SIMULASI PENGGUNAAN LAHAN DI MODEL DAS MIKRO PASIR BUNCIR, SUB DAS CISADANE HULU
NINA SUSILAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Simulasi Penggunaan Lahan Di Model DAS Mikro Pasir Buncir, Sub DAS Cisadane Hulu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Nina Susilawati NIM A155100011
RINGKASAN NINA SUSILAWATI. SIMULASI PENGGUNAAN LAHAN DI MODEL DAS MIKRO PASIR BUNCIR, SUB DAS CISADANE HULU. DIBIMBING OLEH KUKUH MURTILAKSONO DAN YAYAT HIDAYAT. Wilayah Hulu DAS Cisadane berpotensi menjadi lahan yang lebih kritis, karena perubahan pola pemanfaatan dan pengelolaan lahan. Pola pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan kondisi topografi (kemiringan lereng lebih dari 25%) menyebabkan tingginya potensi aliran permukaan dan erosi. Untuk itu diperlukan simulasi perencanaan penggunaan lahan dengan menggunakan model AGNPS. Tujuan penelitian adalah (1) menggunakan model AGNPS untuk memprediksi aliran permukaan dan sedimen, dan (2) menentukan penggunaan lahan terbaik di MDM Pasir Buncir menggunakan model AGNPS. Tahapan penelitian terdiri dari : 1) persiapan dan pengumpulan data masukan model AGNPS; 2) menjalankan model AGNPS; 3) validasi model, dan 4) simulasi skenario pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi dan sedimen. Simulasi dilakukan dengan 8 skenario perubahan penggunaan lahan yaitu : skenario pertama (S1) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi tegalan dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras guludan ditambah rumput penguat; skenario kedua (S2) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi tegalan dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa mulsa vertikal 6 ton/ha; skenario ketiga (S3) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi kebun campuran dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras guludan ditambah rumput penguat; skenario keempat (S4) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi kebun campuran dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa mulsa vertikal 6 ton/ha; skenario kelima (S5) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi vegetasi tetap dengan tingkat kerapatan tinggi dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras guludan ditambah rumput penguat; skenario keenam (S6) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi vegetasi tetap dengan tingkat kerapatan tinggi dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa mulsa vertikal 6 ton/ha; skenario ketujuh (S7) : mengembalikan kondisi eksisting pada kondisi awal sebagai lahan HGU PTP XI (Perkebunan Karet), dimana seluruh luas penggunaan lahan semak menjadi vegetasi tetap dengan jenis komoditi karet tingkat kerapatan tinggi dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras guludan ditambah rumput penguat; dan skenario kedelapan (S8) : S7 dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa mulsa vertikal 6 ton/ha. Kalibrasi dan validasi model AGNPS dilakukan menggunakan input data curah hujan yang berbeda dengan kriteria : (1) pola hujan sama; (2) intensitas curah hujan melebihi 1.5 cm/jam, dan (3) AMC episode hujan tersebut sama. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan sepuluh data kejadian hujan tahun 2008, sedangkan validasi dilakukan dengan menggunakan sembilan data kejadian hujan tahun 2009. Metode kalibrasi dan validasi yang digunakan adalah metode trial and error. Hasil kalibrasi dan validasi diuji statistik dengan menggunakan koefisien determinan Pearson (R2) dan koefisien Nash dan Sutcliffe (NSE).
Model AGNPS dapat mensimulasikan dengan baik perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi dan hasil sedimen di MDM Pasir Buncir, Sub DAS Cisadane Hulu dengan R2 dan NSE untuk volume DRO sebesar 0.84 dan 0.80, untuk debit puncak DRO sebesar 0.95 dan 0.72, dan untuk hasil sedimen sebesar 0.87 dan 0.87. Perubahan penggunaan lahan semak seluruhnya menjadi vegetasi tetap (perkebunan dengan komoditi tanaman karet dengan kerapatan tinggi) (S7 dan S8) berpengaruh dalam menurunkan volume DRO sebesar 48.19 %, debit puncak DRO sebesar 61.37%, dan sedimen sebesar 38.92% dan 41.13%. Pelaksanaan penatagunaan lahan di MDM Pasir Buncir untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS terpadu yang ideal (respon hidrologi baik dan erosi lebih kecil) sesuai dengan skenario 8. Dengan menerapkan skenario 8, dihasilkan nilai erosi dan volume serta debit puncak DRO yang lebih kecil dari kondisi eksisting dan S1, S2, S3, S4, S5, S6 dan S7. Hal ini dapat bermanfaat mengurangi jumlah kehilangan lapisan tanah paling atas (top soil merupakan lapisan subur). Selain itu, karena mampu meningkatkan laju infiltrasi, sehingga dapat mengurangi jumlah aliran permukaan dan meningkatkan volume cadangan air bawah tanah. Manfaat lainnya adalah mendapatkan debit aliran sungai yang relatif stabil (suplai air masih tersedia pada musim kemarau). Kata kunci: AGNPS, debit puncak direct runoff, hasil sedimen, perubahan penggunaan lahan, volume direct runoff
SUMMARY SIMULATION OF THE LAND USAGE OF PASIR BUNCIR MICRO WATERSHED MODEL, UPSTREAM SUB CISADANE WATERSHED. SUPERVISED BY KUKUH MURTILAKSONO AND YAYAT HIDAYAT. The upstream Cisadane Watershed may become a critical area, because of changing pattern of land utilization and land management, which do not pay attention to topographical conditions (slopes more than 25%) resulting in high potential runoff and soil erosion. For that, it is necessary to make a simulation modeling using AGNPS models. The study aimed (1) to apply the AGNPS models to predict runoff and sediment yield, and (2) to detemine the best land usage in MDM Pasir Buncir using AGNPS model. The stages of this study included : 1) preparation and collection of AGNPS model input data, 2) implementation of the AGNPS models; 3) validation of the model; and 4) simulation of the scenario effects of land use change scenario on hydrology and sediment response. The simulations was carried out with 8 land use change scenarios. The first scenario (S1) : 30 % of the bushy land use was changed into dry land (not irrigated) with the application of soil conservation technique in the form ridge terrace plus strengthener grass; The second scenario (S2) : 30 % of the bushy land use was changed into dry land (not irrigated) with the application of soil conservation techniques in the form of vertical mulch 6 tons/ha; The third scenario (S3) : 30 % of the bushy land use was changed into mixed farm with the application of soil conservation technique in the form ridge terrace plus strengthener grass; The fourth scenario (S4) : 30 % of the bushy land use was changed into mixed farm with the application of soil conservation technique in the form of vertical mulch mulch 6 tons/ha. The fifth scenario (S5) : 30 % of the bushy land use was changed into permanent vegetation with a high density level with the application of soil conservation technique in the form ridge terrace plus strengthener grass; The sixth scenarios (S6) : 30 % of the bushy land use was changed into permanent vegetation with a high density level with the application of soil conservation technique in the form of vertical mulch 6 tons/ha; The seventh scenario (S7) : restoring the existing condition into the initial condition as concession land of HGU PTP XI (Rubber Plantation), where the entire area of the bushy land use was changed into permanent vegetation of rubber commodity with a high density with the application of soil conservation technique in the form of ridge terrace plus strengthener grass; and eight scenario (S8) : S7 with the application of soil conservation technique in the form of vertical mulch 6 tons/ha. Calibration and validation of AGNPS model were performed by using rainfall data input with different criteria : (1) the same pattern of rainfall; (2) the rainfall intensity exceeded 1.5 cm/h, and (3) the same AMC rain episodes. Calibration was done by using the data of ten rain events in 2008, while the validation was done by using the data of nine rain events 2009. The calibration and validation methods used were the method of trial and error. The results of calibration and validation were statistically tested using Pearson's coefficient of determinant (R2) and Nash and Sutcliffe coefficient (NSE).
The AGNPS model could well simulate changes in land use on hydrologic response and sediment yield in MDM Pasir Buncir, upstream sub watershed Cisadane with R2 and NSE for DRO volume were 0.84 and 0.80, for a DRO peak discharge of 0.95 and 0.72, and for the sediment at 0.87 and 0.87 The change of the bushy land use entirely into permanent vegetation (rubber plantation with a high density) (S7 and S8) had an effect on reducing the DRO volume by 48.19%, DRO peak discharge 61.37%, and the sediment was 38.92% and 41.13%. The implementation of land use in the MDM Pasir Buncir was to achieve an ideal integrated watershed management, where the hydrologic response was good and the erosion was smaller in accordance with scenario 8. By applying scenarios 8, the value of erosion and volume DRO and DRO peak discharge were smaller than the existing condition and S1, S2, S3, S4, S5, S6, and S7. This could reduce the amount of top soil loss, increase the infiltration rate, decrease the amount ofe volume of ground water. Another benefit was that the river water discharge was relatively stable (water supply was still available in the dry season). The key word : AGNPS, DRO peak discharge, DRO volume, land use change , sediment yield
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SIMULASI PENGGUNAAN LAHAN DI MODEL DAS MIKRO PASIR BUNCIR, SUB DAS CISADANE HULU
NINA SUSILAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc
Judul Tesis : Simulasi Penggunaan Lahan di Model DAS Mikro Pasir Buncir, Sub DAS Cisadane Hulu Nama : Nina Susilawati NIM : A155100011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS Ketua
Dr Ir Yayat Hidayat, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 14 Juli 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Nopember 2011 ini ialah menerapkan model AGNPS untuk memilih penggunaan lahan terbaik dalam memberikan repon hidrologi dan sedimen, dengan judul “Simulasi Penggunaan Lahan Di Model DAS Mikro Pasir Buncir, Sub DAS Cisadane Hulu”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Yayat Hidayat, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan saran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc selaku penguji luar komisi dan ketua program studi DAS yang telah memperkaya tulisan ini. Di samping itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Kehutanan atas dukungan beasiswa pendidikan pascasarjana. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir Dodi Susanto, MM selaku Kepala Balai dan Junediyono, S.Hut, MM selaku Kepala Seksi Evaluasi DAS, serta teman teman BPDAS Citarum Ciliwung yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ugi dan temanteman Fordas IPB atas dukungan semangatnya. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sholahudin dan Bapak Jajat dari Pengamat dan Penjaga SPAS di MDM Pasir Buncir yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua Ayah M Sidik Suhendar (almarhum) dan Ibunda Wariyah, Suami Ali Said, dan Anak Yazid, Najma, Rima dan Haura serta Teh Enung sebagai asisten di rumah dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Nina Susilawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 3 3 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai dan Model Hidrologi Aliran Permukaan dan Erosi Model AGNPS Model DAS Mikro
5 5 6 9 14
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian
14 14 14 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kalibrasi dan Validasi Model AGNPS Keluaran Model AGNPS Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan
24 24 28 33 38
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
43 43 44
DAFTAR PUSTAKA
44
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
71
DAFTAR TABEL 1 Perubahan penggunaan lahan pada MDM Pasir Buncir Sub DAS Cisadane Hulu Tahun 2003 dan 2009 2 Nilai bilangan kurva di MDM Pasir Buncir (AMC III) 3 Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) di MDM Pasir Buncir 4 Nilai faktor tanaman dan pengelolaan tanaman (C) di MDM Pasir Buncir 5 Nilai faktor kekasaran permukaan n, Manning (N) di MDM Pasir Buncir 6 Nilai faktor konstanta kondisi permukaan (SCC) di MDM Pasir Buncir 7 Nilai faktor erodibilitas tanah (K) di MDM Pasir Buncir 8 Karakteristik hujan masukan model AGNPS pada proses kalibrasi di MDM Pasir Buncir 9 Karakteristik hujan masukan model AGNPS pada proses validasi di MDM Pasir Buncir 10 Luas penggunaan lahan eksisting dan skenario perubahan penggunaan lahan di MDM Pasir Buncir 11 Rata-rata curah hujan, suhu, dan kecepatan angin bulanan periode tahun 2008-2010 di MDM Pasir Buncir 12 Sebaran kelas lereng di MDM Pasisr Buncir 13 Koefisien Nash dan Sutcliffe dan koefisien determinan pada proses kalibrasi parameter model AGNPS di MDM Pasir Buncir 14 Koefisien Nash dan Sutcliffe dan koefisien determinan pada proses validasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir 15 Perbandingan hasil model pada kondisi eksisting dan skenarionya di MDM Pasir Buncir 16 Hasil uji lanjut BNT taraf 5 % volume DRO pada setiap skenario di MDM Pasir Buncir 17 Hasil uji lanjut BNT taraf 5 % debit puncak DRO pada setiap skenario di MDM Pasir Buncir 18 Hasil uji lanjut BNT taraf 5 % sedimen pada setiap skenario di MDM Pasir Buncir 19 Nilai perhitungan erosi pada kondisi eksisting dan skenario di MDM Pasir Buncir
2 17 18 18 19 19 20 21 22 24 26 28 29 31 38 39 40 40 43
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Diagram alir tahapan penelitian Komponen total runoff Pembagian sel dalam model AGNPS Arah pergerakan sedimen dan aliran permukaan dalam sel Kurva lengkung debit aliran sungai Lengkong (SPAS Lengkong) Kurva lengkung debit sedimen sungai Lengkong (SPAS Lengkong) Keragaan curah hujan harian dan debit aliran sungai Cisadane Hulu (Januari 2008 sampai dengan bulan Oktober 2010) di MDM Pasir Buncir
4 8 10 13 26 27
28
8 scatter plot volume DRO pengukuran dan hasil kalibrasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir 9 scatter plot debit puncak DRO pengukuran dan hasil kalibrasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir 10 scatter plot sedimen pengukuran dan hasil kalibrasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir 11 scatter plot volume DRO pengukuran dan hasil validasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir 12 scatter plot debit puncak DRO pengukuran dan hasil validasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir 13 scatter plot sedimen pengukuran dan hasil validasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir 14 Distribusi spatial volume DRO (m3) keluaran model AGNPS pada kejadian hujan 5 Mei 2008 dengan penggunaan lahan eksisting 15 Distribusi spatial debit puncak DRO (m3/s) keluaran model AGNPS pada kejadian hujan 5 Mei 2008 dengan penggunaan lahan eksisting 16 Distribusi spatial sedimen (ton) keluaran model AGNPS pada kejadian hujan 5 Mei 2008 dengan penggunaan lahan eksisting
30 30 31 32 32 33 35 36 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta sebaran titik sampel di MDM Pasir Buncir 2 Perhitungan Energi Intensitas Hujan (EI30) kejadian hujan terpilih di MDM Pasir Buncir 3 Data lapangan (tekstur tanah, % bahan organik, nisbah liat dan HSG) di MDM Pasir Buncir 4 Nilai bilangan kurva untuk kondisi kandungan air tanah di MDM Pasir Buncir 5 Grafik curah hujan, debit dan tinggi muka air episode hujan terpilih di MDM Pasir Buncir 6 Peta penggunaan lahan tahun 2009 di MDM Pasir Buncir 7 Peta penggunaan lahan skenario 1 di MDM Pasir Buncir 8 Peta penggunaan lahan skenario 3 di MDM Pasir Buncir 9 Peta penggunaan lahan skenario 5 di MDM Pasir Buncir 10 Peta penggunaan lahan skenario 7 di MDM Pasir Buncir 11 Peta tanah di MDM Pasir Buncir 12 Peta DEM di MDM Pasir Buncir 13 Karakteristik hujan masukan model AGNPS pada proses running keluaran model (Bulan Januari sampai Mei 2010) di MDM Pasir Buncir 14 Hasil keluaran model AGNPS pada musim penghujan tahun 2010 (Bulan Januari sampai Mei 2010) di MDM Pasir Buncir 15 Data masukan model AGNPS di MDM Pasir Buncir 16 Faktor konversi
47 48 50 53 54 57 58 59 60 61 62 63 64 65 69 70
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Undang Undang Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari komponen abiotik dan biotik yang saling mempengaruhi. DAS Cisadane merupakan salah satu DAS strategis dan prioritas di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Saat ini, pemanfaatan dan pengelolaan lahan di DAS Cisadane mengalami perubahan yang significant. Pemanfaatan dan pengelolaan tersebut tidak hanya terbatas pada sektor pertanian tetapi juga berkembang untuk kebutuhan industri dan pemukiman. Perubahan pola pemanfaatan lahan tersebut telah menyebabkan perubahan kondisi ekologis dan hidrologis wilayah. Hal ini sangat berpotensi menyebabkan menurunnya kualitas air, tingkat erosi yang tinggi di bagian hulu, bencana banjir, dan tanah longsor. Wilayah hulu DAS Cisadane berpotensi menjadi lahan yang lebih kritis. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.32/Menhut-II/2009 tanggal 11 Mei 2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL DAS) dan Peraturan Direktur Jenderal Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDASPS) No. P.4/V-SET/2013 tanggal 26 Juli 2013 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis, bahwa yang dimaksud dengan lahan kritis adalah lahan di dalam maupun di luar kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Lahan dikategorikan kritis apabila memenuhi nilai parameter : (1) penutupan lahan kurang dari 40%, (2) kemiringan lereng curam atau sangat curam, (3) tingkat bahaya erosi berat atau sangat berat, (4) produktivitas rendah, dan (5) pengelolaan lahan kurang baik. Alih fungsi lahan di MDM Pasirbuncir intensif, terutama alih fungsi lahan tegalan/kebun menjadi semak belukar/lahan kosong (Tabel 1). Memperhatikan kondisi alih fungsi lahan, dan mempertimbangkan pengertian lahan kritis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kekritisan lahan di MDM Pasir Buncir berpotensi mengalami peningkatan. Menurut Fitria et al. (2009) akumulasi air yang hilang sebagai run off di DAS Cisadane dalam setahun sekitar 4 627 mm (1 834 juta m3). Rata-rata rasio run off dari Sub DAS Cisadane Hulu terhadap CH sekitar 43%, berkisar 205 – 4 115 mm, rata-rata sekitar 1588 mm (680.3 juta m3). Berdasarkan dokumen Rencana Detail Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane (BPDAS Citarum-Ciliwung 2008), penanganan DAS Cisadane Hulu di Kecamatan Caringin diprioritaskan karena merupakan “penyumbang” aliran terbesar, yaitu sebesar 60 m3/det, setelah Nanggung (180 m3/det) dan Pamijahan (82 m3/det).
2 Tabel 1. Perubahan Penggunaan lahan pada Model DAS Mikro Pasir Buncir Sub DAS Cisadane Hulu tahun 2003 dan 2009 Penggunaan Lahan
2003 Ha
Belukar/Semak Hutan Kebun/Perkebunan Pemukiman Rumput/Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang
1 029.40 108.90 12.10 73.50 539.04 1 762.94
% 58.39 6.18 0.69 4.17 30.58 100.00
2009 Ha % 472.2 26.78 1 029.72 58.41 104.06 5.90 12.99 0.74 2.7 0.15 23.18 1.31 42.87 2.43 75.22 4.27 1762.94 100.00
Perubahan (%) +26.78 +0.02 -0.27 +0.05 +0.15 -0.42 -26.31
Sumber : Interpretasi citra Tahun 2003 dan Tahun 2009 Catatan :% = (luas 2009 – luas 2003)/luas DAS, dan Perubahan (%) = % Tahun 2009 - % Tahun 2003
Wilayah DAS Cisadane yang memiliki laju erosi lebih dari 180 ton/hektar/tahun adalah seluas 9 811 hektar. Dari 9 811 hektar tersebut, 39.26% atau seluas 3 851.8 hektar, terdapat di Sub DAS Cisadane Hulu (BPDAS Citarum Ciliwung 2010). Tingkat Bahaya Erosi di Sub DAS Cisadane Hulu, menurut Herawati (2010) terdapat seluas 316 hektar yang termasuk dalam kategori sangat berat, seluas 47 hektar (14.87%) terdapat di lokasi Model DAS Mikro (MDM) Pasir Buncir. Sedangkan yang termasuk kategori berat terdapat seluas 851 hektar, seluas 233 hektar (27.38%) terdapat di MDM Pasir Buncir. Hal ini dikarenakan secara fisiografi tingkat kemiringan lahan yang lebih dari 25% di Sub DAS Cisadane Hulu sebanyak 61% dari luas keseluruhan (BPDAS Citarum-Ciliwung 2010). Selain itu penggunaan lahan berupa tanah terbuka, tegalan/ladang, semak belukar di Sub DAS Cisadane Hulu, ada sekitar 31% pada kemiringan lereng lebih dari 45%, dan 24% terletak pada kemiringan 25 - 45% (Puspaningsih 1999). Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka kajian terhadap besarnya aliran permukaan dan sedimen perlu dilakukan untuk dapat menganalisis dan menyusun strategi pengelolaan DAS di MDM Pasir Buncir Sub DAS Cisadane Hulu. Analisis aliran permukaan dan sedimen serta simulasi strategi pengelolaan DAS dapat dilakukan dengan menggunakan alat berupa model hidrologi. Menurut Soemarno (2011) model hidrologi digunakan untuk tujuan : 1) menetapkan ciri-ciri lebih lanjut dan mengerti sistem yang ada, 2) untuk mengevaluasi respon sistem terhadap berbagai masukan presipitasi, 3) membantu merancang dan mengoptimalkan fungsi-fungsi cara bekerjanya dan perawatan struktur sumberdaya air, 4) mengevaluasi respon sistem untuk perubahanperubahan dalam faktor-faktor DAS (yaitu daya infiltrasi tanah, jalur aliran air), dan 5) mengevaluasi respon sistem terhadap perubahan-perubahan dalam faktorfaktor manusia (yaitu tata guna lahan). Prinsip pengelolaan DAS, yang memadukan kepentingan produktivitas dan konservasi dalam perencanaannya, dapat menggunakan pemodelan hidrologi untuk merumuskan tata guna lahan anjuran, sesuai dengan fungsi dan struktur lahan. Pemanfaatan model hidrologi dan simulasinya dapat membantu dalam perencanaan penatagunaan lahan atau mengevaluasi kondisi lahan actual (existing landuse) terhadap hasil air dan ikutannya (aliran dan sedementasi). Selain itu
3 model hidrologi dan simulasinya juga dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi hasil implementasi atau kebijakan perencanaan yang telah disusun dengan pendekatan yang berbeda. Salah satu model hidrologi yang dapat digunakan dalam menganalisis dan menyusun perencanaan pengelolaan DAS adalah model Agricultural Non Point Source Pollution Model (AGNPS). Model ini didasarkan pada model kejadian, yang dapat digunakan untuk mesimulasikan perilaku aliran permukaan, sedimen dan transport hara dari DAS dengan penggunaan lahan berbasis pertanian yang lebih dominan (Young et al.1987). Dengan mempertimbangkan kegunaan dari model, maka perencanaan pengelolaan DAS dapat dilakukan dengan menerapkan model tersebut. Perumusan Masalah DAS Cisadane termasuk salah satu DAS prioritas dan mempunyai peran strategis dalam menjaga dinamika dan kestabilan ekosistem serta pengatur tata air beberapa kota/kabupaten di wilayah tengah dan hilirnya seperti : Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Namun demikian beberapa permasalahan saat ini dapat mengurangi peran dan fungsi DAS dalam menunjang pertumbuhan ekonomi wilayah. Beberapa permasalahan tersebut adalah : 1. Adanya kecenderungan alih fungsi lahan yang cukup intensif akan mendorong/mempercepat bertambahnya lahan kritis. 2. Fluktuasi debit aliran sungai yang cukup tinggi antara musim penghujan dan musim kemarau yang dapat menyebabkan banjir pada musim penghujan (kritisnya wilayah hilir) dan kekeringan pada musim kemarau. 3. Pengelolaan lahan yang kurang baik pada lahan yang berlereng curam (> 40% sebesar 72.5% (MDM Pasirbuncir). 4. MDM Pasir Buncir merupakan unit pengelolaan DAS terpadu tingkat lapangan, sehingga perlu perencanaan penatagunaan lahan. 5. Simulasi model perlu dilakukan dalam rangka mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi dan hasil sedimen. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Menggunakan model AGNPS untuk memprediksi aliran permukaan dan hasil sedimen; 2. Menentukan penggunaan lahan terbaik di MDM Pasir Buncir menggunakan model AGNPS. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh : 1. Pengguna lahan untuk memilih pola penggunaan lahan yang terbaik dilihat dari respon hidrologi dan sedimen; 2. BPDAS/Stakeholder pengelolaan DASsebagai alat bantu untuk mengevaluasi dan merencanakan penatagunaan lahan di MDM Pasir Buncir, Sub DAS Cisadane Hulu.
4 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini dibatasi pada 4 tahapan penelitian yang dilakukan di MDM Pasir Buncir, Sub DAS Cisadane Hulu dengan luas lahan 1 762.94 hektar. sebagaimana Gambar 1, yaitu : 1) persiapan data spatial serta data primer dan sekunder di MDM Pasirbuncir; 2) Menjalankan model AGNPS mulai dari pembuatan grid, konversi ke format AGNPS, pengisian nilai-nilai parameter dan menjalankannya sampai mendapatkan output hidrologi dan sedimen; 3) Melakukan kalibrasi dengan menggunakan data tahun 2008 dan melakukan validasi dengan menggunakan data tahun 2009; dan 4) Mensimulasikan skenario perubahan penggunaan lahan sebanyak 4 skenario perubahan yang dipadukan dengan 2 teknik konservasi tanah dan air.
Mulai
Data Primer dan Sekunder : • Iklim • Tinggi Muka Air • Sifat fisika dan kimia tanah • Tingkat pemupukan
Data Spatial : • Peta Penggunaan Lahan • Peta Tanah semi detai • Peta DEM
Pembuatan Grid : • Penomoran • Penentuan arah aliran • Aspek Parameterisasi Model
Menjalankan Model AGNPS Data Pengukuran Lapangan
Kalibrasi Model Tidak
Validasi Model ( NSE > 0.75) (Van Liew et al.2003)
Ya
Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan terbaik Selesai
Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai dan Model Hidrologi Menurut Undang Undang Sumber Daya Air (UU Nomor 7 Tahun 2004), Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS dapat dikatakan sebagai sistem hidrologi, dimana curah hujan sebagai masukan, diproses di dalam DAS dengan mempertimbangkan berbagai karakteristik fisik DAS, dengan keluaran berupa debit aliran sungai dan hasil sedimen. Harsoyo (2010) mengemukakan bahwa model adalah representasi atau gambaran dari suatu keadaan, objek, dan kejadian. Representasi tersebut harus diungkapkan dalam bentuk sederhana, yaitu dengan meminimalkan variabelvariabel lain yang rumit dan tidak terkait secara langsung dengan model tersebut. Dengan demikian model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks”. Model hidrologi DAS berkembang cepat, baik dalam hal jumlah, konsep pendekatan masalah, maupun teknik analisa data. Hal tersebut tentunya sangat berkaitan dengan berkembangnya sistem komputasi data, dan teknik akuisisi data. Menurut Dasanto (2000) dalam Harsoyo (2010) bahwa model hidrologi secara umum dibagi menjadi lima, yaitu : 1) Model Stokastik. Model stokastik adalah suatu model matematik yang dapat menerima sembarang peubah, yaitu sebagai peubah acak yang mempunyai sebaran acak. Model ini umumnya digunakan untuk menganalisa sifat fisik statistik output dari suatu sistem yang didasarkan pada urutan kejadian sebagai akibat perubahan waktu dan menghasilkan suatu set data dalam jangka panjang dengan sifat yang sama pula. Set data tersebut dapat dianalisa untuk memperoleh gambaran mengenai kemungkinan urutan kejadian yang akan terjadi di masa datang, misalnya frekuensi harapan dari debit air. 2) Model Probabilitas. Dalam model ini konsep frekuensi dan probabilitas memegang peranan penting seperti halnya dalam model stokastik, namun dalam model ini tidak memperhitungkan urutan kejadian. 3) Model Konseptual. Model konseptual didasarkan pada keadaan yang sebenarnya dari sistem dengan struktur yang lebih sederhana, misalnya penyederhanaan proses di dalam DAS dan modelnya antara lain : (1) pendekatan model rasonal, (2) pendekatan linear dan non linear dari suatu reservoir, (3) kombinasi model rasional dan pendekatan reservoir. 4) Model Parametrik. Model ini umumnya digunakan untuk mendapatkan pernyataan matematik yang mengungkapkan fungsi dari DAS yang akan dikonversi ke dalam input dan output (black box models). 5) Model Deterministik. Model deterministik adalah suatu model matematik yang hanya dapat menerima peubah yang bebas dari variasi acak. Model ini didasarkan pada struktur sebenarnya dari sistem dan kaidah fisika yang mengatur perilaku sistem tersebut. Berdasarkan variable dan parameter input
6 atau output maka model deterministik dapat dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu lumped dan distributed. Variabel atau parameter disebut lumped apabila besaran yang diwakilinya tidak mempeunyai variabilitas ruang, misalnya masukan yang berupa hujan rata-rata DAS adalah masukan yang bersifat lumped. Sebaliknya, variabel dan parameter yang distributed mengandung variabilitas ruang dan waktu. Beberapa model hidrologi yang diaplikasikan di Indonesia untuk memprediksi respon hidrologi dan erosi (Harsoyo 2010) yaitu ; 1. Model AGNPS (Agricultural Non-Point Source), merupakan model prediksi erosi skala DAS. Karakteristik model ini menggunakan pendekatan parameter distribusi, dimana luas DAS dipresentasikan oleh jaringan sel. Model ini dapat digunakan untuk menghitung volume aliran permukaan, debit puncak aliran dan sedimen. 2. Model ANSWERS (Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response Simulation), merupakan model deterministik yang dapat digunakan untuk mensimulasikan karakteristik DAS pada saat dan setelah terjadinya hujan. Model ini dapat digunakan untuk menghitung debit aliran pada sungai, kehilangan tanah akibat erosi dan sedimentasi. 3. Model HEC-HMS (Hydrologic Engineering Centers’s Hydrologic Modelling System), merupakan program komputer untuk menghitung pengalihragaman hujan dan proses routing pada suatu sistem DAS. Model ini dapat digunakan untuk menghitung volume runoff, direct runoff, baseflow dan channel flow. 4. Model TOPOG, merupakan model hidrologi deterministik dengan parameter terdistribusi yang didasarkan pada analisis topografi. Model ini digunakan untuk memprediksi genangan air, erosi dan longsor. 5. Model ANFIS (Adaptive Neuro Fuzzy Inference System), merupakan suatu model yang dapat digunakan untuk memproses data deret waktu dengan struktur pengolahan data paralel. Model ini diaplikasikan untuk membuat prediksi kejadian banjir. 6. Model SWAT (Soil and Water Assesment Tool), merupakan model prediksi pengaruh jangka panjang untuk skala DAS. Model ini digunakan untuk memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen dan bahan kimia pertanian sepanjang waktu yang lama. Penggunaan model dan simulasi hidrologi pada suatu sistem yang komplek seperti sistem hidrologi DAS sangat bermanfaat. Hal ini dikarenakan model dan simulasi merupakan penyederhanaan dari sistem serta merupakan sintesis yang mencoba merinci mekanisme yang bekerja pada sistem, sehingga perilaku berbagai penyusun sistem yang tergolong penting dapat diketahui (Dooge 1973). Dengan metode simulasi diharapkan proses fisik dapat diduplikasi dengan tolok ukur keluaran diupayakan mendekati kesamaan prototipe nyata dari sistem (Pawitan 1999). Aliran Permukaan dan Erosi Arsyad (2010) memberikan batasan erosi sebagai peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Di daerah beriklim basah, erosi oleh airlah yang penting, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti. Erosi merupakan tiga proses yang berurutan, yaitu
7 pelepasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation) bahan-bahan tanah oleh penyebab erosi (Asdak 2007). Dua peristiwa utama erosi, yaitu pelepasan dan pengangkutan merupakan penyebab erosi tanah yang penting. Dalam proses erosi, pelepasan butir tanah mendahului peristiwa pengangkutan, tetapi pengangkutan tidak selalu diikuti oleh pelepasan. Agen pelepasan tanah yang penting adalah tetesan butir hujan yang jatuh di permukaan tanah. Tetesan air hujan akan memukul permukaan tanah, mengakibatkan gumpalan tanah menjadi butir-butir yang lebih kecil dan terlepas. Butir-butir tanah yang terlepas tersebut sebagian akan terlempar ke udara (splash) dan jatuh lagi di atas permukaan tanah, dan sebagian kecil akan mengisi pori-pori kapiler tanah, sehingga akan menghambat proses infiltrasi (Vadari, Subagyono dan Sutrisno 2007). Hasil sedimen didefinisikan sebagai total sedimen yang terangkut dari suatu DAS yang dapat diukur dan terjadi pada waktu kejadian tertentu (American Society of Civil Engineers 1970 dalam Singh 1992). Arsyad (2010) mengemukakan bahwa sedimen adalah tanah atau bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai (DAS) dan masuk ke dalam suatu badan air secara umum. Arsyad (2010) menyimpulkan bahwa erosi adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, tumbuhan, tanah dan manusia terhadap tanah yag dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut : E = f(i, r, v, t, m)..........................................................................................(1) di mana : E adalah besarnya erosi, i adalah iklim, r adalah topografi, v adalah tumbuhan, t adalah tanah dan m adalah manusia. Faktor iklim yang berpengaruh besar terhadap erosi dan aliran permukaan adalah hujan, terutama untuk daerah tropika basah seperti Indonesia. Sifat-sifat hujan yang menentukan proses dispersi tanah, kehilangan tanah akibat erosi adalah jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Arsyad (2010) mengemukakan bahwa pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi antara lain melalui (1) intersepsi air hujan, (2) mengurangi kecepatan aliran permukaan dankekuatan perusak hujan dan aliran permukaan, (3) pengaruh akar, bahan organik sisa-sisa tumbuhan yang jatuh di permukaan tanah, dan kegiatan-kegiatn biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur porositas tanah, dan (4) transpirasi yang mengakibatkan berurangnya kandungan air tanah. Hal ini mendukung pernyataan Jaya (1994) bahwa aliran permukaan dan erosi meningkat secara logaritmik dengan semakin besarnya intensitas hujan dan persentase luas lahan terbuka. Menurut Acherrman et al. (1995) bahwa persen penutupan tanah oleh tanaman dapat mengurangi erosi yang terjadi. Persen penutupan tanah berkorelasi positif dengan penurunan erosi. Demikian juga untuk aliran permukaan, menjadi berkurang dengan meningkatnya persen penutupan tanah. Fahrudin dan Meti (2010) menyatakan bahwa lahan yang ditanami jagung menunjukkan potensi erosi sebesar 3 036 ton/ha/tahun, kebun campuran dominan tanaman pisang sebesar 2 355.83 ton/ha/tahun dan singkong sebesar 1 282.91 ton/ha/tahun. Juga Kadir (2008) mengemukakan bahwa jumlah erosi pada penggunaan lahan hutan sekunder di Sub DAS Teweh Kabupaten Barito Utara berkisar antara 1.221 ton/ha/tahun - 56.465 ton/ha/tahun, semak belukar sebesar
8 50.187 – 361.708 ton/ha/tahun, dan ton/ha/tahun.
alang-alang sebesar 57.279 - 275.676
Komponen Hidrograf Aliran Sungai Hidrograf aliran sungai yang berasal dari satu kejadian hujan merupakan sebuah hidrograf total runoff. Komponen hidrograf total runoff adalah 1) direct runoff (DRO) dan baseflow. Direct runoff terdiri dari surface runoff (overland flow = aliran permukaan) dan quick interflow (sub surface flow = aliran bawah permukaan), dimana baseflow (groundwater flow = aliran bawah tanah) dibagi menjadi delayed interflow dan groundwater (Singh 1991). Secara lebih detil disajikan pada Gambar 2.
Streamflow (Total runoff)
Direct runoff
Baseflow Assumption varies
Surface runoff (precipitation excess + channel precipitation)
Quick subsurface runoff or interflow
Delayed subsurface runoff or interflow
Groundwater runoff (deep percolation)
Subsurface runoff (infiltration)
Gambar 2 Komponen Total Runoff Prediksi Erosi dan Sedimen Prediksi erosi menurut Arsyad (2010) merupakan suatu metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang digunakan dalam suatu penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. USLE (Universal Soil Loss Equation) merupakan model untuk memprediksi erosi dari suatu area tertentu dengan jenis tanaman dan pengelolaan yang tertentu (Wischmeier and Smith 1978). Sinukaban (1990) menyatakan bahwa USLE yang paling luas diadaptasikan di Indonesia. Persamaan USLE dirumuskan sebagai berikut :
9 A = R.K.L.S.C.P .........................................................................................(2) dimana : A : banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/tahun) R : faktor curah hujan dan aliran permukaan (indeks erosivitas hujan) K : faktor erodibilitas tanah L : faktor panjang lereng S : faktor kecuraman lereng C : faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P : faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah Hasil sedimen adalah sejumlah partikel tanah yang terangkut dari suatu DAS. Menurut Asdak (2007) bahwa erosi merupakan sumber utama sedimen sungai yang terukur di outlet, tetapi tidak seluruh erosi permukaan akan mencapai outlet karena faktor kondisi fisik DAS sangat menentukan sedimen sungai. Secara garis besar model prediksi sedimen digolongkan ke dalam : a) model yang diturunkan dari analisis statistik; menghubungkan hasil sedimen dengan satu atau lebih faktor DAS atau faktor iklim, dan b) model parameter; menggunakan nilai numerik untuk mengkuantifikasi faktor penyebab erosi, pengangkutan dan pengendapan. Model yang termasuk katagori ini menggunakan interaksi pembedaan waktu (time variant interactions) dari proses-proses fisik (Nugroho 2000). Asdak (2007) dan Arsyad (2010) mengemukakan bahwa Sediment Delivery Ratio (SDR) yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Nisbah pe-Lepasan Sedimen (NLS) merupakan salah satu metoda prediksi hasil sedimen pada suatu DAS. SDR didefinisikan sebagai nisbah antara jumlah sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap jumlah erosi yang terjadi di dalam DAS. Model AGNPS Model AGNPS (Agricultural Non-Point Source) dikembangkan oleh United States Departemen of Agriculture (USDA) pada Agriculture Research Servis (ARS) di Morris Minnesota untuk membandingkan pengaruh teknik pengelolaan dan pencemaran dalam pengelolaan DAS (Leon dan Lam 2008). Model AGNPS merupakan gabungan antara model distribusi dan sekuensial yang mensimulasikan surface run off, sedimen dan transfor hara dari pertanian pada suatu DAS. Unsur hara yang berupa Nitrogen (N) dan Posfor (P), merupakan unsur hara esensial bagi tanaman dan memberikan kontribusi yang paling utama terhadap pencemaran air permukaan (Young et al. 1987). Model AGNPS bekerja pada basis sel. Setiap sel berbentuk bujur sangkar seragam yang membagi DAS secara merata, dimana memungkinkan analisa pada titik dalam suatu DAS. Polutan potensial ditelusuri melalui sel-sel dari awal hingga outlet secara bertahap sehingga aliran pada setiap titik antar sel dapat diperhitungkan. Seluruh karakteristik DAS dan masukan digambarkan pada tingkatan sel. Setiap sel mempunyai resolusi 2.5 acre (1.01 ha) hingga 40 acre (16.19 ha). Ukuran sel lebih kecil seperti 10 acre direkomendasikan untuk DAS dengan luas kurang dari 2000 acre (809.36 ha). Untuk DAS yang luasnya lebih dari 2000 acre, maka ukuran sel dapat berukuran 40 acre (16.19 ha) (Young et al.
10 1994; 1987). Setiap sel dapat dibagi lagi menjadi sel-sel yang lebih kecil untuk mendapatkan resolusi yang lebih rinci dari topografi yang kompleks (Gambar 3).
Gambar 3 Pembagian sel dalam model AGNPS Kelebihan model ini terletak pada parameter-parameter model yang terdistribusi di seluruh areal DAS, sehingga nilai-nilai parameter model benarbenar mencerminkan kondisi biofisik DAS pada setiap satuan luas di dalam DAS. Selain erosi, model ini mampu menghasilkan keluaran-keluaran seperti : volume dan laju puncak direct runoff, hasil sedimen, dan kehilangan hara N, P dan COD (Young et al. 1994). Adapun kelemahan dari model AGNPS ini adalah : 1) dalam pendugaan direct runoff model tidak mengeluarkan output dalam bentuk hidrograf, sehingga perbandingan antara hidrograf hasil prediksi dengan hidrograf hasil pengukuran tidak bisa diperlihatkan; 2) waktu respons yang merupakan indikator untuk menentukan kondisi biofisik DAS tidak dinyatakan dalam keluaran model. Parameter Model AGNPS Ada dua parameter dalam model AGNPS yaitu inisial data dan data per sel (spreadsheet data entry) (Young et al. 1994). Parameter masukan inisial data meliputi : (1) identifikasi DAS, (2) deskripsi DAS, (3) luas sel (akre), (4) jumlah sel, (5) curah hujan (inchi), (6) konsentrasi N dalam curah hujan (ppm), (7) energi intensitas curah hujan maksimum 30 menit (EI30), (8) durasi curah hujan (jam), (9) perhitungan debit puncak aliran, (10) perhitungan geomorfik dan (11) faktor bentuk hidrograf. Sedangkan parameter per sel dalam model AGNPS terdiri dari 22 parameter. Parameter tersebut adalah : (1) nomor sel, (2) nomor sel penerima, (3) divisi sel, (4) divisi sel penerima, (5) arah aliran, (6) bilangan kurva aliran permukaan, (7) kemiringan lereng (%), (8) faktor bentuk lereng, (9) panjang lereng, (10) koefisien aliran manning, (11) faktor erodibiltas tanah, (12) faktor pengelolaan tanaman, (13) faktor pengelolaan tanah, (14) konstanta kondisi permukaan, (15) faktor COD, (16) tekstur tanah, (17) indikator pemupukan, (18) indikator pestisida, (19) indikator point source, (20) indikator tambahan erosi, (21) faktor genangan, dan (22) indikator saluran.
11 Keluaran Model AGNPS Hasil keluaran (output) dari model AGNPS dapat berupa grafik dan tabular dengan informasi yang sangat lengkap, baik keluaran DAS (Watershed Summary) maupun keluaran per sel. Keluaran DAS meliputi : (1) volume direct runoff (DRO), (2) laju puncak DRO, (3) total hasil sedimen, (4) total N dalam sedimen, (5) total N terlarut dalam DRO, (6) kosentrasi N terlarut dalam DRO, (7) total P dalam sedimen, (8) total P terlarut dalam DRO, (9) konsentrasi P terlarut dalam DRO, (10) total COD terlarut, dan konsentrasi COD terlarut dalam DRO. Sedangkan keluaran per sel dari masing-masing sel yang terdapat dalam DAS dapat berupa (Young et al. 1987) : 1) Hidrologi, meliputi : (a) volume DRO, (b) laju puncak DRO, dan (c) bagian DRO yang dihasilkan di dalam sel. 2) Sedimen, meliputi : (a) hasil sedimen, (b) konsentrasi sedimen, (c) distribusi ukuran partikel sedimen, (d) erosi yang dipasok dari sel sebelah atasnya, (e) jumlah deposisi, (f) sedimen di dalam sel, (g) rasio pengkayaan oleh ukuran partikel, dan (h) rasio pengangkutan oleh ukuran partikel. 3) Kimiawi, meliputi ; (a) nitrogen (massa N per satuan luas di dalam sedimen, konsentrasi dari material terlarut, dan massa dari material terlarut), (b) fosfor (massa P per satuan luas di dalam sedimen, konsentrasi dari material terlarut, dan massa dari P per satuan luas di dalam sedimen, konsentrasi air dari material terlarut, dan massa dari material terlarut), dan (c) COD (konsentrasi COD, massa COD terlarut per satuan luas). Perhitungan dan Persamaan dalam Model AGNPS Perhitungan dalam model AGNPS dilakukan dalam tiga tahap berdasarkan 22 informasi nilai pada setiap sel : 1.
2.
3.
Tahap pertama adalah perhitungan keadaan untuk semua sel dalam suatu DAS yang meliputi pendugaan erosi permukaan (upland erosion), volume DRO serta larutan pencemar yang meninggalkan DAS melalui DRO. Tahap kedua adalah perhitungan volume DRO yang meninggalkan sel yang berisi endapan dan penghambat (impoundment) untuk sel utama. Endapan dari setiap sel dibagi ke dalam lima kelas ukuran partikel yaitu : liat, debu, gumpalan kecil, gumpalan besar dan pasir. Tahap ketiga adalah endapan dan hara ditelusuri melalui sel berikutnya.
Volume Direct Runoff (DRO). Volume DRO di setiap sel ditentukan dengan metode bilangan kurva yang dikembangan oleh Soil Conservation Services (SCS) dengan bentuk persamaan sebagai berikut : (𝑃𝑃−0.2𝑆𝑆)2
𝑄𝑄 = (𝑃𝑃+0.8𝑆𝑆) ...............................................................................................(3) dengan 𝑆𝑆 =
1000 𝐶𝐶𝐶𝐶
− 10 ...............................................................................(4)
dimana : Q = volume DRO (inchi), P = curah hujan (inchi), S = faktor retensi (inchi), CN = bilangan kurva aliran permukaan. Pendekatan SCS sudah diterapkan dengan baik di beberapa negara karena metode ini mempertimbangkan
12 bentuk lahan, sifat hidrologis tanah dan dapat dilakukan pada daerah yang tidak teratur. Hujan lebihnya dihitung berdasarkan informasi bilangan kurva (CN) dan initial abtraction (IA). Debit Puncak Direct Runoff (DRO). Model AGNPS menyediakan dua pilihan metode untuk menghitung debit puncak DRO dalam setiap selnya. Pertama adalah model CREAMS yang mengasumsikan sebuah saluran berbentuk segitiga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Qp = 8,484 * A0.7 * CS0.16 * RO (0,824*A017){Lc2/(A*43650)}-0.19.................(5) dimana: Qp = debit puncak aliran permukaan (feet3/det), A = Luas sel (acre), CS = kemiringan saluran (feet/feet), Lc = panjang saluran (feet), RO = volume aliran permukaan (inchi). Kedua adalah menggunakan metoda yang didasarkan pada TR55 (Young et al. 1994), merupakan sebuah prosedur sederhana untuk menduga volume aliran permukaan dan debit puncak aliran permukaan dalam DAS kecil. Dalam metode ini, sebuah saluran diasumsikan berbentuk segi empat dan puncak aliran didasarkan pada waktu konsentrasi (TC) atau waktu yang diperlukan untuk bergeraknya air dari titik aliran terjauh dari suatu DAS sampai dengan titik pelepasan. Total waktu perjalanan dari banyak sel adalah waktu yang dibutuhkan dari titik terjauh DAS ke outlet. Waktu konsentrasi dihitung dengan mengasumsikan seluruh waktu perjalanan dari sel-sel berurutan dalam sebuah aliran yang spesifik dalam DAS. Debit puncak aliran permukaan dihitung dari waktu konsentrasi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : 𝐴𝐴
Qp = 10 log[C0 + C1(log Tc) + C2 (log Tc)2][ 640]Q ..................................................(6)
dimana Qp = debit puncak aliran permukaan (feet3/det), A= luas DAS (acre), Q = volume aliran permukaan (inchi) dan C0, C1, C2 = koefisien yang didasarkan pada 24 jam hujan dan abstraksi awal sebagai keterangan dari bilangan kurva aliran permukaan. Erosi. Sebuah modifikasi dari USLE, digunakan untuk pendugaan erosi dari hujan tunggal dengan bentuk persamaan sebagai berikut : SL = (EI).K. LS.fss. fsh.C.P ........................................................................(7) dimana ; SL = kehilangan tanah (ton/ha), EI = hasil kali energi kinetik hujan dengan intensitas hujan maksimal 30 menit (feet.ton/acre/inchi), K = faktor erodibilitas tanah, LS = panjang lereng (feet), fss & fsh = kemiringan lereng (%) dan bentuk lereng, C = penutupan dan pengelolaan tanaman, P= teknik konservasi tanah. Penelusuran sedimen. Penelusuran sedimen dikerjakan setiap ukuran partikel dasar sedimen di setiap sel, dimulai dari bagian hulu hingga hilir DAS. Perjalanan airan permukaan, sedimen dan unsur hara memasuki dan meninggalkan suatu sel disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan seluruh aliran
13 permukaan, sedimen dan unsur hara memasuki sel melalui titik O dan meninggalkan sel di titik X. O
aliran
∆X
X Gambar 4. Arah pergerakan sedimen dan aliran permukaan dalam sel Penelusuran sedimen dilakukan melalui pendekatan persamaan pemindahan dan pengendapan sedimen (Young et al. 1994) : 𝑥𝑥
Qs(X) = Qs(0) + Qs∆X/Lr - ∫0 𝐷𝐷(𝑋𝑋)𝑊𝑊𝑊𝑊𝑊𝑊 ...............................................(8)
dimana ; Qs(X) = debit sedimen di ujung hilir saluran (kg/det), Qs(0) = debit sedimen di ujung hulu saluran (kg/det), X = jarak lereng bagian bawah (m), Lr = panjang bentangan (m), D(X) = laju pengendapan sedimen di titik X (kg/det m2), W = lebar saluran (m). Laju pengendapan diperkirakan dengan mengikuti persamaan sebagai berikut : 𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉
D(x) = �𝑞𝑞(𝑥𝑥)�[qs(x) – gs(x)] ........................................................................(9)
dimana ; Vss adalah kecepatan jatuh dari partikel, Q(x) = debit per unit lebar, qs (x) = muatan sedimen per unit lebar, dan gs(x) = kapasitas pemindahan efektif per unit lebar. Kapasitas pemindahan efektif dihitung dengan menggunakan sebuah modifikasi Bagnold dengan persamaan sebagai berikut (Bagnold 1966 dalam Young et al. 1994) : gs(x) = 𝜂𝜂gs =
𝜂𝜂𝜂𝜂𝜂𝜂𝑣𝑣 2 𝑉𝑉𝑠𝑠𝑠𝑠
...................................................................................(10)
dimana : gs(x) = kapasitas pemindahan, η = faktor efektif pemindahan, k = faktor kapasitas pemindahan, τ = tekanan geser (shear stress), dan v = rata-rata kecepatan aliran. Nilai dari kapasitas pemindahan dideskripsikan oleh Young et al. (1994). Muatan sedimen dari setiap lima kelas ukuran partikel yang tinggal di dalam sebuah sel dihitung dengan persamaan sebagai berikut : 2𝑞𝑞(𝑥𝑥)
𝑥𝑥
Qs(x) = �2𝑞𝑞(𝑥𝑥)=∆𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥�{Qs(0) + Qs 𝑙𝑙 -
𝑤𝑤∆𝑥𝑥 𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉 2
𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉
[𝑞𝑞(0) [qs(0)- gs(0)]- 𝑞𝑞(𝑥𝑥)gs(x)]}...(11)
14 Model DAS Mikro Model DAS Mikro (MDM) adalah suatu upaya pengelolaan DAS dalam skala lapangan yang digunakan untuk mengimplementasikan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), teknik-teknik konservasi tanah dan air, usaha tani yang sesuai dengan kemampuan lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat. Kondisi MDM tersebut sedapat mungkin mewakili karakteristik fisik DAS bagian hulu dan tengah (kemiringan dan aspek lahan, jenis tanah), dan masalah-masalah utama pengelolaan DAS (Departemen Kehutanan 2009). Beberapa manfaat pembangunan model DAS mikro menurut Departemen Kehutanan (2009) adalah sebagai berikut : 1) Sebagai tempat uji coba model-model RLPS dan pengelolaan sumberdaya alam serta pemecahan masalah pengelolaan DAS yang efektif, efisien, terukur dan akuntabel; 2) Sebagai tempat pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan dan inisiatif para pihak terkait termasuk masyarakat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS terpadu; 3) Sebagai media BP DAS dan instansi/lembaga lain dalam memfasilitasi para pihak dalam pengelolaan DAS; 4) Sebagai salah satu sumber data dan informasi dan/atau referensi dalam menyusun standar, kriteria, pedoman, petunjuk teknis dalam praktek pengelolaan sumberdaya alam; 5) Sebagai show window pengelolaan DAS partisipatif sehingga dicontoh dan diterapkan oleh para pihak dalam melaksanakan praktek pengelolaan DAS; 6) Sebagai laboratorium lapangan para mahasiswa, peneliti dan pemerhati dalam bidang pengelolaan DAS.
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di MDM Pasir Buncir Sub DAS Cisadane Hulu, yang secara geografis terletak antara 106o49’48” – 106o55’48” Bujur Timur dan 6o45’36” – 6o47’24” Lintang Selatan, dengan total luas sekitar 1 762.94 hektar. Secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin dan DesaWates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian yang meliputi pengumpulan data curah hujan, tinggi muka air, dan informasi dari peta-peta dilakukan pada bulan Nopember 2011 sampai April 2012. Kegiatan lapangan yang meliputi pengambilan sampel tanah, verifikasi lapangan dimulai pada bulan Januari sampai April 2012. Selanjutnya penelitian dilakukan di studio dengan menggunakan komputer dan perangkat lunaknya. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Data primer meliputi :
15 • Tabular : Data sifat fisika dan kimia tanah MDM Pasir Buncir Sub DAS Cisadane Hulu dan data tingkat pemupukan di lapangan hasil wawancara dengan petani di MDM Pasir Buncir Sub DAS Cisadane • Spatial : Peta sebaran tekstur tanah hasil analisa tanah dari laboratorium 2. Data skunder meliputi : • Tabular : Data curah hujan dan tinggi muka air hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level Recorder) dan ARR (Automatic Rainfall Recorder) di outlet SPAS (Stasiun Pengamat Arus Sungai) yang ada di outletMDM Pasir Buncir Sub DAS Cisadane Hulu • Spatial : Peta penggunaan lahan hasil interpretasi Citra Alos AVNIR II hasil rekaman tanggal 17 Juli 2009 dan 3 Agustus 2009 (Kelti Limnologi LIPI, Bogor); Peta tanah semi detail Sub DAS Cisadane Hulu Tahun 2003 (Puslitbangtanak, Bogor); DEM untuk Sub DAS Cisadane Hulu dan Peta jaringan sungai Sub DAS Cisadane Hulu (RBI Bakosurtanal Tahun 2003, Bogor). Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari GPS (Geographic Position System), seperangkat komputer dengan beberapa software yaitu Mapwindow Open Source 4.8.6 untuk 32 bit, Software MWAGNPS Versi 1.2, ArcMapTM versi 9.3 Tahun 2008, serta ring untuk mengambil contoh tanah utuh. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan tahapan, sebagai berikut : 1) persiapan dan pengumpulan data masukan model AGNPS; 2) menjalankan model AGNPS; 3) validasi model, dan 4) simulasi skenario pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi dan sedimen. Persiapan dan Pengumpulan Data Pengumpulan data masukan model AGNPS dilakukan melalui kegiatan : pengumpulan data sekunder, penjajagan lapangan dan analisis laboratorium. Analisis peta menggunakan peta-peta tematik (peta DEM, peta penggunaan lahan, peta kelas lereng, dan peta tanah) dengan skala 1 : 50.000 dilakukan untuk menentukan parameter masukan model. Jenis parameter model adalah (1) parameter tingkat DAS dan (2) parameter tingkat sel. Penelitian lapangan dilakukan untuk menentukan dan pengecekan parameter yang telah diidentifikasi dari peta, pengamatan penggunaan lahan dan pengambilan sampel tanah. Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian lapangan ini meliputi : 1. Pengambilan sampel tanah dari setiap unit lahan yang ada untuk diolah mendapatkan data tekstur tanah, struktur tanah, dan bahan organik. Selain itu dilakukan pengukuran permeabilitas tanah. Data yang diperoleh digunakan untuk menghitung faktor erodibilitas tanah; 2. Pengamatan faktor tindakan konservasi tanah; 3. Pengamatan faktor pengelolaan tanaman; 4. Pengamatan faktor tingkat pemupukan dengan melakukan wawancara kepada petani;
16 5. Pengamatan terhadap faktor kekasaran permukaan untuk menentukan konstanta kekasaran permukaan lahan; 6. Pengamatan indikator saluran dan identifikasi karakteristik saluran untuk menentukan koefisien manning’s saluran. Analisis laboratorium dilakukan terhadap 31 sampel tanah dengan kombinasi untuk 5 kelas lereng dan 7 tipe penggunaan lahan (jenis tanah berdasarkan peta tanah hanya 1 jenis) untuk menetapkan kadar bahan organik, permeabilitas, dan tekstur tanah. Titik sampel disajikan pada peta Lampiran 1. Menjalankan Model AGNPS Pembuatan Grid Sel Model AGNPS Grid sel dengan ukuran dan jumlah yang sama dibuat pada semua peta. Pengolahan grid dilakukan secara otomatis dengan menggunakan tool MW AGNPS Versi 1.2 pada Map Window GIS dengan ukuran grid seluas 4 ha (200 m x 200 m). Untuk beberapa titik-titik percabangan sungai dilakukan pembagian sel dengan ukuran grid 1 ha (100 m x 100 m). Penomoran grid sel dilakukan dari kiri atas ke kanan, dimulai dari atas ke bawah secara otomatis sesuai dengan penomoran grid AGNPS. Luas dan Jumlah Sel Hasil tumpang susun (overlay) antara sistem grid yang dibuat terhadap sel model ukuran 2 x 2 ha atau 4 ha dengan batas DAS, didapatkan sistem grid sebanyak 443 sel utama dengan sebanyak 17 sel utama yang dibagi menjadi empat sel dengan ukuran 1 ha. Grid pada batas DAS sebanyak 3 buah dengan ukuran kurang lebih 12 ha diabaikan, sehingga MDM Pasirbuncir dengan luas 1.770 ha dalam model menjadi 1.760 ha. Identifikasi Sel Penomoran sel dilakukan sesuai prosedur model AGNPS, dimulai dari ujung sel sebelah kiri atas menuju ke sel batas DAS sebelah kanan kemudian dilanjutkan ke sel berikutnya dengan arah yang sama secara berurutan sampai sel paling akhir, dengan outlet berada pada sel nomor 1 (bagian timur) dengan tipe penggunaan lahan di lapangan adalah sawah. Arah aliran dalam suatu sel harus sesuai dengan posisi nomor sel dan sel penerima, sehingga model AGNPS dapat menampilkan pembagian sel dan arah aliran sesuai dengan pembagian grid sel. Faktor aspek merupakan penunjuk arah aliran. Dalam model AGNPS penentuan nomor sel, nomor sel penerima, arah aliran dan aspek merupakan penentu keseluruhan proses. Data Masukan Model AGNPS Grid sel bersifat unik, sehingga memberikan kontribusi sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Pembangkitan parameter-parameter masukan model diperoleh dari hasil pengolahan data dengan menggunakan Sistem Informasi geografis (SIG). Pengisian setiap parameter tingkat DAS maupun tingkat sel sesuai dengan metode penetapan masukan model AGNPS. Masukan paremeter tingkat DAS berupa input hujan (kedalaman curah hujan dan energi intensitas hujan (EI30) diperoleh dengan hasil perhitungan pada
17 Lampiran 2. Nilai-nilai masukan parameter model tingkat sel yang digunakan pada penelitian ini dijelaskan di bawah ini. 1. Bilangan Kurva Aliran Permukaan Nilai bilangan kurva aliran permukaan ditentukan berdasarkan sifat-sifat fisik tanah, penggunaan lahan dan kandungan air tanah sebelumnya. Berdasarkan sifat fisik tanah hasil analisa data dari lapangan, maka tanah di MDM Pasirbuncir dikelompokkan ke dalam kelompok hidrologi tanah A, B, dan D, seperti disajikan pada Lampiran 3. Tipe penggunaan lahan ditentukan dari peta penggunaan lahan dan pengamatan langsung di lapangan. Besarnya nilai bilangan kurva aliran permukaan di MDM Pasirbuncir disajikan pada Tabel 2 untuk kondisi AMC (anticedent moisture condition) 3, serta untuk kondisi AMC 1 dan AMC 2 disajikan pada Lampiran 4. Bilangan kurva sangat berpengaruh terhadap volume aliran permukaan, karena perhitungan volume aliran permukaan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Soil Conservation Services (SCS) yang selanjutnya akan berpengaruh pada debit puncak aliran, hasil sedimen dan kehilangan hara N, P dan COD (Nugroho 2000). Semakin besar nilai CN maka seluruh parameter keluaran model tersebut juga semakin besar. Bilangan kurva aliran permukaan merupakan parameter yang sangat penting dan perlu diperhatikan perubahannya dalam pengelolaan suatu DAS. Selain itu, penentuan dari bilangan kurva harus dilakukan dengan teliti supaya pendekatan model mendekati hasil pengamatan (Muchlis 1999). Tabel 2 Nilai bilangan kurva (CN) di MDM Pasirbuncir (AMC III) Penggunaan lahan Nilai CN No Nilai CN 1
2 3 4 5 6
7
Hutan Semak Rumput/tanah kosong Pemukiman Sawah Tegalan Kebun campuran
12 – 43 56 – 87 61 – 90 70 – 93 64 – 91 61 – 90 44 – 81
Optimal 35 72 75 80 76 77 67
Sumber : Hasil pengamatan lapangan dan Arsyad (2010) Catatan : Nilai CN optimal adalah nilai CN yang digunakan dalam proses validasi dan simulasi
2. Faktor Tindakan Konservasi Tanah (P) Faktor tindakan konservasi tanah (P) merupakan nisbah besarnya erosi dari lahan dengan tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi dari lahan standar tanpa penetapan tindakan konservasi. Nilai masukan untuk faktor tindakan konservasi tanah ditentukan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia. Nilai P untuk tiap-tiap sel ditentukan berdasarkan teknik konservasi tanah yang dilakukan oleh petani di lapangan. Besarnya nilai faktor P selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
18 Tabel 3 Nilai faktor P di MDM Pasirbuncir Penggunaan lahan No Nilai P 1
2 3 4 5 6
7
Hutan Semak Rumput/tanah kosong Pemukiman Sawah Tegalan Kebun campuran
0.006 – 0.039 0.9 – 1.0 0.9 – 1.0 0.4 – 1.0 0.04 – 0.4 0.75 – 0.9 0.039 – 0.5
Nilai P Optimal 0.039 1 1 1 0.04 0.9 0.5
Sumber : Hasil pengamatan lapangan dan Arsyad (2010) Catatan : Nilai P optimal adalah nilai P yang digunakan dalam proses validasi dan simulasi
3. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) Faktor pengelolaan tanaman (C) adalah nisbah besarnya erosi dari tanah yang ditanami tanaman dengan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang tidak ditanami. Nilai masukan untuk faktor pengelolaan tanaman ditentukan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia. Penentuan faktor C didasarkan atas justifikasi yang merujuk kepada yang dikemukakan oleh Arsyad (2010) dan pengamatan lapangan. Besarnya nilai faktor C selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai faktor C di MDM Pasirbuncir Penggunaan lahan No 1
2 3 4 5 6
7
Hutan Semak Rumput/tanah kosong Pemukiman Sawah Tegalan Kebun campuran
Nilai C 0.001 – 0.005 0.25 – 0.30 0.8 – 0.9 0.9 – 1.0 0.045 – 0.056 0.7 – 0.8 0.4 – 0.5
Nilai C Optimal 0.005 0.25 0.8 0.9 0.045 0.7 0.4
Sumber : Hasil pengamatan lapangan dan Arsyad (2010) Catatan : Nilai C optimal adalah nilai C yang digunakan dalam proses validasi dan simulasi
4. Koefisien Kekasaran Permukaan Manning’s (N) Koefisien kekasaran permukaan atau nilai hambatan aliran adalah koefisien kekasaran dari kondisi permukaan yang dominan dalam sel saat terjadi hujan. Nilai koefisien kekasaran permukaan (Tabel 5) ditentukan berdasarkan penggunaan lahan pada tiap-tiap sel, kemudian disesuaikan dengan referensi yang disusun oleh Schwab et al. (1981) (Lampiran 10). Menurut Schwab et al. (1981) nilai koefisien kekasaran permukaan saluran air yang merupakan masukan pada inisial tingkat DAS di MDM Pasirbuncir adalah sebesar 0.040 (saluran drainase besar tanpa vegetasi).
19 Tabel 5 Nilai faktor N di MDM Pasirbuncir Penggunaan lahan No 1
2 3 4 5 6
7
Hutan Semak Rumput/tanah kosong Pemukiman Sawah Tegalan Kebun campuran
Nilai N 0.1 – 0.6 0.2 – 0.4 0.01 – 0.05 0.02 – 0.021 0.25 – 0.30 0.06 – 0.07 0.16 – 0.35
Nilai N Optimal 0.1 0.4 0.01 0.02 0.3 0.06 0.16
Sumber : Hasil pengamatan lapangan dan Schwab et al. (1981) Catatan : Nilai N optimal adalah nilai N yang digunakan dalam proses validasi dan simulasi
5. Konstanta Kondisi Permukaan (SCC) Konstanta kondisi permukaan merupakan nilai yang menyatakan kondisi kekasaran permukaan di lapangan yang mempengaruhi aliran permukaan. Nilai konstanta kondisi permukaan (Tabel 6) ditentukan berdasarkan penggunaan lahan pada tiap-tiap sel, kemudian disesuaikan dengan referensi yang disusun oleh Young et al. (1994). Tabel 6 Nilai faktor SCC di MDM Pasirbuncir Penggunaan lahan No Nilai SCC 1
2 3 4 5 6
7
Hutan Semak Rumput/tanah kosong Pemukiman Sawah Tegalan Kebun campuran
0.59 – 0.60 0.29 – 0.50 0.15 – 0.22 0.01 0.29 0.15 – 0.29 0.29 – 0.35
Nilai SCC Optimal 0.59 0.29 0.22 0.01 0.29 0.29 0.29
Sumber : Hasil pengamatan lapangan dan Schwab et al. (1981) Catatan : Nilai SCC optimal adalah nilai SCC yang digunakan dalam proses validasi dan simulasi
6. Erodibilitas Tanah Erodibilitas tanah adalah suatu faktor yang menunjukkan kepekaan tanah untuk tererosi. Erodibilitas tanah juga menunjukkan retensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah karena adanya energi kinetik hujan. Hasil penentuan nilai faktor erodibilitas tanah pada Tabel 7 didasarkan pada hasil analisa tanah dan pengamatan di lapangan pada lokasi penelitian yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Arsyad 2010) : 100K = 1,292[2,1M1,14(10-4)(12-a) + 3,25(b-2) + 2,5(c-3)] ......................(12) dimana : M = persentase pasir sangat halus dan debu, a = persentase bahan organik, b = kode struktur tanah yang digunakan dalam klasifikasi tanah, c = kelas permeabilitas tanah.
20 Tabel 7 Nilai faktor erodibilitas tanah (K) di MDM Pasirbuncir Jenis Tekstur Tanah No Nilai K 1 2
3 4 5 6
Klei berdebu Loam klei berdebu Klei Klei loam Klei berpasir Klei loam berpasir
0.14 0.13 0.14 0.15 0.16 0.14
Sumber : Analisis data hasil pengamatan lapangan dan perhitungan dengan rumus 12
7.
Faktor Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nilai COD digunakan dengan tujuan untuk menghitung keluaran model yang berupa kimiawi, meliputi ; (a) nitrogen (massa N per satuan luas di dalam sedimen, konsentrasi dari material terlarut, dan massa dari material terlarut), (b) fosfor (massa P per satuan luas di dalam sedimen, konsentrasi dari material terlarut, dan massa dari P per satuan luas di dalam sedimen, konsentrasi air dari material terlarut, dan massa dari material terlarut), dan (c) COD (konsentrasi COD, massa COD terlarut per satuan luas). Dalam penelitian ini, tidak menghitung keluaran model berupa kimiawi. Dengan demikian nilai COD dapat diabaikan. 8. Indikator Pemupukan Masukan nilai indikator pemupukan didasarkan pada data jumlah pemupukan N dan P di lapangan hasil wawancara dengan petani setempat. Umumnya petani dalam pemberian pupuk digolongkan pada dosis sedang yaitu pupuk Urea 150 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCL 50 kg/ha, sehingga masukan dalam model menggunakan nilai 2 yaitu average fertilization. 9. Indikator Pestisida, Point Source, Gully Source, dan faktor genangan (impoundment) Masukan nilai indikator, point source, gully source dan faktor genangan (impoundment) dianggap konstan yang dikodekan dengan nilai 0, di lapangan pemberian pestisida jarang dilakukan oleh petani. Pemberian pestisida hanya dilakukan jika sudah terjadi serangan hama dan penyakit. 10. Indikator Saluran Indikator saluran adalah nilai yang mengindikasikan ada atau tidaknya sebuah sel penerima. Jika sebuah sel adalah sel perairan maka nilai masukan model adalah 0, sedangkan jika bukan badan air maka nilai masukan model adalah 1. Kalibrasi dan Validasi Model AGNPS Kalibrasi model adalah proses optimalisasi nilai parameter untuk meningkatkan koherensi antara respon hidrologi DAS yang teramati dan tersimulasi (Bloschl and Grayson 2000). Koherensi (ketepatan antara yang terukur dan terhitung) dapat diamati secara kualitatif, misalnya dengan membandingkan hidrograf terukur dan terhitung.
21 Pada prinsipnya kebanyakan model yang dibuat mampu memberikan respon yang baik sesuai dengan harapan pembuat model. Masalahnya adalah sejauh mana model yang kita gunakan mampu merepresentasikan keadaan yang sebenarnya di alam. Sistem fisik (dalam hal ini DAS) digambarkan oleh variasi, input, output dan kondisi internal. Kondisi internal pada prinsipnya menggambarkan kompleksitas proses yang terjadi di dalam sistem DAS tersebut. Secara umum, perilaku sistem diketahui melalui pengukuran beberapa karakteristik penciri sistem tersebut (misalnya : hujan, suhu, debit, peruntukan lahan, sifat tanah) (Fleeming 1975). Dalam konteks DAS maka, lazimnya pengukuran hanya dilakukan pada beberapa lokasi, karena berbagai keterbatasan antara lain : Tidak mungkin kita melakukan pengukuran terhadap semua variabel (baik variabel tetap maupun variabel yang berubah sebagai fungsi ruang dan waktu). Kesalahan selama proses pengukuran mungkin sekali terjadi, sehingga antara data yang diperoleh di lapangan dengan yang dimasukan ke dalam model mengandung unsur ketidakpastian. Pada prinsipnya, model hidrologi digunakan untuk melakukan simulasi perilaku sistem fisik tersebut, dengan menggunakan masukan data yang terukur dan didapatkan output model yang semirip mungkin dengan output sistem fisik yang ditiru tersebut. Hal ini dilakukan dengan meminimalisasi tingkat kesalahan yang mungkin terjadi melalui ujicoba beberapa nilai parameter sampai diperoleh tingkat ketidakpastian yang minimal antara data terukur dan termodelkan (Refgaard 2000). Pada penelitian ini, kalibrasi dilakukan dengan menggunakan 10 data kejadian curah hujan tahun 2008, dengan kriteria : (1) pola hujan sama; (2) kedalaman curah hujan melebihi 1 inchi dan EI30 lebih dari 4 ton.feet/acre/inchi, dan (3) AMC episode hujan tersebut sama, yaitu AMC III (Tabel 8). Tabel 8 Karakteristik Hujan Masukan Model AGNPS Pada Proses Kalibrasi di MDM Pasirbuncir Tanggal Curah Hujan EI30 Hujan (inchi) (mm) (ton.feet/acre/inchi) (ton.m/ha/cm) 26-01-2008 1.330 33.782 15.341 57.031 29-01-2008 2.220 56.388 27.692 102.943 10-03-2008 2.352 61.722 35.147 130.658 12-03-2008 1.611 40.894 11.187 41.587 05-05-2008 3.220 81.788 46.662 173.464 10-11-2008 1.241 31.496 6.809 25.312 12-11-2008 1.291 32.766 11.263 41.870 14-11-2008 2.972 75.438 24.253 90.162 01-12-2008 1.361 34.544 10.177 37.831 03-12-2008 2.802 71.120 33.340 123.942 Keterangan :EI30 = energi intensitas hujan
Validasi adalah proses evaluasi terhadap model untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat ketidakpastian dalam memprediksi proses hidrologi. Umumnya validasi dilakukan dengan menggunakan data di luar periode yang
22 digunakan untuk kalibrasi. Suatu fungsi objektif biasanya digunakan untuk mengukur secara kuantitaf tingkat kesalahan antara yang terhitung dan terukur. Minimalisasi nilai fungsi objektif dilakukan dengan optimalisasi nilai parameter. Pemilihan fungsi objektif mana yang digunakan, akan menentukan bagian mana dari suatu model yang akan di tes (Refgaard 2000). Pada penelitian ini, validasi dilakukan dengan menggunakan 8 data kejadian hujan pada tahun 2009 (Tabel 9). Tabel 9 Karakteristik Hujan Masukan Model AGNPS Pada Proses Validasi di MDM Pasirbuncir Tanggal Curah Hujan (inchi) EI30 Hujan (inchi) (mm) (ton.feet/acre/inchi) (ton.m/ha/cm) 16-02-2009 15-05-2009 17-05-2009 14-10-2009 16-11-2009 22-11-2009 13-12-2009 31-12-2009
1.83 1.82 1.18 1.65 1.35 1.91 1.26 1.34
46.74 46.23 29.97 41.91 34.29 48.51 32.00 34.04
23.94 13.16 7.42 10.62 9.77 11.46 6.96 8.32
89.00 48.91 27.57 39.49 36.31 42.59 25.89 30.93
Keterangan :EI30 = energi intensitas hujan
Metode kalibrasi dan validasi yang digunakan adalah metode trial and error menggunakan input dan output tahun 2008 dan tahun 2009 (Lampiran 5). Untuk menilai keandalan suatu model dapat dilakukan dengan melihat koherensi (kemiripan) antara output terukur dan output yang terhitung. Koherensi, menurut Indarto (2008) dapat dilihat dari kemiripan antara debit terukur dan terhitung atau scatter plot antara debit terukur dan terhitung. Dalam hal ini koefisien korelasi yang tinggi menunjukan koherensi yang lebih baik. Model dikalibrasi dan divalidasi dengan menggunakan data kejadian hujan, dimana setiap hujan yang terjadi mempunyai pasangan hidrografnya. Kalibrasi dan validasi dilakukan dengan membandingkan volume aliran permukaan dan debit puncak aliran permukaan hasil prediksi model dengan hasil pengukuran di outlet. Volume aliran permukaan dan debit puncak aliran permukaan diperoleh dari hasil analisis hidrograf aliran pengamatan. Debit dihitung berdasarkan rumus rating curve di AWLR. Selanjutnya volume aliran permukaan ditentukan dari jumlah total perkalian antara hidrograf aliran langsung dengan waktu. Sedangkan debit puncak aliran permukaan ditentukan dari hidrograf aliran langsung yang paling tinggi ordinatnya. Hasil kalibrasi kemudian diuji dengan menggunakan metoda Nash dan Sutcliffe (1970), bentuk persamaanya : NSE = 1 -
2 ∑n 1 (Qp−Qs) n ∑1 (Qp− Qpmean)2
.....................................................................(13)
dimana : Qp adalah debit pengukuran, Qs adalah debit pediksi dan Qpmean adalah debit rata-rata pengukuran. Besarnya nilai NSE berkisar antara - ∞ sampai 1, jika NSE = 1 maka hasil prediksi sempurna (Irianto et al. 1999). Menurut Van Liew et
23 al (2003) simulasi dianggap baik jika nilai NSE > 0.75, memuaskan jika 0.36 < NSE< 0.75, serta kurang baik jika NS < 0.36. Simulasi Model AGNPS Penggunaan lahan pada MDM Pasir Buncir sejak Tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 tidak terdapat perubahan. Oleh karena itu, peta penggunaan lahan tahun 2009 merupakan peta penggunaan lahan eksisting yang dijadikan dasar dalam membuat skenario perubahan (Lampiran 6). Simulasi model AGNPS dilakukan dengan skenario perubahan penggunaan lahan dengan input curah hujan yang dipilih adalah kejadian curah hujan tertinggi yang digunakan pada proses kalibrasi, yaitu episode tanggal 5 Mei 2008 dengan curah hujan sebesar 3.220 inchi dengan EI30 sebesar 32.603 ton.feet/acre/inchi. Pada simulasi ini dimaksudkan untuk melihat respon hidrologi terhadap perubahan penggunaan lahan. Skenario perubahan penggunaan lahan pada penelitian ini dilakukan pada lahan semak belukar yang merupakan lahan yang cenderung mengalami perubahan, karena merupakan lahan guntai. Perubahan semak belukar menjadi 4 skenario perubahan yang mungkin dilakukan diasumsikan mampu menaikkan atau menurunkan DRO dan sedimen. Skenario penggunaan lahan yang disimulasikan pada model AGNPS : 1) skenario pertama (S1) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi tegalan dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras guludan ditambah rumput penguat (Lampiran 7); 2) skenario kedua (S2) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi tegalan dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa mulsa vertikal 6 ton/ha; 3) skenario ketiga (S3) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi kebun campuran dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras guludan ditambah rumput penguat (Lampiran 8); 4) skenario keempat (S4) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi kebun campuran dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa mulsa vertikal 6 ton/ha; 5) skenario kelima (S5) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi vegetasi tetap dengan tingkat kerapatan tinggi dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras guludan ditambah rumput penguat (Lampiran 9); 6) skenario keenam (S6) : perubahan 30% luas penggunaan lahan semak menjadi vegetasi tetap dengan tingkat kerapatan tinggi dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa mulsa vertikal 6 ton/ha; 7) skenario ketujuh (S7) : mengembalikan kondisi eksisting pada kondisi awal sebagai lahan HGU PTP XI (Perkebunan Karet), dimana seluruh luas penggunaan lahan semak menjadi vegetasi tetap dengan jenis komoditi karet tingkat kerapatan tinggi dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras guludan ditambah rumput penguat (Lampiran 10). 8) skenario kedelapan (S8) : S7 dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa mulsa vertikal 6 ton/ha. Luas masing-masing penggunaan lahan eksisting dan skenario penggunaan lahan selengkapnya disajikan pada Tabel 10.
24 Tabel 10 Luas penggunaan lahan eksisting dan skenario perubahan penggunaan Lahan di MDM Pasirbuncir Penggunaan lahan Belukar/Semak Hutan Kebun/Perkebunan Pemukiman Rumput Sawah Tegalan/Ladang
Eksisting Ha % 472.2 26.8 1 029.7 58.4 106.8 6.1 12.9 0.7 2.7 0.2 66.1 3.8 75.2 4.3 1 762.9 100
S1* Ha % 329.6 18.7 1 029.7 58.4 106.8 6.1 12.9 0.7 2.7 0.2 66.1 3.8 217.8 12.4 1 762.9 100
S3* Ha 329.6 1 029.7 249.3 12.9 2.7 66.1 75.2 1 762.9
% 18.7 58.4 14.1 0.7 0.2 3.8 4.3 100
S5* Ha % 329.6 18.7 1 172.3 66.5 106.8 6.1 12.9 0.7 2.7 0.2 66.1 3.8 75.2 4.3 1 762.9 100
S7* Ha
%
1 501.9 106.8 12.9 2.7 66.1 75.2 1 762.9
85.2 6.1 0.7 0.2 3.8 4.3 100
Catatan * : skenario perubahan luas penggunaan lahan
Hasil simulasi diuji lebih lanjut dengan menggunakan metode uji beda nyata terkecil Duncan pada α 5%, dengan output hasil simulasi penggunaan eksisting sebagai pembanding.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian Letak dan Luas MDM Pasir Buncir MDM Pasir Buncir secara geografis terletak antara106o49’48” – 106o55’48” Bujur Timur dan 6o45’36” – 6o47’24” Lintang Selatan, secara administrasi masuk ke dalam Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 1762.94 hektar. MDM ini mencakup 2 desa dalam 2 wilayah Kecamatan, yaitu Desa Pasir Buncir di wilayah Kecamatan Caringin dan Desa Wates Jaya di wilayah Kecamatan Cigombong. Penggunaan lahan Penggunaan lahan di MDM Pasirbuncir pada tahun 2009 dikelompokkan menjadi 7 tipe penggunaan lahan, yaitu : 1) hutan; 2) kebun/perkebunan; 3) pemukiman; 4) Sawah irigasi; 5) sawah tadah hujan; 6) belukar/semak dan 7) tegalan/lading. Hutan. Areal hutan berada pada daerah hulu yang mempunyai kemiringan antara 25 – 40% dan > 40% di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang merupakan hutan lindung dengan jumlah serasah sedang. Kebun/Perkebunan. Kebun/perkebunan disini adalah usaha pertanian tanaman tahunan atau kebun campuran yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat di daerah perbukitan, tanaman yang diusahakan adalah kayu sengon, dan tanaman buah-buahan (durian, nangka dan tangkil). Pada lahan kebun ini belum diterapkan teknik konservasi yang baik, hanya menggunakan teras gulud dengan kerapatan sedang. Pemukiman. Unit penggunaan lahan ini merupakan tempat pemukiman penduduk termasuk lahan pekarangan yang didominasi oleh tanaman buah-buahan, umumnya lokasi berada di sepanjang jalur kampung. Sawah. Daerah persawahan terletak di wilayah tengah sampai hilir MDM yang berada pada kemiringan kurang dari 15% di sepanjang sungai dengan pola
25 tanam padi-padi-padi. Jenis padi yang ditanam umumnya adalah padi genjah dan varietas unggul (didominasi oleh varietas IR 64). Belukar/Semak. Daerah belukar/semak sebagian besar terletak di wilayah hilir MDM yang berada pada kemeiringan antara 25 – 40%, dengan komoditas rumput, alang-alang dan belukar lainnya, di sini tidak ada teknik konservasi dan kerapatan tanaman umumnya sedang. Rumput/Tanah Kosong. Rumput/Tanah kosong berada di daerah hilir sepanjang sungai deket outlet MDM Pasir Buncir dengan kemiringan lahan 25 – 40%. Rumput/tanah kosong merupakan lahan yang biasa digarap tegalan/ladang oleh masyarakat tetapi karena status kepemilikan lahannya guntai sehingga menjadi lahan kosong. Tegalan/Ladang. Tegalan merupakan usaha pertanian lahan kering dengan tanaman utama yang diusahakan adalah palawija (ubi kayu, jagung dan sayuran), umumnya terletak di tengah sampai hilir MDM dengan kemiringan 25 – 40%. Pada umumnya petani belum melakukan belum melakukan tindakan konservasi, tapi ada sebahagian yang sudah menggunakan guludan di tepi ladang. Jenis Tanah Jenis tanah yang ada di lokasi penelitian termasuk ke dalam sub grup Typic dystrudepts. Karakteristik tanah tersebut adalah tidak pernah kering selama 90 hari kumulatif setiap tahun dan memiliki kejenuhan basa yang rendah yaitu kurang dari 50%. Berdasarkan hasil analisa contoh tanah yang dilakukan di laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah, bahwa tekstur tanah di MDM Pasir Buncir adalah klei, klei berdebu, klei lom berdebu, klei berpasir, klei lom berpasir dan klei lom dengan kadar bahan organik rendah dan nisbah liat pada umumnya kurang dari 2. Tekstur tanah klei paling dominan di MDM Pasir Buncir, seperti disajikan pada peta tekstur tanah (Lampiran 11). Curah Hujan, Suhu, dan Kecepatan Angin Curah hujan, suhu, dan kecepatan angin rata-rata bulanan lokasi penelitian menggunakan data yang tercatat pada alat ARR (Automatic Rainfall Recorder) di SPAS Cisadane Hulu periode Tahun 2008 – 2010 seperti disajikan pada Tabel 11. MDM Pasir buncir memiliki curah hujan yang tinggi dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 4,284.4 mm, dengan bulan basah 10 bulan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 160.1 mm dan tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 563.0 mm, besar curah hujan tertinggi mencapai tiga kali lipat dari curah hujan terendah. Setelah mencapai nilai maksimum pada bulan Maret curah hujan akan mengalami penurunan dan akan kembali naik pada bulan September. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, dan berdasarkan Tabel 11, bahwa wilayah MDM Pasir Buncir termasuk ke dalam tipe iklim A dengan 10 bulan basah (curah hujan > 200 mm) berturut-turut. Berdasarkan analisis data iklim harian dari AWLR SPAS Cisadane Hulu periode tahun 2008 – 2010, suhu udara rata-rata berkisar antara 21.66oC - 24.84oC, dan kecepatan angin bervariasi antara 0,27 knot/jam – 0,39 knot/jam (0,435 km/jam – 0.628 km/jam).
26 Tabel 11 Rata-rata Curah hujan, Suhu, dan Kecepatan Angin Bulanan Periode Tahun 2008 – 2010 di MDM Pasir Buncir No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Total
Curah Hujan (mm) 291.0 389.2 563.0 361.4 326.3 318.6 160.1 192.8 332.0 443.9 548.7 357.4 4284.4
Suhu (oC) 23.64 23.54 24.05 24.64 24.84 23.20 21.66 23.74 23.70 24.11 24.04 23.94
Kecepatan Angin (Knot/jam) 0.29 0.36 0.39 0.32 0.30 0.31 0.27 0.28 0.28 0.28 0.33 0.32
Debit Aliran Sungai Pengamatan tinggi muka air dilakukan dari alat pencatat tinggi muka air otomatis (Automatic Water Level Recorder) digital yang terpasang di MDM Pasir Buncir dan telah beroperasi sejak tahun 2008. Dengan alat pengukur tinggi muka air tersebut diperoleh data dengan selang pengamatan setiap 15 menit. Hubungan antara debit dengan tinggi muka air pada beberapa pengukuran debit dari berbagai ketinggian muka air didapatkan kurva lengkung debit (rating curve) seperti disajikan pada Gambar 5 dengan rumus : Q = 11.18 (H)3.1832................................................................................(14)
dimana Q adalah debit (m3/detik) dan H adalah tinggi muka air (m) Hasil analisa hubungan antara debit dengan tinggi muka air diperoleh nilai koefisien determinan (R2) sebesar 98.61%. Nilai ini menunjukan antara debit dan tinggi muka air mempunyai korelasi yang kuat, dimana 98.61 % keragaman dari debit (Q) dapat diterangkan oleh tinggi muka air (H). 80,00 Debit (Q) (m3/det)
70,00 60,00 50,00 40,00
Y = 11.18x3.18 R² = 0.99
30,00 20,00 10,00 -
-
0,50
1,00
1,50
2,00
Tinggi Muka Air (TMA) (m)
Gambar 5 Kurva lengkung debit aliran Sungai Lengkong (SPAS Lengkong)
27 Hubungan antara debit aliran permukaan dengan debit sedimen pada beberapa pengukuran debit sedimen suspensi dari berbagai nilai debit aliran permukaan didapatkan kurva lengkung debit sedimen (rating curve) seperti disajikan pada Gambar 6 dengan rumus : Qs = 27.305 (Q)1.3823...............................................................................(15)
dimana Q adalah debit (m3/detik) dan Qs adalah debit sedimen (ton/hari). Hasil analisa hubungan antara debit aliran permukaan dengan debit sedimen diperoleh nilai koefisien determinan (R2) sebesar 96.31%. Nilai ini menunjukan antara debit aliran permukaan dan debit sedimen mempunyai korelasi yang kuat, dimana 96.31% keragaman dari debit sedimen (Qs) dapat diterangkan oleh debit aliran permukaan (Q). 80000 70000
Qs (ton/hari)
60000 50000
y = 27.305x1.3823 R² = 0.96
40000 30000 20000 10000 0
0
50
100
150 Q
200
250
300
(m3/s)
Gambar 6 Kurva lengkung debit sedimen Sungai Lengkong (SPAS Lengkong) Hubungan Curah Hujan dengan Debit Aliran Sungai Besarnya curah hujan di MDM Pasirbuncir berpengaruh terhadap debit atau aliran permukaan yang dihasilkan. Gambar 7 menunjukkan hubungan curah hujan harian dengan besarnya debit periode tahun 2008-2010 di MDM Pasirbuncir. Debit akan meningkat dengan meningkatnya curah hujan, debit yang dihasilkan pada bulan-bulan di musim hujan lebih besar dibandingkan debit yang dihasilkan pada bulan-bulan musim kemarau. Pada beberapa kejadian terdapat hal yang tidak biasa, dimana curah hujan tinggi tetapi nilai debit aliran rendah. Hal ini disebabkan adanya kerusakan alat pada sensor logger pencatat data tinggi muka air (TMA) pada SPAS Lengkong outlet MDM Pasir Buncir.
30
-
25
50,00
20
100,00
15
150,00
CH Debit aliran sungai
10 5 0
1
151
301
451
601
CH (mm)
Debit (m3/s)
28
200,00 250,00
751
901
300,00
Tanggal
Gambar 7 Keragaan curah hujan harian dan debit aliran sungai Cisadane Hulu (Januri 2008 – Oktober 2010) di MDM Pasir Buncir Karakteristik Lereng Karakteristik lereng merupakan hasil identifikasi dari peta slope hasil turunan dari peta DEM (Lampiran 12). Berdasarkan Tabel 12 kecuraman lereng pada MDM Pasir Buncir didominasi oleh kemiringan lereng 60% - 80% (sebanyak 153 sel), diikuti oleh kemiringan lereng 40% - 60% (sebanyak 121 sel). MDM Pasirbuncir sekitar 72.50% merupakan wilayah yang sangat curam dan 14.55% merupakan wilayah curam. Wilayah yang agak curam sampai landai hanya sebagian kecil saja, yaitu landai (3.18%), agak landai (5.22%) dan agak curam (4.55%). Wilayah landai sampai agak curam terdapat di daerah hilir atau mendekati outlet MDM Pasir Buncir. Tabel 12 Sebaran kelas lereng di MDM Pasirbuncir Simbol B C D E F G H I
Slope(%) 2–5 5–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 40 – 60 60 – 80 > 80 Total
Jumlah Sel 21 2 14 20 64 121 153 45 440
Kelas Lereng Agak landai Agak landai Landai Agak Curam Curam Sangat Curam Sangat Curam Sangat Curam
Luas (ha) 84 8 56 80 256 484 612 180 1,760
Persen (%) 4.77 0.45 3.18 4.55 14.55 27.50 34.77 10.23 100,00
Kalibrasi dan Validasi Model AGNPS Kalibrasi parameter model AGNPS dilakukan pada parameter yang sensitif terhadap aliran permukaan dan sedimen. Parameter tersebut adalah nilai CN (bilangan kurva), P (faktor tindakan konservasi tanah), C (faktor pengelolaan
29 tanaman), N (faktor koefisien kekasaran permukaan Manning’s), dan SCC (konstanta kondisi permukaan). Hasil Kalibrasi Model Uji hasil kalibrasi parameter model AGNPS dengan menggunakan sepuluh kejadian hujan terpilih menunjukkan bahwa parameter model AGNPS mampu merepresentasikan keadaan MDM pasir Buncir. Hal ini ditunjukkan dengan nilai NSE dan R2 untuk volume dan debit DRO baik (≥ 0.75), dan untuk sedimen menunjukan tingkat efisiensi yang memuaskan (≤ 0.75) (Tabel 13). Nilai R2 mendekati satu, dilihat dari hasil scatter plot output hasil pengukuran dan output hasil model pada Gambar 8, 9 dan 10. Pencaran data terpusat pada garis regresi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemiripan antara output hasil pengukuran dan output hasil model. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa parameter model AGNPS hasil kalibrasi mampu untuk merepresentasikan respon hidrologi dan sedimen pada MDM Pasir Buncir. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Indarto et al. (2008) bahwa “ Secara visual keandalan suatu model diamati dengan melihat koherensi antara output hasil pengukuran (yang pada prinsipnya mewakili alam) dan output hasil model (yang mewakili hasil simulasi oleh model). Koherensi, misalnya, dapat dilihat dari kemiripan antara debit hasil pengukuran dan hasil model atau scatter plot antara debit hasil pengukuran dan hasil model. Dalam hal ini, koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan koherensi yang lebih baik”. Tabel 13 Koefisien Nash dan Sutcliffe dan koefisien determinasi pada proses kalibrasi parameter model AGNPS di MDM Pasir Buncir Tanggal
26-01-2008 29-01-2008 10-03-2008 12-03-2008 05-05-2008 10-11-2008 12-11-2008 14-11-2008 01-12-2008 03-12-2008 R2 NSE
CH (mm)
33.78 56.39 61.72 40.89 81.79 31.50 32.77 75.44 34.54 71.12
Volume DRO (m3) Hasil Pengukuran 17 249.48 41 425.71 28 130.66 28 703.25 37 302.55 33 858.18 64 120.32 62 890.99 11 473.92 65 521.95 0.87 0.82
Hasil Model 17 881.60 37 456.50 45 754.40 27 235.00 51 674.10 35 144.70 63 455.80 63 545.30 17 881.60 72 324.50
Debit Puncak DRO(m3/s) Hasil Hasil Pengukuran Model 5.08 3.10 5.07 4.70 6.94 4.50 2.34 2.70 4.44 4.40 3.44 1.41 17.20 12.94 11.38 12.14 2.00 2.89 7.89 4.01 0.84 0.75
Sedimen (Ton) Hasil Hasil Pengukuran Model 7.87 14.70 13.81 12.98 13.25 11.87 8.85 8.03 13.88 11.45 12.32 11.02 37.75 36.42 32.07 36.23 3.18 20.37 32.72 33.32 0.75 0.71
Dengan melihat kemiripan respon hidrologi dan sedimen hasil model dan hasil pengukuran pada Gambar 8, 9, dan 10, maka disimpulkan bahwa parameter model AGNPS cukup akurat untuk memprediksi respon hidrologi dan sedimen di MDM Pasir Buncir. Hal ini ditunjukkan dengan volume aliran permukaan, debit puncak aliran permukaan dan sedimen akan meningkat pada curah hujan yang tinggi.
30
Volume DRO Hasil Pengukuran (m3)
70.000 60.000 50.000
R² = 0.87 NSE = 0.82
40.000 30.000 20.000 10.000 -
-
10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000
Volume DRO Keluaran Model (m3)
Debit puncak DRO Hasil Pengukuran (m3/s)
Gambar 8
Scatter plot volume DRO pengukuran dan hasil kalibrasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir
20 18 16 14
R² = 0.84 NSE = 0.75
12 10 8 6 4 2 -
-
2
4
6
8
10
12
14
Debit puncak DRO Keluaran Model (m3/s)
Gambar 9
Scatter plot debit puncak DRO pengukuran dan hasil kalibrasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir
Hasil Sedimen Hasil Pengukuran (Ton)
31 40 35 30
R² = 0.75 NSE = 0.71
25 20 15 10 5 -
-
5
10
15
20
25
30
35
40
Hasil Sedimen Keluaran Model (Ton)
Gambar 10
Scatter plot sedimen hasil pengukuran dan hasil kalibrasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir
Hasil Validasi Model Validasi model AGNPS dimaksudkan untuk mengevaluasi kehandalan model AGNPS yang sudah dikalibrasi. Input data hujan pada proses validasi menggunakan data sembilan kejadian hujan tahun 2009 di SPAS Lengkong outlet MDM Pasir Buncir. Hasil validasi model AGNPS menunjukan menunjukkan hasil validasi yang baik untuk volume dan debit puncak DRO (NSE dan R2 ≥ 0.75), serta untuk sedimen menunjukkan hasil memuaskan (NSE dan R2 ≤ 0.75) (Tabel 14). Tabel 14 Koefisieni Nash dan Sutcliffe (NSE) dan koefisien determinasi (R2) pada proses validasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir Tanggal
CH (mm)
16-02-2009 15-05-2009 17-05-2009 14-10-2009 16-11-2009 22-11-2009 13-12-2009 31-12-2009 R2 NSE
46.74 46.23 29.97 41.91 34.29 48.51 32.00 34.04
Volume RO (m3) Pengukuran Hasil Model 33 787.21 50 121.32 70 932.78 67 111.21 15 483.57 8 940.80 100 128.64 101 723.80 73 826.91 55 732.45 40 817.09 36 453.76 37 719.62 13 411.20 14 292.39 17 881.60 0.84 0.80
Debit Puncak RO(m3/s) Pengukuran Hasil Model 5.37 4.74 15.91 17.84 2.23 1.58 20.02 28.87 8.57 6.75 2.87 2.65 8.60 7.79 1.68 1.27 0.95 0.72
Sedimen (Ton) Pengukuran Hasil Model 36.27 38.06 47.59 44.49 12.10 14.18 49.79 54.03 31.63 39.26 37.64 28.54 45.78 39.71 10.87 11.76 0.87 0.87
Hasil scatter plot output hasil pengukuran dan output hasil model pada Gambar 11, 12 dan 13 menunjukkan pencaran data yang mendekati garis regresi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemiripan antara output hasil pengukuran dan output hasil model. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model AGNPS cukup mampu untuk memprediksi respon hidrologi dan sedimen di MDM Pasir Buncir. Hal ini ditunjukkan dengan volume aliran permukaan , debit puncak aliran permukaan dan sedimen akan meningkat pada curah hujan yang tinggi.
32
Volume DRO Hasil Pengukuran (m3)
120.000 100.000 80.000
R² = 0.84 NSE = 0.80
60.000 40.000 20.000 -
-
20.000
40.000
60.000
80.000
Volume DRO Keluaran Model
Gambar 11
100.000
120.000
(m3)
Scatter plot volume DRO pengukuran dan hasil validasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir
Debit Puncak DRO Hasil Pengukuran (m3/s)
25 20
R² = 0.95 NSE = 0.72
15 10 5 -
-
5
10
15
20
Debit Puncak DRO Keluaran Model
Gambar 12
25
30
(m3/s)
Scatter plot debit puncak DRO pengukuran dan hasil validasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir
35
Hasil Sedimen Hasil Pengukuran (Ton)
33 60 50 40
R² = 0.87 NSE = 0.87
30 20 10 -
-
10
20
30
40
50
60
Hasil Sedimen Keluaran Model (Ton)
Gambar 13
Scatter plot sedimen pengukuran dan hasil validasi model AGNPS di MDM Pasir Buncir
Keluaran Model AGNPS Keluaran model AGNPS berupa volume DRO, debit puncak DRO, dan hasil sedimen dapat disajikan secara tabular dan spatial. Keluaran model yang ditampilkan menggunakan input data hujan musim penghujan tahun 2010 (1 Januari 2010 sampai 31 Mei 2010), seperti disajikan pada Lampiran 13. Keluaran model tersebut dirata-ratakan sehingga diperoleh data volume DRO harian, debit puncak DRO harian dan hasil sedimen harian pada musim penghujan (Lampiran 14). Volume DRO Nilai volume DRO di setiap sel bervariasi berkisar dari 0 m3/hari sampai dengan 102 148.787 m3/hari. Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai yang paling besar terjadi di sel dengan tipe penggunaan lahan di lapangan berupa pemukiman, lahan kosong, dan sawah dengan besarnya volume DRO sebesar 72 569.54 m3/hari sampai 102 148.787 m3/hari. Prediksi volume DRO di pemukiman nilainya besar, karena pemukiman merupakan areal kedap air, sehingga air hujan sebagian besar menjadi aliran permukaan. Volume aliran permukaan di lahan kosong jumlahnya besar, karena rendahnya nilai infiltrasi tanah. Sedangkan di lahan sawah nilainya besar, karena ada lapisan bajak yang kedap air. Hal ini menyebabkan laju infiltrasi air hujan di sawah rendah, dan pada akhirnya air hujan sebagian besar tergenang di sawah sebelum mengalir ke jaringan sungai menuju ke outlet. Volume aliran permukaan terkecil terjadi pada sel yang di lapangan terdapat di daerah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang masih tertutup hutan, sehingga sebagian besar air diserap oleh tanah melalui infiltrasi.
34 Total volume DRO yang keluar dari outlet MDM Pasir Buncir selama musim penghujan pada tahun 2010 adalah sebesar 6.24 inchi atau sebesar 2 789 530 m3 (Lampiran 14). Debit Puncak DRO Akumulasi aliran permukaan dipengaruhi oleh kondisi topografi suatu daerah seperti ketinggian, lereng dan arah aliran (Salwati 2004). Semakin tinggi ketinggian dan semakin curam lereng suatu daerah (sel), maka akumulasi aliran akan semakin rendah, dan ditunjukkan dari jumlah debit puncak di daerah hulu MDM yang rendah sebesar 0.00 m3/s/hari sampai 0.14 m3/s/hari (Gambar 15). Perhitungan debit puncak DRO pada model AGNPS, salah satunya menggunakan metode TR55, yang mana dalam perhitungannya menggunakan waktu konsentrasi (TC) dan volume DRO (Young et al. 1994). Kondisi topografi di hulu yang sangat curam dan penggunaan lahan hutan dengan nilai infiltrasi yang tinggi mengakibatkan air hujan mengalir lebih cepat meninggalkan sel di bagian hulu (TC lebih rendah) dan volume DRO di hulu rendah. Selanjutnya akan mempengaruhi rendahnya nilai debit puncak DRO di hulu dibandingkan dengan daerah di hilirnya. Gambar 15 menunjukan debit puncak DRO hasil prediksi model terbesar terdapat di saluran sungai dengan 0.44 m3/s/hari sampai 2.86 m3/s/hari. Di saluran sungai terjadi akumulasi DRO dari sel sebelumnya dari bagian hulu dan nilainya akan meningkat mendekati bagian hilir MDM. Tingginya akumulasi DRO di sungai karena dari sisi topografi sungai merupakan bagian terendah dibandingkan penggunaan lahan lainnya, sehingga arah aliran DRO menuju ke jaringan sungai. Rataan debit puncak dan debit puncak tertinggi yang keluar dari outlet MDM Pasir Buncir selama musim penghujan maing-masing adalah sebesar 41.55 cfs (1.18 m3/s) dan 1 370.01 cfs (38.77 m3/s) (Lampiran 14). Hasil Sedimen Sedimen merupakan endapan tanah atau bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu DAS. Sedimen yang terbawa masuk ke dalam sungai hanya sebagian saja (pada umumnya yang mudah terbawa adalah partikel klei) dari tanah yang tererosi dari tempatnya. Gambar 16 menunjukkan nilai sedimen paling besar terdapat di sel-sel yang dilalui aliran sungai dan penggunaan lahan sawah (2.61 ton/hari sampai 22.95 ton/hari). Akumulasi sedimen semakin besar di jaringan sungai yang mendekati titik outlet yaitu sel nomor 1 sebesar 22.95 ton/hari. Sedimen yang terbawa bersama sama dengan aliran permukaan mengalir ke sawah dan jaringan sungai menjadi sedimen terangkut (sedimen discharge). Partikel yang terbawa dalam aliran DRO akan terangkut ke tempat yang lebih rendah dan ke jaringan sungai. Menurut Salwati (2004) hasil sedimen sangat dipengaruhi oleh aliran permukaan. Aliran permukaan yang besar menyebabkan kapasitas transportasi menjadi tinggi, sehingga kemampuan mengangkut sedimen juga tinggi. Volume DRO di sel dengan tipe penggunaan lahan sawah dan jaringan sungai menunjukkan nilai volume DRO yang tinggi. Hal tersebut mengakibatkan tingginya kapasitas transportasi hasil sedimen. Total sedimen yang keluar dari outlet MDM Pasir Buncir dalam satu musim hujan pada tahun 2010 adalah sebesar 1 673.14 ton (0.95 ton/ha) (Lampiran 14).
35
Gambar 14
Distribusi spatial volume DRO (m3) keluaran model AGNPS pada kejadian hujan 5 Mei 2008 dengan penggunaan lahan eksisting
36
Gambar 15
Distribusi spatial debit puncak DRO (m3/s) keluaran model AGNPS pada kejadian hujan 5 Mei 2008 dengan penggunaan lahan eksisting
37
Gambar 16
Distribusi spatial sedimen (ton) keluaran model AGNPS pada kejadian hujan 5 Mei 2008 dengan penggunaan lahan eksisting
38 Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan Simulasi model AGNPS dilakukan dengan skenario perubahan penggunaan lahan dengan input curah hujan yang dipilih adalah kejadian curah hujan tertinggi yang digunakan pada proses kalibrasi, yaitu episode tanggal 5 Mei 2008 dengan curah hujan sebesar 3.22 inchi (81.79 mm) dengan EI30 sebesar 32.603 ton.feet/acre/inchi (138.99 ton.m/ha/cm). Kejadian hujan yang dipilih hanya satu kejadian, karena hanya dimaksudkan untuk melihat respon hidrologi dan sedimen terhadap perubahan penggunaan lahan. Tabel 15 menunjukkan volume DRO untuk kondisi eksisting sebesar 371 043.20 m3, debit puncak aliran permukaan sebesar 28.78 m3/s, dan sedimen sebesar 178.15 ton. Angka tersebut menunjukan kondisi MDM Pasir Buncir dengan kondisi eksisting lebih baik dibandingkan dengan hasil simulasi model pada S1 dan S2 (volume DRO sebesar 455 980.80 m3, debit puncak DRO sebesar 35.44 m3/s, dan sedimen sebesar 191.97 ton dan 186.17 ton). Kondisi eksisting dengan semak belukar seluas 26.8% dan tegalan seluas 4.3% mampu mengurangi energi kinetik hujan dibandingkan dengan S1 dan S2 (luas semak seluas 18.7% dan tegalan seluas 12.4%). Berkurangnya energi kinetik hujan mengakibatkan berkurangnya daya rusak air terhadap permukaan tanah. Selain itu, persen penutupan permukaan oleh vegetasi semak yang lebih tinggi dibandingkan tegalan, meningkatkan nilai kekasaran permukaannya. Semakin tinggi nilai kekasaran permukaan, semakin mengurangi kecepatan aliran permukaan. Kondisi ini mengakibatkan kesempatan air hujan untuk infiltrasi lebih tinggi dan jumlah (volume) DRO yang sampai ke sungai lebih rendah. Selain itu, karena daya rusak air rendah, kecepatan aliran relatif lambat, dan volume DRO-nya rendah maka jumlah sedimen discharge semakin rendah. Hal ini ditunjukkan dari hasil simulasi S1 dan S2 yang menunjukkan volume DRO meningkat sebesar 22.89%, debit puncak DRO meningkat sebesar 35.44%, dan sedimen meningkat sebesar 7.76% dan 4.50%. Tabel 15 Perbandingan hasil simulasi kondisi eksisting dan skenario di MDM Pasir Buncir Debit Puncak Skenario % % DRO (m3/s ) Eksisting (S0) 371 043.20 28.78 S1 455 980.80 22.89 35.44 23.13 S2 455 980.80 22.89 35.44 23.13 S3 351 311.75 (5.32) 27.54 (4.30) S4 351 311.75 (5.32) 27.54 (4.30) S5 321 868.80 (13.25) 22.47 (21.91) S6 321 868.80 (13.25) 22.47 (21.91) S7 192 227.20 (48.19) 11.12 (61.37) S8 192 227.20 (48.19) 11.12 (61.37) Catatan : % = (Nilai Skenario – Nilai Eksisting)/Nilai Eksisting * 100%; Angka dalam kurung menunjukkan penurunan Volume DRO (m3)
Sedimen (ton) 178.15 191.97 186.17 172.86 171.39 161.15 154.62 108.82 104.88
%
7.76 4.50 (3.79) (3.79) (9.54) (13.21) (38.92) (41.13)
Simulasi perubahan semak menjadi lahan dengan meningkatkan jumlah vegetasi yang berpohon (tegakan kayu) pada S3, S4, S5, S6, S7 dan S8 mampu menurunkan volume DRO sebesar 5.32% sampai dengan 48.19%, serta menurunkan debit puncak DRO sebesar 4.30% sampai dengan 61.37%, dan menurunkan sedimen
39 sebesar 3.79% sampai dengan 41.13%. Keberadaan vegetasi di lahan baik itu pada kebun campuran (S3 dan S4) atau hutan rakyat bervegetasi tetap (S5, S6, S7 dan S8) mampu mengintersepsi air hujan yang jatuh, dan mengurangi daya rusak air hujan. Menurut Talakua (2009) bahwa vegetasi berkayu berfungsi antara lain : 1. Mencegah erosi percikan dengan melindungi tanah dari dampak pukulan air hujan secara langsung. 2. Mengurangi laju dan volume aliran permukaan dengan menahan sebagian dari air itu untuk penggunaan sendiri, menciptakan kekasaran permukaan dan meningkatkan infiltrasi. 3. Membantu pengikatan agregat tanah melalui penyebaran sistem akar maupun sisa-sisa vegetasi yang telah membusuk. 4. Memperbaiki struktur tanah dan pori tanah oleh bahan-bahan organik dan mempertinggi infiltrasi. 5. Melindungi tanah dari penginjakan oleh manusia dan hewan. 6. Memperbaiki tahanan gesek dari tanah melalui penetrasi akar dalam. Noordwijk et al (2004) mengemukakan bahwa tutupan pohon mempengaruhi aliran air permukaan dalam berbagai tahap, yaitu : 1) intersepsi, 2) perlindungan agregat tanah, 3) infiltrasi, dan 4) drainase lansekap. Uji lanjut BNT pada taraf 5% dilakukan untuk menguji respon setiap skenario terhadap keluaran model baik itu parameter hidrologi maupun sedimen, seperti disajikan pada Tabel 16, 17 dan 18. Hasil uji lanjut menunjukkan adanya beda nyata antara perlakuan skenario perubahan penggunaan lahan terhadap volume DRO, serta debit puncak DRO dan sedimen. Hal ini menunjukkan bahwa skenario perubahan penggunaan lahan mempengaruhi respon hidrologi dan sedimen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi tegalan, kebun campuran, dan vegetasi tetap berpengaruh nyata terhadap daya rusak air (hujan) terhadap tanah. Tingkat kerusakan tanah tergantung pada kemampuan vegetasi dan lahan dalam mengendalikan daya rusak air hujan. Tabel 16 Hasil uji lanjut BNT taraf 5% volume DRO pada setiap skenario di MDM Pasir Buncir S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S0 0 tn 22.89 n 22.89 n 5.32 n 5.32 n 13.25 n 13.25 n S1 0 tn 0 tn 22.96 n 22.96 n 29.41 n 29.41 n tn n n n S2 0 22.96 22.96 29.41 29.41 n tn tn n S3 0 0 8.38 8.38 n tn n S4 0 8.38 8.38 n S5 0 tn 0 tn S6 0 tn S7 S8 Catatan : tn = tidak nyata pada taraf 5%; dan n = nyata pada taraf 5%
S7 48.19 n 57.84 n 57.84 n 45.28 n 45.28 n 40.28 n 40.28 n 0 tn
S8 48.19 n 57.84 n 57.84 n 45.28 n 45.28 n 40.28 n 40.28 n 40.28 n 0 tn
Berdasarkan hasil analisa lebih lanjut dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5% menunjukkan bahwa pengaruh perubahan penggunaan lahan nyata, terhadap volume, debit puncak aliran permukaan, dan sedimen. Hal ini menunjukkan, bahwa perubahan penggunaan lahan tertentu mampu meningkatkan atau menurunkan nilai volume dan aliran permukaan di hulu, pada gilirannya akan berpengaruh juga terhadap peningkatan atau penurunan sedimen di hilir.
40 Untuk perlakuan teknik konservasi guludan ditambah rumput penguat dan mulsa vertikal 6 ton/ha menunjukkan adanya beda nyata pada keluaran model berupa sedimen (Tabel 17, 18, dan 19). Perbedaan penerapan teknik konservasi tanah pada skenario perubahan penggunaan lahan yang sama tidak berpengaruh terhadap volume DRO dan debit puncak aliran. Hal ini diduga karena keterbatasan model matematika yang digunakan pada model AGNPS. Perhitungan volume DRO menggunakan metode SCS, dimana variabel penentu adalah nilai CN (bilangan kurva aliran permukaan) dan input hujan, tanpa memasukan faktor teknik konservasi tanah (P). Selanjutnya dalam menghitung debit puncak DRO menggunakan metode TR55, dimana nilai volume DRO menjadi variabel penentu besarannya, dengan tanpa memasukan faktor nilai P. Tabel 17 Hasil uji lanjut BNT taraf 5% debit puncak DRO pada setiap skenario di MDM Pasir Buncir S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S0 0 tn 23.13 n 23.13 n 4.30 n 4.30 n 21.91 n 21.91 n S1 0 tn 0 tn 0 tn 22.28 n 22.28 n 36.58 n tn n n n S2 0 68.63 22.28 22.28 36.58 n tn n tn S3 0 59.64 0 18.40 n tn S4 0 59.64 18.40 n tn S5 0 0 tn S6 0 tn S7 S8 Catatan : tn = tidak nyata pada taraf 5%; dan n = nyata pada taraf 5%
S7 61.37 n 36.58 n 36.58 n 18.40 n 18.40 n 0 tn 50.53 0 tn
S8 61.37 n 68.63 n 68.63 n 59.64 n 59.64 n 50.53 n 50.53 n 50.53 n 0 tn
Tabel 18 Hasil uji lanjut BNT taraf 5% sedimen pada setiap skenario di MDM Pasir Buncir S0 S1 S2 S3 S4 S5 S0 0 tn 7.76 n 4.5 n 2.97 3.80 n 9.54 n tn tn n n S1 0 3.02 9.96 10.72 16.06 n tn n n S2 0 7.15 7.94 13.44 n S3 0 tn 0.85 tn 6.77 n S4 0 tn 5.96 n S5 0 tn S6 S7 S8 Catatan : tn = tidak nyata pada taraf 5%; dan n = nyata pada taraf 5%
S6 13.21 n 19.46 n 16.95 n 10.55 n 9.79 n 4.05 n 0 tn
S7 38.92 n 43.31 n 41.55 n 37.05 n 36.51 n 32.47 n 29.62 n 0 tn
S8 41.13 n 45.37 n 43.67 n 39.33 n 38.81 n 34.92 n 32.17 n 3.62 n 0 tn
Penerapan teknik konservasi tanah mulsa vertikal 6 ton/ha adalah nyata terhadap penurunan sedimen. Mulsa mampu mengurangi pengaruh energi kinetik hujan, sehingga jumlah tanah yang terdispersi berkurang. Dengan demikian mulsa mampu menurunkan jumlah sedimen yang terangkut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Idris et al. (2010) bahwa erosi tidak hanya dipengaruhi oleh curah hujan dan aliran permukaan, tetapi juga dipengaruhi oleh vegetasi berupa rerumputan dimana rumput-rumputan/mulsa sangat efektif dalam pencegahan erosi. Monde (2008) berpendapat bahwa pemberian mulsa pada agroforestry mampu menurunkan erosi hingga lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi, karena mulsa dapat meredam energi kinetik hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Fakhrudin dan Mety (2010) mengemukakan bahwa penerapan teknik konservasi tanah dengan penutup tanah seperti rumput atau mulsa penahan air berpotensi menurunkan erosi sebesar
41 70%. Monde (2010) berpendapat bahwa mulsa 6 ton/ha pada tanaman kakao umur kurang lebih sama dengan 3 tahun mampu menurunkan runoff sebesar 71% dan erosi sebesar 87%. Penerapan konservasi tanah pada tanaman mahoni, menggunakan mulsa dengan jarak saluran 6 m maupun 12 m. Hal ini mampu menekan aliran permukaan sebanyak 55% dan erosi turun sebesar 46% dari kontrol (Pratiwi dan Narendra 2012). Pemilihan penggunaan lahan yang terbaik didasarkan pada responnya terhadap peningkatan atau penurunan keluaran hidrologi dan sedimen. Tabel 16 menunjukkan bahwa respon terbaik terhadap penurunan hidrologi dan sedimen berturut-turut dari yang terbaik sampai ke yang buruk adalah S8, S7, S6, S5, S4, S3, S2 dan S1. Perubahan penggunaan lahan semak sebesar 30% menjadi tegalan (S1 dan S2) berpengaruh dalam meningkatkan volume DRO sebesar 22.89%, debit puncak DRO sebesar 23.13%, dan sedimen sebesar 4.5% dan 7.76%. Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi tegalan menyebabkan berkurangnya luas permukaan tanah yang tertutup rumput/semak belukar. Selain itu, praktek pertanian pada pengunaan lahan tersebut lebih intensif. Kondisi seperti ini menyebabkan besaran energi kinetik hujan tetap tinggi dan mampu merusak tanah (terkelupasnya permukaan tanah). Tanah yang terlepas, sebagian menutup pori makro tanah dan sebagian terangkut DRO. Meningkatnya jumlah pori tanah yang tertutup mengakibatkan menurunya daya resap air (infiltrasi), dan meningkatkan jumlah DRO. Tanah yang terangkut oleh DRO meningkatkan jumlah sedimen discarge di sungai. Perubahan penggunaan lahan semak sebesar 30% menjadi kebun campuran (S3 dan S4) berpengaruh dalam menurunkan volume DRO sebesar 5.32 %, debit puncak DRO sebesar 4.30%, dan sedimen sebesar 3.79%. Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi kebun campuran menyebabkan jumlah tutupan vegetasi yang bervariasi. Kondisi ini menyebabkan bertambahnya luas permukaan tanah yang tertutup. Keberadaan vegetasi berpohon pada kebun campuran menyebabkan meningkatnya jumlah air hujan yang terintersepsi dan berkurangnya energi kinetik hujan, sedangkan tanaman bawah berupa palawija mempengaruhi dalam meningkatkan kekasaran permukaan. Semakin rapat tanaman palawija yang ditanam maka semakin kasar permukaan tanahnya, yang mengakibatkan berkurangnya kecepatan DRO. Semakin berkurangnya kecepatan aliran, maka jumlah air yang masuk ke sungai semakin kecil dan mengurangi daya gerus atau kemampuan mengerosi tanah. Besarnya penurunan respon hidrologi dan sedimen sangat tergantung pada komposisi dan kerapatan tanaman pertanian dan kehutanan pada kebun campuran tersebut. Dominasi tanaman pertanian dengan kerapatan tanaman kehutanan yang kurang, maka jumlah volume DRO yang berkurang semakin sedikit, malah sebaliknya dapat meningkatkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Monde (2008), bahwa perubahan hutan menjadi lahan pertanian (jagung, agroforestry) menyebabkan berkurangnya penutupan permukaaan tanah, bahan organik, porositas, permeabilitas dan jumlah mikroorganisme sehingga meningkatkan aliran permukaan sebesar 19.36%. Lain halnya apabila komposisi tanaman pertanian dan kehutanan cukup baik dari segi kerapatan tajuk maupun penutupan permukaan tanah, maka respon hidrologi yang diberikan dapat mendekati fungsi hutan. Hal ini sejalan dengan penelitian Talakua (2009), bahwa tipe penggunaan lahan yang memberikan respon terbaik pada fungsi hidrologi yang dilihat dari aspek tingkat kerusakan lahan berturut turut dari yang terbaik ke yang terjelek adalah hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, semak belukar, pemukiman dan ladang. Menurut Farida dan
42 Noordwijk (2004) bahwa sistem agroforestri berbasis kopi dapat mengembalikan fungsi hidrologi. Perubahan penggunaan lahan semak sebesar 30% menjadi vegetasi tetap (hutan rakyat dengan tegakan tanaman dan kondisi hutan) (S5 dan S6) berpengaruh dalam menurunkan volume DRO sebesar 13.25 %, debit puncak DRO sebesar 21.91%, dan sedimen sebesar 9.54% dan 13.21%. Perubahan penggunaan lahan semak seluruhnya menjadi vegetasi tetap (perkebunan dengan komoditi tanaman karet dengan kerapatan tinggi) (S7 dan S8) berpengaruh dalam menurunkan volume DRO sebesar 48.19 %, debit puncak DRO sebesar 61.37%, dan sedimen sebesar 38.92% dan 41.13%. Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi vegetasi tetap menyebabkan meningkatnya jumlah air hujan yang terintersepsi, mengurangi laju aliran permukaan, mengurangi daya rusak air, dan mampu memperbaiki struktur dan mikro organisme tanah yang mampu meningkatkan jumlah pori makro dan laju infiltrasi. Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi lahan bervegetasi tetap, dapat meningkatkan infiltrasi, karena perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah (Harsono, 1995). Lipu (2010) mengemukakan bahwa hutan atau lahan bervegetasi seperti hutan mengurangi dampak pemadatan tanah secara sistemik yang berakibat berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa vegetasi tetap mampu memberikan respon hidrologi yang baik, karena mampu menciptakan jumlah serasah dan bahan organik tinggi, serta meningkatkan laju intersepsi dan laju infiltrasi. Penggunaan lahan yang terbaik dari hasil simulasi model dapat mempertimbangkan keluaran sedimen. Pada model AGNPS, perhitungan erosi permukaan menggunakan rumus USLE. Karena data erosi yang hasil pengukuran tidak tersedia, maka pendekatan erosi dibandingkan dari nilai SDR (sediment delivery ratio). Menurut Arsyad (2010), bahwa SDR dihitung dengan menggunakan rumus : SDR =
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷
.................................(16)
Jumlah erosi yang terjadi di dalam DAS dihitung menggunakan persamaan USLE yang telah dimodifikasi sesuai rumus (7). Nilai SDR untuk kondisi eksisting MDM Pasir Buncir dengan luas 1 760 Hektar pada hujan tanggal 5 Mei 2008 sebesar 11.07%, artinya sejumlah 11.07% tanah yang tererosi di lahan sebelum outlet terangkut ke dalam sungai menjadi sediment discharge (Tabel 19). Sisanya sebesar 88.93% mengendap pada lahan dengan ketinggian lebih rendah dibandingkan tempat tanah tererosi. Dengan menggunakan rumus SDR, maka dapat dihitung erosi yang terjadi di MDM Pasirbuncir pada hujan tanggal tersebut sebesar 705.84 ton (0.40 ton/ha). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi eksisting masih cukup baik. Erosi yang dihasilkan dari hasil simulasi perubahan penggunaan lahan pada umumnya dapat menunjukkan erosi yang lebih rendah dibandingkan nilai erosi yang dibiarkan. Erosi yang dihasilkan pada tegalan, kebun campuran dan vegetasi tetap (S1, S2, S3, S4, dan S5) lebih tinggi dibandingkan kondisi eksisting. Artinya simulasi perubahan S1, S2, S3, S4, dan S5 tidak lebih baik daripada kondisi saat ini, sehingga tidak direkomendasikan untuk diterapkan.
43 Tabel 19 Nilai perhitungan erosi pada kondisi eksisting dan skenario pada kejadian hujan tanggal 5 Mei 2008 di MDM Pasir Buncir Eksisting/Skenario
Sedimen (ton)
SDR (%)
Eksisting (S0) S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8
78.15 191.97 184.33 172.86 171.39 161.15 154.62 108.82 104.88
11.07 13.20 13.01 11.55 11.79 20.14 23.98 16.11 17.82
(Ton) 705.84 1 454.12 1 417.05 1 496.77 1 453.91 800.21 675.35 644.89 588.54
Erosi (Ton/ha) 0.40 0.83 0.81 0.85 0.83 0.45 0.38 0.37 0.33
Catatan : SDR = sediment delivery ratio; Perhitungan erosi pada kejadian hujan tanggal 5 Mei 2008 dengan CH = 81.79 mm, lamanya hujan 3.5 jam dan EI30 = 32.603 ton.feet/acre/inchi = 138.993 ton.m/ha/cm
Erosi yang dihasilkan dari hasil simulasi perubahan penggunaan lahan semak menjadi vegetasi tetap (kondisi semula seperti kondisi PTP XI dengan komoditi tanaman dominan mahoni, pinus dan karet) (S7 dan S8) menunjukan nilai erosi yang lebih rendah dibandingkan kondisi saat ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa S8 merupakan penggunaan lahan yang terbaik apabila ditinjau dari aspek hidrologi dan sedimen. Mempertimbangkan kondisi umum MDM Pasirbuncir yang merupakan bagian hulu dari Cisadane Hulu dengan tingkat kemiringan lereng yang dominan sangat curam, dimana seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung, maka skenario 8 sangat direkomendasikan untuk diterapkan karena mampu mengurangi jumlah erosi secara nyata serta menurunkan volume DRO dan debit puncak DRO. Pelaksanaan penatagunaan lahan di MDM Pasirbuncir untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS terpadu yang ideal (respon hidrologi baik dan erosi lebih kecil dari erosi yang dapat dibiarkan) sesuai dengan skenario 8. Dengan menerapkan skenario 8, dihasilkan nilai erosi dan volume serta debit puncak DRO yang lebih kecil dari kondisi eksisting dan skenario 1 sampai dengan skenario 7. Hal ini dapat bermanfaat mengurangi jumlah kehilangan lapisan tanah paling atas (top soil merupakan lapisan subur). Selain itu, karena mampu meningkatkan laju infiltrasi, sehingga dapat mengurangi jumlah aliran permukaan dan meningkatkan volume cadangan air bawah tanah. Manfaat lainnya adalah mendapatkan debit aliran sungai yang relatif stabil (suplai air masih tersedia pada musim kemarau).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Model AGNPS dapat mensimulasikan dengan baik respon hidrologi dan hasil sedimen terhadap perubahan penggunaan lahan di MDM Pasir Buncir, Sub DAS Cisadane Hulu. Nilai R2 dan NSE volume DRO, debit puncak DRO, dan hasil sedimen masing-masing sebesar 0.84 dan 0.80, 0.95 dan 0.72, serta 0.87 dan 0.87. Perubahan penggunaan lahan yang terbaik dilihat dari respon hidrologi dan sedimen di MDM Pasir Buncir, Sub DAS Cisadane Hulu, adalah perubahan semak belukar menjadi lahan dengan vegetasi tetap dengan teknik konservasi mulsa vertikal
44 6 ton/ha (S8). Dengan menerapkan skenario 8, dihasilkan volume DRO, debit puncak DRO, hasil sedimen dan nilai erosi yang lebih kecil dibandingkan kondisi eksisting masing-masing yaitu : 48.19%, 61.37 %, 41.13%, dan 16.62%. Hal ini dapat bermanfaat mengurangi jumlah kehilangan lapisan tanah paling atas (top soil merupakan lapisan subur), dapat meningkatkan laju infiltrasi dan volume cadangan air bawah tanah, dan mendapatkan debit aliran sungai yang relatif stabil. Saran Interval waktu pencatatan kejadian hujan dan tinggi muka air dilakukan setiap 15 menit, sehingga banyak kejadian hujan antar interval waktu tersebut tidak tercatat. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan interval waktu pencatatan kejadian hujan dan tinggi muka air kurang dari 15 menit, setiap enam menit misalnya, sehingga data kejadian hujan dan tinggi muka air yang dicatat lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA Acherman EO, Taylor AG. 1995. Stream Impact Due To Feedlot Runoff. In : Animal Waste and the Land-Water Interface. Kenneth Steele. ED. Lewis. Publishers, Boca Raton, FL. 589 pp. http://www.epa.gov/nps/agmm/chap 9.Pdf. [3 Januari 2012]. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Ed ke-2. IPB Press, Bogor. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal 472. Bloschl G dan Grayson R. 2000. Spatial Pattern in Catchment Hydrology : Obseration and Modelling. Cambridge University Press. Cambridge. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum Ciliwung. 2008. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan SWP DAS Cisadane. Bogor. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung. 2010. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Cisadane. Bogor. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor P.15/V-SET/2009 tentang Pedoman Pembangunan Areal Model DAS Mikro (MDM). Dephut, Jakarta. Dooge JCI. 1973. Linear Theory of Hydrologic Systems. Technical Buletin 1468. Washington. Agricultur Research Service USDA. Fakhrudin M, Yulianti M. 2010. Kajian Erosi Sebagai dasar Konservasi DAS Cisadane. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V Tahun 2010. Fithria H, Rusdiana O, PriyonoA. 2009. Pengaruh perubahan penutupan lahan dan pemanfaatan sumberdaya air terhap kualitas air sungai di DAS Cisadane segmen Hulu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. IPB Fleming G. 1979. Computer Simulation Techniques in Hydrology. El Sevier. Harsoyo B. 2010. Review Modeling Hidrologi DAS Di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 11 (1) : 41 – 47. Harsono. 1995. Hand Out Erosi dan Sedimentasi. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
45 Herawati T. 2010. Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi di Wilayah DAS Cisadane Kabupaten Bogor. Jurnal Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7 (4) : 413-424. Idris A, Millang S, Paembonan S. 2010. Tingkat Erosi pada Berbagai Penutupan Tajuk Pola Agroforestry di Sub DAS Tallo Hulu. Disertasi. Universitas Hasanudin. Indarto, Adriyani I, Novita E. 2008. Kalibrasi Model IHACRES Pada Dua DAS Identik. Dinamika Teknik Sipil. 8 (1) : 89 – 100. Jaya A. 1994. Dinamika Aliran Permukaan, Erosi serta Kehilangan Hara Dalam Aliran Permukaan Pada Daerah Tangkapan Citere, Pangalengan. Tesis. Program Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Kustamar, Yulianti. 2009. Model Hidrologi DAS ITN I. JSDA 5 (2) : 85 - 94. Leon LF, Lam DC. 2008. The AGNPS Watershed Model. Civil Enginering Departement, University of Waterloo. Lipu S. 2010. Analisis Pengaruh Konversi Hutan Terhadap Larian Permukaan dan Debit Sungai Bulili, Kabupaten Sigi. Media Litbang Sulawesi Tenggara III (1) : 44 – 50. Monde A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestry Kakao di DAS Nopu, Sulawesi Tengah. Disertasi. Pascasarjana. IPB. Nash JE, Sutcliffe JV. 1970. River Flow Forecasting Through Conceptual Model part I, a Discussion of Principple. J. Hiydrology. 10 (3) : 282-290. Noordwijk M V, Agus F, Suprayogi D, Hairiyah K, Pasya G, Verbist B, Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi DAS. Agrivita 26 (1). Nugroho S P. 2000. Analisis Aliran Permukaan, Sedimen, dan Hara Nitrogen, Fosfor dan Kebutuhan Oksigen Kimiawi dengan Menggunakan Model AGNPS di Sub DAS Dumpul. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Pawitan H. 1999. Hidrologi Daerah Aliran Aungai : Suatu Pendekatan Analisis Sistem. Makalah Pelatihan Dosen-dosen PTN Indonesia Bagian Barat Dalam Bidang Agroklimatologi. Bogor, 1 – 12 Februari 1999. Pratiwi, Narendra B H. 2012. Pengaruh Penerapan Teknik Konservasi Tanah Terhadap Pertumbuhan Pertanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King) di Hutan Penelitian Carita, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 9 (2) : 139-150. Puspaningsih N. 1999. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan di Sub DAS Cisadane Hulu Kabupaten Bogor. Bogor : Jurnal Manajemen Hutan Tropika 5 (2) : 45-53. Refsgaard J S. 2000. Towards a Formal Approach to Calibration and Validation of Models Using Spatial Data. Cambridge University Press. Salwati. 2004. Kajian Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Respon Hidrologi Sub Das Cilalawi – DAS Citarum, Jawa Barat Menggunakan Model AGNPS. Tesis. Pascasarjana. IPB. Singh VP. 1992. Elementary Hydrology. Prentice Hall, New Jersey. P. 973. Sinukaban N. 1989. Manual Inti Tentang Konservasi Tanah dan Air di Daerah Transmigrasi. Direktorat Pendayagunaan Lingkungan Pemukiman, Ditjen Penyiapan Pemukiman. Jakarta : Departemen Transmigrasi.
46 Schwab G O, Frevert RK, Edminster T W, Barnes KK. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. USA. P. 525. Talakua S M. 2009. Efek Penggunaan Lahan Terhadap Kerusakan Tanah Akibat Erosi di Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian. 5 (1) : 27 – 34. Vadari I, Subagyono K, Sutrisno N. 2007. Model Prediksi Erosi : Prinsip, Keunggulan dan Keterbatasan. Van Liew, Arnold J G, Garbrecht J F. 2003. Hydrologic Simulation on Agricultura Watersheds : Choosing Between Two Models. Trans ASAE. 46 (6) : 159391551. Wischmeier W H, Smith D D. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to Conservation Planning. USDA Handbook No. 537. Young R A, Onstad C A, Bosch D D. 1987. AGNPS : Agricultural Non-Point Source Model. In : Singh VP. Computer Models Of Watershed Hydrology Departement of Civil and Environmental Engineering. USA, Water Resources Publications, Cap. 26 : p. 1001-1020. Young RA, Onstad CA, Bosch DD, Anderson WP. 1994. Agricultural Non-Point Source Pollution Model Version 5.00. AGNPS User’s Guide. North Central Soil Conservation Research Laboratory. Morris. Minesota.
47
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Sebaran Titik Sampel di MDM Pasir Buncir
48 Lampiran 2 Perhitungan Energi Intensitas Hujan (EI30) Kejadian Hujan Terpilih di MDM Pasir Buncir Episode 16 Februari 2009 CH (mm) 4.32 19.30 16.00 5.08 0.76 0.76 0.25 0.25 cm inchi
(cm) 0.43 1.93 1.60 0.51 0.08 0.08 0.03 0.03 4.67 1.84
Waktu (mnt) 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 120.00
I (cm/jam)
Log I
1.73 7.72 6.40 2.03 0.30 0.30 0.10 0.10
0.24 0.89 0.81 0.31 (0.52) (0.52) (0.99) (0.99)
I30 (cm/jam) 7.06
Ek (ton.m/ha/cm) 231.12 289.01 281.75 237.41 164.08 164.08 121.61 121.61
7.06
E (ton.m/ha) 99.80 557.90 450.86 120.60 12.50 12.50 3.09 3.09 1 260.35
Keterangan : EI30= 89.00 ton.m/ha/cm atau 23.94 ton.feet/acre/inchi untuk 1.84 inchi kejadian hujan, E = 1 260.36 ton.m/ha, dan I30 = 7.06 cm/jam Episode 15 Mei 2009 CH (mm) 6.10 0 6.60 2.03 1.52 8.13 0 0 0 0 0.25 11.68 9.40 0.25 0.25 cm inchi
(cm) 0.61 0 0.66 0.20 0.15 0.81 0 0 0 0 0.03 1.17 0.94 0.03 0.03 4.62 1.82
Waktu (mnt) 15.00 0 15.00 15.00 15.00 15.00 0 0 0 0 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 150.00
I (cm/jam)
Log I
2.44 0 2.64 0.81 0.61 3.25 0 0 0 0 0.10 4.67 3.76 0.10 0.10
0.39 0 0.42 (0.09) (0.21) 0.51 0 0 0 0 (0.99) 0.67 0.58 (0.99) (0.99)
I30 (cm/jam) 4.22
4.22
Ek (ton.m/ha/cm) 244.45 0 247.55 201.99 190.87 255.57 0 0 0 0 121.61 269.60 261.18 121.61 121.61
E (ton.m/ha) 149.02 0 163.48 41.04 29.09 207.73 0 0 0 0 3.09 315.00 245.46 3.09 3.09 1 160.09
Keterangan : EI30= 48.91 ton.m/ha/cm atau 13.16 ton.feet/acre/inchi untuk 1.82 inchi kejadian hujan, E = 1 160.09 ton.m/ha, dan I30 = 4.22 cm/jam
49 Lampiran 2 Lanjutan Episode 13 Desember 2009 CH (mm) 1.78 5.33 2.03 0.25 0 0 0 0 0 6.86 10.16 3.81 1.02 0.51 0 0.25 cm inchi
(cm) 0.18 0.53 0.20 0.03 0 0 0 0 0 0.69 1.02 0.38 0.10 0.05 0 0.03 3.20 1.26
Waktu (mnt) 15.00 15.00 15.00 15.00 0 0 0 0 0 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 0 15.00 150.00
I (cm/jam)
Log I
0.71 2.13 0.81 0.10 0 0 0 0 0 2.74 4.06 1.52 0.41 0.20 0 0.10 1.28
(0.15) 0.33 (0.09) (0.99) 0 0 0 0 0 0.44 0.61 0.18 (0.39) (0.69) 0 (0.99)
I30 (cm/jam) 3.40
3.40
Ek (ton.m/ha/cm) 196.83 239.29 201.99 121.61 0 0 0 0 0 249.00 264.20 226.29 175.20 148.41 0 121.61 1 944.42
E (ton.m/ha) 35.00 127.64 41.04 3.09 0 0 0 0 0 170.77 268.42 86.21 17.80 7.54 0 3.09 760.60
Keterangan : EI30= 25.89 ton.m/ha/cm atau 6.98 ton.feet/acre/inchi untuk 1.26 inchi kejadian hujan, E = 760.60 ton.m/ha, dan I30 = 2.03cm/jam Episode 31 Desember 2009 CH (mm) 5.59 12.95 2.03 4.06 2.03 6.35 0.51 0 0 0.25 0 0.25 cm inchi
(cm) 0.56 1.30 0.20 0.41 0.20 0.64 0.05 0 0 0.03 0 0.03 3.40 1.34
Waktu (mnt) 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 15.00 0 0 15.00 0 15.00 135.00
I (cm/jam)
Log I
2.24 5.18 0.81 1.63 0.81 2.54 0.20 0 0 0.10 0 0.10 2.25
0.35 0.71 (0.09) 0.21 (0.09) 0.40 (0.69) 0 0 (0.99) 0 (0.99)
I30 (cm/jam) 3.71
3.71
Ek (ton.m/ha/cm) 241.09 273.59 201.99 228.78 201.99 246.03 148.41 0 0 121.61 0 121.61 1 785.10
E (ton.m/ha) 134.72 354.40 41.04 92.98 41.04 156.23 7.54 0 0 3.09 0 3.09 834.14
Keterangan : EI30= 30.93 ton.m/ha/cm atau 8.32 ton.feet/acre/inchi untuk 1.34 inchi kejadian hujan, E = 834.14 ton.m/ha, dan I30 = 2.59 cm/jam
50 Lampiran 3 Data Lapangan (Tekstur Tanah, % Bahan Organik, Nisbah Liat dan HSG) di MDM Pasir Buncir Kode
Penggunaan Lahan
Pasir
Debu
Liat Kasar
Liat Halus
Jenis Tekstur Tanah
% BO
Nisbah Liat
Permeabilitas (cm/jam)
K
HSG
TS 1
Tegalan
3.60
52.30
5.10
39.00
Klei berdebu
8.77
1.27
11.72
0.14
A
TS 2
Kebun Campuran
8.60
31.30
10.90
49.20
Klei lom berdebu
8.96
0.66
76.17
0.11
A
TS 3
Kebun Campuran
8.40
28.30
6.40
58.90
Klei
9.81
0.58
23.44
0.06
A
TS 4
Sawah Irigasi
18.00
47.00
6.90
28.10
Klei lom berdebu
9.43
1.86
-
0.14
D
TS 5
Sawah Irigasi
15.10
37.50
9.80
37.60
Klei
8.52
1.11
-
0.18
D
TS 6
Sawah tadah hujan
13.90
37.50
11.80
36.80
Klei
8.95
1.06
-
0.18
D
TS 7
Tegalan
23.30
38.20
9.80
28.70
Klei lom
10.23
1.60
-
0.14
D
TS 8
Kebun Jagung
2.90
40.50
9.00
47.60
Klei
10.58
0.77
-
0.18
D
TS 9
Sawah Irigasi
38.20
26.60
8.70
26.50
Klei lom
8.85
1.84
-
0.14
D
TS 10
Kebun Singkong
14.10
24.60
10.10
51.20
Klei
9.71
0.63
23.37
0.15
A
TS 11
Semak
24.80
20.70
15.90
38.60
Klei
9.00
0.83
20.51
0.12
A
TS 12
Kebun Campuran
10.90
25.20
19.00
44.90
Klei
8.94
0.56
11.72
0.18
A
TS 13
Semak
0.80
19.70
16.30
63.20
Klei
9.09
0.26
93.75
0.12
A
51 Lampiran 3 Lanjutan Liat Halus
Jenis Tekstur Tanah
Permeabilitas (cm/jam)
K
HSG
12.30
44.40
Klei
9.26
0.76
26.75
0.12
A
23.00
16.30
41.70
Klei
8.50
0.72
17.50
0.14
A
5.40
44.40
3.40
46.80
Klei berpasir
10.00
0.99
11.72
0.18
A
Padi Huma
12.80
24.70
19.10
43.40
Klei
10.59
0.60
8.79
0.18
A
TS 18
Kebon Kopi
24.50
32.00
12.10
31.40
Klei
9.57
1.30
-
0.10
D
TS 19
Semak
52.40
22.10
7.80
17.70
Klei lom berpasir
11.27
2.92
35.10
0.14
A
TS 20
Sawah
25.90
35.60
15.70
22.80
Klei lom
11.52
1.60
-
0.18
D
TS 21
Sawah
8.90
38.00
22.00
31.30
Klei
9.97
0.88
-
0.12
D
TS 22
Kebun Kumis Kucing
17.10
32.40
13.50
37.00
Klei
8.57
0.98
105.47
0.04
A
TS 23
Kebon Sengon
13.70
41.40
10.40
34.50
Klei berpasir
10.69
1.23
51.56
0.15
A
TS 24
Hutan pinus
15.80
20.70
13.90
49.60
Klei
9.71
0.57
35.16
0.15
A
TS 25
Kebon Kopi
19.00
25.30
17.40
38.30
Klei
8.76
0.80
41.01
0.14
A
TS 26
Kebon Sengon
15.70
42.70
2.40
39.20
Klei berpasir
9.44
1.40
5.86
0.14
B
Kode
Penggunaan Lahan
TS 14
Kebun Kayu
TS 15
Kebun Jagung
TS 16
Semak
TS 17
Pasir
Debu
Liat Kasar
26.10
17.20
19.00
% BO
Nisbah Liat
52 Lampiran 3 Lanjutan Kode
Penggunaan Lahan
TS 27
Semak
TS 28
Liat Halus
Jenis Tekstur Tanah
12.30
33.10
Klei
29.40
8.80
42.90
12.30
32.60
17.80
25.20
17.20
4.80
28.80
Pasir
Nisbah Liat
Permeabilitas (cm/jam)
K
HSG
12.27
1.20
5.86
0.18
B
Klei
13.88
0.93
175.78
0.12
A
37.30
Klei
10.10
0.81
5.86
0.18
B
13.40
44.20
Klei
8.65
0.74
70.31
0.15
A
21.80
44.60
Klei
10.80
0.51
5.86
0.15
B
Debu
Liat Kasar
17.50
37.10
Hutan pinus
18.90
TS 29
Kebun Singkong
TS 30
Kebun Kapol
TS 31
Kbn Jagung Blok Cisigung
% BO
53 Lampiran 4 Nilai Bilangan Kurva untuk Kondisi Kandungan Air Tanah di MDM Pasir Buncir CN Penggunaan Lahan
AMC I
AMC II
AMC III
A
B
C
D
A
B
C
D
A
B
C
D
Hutan
12
-
-
-
25
-
-
-
43
-
-
-
Semak
-
56
-
-
-
75
-
-
-
87
-
-
Rumput
-
61
-
-
-
79
-
-
-
90
-
-
Pemukiman
-
70
-
-
-
85
-
-
-
93
-
-
Sawah
-
-
-
64
-
-
-
81
-
-
-
91
Tegalan
-
61
-
-
-
79
-
-
-
90
-
-
Kebun
44
-
-
-
65
-
-
-
81
-
-
-
Sumber : Arsyad (2010) Catatan : Rumus konversi CN (bilangan kurva aliran permukaan) dari kondisi AMC II ke kondisi AMC I dan AMC III (Chow et al.1988) : CN (AMC I)
23 x CN (AMC II)
= 10+0.3 x CN (AMC II) ………………………………………… (17) 4.2 x CN (AMC II)
CN (AMC III) = 10−(0.058 x CN (AMC II)) ……………………………………... (18) dimana : CN adalah bilangan kurva aliran permukaan, AMC adalah antecedent moisture condition , dan I, II dan III adalah menunjukkan kondisi AMC
54 Lampiran 5 Grafik Curah Hujan, Debit dan TMA Episode Hujan Terpilih di MDM Pasir Buncir 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 -
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00
30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 -
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49
Tanggal 16 Februari 2009
5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00
Tanggal 15 Mei 2009
5,00
-
4,00
10,00
8,00
10,00
3,00
20,00
6,00
20,00
2,00
30,00
4,00
30,00
1,00
40,00
2,00
40,00
50,00
-
-
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49
10,00
Tanggal 17 Mei 2009
-
50,00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Tanggal 14 Juni 2009
50,00
-
5,00
-
40,00
5,00
4,00
5,00
10,00
3,00
30,00
15,00
20,00
20,00
10,00 -
25,00 1 6 111621263136414651566166
Tanggal 14 Oktober 2009
30,00
10,00 15,00
2,00
20,00
1,00 -
25,00 1 5 9 131721252933374145495357
Tanggal 22 November 2009
30,00
55 Lampiran 5 Lanjutan 20,00 15,00
5,00
-
5,00
4,00
5,00
10,00
10,00
15,00
5,00 -
-
20,00
10,00
3,00
15,00
2,00
20,00
1,00
25,00
-
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34
25,00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
31 Desember 2009 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
Tanggal 26 Januari 2008 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000
10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 -
Tanggal 29 Januari 2008
13,000 11,000 9,000
8,000
20,000
6,000
30,000
3,000
40,000
1,000 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19
Tanggal 12 Maret 2008
10,000
10,000
7,000 5,000
1 6 1116212631364146515661
5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000
Tanggal 10 Maret 2008 -
15,000
(1,000)
30,00
50,000
5,000 10,000 15,000
4,000
20,000
2,000 -
25,000 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45
Tanggal 5 Mei 2008
30,000
56 Lampiran 5 Lanjutan -
15,000 13,000 11,000 9,000
10,000
8,000
20,000
6,000
7,000 30,000
5,000 3,000
40,000
1,000 (1,000) 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45
10,000
5,000 10,000
4,000
15,000
2,000 -
50,000
Tanggal 10 November 2008
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37
20,000
Tanggal 12 November 2008
25,000
-
7,000
20,000
5,000
6,000
10,000
5,000
15,000
4,000
10,0
20,000
3,000
15,0
25,000
2,000
30,000
1,000
15,000 10,000 5,000 -
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45
Tanggal 14 November 2008
-
5,00
20,0
1 3 5 7 9 111315171921232527293133
Tanggal 1 Desember 2008
20,000
-
15,000
10,000
10,000
20,000
5,000
30,000
-
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34
(5,000)
40,000 50,000
Tanggal 3 Desember 2008 Keterangan :
= curah hujan; = baseflow; dan
= total overland flow = direct run off
25,0
57 Lampiran 6 Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009 di MDM Pasirbuncir
58 Lampiran 7 Peta Penggunaan Lahan Skenario 1 di MDM Pasirbuncir
59 Lampiran 8 Peta Penggunaan Lahan Skenario 3 di MDM Pasirbuncir
60 Lampiran 9 Peta Penggunaan Lahan Skenario 5 di MDM Pasirbuncir
61 Lampiran 10 Peta Penggunaan Lahan Skenario 7 di MDM Pasirbuncir
62 Lampiran 11 Peta Tekstur Tanah di MDM Pasirbuncir
63 Lampiran 12 Peta DEM di MDM Pasirbuncir
64 Lampiran 13 Karakteristik Hujan Masukan Model AGNPS Pada Proses Running Keluaran Model (CH Bulan Januari – Mei 2010) CH Tanggal 01 Jan 02 Jan 03 Jan 04 Jan 05 Jan 06 Jan 07 Jan 08 Jan 09 Jan : : : : : : : : 25 Mei 26 Mei 27 Mei 28 Mei 29 Mei 30 Mei 31 Mei
AMC
(mm)
(cm)
(inchi)
Jumlah Hujan
0.76 0.76 2.03 1.27 16.00 75.95 28.19 : : : : : : : : 1.76 6.60 1.02 26.67 19.56 0.76 5.08
0.08 0.08 0.20 0.13 1.60 7.60 2.82 : : : : : : : : 0.18 0.66 0.10 2.67 1.96 0.08 0.51
0.03 0.03 0.08 0.05 0.63 2.99 1.11 : : : : : : : : 0.07 0.26 0.04 1.05 0.77 0.03 0.20
3.56 4.83 20.07 95.25 : : : : : : : : 122.43 87.12 93.47 94.49 76.20 55.63 54.61
Waktu
Kategori 1 1 2 3 : : : : : : : : 3 3 3 3 3 3 3
I
(menit)
(Jam)
(cm/jam)
30 45 30 75 195 270 330 : : : : : : : : 90 195 60 90 90 45 105
0.50 0.75 0.50 1.25 3.25 4.50 5.50 : : : : : : : : 1.50 3.25 1.00 1.50 1.50 0.75 1.75
0.15 0.10 0.41 0.10 0.49 1.69 0.51 : : : : : : : : 0.12 0.20 0.10 1.78 1.30 0.10 0.29
Log I (0.82) (0.99) (0.39) (0.99) (0.31) 0.23 (0.29) : : : : : : : : (0.93) (0.69) (0.99) 0.25 0.12 (0.99) (0.54)
I30
Ek
E
(cm/jam)
(ton.m/ha/cm)
(ton.m/ha)
(ton.m/ha/cm)
137.29 121.61 175.20 121.61 182.61 230.23 184.17 : : : : : : : : 127.57 148.41 121.61 232.24 220.26 121.61 162.19
10.46 9.27 35.60 15.45 292.22 1 748.50 519.25 : : : : : : : : 22.68 98.01 12.36 619.39 430.78 9.27 82.39
0.02 0.01 0.15 0.08 6.98 82.61 8.44 : : : : : : : : 0.02 0.40 0.01 13.53 6.57 0.01 0.38
0.15 0.05 0.41 0.51 2.39 4.72 1.63 : : : : : : : : 0.10 0.41 0.10 2.18 1.52 0.10 0.46
EI30 (ton.feet/acre/ inchi) 0.00 0.00 0.04 0.02 1.88 22.22 2.27 : : : : : : : : 0.01 0.11 0.00 3.64 1.77 0.00 0.10
65 Lampiran 14 Hasil Keluaran Model AGNPS Pada Musim Penghujan tahun 2010 (Bulan Januari – Mei 2010) CH Tanggal
01 Jan 02 Jan 03 Jan 04 Jan 05 Jan 06 Jan 07 Jan 08 Jan 09 Jan 10 Jan 11 Jan 12 Jan 13 Jan 14 Jan 15 Jan 16 Jan 17 Jan 18 Jan 19 Jan 20 Jan 21 Jan 22 Jan 23 Jan 24 Jan 25 Jan 26 Jan 27 Jan 28 Jan 29 Jan 30 Jan 31 Jan 01 Feb 02 Feb 03 Feb 04 Feb 05 Feb 06 Feb 07 Feb 08 Feb 09 Feb
EI30
(mm)
(cm)
(inchi)
0.76 0.76 2.03 1.27 16.00 75.95 28.19 4.32 7.87 25.15 4.06 15.75 0.76 8.38 5.84 45.47 11.18 3.81 23.62 6.35 6.10 0.76 0.25 1.02 9.40 19.30 4.32 1.52 1.27 0.51 8.38 11.68 12.19 31.50 3.05 1.52 30.73
0.08 0.08 0.20 0.13 1.60 7.60 2.82 0.43 0.79 2.52 0.41 1.58 0.08 0.84 0.58 4.55 1.12 0.38 2.36 0.64 0.61 0.08 0.03 0.10 0.94 1.93 0.43 0.15 0.13 0.05 0.84 1.17 1.22 3.15 0.30 0.15 3.07
0.03 0.03 0.08 0.05 0.63 2.99 1.11 0.17 0.31 0.99 0.16 0.62 0.03 0.33 0.23 1.79 0.44 0.15 0.93 0.25 0.24 0.03 0.01 0.04 0.37 0.76 0.17 0.06 0.05 0.02 0.33 0.46 0.48 1.24 0.12 0.06 1.21
-
Keluaran Model
(ton.m/ha/cm)
(ton.feet/acre/ inchi)
Volume DRO (inchi)
Debit Puncak DRO (cfs)
0.02 0.01 0.15 0.08 6.98 82.61 8.44 0.12 1.85 1.91 0.21 4.15 0.01 0.86 0.45 50.84 2.80 0.08 11.08 0.35 0.90 0.01 0.00 0.02 22.91 10.01 0.23 0.04 0.02 0.01 2.51 1.72 2.31 35.74 0.13 0.02 16.42
0.00 0.00 0.04 0.02 1.88 22.22 2.27 0.03 0.50 0.52 0.06 1.12 0.00 0.23 0.12 13.68 0.75 0.02 2.98 0.09 0.24 0.00 0.00 0.01 6.16 2.69 0.06 0.01 0.00 0.00 0.67 0.46 0.62 9.62 0.04 0.01 4.42
0.00 0.08 0.18 0.09 0.00 0.00 0.06 0.00 0.01 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 0.05 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.04 0.03 0.22 0.00 0.00 0.11
0.00 54.33 98.12 0.77 77.20 61.32 0.27 77.94 22.40 58.66 71.30 79.00 43.89 78.59 1.49 68.96 70.15 10.05 0.00 0.00 43.25 65.23 0.00 0.00 74.80 0.00 41.23 53.21 45.02 1 24.76 79.83 76.70 4.21
Sedimen (ton) 0.00 15.23 54.37 21.06 0.01 0.25 5.71 0.02 6.83 0.21 0.04 15.21 2.00 0.01 23.04 0.03 0.06 0.00 0.00 0.00 0.02 12.43 0.00 0.00 0.00 0.00 11.07 10.02 10.32 100.23 0.01 0.00 34.86
66 Lampiran 14 Lanjutan CH Tanggal
10 Feb 11 Feb 12 Feb 13 Feb 14 Feb 15 Feb 16 Feb 17 Feb 18 Feb 19 Feb 20 Feb 21 Feb 22 Feb 23 Feb 24 Feb 25 Feb 26 Feb 27 Feb 28 Feb 01 Mar 02 Mar 03 Mar 04 Mar 05 Mar 06 Mar 07 Mar 08 Mar 09 Mar 10 Mar 11 Mar 12 Mar 13 Mar 14 Mar 15 Mar 16 Mar 17 Mar 18 Mar 19 Mar 20 Mar 21 Mar 22 Mar
EI30
(mm)
(cm)
(inchi)
7.37 51.82 27.43 4.32 34.80 5.08 18.03 12.19 24.13 36.83 44.96 6.60 11.18 10.16 2.29 54.61 14.48 0.76 89.41 17.78 18.54 22.61 0.25 1.02 20.32 74.17 14.73 22.35 9.65 1.78 5.59 8.13 14.73 6.60 26.16 0.25
0.74 5.18 2.74 0.43 3.48 0.51 1.80 1.22 2.41 3.68 4.50 0.66 1.12 1.02 0.23 5.46 1.45 0.08 8.94 1.78 1.85 2.26 0.03 0.10 2.03 7.42 1.47 2.24 0.97 0.18 0.56 0.81 1.47 0.66 2.62 0.03
0.29 2.04 1.08 0.17 1.37 0.20 0.71 0.48 0.95 1.45 1.77 0.26 0.44 0.40 0.09 2.15 0.57 0.03 3.52 0.70 0.73 0.89 0.01 0.04 0.80 2.92 0.58 0.88 0.38 0.07 0.22 0.32 0.58 0.26 1.03 0.01
(ton.m/ha/cm)
1.28 87.66 11.98 0.66 37.45 0.14 7.66 34.72 5.74 23.65 78.82 0.74 1.31 3.78 0.19 112.49 6.76 0.02 136.15 10.21 4.16 150.43 0.00 0.02 8.76 93.60 1.62 10.14 1.58 0.03 0.25 0.52 5.39 0.46 7.79 0.00
Keluaran Model
(ton.feet/acre/ inchi)
Volume DRO (inchi)
Debit Puncak DRO (cfs)
0.35 23.58 3.22 0.18 10.08 0.04 2.06 9.34 1.54 6.36 21.20 0.20 0.35 1.02 0.05 30.26 1.82 0.00 36.62 2.75 1.12 40.47 0.00 0.01 2.36 25.18 0.44 2.73 0.42 0.01 0.07 0.14 1.45 0.12 2.10 0.00
0.00 0.33 0.08 0.00 0.14 0.00 0.00 0.00 0.06 0.16 0.24 0.00 0.00 0.00 0.00 0.12 0.01 0.99 0.02 0.02 0.05 0.08 0.10 0.01 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 0.08 -
63.94 136.40 0.28 77.20 15.43 74.50 13.95 38.70 0.97 23.66 73.70 67.74 43.89 43.89 79.56 59.00 27.83 1 370.01 14.80 12.32 2.83 34.05 98.04 26.71 3.23 51.91 0.00 23.45 0.00 43.12 0.00 34.12 -
Sedimen (ton) 0.14 97.80 25.71 0.04 58.28 0.01 12.53 10.95 14.79 45.44 80.46 0.06 1.33 2.37 0.01 12.34 7.08 192.54 14.21 8.97 80.81 13.45 23.45 3.23 20.70 0.73 0.00 12.00 0.00 13.98 0.00 10.80 -
67 Lampiran 14 Lanjutan CH Tanggal
23 Mar 24 Mar 25 Mar 26 Mar 27 Mar 28 Mar 29 Mar 30 Mar 31 Mar 01 April 02 April 03 April 04 April 05 April 06 April 07 April 08 April 09 April 10 April 11 April 12 April 13 April 14 April 15 April 16 April 17 April 18 April 19 April 20 April 21 April 22 April 23 April 24 April 25 April 26 April 27 April 28 April 29 April 30 April 01 Mei
EI30
(mm)
(cm)
(inchi)
55.88 66.04 86.11 5.08 12.19 23.88 34.29 4.57 10.16 16.76 2.03 0.76 3.05 4.06 0.25 0.25 4.06 26.92 2.29 1.78 33.27 33.53 5.84 10.67 1.78 5.84 6.35 -
5.59 6.60 8.61 0.51 1.22 2.39 3.43 0.46 1.02 1.68 0.20 0.08 0.30 0.41 0.03 0.03 0.41 2.69 0.23 0.18 3.33 3.35 0.58 1.07 0.18 0.58 0.64 -
2.20 2.60 3.39 0.20 0.48 0.94 1.35 0.18 0.40 0.66 0.08 0.03 0.12 0.16 0.01 0.01 0.16 1.06 0.09 0.07 1.31 1.32 0.23 0.42 0.07 0.23 0.25 -
(ton.m/ha/cm)
81.91 115.35 186.71 0.34 5.93 5.53 19.71 0.28 3.12 2.20 0.03 0.01 0.19 0.21 0.00 0.00 0.34 33.43 0.06 0.08 43.09 56.85 1.31 2.99 0.06 1.02 0.80 -
Keluaran Model
(ton.feet/acre/ inchi)
Volume DRO (inchi)
22.03 31.03 50.23 0.09 1.60 1.49 5.30 0.07 0.84 0.59 0.01 0.00 0.05 0.06 0.00 0.00 0.09 8.99 0.02 0.02 11.59 15.29 0.35 0.81 0.002 0.27 0.22 -
0.38 0.40 0.92 0.00 0.00 0.05 0.14 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.12 0.00 0.00 0.13 0.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -
Debit Puncak DRO (cfs) 201.43 231.36 1 211.37 74.50 38.70 1.22 13.64 76.37 49.22 49.22 18.43 78.97 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 45.67 0.00 0.00 19.39 19.39 71.30 46.54 78.05 67.45 67.45 -
Sedimen (ton) 97.16 119.38 234.54 0.03 4.04 14.33 40.57 0.02 1.44 1.44 4.87 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 6.13 6.13 0.08 1.72 0.00 0.09 0.09 -
68 Lampiran 14 Lanjutan CH Tanggal
02 Mei 03 Mei 04 Mei 05 Mei 06 Mei 07 Mei 08 Mei 09 Mei 10 Mei 11 Mei 12 Mei 13 Mei 14 Mei 15 Mei 16 Mei 17 Mei 18 Mei 19 Mei 20 Mei 21 Mei 22 Mei 23 Mei 24 Mei 25 Mei 26 Mei 27 Mei 28 Mei 29 Mei 30 Mei 31 Mei
EI30
(mm)
(cm)
(inchi)
22.61 5.08 41.91 31.75 16.51 2.29 1.27 7.87 3.81 17.53 37.85 10.41 0.25 0.25 37.08 0.25 44.96 40.13 1.76 6.60 1.02 26.67 19.56 0.76 5.08
2.26 0.51 4.19 3.18 1.65 0.23 0.13 0.79 0.38 1.75 3.78 1.04 0.03 0.03 3.71 0.03 4.50 4.01 0.18 0.66 0.10 2.67 1.96 0.08 0.51
0.89 0.20 1.65 1.25 0.65 0.09 0.05 0.31 0.15 0.69 1.49 0.41 0.01 0.01 1.46 0.01 1.77 1.58 0.07 0.26 0.04 1.05 0.77 0.03 0.20
Jumlah Total Nilai Maksimum Nilai Rataan
(ton.m/ha/cm)
17.38 0.59 20.21 14.92 3.12 0.07 0.03 1.15 0.19 7.78 23.45 5.17 0.00 0.00 16.19 0.00 51.77 26.77 0.02 0.40 0.01 13.53 6.57 0.01 0.38
Keluaran Model
(ton.feet/acre/ inchi)
Volume DRO (inchi)
4.67 0.16 5.44 4.01 0.84 0.02 0.01 0.31 0.05 2.09 6.31 1.39 0.00 0.00 4.36 0.00 13.93 7.20 0.01 0.11 0.00 3.64 1.77 0.00 0.10
0.03 0.00 0.02 0.01 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.02 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.05 0.04 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 6.24 -
Debit Puncak DRO (cfs) 65.98 67.45 16.45 32.45 19.39 79.56 74.80 61.32 78.59 53.21 60.21 47.88 0.00 0.00 12.40 0.00 34.21 67.02 0.00 35.24 0.00 12.03 98.12 0.00 0.00
Sedimen (ton) 0.00 0.09 5.34 0.09 6.13 0.01 0.00 0.19 0.02 0.05 6.65 2.15 0.00 0.00 5.32 0.00 12.56 6.01 0.00 0.00 0.00 9.07 0.06 0.00 0.00
- 1 673.14 1 370.01 41.55 -
69 Lampiran 15 Data Masukan Model AGNPS Di MDM Pasir Buncir No RCell Rcell_Div Grid 1 444 0 2 1 0 3 1 0 4 1 0 5 2 0 6 5 0 7 25 200 : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : 437 427 0 438 428 0 439 429 0 440 430 0 441 431 0 442 432 0 443 433 400
FD
LS
SF
SL
SCS
N
K
2 7 1 8 8 7 5 : : : : : : : : : : : 8 8 8 8 8 8 8
3.30 0.84 0.43 0.17 0.18 2.53 3.52 : : : : : : : : : : : 6.98 0.46 0.54 0.53 0.64 2.65 2.69
1 1 1 1 1 1 1 : : : : : : : : : : : 1 1 1 1 1 1 1
138 89 105 89 89 129 151 : : : : : : : : : : : 170 151 197 151 151 151 151
59 71 77 77 78 70 32 : : : : : : : : : : : 29 35 35 35 35 34 38
0.3578 0.2666 0.06 0.2258 0.035 0.141 0.5112 : : : : : : : : : : : 0.253 0.1 0.1 0.1 0.1 0.127 0.289
0.16 0.16 0.14 0.14 0.14 0.14 0.16 : : : : : : : : : : : 0.14 0.14 0.14 0.14 0.14 0.14 0.14
C
P
SCC
0.684 0.753 0.4533 0.565 0.584 0.3101 0.7 0.9 0.2900 0.5555 0.567 0.2565 0.815 0.952 0.1163 0.745 0.918 0.3287 0.504 0.948 0.4772 : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : 0.1742 0.19901 0.6597 0.005 0.035 0.5900 0.005 0.035 0.5900 0.005 0.035 0.5900 0.005 0.035 0.5900 0.0349 0.064 0.6023 0.2140 0.2377 0.6761
COD
T
FI
PI
PS
AE
IF
CI
106 57 169 47 70 154 44 : : : : : : : : : : : 64 65 65 65 65 65 65
3 1 3 3 3 3 3 : : : : : : : : : : : 3 3 3 3 3 3 3
On On On On On On On : : : : : : : : : : : On On On On On On On
Off Off Off Off Off Off Off : : : : : : : : : : : Off Off Off Off Off Off Off
Off Off Off Off Off Off Off : : : : : : : : : : : Off Off Off Off Off Off Off
Off Off Off Off Off Off Off : : : : : : : : : : : Off Off Off Off Off Off Off
Off Off Off Off Off Off Off : : : : : : : : : : : Off Off Off Off Off Off Off
7 7 7 7 7 7 7 : : : : : : : : : : : 7 7 7 7 7 7 7
70 Lampiran 16 Faktor Konversi
1 milimeter (mm) = 0.0394 inchi 1 centimeter (cm) = 0.394 inchi 1 ton.m/ha/cm = 0.269 ft.ton/acre/inchi 1 inchi volume DRO = 254 x 1 760 m3 1 cubic feet second debit puncak DRO = 0.0283 m3/s 1 ton = (1 ton / 1 760 ha) = 0.00057 ton/ha
71
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 6 Januari 1976 sebagai anak ke enam dari enam bersaudara dari ayah Moh Sidik Suhendar (Alm) dan ibu Wariyah. Menikah dengan Ali Said pada Tahun 2000, dan hingga saat ini telah dikaruniai putera-puteri yang bernama Muhammad Yazid Dardjat (14 Tahun), Najma Mujahidah (10 Tahun), Muzayyanatul Karima (5 Tahun), dan Haura Nadzifa (10 Bulan). Saat ini bertempat tinggal di Perumahan Griya Melati Blok C2 No 9 Bogor. Menyelesaikan Pendidikan Dasar di SDN I Tanjungmulya (1987), serta Pendidikan Menengah di SMPN Panumbangan (1990) dan SMAN I Cihaurbeuti (1993) di Ciamis. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS Fakultas Pertanian pada Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2014. Beasiswa pendidikan Program Pasca sarjana diperoleh dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Kehutanan selama dua tahun (2010 – 2012), selanjutnya biaya pendidikan melalui biaya mandiri. Penulis bekerja sebagai staf pada Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun 2000 sampai dengan 2001. Sejak tahun 2001 sampai dengan saat ini, penulis bekerja di Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung Bogor sebagai staf bidang evaluasi DAS.