EFEKTIVITAS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU
AMRIL SYAHPUTRA RANGKUTI A14103656
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN AMRIL SYAHPUTRA RANGKUTI. Efektivitas dan Strategi Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Kepuluan Seribu. (Di bawah bimbingan PARULIAN HUTAGAOL). Program sea farming di Kepulauan Seribu pada awalnya merupakan kegiatan yang diharapkan dapat menjadi alternatif pencarian bagi masyarakat di Kepulauan Seribu. Dasar pemikiran yang mendasar mengapa diperlukannya alternatif pencarian bagi masyarakat di karenakan mata pencarian utama masyarakat adalah sebagai nelayan tangkap dimana sangat tergantung pada sumberdaya laut yang ada disekitar kepulauan seribu. Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam terutama hasil laut yang begitu besar menjadikan hasil laut sebagai penopang kehidupan meraka. Di sisi lain sumberdaya laut semangkin lama akan berkurang atau terjadi dekradasi. Dekaradasi yang terjadi disebabkan diantaranya adalah faktor menurunya kualitas air laut yang di sebabkan pencemaran limbah baik dari manusia maupun pabrik. Penyebab lain adalah kurang bertanggung jawabnya para nelayan dalam melakukan penagkapan ikan, penggunaan alat tangkap dan bahan kima yang berbahaya mengakibatkan kerusakan laut yang berdampak pada penurunan hasil laut. Berdasarkan kondisi di atas maka diperlukan alternatif mata pencarian bagi nelayan di Kepulauan Seribu. Alternatif pencarian ini di harapkan dapat meningkatkan perekonomian nelayan walaupun hasil dari sumberdaya laut berkurang. Alternatif mata mencarian yang sedang di lakukan dikenal dengan program sea faming. Secara sederhana program sea faming dapat di artikan sebagai kegiatan budidaya laut dengan menggunakan keramba-keramba yang di tempatkan di tengah laut. Perbedaan yang cukup mendasar pada program sea faming ini adalah menggunakan teknologi dan sistem yang cukup baik dengan dukungan dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-PKSPL-IPB. Penerapan teknologi dan sistem tersebut sudah dilakukan sejak dimulainya kegiatan sea farming ini pada tahun 2002. Perbedaan keuntungan yang terjadi disebabkan pada kegiatan sebelum sea faming nendapat penghasilan setiap harinya. Pendapatan per hari yang dihasilkan bila di akumulasikan dalam satu tahun maka nilai nominalnya akan bertambah besar. Pada kondisi lain kegiatan setelah sea faming menghasilkan pendapatan yang berkala dimana setiap 8 bulan sekali sesuai dengan waktu panen. Sehingga dalam perhitungan satu tahun hanya menghasilkan satu kali panen dan hasil tersebut dirata-ratakan. Hal lain yang mengakibatkan belum optimalnya kegiatan sea faming dalam meningkatkan pendapatan nelayan disebabkan sulit dan mahalnya harga bibit ikan yang didapat sehingga penebaran benih yang dilakukan tidak optimal untuk dapat mencapai hasil panan yang besar. Analisis lain yang gunakan dalam perhitungan ekonomi ini dengan menggunakan analisis R/C. Kondisi se sebelum sea farming memiliki R/C sebesar 1,76 sedangkan setelah sea farming sebesar 1,11. dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan sebelum sea farming lebih menguntungkan dari pada kegiatan setelah sea farming, karena sebelum sea farming memiliki R/C yang lebih besar dibandingkan setelah sea farming, walaupun perbedaan R/C yang didapat hanya sebesar 0,64. Berdasarkan penelitan yang dilakukan ini dapat disimpulkan bahwa program sea farming yang sedang dilakukan belum berdampak banyak terhadap pendapatatan
nelayan. Belum maksimalnya program ini di karenakan dapat beberapa hambatan yang terdapat dalam pelaksanaannya. Hambatan yang terjadi diantaranya masih sulit dan mahalnya bibit ikan dan pengadaan pakan yang mahal serta biaya BBM bertambah mahal. Berbagai hambatannya yang di dapat memberikan dampak pada belum optimalnya hasil panen. Sehingga pada akhirnya belum berdapak pada naiknya pendapatan nelayan dalam melakukan program sea faming ini. Bila dibandingkan dengan kegiatan sebelumnya, dimana nelayan di Kepulauan Seribu pada umumnya merupakan nelayan tangkap dan pembudidaya rumput laut, maka dapat dilihat bahwa kegiatan penangkapan sebelumya lebih menguntungkan dari sisi pendapatan bila dibandingkan dengan kegiatan sea farming. Kondisi ini di sebabkan karena hasil panen yang beluam maksimal pada program sea farming sengan segala kendala yang ada, akan tetapi bila dilihat dari penurunan hasil sumberdaya laut yang semakin berkurang, maka kegiatan penangkapan ini tidak akan prospektif lagi. Dengan demikian maka beberapa tahun ke depan bila hambatan program sea farming dapat ditanggulangi maka program sea farming akan menjadi mata pencarian utama nelayan menggantikan kegiatan penangkapan Kondisi ini dapat dipercepat bila semua pihak dapat memberikan dukungan yang penuh terhadap program kegiatan sea ferming ini. Dukungan yang paling dibutuhkan adalah dari pemerintah dalam hal ini pemda Kepulauan Seribu sebagai pemberi kebijakan berkaitan dengan modal usaha dalam perluasan area sea farming. Peran teknologi dan sistem yang telah dilakukan perlu mendapat perbaikan dan kesesuian. Dukungan yang paling penting adalah dari masyarakat Kepulauan Seribu sendiri untuk dapat menerima dan mendukung kegiatan ini dengan sepenuhnya. Bila semua pihak memberikan dukungannya kegiatan ini akan lebih cepat untuk menjadi mata. Program sea farming yang telah dilakukan selama 5 tahun terakhir masih banyak kekurangan yang di rasakan. Dengan demikian maka diperlukan pembenahan terhadap kondisi internal sea farming sendiri yaitu pembenahan kelembagaan sea farming. Pembenahan tersebut akan berdampak kepada peningkatan program sea farming yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Program sea farming belum dirasakan berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan nelayan, akan tetapi program ini memiliki prospek jangka panjang yang cukup baik sehingga perlu dipertahankan dan di tingkatkan.
EFEKTIVITAS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SEA FARMING
DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU
AMRIL SYAHPUTRA RANGKUTI A14103656
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi : Efektivitas dan Strategi Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Kepulauan Seribu Nama
: AMRIL SYAHPUTRA RANGKUTI
NRP
: A 14103656
` Bogor, Juni 2008 Menyetujui,
Dr. Ir. Parulian Hutagaol M.S NIP. 131 284 623
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN DENGAN
INI
SAYA
MENYATAKAN
BAHWA
SKRIPSI
YANG
BERJUDUL “EFEKTIVITAS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU ” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN
YANG
PERNAH
DITULIS
ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juni 2008
Amril Syahputra Rangkuti A 14103656
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 April 1982 di Medan, Propinsi Sumatera Utara. Penulis merupakan putera pertama dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda Syafruddin Rangkuti dan Ibunda Ratna Yati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1994 di SDN 04 Aek Nabara, Sumut. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SLTP Negeri I Aek Nabara, Sumut dan lulus pada tahun 1997. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMU) 2000 di SMU Plus Rantau Prapat, Sumut. Bulan Agustus 2000, penulis diterima di Program Diploma 3 Program Studi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui program USMI dan lulus pada tahun 2003. Setelah itu, penulis kembali melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis juga bekerja di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB) serta aktif dalam organisasi Kepemudaan KNPI Kota Bogor sebagai Ketua Bidang Politik periode 2007/2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Alloh SWT, Tuhan semesta alam, karena Atas Rahmat, karunia, dan izin-Nyalah penulis dapat menyelesaikan sekripsi yang berjudul “Efektivitas dan Strategi Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Kepulauan Seribu” Topik penelitian ini diambil karena penulis terlibat langsung dalam kegiatan sea farming di Kabupaten Kepulauan Seribu, kegiatan tersebut berkejasam dengan PKSPLIPB temapt penulis bekerja. Harapannya sea farming dapat dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif untuk pengembangan kegiatan Perikanan dan Kelautan. Keterlibatan penulis dalam kegiatan sea farming memberikan kemudahan dalam pengambilan informasi dan kelengkapan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini. Akhirnya, semoga karya persembahan penulis ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca dalam menambah cakrawala berfikir., semoga aktifitas kita semua di ridhoi oleh Alloh SWT.
Bogor, Juni 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan pada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Alloh juga telah mempertemukan kepada penulis orang-orang yang sangat luar biasa dalam membantu penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua tercinta yang senantiasa memberikan doa dan dukungannya, juga adik-adik Febri Ansari Rangkuti dan Putri Ayudira Rangkuti serta semua keluarga. 2. Bapak Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS. selaku dosen pembimbing, atas segala masukan dan bimbingan yang telah bapak berikan. 3. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen penguji utama dan Ibu Ir. Netti Nitaprilla MM selaku dosen penguji komisi pendidikan atas masukan dan arahannya. 4. Ibu Ir. Popong Nurhayati, MM. sebagai Dosen evaluator penulis ketika kolokium proposal skripsi. Atas masukan dan motivasi yang diberikan. 5. Bapak Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Seluruh Staf PKSPL-IPB yang telah membatu penulis dalam memberikan informasi dan arahan yang sangat berarti bagi penyelasaian skripsi ini. 6. Pengurus DPD KNPI Kota Bogor, atas doa dan dukungannya selama ini. 7. Dwi Nuzul Aida Meirani atas kasih sayang dan kesabaran yang telah diberikan serta ketulusan hati beserta seluruh keluarga. 8. Teman seperjuangan, Yuda, Fery, Aulia, Topan, Fadli, dan adik-adik dari HIMLAB, HIMATPSEL, IMMAM, kalian telah memberikan semangat yang luar biasa. 9. HMI Cabang Bogor, Fauzan, Iyung, Dian Permata, Mutia, Hatta, Dian Sitorus, Azis, atas bantuan yang sangat berarti. 10. Semua pihak, teman, serta kerabat yang tidak tercantum, penulis ucapkan permintaan maaf, dan terima kasih atas bantuan yang tidak tertara ini.
Bogor, Juni 2008
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI...................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
iv
BAB I. PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 1.3 Tujuan ........................................................................................................ 1.4 Manfaat ......................................................................................................
1 5 7 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1 Pengertian Sea Farming ............................................................................. 2.1.1 Sejarah Sea Farming ......................................................................... 2.1.2 Pengertian dan Tujuan Sea Farming ................................................. 2.1.3 Potensi Pengembangan Sea Farming di Kepulauan Seribu .............. 2.2 Kerjasama Usaha ....................................................................................... 2.3 Tujuan Kemitraan ...................................................................................... 2.4 Strategi Pengembangan Kelembagaan Usaha Perikanan Berkelanjutan Melalui Sea Farming .........................................................
9 9 9 10 13 16 17
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN .........................................................
27
BAB IV. METODELOGI.............................................................................. 4.1 Lokasi dan Waktu ...................................................................................... 4.2 Jenis dan Pengumplan Data ....................................................................... 4.3 Teknik Pengumpulan Data......................................................................... 4.4 Metode Analisis Data................................................................................. 4.4.1 Analisis Usaha ................................................................................. 4.4.2 Analisis SWOT .................................................................................
31 31 31 32 33 34 36
BAB V. KONDISI UMUM KEPULAUAN SERIBU .................................
38
5.1 Demografi Kepulauan Seribu .................................................................... 5.1.1. Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu........... 5.1.2 Mata Pencaharian Masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu .......... 5.2.1.1 Kegiatan Perikanan .............................................................. 5.2. Lokasi dan Pemukiman Kegiatan Sea Farming ........................................ 5.2.1.Sistem, Lokasi dan Luas Kawasan........................................... 5.3. Komoditas Prioritas .................................................................................. 5.4. Potensi Kelembagaan................................................................................ 5.4.1 Potensi Sumberdaya Manusia ..................................................
38 38 42 43 53 53 55 55 55
18
ii
5.4.2. Masyarakat Nelayan dan Pembudidaya Ikan.......................... 5.5. Karakteristik Nelayan Kelurahan Pulau Panggang...................................
57 59
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................
64
6.1 Keadaan Perekonomian di Kepulauan Seribu............................................ 6.1.1 Kondisi Umum Kegiatan Ekonomi di Kepulauan Seribu................. 6.1.2 Kegiatan Ekonomi Sebelum Sea Faming ......................................... 6.2 Kondisi Umum Sea Farming ..................................................................... 6.2.1 Aspek Biofisik Sea Farming ............................................................. 6.2 2 Kondisi Sosial Sea Farming.............................................................. 6.2 3 Kondisi dan Hambatan Teknis Sea Farming ................................... 6.3 Analisa Efektifitas Ekonomi Sea Farming................................................. 6.4 Analisis Strategi Pengembangan Sea Farming ........................................ 6.4.1 Analisis SWOT ................................................................................. 6.4.2 Hasil Analisis SWOT........................................................................
64 64 66 68 68 70 71 76 79 79 81
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN......................................................
84
7.1 Kesimpulan ............................................................................................... 7.2 Saran ..........................................................................................................
84 86
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
87
LAMPIRAN....................................................................................................
89
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
Tabel 2.1. Luas kawasan potensial untuk budidaya laut Di Kepulauan Seribu berupa reef flat, laguna, selat dan teluk.............................
14
Tabel 2.2. Kesusaian habitat dengan sistem budidaya laut Di Kepulauan Seribu......................................................................
14
Tabel 2.3. Luas (ha) kawasan potensial untuk budidaya laut di Kepulauan Seribu menurut sistem budidaya yang diterapkan .........................
15
Table 4.1. Pemilihan Alternatif Staregi dengan Menggunakan perbandingan Berpasangan Munurut Reksohadiprojo, et, al (1988) ..................
35
Table 5.1. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten kepulauan Seribu ........................................................
35
Table 5.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Kabupaten Kepulauan Seribu ..........................................................................
38
Tabel 5.3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ....................................................
40
Tabel 5.4. Jumlah Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga Dan Rukun Warga (RW) di Kepulauan Seribu.............................................................
41
Tabel 5.5. Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di tiap Kelurahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu .....................................................
44
Tabel 5.6. Jumlah Perahu/Kapal Penangkapan Ikan di Kelurahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. ....................................................
45
Tabel 5.7. Industri Sedang yang Terdapat di Kelurahan Pulau Harapan Kepulauan Seribu...........................................................................
46
Tabel 5.8. Kondisi Nelayan di Kepulauan Seribu Tahun................................
47
Tabel 5.9. Sistem Pembayaran Hasil Penangkapan Ikan ................................
48
Tabel 5.10. Jumlah Pengolahan Ikan dan Rumput Laut Di Kepulauan Seribu....................................................................
50
Tabel 5.11. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Kabupaten Kepulauan Seribu ......................................................
55
iv
Tabel 5.12. Komposisi Pekerjaan Penduduk (Jiwa) di Kelurahan Pulau Panggang Tahun Di Kepulauan Seribu2007................................
55
Tabel 5.13. Persentase Nelayan Menurut Penggunaan Alat Tangkap Di Kepulauan Seribu....................................................................
60
Tabel 5.14. Persentase Nelayan Menurut Tujuan Penjualan Hasil Tangkapan Di Kepulauan Seribu....................................................................
61
Tabel 5.15. Kesusaian habitat dengan sistem budidaya laut Di Kepulauan Seribu.....................................................................
61
Tabel 5.16. Persentase Nelayan Menurut Alat Tangkap dan Alasan Menjual Hasil Tangkapan......................................................................................
61
Tabel 6.1. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ....................................................
64
Table 6.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Kabupaten Kepulauan Seribu ..........................................................................
65
Tabel 6.3. Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di tiap Kelurahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu .....................................................
65
Tabel 6.4 Di Kepulauan Seribu Luasan dan Jumlah Unit Budidaya Rumput Laut di Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tabel 6.5. Aspek Kajian Biofisik di Kabupaten Kepulauan Seribu................
67 68
Tabel 6.6. Rincaian Harga Keramba Jaring Apung Di Kepulauan Seribu......................................................................
70
Tabel 6.7. Nama Anggota Kelompok Sea Farming Berdasarkan Angkatan /Tahun Masuk................................................................
71
Tabel 6.8. Daftar Nama Kelompok Sea Faming (sampel acak) ....................
74
Tabel 6.9. Tabulasi Hasil Perhitungan Ekonomi.............................................
74
Tabel 6.10. Hasil Analisis SWOT...................................................................
77
v
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Bagan Alir Konsepsi Kelembagaan Sea Farming Di Pulau Panggang (PKSPL IPB, 2004) ......................................
18
Gambar 2. Batas Fishing Right Kawasan Sea Farming .................................
19
Gambar 3. Sistem Agribisnis Antar Sistem Budidaya dalam Konsep Sea Farming .....................................................................
22
Gambar 4. Model Sistem Sea Farming Berbasis Masyarakat (PKSPL IPB, 2004) ......................................................................
24
Gambar 5. Keterkaitan Makro Kelembagaan Sea Farming DiKepulauaun Seribu(PKSPL IPB, 2004). ) .................................
40
Gambar 5. Keterkaitan Makro Kelembagaan Sea Farming DiKepulauaun Seribu(PKSPL IPB, 2004). ) .................................
40
Gambar 5. Keterkaitan Makro Kelembagaan Sea Farming DiKepulauaun Seribu(PKSPL IPB, 2004). ) .................................
40
vi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Nama Anggota Sea Farming...................................................................... 72 2. Rincian Biaya Keramba Jaring Apung ...................................................... 73 3. Foto Kegiatan Sea Farming ....................................................................... 74
vii
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya ikan di dunia saat ini, termasuk juga di Indonesia
dihadapkan pada persoalan kelangkaan sumberdaya ikan atau lebih dikenal dengan istilah gejala tangkap lebih (over fishing). FAO (2002) menyebutkan bahwa saat ini over fishing di tingkat internasional semakin meluas, yaitu 16% overexploited, 44% fully exploited, 6% depleted, dan 3% slowly recovering. Dilihat secara regional, beberapa negara pantai yang sedang berkembang di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, seperti Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, India, Indonesia, Srilanka, Thailand dan Vietnam, juga mengalami gejala serupa. Total hasil tangkapan hasil perikanan meningkat dari 5,5 juta ton pada tahun 1970 menjadi 15,6 juta ton pada tahun 2000. Namun demikian, peningkatan produksi perikanan di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, pada beberapa negara telah terjadi penurunan tangkapan sejak tahun 1990, seperti India, Filipina dan Thailand (Martosubroto, 2005). Di Indonesia, beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia dihadapkan juga pada kondisi over fishing. Direktorat Jenderal Perikanan TangkapDepartemen Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut-IPB membagi kondisi Wilayah Pengelolaan Perikanan ke dalam empat golongan, antara lain: Pertama, wilayah yang tidak berpeluang untuk di kembangkan lagi, yaitu WPP 1 (Selat Malaka). Kedua, wilayah yang memiliki peluang pengembangan yang tergolong rendah antara 1%-20%, yaitu WPP 3 (Laut Jawa dan Selat Sunda), WPP 4 (Laut Flores dan Selat Makasar) dan WPP 5 (Laut Banda). Ketiga, wilayah yang memiliki wilayah pengembangan sedang antara 21%-40%, yaitu WPP 9 (Samudera Hindia). Keempat,
wilayah yang peluang pengembangannya tergolong tinggi lebih dari 40%, antara lain WPP 2 (Laut Natuna dan Laut Cina Selatan) dan WPP 6 (Laut Maluku, Teluk Tomini, dan Laut Seram), WPP 7 (Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik) dan WPP 8 (Laut Arafura). Berdasarkan kondisi ini dapat dilihat bahwa kondisi perikanan di seluruh tingkatan, baik nasional, regional maupun internasional telah terjadi penurunan produksi tangkapan, termasuk di perairan Kepulauan Seribu yang masuk kategori sedang (kategori ke-2). Fenomena penurunan produksi tangkapan ini telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan di dunia, yang berakibat pada menurunnya kesejahteraan nelayan dan pasokan pangan. Berbagai program pun di canangkan untuk mengatasi permasalahan ini, termasuk program-program terobosan implementatif. Kondisi lain yang menambah keterpurukan perikanan tangkap adalah penurunan tingkat kesejahteraan. Kesejahteraan yang di definisikan sebagai ringkasan dari serangkaian data statistik yang diturunkan dan disusun untuk menggambarkan suatu keadaan atau kecenderungan dari keadaan sosial yang menjadi atau akan menjadi pokok pemikiran atau usaha perkembangan masyarakat. Tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari pemenuhan atau aksestabilitas 3 kebutuhan utama yaitu sandang, pangan dan papan. Salah satu yang dapat menjadi tolok ukur dari kesejateraan adalah dari pendapatan. Kondisi masyarakat di Kabupaten kepulauan Seribu sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, karena itu karakteristik kehidupan masyarakat sangat khas dengan kehidupan nelayan pada umumnya. Dimana kondisi nelayan yang terdapat disebagian
2
besar wilayah Indonesia sangat sulit terlepas dari kondisi kemiskinan yang di karenakan pola hidup boros dan tingkat pendidikan masih rendah. Beberapa hal yang juga menjadi kendala dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap adalah adanya open acces. Kondisi open acces dalam bahasa sederhana dapat didefinisikan sebagai hampir tidak adanya batasan dalam pemanfaatan sumberdaya dalam hal ini sumberdaya laut. Seperti yang telah didefinisikan, paling tidak ada dua makna yang dapat terjadi dari kondisi open acces tersebut yaitu pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak terbatas ini akan diakses oleh hampir kapal tidak terbatas (laissez-faire) yang di yakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Kedua, tidak adanya kontrol terhadap akses kapal dan terhadap pengaturan hasil tangkapan. Dengan demikian konsisi open acces akan lebih mempermudah dan mempercepat kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat. Bila ditinjau dari kondisi yang ada maka dapat diketahui salah satu permasalahan yang menyebabkan adanya open acces adalah masih lemahnya peraturan dan penegakan hukum laut di Indonesia. Salah satu program yang dipandang dapat dijadikan alternatif untuk dapat meningkatkan produksi ikan laut dan mempertahankan kondisi lingkungan laut agar lebih baik adalah program sea farming. Program ini merupakan program pengalihan kegiatan dari penangkapan ke budidaya. Sea farming merupakan kegiatan budidaya yang merubah paradigma masyarakat pesisir tentang pemanfaatan lahan laut dan pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Awalnya sea farming berupa ranching (berternak) selanjutnya disebut sea ranching dapat didefinisikan sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenile atau ikan
3
muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan dan meningkatkan hasil tangkapan. Sea farming sudah dimulai sejak abad 17 di Jepang, Norwegia dan USA. Di Norwegia dan USA kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini terus berlangsung sampai dengan tahun 1967. Kegiatan sea farming di Norwegia tidak diikuti dengan evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan dan hasil tangkapan serta dampak ekologis dari aktivitas yang sudah dilakukan. Pelepasan bibit ikan dilakukan dengan perlakuakan yang sederhana.dimana bibit ikan yang dilepas akan dibiarkan tidak ada perlakuan yang khusus. Kegiatan yang dilakukan ini setelah dievaluasi ternyata banyak sekali mengalami masalah. Salah satunya adalah sulitnya bertahan dialam terbuka karena banyak predatornya yang menjadi pemangsa bibit ikan tersebut. Indikator tingkat keberhasilan juga sulit untuk diukur karena tidak dilakukan kegiatan secara terorganisir. Kegiatan sea farming di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan konsep dari awal sea ferming, dimana kegiatan sea farming bukan saja penebaran bibit ikan tapi lebih kepada peningkatan pendapatan masyarakat dalam usaha ekonomi serta perbaikan ekologi laut di sekitar wilayah sea farming. Kegitan Manajemen sea farming juga dilakukan untuk dapat mengembangkan kegiatan ini. Sea farming yang mengembangkan satu kawasan tertentu yang dibuat khusus dengan menggunakan jaring apung sehingga kegiatan tersebut dapat mudah di kontrol. Salah satu daerah yang telah mengembangkan kegiatan sea farming adalah Kabupaten Kepulauan Seribu. Sea farming di Kabupaten Kepuluan Seribu diperkenalkan pertama sekali pada tahun 2002. Kegiatan ini dilakukan atas kerjasama Dinas Perikanan
4
dan Kelautan Kabupaten Kepuluan Seribu dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB), dimana kegiatan awalnya berupa kajian-kajian yang terkait aspek teknis terhadap penerapan sea farming. Setelah dilakukan kajian teknis maka pada tahun 2005 baru dilakukan implementasi program sea farming. Implementasi program tersebut menggunakan teknologi jaring apung yang dipasang pada daerah perairan antar pulau di Kepulauan Seribu. Keramba jaring apung yang disain sedemikian rupa sehingga dapat bertahan dalam kondisi alam di Kepuluan Seribu. Jenis komoditi ikan yang digunakan dalam kegiatan sea farming adalah ikan kerapu baik kerapu bebek maupun kerapu macan. Jenis ikan ini sangat sesuai untuk dikembangkan karena dari segi prospek ekonomi sangat menguntungkan dimana ikan kerapu memilki pasar ekspor yang cukup menjanjikan diantaranya negara Singapore dan Jepang. Kondisi harga kerapu juga cukup tinggi dimana mencapai Rp 130.000 per Kg pada tingkat nelayan. Kepulauan
Seribu
merupakan
wilayah
yang
cukup
strategis
untuk
dikembangkannya kegiatan tersebut. Dimana sebagian besar wilayahnya adalah pulau kecil dengan ekosistem laut yang mengelilinginya. Dengan demikian secara alamiah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu merupakan wilayah administratif publik yang dikelola harus dengan pendekatan tata kelola pulau kecil (islands governance). Salah satu aspek penting dalam tata kelola wilayah kepulauan adalah optimalisasi pemanfaatan wilayah laut untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat kepulauan baik dalam konteks ekologi maupun sosial dan ekonomi. Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu sendiri memiliki visi sebagai kabupaten kepulauan dengan menitikberatkan pada aspek pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang terdapat di wilayahnya. Hal ini
5
terbukti dengan pernyataan visi dimana perikanan dan pariwisata bahari menjadi penggerak utama kegiatan ekonomi kabupaten. Namun demikian, kegiatan sea farming yang telah dilakukan selama lebih dari 3 (tiga) tahun belum dapat dilihat keberhasilan secara nyata. Kondisi ini dikarenakan sea farming masih baru diterapkan, sehingga dapat dikaji bagaimana pengaruh kegiatan sea farming terhadap peningkatan pendapatan nelayan, sehingga tercapainya tingkat kesejahteraan nelayan yang lebih baik. Analisis yang dapat digunkan untuk melihat tingkat pendapatan nelayan setelah dan sebelum melakukan sea farming maka perlu dilakukan analisis efektifitas sea faming dan bagaimana staregi pengembangan sea farming kedepan. 1.2 Perumusan Masalah Sesuai dengan hasil kajian DKP dan PKSPL IPB, perairan Kepulauan Seribu yang berada dalam wilayah pengelolaan perikanan 3 (Laut Jawa dan Selat Sunda), merupakan wilayah yang sudah mendekati kondisi tangkap lebih (overfishing) dan prospek pengembangan bisnis perikanan tangkap di wilayah ini sudah tidak terlalu prospektif karena hanya masuk kategori sedang. Kondisi Overfishing dapat diartikan sebagai kondisi yang sudah kelebihan dalam kegiatan penangkpan ikan dimana ikan yang ada pada daerah tersebut sudah menurun dan mendekati kepunahan. Kondisi ini dapat disebabkan karena beberapa hal antara alain disebabkan karena penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga ikan ikan kecil juga ikut terambil, ha lain adalah terjadinya kerusakan terumbu karang sebagai tempat ikan berkembang biak. Keadaan overfishing yang terjadi di perairan sebelah Utara Jakarta menyebabkan terjadinya penurunan hasil tangkapan nelayan yang sebagian besar merupakan sumber
6
penghidupan bagi masyarakat. Penurunan hasil tangkapan ini pastinya akan berdapat pada penurunanan pendapatan nelayan dimana sebagian besar masyarakat bermata pencarian sebagai nelayan yang mengandalkan hasil laut. Keadaan ini akan berdampak pada terjadinya tingkat kemiskinan di wilayah perairan Utara Jakarta dan Pulau Jawa terutama bagi yang mata pencariannya sebagai nelayan. Hasil tangkapan dan tingkat pendapatan nelayan (terutama nelayan tradisional) kecenderungannya juga terus menurun. Kondisi ini berdampak terhadap pendapatan nelayan.
Dengan demikan perlu terobosan strategi yang dapat mengatasi dua
permasalahan ini. Sea farming merupakan sebuah konsep yang awalnya diadopsi dari Jepang dan Norwegia, untuk mengatasi kelangkaan sumberdaya perikanan dengan menebar larva ikan, yang diharapkan akan dapat berkembang di suatu wilayah perairan sehingga dalam waktu tertentu dapat di tangkap oleh nelayan. Sea farming dapat diartikan sebagai kegiatan pelepasan larva yang dilakukan untuk meningkatkan populasi ikan atau jumlah penangkapan. Adapun strategi yang di gunakan untuk melapas benih ikan ke laut pada saat itu adalah dengan menyamakan waktu pelepasan dengan waktu dimana makanan larva di daerah tersebut mencapai peningkatan yang tinggi agar kelangsungan hidup larva dapat berjalan dengan baik. Secara umum tujuan sea farming dapat dibagi menjadi pertama, dapat membangun populasi atau meningkatkan populasi ikan di suatu areal yang rendah. Kedua, menopang kegitan sport fishing dan rekreasi serta meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Pada awalnya masyarakat di kepulauan seribu umumnya bermata pencarian nelayan tangkap yang beroperasi di sekitar wilayah Kepulauan Seribu sampai dengan Selat Sunda dan Malaka. Kondisi overfishing yang dialami di wilayah peraiaran pulau
7
seribu saat ini memberikan penurunun pendapatan nelayan dan berdampak pada lingkungan. Kegiatan sea farming di Kepulauan merupakan kegaitan yang bertujuan untuk meningkatan pendapatan nelayan, dimana program ini diharapakan dapat mengatasi penurunan jumlah ikan di laut yang berakibat pada penurunan tingkat pendapatan nelayan. Kegiatan sea farming di Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki tiga kegiatan utama yaitu Pembenihan, Pembesaran dan Rekreasi (pemancingan). Tiga
kegiatan
tersebut pada saat ini yang baru dapat dilakukan adalah kegiatan pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan menjadi kegiatan yang menjadi fokus program sea farming ini karena kegiatan ini lebih mudah dilakukan dan memiliki tingkat resiko yang kecil, sementara kegiatan pembenihan baru dilakukan dalam satu tahun terakhir karena harus menggunkan teknologi dan memiliki resiko yang besar. Program sea farming ini juga mendapat dukungan yang cukup besar dari pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu karena program ini akan dijadikan Pilot Project dalam peningkatan pendapatan nelayan di Kepulauan Seribu. Peran pemerintah diantaranya memberikan dana dalam pengembangan program ini dan juga memberikan modal awal bagi nelayan yang ingin mengembangkan sea farming. Pemerintah juga memfasilitasi masyarakat dan membantu penuh segala kekurangan dan masalah yang dihadapi dalam pengembangan sea farming yang dilakukan masyarakat. Program sea farming di Kabupaten Kepulauan Seribu sudah berlangsung selama 5 tahun. banyak sudah kegiatan yang telah dilakukan, baik kegiatan secara teknis maupun kegaitan lainnya, namun demikian program sea farming ini belum ada melakukan evaluasi terutama sejauh mana efektifitas kegiatan tersebut dalam meningkatkan
8
pendapatan nelayan, untuk itu perlu dikaji lebih mendalam dengan pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana efektivitas kegiatan sea faming terhadap peningkatan pendapatan nelayan? 2. Strategi apa yang dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan dan pengembangan sea farming untuk meningkatkan pendapatan nelayan? 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis efektivitas kegiatan sea farming dengan melihat tingkat keuntungan yang didapat pada kegiatan tersebut. 2. Merumuskan strategi pengembangan sea farming di Kabupaten Kepulauan Seribu.
1.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan untuk mendukung program sea farming dan pelaku usaha perikanan dan kelautan yang berbasis pada pegembangan sea farming untuk meningkatkan pendapatan nelayan, diantaranya : 1. Sebagai bahan evaluasi bisnis ekonomi dalam pelaksanaan program sea farming di Kepulauan Seribu 2. Memberikan informasi bagi siapa saja yang ingin melakukan penelitian lanjutan terhadap kegiatan sea faming di Kabupaten Kepulauan Seribu. 3. Memberi masukan kepada pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan pengembangan sea farming dan pelaku usaha dalam melakukan usaha.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sea Farming 2.1.1. Sejarah Sea Farming Menurut PKSPL-IPB (2004), konsep sea farming sudah dimulai sejak abad ke-17 di Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat. Pada awal pengembangnya, teknologi sea farming merupakan teknologi yang ditujukan kepada aktifitas perikanan berupa ranching, sehingga pertama kali disebut sebagai sea ranching. Istilah ini didefinisikan sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenile atau ikan muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan atau hasil tangkapan.
Di Norwegia dan Amerika Serikat, kegiatan
pelepasan larvae ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini terus berlangsung sampai dengan tahun 1967. Hanya saja di Norwegia kegiatan ini tanpa diikuti oleh evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan ataupun hasil tangkapan sehingga tidak diketahui secara pasti dampak ekologis dari aktivitas yang sudah dilakukan. Strategi yang digunakan untuk melepas larva ke laut pada saat itu adalah dengan mensinkronkan waktu pelepasan dengan waktu di mana makanan larva di area pelepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidap larva dapat ditingkatkan. Akan tetap strategi tersebut masih dihadapkan pada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan di awal kehidupan larvae ikan yang dilepas seperti pemangsa, pola arus dan sangat sulit sekali menentukan waktu yang tepat (tekait dengan kelimpahan prey) untuk melepas larva di suatu area.
Sehingga tingkat
keberhasilan pelepasan larva ini diperkirakan sangat kecil sekali atau bahkan mancapi tingkat nol. Dari pengamatan yang dilakukan pada umumnya kematian total larva ikan
9
yang dilepas pada saat larva umumnya terjadi pada akhir stadia pertama dari perkembangan larva (pada umunya ikan laut terdiri dari beberapa tahapan perkambangan stadia pasa saat larva). Berdasar hal diatas maka dikembangakan suatu teknik baru agar ikan yang dilepas dapat ditingkatkan kelangsungan hidupnya. Hasil dari teknologi tersebut memberikan suatu kesimpulan bahwa tingkat keberhasilan atau kelangsungan hidup pelepasan juvenile lebih baik dibandingkan dengan pelepasan pada stadia larva. Berdasarkan hal tersebut diatas maka pelepasan ikan pada stadia juvenile atau ikan muda dijadikan landasan dasar dalam proses kegiatan sea farming. Tentunya dibutuhkan upaya dan biaya untuk mendapatkan juvenile ikan untuk dilepas dibanding melepas ikan dalam stadia larva. Pelepasan ikan pada stadia juvenile diawali atau dipelopori oleh Jepang pada tahun 1965, yang kemudian diikuti oleh Norwegia pada tahun 1976 dan USA pada tahun 1979. Selanjutnya teknologi pelepasan ikan berkembang dimana metoda evaluasi dan hitungan ekonomins dan dampak sosialnya terus dikembangkan hingga saat ini. Sampai saat ini hanya tiga Negara tersebut yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap kegiatan sea farming tersebut dan Jepang menjadi kiblat dari kegiatan ini. 2.1.2. Pengertian dan Tujuan Sea Farming Menurut Adrianto (2005), sea farming (dalam istilah Bahasa Jepang) disebut saibai gyogyou adalah salah satu kegiatan perikanan yang memegang peranan cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang. Pada dasarnya, konsep sea farming di Jepang memiliki fungsi sebagai penyedia stok ikan yang akan dilepas kembali ke laut
10
sehingga sumberdaya ikan yang berkurang akibat kegiatan perikanan tangkap tetap terpelihara volume stoknya (restocking). Pada dasarnya tujuan sea farming (pelepasan ikan ke laut) dapat dikatagorikan menjadi tiga kegiatan berdasar tujuannya, yaitu : 1. Membangun suatu populasi atau meningkatkan populasi ikan disuatu areal yang rendah. 2. Menopang kegiatan sportfishing dan rekreasi 3. Meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Berdasarkan tujuan tersebut ternyata nagara yang sudah memiliki pengalaman yang cukup tinggi dan teknologi yang sudah lanjut memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan Negara masing-masing.
Negara Amerika melakukan kegitan
pelepasan ikan kelaut untuk tujuan membangun pupulasi ikan dan untuk menopang kegiatan rekreasi serta sport fishing. Sedangkan Jepang dan negara-negara Skandinavia (Norwegia dan Denmark) memfokuskan kegiatan pelepasan ikan ke laut untuk commercial fishery sebagai tujuan utamanya, disamping ada pula pelepasan yg ditujukan untuk meningkatkan populasi ikan yang hampir punah di suatu areal. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan penangkapan ikan memegang peranan yang cukup besar baik secara sosial maupun ekonomis di Jepang. Berdasarkan arealnya maka pelepasan ikan dibagi menjadi dua macam yaitu untuk Far sea Fishery (200 mil laut dari garis pantai) dan coastal fishery.. Pembagian areal ini tentunya akan berdampak pada jenis ikan, ukuran ikan dan daerah pelepasan. Pelepasan ikan pada daerah tertentunya harus memperhatikan aspek ekologis dan ekonomis.
Aspek ekologis ini dimaksudkan gar tidak mengganggu proses rantai
11
makanan disuatu areal tertentu dimana ikan yang dilepas haruslah ikan asli dari daerah tersebut atau ikan yang ada pada daerah tersubut. Aspek ekonomis yang dimaksud adalah bahwa ikan yang dilepas haruslah memiliki nilai ekonomis yang penting pada suatu areal/daerah/negara tertentu. Dengan demikian, sea farming adalah sebuah sistem pemanfaatan sumberdaya perairan laut dengan budidaya kelautan (marikultur) sebagai jantung dan penggerak utamanya. Marikultur berfungsi sebagai penyedia sumberdaya perikanan yang dalam salah satu mata rantainya adalah kegiatan ekonomi masyarakat berbasis budidaya perikanan dan peningkatan cadangan sumberdaya ikan (stock enhancement) sebagai mata rantai penting lainnya. Oleh karena itu, sea farming merupakan kegiatan pemanfaatan lahan laut di sekitar pantai atau laut. Tentu saja, pemanfaatan lahan tersebut harus sesuai dengan kondisi kegiatan budidaya perikanan laut. 2.1.3 Potensi Pengembangan Sea Farming di Kepulauan Seribu Seperti telah didefinisikan di atas kegiatan sea farming/sea ranching adalah suatu kegiatan melepas ikan ke suatu areal/ kawasan laut dimana Niche atau relung hidup ikan sebagai pembatas kawasan. Agar kegiatan Sea ranching ini berhasil tentunya tentunya memiliki beberapa prasyarat yang harus dipenuhi seperti : 1 Teknologi Budidaya ikan yang dijadikan target telah dikuasai 2 Kondisi Fisika, Kimia dan biologi kawasan laut yang menjadi target kegiatan sea farming harus memenuhi standar persyaratan biologi dari ikan yang dilepas. 3 Lingkungan sosial yang kondusif 4 Penerapan Eco-Friendly Sea Farming
12
Kepulaun seribu terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil dam mimiliki ekosistem perairan yang sangat sensitive seperti, mangrove dan terumbu karang. Berdasarkan hasil studi PKSPL IPB (2004) pada kondisi Geobiofisik, aktifitas ekonomi dan keterkaitan sosial maka pulau seribu dibagi menjadi tiga wilayah Cluster. Cluster satu terdiri dari 79 pulau, Cluster dua terdiri dari 12 pulau dan cluster tiga terdiri dari 15 pulau. Dari keseluruhan cluster tersebut total luas hamparan perairan di kepulauan seribu adalah 6.997,5 km2.
Berdasar kondisi goefisik, oceanografi, dan kualitas air maka sekitar
4.376.04 ha areal periaran memiliki potensi untuk kegiatan Sea Farming. Dari luasan potensi untuk Sea farming yang ada terdiri dari perairan karang dalam seluas 4.348,05, perairan selat 23 ha dan perairan teluk 4,99 ha. Adapun perairan karang dalam dapat berupa reef flat seluas 4.027,45 dan laguna (goba) seluas 320,6 ha. Tentunya disamping maka luas areal tersebut tentunya kawasan lindung hutan mangrove seluas 126.13 ha juga berpotensi untuk dijadikan areal sea farming. Berdasar beberapa kriteria ayng meliputi keterlindungan areal, kedalaman, kecepatan arus dan beberapa parameter kualitas air maka dari potensi areal yang ada 47,28 ha untuk enclosure, 795,21 ha untuk pen culture, 130,87 ha untuk cage culture dan 1.566,57 untuk rumput laut. Sedangkan areal yang dapat dijadikan untuk kegiatan sea ranching adalah total areal dikurangi luas area untuk pen culture dan enclosure yakni seluas 3422 ha ditambah kawasan hutan mangrove seluas 126.13 ha. Ditinjau dari sisi habitat maka areal yang cocok untuk pengembangan sea ranching adalah terumbu karang , mangrove dan teluk. Kecocokan areal tersebut tentunya tidak terlepas dari jenis dan nilai ekonomis dari organeisme akuarik endogenous yang dijadikan target untuk kegitan sea Ranhcing. Dari data ikan yang tertangkap maka ikan-ikan yang memiliki nilai ekomomis penting adalah ikan ikan dimersal yang miliputi
13
jenis kerapu, teripang, udang dan kepiting yang umumnya hidup di terumbu karang, teluk dan mangrove. Lokasi budidaya laut adalah lingkungan yang terlindung dari angin dan ombak badai serta memiliki kesesuaian oseanografis dan kualitas air bagi komoditas budidaya. Lokasi tersebut umumnya berupa teluk, selat dan karang dalam (dimana di dalamnya terdapat reef flat, laguna/goba dan galer) dari suatu pulau. Oleh karena itu penentuan lokasi pengembangan budidaya lazimnya menggunakan basis pulau (island-base). Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki 110 pulau yang secara administratif terbagi kedalam 2 wilayah kecamatan dan 6 wilayah kelurahan (Tabel 2.1). Sebagian besar pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu ini tersebar di bagian utara kawasan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki 79 pulau, sedangkan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki 31 pulau. Kelurahan Pulau Kelapa memiliki pulau terbanyak (36 pulau), kemudian Kelurahan Pulau Harapan (30 pulau) dan yan paling sedikit adalah Kelurahan Pulau Tidung (6 pulau). Beradasarkan prinsip keterlindungan saja dan tanpa melihat aspek osenografis dan kualitas air, kelurahan dengan jumlah pulau terbanyak diperkirakan memiliki titik lokasi budidaya yang banyak pula. Berdasarkan studi Soebagio (2004), kawasan potensial untuk budidaya laut di Kepulauan
Seribu
diperkirakan
mencapai
4.376,04
ha.
Berdasarkan
kriteria
keterlindungan, kedalaman laut dan jenis substrat dasar laut, maka kawasan potensial tersebut terdiri dari perairan karang dalam seluas 4.348,05 dan perairan selat seluas 23 ha serta perairan teluk seluas 4,99 ha. Perairan laut karang dalam terdiri dari reef flat seluas 4.027,45 ha dan laguna (goba) seluas 320,6 ha.
14
Tabel 2.1. Luas kawasan potensial untuk budidaya laut di Kepulauan Seribu berupa reef flat, laguna, selat dan teluk. Perairan Karang Dalam (ha)
Perairan (ha)
Reef Flat
Laguna
Sub total
Selat
Terbuka Luas Total (ha) Teluk
Cluster 1
1.994,46
119,11
1.113,57
17,83
4,99
1.136,39
Cluster 2
1.928,22
201,49
2.129,71
0,00
0,00
2.129,71
Cluster 3
104,77
0,00
104,77
5,17
0,00
109,94
Jumlah
4.027,45
320,60
4.348,05
23,00
4,99
4.376,04
Cluster
Sumber : Soebagio, 2004 Gugus pulau pada cluster 2 memiliki kawasan potensial untuk budidaya laut yang luas (2.129,71 ha), diikuti cluster 1 (1.136,39 ha), kemudian cluster 3 (109,94 ha). Berdasarkan budidaya laut reef flat merupakan kawasan potensi terbesar (4.027,45 ha) untuk budidaya laut, diikuti laguna (320,6 ha) (kedua berlokasi di karang dalam) dan selat (23 ha) serta teluk (4,99 ha). Sistem budidaya laut mensyaratkan habitat tertentu sehingga kegiatan proses produksi didalamnya bisa berlangsung secara optimal. Kesesuaian habitat dengan sistem budidaya laur adalah sebagai berikut; reef flat, digunakan untuk sistem budidaya pen culture, enclosure, sea ranching dan long line (Tabel 2.2). Laguna digunakan untuk sistem budidaya cage culture dan sea raching; selat dan teluk digunakan untuk sistem budidaya cage culture. Tabel 2.2. Kesusaian habitat dengan sistem budidaya laut di Kepulauan Seribu Habitat budidaya laut
Sistem Budidaya Reef Flat Enclosure
9
Pen culture
9
Cage culture
Laguna
Selat
Teluk
9
9
9
Sea ranching
9
9
Long line
9
9
Sumber : Soebagio, 2004 15
Kawasan potensial untuk budidaya laut di Kepulauan Seribu diperkirakan mencapai 2.539,93 ha (Soebagio, 2004). Kawasan potensial tersebut dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut dengan sistem enclosure, pen culture, cage culture, long line dan sea ranching dengan luas masing-masing 47,28; 795,21; 130,87; 1.566,57; dan 1.689,44 ha. Kawasan potensial tersebut tersebar berturut-turut di cluster 1, cluster 2 dan cluster 3 masing-masing seluas 1.734,07; 655,28 dan 146,58 ha. Tabel 2.3.
Luas (ha) kawasan potensial untuk budidaya laut di Kepulauan Seribu menurut sistem budidaya yang diterapkan
Sistem Budidaya Cluster dan Total*) enclosure pen cage long line sea Gugus culture culture ranching Pulau Cluster 1 29,5 566,44 95,31 1.046,82 1.134,13 1.734,07 Cluster 2 11,67 177,24 26,39 439,98 466,37 655,28 Cluster 3 6,11 51,53 9,17 79,77 88,94 146,58 Jumlah 47,28 795,21 130,87 1.566,57 1.689,44 2.539,93 Sumber : Soebagio, 2004 *) diluar kawasan sea ranching 2.2 Kerjasama Usaha Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.
16
2.3 Tujuan Kemitraan Menurut Hafsah (1999), kemitraan memliki beberapa tujuan, yang dibedakan dari beberapa aspek , yaitu : •
Tujuan dari Aspek Ekonomi Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan
secara lebih kongkrit yaitu : a. Meningkatkan pendapataan usaha kecil dan masyarakat; b. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan; c. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil; d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional; e. Memperluas kesempatan kerja; f. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. •
Tujuan dari Aspek Sosial dan Budaya Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya pemberdayaan usaha kecil.
Pengusaha besar berperan sebagaai faktor percepatan pemberdayaan usaha kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya dalam mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha, atau dengan perkataan lain kemitraan usaha yang dilakukan oleh pengusaha besar yang telah mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung jawab sosial pengusahabesar untuk ikut memberdayakan usaha kecil agar tumbuh menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri. Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha kecil, dengan pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha kecil dapt tumbuh dan berkembang sebagai komponen ekonomi yng tangguh dan mndiri. Dipihak lain dengan
17
tumbuh berkembangnya kemitraan usaha ini diharapkan akan disertai dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang sehingga sekaligus dapat merupkan upaya pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial. •
Tujuan dari Aspek Teknologi
Secara faktual, usaha kecil biasanya mempunyai skala usaha yang kecil dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi pasarnya. Demikian pula dengan status usahanya yang bersifat pribadi atau kekeluargaan; tenaga kerja berasal dari lingkungan setempat; kemampuan mengadopsi teknologi, manajemen, dan adiministratif sangat sederhana; dan struktur permodalannya sangat bergantung pada modal tetap. Sehubungan dengan keterbatasan khususnya teknologi pada usaha kecil, maka pengusaha besar dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap pengusaha kecil meliputi juga memberikan bimbingan teknologi. •
Tujuan dari Aspek Manajemen
Ada 2 (dua) hal yang menjadi pusat perhatian yaitu : Pertama, peningkatan produktivitas individu yang melaksnakan kerja, dan Kedua, peningkatan produktivitas organisasi di dalam kerja yang dilaksanakan. Pengusaha kecil yang umumnya tingkat manajemen usaha rendah, dengan kemitraan usaha diharapkan ada pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pemantapan organisasi.
2.4
Strategi Pengembangan Kelembagaan Usaha Perikanan Berkelanjutan
Melalui Sea Farming PKSPL IPB (2004) telah mengadopsi dan memodifikasi konsep kelembagaan sea farming dari berbagai negara
dengan membentuk suatu model kelembagaan
18
pengembangan sea farming, yang saat ini diterapkan dikepulauan Seribu yang mengikuti alur/proses seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. SDM SDM P. P. Panggang Panggang
Definisi nelayan dan pembudidaya ikan
Lokasi Lokasi Seafarming Seafarming
Demarcated Demarcated Fishing Fishing Right Right
agreement
Hatchery Hatchery
Sea Sea Farming Farming
Community-based Community-based Mariculture Mariculture System System
Pendeder-1 Pendeder-1
Pendeder-2 Pendeder-2
Pembesar Pembesar
Pendeder-3 Pendeder-3
Restocking Restocking Pasar Pasar
Role of Operation/ Implementation
Pen/Cage Pen/Cage Culture Culture
Enclosure Enclosure
Gambar 1. Bagan Alir Konsepsi Kelembagaan Sea Farming di Pulau Panggang (PKSPL IPB, 2004)
(1). Demarcated Fishing Right Model sea farming di Kepulauan Seribu, khususnya di Pulau Panggang pada dasarnya merupakan pemanfaatan kolam raksasa dengan batas alamiah yang telah terdefinisi dengan baik. Permasalahan mendasar dari kegiatan perikanan berbasis budidaya adalah tidak stabilnya kekuatan hukum terhadap lahan perairan yang menjadi media budidayanya. Dalam konteks sea farming ini, maka penetapan kawasan sea farming sebagai kawasan kawasan fishing right bagi penduduk Pulau Panggang menjadi 19
salah satu prasyarat utama. Dengan pemantapan kawasan fishing right ini diharapkan kegiatan sea farming akan terjamin dalam konteks lokasi. Implementasi fishing right dalam konteks sea farming tidak hanya untuk menjamin lokasi, tapi dapat juga menjadi jaminan bagi pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh pelaku perikanan yang ”eligible” melakukan aktifitas di kawasan tersebut. Hak untuk memanfaatkan kawasan fishing right baik untuk budidaya maupun penangkapan ikan secara berkelanjutan diberikan kepada individu dengan pola distribusi hak atau revolving right. Jangka waktu distribusi hak tergantung dari komoditas sea farming yang dikaitkan dengan faktor teknis dan ekonomis sea farming. Gambar 2. berikut menyajikan batas fishing right untuk kawasan sea farming di Pulau Semak Daun.
K aw asan F is h in g R ig h t S e a F a r m in g
P. Sem ak D aun
Gambar 2. Batas Fishing Right Kawasan Sea Farming (2) Definisi Pelaku Perikanan Pelaku perikanan dalam konteks model sea farming ini didefinisikan sebagai individu penduduk Pulau Panggang yang memiliki kriteria aktif sebagai pelaku usaha perikanan. Aktif dalam hal ini berarti masih memiliki semangat dan keinginan yang riel dalam pengelolaan dan pengusahaan kegiatan perikanan di Pulau Panggang dan
20
sekitarnya. Pengaturan pelaku perikanan ini akan dipayungi oleh sebuah lembaga pengelola kawasan fishing right yang menjadi regulator bagi distribusi hak (right). (3). Sistem Agribisnis Perikanan Berbasis Budidaya Sistem agribisnis terdiri dari beberapa sub sistem yang menyelenggarakan berbagai perlakuan untuk menambah nilai komoditi. Secara vertikal sistem agribisnis terdiri dari para pelaku pemasok sarana produksi, pelaku produksi primer, pengolah hasil, pengangkut,
pedagang
besar
sampai
pedagang
pengecer;
yang
kesemunya
menyelenggarakan kegiatan bisnis yang berorientasi kepada permintaan pasar. Keterkaitan vertikal diantara para pelaku sangat menentukan penampilan seluruh sistem agribisnis, terutama karena produk akhir komoditi agribisnis sudah ditentukan sejak di sub sistem paling hulu. Keterkaitan vertikal yang menunjang pengembangan sistem komoditi juga ditentukan oleh keseimbangan secara menyeluruh didalam sistem agribisnis, baik dalam penggunaan teknologi, kapasitas produksi maupun dalam distribusi balas jasa kepada seluruh pelakunya serta faktor-faktor produksi. Sebagai suatu sistem maka di tingkat mikro seluruh komponennya memiliki satu tujuan bersama, satu strategi dasar untuk mencapai tujuan serta koordinasi antar pelaku harus benar-benar terpenuhi agar seluruh keterkaitan di dalam sistem juga bekerja dengan baik, kondisi seperti ini selain sangat ditentukan oleh para pelaku sistem juga sangat ditentukan juga oleh para pembina sistem seperti pemda, lembaga perekonomian (koperasi), para peneliti, LSM atau lembaga-lembaga pendampingan dimasyarakat. Pengembangan sea farming di kawasan kepulauan seribu secara mikro dapat menumbuhkan dan menggerakkan perekonomian lokal bila dilakukan dengan
21
menggunakan konsep agribisnis. Dengan konsep agribisnis maka dapat ditumbuhkan pelaku-pelaku bisnis sebanyak mungkin yang saling menunjang dan saling terkait sehingga akhirnya bisnis dapat dilakukan secara massal dan berkesinambungan. Dengan demikian model pengembangan sistem agribisnis ini dapat menjadi penghela dan memberi efek berganda terhadap perekonomian masyarakat Menurut Effendy (2005), dalam konsep sea farming terdapat beberapa sistem budidaya yang bekerja secara sinergis, baik secara serial maupun paralel. Sistem budidaya tersebut meliputi hatchery, sea ranching, enclosure, pen culture, cage culture (apung dan tetap) dan longline (rumput laut dan tiram). Pelaku sistem dalam hal ini adalah penyedia bibit, nelayan petambak, pedagang pengumpul/pengangkut dan konsumen, sedangkan pembina/pemandu sistem adalah pemerintah, koperasi dan peneliti/LSM/lembaga pendampingan. Secara garis besar sistem agribisnis yang dapat dikembangkan dalam sea farming seperti pada Gambar 3 berikut. Restocking
Alam
Penangkapan
Hachery
Budidaya Enclosure
Budidaya Pen Culture
Budidaya Cage Culture
Nelayan Penangkap
Konsumen (Lokal/Ekspor)
Suplai Ikan Bibit Ikan Ukuran Konsumsi
Gambar 3. Sistem Agribisnis Antar Sistem Budidaya dalam Konsep Sea Farming
22
Selama ini pengembangan bisnis budidaya ikan memiliki kelemahan, yaitu sedikitnya pelaku bisnis yang hanya terdiri dari pelaku usaha pembenihan dan pelaku usaha pembesaran. Kelemahan lain bisnis budidaya ikan adalah lamanya waktu pembesaran, yaitu berkisar antara 6 hingga 12 bulan tergantung ukuran bibit dan jenis ikan yang dibudidayakan. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi cash flow pelaku usaha karena lamanya masa panen. Apalagi bila usaha ini akan diintroduksikan kepada nelayan yang umumnya biasa mendapat hasil tangkapan secara harian. Oleh karena itu banyak sekali kasus kegagalan introduksi usaha budidaya/pembesaran ikan kepada para nelayan, meskipun tujuan introduksi tersebut sangat baik, yaitu melakukan alih profesi dari nelayan menjadi pembudidaya, karena potensi sumberdaya perikanan tangkap yang semakin menurun. Untuk mengatasi hal seperti yang diuraikan di atas, maka perlu ditumbuhkan dan diciptakan pelaku-pelaku usaha yang berada diantara pelaku pembenihan dan pembesaran yang dikenal dengan pelaku pendederan atau raiser. Model bisnis seperti ini sudah banyak terjadi pada beberapa jenis usaha ikan air tawar seperti ikan lele dan ikan mas atau budidaya udang dan bandeng. Usaha pendederan umumnya dilakukan tidak lama, seperti contoh pada ikan kerapu lama masa pendederan bisa sekitar dua bulan. Sehingga apabila pada bisnis ikan kerapu diterapkan usaha pendederan, maka hal ini dapat menjadi sumber pendapatan pelaku usaha dalam jangka pendek, yaitu dua bulanan atau bila dilakukan pola pengaturan jarak musim tanam, maka pendapatan dapat diperoleh setiap bulan. Pelaku usaha pendederan bisa dibagi menjadi beberapa segmen usaha berdasarkan ukuran ikan yang diproduksi, sehingga terdapat pelaku usaha pendederan I, pendederan
23
II, pendederan III dan seterusnya.
Pelaku usaha budidaya ikan tersebut saling
mendukung dan saling membutuhkan. Produk hatchery menjadi input usaha pendederan I yang memproduksi ikan untuk input usaha pendederan II. Produk usaha pendederan II menjadi input usaha penderan III dan produk usaha pendederan III menjadi input usaha pembesaran.Pola usaha masyarakat di wilayah administratif Kepulauan Seribu menjadi salah satu fokus yang penting mengingat dalam studi ini model pengembangan sea farming akan diletakkan pada koridor masyarakat sebagai motor utama. Dalam konteks sea farming, tujuan utama model ini adalah membantu masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Seribu untuk memanfaatkan ekosistem laut dan pada saat yang sama turut berperan dalam pelestarian ekosistemnya. Secara praktis, kegiatan sea farming adalah usaha ekonomi berbasis budidaya kelautan (mariculture) yang meletakkan fungsi intermediasi (pendeder) sebagai tulang punggung aliran usaha sea farming. Secara konsepsual, pola usaha masyarakat yang akan dibangun dalam model sea farming ini dapat dilihat pada Gambar 3. Keuntungan dari sistem ini adalah antara lain adalah (1) resiko yang selama ini cukup
besar
apabila
menggunakan
pendekatan
budidaya
konvensional
akan
terdistribusikan kepada seluruh stakeholder; (2) terdapat potensi quick yield sehingga relatif mudah bagi nelayan yang sudah terbiasa dengan pola ini; dan (3) mampu memupuk rasa tanggung jawab secara kolektif karena walaupun berbasis individu tapi karena saling tergantung membuat pelaku perikanan harus bisa bekerja sama dan saling pengertian satu sama lain (benefits for all). Untuk mencapai tujuan ini maka beberapa langkah strategis perlu dilakukan mulai dari identifikasi isu dan permasalahan di lokasi tempat sea farming akan dikembangkan,
24
pembangkitan
motivasi
stakeholders
hingga
implementasi
kebijakan
dengan
menggunakan perangkat institusi yang diperlukan. Model konsepsi aspek kelembagaan makro dalam model pengembangan sea farming di Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar 4. Pemerintah Pusat
Pemerintah Propinsi Pemerintah Kota Lembaga Pengelola Kawasan Sea Farming
Aktifititas Bisnis
Fishing right
Nelayan
Gambar 4.
Keterkaitan Makro Kelembagaan Sea Farming di Kepulauaun Seribu (PKSPL IPB, 2004).
Dari pengalaman selama ini, pengembangan konsep Sea Farming sebagai suatu konsep usaha sekaligus konservasi jika dibandingkan dengan kegiatan budidaya yang selama ini berlangsung, menurut Effendy (2005) memeliki beberapa keunggulan, antara lain: 1. Pelaku usaha pembesaran ditopang oleh banyak pemasok benih, sehingga kesinambungan kegiatan dapat terjaga
25
2. Pelaku usaha pembesaran juga mendapatkan benih yang bermutu, karena sudah adapted dengan lingkungan, hal ini karena proses pendederan berlangsung disekitar lokasi pembesaran. 3. Usaha pembudidayaan ikan menjadi relatif lebih singkat karena adanya diversifikasi ukuran panen 4. Memungkinkan
keterlibatan
dari
segenap
lapisan
masyarakat
karena
diterapkannya multi sistem budidaya, sesuai dengan kompetensi dan keinginan masyarakat. 5. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam karena diterapkanya multi sistem budidaya, hampir semua habitat karang dalam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya dengan memperhatikan daya dukung lingkungan 6. Peluang kesinambungan usaha budidaya relatif lebih tinggi karena banyaknya pelaku usaha yang terlibat. 7. Peluang pengembangan kegiatan budidaya ikutan lainnya yang dapat bersinergi dengan konsep sea farming juga lebih besar, seperti budidaya rumput laut serta budidaya tiram (mutiara/konsumsi).
26
III. KERANGKA PEMIKIRAN Pengembangan sea farming di kawasan Kepulauan Seribu telah berjalan di tahun ke-3 mulai 2005 dan telah mulai ada reorientasi perilaku ekonomi masyarakat nelayan yang tadinya mengandalkan penangkapan ikan mulai mengembangkan usaha budidaya, meski usaha penangkapan ikan tetap menjadi aktifitas penting. Secara mikro, program ini telah menumbuhkan dan menggerakkan perekonomian lokal, karena selain sistem produksi, konsep sea farming diharapkan dapat menjadi alternatif dalam kegiatan ekonomi. Sea farming akan bisa berjalan dengan baik bila konsepsi dan implementasi dalam teknik dan pengembangan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik serta menggunakan pendekatan yang tepat dan saling mendukung antar sektor primer, sekunder dan tersier (konsep agribisnis perikanan). Dengan konsep agribisnis maka dapat ditumbuhkan pelaku-pelaku bisnis sebanyak mungkin yang saling menunjang dan saling terkait sehingga akhirnya bisnis dapat dilakukan secara massal dan berkesinambungan. Dengan demikian model pengembangan sistem agribisnis ini dapat memberi efek ganda terhadap perekonomian masyarakat. Selama ini pengembangan bisnis budidaya ikan memiliki kelemahan, yaitu sedikitnya pelaku bisnis yang hanya terdiri dari pelaku usaha pembenihan dan pelaku usaha pembesaran, hal tersebut terjadi karena sedikitnya pelaku yang mampu dari sisi permodalan, sehingga tidak banyak yang bisa menjalankan usaha ini. Kelemahan lain dari bisnis budidaya ikan adalah lamanya waktu pembesaran, yaitu berkisar antara 6 hingga 12 bulan tergantung ukuran bibit dan jenis ikan yang dibudidayakan.
Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi cash flow
pelaku usaha karena lamanya masa panen. sehingga akan sangat kesulitan bila pelaku usaha apalagi bila usaha ini akan diintroduksikan kepada nelayan yang
umumnya bisa mendapat hasil tangkapan secara harian. Oleh karena itu banyak sekali kasus kegagalan introduksi usaha budidaya/pembesaran ikan kepada para nelayan, meskipun tujuan introduksi tersebut sangat baik, yaitu melakukan alih profesi dari nelayan menjadi pembudidaya, karena potensi sumberdaya perikanan tangkap yang semakin menurun. Untuk mengatasi hal seperti yang diuraikan di atas, maka perlu ditumbuhkan dan diciptakan pelaku-pelaku usaha yang berada di antara pelaku pembenihan dan pembesaran yang dikenal dengan pelaku pendederan atau raiser. Model bisnis seperti ini sudah banyak terjadi pada beberapa jenis usaha ikan air tawar seperti ikan lele dan ikan mas atau budidaya udang dan bandeng. Untuk mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha yaitu harus ada dukungan eksternal baik dari pemerintah, swasta ataupun lembaga permodalan resmi seperti perbankan. Penelitian ini akan mengkaji model pengembangan kegiatan sea farming, dengan melihat tingkat efektivitas kegiatan tersebut. Tingkat efektivitas tersebut membandingkan keuntungan dari kegiatan sebelum sea faming dengan setelah sea farming. Kegiatan sebelum sea faming adalah nelayan tangkap dan budidaya rumput laut. Berdasarkan perbandingan keuntungan yang dilakukan akan terlihat perbedaan pendapan yang akan diperolah nelayan. Perbedaan tersebut akan menunjukan apakah kegiatan sea farming akan lebih efektif bila dibandingkan dengan kegiatan sebelum sea farming Hasil dari kajian ini akan mengkaji strategi pengembangan dan efektivitas kegiatan sea farming yang sesuai dalam pengembangan sea farming di Kepulauan Seribu yang disusun berdasar kondisi sumberdaya ekonomi yang ada, kondisi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ditemui di lokasi
28
penelitian. Secara skematik kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
29
Sumberdaya kelautan Kepulauan Seribu
Masalah Perikanan dan Kelautan : 1. Overfishing 2. Alat Tangkap Tidak Ramah Lingkungan 3. Kegiatan Manusia 4. Bencana Alam
Kegiatan Perikanan 1. Penangkapan Ikan 2. Budidaya 3. Pengolahan
Kondisi 1. Penurunan hasil tangkapan 2. Kesejahteraan 3. Sosial ekonomi 4 Lingkungan
Sea Farming
Efektifitas Sea Farming
Analisis SWOT kegiatan sea farming
Strategi Pengembangan Sea Farming
Gambar 6. Skema kerangka penelitian.
30
IV. METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan waktu Penelitian ini mengambil lokasi di beberapa pulau yang ada di Kabupaten Seribu
yang berpotensi untuk dikembangkannya pada bidang sea farming, salah satu pulau yang telah dikembangkan kegiatan sea farming adalah Pulau Semak Daun sebagai lokasi kegiatan sea farming dan Pulau Panggang merupakan tempat pemukiman nelayan sea farming. Kedua pulau tersebut diambil berdasarkan pertimbangan tertantu, di mana Pulau Semak Daun sebagai tempat sentra kegiatan sea farming dan Pulau Pramuka sebagai pusat pemukiman penduduk sehingga lebih mudah melakukan penelitian. Penelitian ini dimulai dari Bulan Januari - April 2008
4.2 Jenis dan sumber data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data text dan data image. Data text adalah data yang berbentuk alphabet dan angka numerik, data ini tidak mengikuti kaidah yang ditentukan dan dapat berbentuk apa saja, yang menentukan arti dari data tersebut adalah interpertasinya (Fauzi, 2001). Data image memberikan informasi secara spesifik mengenai keadaan tertentu melalui diagram, table, foto dan lain-lain. Berdasarkan sumbernya data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh berdasarkan pengamatan di lapangan secara langsung dan wawancara dengan pelaku bisnis yang terkait. Data sekunder diperoleh dari informasi dan data yang telah ada maupun tesis sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
4.3 Metode pengumpulan, jenis dan sumber data Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa cara, yaitu 1. Observasi, yaitu melihat secara langsung keadaan dan kegiatan sea farming serta kondisi nelayan sea farming di Pulau Semak Daun dan Pulau Pramuka. 2. Survei Panel (Panel Survey), yaitu metode mengumpulkan data dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan berbagai pihak yang terkait dalam kegiatan sea farming di Kepulauan Seribu. Di antaranya adalah nelayan yang terhimpun dalam kelompok sea farming. Wawancara dilakukan terhadap 10 anggota sea farming dari 66 anggota yang aktif dan tidak aktif. Kesepuluh anggota yang di wawancara diambil secara acak bardasarkan pengelompokan RT yang ada di Pulau Pramuka. Kesepuluh (10) anggota tersebut merupakan nelayan sea faming yang telah melakukan kegiatan sea farming selama 2 tahun dan telah melakukan panen. Selain nelayan wawancara juga dilakukan terhadap tokoh masyarakat dalam hal ini ketua RT dan pengurus kelurahan di Pulau Panggang dan tenaga ahli yang terlibat dalam kegiatan sea faming baik dari PKSPL-IPB maupun Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Seribu serta pihak terkait lainnya. Pengambilan data yang akan dilakukan dengan metode yaitu, metode Before vs After. Metode Before vs After adalah membandingkan kegiatan yang dilakukan sebelumnya dengan kegiatan sea farming yang sedang dilakukan
32
sekarang. Perbandingan yang dilakukan terhadap sepuluh (10) responden yang telah ditentukan sebelumnya. 3. Penelaahan dokumen-dokumen yang terdapat di laporan-laporan kegiatan sea farming yang dilakukan oleh PKSPL-IPB. Berupa kegiatan teknis yang telah dilakukan pada 2 tahun terakhir ini. Data sekunder diperoleh melalui literatur dengan sumber buku-buku teori, dokumen dan bentuk informasi lainnya dari instansi terkait baik langsung maupun tidak langsung seperti Departemen Perikanan dan Kelautan RI, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupetan Kepulauan Seribu, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – IPB, Badan Pusat Stastistik (BPS) dan lembaga lainnya yang terkait. Analisis lingkungan eksternal mencakup lingkungan umum dan lingkungan.. Analisis lingkungan mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi. Sedangkan analisis lingkungan internal mencakup kondisi hubungan sosial antar anggota kelompok. Analisis aspek teknis mencakup kondisi lingkungan dan aspek teknis lainnya. 4.4 Metode pengolahan dan analisis data Data dan informasi yang didapat berdasarkan hasil wawancara dan hasil lainnya diolah secara kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menentukan efektifitas kegiatan sea farming dan strategi pengembangan sea farming ke depan. Tingkat efektifitas dan strategi pengembangan sea farming yang dilakukan dapat diukur berdasarkan data dan informasi yang ada.
33
Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk angka lebih mudah dipahami. Data yang sudah dihimpun dianalisis secara deskiptif, dan dapat pula disajikan dalam bentuk tabel dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis tingkat keuntungan usaha dan analisis SWOT. 4.4.1 Analisis usaha Jenis analisis usaha yang dapat digunakan sangat beragam, karena jenis analisis usaha yang akan digunakan sangat tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Secara umum sebelum dilakukan analisis usaha data yang telah ada terlebih dahulu dikelompokan berdasarkan kebutuhan dan hasil yang diinginkan. Hasil pengelompokan data yang digunakan akan disajikan dalam bentuk tabel maupun dalam bentuk deskriptif. Data yang telah ada akan diolah berdasarkan kebutuhan dan hasil yang diinginkan, sebelum dilakukan analisis usaha. Analisis usaha yang digunakan dalam penelitian ini hanya membandingkan tingkat keuntungan antara kegiatan sebulum sea farming dengan sesudah sea farming, sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas kegaiatan sea farming tersebut. Komponenkomponen yang ada dalam analisis usaha tersebut meliputi biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, total biaya, penerimaan. Analisis usaha yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis keuntungan dan analisis R/C
1. Analisis keuntungan Analisis keuntungan digunakan untuk mengetahui beberapa besar keuntungan dari kegiatan sea farming, dalam hal ini dibedakan atas keuntungan sebelum melakukan kegiatan sea farming dan setelah melakukan kegiatan sea farming. Dalam menghitung
34
tingkat keuntungan kegiatan sebelum sea farming berdasarka data pada kondisi setahun terakhir dan untuk kegiatan setelah sea farming berdasarkan data pada kondisi setelah melakukan panen. Keuntungan dihitung dari total penerimaan yang diperoleh (TR) yang dengan total biaya (TC) total biaya diperoleh dari penjumlahan biaya biaya tetap dan biaya variabel (Rahardja dan Manurung, 1999). Rumus keuntungan adalah sebagai berikut :
Π = TR - TC Keterangan : Π
: Keuntungan
TR
: Total Revenue (Total Penerimaan)
TC
: Total Cost (Total Biaya)
Dengan syarat : Bila TR > TC
: Usaha dinyatakan untung
Bila TR = TC
: Usaha dinyatakan impas
Bila TR < TC
: Usaha dinyatakan rugi
2. Analisis R/C Analisis Revenue Cost Ratio ini digunakan untuk mengetahui rasio imbangan dari total penerimaan dengan total biaya (TR/TC). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh dari kegiatan usaha selama satu tahun (Rahardja dan Manurung, 1999). Rumus R/C adalah sebagai berikut :
R/C = TR/TC 35
Keterangan : Jika R/C < 1 : Usaha dinyatakan rugi Jika R/C = 1 : Usaha dinyatakan impas Jika R/C > 1 : Usaha dinyatakan untung
4.4.2 Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi beberapa faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi dalam pengembangan bisnis. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (theats). Alat yang digunakan untuk menyusun strategi dalam pengembangan bisnis perikanan adalah dalam bentuk matriks SWOT. Matriks ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini memungkinkan menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif strategi. Faktor Internal
STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W) Tentukan faktor Tentukan faktor-faktor Faktor Eksternal kekeuatan internal kelemahan internal OPPORTUNITIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO Tentukan peluang- Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang peluang eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan untuk memanfaatkan kelemahan untuk peluang memanfaatkan peluang THREATS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT Tentukan faktor-faktor Ciptakan staregi yang Ciptakan strategi yang ancaman eksternal menggunakan kekuatan menimalkan kelemahan untuk mengatasi untuk mengatasi ancaman ancaman. Sumber : Kinner dan Tylor (1983), diacu dalam Rangkuti (2001)
36
•
Srategi SO, stratedi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran para pelaku bisnis, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
•
STRATEGI ST, staregi ini adalah dibuat dalam menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
•
Strategi WO, strategi ini ditetapkan berdasarkan pemenfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
•
Strategi WT, strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat difensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
37
V. Gambaran Umum Kabupaten Kepulauan Seribu 5.1. Demografi Kepulauan Seribu 5.1.1. Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu Kabupaten administrasi kepulauan seribu terdiri dari gugusan pulau-pulau yang belum dihuni dan yang telah dihuni. Wilayah kepulauan seribu terdiri dari 110 pulaupulau besar dan kecil dengan luas daratan ± 869,71 Ha, dan secara administrasi kepulauan seribu terbagi menjadi 2 Kecamatan dan 6 kelurahan yang terdiri, Kecamatan Kepulauan seribu Utara terdiri dari 79 pulau dan 3 kelurahan yaitu Kelurahan, Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, dan Kelurahan Pulau Panggang. Sedangkan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan terdiri dari 31 pulau dan 3 kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Tidung, Pulau Pari, dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Laju pertumbuhan penduduk di wilayah ini sebesar 0.6% tergolong relatif kecil. Sedangkan kepadatan penduduk pada tahun 2002 sebesar 22 jiwa/Ha dan pada tahun 2003 kepadatan penduduk masih tercatat sebesar 22 jiwa/Ha. Berdasarkan klasifikasi kepadatan, jumlah penduduk diatas 300 jiwa/ha termasuk sangat padat; 100-300 jiwa/ha padat dan kurang dari 100 jiwa/ha kurang padat. Pulau yang kepadatan penduduknya tertinggi adalah P. Panggang sekitar 367 jiwa/ha, disusul P. Kelapa 345 org/ha. Sedangkan pulau yang kepadatan penduduknya terendah adalah P. Payung Besar dan P. Pari. Laju pertumbuhan penduduk dan kepadatan dapat dilihat dalam Tabel 5.1. sebagai berikut.
Tabel 5.1. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Administrasi Kepulauan Seribu 2002-2003 No . 1
Kecamatan /Kelurahan/Pulau
Laju Petumbuhan Penduduk
Penduduk
Kabupaten
Kepadatan Penduduk 2000 2003 25 25 37 37
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 0.006 a. Kelurahan Pulau Tidung 0.006 • Pulau Tidung Besar • Pulau Payung b. Kelurahan Pulau Pari 0.006 21 • Pulau Pari • Pulau Lancar Besar c. Kelurahan Pulau Untung Jawa 0.008 16 • Pulau Untung Jawa 2. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 0.006 20 a. Kelurahan Pulau Panggang 0.002 73 • Pulau Panggang • Pulau Pramuka b. Kelurahan Pulau Kelapa 0.008 19 • Pulau Kelapa • Pulau Kelapa Dua c. Kelurahan Pulau Harapan 0.008 8 • Pulau Harapan • Pulau Sibira Kab. Administrasi Kab. Kepulauan 0.006 22 Seribu Sumber : Data Saku 2005 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
22
16 20 73
20
8
22
Perkembangan jumlah penduduk Kelurahan Pulau Tidung dengan luas 106.90 Ha terlihat positif sejak tahun 2002 sampai tahun 2003 dari ratio jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pada tahun 2002 di Kelurahan P. Tidung terdapat 3.952 jiwa dan pata tahun 2003 meningkat menjadi 4,001 jiwa. Begitu juga dengan Kelurahan Pulau Pari pada tahun 2002 tercatat 2,026 jiwa pada tahun 2003 meningkat menjadi 2,049 jiwa. Untuk kelurahan Pulau Untung Jawa juga terjadi peningkatan laju pertumbuhan penduduk
39
telihat pada tahun 2002 jumlah penduduk tercatat sebanyak 1,626 jiwa menjadi 1,651 jiwa, walau pun peningkatan penduduk tidak terlalu pesat kondisinya. Untuk Kecamatan Kepulauan Seribu Utara laju pertumbuhan penduduk sama dengan di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan mengalami kenaikan dimasing masing Kelurahan seperti di kelurahan Pulau panggang terlihat pada tahun 2002 sebanyak 4,546 jiwa meningkat di tahun 2003 menjadi 4,566 jiwa. Kelurahan Pulau Kelapa pada tahun 2002 tercatat 4,983 jiwa dan meningkat pada tahun 2003 menjadi 5,062 jiwa. Juga pada Kelurahan Pulau Harapan dari 1,894 jiwa, tahun 2002 meningkat menjadi 1,923 jiwa di tahun 2003. Dari pertumbuhan penduduk di kedua kecamatan tersebut Kelurahan Pulau Kelapa pertumbuhan penduduk lebih tinggi dibangdingkan dengan kelurahan lainnya. Sedangkan pertumbuhan yang masih tergolong kecil terdapat di kelurahan Pulau Panggang, secara jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 5.2. Tabel 5.2.
No
1
2.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Kecamatan /Kelurahan/Pulau
Luas Wilayah (ha)
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 106.90 a. Kelurahan Pulau Tidung • Pulau Tidung Besar • Pulau Payung 94.57 b. Kelurahan Pulau Pari • Pulau Pari • Pulau Lancar Besar 102.85 c. Kelurahan Pulau Untung Jawa • Pulau Untung Jawa 304.32 Jumlah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 62.20 a. Kelurahan Pulau Panggang
Jumlah Penduduk Laki-laki Laki-laki dan dan Perempuan Perempuan (2002) (2003) 3,952
4.001
2.026
2.049
1.626
1.651
7.604
7.701
4.546
4.566
40
• Pulau Panggang • Pulau Pramuka 258.47 4.983 b. Kelurahan Pulau Kelapa • Pulau Kelapa • Pulau Kelapa Dua 244.72 1.894 c. Kelurahan Pulau Harapan • Pulau Harapan • Pulau Sibira Jumlah 565.39 11.423 Sumber : Data Saku 2005 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
5.062
1.926
11.554
Dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk maka meningkat juga jumlah Kepala Keluarga (KK) yang ada terlihat pada tahun 2002 jumlah KK yang ada tercatat sebanyak 4.950 KK menjadi 5.008 KK di tahun 2003. juga karena pengaruh migrasi. Dengan peningkatan jumlah KK ini terjadinya dikarena adanya pendatang baru baik dari Jakarta, Tangerang, Indramayu, Serang dan beberapa kawasan di pantai utara, baik untuk keperluan pekerjaan maupun untuk menetap. Perubahan KK secara jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 5.3. Tabel 5.3. No .
Jumlah Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga Dan Rukun Warga (RW) di Kepulauan Seribu Kecamatan/Kelurahan
Tahun 2002 KK RT RW
Tahun 2003 KK RT RW
1
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 1. Kelurahan Pulau Tidung 1.009 24 4 1.012 2. Kelurahan Pulau Pari 520 14 4 522 3. Kelurahan Pulau Untung Jawa 402 9 3 405 Jumlah 1.931 47 11 1.939 2 Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 1. Kelurahan Pulau Panggang 1.147 29 5 1.149 2. Kelurahan Pulau Kelapa 1.441 31 5 1.448 3. Kelurahan Pulau Harapan 431 12 3 472 Jumlah 3.019 72 13 3.069 Sumber : Data Saku 2005 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
24 14 9 47
4 4 3 11
29 31 12 72
5 5 3 13
41
5.1.2 Mata Pencaharian Masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebahagian besar nelayan, buruh dan pegawai negeri. Terlihat jumlah nelayan di Kecamatan Kepulauan seribu Selatan jumlah nelayan sebanyak 1.788 orang, sedangkan sebagai pegawai negeri sebanyak 226 orang dan selain nelayan dan pegawai sebanyak 106. Begitu juga jumlah mata pencaharian masyarakat yang ada di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebagian besar nelayan tercatat sebanyak 3.476 dan pegawai negeri sebanyak 271 orang dan diluar sebagai nelayan dan pegawai tercatat 272 orang. Penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat secara jelasnya dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4. No.
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Kecamatan/Kelurahan PNS
Tahun 2002 Nelayan
Lainlain
1
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 1. Kelurahan Pulau Tidung 146 1.104 77 2. Kelurahan Pulau Pari 26 412 1 3. Kelurahan Pulau Untung Jawa 54 272 28 Jumlah 226 1.788 106 2 Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 1. Kelurahan Pulau Panggang 197 1.730 60 2. Kelurahan Pulau Kelapa 59 1.271 57 3. Kelurahan Pulau Harapan 15 475 155 Jumlah 271 3.476 272 Sumber : Monografi Kelurahan, 2005 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dari Tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar masyarakat kepulauan seribu bermata pencaharian sebagai nelayan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dimana jumlah nelayan yang paling banyak di kelurahan Pulau Panggang dan kelurahan Pulau Kelapa. Begitu juga dengan jumlah pegawai yang terbanyak ada di kelurahan Pulau
42
panggang yaitu sebanyak 197 dibandingkan dengan Pulau Tidung, dan lainnya bekerja sebagai jasa transportasi, serta jasa pemandu wisata. 5.2.1.1 Kegiatan Perikanan Mata pencaharian utama penduduk Kepulauan Seribu adalah sektor perikanan, baik perikanan tangkap, perikanan budidaya, maupun pengolahan hasil perikanan. Seperti halnya kondisi yang terjadi di perikanan Laut Jawa pada umumnya, potensi sumberdaya perikanan di kawasan Kepulauan Seribu cenderung mengalami ancaman tangkap lebih (over-fishing).
Oleh karenanya kegiatan budidaya perikanan semakin
ditingkatkan pengembangannya untuk meningkatkan nilai tambah bagi nelayan. Budidaya perikanan yang dikembangkan diantaranya adalah ikan kerapu (Epinephelus spp), rumput laut (Eucheuma sp), kerang mutiara (Pinctada sp), ikan baronang (Siganus sp), teripang (Holothuria sp dan Stichopodidae), dan berbagai jenis ikan demersal lainnya. Sedang pengolahan hasil perikanan antara lain pengolahan rumput, pengasinan ikan, dodol, dan manisan rumput laut, kerupuk ikan dan pengolahan teripang. Selain itu berkembang pula industri pembuatan kapal kayu tradisional (kapal penangkapan ikan maupun kapal angkutan) dan pembuatan keripik sukun (pengolahan hasil tanaman kebun). A. Perikanan Tangkap Kegiatan
penangkapan yang dilakukan nelayan umumnya penangkapan ikan
karang (ikan demersal) untuk konsumsi dan ikan hias. Lokasi penangkapan terletak di perairan Kepulauan Seribu hingga laut lepas yaitu di perairan Laut Jawa sekitar Pulau Bawean, perairan Kalimantan, perairan Pulau Natuna dan perairan Pulau Bangka Belitung.
43
Alat yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan yaitu jaring muro-ami, bubu, jaring insang, jaring kongsi, bubu, dan jaring cebur. Sedangkan pengeboman masih digunakan di beberapa tempat, sehingga mengakibatkan rusaknya hamparan terumbu karang yang merupakan habitat ikan hias dan biota laut lainnya. Jaring muro-ami (drive-in net) yang bentuknya seperti "trawl" dengan sepasang sayap panjang dan dilengkapi dengan kantong, dioperasikan di sekitar terumbu karang dengan cara menempatkan jaring tersebut pada suatu lokasi yang tepat kemudian beberapa orang nelayan perenang dan penyelam melakukan proses penggiringan ikan menuju ke arah jaring. Jaring insang, bubu dan pancing juga digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang hidup di sekitar terumbu karang baik ikan konsumsi seperti ekor kuning dan kerapu maupun ikan hias seperti ikan kepe-kepe (Chaetodon sp.), kakatua (Scarus sp.), dan betok hitam (Pomacentrus brachianis).
Selain alat tangkap tersebut, untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis kecil seperti tembang dan teri, digunakan jenis alat tangkap seperti bagan tancap (bamboo-flatform liftnet) dan payang (boat-seine). Jaring muro-ami banyak ditemui di Kelurahan Pulau Tidung, jaring insang, bubu dan pancing banyak ditemui di Kelurahan Pulau Panggang, payang banyak ditemui di Pulau Kelapa, sedangkan bagan tancap banyak ditemui di Kelurahan Pulau Pari. Dari hasil pengamatan lapang di sekitar perairan Kelurahan Pulau Untung Jawa, alat tangkap bubu banyak digunakan oleh nelayan setempat.
Namun di dalam buku Laporan
Monografi Kelurahan Pulau Untung Jawa, data penggunaan alat tangkap bubu belum tercatat.
44
Penangkapan ikan dengan alat bagan tancap banyak ditemui di sekitar perairan Pulau Lancang dan Gugusan Pulau Pari yang menyebar sepanjang perairan pantai dangkal. Berdasarkan pengamatan hasil lapang banyak ditemui bangunan bagan yang tidak digunakan lagi dan dibiarkan begitu saja di perairan. Keadaan ini jika terus berlangsung akan menimbulkan permasalahan tersendiri khususnya dapat mengganggu alur pelayaran pantai, hambatan bagi pengoperasian alat tangkap jenis jaring dan merusak estetika keindahan perairan pantai. Jumlah dan jenis alat tangkap di tiap Kelurahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 5.5. Selain kegiatan penangkapan ikan demersal, penangkapan ikan pelagis kecil seperti tembang (Sardinella fimbriata), teri (Stelophorus sp.) dan selar (Selar crumenopthalmus) yang dilakukan dengan menggunakan bagan rakit (floated bambooflattform lift net) atau bagan perahu (boat lift net), payang (boat seine) dan jaring insang hanyut (drift gill net). Tabel 5.5.
Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di tiap Kelurahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jenis Alat Tangkap
Kelurahan
Muroam i
Jaring Insang
Payang
Bagan
Pulau Panggang 121 22 Pulau Harapan 5 42 Pulau Kelapa 4 25 120 12 Pulau Tidung 19 10 Pulau Pari 27 28 71 Pulau Untung Jawa NA NA NA 131* Sumber: Monografi Kelurahan di Kepulauan Seribu (2005). Keterangan : NA = data tidak tersedia *) Termasuk bagan ikan dan kerang.
Bubu
Pancing
200 81 17 30 28 NA
532 111 59 37 55 NA
Perahu/kapal penangkapan yang digunakan umumnya jenis perahu motor dengan tenaga penggerak mesin dalam (inboard engine). Sebagian besar nelayan menggunakan
45
kapal motor berukuran kurang dari 15 GT. Walaupun perahu layar dan dayung masih dijumpai dan digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan, dengan jumlah yang relatif sedikit. Kapal motor banyak dijumpai di Kelurahan Pulau Kelapa, perahu motor banyak dijumpai di Kelurahan Pulau Panggang, perahu layar banyak dijumpai di Kelurahan Pulau Harapan, sedangkan perahu dayung banyak dijumpai di Kelurahan Pulau Tidung. Jumlah Perahu/Kapal Penangkapan Ikan di Kelurahan Kabupaten
Administrasi
Kepulauan Seribu, dapat dilihat pada Tabel 5.6. Kegiatan perikanan di Kepulauan Seribu banyak yang dikelola oleh pengusaha dari Jakarta. Di Kelurahan Pulau Harapan kegiatan penangkapan ikan dikelola oleh pengusaha lokal maupun pengusaha dari Jakarta. Tabel 5.6.
Jumlah Perahu/Kapal Penangkapan Ikan di Kelurahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jenis Perahu/Kapal Penangkapan Kelurahan Kapal Perahu Perahu Speedboat Perahu Motor Motor Layar Dayung Pulau Panggang 84 329 17 Pulau Harapan 11 75 60 Pulau Kelapa 106 107 40 1 Pulau Tidung 167 2 25 Pulau Pari 5 53 42 3 15 Pulau Untung Jawa 94 Persentase (%) 24,27 59,14 11,65 1,69 3,23 Sumber: Monografi Kelurahan di Kepulauan Seribu (2005). Selain usaha penangkapan ikan juga dijumpai industri pembuatan perahu/kapal penangkap ikan dan pembuatan alat tangkap di Pulau Panggang. Pengamatan lapang menunjukkan bahwa pengrajin kapal ikan juga dijumpai di Kelurahan Pulau Tidung. Industri-industri tersebut tergolong ke dalam industri sedang, sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 5.7.
46
Tabel 5.7. Industri Sedang yang Terdapat di Kelurahan Pulau Harapan No .
Jenis Industri
Jumlah
Tenaga Kerja
Produksi per Tahun
1.
Pembuatan kapal
4 pengrajin
12 orang
4 unit
2.
Pembuatan bubu
3 pengusaha
15-30 orang
1270-1800 unit
3.
Penangkapan ikan dengan Muro-ami
4 pengusaha
NA
70-120 ton ikan
4.
Penangkapan ikan dengan Payang
1 pengusaha
NA
51 ton ikan
Penangkapan ikan dengan 1 NA 37 ton ikan Bubu pengusaha Sumber: Monografi Ekonomi Kelurahan, Kantor Pembangunan Masyarakat Desa, Propinsi DKI Jakarta (2004) Keterangan: NA = data tidak tersedia. 5.
Menurut Raharjo (1990), unit usaha yang menggunakan perahu tanpa motor hanya akan menghasilkan produksi sekitar 35 % dari total produksi yang dihasilkan dengan menggunakan perahu bermotor. Penggunaan perahu bermotor ataupun kapal motor memungkinkan nelayan untuk melakukan penangkapan ikan pada wilayah jelajah yang lebih luas dengan waktu perjalanan yang juga lebih panjang. Lokasi penangkapan ikan nelayan Kepulauan Seribu meliputi perairan Kepulauan Seribu hingga Bangka – Belitung. Nelayan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, terbagi dalam dua status yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh (pekerja). Berdasarkan catatan dinas perikanan DKI Jakarta, 2001 nelayan Kepulauan Seribu terdiri dari nelayan asli dan nelayan pendatang. Tahun 2001 tercatat sebanyak 4.171 orang nelayan di kawasan Kepulauan Seribu seperti Tabel 5.8.
47
Tabel 5.8. Kondisi Nelayan di Kepulauan Seribu Tahun 2002 Status Nelayan
Nelayan Penetap
Nelayan Pendatang
Pemilik 864 35 Pekerja 2.342 930 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan Jakarta Utara, 2004
Jumlah 899 3.272
Berdasarkan Tabel 5.8. terlihat bahwa 21,55% berstatus nelayan pemilik dan 78,44% sebagai nelayan pekerja. Sedangkan nelayan penetap sebanyak 96,10% dan nelayan pendatang 1,94% yang umumnya datang dari daerah pesisir utara Jawa (Subang, Indramayu, Karimun Jawa serta dari Sulawesi) untuk keperluan bahan bakar dan perlengkapan kebutuhan penangkapan. Armada penangkapan ikan tradisional dengan skala kecil seperti bubu, pancing dan bagan umumnya milik nelayan setempat. Sedangkan armada penangkapan ikan yang lebih maju dengan skala usaha sedang umumnya dimiliki oleh pengusaha dari Jakarta dan Bangka Belitung. Armada-armada penangkapan ini menggunakan alat tangkap payang dan muro-ami yang mempekerjakan penduduk setempat khususnya penduduk di Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Tidung sebagai anak buah kapal (ABK). Penghasilan yang diperoleh ABK didapat melalui sistem bagi hasil dengan pemilik kapal muro-ami sebagaimana yang dijumpai di Kelurahan Pulau Panggang dan Kelurahan Pulau Harapan.
Sistem bagi hasil yang
diterapkan berbeda dengan sistem bagi hasil pada umumnya, dimana nelayan menerima pendapatan berdasarkan hasil tangkapan yang dijual langsung ke pemilik dengan harga yang ditetapkan oleh pemilik armada penangkapan tersebut tanpa adanya pemotongan biaya operasi penangkapan. Umumnya harga tersebut dua sampai tiga kali lebih rendah dari harga di pasaran.
48
Di Kelurahan Pulau Tidung dilakukan sistem gaji dan pemberian jaminan hidup berupa beras kepada keluarga yang ditinggalkan. Nelayan penyelam memperoleh satu setengah bagian yang lebih besar dari nelayan yang bekerja di atas dek.
Nelayan
penyelam menerima sebesar Rp. 1. 250.000 per`empat bulan dan gaji nelayan yang bekerja di atas dek sebesar Rp. 750.000 per empat bulan operasi di laut. Sistem pembagian hasil kegiatan perikanan terutama penangkapan berbeda dari satu pulau ke pulau lainya. Sistem pembayaran hasil produksi beragam mulai dari pembayaran kontan, cicilan, bayar kemudian maupun bayar sebelum kegiatan penangkapan dilakukan. Namun umumnya pembayaran hasil produksi dilakukan secara kontan.
Sistem
pembayaran hasil penangkapan di empat kecamatan Kepulauan Seribu (Tahun 1999), dapat dilihat pada Tabel 5.9. Sistem pembayaran pada beberapa kasus dilakukan dengan sistem kontrak. Nelayan Muroami di Pulau Tidung menerima sistem kontrak bulanan sebesar (Rp 200.000/bl), selama 4 bulan penangkapan di Perairan Bangka-Belitung.
Selain itu
mereka masih mendapatkan bonus dari hasil pengangkutan ikan yaitu sebanyak Rp 500/bakul. Sedangkan nelayan harian umumnya memberlakukan sistem pembagian hasil tangkapan. Tabel 5.9. Sistem Pembayaran Hasil Penangkapan Ikan Kelurahan
Bayar Kontan
Cicilan
Bayar Kemudian
Bayar di Awal
Kel P Panggang
95.21
-
4.11
0.68
Kel P Tidung
95.24
-
0.95
3.81
Kel P Kelapa
94.49
1.57
0.74
0.58
Kel P Untung Jawa
91.18
0.74
-
8.08
Sumber: BPS, DKI Jakarta, 2005 49
Produksi tangkapan ikan oleh nelayan dipengaruhi oleh musim, jenis alat tangkap dan sarana transportasi yang digunakan. Sebagian besar produksi merupakan jenis ikan pelagis kecil dengan produksi tertinggi adalah ikan kembung yaitu sebesar 110.000 kg/tahun. Jenis ikan dasar yang tercatat adalah ikan kakap dengan produksi sebesar 18.552 kg/tahun. Berbagai jenis ikan hasil tangkapan nelayan Kepulauan Seribu antara lain ikan ekor kuning, selar, kakap, kembung, tongkol, tenggiri, baronang, dan sebagainya. Jenis ikan ekor kuning yang paling banyak ditangkap, yaitu sebesar (26,6%), dan jenis ikan selar yang ditangkap sebesar 15,4 %. Persentase hasil tangkapan ikan lain, seperti ikan baronang, tongkol, tenggiri,
dan ikan kembung mencapai 3 hingga 4 % dari total
tangkapan nelayan Kepulauan Seribu. Pemasaran hasil tangkapan nelayan Kepulauan Seribu, selama ini diperdagangkan di TPI Muara Angke. Selain itu juga banyak di antara penangkap ikan yang menjual hasil tangkapannya langsung ke restoran, rumah makan, pusat jajan ikan bakar serta ke hotel dan penginapan di Jakarta. Untuk mendukung berkembangnya usaha kegiatan perikanan tangkap, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merencanakan membangun tempat pendaratan ikan di Kepulauan Seribu. B. Perikanan Budidaya Kegiatan budidaya perikanan di perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu saat ini adalah budidaya ikan kerapu (Epinephelus spp), rumput laut (Eucheuma sp), kerang mutiara (Pinctada sp), ikan baronang (Siganus sp), teripang (Holothuria sp dan Stichopodidae), dan berbagai jenis ikan demersal lainnya.
50
Kegiatan budidaya kerapu di perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri dari kegiatan pembibitan (hatchery) dan pembesaran, yang dikembangkan dengan usaha skala kecil hingga besar. Lokasi budidaya ikan kerapu dan ikan baronang di perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sekitar Pulau Lancang, Pulau Kongsi, Pulau Tidung, Pulau Panggang, dan Pulau Pramuka.
Pengembangan
hatchery dan pembesaran kerapu dengan investasi besar saat ini dilakukan di gosong Pramuka, Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Usaha pembenihan dan pembesaran ikan Kakap Putih, Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Napoleon dikembangkan oleh PT. Vega Marikultur di Pulau Jukung. Sedangkan pembenihan jenis ikan bandeng dikembangkan oleh perusahaan milik Anton Saksono di Pulau Melintang. C. Pengolahan Hasil Perikanan Untuk memberikan nilai tambah pada produk hasil perikanan salah satunya dilakukan pengolahan dengan tujuan menghasilkan produk hasil perikanan yang lebih berkualitas.
Dalam rangka meningkatkan pengolahan hasil perikanan di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu pada skala rumah tangga, saat ini dilakukan dengan sistem pengasinan dan pengolahan menjadi kerupuk ikan.
Kegiatan pengolahan ini
dijumpai di beberapa kelurahan sebagai berikut (Tabel 5.10.). Tabel 5.10. Jumlah Pengolahan Ikan dan Rumput Laut di Kepulauan Seribu Pengolahan ikan Kelurahan
Pengasinan
Budidaya laut
Kerupuk ikan
Manisan
Dodo l
Jual Kering
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kel. P. Panggang
3
-
3
1
15
Kel. P. Harapan
16
7
-
-
-
Kel. P. Kelapa
7
28
-
-
-
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan
51
Kel. P. Untung Jawa
4
2
-
-
-
Kel. P. Tidung
-
8
-
5
56
Kel. P. Pari
2
-
3
1
49
Sumber: Monografi Kepulauan Seribu, 2005 Produksi hasil pengolahan ikan menjadi kerupuk ikan, banyak ditemukan di kelurahan P. Kelapa yaitu 28 unit usaha rumah tangga (62% dari jumlah unit usaha rumah tangga yang memproduksi kerupuk ikan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Sedangkan produksi ikan asin banyak ditemukan di Kelurahan Pulau Harapan yaitu 16 unit usaha rumah tangga (50% dari jumlah unit usaha rumah tangga yang memproduksi ikan asin di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Pengolahan hasil produksi rumput laut menjadi produk manisan dan dodol tidak menjadi kegiatan yang dominan, namun masyarakat lebih banyak menjual rumput laut kering. Produksi hasil pengolahan ikan dan rumput laut yang dikembangkan saat ini baru mencukupi kebutuhan masyarakat lokal, kecuali rumput laut kering biasanya dijual ke Jakarta dan Tangerang. D. Peningkatan Penyediaan Air Tawar Masalah air tawar merupakan masalah sangat kritis di Kep. Seribu. Saat ini penyediaan air tawar didatangkan dari P. Jawa atau Jakarta dan hanya untuk memenuhi keperluan minum dan memasak rumah. Kalau musim hujan, sebagian kebutuhan air tawar diperoleh dari penampungan air hujan.
Beberapa pulau pemukiman telah
mempunyai instalasi pengolahan air tawar, namun kapasitasnya belum mencukupi. Untuk keperluan lain masyarakat menggunakan air laut atau air sumur yang payau. Untuk menunjang kebutuhan air tawar lain seperti untuk pariwisata atau industri dan pengembangan perikanan budidaya perlu dilakukan peningkatan penyediaan air tawar.
52
Beberapa pulau wisata umum juga menggunakan air sumur yang payau. Hal ini tentunya berkontribusi pada daya saing wisata Kep. Seribu.
5.2. Lokasi dan Pemukiman Kegiatan Sea Farming 5.2.1. Sistem, Lokasi dan Luas Kawasan Berdasarkan kepada kondisi geofisik dan oseanografi di perairan Pulau Semak Daun dapat diterapkan sistem budidaya pen culture (sistem kandang), cage culture (sistem karamba jaring apung, KJA), longline dan sea ranching. Cage culture diterapkan di kawasan perairan laut dangkal ini yang memiliki kedalaman 5-17 m pada saat surut dan memiliki arus laut dengan kecepatan 0,15-0,35 m/detik dengan substrat dasar berupa pasir atau batu. Berdasarkan kriteria tersebut, lokasi yang cocok untuk cage culture dan adalah perairan yang dekat dengan pintu masuk air ke dalam kawasan karang dalam Pulau Semak Daun. Dari sedikitnya 4 pintu masuk dan/atau keluar air pada saat pasang dan surut, yakni Goba Tipis di utara kawasan, Nawi dan Blencong di selatan, dan Goba Sempit di sebelah barat daya, pintu Goba Tipis merupakan lokasi yang paling cocok (Gambar 5.1). Find Fish Pen Culture Luas (3,40 Ha)
Find Fish Pen Culture Luas (3,86Ha)
Ekinodermata dan Moluska Luas (3,22 Ha)
Ekinodermata dan Moluska Luas (2,05 Ha)
Find Fish Cage Culture Luas (0,70 Ha)
Find Fish Cage Culture Luas (3,45 Ha) P. Semak Daun Find Fish Cage Culture Luas (4,07 Ha)
Gambar 5.1.
Sistem, Lokasi dan Luas Kawasan yang Cocok untuk Budidaya Laut (Marikultur) di Perairan Laut Pulau Semak Daun
53
Lokasi cage culture di lereng laguna, bukan pada bagian perairan yang paling dalam (di tengah laguna). Hal ini didasarkan pada hasil kajian substrat dasar laut, bahwa dasar laguna mengandung lumpur dengan ketebalan yang relatif tinggi. Pada lereng laguna biasanya memiliki tutupan karang hidup yang lebih baik dibandingkan dengan reef flat apalagi mud flat. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kualitas air dan ekosistem di lereng laguna relatif lebih baik, termasuk untuk biota kultur. Selain itu, lokasi yang cocok untuk budidaya laut dengan menggunakan sistem cage culture ini adalah perairan yang terletak di sebelah tenggara Pulau Semak Daun atau di sebelah luar pintu Goba Sempit. Lokasi terakhir ini, meskipun berada di luar perairan karang dalam, relatif terlindung oleh terumbu karang, baik pada musim barat maupun pada musim timur. Daya dukung perairan tersebut relatif tinggi mengingat perairan tersebut memiliki kedalaman sekitar 20-30 m, lebih dalam dari perairan yang terletak di sebelah dalam perairan karang dalam Pulau Semak Daun.
Buangan dari kegiatan
budidaya bisa dibuang jauh ke dasar laut, sedangkan suplai oksigen bisa diperoleh dari arus yang cukup memadai di sekitar kawasan ini. Arus laut di kawasan tersebut relatif kuat (sekitar 0,20-0,35 m/detik). Hal ini bisa dilihat dari kondisi terumbu karang di kawasan tersebut yang umumnya berbentuk masif. Luas kawasan yang potensial untuk pengembangan cage culture di perairan Pulau Semak Daun ini dipekirakan mencapai 1,81 ha, yakni seluas 0,70 di pintu Goba Tipis dan seluas 1,11 ha terletak di sebelah barat laut perairan karang dalam Pulau Semak Daun. Luas kawasan potensial untuk cage culture yang terletak di luar perairan karang dalam diperkirakan mencapai 7,52 ha
54
5.3. Komoditas Prioritas Ikan kerapu digolongkan dalam komoditas terpenting dan telah banyak informasi berbagai aspek dalam pemilihannya sebagai komoditas budidaya. Dari jenis-jenis ikan kerapu, ikan kerapu macan dan ikan kerapu bebek memiliki kelebihan dibandingkan ikan kerapu jenis lain. Ikan ini bernilai ekonomis tinggi karena mempunyai daging yang lezat, bergizi tinggi dan mengandung asam lemak tak jenuh. Dengan semakin meningkatnya permintaan pasar domestik atau ekspor terhadap ikan kerapu macan, usaha ikan kerapu macan harus dilakukan. Keberhasilan pengembangan budidaya ikan sangat ditentukan oleh pasok benih yang meliputi faktor kualitas dan kuantitas. Permasalahan utama dalam pengembangan budidaya ikan kerapu macan dan ikan kerapu bebek adalah terbetasnya benih dalam kualitas maupun kuantitas, meskipun diantara ikan kerapu lainnya, pembenihan kedua jenis ikan kerapu tersebut relatif lebih mantap. 5.4. Potensi Kelembagaan Berbicara kelembagaan berarti mengenai hubungan antara orang/kelompok dengan orang/kelompok lain terhadap sesuatu. Dengan demikian potensi kelembagaan tentunya menyangkut hal-hal sebagai berikut : (1) Potensi Sumber Daya Manusia (SDM); (2) Institusi yang sudah ada, khususnya yang terkait dengan pengaturan terhadap sumber daya perikanan tangkap dan kelautan; dan (3) Aturan main yang ditaati dan dipatuhi masyarakat. 5.4.1. Potensi Sumber Daya Manusia Kelurahan Pulau Panggang terdiri atas dua pulau pemukiman, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Berdasarkan data dari Kelurahan Pulau Panggang Bulan Agustus 2007, di Pulau Panggang jumlah penduduk adalah sebesar 3.842 orang.
55
Sedangkan di Pulau Pramuka jumlah Penduduk sebesar 1.589 orang. Dengan demikian jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2007 sebesar 5.443 orang. Jumlah ini terdiri dari laki-laki sebanyak 2.788 orang dan perempuan sebanyak 2.655 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan formal, maka komposisi penduduk didominasi oleh penduduk tamat SD (688 orang), diikuti tamat SMP (310) orang dan tamat SMA (285 orang). Selengkapnya data penduduk berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 5.11. Tabel 5.11. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal No
Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 1 Belum Sekolah 2 Tidak Tamat SD 20 22 3 Tamat SD 370 318 4 Tamat SMP 180 130 5 Tamat SMA 140 145 6 Tamat Akademi 66 37 Jumlah 776 652 Sumber: Kelurahan Pulau Panggang, Agustus 2007
Jumlah 42 688 310 285 103 1.428
Bila dilihat dari komposisi jenis pekerjaannya, maka kondisi penduduk di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2007 didominasi oleh nelayan (77,40%). Selengkapnya komposisi penduduk berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 5-12.
56
Tabel 5-12. Komposisi Pekerjaan Penduduk (Jiwa) di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Pekerjaan Jumlah KK Nelayan 1.567 PNS 192 TNI 2 POLRI 7 Pensiunan/Veteran 9 Pedagang 102 Jasa/Pertukangan 22 Karyawan Swasta 21 Lain-lain 58 Jumlah 2.034 Sumber: Kelurahan Pulau Panggang, Agustus 2007
Persentase 77,04 9,44 0,10 0,34 0,44 5,01 1,08 1,03 2,85 100,00
Dengan demikian potensi SDM dalam pengelolaan sea farming di Kelurahan Pulau Panggang adalah sebesar 1.567 jiwa yang merupakan penduduk yang bekerja di sektor perikanan (nelayan).
Data ini menjadi penting untuk perumusan model
pengelolaan sea farming di Kelurahan Pulau Panggang, baik dalam penentuan tahapan pelaksanaan, bentuk kelembagaan, sampai dengan aturan main.
5.4.2.
Masyarakat Nelayan dan Pembudidaya Ikan Aktivitas nelayan di P. Panggang terdiri dari nelayan pancing, nelayan bubu,
pengusaha nelayan jaring muroami, pengusaha nelayan jaring tegur. Sementara itu, pembudidaya ikan di Pulau Panggang rata-rata sudah termasuk full employment khusus untuk budidaya rumput laut dan kerapu. Dalam hal memanfaatkan peluang yang ada, dukungan keterampilan dan pengalaman sangat menentukan. Saat ini kegiatan perikanan budi daya telah dilakukan oleh masyarakat Kel. P. Panggang, namun keberhasilan budi daya rumput laut yang pernah dinikmati, saat ini telah surut, karena masalah penyakit ice-ice yang belum diketahui cara mengatasinya.
Demikian pula pembudidayaan kerapu yang telah 57
dicobakan atas bantuan pemerintah selama empat tahun terakhir, sebagian besar gagal. Kegagalan yang terjadi diidentifikasi karena aspek teknis maupun penyebab aspek non teknis. Beberapa aspek teknis yang menjadi penyebab kegagalan pembudidayaan kerapu adalah: kualitas benih yang rendah, kualitas air, dan teknik budi daya yang belum tepat. Sedang aspek non teknis diantaranya adalah : institusi kelompok dalam pengelolaan yang gagal, penguasaan teknologi
budi daya yang belum dikuasai pembudidaya ikan
sepenuhnya, dan lain-lain. Kekurangan dari berbagai bantuan proyek selama ini adalah (1) Pendampingan; kurangnya pendamping dari pihak dinas terkait dalam implementasi proyek, sehingga kesulitan teknis di lapangan tidak dapat diantisipasi oleh nelayan; (2) Organisasi; dalam hal pengorganisasian nelayan belum mengenal budaya organisasi yang baik, sehingga masing-masing anggota saling menyalahkan jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan (perencanaan), hal ini berpengaruh besar pada keberhasilan proyek-proyek terdahulu; (3) Aturan main; antara pihak yang terlibat belum bisa dijalankan, karena kepentingan-kepentingan yang berbeda belum terkoordinasikan dengan baik. Untuk aturan main konservasi sudah ada inisiasi daerah perlindungan laut [DPL], sedangkan jaring tegur yang diinisiasikan nelayan ikan hias sudah berjalan lebih lama, seiring dengan penggantian alat tangkap dari penggunaan sianida dan potas ke jaring tegur. Berbagai proyek yang gagal lebih banyak disebabkan oleh aturan main yang tidak jelas atau tidak dijalankan oleh si pembuat. Pengalaman berkelompok selama ini tidak begitu mengesankan bagi orang pulau, mungkin disebabkan oleh homgenitas masyarakat yang tinggi, sehingga kohesifitas sosial yang berkaitan dengan evaluasi dan saling tegur
58
menjadi rendah, sebab utamanya mereka enggan dan sungkan karena sebagian masyarakat Pulau Panggang adalah bersaudara (memiliki hubungan kekerabatan). Sebab lain adalah pihak pembina atau pemerintah kurang optimal menyiapkan kelembagaan terlebih dahulu sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakat. Pengertian tentang organisasi dan aturan main adalah pemahaman mereka (dinas) bukan pemahaman orang pulau. Sebagai contoh, pengertian tentang koperasi lebih banyak dipahami sebagai membangun organisasi (Badan Hukum) koperasi dibandingkan menanamkan aturan main (nilai-nilai) koperasi itu sendiri. Permasalahan lain terutama dalam kaitannya dengan budaya ‘memelihara’ (sebagai alternatif budaya tangkap) adalah (1) Kurangnya kesabaran pembudidaya dalam ‘memelihara’ baik pemeliharaan ikan, maupun pemeliharaan fasilitas (karamba) (2) Tidak ada insentif selama masa produksi dan panenan, sehingga pembudidaya masih enggan mengembangkan budaya tangkap, (3) Ketidakpercayaan dikalangan mereka sendiri jika ladang/karamba terlalu banyak yang mengurus, mereka sampai saat ini memiliki keyakinan bahwa kelompok yang paling baik adalah dua. Dua orang atau banyak namun memiliki tanggungjawab sendiri-sendiri di dalam mengelola karamba, baik dalam hal pemberian pakan, pemelihraan dan lain-lainl. Dampak yang terlihat dalam pengelolaan karamba/bagan selama ini adalah dampak lingkungan dimana banyak bangkai karamba yang dibiarkan, sehingga mengganggu arus lalu lintas kapal dan mengganggu pemandangan bagi turis yang ingin menikmati pemandangan.
59
5.5. Karakteristik Nelayan Kelurahan Pulau Panggang Nelayan di P. Panggang bisa dibedakan menurut jenis ikan yang ditangkapnya, peralatan yang digunakan, dan menurut status nelayan. Menurut jenis ikan, terdapat beberapa jenis nelayan yaitu : •
Nelayan ikan hias,
•
Nelayan udang,
•
Nelayan cumi,
•
Nelayan ikan tongkol,
•
Nelayan kerapu
•
Nelayan musiman yang menangkap apa adanya tergantung musim.
Dari jenis alat tangkap, bisa dikelompokan menjadi : •
Nelayan pancing,
•
Nelayan bubu,
•
Nelayan jaring,
•
Nelayan muroami. dan
•
Nelayan jaring tegur Selain itu nelayan juga bisa dikelompokkan berdasarkan status nelayan yaitu :
•
Nelayan mandiri,
•
Nelayan yang bekerja untuk pemilik kapal yang biasanya masih milik keluarga,
•
Nelayan pekerja yang digaji,
•
Nelayan bagi hasil, serta
•
Nelayan yang melaut sebagai upaya mendapatkan tambahan penghasilan.
60
Nelayan umumnya adalah lulusan sekolah dasar (14,29%).
Semakin tinggi
pendidikan, persentase sebagai nelayan semakin berkurang yaitu 4.76% lulusan SLTP, 4.76% lulusan SMU dan sisanya adalah tidak lulus SD 76.19%. Berdasarkan alat tangkap yang digunakan, terlihat bahwa nelayan yang menggunakan alat tangkap perangkap dalam hal ini umumnya bubu menempati urutan pertama terbesar, yaitu sekitar 43 persen sedangkan yang paling sedikit adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap pengumpul (bagan) sebagaimana dilihat pada Tabel 5-13 berikut ini. Tabel 5-13. Persentase Nelayan Menurut Penggunaan Alat Tangkap Jaring 4.76 PULAU PANGGANG Sumber : PKSPL-IPB, 2006
Pancing 9.52‚
Perangkap (bubu) 14.29‚
Pengumpul (bagan) 4.76
Muroami 1.2
Umumnya (62%) nelayan di Pulau Panggang melakukan perjalanan/penangkapan dalam satu hari perjalanan (satu trip dilakukan satu hari),ini terutama nelayan ikan hias. Hanya sekitar 10 persen yang melakukan penangkapan lebih dari satu minggu dalam satu tripnya. Berdasarkan klasisifikasi melaut, Nelayan P. Panggang dapat dibedakan atas: •
Melaut satu hari (pagi sampai sore) dan pada hari keduanya libur,
•
Melaut tiap hari melaut, tetapi hanya setengah hari.
•
Bila berencana melaut lebih dari satu hari maka yang mereka lakukan
umumnya adalah melaut enam hari. Mereka tidak melaut pada hari Jumat {namun ketentuan hari Jumat tidak melaut sudah mulai tidak diberlakukan lagi sejak akhir tahun 80’an) Bila dikaitkan dengan kemana para nelayan menjual hasil tangkapannya, sebagian besar nelayan (62%), menjual hasil tangkapnnya ke pengumpul yang biasa disebut
61
“Pelele” dengan menjual sebagian atau seluruh hasil tangkapannya. Sekitar 38 persen nelayan menjual 76% -100 % hasil tangkapannya ke Pelele, sekitar 10 % nelayan menjual 51%-75 % ke Pelele dan sekitar 14 % nelayan menjual sekitar 26-50 % hasil tangkapannya ke Pelele. Tidak ada nelayan yang hanya menjual 1%-25 % hasil tangkapannya ke Pelele. Selain ke Pelele, sekitar 38 persen nelayan P. Panggang menjual langsung sebagian atau seluruh hasil tangkapanya ke penduduk setempat untuk dikonsumsi. Namun hanya sekitar 5 persen nelayan yang menjual seluruh (76%-100%) hasil tangkapannya lansung ke konsumen untuk dikonsumsi. Secara jelasnya hasil tangkapan dan penjualan nelayan dapat dilihat pada Tabel 5-14. Tabel 5-14. Persentase Nelayan Menurut Tujuan Penjualan Hasil Tangkapan Tujuan Penjualan Tempat Pelelangan Ikan Nelayan lain di laut Pedagang Pengumpul (Pelele) Langsung ke resort Langsung ke wisatawan Langsung ke konsumen setempat Pemilik kapal/perahu Usaha pengolahan ikan Lainnya Total Sumber : PKSPL-IPB, 2004
Persentase hasil tangkapan 1-25 % 26-50 % 51-75 % 76-100 % 4.76 9.52 4.76 14.29
9.52
4.76 38.1
4.76 28.57
33.33
4.76 4.76
28.57
4.76
14.28
9.52 4.76 71.42
Total 14.28 0 9.52 61.91 0 4.76 38.09 4.76 9.52 4.76
Sedangkan alasan untuk menjual hasil tangkapan adalah memiliki langganan (pelele dan cukong) sebesar 19.44%, alasana lain dalam persentase yang sama adalah kerena harga relatif tinggi, mudah penjualannya. Sedangkan nelayan yang terikat kontrak dengan cukong atau pelele sebesar 16.67%.
62
Dilihat dari sisi penghasilan para nelayan berdasarkan alat tangkap maka terlihat bahwa nelayan jaring kecil dan nelayan muroami memiliki keuntungan rata-rata terbesar, sedangkan nelayan perangkap memiliki
keuntungan terkecil pertrip-nya (sehari).
Penghasilan rata-rata nelayan berdasarkan alat tangkap secara jelas diterangkan pada Tabel 5-15. Tabel 5-15. Penghasilan Rata-rata Nelayan Berdasarkan Alat Tangkap LAMA TRIP ALAT (hari) TANGKAP 1. Pancing 6. Muroami 1. Perangkap 6. Jaring Kecil 1. Bubu Sumber : PKSPL-IPB, 2004
NILAI TANGKAP 655,000.00 2,000,000.00 24,000.00 2,180,000.00 69,000.00
BIAYA 56,000.00 464,000.00 23,500.00 560,000.00 16,923.00
UNTUNG 599,000.00 1,536,000.00 500.00 1,620,000.00 52,077.00
63
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Keadaan Perekonomian di Kepulauan Seribu 6.1.1 Kondisi Umum Kegiatan Ekonomi di Kepulauan Seribu Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah nelayan, kemudian buruh dan pegawai negeri. Terlihat jumlah nelayan di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dimana jumlah nelayan sebanyak 1.788 orang, sedangkan sebagai pegawai negeri sebanyak 226 orang dan kegiatan lainnya sebanyak 106 orang. Begitu juga jumlah mata pencaharian masyarakat yang ada di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebagian besar nelayan tercatat sebanyak 3.476 dan pegawai negeri sebanyak 271 orang serta kegiatan lainnya sebanyak 272 orang. Penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat secara jelasnya dalam Tabel 6.1. Tabel 6.1. No.
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Kecamatan/Kelurahan PNS
Tahun 2002 Nelayan
Lainlain
1
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 1. Kelurahan Pulau Tidung 146 1.104 77 2. Kelurahan Pulau Pari 26 412 1 3. Kelurahan Pulau Untung Jawa 54 272 28 Jumlah 226 1.788 106 2 Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 1. Kelurahan Pulau Panggang 197 1.730 60 2. Kelurahan Pulau Kelapa 59 1.271 57 3. Kelurahan Pulau Harapan 15 475 155 Jumlah 271 3.476 272 Sumber : Monografi Kelurahan, 2005 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dari Tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar masyarakat kepulauan seribu bermata pencaharian sebagai nelayan
baik di Kecamatan di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara maupun di Kecematan Kepulauan Seribu Selatan. Kondisi ini sangat memungkinkan mengingat Kepulauan Seribu merupakan wilayah gugus pulau yang sangat banyak dan wilayah perairan yang luas. Banyaknya masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan sektor perikanan mengakibatkan meningkatnya kompetisi dan persaingan dalam kegiatan tersebut. Di sisi lain sumberdaya laut terutama ikan semangkin berkurang. Pengurangan jumlah sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu salah satunya disebabkan pola penangkapan yang tidak bertanggung jawab dan kondisi lingkungan yang rusak. Hal diatas harus di antisipasi agar tidak terjadi penurunan pendapatan nelayan yang berakibat pada kesejahteraan. Keadaan penduduk di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dilihat terjadi perbedaan yang sangat jauh antara beberapa pulau yang ada, baik dari perbandingan wilayah dengan jumlah penduduk. Pulau Panggang mempunyai luas wilayah 62.20 m3 dengan luas penduduk 4.566 dengan luas wilayah rata-rata 73.4 orang/m2, sedangkan bila dibandingkan dengan Pulau Harapan dimana luas wilayahnya 244.72 m2 dengan jumlah penduduk 1.926 orang sehingga wilayah rata-rata yang dibandingkan dengan jumlah penduduk sebesar 7,8 orang/m2. berdasarkan kondisi diatas dapt dilihit bahwa pemeratan jumlah penduduk dengan luas wilayah tidak merata di berbagai pulau. Perbandingan kedua pulau diatas sangat siknifikan dimana pulau panggang mencapai 73,4 orang/m2 sengangkan dipulau Harapan hanya mencapai 7,8 orang/m2 Perbandaingan jumlah penduduk antar pulau di Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Tabel 6.2
65
Tabel 6.2.
No
1
2.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Kecamatan /Kelurahan/Pulau
Luas Wilayah (ha)
Jumlah Penduduk Laki-laki Laki-laki dan dan Perempuan Perempuan (2003) (2002)
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan
106.90 a. Kelurahan Pulau Tidung • Pulau Tidung Besar • Pulau Payung 94.57 b. Kelurahan Pulau Pari • Pulau Pari • Pulau Lancar Besar 102.85 c. Kelurahan Pulau Untung Jawa • Pulau Untung Jawa 304.32 Jumlah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 62.20 a. Kelurahan Pulau Panggang • Pulau Panggang • Pulau Pramuka 258.47 b. Kelurahan Pulau Kelapa • Pulau Kelapa • Pulau Kelapa Dua 244.72 c. Kelurahan Pulau Harapan
3,952
4.001
2.026
2.049
1.626
1.651
7.604
7.701
4.546
4.566
4.983
5.062
1.894
1.926
• Pulau Harapan • Pulau Sibira Jumlah 565.39 11.423 Sumber : Data Saku 2005 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
11.554
6.1.2 Kegiatan Ekonomi Sebelum Sea Faming Kegiatan ekonomi nelayan di Kepulauan Seribu pada umumnya adalah nelayan tangkap dan budidaya. Kegiatan penagangkapan di Kepulauan Seribu diantaranya mencakup nelayan pacing, muroami, jaring insang, payang, bagan dan bubu. Dari keenam jenis alat tangkap yang ada, berikut disajikan rincian jumlah alat tangkap pada Tabel 6.3 66
Tabel 6.3.
Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di tiap Kelurahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Kelurahan
Muroami
Jenis Alat Tangkap Jaring Insang Payang Bagan
Pulau Panggang 121 22 Pulau Harapan 5 42 Pulau Kelapa 4 25 120 12 Pulau Tidung 19 10 Pulau Pari 27 28 71 Pulau Untung Jawa NA NA NA 131* Jumlah 28 225 170 214 Sumber: Monografi Kelurahan di Kepulauan Seribu (2005). Keterangan : NA = data tidak tersedia *) Termasuk bagan ikan dan kerang.
Bubu
Pancing
200 81 17 30 28 NA 356
532 111 59 37 55 NA 794
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel diatas maka dapat dilihat perbandingan jumlah pengguna alat tangkap dimana alat tangkap pancing merupakan alat tangkap yang paling dominan. Urutan berikutnya adalah alat tangkat bubu dengan jumlah 356 unit. Kedua alat tangkap yang banyak digunakan nelyan di Kepuluan Siribu pada dasarnya mengandalkan hasil laut yang benar-benar tumbuh secara alami. Bila dikaitkan dengan menurunya jumlah biota laut terutama jenis ikan dari tahun ketahun maka kondisi ini akan mengancam kegiatan penagangkapan di Kepulauan Seribu. Sehingga diperlukan mata pencarian alternatif salah satunya adalah program sea farming. Kegiatan nelayan yang lainnya selain penangkapan adalah budidaya rumput laut. Budi daya rumput laut pada tahun 90an merupakan kegiatan yang produktif. Potensi yang baik ini sangat menguntungkan masyarakat pada waktu itu. Kualitas air dan biota lainnya merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan kegiatan budidaya rumput laut. Kondisi tersebut tidak lama bertahan seiring menurunya kualitas air dan biota laut lainnya maka budidaya rumput laut mengalami penurunan hingga saat ini.
67
Berikut adalah luasan budidaya rumput laut di Kepulauan Seribu seperti disajikan pada tabel 6.4. Tabel 6.4. No.
Luasan dan Jumlah Unit Budidaya Rumput Laut di Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Komoditi
1 Rumput Laut
Kelurahan
Luas (M2)
Jumlah Rtp
Pulau Pari
11.000
69
Pulau Tidung
13.000
53
Pulau Kongsi
-
-
Pulau Lancang
-
5
3.500
15
450
2
27.950
144
29.252
162
Pulau Panggang Pulau Kelapa Sub Total Kabupaten Adm Kep Seribu Sumber: Tim Studi FPIK – IPB, 2000 Ket: Rtp = Rumah Tangga Perikanan
6.2. Kondisi Umum Sea Farming di Kabupten Kepulauan Seribu Kegiatan sea farming di Kabupeten Kepulauan Seribu dimulai sejak tahun 2002 sampai saat ini sudah berjalan kurang lebih 5 tahun. Kegiatan ini diawali dengan dilakukannya kajian dari berbagai aspek yang mendukung kegiatan ini. Kajian yang dilakukan mencakup beberapa aspek diantaranya Aspek Biofisik yang mencakup Oseanografi dan Kualitas Air, Aspek Sosial dan Teknis yang mendukung Kegiatan tersebut.
68
6.2.1 Aspek Biofisik Sea Farming Tinjauan biofisik yang melakukan pendekatan dari beberapa hal daiatara nya Oseanografi dan kualitas air dapat dilihat pada Tabel 6.5 Tabel 6.5 Aspek Kajian Biofisik di Kabupaten Kepulauan Seribu No 1
Apek Kajian Betimetri
Keteranagan Kedalam mencapai 70 m dengan tingkat variasi yang cukup tinggi
2
Pasang Surut
Kekedudukan 0,6 dan 0,5 m dibawah duduk tengah
3
Arus
0,05 – 0,48 m/dt dengan arah 3-3400.
4
Gelombang
7,0 - 69,6 cm, dengan priode 2,4 – 6,3 detik
5
Abrasi dan Akresi
Pulau panggang, semak daun, sampit dll
Sumber : PKSPL-IPB 2004 Berdasarkan aspek Biofisik yang tertera pada tabel 6.5 dapat dilihat bahwa pada kenyataanya kedalam laut yang sangat bervariasi yang ada di Kebupaten Kepulauan seribu dengam mencapai 70 m. Kondisi ini sangat meungkinkan dalam pengembangan sea farming mengingat sea farming tidak telalu membutuh kedalam laut yang curam karena pengguaannya juga dalam batas tertentu. Konsis lain yang yang dapt mendukung adalah pasang surut yang tidak begitu besar hanya 0,6 dan 0,5 dengan arus yang tidak besar hanya bekisar 0,0 -0,48 m/dt serta gelombang 1,0-69,6 cm. Konsisi diatas merupakan hal yang ideal dalam pelakuka kegiatan sea farming. Akan tetapi kondisi yang lain juga harus diperhatikan adalah terjadinya abrasi yang cukup signifikan dibeberapa pulau. Diantaranya di Pulau Panggang dan Pulau Semak daun, dimana pulau semak daun merupakan pulau yang daerah perairannya digunakan sebagai lokasi kegiatan sea farming sekarang ini. Terjadi abrasi yang terus menerus terutama di pulau semak daun kan berakibat pada terjadinya pencamaran air
69
laun dan berdampak kepada berkurangnya kualiats air laut sehingga menggangu kegiatan sea farming.
6.2.2 Kondisi Sosial Sea Farming Kegiatan sea farming yang telah dilakukan selama kurang lebih lima tahun dirasakan memberikan dampak yang jelas kepada masyarakat di Kepulauan Seribu. Dampak yang mungkin dapat dirasakan secara langsung adalah pada kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat Dampak sosial yang dirasakan kelompok sea farming dapat dilihat dari kondisi eksternal dan internal. Kondisi internal dimana terjadinya konflik sosial antara pengurus di kelompok sea farming. Konfilik sosial tersebut dipicu oleh adanya kebijakan dari pengurus yang tidak berpihak kepada anggota kelompok dan hanya memberikan keuntungan pada kelompok tertentu saja. Kondisi ini diawali dari barbagai bantuan yang didapat, baik dari Pemda maupun dari lembaga-lembaga bantuan lainnya. Mengalirnya bantuan yang begitu banyak kepada kelompok sea faming harapannya akan memberikan manfaat langsung untuk pengembangan sea farming, akan tetapi disisi lain memberikan dampak negatif bila proses pengelolaannya tidak berpihak kepada anggota. Kondisi tersebut yang memicu terjadinya konflik internal diantara pengurus sea farming. Konflik ekternal adalah terjadinya kesenjangan dan kecemburuan sosial diantara anggota kelompok sea faming dan diluar kelompok sea farming. Kesenjangan dan kecembuarauan sosial ini disebabkan karena bantuan-abantuan yang datang hanya diterima olah kelompok sea faming saja, sementara kelompok diluar sea faming tidak mendapat kan bagian dari bantuan tersebut.
70
6.2.2 Kondisi dan Hambatan Tenis Sea Farming Kegiatan sea farming di Kebupaten Kepuluan Seribu dimulai pada tahun 2002. kegiatan tersebut diawali dengan kajian atau penelitian dari aspek teknis maupun non teknis. Kajian ini yang akan menjadi dasar pertimbangan dalam pelaksanaan kegiatan teknis sea faming termasuk penggunaan teknologi yang akan digunakan. Beberapa kajian yang dilakukan menunjukan bahwa kegiatan sea faming di Kepulauan Seribu cukup baik. Kondisi ini dikarenakan Kepulauan seribu memiliki gugus pulau yang banyak dan salaing berdekatan satu dengan yang lain, sehingga keadaan ini sangat membantu dalam pengendalian arus dan angin dimana pada kegiatan sea faming kondisi arus dan angin yang kencang menjadi penghambat. Selain kondisi arus dan angin. Keadaan perairan di sekitar Kepulauan Seribu termasuk kedalam perairan dangkal dimana hanya memiliki kedalam 2-20 meter pada kondisi pasang surut terendah. Beberapa kondisi diatas memberikan penilaian yang baik bagi pengembangan sea farming ke depan. Pada tahun 2005 baru dilaksanakan program implementasi sea farming. Kegiatan sea faming menggunakan teknologi keramba jaring apung. Pembuatan keramba tersebut dilakukan secara bertahap dimana terdiri dari 3 (tiga) tahap sesuai dengan program yang dilakukan pemerintah. Keramba yang digunakan merupakan jenis keramba yang sering digunakan pada kegiatan budidaya lainnya, dimana keramba tersebut dirangkai sedemikian rupa dengan menggunakan drum sebagai pelampung. Ukuran keramba yang digunakan pada umumnya berukuran 12,5 x 12,5 m, dimana pada setiap unitnya terdiri dari 6-8 lubang atau kotak. Model keramba yang dgunakan dapat dilihat seperti Gambar 6.1.
71
Gambar 6.1 Keramba Jaring Apung di Kepulauan Seribu Sea farming di Kebupaten Kepulauan Seribu dilakukan dengan 3 kegiatan utama yaitu Pembenihan, Pembesaran dan Pemancingan (rekreasi). Tiga kegiatan utama tersebut berdasarkan pada pencapaian tujuan sea farming sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Kegiatan pembesaran merupakan kegiatan yang menjadi fakus pada saat ini, hal ini disebabkan karena kegiatan pembesaran memiliki tingkat resiko kegagalan yang tidak terlalu besar dan mudah diterapkan dibandinkan dengan kegiatan pembenihan Kegiatan pembesaran pada prinsipnya hanya melakukan pemeliharaan dan pemberian pakan sehingga ikan tersebut dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Pembesaran ikan dimulai dengan pemilihan bibit yang baik kemudian pemeliharaan dan pemberian pakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Bibit ikan sebahagian besar berasal dari dearah Bali dan Jawa Timur. Bibit ikan tersebut sengaja didatangkan langsung dari daerahnya karena memiliki kualitas yang baik dimana tahan terhadap serangan penyakit dan cepat besar, walaupun harga yang ditawarkan lebih
72
mahal dibandingkan dengan harga di daerah lain sepeti Jakarta dan Jawa Barat. Harga bibit ikan yang ditawarkan mencapai Rp 10.000 per ekor dengan ukuran 7-10 cm, harga tersebut sudah termasuk biaya transportasi. Jenis ikan yang sedang dikembangkan adalah ikan kerepu terutama kerapu macan dan bebek. Jenis ikan ini dipilih berdasarkan permintaan pasar yang besar dan harga yang cukup tinggi. Sasaran pasar yang ingin dicapai adalah ekspor pada negara Singapura dan Jepang serta sedikit pada pasar domestik. Hagar ikan kerapu pada saat ini mencapai Rp 180.000/Kg dengan permintaan pasar yang cukup tinggi. Pemasaran ikan kerapu sendiri tidak mengamiliki kendala yang besar karena setiap hasil panen yang ada selalu dapat d pasarkan dengan harga yang cukup tinggi melalui agen yang sudah lama bermitra dengan nelayan di Kepulauan Seribu. Disisi lain kegiatan sea farming juga memiliki kendala yang belum bisa teratasi dengan baik. Kendala utama adalah penyediaan bibit, dimana bibit tersebut harus di datangkan dari daerah Bali dan Jawa Timur dengan harga yang cukup mahal mencapai Rp 10.000/ekor dan sulitnya membeli bibit dalam jumlah besar karena persediaan terbatas. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan bibit tersebut berdampak pada masih sedikitnya nelayan yang dapat melakukan kegiatan sea farming, sehingga kegiatan tersebut belum optimal dilakukan. Kendala kedua adalah pakan ikan, dimana paka ikan ini menggunakan pelet yang diperoduksi pabrik. Kesulitan dalam penyediaan pakan ini selain harga yang terus naik juga pengangkutan pakan itu sendiri karena daerah peraiaran yang memiliki keterbatasan dalam masalah transportasi. Biasanya alternatif untuk mengurangi penggunaan pakan dilakukan dengan pemberikan ikan rucah. Ikan rucah
73
merupakan potongan ikan-ikan yang kecil-kecil. Pemberian ikan rucah ini hanya bisa dilakukan pada ikan yang berumur diatas 2 bulan. Dua kegaiatan lain yang belum dapat dilakukan adalah kegiatan pembenihan dan pemancingan (rekreasi). Kedua kegiatan ini belum terlaksana karena kegiatan yang difokuskan pada saat ini hanya pada kegiatan pembesaran. Namun kerena besarnya masalah penyediaan bibit maka kegiatan pembenihan sudah dipersiapkan dengan menggunakan metode hatchery atau pembibitan dengan kolam buatan. Metode ini diharapkan dapat mengatasi persediaan bibit menjadi hambatan pada saat ini. Kegiatan pemancingan atau rekreasi baru dapat dilakukan bila dua kegiatan lain sudah dapat terlaksana dengan baik sehingga dapat menarik peminat pengunjung untuk rekreasi dan memencing di Kepulauan Seribu. Bila ditinjau dari aspek kelembagaan yang ada pada kegiatan sea faming maka kegiatan sea faming sudah berhimpun dalam kelompok yang bernama kelompok sea faming. Kelompok sea faming ini dibetuk untuk dapat mengkordinir dan membantu para anggota sea faming dalam melakukan kegiatannya. Kelompok ini secara administrai beranggotakan sebanyak 66 orang seperti yang tertera pada lampiran, dimana 66 orang tersebut dikelompokkan berdasarkan tahun masuk. Pada tahun 2005 sebanyak 11 orang, tahun 2006 berjumlah 18 orang dan tahun 2007 berjumlah 37 orang. Bila dilihat dari penambahan jumlah anggota dari tahu ketahun terjadi penambahan lebih dari 100%, ini menunjukan bahwa tingkat peminat dari masyarakat cukup tinggi. Namun demikian dari 66 anggota sea faming yang terdafrar secara administrasi baru 43 orang yang telah melakukan kagiatan sea faming. Dari 43 orang tersebut hanya 30 orang yang telah malakukan panen. Berdasarkan kondisi diatas maka PKSPL-IPB
74
mengelompokan anggota sea faming berdasarkan kegiatan sedang dan akan dilakukan. Sebagaimana yang terlihat pada tabel 6.6 Tabel 6.6 Pembagian Kriteria Kelompok Anggota Sea Farming No 1
Kelompok
Jumlah
Platinum
0
Kreteria • •
2
Gold
30
•
3
Silver
13
• •
4
Biru
23
•
Sudah melakukan pemenanen dan tidak ada masalah teknis yang mengambat Dapat melakukan kegiatan berkesinambungan tanpa ada bantuan dari pihak mana pun (mandiri) Sudah melakukan panen tetapi masih mendapat kendala teknis dan nonteknis dalam pengembangan kegiatan selanjutnya Sudah melakukan kegiatan sea faming tapi melum melakukan panen Masih mendapat kendala dalam pelaksanaan kegiatan sea faming yang sedang dilakukan. Belum malakukan kegiatan sea farming tetapi telah menjadi anggota sea farming.
Sumber : PKSPL-IPB-2008 Kegiatan sea faming yang dilakukan saat ini merupakan program pemerintah yang dijadikan model dalam pengembangan untuk mencari mata pencarian alternatif. Pengembangan ini bertujuan untuk mencari alternatif mata pencarian nelayan yang disebabkan penurunan hasil tangkapan ikan di Kepulauan Seribu. seperti dijelaskan sebelummnya penurunan jumlah hasil tangkapan nelayan disesebabkan karena terjadinya penurunan sumberdaya laut yang di akibatkan karena kerusakan lingkungan dan bencana alam. Berdasarkan kondisi tersebut maka pemerintah Kepulauan Seribu manjalankan kegiatan sea faming ini. Dengan demikian pendanaan awal dari kegiatan sea faming ini di biayai oleh Pemerintah Kepulauan Seribu sehingga dalam pengeluaran investasi tidak membebankan nelayan sea farming.
75
Biaya yang dibantu oleh pemerintah merupakan investasi awal terhadap pembangunan keramba jaring apung, sedangkan untuk kebutuhan lainnya merupakan tanggung jawab nelayan masing-masing. Biaya atau modal awal yang diberikan pemerintah merupakan hibah sehingga tidak dikembalikan, sehingga nelayan tidak menanggung baban tersebut.
6.3 Analisa Efektifitas Ekonomi Sea Farming Program pengembangan sea farming telah dilakukan evaluasi secara teknis.. Selama kegiatan sea farming dilakukan hingga tahun 2008 ini belum pernah dilakukan valuasi yang terkait dengan efektifitas ekonomi. Evaluasi efektifitas ekonomi kegiatan sea faming berkitan dengan pendapatan pelaku usaha sea faring tersebut. Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah membandingkan tingkat pendapatan nelayan pada saat sebelum melakukan kegiatan sea faming dengan setelah sea farming. Analisis efektifitas ini melakukan pendekatan “after vs bifor”, artinya membandingkan kegiatan sebelum dengan sesudah sea farming terhadap pelaku yang sama. Perbandingan yang dilakukan berkaitan dengan pendapatan nelayan yang pada akhirnya melihat tingkat keuntungan yang didapat. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 reponden yang mewakili 6 RT ada di Pulau Panggang. Adapun 10 nama kelompok sea farming tersebut disajikan dalam Tabel 6.7. Tabel 6.7 Daftar Nama Kelompok Sea Faming (sampel acak)
No Nama 1 Suradi 2 Ruslan A 3 Abdul Gafar
Lama Anggota Angt Sea Farming 2 thn Sea Farming 2 thn Sea Farming 2 thn
Bidang Usaha Kendala Pembesaran Bibit Pembesaran Bibit Pembesaran Bibit
Kegiatan Sebelumnya Bubu Ikan Bubu Ikan Bubu Ikan,
76
4 Lakardi Sea Farming 5 Zakaria Sea Farming 6 Asep Sea Farming 7 Syukur Sea Farming 8 Ruslan B Sea Farming 9 Fahrudin Sea Farming 10 Nawawi Sea Farming Sumber : Hasil Data Primer
2 thn 2 thn 3 thn 3 thn 3 thn 2 thn 2 thn
Pembesaran Pembesaran Pembesaran Pembesaran Pembesaran Pembesaran Pembesaran
Bibit Bibit Modal dan bibit Modal dan bibit Modal dan bibit Bibit Bibit
Ikan Hias Bubu Ikan Ikan Hias Bubu Ikan PNS Bubu Ikan Bubu Ikan Pancing
Sepuluh anggota sea farming yang merupakan responden dalam penelitian ini tergolong dalam kelompok Gold, dimana mereka telah melakukan panen akan tetapi masih banyak kendala yang dihadapi. Adupun hasil perihitungan yang telah dilakukan seperti pada Tabel 6.8 Tabel 6.8 Hasil Perhitungan Ekonomi kegiatan Sea Farming
No A
B
Sebelum Keterangan Biaya Tetap
Total Harga
Sesudah Keterangan Total Harga Biaya Tetap
Perawatan Kapal
6.000.000,00
Perawatan Kapal
6.000.000,00
Perawatan Bubu
1.200.000,00
Penyusutan Kapal
1.666.666,67
Penyusutan Kapal
1.666.666,67
Total Biaya Tetap
7.666.666,67
Penyusutan Bubu
3.000.000,00
Biaya Variabel
Total Biaya Tetap
11.866.666,67
Solar
39.600.000,00
Rokok
25.020.000,00
Biaya Variabel Solar
54.900.000,00
Bibit
40.000.000,00
Rokok Total Biaya Variabel
60.390.000,00
Pakan
14.000.000,00
115.290.000,00
Total Biaya Variabel
118.620.000,00
Total Biaya
127.156.666,67
Total Biaya
126.286.666,67
C
Penerimaan
223.200.000,00
Penerimaan
140.400.000,00
D E
Keuntungan R/C
96.043.333,33 1,76
Keuntungan R/C
14.113.333,33 1,11
Sumber : Data Primer
77
Berdasarkan hasil perhitungan ekonomi yang membandingkan tingkat keuntungan pada kegiatan sebelum dengan sesudah kegiatan sea faming maka dihasilkan, keuntungan sebelum melakukan sea faming sebesar Rp 96.043.333,33 dan setelah kegiatan sea farming Rp 14.113.333,33. keuntungan ini berasal dari total penerimaan dikurangi total biaya. Nilai tersebut merupakan akumulasi dari hasil yang diterima 10 responden. Bila di rata-ratakan maka keuntungan sebelum sea faming sebesar Rp 9.604.333,33 sedangkan setelah sea farming sebesar Rp 1.411,333,33. Keuntungan yang didapat merupakan keuntungan dalam satu tahun. Perbedaan keuntungan yang terjadi disebabkan
pada kegiatan sebelum sea
faming nendapat penghasilan setiap harinya. Pendapatan per hari yang dihasilkan bila di akumulasikan dalam satu tahun maka nilai nominalnya akan bertambah besar. Pada kondisi lain kegiatan setelah sea faming menghasilkan pendapatan yang berkala dimana setiap 8 bulan sekali sesuai dengan waktu panen. Sehingga dalam perhitungan satu tahun hanya menghasilkan satu kali panen dan hasil tersebut dirata-ratakan. Hal lain yang mengakibatkan belum optimalnya kegiatan sea faming dalam meningkatkan pendapatan nelayan disebabkan sulit dan mahalnya harga bibit ikan yang didapat sehingga penebaran benih yang dilakukan tidak optimal untuk dapat mencapai hasil panan yang besar. Analisis lain yang gunakan dalam perhitungan ekonomi ini dengan menggunakan analisis R/C. Kondisi sebelum sea farming memiliki R/C sebesar 1,76 sedangkan setelah sea farming sebesar 1,11. dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan sebelum sea farming belum dapat meningkatkan pendapatan nelayan. R/C yang dimiliki lebih kecil dibandingkan dengan kegiatan sebelum sea farming. kondisi ini disebabkan karena kegiatan sea faming masih baru berjalan sehingga banyak masalah yang masih ditemukan
78
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, diantaranya penyediaan bibit ikan dan pakan yang masih sulit serta mahal. Kondisi lain juga disebabkan karena masih ada dua kegiatan lain yang belum optimal dilakukan yaitu kegiatan Pembenian dan Rekreasi atau pemancingan
6.4 Analisis Strategi Pengembangan Sea Farming 6.4.1
Analisis SWOT Keberhasilan dan berbagai hambatan yang terdapat dalam program sea farming
telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya adalah bagaimana menentukan strategi pengembangan sea farming dalam jangka waktu beberapa tahun kedepan. Strategi pengembangan sea farming dapat diketahui dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT ini akan memberikan gambaran bagaimana peluang dan ancaman yang mungkin telah dan akan terjadi dalam pengembangan kegiatan sea farming. Peluang dan ancaman ini dapat dihubungkan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Gabungan antara komponen-komponen diatas dapat diperoleh empat alternatif strategi yang dapat dilakukan, yaitu : 1. Strategi SO (Strength-Opportunity). Strategi ini menggunakan kekuatan internal perusahaan unutk meraih peluang-peluang yang dapat diambil diluar. 2. Startegi WO (Weakness-Opportunity), strategi ini bertujuan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. 3. Strategi ST (Strength-threat), strategi ini akan dailakukan usaha untuk menghindari atau mengurangi kelemahan serta mnghindari kelemahan. 4. Strategi WT (Weakness-Threat) strategi ini merupakan teknik untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.
79
Analisis ini akan diharapakan akan memberikan gambaran yang telah dan akan terjadi dalam pengembangan sea farming kedepannya. Strategi yang dapat dialkukan akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT sesuai apa yang telah disampaikan diatas. Tabel 6.9 Hasil Analisis SWOT Faktor Internal Kekuatan (S) S1. Letak kegiatan seafarming yang strategis S2. Teknologi yang digunakan sudah memadai S3. Sumberdaya Manusia S4. Kuantitas ikan yang dihasilkan jumlahnya banyak S5. kualitas ikan yang dihasilkan baik S6. areal pengembangan sea farming yang cukup luas S7. pengembangan wisata bahari Faktor Eksternal
Kelemahan (W) W1. Penyediaan bibit W2. Harga bahan bakar minyak W3. ketersediaan bahan bakar minyak W4. Penyediaan Pakan ikan W5. sistem trasportasi laut W6. pencegahan terhadap penyakit ikan W7. pengobatan terhadap penyakit ikan
Peluang (O) Strategi S-O Strategi W-O O1. Letak Geografis 1. Meningkatkan kuantitas 1. Menjalin kerjasama dan dan kualitas produk hasil membangun komunikasi O2. tingkat permintaan sea farming agar yang baik dengan pemasok ikan cukup tinggi. permintaan dari bahan baku agar produksi O3.Pola konsumsi masyarakat terpenuhi (S1, berjalan dengan baik dan masyarakat terhadap S2, S3, S4, S5, kebutuhan masyarakat ikan S6,O2,O3,O4,O5,O7) terpenuhi O4. kebijakan pemerintah (W1,W2,W3,W4,O2,O3,O4 2. Meningkatkan terhadap ,O5) pengembangan wisata pengembangan sea bahari (S3,S7,O1,O5,O6) farming 2. Memberikan programprogram pelatihan teknik O5. banyaknya program budidaya sea farming pendukung terhadap nelayan O6. tingkat kedatangan wisatawan yang cukup (W6,W7,O4,O5) tinggi O7. ketersediaan lahan yang murah
80
Ancaman (T) T1. Pencemaran Laut T2. Kondisi iklim yang kurang menentu T3. Sistem transportasi hasil sea farming T4. Isu bencana alam di daerah pesisir T5. Pemerataan program yang dilakukan T6. kecemburuan sosial antara kelompok sea farming T7. tingkat polusi air yang tinggi
6.4.2
Strategi S-T Strategi W-T 1. Mensosialisasikan tentang 1. Pengembangan teknologi dampak pencemaran dalam rangka efisiensi lingkungan pada BBM, penggunaan sistem masyarakat sekitar (S3, S6, transportasi dan S7, T1, T7). pencemaran laut.(T1,T3.T7,W5,W2) 2. Meningkatkan sarana dan menanggulangi prasarana transportasi agar 2. Untuk kekurangan bibit dan pakan produk yang dihasilkan ikan maka dapat dilakukan dapat dipasarkan dengan pemberdayaan masyarakat mudah dan cepat yang belum terlibat dalam (S1,S2,S4,S5,S6,T3) program 3. Memberikan pelatihan dan ini.(W1,W3,T5,T6) bantuan secara merata pada setiap kelompok sea 3. Meningkatkan kesadaran farming sehingga proses masyarakat akan pentingnya produksi dapat berjalan menjaga lingkungan unutk dengan lancar menhindari kondisi yang (S2,S3,S4,S5,T2,T4,T5,T6 tidak diinginkan seperti ) bencana alam.(T4, T&,T3, W3, W5
Hasil Analisis SWOT Analisis
SWOT
dapat
menghasilkan
alternatf-alternatif
strategi
dalam
pengembangan suatu program. Alternatif strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan program sea farming kedepan diantara nya adalah : Strategi SO 1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas produk hasil sea farming agar permintaan dari masyarakat terpenuhi (S1, S2, S3, S4, S5, S6,O2,O3,O4,O5,O7) 2. Meningkatkan pengembangan wisata bahari (S3,S7,O1,O5,O6) 3. Mengembangkan dua kegiatan lain yaitu pembenihan dan pemancingan (rekreasi) dengan harapan terjadinya peningkatan pendapatan nelayan. (S3,S7,O1,O6) 4. Mengembangkan teknologi pembenihan melalui kerjasama dengan pihak lain agar masalah kesulitan bibit dapat teratasi (S1, S3, S5, S6,O2,O4,O5,O7)
81
Strategi W-O 1. Menjalin kerjasama dan membangun komunikasi yang baik dengan pemasok bahan baku agar produksi berjalan dengan baik dan kebutuhan masyarakat terpenuhi (W1,W2,W3,W4,O2,O3,O4,O5) 2. Memberikan program-program pelatihan teknik budidaya sea farming terhadap nelayan (W6,W7,O4,O5) 3. Pengembangan teknologi dalam memenuhi kebutuhan bibit ikan dan pakan sehingga dapat teratasi dengan melakukan kerjasama dengan pihak luar (W1,W2,W3,W4,O2,O3,O4,O5)
Strategi S-T 1. Mensosialisasikan tentang dampak pencemaran lingkungan pada masyarakat sekitar (S3, S6, S7, T1, T7). 2. Meningkatkan sarana dan prasarana transportasi agar produk yang dihasilkan dapat dipasarkan dengan mudah dan cepat (S1,S2,S4,S5,S6,T3) 3. Memberikan pelatihan dan bantuan secara merata pada setiap kelompok sea farming
sehingga
proses
produksi
dapat
berjalan
dengan
lancar
(S2,S3,S4,S5,T2,T4,T5,T6)
82
Strategi W-T 1. Pengembangan teknologi dalam rangka efisiensi BBM, penggunaan sistem trasportasi dan pencemaran laut.(T1,T3.T7,W5,W2) 2. Dalam rangka memenuhi kekurangan bibit dan pakan ikan maka dapat dilakukan pemberdayaan
masyarakat
yang
belum
terlibat
dalam
program
ini.(W1,W3,T5,T6) 3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan untuk mengindari kondisi yang tidak diinginkan seperti bencana alam.(T4, T&,T3, W3, W5
83
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil perhitungan ekonomi yang membandingkan tingkat keuntungan pada kegiatan sebelum dengan sesudah kegiatan sea faming maka dihasilkan, keuntungan sebelum melakukan sea faming sebesar Rp 96.043.333,33 dan setelah kegiatan sea farming Rp 14.113.333,33. keuntungan ini berasal dari total penerimaan dikurangi total biaya. Nilai tersebut merupakan akumulasi dari hasil yang diterima 10 responden. Bila di rata-ratakan maka keuntungan sebelum sea faming sebesar Rp 9.604.333,33 sedangkan setelah sea farming sebesar Rp 1.411,333,33. Keuntungan yang didapat merupakan keuntungan dalam satu tahun. Perbedaan keuntungan yang terjadi disebabkan
pada kegiatan sebelum sea
faming mendapat penghasilan setiap harinya. Pendapatan per hari yang dihasilkan bila di akumulasikan dalam satu tahun maka nilai nominalnya akan bertambah besar. Pada kondisi lain kegiatan setelah sea faming menghasilkan pendapatan yang berkala dimana setiap 8 bulan sekali sesuai dengan waktu panen. Sehingga dalam perhitungan satu tahun hanya menghasilkan satu kali panen dan hasil tersebut dirata-ratakan. Hal lain yang mengakibatkan belum optimalnya kegiatan sea faming dalam meningkatkan pendapatan nelayan disebabkan sulit dan mahalnya harga bibit ikan yang didapat sehingga penebaran benih yang dilakukan tidak optimal untuk dapat mencapai hasil panan yang besar. Analisis lain yang gunakan dalam perhitungan ekonomi ini dengan menggunakan analisis R/C. Kondisi sebelum sea farming memiliki R/C sebesar 1,76 sedangkan setelah sea farming sebesar 1,11. dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan sebelum sea farming belum dapat meningkatkan pendapatan nelayan. R/C yang dimiliki lebih kecil
dibandingkan dengan kegiatan sebelum sea farming, kondisi ini disebabkan karena kegiatan sea faming masih beru berjalan sehingga banyak masalah yang masih ditemukan diantaranya penyediaan bibit ikan dan pakan yang masih sulit serta mahal. Kondisi lain juga disebabkan karena masih ada dua kegiatan lain yang belum optimal dilakukan yaitu kegiatan Pembenihan dan Rekreasi atau pemancingan Berdasarkan kondisi diatas maka dapat disimpulkan kegiatan sea faming di Kabupaten Kepulauan Seribu belum efektif meningkatkan pendapata nelayan karena masih belum dapat memberikan keuntungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan kegiatan sebelum sea faming. Belum efektifnya kegiatan sea faming tersebut disebabkan karena sulit dan mahalnya mendapatkan bibit. Bibit tersebut merupakan in put yang penting dalam menjalankan kegiatan sea faming. Sulitnya bibit yang didapat dikarenakan belum adanya teknologi yang dapat memproduksi sendiri bibit ikan dalam jumlah banyak dan memilki kualitas yang baik. Selama ini bibit di peroleh dari Bali dengan harga yang mahal mencapai Rp 10.000/ekor. Dengan demikian maka perlu dilakukan berapa strategi untuk mengatasi kondisi tersebut, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemberdayaan nelayan untuk dapat menghasilkan bibit sendiri. Cara tersebut dapat dilakukan dengan memperkenalkan metode hatchery atau pembibitan dengan kolam buatan. Metode ini dapat digunakan dengan melibatkan perguran tinggi atau lembaga yang dapat memberikan pelatihan tentang metode ini. Selain itu belum efektifnya kegiatan sea farming juga disebabkan oleh masih belum jalannya dua kegiatan lain yaitu kegiatan pembenihan dan pemancingan (rekreasi). Kegiatan pembenihan belum dapat dilakukan karena memiliki tingkat resiko kegagalan yang tinggi, sehingga harus dilakukan dengan perencanaan yang baik dan diperlukan
85
sumberdaya manusia yang mampu menerapkan metode ini, untuk itu perlu waktu yang cukup lama dalam mempersiapkan kegiatan ini. Kegiatan ini juga melibatkan lembaga lain seperti perguruan tinggi dan lembaga penelitan budidaya ikan untuk dapat melakukan metode ini. Kegiatan pemancingan (rekreasi) dapat dilakukan bila dua kegiatan sebelumnya sudah dapat berjalan dengan baik, sehingga dapat mengundang minat pengunjung untuk melakukan pemancingan atau rekreasi di tempat tersebut. Dalam rangka pencapaian efektivitas sea farming maka diperlukan melakukan strategi yang dapat mengatasi masalah dalam kegiatan tersebut. Strategi yang dapat di gunakan adalah dengan mempelajari teknologi yang dapat memproduksi bibit ikan sendiri agar kebutuhan bibit dapat terpenuhi. Selain itu perlu dikembangkan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengatasi sulitnya bibit ikan dengan harapan masalah tersebut dapat teratasi. Strategi lain adalah diperlukannya pelatihan bagi anggota sea faming baik dari segi teknis maupun menajemen pengelolaan sea farming
7.2 Saran Belum tercapainya efektifivitas sea farming memberikan tantangan tersendiri, sehingga diperlukan keseriusan semua pihak untuk dapat mendukung kegiatan ini. Dukungan dari semua pihak akan sangat membantu dan bermanfaat bagi pengembangan kegiatan sea farming kedepan. Kerjasama yang paling diperlukan saat ini adalah untuk mengembangkan metode hatchery atau pembibitan dengan kolam buatan, sehingga masalah kesulitan bibit dapat teratasi. Dua kegiatan lain selain kegiatan pembesaran juga harus mendapat perhatian serius dari pengelola sea farming, sehingga tujuan sea farming dalam meningkatkan
86
pendapatan nelayan dapat berhasil. Keberhasilan ini juga ditentukan seberapa besar keinginan nelayan dalam mengembangkan kegiatan ini. Penelitian ini belum cukup sempurna untuk menilai tingkat efektivitas kegiatan sea farming dan menentukan strategi pengembangan sea farming, sehingga diharapkan adanya penelitian lanjutan yang lebih komperhensip dengan banyak indikator untuk mencapai hasil yang lebih akurat.
87
DAFTAR PUSTAKA Bobo, Julius .2003, Transformasi Ekonomi Rakyat, PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta, hal. 182 Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery. Blackwell Science. Herman dan Eryatno. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai. Yayasan Pembangunan Desa-Kota dan Bussines Innovation Center of Indonesia. Jakarta. Hafsah, Mohamad Jafar. 2001. Konsepsi dan Strategi Kemitraan Usaha. Dalam Haeruman, H dan Eryatno. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan ekonomi Lokal: Bunga Rampai. Yayasan Pembangunan Desa-Kota dan Bussines Innovation Center of Indonesia. Jakarta. Hafsah, Mohamad Jafar, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan , Jakarta Kolopaking, Lala M. 2002. Pola-Pola Kemitraan Dalam pengembangan Usaha Ekonomi Skala Kecil/Gurem. Makalah Lokakarya Nasional “Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui Sinergitas pengembangan Kawasan”. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. 4 -5 November 2002. Jakarta. Mariana, Dede, 2006.Modal Sosial (Social Capital) Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan. Makalah dalam Warta Bapeda Jabar, Oktberdesember 2006. Mariotti, John L. dalam Muhammad Jafar Hafsah, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan , Jakarta, hal. 51. Mawardi, W. 1998. Studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap di Teluk Belebuh, Lampung. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Munprasit, A. 2004. Preliminary study on the introduction of set-net fishery to develop the sustainable coastal fisheries management in Southeast Asia: Case study in Thailand. IIFET 2004 Japan Proceedings. Munir Fuady, 1997, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini (Tinjauan Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, hal. 165 PKSPL-IPB. Tahun 2002. Evaluasi Pembangunan Administrasi Kepulauan Seribu.
Wilayah
Kabupaten
Soebagio, 2004. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang dan Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. Soewito, Pengembangan Industri Kecil, Suara Merdeka 12 Desember 1992 Sumardjo. 2001. Tinjauan Konsepsi Kemitraan di Masa Lalu, dalam Haeruman, .
87