stat
0,752870752
P-value
Significance F 0,525405034
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
Intercept X Variable 1 X Variable 2
9,951224624 0,054360243 -0,253513727
1,220117596 0,107734148 0,205953108
8,15595534 0,504577646 -1,23092936
4,86114E-11 0,615871179 0,223587367
7,506054338 -0,161543813 -0,666252975
12,39639491 0,270264299 0,159225521
7,506054338 -0,161543813 -0,666252975
12,39639491 0,270264299 0,159225521
X Variable 3
0,015871073
0,05915369
0,268302341
0,789470376
-0,102675569
0,134417716
-0,102675569
0,134417716
Jumlah Warga Pulau Pramuka Ln WTP WTP Nilai Total WTP
5849 9,95
0,11
(0,94)
0,23
9,36 11.577,59 67.717.322,28
135
136
Lampiran 4. Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Mangrove
No
Jenis Manfaat
1
Manfaat Langsung Manfaat Tidak 2 Langsung 3 Manfaat Pilihan Manfaat 4 Keberadaan Nilai Ekonomi Total NE max
Persen (%)
EMU (Rp)
Skor
EMS (Rp)
31,97
3
5.522.073.325
41,67
3
11.679.683.400
67,63
5
7.661.539.200
57,81
4
518.252
0,00
1
509.938
0,00
1
67.717.322
0,39
1
67.717.322
0,51
1
17.269.992.299
100,00
2
13.251.839.785
100,00
2
11.679.683.400 2.335.936.680
(2*NE max)/5
4.671.873.360
(3*NE max)/5
7.007.810.040
(4*NE max)/5
9.343.746.720
Manfaat Langsung
Manfaat Tidak Langsung
Manfaat Pilihan
Manfaat Keberadaan
Skor
5.522.073.325
(NE max)/5
Jenis Manfaat
Persen (%)
Persamaan
Skor
NE a < 2.335.936.680
1
2.335.936.680 < NE a < 4.671.873.360
2
4.671.873.360 < NE a < 7.007.810.040
3
7.007.810.040 < NE a < 9.343.746.720
4
NE a > 9.343.746.720
5
NE b < 2.335.936.680
1
2.335.936.680 < NE b < 4.671.873.360
2
4.671.873.360 < NE b < 7.007.810.040
3
7.007.810.040 < NE b < 9.343.746.720
4
NE b > 9.343.746.720
5
NE c < 2.335.936.680
1
2.335.936.680 < NE c < 4.671.873.360
2
4.671.873.360 < NE c < 7.007.810.040
3
7.007.810.040 < NE c < 9.343.746.720
4
NE c > 9.343.746.720
5
NE d < 2.335.936.680
1
2.335.936.680 < NE d < 4.671.873.360
2
4.671.873.360 < NE d < 7.007.810.040
3
7.007.810.040 < NE d < 9.343.746.720
4
NE d > 9.343.746.720
5
Keterangan : NE a : Nilai manfaat langsung mangrove NE b : Nilai manfaat tidak langsung mangrove NE c : Nilai manfaat pilihan mangrove NE d : Nilai manfaat keberadaan mangrove
137
Lampiran 4. Lanjutan (1)
Indeks Sosial Ekonomi Ekosistem Mangrove (EMU)
Ekosistem Mangrove (EMS)
• • • •
Keterangan: IS = Indeks sosial ekonomi ekosistem mangrove NS = Nilai sosial ekosistem mangrove NE = Nilai ekonomi ekosistem mangrove
Nilai IKL IKL Ekosistem Mangrove (EMU) IK x IE x IS = 5 x 3 x 3 = 45
Ekosistem Mangrove (EMS) IK x IE x IS = 5 x 2 x 3 = 30
138
Lampiran 5. Perhitungan Travel Cost Methods No
Nama
Pendapatan
Tujuan Berkunjung
Domisili
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Muhidin
Bogor
23
S1
Mahasiswa
2
Ramadhani
Bogor
22
S1
Mahasiswa
3
Rinta
Bogor
19
S1
Mahasiswi
4
Bimo
Bogor
23
S1
Mahasiswa
5
Ken
Jakarta
24
S1
Mahasiswa
6
Jhon
Jakarta
32
S1
Swasta
> 5.000.000
7
Lee
Jakarta
35
SMA
Swasta
> 5.000.000
8
Muhlis
Jakarta
30
S1
Swasta
9
Tia
Bogor
23
S1
Mahasiswi
10
Hedi
Jakarta
31
S1
Swasta
11
Muh. Athar
Jakarta
35
S1
Swasta
12
Said
Jakarta
28
S1
Swasta
13
Lisa
Jakarta
28
S1
Swasta
14
Marcel
Jakarta
30
S1
Swasta
15
Soni
Jakarta
30
S1
Swasta
2.500.000
Diving
16
Roni
Jakarta
33
SMA
Swasta
3.000.000
Diving
500.0001.000.000 500.0001.000.000 500.0001.000.000 2.000.0003.000.000 3.000.0004.000.000
1.000.0002.000.000 500.0001.000.000 1.000.0002.000.000 3.000.0004.000.000 1.000.0002.000.000 3.000.0004.000.000 3.000.0004.000.000
Pendidikan/pen elitian Pendidikan/pen elitian Pendidikan/pen elitian Refreshing (Snorkling) Refreshing (Snorkling) Refreshing (Snorkling) Refreshing (Snorkling) Refreshing (Snorkling) Pendidikan/pen elitian Refreshing (Snorkling) Refreshing (Snorkling) Refreshing (Snorkling) Refreshing (Snorkling) Diving
Sumber Informasi Lokasi
Banyak Kunjungan
Jarak Rumah Lokasi Wisata
Alokasi Biaya Perjalanan
Teman
> 10
4 jam
300000
Teman
> 10
4 jam
300000
Teman
5
4 jam
300000
1
4 jam
280000
1
2.5 jam
300000
3
2.5 jam
5000000
Teman
5
2.5 jam
3000000
Teman
3
3 jam
1000000
Teman
4
4 jam
300000
Teman
6
3 jam
800000
3
3 jam
4000000
2
3 jam
800000
3
3 jam
3500000
3
2.5 jam
2000000
4
2.5 jam
2000000
2
2.5 jam
2000000
Brosur/tem an Brosur/tem an Brosur/tem an
Brosur/tem an Brosur/tem an Brosur/tem an Brosur/tem an Brosur/tem an Brosur/tem an
138
139
Lampiran 5. Lanjutan (1) No Nama
Domisili
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan
17
Rozak
Jakarta
40
S1
Swasta
2.500.000
18
Abdullah
Jakarta
44
S1
Swasta
2.500.000
19
Teguh
Jakarta
42
S1
Swasta
3.000.000
20
Ikhsan
Bogor
22
S1
Mahasiswa
500.0001.000.000
Tujuan Berkunjung Refreshing (Mancing) Refreshing (Mancing) Refreshing (Mancing) Pendidikan/pen elitian
Sumber Informasi Lokasi
Banyak Kunjungan
Jarak Rumah Lokasi Wisata
Alokasi Biaya Perjalanan
Teman
3
3 jam
1000000
Teman
2
3 jam
500000
Teman
2
3 jam
500000
Teman
> 10
4 jam
500000
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,824485 R Square 0,679775 Adjusted R Square 0,446884 Standard Error 2,115970 Observations 20,000000 ANOVA df Regression Residual Total
8 11 19
SS 104,5493985 49,25060153 153,8
MS 13,06867481 4,477327412
F 2,918856185
Significance F 0,051516337
139
140
Lampiran 5. Lanjutan (2)
Intercept TC AGE EDU JOB AIM INFO DUR INCOME a= b=
Standard Coefficients Error 19,73614121 12,59479263 1,82783E-06 8,87528E-07 -0,046928604 0,17640696 -0,115249984 0,486950168 -1,91218603 1,774982778 1,202376284 2,21251815 -4,098668465 2,078349687 -0,969503227 2,191754007 -1,33531E-07 8,73902E-08 1,506315552 1,82783E-06
Nilai Ekonomi Individu = Jumlah Kunjungan= Nilai Ekonomi Wisata=
t Stat 1,567008031 2,059456395 -0,266024676 -0,236677163 -1,077298356 0,54344245 -1,972078371 -0,442341259 -1,527989384
P-value 0,145409945 0,063925275 0,795140415 0,817256886 0,30440569 0,597665901 0,074267717 0,66681364 0,154745507
Lower 95% -7,984810452 -1,25611E-07 -0,435197706 -1,187020077 -5,818896782 -3,667343328 -8,673085281 -5,793521267 -3,25876E-07
Upper 95% 47,45709286 3,78126E-06 0,341340497 0,956520108 1,994524722 6,072095896 0,47574835 3,854514813 5,88133E-08
Lower 95.0% -7,984810452 -1,25611E-07 -0,435197706 -1,187020077 -5,818896782 -3,667343328 -8,673085281 -5,793521267 -3,25876E-07
Upper 95.0% 47,45709286 3,78126E-06 0,341340497 0,956520108 1,994524722 6,072095896 0,47574835 3,854514813 5,88133E-08
3.977.680,88 25.654 102.043.425.407
140
141
Lampiran 6. Perhitungan Contingent Valuation Method untuk Terumbu Karang Pendapatan
WTP
Ln WTP
2500000
2500000
12500
9,4335
Ln Pendidikan 2,7726
45
3000000
3000000
12500
9,4335
45
3000000 1000000 1500000 1000000 1500000 500000 1000000 8000000
3000000
12500
9,4335
1250000
12500
1250000
9000000 500000 1000000 1000000 1500000 2500000
No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
1
16
PNS
40
2
16
PNS
3
16
PNS
4
6
Nelayan
70
5
6
Nelayan
48
6
6
Nelayan
54
7
9
Pedagang
30
8
6
Pedagang
53
9
6
Nelayan
69
10
9
Nelayan
43
11
12
PNS
28
12
9
Pedagang
25
13
12
Nelayan
45
14
9
Nelayan
37
15
12
Budidaya
40
16
6
Budidaya
33
17
6
Nelayan
30
19
9
Nelayan
70
Pendapatan
9000000 100000 500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000
Ln usia
Ln Pendapatan
3,6889
14,7318
2,7726
3,8067
14,9141
2,7726
3,8067
14,9141
9,4335
1,7918
4,2485
14,0387
12500
9,4335
1,7918
3,8712
14,0387
750000
5000
8,5172
1,7918
3,9890
13,5278
8000000
12500
9,4335
2,1972
3,4012
15,8950
9000000
12500
9,4335
1,7918
3,9703
16,0127
75000
12500
9,4335
1,7918
4,2341
11,2252
1250000
22500
10,0213
2,1972
3,7612
14,0387
2500000
5000
8,5172
2,4849
3,3322
14,7318
9000000
12500
9,4335
2,1972
3,2189
16,0127
300000
12500
9,4335
2,4849
3,8067
12,6115
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,6109
14,0387
1250000
12500
9,4335
2,4849
3,6889
14,0387
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,4965
14,0387
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,4012
14,0387
1250000
5000
8,5172
2,1972
4,2485
14,0387
141
142
Lampiran 6. Lanjutan (1) No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
Pendapatan
20
9
Nelayan
32
21
12
Nelayan
21
22
6
Nelayan
38
23
9
Nelayan
40
24
12
Nelayan
26
25
6
Nelayan
35
26
16
PNS
35
27
6
Nelayan
53
28
9
Nelayan
41
29
6
Nelayan
42
32
9
Pedagang
43
33
6
Nelayan
63
34
9
Nelayan
35
35
6
Nelayan
35
37
12
Nelayan
25
38
12
Pedagang
50
40
9
Budidaya
30
41
12
PNS
60
1000000 1500000 1000000 2000000 1000000 1500000 1000000 1500000 500000 1000000 1000000 1500000 2000000 1000000 1500000 2000000 500000 1000000 8500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 10000000 1000000 1500000 2000000
42
6
Nelayan
38
2000000
Pendapatan
WTP
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln usia
Ln Pendapatan
1250000
17500
9,7700
2,1972
3,4657
14,0387
1500000
17500
9,7700
2,4849
3,0445
14,2210
1250000
17500
9,7700
1,7918
3,6376
14,0387
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,6889
14,0387
750000
5000
8,5172
2,4849
3,2581
13,5278
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,5553
14,0387
2000000
12500
9,4335
2,7726
3,5553
14,5087
1250000
17500
9,7700
1,7918
3,9703
14,0387
2000000
12500
9,4335
2,1972
3,7136
14,5087
750000
12500
9,4335
1,7918
3,7377
13,5278
8500000
12500
9,4335
2,1972
3,7612
15,9556
1250000
17500
9,7700
1,7918
4,1431
14,0387
1250000
17500
9,7700
2,1972
3,5553
14,0387
1250000
17500
9,7700
1,7918
3,5553
14,0387
1250000
5000
8,5172
2,4849
3,2189
14,0387
10000000
12500
9,4335
2,4849
3,9120
16,1181
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,4012
14,0387
2000000
12500
9,4335
2,4849
4,0943
14,5087
2000000
5000
8,5172
1,7918
3,6376
14,5087
142
143
Lampiran 6. Lanjutan (2) No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
43
6
Nelayan
30
44
6
Nelayan
40
45
9
Nelayan
30
46
9
Nelayan
35
47
0
Nelayan
28
48
16
PNS
40
49
12
PNS
51
6
Nelayan
52
6
Juragan Kapal
54
0
Nelayan
56
6
Nelayan
45
57
6
Nelayan
50
58
9
Nelayan
45
59
9
Budidaya
55
60
6
Nelayan
52
61
9
Budidaya
51
62
9
Nelayan
40
63
9
Budidaya
38
64
6
Nelayan
35
Pendapatan 500000 1000000 500000 1000000 1000000 1500000 2000000
Pendapatan
WTP
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln usia
Ln Pendapatan
750000
12500
9,4335
1,7918
3,4012
13,5278
750000
12500
9,4335
1,7918
3,6889
13,5278
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,4012
14,0387
2000000
12500
9,4335
2,1972
3,5553
14,5087
4000000
35000
10,4631
0,0000
3,3322
15,2018
1250000
22500
10,0213
2,7726
3,6889
14,0387
38
4000000 1000000 1500000 2500000
2500000
22500
10,0213
2,4849
3,6376
14,7318
45
3000000
3000000
17500
9,7700
1,7918
3,8067
14,9141
38
10000000
10000000
5000
8,5172
1,7918
3,6376
16,1181
81
5000000 500000 1000000 500000 1000000 1000000 1500000 500000 1000000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000
5000000
5000
8,5172
0,0000
4,3944
15,4249
750000
12500
9,4335
1,7918
3,8067
13,5278
750000
5000
8,5172
1,7918
3,9120
13,5278
1250000
5000
8,5172
2,1972
3,8067
14,0387
750000
5000
8,5172
2,1972
4,0073
13,5278
1250000
5000
8,5172
1,7918
3,9512
14,0387
1250000
5000
8,5172
2,1972
3,9318
14,0387
1250000
5000
8,5172
2,1972
3,6889
14,0387
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,6376
14,0387
1250000
5000
8,5172
1,7918
3,5553
14,0387
143
144
Lampiran 6. Lanjutan (3) No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
65
6
Nelayan
35
66
6
Budidaya
50
67
6
Nelayan
32
69
12
Nelayan
38
71
6
Nelayan
52
72
9
Nelayan
44
73
6
Nelayan
40
74
6
Nelayan
45
75
16
PNS
27
76
6
Ojek Kapal
25
77
6
Nelayan
40
82
16
PNS
40
83
16
PNS
50
84
9
Pedagang
21
85
9
Pedagang
43
87
9
Pedagang
40
90
6
Pedagang
40
92
6
Pedagang
42
94
12
Pedagang
25
Pendapatan
WTP
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln usia
Ln Pendapatan
1250000
5000
8,5172
1,7918
3,5553
14,0387
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,9120
14,0387
1250000
5000
8,5172
1,7918
3,4657
14,0387
300000
12500
9,4335
2,4849
3,6376
12,6115
2000000
12500
9,4335
1,7918
3,9512
14,5087
750000
10000
9,2103
2,1972
3,7842
13,5278
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,6889
14,0387
2000000
12500
9,4335
1,7918
3,8067
14,5087
2000000 100000 500000 1000000 1500000 2000000
2000000
32500
10,3890
2,7726
3,2958
14,5087
300000
12500
9,4335
1,7918
3,2189
12,6115
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,6889
14,0387
2000000
12500
9,4335
2,7726
3,6889
14,5087
2000000 500000 1000000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 9000000
2000000
12500
9,4335
2,7726
3,9120
14,5087
750000
10000
9,2103
2,1972
3,0445
13,5278
1250000
17500
9,7700
2,1972
3,7612
14,0387
1250000
12500
9,4335
2,1972
3,6889
14,0387
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,6889
14,0387
1250000
12500
9,4335
1,7918
3,7377
14,0387
9000000
12500
9,4335
2,4849
3,2189
16,0127
Pendapatan 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 100000 500000 2000000 500000 1000000 1000000 1500000 2000000
144
145
Lampiran 6. Lanjutan (4) No
Pendapatan
WTP
Ln WTP
8500000
8500000
12500
9,4335
Ln Pendidikan 2,4849
52
7500000
7500000
12500
9,4335
51
8500000 1000000 1500000
8500000
12500
9,4335
1250000
17500
3271,00
188.475.000
33,38
1.923.214,29
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
95
12
Pedagang
40
96
6
Pedagang
97
9
Pedagang
98
16
Guru Honor
36
Jumlah
693,00
Rata-rata
7,07
Pendapatan
Ln usia
Ln Pendapatan
3,6889
15,9556
1,7918
3,9512
15,8304
2,1972
3,9318
15,9556
9,7700
2,7726
3,5835
14,0387
977.500
736,34
164,44
291,23
1.128,47
12.373,42
9,32
2,08
3,69
14,28
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error
0,178963052 0,032027774 -0,006691115 0,475375272
Observations
79
ANOVA df
SS
Regression Residual
3 75
0,560787465 16,94862369
Total
78
17,50941116
MS 0,186929155 0,225981649
F 0,827187322
Significance F 0,483014674
145
146
Lampiran 6. Lanjutan (5) Coefficients
Standard Error
t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
Intercept
9,532681508
1,229454828
7,75358418
3,50817E-11
7,083481933
11,98188108
7,083481933
11,98188108
X Variable 1
0,056549916
0,114870709
0,492291872
0,623951028
-0,172284267
0,2853841
-0,172284267
0,2853841
X Variable 2
-0,241204786
0,201686624
-1,195938436
0,235487971
-0,642985139
0,160575567
-0,642985139
0,160575567
X Variable 3
0,039168809
0,061843125
0,633357541
0,528426871
-0,084029011
0,162366629
-0,084029011
0,162366629
Jumlah Warga Pulau Pramuka
5.849,00
Ln WTP
9,53
Ln WTP
9,32
0,12
WTP
11.166,78
Total WTP
65.314.517,66
(0,89)
0,56
146
147
Lampiran 7. Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Terumbu Karang .
Indeks Sosial Ekosistem Terumbu Karang (IE) I. Nilai Sosial No 1 2 3
Kriteria Pengamatan
Metode Penilaian Indeks Ekologi
Sebagai Pengembangan Survei Lapangan Area Potensial Wisata Daerah Penangkapan Ikan Survei Lapangan Pemanfaatan Lainnya Survei Lapangan (penelitian) Nilai Indeks Ekologi
NE max
Hasil Pengamatan KHU Sangat Potensial Insentif sangat bermanfaat
Skor
KHS
Skor
5
Potensial
5
4
Intensif sangat bermanfaat
4
5 5
5 5
107.618.266.188
(NE max)/5
21.523.653.238
(2*NE max)/5
43.047.306.475
(3*NE max)/5
64.570.959.713
(4*NE max)/5
86.094.612.950
Jenis Manfaat
Manfaat Langsung
21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713
Manfaat Tidak Langsung
21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713
Manfaat Pilihan
21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713
Manfaat Pilihan
21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713
Persamaan NE a < < NE a < < NE a < < NE a < NE a > NE b < < NE b < < NE b < < NE b < NE b > NE c < < NE c < < NE c < < NE c < NE c > NE d < < NE d < < NE d < < NE d < NE d >
21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713 86.094.612.950 86.094.612.950 21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713 86.094.612.950 86.094.612.950 21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713 86.094.612.950 86.094.612.950 21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713 86.094.612.950 86.094.612.950
Skor 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
148
Lampiran 7. Lanjutan Satu (1)
Terumbu Karang (KHU)
Terumbu Karang (KHS)
Keterangan: IS = Indeks sosial ekonomi ekosistem mangrove NS = Nilai sosial ekosistem mangrove NE = Nilai ekonomi ekosistem mangrove
Nilai IKL IKL Karang Hidup Utara (KHU) IK x IE x IS = 5 x 3 x 3 = 45
Ekosistem Karang Hidup Selatan (KHS) IK x IE x IS = 5 x 3 x 3 = 45
149
Lampiran 8. Perhitungan CVM untuk Ekosistem Lamun. No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
Pendapatan
1
16
PNS
40
2500000
2500000
2
16
PNS
45
3000000
3000000
3
16
PNS
45
3000000
3000000
4
6
Nelayan
70
5
6
Nelayan
48
6
6
Nelayan
54
7
9
Pedagang
30
8000000
8000000
8
6
Pedagang
53
9000000
9000000
9
6
Nelayan
69
10
9
Nelayan
43
11
12
PNS
12
9
14
1000000 1500000 1000000 1500000 500000 1000000
Pendapatan
1250000 1250000 750000
WTP 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 5000 10000 15000 10000 15000 10000 15000
WTP
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln usia
Ln Pendapatan
12500
9,4335
2,7726
3,6889
14,7318
12500
9,4335
2,7726
3,8067
14,9141
12500
9,4335
2,7726
3,8067
14,9141
12500
9,4335
1,7918
4,2485
14,0387
12500
9,4335
1,7918
3,8712
14,0387
5000
8,5172
1,7918
3,9890
13,5278
12500
9,4335
2,1972
3,4012
15,8950
12500
9,4335
1,7918
3,9703
16,0127
12500
9,4335
1,7918
4,2341
11,2252
1250000
5000
5000
8,5172
2,1972
3,7612
14,0387
28
500000 1000000 1000000 1500000 2500000
2500000
5000
8,5172
2,4849
3,3322
14,7318
Pedagang
25
9000000
9000000
12500
9,4335
2,1972
3,2189
16,0127
9
Nelayan
37
5000 10000 15000 10000 15000
12500
9,4335
2,1972
3,6109
14,0387
16
6
Budidaya
33
1250000
5000
5000
8,5172
1,7918
3,4965
14,0387
17
6
Nelayan
30
1250000
10000 15000
12500
9,4335
1,7918
3,4012
14,0387
19
9
Nelayan
70
1250000
5000
5000
8,5172
2,1972
4,2485
14,0387
1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000
75000
1250000
149
150
Lampiran 8. Lanjutan (1) No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
Pendapatan
20
9
Nelayan
32
23
9
Nelayan
40
24
12
Nelayan
26
25
6
Nelayan
35
26
16
PNS
35
2000000
2000000
28
9
Nelayan
41
2000000
2000000
29
6
Nelayan
42
500000 1000000
750000
32
9
Pedagang
43
8500000
8500000
34
9
Nelayan
35
35
6
Nelayan
35
36
6
Budidaya
45
37
12
Nelayan
25
38
12
Pedagang
50
10000000
10000000
40
9
Budidaya
30
1000000 1500000
1250000
41
12
PNS
60
2000000
2000000
45
9
Nelayan
30
1000000 1500000
1250000
1000000 1500000 1000000 1500000 500000 1000000 1000000 1500000
1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000
Pendapatan 1250000 1250000 750000 1250000
1250000 1250000 1250000 1250000
WTP 10000 15000 10000 15000 5000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 5000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000
WTP
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln usia
Ln Pendapatan
12500
9,4335
2,1972
3,4657
14,0387
12500
9,4335
2,1972
3,6889
14,0387
5000
8,5172
2,4849
3,2581
13,5278
12500
9,4335
1,7918
3,5553
14,0387
12500
9,4335
2,7726
3,5553
14,5087
12500
9,4335
2,1972
3,7136
14,5087
12500
9,4335
1,7918
3,7377
13,5278
12500
9,4335
2,1972
3,7612
15,9556
12500
9,4335
2,1972
3,5553
14,0387
12500
9,4335
1,7918
3,5553
14,0387
12500
9,4335
1,7918
3,8067
14,0387
5000
8,5172
2,4849
3,2189
14,0387
12500
9,4335
2,4849
3,9120
16,1181
12500
9,4335
2,1972
3,4012
14,0387
12500
9,4335
2,4849
4,0943
14,5087
12500
9,4335
2,1972
3,4012
14,0387
150
151
Lampiran 8. Lanjutan (2) No
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
Pendapatan
Pendapatan
46
9
Nelayan
35
2000000
2000000
47
0
Nelayan
28
4000000
4000000
48
16
PNS
40
1000000 1500000
1250000
49
12
PNS
38
2500000
2500000
50
9
Nelayan
30
500000 1000000
750000
51
6
Nelayan
45
3000000
3000000
52
6
Juragan Kapal
38
10000000
10000000
54
0
Nelayan
81
5000000
56
6
Nelayan
45
60
6
Nelayan
52
61
9
Budidaya
51
62
9
Nelayan
40
63
9
Budidaya
38
66
6
Budidaya
50
67
6
Nelayan
32
69
12
Nelayan
38
5000000 500000 1000000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 100000 500000
71
6
Nelayan
52
2000000
2000000
750000
WTP 10000 15000 30000 40000 20000 25000 20000 25000 10000 15000 15000 20000 50000 50000 10000 15000
WTP
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln usia
Ln Pendapatan
12500
9,4335
2,1972
3,5553
14,5087
35000
10,4631
0,0000
3,3322
15,2018
22500
10,0213
2,7726
3,6889
14,0387
22500
10,0213
2,4849
3,6376
14,7318
12500
9,4335
2,1972
3,4012
13,5278
17500
9,7700
1,7918
3,8067
14,9141
5000
8,5172
1,7918
3,6376
16,1181
5000
8,5172
0,0000
4,3944
15,4249
12500
9,4335
1,7918
3,8067
13,5278
1250000
5000
5000
8,5172
1,7918
3,9512
14,0387
1250000
5000
5000
8,5172
2,1972
3,9318
14,0387
1250000
5000
5000
8,5172
2,1972
3,6889
14,0387
12500
9,4335
2,1972
3,6376
14,0387
12500
9,4335
1,7918
3,9120
14,0387
5000
8,5172
1,7918
3,4657
14,0387
12500
9,4335
2,4849
3,6376
12,6115
12500
9,4335
1,7918
3,9512
14,5087
1250000 1250000 1250000 300000
10000 15000 10000 15000 5000 10000 15000 10000 15000
151
152
Lampiran 8. Lanjutan (3) No
Pendapatan
Pendapatan
WTP
WTP
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln usia
Ln Pendapatan
750000
10000
10000
9,2103
2,1972
3,7842
13,5278
12500
9,4335
1,7918
3,6889
14,0387
12500
9,4335
1,7918
3,8067
14,5087
32500
10,3890
2,7726
3,2958
14,5087
12500
9,4335
1,7918
3,2189
12,6115
12500
9,4335
1,7918
3,6889
14,0387
5000
8,5172
1,7918
3,2958
13,5278
12500
9,4335
2,4849
3,9120
14,5087
12500
9,4335
2,7726
3,6889
14,5087
12500
9,4335
2,7726
3,9120
14,5087
10000
9,2103
2,1972
3,0445
13,5278
17500
9,7700
2,1972
3,7612
14,0387
12500
9,4335
2,1972
3,6889
14,0387
12500
9,4335
2,1972
3,8067
14,0387
12500
9,4335
1,7918
3,6889
14,0387
12500
9,4335
1,7918
3,7377
14,0387
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
72
9
Nelayan
44
73
6
Nelayan
40
74
6
Nelayan
45
2000000
2000000
75
16
PNS
27
2000000
2000000
76
6
Ojek Kapal
25
77
6
Nelayan
40
80
6
Ibu Rumah Tangga
27
81
12
PNS
82
16
83
500000 1000000 1000000 1500000
1250000
100000 500000 1000000 1500000 500000 1000000
1250000
50
2000000
2000000
PNS
40
2000000
2000000
16
PNS
50
2000000
2000000
84
9
Pedagang
21
85
9
Pedagang
43
87
9
Pedagang
40
89
9
Pedagang
45
90
6
Pedagang
40
92
6
Pedagang
42
500000 1000000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000 1000000 1500000
300000
750000
750000 1250000 1250000 1250000 1250000 1250000
10000 15000 10000 15000 30000 35000 10000 15000 10000 15000 5000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 20000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000
152
153
Lampiran 8. Lanjutan (4) No
Pendapatan
WTP
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln usia
Ln Pendapatan
12500
9,4335
2,4849
3,2189
16,0127
12500
9,4335
2,4849
3,6889
15,9556
12500
9,4335
1,7918
3,9512
15,8304
12500
9,4335
2,1972
3,9318
15,9556
17500
9,7700
2,7726
3,5835
14,0387
178925000
842500
651,2396
146,9243
257,5977
1004,3868
1825765,31
8596,94
6,6453
1,4992
2,6285
10,2488
Pendidikan
Pekerjaan
Usia
94
12
Pedagang
25
9000000
9000000
95
12
Pedagang
40
8500000
8500000
96
6
Pedagang
52
7500000
7500000
97
9
Pedagang
51
8500000
8500000
98
16
Guru Honor
36
Jumlah
627
2880
Rata-rata
6,40
29,39
1000000 1500000
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,2883 R Square 0,0831 Adjusted R Square 0,0538 Standard Error 4,1254 Observations 98 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 3 144,9984 48,3328 2,8400 Residual 94 1599,7488 17,0186 Total 97 1744,7472
Pendapatan
1250000
WTP 10000 15000 10000 15000 10000 15000 10000 15000 15000 20000
0,0421
153
154
Lampiran 8. Lanjutan (5) Coefficients -15,4816 0,9684 0,2913 1,3407
Intercept X Variable 1 X Variable 2 X Variable 3 Keterangan Intercept Variabel 1 Variabel 2 Variabel 3 Jumlah Warga Pulau Pramuka
Standard Error 9,4190 0,9525 1,5855 0,4956
t Stat -1,6437 1,0168 0,1837 2,7050
P-value 0,1036 0,3119 0,8546 0,0081
Lower 95% -34,1832 -0,9227 -2,8568 0,3566
Upper 95% 3,2201 2,8595 3,4393 2,3248
Lower 95.0% -34,1832 -0,9227 -2,8568 0,3566
Upper 95.0% 3,2201 2,8595 3,4393 2,3248
Ln WTP Ln Pendidikan Ln Usia Ln Pendapatan
5849
Ln WTP = -15,4816 + 0,9684 Ln E + 0,2913 Ln A + 1,3407 Ln I Ln WTP = -15,4816 + 0,9684 (2,0713) + 0,2913 (3,6778) + 1,3407 (14,2086) Ln WTP = -15,4816 + 2,006 + 1,0713 + 19,0495 Ln WTP = 6,6452 WTP = 769,0839 WTP x Jml penduduk Nilai Total WTP = 4.498.371,73
154
155
Lampiran 9. Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Lamun. Indeks Sosial Ekosistem Lamun Nilai Sosial No
Kriteria Pengamatan
1
Sebagai Pengembangan Area Potensial Wisata
2
Daerah Penangkapan Ikan
3
Pemanfaatan Lainnya (penelitian) Nilai Sosial
Metode Penilaian Survei Lapangan Survei Lapangan Survei Lapangan
Hasil Pengamatan ELU Kurang Potensial Cukup Insentif
Skor
Bermanfaat
4
2 4
ELS Kurang Potensial Cukup Intensif
Skor
Bermanfaat
4
3
2 4
3
NE max
107.618.266.188
(NE max)/5
21.523.653.238
(2*NE max)/5
43.047.306.475
(3*NE max)/5
64.570.959.713
(4*NE max)/5
86.094.612.950
Jenis Manfaat Manfaat Langsung
1.104.414.665 2.208.829.330 3.313.243.995
< < <
Manfaat Tidak Langsung
21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713
< < <
Manfaat Pilihan
21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713
< < <
Manfaat Pilihan
21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713
< < <
Persamaan NE a < NE a < NE a < NE a < NE a > NE b < NE b < NE b < NE b < NE b > NE c < NE c < NE c < NE c < NE c > NE d < NE d < NE d < NE d < NE d >
1.104.414.665 2.208.829.330 3.313.243.995 4.417.658.660 4.417.658.660 21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713 86.094.612.950 86.094.612.950 21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713 86.094.612.950 86.094.612.950 21.523.653.238 43.047.306.475 64.570.959.713 86.094.612.950 86.094.612.950
Skor 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
156
Lampiran 9. Lanjutan (1)
Ekosistem Lamun (ELS)
Ekosistem Lamun (ELU)
Lamun (ELS)
Lamun (ELU)
Ekosistem Lamun
NS
NE
Padang lamun 1 (L1)
3
2
3
Padang Lamun 2 (L2)
3
2
3
Padang Lamun (L1)
Padang Lamun (L2)
IS
157
Lampiran 10.
Perhitungan Indeks Sosial-Ekonomi dan IKL Ekosistem Karang Gosong (Daerah Penangkapan Ikan).
Indeks Sosial Ekosistem Karang Gosong (IE) Nilai Sosial No
Parameter Penilaian
Metode Penilaian Indeks Sosial
Kriteria
Skor
Murah
4
1
Biaya ekstraksi (ikan tangkapan)
Survei/Wawancara
2
Biaya Produksi (budidaya)
Survei/Wawancara
Sangat Mahal
1
3
Alat tangkap
Survei
Cukup Selektif
3
Nilai Sosial
NE max
63.960
(NE max)/5
12.792
(2*NE max)/5
25.584
(3*NE max)/5
38.376
(4*NE max)/5
51.168
Lokasi Penangkapan Ikan
Kepulauan Seribu (P. Pramuka)
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Persamaan NE a < 12.792 12.792 < NE a < 25.584 25.584 < NE a < 38.376 38.376 < NE a < 51.168 NE a > 51.168 NE b < 12.792 12.792 < NE b < 25.584 25.584 < NE b < 38.376 38.376 < NE b < 51.168 NE b > 51.168 NE c < 12.792 12.792 < NE c < 25.584 25.584 < NE c < 38.376 38.376 < NE c < 51.168 NE c > 51.168 NE d < 12.792 12.792 < NE d < 25.584 25.584 < NE d < 38.376 38.376 < NE d < 51.168 NE d > 51.168 NE e < 12.792 12.792 < NE e < 25.584 25.584 < NE e < 38.376 38.376 < NE e < 51.168 NE e > 51.168 NE f < 12.792 12.792 < NE f < 25.584 25.584 < NE f < 38.376 38.376 < NE f < 51.168 NE f > 51.168
2
Skor 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
158
Lampiran 10. Lanjutan (1) Keterangan :
NE a NE b NE c NE d NE e NE f
: Daerah penangkapan ikan Pulau Pramuka (63.960 kg/tahun) : Daerah penangkapan ikan Banten (7.559 kg/tahun) : Daerah penangkapan ikan DKI Jakarta (23.874 kg/tahun) : Daerah penangkapan ikan Jawa Barat (21.894 kg/tahun) : Daerah penangkapan ikan Jawa Tengah (36.692 kg/tahun) : Daerah penangkapan ikan Jawa Timur (37.714 kg/tahun) Ekosistem
Ekosistem Karang Gosong (Daerah Penangkapan Ikan) IKL
= IK x IE x IS = 2 x 4 x 3 = 24
NS 2
NE 5
IS 3