VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH Deng Xio Ping suatu ketika pernah mengatakan bahwa “the China’s problem is land problem, and the land problem is rural problem. Persoalan lahan sebetulnya, jauh lebih komplek di Indonesia. Lahan di Indonesia tidak hanya menjadi persoalan perdesaan sebagaimana di Cina, namun juga menjadi masalah perkotaan. Di Cina tidak dikenal kepemilikan perorangan sementara di Indonesia kepemilikan lahan bisa berada di tangan perorangan, sehingga tidaklah mengherankan ketika lahan dibutuhkan untuk keperluan kepentingan publik, maka sering menimbulkan konflik karena tergangggunya proses transfer pemanfaatan lahan dari perorangan ke kepentingan publik. Persoalan lainnya, terkait dengan masalah property right yang tidak tertangani dengan baik, yang kemudian memicu degradasi lahan ”(Fauzi, 2010). Pertanyaannya, bagaiman ragam hak kepemilikan atas lahan di kawasan Sub DAS Batulanteh? Apakah pemilik hak sudah melaksanakan hak dan kewajibanya sebagaimana diterangkan dalam konsep Hanna (1995)? Dan bagaimana stara hak yang dimiliki pemiliki hak berdasarkan pendekatan Schlager dan Ostrom (1992). Pertanyaan-pertanyaan tersebut, diulas pada bagian ini. Pada penjelasan bab sebelumnya mengenai tata guna lahan, telah dapat dipahami bahwa secara umum hak kepemilikan sumber daya lahan dalam kawasan Sub DAS Batulanteh telah terdefinisikan dengan jelas yaitu terdiri dari state property dan private property. Hak kepemilikan negara terdiri dari : hutan, hutan bakau, padang rumput, area terisi air, rawa, dan semak belukar. Sedangkan yang berupa private property yaitu : perkebunan, sawah, ladang dan pemukiman. Lahan dengan status hak kepemlikan masyarakat umumnya dijumpai pada zona tengah dan hilir dari Sub DAS Batulanteh. Sedangkan pada bagian hulu persentase kepemilikan masyarakat relatif kecil. Zona hulu lebih didominasi oleh hutan Negara. Ilustrasi ragam hak kepemilikan dalam kawasan Sub DAS Batulanteh, disajikan pada Gambar 24.
114
1
3
11
7 10
8 6 9
5 4 2
Sebagai pimilik hak, tentunya dilengkapi hak dan kewajiban atas Gambar 24: Peta ragam hak kepemilikan lahan kawasan Sub DAS Batulanteh (Sumber : Hasanuddin, 2008 (dimodifikasi) Ket.: 1: area terisi air; 2 : hutan; 3 : hutan bakau; 4 : padang rumput; 5: pemukiman; 6: perkebunan; 7: sawah irigasi; 8: sawah tadah hujan; 9: semak belukar; 10: ladang; 11: rawa
Sebagai pemiliki hak, tentunya dilengkapi hak dan kewajiban atas kepemilkannya. Secara rinci hasil identifikasi jenis hak kepemilikan lahan khususnya di zona hulu kawasan Sub DAS Batulanteh, disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Identifikasi jenis hak kepemilikan atas lahan dikawasan hulu Sub DAS Batulanteh Jenis Hak Pemilik Hak Akses Memanfaatkan Mengatur Ekslusif Mengalihkan Masyarakat √ Batudulang KPH Batulanteh √ Sumber : Data Primer, 2011
√
√
√
√
√
√
Tabel 31, menerangkan bahwa hak kepemilikan masyarakat Batudulang 18 atas lahan telah terkukuhkan dengan baik, yang tercermin pada hak mereka untuk memasuki areal lahan sekaligus memanfaatkannya, hak untuk mengatur pemanfaatannya guna menghasilkan manfaat yang optimal dan lestari, kemudian
18
Kepemilikan lahan masyarakat Batudulang dalam kawasan Sub DAS Batulanteh berupa ladang seluas 156,25 Ha dan perkebunan selauas 404,47 Ha. Komoditi utama yang dihasilkan dari pemanfaatan lahan tersebut adalah kopi dan kemiri.
115
hak untuk menentukan siapa yang dapat dan tidak dapat mengakses lahan mereka dan hak untuk memindah-tangankannya baik melalui menjual, mewariskan atau menyewakannya. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat Batudulang sebagaian besar untuk tanaman-tanaman perkebunan seperti kopi dan kemiri yang diketahui cukup memiliki nilai konservasi. Hal ini berbeda dengan pola pemanfaatan lahan pada zona tengah yang diketahui sebagian besar milik masyarakat. Lahan-lahan pada zona ini telah diupayakan secara intensif oleh pemiliknya untuk tanaman palawija dan sayuran. Pola pemanfaatan yang demikian diketahui sangat beresiko tinggi terhadap erosi. Lebih lanjut Tabel 31, menginformasikan bahwa pada kasus state property, terlihat ada dua persoalan yaitu : pertama, ketidaklengkapan hak yang dimiliki oleh KPH Batulanteh atau ketidakjelasan kedudukan organisasi KPH sebagai pengelola, akibat sebagaian dari keberadaan haknya hilang. Berdasarkan klasifikasi Scalger dan Ostrom (1992), organisasi KPH dalam kedudukannya sebagai pengelola sebagaimana diatur dalam pasal 9 PP No.3/2008 perubahan dari PP No.6/2007 seharusnya mempunyai hak Acces and Withdrawal, management, dan hak Exclusion. Namun faktanya hak Exclusion tidak dimiliki oleh organisasi KPH dengan tidak memberikan wewenang dalam membuat hubungan transaksional atas hasil yang diproduksi melalui aktivitas pengelolaan hutan. Kewenangan ini menjadi milik Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. Kedua, ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga hak kepemilikannya, yang diindikasikan oleh masih banyak ditemukan tindak pidana kehutanan, seperti illegal logging. Mahalnya biaya pengawasan dan minimnya personil yang tidak sebanding dengan luas hutan yang harus diamankan diyakini sebagai pemicunya. Seperti yang disajikan pada Tabel 32, diketahui bahwa 1 orang personil, bertugas melakukan pengamanan hutan seluas lebih dari 5 ribu Ha. Kondisi ini diperparah lagi, dengan keberadaan sarana-prasarana penunjang seperti pos jaga dan kendaraan patroli yang terbatas. Tabel 32. Rasio antara personil pengaman hutan dengan luas hutan Personil Pengaman hutan Luas Hutan Rasio (orang) (Ha) 69 398.108,35 1 : 5.769,69 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011
116
8.1 Private Property Rights Dalam Domain Publik Tientenberg
(1992),
menilai
hak
kepemilikan
pribadi
memiliki
karakteristik yang sangat memadai untuk mengelola sumber daya alam yang optimal secara ekonomis dan ekologis. Namun, tidak demikan halnya dalam konteks ini. Hak kepemilikan masyarakat atas lahan di zona tengah kawasan Sub DAS Batulanteh, tidak bisa menjadi insentif bagi terciptanya pengelolaan lahan yang optimal secara ekologis bagi kelestarian Sub DAS. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa lahan dengan topografi bergelombang serta kemampuan produktivitasnya rendah, tetap dibudidayakan secara intensif untuk tanaman palawija dan sayuran yang tidak memiliki nilai konservasi dan beresiko tinggi terhadap erosi. Minimnya pilihan dalam mengakses sumber ekonomi lain menjadi pemicu ketergantungan akan lahannya sangat tinggi. Lahan dinilai sebagai asset vital bagi tulang punggung ekonomi dan “tumpuan terakhir” mereka, yang harus diambil manfaat ekonominya secara optimal, meskipun dalam pemanfaatannya menghasilkan eksternalitas negatif bagi masyarakat hilir selaku selaku penikmat jasa yang dihasilkan oleh Sub DAS. Pada prinsipnya domain publik harus dilindungi. Artinya, konflik kepentingan antara masyarakat hulu dan tengah selaku pemilik lahan dengan masyarakat hilir selaku pemanfaat jasa Sub DAS saat ini, harus sesegera mungkin disikapi dengan menghadirkan kelembagaan yang mampu menjembatani kedua kepentingan tersebut. Dalam konteks yang lebih konkret, kelembagaan tersebut berupa aturan formal ataupun informal yang mengatur insentif bagi masyarakat hulu dan tengah, sehingga dampak dari aktivitas ekonomi di hilir dari pemanfaatan jasa Sub DAS dapat juga dirasakan oleh masyarakat di hulu dan tengah. Mekanisme payment for environmental service (PES), barangkali salah satu instrumen yang bisa diaplikasikan guna memberikan manfaat balik pada masyarakat hulu dan tengah yang akan dibebankan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan dan air. Mekanisme ini, juga bisa diperankan sekaligus sebagai sarana berbagi tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber daya yang dilandasi semangat keadilan. Sepanjang ini, mekanisme tersebut terbilang cukup efektif, sebagaimana telah dipraktekkan pada DAS Cidanau - Banten. Dalam prakteknya, sejumlah anak perusahaan dibawah Krakatau Steel (PT. Krakatau
117
Tirta Industri) memberikan sejumlah kompensasi kepeda kelompok tani di hulu, yang difasilitasi oleh Forum komunikasi DAS Cidanau (FKCD). Pemberian kompensasi telah berlangsung sepanjang periode 2005 – 2008. Pengendalian pemanfaatan lahan yang menghasilkan eksternalitas melalui mekanisme PES di atas, dikenal sebagai instrument yang berbasis pasar (market based). Pendekatan lain yang juga bisa diterapkan untuk melakukan pengendalian tersebut atau menjawab persoalan ketidakefektifan private property dalam domain publik adalah melalui instrumen command and control. Melalui instrumen ini, misalnya diatur mengenai larangan bagi setiap pemilik lahan untuk memanfaatkan lahan yang tidak sesuai kontur atau kewajiban untuk menerapkan teknologi tertentu dalam pemanfaatan lahan dengan ketinggian dan kemiringan tertentu. Namun, pendekatan terakhir ini terbilang kurang “lembut” dan berpotensi menimbulkan konflik ketika pelanggaran terjadi.