TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL Policy Paper
© Andie Wibianto/MPAG
© 2013
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
2
1.2.
Tujuan dan Sasaran
6
1.3.
Ruang Lingkup
7
1.4.
Keluaran
7
1.5.
Pendekatan dan Lokasi Pembelajaran
8
II.
TINJAUAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
2.1.
Rekapitulasi Status Pelaksanaan Peraturan Perundangan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil 9
2.2.
Proses Pengelolaan KKWP3K
10
2.3.
Mekanisme Pengelolaan KKWP3K
13
III.
KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
3.1. Konsepsi dan Kelembagaan Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 15 3.2. Pembelajaran Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 20 3.3. Permasalahan/Isu Dalam Kemitraan Pengelolaan KKWP3K Berdasarkan Analisis Kesenjangan (Gap Analysis)
47
IV. REKOMENDASI KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BATASAN PERISTILAHAN DAFTAR PUSTAKA
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan beragam ekosistem yang kaya akan sumberdaya alam dan sangat produktif, merupakan wilayah yang rawan terhadap kemungkinan pemanfaatan yang berlebihan, karena pada wilayah ini berlaku regim open access sehingga sumberdaya yang terkandung di dalamnya dianggap milik bersama. Sejak dahulu hingga saat ini telah banyak contoh-contoh yang menunjukkan adanya kerusakan dan kehancuran ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak terkontrol terhadap wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang dianggap milik bersama.
Secara lebih spesifik, pantai
sebagai bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sering menjadi suatu wilayah, dimana berbagai aktivitas yang saling bertentangan bersaing untuk memperebutkan ruang dan sumberdaya alam yang terbatas. Bahkan yang lebih buruk lagi adalah bahwa manfaat dan keuntungan dari berbagai aktivitas tersebut pada akhirnya jatuh pada sekelompok kecil masyarakat, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan terpaksa ditanggung oleh sebagian besar masyarakat dan lingkungan setempat. Terdapat empat fungsi utama ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penyedia jasa pendukung kehidupan, penyedia jasa kenyamanan, dan pelindung dari berbagai kemungkinan bencana alam. Sebagai penyedia sumberdaya alam, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil mengandung berbagai sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan manusia; sebagai penyedia jasa pendukung kehidupan, ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil menyediakan ruang yang bersih untuk mendukung kehidupan manusia; sebagai penyedia jasa kehidupan, ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil menyediakan objek wisata dan rekreasi yang sangat indah dan mempesona; dan sebagai pelindung dari bencana alam, ekosistem pesisir
2
dan pulau-pulau kecil mampu melindungi manusia dari berbagai bencana alam yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan ke empat fungsi utama ekosistem tersebut di atas, maka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah yang sangat menarik dan menjanjikan bagi kiprah pembangunan manusia. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak hanya menjadi wilayah yang dieksploitasi (diambil) sumberdaya alamnya, tetapi juga menjadi wilayah pengembangan berbagai kegiatan pemanfaatan, seperti transportasi dan pelabuhan, industri dan pemukiman. Kenyataan menunjukkan bahwa sekitar 85 % biota laut tropis tergantung pada ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sekitar 90 % hasil perikanan berasal dari ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil (Bengen, 2012). Sayangnya, eksploitasi sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan selama ini telah mengindikasikan fenomena kerusakan yang tidak hanya mengancam kemampuan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menyediakan sumberdaya alam, tetapi juga telah mereduksi kemampuannya dalam mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil.
Dampak dari kerusakan yang muncul, antara lain hilangnya
daerah pemijahan, pengasuhan dan mencari makanan bagi beragam biota laut, dan berkurangnya sumberdaya ikan. Dampak lain dari fenomena di atas adalah hilangnya fungsi-fungsi fisik dari ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil, seperti penahan erosi, peredam dan pemecah gelombang, pencegah intrusi air laut, dan penyerap bahan pencemar. Fenomena ini terjadi akibat praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya alam yang destruktif dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, seperti pembabatan dan konversi besar-besaran hutan mangrove, penggalian karang, pengeboman ikan karang dan sebagainya. Selain itu kerusakan ini dapat lebih diperparah akibat adanya fenomena perubahan iklim. Untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi-fungsi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu upaya-upaya untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian
3
ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya-upaya ini mendapat dukungan kuat dari Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengamanatkan untuk:
1) Melindungi,
mengonservasi,
merehabilitasi,
memanfaatkan
dan
memperkaya sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan; 2) Mengharmonisasikan dan menyinergikan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 3) Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 4) Meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai tindak lanjut
untuk menjaga, memulihkan dan melestarikan
ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan menetapkan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimandatkan dalam UU No. 27 Tahun 2007. dibentuknya
Kawasan
konservasi
ini
diantaranya
adalah
Tujuan untuk
mengupayakan perlindungan ekosistem pesisir dan laut, memulihkan fungsi dan integritas ekosistem,
mencegah penurunan keanekaragaman hayati,
mencegah penurunan kualitas lingkungan dan menjamin keberlanjutan pendayagunaan sumberdaya dan ekosistem secara lestari. Salah satu bentuk kawasan konservasi berdasarkan PERMEN No. 17/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah Kawasan
Konservasi
Perairan
(KKP).
Kawasan
Konservasi
Perairan
didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi dan dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan; sedangkan pengertian KKP menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No. 45 Tahun 2009) dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting dalam pengelolaan konservasi. Pertama, pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi; Kedua,
dalam hal
kewenangan, Pemerintah Daerah diberi kewenangan dalam pengelolaan
4
kawasan konservasi di wilayahnya.
Selama ini pengelolaan KKP menjadi
kewenangan Pemerintah (BKSDA, Balai TN). Dengan adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan KKP tersebut, maka fungsi Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi laut daerah (KKLD), Pemerintah hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sebagai daerah pencadangan membutuhkan
keseriusan
di
dalam
upaya
pengelolaannya.
Untuk
mewujudkan pengelolaan KKP yang berkelanjutan diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu dengan mengintegrasikan seluruh potensi sumberdaya yang ada.
Salah satu bentuk pengelolaan yang berpeluang
meningkatkan unjuk kerja KKP adalah pengelolaan berbasis kemitraan (comanagement) sebagaimana yang dimandatkan dalam pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Dengan pengelolaan berbasis kemitraan tersebut, kebijakan yang muncul akan lebih terbuka, lebih aspiratif dan dimulai dari bottom up. Dengan demikian,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
dalam mengelola KKP dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, perguruan tinggi maupun antar instansi pemerintah lainnya. Pola kemitraan (partnership) dalam pengelolaan KKP ini dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi
ekosistem
dan
sumberdaya
ikan
dilakukan
berdasarkan
kesepakatan kerjasama antar para pemangku kepentingan (stakeholders). Dengan melihat pentingnya kemitraan dalam pengelolaan KKP, maka tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan berbasis kemitraan telah menjadi trend tersendiri dalam pengelolaan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah KKP. Dalam pelaksanaannya, tujuan akhir pengelolaan berbasis
5
kemitraan tidak berhenti pada target luasan kawasan konservasi, namun secara konsisten berupaya mewujudkan pengelolaan KKP yang efektif bagi keberlanjutan ekosistem dan sumberdaya hayati serta kesejahteraan masyarakat
melalui
peningkatan
kapasitas
SDM,
kelembagaan,
dan
pendanaan yang berkelanjutan. Dengan melihat pentingnya kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka perlu dilakukan suatu kajian mendalam untuk mendapatkan kemitraan pengelolaan yang tepat, komprehensif, dan efisien serta dapat menjadi panduan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, maupun stakeholders lainnya dalam mengelola kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara bersama-sama. Dengan demikian, pada waktu pelaksanaannya tidak akan terjadi gesekan antar stakeholders, namun yang terjadi adalah semangat kebersamaan. Di sisi lain landasan peraturan yang memayungi kemitraan pengelolaan menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Namun demikian perlu adanya suatu kajian yang diharapkan dapat memberikan masukan tentang penerapan peraturan tersebut. Karena itu, kajian kemitraan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mutlak diperlukan, sebagai landasan penyusunan Peraturan Menteri tentang Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. 1.2. Tujuan dan Sasaran Tujuan utama dari policy paper ini adalah melakukan tilik-kaji tentang kemitraan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil sebagai landasan penyusunan Peraturan Menteri tentang Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan; sedangkan tujuan khususnya adalah: 1. Mengkaji konsep kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi: tataran proses, mekanisme dan kelembagaannya. 6
2. Merangkum pembelajaran pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis kemitraan. 3. Merekomendasikan arah kebijakan yang berkaitan dengan kemitraan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sasaran yang hendak dicapai dalam penyusunan policy paper ini adalah: 1. Terumuskannya konsepsi kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 2. Terekomendasikannya kelembagaan kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 1.3 Ruang Lingkup Ruang lingkup policy paper adalah: -
Perumusan
tataran
kemitraan
dalam
pengelolaan
kawasan
konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi; -
Perumusan mekanisme kolaborasi, koordinasi dan konsultasi dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis kemitraan;
-
Penyusunan
arahan
kebijakan
kemitraan
dalam
pengelolaan
kawasan konservasi di wilayah pesisir dan dan pulau-pulau kecil. 1.4 Keluaran (Output) Tersusunnya policy paper Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 1.5 Pendekatan dan Lokasi Pembelajaran Penyusunan
policy paper
ini
mencakup
desk
study,
dengan
menggunakan data sekunder di antaranya data potensi biogeofisik, sosialbudaya dan ekonomi kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan informasi peraturan perundangan dan kebijakan terkait kemitraan pengelolaan (bentuk dan pola kemitraan, serta proses dan mekanisme
7
pengelolaan).
Selain
itu
dilakukan
kunjungan
lapangan
ke
lokasi
pembelajaran untuk memperkaya tilik-kaji yang telah dilakukan sekaligus mengklarifikasi dan memvalidasi data yang ada.
Adapun
lokasi
pembelajaran adalah kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia, dengan lokasi teladan pada beberapa kawasan yang memiliki model, bentuk, lokasi, dan karakteristik khusus yang mewakili keberagaman dalam mengembangkan pengelolaan berbasis kemitraan. Lokasi-lokasi pembelajaran tersebut adalah: 1. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat 2. Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh 3. Kawasan Strategis Nasional (KSN) Segara Anakan 4. Kawasan Taman Nasional Laut (KTNL) Wakatobi 5. Kawasan Konservasi (KK) Mangrove Margomulyo. Dengan
adanya
pembelajaran
pada
lokasi-lokasi
tersebut
di
atas,
diharapkan akan diperoleh secara komprehensif ragam model kemitraan pengelolaan kawasan konservasi yang dikembangkan sebagai kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
8
II.
TINJAUAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DI
2.1. Rekapitulasi Status Pelaksanaan Peraturan Perundangan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil Salah satu upaya untuk mengatasi ancaman terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan menetapkan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKWP3K) sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 27 Tahun 2007. Tujuan dari penetapan KKWP3K berdasarkan adalah untuk mengupayakan perlindungan ekosistem pesisir dan
laut,
penurunan
memulihkan
fungsi
keanekaragaman
dan
integritas
hayati,
ekosistem,
mencegah
mencegah
penurunan
kualitas
lingkungan dan menjamin keberlanjutan pendayagunaan sumberdaya dan ekosistem secara lestari. Penetapan KKWP3K disamping untuk melindungi sumberdaya ikan, tempat
persinggahan dan/atau
alur migrasi
biota
laut
lain, juga
dimaksudkan untuk mengakomodasi kearifan-kearifan lokal di ranah konservasi seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu yang telah ada di masyarakat. mengakomodasi konservasi daerah-daerah yang terhadap perubahan.
KKWP3K juga turut
unik dan/atau rentan
Untuk selanjutnya KKWP3K ditetapkan dengan
PERMEN No. 17/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengusulan
Kawasan
Konservasi
sebagaimana
dimaksud
dapat
dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah berdasarkan ciri khas Kawasan. Namun demikian, pengusulan ini perlu ditunjang oleh data dan informasi ilmiah dengan tetap berpatokan bahwa di dalam kawasan tersebut akan terdapat zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain sesuai dengan peruntukan kawasan.
9
Berdasarkan PERMEN No. 17/2008 maka KKWP3K dapat dikategorikan menjadi Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Sempadan Pantai. Untuk KKP dan Sempadan Pantai telah diatur dalam PERMEN
N0.
60/2007
tentang
Konservasi
Sumberdaya
Ikan
yang
dimandatkan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 2.2. Proses Pengelolaan KKWP3K Ruang lingkup proses pengelolaan KKWP3K mencakup 3 (tiga) tahapan, yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi. 2.2.1. Perencanaan Perencanaan merupakan tahap awal dalam pengelolaan KKWP3K yang harus dilakukan sebelum melaksanakan suatu kegiatan tertentu. Jenis kegiatan yang termasuk dalam tahap perencanaan adalah survei, analisis data dan penyusunan rencana kegiatan. Kegiatan survei bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang kondisi biofisik, sosial-budaya dan sosial-ekonomi di lokasi tilik dengan cara mengumpulkan data sekunder/literatur dari berbagai instansi terkait dan data primer (sampel) dari lokasi pengamatan. Dari kegiatan ini diharapkan data biofisik, sosial-budaya dan sosial-ekonomi yang diperlukan dapat terakomodasi, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk penyusunan suatu perencanaan pengelolaan KKWP3K. 2.2.2. Pelaksanaan Pelaksanaan pengelolaan KKWP3K yang dimaksud disini adalah implementasi dari perencanaan pengelolaan KKWP3K yang dilaksanakan secara sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keberlanjutan pendayagunaan KKWP3K.
10
Dalam pelaksanaan pengelolaan KKWP3K harus mengacu pada perencanaan yang telah disusun baik oleh pelaksana di tingkat pusat maupun daerah sesuai kewenangannya. 2.2.3. Monitoring dan Evaluasi Dalam pelaksanaan pengelolaan KKWP3K, monitoring meliputi kegiatan pengawasan dan pengendalian, sedangkan evaluasi merupakan proses pengukuran kinerja yang seharusnya dicapai sesuai dengan perencanaan program yang telah ditetapkan. Monitoring yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara berulang dan terus menerus untuk mengawasi atau memantau proses dan perkembangan pelaksanaan program pengelolaan KKWP3K. Secara khusus monitoring dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara
perencanaan
dan
pelaksanaan
program.
Bila
terjadi
ketidaksesuaian, maka informasi tersebut dapat segera digunakan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan. Informasi dan kesimpulan hasil monitoring diharapkan dapat digunakan untuk mengambil keputusan tentang apa yang perlu dilakukan untuk membuat agar program berhasil seperti yang diharapkan. Pengendalian yang dimaksud disini adalah proses untuk menjamin tertib pelaksanaan program pengelolaan KKWP3K yang meliputi tertib pelaporan, sumberdaya manusia yang tepat, informasi yang benar dan aktual serta tepat waktu, yang dilaksanakan oleh internal dari pelaksana program. Pengawasan yang dimaksud disini adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh program pengelolaan KKWP3K untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan sebelumnya, sehingga efisiensi dan efektifitas dapat tercapai yang dilaksanakan oleh internal maupun eksternal dari pelaksana program. Evaluasi yang dimaksud disini adalah suatu proses sistematis dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menginterprestasikan informasi untuk
11
mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program sesuai dengan kriteria tertentu untuk mengambil keputusan dalam pengembangan program pengelolaan KKWP3K. Selanjutnya hasil evaluasi diharapkan dapat digunakan dalam menilai keberhasilan program dan dipakai sebagai dasar untuk menentukan kelanjutan program atau pengembangan program yang lain. Informasi dan kesimpulan hasil evaluasi diharapkan dapat digunakan untuk mengambil keputusan tentang program secara utuh, mulai dari kesesuaian kebutuhan masyarakat dan tuntutan masa depan (konteks, input, proses, output yang ditargetkan maupun outcome yang diharapkan). Evaluasi dapat dibedakan menjadi tiga tahap yaitu: -
Pra Evaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat program belum berjalan/beroperasi pada tahap perencanaan. Evaluasi pada tahap ini lebih difokuskan pada masalah-masalah persiapan dari suatu program atau didasarkan pada hasil-hasil pelaksanaan program sebelumnya, yang secara substansial memiliki keterkaitan dengan program yang akan dilaksanakan.
-
Evaluasi pada saat program telah berjalan, yaitu evaluasi yang lebih difokuskan pada penilaian dari setiap hasil program yang sudah dilaksanakan, walaupun belum bisa dilakukan penilaian terhadap keseluruhan
proses
pelaksanaan
program.
Dalam
pelaksanaannya
evaluasi ini berbentuk evaluasi terhadap laporan triwulan, semester atau tahunan. -
Evaluasi setelah program dilaksanakan, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap seluruh tahapan program yang dikaitkan dengan tingkat keberhasilannya sesuai dengan indikator yang ditetapkan dalam rumusan sasaran atau tujuan program.
Evaluasi ini lebih ditekankan pada
dampak program (outcome). Agar dalam pengelolaan KKWP3K tersebut dapat mencapai tujuan dan sasaran sesuai dengan yang telah direncanakan, serta akan menjadi pembelajaran untuk perbaikan ke depan apabila mengalami kegagalan, maka monitoring dan evaluasi yang dilakukan bukan hanya kepada hasil akhir pelaksanaan program tersebut tetapi juga dilakukan monitoring dan
12
evaluasi yang berorientasi kepada keberhasilan dan kegagalan di dalam pengelolaan KKWP3K tersebut. 2.3. Mekanisme Pengelolaan KKWP3K Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang salah arah (misleading policy). Hal ini dikarenakan pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan keputusan-keputusan yang bersifat topdown, akan berakibat pada nilai dan kepentingan dari pengelolaan kawasan konservasi yang tidak searah dengan nilai dan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Implikasi dari kondisi ini adalah terjadinya ketidakstabilan yang
ditandai dengan
terjadinya konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya, terutama komunitas-komunitas
lokal
yang berada di sekitar kawasan tersebut. Menyadari akan kondisi terulangnya konflik yang berpeluang terjadi dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKWP3K), Perikanan dan Kelautan
maka Kementerian
yang memiliki amanah dalam pengelolaan
KKWP3K, membuka peluang pengelolaan berbasis ‘kemitraan’. Pengelolaan berbasis kemitraan sebagaimana tertuang dalam pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007, bahwa
Pemerintah atau Pemerintah
Daerah dalam mengelola Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Berdasarkan
ketentuan
ini
terbuka
peluang
bagi
para
pemangku
kepentingan (stakeholders) terkait selain pemerintah atau pemeritah daerah terlibat dalam upaya pengelolaan suatu KKP ke arah yag lebih baik.
13
Pada prinsipnya pendekatan pengelolaan KKWP3K hendaknya dilakukan secara terpadu, dengan mekanisme keterpaduannya berada pada tataran kelembagaan (institution) yang mencakup keterpaduan sektor (atau Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD) baik secara horizontal pada tingkatan pemerintah kabupaten/kota ataupun antar wilayah administrasi tetangga, maupun secara vertikal pada tingkatan pemerintah dan pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, serta keterpaduan pemangku kepentingan seperti dunia usaha, lembaga pendidikan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat/Non-Government Organization (LSM/NGO) dan masyarakat. Kelembagaan secara teoritis dan dimaksudkan di sini tidak semata-mata terkait dengan aspek fisiknya saja (atau yang lebih kita kenal sebagai organisasi atau kelompok beserta strukturnya), tetapi juga yang bersifat abstrak, seperti peraturan, mekanisme dan tata hubungan kerja antar organisasi/kelompok yang terlibat.
Hanya dengan
kelembagaan (dalam arti keseluruhan) yang baik, maka tata kelola KKWP3K yang baik (good governance) mampu untuk diwujudkan. Seyogyanya
kelembagaan
pengelolaan
KKWP3K
secara
terpadu
dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya serta bersifat komprehensif (berkaitan dengan keseluruhan aspek kelola, baik kawasan, usaha, maupun sumberdaya manusia) dan adaptif (mampu menyesuaikan dengan dinamika yang ada).
14
III.
KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
3.1. Konsepsi dan Kelembagaan Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Konsepsi kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKWP3K) haruslah dirumuskan dengan melibatkan setiap unsur pemangku kepentingan (stakeholder). pemangku kepentingan, khususnya unsur masyarakat
Para
harus mengetahui
benar tujuan dan manfaat dari pengelolaan KKWP3K, sehingga diharapkan masyarakat akan sadar dengan sendirinya terhadap pentingnya pengelolaan KKWP3K.
Pengelolaan KKWP3K yang melibatkan masyarakat pada
hakikatnya tidak terlepas dari pengembangan kelembagaan masyarakat yang merupakan suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap proses pengelolaan.
Dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan
gugus kesempatan bagi individu dan/atau kelompok individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Pengelolaan KKWP3K berbeda untuk tiap lokasi mengingat perbedaan situasi dan kondisi sumberdaya manusia yang ada. Kemitraan yang dikonsepsikan sebagai co-management dalam IUCN (1996) dimaknai bahwa pemerintah, masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya, LSM dan pemangku kepentingan lainnya bernegosiasi dengan pemegang otoritas dalam pengelolaan kawasan atau sumberdaya tertentu. Dengan esensi yang sama The World Bank (1999) mendefinisikan comanagement sebagai pembagian tanggungjawab, hak, dan tugas antara pemangku
kepentingan
utama,
khususnya
masyarakat
lokal
dan
pemerintah; sebuah pendekatan desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan
yang
melibatkan
pengguna
lokal
yang
setara
dengan
pemerintah. Secara lebih ringkas, pengertian co-management menurut Pomeroy (2003) adalah pembagian tanggungjawab dan otoritas dalam pengelolaan sumberdaya antara pemerintah dan pemangku kepentingan.
15
Dengan
demikian,
konsep
co-management
dalam
pengelolaan
KKWP3K dapat dimaknai sebagai ‘kemitraan’ dalam pengelolaan KKWP3K, yakni
pengelolaan yang partisipatif, dimana proses dan mekanisme
pengelolaan
melibatkan para pemangku kepentingan (pemerintah,
perguruan tinggi, dunia usaha, LSM, dan masyarakat lokal). Berdasarkan pengertian ‘kemitraan’ sebagaimana disebutkan di atas, maka kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K hendaknya memiliki beberapa prinsip dasar, yakni: 1) pemberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan dan sumberdaya, 7) pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe 2003). Gagasan dasar dari Acheson (1989) dapat pula dijadikan acuan mengapa pengelolaan KKWP3K membutuhkan pengelolaan yang berbasis kemitraan. Menurut Acheson konsep pengelolaan sumberdaya publik, seperti
halnya
KKWP3K
menunjukkan
kombinasi
derajat
intensitas
keterlibatan pemerintah di satu pihak dan masyarakat di pihak lain serta dampak yang ditimbulkan. Atas
dasar
kombinasi
tersebut,
dihasilkan
4
alternatif
pola
pengelolaan sumberdaya alam sebagai berikut: Pertama, apabila masyarakat lokal dan pemerintah bersama-sama tidak melakukan kontrol secara intensif terhadap pengelolaan sumberdaya, akan menjadikan
sumberdaya
tersebut
didayagunakan
secara
terbuka,
sebagaimana halnya suatu sumberdaya terbuka (open access), seperti sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam pola pengelolaan yang tidak jelas pengelolanya justru akan mengundang terjadinya the tragedy of the common yang berujung pada pemusnahan sumberdaya tersebut, karena adanya pemanfaatan yang berlebihan oleh manusia melampaui daya dukungnya.
16
Kedua,
apabila
pemerintah
melakukan
kontrol
mutlak
terhadap
pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis pemerintah (state-based management). Pola inilah yang selama ini berlangsung
di
dikesampingkan,
Indonesia.
Dalam
kalau
ada
pun
pola hanya
ini,
peranan
bersifat
masyarakat
simbolik
sehingga
masyarakat kehilangan rasa memiliki dan rasa bertanggung-jawab. Padahal masyarakat juga memiliki kapasitas tertentu dalam mengelola sumberdaya. Karena itu, masyarakat merasa tidak mempunyai kepentingan membantu pemerintah melakukan upaya-upaya pemeliharaan sumberdaya, disamping itu pemerintah juga mempunyai keterbatasan kapasitas mengelola. Pada akhirnya, pola ini akan terjebak pada pola pertama. Ketiga, apabila masyarakat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management). Masyarakat itu sendiri sebenarnya terdiri dari fragmen-fragmen yang cukup luas, ada masyarakat pengguna dan ada masyarakat di luar pengguna. Ketika masyarakat pengguna melakukan tindakan pengelolaan yang arif bijaksana, seringkali terdapat gangguan dari
masyarakat lain di luar teritorialnya.
Jika intensitas gangguan itu meningkat, masyarakat pengguna tidak mampu lagi menanggulanginya secara berdikari serta ditambah dengan tidak adanya dukungan kebijakan dari pemerintah. Pada akhirnya pola ini pun akan kembali terperangkap pada pola pertama. Keempat, apabila kontrol pemerintah dan masyarakat sangat besar dan dalam posisi yang setara dan seimbang dalam proses pengambilan keputusan, maka akan menghasilkan pola kemitraan dalam pengelolaan. Secara empirik, inilah pola pengelolaan yang ideal. Kemitraan merupakan pilihan pola pengelolaan kawasan konservasi yang paling rasional. Pilihan ini akan menciptakan perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap sumberdaya kawasan konservasi, yang memungkinkan kawasan konservasi tidak terdegradasi menjadi suatu sumberdaya terbuka.
17
Dalam konteks pengelolaan KKWP3K di Indonesia, penerapan kemitraan pengelolaan menjadi relevan sebab dari sisi pemerintah saja terdapat 3 (tiga) lembaga yang memiliki otoritas dalam pengelolaan kawasan
konservasi,
yaitu
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan,
Kementerian Kehutanan, dan Pemerintah Daerah. Sementara dari sisi pemangku
kepentingan
(stakeholder)
terdapat
berbagai
kelompok
masyarakat, LSM, perguruan tinggi, korporasi, dan organisasi lainnya. Relevansi kemitraan semakin kuat dengan adanya mandat dari PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan untuk menyusun Peraturan Menteri (PerMen) tentang kemitraan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Kemitraan sebagaimana tercantum dalam pasal 18 dari PP 60 Tahun 2007: ‘Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi’. PerMen tersebut nantinya akan menjadi acuan bagi unit pengelola, baik yang berada dibawah Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam menjalankan kemitraan. Setiap KKP memang harus memiliki Unit Pengelola yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan termasuk pemberdayaan masyarakat.
sumberdaya kawasan,
Akan tetapi, PerMen ini hanya
mengikat bagi KKP yang dikelola oleh Pemerintah Daerah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KemenKP), karena rujukan regulasinya adalah PerMen yang dikeluarkan oleh KemenKP. Kemitraan dalam Pengelolaan KKWP3K menjadi sangat penting, terutama dengan masyarakat, karena dengan kemitraan juga akan diperhatikan konteks sosial dan ekonomi masyarakat dalam pengelolaan KKWP3K. Kita tidak dapat dengan serta merta, meminta masyarakat dan juga
pemangku
kepentingan
lainnya
untuk
mendukung
pendekatan
pengelolaan KKWP3K berbasis kemitraan tanpa adanya pemberdayaan
18
(empowerment) dan penguatan kapasitas (capacity strengthening) serta memberikan contoh implementasinya.
Pembelajaran dari berbagai
program yang berasal dari Pemerintah tidak terjalankan dengan baik di daerah, karena persepsi yang berkembang bukan hanya program tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab Pusat, tetapi setiap desentralisasi perlu disertai dengan dukungan finansial. Begitu pula program-program yang melibatkan masyarakat seringkali hanya akan berhasil jika masyarakat sudah merasakan manfaatnya (it pays). Hal ini bermakna kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K menjadi urgen bagi keberlanjutan KKWP3K bagi generasi mendatang. Kemitraan pengelolaan KKWP3K merupakan pengelolaan dengan salah satu tataran kemitraannya berada pada tataran kelembagaan (institution) yang mencakup kemitraan sektor (atau Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD) maupun pemangku kepentingan, seperti dunia usaha, lembaga
pendidikan
tinggi,
lembaga
penelitian,
lembaga
swadaya
masyarakat/Non-Government Organization (LSM/NGO) dan masyarakat. Pada kemitraan
prinsipnya seyogyanya
kelembagaan dirancang
pengelolaan
dan
KKWP3K
dikembangkan
sesuai
berbasis dengan
kepentingan dan kebutuhannya serta bersifat komprehensif (berkaitan dengan
keseluruhan
aspek
kelola,
baik
kawasan,
usaha,
maupun
sumberdaya manusia) dan adaptif (mampu menyesuaikan dengan dinamika yang ada). Dalam upaya mewujudkan keterpaduan kelembagaan kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K, diperlukan mekanisme kerja yang didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan, yakni: (1). Kerjasama Secara fungsional dan berbasis kemitraan, berbagai pemangku kepentingan terutama
perguruan tinggi dan atau lembaga penelitian,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik nasional maupun internasional pihak
swasta,
perlu
menjalin
19
kerjasama
dengan
pemerintah
dan
pemerintah daerah khususnya dalam tata kelola dan pendanaan programprogram pengelolaan KKWP3K. (2). Koordinasi Selain bekerjasama dengan para pemangku kepentingan, setiap sektor baik secara horizontal (antar kementrian atau dinas/SKPD terkait) maupun secara vertikal (antara pemerintah dan pemerintah daerah), perlu melakukan
koordinasi
secara
fungsional
dan
implementatif
dalam
pengelolaan KKWP3K. (3). Konsultasi Proses konsultasi merupakan mekanisme keterpaduan yang sangat penting dalam upaya optimalisasi pengelolaan KKWP3K. Proses ini perlu dilakukan secara terus menerus, transparan dan efektif dengan para pakar/akademia, legislatif di pusat dan daerah, dan masyarakat. 3.2. Pembelajaran Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 3.2.1 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat Sekilas Tentang KKP Raja Ampat Raja Ampat merupakan kabupaten bahari dengan luas laut sebesar 87% dan luas daratan hanya sebesar 13%. Kabupaten ini dikenal memiliki keanekaragaman hayati dan keunikan sumberdaya pesisir dan laut yang tinggi, setidaknya ditemukan 1.318 jenis ikan karang, 533 jenis karang keras dan 699 jenis moluska. Dari serangkaian hasil survey yang dilakukan para ahli kelautan, dinyatakan bahwa kepulauan Raja Ampat memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia. Untuk menjamin kelestarian sumberdaya pesisir dan laut Raja Ampat, potensi serta manfaatnya dalam jangka panjang, Kementerian
20
Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat serta masyarakat setempat dengan dukungan program Coremap II, Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy (TNC) membentuk sejumlah Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat sebagai upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya laut (Gambar 1). Di kabupaten ini terdapat 3 (tiga) bentuk KKP. Pertama, Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) yang terdiri dari Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat dan SAP Waigeo Barat. Kedua, Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) yang terdiri dari 5 KKPD yaitu: Ayau-Asia, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kofiau-Boo dan Misool Timur Selatan.
Jenis KKPD ini belum ditetapkan secara formal.
Ketiga, Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dibentuk di sejumlah kampung sebanyak 23 DPL.. Ketiga bentuk KKP diatas membentuk sebuah jejaring KKP karena adanya keterkaitan biofisik antara satu dengan lainnya.
Hasil beberapa
studi menunjukkan adanya hubungan dari aspek penyebaran larva ikan dari satu KKP sebagai tempat pemijahan dengan KKP lainnya sebagai tempat pembesaran. Studi lainnya menunjukkan adanya hubungan antara tempat bertelur penyu di satu KKP dengan tempat makan penyu di KKP lainnya. Proses pembentukan DPL diawali melalui sosialisasi oleh community facilitator (CF). formal,
Dalam proses sosialisasi, baik secara formal dan non
dilakukan pendidikan lingkungan hidup (PLH) pada semua unsur
yang ada dimasyarakat mulai dari anak-anak sampai orang tua mengenai manfaat terumbu karang bagi kehidupan manusia.
Hal ini penting sebagai
langkah awal dalam pembentukan DPL, dimana seluruh masyarakat harus paham dan mengerti mengenai tujuan dan manfaat DPL. Pemilihan lokasi DPL di Raja Ampat unik terutama mengenai lokasi dan jarak lokasi DPL.
Hal ini disebabkan adanya faktor adat dan
kepemilikan marga yang kuat. Ada lokasi DPL yang jaraknya jauh dari suatu kampung dan secara administrasi sudah masuk dalam wilayah kampung lain, namun karena faktor adat dan kepemilikan marga, lokasi tersebut tetap dipilih menjadi lokasi DPL berdasarkan persetujuan dan ijin marga pemilik lokasi terumbu karang.
Setiap lokasi DPL yang sudah ditetapkan,
21
diresmikan secara adat dan keagamaan dalam bentuk sasi. Ini dilakukan guna menghindari pelanggaran di daerah DPL. Barangsiapa yang melakukan pelanggaran di DPL akan mendapat hukum adat. Berbeda dengan sasi pada umumnya yang sifatnya bisa dibuka dan dimanfaatkan pada waktu-waktu tertentu, sasi di DPL Raja Ampat sifatnya permanen dan dilengkapi dengan tanda batas permanen juga. Selanjutnya DPL diperkuat dengan peraturan kampung yang isinya digali dari masyarakat dan disahkan oleh semua unsur yang ada dimasyarakat (Coremap II,2010) Dalam perkembanganya, DPL-DPL Raja Ampat kemudian menjadi bagian dari KKPD Selat Dampier dan SAP Raja Ampat karena terletak didalam kedua KKP tersebut. Dalam proses penzonasian, DPL yang terdapat didalam SAP Raja Ampat dimasukkan kedalam zona pemanfaatan, sub zona pemanfaatan masyarakat. DPL yang terdapat didalam KKPD Selat Dampier dimasukkan kedalam zona pemanfaatan terbatas, sub zona ketahanan pangan dan pariwisata.
Prinsipnya kedua zona ini khusus dikelola oleh
masyarakat yang telah memiliki DPL di masing-masing kampung. Kegiatankegiatan didalam zona ini disesuaikan dengan tujuan pembentukan DPL, yaitu DPL sebagai kawasan larang ambil (no take zone) namun dapat dimanfaatkan untuk tujuan wisata menyelam atau snorkeling.
22
Gambar 1. Sebaran Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat
Kronologi Pembentukan KKP Raja Ampat Pemerintah Daerah Raja Ampat bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy (TNC) secara bersama mendorong pembentukan 6 KKPD Raja Ampat. Proses pembentukan ini dimulai dari kajian ekologi laut dan sosial oleh Coremap I dan P2O-LIPI, CI dan TNC pada tahun 2001 sampai 2004. Kajian tersebut menghasilkan informasi tentang potensi sumberdaya laut terutama terumbu karang dan ekosistemnya di Raja Ampat. Pembentukan SAP Raja Ampat dan SAP Waigeo Barat dimulai dari adanya penyerahterimaan pengelolaan 8 kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) yang dikelola Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 4 Maret 2009 dengan Berita Acara No. BA.01/Menhut-IV/2009 dan No. BA.108/MEN.KP /III/2009. 23
Kedelapan KSA dan KPA tersebut adalah Cagar Alam Laut Banda, Cagar Alam Laut Kepulauan Aru Bagian Tenggara, Suaka Margasatwa Laut Raja Ampat, Taman Wisata Air Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan, Taman Wisata Alam Kapoposang, Taman Wisata Alam Padaido, Suaka Margasatwa Waigeo dan Taman Wisata Alam Pulau Pieh. Menindak lanjuti penyerahan kedua SAP tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 64 Tahun 2009 tentang Penetapan KKPN Raja Ampat dan Laut sekitarnya serta Surat Keputusan No. 65 Tahun 2009 tentang Penetapan KKPN Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut sekitarnya. Dalam kedua SK tersebut dinyatakan bahwa kedua KKPN ini ditetapkan sebagai Suaka Alam Peraiaran (SAP) Raja Ampat dan SAP Kepulauan Waigeo Sebelah Barat. Selain itu juga disebutkan bahwa penetapan ini perlu ditindaklanjuti dengan pengumuman dan sosialisasi kepada masyarakat serta penataan batas. Kerjasama Pemerintah Daerah Raja Ampat, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Coremap II Raja Ampat, CI, TNC dan partisipasi masyarakat merupakan dukungan dalam membangun KKP Raja Ampat. Adanya inisiatif kerjasama dari berbagai lembaga diatas dapat mendorong pengelolaan KKP Raja Ampat sebagai sebuah jejaring menjadi sinergis dan efektif. Namun demikian terdapat sejumlah tantangan dalam membangun pengelolaan KKP Raja Ampat baik sebagai individu KKP maupun sebagai sebuah jejaring KKP. Konservasi sumberdaya laut dalam bentuk KKP relatif baru di Indonesia sejak dikeluarkannya UU 31 Tahun 2004 dan PP No. 60 Tahun 2007 serta UU No 27 Tahun 2007 dengan beberapa peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Menteri sejak tahun 2008.
Untuk itu
diperlukan kerjasama semua pihak untuk mewujudkan pengelolaan sebuah KKP yang efektif dilapangan baik sebagai individu KKP maupun sebagai sebuah jejaring KKP. Hal sama juga diperlukan dalam membangun dan mengelola 2 KKPN, 5 KKPD dan 23 DPL di Raja Ampat baik sebagai individu KKP maupun sebagai sebuah jejaring KKP.
Aspek-aspek yang perlu dibangun secara bersama
oleh berbagai pihak dalam mewujudkan pengelolaan jejaring KKP Raja
24
Ampat yang efektif mencakup kelembagaan pengelolaan dan kapasitas SDMnya, kelembagaan kemitraan, peningkatan kapasitas SDM para pihak, rencana pengelolaan dan zonasi, sarana dan prasarana pengelolaan kawasan, pemanfaatan kawasan, pengelolaan sumberdaya, pengembangan ekonomi masyarakat sekitar kawasan, monitoring dan pengawasan, dan lainnya. Kemitraan Dalam Pengelolaan KKP Raja Ampat Dengan dorongan dan dukungan berbagai pihak baik instansi pemerintah, pemerintah daerah, Swasta maupun LSM, saat ini telah terbentuk sejumlah LPSTK, LKM, Pokmaswas dan Pokmas disejumlah kampung dan sebuah UPTD KKPD Raja Ampat serta sebuah UPT untuk mengelola kedua SAP. Berbagai lembaga pengelola tersebut dengan tanggung jawab pengelolaan yang jelas dan berbeda sampai saat ini belum dibentuk
kelembagaan
kemitraan
sebagai
wadah
koordinasi
dalam
membangun dan mengelola jejaring KKP Raja Ampat. Sebagai sebuah KKPN yang kewenangan pengelolaannya baru diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2009, maka keberadaan unit organisasi pengelola setingkat UPT sebagai lembaga yang diberi mandat untuk mengelola kedua SAP tersebut diperlukan dilapangan atau di tingkat kabupaten. Pada saat ini BKKPN Kupang ditunjuk menjadi lembaga pengelola sementara kedua SAP tersebut dengan Satker pengelolaan di Raja Ampat. Namun demikian mengingat lokasi BKPPN Kupang yang sangat jauh dan Satker dengan jumlah staf yang belum memadai maka penting segera dibentuk agar pengelolaan kedua SAP dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pendelegasian pengelolaan KKPN kepada lembaga yang relatif baru di satu sisi berdampak terhadap penyesuaian kembali terhadap stakeholders yang telah lama berkecimpung. Disisi lain keberadaan lembaga pengelola yang baru dapat berdampak pada adanya paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi ke arah yang lebih baik.
Disinilah prinsip-prinsip kemitraan dapat di
rekomposisi ulang ke arah yang lebih baik.
25
Saat ini UPTD KKPD Raja Ampat telah dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati No. 16 Tahun 2009.
UPTD KKPD ini bertugas
melaksanakan sebagian tugas Dinas Kelautan dan Perikanan dibidang pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Raja Ampat serta melaksanakan tugas-tugas dekosentrasi dan tugas-tugas lain yang diberikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan. Namun demikian personel yang mengisi struktur organisasi UPTD belum ditunjuk sampai saat ini. Salah
satu
kunci
keberhasilan
pengelolaan
sebuah
kawasan
konservasi adalah kemampuan dan kapasitas lembaga pengelola dalam mengelola kawasan. Mengingat UPT SAP Waigeo Barat dan SAP Raja Ampat belum terbentuk dan personel UPTD KKPD Raja Ampat belum ditunjuk, kedepan peningkatan kapasitas kedua lembaga pengelola ini sangat penting sebagai langkah awal dalam membangun lembaga pengelola yang kuat. Pada tingkat kampung, LPSTK, LKM, Pokmaswas dan Pokmas yang relative masih baru dibentuk disejumlah kampung, juga perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam berpartisipasi mengelola khususnya kedua SAP dan KKPD Selat Dampier dimana terdapat sejumlah DPL didalam dan sekitarnya. Banyak pihak berkepentingan baik di pemerintah, masyarakat dan swasta terhadap jejaring KKP Raja Ampat dengan persepsi dan kemampuan yang berbeda-beda. Upaya sosialisasi yang dilakukan belum memberikan persepsi yang sama dari pihak-pihak kunci diatas terutama mengenai arah kebijakan pembangunan jejaring KKP Raja Ampat bagi pembangunan Kabupaten Raja Ampat. Dari ke-7 KKP yang membentuk jejaring KKP Raja Ampat, 2 KKPN telah ditetapkan jenisnya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai SAP pada 2009. Adapun 5 KKPD yang telah dicadangkan oleh Bupati Raja Ampat pada 2007 sampai saat ini belum ditetapkan.
Selain penetapan, status ke-
7 KKP tersebut perlu dipastikan sebagai kawasan lindung dalam dokumen RTRW Propinsi Papua Barat dan RTRW Kabupaten Raja Ampat yang saat ini penyusunannya sedang berproses, dan juga sebagai kawasan konservasi dalam dokumen RZWP3K Propinsi Papua Barat dan RZWP3K Kabupaten Raja Ampat yang akan disusun nantinya.
26
Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan KKP Raja Ampat Bentuk pemanfaatan KKP Raja Ampat yang berkembang pesat saat ini adalah pariwisata bahari yang ditandai dengan peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung, jumlah kedatangan liveaboard dan jumlah pendapatan dari sistem tarif masuk.
Peningkatan pariwisata ini perlu
diikuti dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan pariwisata sehingga mereka mendapatkan manfaat. Selain itu pemanfaatan KKP Raja Ampat untuk kegiatan perikanan belum banyak dikembangkan baik untuk perekonomian masyarakat maupun pendapatan daerah. Pendanaan upaya pengembangan perangkat dan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang sudah dan sedang dibangun di jejaring KKP Raja Ampat sampai saat ini sebagian besar berasal dari dana–dana bantuan yang disalurkan melalui program Coremap II dan lembaga lingkungan CI dan TNC. Mengingat adanya keterbatasan waktu dana-dana bantuan seperti diatas serta besarnya kebutuhan dana untuk pelaksanaan pengelolaan jejaring KKP Raja Ampat, pendanaan ini perlu diantisipasi sejak awal. Dengan mengadopsi pengelolaan Kawasan konservasi sebagaimana Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken (DPTNB yang telah memiliki kekuatan hukum melalui Sk Gubernur Sulawesi Utara maka KKP Raja ampat telah berinisitif dengan membentuk badan pengelola dengan fokus utama adalah mengelola tarif masuk (entrance fee) yang dikenakan kepada wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat. 3.2.2 Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh Sekilas Tentang TWP Pulau Pieh Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya terletak di Provinsi Sumatera Barat, tepatnya di sebelah Barat wilayah administratif Kota Padang, Kota Pariaman dan Padang Pariaman. TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya merupakan habitat penting bagi ekosistem terumbu karang. Salah satu hal yang kemudian mendasari ditetapkannya
27
kawasan ini sebagai kawasan konservasi adalah karena keberadaan ekosistem terumbu karang di dalam perairan kawasan ini. Terumbu karang yang terdapat di dalam kawasan termasuk jenis terumbu karang tepi (fringing reef) dan juga ada gosong karang (patch reef) dengan kontur yang landai sampai curam (drop off). Terumbu karang tepi dalam kawasan ini tumbuh mengelilingi pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam kawasan. Pulau-pulau kecil ini berjumlah 5 (lima) buah dan kesemuanya tidak berpenghuni. Pulau-pulau tersebut yaitu Pulau Bando, Pulau Pieh, Pulau Air, Pulau Pandan, dan Pulau Toran. Berdasarkan posisi geografis kelima pulau tersebut, maka kawasan TWP Pulau Pieh ini secara administratif berada dalam wilayah 3 (tiga) kabupaten/kota di Sumatera Barat, yaitu Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang. Kawasan TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya memiliki potensi wisata bahari yang cukup baik. Keberadaan pulau-pulau kecil dengan hamparan pasir putih yang halus dan lembut dapat memanjakan wisatawan, keasrian vegetasi alam dengan suasananya yang tenang, perairan yang jernih dan pesona bawah air yang cukup menarik dapat dinikmati para pecinta snorkeling maupun diving. Potensi wisata tahunan seperti Tabuik di Pariaman dapat menjadi paket hiburan tersendiri yang dapat dinikmati pengunjung ketika berwisata ke Kawasan TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya. Kronologi Pembentukan TWP Pulau Pieh Sebelum diselaraskan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, Taman wisata Pulau Pieh dan Laut sekitarnya merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dengan fungsi sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Pieh, yang pengelolaannya berada di bawah Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Barat Kementerian Kehutanan. Kawasan ini juga merupakan salah satu dari delapan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) yang diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui
28
berita
acara
serah
terima
No:
BA.01/Menhut-IV/2009
dan
No:
BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Tindak lanjut serah terima ini adalah ditetapkannya kawasan ini sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) dengan fungsi sebagai Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 70/MEN/2009 tanggal 3 September 2009. Kawasan ini terdiri dari beberapa gugusan pulau-pulau kecil yakni Pulau Bando, Pulau Pieh, Pulau Toran, Pulau Pandan, dan Pulau Air; termasuk beberapa buah gosong dengan luas kawasan keseluruhan mencapai 39.900 Ha. Kemitraan Dalam Pengelolaan TWP Pulau Pieh Sebagai sebuah kawasan konservasi dengan pengelolaan yang relatif masih baru, TWP Pulau Pieh dan Laut sekitar
sangat membutuhkan
kerjasama dengan stakeholder lainya. Penyerahan kewenangan TWP Pulau Pieh
kepada
Kementerian
Kelautan
Peikanan
berdampak
terhadap
perubahan konstilasi kerjasama yang telah di bangun oleh instansi sebelumnya tidak sepenuhnya tertransfer kepada instansi baru. Loka KKPN Pekanbaru sebagai lembaga yang diamanahkan mengelola TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya belum bisa melakukan pengelolaan secara efektif dan efisien akibat masih lemahnya kelembagaan pengelolaannya yang antara lain disebabkan oleh keterbatasan SDM yang ada, infrastruktur serta sarana dan prasarana yang masih kurang, belum terjalinnya mekanisme komunikasi dan koordinasi yang kuat dengan stakeholders terkait baik di pusat maupun di daerah, serta belum adanya aturan-aturan mengenai pengelolaan kawasan. Namun
demikian di lapangan terlihat bahwa dengan adanya perubahan pengelola berdampak terhadap semangat baru dan jejaring baru kearah yag lebih baik. Beberapa lembaga telah berusaha di rangkul dalam mewujudkan pengelolaan berbasis kemitraan diantaranya adalah Dinas-dinas kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Bappeda baik di Level Propinsi Maupun Kabupaten yang berkaitan langsung dengan TWP Pulau Pieh dan Laut sekitar. Lembaga –lembaga lain juga ikut dilibatkan baik pada saat
29
perncanaan maupun pada saat pelaksanaan pengelolaan diantaranya adalah Universitas Bung Hatta, Universitas Andalas, LSM Minang Bahari, Asosiasi wisata dan berbagai lembaga Sosial kemasyarakaan maupun lembaga adat yang ada. Operasionalisasi keterlibatan resmi para pihak ini dalam pengelolaan TWP Pulau Pieh pada saat ini berada pada tahap menunggu pengesahan Rencana Pengelolaan yang telah disusun secara bersama. Dalam rencana pengelolaan telah dicantumkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis kemitraan dengan dicantumkannya kontribusi , peran dan siapa berbuat apa dalam pengelolaan kedepannya. Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan TWP Pulau Pieh Temuan lapangan mengindikasikan adanya keterbatasan yang di miliki Loka KKPN Pekanbaru dalam mengelola TWP Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya. Keterbatasan tersebut diantaranya adalah terkait dengan sumberdaya dan kesenjangan
level /eselon dengan instansi yang akan diajak berkoordinasi..
Keterbatasan sumberdaya berdampak terhadap pelaksanaan agenda pengelolaan tidak dapat berjalan secara optimal. Kesenjangan level atau eselon berdampak terhadap koordinasi lintas sektoral yang diadakan seringkali tidak membuahkan hasil yang diharapkan karena kurang berdayagunanya keputusan yang dihasilkan. Seringkali undangan koordinasi dengan mengharap kehadiran pejabat yang berwenang untuk hadir, terbentur pada perbedaan eselon yang mencolok
antara pemberi undangan dan penerima undangan. Hal ini berdampak pada kurang “powerfullnya” keputusan yang dihasilkan. Penyiasatan yang dilakukan dalam rangka meminimalisasi kendala tersebut adalah koordinasi yang dilakukan seringkali merupakan koordinasi informal (fungsional) dengan diskusi bersama dan silaturahmi diantara para pihak yang terkait.
Upaya ini cukup membuahkan hasil sehingga
kesepahaman para pihak akan pengelolaan berbasis kemitraan TWP Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya berpeluang dilaksanakan dengan baik.
30
3.2.3. Kawasan Strategis Nasional (KSN) Segara Anakan Sekilas tentang KSN Segara Anakan Kawasan Segara Anakan
merupakan Kawasan Strategis Nasional
berdasarkan PP No 26 Tahun 2008. Penetapan ini sangat logis dikarenakan Kawasan Segara Anakan memiliki nilai penting bagi keberlanjutan kehidupan di sekitarnya (Gambar 2). Beberapa nilai penting bagi Kawasan Segara Anakan diantaranya adalah : 1) Kawasan Segara Anakan merupakan ekosistem estuari yang memiliki hutan mangrove yang terluas dan terlengkap di Jawa dengan total luasan 8.495 Ha; 2) Laguna Segara Anakan berperan
sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat mencari
makan bagi berbagai jenis ikan dan udang; 3) Diperkirakan kontribusi Laguna Segara Anakan terhadap produksi perikanan tangkap sampai US $ 8,3 juta (76 Milyar Rupiah) per tahun; dan 4) Segara Anakan sebagai muara sungai besar dan kecil, seperti sungai Citanduy, Cibeurem dan Cikonde, secara geografik memiliki peranan penting menjaga keseimbangan ekologis dan iklim mikro serta hidrologis bagi wilayah setempat dan sekitarnya yang didukung oleh dua kanal dari arah timur dan barat di sisi Pulau Nusakambangan, yaitu Plawangan Timur (eastern outlet) dan Plawangan Barat (western outlet). Pada tahun 1978 luas permukaan Segara Anakan 4.038 Ha, pada tahun 1998 berkurang menjadi 1.300 Ha dan tahun 2002 berkurang 600 Ha. Berdasarkan analisis matematika model yang dilakukan oleh Konsultan Komponen A, Binnie Blakck & Veatch dapat digambarkan keadaan antara tahun 1986, 1992 dan tahun 1999 (Studi Penilaian Ekonomi di Sub Das Citanduy Hulu Jawa Barat dan Sub DAS Segara Anakan Jawa Tengah, Pusat Studi Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan UNDP, 2005). Jumlah air di Segara Anakan tahun 1986 ada 29,1 jut m 3 pada tahun 1999 menurun menjadi 19 juta m3, sedangkan di bagian alur barat pada tahun 1986 sebesar 18,1 juta m3 dan tahun 1999 menurun menjadi 10 juta m3. Pada saat pasang, aliran puncak pasang tahun 1992 sebesar 2000 m3/detik yang pada tahun 1999 menurun menjadi 1300 m3/detik, sedangkan aliran puncak
31
surut pada tahun 1992 sebesar 2400 m3/detik dan pada tahun 1999 menurun menjadi 1600 m3/detik. Hal ini sangat mempengaruhi terjadinya banjir. Pada saat hujan besar maupun pada saat pasang tinggi yang menyebabkan Jawa Barat dan Jawa Tengah banjir, maka untuk mencapai keadaan surut sangat lambat karena menurunnya aliran air surut.
Gambar 2. Kawasan Strategis Nasional Segara Anakan
Kondisi sedimentasi di kawasan DAS Citanduy-Laguna Segara Anakan jumlah angkutan terbesar bersumber dari Sungai Citanduy 5,00 juta m 3/th, langsung kelaut 4,26 juta m3/th, mengendap ke Segara Anakan 0,74 juta m3/th. Sedimentasi dari sungai Cimeneng dan Cikonde jumlah angkutan mencapai 0,77 juta m3/th langsung kelaut mencapai 0,51 juta m 3/th dan mengendap di Segara Anakan 0,26 juta m3/th. Dengan kondisi seperti tersebut diatas maka Kawasan Segara Anakan sangat layak untuk di selamatkan.
32
Kronologi Pembentukan KSN Segara Anakan Perhatian terhadap segara anakan telah di mulai sejak tahu 1934, yaitu sejak di mulainya kajian-kajian yang dilakukan hingga tahun 1994 sebanyak 12 kajian.
Tonggak peningkatan perhatian terhadap Kawasan
Segara Anakan dimulai pada tahun 1995 melalui lokakarya
yang
dilaksanakan oleh 4 Kementerian / Departemen (Kementerian Lingkungan Hidup,Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Dalam Negeri,dan
Departemen Kehakiman) dengan peserta dari ADB,Perguruan Tinggi,Pemda yang menghasilkan kesepakatan bahwa Laguna Segara Anakan harus diselamatkan. Sasaran yang akan dicapai adalah mempertahankan luas badan air laguna seluas 1.800 Ha, hutan mangrove 5.200 Ha, tanah darat 5.000 Ha (total area 12.000 Ha). Berdasarkan Lokakarya tersebut maka Pada tahun 2006 telah dilakukan Penandatanganan Perjanjian Loan ADB (6 Nov’1996) dengan masa berlaku : Januari 1997 s.d. September 2002 dengan nama
Program SACDP (Segara Anakan Conservation and Development
Project) terdiri dari komponen A, B, dan C . Program SACDP merupakan program dengan melibatkan banyak pihak dengan Komponen A adalah Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pengendalian Sedimen yang dilaksanakan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Komponen B adalah Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri dan Komponen C Pengelolaan dan Koordinasi Proyek oleh Departemen Dalam Negeri.
Upaya penyelamatan Segara
anakan pasca Proyek SACDP terfokus pada silang pendapat tentang penyodetan Citanduy dan upaya mempertahankan perhatian berbagai pihak dalam menyelamatkan Segara Anakan
(Dinas Perikanan Dan Pengelola
Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Kabupaten Cilacap, 2011) Kemitraan Dalam Pengelolaan KSN Segara Anakan DAS Citanduy merupakan DAS utama bagi kawasan Segara Anakan. DAS Citanduy merupakan salah satu DAS di Indonesia yang berada dalam lintas provinsi, Jawa Barat – Jawa Tengah. DAS Citanduy – Laguna Segara Anakan kurang lebih memiliki luas 447.946,83 Ha. Sebagian besar terletak
33
di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya dibagian hulunya dan Kabupaten Cilacap dibagian hilirnya. Terdapat 8 wilayah kabupaten dan 2 wilayah kota yang masuk dalam teritorial tumpang tindih dengan DAS Citanduy. Yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Garut, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas. Wilayah kota meliputi Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar. Sebagai daerah lintas batas administratif dan lintas sektoral maka pengelolaan DAS Citanduy dan Segara Anakan membutuhkan kerjasama dan koordinasi lintas batas administratif dan lintas sektoral. Oleh karenanya pengelolaan kolaboratif atau pengelolaan kemitraan menjadi salah satu alternatif dalam pengelolaan Kawasan Segara Anakan. Merujuk dari kronologi pengelolaan Kawasan Segara Anakan
yang
telah berlangsung, dapat diketahui bahwa upaya ke arah pengelolaan kolaboratif telah berusaha dilakukan oleh lembaga pengelola dengan melibatkan berbagai stake holders yang ada.
Dinamika pengelolaan
berbasis kemitraan di Kawasan Segara Anakan dapat dilihat berdasarkan intensitas perhatian instansi terkait melalui program atau proyek yang dilaksanaan terkait dengan kawasan tersebut. Titik tekan
pengelolaan
kemitraan pada Kawasan Segara Anakan lebih didominasi oleh kepentingan dan pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Upaya kearah pelibatan sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat sudah mulai dirintis dengan memanfaatkan kepedulian mereka melalui program CSR (Corporate Social Responsibility) maupun lembagalembaga swadaya di tingkat masyarakat yang saat ini mulai digalakkan. Kemunculan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok sosial yang peduli dengan permasalah DAS Citandui dan Segara Anakan secara perlahan tetap dapat mempertahankan isu akan pentingnya penyelamatan Segara Anakan. Berbagai upaya yang sudah mereka lakukan, seperti penyuluhan-penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat lokal. Sebagai upaya penyadaran kembali mengenai pentingnya konservasi alam (termasuk tanah, air dan vegetasi),
34
cara-cara tersebut dipandang cukup memberi makna tersendiri bagi masyarakat lokal. Beberapa perusahaan besar yang saat ini turut terlibat dalam penyelamatan segara anakan terutama adalah perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Cilacap diantaranya adalah Pertamina, Semen Holcim dan perusahaan-perusahaan lainnya.Namun demikian keterlibatan program maupun pendanaan dari sektor swasta maupun LSM dalam pengelolaan Segara Anakan masih relatif kecil walaupun sudah terlihat peningkatannya
jika
dibandingkan
dengan
perhatian
oleh
sektor
pemerintah. Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan KSN Segara Anakan Perluasan epicentrum perhatian dengan melibatkan
penyelamatan Segara Anakan
sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat
merupakan langkah tepat yang sedang dilakukan oleh pengelola Segara Anakan.
Pelibatan pihak swasta melalui Program CSR-nya menjadikan
program kemitraan pengelolaan kawasan Segara Anakan akan menuju ke arah yang lebih baik dengan sedikit demi sedikit mengambil peran pemerintah dalam penyelamatan Segara Anakan.
Pelibatan lembaga
swadaya masyarakat dalam penyelamatan kawasan Segara Anakan perlu terus digalakkan,
disamping isue tentang segara anakan kurang “seksi”
juga karena kurangnya dalam mempertahankan issu pentingnya Segara Anakan bagi kehidupan. Fluktuasi perubahan sistem kelembagaan pengelola Segara Anakan dapat dijadikan sebagai referensi bagi tingkat kepedulian penyelamatan Segara Anakan. Kepedulian penyelamatan segara anakan yang menyebar dari semula hanya menjadi urusan pemerintah baik pusat maupun daerah pada pihak swasta maupun lembaga swadaya masyarakat memberikan peluang keberlanjutan pengelolaan kawasan segara anakan ke arah lebih baik, dengan catatan terdapatnya keinginan, itikad dan langkah-langkah nyata ke arah tersebut.
35
3.2.4. Kawasan Taman Nasional Laut (KTNL) Wakatobi Sekilas Tentang KTNL Wakatobi Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten ini unik, karena seluruh wilayahnya merupakan bagian dari Taman Nasional Wakatobi. Sebagai daerah
kawasan konservasi, Kabupaten Wakatobi memiliki
sumberdaya hayati yang teramat kaya.
Setidaknya terdapat delapan
sumberdaya hayati penting yang menjadikan kepulauan Wakatobi di jadikan sebagai taman nasional di antaranya yaitu: terumbu karang, padang lamun, mangrove, cetacean, habitat burung pantai, pantai peneluran penyu, daerah pemijahan ikan dan spesies laut dan pesisir yang memberikan manfaat ekonomi (Gambar 3). Kekayaan hayati kepulauan Wakatobi
utamanya terdapat pada
ekosistem perairan. Terkait dengan kekayaan ini, diperkirakan salah satu yang tertinggi di dunia dan merupakan bagian dari ”segitiga karang dunia” (Coral Triangel) yang terdiri dari Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, Jepang, Australia. Di perkirakan terdapat 750 jenis karang dari 850 karang di dunia, 942 spesies ikan, 90.000 Ha terumbu karang dan karang atol terpanjang di dunia sepanjang 48 km terdapat di Wakatobi (operation Wallacea, 2006). Disamping itu, ekosistem kawasan konservasi perairan Kabupaten Wakatobi diperkirakan seluas ± 63.720 Ha , tersebar luas mulai di empat pulau utama (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko) sampai pada 35 buah pulau kecil, 3 buah gosong, dan 5 buah atol yang ada (CRITC Coremap II, 2009).
Oleh karena itu wajarlah apabila Kabupaten
Wakatobi mendeklarasikan visi pembangunanya yang menjadikan laut sebagai tumpuan utamanya dengan sebuah kalimat: “terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segi tiga karang dunia”. Seluruh wilayah perairan Kabupaten Wakatobi adalah kawasan konservasi, yaitu berada dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW). Disamping itu dalam rangka mendukung upaya konservasi Wilayah Perairan berbagai lembaga telah melakukan kegiatan di dalamnya termasuk Unit
36
Pengelola Program (Project Manajement Unit/PMU) Coremap Phase II Kabupaten Wakatobi.
Salah satu program penyadaran masyarakat yang
dikembangkan
adalah
menyadarkan
masyarakat
untuk
secara
berkontribusi
dalam
upaya-upaya
pelestarian
lingkungan.
aktif
Daerah
Perlindungan Laut (DPL) merupakan salah satu hasil nyata peran serta masyarakat dalam program-program ini. Setidaknya telah terbentuk 50 DPL sampai dengan tahun 2010 di 63 desa binaan Coremap II.
Gambar 3. Kawasan Taman Nasional Laut (KTNL) Wakatobi
Lima puluh DPL di Wakatobi merupakan kawasan larang ambil yang pembentukannya
diinisiasi
oleh
masyarakat
Desa
setempat
dengan
dukungan Coremap II. Ke-50 DPL tersebut telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan DPL berbasis masyarakat. Beberapa DPL merupakan daerah pengelolaan bersama oleh dua sampai dengan 3 desa. Sampai dengan tahun 2010 secara keseluruhan kontribusi luasan DPL adalah 592 ha yang keseluruhannya merupakan daerah terumbu karang.
Jika dikonversi terhadap luasan terumbu karang di Kabupaten
Wakatobi maka DPL menyumbangkan sekitar 15,4 % dari total luas terumbu karang di Kabupaten Wakatobi. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) 37
sebagai kawasan konservasi laut di desa memegang peran yang sangat strategis dalam
memelihara kawasan laut dangkal dengan ekosistem
terumbu karang yang ada di dalamnya. Secara umum tujuan dari peran aktif masyarakat dalam pembentukan DPL berdasarkan beberapa peraturan desa yang ada adalah menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap habitat biota perairan desa; menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa; dan meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Keikutsertaan masyarakat dalam Upaya konservasi merupakan salah Satu langkah dalam upaya pengelolaan berbasis kemitraan. Kronologi Pembentukan KTNL Wakatobi Taman Nasional Wakatobi dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional Wakatobi di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Di awal pembentukannya, Unit Pelaksana Teknis Balai TNW adalah Unit Taman Nasional Kepulauan Wakatobi setingkat eselon IV.a berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997. Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.6186/KptsII/2002, Unit TNKW sebagai institusi pemerintah setingkat Eselon IVa ditingkatkan statusnya menjadi Balai TNKW setingkat Eselon IIIa, dipimpin oleh Kepala Balai yang keberadaannya di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal PHKA dengan tugas ”melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku”. Kemudian P.29/Menhut-II/2006
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. ditetapkan
perubahan
nama
Taman
Nasional
Kepulauan Wakatobi menjadi Taman Nasional Wakatobi. Dalam perkembangannya, pada tahun 2003 melalui Undang-undang No. 29 tahun 2003, Kabupaten Wakatobi dibentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Letak dan luas kabupaten baru ini sama persis dengan
38
letak dan luas TN Wakatobi. Oleh karena itu, kemudian dilakukan proses revisi terhadap zonasi yang telah ada agar dapat mengakomodasikan kepentingan pengembangan wilayah Kabupaten Wakatobi sebagai daerah otonom baru tanpa mengurangi tujuan awal penetapan taman nasional. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.723/Menhut-IV/2005 tanggal 30 November 2005 perihal Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi, disebutkan bahwa letak dan luas TNW tidak mengalami perubahan atau TETAP seperti tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002, namun untuk mengakomodir pembangunan Kabupaten Wakatobi maka pulau-pulau utama yang sudah berpenduduk dijadikan sebagai “zona penyangga” TNW Melalui Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK. 149/IV-KK/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi, terjadi perubahan pada zonasi TN Wakatobi menjadi terdiri dari Zona inti, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum dan zona khusus atau daratan. Kemitraan Dalam Pengelolaan KTNL Wakatobi Salah satu pembelajaran dalam pengelolaan berbasis kemitraan pada Taman Nasional Wakatobi adalah pembentukan Kawasan Konservasi Perairan di dalam Kawasan. Kawasan Konservasi Perairan dibentuk dengan tujuan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya alam yang ada di dalamnya serta dikelola untuk mendukung kesejahteraan masyarakat sekitar, pembangunan daerah dan nasional.
Permasalahan pengelolaan di
kawasan konservasi perairan di Wakatobi tidak bisa lepas dari status kawasan yang secara keseluruhan merupakan taman nasional dan juga merupakan Wilayah Kabupaten Wakatobi.
Disisi lain upaya pengelolaan
kawasan konservasi perairan ini juga melibatkan berbagai pihak yang turut aktif dalam mempercepat tercapainya tujuan dari di bentuknya kawasan konservasi. Saat ini telah terjadi upaya pengelolaan secara kolaboratif dan sinergis antara berbagai pihak di antaranya adalah Balai Taman Nasional
39
Wakatobi, Pemda Wakatobi, PMU Coremap II Wakatobi, WWF, TNC dan beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya. meningkatkan kesadaran masyarakat
Kolaborasi ini turut
dan mempercepat laju tercapainya
tujuan dari konservasi itu sendiri. Dengan
status
DPL
yang
relatif
baru,
sejumlah
perangkat
pengelolaan melalui kerjasama berbagai pihak baik Pemda Wakatobi, TNW, Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DKP, Program Coremap II, WWF, TNC dan masyarakat sedang dibangun guna mewujudkan pengelolaan kawasan Perairan yang efektif sehingga mencapai tujuan pembentukannya. Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan KTNL Pengelolaan berbasis kemitraan di Taman Nasional Wakatobi telah berlangsung cukup harmonis diantara Balai Taman Nasional Wakatobi sebagai lembaga pengelola Kawasan Konservasi, Pemda Wakatobi sebagai pemilik daerah administratif dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat sebagai kolaborator
dan akselerator pengelolaan kawasan konservasi.
Program-program yang dilakukan nampak telah padu dan sesuai dengan arah kedepan kebijakan pengelolaan berbasis kemitraan. Namun demikian arah pengelolaan berbasis Kemitraan di Wakatobi akan menjadi rentan apabila tidak terdapatnya kesinambungan kepemimpinan yang peduli terhadap wakatobi sebagai kawasan Konservasi. 3.2.5. Kawasan Konservasi Mangrove (KKM) Margomulyo, Balikpapan Sekilas Tentang KKM Margomulyo Kelurahan Margomulyo merupakan salah satu kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Balikpapan Barat, Kota Balikpapan. Kelurahan Margomulyo berpesisir di Teluk Balikpapan yang didominasi oleh sumberdaya alam mangrove. Jarak dari Kelurahan Margomulyo ke ibukota kecamatan sekitar 1 km, dan jarak ke ibukota Balikpapan sekitar 8 km. Luas wilayah Kelurahan Margomulyo sebesar 184,53 Ha yang sebagian besar digunakan untuk pemukiman (155,57 Ha).
40
Kawasan hutan mangrove di Kelurahan Margomulyo memiliki luas total sebesar 40 Ha, dimana 23,95 Ha dalam kondisi baik dan 16,05 Ha dalam kondisi rusak. Sementara itu, dari seluruh luas kawasan mangrove di Kelurahan Margomulyo yang akan dijadikan sebagai kawasan konservasi seluas 20 Ha. Terdapat lebih dari 10 jenis mangrove di kawasan konservasi hutan mangrove Margomulyo, diantaranya yang terlihat dominan yakni Avicennia alba, A. marina, Sonneratia alba, S. caseolaris, Rhizophora apiculata, dan R. mucronata.
Selain vegetasi mangrove, di dalam kawasan ini juga
terdapat beragam fauna, baik fauna arboreal seperti burung, monyet dan bekantan, maupun fauna akuatik seperti berbagai jenis ikan (belanak, blodok dan lain-lain), udang, dan kepiting. Bekantan merupakan fauna spesifik Pulau Kalimantan dan
biasanya ditemukan di KKM Margomulyo
pada sore hari. Kronologi Pembentukan KKM Margomulyo Kawasan Konservasi Mangrove (KKM) Margomulyo yang terletak di kawasan Jalan AMD Tepian, Kelurahan Margomulyo, dibentuk berdasarkan SK Walikota No. 188.45-155/2004 Tanggal 22 November 2004. KKM Margomulyo memiliki potensi sumberdaya mangrove yang cukup besar. Luas hutan mangrove di kawasan ini awalnya sebesar 3,2 Ha yang diperuntukkan sebagai zona inti, dan diperluas hingga mencapai sekitar 20 Ha yang akan digunakan sebagai zona penyangga dan pemanfaatan (Gambar 4). Maksud dan tujuan penetapan KKM Margomulyo adalah sebagai berikut: 1. Memulihkan ekosistem mangrove yang semakin rusak. 2. Menyeimbangkan lingkungan hidup kawasan tersebut. 3. Merencanakan model pengelolaan mangrove dengan pendekatan peningkatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan ekowisata mangrove.
41
4. Pendidikan khusus mangrove melalui generasi muda (siswa) agar terbentuk wawasan yang sama. Dari rencana seluas 20 Ha KKM Margomulyo, pengelolaannya akan dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu (Gambar 4): (1) Zona Inti (3,2 Ha), (2) Zona Penyangga (4,5 Ha) dan (3) Zona Pemanfaatan (12,3 Ha). (1). Zona Inti Zona Inti diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan perlindungan proses ekologis.
Zona ini merupakan daerah tertutup bagi
segala bentuk eksploitasi, kegiatan pariwisata dan kegiatan lain, kecuali penelitian.
Zona ini penekanan pengelolaannya dikonsentrasikan pada
upaya perlindungan kondisi alamnya yang masih asli dan belum terjamah oleh tangan manusia.
Kegiatan yang boleh dilakukan terbatas dan
mengarah pada kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yang tetap harus mengutamakan ramah lingkungan dan menjamin kelestarian alam.
42
Gambar 4. Kawasan dan Zonasi Kawasan Konservasi Mangrove (KKM) Margomulyo
(2). Zona Penyangga Zona Penyangga merupakan kesatuan dengan Zona Inti. Di dalam zona ini tidak diperkenankan segala bentuk eksploitasi dan kegiatan yang dapat mengganggu
keseimbangan
penelitian, dan pendidikan.
ekosistem,
kecuali
kegiatan
observasi,
Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini
adalah pemanfaatan secara tidak langsung, yaitu terhadap keberadaan daya tarik obyek wisata alam yang dapat dikunjungi secara terbatas. Kegiatan lain yang dapat dilakukan pada zona ini diarahkan pada kepentingan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu unsur penunjang budidaya ramah lingkungan melalui penelitian.
Kegiatan wisata pada zona penyangga
bersifat 'pasif' yaitu hanya bersifat kunjungan dan peninjauan; tidak melakukan
kegiatan
lain
yang beresiko
lingkungan.
43
mengganggu
dan
merusak
Zona penyangga merupakan ekosistem alam yang dilindungi, sehingga diperlukan pemahaman prinsip-prinsip ekologi sebagai dasar pengelolaan guna mempertahankan kelestarian dari sistem kehidupan di dalamnya. Dalam rangka mempertahankan kelestarian sistem itu, perlu dipahami adanya perubahan yang disebabkan oleh dinamika hutan mangrove sebagai akibat adanya pertumbuhan dan kematian individu-individu secara alami dan tekanan manusia yang merubah tatanan ekosistem, seperti penebangan kayu dan perubahan fungsi hutan mangrove untuk tambak, sawah dan ladang. Oleh karena itu pengelolaannya meliputi upaya: 1. Melindungi dan melestarikan spesies dan ekosistem vegetasi mangrove dari berbagai kerusakan baik oleh alam maupun oleh manusia. 2. Merehabilitasi ekosistem yang rusak dengan revegetasi mangrove. (3). Zona Pemanfaatan Terbatas Zona
ini
ditujukan
untuk
mengakomodasikan
kepentingan
dalam
pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dalam upaya mendukung pengembangan
sosial-ekonomi
dan
budaya.
Pengembangan
dan
pembangunan sarana – prasarana rekreasi dan pariwisata alam dapat dilakukan pada zona ini.
Fasilitas-fasilitas wisata seperti model
pembelajaran tambak wanamina, perahu, pusat informasi, pos jaga, ditata dan diletakkan pembangunannya berdasarkan tata letak yang disesuaikan dengan landsekap lapangan, sehingga secara keseluruhan menjadi satu kesatuan ekologi yang bermanfaat dan menarik minat para wisatawan. Sistem
interpretasi
dikembangkan
secara
tepat,
sehingga
mampu
menyampaikan pesan-pesan kepada pengunjung untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan konservasi secara tepat. Kemitraan Dalam Pengelolaan KKM Margomulyo Kepedulian masyarakat sekitar dan pemangku kepentingan lainnya terhadap keberadaan KKM Margomulyo sangat besar.
Berbagai instansi
pemerintah maupun swasta dan artis ikut berpartisipasi dalam kegiatan konservasi, utamanya dalam hal penanaman mangrove. Di sini juga
44
terdapat lembaga pendidikan yang dipercaya untuk mengelola kawasan konservasi mangrove ini, yakni SMA Negeri 8 Balikpapan (Gambar 5).
Gambar 5. Berbagai Kegiatan Kemitraan dalam Pengelolaan KKM Margomulyo
Hal yang menarik dalam pengelolaan KKM Margomulyo adalah keterlibatan lembaga pendidikan, SMA Negeri 8 Balikpapan.
Sekolah ini
juga dikenal sebagai SMA Negeri 8 Mangrove karena lembaga pendidikan ini diberikan kepercayaan untuk mengelola KKM ini. Kegiatan yang dilakukan sekolah
ini
untuk
mendukung
upaya
konservasi
mangrove
adalah
dimasukkannya muatan lokal mata pelajaran mangrove dalam kurikulum sekolah,
pencarian
bibit,
pemeliharaan mangrove.
pembuatan
persemaian,
penanaman
dan
Sekolah ini juga telah membentuk relawan
mangrove yang anggotanya berasal dari SMA Negeri 8 sendiri. Ibu-ibu di Kelurahan Margomulyo juga turut berperan dalam pemanfaatan buah mangrove. Kegiatan mereka tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kreasi Mangrove Lestari.
Kegiatan yang dilakukan
oleh KUB ini yaitu pengolahan buah mangrove (Avicennia alba) menjadi berbagai macam makanan, antara lain: bolu, dodol dan keripik (Gambar 6).
45
Gambar 6. Berbagai Kegiatan Pengolahan Makanan Berbahan Dasar Mangrove
Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan KKM Margomulyo Persepsi seseorang dapat positif maupun negatif.
Persepsi yang
positif akan menghasilkan bentuk-bentuk peran serta aktif.
Dalam
pengelolaan sumberdaya alam untuk tujuan konservasi perlu diketahui aspirasi masyarakat dan pengetahuan mereka mengenai program tersebut. Hal ini terkait dengan sikap dan perilaku masyarakat setempat mengenai keikutsertaan mereka untuk menjaga secara bersama-sama kelestarian KKM Margomulyo.
Pengetahuan
mengenai
46
persepsi
masyarakat
akan
memberikan gambaran tentang cara melihat, kepuasan dan harapanharapan yang diinginkan. Kawasan konservasi mangrove adalah suatu daerah di pesisir yang ditetapkan untuk melestarikan sumberdaya mangrove. Di daerah tersebut diatur zona-zona kegiatan yang dapat dan tidak dapat digunakan untuk menjamin perlindungan sumberdaya mangrove yang lebih baik. Masyarakat masih diperbolehkan menangkap ikan di kawasan konservasi yang telah disesuaikan dengan daerah peruntukannya. Secara umum masyarakat di Margomulyo mendukung dijadikannya kawasan
mangrove menjadi kawasan konservasi mangrove.
Mereka
menyadari maksud dan tujuan dilakukannya program ini, dan mereka berharap bahwa dengan adanya kawasan konservasi mangrove ini akan melestarikan sumberdaya mangrove dan biota yang terkandung di dalamnya, serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan untuk kelangsungan kehidupan anak – cucu mereka. Para pemangku kepentingan, khususnya Pemerintah Kelurahan, SKPD terkait, LSM, dan SMU Negeri 8 perlu diperkuat kemampuannya dari segi kualitas maupun kuantitas sumberdaya manusianya, menjadi kelompok mitra yang terpadu dalam pengelolaan KKM Margomulyo. Kelompok mitra ini harus mampu bekerjasama dengan masyarakat, untuk melakukan pengelolaan, pengamanan dan merehabilitasi kawasan-kawasan hutan yang rusak dalam skala perencanaan yang tepat. 3.3. Permasalahan/Isu Dalam Kemitraan Pengelolaan KKWP3K Berdasarkan Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) merupakan alat analisis yang digunakan
untuk
mencari
akar
permasalahan/isu
kemitraan
dalam
pengelolaan KKWP3K, kemudian merekomendasikan arah kebijakannya bagi keberlanjutan kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K. Berdasarkan hasil analisis terhadap informasi yang didapatkan dari tilik pembelajaran, workshop dan FGD tentang pengelolaan KKWP3K dengan
47
para pemangku kepentingan, diperoleh 6 (lima) permasalahan/isu yang terkait dengan kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K, yakni: 1. Belum jelasnya persepsi kemitraan Para pemangku kepentingan belum memahami bentuk, pola dan mekanisme kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K. Masing-masing mempunyai inisiatif program pengelolaan sendiri, dan belum jelas program bersama yang berbasis kemitraan. 2. Perencanaan program yang belum sinergis Perencanaan program pengelolaan KKWP3K sebagai inisiatif pemangku kepentingan, umumnya belum sinergis dengan perencanaan program yang disusun oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, sehingga dampak implentasinya belum efektif menjawab tujuan pengelolaan KKWP3K. 3. Program koordinasi yang belum padu Salah satu permasalahan utama belum efektif dan optimalnya pengelolaan KKWP3K dikarenakan belum padunya koordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antar lembaga pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan KKWP3K, juga dengan para pemangku kepentingan lainnya. Dampaknya terlihat dari adanya tumpang tindih program, sehingga efisiensi pengelolaan masih tergolong rendah. 4. Belum adanya lembaga kemitraan Pemerintah dan /atau Pemerintah Daerah masih dominan berperan dalam pengelolaan KKWP3K, dan belum terlihat peran nyata dari para pemangku kepentingan lainnya. Hal ini muncul terutama karena belum adanya kelembagaan kemitraan yang salah satunya berperan untuk memadukan berbagai program dari pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKWP3K.
48
5. Belum sinergisnya upaya pengembangan kapasitas Masih terlihat adanya kesenjangan dalam pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) dan kelembagaan dalam pengelolaan KKWP3K. Beragamnya kapasitas pemangku kepentingan menjadikan implementasi programprogram pengelolaan KKWP3K kurang berhasil guna, dan seringkali tidak berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kemitraan dalam pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan belum terajut secara holistik. 6. Keberlanjutan pendanaan yang belum optimal Pendanaan program-program pengelolaan KKWP3K hingga saat ini masih lebih banyak didukung oleh anggaran Pemerintah dan berbasis proyek. Dukungan pendanaan dari pemangku kepentingan lainnya masih belum signifikan, dan masih bersifat parsial sesuai dengan perencanaan dari setiap pemangku kepentingan. Belum terlihat adanya keterpaduan pendanaan berbasis kemitraan dalam perencanaan pengelolaan KKWP3K, sehingga implementasi program terlihat belum efektif mencapai sasarannya.
49
IV. REKOMENDASI KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKWP3K) dapat berkelanjutan apabila didukung oleh kelembagaan berbasis kemitraan yang berperan aktif dalam setiap tahapan proses pengelolaan KKWP3K, sejak perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi. Dari tilik pembelajaran dan permasalahan/isu tentang kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K sebagaimana diuraikan pada sub Bab 3.2 dan 3.3, maka kelembagaan pengelolaan KKWP3K berbasis kemitraan yang diusulkan seyogyanya berbentuk Badan Pengelola (BP) KKWP3K, dengan struktur berbentuk Dewan Pengarah (yang memberikan arahan kebijakan dan program), Sekretariat (yang melakukan tugas manajemen sehari-hari dan koordinasi umum), Kelompok Kemitraan
Terpadu (KKT) (yang
melaksanakan program berbasis isu), dan Komite Pakar (yang memberikan arahan/petunjuk teknis dan ilmiah). Adapun keanggotaan dan uraian ringkas mengenai tugas pokok dan fungsi setiap bagian dalam struktur kelembagaan pengelolaan KKWP3K berbasis kemitraan yang diusulkan disajikan dalam Gambar 7 dan Tabel 1.
50
Gambar 7.
Usulan Struktur Kelembagaan Pengelolaan KKWP3K
Tabel 1.
Tugas Pokok dan Fungsi Setiap Bagian Struktur Kelembagaan Pengelolaan KKWP3K
Struktur DEWAN PENGARAH (Menteri Kelautan dan Perikanan/Dirjen
Tugas Pokok dan Fungsi 1. Mengarahkan dan mengesahkan programprogram pengelolaan KKWP3K. 2. Mengupayakan dana bagi pelaksanaan
KP3K, Gubernur,
program-program pengelolaan KKWP3K dari
Bupati/Walikota)
berbagai sumber.
Struktur
Tugas Pokok dan Fungsi 1. Memberi dukungan manajemen dan
SEKRETARIAT (UPT/UPTD/SKPD)
mengkoordinasikan jalannya BP. 2. Menjalankan tugas keseharian BP. 3. Pengaturan kelancaran kerja BP. 4. Penyebarluasan informasi dan publikasi.
51
1. Menyusun, membahas dan mengusulkan KELOMPOK
program yang akan disampaikan kepada Dewan
KEMITRAAN
Pengarah.
TERPADU (KKT) (Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, LSM/NGO, dan Masyarakat)
KOMITE PAKAR
2. Melaksanakan program yang telah disetujui oleh Dewan Pengarah. 3. Memantau jalannya program agar selalu sesuai dengan rencana. 4. Memberikan masukan kepada Dewan Pengarah tentang program yang dijalankan.
1. Memberikan pedoman/petunjuk untuk
(Akademisi dan
memastikan bahwa rencana dan program
Peneliti)
pengelolaan KKWP3K dibuat sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan teknis yang absah. 2. Memberikan saran mengenai implementasi, penyempurnaan dan pengembangan program jangka panjang termasuk manajemen data. 3. Memberikan saran mengenai penelitian yang diperlukan untuk membuat, menyempurnakan dan mengembangkan program pengelolaan KKWP3K. 5. Memberikan masukan teknis lainnya yang diperlukan.
52
BATASAN PERISTILAHAN
1.
Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
2.
Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
3.
Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme
dan
non
organisme
lain
serta
proses
yang
menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas. 4.
Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.
5.
Rencana strategis adalah adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional
6.
Rencana pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan,
prosedur,
pengoordinasian
dan
pengambilan
tanggung keputusan
jawab di
dalam antara
rangka berbagai
lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan. 7. Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau
kecil
serta
ekosistemnya
untuk
menjamin
keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. 8. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan
53
genetik
untuk
menjamin
keberadaan,
ketersediaan,
dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. 9.
Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan,dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akandatang.
10. Konservasi jenis ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. 11.
Konservasi genetik ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya genetik ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
12. Sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan. 13. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. 14. Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. 15. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 16. Kawasan
Konservasi
dilindungi,
dikelola
pengelolaan
sumber
Perairan dengan daya
berkelanjutan.
54
adalah
sistem ikan
kawasan
zonasi, dan
perairan
untuk
yang
mewujudkan
lingkungannya
secara
17. Taman Nasional Perairan adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai
ekosistem
asli,
yang
dimanfaatkan
untuk
tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi. 18. Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya. 19. Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. 20. Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. 21. Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary adalah suatu kawasan laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu karang, lamun, dan hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan dilindungi secara hukum yang bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya. Kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam). 22. Kawasan konservasi maritim adalah daerah perlindungan adat dan budaya maritim yang mempunyai nilai arkeologi historis khusus, situs sejarah kemaritiman dan tempat ritual keagamaan atau adat dan sifatnya sejalan dengan upaya konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. 23. Daerah perlindungan adat maritim adalah daerah yang dilindungi yang masyarakatnya mempunyai adat istiadat dan atau tradisi kemaritiman yang sifatnya sejalan dengan upaya konservasi pesisir
55
dan pulau-pulau kecil serta tidak bertentangan dengan hukum nasional. 24. Daerah perlindungan budaya maritim adalah lokasi yang dilindungi dimana terdapat benda peninggalan sejarah dan/atau tempat ritual keagamaan atau adat yang berkaitan dengan budaya kemaritiman. 25.
Rehabilitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula.
26.
Komanajemen (co-management) adalah pembagian tanggungjawab dan otoritas dalam pengelolaan sumberdaya antara pemerintah dan para pemangku kepentingan (stakeholders).
27.
Kemitraan adalah hubungan kerjasama antara dua pihak atau lebih yang
diselenggarakan
berdasarkan
prinsip-prinsip
kesetaraan,
keterbukaan, partisipatif dalam bentuk keilmuan, keterampilan, materi, peralatan, fasilitas dan pendanaan yang dipadukan secara sinergis. 28.
Bencana
adalah
suatu
peristiwa
yang
terjadi
secara
tiba-
tiba/perlahan-lahan akibat alam, ulah manusia dan/atau keduanya yang menimbulkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas
umum
serta
menimbulkan
gangguan
terhadap
tata
kehidupan dan penghidupan masyarakat. 29.
Bencana Alam adalah peristiwa letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, gelombang pasang, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang/topan/badai, tsunami, hama hutan, kerusakan flora dan fauna (kerusakan ekologi), dll.
30.
Bencana Ulah Manusia adalah peristiwa bencana yang disebabkan oleh
ulah
manusia
seperti
kebakaran,
kecelakaan
masal
di
darat/laut/udara, pencemaran lingkungan oleh limbah manusia dan industri, wabah penyakit manusia/hewan/tumbuhan, pembangunan infrastuktur yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, dll. 56
31.
Mitigasi
adalah
tindakan-tindakan
untuk
mengurangi
atau
meminimalkan dampak dari suatu bencana terhadap masyarakat. 32.
Kesiapsiagaan adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk
menghadapi/mengantisipasi
(tanggap
darurat)
bencana
lingkungan yang mungkin terjadi pada skala nasional, regional dan lokal. 33.
Kearifan lokal adalah adat istiadat dan/atau tradisi sekelompok masyarakat yang tidak bertentangan dengan hukum nasional.
34.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
35.
Korporasi
adalah
kumpulan
orang
dan/atau
kekayaan
yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 36.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37.
Pemerintah perangkat
Daerah daerah
adalah
sebagai
gubernur,
unsur
bupati/walikota,
penyelenggara
dan
pemerintahan
daerah. 38.
Dinas adalah satuan perangkat kerja daerah yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan.
39.
Unit pengelola kawasan konservasi adalah satuan unit organisasi pengelola kawasan konservasi yang berbentuk UPT pusat, SKPD atau UPT daerah atau bagian unit dari satuan organisasi yang menangani konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
57
DAFTAR PUSTAKA Barbier E. 1989. Economic Natural Resource Scarcity and Development. Eaqrtscan Publications. Bengen, D. G., M. A. Sardjono dan M. Muhdar. 2011. Delta Mahakam: Kawasan Strategis Dalam Prspektif Lingkungan Hidup Serta Urgensi Pengelolaannya Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Naskah Akademik. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur-Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara-BPMigas-TOTAL INDONESIE. Bengen, D.G. 2012. Pengelolaan dan Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terpadu Sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan. Workshop CSR, BPMigas-KKKS-KalSul, Kudus 22 Juni 2012. Bengen, D. G., P. Suhartono, R. Heronasia, A. E. Maria dan R. H. Fahrianoor. 2012. Balikpapan: Kota Pantai Menatap Ke Depan. P4L dan BLH Balikpapan. Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Comanagement of Natural resources: Organising, Negotiating and Learning by-Doing. GTZ Germany Fisher, RJ. 1995. Collaborative Management of Forest for Conservation and Development. Issues in Forest Conservation. IUCN-The World Conservation Union, World Wide Fund for Nature, Valserine-France. Fisher RJ. Ludin. S. Williams, I.D. Abdi, dan R. Smith. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (Edisi Bahasa Indonsia). The British Council Indonesia.
Kassa, S. 2009. Konsep Pengembangan Co-management untuk Melestarikan Taman Nasional Lore Lindu. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Pomeroy, R. S. 2001. Devolution and Fisheries Co-management. In: Meinzen-Dick R., Knox, A., and M.Di Gregorio (eds), 111-146 (2001). Collective Action, Property Rights and Devolution of Natural Resource Management- Exchange of Knowledge and Implication for Policy, CAPRi, ICLARM, ZEL/DSE, Eurasburg. Sen S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co-management: a Comparative Analysis. Marine Policy 5:405-418. Wanma, M., Y. Lamatenggo, D. G. Bengen, R. Malik, A. Rahardjo dan D. Najmudin. 2009. Profil Ragam Wisata Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. [WWF-Indonesia] The Worldwide Fund for Nature of Indonesia. 2008. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi. Policy Paper-WWF Indonesia.
58