IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumber daya yang menyangkut dan melibatkan banyak pihak dari hulu sampai hilir dengan kepentingan dan pengaruhnya berbeda-beda, sehingga keberhasilannya pun sangat ditentukan oleh pihak-pihak yang berperan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Hasil analisis stakeholder menetapkan ada tiga kelompok stakeholder yang terlibat langsung dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh yakni pemerintah daerah, masyarakat hulu dan masyarakat hilir, dengan kepentingan, sikap dan tingkat pengaruhnya masingmasing seperti terlihat pada Tabel 33. Meskipun memiliki kepentingan yang berbeda-beda, namun yang menarik, semua stakeholder memiliki sikap saling mendukung terhadap kepentingan satu sama lain, sehingga sikap yang demikian bisa menjadi modal dalam mensukseskan program-program yang ada bagi keberlanjutan manfaat Sub DAS kedepannya. Pemerintah
daerah
sebagai
unsur
pemegang
otoritas
kebijakan
direpresentasikan oleh 5 instansi sektoral yaitu: Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, dan DPRD. Dari 5 stakeholder tersebut, dua diantaranya dinilai memiliki pengaruh paling kuat yakni: Bappeda dan DPRD. Bappeda memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam menyusun perencanaan tata ruang DAS dan memasukkan pengelolaan DAS dalam program pembangunan daerah (RPJP dan RPJM). Sedangkan DPRD memiliki fungsi legelislasi, penganggaran dan pengawasan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Pekerjaan Umum masuk kategori kuat. Kedua instansi ini ditetapkan sebagai leading sector atau aktor utama dalam konteks pengelolaan Sub DAS, dimana Dinas Kehutanan dan Perkebunan bertanggung jawab bagi kelestarian di bagian hulu, dengan sejumlah agenda antara lain : mereview lahan kritis setiap lima tahun, menjaga dan mempertahankan kawasan hutan dan sempadan sungai, melakukan rehabilitasi lahan kritis dan reboisasi dan mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar hutan.
.
120
Tabel 33. Analisis stakeholder menurut sikap dan pengaruh dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh Satkeholder Pemerintah daerah : a. Bappeda b. DPRD Kabupaten Sumbawa
Kepentingan
- Terpeliharanya sumber-sumber mata air dan daerah tangkapan air (DTA)
c. Dinas Kehutanan dan Perkebunan - Terdistribusinya manfaat Sub DAS secara optimal, adil dan berkelanjutan Kabupaten Sumbawa d. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten - Masyarakat sekitar hutan atau Sumbawa masyarakat hulu semakin berdaya e. Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa
Kriteria Evaluasi Sikap Pengaruh Total
Keputusan
3
5
15
Dilibatkan
3
5
15
Dilibatkan
3
4
12
Dilibatkan
3
4
12
Dilibatkan
3
3
9
Dilibatkan
3
2
6
Dilibatkan
3
2
6
Dilibatkan
3
2
6
Dilibatkan
Masyarakat hilir : PDAM
Terdistribusinya manfaat Sub DAS secara optimal, adil dan berkelanjutan
GP3A/P3A Masyakat Hulu
Sumber : Data Primer diolah, 2011
Memperoleh insentif atau imbal jasa atas sejumlah inisiatif dan upaya dalam pelestarian sub DAS
121
Sedangkan Dinas Pekerjaan Umum dibebankan tanggung jawab di bagian hilir, dengan tugas diantaranya membangun dan menyediakan sarana dan prasarana jaringan irigasi, membangun dan menyediakan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air, dan menyusun rencana induk tata guna sumber daya air. Dinas Pertanian yang masuk kategori cukup kuat, bertanggung jawab dalam mengembangkan teknik budidaya yang memiliki nilai konservasi. Sementara PDAM, GP3A/P3A (representasi dari masyarakat hilir) dan masyarakat hulu, merupakan stakeholder yang memiliki tingkat pengaruh rendah. Meskipun demikian, hasil analisis stakeholder memutuskan bahwa ketiganya tetap dipandang perlu diikutsertakan dalam pengelolaan Sub DAS. Hal ini senada dengan semangat undang-undang yang menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pelaku pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya termasuk DAS, misalnya pada Paragraf 11 penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan menerangkan bahwa “….peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilan dari penyelanggaraan kehutanan”. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana tingkat keterlibatan stakeholder tersebut dalam pengelolaan Sub DAS, dengan tingkat pengaruh dan peran yang dimilikinya? Hasil análisis stakeholder lebih lanjut didapatkan informasi bahwa secara keseluruhan stakeholder belum terlibat secara penuh dalam pengelolaan Sub DAS, termasuk stakeholder-stakeholder yang memiliki pengaruh besar (lihat Gambar 25). Rata-rata stakeholder memiliki tingkat keterlibatan dalam kategori sedang. Semestinya stakeholder, terutama yang memiliki fungsi dan kewenangan yang tinggi dan berada pada level operasional (eksekusi kebijakan) misalnya Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian harus terlibat secara penuh dalam rangka memerankan fungsinya, sehingga mampu memberikan pengaruh yang signifikan bagi perbaikan Sub DAS. Demikian pula halnya dengan DPRD, meskipun bukan sebagai stakholder yang berada pada level pelaksana kebijakan, namun fungsi legislasi dan penganggaran yang dimilikinya, menjadikan lembaga ini penting untuk dioptimalkan perannya, misalnya dalam konteks menghadirkan regulasi sebagai aturan main bagi setiap stakeholder dalam bertindak di level operasional kebijakan, mengingat regulasi tersebut menjadi syarat perlu (necessary condition)
122
bagi terselenggaranya pengelolaan DAS yang optimal dan lestari. Keberadaan regulasi tersebut semakin penting untuk sesgera mungkin dihadirkan untuk mengisi kekosongan akibat ketiadaan aturan di level atas yang secara spesifik mengatur tentang penyelenggaraan pengelolaan DAS. Peraturan perundangundangan yang ada saat ini, misalnya UU No.7/2004 tentang sumber daya air belum cukup menjadi “penawar” atas persoalan yang terjadi pada Sub DAS Batulanteh. Selanjutnya masyarakat hulu dengan pengaruh dan kewenangan yang relatif rendah, tidak kemudian menjadikan stakeholder ini tidak perlu dioptimalkan perannya. Keterlibatannya perlu dioptimalkan sehingga terjadi sinergisitas, mengingat masyarakat hulu adalah stakeholder dengan intensitas interaksi paling tinggi terhadap sumber daya Sub DAS. Akitivitasnya di hulu akan memberikan dampak (positif atau negatif) pada daerah hilir. Sehingga intervensi pada daerah hulu harus dijadikan perioritas oleh stakeholder pada level pembuat kebijakan. Eratnya keterkaitan antara hulu dan hilir, menjadikan masyarakat hilir sebagai stakeholder yang mengambil manfaat atas jasa yang dihasilkan Sub DAS tidak kalah pentingnya dengan stakeholder lain untuk dioptimalkan perannya. Bentuk keterlibatannya barangkali bisa didekati dengan makanisme PES, sehingga dampak dari aktivitas ekonomi di hilir dapat dinikmati oleh masyarakat hulu sebagai penyedia jasa. 6
I
II
Tingkat keterlibatan
5 Dishutbun
Bappeda
4
3
Masy. Hulu Dinas PU
2
GP3A/ P3A
PDAM DPRD
D. Pertanian
1
IV
III
1
2
3
4
5
6
Tingkat pengaruh
Gambar 25. Tingkat pengaruh dan keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh (Sumber: Data primer diolah, 2011)
123
6.6 Re-Desain Kelembagaan Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Telah dipahami bersama bahwa syarat terselenggaranya pengelolaan DAS yang berkelanjutan adalah adanya keterpaduan tindak atau aksi para pihak dengan prinsip “satu DAS, satu perencanaan dan satu pengelolaan”. Untuk menyokong prinsip pengelolaan yang demikian, maka menghadirkan kelembagaan yang efektif dan efisien menjadi necessary condition. Pada bagian terakhir dari tesis ini, dibahas mengenai desain kelembagaan yang memungkinkan untuk dikembangkan khusus dalam konteks Sub DAS Batulanteh. Mencermati kondisi eksisting yang terungkap dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa kelembagaan yang ada, mulai dari aturan main berupa peraturan perundang-undangan sampai pada bentuk pengorganisasiannya berupa komisi irigasi yang telah dibentuk berdasarkan SK Bupati : No. 407/kpts/2010 belum begitu efektif dalam menjawab persoalan lahan kritis di kawasan Sub DAS Batulanteh. Hasil analisis terhadap aturan main yang ada, misalnya masih banyak ditemukan kasus ketidaktepatan peletakan kewenangan atas urusan yang diatur. Kemudian minimnya pengaturan terkait isu dinamika penggunaan lahan pada hak kepemilikan masyarakat. Demikian pula pada tataran pelaksanaan peraturan sebagai bentuk respon pemerintah daerah dan masyarakat, juga belum optimal dan efektif. Kondisi aturan main dan respon tersebut diperparah lagi oleh ketidakefektifan rezim kepemilikan pribadi di dalam domain publik serta keterlibatan stakeholder terutama stakeholder dengan kewenagan tinggi masih relatif rendahnya. Didasari pada hasil diagnosa di atas, maka kelembagaan yang ada perlu dilakukan koreksi atau pembenahan baik pada level aturan main maupun bentuk pengorganisasiannya. Pada level aturan main dimulai dari : pertama, penataan peraturan perundang-undangan menyakut peletakan kewenangan atas sejumlah urusan yang dinilai tidak tepat. Penataan ini diperlukan karena ketidaktepatan tersebut, bukan saja tidak berada pada satu tingkatan yang sama, tetapi akan menghadirkan permasalahan terkait dengan rentang kendali dan pada akhirnya akan membutuhkan pengawasan yang ekstra kuat. Ketika pengawasan tidak bisa dioptimalkan, akibat mahalnya biaya pengawasan maka pengelolaan hutan yang dijahatkan untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi sulit dipenuhi.
124
Sebagaimana telah diungkap pada bab sebelumnya, salah satu contoh urusan yang dinilai tidak tepat peletakan kewenangannya dan berimplikasi pada tidak optimalnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dalam kawasan DAS ialah penyusunan dan penetapan rencana teknis rehabilitasi hutan dan lahan dalam kawasan DAS (RTkRHL-DAS) yang diatur dalam UU No.41/1999. Urusan tersebut menjadi kewenangan Menteri, yang semestinya cukup menjadi kewenangan organisasi KPH sebagai organisasi penyelenggara pengelolaan hutan, karena Menteri tentu memiliki keterbatasan informasi atas kondisi biofisik dan karakteristik DAS yang khas, akibat persoalan rentang kendali yang demikian jauh tadi. Penyusunan RTkRHL-DAS, tanpa ditunjang oleh informasi yang cukup, dipastikan dokumen yang dihasilkan kurang relevan untuk diaplikasikan guna menjawab persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS Batulanteh. Kedua, penyempurnaan regulasi pada level daerah, dalam hal ini RAPERDA pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh. Penyempurnaan tersebut perlu dilakukan, mengingat urusan yang diatur terbatas pada tata cara pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, kemudian hak dan kewajiban masyarakat hulu serta pembentukan komisi pengelolaan Sub DAS. Mengutif kembali ungkapan Saidman and saidman (2004) yang menerangkan bahwa salah satu faktor penyebab dari adanya “perilaku menyimpang” masyarakat dalam konteks interaksinya dengan sumber daya alam adalah terkait dengan ada atau tidak adanya peraturan. Ketika peraturan telah ada, namun “perilaku menyimpang” tersebut masih terjadi, maka ada kemungkinan ketentuan yang diatur dalam peraturan tidak jelas dan atau tidak lengkapdan atau tidak tegas. Penyempurnaan ini dihajatkan agar kehadiran regulasi tersebut nantinya mampu mengisi kekosongan atas ketiadaan aturan main yang secara spesifik mengatur penyelenggaraan pengelolaan DAS di level atas. Isu-isu yang mungkin bisa diakomodir dalam rangka penyempurnaannya, antara lain : mekanisme cost sharing antara pemerintah, pemda, swasta, masyarakat, kemudian mekanisme pemanfaatan dana internasional; sistem insentif dan disinsentif dalam merespon isu dinamika penggunaan lahan pada hak kepemilikan masyarakat yang notabene belum mampu diakomodir oleh UU No.7/2004 serta kejelasan batasan wewenang peran, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dari hulu sampai hilir.
125
Setelah pembenahan pada aturan main, kemudian ditindaklanjuti pada aspek pengorganisasiannya dalam hal ini komisi irigasi. Sesuai dengan semangatnya untuk meretas persoalan sulitnya berkoordinasi, maka wadah ini harus dioptimalkan keberadaannya untuk mampu berperan lebih besar dengan menambah beban kerja dan wewenangnya, serta unsur keanggotaannya diperluas dengan jumlah yang seimbang dengan prinsip keterwakilan, sehingga tidak hanya terbatas pada zona hilir sebagai wilayah tanggung jawabnya, namun mampu menjembatani kepentingan hulu dan hilir serta mampu membuka peluang kerjasama dengan pihak luar. Dengan pembenahan aturan main dan wadah koordinasi-tempat para pihak menyusun strategi dan rencana aksi secara kolektif, maka diharapakan akan lahir pendekatan “satu DAS, satu perencanaan dan satu pengelolaan” dalam penyelenggaraan pengelolaan dan pemanfaatan Sub DAS Batulanteh kedepannya.