ANALISIS SUMBERDAYA PULAU KECIL BAGI KESESUAIAN KAWASAN KONSERVASI DI PULAU PANGGANG DAN PULAU HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU
DENY ZAFRI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ANALISIS SUMBERDAYA PULAU KECIL BAGI KESESUAIAN KAWASAN KONSERVASI DI PULAU PANGGANG DAN PULAU HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU
Oleh : DENY ZAFRI C24103080
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
“ANALISIS SUMBERDAYA PULAU KECIL BAGI KESESUAIAN KAWASAN KONSERVASI DI PULAU PANGGANG DAN PULAU HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU ” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tulisan ini.
Bogor, 5 Maret 2008
Deny Zafri C24103080
ABSTRAK
DENY ZAFRI (C24103080). Analisis Sumberdaya Pulau Kecil Bagi Kesesuaian Kawasan Konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan, Kepulauan seribu. Di bawah bimbingan FREDINAN YULIANDA dan GATOT YULIANTO. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum dari potensi yang dimiliki Pulau Panggang dan Pulau Harapan dilihat dari segi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan pengelolaan yang berbasis pada konsep konservasi. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui isu-isu permasalahan dalam pengelolaan untuk kegiatan konservasi dan dampak yang ditimbulkannya. Penelitian ini menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) untuk penentuan persentase tutupan karang, transek plot untuk mangrove dan transek kuadrat untuk lamun serta analisis kriteria kawasan konservasi berdasarkan Departemen Kelautan dan Perikanan. Kondisi terumbu karang di Pulau Panggang dan Pulau Harapan termasuk kategori sedang, sedangkan untuk Prosentase tutupan lamun di kedua pulau tergolong rendah. Prosentase tutupan lamun di Pulau Harapan untuk spesies Thalassia hemprichii 2,21%, sedangkan untuk spesies Enhalus acoroides tidak ditemukan. Kondisi di Pulau Panggang juga tergolong rendah dengan prosentase tutupan lamun untuk spesies Thalassia hemprichii sebesar 4,64% sedangkan untuk spesies Enhalus acoroides sebesar 6,15%. Analisis kriteria kawasan konserasi yang telah dilakukan, menyimpulkan bahwa Pulau Panggang dan Pulau Harapan termasuk kawasan konservasi yang berbasis bentang alam dan rekreasi. Berdasarkan analisis SWOT, Strategi Pengelolaan yang perlu diterapkan TNLKS adalah : Perlu adanya hukum yang jelas tentang sertifikasi dan legalisasi pemanfaatan zona pemukiman, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi dan meningkatkan peran LSM dalam rehabilitasi lingkungan seperti transplantsi karang ataupun penanaman mangrove.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Analisis Sumberdaya Pulau Kecil Bagi Kesesuaian Kawasan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan
Nama Mahasiswa
: Deny Zafri
Nomor Pokok
: C24103080
Departemen
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc NIP 131 788 596
Ir. Gatot Yulianto, M.Si NIP 131 999 598
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP 131 578 799
Tanggal Lulus : 15 Februari 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Analisis Sumberdaya Pulau Kecil Bagi Kesesuaian Kawasan Konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis sampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang telah banyak bersabar dalam membimbing penulis, memberikan banyak masukan, arahan, nasehat, dan saran dalam penulisan skripsi ini. 2. Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku dosen pembimbing II atas masukan, arahan dan masukan, serta saran yang berharga kepada penulis. 3. Bapak Dr.Ir. Unggul Aktani, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan yang diberikan kepada penulis baik saran maupun nasehat yang bermanfaat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. 4. Ibu Riana, yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya skripsi ini tepat pada waktunya. 5. Keluarga tercinta (Bapak, Ibu, Kadafi, Rafik) atas doa, semangat, dukungan, dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis. 6. Teman-teman MSP angkatan 40 yang telah memberikan semangat dan motivasi, serta bantuannya. Teman-teman MSP angkatan 39, 41, dan 42.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, diharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat.
Bogor, 5 Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
..........................................................................
i
.........................................................................................
ii
DAFTAR TABEL
................................................................................
iv
............................................................................
v
........................................................................
vi
PENDAHULUAN .......................................................................... A. Latar Belakang ............................................................................ B. Perumusan Masalah .................................................................... C. Tujuan dan Manfaat ......................................................................
1 1 2 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. A. Pulau Kecil ...................................................................................... B. Batasan Wilayah Pesisir dan Gugusan Pulau .................................. C. Ekosistem Pesisir ........................................................................... 1. Ekosistem Mangrove .............................................................. a. Struktur Vegetasi Mangrove ......................................... b. Zonasi Ekosistem Mangrove ............................................ c. Fungsi Ekosistem Mangrove ............................................ 2. Ekosistem Lamun ...................................................................... a. Fungsi Ekosistem Lamun ................................................... b. Pemanfaatan Ekosistem Lamun ........................................ 3. Ekosistem Terumbu Karang ................................................... a. Fungsi Terumbu Karang ................................................. b. Pemanfaatan Terumbu Karang ....................................... D. Konservasi dan Pelestarian Alam ..............................................
7 7 7 9 9 9 10 10 11 12 12 12 13 13 14
III. METODE PENELITIAN ............................................................. A. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... B. Alat dan Bahan .............................................................................. C. Jenis Data dan Informasi ............................................................ D. Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data .............................. 1. Data Primer ............................................................................ a. Lamun ........................................................................... b. Mangrove .......................................................................... c. Terumbu Karang ............................................................. 2. Data Sekunder ....................................................................... E. Analisa Data ..................................................................................... 1. Analisa Persentase Total Tutupan Karang ............................. 2. Analisa Kerapatan Mangrove ................................................ 3. Analisa Persentase Penutupan Lamun .................................... 4. Daya Dukung dan Kesesuaian ............................................... 5. Kriteria Kawasan Konservasi Berdasarkan DKP ..................
16 16 16 16 20 20 20 21 21 22 22 22 22 23 23 24
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I.
ii
6. Analisa Strategi Pengelolaan ................................................ a. Metode Analisis SWOT ..................................................... b. Analisa dan Pembuatan Matriks IFE ................................ c. Analisa dan Pembuatan Matriks EFE ................................ d. Pembobotan Matriks IFE dan EFE .................................... e. Pembuatan Matriks SWOT ..............................................
26 26 27 27 28 29
IV. KEADAAN UMUM LOKASI ...................................................... A. Letak Administrasi dan Luas ........................................................ B. Sedimen ........................................................................................... C. Iklim ................................................................................................ D. Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan ............................ E. Sarana dan Prasarana ....................................................................... F. Perdagangan ..................................................................................... G. Transportasi .....................................................................................
30 30 30 30 31 31 31 32
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... A. Potensi dan Sumberdaya Ekosistem .............................................. 1. Ekosistem Terumbu Karang .................................................... 2. Ekosistem Mangrove ................................................................. 3. Ekosistem Lamun ..................................................................... B. Daya Dukung Kawasan Konservasi .............................................. C. Citra Pulau Panggang dan Pulau Harapan ..................................... D. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi .......................................... 1. Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan ................... a. Karakteristik Masyarakat .............................................. b. Persepsi Masyarakat ...................................................... E. Kriteria Kawasan Konservasi ........................................................ F. Strategi Pengelolaan Kawasan dengan Analisis SWOT ................ 1. Identifikasi Faktor-faktor Strategi Internal ........................... a. Kekuatan ......................................................................... b. Kelemahan .................................................................... 2. Identifikasi Faktor-faktor Strategi Eksternal ......................... a. Peluang ........................................................................... b. Ancaman ....................................................................... 3. Matriks SWOT ...................................................................... 4. Alternatif Strategi ..................................................................
33 33 33 35 35 37 38 38 38 42 44 49 52 52 52 53 55 55 56 58 58
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
......................................................
62
...........................................................................
63
..........................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
..............................................................................
iii
90
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Jenis data, metode/analisis dan informasi yang dicari ........................
16
2. Komposisi, jenis, sumber, dan teknik pengambilan data ......................
17
3. Kriteria kategori kawasan konservasi ...................................................
24
4. Kategori peruntukan kawasan konservasi berdasarkan DKP ...............
26
5. Matriks IFE/EFE .................................................................................
28
6. Matriks SWOT .....................................................................................
29
7. Persentase penduduk berdasarkan pekerjaan ......................................
31
8. Produksi perikanan laut di Kelurahan Pulau Harapan tahun 2001 ......
32
9. Kondisi persentase tutupan komunitas karang di Pulau Harapan
.....
33
10. Kondisi persentase tutupan komunitas karang di Pulau Panggang
...
34
11. Persentase penutupan lamun (%) di Pulau Panggang ........................
36
12. Persentase penutupan lamun (%) di Pulau Harapan ..........................
36
13. Daya Dukung Kawasan Konservasi ....................................................
37
14. Jenis alat tangkap di Pulau Panggang dan Pulau Harapan ...................
41
15. Kriteria kawasan konservasi ...............................................................
49
16. Penentuan kategori peruntukan kawasan konservasi .........................
51
17. Matrik SWOT .....................................................................................
57
18. Rangking alternatif strategi ...................................................................
59
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Kerangka pendekatan studi ................................................................
4
2. Peta lokasi penelitian di Pulau Panggang ..........................................
18
3. Peta lokasi penelitian di Pulau Harapan .............................................
19
4. Citra sebaran sumberdaya di Pulau Panggang ..................................
39
5. Citra sebaran sumberadaya di Pulau Harapan ....................................
40
6. Karakteristik usia masyarakat lokal ...................................................
42
7. Karakteristik pendidikan masyarakat lokal ........................................
43
8. Persepsi masyarakat tentang konsep konservasi ................................
44
9. Persepsi masyarakat tentang keefektifan konsep konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan .............................................................
45
10. Partisipasi masyarakat dalam penerapan konsep konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan .............................................................
46
11. Persepsi masyarakat tentang hasil tangkap setelah diterapkan konsep konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan ............................
47
12. Persepsi masyarakat tentang keefektifan patroli yang dilakukan oleh TNLKS di Pulau Panggang dan Pulau Harapan ................................
48
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Harapan ...................................
66
2. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Panggang ..................................
69
3. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Harapan ...................
75
4. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Panggang .................
77
5. Kuisioner Pulau Panggang dan Pulau Harapan ....................................
82
6. Tahapan pembuatan matrik SWOT ......................................................
84
7. Foto Kondisi Karang di Pulau Harapan ...............................................
87
8. Foto Kondisi Karang di Pulau Panggang .............................................
88
9. Dokumentasi pelaksanaan konsep konservasi .....................................
89
vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pulau kecil didefinisikan sebagai kumpulan pulau yang secara fungsional saling berinteraksi secara ekologis, ekonomis, sosial dan budaya. Karakteristik pulau kecil secara ekologis meliputi daya dukung yang terbatas namun biodiversitasnya tinggi dan memiliki spesies endemik, sedangkan untuk karakteristik secara ekonomi dan budaya adalah adanya ketergantungan ekonomi, aksesibilitas yang terbatas dan lain-lain. Ekosistem pulau-pulau kecil, perairan laut dangkal yang unik, khas dan rapuh itulah yang menjadi alasan kawasan Kepulauan Seribu dipilih sebagai kawasan Konservasi Laut pada tanggal 13 Juni 2004 (SK MENHUT Nomor 6310/Kpts-II/2002 in Mulia 2004) . Kawasan konservasi laut di Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ini seluas 107.489 ha. Penetapannya juga disesuaikan dengan kriteria International Union for Conservation and Natural Resources (IUCN). Kawasan Taman Nasional Laut terdiri dari gugusan pulau kecil dan gosong, hamparan pasir dan karang, mangrove pulau kecil, terumbu karang pinggiran (fringing reef), lamun (seagrases), dan perairan laut dangkal (Mulia, 2004). Kepulauan Seribu merupakan Kabupaten Administratif dengan luas 1180,4 ha. Seluruh jumlah kepulauan yang ada di Kepulauan Seribu tercatat 106 buah, yang terdiri dari 28 pulau milik pribadi, 34 pulau milik swasta dan sisanya sebanyak 46 buah pulau termasuk 11 pulau yang berpenduduk tetap dikelola oleh pemerintah. Secara geologis pulau-pulau di Kepulauan Seribu terbentuk dari batuan karang yang terbentuk jutaan tahun yang lalu, sehingga pulau-pulau di Kepulauan Seribu cenderung memiliki substrat berpasir dan pecahan terumbu. Penduduk Kepulauan Seribu berjumlah 4.920 KK dan sebanyak 660 keluarga termasuk dalam kelompok prasejahtera. Sebanyak 65% diantaranya bermukim di pulau pemukiman (Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa 2 dan Pulau Harapan), yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Mata pencaharian masyarakat sebagian besar adalah nelayan tangkap ( Suku Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005).
1
2
Pulau Panggang merupakan pulau terpadat di Kepulauan Seribu, dengan kepadatan penduduk sekitar 364 jiwa/ha. Pulau Harapan juga merupakan pulau yang padat dengan luas mencapai 6,70 ha, Pulau Harapan memiliki kepadatan 207 orang/ha. Oleh karena itu Pulau Panggang dan Pulau Harapan perlu mendapat perhatian khusus terutama dari Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Selain itu permasalahan-permasalahan yang turut memperburuk keadaan disana diantaranya, semakin kumuhnya lingkungan di sana, reklamasi secara sporadis, kerusakan ekosistem dan ditambah lagi dengan adanya pencemaran minyak oleh kapal yang melintas dan pencemaran sampah yang dilakukan oleh masyarakat pulau Panggang dan Pulau Harapan sendiri. Permasalahan yang ada pada pulau padat penduduk tersebut memerlukan adanya peran konservasi di sana agar kerusakan sumberdaya di Pulau Panggang dan Pulau Harapan dapat diminimalisir, yang tentunya perlu dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan daerah konservasi yang berkesinambungan.
B. Perumusan Masalah Pulau kecil merupakan kawasan dengan sumberdaya yang beragam mulai dari flora dan fauna yang ada di darat maupun yang ada di perairan di sekitar pulau tersebut. Ekosistem yang mendukung kawasan tersebut juga tidak kalah penting, mulai dari ekosistem mangrove, ekosistem lamun sampai ekosistem terumbu karang yang kesemuanya itu sangat bermanfaat bagi manusia. Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan pulau yang berpotensi, namun potensi yang dimiliki oleh kedua pulau tersebut mulai mengalami kerusakan. Ancaman perusakan lingkungan lebih banyak datang dari kegiatan manusia. Ancaman yang paling besar berasal dari limbah domestik baik yang dibuang oleh masyarakat sekitar pulau tersebut maupun limbah dan sampah dari Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Pengambilan karang hias yang tidak bertanggung jawab serta penggunaan potassium dalam menangkap ikan oleh nelayan turut memperparah keadaan di sana. Kapal tanker yang melintas maupun kegiatan offshore juga menambah pencemaran lingkungan berupa tumpahan minyak ke perairan.
3
Pencemaran yang terjadi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan masalah utama yang menyebabkan kerusakan sumberdaya dan menghambat keberlanjutan konservasi di kedua pulau tersebut. Permasalahan lingkungan dan degradasi sumberdaya perlu dilakukan upaya rehabilitasi agar kerusakan dapat diminimalkan dan dicegah lebih awal. Proses analisis permasalahan untuk mendapatkan solusi dilakukan beberapa tahap di antaranya identifikasi potensi permasalahan dan degradasi lingkungan, penyebab timbulnya, akar permasalahan serta upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Adapun contoh permasalahan yang terjadi adalah :
1. Pencemaran minyak yang disebabkan oleh aktivitas transportasi laut, aktivitas perikanan tangkap, serta kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dari MIGAS di Kepulauan Seribu (PKSPL dan CNOOC, 2006) 2. Pencemaran logam berat yang berasal dari buangan pabrik di Jakarta. 3. Pencemaran sampah yang berasal dari aktifitas penduduk di Pulau Panggang dan Pulau Harapan, dan kontribusi dari Teluk Jakarta. 4. Pencemaran bahan organik yang disebabkan oleh aktifitas penduduk seperti kegiatan rumah tangga, kegiatan budidaya, pariwisata dan kontribusi dari Teluk Jakarta. 5. Abrasi, sebagai hasil dari proses alami perairan. 6. Penurunan Hasil Perikanan, sebagai dampak dari over fishing, pencemaran perairan, kerusakan habitat dan destruktif fishing. 7. Degradasi mangrove, yang disebabkan konversi lahan mangrove untuk peruntukan lain (tambak, industri dan pemukiman), serta penebangan kayu mangrove. 8. Degradasi terumbu karang, yang disebabkan metode penangkapan ikan yang merusak, pencemaran perairan (khususnya bahan organik), sedimentasi dan kerusakan alamiah. 9. Adanya sedimentasi yang berasal dari limpasan sungai di Jakarta.
4
Kondisi yang cukup memperihatinkan tersebut menuntut adanya upaya rehabilitasi lingkungan yaitu dengan kegiatan konservasi. Kepulauan Seribu yang sejak tahun 2004 ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut (SK MENHUT Nomor 6310/Kpts-II/2002 in Mulia 2004) memang belum begitu terasa dampaknya bagi pelestarian lingkungan di Kepulauan Seribu terutama di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keefektifan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Gambaran mengenai kegiatan konservasi dapat dilihat melalui sebuah kerangka pendekatan studi (Gambar 1). Potensi Fisik
Potensi SDA • • •
Bentang alam yang berasosiasi dengan flora dan fauna
Mangrove Lamun Terumbu Karang
Potensi SDM Masyarakat yang mau menerima masukan tentang pentingnya konservasi
Analisis Kesesuaian Kawasan Konservasi
Kawasan Konservasi Laut
SWOT
Strategi Pengelolaan KKL s Gambar 1. Kerangka pendekatan studi
5
Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan pulau yang cukup berpotensi untuk hal sumberdaya alam. Sumberdaya yang paling diandalkan adalah
sumberdaya
perikanan,
sebagai
contoh
Pulau
Harapan
mampu
menghasilkan ikan kembung mencapai 110.000 kg/tahun (Suku Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005). Sama halnya dengan Pulau Harapan, Pulau Panggang juga memiliki potensi sumberdaya seperti, rumput laut dan karang hias, bahkan nelayan karang hias di Kepulauan Seribu hanya terdapat di Kelurahan Pulau Panggang, karena memang pengumpul dan penampungnya hanya ada di Pulau Panggang (Passiamanto, 2005). Ekosistem di kedua pulau tersebut saat ini dalam keadaan
yang
memperihatinkan, untuk itu diperlukan adanya suatu analisis pendukung mengenai kesesuaian kawasan konservasi. Analisis tersebut diharapakan dapat membantu pemerintah pusat khususnya TNLKS sebagai pemangku kepentingan, untuk memperoleh arahan-arahan dalam pengelolaan kawasan yang berbasis konservasi. Kawasan konservasi merupakan suatu kawasan yang pemanfaatannya dilakukan secara bertanggung jawab. Kawasan konservasi dapat diwujudkan apabila adanya dukungan dari berbagai pihak terutama masyarakat sekitar. Selain itu analisis pendukung juga berperan dalam memberikan arahan-arahan pengelolaan kawasan konservasi. Analisis pendukung yang biasa digunakan adalah analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Oportunities, and Threats). Analisis ini membahas tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari suatu kawasan, dalam hal ini kawasan tersebut adalah Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Bentuk-bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan seperti penetapan titik Daerah Perlindungan Laut, penggunaan alat tangkap ramah lingkungan, kegiatan transplantasi karang, penanaman mangrove dan kegiatan konservasi lainnya. Kerangka pemikiran yang telah dipaparkan tadi diharapkan menjadi suatu bahan masukan kebijakan pemerintah pusat, khususnya Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS) untuk dapat diterapkan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan.
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian memiliki tujuan dan manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan gambaran umum dari potensi yang dimiliki Pulau Panggang dan Pulau Harapan dilihat dari segi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan pengelolaan yang berbasis pada konsep konservasi, 2. Mengetahui isu-isu permasalahan dalam pengelolaan untuk kegiatan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. 3. Memaparkan dampak ditimbulkan dari konsep konservasi bagi masyarakat lokal Pulau Panggang dan Pulau Harapan.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan referensi dan masukan bagi perencanaan dan pengambilan kebijakan dalam pengelolaan Kepulauan Seribu khususnya Pulau Panggang dan Pulau Harapan.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pulau Kecil Pulau kecil mempunyai definisi yang beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang. Semula ditetapkan batasan pulau kecil ialah pulau dengan ukuran kurang dari 1000 km2 atau pulau dengan lebar 10 km. Namun ternyata banyak pulau yang berukuran antara 1.000-2.000 km2 memiliki permasalahan yang sama dengan yang kurang dari 1.000 km2. Oleh karena itu, diputuskan oleh IHP-UNESCO bahwa batasan pulau kecil adalah dengan luas kurang dari 2.000 km2 atau pulau yang memiliki lebar kurang dari 10 km. Pulaupulau kecil yang secara fisik memiliki sumberdaya alam daratan (terestrial) sangat terbatas, tetapi sebaliknya dikaruniai sumberdaya kelautan yang melimpah, merupakan aset bangsa untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi. Pulau-pulau kecil dapat dibagi dua, yaitu “pulau oceanic” dan “pulau kontinental”. Selanjutnya “pulau-pulau oceanic” dibagi menjadi dua jenis, pulau vulkanik dan pulau karang. Oleh karena itu sumberdaya alam yang ditemukan pada pulau-pulau seperti ini berasal dan menyebar dari daratan besar di luar pulau-pulau tersebut. Pulau kontinental umumnya terdapat di dekat daratan benuabenua besar yang perairannya dangkal. Tipe pulau ini mempunyai sejarah geologi dan biota yang sama dengan induknya akan tetapi pada zaman air surut beberapa tahun yang lalu bahkan sampai 6.000 tahun yang lalu pulau-pulau tersebut sama dengan pulau-pulau induknya yang berdekatan (Dahuri, 1998).
B. Batasan Wilayah Pesisir dan Gugusan pulau Wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan. Menurut Dahuri et. al., 1996 wilayah pesisir adalah pertemuan antara darat dan laut. Wilayah pesisir yang ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam, serta daerah perairannya yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat air laut dan perembesan air asin. Wilayah pesisir yang ke arah laut, mencakup bagian laut yang dipengaruhi oleh proses alami seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun kegiatan manusia di darat seperti pencemaran.
7
8
Wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari berbagai macam ekosistem : mangrove, terumbu karang, delta estuaria, pantai berpasir, pantai berbatu, pantai tebing yang antara satu dan lainnya saling terkait. Bila salah satu ekosistem tersebut terganggu atau rusak maka secara otomatis akan menggangu juga ekosistem lainnya. Para ilmuwan, pengambil keputusan maupun aparat pemerintahan sangat perlu untuk mengetahui semua ekosistem yang terdapat di kawasan pantai sebelum mengambil keputusan penting dalam mengelola dan memanfaatkan kawasan tersebut (Dahuri, 1998). Pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir dewasa ini semakin pesat terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat lebih disebabkan karena wilayah pesisir dianggap sebagai wilayah yang dapat memberikan kelebihan ekonomi, hubungan sosial dan kesempatan rekreasi yang sulit didapatkan di wilayah daratan (Kay dan Alder, 1999). Gugusan pulau merupakan kumpulan dari beberapa pulau (besar maupun kecil) yang membentuk satu kesatuan yang dipisahkan dari pulau-pulau lainnya oleh lautan yang dalam. Satu pulau dengan pulau yang lainnya yang terletak dalam satu gugus memiliki banyak kesamaan seperti proses dan sejarah pembentukan pulau, habitat dan biota yang dimiliki, kultur bahasa dan budaya masyarakat (Mulia, 2004). Perkembangan selanjutnya akibat dari pertambahan jumlah penduduk, perluasan pemukiman dan kegiatan industri, pariwisata dan transportasi laut, maka pulau-pulau kecil tersebut mendapat tekanan berat akibat eksploitasi sumberdaya alamnya. Atas dasar itu maka pendekatan secara ekonomi-ekologi dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan mutlak diperlukan, hal ini mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem sekitar maupun bagi kehidupan ekosistem di daratan dan yang lebih penting lagi bagi kelangsungan hidup manusia yang akan datang. Jika pulau-pulau kecil ini berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, maka bukan saja akan merupakan pertumbuhan baru yang signifikan, tetapi sekaligus akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial (Dahuri, 1998).
9
C. Ekosistem Pesisir 1. Ekosistem Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2001). Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di daerah pantai, merupakan jalur hijau, yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta, muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman garis pantai. Selain itu hutan mangrove juga merupakan suatu tipe hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut (Kusmana 1995 in Ankotosan 2003).
a. Struktur Vegetasi Mangrove Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis. Hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam 4 famili : Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae
(Sonneratia),
Avicenniaceae
(Avicennia),
dan
Meliaceae
(Xylocarpus) (Bengen, 2001). Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus. Setiap vegetasi mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan topografi, pasang surut, salinitas (Bengen, 2001).
10
Sehingga umumnya membentuk struktur zonasi yang berbeda-beda pada setiap komunitasnya, yang mempunyai ecological niche yang khas yang didominasi oleh satu jenis (Istomo 1992 in Angkotosan 2003). Parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah pasokan air tawar dan salinitas, stabilitas substrat dan pasokan nutrien. Kesediaan air tawar dan salinitas mengendalikan efisiensi metabolisme dan ekosistem mangrove. Ketersediaan air bergantung pada frekuensi dan volume pertukaran pasang surut dan tingkat evaporasi. Stabilitas substrat merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan mangrove, adalah nisbah (rasio) antara laju erosi dan pengendapan sedimen, yang dikandungnya, laju pembilasan oleh arus pasang surut dan gaya gelombang (Dahuri 2001 in Angkotosan, 2003).
b. Zonasi Ekosistem Mangrove Tempat tumbuhnya hutan mangrove mempunyai zonasi mulai dari tepi pantai sampai menjorok ke daratan. Menurut Bengen (2001) salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia adalah sebagai berikut : a. Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia biasa tumbuh pada lumpur dalam yang kaya akan bahan organik. b. Lebih kearah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp, di zona ini juga ditemukan Bruguiera dan Xylocarpus. c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Selanjutnya terdapat zona transisi antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah yang biasanya ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan pandan laut.
c. Fungsi Ekosistem Mangrove Sebagai suatu ekosistem yang kompleks dan unik, hutan mangrove mempunyai tiga fungsi utama bagi kelestarian sumberdayanya. Tiga fungsi utama teersebut adalah fisik, biolgi dan ekonomi. Umumnya hutan mangrove terdapat pada kawasan pinggir pantai, muara dan juga sungai yang mengalami rembesan air laut (Odum, 1993).
11
Hutan mangrove ini secara fisik menjaga dan menstabilkan garis pantai serta tepian sungai, pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, mempercepat pembentukan lahan baru. Fungsi biologi adalah sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan, burung, biawak, ular serta sebagai tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti anggrek, paku pakis, tumbuhan semut, dan berbagai kehidupan lainnya. Hutan mangrove juga telah diketahui sebagai penghasil serasah yang sama atau cukup tinggi produksinya jika dibandingkan dengan hutan darat tropika. Fungsi ekonomi hutan mangrove digunakan sebagai tempat rekreasi, tujuan budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove. Selain itu kayu pohon mangrove juga dapat digunakan sebagai obatobatan, bahan bangunan, makanan, dan penghasil bahan kimia (Odum, 1993).
2. Ekosistem Lamun Ekosistem padang lamun di pulau kecil memiliki fungsi ekologis yang cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni oleh berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap, maupun bermigrasi ke padang lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di kawasan tersebut (Bengen, 2001). Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang memilki rhizoma daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious) (Bengen, 2001). Ekosistem padang lamun bukan merupakan komunitas yang terisolasi, tetapi berinteraksi dengan ekosistem lainnya. Interaksi terpenting ekosistem padang lamun adalah dengan ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang, dimana terdapat lima tipe interaksi antara ketiga ekosistem tersebut, yakni : fisik, bahan organik terlarut bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak manusia (Bengen, 2001). Lamun hidup di perairan yang jernih dan dangkal pada kedalaman 2 – 12 meter dengan sirkulasi air yang baik (Bengen, 2001).
12
a. Fungsi Ekosistem Lamun Menurut Bengen (2001), secara ekologis, lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu: 1. Produsen detritus dan zat hara. 2. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang. 3. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini. 4. Sebegai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
b. Pemanfaatan Ekosistem Lamun Lamun dapat dimanfaatkan sebagai berikut: 1. Tempat kegiatan marikultur berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram. 2. Tempat rekreasi dan pariwisata. 3. Sumber pupuk hijau.
3. Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah suatu ekosistem di dalam laut tropis yang dibangun oleh biota laut penghasil kapur, khususnya karang batu (stony coral) dan algae berkapur (Calcreuas algae), bersama-sama dengan biota lainnya yang hidup di dasar. Algae yang dimaksud adalah algae koralin merah berbentuk hamparan (encrusting), seperti Lithotminion dan berperan penting dalam memelihara keutuhan terumbu dengan cara meletakkan terus-menerus berbagai potongan kalsium karbonat menjadi satu, sehingga memperkuat kerangka kapur. Terumbu karang memiliki fungsi fisik sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut.
13
Ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting karena banyak terdapat organisme yang hidup dan berasosiasi dengan karang sebagai tempat mencari makan (feeding ground), reproduksi (spawning ground), pembesaran (nursery ground), dan sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai komersial laut (marine commercial) di bidang pariwisata, karena terdiri dari keanekaragaman jenis, bentuk, tipe, dan keindahan karang serta kejernihan perairan manapun membentuk perpaduan yang harmonis, estetika sebagai tempat rekreasi bawah laut.
a. Fungsi Terumbu Karang Terumbu karang, khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Terumbu karang juga mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya (Bengen, 2001). Keindahan terumbu karang juga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari, sehingga secara tidak langsung menjadi sumber perekonomian dan sumber lapangan pekerjaan.
b. Pemanfaatan Terumbu Karang Menurut Bengen (2001), terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai berikut : 1. Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias. 2. Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur. 3. Bahan perhiasan. 4. Bahan baku farmasi.
14
D. Konservasi dan Pelestarian Alam Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan: menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, melindungi keanekaragaman hayati, menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat. Suatu konsep pengembangan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi (Yulianda, 2007): a. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. b. Pendidikan konservasi lingkungan; Mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi. c. Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi (conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan. d. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan. e. Penghasilan bagi masyarakat; Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan. f. Menjaga keharmonisan alam; Kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam. g. Daya
dukung
sebagai
batas
pemanfaatan;
Daya
tampung
dan
pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan. h. Kontribusi pendapatan bagi negara (Pemerintah Daerah dan Pusat).
Konservasi adalah pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya secara bijaksana bagi kepentingan manusia, sedangkan konsep konservasi adalah melindungi dan memanfaatkan serta mempelajari suatu kawasan. Kegiatan konservasi juga mencakup beberapa sektor ilmiah, sosial ekonomi dan sosial budaya, dan sektor pengelolaannya (Angkotosan, 2003).
15
Zonasi Kawasan Konservasi (Yulianda, 2007) : 1. Zona Inti atau Perlindungan Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktifitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas eksploitasi. 2. Zona Khusus Pada zona ini pemanfaatannya terbatas pada tujuan khusus seperti peneliti, pencinta alam, petualang, dan penyelam. Walaupun begitu tetap ada batasan yaitu jumlah pengunjung terbatas dengan ijin dan aturan-aturan khusus agar tidak menimbulakan gangguan terhadap ekosistem. 3. Zona Penyangga Zona ini bersifat lebih terbuka, tetapi tetap dikontrol, dan beberapa bentuk pemanfaatan
masih
dapat
diijinkan.
Penyangga
di
sekeliling
zona
perlindungan ditujukan untuk menjaga zona inti dan zona khusus dari aktifitas pemanfaatan yang dapat menggangu, dan melindungi zona-zona tersebut dari pengaruh eksternal. 4. Zona Pemanfaatan Pada zona ini dapat dilakukan pengembangan kepariwisataan alam, termasuk pengembangan fasilitas-fasilitas wisata alam, apabila kestabilan bentang alam dan ekosistem, resisten terhadap berbagai kegiatan manusia yang berlangsung di dalamnya.
Kawasan konservasi laut dapat ditentukan dalam berbagai cara, namun dua mekanisme yang paling umum adalah keputusan pemerintah (seringkali pada tingkat nasional tetapi juga dapat terjadi pada tingkat regional atau setempat), serta pengelolaan yang dilakukan secara individu atau oleh organisasi konservasi. Pemerintah dapat menyisihkan lahan untuk kawasan konservasi dan menegakkan hukum yang memungkinkan penggunaan dengan intensitas yang beragam, baik untuk tujuan komersial, rekreasi (wisata) maupun penggunaan tradiasional oleh masyarakat setempat (Yulianda, 2004).
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan April hingga Agustus 2007.
B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah kamera, recorder, perlengkapan selam, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah kuisioner, data sheet, peta wilayah, dan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini.
C. Jenis Data dan Informasi Data Sumberdaya Alam, Daya Dukung Kawasan, Sumberdaya Manusia, Keadaan Umum Lokasi, Isu-isu yang berkembang, dan Kebijakan Pengelolaan di wilayah tersebut (Tabel 1 dan 2). Tabel 1. Jenis data, metode / analisis dan informasi yang dicari Jenis data 1. Lamun
Metode / Analisis
Informasi yang dicari
Metode Transek Kuadrat
Persentase tutupan lamun di setiap
Analisis persentase tutupan lamun
stasiun sehingga diharapkan dapat
menggunakan rumus : C =
∑ Ci ∑n
memberikan gambaran keadaan lamun di Pulau Panggang dan Pulau Harapan
2. Mangrove
Metode Transek Plot
Persentase tutupan mangrove di
Analisis persentase tutupan
setiap stasiun sehingga diharapkan
mangrove menggunakan rumus :
dapat memberikan gambaran
RFi = 3. Terumbu Karang
Fi x100 % ∑ Fi
keadaan mangrove di Pulau Panggang dan Pulau Harapan
Metode Line Intercept Transect
Persentase tutupan karang di
Analisis presentase tutupan karang
setiap stasiun sehingga diharapkan
menggunakan rumus :
dapat memberikan gambaran
L=
keadaan terumbu karang di Pulau
Li x100 % n
Panggang dan Pulau Harapan
16
17
Tabel 2. Komposisi, jenis, sumber, dan teknik pengambilan data No.
Komponen data
Jenis data Primer
1.
3.
4.
Kedalaman perairan
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka
Material dasar perairan
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Ketebalan mangrove
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Kerapatan mangrove
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Jenis mangrove
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka
Obyek biota
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka
Mangrove
Terumbu Karang Tutupan komunitas karang Jenis life form
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Jenis ikan karang
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Lebar hamparan datar karang Lamun
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Tutupan lamun
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Jenis ikan
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Jenis lamun
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Jenis substrat
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Kedalaman lamun
Primer
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka, Observasi lapang
4.
Luas area kegiatan
5.
Sumberdaya Manusia
6.
Teknik pengambilan data
Pantai
Kecerahan perairan 2.
Sumber data
Sekunder
Masyarakat
Primer
Responden, lapangan
Wawancara
Pengelola
Primer
Responden, lapangan
Wawancara
Instansi Terkait
Primer
Responden, lapangan
Wawancara
Sekunder
Responden, laporan
Wawancara, Studi pustaka
Geografi
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka
Demografi
Sekunder
Laporan
Studi Pustaka Wawancara, Observasi lapang, Studi pustaka Wawancara, Observasi lapang, Studi pustaka Wawancara, Observasi lapang, Studi pustaka Wawancara, Observasi lapang, Studi pustaka
Keadaan Umum Lokasi Sejarah dan Budaya
Primer
Sarana dan Prasarana
Primer
Sekunder
Responden, lapangan
Pendidikan
Primer
Sekunder
Responden, lapangan Responden, laporan, lapangan Responden, laporan, lapangan
7.
Isu-isu yang berkembang
Primer
Sekunder
8.
Kebijakan pengelolaan
Primer
Sekunder
18
19
20
D. Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data 1. Data Primer Jenis data primer yang diambil adalah data karang, lamun, mangrove, dan data hasil wawancara. Data karang, lamun, dan mangrove dilakukan untuk mengetahui kondisi sumberdaya alam di pulau tersebut. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kondisi masyarakat sekitar, pihak pengelola, dan instansi terkait. a. Lamun 1. Tentukan posisi transek garis, sebaiknya dimulai dari bagian akhir sisi dalam pantai (inshore end) dan orientasinya tegak lurus terhadap garis pantai. 2. Jarak antar transek garis terpisah antara 50-100 m. Posisi antar transek garis sejajar dan tetap tegak lurus garis pantai. 3. Panjang transek garis tergantung pada bentangan padang lamun dan sebaiknya meliputi daerah perbatasan luar dari padang lamun tersebut (saat lamun mulai tak tampak). 4. Pengambilan sampel, menggunakan transek kuadrat (1 m x 1 m) dilakukan dengan interval/jarak yang sama. 5. Pada tiap stasiun penelitian, ulangan terhadap transek garis minimal 3 kali dan pengulangan transek kuadrat minimal 4 kali. 6. Catat parameter-parameter yang terkait dengan kondisi lingkungan tempat lamun hidup pada tiap stasiun pengamatan (misalnya kecerahan perairan, kedalaman, jenis substrat, kecepatan arus). 7. Perkirakan nilai persen penutupan lamun (tiap jenis/populasi) yang terdapat di dalam transek kuadrat dan dicatat ke dalam data sheet. Setelah itu hitung jumlah individu lamun (tiap jenis/populasi) berdasarkan akar rhizoma-nya yang terdapat dalam tiap transek kuadrat. 8. Untuk pendataan jenis ikan yang ada di padang lamun, gunakan metode sensus visual atau jaring kecil untuk mengambil sampel ikan di sekitar lamun.
21
b. Mangrove 1. Penentuan stasiun pengamatan ekosistem mangrove, dilakukan dengan membentuk stasiun berukuran 10 x 10 m2 untuk pohon, 5 x 5 m2 untuk anakan, 1 x 1 m2 untuk semai dengan menggunakan tali rafia, untuk melakukan pengukuran lingkar batang dan pengidentifikasian biota yang termasuk dalam wilayah stasiun tersebut. 2. Pengambilan data pada ekosistem mangrove yaitu dengan melihat-lihat jenis mangrove yang berada di dalam stasiun pengamatan serta jenis perakarannya. Kemudian dilakukan pengukuran diameter setiap pohon yang berada di dalam stasiun serta pengamatan pada biota-biota yang berada di stasiun tersebut. Ukurannya yaitu 10 x 10 m2 untuk pohon, 5 x 5 m2 untuk anakan, dan 1 x 1 m2 untuk semai. c. Terumbu Karang Pengamatan terumbu karang pada suatu ekosistem dilakukan dengan menggunakan LIT (Line Intercept Transect) (English et al., 1994). Pengambilan data di stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan transek garis sepanjang 100 m. Kemudian, pengambilan data dilakukan pada dua kedalaman, yaitu kedalaman 3 m yang mewakili kedalaman dangkal dan kedalaman 10 m yang mewakili kedalaman yang lebih dalam. Pada daerah yang landai, pengamatan dilakukan pada kedalaman 4-5 m. Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Spesifikasi karang yang diharapkan dicatat adalah berupa bentuk tumbuh karang (life form). Pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian mendekati centimeter, dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni atau lebih tumbuh di atas koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. Panjang tumpang tindih koloni dicatat yang nantinya akan digunakan untuk menganalisa kelimpahan jenis.
22
Persentase penutupan karang hidup dihitung dengan rumus (English et al., 1994): L = Li x 100% N Keterangan: L = Persentase penutupan karang (%) Li = Panjang kategori genus ke-i N = Panjang Transek Kategori persentase penutupan karang keras menurut Gomez dan Yap, 1988 sebagai berikut : Sangat baik Baik Sedang Buruk
: 75%-100% : 50%-74,9% : 25%-49,9% : 0%-24,95
2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan berasal dari studi pustaka, berupa laporan hasil penelitian sebelumnya, buku mengenai ekowisata dan konservasi serta laporan dari Internet mengenai keadaan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Data yang dikumpulkan meliputi Sumberdaya Alam, keadaan umum kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan, isu-isu yang berkembang, kebijakan pengelolaan di wilayah tersebut oleh pemerintah pusat (Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu) dan pemerintah setempat yaitu kelurahan, serta keadaan sosial masyarakat di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. E. Analisa Data 1. Analisa Persentase Total Tutupan Karang Untuk analisa persentase total tutupan karang, digunakan rumus: Persentase tutupan (%) =
Panjang intersep per spesies × 100 % Total panjang transek
2. Analisa Kerapatan Mangrove Untuk analisa kerapatan mangrove, digunakan rumus Kerapatan relatif =
Jumlah individu masin - masing jenis × 100 % Jumlah keseluruhan individu
23
Frekuensi relatif =
Frekuensi kehadiran masing - masing jenis × 100 % Frekuensi dari semua jenis
3. Analisa Persentase Total Penutupan Lamun Untuk mengetahui luas area penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan dengan luas total area penutupan untuk seluruh jenis lamun, digunakan Metode Saito dan Adobe (KEPMENLH, 2004). Adapun metode penghitungannya adalah sebagai berikut:
C=
∑ Ci ∑n
Keterangan : C = persentase penutupan jenis lamun i. Ci = persentase titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i. n = banyaknya sub petak dimana kelas kehadiran jenis lamun i sama.
4. Daya Dukung dan Kesesuaian Analisa daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka perlu penentuan daya dukung kawasan. Metode yang diperkenalkan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam dengan menggunakan konsep Daya Dukung Kawasan (DDK) (Yulianda, 2007).
DDK = Kx
Lp Wt x Lt Wp
Keterangan : DDK = Daya Dukung Kawasan K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata per hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setia kegiatan tertentu
24
Pengusahaan kegiatan wisata dalam konservasi diatur oleh ketentuan Peraturan Pemerintah (PP No.18/1994 in Yulianda 2007) tentang Pengusahaan Pariwisata alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikembangkan adalah 10% dari luas zona pemanfaatan. Sehingga daya dukung kawasan dalam kawasan konservasi perlu dibatasi dengan ” Daya Dukung Pemanfaatan” (DDP) dengan rumus : DDP = 0,1 x DDK
5. Kriteria Kawasan Konservasi Berdasarkan DKP Kriteria kawasan konservasi yang dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) diadopsi dan dimodifikasi oleh kawasan konservasi berdasarkan IUCN. Parameter yang dianalisa antara lain : kelengkapan spesies/habitat, luas kawasan, peluang untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi, dan pengaruh aktivitas manusia. Analisis penetuan status kawasan konservasi terdiri dari 2 tahap. Analisis tahap pertama adalah analisis kelayakan kawasan berdasarkan kriteria Kawasan Konservasi Laut (Tabel 3). Tahap ini dilakukan penyaringan dan pengklasifikasian kawasan studi sesuai syarat minimal dari kriteria masing-masing kategori (Yulianda, 2004). Tabel 3. Kriteria kategori kawasan konservasi Kategori I Konservasi Ekosistem dan Rekreasi II Konservasi Habitat dan Spesies
III Konservasi Bentang Alam dan Rekreasi IV Konservasi Secara Lestari Ekositem Alami
Kriteria 1. 2.
KelengkapanSumberdaya alam/ spesies / habitat Kawasan cukup luas
1.
Mempunyai peranan penting terhadap perlindungan sumberdaya alam dan jenis (kelengkapan ekosistem) Kesatuan kawasan (habitat) Bebas dari pengaruh aktivitas manusia Ukuran kawasan sesuai dengan kebutuhan habitat Memiliki bentang alam yang berasosiasi dengan habitat (flora dan fauna) Peluang untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi Dua per tiga dari kawasan masih alami Kemampuan kawasan untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa menimbulkan kerusakan Terdapat badan pengelolaan di kawasan tersebut
2. 3. 4. 1. 2. 1. 2. 3.
(Sumber : Yulianda, 2004)
25
•
Kategori I atau konservasi kawasan yang berbasis ekosistem dan rekreasi memiliki kriteria yaitu adanya kelengkapan sumberdaya alam spesies/ habitat dan memiliki kawasan yang cukup luas.
•
Kategori II atau konservasi kawasan yang berbasis pada habitat dan spesies memiliki kriteria yaitu memiliki peranan penting terhadap perlindungan sumberdaya dan jenis (kelengkapan ekosistem), artinya kawasan tersebut dikhususkan sebagai kawasan lindung spesies dan habitat. Memiliki kesatuan kawasan, artinya dalam kawasan tersebut masing-masing habitat saling berhubungan tidak terpisah satu sama lain. Kriteria berikutnya adalah bebas dari campur tangan aktivitas manusia, selanjutnya ukuran kawasan sesuai dengan kebutuhan habitat, artinya ada kesesuaian kawasan untuk habitat suatu spesies sehingga tidak tumpang tindih dengan peruntukan yang lain.
•
Kategori III atau konservasi kawasan yang berbasis bentang alam dan rekreasi, yaitu memiliki bentang alam yang berasosiasi dengan habitat, artinya bentang alan kawasan tersebut bukan daerah yang ekstrim topografinya sehingga flora dan fauna dapat berkembang dengan baik. Kriteria selanjutnya ada peluang untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi, artinya kawasan tersebut dapat dijadikan kawasan wisata.
•
Kategori IV atau kawasan yang pemanfaatannya dilakukan secara lestari dengan kondisi ekosistem masih alami. Kriterianya adalah 2/3 dari kawasan masih alami, artinya 2/3 kawasan tersebut belum dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Kemampuan kawasan untuk pengembangan SDA tanpa
menimbulkan
mempertahankan
kerusakan,
keasliannya.
artinya
Kriteria
kawasan
tersebut
dapat
berikutnya
terdapat
badan
pengelolaan di kawasan tersebut, artinya ada suatu badan yang bertanggung jawab atas perlindungan kawasan tersebut.
26
Tahap selanjutnya adalah penentuan kategori KKL berdasarkan prioritas obyek pengeloaan yang sesuai untuk masing-masing kategori (Tabel 4). Pada tahap ini dihitung sistem pembobotan berdasarkan syarat-syarat obyek yang dipenuhi. Kategori Kawasan Konservasi Laut yang dipilih adalah kategori yang mempunyai bobot yang nilai yang tertinggi (Yulianda, 2004). Tabel 4. Kategori peruntukan kawasan konservasi berdasarkan DKP OBYEK PENGELOLAAN 1. Penelitian 2. Perlindungan alam 3. Perlindungan jenis dan keragaman 4. Pemeliharaaan lingkungan 5. Perlindungan alam yang khas 6. Wisata dan rekreasi 7. Pendidikan 8. Pemanfaatan sumberdaya alam 9. Pemeliharaan komponen budaya
I 2 2 1 1 2 1 2 3
KATEGORI II III 2 2 3 2 1 2 1 1 3 1 3 2 2 2 2 1 1
IV 3 2 1 1 3 3 3 1 2
(Sumber : Yulianda, 2004) Keterangan :
1. Obyek Primer 2. Obyek Sekunder 3. Obyek yang mungkin bisa dipakai
6. Analisis Strategi Pengelolaan a. Metode Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Oportunities, Threats) Pengelolaan kawasan konservasi ekosistem pesisir (mangrove, lamun, dan terumbu karang) di Pulau Panggang dan Pulau Harapan, memerlukan berbagai strategi, untuk mengetahui strategi pengelolaannya dilakukan melalui analisis SWOT. Analisa SWOT merupakan matching tool yang penting untuk membantu mengembangkan 4 tipe strategi dengan menggunakan semua faktor internal dan eksternal yang ada. Keempat strategi tersebut adalah: 1. SO, yaitu menggunakan kekuatan internal yang dimiliki untuk mengambil peluang-peluang yang ada. 2. ST, yaitu berusaha untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki. 3. WO, yaitu bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan internal yang ada dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal.
27
4. WT, yaitu berusaha bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman. Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisa SWOT adalah : 1. Analisa dan Pembuatan matriks IFE (Internal Factor Evaluation). 2. Analisa dan Pembuatan matriks EFE (Eksternal Factor Evaluation). 3. Pembuatan matriks SWOT. 4. Pembuatan tabel rangking alternatif strategi. b. Analisa dan Pembuatan matriks IFE 1. Buat daftar critical success factors (faktor-faktor utama yang mempunyai dampak penting pada kesuksesan/kegagalan usaha) yang menjadi kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses). 2. Tentukan bobot dari critical success factors sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,0. 3. Beri rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem pesisir di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. (Nilai : 4 = Sangat Penting, 3 = Penting, 2 = Cukup Penting, 1 = Kurang Penting). 4. Kemudian kalikan antara bobot dengan nilai ratingnya dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya. 5. Jumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. c. Analisa dan Pembuatan matriks EFE 1. Buat daftar critical success factors yang menjadi Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats). 2. Tentukan bobot dari critical success factors sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,0. 3. Beri rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem pesisir di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. (Nilai : 4 = Sangat Penting, 3 = Penting, 2 = Cukup Penting, 1 = Kurang Penting).
28
4. Kemudian kalikan antara bobot dengan nilai ratingnya dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya. 5. Jumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. d. Pembobotan matriks IFE dan EFE Bobot
yang
diberikan
pada
tiap
faktor
disesuaikan
dengan
skala
kepentingannya terhadap pengelolaan ekosistem pesisir untuk pengembangan kawasan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Bobot setiap faktor internal dan eksternal ditentukan dengan ”Metode Paired Comparison” (Tabel 5). Skala yang digunakan untuk mengisi kolom dalam menentukan bobot setiap faktor adalah: 1. Bobot 1, jika indikator faktor horizontal kurang penting dibandingkan indikator faktor vertikal. 2. Bobot 2, jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal. 3. Bobot 3, jika indikator faktor horizontal lebih penting dibandingkan indikator faktor vertikal. 4. Bobot 4, jika indikator faktor horizontal sangat penting dibandingkan indikator faktor vertikal. Tabel 5. Matriks IFE/EFE Faktor Strategis Int/Eks A B C ... Total Sumber: David (2002)
A
B
C
...
Total
Bobot
X1 X2 X3 Xi ΣXi
σ1 σ2 σ3 σi Σσi
Bobot setiap faktor diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan faktor dengan menggunakan rumus:
óι =
Xi ∑ Xi
Keterangan:
29
σi = bobot faktor ke-i Xi = nilai faktor ke-i i = 1, 2, 3,..., n e. Pembuatan Matriks SWOT Setelah selesai menyusun matriks IFE dan EFE, langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT, dimana setiap unsur SWOT yang ada dihubungkan untuk memperoleh alternatif strategi seperti yang tersaji pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Matriks SWOT IFE
Strengths (S)
Weaknesses (W)
Tentukan 5-10 faktor-faktor
Tentukan 5-10 faktor-faktor
kekuatan internal
kelemahan internal
Opportunities (O)
Strategi SO
Strategi WO
Tentukan 5-10 faktor-
Ciptakan strategi yang
Ciptakan strategi yang
faktor peluang eksternal
menggunakan kekuatan untuk
meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang
memanfaatkan peluang
Threats (T)
Strategi ST
Strategi WT
Tentukan 5-10 faktor-
Ciptakan strategi yang
Ciptakan strategi yang
faktor ancaman eksternal
menggunakan kekuatan untuk
meminimalkan kelemahan untuk
mengatasi ancaman
menghindari ancaman
EFE
(Sumber : Rangkuti, 2003)
IV. KEADAAN UMUM LOKASI A. Letak Administrasi dan Luas Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan Kelurahan yang terletak di Kabupaten Administratif Kepuluan Seribu, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau Panggang memiliki luas 9 ha, dengan kepadatan penduduk sekitar 364 jiwa/ha. Pulau Harapan juga merupakan pulau yang padat dengan luas mencapai 6,70 ha, dengan kepadatan penduduk sekitar 207 orang/ha.
B. Sedimen Material yang mendominasi di perairan Kepulauan Seribu adalah material pasir, dengan jenis pecahan cangkang dan koral. Sedimen pasir yang ditemukan di dasar perairan
sekitar Kepulauan Seribu, diduga berasal dari suplai sedimen pulau-pulau
karang yang berada di Kepulauan Seribu, hal ini dicirikan oleh komposisi material penyususun sedimen yang di dominasi oleh pecahan cangkang sebesar 36%-58,31%, Foram 5,33%-38,33%, Dolomit 3,57%-14,67%, Koral 11,67%-56,31% (PKSPL dan CNOOC, 2006). C. Iklim Kondisi iklim di Kepulauan Seibu termasuk iklim tropika panas dengan suhu maksimum rata-rata 32,3°C dengan suhu minimum rata-rata 21,6°C, sedangkan suhu rata-rata 27°C. Musim yang dominan adalah musim barat (musim angin barat disertai hujan lebat) dan musim timur (musim angin timur dan kering). Kecepatan angin mencapai 4-5 knot/jam. Musim barat berlangsung dari bulan Desember sampai Maret. Pada musim ini, angin berhembus kencang dan arus kuat bergerak dari barat daya sampai barat laut disertai hujan yang cukup deras. Kecepatan angin mencapai 0,7-20 knot/jam. Akibat arus yang kuat, kejernihan air laut menjadi berkurang. Musim timur berlansung dari bulan Juni sampai September. Angin bertiup dari arah timur sampai dengan tenggara berkecepatan 0,7-1,5 knot/jam. Musim peralihan terjadi antara bulan April sampai bulan Mei dan bulan Oktober sampai dengan November. Keadaan laut pada musim ini berubahubah tetapi relatif tenang (Sulistyowati, 2003). 30
31 D. Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan mayoritas beragama Islam, dan pada umumnya berasal dari Suku Betawi, Bugis, Banten dan Madura. Selain terdiri dari suku yang beraneka ragam, masyarakat pulau Panggang dan Pulau Harapan juga memiliki mata pencaharian yang bervariasi, walaupun tetap didominasi oleh nelayan (Tabel 7). Tabel 7. Persentase penduduk berdasarkan pekerjaan Kelurahan Kel. P. Panggang Kel. P. Harapan
TNI / Polri 0,16
Mata Pencaharian Penduduk (%) PNS Buruh Pedagang Nelayan 3,06 5,86 19,65 65,99 2,13 23,32 72,41
Lain-lain 5,29 2,13
(Sumber : Laporan Tahunan dan Bulanan per Kelurahan, 2001-2002 )
E. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana di Pulau Harapan dan Pulau Panggang tergolong dalam kondisi yang buruk. Pulau Harapan memiliki 1 buah dermaga, sedangkan Pulau Panggang memiliki dermaga yang lebih banyak yaitu 3 buah. Dermaga ini berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan dan penumpang antar pulau dan wisata. Sarana listrik disana menggunakan tenaga diesel yang dikelola oleh masyarakat secara gotong royong dan memperoleh subsidi dari pemerintah. Listrik di Pulau Panggang dan Pulau Harapan mulai beroperasi pada siang hari pukul 13.00 sampai 6.00 pagi. Sarana air bersih masyarakat disana menggunakan sarana penampung air hujan yang tersedia pada masingmasing rumah. Sedangkan untuk pembuangan sampah di pulau tersebut disediakan di suatu tempat, walaupun keberadannya belum efektif.
F. Perdagangan Perdagangan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan sangat berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat pulau Panggang dan Pulau Harapan. Mata pencaharian penduduk Pulau Panggang 70% adalah nelayan. Nelayan di sana dapat dibagi atas dua jenis nelayan yaitu nelayan harian dan nelayan mingguan (pulang seminggu sekali). Selain nelayan, penduduk Pulau Panggang juga membudidayakan rumput laut yang ditangkap menggunakan jaring, untuk kemudian dikeringkan.
32 Pulau Panggang juga memiliki penampungan ikan hias hasil tangkapan nelayan. Setiap nelayan ikan hias akan menjual ikan hasil tangkapannya ke seorang pedagang di Pulau Panggang. Ikan-ikan konsumsi hasil tangkapan nelayan juga ditampung di Pulau Panggang kemudian dibawa ke Jakarta untuk dilelang di TPI Muara Angke. Pulau Harapan sendiri memiliki hasil sumberdaya alam yang cukup berpotensi, berikut data hasil perikanan di Pulau Harapan (Tabel 8). Pulau Panggang dan Pulau Harapan termasuk pulau yang berpotensi di Kepulauan Seribu, hanya saja potensi yang begitu besar belum dimaksimalkan pemanfaatannya
Tabel 8. Produksi perikanan laut di Kelurahan Pulau Harapan tahun 2001 No Jenis Ikan Produksi (kg/tahun) 1.
Tembang (Sardinella fimbricata)
20.300
2.
Kembung (Rastrelliger sp.)
3.
Tongkol (Euthynus sp.)
31.270
4.
Tenggiri (Scomberomerus sp)
10.400
5.
Kakap (Lates calcarifer)
18.525
6.
Cumi-cumi (Loligo sp.)
7.
Rumput laut (Eucheuma sp.)
110.000
800 10.550
(Sumber : Pemda DKI Jakarta, 2001)
G. Transportasi Transportasi Wisatawan dari dermaga wisata Marina Ancol, Jakarta dilayani oleh kapal speedboat yang dimiliki atau bekerja sama dengan pemilik pulau wisata. Waktu tempuh dari dermaga wisata Marina Ancol ke pulau-pulau yang menjadi tujuan wisata tergantung pada jarak, keadaan cuaca, dan kecepatan kapal yang akan digunakan. Pemberangkatan kapal dari Marina Ancol ke pulau-pulau resort umumnya pada pagi hari jam 08.00 atau jam 09.00 dan kembali dari pulau-pulau resort menuju Marina Ancol pada jam 13.30 atau jam 14.00, tergantung pada pulau yang dituju. Transportasi ke Kepulauan Seribu dapat juga ditempuh melalui Muara Angke. Namun, kapal-kapal yang disediakan di sini terbatas pada pulau tertentu, dan hanya sekali saja dalam sehari, yaitu pukul 08.00.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi sumberdaya dan ekosistem 1. Ekosistem Terumbu Karang Pulau Harapan termasuk pulau yang berpotensi, terutama produksi perikanan yang bernilai ekonomis seperti, tembang, kembung, tongkol, tenggiri dan lain-lain yang kesemuanya itu sangat dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang disana. Kondisi umum komunitas karang di Pulau Harapan termasuk dalam kategori sedang, hal tersebut tidak lepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan mayarakat, sehingga kerusakan-kerusakan yang ada dapat diminimalisir. Kondisi karang di suatu kawasan dapat dilihat dari persentase tutupan karang keras tersebut (Tabel 9), hal ini karena karang keras merupakan pembentuk dari karang tersebut, jadi apabila penutupan karang keras itu baik maka kondisi terumbu secara ekologi dapat dikatakan baik. Tabel 9. Kondisi persentase tutupan komunitas karang di Pulau Harapan Stasiun DPL Timur Harapan Selatan Harapan Utara Harapan
Kedalaman (m) 3 10 3 10
ACB (%) 17,84 0,14 2,12 0,65
CB (%) 2,10 2,46 0,38 0,21
DC (%) 40,7 47,28 29,81 61,26
DCA (%) 1,70 0,00 5,56 5,04
OF (%) 1,92 5,32 9,17 7,01
Abiotik (%) 4,86 13,58 38,87 7,28
Total PC (%) 51,22 33,82 16,59 19,41
3 10 3 10
29,31 6,18 0,30 0,22
1,31 0,00 17,1 12,5
24,42 24,19 5,04 0,00
0,00 0,65 24,23 33,40
6,16 8,20 1,66 0,32
27,03 41,04 18,39 21,74
42,39 25,91 44,34 42,84
(Sumber : Data Primer diolah 2007) Keterangan : ACB CB Total PC DPL
: Acropora Branching : Coral Branching : Total Persentase tutupan karang keras : Daerah Perlindungan Laut
33
DC DCA OF
: Dead Coral : Alga : Other Fauna
34
Hasil pengamatan terumbu karang dari beberapa titik dan kedalaman di Pulau Harapan menunjukkan bahwa rata-rata persentase tutupan karang keras untuk kedalaman 3 m mencapai 38,63% yang termasuk kategori sedang. sedangkan ratarata persentase tutupan karang keras untuk kedalaman 10 m adalah 30,49%, yang juga termasuk kategori sedang. Kondisi tutupan karang terbaik ada pada titik DPL dengan kedalaman 10 m yang mencapai 51,22%, hal ini disebabkan pada daerah ini benar-benar dijaga kelestariannya, sehingga segala bentuk pemanfaatan yang sifatnya merusak benar-benar dilarang. Pulau Panggang merupakan pulau dengan penduduk yang cukup padat. Kondisi tersebut memang sedikit banyak telah memberikan dampak buruk bagi ekosistem di pulau tersebut. Namun ditengah padatnya populasi disana, masyarakat lokal tetap memberikan dukungan penuh terhadap pemerintah sebagai usaha pemulihan kondisi ekosistem. Hal ini ditunjukkan dengan tidak lagi menggunakan alat tangkap berbahaya seperti bahan peledak, itulah yang membuat kondisi umum komunitas karang di Pulau Panggang tergolong sedang. Tabel 10. Kondisi persentase tutupan komunitas karang di Pulau Panggang Stasiun Barat Panggang Selatan Sekati Selatan Panggang Utara Semak Daun Utara Gosong Tenggara Pramuka
Kedalaman (m) 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
ACB (%) 0,00 4,28 14,49 1,19 0,00 2,09 0,20 3,71 6,62 3,93 11,88 11,53
CB (%) 1,70 6,12 2,75 2,00 0,44 6,00 3,56 3,52 2,31 4,64 1,36 4,29
DC (%) 2,30 14,70 11,25 2,83 0,00 0,00 0,00 3,04 0,00 0,00 68,38 36,57
DCA (%) 0,40 2,10 6,92 4,57 30,04 53,71 36,02 19,54 18,76 39,11 2,30 0,00
OF (%) 79,78 30,32 7,32 5,26 17,42 2,94 1,76 36,89 9,43 9,48 1,60 10,77
Abiotik (%) 9,34 11,22 40,28 60,94 37,60 22,80 2,80 12,80 23,97 12,10 0,00 21,29
(Sumber : Data Primer diolah 2007 ) Keterangan ACB CB Total PC
: Acropora Branching : Coral Branching : Total Persentase tutupan karang hidup
DC DCA OF
: Dead Coral : Alga : Other Fauna
Total PC (%) 8,06 40,94 34,24 25,55 14,94 20,52 56,70 25,18 47,84 39,31 27,72 31,37
35
Persentase tutupan karang keras di Pulau Panggang menunjukkan kondisi yang beragam (Tabel 10). Hasil pengamatan terumbu karang di Pulau Panggang, memiliki rata-rata persentase tutupan karang keras untuk kedalaman 3 m adalah 31,58%, yang termasuk kategori sedang. Rata-rata persentase tutupan karang untuk kedalaman 10 m adalah 30,48%, yang termasuk kategori sedang. Kondisi tutupan karang keras terbaik ada di kawasan Utara Semak Daun pada kedalaman 3 m yaitu sebesar 56,70%, hal ini disebabkan karena kawasan ini merupakan tujuan wisata yang kondisinya memang terjaga. Kondisi karang terburuk ada di kawasan Barat Panggang pada kedalaman 3 m yaitu sebesar 8,06%, hal tersebut karena kawasan Barat Panggang merupakan jalur transportasi kapal nelayan maupun kapal ojek yang berlayar menuju pulau-pulau di Utara.
2. Ekosistem Mangrove Mangrove di Pulau Harapan juga dalam kondisi memprihatinkan, hanya ditemukan jenis Rhizophora spp dengan kepadatan hanya mencapai 7 ind/100m2. Kondisi mangrove di Pulau Panggang juga tidak jauh berbeda. Mangrove di Pulau Panggang saat ini sedang masa pembibitan, keaadaan yang memprihatinkan untuk ekosistem mangrove disana memaksa pihak TNLKS untuk segera melakukan kegiatan rehabilitasi seperti peningkatan kesadaran masyarakat dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan penanaman mangrove.
3. Ekosistem Lamun Kondisi lamun di Pulau Harapan saat ini tidak begitu banyak dengan distribusinya yang tidak merata dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase tutupan lamun, yang sangat minim (Tabel 11). Lamun yang ditemukan, yaitu jenis Thalassia hemprichii dengan persentase penutupan lamun sebesar 2,21 %, nilai yang tergolong rendah untuk penutupan lamun di suatu kawasan. Kondisi lamun di Pulau Panggang tidak jauh berbeda dengan Pulau Harapan. Rata-rata persentase penutupan untuk spesies Thalassia hemprichii sebesar 4,64%, sedangkan penutupan lamun jenis Enhalus acoroides sebesar 6,15% (Tabel 12).
36
Nilai kedua persentase tutupan lamun tersebut tergolong rendah untuk penutupan suatu kawasan. Persentase tutupan lamun di kedua pulau tersebut menunjukkan masih perlunya peningkatan keefektifan konservasi di kedua pulau tersebut. Tabel 11. Persentase penutupan lamun (%) di Pulau Panggang Lokasi Pengamatan Plot 1 Stasiun 1 Plot 2
Plot 1
Stasiun 2
Plot 2
Plot 3 Plot 1 Stasiun 3 Plot 2
Persentase Tutupan Lamun (%) Ulangan Jenis 1 2 3 Thalassia hemprichii 30,20 5,20 0,60 Enhalus acoroides 1,00 Total Thalassia hemprichii 1,80 2,00 Enhalus acoroides Total Thalassia hemprichii Enhalus acoroides 9,00 Total Thalassia hemprichii Enhalus acoroides 1,40 Total Thalassia hemprichii Enhalus acoroides 16,40 Total Thalassia hemprichii 11,20 11,00 7,80 Enhalus acoroides 0,60 2,60 Total Thalassia hemprichii 6,80 4,00 0,60 Enhalus acoroides 5,40 13,00 Total
Rata-rata 4 8,60
1,90 9,00 9,00 1,40 1,40
2,40 17,60 15,40
( Sumber : Data primer diolah 2007) Tabel 12. Persentase penutupan lamun (%) di Pulau Harapan Lokasi Pengamatan Plot 1
Plot 2
Persentase Tutupan Lamun (%) Ulangan Jenis 1 2 3 Thalassia hemprichii 3,00 2,60 1,00 Enhalus acoroides Total Thalassia hemprichii 2,80 2,60 1,40 Enhalus acoroides Total
( Sumber : Data primer diolah 2007)
Rata-rata 4 2,00
11,15 1,00 12,15 1,90
2,15 2,15 2,27 2,27
16,40 16,40 8,10 6,93 15,03 6,70 9,20 15,90
37
B. Daya Dukung Kawasan Konservasi Perhitungan Daya Dukung Kawasan dimaksudkan agar tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan. Hal ini merupakan usaha pecegahan perusakan ekosistem sejak dini. Daya dukung kawasan di Pulau Harapan untuk wisata lamun adalah 88 orang sehingga didapat nilai daya dukung pemanfaatan sebanyak 9 orang, untuk daya dukung kawasan wisata mangrove di Pulau Harapan didapat hanya 4 orang, nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak memungkinkan untuk dilakukan pemanfaatan untuk wisata mangrove. Daya dukung kawasan konservasi untuk wisata selam sebesar 364 orang, sehingga didapat nilai daya dukung pemanfaatannya sebanyak 37 orang, untuk wisata snorkling daya dukung kawasannya sebesar 182 orang, sehingga didapat daya dukung pemanfaatannya sebesar 19 orang (Tabel 13). Daya dukung Kawasan di Pulau Panggang untuk wisata lamun sebesar 135 orang, sehingga didapat nilai daya dukung pemanfaatan sebanyak 13 orang. Daya dukung kawasan di Pulau Panggang untuk wisata mangrove belum dapat ditentukan karena mangrove di sana sedang mengalami masa penanaman kembali, jadi belum dapat dimanfaaatkan sebagai wisata mangrove. Daya dukung kawasan konservasi di pulau Panggang untuk wisata selam sebesar 566 orang, sehinggga di dapat nilai daya dukung pemanfaatan sebesar 57 orang. Sedangkan untuk wisata snorkling didapat nilai daya dukung kawasan sebesar 283 orang, sehingga didapat nilai daya dukung pemanfaatan sebanyak 29 orang (Tabel 13). Tabel 13. Daya Dukung Kawasan Konservasi Pulau Harapan No. Kegiatan DDK DDP 1 Wisata lamun 88 9 2 Wisata mangrove 4 0 3 Wisata selam 364 37 4 Wisata snorkling 182 19 Keterangan : DDK : Daya Dukung Kawasan DDP : Daya Dukung Pemanfaatan
Pulau Panggang DDK DDP 135 14 566 57 283 29
38
C. Citra Pulau Panggang dan Pulau Harapan Kondisi Ekosistem di Pulau Panggang dan Pulau Harapan dapat dipetakan lebih detail dengan menggunakan citra, dalam hal ini citra yang digunakan berjenis LANDSAT tahun 2003. Selain itu citra LANDSAT ini juga dapat memberikan gambaran sebaran dari ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang di kawasan tersebut, yang dapat digunakan sebagai panduan dalam observasi lapang. Kondisi yang terlihat dalam citra (Gambar 4 dan 5), pola sebaran kondisi terumbu karang di Pulau Panggang relatif baik dan cukup sesuai untuk dilakukan kegiatan ekowisata seperti snorkling ataupun selam. Namun untuk lamun sendiri, pola sebarannya termasuk kategori buruk, hal ini sesuai dengan observasi lapang yang menunjukkan pola sebaran yang serupa. Pulau Panggang memiliki luas karang mati sebesar 28.239 m2, sedangkan untuk komunitas karang luasnya mencapai 141.461 m2. ekosistem lamun di Pulau Panggang mencapai luas 16.951 m2. Pulau Harapan memiliki luas karang mati sebesar 23.051 m2 , sedangkan untuk komunitas karangnya mencapai 90.810 m2. Ekosistem lamun di Pulau Harapan tidak jauh berbeda dengan Pulau Panggang yaitu sebesar 11.076 m2. Kondisi tersebut menggambarkan dengan jelas potensi sumberdaya yang ada di Pulau Panggang dan Pulau Harapan.
D. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi 1. Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang dan Kelurahan Pulau Harapan memiliki karakteristik yang hampir sama. Masyarakat di kelurahan tersebut rata-rata hanya mengetahui tentang bulan terang dan bulan gelap, musim barat dan musim timur, yang digunakan untuk waktu melaut dalam menangkap ikan. Selain itu pengetahuan umum yang biasa berkembang di masyarakat adalah
pengetahuan
tentang adanya lokasi bajak laut, sehingga masyarakat cenderung menghindari daerah tersebut. Kepercayaan masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan mayoritas beragama Islam dan telah meninggalkan kepercayaan terhadap kekuatan alam (Mahdi, 2007).
39
40
41
Karakteristik
ekonomi
masyarakat
sebagian
besar
adalah
nelayan.
Kebanyakan istri dan anak nelayan ikut bekerja mencari nafkah untuk membantu dalam pemenuhan kebutuhan keuangan keluarga. Kehidupan nelayan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian menuntut para istri nelayan untuk mencari alternatif pekerjaan. Pekerjaan yang banyak dilakukan oleh istri para nelayan yaitu usaha warung nasi, berjualan sayur keliling, dan bekerja di keramba (Mahdi, 2007). Keanekaragaman jenis ikan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan mendorong nelayan untuk menggunakan alat tangkap yang berbeda-beda dalam menangkap ikan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Alat tangkap yang teridentifikasi ada lima jenis yaitu bubu, jaring insang, pancing, muroami dan bagan (Tabel 14). Tabel 14. Jenis alat tangkap di Pulau Panggang dan Pulau Harapan Alat Tangkap
Pulau Harapan
Pulau Panggang
Bubu 81 Unit 200 Unit Jaring Insang 42 Unit 121 Unit Pancing 111 Unit 532 Unit Bagan 2 Unit 0 Unit Muroami 5 Unit 0 Unit Sumber : Suku Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005 •
Bubu merupakan perangkap ikan yang terbuat dari rangka besi, kawat, anyaman bambu atau jaring. Bubu tali dioperasikan dengan menggunakan tali dan busa atau bahan lain sebagai penanda di permukaan laut.
•
Muroami merupakan jaring yang terdiri dari sayap kantong. Dioperasikan dengan menggiring ikan masuk ke kantong. Pada umumnya dioperasikan oleh 12 orang termasuk nahkoda (8 orang penyelam, 3 orang menarik jaring, 1 orang berada di perahu kecil mengamati kantung jaring).
•
Pancing merupakan terdiri dari kail (mata pancing), dan tali (senar). Ukuran mata pancing dan tali yang digunakan bervariasi tergantung target ikan yang akan ditangkap.
42
•
Jaring ikan hias jaring dengan ukuran 0,1 inchi yang digunakan sebagai alat bantu untuk menangkap ikan hias.
•
Bagan apung merupakan bagan yang berada di kapal dan dioperasikan harian, tangkapan berupa ikan teri dan cumi-cumi.
a. Karakteristik Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan Masyarakat yang menjadi responden, berasal dari masyarakat Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Responden berjumlah 30 orang yang terdiri dari
proporsi jumlah orang (%)
29 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 20-29
30-39
40-49
50-59
usia (tahun)
Gambar 6. Karakteristik usia masyarakat lokal (Data primer diolah 2007) Karakteristik usia (Gambar 6) menunjukkan ada 6 orang atau kurang lebih 20% dari total responden yang berusia antara 20-29 tahun, 8 orang atau sekitar 26,67% dari total responden berusia antara 30-39 tahun, 13 orang atau sekitar 43,33% dari total responden berusia antara 40-49 tahun dan 3 orang atau kurang lebih 10% dari total responden berusia antara 50-59 tahun. Gambar 6 menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan memiliki usia produktif pada usia antara 40-49 tahun. Hal ini disebabkan pada umur masyarakat pulau Panggang dan Pulau Harapan didominasi oleh 40-49 tahun yaitu sekitar 43,33% dari total responden.
43
Proporsi jumlah orang (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tidak Lulus SD
SD
SMP
SMA
Pendidikan
Gambar 7. Karakteristik pendidikan masyarakat lokal (Data primer diolah 2007) Karaktristik pendidikan masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan (Gambar 7), sebagian besar berpendidikan hanya sampai sekolah dasar, berdasarkan hasil
wawancara
langsung
dengan
masyarakat
didapat,
masyarakat
yang
berpendidikan SD sebanyak 18 orang atau sekitar 60% dari total responden. Masyarakat yang Lulus SMP hanya 8 orang atau sekitar 26,67% dari total responden, masyarakat yang lulus SMA ada 3 orang atau sekitar 10 %, sedangkan yang tidak tamat SD hanya 1 orang atau sekitar 3,33% dari total responden. Dampak yang ditimbulkan dari rendahnya pendidikan masyarakat yaitu kurangnya pemahaman tentang konsep konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Pendidikan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan memang telah menjadi masalah utama, keterbatasan bangunan sekolah dan masalah ekonomi telah membuat masyarakat enggan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saat ini bangunan sekolah yang ada di Pulau Panggang dan Pulau Harapan hanya bangunan Sekolah Dasar saja. Apabila masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seperti Sekolah Menengah Pertama ataupun Sekolah Menengah Atas, maka mereka harus menyebrang dahulu ke Pulau Pramuka. Kesejahteraan yang masih relatif rendah, ditambah lagi bangunan sekolah yang minim merupakan suatu masalah yang perlu diatasi oleh pihak Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dan Pemerintah Propinsi.
44
b. Persepsi Mayarakat Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan umumnya telah mengerti tentang konsep konservasi (Gambar 8). Masyarakat yang menyatakan setuju konsep konservasi diterapkan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan sebanyak 21 orang atau sekitar 70% responden. Mereka menyatakan setuju karena mereka tahu betul betapa pentingnya kegiatan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Mereka juga mendukung adanya larangan penggunaan bahan peledak, yang mereka anggap dapat mengurangi produksi ikan di sana dan dapat berdampak pada anak cucu mereka nantinya. Masyarakat yang menjawab biasa saja ada 4 orang (17%), sedangkan yang menjawab tidak tahu ada 3 orang (10%). Masyarakat yang menyatakan tidak setuju dengan adanya konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan hanya 1 orang (3%). Dia tidak setuju karena ia menganggap dengan adanya konservasi justru mengurangi kebebasan ia dalam menangkap ikan. Oleh karena itulah sosialisasi harus terus dilakukan oleh Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS) dan LSM untuk memberikan pengertian kepada masyarakat tentang pentingnya konservasi, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya Konservasi di kedua pulau tersebut.
10% 17%
3% 70%
Setuju
Tidak setuju
Biasa saja
Tidak tahu
Gambar 8. Persepsi masyarakat tentang konsep konservasi (Data primer diolah 2007)
45
Persepsi masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan mengenai keefektifan penerapan konsep konservasi disana cukup beragam (Gambar 9). Konsep konservasi disini berisi aturan-aturan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat sekitar maupun pendatang, sehingga kelestarian di kawasan tersebut dapat terjaga. Salah satu contoh aturan yang telah diterapkan adalah pelarangan menggunakan potassium dalam menangkap ikan. Hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa nelayan didapat 4 orang (13%) menyatakan bahwa penerapan konsep konservasi disana efektif, sebanyak 15 orang (50%) menyatakan cukup efektif, dan yang menyatakan tidak efektif ada 3 orang (10%), sedangkan yang mengatakan tidak tahu ada 7 orang (27%). Walaupun persentase menunjukkan bahwa 50% masyarakat menyatakan konservasi di sana sudah cukup efektif, tetapi ketidaktahuan masyarakat yang mencapai 27% serta adanya masyarakat yang menyatakan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan belum efektif, setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa TNLKS harus meningkatkan lagi kinerjanya dalam mensukseskan konsep konservasi yang berkelanjutan, tentunya untuk mewujudkan itu TNLKS perlu dukungan, baik itu dari LSM maupun masyarakat sekitar Pulau Pangggang dan Pulau Harapan sendiri.
13% 27%
10% 50%
Efektif
Cukup Efektif
Tidak efektif
Tidak tahu
Gambar 9. Persepsi masyarakat tentang keefektifan konsep konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan (Data primer diolah 2007)
46
Partisipasi masyarakat merupakan komponen utama penunjang konservasi yang perlu ditingkatkan (Gambar 10). Sebanyak 3 orang atau kurang lebih 10% dari total responden menyatakan sering berpartisipasi dalam kegiatan konservasi. Bentuk partisipasi masyarakat seperti ikut dalam kegiatan transplantasi karang, penanaman pohon mangrove, dan mengikuti kegiatan penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS) tentang masalah konservasi. Sebanyak 17 orang atau sekitar 57% dari total responden menyatakan kadang-kadang saja ikut berpartisipasi, data tersebut menujukkan tentang perlunya ditingkatkan lagi pelibatan masyarakat. Sebanyak 1 orang atau sekitar 3% dari total responden menyatakan jarang mengikuti kegiatan konservasi, sedangkan ada 9 orang atau sekitar 30% dari total responden menyatakan tidak pernah terlibat dalam kegiatan konservasi. Persentase tersebut menunjukkan memang perlu ditingkatkan lagi kegiatan-kegiatan konservasi yang melibatkan masyarakat, agar mereka juga merasa memiliki dan dengan sendirinya akan timbul rasa untuk menjaganya. Apabila hal tersebut sudah terwujud maka konservasi yang berkelanjutan dapat berjalan dengan baik seperti yang diharapkan.
10% 30%
3% 57%
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak pernah
Gambar 10. Partisipasi masyarakat dalam penerapan konsep konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan (Data primer diolah 2007
47
Hasil tangkapan ikan merupakan parameter yang dapat dilihat untuk mengetahui tingkat kefektifan penerapan suatu konsep konservasi (Gambar 11). Dua orang atau sekitar 7 % dari total responden menyatakan hasil tangkapan mereka bertambah sejak diberlakukan kegiatan konservasi. Sebanyak 16 orang (53%) menyatakan hasil tangkapan mereka sama saja antara sebelum dan sesudah diberlakukan konsep konservasi. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar masyarakat belum begitu memahami bahwa untuk mendapatkan hasil dari kegiatan konservasi membutuhkan proses yang tidak sebentar. Masyarakat yang menyatakan hasil tangkapan mereka menjadi berkurang setelah adanya kegiatan konservasi, ada 11 orang (37%). Mereka merasa, dengan adanya konsep konservasi, yang tadinya dapat menangkap ikan dengan leluasa dan menggunakan jenis alat tangkap apapun, sekarang menjadi terbatas. Hal tersebut jelas mempengaruhi jumlah tangkapan mereka. Responden yang menjawab tidak tahu hanya 1 orang (3%). Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan jelas sangat bergantung pada hasil tangkapan ikan mereka.
3%
7%
37%
53%
Bertambah
Sama saja
Berkurang
Tidak tahu
Gambar 11. Persepsi masyarakat tentang hasil tangkapan mereka setelah diterapkan konservasi di Pulau Pulau Panggang dan Pulau Harapan (Data primer diolah 2007)
48
Patroli merupakan bukti keseriusan TNLKS dalam menerapkan konsep konservasi. (Gambar 12). Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat didapat Sebanyak
3 orang atau sekitar 10 % responden menyatakan kalau patoli yang
dilakukan TNLKS sudah efektif. Sebanyak 6 orang atau 20% responden menyatakan patroli yang dilakukan sudah cukup efektif. Masyarakat yang menyatakan patroli belum efektif ada 13 orang atau 43% responden. Mereka merasa masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan yang dilakukan oleh nelayan, di luar pemantauan TNLKS. Pelanggaran-pelanggaran itu terkadang tidak hanya berasal dari nelayan lokal tetapi nelayan dari luar pun banyak yang melakukan pelanggaran. Sedangkan yang menjawab tidak tahu ada 8 orang atau 27% responden. Berdasarkan data tersebut perlu ditingkatkan lagi pengawasan perairan di Kepulauan Seribu terutama Pulau Panggang dan Pulau Harapan demi terciptanya kawasan yang berbasis konservasi. Kerja sama dengan pemerintah daerah dengan pemerintah daerah juga perlu ditingkatkan, karena selama ini patroli yang dilakukan dengan pemerintah daerah hanya 2 kali setahun.
10% 27% 20%
43%
Efektif
Cukup Efektif
Tidak efektif
Tidak tahu
Gambar 12. Persepsi masyarakat tentang keefektifan patroli yang dilakukan TNLKS di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. (Data primer diolah 2007)
49
E. Kriteria Kawasan Konservasi Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan kawasan yang mendapat perhatian khusus dari TNLKS sebagai pemangku kepentingan di Kepulauan Seribu. Kawasan yang termasuk dalam zona pemukiman ini diharapkan mendapat arahan dalam proses pemanfaatan potensi kedua pulau tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan kriteria-kriteria tertentu untuk mewujudkan suatu kawasan yang berbasis konservasi. Salah satu kriteria kawasan konservasi yang dapat digunakan adalah kriteria kawasan konservasi berdasarkan DKP yang terdiri dari 2 tahap yaitu penentuan kategori kawasan konservasi berdasarkan kriteria yang ada, setelah itu penentuan kategori kawasan konservasi yang berdasarkan obyek pengelolaan. Tahap pertama adalah penentuan kategori kawasan konservasi berdasarkan kriteria yang ada, yang tentunya (Tabel 15). Tabel 15. Kriteria kawasan konservasi Kategori I Konservasi Ekosistemdan rekreasi II Konservasi Habitat dan Spseies
III Konservasi Bentang Alam dan Rekreasi IV Pemanfaatan Secara Lestari Ekosistem Alami
Kriteria 1. Kelengkapan Sumberdaya spesies / habitat 2. Kawasan cukup luas 1. Mempunyai peranan penting terhadap perlindungan sumberdaya alam dan jenis (kelengkapan ekosistem) 2 Kesatuan kawasan (habitat) 3. Bebas dari pengaruh aktivitas manusia 4 Ukuran kawasan sesuai dengan kebutuhan habitat 1. Memiliki bentang alam yang berasosiasi dengan habitat (flora dan fauna) 2. Peluang untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi 1. Dua per tiga dari kawasan masih alami 2. Kemampuan kawasan untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa menimbulkan kerusakan 3. Terdapat badan pengelolaan di kawasan tersebut
Hasil √ X
√ √ X X √ √ X X √
50
Strategi pengelolaan berdasarkan kriteria kawasan konservasi dapat diuraikan sebagai berikut : •
Kategori I menunjukkan strategi pengelolaan yang bertujuan untuk kawasan konservasi ekosistem dan rekreasi, untuk kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan kelengkapan sumberdaya alam, spesies, dan habitat cukup terpenuhi, tetapi kawasannya tidak cukup luas. Bobot yang bisa diberikan untuk kategori ini adalah 1 : 2 atau 50%.
•
Kategori II menunjukkan strategi pengelolaan untuk kawasan konservasi habitat dan spesies, Pulau Panggang dan Pulau Harapan memiliki peranan penting terhadap perlindungan sumberdaya alam dan jenis serta memiliki kesatuan kawasan, tetapi ukuran kedua kawasan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan habitat, sedangkan bebas dari aktifitas manusia jelas tidak memenuhi karena Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan zona pemukiman yang tidak lepas dari aktifitas masyarakat. Bobot yang bisa diberikan untuk kategori ini adalah 2 : 4 atau 50%.
•
Kategori III menunjukkan strategi pengelolaan untuk kawasan konservasi bentang alam dan rekreasi, berdasarkan kriteria yang ada Pulau Panggang dan Pulau Harapan cukup memenuhi untuk bentang alam yang berasosiasi dengan habitat (flora dan fauna), sedangkan untuk peluang pengembangan pariwisata dan rekreasi masih memungkinkan. Bobot yang bisa diberikan untuk kategori ini adalah 2 : 2 atau 100%.
•
Kategori IV adalah strategi pengelolaan untuk kawasan pemanfaatan secra lestari ekosistem alami. Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan zona pemukiman yang dua per tiga dari kawasannya telah mengalami perubahan akibat pembangunan, kemampuan kawasan tersebut untuk pengambangan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa menimbulkan kerusakan juga dirasa masih belum memenuhi, walaupun terdapat badan pengelola di kawasan tersebut. Bobot yang bisa diberikan untuk kategori ini adalah 1 : 3 atau 30%.
51
Tahap penetuan kawasan yang telah dulakukan menunjukkan bahwa Pulau Panggang dan Pulau Harapan masuk kedalam kategori ketiga yaitu kawasan konservasi yang berbasis pada bentang alam dan rekreasi. Kategori ketiga tersebut dipilih karena pada kategori ini Pulau Panggang dan Pulau Harapan mendapat persentase tertinggi yaitu 100%. Tahapan selanjutnya yaitu penentuan kawasan konservasi berdasarkan objek pengelolaan yang akan dilaksanakan di kawasan tersebut (Tabel 16). Penentuan berdasarkan objek pengelolaan dimaksudkan agar dalam penetapannya nanti ada proporsi yang jelas mengenai peruntukan kawasan.
Tabel 16. Penentuan kategori peruntukan kawasan konservasi Obyek Pengelolaan 1. Penelitian 2. Perlindungan alam 3. Perlindungan jenis dan keragaman 4. Pemeliharaaan lingkungan 5. Perlindungan alam yang khas 6. Wisata dan rekreasi 7. Pendidikan 8. Pemanfaatan sumberdaya alam 9. Pemeliharaan komponen budaya Persentase Bobot
Bobot
1 1 2 2 3 1 2 1 1
I √ √ X X X √ √ √
Kategori II √ √ X X √ √ √ √
63%
75%
III √ √ √ X √ √ √ √
IV √ √ X X √ √ √ √ √
88%
78%
Hasil pembobotan kriteria kawasan konservasi yang berdasarkan pada observasi lapang, data penunjang seperti literature dan data sekunder. Kemudian bobot yang didapat dibandingkan dengan bobot standar pada masing-masing kategori. •
Kategori I, pada kategori ini dapat dilihat kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan hanya mendapatkan persentase bobot sebesar 63% untuk dijadaikan kawasan konservasi ekosistem dan rekreasi.
•
Kategori II, pada kategori ini dapat dilihat kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan mendapat persentase bobot sebesar 75% untuk dijadikan kawasan konservasi yang berbasis pada habitat dan spesies.
52
•
Kategori III, pada kategori ini dapat dilihat Pulau Panggang dan Pulau Harapan mendapat persentase bobot tertinggi, yaitu 88%. Sehingga berdasarkan kriteria kawasan konservasi Pulau Panggang dan Pulau Harapan cocok untuk menjadi kawasan konservasi yang berbasis pada bentang alam dan rekreasi.
•
Kategori IV, pada kategori ini dapat dilihat kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan mendapat persentase bobot sebesar 78% untuk dijadikan kawasan konservasi dimana pemanfaatan yang terjadi di kawasan tersebut dilakukan secara lestari dengan masih adanya terdapat ekosistem alami disana. Kawasan tersebut lebih dikenal dengan nama suaka perikanan.
F. Strategi Pengelolaan Kawasan dengan Analisis SWOT 1 .Identifikasi Faktor-faktor Strategis internal a. Kekuatan ( Strengths ) 1).Potensi sumberdaya alam dan lingkungan Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan pulau-pulau yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup baik. Pulau Harapan memiliki luas komunitas karang sebesar 90.810 m2, dan Pulau Panggang memiliki luas komunitas karang sebesar 141.461 m2. Kondisi karang tersebut merupakan modal dasar dalam penerapan konsep konservasi yang berkelanjutan. Potensi dari segi perikanan tangkap juga tergolong baik. Pulau Harapan menghasilkan ikan kakap mencapai 18.525 kg/tahun. 2). Dukungan masyarakat Masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan yang mendukung konsep konservasi telah menjadi suatu hal yang positif bagi keberlangsungan konservasi disana. Bentuk dukungan yang ditunjukkan oleh masyarakat, dapat dilihat dari hasil wawancara dengan masyarakat yang menyatakan setuju tentang konsep konservasi yang mencapai 70%, sedangkan yang menyatakan tidak setuju hanya 3%. Dukungan dari masyarakat tersebut juga terlihat dari bentuk partisipasi masyarakat dalam mengikuti penyuluhan-penyuluhan maupun pelatihan transplantasi karang.
53
3). Kebijakan Balai TNLKS TNLKS sangat berperan aktif dalam penerapan kawasan konservasi di Kepulauan Seribu, terutama Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Kebijakan bersih-bersih pantai yang dilakukan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu bersama PKSPL IPB, merupakan kegiatan positsif yang sejalan dengan konsep konservasi. Kebijakan lainya adalah penanaman 500 rumpon di beberapa kelurahan, khususnya Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan bentuk kepedulian TNLKS kepada kegiatan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. 4). Program DPL di Pulau Panggang dan Pulau Harapan Program Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang ditetapkan di kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan program yang sejalan dengan konsep konservasi. Dasar hukum yang digunakan untuk penetapan DPL adalah Undangundang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan pemerintah No 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam turut menjadi dasar hukum penetapannya.. Perlindungan ekosistem yang berbasis masyarakat ini sedikit banyak telah memberikan pengaruh berupa perlidungan terhadap SDA di sana sehingga untuk kedepannya diharapkan dapat memberikan dampak positif terutama bagi masyarakat.
b. Kelemahan (Weaknesses ) 1). Kurangnya pemahaman tentang konservasi dan pengelolaan lingkungan. Pengetahuan masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan dirasakan masih kurang, hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar masyarakat Pulau Panggang dan Pulau Harapan tidak mengenyam pendidikan yang tinggi. Hasil yang didapat dari hasil wawancara, masyarakat yang berpendidikan sampai sekolah dasar ada sebesar 60%, lulus SMP sebesar 26,67%, lulus SMA hanya sebesar 10%. Data tersebut menunjukkan masih rendahnya pendidikan masyarakat Pulau panggang dan Pulau Harapan yang berdampak pada rendahnya pemahaman masyarakat tentang konservasi.
54
2) Kondisi ekosistem yang mulai rusak Kondisi ekosistem di Pulau Panggang dan Pulau Harapan mulai mengalami kerusakan, hal ini dapat dilihat dari hasil pencitraan, terutama luasan karang mati di masing-masing pulau tersebut. Pulau Panggang memiliki luasan karang mati sebesar 28.239 m2, dan luasan karang mati di Pulau Harapan sebesar 23.051 m2, hal ini menunjukkan cukup luasnya karang yang perlu direhabilitasi. Data lamun berdasarkan observasi lapang juga menunjukkan kondisi yang mengkwatirkan untuk ekosistem lamun dan mangrove. Ekosistem lamun di Pulau Harapan persentase tutupannya hanya 2,21% sedangkan di Pulau Panggang sebesar 10,48%. 3). Patroli dari TNLKS dirasa masih belum efektif Patroli yang dilakukan olah TNLKS dinilai masyarakat belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa patroli di sana belum efektif sebanyak 43%, sedangkan yang menyatakan patroli sudah efektif hanya 10%. Patroli yang dilakukan TNLKS memang tergolong masih kurang intensif, berdasarkan hasil wawancara patroli gabungan dengan Pemda yang dilakukan di sana hanya 2 kali dalam setahun. 4). Fasilitas umum belum memadai Fasilitas pendukung di Pulau Panggang dan Pulau Harapan tergolong masih minim. Hasil wawancara dan observasi yang dilakukan menunjukkan fasilitas pendidikan seperti sekolah sangat terbatas. Hal tersebut tentu berdampak pada rendahnya pemahaman masyarakat terhadap konsep konservasi. Fasilitas sanitasi di kedua pulau juga sangat minim. Saat ini sebesar 58% anak di Pulau Panggang menderita penyakit cacingan. Hal tersebut disebabkan oleh minimya rumah disana yang memiliki jamban, dari 940 KK hanya sepertiganya saja yang memilikinya. Jamban merupakan komponen yang harus ada di setiap rumah. Ketiadaan jamban menyebabkan berbagai dampak bagi lingkungan sekitar terutama dalam hal pencemaran di laut lepas, yang sangat berpengaruh bagi tingkat estetika di Pulau Panggang dan Pulau Harapan.
55
2. Identifikasi Faktor-faktor Strategis Eksternal a. Peluang (Opportunities ) 1) Adanya penelitian yang dilakukan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan Banyaknya penelitian yang dilakukan di Pulau Panggang maupun Pulau Harapan baik itu dari kalangan para peneliti, maupaun dari kalangan mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir, telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi kegiatan monitoring kedua pulau tersebut. Pada bulan agustus tahun 2007 PKSPL IPB bersama dengan Kompas melakukan observasi lapang di Pulau Panggang. Hal tersebut merupakan salah satu contoh peran serta para peneliti dalam hal monitoring di Kepulauan Seribu. 2) Dukungan dari LSM Pelatihan-pelatihan pembuatan jaring, memperkenalkan pengumpulan dan penangkan ikan, serta cara penanganan dan distribusi ikan tersebut, merupakan bentuk dukungan LSM dalam kegiatan konservasi. Bulan September 2006 TERANGI (Terumbu Karang Indonesia) memberikan bantuan berupa fin dan snorkel secara cuma-cuma, agar para nelayan tidak merusak karang. Dukungan yang diberikan oleh LSM jelas sangat membantu terciptanya konservasi yang berkelanjutan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. 3) Adanya usulan legalisasi dan sertifikasi pemanfaatan di Zona Pemukiman Adanya usulan legalisasi dan sertifikasi pemanfaatan di zona pemukiman yang dilakukan oleh TNLKS kepada Pemerintah Daerah. Pengaturan terhadap pengelolaan SDAL (Sumberdaya Alam Laut) di zona pemukiman khususnya Pulau Panggang dan Pulau Harapan diharapakan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Manfaat yang didapat oleh masyarakat diantaranya, kepastian usaha bagi masyarakat lokal dalam
menjalankan
pemanfaatan
kehidupannya
sumberdaya
alam
sehari-hari dalam
sebagai
kawasan
nelayan,
secara
menjamin
maksimal
dan
berkesinambungan, serta memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal (Suku dinas perikanan dan kelautan, 2005).
56
4) Adanya kelompok wisata yang turut menyukseskan program konservasi Adanya kelompok wisata yang turut membantu tugas TNLKS dalam menerapkan konsep konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan merupakan hal yang positif bagi keberlangsungan konservasi di sana. Kelompok wisata yang saat ini cukup membantu TNLKS adalah Elang Ekowisata. Kelompok wisata yang berpusat di Pulau Pramuka ini mulai mengefektifkan kegiatan-kegiatan ekowisata yang berbasis konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan.
b. Ancaman ( Threats) 1) Adanya berbagai konflik Keadaan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan yang hingga kini masih belum stabil menyebabkan terjadinya berbagai konflik, mulai dari konflik antara nelayan dengan TNLKS sampai konflik kepentingan antar pemangku kepentingan dan lembaga terkait. Benturan kepentingan antar instansi yang terkait dalam pengelolaan di Kepulauan Seribu telah menimbulkan berbagai konflik, diantaranya konflik kewenangan dan konflik pemanfaatan. Konflik kewenangan terdiri dari konflik pemberian ijin pariwisata dan penegakan dan peraturan, sedangkan konflik pemanfaatan terdiri dari konflik pemanfaatan kegiatan pariwisata dan pemanfaatan kegiatan perikanan. 2) Pencemaran lingkungan dari luar Pencemaran lingkungan Pulau Panggang dan Pulau Harapan juga dipengaruhi oleh pencemaran dari luar pulau, khususnya daratan Jakarta. Pencemaran tersebut dapat berupa tumpahan minyak maupun sampah yang dikirim dari kota Jakarta. Sampah domestik (sampah rumah tangga) yang masuk ke perairan Kepulauan Seribu mencapai 7000 ton/hari (www.kompas.com). Limbah minyak dari offshore (lepas pantai) dan 70 kapal tanker yang melintas juga turut menambah tingkat pencemaran di perairan Kepulauan Seribu (www.telukjakarta.com).
57
Tabel 17. Matrik SWOT S
IFE
S1. Potensi sumber daya alam dan lingkungan S2. Dukungan masyarakat S3. Kebijakan pemerintah pusat (TNLKS) S4 Program DPL di Pulau
EFE
Panggang dan Pulau Harapan
O O1.Adanya penelitian yang dilakukan di sana
Strategi SO 1. Menjaga potensi
W W1. Kurangnya pemahaman tentang konservasi W2. Kondisi ekosistem yang mulai rusak W3. Patroli TNLKS masih belum efektif W4. Fasilitas umum belum memadai Strategi WO 1.Meningkatkan pemahaman
sumberdaya yang ada untuk
masyarakat tentang
O2. Dukungan LSM
menujang porgram
konservasi dengan cara
O3. Usulan legalisasi dan
konservasi
menambah jadwal kegiatan
sertifikasi pemanfaatan zona pemukiman
2. Mengefektifkan kinerja pengusaha wisata yang ada
O4.Adanya pengusaha wisata di kawasan Kelurahan Pulau
di sana. 3. Ada hukum yang jelas
Panggang dan Pulau
tentang legalisasi dan
Harapan
sertifikasi pemanfaatan zona pemukiman. 4. Mengefektifkan program DPL di Pulau Panggang dan Pulau Harapan.
penyuluhan- penyuluhan 2. Meningkatkan keefektifan patroli TNLKS sehingga adanya pelanggaran dapat diminimalisir 3. Memperbaiki fasilitas yang ada seperti darmaga, sekolah, dan fasilitas lainnya 4. Meningkatkan peran LSM dalam rehabilitasi lingkungan seperti transplantasi karang
T T1. Adanya berbagai konflik
Strategi ST 1. Meningkatkan kerjasama
Strategi WT 1. Meningkatkan partisipasi
T2.Adanya pencemaran yang
antar stakeholder sehingga
masyarakat dalam kegiatan
dilakukan oleh pengunjung
konflik kepentingan dapat
konservasi
T3. Masuknya nelayan luar yang menggunakan alat tangkap berbahaya
diminimalisir. 2. Menyeleksi alat tangkap yang digunakan terutama yang dapat merusak.
2. Meningkatkan pengawasan di kawasan Pulau Harapan dan Pulau Panggang.
58
3) Masuknya nelayan luar yang menggunakan alat tangkap berbahaya Masuknya nelayan luar ke dalam kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan bisa menimbulkan dampak negatif terutama apabila alat tangkap yang digunakan oleh nelayan luar tesebut adalah alat tangkap yang berbahaya atau berbeda dengan alat tangkap nelayan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Hasil wawancara dengan nelayan menunjukkan adanya nelayan di luar Pulau Panggang dan Pulau Harapan yang menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak. Hasil menangkap ikan dengan bahan peledak yang dilakukan nelayan luar ternyata lebih memberikan keuntungan, sehingga banyak nelayan lokal yang mengikutinya.
3. Matriks SWOT Matrik SWOT disusun setelah dilakukan identifikasi dan analisis faktor strategis internal dan eksternal. Matriks SWOT bertujuan mendeskripsikan secara jelas peluang dan ancaman, yang disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan dari kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Selain itu matriks SWOT juga bertujuan untuk menghasilkan alternatif strategis dalam pengelolaan kedua pulau tersebut dalam pengembangannya sebagai kawasan konservasi. Tahap awal yang dilakukan adalah penentuan matrik IFE dan EFE berdasarkan perkalian bobot dengan rating yang telah ditentukan. Setelah penentuan matrik IFE dan EFE dilakukan, selanjutnya dibuat matrik SWOT (Tabel 17).
4. Alternatif Strategi Penentuan prioritas alternatif strategi yang akan dijadikan sebagai kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan, dilakukan dengan
penjumlahan nilai dari faktor SWOT yang saling berkaitan,
kemudian ditentukan rangking (Tabel 18). Altenatif strategi dengan jumlah skor tertinggi merupakan prioritas pertama, jumlah skor kedua tertinggi menjadi proiritas kedua, dan seterusnya. Strategi yang dihasilkan menjadi awal pengelolaan suatu kawasan yang akan direalisasikan dengan program-program penunjang.
59
Tabel 18. Rangking alternatif strategi No. Unsur SWOT
Keterkaitan
Jumlah Skor
Ranking
Menjaga potensi sumberdaya yang ada
S1, S3, O2,
1,683
V
untuk menunjang progaram konservasi.
O4
Mengefektifkan kinerja pengusaha wisata
S2, S3, O2, O4
1,524
VIII
Ada hukum yang jelas tentang legalisasi
S1, S2, S3, S4,
2,328
I
dan sertifikasi pemanfaatan zona
O2, O3, 1,827
IV
W1, O2, O4
1,375
IX
Meningkatkan keefektifan patroli TNLKS
W2, W3, O2,
1,528
VII
sehingga adanya pelanggaran dapat
O3 1,647
VI
1,926
III
S3, T1, T3
1,092
XI
S2, S3, T3
1,088
XII
Strategi SO 1. 2.
yang ada di sana. 3.
pemukiman. 4.
Mengefektifkan program DPL di Pulau
S2, S3, S4,
Panggang dan Pulau Harapan.
O2, O3
Strategi WO 1.
Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang konservasi dengan cara menambah jadwal kegiatan penyuluhan
2.
diminimalisir. 3. 4.
Memperbaiki fasilitas yang ada seperti
W4, O2, O3,
darmaga, sekolah, dan fasilitas lainnya.
O4
Meningkatkan peran LSM dalam
W1, W2, W4
rehabilitasi lingkungan seperti
O2, O4
transplantasi karang. Strategi ST 1.
Meningkatkan kerjasama antar stakeholder sehingga konflik kepentingan dapat diminimalisir
2.
Menyeleksi alat tangkap yang digunakan terutama yang berbahaya bagi ekosistem
Berdasarkan jumlah skor dari nilai setiap alternatif strategi, maka urutan yang dapat dijadikan sebagai rencana strategi dalam pengelolaan ekosistem pesisir untuk pengembangan kawasan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan adalah :
60
1. Membuat hukum yang jelas tentang sertifikasi dan legalisasi pemanfaatan zona pemukiman 2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi 3. Meningkatkan peran LSM dalam rehabilitasi lingkungan seperti transplantsi karang ataupun penanaman mangrove 4. Mengefektifkan program DPL di Pulau Panggang dan Pulau Harapan 5. Memberikan modal yang cukup dan merata bagi masrakat 6. Memperbaiki fasilitas yang ada seperti darmaga, sekolah dan fasilitas lainnya 7. Meningkatkan kefektifan patroli oleh TNLKS sehingga pelanggaranpelangaran dapat diminimalisir 8. Mengefektifkan kinerja pengusaha wisata yang ada di sana 9. Meningkatkan pemahaman konservasi masyarakat dengan cara menambah jadwal penyuluhan dan pelatihan-pelatihan 10. Meningkatkan pengawasan di kawasan Pulau Panggang dan Pulau Harapan 11. Meningkatkan kerjasama antar stakeholder sehingga konflik kepentingan dapat diminimalisir 12. Menyeleksi alat tangkap yang digunakan terutama yang berbahaya bagi ekosistem Tahapan berikutnya adalah menetukan tiga strategi yang menjadi prioritas utama dalam pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan perangkingan yang telah dilakukan sebelumnya. Ketiga strategi tersebut diharapakan dapat menjadi pedoman pengelolaan kawasan. Namun strategi tersebut belum dapat berarti tanpa didukung oleh program-program kerja Program-program kerja inilah yang nantinya akan menjadi bentuk kongkrit dari ketiga strategi pengelolaan kawasan konservasi telah ditentukan. Oleh karena itulah diperlukan perencanaan lanjutan mengenai bentuk pelaksanaan ketiga strategi pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Perencanaan tersebut mencakup program apa saja yang akan dijalankan, kapan program itu dilaksanakan dan siapa yang akan melaksakannya.
61
Strategi pertama, penerapan hukum yang jelas tentang legalisasi dan sertifikasi pemanfaatan zona pemukiman. Pulau Panggang dan Pulau Harapan termasuk zona pemukiman dalam Taman Nasional Kepulauan Seribu yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan pengelolaan yang ramah lingkungan. Kegiatan konservasi merupakan bagian dari proses pemanfaatan kawasan, untuk itu perlu adanya hukum yang jelas.Apabila hukum telah ditetapkan penerapan konservasi dapat berjalan dengan baik terutama dalam menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang ada. Oleh karena itu, legalisasi dan sertifikasi pemanfaatan zona pemukiman menjadi prioritas utama dalam strategi pengelolaan. Strategi kedua, meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan konservasi. Peran serta masyarakat merupakan faktor penting dalam program konservasi yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena masyarakat merupakan orang yang berhubungan langsung dengan proses pemanfaatan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Data primer yang didapat sekitar 10% sering berpartisipasi, 57% menyatakan kadang-kadang, 3% jarang dan 30% tidak pernah terlibat, Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih tergolong rendah. Hal ini berdampak bagi rehabilitasi lingkungan seperti pencemaran sampah dan degradasi ekosistem yang membutuhkan peningkatan kesadaran masyarakat. Strategi ketiga, meningkatkan peran LSM dalam strategi pengelolaan yang berbasis konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Peran LSM dalam meningkatkan pemahaman tentang pentingnya konservasi telah memberikan “angin segar” bagi keberlanjutannya konservasi di sana. LSM yang saat ini begitu dekat dengan masyarakat Kepulauan Seribu khususnya Pulau Panggang dan Pulau Harapan adalah Terumbu Karang Indonesia (TERANGI). TERANGI telah banyak membantu TNLKS dalam meberikan penyuluhan-penyuluhan maupaun pelatihan-pelatihan seperti pelatihan transplantasi karang. Peran LSM yang begitu besar di Pulau Panggang dan Pulau Harapan perlu terus didukung dari segala lapisan, bahkan perlu adanya peningkatan kerjasama antara LSM dengan TNLKS sehingga tidak ada lagi konflik kepentingan yang terjadi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pulau Panggang dan Pulau Harapan memiliki keadaan potensi sumberdaya yang tidak jauh berbeda. Ekosistem terumbu karang di kedua pulau termasuk dalam kategori sedang. Ekosistem lamun dan ekosistem mangrove di kedua pulau tergolong rendah prosentase penutupannya. 2. Permasalahan yang timbul di Pulau Panggang dan Pulau Harapan adalah kurang efektifnya konsep konservasi yang diterapkan disana, yang mengakibatkan masih adanya penangkapan ikan dengan alat tangkap berbahaya, masih kurangnya sarana dan prasarana serta kurangnya ketersediaan air bersih turut menambah masalah di kedua pulau tersebut. 3. Saat ini, konservasi yang dilakukan di Pulau Panggang dan Pulau Harapan belum begitu dirasakan dampaknya oleh masyarakat, tetapi dengan adanya konservasi keadaan sumberdaya menjadi lebih baik, terutama dengan adanya usaha penanaman mangrove, dan transplantasi karang. 4. Pulau Panggang dan Pulau Harapan termasuk dalam kawasan konservasi berbasis bentang alam dan rekreasi, menurut kriteria kawasan konservasi berdasarkan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Saran 1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai keefektifan pengembangan konservasi di kelurahan-kelurahan lainnya di Kepulauan seribu, sehingga kegiatan tersebut lebih terpantau. 2. Perlu
adanya
peningkatan
kegiatan-kegiatan
penyuhan-penyuluhan
ataupun pelatihan-pelatihan, sehingga masyarakat ikut berpartisipasi dan lebih memaknai kegiatan konservasi tersebut. 3. Perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah mengenai perbaikan dan pembangunan sarana dan prasarana di Pulau Panggang dan Pulau Harapan 4. Perlu adanya pengaturan mengenai tata ruang kawasan sehingga masyarakat bisa nyaman dalam melakukan berbagai aktifitasnya.
62
DAFTAR PUSTAKA Ankotosan, S. 2003. Kajian Kesesuaian dan Pengembangan Kawasan Konservasi Sumberdaya Pesisir di Pulau Guratu Kabupaten Halmahera Tengah Propinsi Maluku Utara. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Makalah pada Prosiding Pelatihan. Dahuri, R. J.Rais, S. P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. P.T. Pradya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 1998. Manajemen dan Pengembangan Pulau-pulau kecil di Indonesia untuk Ekoturisme.h. 47-56. In Prosiding seminar dan lokakarya pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia. English, S. C, Wilkinson, V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australian Marina Science Project : Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science. David, F.R. 2002. Manajemen Strategis Konsep. PT. Prehallindo. Jakarta. Gomez, E.D. dan H.T. Yap. 1998. Monitoring reef condition . Page : 187-195 in R.A. Kechington dan B.E.T. Hudson (eds), Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technologi for South East Asia. Jakarta. Kay, R. and Alder, J. 1999. Coastal Planing and Management. E & FN Spon. London. KEPMENLH.2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jakarta. 13 Oktober 2004 Mahdi, A. 2007. Analisis Sosial Konservasi Sumberdaya Pesisir dan Laut Pada Kawasan Taman Laut Kepuluan Seribu. Skripsi. Fakultas perikanan dan ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Mulia, D. 2004. Alternatif Pengembangan Gugusan Pulau Pari. Kepulauan Seribu Sebagai Objek Ekowisata Bahari di DKI Jakarta. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
63
64
Odum, E. P. 1993. Fundamentals of ecology. Dasar-dasar Ekologi (Alih bahasa oleh Samingan, T, dan B. Srigandono). Gajah Mada Universitas Press Yogyakarta. Passiamanto, H. 2005. Analisis Effisiensi Pemasaran Karang Hias di Pulau Panggang Kab. Administratif Kepulauan Seribu. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. PKSPL dan CNOOC SES ltd. 2006. Laporan Akhir Kajian Pemetaan Ekosistem dan Identifikasi Sumber-sumber Pencemaran di Perairan Kepulauan Seribu dan Lampung Timur. IPB. Bogor. Rahmi, A. 2007. Kajian Sumberdaya Pulau-pulau Kecil Bungus Teluk Kabung. Padang Untuk Pengelolaan Ekowisata Bahari. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Rangkuti, F. 2003. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. cet ke-10. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suku dinas perikanan dan kelautan kabupaten administasi kepulauan seribu. 2005. Legalisasi dan Sertifikasi Pemanfaatan di Zona Pemukiman Taman Nasional Kepulauan Seribu. PT dinamika Informatika. Jakarta. Sulistyowati, L. 2003. Analisis Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Gugus Kepulauan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Yulianda, F. 2004. Pedoman analisis penentuan status kawasan konservasi laut. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Bogor. Yulianda, F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Disampaikan pada Seminar Sains 21 Februari 2007 pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. www.kompas.com. (2 Februari 2007) www.telukjakarta.com (2 Februari 2007)
LAMPIRAN
66
Lampiran 1. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Harapan
LIFE FORM HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-1
TK-2
TK-3
DPL (10 m) % 33,82 0,14 0,00 0,00 0,00 0,50 2,46 0,64 22,58 2,90 0,00 0,40 4,20 0,00 47,28 0,80 46,48 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,32 0,00 4,74 0,00 0,58 13,58 11,98 0,00 1,60 0,00 0,00 0,00 100 13,58
DPL (3 m) % 51,22 17,84 0,00 0,00 0,60 0,00 2,10 2,66 13,78 6,72 0,00 4,92 2,60 0,00 40,30 0,00 40,30 1,70 0,00 0,00 0,00 1,70 1,92 0,00 0,58 0,00 1,34 4,86 0,00 0,00 4,86 0,00 0,00 0,00 100 4,86
Timur Harapan (3 m) % 16,59 2,12 0,00 0,00 0,00 0,31 0,38 3,75 0,21 7,66 0,00 0,00 2,16 0,00 29,81 11,26 18,54 5,56 0,00 0,00 2,66 2,89 9,17 4,97 3,34 0,00 0,86 38,87 16,72 0,00 22,15 0,00 0,00 0,00 100 38,87
33,82
51,22
16,59
67
Lanjutan. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Harapan
LIFE FORM
HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-4 Timur Harapan (10 m) % 19,41 0,65 0,00 0,00 0,00 0,00 0,21 5,74 4,93 2,87 0,00 4,10 0,92 0,00 61,26 14,32 46,94 5,04 0,00 0,00 5,04 0,00 7,01 2,21 1,12 0,00 3,68 7,28 2,06 0,00 5,22 0,00 0,00 0,00 100 7,28 19,41
TK-5 Selatan Harapan (3m) % 42,39 29,31 0,00 0,00 0,00 2,33 1,31 2,81 0,87 3,18 0,00 2,11 0,48 0,00 24,42 18,08 6,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,16 0,00 0,30 0,00 5,85 27,03 0,28 0,00 26,75 0,00 0,00 0,00 100 27,03 42,39
TK-6 Selatan Harapan (10 m) % 25,91 6,18 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,15 11,62 4,42 0,00 0,37 1,17 0,00 24,19 0,63 23,56 0,65 0,00 0,00 0,65 0,00 8,20 0,28 1,65 0,00 6,27 41,04 16,71 17,58 6,74 0,00 0,00 0,00 100 41,04 25,91
68
Lanjutan. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Harapan
LIFE FORM
HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-9 Utara Harapan 3m % 44,34 0,30 0,00 0,00 0,00 0,00 17,10 0,00 18,14 11,81 0,00 1,32 0,00 0,00 29,27 5,04 24,23 0,36 0,00 0,00 0,36 0,00 3,65 0,00 1,99 0,00 1,66 18,39 15,14 0,00 3,24 0,00 0,00 0,00 100 18,39
TK-9 Utara Harapan 10 m % 42,84 0,22 0,00 0,00 0,00 0,00 12,47 2,99 17,66 8,33 0,00 0,42 0,76 0,00 33,40 0,00 33,40 0,00 0,47 0,00 0,41 0,00 1,13 0,00 0,81 0,00 0,32 21,74 20,33 0,00 1,41 0,00 0,00 0,00 100 21,74
43,16
50,30
69
Lampiran 2. Spesies Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Panggang
LIFE FORM HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-1
TK-2
Barat Panggang (3 m) % 8,06 0,00 0,00 0,00 0,00 2,18 1,70 0,00 0,60 1,34 0,00 0,00 1,74 0,50 2,70 2,30 0,40 0,12 0,00 0,00 0,12 0,00 79,78 77,12 2,00 0,00 0,66 9,34 0,00 0,00 9,34 0,00 0,00 0,00 100 9,34
Barat Panggang (10 m) % 40,94 4,28 0,00 0,00 0,00 4,78 6,12 1,92 8,82 6,12 0,00 4,30 4,60 0,00 16,80 14,70 2,10 0,72 0,00 0,00 0,72 0,00 30,32 28,12 2,00 0,00 0,20 11,22 6,40 0,00 4,82 0,00 0,00 0,00 100 11,22
8,06
40,94
70
Lanjutan. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Panggang
LIFE FORM HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-3
TK-4
selatan sekati (3 m)
selatan sekati (10 m)
% 34,24 14,49 0,00 0,00 0,00 5,21 2,75 1,14 3,47 1,06 0,00 4,81 1,30 0,00 18,16 11,25 6,92 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7,32 0,00 0,00 0,00 7,32 40,28 3,81 0,00 36,47 0,00 0,00 0,00 100 40,28
% 25,55 1,19 0,00 0,00 0,00 0,32 2,00 1,79 2,87 14,19 0,00 2,28 0,91 0,00 7,40 2,83 4,57 0,85 0,00 0,00 0,85 0,00 5,26 0,74 2,49 0,00 2,02 60,94 48,57 0,00 12,36 0,00 0,00 0,00 100 60,94
34,24
25,55
71
Lanjutan. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Panggang
LIFE FORM
HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-6
TK-5 Selatan Panggang 3 m % 14,94 0,00 1,77 0,00 0,00 3,28 0,44 0,00 0,00 2,95 0,00 0,00 6,50 0,00 30,04 0,00 30,04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 17,42 1,68 5,01 0,00 10,73 37,60 10,53 0,00 27,07 0,00 0,00 0,00 100 37,60
Selatan Panggang 10 m % 20,52 2,09 1,43 0,00 0,00 1,09 6,00 0,00 4,79 1,37 0,00 0,00 3,75 0,00 53,71 0,00 53,71 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,97 0,63 1,43 0,00 0,90 22,80 22,80 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 100 22,80
14,94
20,52
72
Lanjutan. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Panggang
LIFE FORM
HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-7 Utara Semak Daun 3m % 56,70 0,20 9,52 0,00 0,00 8,66 3,56 2,62 30,06 0,00 0,00 0,64 1,44 0,00 36,02 0,00 36,02 2,72 0,00 0,00 2,72 0,00 1,76 1,76 0,00 0,00 0,00 2,80 0,00 0,00 2,80 0,00 0,00 0,00 100 2,80
TK-8 Utara Semak Daun 10 m % 25,18 3,71 0,00 0,00 0,00 4,21 3,52 2,35 4,51 5,34 0,00 1,20 0,35 0,00 22,58 3,04 19,54 2,55 0,00 0,00 2,55 0,00 36,89 12,13 17,05 0,00 7,71 12,80 9,39 0,00 3,41 0,00 0,00 0,00 100 12,80
56,70
25,18
73
Lanjutan. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Panggang
LIFE FORM
HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-9 Utara Gosong 3m % 47,84 6,62 0,50 0,00 0,00 0,20 2,31 0,00 32,70 1,81 0,00 2,91 0,80 0,00 18,76 0,00 18,76 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 9,43 0,00 4,41 0,00 5,02 23,97 10,03 0,00 7,42 0,00 0,00 6,52 100 23,97
TK-10 Utara Gosong 10 m % 39,31 3,93 0,00 0,00 0,00 1,61 4,64 1,81 24,70 1,01 0,00 0,20 1,41 0,00 39,11 0,00 39,11 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 9,48 0,00 5,44 0,00 4,03 12,10 0,40 0,00 11,69 0,00 0,00 0,00 100 12,10
47,84
39,31
74
Lanjutan. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Panggang
LIFE FORM
HARD CORAL Acropora Branching Acropora Digitate Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Tabulate Coral Branching Encrusting Foliose Massive Millephora Mushroom Submassive Tubipora DEATH CORAL Death Coral Death Coral with Algae ALGAE Algae Assemblage Coraline Algae Macro Algae Turf Algae OTHERS FAUNA Soft Coral Sponge Zoantide Others ABIOTIK Sand Silt Rubble Concrete Rock Water Total of line transect (cm) Abiotic coverage Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)
ACB ACD ACE ACS ACT CB CE CF CM ME CMR CS CTU DC DCA AA CA MA TA SC SP ZO OT S Si R Co Rck W
TK-11 Tenggara Pramuka 3m % 27,72 11,88 0,00 0,00 0,00 2,92 1,36 0,00 8,48 3,08 0,00 0,00 0,00 0,00 70,68 68,38 2,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,60 0,00 0,40 0,00 1,20 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 100 0,00
TK-12 Tenggara Pramuka 10 m % 31,37 11,53 0,00 0,00 0,00 0,00 4,29 0,00 9,68 5,88 0,00 0,00 0,00 0,00 36,57 36,57 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10,77 0,00 10,46 0,00 0,30 21,29 0,00 0,00 21,29 0,00 0,00 0,00 100 21,29
27,72
31,37
75
Lampiran 3. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Harapan. Plot 1 Ulangan 10 10 5 5 10
5 5 5 5 5
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
10 0 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 3,00% : Pasir berkarang
Ulangan 2 5 5 10 10 5
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
10 5 0 0 0
5 10 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 2,60% : Pasir berkarang
Ulangan 3 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
5 10 10 13 16
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 2,20% : Pasir berkarang
0 0 0 0 0
0 0 0 0 5
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 2,00% : Pasir berkarang
Ulangan 4 5 5 10 0 25
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
76
Lanjutan. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Harapan. Plot 2 Ulangan 1 0 0 0 5 10
0 5 0 10 5
0 0 0 0 0
0 0 30 0 0
0 0 5 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 2,80% : Pasir berkarang
Ulangan 2 0 0 0 0 30
0 5 5 0 10
0 0 0 0 0
0 0 0 5 0
5 5 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 2,60% : Pasir berkarang
0 0 0 0 0
5 0 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 1,40% : Pasir berkarang
Ulangan 3 0 0 0 0 0
0 5 10 0 0
0 10 0 5 0
77
Lampiran 4. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Panggang Stasiun 1 Plot 1 Ulangan 1 30 50 30 5 25
75 30 10 10 10
50 75 0 5 5
50 75 50 30 50
30 25 10 0 25
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 30,20% : Pasir
Ulangan 2 0 0 10 0 5
10 10 5 10 5
0 5 5 0 0
10 5 10 10 5
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
5 5 10 5 0
: Thalassia hemprichii : 100% : 5,20% : Pasir
Ulangan 3.1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 5 0
0 0 10 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 0,60% : Pasir
0 0 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Enhallus acoroides : 100% : 1,00% : Pasir
Ulangan 3.2 5 0 5 5 0
0 0 0 10 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
Ulangan 4 5 10 10 5 5
10 0 10 10 5
5 5 30 10 10
5 10 10 25 5
5 15 0 5 5
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 8,60% : Pasir
78
Lanjutan. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Panggang Stasiun 1 Plot 2 Ulangan 1 5 10 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 5 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
5 10 10 0 0
: Thalassia hemprichii : 100% : 1,80% : Pasir
Ulangan 2 0 5 0 0 0
5 5 10 0 0
5 10 0 0 0
0 10 0 0 0
0 0 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 2,00% : Pasir
Stasiun 2 Plot 1 Ulangan1 30 5 5 0 0
30 10 10 5 10
5 5 5 30 25
0 5 10 10 5
0 10 5 5 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Enhalus acoroides : 100% : 9,00% : Pasir
Plot 2 Ulangan 1 0 5 10 0 0
5 10 0 5 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
0 0 0 0 0
: Enhalus acoroides : 100% : 1,40% : Pasir
Plot 3 Ulangan1 30 0 5 5 0
5 10 5 10 10
0 30 0 0 30
10 50 50 25 5
10 60 5 50 5
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Enhalus acoroides : 100% : 16,40% : Pasir
79
Lanjutan. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Panggang Stasiun 3 Plot 1 Ulangan 1 30 30 5 0 30
0 5 25 0 10
5 10 5 30 5
5 30 0 5 25
0 5 10 5 5
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 11,15% : Pasir
30 5 10 0 5
5 25 10 10 30
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100 % : 11,00% : Pasir
Ulangan 2.1 5 10 5 0 5
0 0 30 30 10
10 0 5 5 30
Ulangan 2.2 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
5 0 0 0 0
0 0 0 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
10 0 0 0 0
: Enhalus acoroides : 100% : 0,60% : Pasir
Ulangan 3.1 0 10 30 30 25
5 0 0 0 5
30 0 0 0 0
25 5 0 0 0
0 10 10 5 5
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100 % : 7,80% : Pasir
Ulangan 3.2 10 0 5 30 0
0 0 0 0 0
5 0 0 0 0
10 0 0 0 0
0 0 5 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Enhalus acoroides : 100% : 2,60% : Pasir
Ulangan 4.1 0 5 0 0 0
0 5 0 0 0
0 0 0 0 0
30 0 10 0 0
0 0 5 5 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 2,40% : Pasir
80
Lanjutan. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Panggang Ulangan 4.2 10 5 0 0 30
10 0 0 5 75
5 0 30 30 80
30 10 25 10 10
5 10 0 30 30
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Enhalus acoroides : 100% : 17,60% : Pasir
5 10 5 0 0
5 5 10 0 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 6,80% : Pasir
Plot 2 Ulangan 1 5 10 10 0 5
10 5 10 10 30
10 5 5 10 5
Ulangan 2.1 0 0 0 0 0
0 5 0 0 0
5 50 10 0 0
0 5 0 10 5
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
0 0 10 0 0
: Thalassia hemprichii : 100% : 4,00% : Pasir
Ulangan 2.2 10 25 0 0 5
0 0 0 0 30
0 0 50 5 0
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
0 0 0 10 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 5
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
5 0 30 10 10
0 5 10 0 30
: Enhalus acoroides : 100% : 5,40% : Pasir
Ulangan 3.1 0 0 0 5 0
0 0 0 0 0
0 0 5 0 0
0 0 0 0 0
: Thalassia hemprichii : 100% : 0,60% : Pasir
Ulangan 3.2 30 10 30 5 5
5 30 30 0 5
50 10 0 5 10
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Enhalus acoroides : 100% : 1,00 % : Pasir
81
Lanjutan. Data mentah persentase tutupan lamun di Pulau Panggang Plot 2 Ulangan 4 75 5 30 0 0
50 10 25 5 0
5 30 5 5 10
30 0 10 60 5
0 5 5 5 10
Jenis lamun Kecerahan Penutupan lamun Jenis Substrat
: Thalassia hemprichii : 100% : 15,40% : Pasir
82
Lampiran 5. Kuisioner Pulau Panggang dan Pulau Harapan Nama
: ........................................................
Jenis Kelamin
:
Umur
: ............... tahun
Agama
: ........................................................
Laki-laki
Perempuan
Karakteristik masyarakat Pendidikan
:
SD
SLTP
Pekerjaan utama / sampingan
: .....................................................................
Status dalam keluarga
:
Jumlah tanggungan
: ………… orang
Suami
SLTA
Istri
D3
Anak
Pandangan masyarakat tentang Konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan (Pilih salah satu)
1. Apakah anda setuju dengan adanya program konservasi? a. setuju b. biasa saja c. tidak setuju d. tidak tahu
2. Tingkat partisipasi anda dalam kegiatan-kegiatan konservasi : a. sering b. kadang-kadang c. jarang d. tidak pernah
Menurut anda bagaimana keefektifan konservasi di pulau tempat anda tinggal? a. efektif b. cukup efektif c. tidak efektif d. tidak tahu Lanjutan. Kuisioner Pulau Panggang dan Pulau Harapan
S1
83
4. Menurut anda bagaimana sistem patroli di Pulau tempat anda tinggal? a. efektif b. cukup efektif c. tidak efektif d. tidak tahu
5. Menurut anda bagaimana hasil tangkapan ikan selama program konservasi dijalankan? a. banyak b. cukup c. sedikit d. tidak ada
84
Lampiran 6. Tahapan pembuatan matrik SWOT Tingkat kepentingan faktor strategis internal dalam pengelolaan kawasan untuk pengembangan kawasan konservasi. Simbol
Faktor Kekuatan (Strengths)
Tingkat Kepentingan
S1
1. Potensi sumberdaya alam
Cukup penting
S2
2. Dukungan masyarakat
Sangat penting
S3
3. Kebijakan balai TNLKS
Sangat penting
S4
4. Program DPL di Pulau Panggang dan Pulau Harapan
Penting
Simbol
Faktor Kelemahan (Weaknesses)
Tingkat Kepentingan
W1
1. Kurangnya pemahaman tentang konservasi
Penting
W2
2. Kondisi Ekosistem yang mulai rusak
Sangat penting
W3
3. Patroli TNLKS masih belum efektif
Sangat penting
W4
4. Fasilitas umum belum memadai
Sangat penting
Tingkat kepentingan faktor strategis eksternal dalam pengelolaan ekosistem pesisir untuk pengembangan kawasan konservasi Simbol
Faktor Peluang (Opportunities)
Tingkat Kepentingan
O1
1. Adanya penelitian yang dilakukan di sana
Penting
O2
2. Dukungan LSM
Sangat penting
O3
3. Usulan legalisasi dan sertifikasi pemanfaatan zona pemukiman
Cukup penting
O4
4. Adanya kelompok wisata
Cukup penting
Simbol
Faktor Ancaman (Threads)
Tingkat Kepentingan
T1
1. Adanya berbagai konflik
Sangat penting
T2
2. Pencemaran dari luar
Sangat penting
T3
3. Masuknya nelayan luar yang menggunakan alat tangkap
Sangat penting
berbahaya
85
Lanjutan. Tahapan pembuatan matrik SWOT
Penilaian bobot faktor strategis internal dalam pengelolaan ekosistem pesisir untuk pengembangan kawasan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan Faktor
S1
S2
S3
S4
W1
W2
W3
W4
Total
Bobot
S1
0
4
4
4
2
3
1
2
20
0,167
S2
1
0
2
1
2
1
2
1
10
0,083
S3
1
2
0
1
1
2
2
1
10
0,083
S4
1
4
3
0
2
2
3
1
16
0,133
W1
2
2
4
2
0
4
4
3
21
0,175
W2
1
3
2
2
1
0
2
2
13
0,108
W3
1
2
2
1
1
2
0
1
10
0,083
W4
2
4
4
3
1
2
4
0
20
0,167
120
1
Internal
Total
Penilaian bobot faktor strategis eksternal dalam pengelolaan kawasan untuk pengembangan kawasan konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan Faktor
O1
O2
O3
O4
T1
T2
O1
0
4
4
3
4
4
O2
1
0
3
1
3
1
O3
1
1
0
1
2
O4
1
3
4
0
T1
1
1
2
T2
1
3
T3
1
2
T3
Total
Bobot
23
0,245
2
11
0.,117
1
1
7
0,074
3
3
4
18
0,191
1
0
1
2
8
0,085
4
1
4
0
4
17
0,181
3
1
2
1
0
10
0,106
94
1
Eksternal
Total
4
86
Lanjutan. Tahapan pembuatan matrik SWOT Matriks IFE Faktor-faktor strategis internal
Bobot
Rating
Skor
Kekuatan (S) S1
1. Potensi Sumberdaya alam dan lingkungan
0,167
3
0,501
S2
2. Dukungan masyarakat
0,083
4
0,332
S3
3. Kebijakan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
0,083
4
0,332
S4
4. Program DPL di Pulau Panggang dan Pulau Harapan Kelemahan (W)
0,133
3
0,399
W1 1. Kurangnya pemahaman tentang konservasi
0,175
3
0,525
W2 2. Kondisi ekosistem yang mulai rusak
0,108
4
0,432
W3 3. Patroli TNLKS masih belum efektif
0,083
4
0,332
W4 4. Fasilitas umum belum memadai
0,167
3
0,501
Matriks EFE Faktor-faktor strategis eksternal
Bobot
Rating
Skor
Peluang (O) O1
1. Adanya penelitian yang dilakukan di sana
0,245
2
0,490
O2
2. Dukungan LSM
0,117
4
0,468
O3
3. Usulan legalisasi dan sertifikasi pemanfaatan zona pemukiman 4. Adanya Pengusaha wisata
0,074
4
0,296
0,191
2
0,382
O4
Ancaman (T) T1
1. Adanya berbagai konflik
0,085
4
0.,340
T2
2. Adanya pencemaran yang dilakukan pengunjung
0,181
4
0,724
T3
3. Masuknya nelayan luar yang menggunakan alat tangkap berbahaya
0,106
4
0,424
87
Lampiran 7. Foto Kondisi Karang di Pulau Harapan
Gambar tipe karang foliose yang ada di Pulau Harapan
Gambar soft coral di Pulau Harapan
88
Lampiran 8. Foto kondisi karang di Pulau Panggang
Gambar transplantasi karang di Pulau Panggang
Gambar kondisi Karang di Pulau Panggang
89
Lampiran 9. Dokumentasi pelaksanaan konsep konservasi
Pembenihan mangrove
Rumah panggung
Larangan melakukan kegiatan di daerah APL
Penanamam mangrove
Penangkaran kupu-kupu
Daerah Perlindungan Laut
Gambar 4. Citra sebaran sumberdaya di Pulau Panggang
Gambar 5. Citra sebaran sumberdaya di Pulau Harapan
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Pulau Panggang
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Pulau Harapan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei 1985, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan bapak H. Zakaria MS dan ibu Indriani.
Pendidikan formal pertama
diawali dari TK. AL AMANAH (1990), SDN 10 Pagi (1991), SMP 152 Jakarta Utara (1997), SMU N 5 Jakarta (2000). Pada tahun 2003 penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis memilih program studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi HIMASPER (Himpunan Mahasiswa Perairan) periode 2005-2006 pada bidang Hubungan Luar dan Komunikasi, sebagai OC dalam kegiatan Temu Ramah Mahasiswa Baru (TERUMBU) serta mengikuti berbagai seminar yang diselenggarakan di lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “ Analisis Sumberdaya Pulau Kecil Bagi Kesesuaian Kawasan Konservasi di Pulau Panggang dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu “