ALOKASI PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR DI SUB DAS CISADANE HULU
DWI MARYANTO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2013 Dwi Maryanto NRP A156100061
ABSTRACT DWI MARYANTO. Landuse Allocation Based on Water Resources Conservation in Cisadane Hulu Sub Watershed. Under direction of DWI PUTRO TEJO BASKORO and BABA BARUS. Problems of land use in Cisadane Hulu sub watershed has led to a decrease in water resources, so that water resources conservation needs more attention. One of the efforts to conserve water resources is allocating landuse properly. For that reason a research was conducted at Cisadane Hulu sub watershed. The objectives of the research were (1) to identify the sub-sub watersheds performance, (2) to evaluate various alternative of the land use allocations, (3) to identify people preference about optimal land use, and (4) to formulate strategic direction of land use allocation. The methods of data processing analysis included spatial analysis, prediction of water discharge, and sedimentation that integrated in the AVGWLF model, and Analytic Hierarchy Process. The parameters used include Land Cover Index (IPL), the runoff coefficient (C), Erosion Hazard Index (IBE) and suspended sediment concentration (SC). Results of the analysis showed that in general Cisadane Hulu sub watershed has “Poor” performance. Among sub-sub watershed, 36 sub-sub watersheds had “Poor” performance and 8 sub-sub watersheds had “Medium” performance. To improve the performance, 3 scenarios were simulated, i.e. land use allocation based on Zone Function, based on Land Capability and based on RTRW. The Zone Function scenario produced the best result, followed by Land Capability and RTRW scenario’s. In the best scenario, Cisadane Hulu sub watershed was devided into 3 main areas with different of land use priority. Protected area is directed for forest, buffer area is directed for forest or mixed plantation and cultivated area is directed for rice field. AHP analysis show that people prefer to use buffer area for mix plantation and cultivation area for rice field. To implement the best allocation, policy strategies is necessary because of the mismatch between both of those results with the determination of the legally status of the area function, socialization, community empowerment and institutional strengthening. Keywords: Watershed, water resources conservation, land use allocation, AHP, policy strategies.
RINGKASAN DWI MARYANTO. Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BABA BARUS. Permasalahan penggunaan lahan di sub DAS Cisadane Hulu sudah mengganggu kondisi tata airnya, seperti ditunjukkan oleh adanya bencana banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan saat kemarau di bagian hilir DAS Cisadane. Bencana lain yang tidak dapat diabaikan adalah erosi di bagian hulu, kualitas air yang menurun akibat meningkatnya sedimen tersuspensi dan sedimentasi di waduk, situ, muara sungai dan tubuh air lainnya. Hal ini menimbulkan banyak kerugian secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh sebab itu perlu dikaji penggunaan lahan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena efek negatif yang ditimbulkan tidak mengenal batas administrasi. Pengelolaan DAS bagian hulu menjadi sangat penting karena dari daerah inilah berawalnya proses yang terkait dengan hidrologi di dalam DAS. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi kinerja sub-sub DAS di sub DAS Cisadane Hulu, 2) mendapatkan arahan penggunaan lahan terbaik dalam rangka konservasi sumber daya air. 3) mengetahui pendapat berbagai pemangku kepentingan mengenai alokasi penggunaan lahan, dan 4) menyusun arahan strategi penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air. Analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut meliputi analisis keruangan, prediksi tebal aliran permukaan dan sedimen terlarut yang tergabung dalam model AVGWLF (ArcView Generalized Watershed Loading Function). Empat (4) parameter yaitu IPL (Indeks Penutupan Lahan), C (koefisien limpasan), IBE (Indeks Bahaya Erosi) dan kadar sedimen tersuspensi (Sc) digunakan untuk mengidentifikasi kinerja sub DAS/sub-sub DAS dalam upaya konservasi sumber daya air. Tingkat preferensi masyarakat dianalisis dengan metode AHP. Hasil interpretasi citra ALOS menunjukkan bahwa penggunaan lahan paling luas di sub DAS Cisadane Hulu adalah sawah irigasi yakni sekitar 23.463 ha atau 27,45% dari luas keseluruhan sub DAS ini, diikuti oleh hutan dengan luas 15.635 ha (18,29%) dan semak/belukar 14.873 ha (17,40%). Penggunaan lahan permukiman di sub DAS Cisadane Hulu seluas 9.938 ha merupakan permukiman jarang dan 1.239 ha merupakan permukiman padat. Kebun campuran menempati sekitar 10.880 ha (12,73%), sedangkan lahan yang digunakan untuk ladang sekitar 6.694 ha (7,83%). Di dalam sub DAS Cisadane Hulu terdapat perkebunan monokultur yaitu perkebunan teh dan kelapa sawit. Terdapat 2 kebun teh yang total luasnya mencapai 1.462 ha (1,71%). Adapun perkebunan kelapa sawit yang berada di barat-laut sub DAS Cisadane Hulu luasnya hanya 164 ha atau sekitar 0,19% dari luas sub DAS. Selain penggunaan lahan di atas, terdapat penggunaan lahan dalam areal yang sempit yaitu tubuh air (termasuk sungai), padang rumput, dan lahan terbuka, masing-masing mempunyai luas kurang dari 1.000 ha (< 1% dari luas total wilayah Sub DAS). Hasil analisis terhadap parameter IPL, C, IBE, dan kadar sedimen tersuspensi (Sc) menunjukkan bahwa secara umum kondisi tata air di Cisadane Hulu mempunyai kinerja yang tergolong Buruk. Dari 44 sub-sub DAS yang ada di
dalamnya terdapat 36 sub-sub DAS berkinerja Buruk dan sisanya berkinerja Sedang. Arahan penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu didasarkan pada skenario terbaik dari 4 skenario yaitu Skenario Aktual, Skenario RTRW, Skenario Kemampuan Lahan, dan Skenario Fungsi Kawasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa alokasi lahan berdasarkan Fungsi Kawasan menghasilkan kinerja sub DAS terbaik. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan IPL, C, IBE, dan Sc masingmasing adalah 0,49; 0,191; 0,87; 375,03 mg/l. Hasil simulasi dengan skenario terbaik menunjukkan bahwa dari 44 subsub DAS yang ada, 20 sub-sub DAS berkinerja Baik, dan 24 sub-dub DAS berkinerja Sedang. Jika dibandingkan dengan kinerja sub-sub DAS saat ini, maka terdapat 42 sub-sub DAS mengalami peningkatan kinerja, dengan rincian 14 subdub DAS meningkat dari Buruk menjadi Baik, 22 sub-dub DAS dari Baik menjadi Sedang dan 6 sub DAS dari Sedang menjadi Baik. Empat belas (14) sub-sub DAS dengan peningkatan kinerja tinggi menjadi prioritas pertama untuk dikelola, 22 sub-sub DAS menjadi prioritas kedua, dan 6 sub-sub DAS menjadi prioritas ketiga. Arahan penggunaan lahan agar tercapai kinerja terbaik sesuai dengan skenario adalah dengan penambahan lahan hutan menjadi 39.675 ha, dan sawah irigasi menjadi 2.788 ha dari kondisi saat ini. Adapun kebun campuran dikurangi menjadi 5.580 ha, sedangkan ladang, lahan terbuka, dan semak belukar ditiadakan. Dibandingkan RTRW, arahan tersebut mengalokasikan Kawasan Lindung lebih luas yaitu 31.384 ha, Kawasan Penyangga seluas 25.337 ha, sedangkan Kawasan Budidaya berkurang menjadi 28.758 ha. Hasil analisis AHP, pada Kawasan Penyangga, menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menempatkan kebun campuran sebagai penggunaan lahan prioritas pertama dengan skor 0,274, diikuti oleh sawah (0,236), hutan (0,227) dan ladang (0,197). Pada Kawasan Budidaya, sawah merupakan penggunaan lahan prioritas pertama dengan skor 0,247, diikuti dengan penggunaan lahan kebun campuran (0,244), lading (0,226) dan hutan (0,205). Ketidaksesuaian antara arahan penggunaan lahan berdasarkan skenario Fungsi Kawasan dengan preferensi masyarakat mengenai penggunaan lahan yang terbaik memerlukan strategi kebijakan agar tujuan konservasi sumber daya air masih tetap terjaga. Strategi tersebut yaitu: penetapan status fungsi kawasan hasil arahan, sosialisasi penggunaan lahan berbasis konservasi sumberdaya air, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan kelembagaan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ALOKASI PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR DI SUB DAS CISADANE HULU
DWI MARYANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Tesis
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu Dwi Maryanto A156100061 Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 27 Maret 2013
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya sehingga karya ilmiah dengan judul Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu dapat diselesaikan. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPS IPB, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian, dan masukan demi kesempurnaan tesis ini. 2. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini 3. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku penguji luar komisi atas seluruh masukan dan saran demi kesempur naan tesis ini. 4. Prof (Riset) Dr Aris Poniman, yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama menempuh studi. 5. Segenap dosen pengajar dan asisten di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas seluruh ilmu yang telah diberikan, serta kepada staf manajemen atas seluruh pelayanannya. 6. Kementerian Ristek melalui Deputi Bidang Sumber Daya IPTEK beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 7. Badan Informasi Geospasial yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini. 8. Rekan-rekan PWL kelas Reguler dan Khusus, MBK angkatan 2010 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 9. Keluarga Bpk Ir. Budi Sukarno, MSi, keluarga drh Tri Yunianingsih atas segala bantuan moril maupun materiil. Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada kedua orang tua, istri dan anakku, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang, dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bpk/Ibu/Sdr dengan pahala yang berlipat. Amin. Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini tentu masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih. Bogor, April 2013
Dwi Maryanto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 April 1974 dari pasangan orang tua Bapak Sudarman (Alm) dan Ibu Sumarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Kabupaten Sleman DIY. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri Donoharjo dan kemudian melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis diterima di jurusan Geografi Fisik, Fakultas Geografi dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada tahun 2000. Pada tahun 2005, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Badan Informasi Geospasial hingga saat ini. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana pada tahun 2010 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Kementerian Riset dan Teknologi.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………….……… DAFTAR GAMBAR .………………………………………….………. DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………..………
xiv xvi xviii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang …………………………………………………… 1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………… 1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………… 1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………..
1 4 5 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penataan Ruang …………...…………………………..…….….... 2.2 Pemanfaatan Ruang …………………………………………..….. 2.3 Konservasi Sumber Daya Air ……………………………….…… 2.4 Sistem Informasi Geografi ….……………………………….…... 2.5 Model AVGWLF …….……………………………………….…. 2.6 Prakiraan Jumlah Aliran Permukaan …………………………….. 2.7 Prakiraan Erosi dan Hasil Sedimen ……………………………… 2.8 Analytic Hierarchy Process …………….…………………….….
7 10 11 12 13 15 16 19
III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ……………………………………………… 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………….………….…….… 3.3 Bahan dan Alat ……………………………….…………………… 3.4 Metode Pengumpulan Data ………….………………….………… 3.5 Metode Analisis Data ………………………..……………………. 3.5.1 Pengolahan Data Awal…….….. .…………………………... 3.5.2 Metode Pengolahan Data Utama …………………………... 3.5.3 Arahan Penggunaan lahan …………………………........... 3.5.4 Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Penggunaan Lahan Optimal….................................................................... IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Fisik ……………………………………………………. 4.1.1. Topografi ……………………………………………….… 4.1.2. Geologi ……..………………………………………..…… 4.1.3. Tanah ………………………………………….…….……. 4.1.4. Iklim ……………………………………………………… 4.1.5. Hidrologi …………………………………….….…….….. 4.2. Kependudukan ……………………………………..………..…… V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan ……………………………………………….. 5.2 Kondisi Hidrologi Sub DAS Cisadane Hulu Berdasarkan Model AVGWLF ………………………………………………………. 5.2.1 Kalibrasi Model …………………………….…………….. xii
21 23 24 25 26 26 27 32 34
37 37 39 40 43 44 45 47 52 52
5.2.2 Kinerja Sub-sub DAS Saat Ini ……………………………. 5.3 Arahan Penggunaan lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Terbaik ……………………………………………………………. 5.3.1 Skenario Aktual …………………………………………..... 5.3.2 Skenario RTRW ………………………………………….... 5.3.3 Skenario Kemampuan Lahan …………………………….... 5.3.4 Skenario Fungsi Kawasan ………………………..……….. 5.3.5 Penggunaan lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Terbaik ……………………………………………..……… 5.3.6 Arahan Penggunaan lahan Terhadap Sub-sub DAS ……....... 5.3.7 Evaluasi Arahan Fungsi Kawasan RTRW …………….......... 5.4 Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Alokasi Penggunaan Lahan Di Sub DAS Cisadane Hulu ................…………..………… 5.4.1. Arti Penting DAS Dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ... 5.4.2. Prioritas Penggunaan Lahan oleh Pemangku Kepentingan .... 5.4.2.1 Kawasan Penyangga ………………………………………. 5.4.2.2 Kawasan Budidaya ………………………………………... 5.5 Strategi Arahan Penggunaan lahan .………………...........................
54 58 59 62 65 69 72 74 80 83 83 85 87 90 93
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 6.2 Saran ………………………………………………………………
99 100
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
101
LAMPIRAN ………………………………………………………………
105
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kriteria dan indikator kinerja DAS …………….……………........... Klasifikasi nilai IPL .………………………………………….......... Klasifikasi nilai C ……………………………………....... Klasifikasi nilai IBE ……………………………………………....... Klasifikasi nilai Sc ……………………………………………......... Luas wilayah berdasarkan kemiringan lereng …………………....... Satuan peta tanah dan luasannya di Sub DAS Cisadane Hulu …...... Penggunaan lahan dan luasannya di Sub DAS Cisadane Hulu …..... Luas penggunaan lahan berdasarkan kemiringan lereng ………...... Tinggi aliran permukaan hasil observasi dan pemodelan ………..... Nilai-nilai parameter dan kinerja sub-sub DAS Cisadane Hulu …... Kinerja DAS berdasarkan Skenario Aktual ……………………...... Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario RTRW dan perubahannya ……………………………………............................
9 27 28 28 29 39 42 48 50 52 54 60
14. Kinerja DAS berdasarkan Skenario RTRW ……………………...... 15. Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario KemampuanLahan dan perubahannya ............................................................................. 16. Kinerja DAS berdasarkan Skenario Kemampuan Lahan …….......... 17. Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan dan perubahannya …..……………………………………..……............ 18. Kinerja DAS berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan ………........... 19. Perbandingan parameter-parameter kinerja DAS berdasarkan 4 skenario ………………………………………………………......... 20. Nilai-nilai parameter dan kinerja sub-sub DAS berdasarkan Fungsi Kawasan ………………………………………………................... 21. Luas arahan pola ruang kawasan dan peruntukannya ...................... 22. Matriks Arahan Penggunaa Lahan Sub DAS Cisadane Hulu ...........
65
xiv
63
66 67 70 72 73 74
94
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ………………..... Lokasi Penelitian …………………………………………....... Diagram Alir Penelitian ……………………………………..... Struktur hirarki pemilihan penggunaan lahan ............................ Peta kemiringan Lereng …………………………………….... Peta Tanah sub DAS Cisadane Hulu ……………………….... Peta sebaran curah hujan sub DAS Cisadane Hulu ………….. Kepadatan penduduk per kecamatan ……………………….... Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu ……..…..... Grafik tebal limpasan permukaan hasil observasi dengan pemodelan …………………………………………………... Peta sebaran kinerja sub-sub DAS Cisadane Hulu ………….. Peta Skenario penggunaan lahan menurut RTRW ………….. Peta Skenario penggunaan lahan menurut Kemampuan lahan. Peta Skenario penggunaan lahan menurut Fungsi Kawasan ... Peta kinerja sub-sub DAS berdasarkan arahan penggunaan lahan di sub DAS Cisadane Hulu ..…………………………... Peta arahan penggunaan lahan pada sub-sub DAS Cisadane Hulu ………………………………………………………….. Peta arahan penggunaan lahan kawasan terhadap pola ruang RTRW ……………………………………………………….... Hasil analisis hirarki persepsi masyarakat terhadap penggunaan lahan di kawasan penyangga ………………….......................... Hasil analisis hirarki persepsi masyarakat terhadap penggunaan lahan di kawasan budidaya ..…………………...........................
xvi
23 24 33 35 38 41 44 46 49 53 57 64 68 71 77 79 82 88 91
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Pendekatan Kapasitas Air Tersedia (AWC) berdasarkan tekstur tanah ……………………………………………………….……… 2. Pendekatan nilai K (erodibilitas tanah) berdasarkan tekstur tanah ... 3. Kelompok hidrologi tanah ……………………………….………. 4. Nilai CN pada lahan-lahan di Sub DAS Cisadane Hulu ……..…... 5. Nilai faktor C berbagai penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu ……………………………………………………….……… 6. Kategori penggunaan lahan, kode dan padanannya ……………… 7. Data dan perhitungan OA dan KA ……………………………… 8. Sub-sub DAS di Sub DAS Cisadane Hulu ..…………..…………. 9. Tabel-tabel luaran hasil analisis model AVGWLF dari 4 skenario 10. Luas arahan penggunaan lahan pada masing-masing sub-sub DAS 11. Kuesioner Penelitian ……………………………………………..
xviii
106 106 107 108 108 109 110 112 113 115 120
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Meningkatnya tekanan penduduk menyebabkan degradasi lingkungan sehingga menurunkan daya dukung DAS serta telah menimbulkan sejumlah permasalahan yang serius. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa (2008) mengidentifikasi beberapa permasalahan yang muncul terkait dengan lahan yang berpengaruh terhadap daya dukung DAS - DAS di Jawa dan Bali. Permasalahan tersebut antara lain alih fungsi lahan menjadi daerah terbangun, pencemaran lingkungan, menurunnya luas daerah resapan, meningkatnya lahan kritis, terdesaknya kawasan lindung, dan bencana alam. Ditinjau dari sisi penyelenggaraan penataan ruang, masih terdapat kendala serius yang menjadi penyebab permasalahan tersebut di atas. Tata ruang yang tidak mantap menyebabkan penggunaan lahan seringkali tidak sesuai dengan tata ruang yang telah ditetapkan (BPDAS Citarum-Ciliwung 2009). Ketidakmantapan tersebut terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan penataan ruang mulai dari perencanaan hingga ke pengendalian pamanfaatan ruang. Pada tahap perencanaan tata ruang, produk rencana tata ruang yang dihasilkan masih belum menjadi acuan oleh berbagai pihak dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini di antaranya disebabkan oleh data dan informasi yang digunakan belum akurat, belum mencakup analisis pemanfaatan sumberdaya ke depan, rencana tata ruang hanya untuk memenuhi kewajiban pemerintah (UU dan Perda), atau seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu saja dan perencanaan tata ruang belum menggambarkan secara detil kegiatan yang harus dilakukan (Koespramoedyo 2008). Oleh karena itu pada tahap pemanfaatan ruang, seringkali tidak ada kesesuaian antara penggunaan lahan dengan peruntukannya yang ada dalam rencana tata ruang suatu daerah. Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan tata guna lahan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan nafkah dan tempat tinggal (Kodoatie et al. 2008). Pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang, pemberian izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang oleh pemerintah daerah, baik untuk alasan
2 ekonomi atau lainnya, juga memberikan andil dalam memperparah permasalahan penataan ruang seperti tersebut di atas (Koespramoedyo 2008). Permasalahan tersebut terus berlangsung seiring waktu dengan intensitas yang berbeda-beda. Tidak tertanganinya permasalahan tersebut menjadi penyebab semakin parahnya degradasi lingkungan atau munculnya permasalahan yang berantai di berbagai bidang yang lain. Permasalahan seperti inilah yang terjadi di DAS Cisadane, sehingga pemerintah melalui Kemenhut meningkatkan status penanganan dari DAS Prioritas II pada tahun 1999 menjadi DAS Prioritas I pada tahun 2009 (BP DAS Citarum-Ciliwung 2009). Permasalahan utama terkait lahan dan air yang terjadi di DAS Cisadane di antaranya adalah erosi dan sedimentasi, hidrologi permukaan, dan penggunaan lahan. Permasalahan erosi tanah di Sub DAS Cisadane Hulu, diindikasikan oleh tingginya nilai indeks erosi (IE) yaitu sebesar 2,78 pada Sub-sub DAS Cisadane Hulu (Emilda 2010). Nilai ini telah melampaui batas kriteria sebagai DAS yang tergolong baik dalam mengkonservasi tanah (IE > 1). Nilai TSS (total suspended solid) rata-rata juga cukup tinggi yang mencapai 70 mg/l (Sutopo 2011). Nilai ini telah melampaui kriteria baku mutu air kelas 1 menurut PP No 82 Tahun 2001. Tingginya erosi tanah yang terjadi di bagian hulu menyebabkan meningkatnya kandungan sedimen pada tubuh perairan sehingga menurunkan kualitas air dan menyebabkan pendangkalan saluran di bagian hilir. Dari sisi hidrologi permukaan, permasalahan yang terjadi di sub DAS Cisadane Hulu salah satunya adalah meningkatnya aliran permukaan akibat perubahan lahan yang terjadi dalam DAS. Salah satunya ditunjukkan oleh nilai koefisien run off (C) di sub-sub DAS Cisadane Hulu yang cenderung meningkat mencapai nilai 0,72 (Emilda 2010), di mana kondisi hidrologi termasuk ”Baik” jika nilai C suatu DAS < 0,5. Indikasi lainnya ditunjukkan dengan adanya kecenderungan menurunnya debit aliran permukaan pada saat musim kemarau (Nugroho 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem DAS Cisadane bagian hulu sudah terganggu, yang pada gilirannya menyokong timbulnya bencana hidrologis berupa banjir di daerah hilir DAS.
3 Perubahan lahan yang terjadi di Sub DAS Cisadane Hulu umumnya terjadi dari lahan yang mendorong kapasitas infiltrasi tinggi ke lahan yang mempunyai daya infiltrasi rendah. Di Sub-sub DAS Cisadane Hulu pada periode tahun 19871995, adanya tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,8% per tahun menyebabkan lahan pertanian sawah berkurang sebesar 28%, tegalan 5% dan kebun campuran sebesar 53% yang dikonversi menjadi lahan pemukiman (Puspaningsih 1999). Menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup, total DAS Cisadane mengalami penurunan luas hutan dari 18.519 ha pada tahun 2000 menjadi 4.324 ha pada tahun 2009. Pada periode yang sama luas areal permukiman meningkat dari 23.902,82 ha menjadi 42.362 ha (SLHI 2010). Atas dasar uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa penggunaan lahan dalam DAS Cisadane bagian hulu sudah mengganggu kondisi tata airnya. Hal ini ditunjukkan oleh adanya bencana hidrologis seperti banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan saat kemarau di Kabupaten/Kota Tangerang yang merupakan bagian hilir DAS Cisadane. Bencana lain yang tidak dapat diabaikan adalah erosi di bagian hulu, kualitas air yang menurun akibat meningkatnya sedimen tersuspensi dan sedimentasi di waduk, situ, muara sungai dan tubuh air lainnya. Hal ini tentu akan menimbulkan banyak kerugian secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh sebab itu perlu dikaji penggunaan lahan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena efek negatif yang ditimbulkan tidak mengenal batas administrasi. Wilayah ekosistem DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Bagian hulu DAS merupakan daerah konservasi, bagian tengah sebagai peralihan atau penyangga bagian hulu, sedangkan bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. Bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah itu sendiri maupun daerah hilirnya. Pemanfaatan di daerah hilir sangat bergantung pada daerah hulunya, karena terdapat keterkaitan biofisik yang erat antara hulu dan hilir terutama melalui daur hidrologi. Oleh sebab itu pengelolaan DAS bagian hulu menjadi sangat penting karena dari daerah inilah berawalnya proses yang terkait dengan hidrologi di dalam DAS.
4 Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material ataupun spiritual (Arsyad 1989). Kebutuhan lahan bagi manusia semakin bertambah baik sisi luasannya maupun bentuk penggunaannya. Pertambahan kebutuhan luas lahan disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan kemajuan wilayahnya. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri karena luas lahan tidak bertambah. Permasalahan menjadi lebih kompleks ketika tinjauan wilayahnya berupa DAS. Hal ini disebabkan oleh fungsi hidrologi DAS dalam mengatur tata air permukaan dan air tanah. Fungsi hidrologi tanah tersebut sangat dipengaruhi oleh tata guna lahannya. Penggunaan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi sumber daya alam akan menurunkan fungsi hidrologi suatu DAS. Oleh sebab itu pengaturan penggunaan lahan menjadi penting mengatasi kebutuhan manusia dan untuk menjaga fungsi hidrologi suatu DAS. Adanya hubungan yang erat antara hulu dengan hilir, pemanfatan ruang dengan tata air dan sumber daya manusia, alam dan buatan, mengharuskan perencanaan ruang berbasis DAS sangat penting untuk dilaksanakan. Penulis tertarik dengan permasalahan tersebut dan bermaksud mengadakan penelitian mengenai perencanaan penggunaan lahan yang berbasiskan konservasi sumber daya air di Sub DAS Cisadane Hulu.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah yang terjadi di daerah penelitian yaitu : 1.
Sub DAS Cisadane Hulu merupakan bagian hulu yang harus difokuskan sebagai daerah konservasi sumber daya air, karena sangat berpengaruh terhadap bagian tengah dan hilirnya yang merupakan daerah penyangga ibukota.
Harapan ini ternyata tidak selaras dengan fakta di lapangan.
Kualitas lingkungan DAS terus mengalami penurunan karena penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Kondisi ini ditandai dengan
5 jumlah air permukaan, erosi dan kadar sedimen pada aliran permukaan yang tinggi. 2.
Bervariasinya unsur-unsur biofisik di sub DAS Cisadane Hulu secara keruangan menyebabkan respon terhadap curah hujan yang jatuh di daerah tersebut juga berbeda-beda. Baik buruknya respon hidrologi tersebut menunjukkan kinerja unsur-unsur dalam DAS. Identifikasi sebaran kinerja DAS, yang disajikan dalam unit analisis sub-sub DAS, diperlukan untuk melihat daerah-daerah mana yang bermasalah.
3.
Permasalahan hidrologis yang terjadi di sub DAS Cisadane Hulu, dari sisi perencanaan wilayah, dapat diatasi dengan pendekatan perencanaan penggunaan lahannya. Arahan penggunaan lahan yang berbasis konservasi sumber daya air perlu disusun agar penggunaan lahan yang dilakukan dapat menekan sekecil mungkin efek negatif terhadap kondisi hidrologinya namun mencapai produktifitas tinggi.
4.
Arahan penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air menekankan prinsip keberlanjutan dari aspek ekologi. Hal ini akan menemui kendala ketika akan diterapkan di lapangan, karena masyarakat, swasta maupun pemerintah daerah seringkali lebih menekankan pada aspek ekonomi. Oleh sebab itu perlu ada upaya untuk mendukung pelaksanaan arahan tersebut agar tercapai tujuan konservasi sumber daya air dengan tidak mengabaikan aspek ekonomi dan sosial.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi kinerja sub-sub DAS atas penggunaan lahan saat ini dalam upaya konservasi sumber daya air. 2. Memperoleh arahan penggunaan lahan terbaik dalam rangka konservasi sumber daya air. 3. Mengetahui pendapat berbagai pemangku kepentingan mengenai alokasi penggunaan lahan.
6 4. Menyusun arahan strategi penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada beberapa aspek yaitu : 1.
Memberikan masukan pemikiran pada pemerintah daerah khususnya dalam rangka penggunaan lahan yang mengutamakan konservasi sumber daya air, serta umumnya bagi para pengambil kebijakan yang berhubungan dengan penataan ruang wilayah DAS.
2.
Sebagai bahan pembelajaran dan evaluasi dalam proses perumusan penataan ruang.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penataan Ruang Penataan ruang suatu wilayah merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembangunan karena hasil pembangunan yang diperoleh akan lebih optimal. Penataan ruang merupakan bentuk pembangunan yang menggunakan pendekatan kawasan. Pendekatan kawasan meliputi pembangunan berbagai sektor yang saling terkait dan menunjang satu sama lainnya, yang mengarah kepada tercapainya fungsi tertentu, pada suatu permukaan wilayah dengan batas-batas yang telah ditetapkan (Adisasmita 2010).
Penentuan kawasan dengan fungsi
tertentu tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan potensi dan kondisi yang dimiliki oleh suatu wilayah, sehingga diharapkan produksi dan produktivitas akan lebih tinggi namum dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan rendah. Penataan ruang juga merupakan upaya menciptakan keseimbangan antara kepentingan bersifat jangka pendek dan panjang, dan kepentingan lokalitas, regional dan makro (Rustiadi et al. 2009). Keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan panjang bermakna bahwa penataan ruang harus mampu mengatur penggunaan ruang agar dapat memberikan manfaat secara terus menerus. Tujuan ini dapat dicapai jika perencanaan ruang memenuhi kaidah ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan gangguan atau kerusakan terhadap sumber daya di dalam ruang itu sendiri. Keseimbangan kepentingan lokal, regional dan makro berarti bahwa tidak satupun kepentingan pada skala luas daerah mendominasi di atas kepentingan yang lainnya. Kepentingankepentingan lokal dibatasi terutama yang menimbulkan efek eksternalitas negatif. Hal ini untuk menjaga keseimbangan pembangunan pada skala regional dan makro. Konsep wilayah perencanaan tidak selalu berupa administrasi, namun dapat juga berupa wilayah yang mempunyai sifat-sifat tertentu baik bersifat alamiah maupun non alamiah (Rustiadi et al. 2009). Pengertian wilayah yang digunakan dalam perencanaan dapat berarti suatu wilayah yang sangat sempit
8 atau sangat luas, sepanjang di dalamnya terdapat unsur ruang atau space (Tarigan 2005). Munculnya kesadaran pelestarian sumberdaya alam dalam pembangunan pada dua dasawarsa terakhir, menuntut mulai dikembangkan penataan ruang bagi wilayah-wilayah bersifat alamiah, salah satunya yang paling dikenal yaitu Daerah Aliran Sungai (Marsono 2004). DAS menjadi penting sebagai acuan wilayah dalam penataan ruang karena seluruh daratan terbagi habis menjadi DAS/Sub DAS dan merupakan wilayah dengan matriks dasar kesatuan sistem hidrologis yang bersifat alamiah, yang saling terkait antara hulu, tengah dan hilir (Noordianto 2010). Konsep tata ruang yang berdasarkan fungsi utama kawasan, seperti yang digunakan di Indonesia, di mana suatu wilayah dibagi ke dalam 2 fungsi kawasan yaitu Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya, sebenarnya analog dengan konsep pewilayahan ekosistem DAS. Apabila ekosistem DAS diklasifikasi menjadi daerah hulu dan hilir, daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, sedangkan daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan. Dengan demikian DAS bagian hulu sepadan dengan kawasan lindung dan bagian hilirnya sepadan dengan kawasan budidaya. Jadi terdapat kesepadanan fungsi wilayah antara konsep tata ruang dengan pengelolaan DAS. Oleh sebab itu konsep tata ruang tersebut sangat sesuai jika diterapkan pada wilayah DAS. Pentingnya perencanaan tata ruang wilayah DAS di Indonesia telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama UU RI No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU RI No. 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Di dalam UU Penataan Ruang disebutkan bahwa pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang
dilaksanakan
dengan
mengembangkan
penatagunaan
tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara dan penatagunaan sumber daya alam lain. Dalam penatagunaan air dikembangkan Pola Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang melibatkan 2 atau lebih wilayah administrasi untuk menghindari konflik antar daerah hulu dan hilir. Pengelolaan DAS adalah bagian dari pembangunan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam dengan menerapkan aspek kelestarian lingkungan dengan batas wilayah sasarannya berupa DAS.
9 Sejalan dengan hal tersebut, dalam UU No 7 tahun 2004 pasal 59, juga mengamanatkan bahwa rencana pengelolaan sumber daya air, yang wilayahnya berupa DAS, merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan/atau penyempurnaan tata ruang wilayah. Selain itu pada pasal 20 disebutkan bahwa konservasi sumber daya air menjadi salah satu acuan dalam perencanaan ruang. Pada pasal 21 lebih khusus menyebutkan bahwa upaya perlindungan dan pelestarian sumber air dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan. Dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diterbitkan peraturan yang khusus mengatur tentang wilayah DAS, yaitu KepMenHut No 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Di dalamnya menjelaskan tentang kriteria dan indikator penggunaan lahan dan sumber daya air terkait dengan konservasi sumber daya air di dalam DAS, seperti pada Tabel 1 Keputusan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman/acuan bagi pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS baik tingkat nasional, regional dan lokal.
Tabel 1 Kriteria dan indikator kinerja DAS Kriteria
A. Kuantitas Air
Indikator
1. Koefisien Limpasan (C)
Parameter Tebal Limpasan C = ---------------------Tebal Hujan
4. Kandungan Pencemar
Keterangan
C < 0,25 baik C= 0,25-0,5 sedang C > 0,5 buruk
Data SPAS dan perhitungan / pengukuran
IPL > 75% ; baik IPL = 30-75% ; sedang IPL < 30% ; buruk
IPL=Indeks Penutupan Lahan LVP=Luas lahan bervegetasi permanen
Erosi Aktual IE = ---------------------EDP
IE < 1 ; baik IE > 1 ; buruk
EDP=Erosi diperbolehkan
Muatan Sedimen (Sc) mg/L
Sc ≤ 50; baik Sc = 50-400; sedang Sc = > 400; buruk
PP No 82 Th 2001
2. Penutupan LVP oleh vegetasi IPL = ------------- X 100% Luas DAS B. Kualitas 3. Indeks Erosi Air (IE)
Standar
10 2.2 Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi dari rencana tata ruang atau pelaksanaan dari pembangunan yang direncanakan. Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Fungsi ruang utama kawasan menurut UU RI No. 26 tahun 2007 diklasifikasikan menjadi Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam maupun buatan. Kawasan Lindung selain melindungi sumber daya di dalam kawasan itu sendiri juga ditujukan untuk di luar kawasan tersebut. Kawasan Budidaya adalah wilayah dengan fungsi utama untuk dibudidayakan berdasarkan kondisi dan potensi sumber daya alam, buatan dan manusia. Kawasan budidaya digunakan untuk menampung semua kegiatan manusia dalam meningkatkan taraf hidupnya sesuai dengan perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan. Pengaturan pemanfaatan ruang yang paling dikenal dan sering diterapkan adalah berupa pengaturan penggunaan lahan (Lassey 1977; Rustiadi et al. 2009). Pengaturan penggunaan lahan merupakan analisis aspek-aspek fisik yang paling mendasar untuk kepentingan penataan ruang, karena di dalamnya juga telah mencakup sumberdaya air, iklim, vegetasi dan unsur-unsur lahan lainnya (Rustiadi et al. 2009). Pengaturan tersebut sangat penting karena lahan merupakan wadah bagi semua aktivitas manusia. Wadah tersebut mempunyai sifat dan karakteristik yang khas karena dibentuk oleh unsur-unsur sumberdaya yang jumlahnya banyak dan bervariasi nilainya. Hal ini mengakibatkan kemampuan yang dimiliki setiap lahan untuk mendukung
aktivitas yang
berlangsung di atasnya berbeda-beda pula. Pengaturan penggunaan lahan juga telah diamanatkan dalam UndangUndang No 26 tahun 2007 bahwa pemanfaatan ruang dilaksanakan dengan mengembangkan salah satunya adalah penatagunaan tanah/lahan. Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
11 pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (PP No 16 tahun 2004). Dengan demikian penatagunaan tanah/lahan merupakan ujung tombak dalam mengimplementasikan rencana tata ruang. Dalam pengelolaan wilayah DAS, pengaturan penggunaan lahan salah satunya dimaksudkan untuk mendapatkan hasil konservasi air yang optimal. Tujuan ini dapat dicapai dengan pendekatan yang didasarkan pada peningkatan sistem penggunaan lahan. Sistem tersebut harus dapat melindungi tanah dari erosi dan memaksimumkan penyerapan air (Arsyad 2006). Pendekatan konservasi tersebut
ditingkat
lapangan
mencakup
juga
penyerapan
aspirasi
dari
masyarakat/petani, karena menyangkut kehidupan mereka yang sebagian besar mengandalkan sumberdaya alam di sekitarnya. Oleh sebab itu dalam perencanaan penggunaan lahan berbasis konservasi air, selain faktor lingkungan perlu diperhatikan juga faktor ekonomi dan sosial agar terdapat keseimbangan di antara ke tiga aspek tersebut. Untuk itu perlu diidentifikasi jenis penggunaan lahan yang memenuhi aspek-aspek tersebut. 2.3 Konservasi Sumber Daya Air Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang (UU No 07 tahun 2004). Sumber daya air merupakan salah satu komponen penting dalam sistem DAS. Terkait dengan tujuan pengelolaan DAS, maka perencanaan wilayah DAS harus menganut asas pemanfaatan sumber daya air sesuai dengan kemampuannya dan asas lestari atau berkelanjutan. Sesuai dengan kemampuannya bermakna bahwa pemanfaatan sumber daya air tidak boleh melampaui daya dukungnya. Keberlanjutan bermakna sumberdaya air diharapkan tersedia jumlahnya dan memenuhi syarat kualitasnya untuk masa kini dan yang akan datang. Upaya konservasi sumber daya air menghadapi kendala karena adanya penekanan kawasan budidaya untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-tingginya,
12 sehingga mengabaikan terhadap fungsi konservasinya (Marsono 2004). Hal ini menimbulkan isu penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu : a. Penyederhanaan eksosistem kawasan budidaya secara berlebihan sehingga struktur yang terbentuk selalu monokultur, sehingga mengganggu kaidah dan fungsi ekosistem. b. Stabilitas ekosistem menjadi rendah, natural stabilizing factor tidak berfungsi, sehingga manusia cenderung menggantinya menjadi chemical stabilizing factor yang mahal dan tidak ramah lingkungan. c. Kemunduran site quality/tapak hutan tanaman, yang ditandai dengan penurunan produktifitas atau kejemuan jenis tanaman tertentu. d. Faktor hidroorologi belum mendapatkan perhatian yang memadai. Permasalahan tersebut muncul dan menjadi perhatian bila terjadi di daerah hulu, karena daerah hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah hulu itu sendiri dan daerah di bawahnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS biasanya menjadi fokus perhatian dalam upaya konservasi sumber daya air. 2.4 Sistem Informasi Geografi (SIG) Banyak ahli yang mendefinisikan mengenai SIG, namun jika hal tersebut dirangkum, maka pada intinya SIG merupakan sebuah sistem untuk memasukkan, mengelola, menyimpan, memroses, menganalisis dan menyajikan data yang terkait dengan permukaan bumi (Burrough dan McDonnell 1998; Barus dan Wiradisastra 2000). Sebagai suatu sistem, SIG mempunyai banyak elemen penyusun, dan antar elemen tersebut saling berhubungan dan bekerjasama untuk melakukan suatu proses atau kegiatan. Sebagai Sistem informasi, SIG terbentuk dalam suatu jaringan antara perangkat keras dan lunak yang dapat menjalankan operasi-operasi mulai dari pemasukan, pengolahan, penyimpanan hingga ke penyajian hasilnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk mendapatkan informasi dalam rangka pengambilan keputusan. Kata Geografi menunjukkan bahwa data yang
digunakan serta hasil
pengolahannya mempunyai referensi keruangan di permukaan bumi atau mempunyai koordinat geografi.
13 Operasi-operasi dalam SIG menjadi jauh lebih efisien, akurat dan interaktif karena berbasiskan sistem komputer yang didukung kemajuan teknologi.
Kemampuan untuk memanipulasi data spasial dan mengaitkannya
dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu análisis juga semakin meningkat (Barus dan Wiradisastra 2000). Kemampuannya menganalisis spasial secara cepat menjadikan SIG sebagai sistem yang dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, deteksi perubahan dan análisis, pemodelan keputusan dan análisis lainnya. Kajian wilayah dengan penerapan metode SIG untuk satu atau beberapa tujuan tersebut telah banyak digunakan di Indonesia dewasa ini. Emilda (2008) menggunakan metode SIG dan HEC-HMS untuk membantu simulasi guna mendapatkan arahan penggunaan lahan yang optimal dalam menurunkan erosi tanah dan aliran permukaan di sub-sub DAS Cisadane Hulu. Sukondi (2006) menggabungkan metode SIG dengan USLE untuk menganalisis data spasial dalam rangka perencanaan penggunaan lahan berbasis konservasi tanah, seperti yang dilakukan di sub DAS Ciasem Hulu. Broto (2009) menggunakan SIG yang dipadukan dengan USLE dan regresi untuk melihat perubahan penggunaan lahan dan membantu menganalisis secara keruangan dalam proses penyusunan tata ruang kawasan DTA Waduk Batutegi, sedangkan perumusan arahan strategi pengembangan dan pengelolaan ruangnya menggunakan metode SWOT dan QSPM. 2.5 Model AVGWLF (Arc View Generalized Watershed Loading Functions) Kebutuhan data dan informasi mengenai karakteristik hidrologi suatu DAS sangat dibutuhkan untuk pengelolaan DAS atau penataan ruang. Di sisi lain ada keterbatasan dalam hal waktu, biaya, peralatan ataupun lainnya dalam pemantauan atau pengumpulan data di lapangan, apalagi untuk rentang waktu yang lama. Salah satu metode yang saat ini banyak digunakan oleh para ahli adalah pemodelan terhadap DAS. Dalam dua dekade terakhir ini, pemodelan DAS lebih berkembang lagi dengan diintegrasikannya metode Sistem Informasi Geografis.
14 AVGWLF adalah model simulasi DAS yang merupakan integrasi antara model matematis GWLF (Generalized Watershed Loading Functions) dengan model spasial SIG (Evans et al. 2008). GWLF yang merupakan inti model, awalnya dibangun oleh Haith dan Shoemaker tahun 1987. Pada tahun 2002 dikembangkan software-nya oleh Evans dan rekan-rekannya dari Universitas Pensylvania untuk diintegrasikan dengan perangkat lunak Arc View dan telah diuji secara luas di Amerika dan di tempat lain. Model AVGWLF merupakan model hidrologi lumped, dengan distribusi spasial melalui pembagian sebuah DAS ke dalam sub DAS atau sub-sub DAS. Model ini mentransformasi curah hujan (input) ke dalam aliran permukaan (output) dengan konsep bahwa semua proses dalam seluruh Sub DAS atau DAS terjadi pada satu titik spasial. Model ini tidak secara spasial menjelaskan distribusi daerah-daerah (sel-sel/grid-grid) sumber, tetapi hanya agregat muatan dari masing-masing daerah sumber (sub-sub DAS/sub DAS) menjadi total Sub DAS atau DAS. Model AVGWLF menyediakan kemampuan untuk mensimulasikan volume limpasan permukaan, sedimen, dan unsur hara (N dan P) yang dihasilkan dari berbagai sumber-sumber area (non point sources) di suatu DAS. Model ini juga memiliki algoritma untuk menghitung muatan sistem septik dan masuknya muatan dari sumber-sumber titik. Prakiraan kuantitas limpasan permukaan disimulasikan secara kontinyu setiap hari menggunakan data curah hujan dan suhu udara harian. Hasilnya diakumulasi ke dalam satuan waktu bulanan dan tahunan. Data masukan yang disyaratkan yaitu, sumber dan transpor runoff dan parameter kimia. Paramater transpor meliputi area, bilangan kurva runoff, dan faktor erosi (R,K,L,S,C, dan P) untuk setiap area sumber runoff. Luaran yang dihasilkan oleh AVGWLF dan digunakan dalam penelitian ini adalah prakiraan tinggi aliran permukaan, tinggi aliran sungai, banyaknya tanah tererosi dan hasil sedimen yang terangkut hingga outlet sub DAS/sub-sub DAS.
15 2.6 Prakiraan Jumlah Aliran Permukaan Air hujan yang jatuh dalam suatu DAS akan menjadi runoff atau mengalami evaporasi. Runoff, sebagai sumber aliran sungai, merupakan gabungan dari empat komponen aliran yaitu channel runoff, surface runoff, sub surface flow dan base flow.
Channel runoff adalah curah hujan yang jatuh langsung di
permukaan air sungai. Jumlahnya bervariasi tergantung pada intensitas hujan, namun proporsinya sangat sedikit dalam hidrograf banjir. Surface runoff adalah aliran di atas permukaan tanah yang terjadi ketika jumlah curah hujan yang jatuh melebihi jumlah air terinfiltrasi. Jumlahnya sangat besar dalam hidrograf banjir, dan berpengaruh penting terhadap puncak banjir. Sub surface flow terjadi ketika air hujan terinfiltrasi mencapai lapisan berdaya transmisi lebih kecil atau impermeabel, kemudian mengalir secara lateral atau horizontal dan muncul di permukaan tanah sebagai rembesan atau mata air. Aliran ini terjadi pada saat hujan berlangsung hingga setelah hujan berhenti. Base flow adalah aliran yang relatif stabil yang berasal dari simpanan alami. Dalam pergerakan aliran air dari hujan menuju sungai sebagai baseflow, membutuhkan waktu beberapa hari, minggu atau bulan. Ketiga jenis aliran yang disebut pertama biasa dikenal dengan direct runoff. Aplikasi AVGWLF menggunakan metode Bilangan Kurva (SCS Curve Number) untuk menghitung tinggi aliran permukaan. Metode ini dikembangkan oleh US Soil Conservation Service. Metode ini mengkaitkan karakteristik DAS seperti jenis tanah, vegetasi, dan pengelolaan lahan dengan bilangan kurva aliran permukaan CN (runoff curve number) yang menunjukkan potensi aliran permukaan untuk curah hujan tertentu (Asdak 2004). Bilangan Kurva tidak mempunyai satuan dan nilainya berkisar antara 0 hingga 100. Semakin tinggi nilai Bilangan Kurva semakin tinggi pula potensi terjadinya limpasan permukaan. Metode Bilangan Kurva didasarkan pada 3 asumsi, yaitu : 1. Jumlah air maksimum yang dapat ditahan dalam DAS (S) merupakan simpanan permukaan dan simpanan dalam tanah (Soil storage).
16 2. Perbandingan antara simpanan aktual dalam tanah (F) terhadap simpanan maksimum potensial (S) sama dengan perbandingan antara runoff (Q) terhadap hujan (P) dikurangi abtsraksi awal (Ia). 3. Harga abstraksi awal (Ia) linier terhadap penahanan air maksimum potensial (S), dengan fungsi, Ia = 0,2S. Artinya 0,2 dari nilai penahanan maksimum potensial digunakan untuk mencukupi harga abstraksi awal sebelum terjadinya limpasan permukaan, 0,8 sisanya merupakan infiltrasi yang terjadi setelah limpasan permukaan. Limpasan permukaan dihitung berdasarkan data cuaca harian dengan persamaan :
dengan
di mana, S adalah Parameter Retensi, CN adalah Curve Number, P adalah tebal hujan (mm) dan Q adalah tebal limpasan permukaan (mm). Tebal hujan dihitung berdasarkan data tebal hujan harian. 2.7 Prakiraan Erosi dan Hasil Sedimen Sedimen merupakan hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, maupun erosi tanah lainnya (Asdak 2004; Arsyad 2006). Erosi disebabkan oleh tenaga kinetis hujan dan aliran permukaan. Tenaga kinetis tersebut melepaskan partikel tanah dari agregatnya serta mengangkutnya menuju ke tempat yang lebih rendah dan terendapkan atau masuk ke dalam tubuh air. Dalam proses transportasinya di dalam saluran/sungai, sedimen terbawa dalam dua bentuk yaitu sedimen melayang (suspended sediment) dan sedimen dasar (bed load). Hal ini dipengaruhi oleh ukuran partikelnya. Hasil sedimen (sediment yield) biasanya hanya diperoleh dari pengukuran sedimen melayang dalam sungai (suspended sediment) (Asdak 2004). Sedimen melayang dalam aliran sungai
17 dapat menjadi indikator banyaknya erosi dan sedimen dasar di DAS dengan topografi bergunung (Keller 1991). Demikian pula dalam penentuan kelas kualitas air untuk berbagai peruntukan, persyaratan yang diminta adalah parameter sedimen melayang saja. Hal ini disebabkan sedimen melayang lebih dominan mempengaruhi kualitas air karena mengandung partikel-partikel dan zat hara atau bahan lain yang dapat mencemari air. Sedimen melayang meskipun pada umumnya tidak bersifat racun, namun bila berlebihan akan berpengaruh pada tingkat kekeruhan, penetrasi cahaya matahari, temperatur, dan kandungan oksigen dalam perairan, sehingga dapat menyebabkan kerugian-kerugian lainnya. Berdasarkan
ukuran
partikelnya,
pengukuran
sedimen
melayang
dibedakan ke dalam 2 kelompok, yaitu Total Suspended Solid (TSS) dan Total Disolved Solid (TDS). TSS menyatakan besarnya jumlah partikel organik dan nonorganik yang terlarut dalam kolom perairan. Partikel-partikel tersebut merupakan bahan-bahan tersuspensi dengan diameter > 1 µm. Partikel tersuspensi tersebut terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik yang terutama disebabkan oleh erosi tanah yang terbawa ke badan air. Saat pengukuran di laboratorium, partikel yang tertahan pada filter dengan ukuran pori 0,45 µm dimasukkan dalam kelompok TSS. Adapun TDS merupakan konsentrasi jumlah ion bermuatan positif (kation) dan bermuatan negatif (anion) yang terlarut dalam air. Bahan-bahan penyusunnya dapat mencakup antara lain golongan karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium magnesium, natrium, ion organik dan ion lainnya. Oleh sebab itu TDS merupakan parameter penting dalam penentuan kualitas air. Di laboratorium partikel yang lolos dari filter dengan ukuran pori 0,45 µm dimasukkan dalam TDS. Faktor-faktor fisik DAS yang mempengaruhi banyaknya sedimen yang masuk ke perairan adalah tanah, iklim, topografi, vegetasi dan cara pengelolaannya, serta kerapatan saluran/sungai (Asdak 2004). Tanah sebagai sumber sedimen mempunyai karakteristik berupa kepekaan terhadap erosi atau erodibilitas tanah. Terdapat hubungan yang kuat antara erodibilitas tanah dengan banyaknya sedimen yang masuk ke perairan (Ludwig dan Probst 1996). Faktor
18 iklim yang penting dalam mempengaruhi besarnya sedimen yang masuk ke perairan adalah rata-rata curah hujan tahunan (Ludwig dan Probst 1996; Sharma 1996). Energi kinetik hujan yang dapat mendispersi agregat tanah ditentukan oleh intensitas dan tebal hujan. Curah hujan juga menghasilkan limpasan permukaan yang sangat berperan pula dalam pelepasan dan pengangkutan sedimen dari partikel tanah. Kemiringan lereng DAS merupakan parameter topografi yang paling berpengaruh terhadap jumlah sedimen yang terbawa, karena parameter tersebut sangat menentukan jumlah dan kecepatan aliran permukaan (Ludwig dan Probst 1996; Sharma 1996). Peranan penutup lahan terhadap banyaknya sedimen yaitu mengurangi pengaruh daya dispersi pukulan air hujan dan topografi terhadap erosi dengan cara merubah butir-butir hujan menjadi air yang terintersepsi. Vegetasi, akar-akar dan proses biologi yang berkaitan dengan pertumbuhannya mempengaruhi stabilitas struktur dan porositas tanah (Arsyad 1989). Selain itu vegetasi juga dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi karena menyerap kandungan air tanah, sehingga volume aliran permukaan menjadi berkurang (Mingguo et al. 2007). Besarnya sedimen yang masuk ke sungai ditentukan juga oleh faktor manusia melalui cara mereka mengelola lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Asdak 2004). Pengelolaan lahan yang dimaksud adalah tindakan secara fisik, seperti cara bercocok tanam, usaha konservasi tanah dan lain sebagainya. Cara pengelolaan tersebut dapat mencegah atau menambah produksi sedimen karena proses erosi. Aplikasi AVGWLF memprakirakan besarnya hasil sedimen pada dasarnya menggunakan pendekatan model jumlah tanah tererosi dan metode Sedimen Delivery Ratio (SDR). Persamaan dasar matematisnya adalah sebagai berikut :
S = A.SDR ........................................................................................
(3)
di mana S adalah hasil sedimen (mg), A adalah banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/th); dan SDR adalah nisbah pelepasan sedimen / sedimen delivery ratio. Prakiraan jumlah tanah tererosi (A) menggunakan metode Universal Soil Loss
19 Equation (USLE). Nilai SDR ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan antara luas DAS dan besarnya SDR. Nilai SDR dapat diketahui apabila luas DAS yang diteliti sudah diketahui, setelah diplotkan ke dalam grafik tersebut. Nilai A diperoleh dengan persamaan dasar :
A = R.K.L.S.C.P .............................................................................
(4)
di mana R adalah faktor erosivitas curah hujan dan limpasan permukaan; K adalah faktor erodibilitas tanah; L adalah faktor panjang lereng; S adalah faktor gradien kemiringan lereng; C adalah faktor pengelolaan/cara bercocok tanam; dan P adalah praktek konservasi tanah (secara mekanik).
2.8 Analytic Hierarchy Process (AHP) AHP merupakan salah satu metode untuk membantu menyusun prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi kriteria). Metode ini mula-mula dikembangkan oleh Thomas L. Saaty sekitar tahun 1970an. Model pendukung keputusan ini menguraikan masalah multifaktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Hirarki dapat menguraikan masalah yang kompleks ke dalam kelompok-kelompoknya secara berjenjang sehingga permasalahan menjadi terstruktur dan sistematis. Dalam perkembangannya AHP dapat digunakan untuk menganalisis penggunaan lahan dan kesesuaian lahan secara komprehensif, yang mempertimbangkan aspek biofisik, ekonomi, dan sosial (Baja 2002). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam bentuk hirarki (Marimin 2004). Selanjutnya, tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.
20 Metode AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu: a. Dekomposisi. Berdasarkan prinsip ini, struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi bagian-bagian secara hirarki. Tujuan didefinisikan dari yang umum sampai ke khusus. Dalam bentuk yang paling sederhana struktur akan dibandingkan tujuan, kriteria dan level alternatifnya. Tiap himpunan alternatif mungkin akan dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detil, mencakup lebih banyak kriteria yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri atas satu elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di mana elemen-elemen tersebut bisa dibandingkan, memiliki kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level baru. b. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgements) Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala penilaian yang berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan menghasilkan prioritas. c. Sintesa Prioritas Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dan kriteria bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya merupakan gabungan atau dikenal dengan prioritas global yang kemudian untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level sesuai dengan kriterianya.
III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Pendekatan wilayah fungsional Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat sesuai untuk pengelolaan ruang darat yang terkait dengan permasalahan lahan dan sumber daya air, karena terdapat keterkaitan yang erat antar komponen biotik dan abiotik dalam satu kesatuan ekosistem DAS. Di samping itu juga terdapat keterkaitan antara wilayah bagian hulu, tengah dan hilir melalui daur hidrologi. Bagian hulu sebagai daerah konservasi berfungsi melindungi seluruh bagian DAS, terutama bagian tengah dan hilir sebagai daerah pemanfaatan. Oleh sebab itu pengaturan penggunaan lahan di bagian hulu menjadi penting karena mempengaruhi seluruh bagian DAS. Dengan demikian tujuan penataan ruang dapat dicapai tanpa menimbulkan degradasi lahan dan air atau menimbulkan efek eksternalitas. Sub DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu kawasan yang penting secara ekologis dalam melindungi daerah-daerah penyangga ibukota negara yaitu Kabupaten Bogor dan Tangerang serta Kota Tangerang dan Tangerang Selatan, karena berada dalam satu kesatuan ekosistem DAS Cisadane. Di sisi lain, Sub DAS Cisadane Hulu juga berperan langsung menyangga daerah itu sendiri dan sekitarnya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Adanya konflik kepentingan antar berbagai bidang yang dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk menyebabkan permasalahan di bidang sumber daya lahan seperti meningkatnya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaiannya. Pemanfaatan lahan yang tidak tepat selanjutnya berimplikasi terhadap masalahmasalah keairan di seluruh DAS Cisadane. Untuk itu perlu adanya kajian tentang arahan penggunaan lahan di DAS Cisadane khususnya bagian hulu. Kajian mengenai arahan penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu didasarkan pada permasalahan keairan yang terjadi saat ini. Permasalahan yang muncul dan telah melampaui batas aman yaitu limpasan permukaan dan kandungan sedimennya yang dihasilkan oleh DAS. Permasalahan tersebut harus
22 diidentifikasi faktor-faktor penyebabnya dan sebaran lokasi sumbernya untuk dapat ditangani dengan tepat. Koefisien limpasan merupakan indikator kuantitas sumber daya air di suatu DAS, yaitu menunjukkan bagian air hujan yang mengalir sebagai limpasan permukaan. Tinggi rendahnya nilai koefisien limpasan dipengaruhi oleh kondisi fisik DAS seperti curah hujan, jenis tanah, dan penggunaan lahannya. Ketiga faktor tersebut dapat ditentukan nilainya berdasarkan data primer atau sekunder yang ada di daerah penelitian. Dari ketiga faktor tersebut besarnya volume aliran permukaan dihitung menggunakan metode Bilangan Kurva. Hasilnya dapat digunakan untuk melihat kinerja DAS saat ini dan prediksinya pada saat yang akan datang serta melihat sebaran daerah-daerah penyumbang limpasan permukaan. Indikator kualitas air ditunjukkan oleh salah satunya yaitu kandungan sedimen dalam limpasan permukaan. Banyaknya sedimen di dalam limpasan permukaan sangat dipengaruhi oleh iklim, jenis tanah, lereng, penggunaan lahan beserta pengolahannya dan Sediment Delivery Ratio (SDR). Pendugaan besarnya kandungan sedimen yang terbawa melalui limpasan permukaan dilakukan dengan metode USLE dan SDR. Hasil perhitungan tersebut digunakan untuk melihat kinerja DAS saat ini dan prediksinya untuk saat yang akan datang serta melihat sebaran daerah penyumbang sedimen dalam limpasan permukaan. Hasil analisis tersebut di atas, digunakan sebagai dasar penyusunan arahan penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane. Arahan ditujukan untuk mendapatkan penggunaan lahan yang menghasilkan respon hidrologis yang paling baik. Hasil yang diharapkan dari arahan penggunaan lahan DAS bagian hulu adalah tersedianya air yang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. Memadai secara kuantitas ditunjukkan dengan rendahnya perbandingan antara volume limpasan permukaan terhadap volume air hujan, namun masih mencukupi untuk berbagai kebutuhan. Memadai secara kualitas ditunjukkan oleh kandungan sedimen yang rendah menurut peraturan yang berlaku. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
23
Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu
Permasalahan hidrologis
Banjir dan Kekeringan
Pencemaran Sedimen Evaluasi Penggunaan Lahan
Prediksi jumlah aliran permukaan dan indikatornya (Model)
Prediksi jumlah hasil sedimen dan indikatornya (Model)
Kinerja sub-sub DAS saat ini
Simulasi Penggunaan Lahan ( Perbandingan skenario )
Skenario Terbaik
Arahan Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di DAS Cisadane Hulu, dan secara administrasi sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bogor, dan sebagian lainnya berada
24 di Kota Bogor, Jawa Barat, seperti terlihat pada Gambar 2. Waktu penelitian dilakukan bulan Februari hingga Desember 2012.
Gambar 2 Lokasi penelitian. 3.3 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000, Citra ALOS AVNIR resolusi 10 m tahun 2010, Peta Batas sub DAS Cisadane Hulu dan sub-sub DASnya skala 1:50.000, Peta Tanah skala 1 : 250.000, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 skala 1:100.000 dan Peta RTRW Kota Bogor Tahun 2010-2029 skala 1:50.000, data Digital Elevation Model (DEM) SRTM resolusi 30 x 30 m, data curah hujan harian, data suhu maksimum dan minimum harian tahun 2010, dan data hasil kuesioner. Alat yang digunakan adalah GPS, kamera digital dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software : AVGWLF (Arc View Generalized Watershed Loading Functions), ArcView, ArcGIS, dan Microsoft Office.
25 3.4 Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari peta penggunaan lahan dan persepsi masyarakat terhadap penggunaan lahan yang optimal. Peta penggunaan lahan diperoleh dengan cara interpretasi citra ALOS AVNIR tahun 2010 dan cek lapangan. Data persepsi masyarakat dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada 7 responden dengan pertimbangan responden adalah aktor/pengguna lahan yang dianggap memiliki keahlian atau kemampuan dan mengerti permasalahan terkait serta yang mempengaruhi pengambilan kebijakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketujuh responden tersebut berasal dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor, Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Bogor, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masyarakat dari Kawasan Penyangga, dan dari Kawasan Budidaya. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui permintaan data atau pembelian data di instansi-instansi yang menjadi walidata setiap bahan/data yang digunakan yaitu: Peta RBI dan SRTM di Badan Informasi Geospasial, Peta Tanah di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan PertanianKementerian Pertanian, data hujan dan suhu di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BPSDA Wilayah Sungai Citarum-Cisadane-Kementrian PU, Peta Pola Ruang RTRW di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab/Kota Bogor, dan data kependudukan dan administrasi di BPS Kab/Kota Bogor. 3.5 Metode Analisis Data 3.5.1 Pengolahan Data Awal Pengolahan data awal merupakan pengolahan data untuk menyediakan data baru berupa data turunan dari data dasar atau raw data yang akan digunakan dalam analisis utama. Data hasil pengolahan data awal terdiri dari: a)
Data penggunaan lahan, diperoleh dari interpretasi citra ALOS AVNIR tahun perekaman 2010 dengan resolusi 2,5 meter dan didukung oleh sumber-
26 sumber lainnya. Interpretasi penggunaan lahan dilakukan secara visual dengan teknik konvergensi bukti untuk mengenali suatu obyek (penggunaan lahan). Konvergensi bukti merupakan teknik pengenalan suatu obyek yang didasarkan atas sebanyak-banyaknya penerapan unsur-unsur interpretasi citra. Unsur interpretasi adalah karakteristik obyek yang tergambar dalam citra dan digunakan untuk mengenali obyek. Terdapat delapan unsur interpretasi citra yaitu, rona dan warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, asosiasi. Penggunaan lahan yang ada diklasifikasikan menurut Klasifikasi Penggunaan Lahan yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional Nomor SNI 7645:2010 untuk skala peta 1 : 50.000. Hasil interpretasi citra diuji ketelitiannya untuk melihat sejauh mana kesesuaiannya dengan data lapangan. Metode sampling yang digunakan adalah stratified sampling. Metode uji ketelitian yang digunakan adalah metode Confusion Matrix Calculation (Short 1994). Metode ini menyusun perbandingan hasil interpretasi citra dengan hasil cek lapangan dalam suatu matriks kesalahan (Confusion Matrix). Metode ini dapat menghasilkan nilai yang menunjukkan ketelitian hasil interpretasi dalam Overall Accuracy (OA) dan Kappa Accuracy (KA). b) Data sub DAS dan sub-sub DAS, diperoleh dari analisis data SRTM yang didetilkan dengan data garis kontur dari peta RBI skala 1:25.000. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Arc-GIS 9.3 dengan Spatial Analyst tools-Hydrology. Hasilnya berupa poligon Sub DAS Cisadene Hulu dan 44 sub-sub DAS. c)
Data isohyet, diperoleh dari data curah hujan rata-rata tahunan 12 stasiun yang ada di dalam dan di sekitar sub DAS Cisadane Hulu. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Arc-GIS 9.3 dengan Spatial Analyst toolsInterpolation-Spline.
d) Data kemiringan lereng, diturunkan dari DEM SRTM daerah sub DAS Cisadane Hulu dan sekitarnya menggunakan Spatial Analyst tools-Slope. e)
Data tanah yang digunakan mempunyai skala 1:250.000, secara spasial tidak dilakukan perbaikan kualitas data, sehingga menjadi salah satu keterbatasan
27 penelitian ini. Perbaikan kualitas data dilakukan pada atributnya yaitu dengan mengambil data yang lebih detil dari penelitian sebelumnya.
3.5.2 Metode Pengolahan Data Utama 3.5.2.1 Parameter Kinerja sub-sub DAS Aktual Empat parameter yang digunakan untuk melihat kinerja DAS yang menjadi sasaran, yaitu Indeks Penggunaan Lahan (IPL), koefisien limpasan (C), Indeks Bahaya Erosi (IBE) dan kadar sedimen (SC). Nilai IPL dan C merupakan indikator kriteria kuantitas air, sedangkan IBE dan parameter IBE dan kadar sedimen merupakan indikator kriteria kualitas air.
Nilai parameter tersebut
kemudian dikelaskan dan diberi skor. Skor keempat parameter tersebut kemudian dijumlahkan, dan jumlah skor tersebut digunakan untuk mengkelaskan kinerja DAS yang bersangkutan. Parameter IPL diperoleh dari perbandingan antara luas lahan bervegetasi permanen dengan luas sub-sub DAS. Lahan bervegetasi permanen yang dimaksudkan adalah tanaman tahunan seperti hutan dan perkebunan yang dapat berfungsi lindung seperti perkebunan campuran. Lahan tersebut diperoleh dari peta penggunaan lahan. Persamaan yang digunakan adalah :
…………………………………………………(1)
di mana IPL : Indeks Penggunaan Lahan, LVP : luas lahan bervegetasi permanen (ha), LDAS : luas DAS yang menjadi sasaran (ha). Adapun klasifikasi dan skor IPL disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Klasifikasi nilai IPL No 1 2 3
Nilai IPL (%) > 75 30 – 75 < 30
Kelas Baik Sedang Buruk
Skor 1 2 3
28 Nilai C diperoleh dari perbandingan antara tebal aliran permukaan dan tebal hujan. Persamaan untuk menghitung nilai tersebut adalah :
di mana C : banyaknya curah hujan yang menjadi aliran permukaan, Qtahunan : tebal aliran permukaan tahunan (cm), Ptahunan : tebal curah hujan tahunan (cm). Klasifikasi nilai C disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi nilai C No 1 2 3
C < 0,25 0,25 – 0,50 0,51 – 1,0
Kelas Baik Sedang Buruk
Skor 1 2 3
IBE diperoleh dengan membandingkan antara erosi aktual dengan erosi yang ditoleransi. Persamaan untuk menghitung nilai tersebut adalah :
di mana koefisien IBE : indeks bahaya erosi, A : erosi aktual (ton/ha/th), T : erosi yang masih diperbolehkan (ton/ha/th). Klasifikasi nilai IBE disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi nilai IBE No 1 2
IBE <1 >1
Kelas Baik Buruk
Skor 1 3
Kadar sedimen merupakan banyaknya sedimen yang terdapat pada aliran permukaan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai tersebut adalah :
29 dimana koefisien SC : kadar/konsentrasi sedimen dalam aliran permukaan (mg/l), SY : hasil sedimen tahunan (mg), SFv : jumlah aliran sungai tahunan (l). Klasifikasi nilai SC disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Klasifikasi nilai SC No 1 2 3
SC (mg/l) < 50 50 – 400 > 400
Kelas Baik Sedang Buruk
Skor 1 2 3
Kelas kinerja DAS ditentukan berdasarkan jumlah skor empat parameter tersebut. Keempat parameter tersebut dianggap mempunyai bobot yang sama dalam menentukan kinerja DAS. Hal tersebut didasarkan tidak adanya keberpihakan kepada salah satu parameter. Keempat parameter tersebut tidak saling mengkompensasi dimana kelemahan dari salah satu parameter tidak dapat ditutupi oleh parameter yang lain. Setiap parameter mempunyai peran yang saling terlepas terhadap parameter lainnya dalam menentukan kelas kinerja DAS. IPL untuk melihat peran jenis vegetasi kaitannya dengan penyimpanan air dalam tanah, C berperan
untuk melihat banyaknya air hujan yang menjadi aliran
permukaan, IBE untuk melihat banyaknya erosi tanah yang terjadi pada matra darat, sedangkan SY digunakan untuk melihat banyaknya sedimen yang terdapat pada matra air (aliran permukaan). Jumlah skor digunakan untuk mengklasifikasi kinerja DAS, jika nilainya diantara 4-6 dimasukkan ke dalam DAS berkinerja Baik, jika diantara 7-9 termasuk DAS berkinerja Sedang, dan jika diantara 10-12 termasuk DAS berkinerja Buruk. Nilai LVP dan LDAS dihitung dengan metode SIG, sedangkan tebal aliran permukaan, tebal hujan, besarnya erosi tanah dan hasil sedimen diprakirakan menggunakan aplikasi/pemodelan AVGWLF 7.2. Beberapa hal penting dalam pengoperasian aplikasi AVGWLF 7.2. adalah sebagai berikut : 1) Menyusun format data masukan sesuai yang disyaratkan oleh aplikasi. Ada tiga format data yang dipersyaratkan dalam aplikasi ini yaitu vektor, grid dan numerik.
30 Data vektor yang disediakan harus dalam bentuk shapefile (*.shp). Data vektor yang harus dipenuhi yaitu: a. Basins, yaitu lapisan data DAS atau Sub DAS yang berbentuk poligon, setidaknya perlu 1 field atribut yaitu ID DAS dengan tipe integer. b. Streams, yaitu lapisan data jaringan sungai yang berbentuk garis. c. Weather Stations, yaitu lapisan data lokasi stasiun cuaca berbentuk data titik, yang memiliki informasi terkait cuaca harian. Paling sedikit membutuhkan 2 titik stasiun, dan atribut tiap titik stasiun setidaknya memuat 5 field yaitu; STA_ID (tipe integer), BEGYEAR (tahun awal data, tipe integer), ENDYEAR (tahun akhir data, tipe integer), LAT (Garis Lintang, tipe Real Number, satuan Derajat desimal); dan LONG (Garis Bujur, tipe Real Number, satuan Derajat desimal). d. Soils, yaitu layer data jenis tanah. Field atribut yang dipersyaratkan minimal terdiri dari : “MU_AWC", merupakan nilai available water-holding capacity atau kapasitas air tersedia setiap unit tanah, dalam satuan “Centimeter”, tipe Real Number. (Nilai AWC unit tanah seperti pada Lampiran 1.) "MU_KF", merupakan perkiraan nilai erodibilitas tanah atau faktor "K" untuk setiap unit tanah, tipe Real Number. (Nilai K unit tanah seperti pada Lampiran 2). "MUHSG_DOM", merupakan kelas kelompok hidrologi tanah (KHT) dominan untuk setiap unit tanah. Setiap poligon tanah hanya dapat memiliki nilai teks "A", "B", "C", atau "D", dan kolom untuk selain tanah seperti air dapat dibiarkan kosong, tipe text string. Nilai KHT unit tanah seperti pada Lampiran 3. "SURF_OM", menjelaskan kandungan bahan organik tanah (%), tipe Real Number. Layer data shapfile terkait yang bersifat pilihan antara lain : a. County Bounderies, adalah batas-batas administrasi. b. Water Extraction. adalah titik-titik lokasi pengambilan air baik air permukaan maupun air tanah.
31 c. Tile
Drains.
Digunakan
untuk
mengidentifikasi
lokasi-lokasi
pertanian yang menggunakan pengatusan. Layer data raster/grid yang harus dipenuhi adalah : a. Land Use/Cover, adalah layer data penggunaan lahan. Atributnya tidak memerlukan kolom khusus namun “grid cell values”-nya harus mengacu pada kode landuse/cover yang telah disediakan. Jenis penggunaan lahan, kode dan padanannya tersaji dalam Lampiran 4. b. Surface Elevation (Topography), adalah layer yang memuat data ketinggian medan. Data ini digunakan
untuk menghitung faktor
kemiringan dan panjang lereng. Untuk mendapatkan hasil yang baik, resolusi yang digunakan 100 meter hingga 20 meter. Data numerik yang harus dimasukkan dalam sistem adalah data hujan harian, data suhu udara maksimum dan minimum harian. Data hujan disiapkan dalam satuan inci sedangkan data suhu dalam derajat Fahrenheit dalam ekstensi *.csv. 2) Aplikasi AVGWLF menyediakan dua pilihan analisis, “Standard Analysis” dan “Urban GWLF (RUNQUAL)”. Analisis yang digunakan untuk penelitian ini yaitu “Standard Analysis”. 3) Perhitungan jumlah aliran permukaan dan jumlah sedimen dilakukan terhadap setiap sub-sub-DAS yang disediakan dalam menu “Individual Basin Analysis”, maupun sub DAS utama melalui “Aggregate Basin Analysis”. 4) Beberapa nilai paramater dapat dirubah sesuai kebutuhan pengguna atau kondisi lapangan meskipun aplikasi AVGWLF menyediakan secara default. Dalam penelitian ini nilai yang disesuaikan yaitu nilai CN, C dan P. 5) Keluaran hasil perhitungannya disimpan dalam file berekstensi *.csv yang dapat ditampilkan pada MS Excel atau berbentuk gambar grafik.
3.5.2.2 Kalibrasi Model Metode statistik yang digunakan untuk mengkalibrasi model tersebut adalah dengan menghitung koefisien Nash-Sutcliffe (ENS) dan koefisien determinasi (R2). Jika nilai simulasi model disimbolkan dengan QSi, nilai
32 observasi QOi, rata-rata nilai observasi QO, rata-rata nilai simulasi QS dan jumlah data n, maka persamaan untuk menghitung ENS dan R2 adalah : …………………………………….. (1)
………………….…… (2)
Model layak digunakan apabila telah dikalibrasi sehingga menghasilkan nilai prakiraan tebal aliran permukaan yang mendekati nilai sebenarnya di lapangan. Syaratnya kelayakan model yaitu jika nilai R2 > 0,6 dan ENS > 0,5 (Shanti et al. 2001). Proses kalibrasi dilakukan dengan menyesuaikan nilai-nilai parameter C (pengelolaan tanaman) sehingga diperoleh nilai R2 dan ENS yang terbaik. 3.5.2.3 Analisis Kinerja Sub-sub DAS Proses ini dimaksudkan untuk melihat kinerja sub-sub DAS saat ini dalam mendukung upaya konservasi sumber daya air di Sub DAS Cisadane Hulu. Caranya adalah dengan memprakirakan nilai-nilai paramater IPL, C, IBE dan SC pada 44 sub-sub-DAS. Tahapan analisis yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan di depan. Hasilnya berupa kelas kinerja seluruh sub-sub DAS yang menunjukkan kondisi hidrologi sub-sub DAS bersangkutan yang dipengaruhi oleh kondisi penggunaan lahan saat ini. Kondisi tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menyusun dan menentukan sub-sub DAS yang menjadi prioritas untuk di arahkan penggunaan lahannya agar dapat mendukung pengembangan wilayah yang berbasis konservasi sumber daya air. 3.5.3 Arahan Penggunaan Lahan Analisis ini menggunakan simulasi dengan 4 skenario untuk dipilih sebagai pedoman dalam arahan penggunaan lahan. Setiap skenario mempunyai
33
Gambar 3 Diagram alir penelitian
34 komposisi penggunaan lahan yang berbeda sesuai dengan dasar penyusunan skenario. Wilayah yang digunakan adalah sub DAS Cisadane Hulu. Metode yang digunakan seperti yang telah diuraikan di depan, di mana setiap skenario dihitung nilai-nilai parameter C, IPL, IBE dan SC, untuk menentukan kelas kinerja DAS. Hasilnya kemudian digunakan sebagai dasar penentuan penggunaan lahan wilayah optimal yang berbasiskan upaya konservasi sumber daya air. Alokasi penggunaan lahan yang terbaik apabila sub DAS tersebut di atas mempunyai kelas kinerja “Baik” atau keempat parameternya mempunyai nilai yang terbaik. Empat skenario yang dikembangkan dalam simulasi ini, yakni sebagai berikut : Skenario Aktual, skenario ini bertujuan untuk melihat kondisi hidrologi yang diakibatkan oleh penggunaan lahan yang berkembang saat ini. Skenario RTRW, skenario ini bertujuan untuk mengetahui kondisi hidrologinya apabila pemanfatan ruang wilayah diterapkan secara penuh berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota Bogor. Skenario Fungsi Kawasan, skenario ini bertujuan untuk melihat kondisi hidrologinya bila usaha konservasi air dilakukan dengan penggunaan lahan yang diatur sesuai dengan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980. Skenario Kemampuan Lahan, skenario ini bertujuan untuk melihat kondisi hidrologinya apabila penggunaan lahannya didasarkan pada Kemampuan Lahannya, sesuai dengan evaluasi lahan menurut USDA. 3.5.4 Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Penggunaan Lahan Optimal Informasi mengenai persepsi dari berbagai pemangku kepentingan dimaksudkan untuk melihat keinginan mereka dalam memanfaatkan lahan di Kawasan Budidaya. Hasilnya berupa urutan kepentingan penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang di daerah kajian. Selain itu informasi ini juga bermanfaat untuk melihat sejauh mana perbedaan antara arahan penggunaan lahan hasil análisis (skenario terbaik) dengan keinginan masyarakat.
35 Pemeringkatan jenis penggunaan lahan pada penelitian ini menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Dalam menyusun hirarki, pendekatan yang digunakan adalah konsep pembangunan berkelanjutan dengan 3 pilar utamanya yaitu aspek keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Struktur hirarkinya seperti disajikan pada Gambar 4. Alternatif yang dipilih yaitu 4 jenis penggunaan lahan yang banyak terdapat di daerah penelitian. Secara umum wilayah penelitian dibagi dalam 2 zone yaitu Zone Lindung, adalah wilayah yang pemanfaatan ruangnya diperuntukkan sebagai perlindungan daerah tersebut dan daerah di sekitarnya. Pada zone ini tidak dilakukan pemeringkatan penggunaan lahan karena diasumsikan semua penggunaan lahan dikembalikan fungsinya sebagai kawasan lindung atau penggunaan lahannya hutan. Zone budidaya, adalah wilayah yang pemanfaatan ruangnya sebagai daerah budidaya. Pada Zone ini dilakukan pemeringakatan penggunaan lahan untuk mendapatkan informasi penggunaan lahan yang optimal. Zone budidaya ini dibagi lagi menjadi Kawasan Penyangga dan Kawasan Budidaya. Penggunaan Lahan Optimal
Ekonomi
Peluang Pasar
Pendapatan
Hutan
Sosial
Tenaga Kerja
Kebun Campuran
Ekologi
Penguasaan Teknik Budidaya
Sawah
Kesesuaian Lahan
Konservasi SD Air
Ladang
Gambar 4 Struktur hirarki pemilihan penggunaan lahan optimal pada daerah penelitian.
36
IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Daerah penelitian merupakan sub-DAS Cisadane bagian hulu di mana lokasi outletnya terletak pada stasiun pengukur tinggi muka air sungai Batubeulah. Daerah ini secara geografis terletak di antara 106o28’50” BT – 106o56’39” BT dan - 6o28’48” LS - 6o47’16” LS. Secara administrasi meliputi 168 desa pada 21 kecamatan di Kabupaten Bogor serta 39 desa pada 4 kecamatan di Kota Bogor.
Sub DAS Cisadane Hulu mempunyai luas berdasarkan
perhitungan menggunakan metode SIG adalah sebesar 854,79 km2 atau sekitar 85.479 ha. Bentuk sub-DAS Cisadane Hulu menyerupai trapesium mempunyai panjang (utara-selatan) kurang lebih 34,08 km dan lebar (barat-timur) kurang lebih 51,39 km. 4.1
Kondisi Fisik
4.1.1 Topografi Sub DAS Cisadane Hulu mempunyai titik terendah yang terletak pada outletnya yaitu pada ketinggian + 75 m dpal, sedangkan titik tertinggi berada di lereng Gunung Pangrango dengan ketinggian sekitar + 2.587,5 m dpal. Perbedaan tinggi tempat yang besar tersebut menyebabkan wilayahnya mempunyai variasi kemiringan lereng yang lebih kompleks mulai dari daerah datar hingga sangat curam. Perbandingan luas wilayah berdasarkan kelas kemiringan lereng disajikan pada Tabel 6. Sebaran keruangan masing-masing kelas kemiringan lereng wilayah Sub-DAS Cisadane Hulu disajikan pada Gambar 5. Daerah dengan kategori kemiringan lerengnya datar menempati wilayah terkecil yaitu sekitar 3,57% dari total wilayah penelitian atau sekitar 3.051 ha. Wilayah ini tersebar di sebelah utara dan timur yang merupakan daerah hilir sub DAS Cisadane Hulu. Daerah landai ini berada pada ketinggian antara 100 – 300 m dpal.
38
Gambar 5 Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Cisadane Hulu Daerah dengan kategori kemiringan landai menempati wilayah terluas yaitu sekitar 34,63% atau seluas 29.599 ha. Lokasinya sebagian besar tersebar di bagian utara, tengah, dan timur daerah penelitian. Sebagian kecil lainnya di bagian barat di sekitar sungai Cikaniki dan bagian selatan di sekitar Sungai Cisadane bagian hulu. Sebagian besar daerah ini berada pada ketinggian antara 100-300 m dpal, dan sebagian kecil lainnya berada hingga pada ketinggian 600 m dpal. Daerah dengan kategori agak curam tersebar di bagian utara, barat, tengah dan selatan. Daerah dengan kemiringan di antara 15 – 25% ini menempati 21,64% dari total luas wilayah Sub-DAS Cisadane Hulu. Daerah ini sebagian besar berada di antara ketinggian 100-900 m dpal, dan sebagian kecil berada hingga pada ketinggian hingga 1300 m dpal. Daerah dengan kategori curam banyak terdapat di bagian barat, selatan dan sebagian kecil di sebelah utara. Daerah dengan kemiringan antara 25-40% ini menempati 22,14% dari wilayah Sub-DAS Cisadane Hulu. Lokasi menyebar pada ketinggian mulai 75 m dpal hingga 1100 m dpal, dan sebagian kecil berada hingga pada ketinggian 1800 m dpal.
39
Tabel 6 Luas wilayah berdasarkan kelas kemiringan lereng Luas
Kelas No
Kemiringan
Keterangan
Ha
%
1
0 -8 %
Datar
3.051
3,57
2
8-15 %
Landai
29.599
34,63
3
15-25 %
Agak Curam
18.499
21,64
4
25-40 %
Curam
18.929
22,14
5
> 40 %
Sangat Curam
15.402
18,02
85.480
100,0
Jumlah
Daerah dengan kategori sangat curam banyak terdapat di bagian barat dan selatan. Daerah dengan kemiringan antara >40% ini menempati 18,02% dari wilayah Sub-DAS Cisadane Hulu. Lokasi menyebar pada ketinggian mulai 325 m dpal hingga 2587,5 m dpal, atau berada di daerah pegunungan atau perbukitan. Di bagian selatan (hulu) terdapat pegunungan dan beberapa puncak gunung yang cukup tinggi mulai dari timur ke barat G. Pangrango adalah (3020 m dpal), G. Salak (2210 m dpal), G. Sumbul (1926 m dpal), G Perbakti (1715 m dpal), G. Gagak (1448 m dpal), G. Kasur (1204 m dpal), G. Kendang (1377 m dpal), dan G. Astana (1511 m dpal). 4.1.2 Geologi Wilayah Sub DAS Cisadane Hulu, secara geologis, tersusun atas batuan gunung api, batuan sedimen, dan endapan permukaan (P3G Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral 1998). Batuan gunung api tersebar di bagian selatan dan tengah daerah penelitian, sedangkan bagian utara banyak tertutup oleh batuan sedimen dan endapan permukaan hasil erosi material di bagian hulu (pegunungan). Batuan gunungapi penyusun daerah penelitian ini sebagian besar adalah berupa endapan gunung api muda, di samping terdapat endapan gunung api tua dan batuan terobosan. Batuan endapan gunung api muda terdiri atas batuan gunungapi Pangrango (Qvp), batuan gunungapi Salak (Qvs), batuan Gunungapi
40 Endut-Perbakti (Qvep). Batuan endapan gunungapi tua terdiri atas tuf (Qvt), Lava Gunungapi (Qvl), dan Breksi Gunungapi (Qvb).
Material utama pembentuk
endapan tersebut dapat berupa breksi, lahar, lava dan tuf breksi berselingan dengan tuf pasir dan tuf halus. Batuan vulkanik menyusun daerah dengan bentuk lahan asal vulkanik pada daerah yang reliefnya bergunung, berbukit, berombak maupun dataran. Batuan sedimen banyak di sebelah utara pada topografi perbukitan hingga dataran. Batuan sedimen tersebut berumur Tersier yang terdiri Anggota Batugamping Formasi Bojongmanik (Tmbl), Formasi Bojongmanik (Tmb) dan Tuf dan Breksi (Tmtb). Batuan ini mengisi daerah berrelief perbukitan hingga dataran. Endapan Permukaan yang banyak terdapat di daerah penelitian terdiri atas Kipas Aluvial (Qav) dan Endapan Aluvial Sungai (Qa). Sebagian besar menempati bagian utara daerah penelitian dan berada pada lahan dengan relief datar hingga berombak. 4.1.3 Tanah Menurut Peta Tanah Tinjau Daerah Cisadane Hulu Skala 1 : 250.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Kementerian Pertanian, di daerah penelitian terdapat 11 satuan peta tanah (SPT). Sebaran SPT tersebut disajikan pada Gambar 6, sedangkan perbandingan luas masing-masing SPT disajikan pada Tabel 7. Di bagian hulu tersebar beberapa SPT yang umumnya berada di daerah yang tinggi seperti di perbukitan (vulkanik) denudasional di bagian barat, kompleks G. Salak di bagian tengah dan di G. Pangrango di bagian timur. Di perbukitan denudasional terdapat SPT Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan Latosol Coklat berbahan induk tuff vulkan yang menempati kurang lebih 3,19% sub DAS. Kedalaman tanahnya berkisar 90-120 cm, tekstur halus dengan drainase agak lambat.
41
Gambar 6 Peta tanah Sub DAS Cisadane Hulu.
42
Di sebelah timurnya, masih di perbukitan denudasional terdapat SPT Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu. Selain itu terdapat pula di lereng atas sebelah utara G. Salak, sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15,68% daerah kajian. SPT ini berasal dari bahan induk tuff, lahar atau endapan lahar vulkan. Kedalamannya kurang
dari 30
cm,
dengan tekstur tanah kasar
dan
permeabilitasnya agak lambat. SPT Andosol Coklat Kekuningan menempati 14,68% sub DAS Cisadane Hulu, terdapat di perbukitan denudasional sebelah barat kompleks G. Salak dan di lereng tengah G. Salak bagian timur. Tanahnya berasal dari bahan induk vulkan. Tekstur tanah umumnya kasar, drainase baik dan permeabilitas agak cepat.
Tabel 7 Satuan peta tanah Sub DAS Cisadane Hulu No
Tanah
1 Komp Latosol Merah Kekuningan Latosol Coklat Podsolik Merah Kekuningan Litosol 2 Asosiasi Latosol coklat & Regosol kelabu 3 Andosol coklat kekuningan 4 Komp Latosol Merah Kekuningan Latosol Coklat Kemerahan & Litosol 5 Latosol coklat 6 Kompleks regosol kelabu & litosol 7 Podsolik merah 8 Asosiasi latosol coklat kemerahan & latosol coklat 9 Asosiasi andosol coklat & regosol coklat 10 Kompleks rensina litosol dan brown forest soil 11 Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan Jumlah Sumber : PPT (1983).
Luas (ha) 24,571
% 28.75
13,402 12,548 10,940
15.68 14.68 12.80
7,922 7,526 2,972
9.27 8.80 3.48
2,725 1,580 698 596
3.19 1.85 0.82 0.70
85.479
100,00
SPT Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol luasnya 8,80% sub DAS menempati lereng tengah G. Salak dan berbahan induk material vulkan. SPT ini mempunyai kedalaman Sedang (60-90 cm) dengan tekstur tanah kasar dan permeabilitas sedang. SPT Kompleks Rensina, Litosol dan Brown Forest Soil
43 yang berbahan induk material vulkan ini terdapat di sekitar puncak G. Salak, luasnya hanya 0,82% luas sub DAS kajian. Kedalaman solum tanahnya antara 6090 cm, tekstur Sedang dengan permeabilitas Sedang. Selanjutnya terdapat SPT Latosol Coklat, merupakan tanah yang juga berbahan material vulkan tersebut mempunyai kedalaman 90-120 cm. Tanah ini terletak di lereng tengah bagian barat G. Pangrango, mempunyai tekstur halus dan permeabilitas agak lambat. Kemudian terdapat SPT Asosisasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat. SPT ini berada di lereng atas G. Pangrango dan sebagian kecil di perbukitan vulkanik tererosi di bagian barat daya, dengan kedalaman kurang dari 30 cm. Bahan induknya material vulkan bertekstur kasar dengan permeabilitas yang agak cepat. Hilir Sub DAS Cisadane sebelah barat, di sekitar S. Cikaniki tanahnya berupa Kompleks Latosol Merah Kekuningan Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol. Kedalaman tanahnya mencapai 120 cm, teksturnya agak halus dengan permeabilitas agak lambat. Adapun di daerah perbukitannya, terdapat SPT Podsolik Merah. Tanah dengan kedalaman sekitar 30-60 cm ini mempunyai tekstur agak halus, sedangkan daya permeabilitasnya agak lambat. Di sebelah timur laut, terdapat sebagian kecil SPT Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan.
Kedalaman solum tanahnya kurang dari 30 cm,
tekstur agak halus dan permeabilitasnya sangat lambat. 4.1.4 Iklim Sub DAS Cisadane menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson mempunyai iklim tipe hujan A artinya termasuk daerah yang sangat basah. Hal ini didasarkan pada Q hasil perhitungan yaitu sebesar 2,6% (Q<= 14,3%). Bulan kering terjadi di antara Juli – September, sedangkan bulan lainnya termasuk ke dalam bulanbulan basah. Rata-rata curah hujan daerah penelitian adalah sebesar 3097,65 mm/th. Curah hujan rata-rata tahunan secara umum bertambah nilainya semakin kearah tenggara. Sebaran curah hujan rata-rata tahunan dapat dilihat pada Gambar 7.
44
Gambar 7 Peta sebaran curah hujan Sub DAS Cisadane Hulu.
4.1.5 Hidrologi Sub DAS Cisadane Hulu mempunyai sungai utama yaitu Sungai Cisadane yang berhulu di G. Pangrango dan G. Salak dengan panjang berdasarkan peta RBI adalah 111,28 kilometer. Sungai ini mempunyai anak-anak sungai utama di antaranya Ciampea, Cihideung, Ciapus, Cisindangbarang, Cinangneng, Cibungbulan, Cikaniki, Cikaluwung, Puraseda, Cianteun, Cipinanggading, Ciaruteun dan Ciherang. Menurut Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Banten, berdasarkan data debit dalam periode 1991 sampai 1998, sungai-sungai tersebut menghasilkan debit rata-rata bulanan 115,315 m3/det di stasiun Batubeulah, dengan debit bulanan rata-rata terendah pada Agustus sebesar 85,45 m3/det dan tertinggi pada bulan Januari sebesar 133,98 m3/det. Air sungai Cisadane merupakan sumber air baku bagi kebutuhan konsumsi untuk Kabupaten/Kota Tangerang dan Tangerang Selatan serta sebagian wilayah Provinsi DKI Jakarta. Kualitas air permukaan di Sub DAS Cisadane Hulu pada umumnya masih berada di bawah Baku Mutu Lingkungan kecuali nilai TSS, Sulfida, Khlor,
45 COD, Phosphat, DO, Sianida, Mangan, Tembaga, dan Total Coliform (BLH Kab Bogor 2009). Nilai TSS (Total Suspended Solid) rata-rata yaitu 70 mg/l, sehingga nilai ini telah melampaui batas kriteria mutu kualitas air kelas 1 yaitu maksimal 50 mg/l. Hal ini menunjukkan adanya kandungan padatan yang tersuspensi dalam air permukaan yang relatif tinggi. Sub DAS Cisadane Hulu juga mempunyai potensi sumber daya air yang berasal dari mata air dalam jumlah yang besar. Pemunculan air tanah tersebut disebabkan oleh karena secara geomorfologi daerah ini merupakan bentuk lahan asal vulkan/gunung berapi, yaitu Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Terdapat sekitar 58 lokasi pemunculan mata air yang tersebar di kecamatan-kecamatan Tenjolaya, Tamansari, Pamijahan, Rumpin, Ciampea, Caringin, Ciawi, dan Rancabungur (BPDAS Citarum-Ciliwung 2007). Mata air dengan debit terbesar yakni 507 l/detik adalah mata air Ciburial yang terletak pada lereng Gunung Salak. Debit tersebut terus menurun dengan nilai penurunan sebesar 1,30% setiap tahunnya. Potensi sumber daya air permukaan tersebut digunakan sebagai bahan baku air minum baik yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun pihak swasta. 4.2
Kependudukan Jumlah penduduk suatu wilayah mempengaruhi kompleksitas masalah di
berbagai bidang salah satunya di bidang sumber daya lahan. Hubungan kuantitatif sederhana antara jumlah penduduk dengan sumber daya lahan ditunjukkan dengan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk menggambarkan banyaknya penduduk yang mendiami suatu wilayah. Kepadatan penduduk menurut daerah administratif di Sub DAS Cisadane Hulu meningkat nilainya ke arah timur atau kearah kota Bogor. Daerah administratif yang mempunyai kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Bogor Tengah yaitu sebesar 12.202 jiwa/km2, sedangkan kepadatan terendah berada pada Kecamatan Nanggung yaitu sebesar 651 jiwa/km2. Sebaran kepadatan penduduk menurut wilayah kecamatan di Sub DAS Cisadane Hulu disajikan pada Gambar 8.
46
0
47 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Penggunaan lahan Data penggunaan lahan diperoleh dari interpretasi citra ALOS tahun
2010. Ketelitian hasil interpretasi ditunjukkan dengan nilai Overall accuracy (OA) dan Koefisien Kappa. Nilai OA hasil perhitungan adalah sebesar 89,14% sedangkan nilai Koefisien Kappa sebesar 0,87. Nilai OA dan KA tersebut menunjukkan bahwa ketelitian hasil interpretasi secara keseluruhan adalah termasuk ke dalam kategori baik, karena nilainya di atas 85%, sehingga layak digunakan untuk analisis lebih lanjut. Data dan perhitungan OA dan KA disajikan pada Lampiran 7. Hasil interpretasi menunjukkan bahwa terdapat 11 bentuk penggunaan lahan yang terdapat di sub DAS Cisadane Hulu yang secara umum dapat dikelompokkan ke dalam penggunaan lahan bervegetasi dan tidak bervegetasi. Kelompok penggunaan lahan bervegetasi meliputi hutan, kebun, ladang, padang rumput/lapangan olah raga, perkebunan, sawah irigasi dan semak/belukar, sedangkan untuk kelompok tidak bervegetasi terdiri dari lahan terbuka, permukiman (jarang dan padat), dan tubuh air (danau, setu, sungai, dan sebagainya). Bentuk-bentuk penggunaan lahan beserta luasnya ditunjukkan pada Tabel 8. Penggunaan lahan paling luas di sub DAS Cisadane Hulu adalah sawah irigasi yakni sebesar 23.463 ha atau sekitar 27,45% dari luas keseluruhan sub DAS ini. Sawah irigasi tersebar pada bagian hilir, tengah dan sebagian kecil di bagian hulu sub DAS Cisadane Hulu, dan umumnya berada pada daerah dengan kelas lereng datar hingga curam. Penggunaan lahan ini umumnya berada pada satuan bentuk lahan dataran banjir yang ditandai lokasinya berlereng datar-landai dan berada di sekitar alur sungai. Penggunaan lahan hutan menempati 15.635 ha atau sekitar 18,29% dari daerah kajian, dan merupakan penggunaan lahan terluas ke-2. Penggunaan lahan ini sebagian besar berada di bagian hulu DAS terutama pada kelas lereng agak curam hingga sangat curam. Keberadaan hutan ini semakin terancam oleh tekanan
48 penduduk yang terus meningkat meskipun secara hukum hutan tersebut berada di kawasan konservasi berupa Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Hal ini terlihat dari adanya bentuk-bentuk penggunaan lahan budidaya atau semak/belukar yang berada di dalam kawasan konservasi. Areal hutan yang luasnya kurang dari 30% luas sub DAS, mengindikasikan kurang optimalnya hutan yang ada dalam upaya menjaga keseimbangan ekologi menurut undang-undang tata ruang. Tabel 8 Penggunaan Lahan dan luasannya di sub DAS Cisadane Hulu Penggunaan Lahan Bervegetasi Sawah Irigasi Hutan Semak/Belukar Perkebunan campuran Ladang Perkebunan teh Padang rumput/Lap olah raga Perkebunan kelapa sawit Tidak Bervegetasi Permukiman - Jarang - Padat Tubuh air Lahan terbuka Jumlah Sumber : hasil interpretasi citra ALOS
Luas (ha)
(%)
23.463 15.635 14.873 10.880 6.694 1.462 249 164
27,45 18,29 17,40 12,73 7,83 1,71 0,29 0,19
9.938 1.239 717 165 85.479
11,63 1.45 0,84 0,19 100,00
Semak/belukar di sub DAS Cisadane Hulu umumnya berupa bekas hutan yang ditebang, hal ini terlihat dari polanya yang terletak di sekitar hutan atau di lahan-lahan perbukitan bekas hutan yang masih berada di dalam kawasan lindung atau kawasan hutan produksi. Luasnya mencapai 14.873 ha atau sekitar 17,40% dari seluruh wilayah. Umumnya berada pada lereng landai hingga sangat curam, sehingga memang relatif sulit untuk lahan budidaya.
48
49
Gambar 9 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu.
50 Penggunaan lahan permukiman yang terdapat di sub DAS Cisadane Hulu adalah seluas 9.938 ha merupakan permukiman jarang, dan 1.239 ha merupakan permukiman padat. Penggunaan lahan permukiman umumnya terdapat di bagian hilir, tengah dan sebagian kecil hulu. Permukiman padat umumnya terdapat pada lereng datar hingga landai, sedangkan permukiman jarang tersebar pada lahan dengan kelas lereng datar sampai agak curam. Ada pula sebagian kecil yang berada pada kelas curam dan sangat curam seperti yang terdapat di lereng bawah Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Kerapatannya semakin ke arah timur semakin tinggi, hal ini disebabkan karena semakin mendekati pusat kota yaitu Kota Bogor. Umumnya pola permukiman yang terbentuk memanjang mengikuti jalur jalan.
Tabel 9 Luas penggunaan lahan berdasarkan kemiringan lerengnya Penggunaan Lahan Hutan Ladang Lahan Terbuka Padang Rumput Perkebunan Campuran Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Teh Permukiman Jarang Permukiman Padat Sawah Irigasi Semak/Belukar Tubuh Air
0-8 115 101 729 331 1.697 36 40
Kemiringan Lereng (%) 8 - 15 15 - 25 25 - 40 87 1.520 4.613 1.776 2.082 2.143 30 12 69 216 31 2 3.624 3.598 2.882 164 51 1.048 306 6.798 1.811 547 896 11 13.333 4.710 3.049 2.342 3.508 5.113 282 168 204
> 40 9.415 578 54 675 57 52 674 3.873 25
Lahan yang digunakan untuk perkebunan campuran menempati sekitar 12,73% dari luas seluruh sub DAS atau seluas 10.880 ha. Perkebunan campuran umumnya berada pada lahan dengan kemiringan lereng datar hingga curam. Jenis pepohonan yang banyak ditanam adalah pohon penghasil buah di antaranya manggis, mangga, durian, pisang atau melinjo, dan penghasil kayu misalnya mahoni, manii (afrika) dan sengon. Di banyak tempat masih ditemui pohon cengkeh hasil penanaman dua dasawarsa tahun yang lalu. Perkebunan campuran
51 tersebar di bagian hilir, tengah dan hulu sub DAS dan berada di lahan dengan kelas kemiringan datar hingga curam. Letaknya biasanya berada di sekitar lahan permukiman, atau di sekitar hutan, namun secara keruangan di Sub DAS Cisadane Hulu persebarannya semakin ke arah timur semakin sedikit. Ladang merupakan pertanian lahan kering untuk tanaman semusim yang relatif banyak diusahakan oleh masyarakat setempat. Ladang banyak terdapat di lereng bawah Gunung Salak dan Pangrango serta di perbukitan sebelah barat. Luas lahan yang digunakan untuk ladang mencapai 6.694 ha atau sekitar 7,83% luas daerah penelitian. Lahan ini banyak terdapat di kelas kemiringan landai hingga curam. Di dalam sub DAS Cisadane Hulu terdapat perkebunan monokultur yaitu perkebunan teh dan kelapa sawit. Terdapat 2 kebun teh yang total luasnya mencapai 1.462 ha atau 1,71% luas wilayah. Pertama, Kebun Teh Cianten yang dikelola oleh PTP. Nusantara VIII berada di dataran tinggi sebelah barat Gunung Salak, kedua Kebun Teh Nirmala yang berada di dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun yang merupakan perkebunan milik pemerintah namun dikelola oleh swasta yakni PT Perkebunan Teh Nirmala Agung. Adapun perkebunan kelapa sawit yang berada di barat-laut sub DAS Cisadane Hulu luasnya hanya 164 ha atau sekitar 0,19% dari luas sub DAS, merupakan Kebun Sawit Cikasungka yang dikelola oleh PTPN VIII. Selain penggunaan lahan di atas, terdapat penggunaan lahan dalam areal yang sempit yaitu tubuh air (termasuk sungai) serta padang rumput, lahan terbuka, masing-masing mempunyai luas kurang dari 1000 ha dan proporsinya terhadap luas wilayah kurang dari 1%. Padang rumput diidentifikasi sebagai lapangan olah raga atau padang golf, sedangkan lahan terbuka diduga merupakan lahan pertambangan atau lahan peralihan di mana akan dibangun perumahan. Interpretasi terhadap tubuh air diperoleh dua kelompok tubuh air yaitu yang menggenang (setu/danau) seluas 21 ha dan yang mengalir (sungai) seluas 696 ha.
52 5.2
Kondisi Hidrologis Sub DAS Cisadane Hulu Berdasarkan Model AVGWLF Dalam
penelitian
ini,
aliran
permukaan
diprakirakan
dengan
menggunakan model AVGWLF. Model ini menggunakan metode SCS-Curve Number untuk memprakirakan tinggi aliran permukaan, dan metode USLE untuk memprakirakan erosi dan muatan sedimennya. Pada metode ini, karakteristik DAS yang digunakan sebagai input adalah data cuaca, parameter fisik tanah, lereng, penggunaan lahan dan luas DAS. 5.2.1
Kalibrasi Model Kalibrasi model dilakukan dengan membandingkan antara data tinggi
aliran permukaan hasil pengukuran lapangan (observasi) dengan perhitungan model yang ditunjukkan dengan nilai koefisien Nash-Sutcliffe (ENS) dan koefisien determinasi (R2). Kalibrasi dilakukan
terhadap Sub DAS yang mempunyai
stasiun pengukur muka air sungai, dalam hal ini adalah Stasiun Batubeulah yang terletak di outlet Sub DAS Cisadane Hulu. Tabel 10 Tinggi aliran permukaan hasil observasi dan pemodelan Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata
Observasi (mm) 240.3 272.7 339.2 108.3 286.7 212.2 206.2 199.8 260.5 246.9 224.6 218.8 234.7
Pemodelan (mm) 356.6 443,3 505,3 87.2 382,7 193,9 250,0 251,8 223,7 267,0 271,0 217,9 287.6
Sumber: BPSDA Ciliwung-Cisadane (2010) dan pemodelan.
53
Limpasan permukaan (mm)
600 500 400 300 Observasi Model
200 100 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Bulan
Gambar 10 Grafik limpasan permukaan hasil observasi dengan pemodelan. Tabel 10
dan Gambar 10 menunjukkan perbandingan tinggi aliran
permukaan bulanan hasil observasi pada Stasiun Batubeulah dengan hasil pemodelan AVGWLF pada tahun 2010. Nilai rata-rata tebal aliran permukaan hasil observasi adalah sebesar 234,7 mm dan hasil pemodelan sebesar 287,6 mm, sedangkan nilai koefisien ENS dan R2 masing-masing adalah 0,51 dan 0,77. Koefisien ENS bernilai di atas 0,5 dan koefisien R2 bernilai di atas 0,6, hal ini menunjukkan bahwa hasil pemodelan yang digunakan tergolong baik untuk memprakirakan nilai tinggi aliran permukaan di Sub DAS Cisadane Hulu. Di sisi lain, nilai ENS tersebut masih di bawah 0,85, hal ini menunjukkan bahwa pemodelan rainfall-runoff tersebut belum mewakili seluruh faktor-faktor yang berperan dalam menentukan banyaknya air hujan menjadi aliran permukaan. Hal ini disebabkan oleh karena masih terdapat berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi tingginya aliran permukaan misalnya genangan air seperti setu/danau, bendungan atau tampungan air lainnya.
54 5.2.2
Kinerja Sub-sub DAS Saat Ini Kinerja sub-sub DAS Cisadane Hulu dilihat dari agregasi nilai 4
parameter yaitu Indeks Penutupan Lahan (IPL), koefisien limpasan (C), Indeks Bahaya Erosi (IBE), dan kadar sedimennya (SC). Sub DAS Cisadane Hulu dibagi ke dalam 44 sub-sub DAS. Masing-masing sub-sub DAS dihitung nilai keempat parameter tersebut. Setiap nilai parameter dikelaskan berdasarkan atas peraturan KepMenHut No 52/Kpts-II/2001 dan PP No 82 Th 2001, kemudian diberikan skor. Kinerja sub-sub DAS ditentukan berdasarkan jumlah skor 4 parameter tersebut. Kinerja setiap sub-sub DAS menunjukkan kualitas lingkungannya dalam rangka konservasi sumberdaya airnya. Hasil perhitungan nilai IPL, C, IBE, muatan sedimen dan kinerja masing-masing sub-sub DAS disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Nilai-nilai parameter dan kinerja Sub-sub DAS Cisadane Hulu No Ur ut
Nama Sub-sub DAS
IPL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Cisadane2 Leuwilisung Cijawung Cikaniki1 Cinagara Cisadane1 Cikereteg Cimande Cikuluwung Cikaniki4 Cianten1 Cikamaung Cikaniki3 Cisadane3 Citeureup Citeras Cisarua Cihaniwung Cisadenggirang
19.71 36.14 53.6 75.22 45.54 41.18 40.09 39.72 60.16 55.49 52.35 51.84 49.94 42.73 40.36 37.59 32.79 32.29 31.22
S S S S k Koef k k Sedimen k IBE Jml Kinerja o C o o (mg/l) o r r r r 3 0.34 2 0.98 1 321.44 2 8 Sedang 2 0.28 2 1.84 3 363.66 2 9 Sedang 2 0.28 2 1.66 3 311.02 2 9 Sedang 1 0.26 2 27.04 3 2163.73 3 9 Sedang 2 0.24 1 9.32 3 2126.53 3 9 Sedang 2 0.24 1 19.18 3 4418.53 3 9 Sedang 2 0.25 1 6.18 3 1447.47 3 9 Sedang 2 0.24 1 9.85 3 2141.35 3 9 Sedang 2 0.31 2 11.2 3 1868.07 3 10 Buruk 2 0.28 2 2.76 3 543.37 3 10 Buruk 2 0.3 2 19.25 3 2889.86 3 10 Buruk 2 0.27 2 10.95 3 2056.94 3 10 Buruk 2 0.27 2 8.04 3 1484.81 3 10 Buruk 2 0.28 2 2.77 3 615.55 3 10 Buruk 2 0.27 2 25.08 3 2951.9 3 10 Buruk 2 0.26 2 8.56 3 1642.89 3 10 Buruk 2 0.26 2 17.07 3 2360.29 3 10 Buruk 2 0.28 2 8.55 3 1344.84 3 10 Buruk 2 0.27 2 22.2 3 3219.91 3 10 Buruk
55 Tabel 11 (lanjutan) 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Cigamea Cipalasari Cijeruk Cigenteng Legokmuncang Cianten3 Cipaku Cigombong Cimapag Ciampea Cianten2 Cikaniki2 Cisaru Ciapus Cihideung1 Cipinanggading Cipuraseda Cijambu Cihideung2 Cikuda Cikompeni Ciaruteun Cinangneng Cileungsir Cihamboro
30.55 17.31 7.24 1.09 14.96 21.86 14.16 8.34 26.71 24.41 24.26 23.41 21 20.56 20.19 19.31 18.3 18.06 17.32 16.45 16.18 15.53 15.53 14.49 13.16
2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
0.31 0.25 0.25 0.25 0.24 0.28 0.3 0.33 0.28 0.28 0.3 0.27 0.27 0.27 0.28 0.27 0.26 0.28 0.32 0.32 0.28 0.28 0.28 0.32 0.27
2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
7.2 12.13 8.44 3.82 2.96 1.31 1.47 13.27 5.01 6.97 13.52 12.75 11.44 3.05 5.05 3.84 44.23 8.05 27.09 23.54 1.74 3.89 6.16 10.96 12.47
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1227.72 2743.84 1930.6 946.69 653.77 301.85 388.46 2445.37 859.99 1171.38 2528.65 1932.14 2188.21 544.86 881.65 768.68 6754.83 1513.67 5113.44 4498.86 404.8 806.09 1081.49 2073.49 2127.83
3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
10 10 10 10 10 10 10 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11
Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk
Berdasarkan Tabel 11, kinerja sub-sub DAS dalam rangka upaya konservasi sumber daya air tersebut secara umum tergolong Buruk. Kondisi ini ditunjukkan dengan sebanyak 36 sub-sub DAS dari 44 sub-sub DAS mempunyai kinerja Buruk. Sub-sub DAS tersebut tersebar hampir merata ke seluruh daerah kajian kecuali di bagian tenggara yaitu di lereng Gunung Pangrango. 8 sub-sub DAS lainnya mempunyai kinerja yang Sedang, dan sub-sub DAS yang tergolong berkinerja Baik tidak ada. Sub-sub DAS berkinerja terbaik adalah Cisadane2. Sub-sub DAS ini hanya mempunyai 1 parameter yang tergolong Buruk yaitu IPL dan 2 parameter yang tergolong Sedang yaitu C dan kadar sedimen. Buruknya nilai IPL
56 disebabkan oleh banyaknya permukiman dan ladang. Adapun sub-sub DAS yang mempunyai kinerja Sedang dengan parameter IBE dan parameter lainnya tergolong Sedang adalah sub-sub DAS Leuwilisung dan Cijawung. Buruknya parameter IBE disebabkan oleh kemiringan lereng lahannya umumnya dari agak curam hingga curam, tanahnya yang tergolong agak peka erosi dan penggunaan lahannya ladang dan permukiman. Sub-sub DAS yang kinerjanya termasuk Sedang dengan parameter IBE dan kadar sedimen tergolong Buruk dan parameter IPL tergolong Sedang adalah Cikaniki1, Cinagara, Cisadane1, Cikereteg, Cimande. Buruknya nilai IBE dan kadar sedimen disebabkan oleh adanya sebagian besar lahannya berada pada lereng agak curam hingga sangat curam. Jumlah sub-sub DAS yang kinerjanya Buruk dengan parameter IBE dan kadar sedimen tergolong Buruk dan parameter IPL dan C tergolong Sedang ada 12 sub-sub DAS. Sub-sub DAS tersebut adalah Cikuluwung, Cikaniki4, Cianten1, Cikamaung, Cikaniki3, Cisadane3, Citeureup, Citeras, Cisarua, Cihaniwung, Cisadenggirang dan Cigamea. Buruknya nilai IBE dan kadar sedimen kemungkinan besar adanya erosi yang berasal dari lahan ladang pada lahan yang berlereng agak curam hingga curam dan dari permukiman perdesaan pada lereng agak curam. Terdapat 2 sub-sub DAS dengan kinerja Buruk yang disebabkan oleh nilai parameter IPL dan IBE yang Buruk, sedangkan nilai C dan kadar sedimen termasuk Sedang, yaitu Cianten3 dan Cipaku. Pada sub-sub DAS Cipaku buruknya parameter IPL disebabkan oleh banyaknya lahan permukiman dan sawah, sedangkan di sub-sub DAS Cipaku disebabkan oleh banyaknya lahan permukiman dan ladang. Sub-sub DAS berkinerja Buruk yang disebabkan oleh nilai parameter IPL, IBE, dan kadar sedimen yang buruk dan nilai parameter C baik terdapat sebanyak 4 sub-sub DAS yaitu Cipalasari, Cijeruk, Cigenteng, dan Legokmuncang. Keempat sub-sub DAS tersebut berada di lereng timur Gunung Salak. Buruknya ketiga nilai parameter tersebut disebabkan oleh kemiringan lahan umumnya landai hingga curam.
57 56
Gambar 11 Peta Sebaran Kinerja Sub-sub DAS di Sub DAS Cisadane Hulu.
57
Ket : No ID dan nama sub-sub DAS disajikan pada Lampiran 8
58 Sub-sub DAS sisanya, sebanyak 18 sub-sub DAS merupakan sub-sub DAS berkinerja Buruk yang disebabkan oleh nilai parameter IPL, IBE, dan kadar sedimen yang tergolong buruk dan nilai parameter C tergolong sedang. Dari subsub DAS tersebut sebanyak 10 sub-sub DAS berhulu di Gunung Salak, yaitu Cikompeni, Ciampea, Cinangneng, Cihideung1, Ciapus, Cipinanggading, Cihideung2, Cikuda, Cileungsir, dan Cigombong. Hal ini menyebabkan faktor kemiringan lereng sangat berperan terhadap buruknya IBE dan kadar sedimen. Kondisi ini semakin parah dengan adanya penggunaan lahannya yang kurang memperhatikan aspek konservasi. Nilai IPL yang rendah umumnya disebabkan oleh penggunaan lahannya berupa sawah, permukiman, semak belukar, dan ladang pada bagian tengah dan hilir sub-sub DAS. 8 sub-sub DAS lainnya yaitu Cihamboro, Ciareuteun, Cijambu, Cipuraseda, Cisaru, Cikaniki2, Cianten2, dan Cimapag berada di perbukitan sebelah barat dan barat laut daerah penelitian. Nilai-nilai parameternya dipengaruhi oleh faktor yang hampir sama dengan 10 sub-sub DAS sebelumnya. Selain faktor-faktor yang telah dibahas di depan, faktor yang menyebabkan nilai C umumnya bernilai Sedang dan IBE dan kadar sedimen yang tinggi di sebagian besar sub-sub DAS Cisadane Hulu adalah tingginya curah hujan yaitu berkisar antara 3097,65 mm/th. Curah hujan yang tinggi menghasilkan energi yang tinggi dan aliran permukaan yang tinggi pula. Di samping itu juga disebabkan oleh faktor pengelolaan lahan. Pengelolaan lahan yang masih buruk atau kurang memperhatikan usaha konservasi mengakibatkan tanah dan air menjadi mudah tererosi. 5.3
Arahan Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air. Dalam analisis untuk arahan penggunaan lahan ini digunakan simulasi
dengan 4 skenario untuk mendapatkan komposisi penggunaan lahan yang terbaik dalam upaya konservasi air. Perbedaan suatu skenario dengan skenario yang lain didasarkan atas komposisi penggunaan lahannya. Alasannya, karena penggunaan lahan merupakan faktor yang paling dinamis dibanding faktor-faktor lainnya. Setiap skenario mempunyai komposisi penggunaan lahan yang berbeda sesuai
59 dengan kriteria yang telah ditetapkan pada masing-masing skenario. Dengan menggunakan metode perhitungan yang diuraikan di depan, setiap skenario kemudian diprakirakan besaran potensi volume aliran permukaan dan potensi penyumbang sedimen yang ditunjukkan oleh nilai-nilai parameter IPL, C, IBE dan kadar sedimen. Hasil ini yang kemudian digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air. Asumsi yang berlaku umum untuk semua skenario adalah semua faktor yang mempengaruhi aliran permukaan dan kadar sedimen sama dengan kondisi tahun 2010 kecuali penggunaan lahan dan kondisi hidrologinya. Penggunaan lahan disesuaikan dengan kemampuan lahannya berdasarkan evaluasi dan klasifikasi yang digunakan setiap skenario. Kondisi hidrologi diasumsikan pada kondisi baik, karena adanya perbaikan faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi dan run off seperti kerapatan dan penutupan area bervegetasi, pergiliran tanaman,dan kekasaran permukaan.
5.3.1 Skenario Aktual Skenario Aktual merupakan susunan atau pola penggunaan lahan yang berkembang saat ini di Sub DAS Cisadane Hulu, dalam penelitian ini digunakan data penggunaan lahan pada tahun 2010. Tujuan skenario ini untuk melihat kondisi hidrologi yang diakibatkan oleh penggunaan lahan yang berkembang saat ini di Sub DAS Cisadane Hulu. Hasil tersebut juga digunakan sebagai pembanding dari 4 skenario lainnya. Tabel 8 menyajikan tipe penggunaan lahan beserta luasannya pada Skenario Aktual. Komposisi penggunaan lahan tersebut menggambarkan tingkat kinerja sub DAS dalam kaitannya dengan upaya konservasi sumber daya air. Tingkat kinerja tersebut dapat dilihat melalui beberapa indikator seperti yang ditampilkan pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12 secara umum sub DAS Cisadane Hulu saat ini mempunyai kinerja yang Buruk dalam rangka konservasi sumber daya air. Dari sisi kuantitas air, C bernilai 0,28, artinya air hujan yang jatuh di daerah tersebut sebanyak 28%-nya akan menjadi limpasan permukaan. Kinerja DAS terhadap konservasi kuantitas air berdasarkan nilai C tersebut berada pada tingkat
60 Sedang. Hal ini menunjukkan sudah munculnya permasalahan yang mengganggu kinerja komponen-komponen DAS yang mempengaruhi banyaknya aliran permukaan. Kondisi yang kurang baik tersebut akan menjadi kendala dalam mendukung konservasi sumber daya air. Tabel 12 Kinerja DAS berdasarkan skenario aktual Kriteria
Indikator
A. Kuantitas Air
B. Kualitas Air
Parameter
Skor
Standar
1. Penutupan oleh vegetasi 2. Koefisien Limpasan (C) 3. Indeks Bahaya Erosi (IBE)
IPL
= 0,33
2
Sedang
C
= 0,28
2
Sedang
3
Buruk
IBE
= 5,22
4. Kandungan Pencemar
S
= 653,21 mg/l
3
Buruk
10
Buruk
Jumlah
Kondisi jumlah limpasan tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Hal ini ditunjukkan oleh parameter IPL yang nilainya sebesar 33%. Nilai tersebut jauh di bawah dari batas nilai IPL yang tergolong baik yaitu 75%, bahkan mendekati batas nilai IPL yang termasuk Buruk yaitu 25%. Kondisi tersebut lebih mengkhawatirkan lagi karena luasan vegetasi yang permanen semakin berkurang setiap tahunnya. Stevanus (2010) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa penurunan luas hutan di sub DAS Cisadane Hulu dari tahun 2001-2004
sebesar 23,54% dan periode tahun 2004-2008 berkurang sebesar
24,58% dari luas sub DAS. Selain itu, dari penelitian tersebut diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang erat antara perubahan luas hutan terhadap nilai C yang ditunjukkan oleh nilai korelasi sebesar -0,90 dan R2 sebesar 81,4. Dari aspek kualitas airnya, kinerja sub DAS Cisadane Hulu sudah berada pada kondisi yang buruk. Hal ini ditunjukkan oleh nilai IBE lebih besar dari 1, yaitu sebesar 4,57. Nilai IBE biasanya digunakan sebagai indikator kualitas lahan dalam mempengaruhi produktivitasnya, namun nilai ini juga digunakan untuk
61 indikator kualitas air dan sedimentasi perairan. Nilai IBE yang tinggi menunjukkan bahwa daerah tersebut mempunyai potensi sebagai sumber sedimen yang tinggi. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi tingginya erosi di daerah kajian adalah penggunaan lahan (vegetasi) dan pengelolaannya. Apabila penutup lahannya berupa vegetasi, maka akar-akar dan proses biologi yang berkaitan dengan pertumbuhannya mempengaruhi stabilitas struktur dan porositas tanah (Arsyad 1989). Selain itu vegetasi juga dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi karena menyerap kandungan air tanah, sehingga volume aliran permukaan menjadi berkurang (Mingguo et al. 2007). Banyaknya lahan dengan penutupan vegetasi sebanyak 50% atau kurang seperti sawah, tegalan dan permukiman merupakan lahan berpotensi sumber erosi yang tinggi di sub DAS Cisadane Hulu. Kondisi tersebut dapat menjadi lebih parah karena pengelolaan lahannya yang kurang mengindahkan aspek konservasi tanah dan air. Hasil pengamatan lapangan dan studi literatur penelitian sebelumnya di Sub DAS Cisadane Hulu menemukan banyak penggunaan lahan yang belum menerapkan aspek konservasi (Herawati 2009; Fakhrudin 2010). Kondisi tersebut juga terdapat pada jenis penggunaan lainnya seperti kebun campuran, semak/belukar, padang rumput, dan perkebunan sawit, maupun hutan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan model AVGWLF menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang berpotensi menghasilkan erosi berturut-turut dari yang paling tinggi ke yang rendah di sub DAS Cisadane Hulu adalah Lahan Terbuka sebesar 1.881,9 ton/ha/th; Ladang 491,0 ton/ha/th, Semak/Belukar 409 ton/ha/th, Perkebunan Campuran 223,8 ton/ha/thn, Permukiman Jarang 85,1 ton/ha/th, Sawah 82,1 ton/ha/th, Permukiman Padat 66,8 ton/ha/th, Lahan Rumput 54,7 ton/ha/th, dan Hutan 28,8 ton/ha/th. Terlihat bahwa hutan berpotensi menghasilkan jumlah erosi yang paling rendah, sedangkan yang paling tinggi yaitu Lahan Terbuka. Dilihat dari nilai tingkat erosinya, hutan merupakan satusatunya penggunaan lahan yang paling efektif menurunkan erosi hingga di bawah batas erosi diperbolehkan, terlepas dari teknologi konservasi yang dapat dilakukan.
62 5.3.2 Skenario RTRW Skenario RTRW merupakan komposisi penggunaan lahan berdasarkan pola pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Bogor dan RTRW Kota Bogor. Skema alokasi penggunaan lahan pada skenario RTRW ini adalah sebagai berikut : a. Permukiman, sawah, perkebunan campuran, perkebunan besar dan hutan yang sudah ada pada semua kawasan tetap dipertahankan. b. Penggunaan lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka pada kawasan hutan konservasi, hutan produksi/terbatas diubah menjadi hutan. c. Penggunaan lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka pada kawasan budidaya tanaman tahunan dan kawasan perkebunan diubah menjadi perkebunan campuran. d. Penggunaan lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka pada kawasan pertanian lahan basah diubah menjadi sawah. e. Penggunaan lahan semak belukar, lahan terbuka pada kawasan pertanian lahan kering diubah menjadi ladang. Hasil penyusunan skenario penggunaan lahan berdasarkan RTRW disajikan dalam Tabel 13 dan Gambar 12. Skenario RTRW tersebut di atas menghasilkan beberapa perubahan luas penggunaan lahan terhadap komposisi penggunaan lahan tahun 2010. Penggunaan lahan yang mengalami pertambahan luas antara lain hutan sebesar 9.356 ha, perkebunan campuran 1.733 ha, permukiman jarang 6.939 ha. Adapun yang mengalami pengurangan luas yaitu ladang seluas 6.490 ha, lahan terbuka 165 dan semak belukar 14.873 ha. Dari tabel tersebut terlihat bahwa skenario RTRW memberikan arahan yang lebih luas kepada pertanian lahan basah (sawah) dibanding pertanian lahan kering. Lahan terbuka dan semak belukar menjadi habis arealnya karena tidak memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial, meskipun secara ekologis memberikan kontribusi dalam konservasi tanah dan air.
63 Tabel 13 Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario RTRW dan perubahannya Penggunaan Lahan Hutan Ladang Lahan Terbuka Padang Rumput Perkebunan Campuran Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Teh Permukiman Jarang Permukiman Padat Sawah Semak/Belukar Tubuh Air Jumlah
Tahun 2010 15.635 6.694 165 249 10.880 164 1.462 9.938 1.239 23.463 14.873 717 85.479
Skenario RTRW 25.991 204 249 12.613 164 1.462 16.877 2.561 25.641 717 85.479
Perubahan 9.356 -6.490 -165 1.733 6.939 1.322 2.179 -14.873 0
Secara umum pola penggunaan lahan dengan skenario RTRW menghasilkan respon hidrologi yang lebih baik dibandingkan pola penggunaan lahan pada Skenario Aktual. Besaran nilai-nilai setiap parameter mengalami perbaikan meskipun secara umum kelasnya tidak berubah. Dari kriteria kuantitas air, nilai IPL meningkat dari 0,33 menjadi 0,46, menunjukkan bahwa faktor penggunaan lahan yang bervegetasi permanen memberikan peningkatan kontribusinya baik dalam memperbesar infiltrasi. Nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap penurunan nilai C. Penurunan nilai C dari 0,28 menjadi 0,21 menunjukkan bahwa air hujan yang menjadi aliran permukaan semakin berkurang.
64
64
64
Gambar 12 Peta penggunaan lahan menurut Skenario RTRW.
65 Tabel 14 Kinerja DAS Berdasarkan Skenario RTRW Kriteria A. Kuantitas Air
B. Kualitas Air
Indikator 1. Penutupan oleh vegetasi 2. Koefisien Limpasan (C) 3. Indeks Bahaya Erosi (IBE) 4. Kandungan Pencemar
Parameter IPL = 0,46
Skor 2
Kinerja Sedang
C
= 0,21
1
Baik
IBE
= 0,97
1
Baik
S
= 562.03 mg/l
3
Buruk
7
Sedang
Jumlah
Pola yang sama terjadi pada parameter-parameter untuk kriteria kualitas air. Nilai IBE berkurang dari 4,57 menjadi 2,59 menunjukkan bahwa erosi yang berasal dari daerah-daerah yang menjadi sumber sedimen telah menurun volumenya. Hal ini berpengaruh juga pada kadar sedimen dalam aliran sungai. Penurunan kandungan pencemar berupa sedimen ditunjukkan oleh menurunnya nilai SC dari 653,21 mg/l menjadi 562,03 mg/l. Penurunan kedua nilai parameter tersebut menunjukkan kualitas airnya meningkat. Namun demikian kinerja Sub DAS Cisadane masih tergolong Buruk dalam rangka upaya konservasi sumber daya air untuk kriteria Kualitas Air. Luas lahan permukiman pada skenario RTRW lebih besar dibanding kondisi aktual, namun kinerja DAS pada skenario RTRW lebih baik dibanding skenario Aktual. Hal ini disebabkan oleh rata-rata terbobot dari penambahan lahan permukiman tersebut masih relatif kecil. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding rata-rata terbobot dari penambahan lahan hutan.
Kondisi
tersebut menyebabkan keempat parameter indikator kinerja DAS pada skenario RTRW nilainya lebih baik.
5.3.3 Skenario Kemampuan Lahan Skenario Kemampuan Lahan merupakan komposisi penggunaan lahan yang didasarkan atas kemampuan lahannya menurut kriteria USDA. Penggunaan lahan yang telah sesuai dengan kemampuan lahannya, kecuali penggunaan lahan yang tidak mungkin diubah tetap dipertahankan, lahan yang
66 belum optimal diubah ke penggunaan lain dalam mendukung upaya konservasi air dan yang tidak sesuai diubah ke penggunaan lain yang sesuai dengan kemapuan lahan dan mendukung upaya konservasi. Perubahan dilakukan terhadap penggunaan lahan yang mempunyai faktor penghambat yang masih dapat diperbaiki atau yang mempunyai sub kelas e, w, s. Lebih rinci skema alokasi penggunaan lahan tersebut adalah sebagai berikut : a. Permukiman, sawah, perkebunan besar dan hutan pada semua kelas tetap dipertahankan. b. Perkebunan campuran pada kelas II, III, dan IV dipertahankan, sedangkan pada kelas V, VI dan VII diubah menjadi hutan. c. Ladang, semak/belukar, tanah terbuka pada subkelas IIw, IIIw, IIIs, diubah menjadi sawah dan yang terdapat pada kelas subkelas IIe, IVe dan IVs diubah menjadi ladang, sedangkan pada kelas V, VI dan VII diubah menjadi hutan. Luas penggunaan lahan hasil penyusunan skenario Kemampuan Lahan disajikan pada Tabel 15, sedangkan persebarannya disajikan pada Gambar 13.
Tabel 15 Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario Kemampuan Lahan
Penggunaan Lahan Hutan Ladang Lahan Terbuka Padang Rumput Perkebunan Campuran Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Teh Permukiman Permukiman Padat Sawah Semak/Belukar Tubuh Air Jumlah
Tahun 2010 15.635 6.694 165 249 10.880 164 1.462 9.938 1.239 23.463 14.873 717 85.479
Skenario Kemampuan Lahan 27.805 9.494 249 8.475 164 1.462 9.938 1.239 25.936 717 85.479
Perubahan 12.170 2.800 -165 -2.405 2.473 -14.873 0
67 Bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2010, Skenario Kemampuan Lahan menghasilkan perubahan penggunaan lahan antara lain, hutan meningkat 12.170 ha menjadi 27.805 ha, penggunaan lahan ladang bertambah 2.800 ha menjadi 9.494 ha. Di bagian barat penambahan areal hutan dan ladang banyak terdapat di daerah hulu S. Cikaniki dan S. Cianten, sedang di bagian selatan banyak terdapat di lereng G. Salak dan G. Pangrango. Penggunaan lahan lainnya yang bertambah luasnya adalah sawah, yaitu dari 2.473 ha menjadi 25.936 ha. Perubahan lahan menjadi sawah banyak terdapat di bagian tengah sub DAS Cisadane Hulu dari sisi barat hingga ke timur, dan sebagian kecil di sisi utara di sekitar sekitar S. Cikaniki. Penambahan lahan-lahan tersebut di atas berasal dari semak/belukar sebanyak 14.873 ha, perkebunan campuran seluas 2.405 ha dan lahan terbuka seluas 165 ha. Pola penggunaan lahan dengan skenario kemampuan lahan menghasilkan kinerja DAS seperti disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Kinerja DAS Berdasarkan Skenario Kemampuan Lahan Kriteria
Indikator
A. Kuantitas 1. Penutupan oleh Air vegetasi 2. Koefisien Limpasan (C) B. Kualitas 3. Indeks Bahaya Air Erosi (IBE) 4. Kandungan Pencemar
Parameter
Skor
Standar
IPL
= 0,44
2
Sedang
C
= 0,19
1
Baik
IBE
= 0,90
1
Baik
S
= 377,61 mg/l
2
Sedang
6
Baik
Jumlah
Nilai parameter IPL untuk skenario kemampuan lahan adalah sebesar 0,44. Hal ini menunjukkan bahwa penutupan lahan oleh vegetasi permanen mengalami penambahan dibandingkan dengan kondisi aktual. Penambahan tersebut disebabkan oleh penambahan lahan hutan yang cukup banyak, meskipun lahan perkebunan campuran mengalami pengurangan. Hal tersebut memberikan kontribusi terhadap turunnya nilai C dari 0,28 pada kondisi aktual menjadi 0,19.
67
68
68
Gambar 13 Peta penggunaan lahan menurut skenario Kemampuan Lahan.
69 Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan aplikasi AVGWLF, nilai parameter IBE dan SC juga mengalami penurunan. IBE menurun nilainya dibandingkan pada kondisi aktual dari 5,22 menjadi 0,9. Kadar sedimen menurun dari 653,21 mg/l menjadi 377,61 mg/l. Dari sisi kualitas air, penurunan tersebut berarti terjadi peningkatan kualitas air dibanding kondisi aktual.
5.3.4 Skenario Fungsi Kawasan Skenario Fungsi Kawasan merupakan komposisi penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu yang didasarkan pada Klasifikasi Fungsi Kawasan berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980. Fungsi Kawasan berdasarkan peraturan tersebut dibagi menjadi Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga, dan Kawasan Budidaya. Skenario Fungsi Kawasan pada dasarnya juga mengevaluasi penggunaan lahan yang ada saat ini. Skema alokasi penggunaan lahan pada skenario fungsi kawasan ini adalah : a. Permukiman, sawah, perkebunan besar dan hutan pada semua kawasan tetap dipertahankan. b. Penggunaan lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka dan perkebunan campuran pada kawasan penyangga dan lindung diubah menjadi hutan. c. Penggunaan lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka pada kawasan budidaya tanaman tahunan diubah menjadi perkebunan campuran. d. Penggunaan lahan semak belukar, lahan terbuka pada kawasan budidaya tanaman musiman diubah menjadi sawah. e. Penggunaan lahan semak belukar, lahan terbuka pada kawasan budidaya tanaman musiman/permukiman diubah menjadi permukiman. Hasil analisis menggunakan skenario tersebut menghasilkan perubahan penggunaan lahan dan kinerja DAS seperti pada Tabel 17 dan Tabel 18.
70 Tabel 17 Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan Penggunaan Lahan
Hutan Ladang Lahan Terbuka Padang Rumput Perkebunan Campuran Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Teh Permukiman Jarang Permukiman Padat Sawah Irigasi Semak/Belukar Tubuh Air Jumlah
Tahun 2010
15.635 6.694 165 249 10.880 164 1.462 9.938 1.239 23.463 14.873 717 85.479
Skenario Fungsi Kawasan 39.675 249 5.580 164 1.462 10.142 1.239 26.251 717 85.479
Perubahan
24.040 -6.694 -165 -5.300 205 2.788 -14.873 0
Hasil analisis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi terhadap karakteristik tanah, lereng dan curah hujan Sub DAS Cisadane Hulu diperoleh 5 fungsi kawasan, yaitu kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan budidaya tanaman tahunan, kawasan budidaya tanaman semusim, dan kawasan budidaya tanaman semusim/permukiman. Kawasan yang paling luas areanya adalah kawasan budidaya tanaman semusim menempati 36,7 % daerah kajian atau sekitar 31.377 ha. Kemudian berturut-turut terluas ke-dua dan seterusnya adalah kawasan lindung 35,47% (30.351 ha), kawasan penyangga 26,0% (22.203 ha), dan yang paling kecil areanya adalah kawasan budidaya tanaman tahunan 1.80% (1.548 ha). Area hutan di dalam Skenario Fungsi Kawasan jika dibandingkan pada tahun 2010 mengalami penambahan luas 24.040 ha. Penambahan luas hutan tersebut mencakup di dalam kawasan lindung maupun kawasan penyangga. Penggunaan lahan lainnya yang mengalami penambahan area yaitu sawah irigasi seluas 2.788 ha dan permukiman jarang 205 ha. Penambahan area tersebut berasal
71
64
71
71
Gambar 14 Peta penggunaan lahan menurut Skenario Fungsi Kawasan.
72 dari penggunaan lahan semak belukar 14.873 ha, ladang 6.694 ha, perkebunan campuran 5.300 ha dan lahan terbuka seluas 165 ha. Hasil kinerja Sub DAS Cisadane Hulu dengan menerapkan Skenario Fungsi Kawasan secara umum termasuk Baik. Nilai IPL, jika dibandingkan dengan Skenario Aktual, mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya areal vegetasi berupa hutan dan perkebunan campuran. Akan tetapi nilai IPL 0,49 tersebut masih termasuk tingkat Sedang, sama dengan Skenario Aktual. Nilai parameter C mengalami penurunan, berarti secara kuantitas air hujan yang menjadi aliran permukaannya jumlahnya berkurang. Tabel 18 Kinerja DAS berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan Kriteria
Indikator
A. Kuantitas 1. Penutupan oleh Air vegetasi 2. Koefisien Limpasan (C) B. Kualitas 3. Indeks Bahaya Air Erosi (IBE) 4. Kandungan Pencemar
Parameter
Skor
Standar
IPL
= 0,49
2
Sedang
C
= 0,19
1
Baik
1
Baik
IBE = 0,87 S = 375,03 mg/l
2
Sedang
Jumlah
6
Baik
Nilai IBE hasil simulasi lebih kecil dari 1 yaitu sebesar 0,87, sehingga tergolong Baik. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa skenario Fungsi Kawasan menghasilkan erosi yang masih diperbolehkan.
Hal ini disebabkan oleh
bertambahnya luas lahan hutan dan kebun campuran, serta berkurangnya lahan ladang dan lahan terbuka. Kondisi tersebut dapat dicapai dengan syarat dilakukan perbaikan teknik konservasi lahan pertanian pada tingkat yang baik. Rendahnya nilai IBE menyebabkan kadar sedimen dalam aliran permukaan juga menurun, meskipun kelasnya masih tergolong Sedang. 5.3.5 Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Terbaik. Penentuan skenario terbaik dilakukan dengan memilih skenario yang mempunyai kinerja Baik. Hasil analisis di atas menghasilkan 2 skenario yang
73 mempunyai kinerja Baik, yaitu skenario Kemampuan Lahan dan Fungsi Kawasan. Untuk memilih skenario yang terbaik maka metode yang digunakan adalah dengan membandingkan parameter secara berpasangan.
Tabel 19 Perbandingan nilai parameter kinerja DAS berdasarkan 4 skenario Skenario
IPL
Aktual RTRW Kemampuan Lahan Fungsi Kawasan
0.33 0.46
S k Koef C o r 2 0.277 2 0.207
S k IBE o r 2 5.22 1 0.97
S k Sedimen o (mg/l) r 3 653.21 1 562.03
S k Jml o Skor r 3 10 3 7
0.44
2
0.193
1 0.90
1
377.61
2
6
Baik
0.49
2
0.191
1 0.87
1
375.03
2
6
Baik
Kinerja Buruk Sedang
Berdasarkan parameter IPL, nilai yang lebih tinggi dimiliki oleh Skenario Fungsi Kawasan dengan nilai 0,49. C-nya, skenario Fungsi Kawasan memiliki nilai yang lebih rendah (baik untuk konservasi sumberdaya air) yaitu 0,191 dibanding skenario Kemampuan Lahan yang bernilai 0,193. Pola perbandingan yang sama juga terjadi pada nilai parameter IBE dan kadar sedimen. Skenario Fungsi Kawasan mempunyai nilai kedua parameter tersebut lebih baik, masingmasing yaitu 0,87 dan 375,03 mg/l, sedangkan skenario Kemampuan Lahan mempunyai nilai kedua parameter yang lebih tinggi (buruk) yaitu 0,90 dan 377,61 mg/l). Dengan demikian maka skenario Fungsi Kawasan merupakan yang terbaik dibanding skenario lainnya. Skenario Fungsi kawasan menjadi yang terbaik disebabkan juga oleh hirarki pembagian fungsi kawasannya yang lebih detil. Skenario tersebut membagi wilayah kajian menjadi 4 kawasan berdasarkan fungsinya yaitu Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga, Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan dan Kawasan Budidaya Tanaman Semusim. Sistem pembagian tersebut memunculkan satuan-satuan lahan yang mungkin tergeneralisasi pada sistem yang kurang detil seperti yang digunakan oleh RTRW.
74 5.3.6 Arahan Penggunaan Lahan Terhadap Sub-sub DAS Hasil skenario terbaik di atas kemudian disimulasikan terhadap setiap sub-sub DAS untuk melihat kinerja masing-masing
sub-sub DAS tersebut.
Caranya dengan menghitung 4 parameter kinerja yaitu IPL, koefisiean C, IBE, dan kadar sedimen dengan data penggunaan lahan hasil skenario Fungsis Kawasan tersebut pada setiap sub-sub DAS. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan kinerja sub-sub DAS pada tahun 2010 sebagai dasar evaluasi arahan penggunaan lahan yang terbaik pada masing-masing sub-sub DAS tersebut. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui arahan penggunaan lahan apa saja yang harus dilakukan dan lokasinya di sub-sub DAS mana saja. Kinerja sub-sub DAS berbasis konservasi sumber daya air terbaik hasil analisis tersebut disajikan pada Gambar 15, sedangkan nilai parameternya ditunjukkan oleh Tabel 20. Tabel 20 Nilai-nilai parameter dan kinerja Sub-sub DAS Cisadane Hulu Berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan
No Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama Sub-sub DAS Cisadane2 Leuwilisung Cijawung Cikaniki1 Cinagara Cisadane1 Cikereteg Cimande Cikuluwung Cikaniki4 Cianten1 Cikamaung Cikaniki3 Cisadane3 Citeureup Citeras Cisarua
IPL 65.42 37.11 56.28 92.21 64.48 80.55 54.21 58.40 71.56 56.60 85.57 57.05 56.87 45.90 66.81 66.28 64.10
S S k Koef k o C o r r 2 0.32 2 2 0.25 2 2 0.24 1 1 0.18 1 2 0.18 1 1 0.17 1 2 0.20 1 2 0.19 1 2 0.23 1 2 0.23 1 1 0.22 1 2 0.23 1 2 0.23 1 2 0.24 1 2 0.22 1 2 0.23 1 2 0.22 1
IBE 0.32 0.26 0.23 0.61 0.16 0.26 0.22 0.25 0.17 0.23 0.24 0.82 0.43 0.24 0.78 0.44 0.62
S S k Sedimen k Jml Kinerja o (mg/l) o r r 1 189.20 2 7 Sedang 1 63.25 2 7 Sedang 1 48.16 1 5 Baik 1 62.02 2 5 Baik 1 67.42 2 6 Baik 1 77.01 2 5 Baik 1 89.75 2 6 Baik 1 93.09 2 6 Baik 1 43.89 1 5 Baik 1 61.68 2 6 Baik 1 54.39 2 5 Baik 1 140.13 2 6 Baik 1 82.93 2 6 Baik 1 67.48 2 6 Baik 1 100.60 2 6 Baik 1 78.12 2 6 Baik 1 90.63 2 6 Baik
75 Tabel 20 (lanjutan) 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Cihaniwung
36.78 41.63 Cisadenggirang Cigamea 49.13 Cipalasari 51.61 Cijeruk 49.58 Cigenteng 12.77 Legokmuncang 21.12 Cianten3 22.58 Cipaku 18.70 Cigombong 33.50 Cimapag 33.09 Ciampea 38.48 Cianten2 54.47 Cikaniki2 38.38 Cisaru 33.69 Ciapus 36.35 Cihideung1 33.37 42.09 Cipinanggading Cipuraseda 72.91 Cijambu 33.97 Cihideung2 71.56 Cikuda 49.59 Cikompeni 20.37 Ciaruteun 20.92 Cinangneng 24.62 Cileungsir 37.27 Cihamboro 29.92
2 2 2 2 2 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 2 2
0.25 0.24 0.26 0.19 0.20 0.23 0.22 0.26 0.29 0.28 0.25 0.24 0.25 0.24 0.25 0.25 0.25 0.24 0.21 0.26 0.24 0.27 0.26 0.26 0.25 0.28 0.25
2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2
0.43 0.55 0.30 0.23 0.24 0.29 0.09 0.26 0.29 0.34 0.36 0.29 0.25 0.54 0.58 0.24 0.30 0.24 0.72 0.41 0.36 0.38 0.23 0.22 0.31 0.35 0.51
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
82.42 86.60 68.75 67.35 73.93 92.92 50.39 105.82 144.83 95.93 76.72 110.36 64.85 104.44 109.23 152.59 119.99 109.84 107.79 88.67 82.91 96.25 103.76 94.84 101.3 93.12 91.13
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
7 6 7 6 6 7 7 8 8 7 7 7 7 7 7 7 7 6 6 7 7 7 8 8 8 7 7
Sedang Baik Sedang Baik Baik Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Baik Baik Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Berdasarkan Tabel 20 di atas, diperoleh sebanyak 20 sub-sub DAS berkinerja Baik dan 24 sub-sub DAS berkinerja Sedang dan tidak ada sub-sub DAS yang berkinerja Buruk. Sebanyak 42 sub-sub DAS mengalami peningkatan kinerja dengan rincian 22 sub-sub DAS berkinerja Buruk menjadi Sedang, 14 subsub DAS berkinerja Buruk menjadi Baik dan 6 sub-sub DAS berkinerja Sedang menjadi Baik. Terdapat 2 sub-sub DAS yang tetap mempunyai kinerja Sedang meskipun telah diterapkan skenario penggunaan lahan terbaik.
76 Hasil tersebut memberikan penjelasan bahwa komposisi penggunaan lahan berdasarkan skenario Fungsi Kawasan dapat digunakan sebagai arahan penggunaan lahan pada tingkat sub-sub DAS. Arahan penggunaan lahan tersebut diterapkan pada sub-sub DAS yang masih dapat diubah penggunaan lahannya sehingga menghasilkan respon hidrologis yang lebih baik. Sub-sub DAS tersebut adalah sub-sub DAS yang mengalami peningkatan kinerja, seperti yang ditunjukkan oleh 42 sub-sub DAS tersebut di atas. Arahan memberikan
penggunaan
lahan
menurut
skenario
Fungsi
Kawasan
peningkatan yang sangat baik pada 14 sub-sub DAS karena
meningkatkan kinerjanya dari Buruk menjadi Baik. Sub-sub DAS tersebut harus menjadi prioritas dalam penataan penggunaan lahannya, karena kondisi kinerjanya saat ini sudah buruk, namun potensi untuk menjadi Baik sangat besar. Sub-sub DAS tersebut adalah Cikuluwung, Cikaniki4, Cianten1, Cikamaung, Cikaniki3, Cisadane3, Citeureup, Citeras, Cisarua, Cisadenggirang, Cipalasari, Cijeruk, Cipinanggading, Cipuraseda. Peningkatan kinerja tersebut ditunjukkan oleh meningkatnya nilai parameter IPL dan menurunnya 3 nilai parameter lainnya. Nilai-nilai IPL yang semula berkisar antara 7,24 – 60,16 meningkat menjadi 41,63-85,57 disebabkan oleh bertambahnya penggunaan lahan hutan dan perkebunan campuran yang cukup luas. Sub-sub DAS tersebut umumnya terletak di bagian barat daerah kajian dan sebagian besar berada pada Kawasan Lindung dan Kawasan Penyangga (Arahan). Sebanyak 22 sub-sub DAS meningkat kinerjanya dari Buruk menjadi Sedang.
Arahan penggunaan lahan menurut skenario
Fungsi Kawasan
memberikan peningkatan nilai IPL, dari semula berkisar antara 1,09-32,29 menjadi 12,78 – 71,56. Peningkatan nilai IPL tersebut kemudian diikuti oleh menurunnya nilai-nilai 3 parameter yang lain. Sub-sub DAS ini umumnya terletak di bagian tengah daerah kajian dan mempunyai hulu pada Gunung Salak. Peningkatan kinerja yang hanya mencapai kelas Sedang kemungkinan disebabkan oleh banyaknya penggunaan lahan di bagian hilir yang mempunyai nilai CN yang tinggi seperti sawah dan permukiman.
64
77
77
77
Gambar 15 Peta kinerja sub-sub DAS berdasarkan arahan penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu.
78 Sub-sub DAS tersebut
yaitu Cihaniwung, Cigamea, Cigenteng,
Legokmuncang, Cianten3, Cipaku, Cigombong, Cimapag, Ciampea, Cianten2, Cikaniki2, Cisaru, Cihideung1, Cijambu, Cihideung2, Cikuda, Cikompeni, Ciaruteun, Cinangneng, Cileungsir, dan Cihamboro. Sub-sub DAS tersebut dapat dikelompokkan ke dalam sub-sub DAS prioritas 2, karena kondisinya sekarang sudah buruk dan masih berpotensi menjadi lebih baik meskipun hanya sampai kelas kinerja Sedang. Sub-sub DAS yang mengalami peningkatan kinerja dari Sedang menjadi Baik terjadi pada 6 sub-sub DAS yaitu: Cijawung, Cikaniki1, Cinagara, Cisadane1, Cikereteg dan Cimande. Arahan penggunaan lahan terbaik memberikan sumbangan terhadap meningkatnya luas vegetasi yang sifatnya permanen, sehingga nilai IPL meningkat dari kisaran 39,72-75,22 menjadi 54,2192,21. Arahan penggunaan lahan tersebut juga menurunkan nilai-nilai parameter C, IBE dan kadar sedimen. Umumnya sub-sub DAS tersebut berada pada lereng Gunung Pangrango. Sub-sub DAS tersebut dikelompokkan ke dalam sub-sub DAS prioritas ke 3, hal ini disebabkan oleh kondisi kinerjanya sekarang sudah Sedang, namun masih dapat ditingkatkan menjadi Baik. Adapun sub-sub DAS yang tidak berubah kinerjanya ada 2 sub-sub DAS yaitu Cisadane2, dan Leuwilisung. Sub-sub DAS tersebut tetap berkinerja Sedang meskipun nilai IPL meningkat dan C, IBE, serta kadar sedimen menurun, tetapi perubahan nilai tersebut cukup kecil sehingga kelas kinerjanya tidak berubah. Dengan demikian ke dua sub-sub DAS tersebut bukan merupakan sasaran arahan penggunaan lahan yang efektif. Pengelompokan prioritas
sub-sub DAS
hanya didasarkan pada
kondisinya saat ini dan potensinya untuk berubah setelah diterapkan alokasi penggunaan lahan menurut Fungsi Kawasan. Prirotas penanganan sub-sub DAS dapat juga didasarkan atas posisinya terhadap sub-sub DAS lainnya. Sub-sub DAS yang berada di bagian hulu mempunyai prioritas yang lebih tinggi dibanding di bagian hilir. Hal ini disebabkan karena sub-sub DAS bagian hilir diprioritaskan untuk daerah pemanfaatan untuk aktifitas masyrakat yang sangat intensif seperti permukiman, perdagangan, jasa dan lain sebagainya.
79
64
79
79
Gambar 16 Peta arahan penggunaan lahan pada sub-sub DAS Cisadane Hulu
80 Apabila skenario terbaik diterapkan pada sub-sub DAS, maka seluruh sub-sub DAS akan mengalami perubahan penggunaan lahan karena arahan tersebut. Lima bentuk arahan penggunaan lahan dengan luas tertinggi adalah semak/belukar diarahkan ke hutan, ladang diarahkan ke hutan, perkebunan campuran ke hutan, semak/belukar ke sawah, ladang ke sawah. Semak/belukar yang diarahkan menjadi hutan paling luas terdapat di sub-sub DAS Cianten1 yaitu seluas 1.424 ha, ladang ke hutan terluas di sub-sub DAS Cigombong yaitu seluas 495 ha, perkebunan campuran ke hutan terluas di sub-sub DAS Ciapus seluas 335 ha, semak/belukar ke sawah terdapat di sub-sub DAS Cipinanggading yaitu seluas 252 ha, dan ladang ke sawah terdapat di sub-sub DAS Cigombong yaitu seluas 21 ha. Lima sub-sub DAS yang paling luas karena arahan penggunaan lahan berdasarkan skenario terbaik berturut-turut adalah Ciapus dengan luas perubahan penggunaan lahan 1.744 ha, Cianten1 1.630 ha, Cipuraseda 1.448 ha, Cikaniki1 1.365 ha dan Cisadane1 1.280 ha. (Tabel selengkapnya tersaji dalam Lampiran 10). 5.3.7 Evaluasi Arahan Pola Ruang RTRW Analisis ini dimaksudkan untuk mengevaluasi pola ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW di daerah penelitian. Arahan pola ruang tersebut diperoleh dengan menumpangsusunkan antara peta pola ruang RTRW dan peta skenario Fungsi Kawasan. Hasilnya berupa peta dan tabel yang masing-masing disajikan pada Gambar 17 dan Tabel 21. Berdasarkan Tabel 21, luas arahan Kawasan Fungsi Lindung di Sub DAS Cisadane Hulu lebih besar 4.845 ha dibanding Kawasan Lindung RTRW. Selisih tersebut merupakan penambahan daerah-daearah yang merupakan kawasan lindung yaitu daerah yang mempunyai skor kemampuan lahannya di atas 175 namun berada di luar Kawasan Lindung RTRW, daerah di sekitar sungai/danau berjarak 50-100 m, dan daerah dengan tanah regosol dan renzina.
81 Tabel 21 Luas arahan pola ruang kawasan dan peruntukannya Kawasan / Penggunaan Lahan Kawasan Lindung Hutan Lindung Kawasan Penyangga Hutan Produksi Perkebunan Campuran Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Permukiman Kawasan Perkebunan Kawasan Industri Sungai / Danau
RTRW (ha) 26.539 26.539 957 957 57.983 10.907 18.649 1.138 24.467
Arahan (ha) 31.384 31.384 25.337 21.237 4.100 28.758 5.007 20.488 2.546
2.086 19 717
717
Selisih (ha) 4.845 4.845 20.280 -4.100 -29.225 -5.900 1.839 -1.138 -21.921 2.086 -19 0
Jumlah 85.479 85.479 0 - nilai tersebut merupakan luas penggunaan lahan menurut peruntukan tanpa memperhitungkan penggunaan lahan yang sudah ada di dalamnya. Arahan pola ruang merekomendasikan adanya kawasan penyangga. Kawasan penyangga menjadi penting karena membantu fungsi kawasan lindung secara hidrologis yaitu dengan menjadi daerah resapan air, selain itu kawasan penyangga diharapkan memperkecil tekanan perubahan penggunaan lahan. Arahan terhadap kawasan penyangga ditujukan untuk memperluas kawasan vegetasi permanen untuk meningkatkan nilai IPL. Kawasan penyangga pada arahan pola ruang mampu menambah luas kawasan untuk hutan produksi sebesar 20.280 ha serta mempertahankan perkebunan campuran seluas 4.100 ha.
78
82 82
Gambar 17 Peta arahan pola ruang kawasan terhadap pola ruang RTRW.
83 Akibat penambahan luas kawasan lindung dan penyangga, maka terjadi pengurangan luas kawasan budidaya RTRW sebesar 29.225 ha. Luasan tersebut bila dirinci lebih lanjut menurut peruntukannya adalah pertanian lahan kering berkurang 1.138 ha, perkebunan berkurang 2.086 ha, tanaman tahunan berkurang 5.900 ha, permukiman berkurang 21.921 ha, sedangkan pertanian lahan basah menjadi bertambah 1.839 ha. Adapun kawasan industri seluas 19 ha tidak ada arahan, namun karena lokasi berada pada kawasan budidaya tanaman semusim/permukiman maka kawasan industri tersebut masih bisa diperbolehkan. Kawasan sasaran dari arahan pemanfatan ruang ini pada dasarnya adalah Kawasan Fungsi Budidaya RTRW, sehingga Kawasan Fungsi Lindung RTRW yang telah ada tetap dipertahankan. Hasil analisis tumpang susun antara Fungsi Kawasan RTRW dan Fungsi Kawasan Arahan menunjukkan adanya Kawasan Fungsi Lindung (RTRW) yang diarahkan menjadi Kawasan Fungsi Budidaya dan Kawasan Fungsi Penyangga (Arahan). Oleh sebab itu daerah tumpang tindih tersebut dikembalikan fungsinya ke Kawasan Fungsi Lindung (RTRW). Luas daerahnya kurang lebih 10.541 ha yang terdiri dari 9.711 ha merupakan Kawasan Fungsi Penyangga (Arahan), 699 ha adalah Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan (Arahan) dan 131 ha adalah Kawasan Budidaya Tanaman Semusim (Arahan).
5.4
Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Alokasi Lahan Di Sub DAS Cisadane Hulu. Pendapat dari pemangku kepentingan yang diperoleh dari data kuesioner
dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama yang berisi tentang arti penting DAS sebagai dasar dalam perencanaan tata ruang. Bagian kedua berisi tentang pilihan penggunaan lahan oleh para pemangku kepentingan pada setiap fungsi kawasan.
5.4.1 Arti Penting DAS dalam Perencanaan Penggunaan Lahan. DAS dapat dibagi menjadi 3 bagian menurut fungsinya. Bagian hulu berfungsi sebagai daerah konservasi, bagian hilir berfungsi sebagai daerah pemanfaatan, sedangkan bagian tengah sebagai daerah peralihan antara daerah konservasi dengan daerah pemanfaatan. Daerah hulu dicirikan dengan ketinggian rata-rata lebih tinggi dibanding daerah lainnya, topografi bergelombang hingga
84 bergunung, kerapatan drainase relatif tinggi, daerah sumber air permukaan dan sedimen bagi daerah hilir. Oleh sebab itu bagian hulu berfungsi sebagai daerah konservasi untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa, selain berfungsi ekologi, para pemangku kepentingan berpendapat bahwa bagian hulu juga harus dikembangkan fungsi ekonomi dan sosialnya dalam rangka pengembangan wilayah. Hal ini karena di dalamnya juga banyak terdapat penduduk yang sebagian besar bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya. Fungsi ekonomi dikembangkan karena masyarakat setempat sebagian besar bekerja sebagai petani. Pendapatan utama mereka adalah dari hasil menggarap lahan di sekitar tempat tinggalnya. Pengembangan fungsi sosial DAS bagian hulu dilakukan untuk memberikan keadilan dan kesetaraan akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Banyaknya tenaga kerja yang dapat diserap dari berbagai penggunaan lahan serta tingkat kemampuan masyarakat untuk dapat memperoleh manfaat dari sumber daya alam merupakan indikator penting dalam melihat fungsi sosial DAS. Fungsi sosial DAS harus dikembangkan untuk menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi. Para pemangku kepentingan seluruhnya sepakat bahwa tata ruang wilayah-wilayah
adminsitrasi
yang
berada
dalam
satu
DAS
harus
mempertimbangkan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem. Mereka berpendapat bahwa meskipun batas DAS dan batas wilayah administrasi tidak berhimpitan namun perbedaan tersebut tidak perlu dipertentangkan. Justru atas dasar satuan wilayah fungsional DAS tersebut maka keterkaitan antar wilayah administrasi dapat terhubung secara serasi melalui jalinan daur hidrologi. Penggunaan DAS sebagai satuan wilayah pengelolaan adalah untuk memberikan pemahaman secara rasional dan obyektif bahwa setiap kegiatan yang dilakukan di suatu tempat di bagian hulu DAS memiliki dampak di tempat lain di bagian hilir DAS, atau sebaliknya bahwa pemanfaatan sumber daya alam di bagian hilir merupakan hasil dari daerah hulu yang secara adminsitrasi berbeda wilayah pengelolaannya.
85
5.4.2 Prioritas Penggunaan Lahan oleh Pemangku Kepentingan. Untuk melihat prioritas berbagai pemangku kepentingan terhadap penggunaan lahan berdasarkan skor ketiga aspek ekonomi, sosial dan ekologi, maka perlu penggalian data atau informasi dari berbagai pemangku kepentingan dalam penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu. Informasi tersebut dianalisis untuk mendapatkan gambaran tentang pendapat para pemangku kepentingan tentang penggunaan lahan yang berpeluang dapat diterapkan atau menjadi masukan bagi arahan penggunaan lahan di lokasi kajian. Prioritas penggunaan lahan oleh pemangku kepentingan dianalisis dengan metode AHP. Dalam penyusunan hirarkinya, tujuan utama adalah mendapatkan urutan pilihan jenis penggunaan lahan menurut para pemangku kepentingan di kawasan penyangga dan kawasan budidaya. Kriteria-kriteria yang dipertimbangkan dalam penetapan prioritas penggunaan lahan menggunakan pendekatan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu kriteria ekonomi, sosial, ekologi. a. Kriteria Ekonomi Kriteria ekonomi berkaitan dengan keuntungan secara finansial yang diperoleh baik oleh masyarakat petani maupun pihak lain yang terkait. Beberapa sub-kriteria yang yang termasuk dalam kriteria ini yaitu: 1. Peluang Pasar. Sub-kriteria Peluang Pasar dimaksudkan untuk melihat tingkat kemampuan pasar menyerap hasil produksi dari setiap penggunaan lahan. Hasil-hasil produksi dari setiap penggunaan lahan didasarkan pada komoditas pertanian yang dominan ada di daerah penelitian. Hutan diasumsikan menghasilkan kayu-kayuan, kebun campuran menghasilkan kayu-kayuan, buah-buahan, dan
bunga-bungaan,
sawah
menghasilkan
padi,
adapun
ladang
menghasilkan tanaman lahan kering semusim seperti singkong, jagung dan kacang-kacangan. 2. Pendapatan. Sub-kriteria Pendapatan dimaksudkan untuk melihat keuntungan finansial sebagai sumber pendapatan utama ataupun tambahan yang diperoleh
86 masyarakat dari hasil budidaya pertanian pada masing-masing penggunaan lahan. Sebagian besar masyarakat menjadikan lahan pertanian sebagai mata pencaharian utama, sehingga kriteria pendapatan menjadi penting sebagai indikator ekonomi. b. Kriteria Sosial Kriteria Sosial berkaitan dengan proses pertumbuhan sosial yang sehat dan kemampuan masyarakat dalam mengakses sumber daya lahan. Beberapa sub-kriteria yang yang termasuk dalam kriteria ini yaitu: 1. Tenaga Kerja Sub-kriteria Tenaga Kerja digunakan untuk menunjukkan besarnya tenaga kerja yang dapat diserap dalam budidaya pertanian pada setiap penggunaan lahan. Bentuk-bentuk penggunaan lahan yang ada umumnya menyerap tenaga kerja dari keluarga penggarap lahan atau warga disekitarnya. 2. Penguasaan Teknik Budidaya Sub-kriteria Penguasaan Teknik Budidaya digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan teknik budidaya oleh petani terhadap penggunaan lahan tertentu. Masyarakat umumnya mempunyai kemampuan teknik budidaya yang cukup baik yang diperoleh secara turun-temurun atau pengalaman, disamping pengetahuan yang diberikan oleh pihak pemerintah ataupun swasta. c. Kriteria Ekologi Kriteria Ekologi berkaitan dengan kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dan nilai konservasi suatu penggunaan lahan terhadap kelestarian sumberdaya alam. Beberapa sub-kriteria yang yang termasuk dalam aspek ini yaitu: 1. Kesesuaian Lahan Sub-kriteria Kesesuaian Lahan penggunaan
digunakan untuk mengetahui pemilihan
lahan kaitannya dengan karakteristik
lahannya.
Hasil
pengamatan di lapangan banyak ditemukan bentuk penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristiknya.
87 2. Konservasi Sumberdaya Air. Sub-kriteria Konservasi Sumberdaya Air digunakan untuk melihat sejauh mana konservasi sumberdaya air menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan penggunaan lahan oleh pemangku kepentingan. Konservasi sumberdaya air menjadi penting karena daerah ini merupakan bagian hulu DAS. Alternatif pilihan dalam hirarki dipilih 4 jenis penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, dan ladang. Pemilihan penggunaan lahan alternatif tersebut didasarkan atas kemampuan lahan dan jenis penggunaan lahan yang banyak terdapat di daerah kajian.
5.4.2.1 Kawasan Penyangga. Hasil analisis untuk kawasan penyangga, kriteria Ekologi mempunyai nilai preferensi tertinggi yaitu 0,352 disusul kemudian Ekonomi (0,331) dan Sosial (0,317) dalam memilih penggunaan lahan. Hasil ini menunjukkan bahwa kawasan penyangga masih dianggap sebagai daerah yang membantu fungsi kawasan lindung. Sumber daya alam yang ada pada kawasan penyangga dipandang sebagai alat yang berfungsi melindungi kawasan lindung dari tekanan berbagai kepentingan dan melindungi bagian hilirnya. Lahan yang diusahakan oleh masyarakat diarahkan terutama untuk memberikan nilai keberlanjutan ekologi. Setelah itu kawasan penyangga baru diprioritaskan ini sebagai daerah yang berfungsi ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih mengharapkan adanya manfaat ekonomi dari kawasan penyangga tersebut. Selanjutnya, kriteria sosial masyarakat menjadi pertimbangan terakhir dalam pemilihan suatu penggunaan lahan. Hirarkhi selengkapnya hasil analisis AHP disajikan pada Gambar 18. Tingkat preferensi di atas diperjelas oleh hasil analisis persepsi masyarakat pada tingkat 3, yaitu pada urutan preferensi sub-sub kriteria. Sub kriteria Konservasi Sumber Daya Air (KSA) mempunyai skor tertinggi yaitu 0,183, kemudian di bawahnya sub kriteria Peluang Pasar (PP) dengan skor 0,177. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan di kawasan penyangga masih berorientasi kepada aspek ekologi kemudian aspek ekonomi. Mereka berpendapat
88 bahwa pertimbangan utama dalam pemilihan penggunaan lahan di kawasan ini harus memberikan kontribusi terhadap konservasi sumberdaya air. Prioritas tersebut menunjukkan bahwa masih tingginya kesadaran masyarakat untuk memfungsikan kawasan penyangga sebagai daerah konservasi sumber daya air dalam membantu fungsi kawasan lindung. Setelah itu, baru mempertimbangkan faktor ekonomi yaitu besarnya peluang pemasaran produk-produk dari penggunaan lahan yang diusahakan. Penggunaan lahan yang produknya mempunyai peluang pasar yang luas akan menjadi pilihan.
Penggunaan Lahan Optimal
Tujuan
Kriteria
SubKriteria
Ekonomi (0,331)
Peluang Pasar (0,177)
Pendapatan (0,154)
Hutan
Alternatif Keputusan
(0,227)
Sosial (0,317)
Tenaga Kerja
(0,150)
Kebun Campuran (0,274)
Ekologi (0,352)
Penguasaan Teknik Budidaya (0,167)
Kesesuaian Lahan (0,168)
Konservasi SD Air (0,183)
Sawah
Ladang
(0,236)
(0,197)
Gambar 18 Hasil analisis hirarki persepsi pemangku kepentingan terhadap penggunaan lahan di kawasan penyangga. Skor sub kriteria Kesesuaian Lahan (KL) menempati peringkat ke 3 dengan nilai 0,168, hampir sama dengan skor Penguasaan Teknik Budidaya (PTB) menempati peringkat ke 4 dengan nilai 0,167. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam pemilihan penggunaan lahan di kawasan penyangga, masyarakat memberikan pertimbangan yang sama pentingnya terhadap kesesuaian antara jenis penggunaan
89 lahan dengan karakteristik lahannya dan kemampuan masyarakat dalam teknik budidayanya. Kawasan penyangga pada umumnya merupakan daerah yang mempunyai keterbatasan dalam salah satu atau beberapa karakteristik lahannya, seperti lerengnya yang terjal – sangat terjal, jenis tanahnya mudah tererosi, atau intensitas hujan yang cukup tinggi. Dengan demikian maka pemilihan penggunaan lahan harus sesuai dengan karakteristik lahannya. Sub-kriteria banyaknya tenaga kerja yang dapat diserap (TK), dan sumber pendapatan (SP) kurang menjadi pertimbangan oleh masyarakat dalam pemilihan jenis penggunaan lahan di kawasan penyangga. Hal ini terlihat dari nilai skornya berada pada urutan 2 terendah yaitu 0,154 (SP) dan 0,150 (TK). Kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tidak memprioritaskan produk-produk penggunaan lahan yang ada sebagai sumber pendapatan masyarakat atau sebagai tempat penyerap tenaga kerja yang banyak. Nilai SP lebih kecil dari PP, disebabkan oleh keyakinan masyarakat bahwa tingkat peluang pasar akan diikuti oleh tingkat pendapatan masyarakat. Semakin luas peluang pasar maka pendapatan masyarakat juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Hasil analisis prioritas penggunaan lahan menurut preferensi responden di Sub DAS Cisadane Hulu menempatkan Kebun Campuran sebagai prioritas pertama dengan skor 0,274. Umumnya responden beralasan bahwa penggunaan lahan kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang dapat memberikan pengaruh positif dari sisi ekologi dalam meningkatkan fungsi konservasi sumberdaya air, namun di sisi lain kebun campuran juga dapat memberikan efek ekonomi yang cukup tinggi. Sawah mempunyai preferensi tertinggi kedua dengan skor 0,236. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai harapan yang tinggi dari kawasan penyangga untuk meningkatkan perekonomian. Senada dengan hasil tersebut, Listyarini et al. (2011) dalam penelitiannya dengan metode SWOT, menghasilkan bahwa kawasan penyangga sebaiknya selain berfungsi ekologi juga berfungsi ekonomi. Penggunaan lahan hutan, meskipun memberikan nilai konservasi yang tinggi terhadap lingkungan tetapi masyarakat kurang dapat mengambil keuntungan dari sisi ekonomi. Oleh sebab itu penggunaan lahan hutan skornya lebih rendah dan berada pada prioritas ketiga dengan skor 0,227. Pengunaan lahan
90 ladang menjadi prioritas terakhir dengan skor 0,197. Hal ini disebabkan karena persepsi responden yang menyatakan bahwa ladang menghasilkan aliran permukaan dan erosi yang paling tinggi, sehingga tidak sesuai jika diterapkan di kawasan penyangga. Sesuai dengan kondisi tersebut, Arini et al. (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa skenario penggunaan lahan pertanian lahan kering termasuk perkebunan menghasilkan nilai rata-rata kehilangan tanah yang cukup tinggi dibandingkan kondisi aktual.
5.4.2.2 Kawasan Budidaya. Persepsi berbagai pemangku kepentingan terkait penggunaan lahan di kawasan budidaya menempatkan kriteria ekonomi berada pada prioritas tertinggi. Hasil analisis menunjukkan skor ekonomi, sosial dan ekologi berturut-turut adalah 0,357; 0,331; dan 0,312. Kriteria ekonomi menjadi prioritas utama karena kawasan budidaya ini memang diperuntukkan bagi penggunaan lahan yang dapat meningkatkan perekonomian khususnya masyarakat setempat. Masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di kawasan ini semaksimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan secara finansial seperti menghasilkan produk-produk dari penggunaan lahan untuk dipasarkan sehingga meningkatkan pendapatannya. Setelah mempertimbangkan faktor ekonominya, mereka berpendapat bahwa prioritas kedua yang harus dipertimbangkan adalah faktor sosial. Faktor sosial menjadi penting karena penggunaan lahan di kawasan budidaya sangat erat kaitannya dengan sumber daya manusia seperti banyaknya tersedia tenaga kerja dan kemampuan teknik yang dimiliki masyarakat dalam mengelola lahan. Faktor lingkungan menjadi pertimbangan terakhir, karena fungsi konservasi terhadap lingkungan menurut mereka telah dipenuhi oleh kawasan lindung dan kawasan penyangga. Berdasarkan analisis pada tingkat 3, sub kriteria Peluang Pasar menjadi prioritas utama dalam pemilihan penggunaan lahan yang ditunjukkan dengan skor tertinggi yaitu 0,181. Sub kriteria ini lebih tinggi dibanding Sumber Pendapatan yang berada pada prioritas kedua dengan skor 0,175, karena responden umumnya berpendapat bahwa jika peluang pasarnya tinggi maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan. Skor kedua sub kriteria yang berada pada urutan 2
91 teratas memperkuat hasil analasis pada tingkat 2 bahwa kawasan budidaya harus dimanfaatkan bagi peningkatan perekonomian masyarakat. Skor sub kriteria Sumber Pendapatan hampir sama dengan Tenaga Kerja (skor 0,175). Hal ini menunjukkan persepsi masyarakat dalam pemilihan penggunaan lahan, antara manfaat sebagai sumber pendapatan dan manfaat dalam menyerap tenaga kerja menjadi prioritas yang sama. Hal ini disebabkan oleh jumlah tenaga kerja di kawasan ini cukup banyak.
Penggunaan Lahan Optimal
Tujuan
Ekonomi (0,357)
Kriteria
Peluang Pasar (0,181)
SubKriteria
Alternatif Keputusan
Sosial (0,331)
Pendapatan (0,175)
Tenaga Kerja (0,175)
Hutan
Kebun Campuran (0,244)
(0,205)
Ekologi (0,312)
Penguasaan Teknik Budidaya (0,157)
Kesesuaian Lahan (0,159)
Konservasi SD Air (0,153)
Sawah
Ladang
(0,247)
(0,226)
Gambar 19 Hasil analisis hirarki persepsi pemangku kepentingan terhadap penggunaan lahan di kawasan budidaya. Sub-kriteria Kesesuaian Lahan dengan skor 0,159 menjadi pertimbangan berikutnya, setelah itu Teknik Penguasaan Budidaya (skor 0,157). Responden berpendapat bahwa pemilihan penggunaan lahan harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknik budidaya. Penggunaan lahan yang teknik budidayanya tidak mereka kuasai tidak mereka pilih meskipun secara
92 ekonomi bernilai tinggi. Oleh sebab itu, umumnya masyarakat tidak mau beralih ke jenis budidaya lain. Hal ini juga disebabkan oleh kemampuan masyarakat dalam menguasai suatu teknik budidaya umumnya karena hasil turun temurun, sehingga mereka mempunyai teknik pengelolaan jenis penggunaan lahan yang terbatas. Sub kriteria Konservasi Sumber Daya Air, sebagai persepsi atas upaya konservasi terhadap sumber daya air mempunyai skor 0,153, sehingga menjadi prioritas terakhir dalam pertimbangan pemilihan penggunaan lahan. Berdasarkan atas peringkat kriteria dalam pemilihan penggunaan lahan, diperoleh bahwa Sawah merupakan penggunaan lahan yang paling optimal menurut persepsi berbagai pemangku kepentingan dengan skor 0,247. Menurut responden penggunaan lahan sawah memberikan nilai ekonomi dan sosial yang tinggi di kawasan budidaya. Sawah digunakan sebagai sumber pendapatan utama bagi sebagian besar masyarakat di daerah kajian. Selain itu sawah juga mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dibanding penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut didukung juga oleh kemampuan lahan di daearah ini untuk dibudidayakan bagi tanaman semusim yang intensif dan ketersediaan air yang cukup. Penggunaan lahan yang nilai preferensinya tertinggi kedua adalah Kebun Campuran yaitu sebesar 0,244. Kebun Campuran mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hasil-hasil kebun campuran yang berupa buah-buahan, kayu-kayuan dan lain sebagainya mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Kebun canpuran yang berisi berbagai macam tanaman dapat memberikan hasil yang bergilir sepanjang tahun, meskipun tidak dalam jumlah yang besar. Sesuai dengan hasil penelitian Budiningsih (2008) bahwa kebun campuran memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan tahunan masyarakat baik bagi pemilik lahan, penyewa lahan, pedagang maupun buruh. Keberadaan kebun campuran yang cukup luas di daerah kajian juga memberikan kontribusi terhadap aspek sosial dan ekologi meskipun dalam kualitas yang semakin menurun. Selanjutnya, penggunaan lahan yang mempunyai nilai preferensi urutan ketiga adalah Ladang dengan skor 0,226. Dari aspek ekonomi, hasil-hasil tanaman ladang mempunyai harga yang fluktuatif, sehingga keuntungan finansial yang diperoleh masyarakat juga tidak tetap. Dari aspek sosial tenaga kerja yang diserap
93 masih lebih rendah dibandingkan pada penggunaan lahan sawah, sedangkan dari aspek ekologi penggunaan lahan ladang menghasilkan erosi yang cukup tinggi. Penggunaan lahan hutan di kawasan budidaya mempunyai nilai preferensi paling rendah dengan nilai 0,205. Menurut responden, penggunaan lahan hutan kurang memberikan kontribusi dalam perekonomian masyarakat apalagi dalam jangka pendek. Selain itu masyarakat pada umumnya tidak mempunyai kemampuan/ teknik untuk mengelola hutan, di samping itu juga tenaga kerja yang diserap tidak banyak. Hutan hanya mempunyai preferensi yang tinggi terhadap konservasi sumber daya air.
5.5
Strategi Arahan Penggunaan lahan Arahan penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air hasil
analisis di atas dapat diterapkan di lapangan apabila terdapat kesesuaian dengan keinginan para pemangku kepentingan. Sebaliknya, kendala akan muncul ketika terdapat ketidaksesuaian antara arahan penggunaan lahan dengan keinginan pemangku kepentingan. Hasil identifikasi terhadap penggunaan lahan di setiap fungsi kawasan, diperoleh adanya ketidaksesuaian atas kedua hal tersebut, yaitu: a. Pada Kawasan Penyangga, lahan terbuka, semak/belukar, ladang diarahkan menjadi hutan, sedangkan pemangku kepentingan menginginkan perkebunan campuran. b. Pada Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan, lahan terbuka, semak/belukar, ladang diarahkan menjadi perkebunan campuran, sedangkan pemangku kepentingan menginginkan sawah. Kendala tersebut harus diatasi agar tetap mencapai tujuan dari penyusunan arahan penggunaan lahan. Tujuan dari penyusunan arahan penggunaan lahan adalah untuk mencapai tingkat konservasi sumber daya air yang setinggitingginya, namun tetap mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial. Oleh sebab itu alokasi penggunaan lahan menurut skenario Fungsi Kawasan tetap menjadi acuan dalam perencanaan penggunaan lahan agar tercapai tujuan tersebut. Berikut disajikan matriks arahan penggunaan lahan berdasarkan fungsi kawasan dan keinginan masyarakat beserta rekomendasinya.
94
94
Tabel 22 Matriks arahan penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu Fungsi Kawasan Lindung
PL 2010 Sw; Pm; Pkb; Ht
Arahan (Skenario Fungsi Kawasan) Sw; Pm; Pkb; Ht
Lt, Sbk, Ld, Kc
Ht
Sw; Pm; Pkb; Ht
Sw; Pm; Pkb; Ht
Lt, Sbk, Ld, Kc
Ht
Budidaya a. Tanaman Tahunan
Sw; Pm; Pkb; Ht; Pr Lt, Sbk, Ld, Kc
Sw; Pm; Pkb; Ht; Pr Kc
Sw
b. Tanaman Semusim
Sw; Pm; Pkb; Ht; Pr Lt, Sbk, Ld
Sw; Pm; Pkb; Ht; Pr Sw
Sw
Penyangga
94
Keterangan : Ht : hutan Kc : kebun campuran Pkb : perkebunan besar Sw : sawah
Pm Pr Sbk Lt
: permukiman : padang rumput : semak belukar : lahan terbuka
Pemangku Kepentingan Rekomendasi Ht Dipertahankan seperti kondisi aktual Disesuaikan dengan arahan yaitu sebagai hutan Kc Dipertahankan seperti kondisi aktual Disesuaikan dengan arahan yaitu sebagai hutan. Apabila penggunaan lahan aktualnya perkebunan campuran maka perlu diterapkan sistem pertanaman yang sifatnya menyerupai hutan.
Dipertahankan seperti kondisi aktual Disesuaikan dengan arahan yaitu sebagai perkebunan campuran Dipertahankan seperti kondisi aktual Disesuaikan dengan arahan yaitu sebagai sawah. Ld
: ladang
94
95 95
Berdasarkan hal tersebut, maka arahan penggunaan lahan perlu didukung dengan beberapa strategi agar tujuan konservasi sumber daya air dapat terwujud, yaitu: 1.
Perubahan dan penetapan status fungsi kawasan. Kawasan dengan fungsi utama lindung dan budidaya yang berlaku saat ini perlu direvisi. Hal ini disebabkan oleh masih terdapat daerah yang mempunyai karakteristik fisik seharusnya sebagai kawasan lindung namun dimasukkan kedalam kawasan budidaya. Beberapa kasus di mana kelompok kawasan lindung yang belum dimasukkan ke dalam RTRW yang ditemui di daerah penelitian, yaitu: kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya dan kawasan perlindungan setempat. Di samping itu juga terdapat lahan yang karakteristik fisiknya seharusnya digunakan sebagai kawasan penyangga namun dimasukkan kedalam kawasan budidaya tanaman semusim. Dari sisi hidrologi, perubahan ini harus dilakukan karena komposisi kawasan seperti pada RTRW saat ini menghasilkan kinerja sub DAS masih tergolong Sedang. Penetapan status fungsi kawasan hasil revisi juga penting dilakukan agar terdapat kepastian dari aspek hukum. Kawasan dengan status lindung dan penyangga akan terikat dengan peraturan-peraturan yang jelas mengenai pemanfaatan lahannya. Peraturan yang mengatur tentang pengelolaan kawasan lindung sudah cukup banyak dan cukup untuk dapat diterapkan agar keberlangsungan fungsi lindung dapat bermanfaat bagi masyarakat terkait dengan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Penetapan status Kawasan Lindung dan Penyangga sesuai hasil arahan yang berada di luar kawasan hutan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah baik tingkat kabupaten/kota atau provinsi. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam hal penetapan, perencanaan pemanfaatan ruang maupun pengendaliannya.
2.
Sosialisasi penggunaan lahan berbasis konservasi sumberdaya air. Pemahaman oleh masyarakat mengenai penggunaan lahan dalam mendukung konservasi sumberdaya air masih rendah. Kesadaran masyarakat
96 untuk taat dengan rencana tata ruang dalam penggunaan lahannya juga masih rendah. Hal ini terlihat dari banyaknya penggunaan lahan budidaya pada kawasan lindung, atau pada kawasan budidaya masih banyak ditemui penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya, atau tidak mengindahkan kaidah konservasi. Sosialisasi
mengenai
penggunaan
lahan
berbasis
konservasi
sumberdaya air bertujuan untuk memberikan penyadaran pada masyarakat akan pentingnya keberlanjutan ekologi di samping ekonomi dalam mengelola sumberdaya
lahannya.
Awalnya,
masyarakat
diberikan
pengetahuan
mengenai fungsi kawasan, karakteristik sumberdaya alamnya, potensi penggunaan lahan beserta nilai
positif dan negatifnya terhadap upaya
konservasi sumber daya air. Diharapkan dari pemahaman tersebut muncul kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penggunaan lahan berbasis konservasi sumberdaya air. Masyarakat juga diberikan pengetahuan tentang penggunaan lahan yang benar, yaitu yang sesuai dengan kemampuan lahannya, di samping penerapan metode-metode konservasinya. Sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti pertemuan langsung antara pemerintah dan masyarakat, atau melalui media massa. Selain masyarakat sasaran sosialisasi juga meliputi pihak swasta, instansi pemerintah dan pihak berkepentingan lainnya. Dalam proses sosialisasi, juga harus dibangun komunikasi 2 arah. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, tentu pendapat tersebut akan menjadi masukan dalam penggunaan lahan apabila tujuannya untuk mendukung upaya konservasi sumberdaya air. 3.
Pemberdayaan Masyarakat. Pada kawasan penyangga, penggunaan lahan hasil arahannya mensyaratkan bernilai ekonomi dan ekologi yang seimbang, karena kawasan penyangga ditetapkan untuk menopang keberadaan kawasan lindung agar fungsi lindungnya tetap terjaga, namun kondisi lahannya memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara ekonomis. Penggunaan lahan dengan syarat tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat dengan kesadaran dan pengetahuan yang lebih cukup di bidang ekologi dan ekonomi, karena hasilnya tidak dapat
97 dirasakan dalam jangka waktu dekat dan teknik pengelolaan lahan yang tidak sederhana. Tujuan tersebut dapat dicapai salah satunya dengan pemberdayaan masyarakat sebagai aktor yang bertindak langsung di lapangan. Tahap ini merupakan tindak lanjut dari proses sosialisasi di atas. Pemberdayaan dilakukan oleh instansi pemerintah atau non pemerintah. Caranya dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan. Setelah masyarakat mendapatkan pengetahuan yang cukup kemudian masyarakat didorong untuk menerapkannya di lapangan. Dalam penerapannya di lapangan, pemerintah perlu untuk melakukan pendampingan dan penyediaan sarana dan prasarana. Proses ini berguna salah satunya untuk mengakomodasi keinginan masyarakat yang tidak sesuai dengan arahan yang telah diperoleh. Keinginan masyarakat dapat diakomodir dengan menerapan bentuk-bentuk pengelolaan lahan di daerah penyangga agar respon hidrologinya menyerupai hutan, dan hal ini dapat dicapai dengan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar kawasan ini tetap berfungsi sebagai penyangga, sesuai dengan hasil arahan. 4.
Penguatan Kelembagaan Era desentralisasi memberikan kewenangan sepenuhnya terhadap pemerintah daerah mengelola sumber daya alamnya untuk pembangunan daerahnya. Sumber daya alam tersebut, yang juga merupakan komponen dari sebuah DAS, merupakan modal potensial bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penekanan terhadap aspek ekonomi cenderung menjadi lebih tinggi sehingga mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu kecenderungan penyelewengan penggunaan lahan dari arahan yang sudah ditetapkan juga meningkat. Pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah dengan matriks dasar DAS terdiri dari berbagai sektor baik secara vertikal maupun horisontal. Pemangku
kepentingan
tersebut
terdiri
dari
instansi
pemerintah,
ilmuwan/akademisi, swasta dan masyarakat. Hal ini membutuhkan penguatan kelembagaan agar dalam pelaksanaan program-program pada masing-masing sektor tidak saling tumpang tindih atau bertentangan. Penguatan kelembagaan
98 bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dan peran aktif para pemangku kepentingan guna mendukung terlaksananya arahan penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air. Penguatan kelembagaan secara horinsontal antar lembaga pada tingkat kabupaten masih belum kuat. Hal ini menuntut Bappeda, sebagai instansi pemegang kewenangan paling luas dalam perencanaan pembanunan, untuk bekerja lebih intensif dalam mengkoordinir seluruh pemangku kepentingan. Koordinasi antar sektor perlu dikuatkan terutama pada instansi-instansi yang mempunyai tupoksi dan kewenangan yang besar terhadap penataan ruang wilayah administrasi maupun DAS, seperti
Dinas Tata Ruang, Dinas
Pertanian dan Kehutanan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten/Kota Bogor. Penguatan kelembagaan secara horisontal juga mencakup koordinasi antar pemerintah daerah yang wilayahnya berada dalam Sub DAS Cisadane Hulu, yaitu antara Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Tangerang, maupun Kota Tangerang. Beberapa hal yang menjadi bahan untuk dikoordinasikan yaitu menyangkut kompensasi hulu-hilir dalam bentuk sharing pembiayaan dalam pengelolaan DAS bagian hulu. Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah kesesuaian fungsi kawasan dan arahan penggunaan lahan pada daerah perbatasan antar dua daerah administrasi yang batasnya berhimpitan. Penguatan kelembagaan juga harus berarah vertikal. Pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota harus mempererat jalinan koordinasi baik ke bawah (tingkat kecamatan) ataupun ke atas (tingkat provinsi, atau nasional). Bappeda atau Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor harus berkoordinasi lebih intensif dengan Bappeda Provinsi Jawa Barat, Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air CiliwungCisadane. Kelompok instansi yang bekerjasama dalam rangka pelaksanaan arahan penggunaan lahan dapat disusun sebagai lembaga formal maupun non formal seperti Dewan Sumber Daya Air, Kelompok Kerja, Paguyuban (Forum) DAS, dan lain sebagainya.
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian beserta pembahasannya adalah : 1. Penggunaan lahan aktual di Sub DAS Cisadane Hulu telah menyebabkan penurunan kinerja DAS. Kinerja DAS yang buruk mempengaruhi daya dukung sumber daya airnya baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Kondisi saat ini, dari 44 sub-sub DAS terdapat 36 sub-sub DAS mempunyai kinerja Buruk, yaitu sub-sub DAS Cikuluwung, Cikaniki4, Cianten1, Cikamaung, Cikaniki3, Cisadane3,
Citeureup,
Citeras,
Cisarua,
Cihaniwung,
Cisadenggirang,
Cigamea, Cianten3, Cipaku, Cipalasari, Cijeruk, Cigenteng, Legokmuncang, Cikompeni, Ciampea, Cinangneng, Cihideung1, Ciapus, Cipinanggading, Cihideung2,
Cikuda, Cileungsir, Cigombong, Cihamboro, Ciareuteun,
Cijambu, Cipuraseda, Cisaru, Cikaniki2, Cianten2, dan Cimapag. Sebanyak 8 sub-sub DAS mempunyai kinerja Sedang, yaitu sub-sub DAS Cikaniki1, Cinagara, Cisadane1, Cisadane2, Cikereteg, Cimande, Leuwilisung dan Cijawung. Secara keseluruhan sub DAS Cisadane Hulu mempunyai kinerja yang Buruk. 2. Arahan penggunaan lahan terbaik adalah mengikuti alokasi lahan sesuai dengan Fungsi Kawasan. Jika skenario Fungsi Kawasan diterapkan, maka subsub DAS yang mengalami peningkatan kinerja sebanyak 42 sub-sub DAS dengan rincian 14 sub-sub DAS berkinerja Buruk menjadi Baik, sehingga menjadi sub-sub DAS prioritas pertama. Sebanyak 22 sub-sub DAS berkinerja Buruk menjadi Sedang, sehingga merupakan sub-sub DAS prioritas kedua. Terdapat 6 sub-sub DAS berkinerja Sedang menjadi Baik, menjadi prioritas ketiga. 3. Menurut pemangku kepentingan, Sub DAS Cisadane Hulu mempunyai fungsi ekonomi, sosial dan ekologi, sehingga perencanaan penggunaan lahannya harus memperhatikan ketiga aspek tersebut. Mereka cenderung menginginkan pada kawasan lindung diarahkan untuk hutan, pada kawasan penyangga diarahkan untuk kebun campuran, dan kawasan budidaya diarahkan untuk sawah.
100 4. Adanya kesenjangan antara arahan penggunaan lahan dan pendapat pemangku kepentingan memerlukan adanya strategi kebijakan dalam rangka penerapan arahan penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air, yaitu: penetapan status fungsi kawasan, sosialisasi arahan penggunaan lahan terbaik, pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan.
6.2. Saran 1.
Penggunaan data tanah pada minimal skala 1:50.000 perlu dilakukan, agar hasil arahan berdasarkan kondisi fisik sumber daya lahannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
2.
Perlu dimasukkan parameter-parameter selain empat parameter indikator kuantitas dan kualitas sumber daya air tersebut diatas, sehingga penilaian tingkat kinerja DAS menjadi lebih akurat.
3.
Perlu dilakukan analisis lebih detil mengenai aspek ekonomi dan sosial di daerah penelitian dalam menetukan prioritas penggunaan lahan oleh pemangku kepentingan. Hal ini bertujuan untuk melihat kondisi yang lebih detil di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita R. 2010. Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Arini DID, Prasetyo LB, Rusdiana O. 2007. Aplikasi SIG dan PJ Untuk Model Hidrologi ANSWER Dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi. Media Konservasi 12:1-10. Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Baja S, 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografi. Informatika Pertanian 11:619635 Baja S. 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Andi. Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi: Sarana Manajemen Sumberdaya. Bogor: Laboratorium PJ dan Kartografi, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. BP DAS Citarum-Ciliwung. 2009. Laporan Penyusunan Urutan Prioritas DAS di BP DAS Citarum-Ciliwung. Bogor: BP DAS Citarum-Ciliwung. Broto AH. 2009. Kajian Perubahan Penutupan Lahan dan Arahan Pengelolaan Ruang Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Batutegi Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Budiningsih K. 2008. Dinamika Kebun Campuran: Studi Kasus Praktek Pemanfaatan Lahan Kering Secara Berkelanjutan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Burrough PA, McDonnell RA. 1998. Principles of Geographical Information System. New York: Oxford University Press Inc. Departemen Kehutanan. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan No 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta: Dephut. Departemen Pekerjaan Umum. 2004. Undang – Undang RI No 07 Tahun 2004. Tentang Sumber Daya Air. Jakarta: Sekretariat Negara. Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Undang – Undang RI No 26 Tahun 2007. Tentang Penataan Ruang. Jakarta: Sekretariat Negara. Emilda. 2008. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Respon Hidrologi Di DAS Cisadane Hulu [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Evans BM, Lehning DW, Corradini KJ. 2008. AVGWLF 7.1 Users Guide. Pennsylvania: The Penn State Institute of Energy and the Environment, Pennsylvania State University, USA. Fakhrudin M, Yulianti M. 2010. Kajian Erosi Sebagai Dasar Konservasi DAS Cisadane. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Limnologi; Bogor, 8 Juli 2010. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 570-584.
102 Haith DA, Mandell R, Wu RS. 1992. GWLF Version 2.0 User’s Manual. New York: Department of Agricultural & Biological Engineering, Cornel University, USA. Keller HM, Weibel P. 1991. Suspended Sediment in Streamwater - Indicators of Erosion and Bed Load Transport In Mountains Basins. The International Association of Hydrological Sciences (IAHS) 203: 53-61. Kodoatie RJ, Sjarief R. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta: Penerbit Andi. Koespramoedyo D. 2008. Keterkaitan Rencana Pembangunan Nasional Dengan Penataan Ruang. Bulletin Tata Ruang. Edisi Maret-April 2008: 22-26. [terhubung berkala]. http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?buled=26 [25 September 2012]. Listyarini, Sari N, Sutikno FR. 2011. Optimalisasi Fungsi Daerah Penyangga Kawasan Hutan Raya Raden Soeryo (Studi Kasus: Desa Sumber Brantas Kota Batu. Jurnal Tata Kota dan Daerah 3: 47 – 53. Ludwig W, Probst J. 1996. A Global Modelling of the Climatic, Morphological, and Lithological Control of River Sediment Dischargea to the Oceans. The International Association of Hydrological Sciences (IAHS) 236: 21-28. Marsono D. 2004. Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Penerbit BIGRAF Publishing bekerjasama dengan STTL Yogyakarta. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT. Grasindo. Mingguo Z, Qiangguo C, Hao C. 2007. Effect of Vegetation on Runoff-Sediment Yield Relationship at Different Spatial Scales in Hilly Areas of the Loess Plateau, North China. Acta Ecologica Sinica 27: 3572−3581. Noordianto HM. 2009. Tata Ruang Air Untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Buletin Konservasi Kepala Burung 3:25-36. [25 Desember 2012]. Nugroho SP. 2009. Perubahan Watak Hidrologi Sungai-Sungai Bagian Hulu di Jawa. Jurnal Air Indonesia 5(2):112-118. PPLH Regional Jawa. 2008. Kolaborasi Pengelolaan Lingkungan Hidup DAS Bengawan Solo Berbasis Tata Ruang. Yogyakarta: PPLH Regional Jawa. Puspaningsih N. 1999. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan DI Sub DAS Cisadane Hulu Kabupaten Bogor. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 5:4553. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Saaty TL. 2008. Decision Making With The Analytic Hierarchy Precess. International Journal Services Sciences 1:83-98. Salim E. 2010. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan. Dalam: Azis IJ, Napitupulu LM, Patunru AA, Resosudarmo BP, (Editor). Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm 21-30. Shanti C, Arnold JG, Williams JR, Dugas WA, Srinivasan R, Hauck LM. 2001. Validation Of The SWAT Model On Larger River Basin With Point And Nonpoint Sources. Journal Of The American Water Resources Association 37: 1169-1188.
103 Sharma KD. 1996. Soil Erosion and Sediment Yield in the Indian Arid Zone. The International Association of Hydrological Sciences 236: 172-182 Sugandhy A, Hakim R. 2007. Prinsip-Prinsip Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sukondi. 2006. Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Tanah (Studi Kasus Sub DAS Ciasem Hulu Kab. Subang) [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutopo MF. 2011. Pengembangan Kebijakan Pembayaran Jasa Lingkungan Dalam Pengelolaan Air Minum (Studi Kasus DAS Cisadane Hulu). [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Penerbit PT Bhumi Aksara.
104
p 105
106 Lampiran 1 Pendekatan Kapasitas Air Tersedia (AWC) berdasarkan tekstur tanah Tekstur Tanah Pasir
Simbol
Kisaran
Rata-rata (m/m)
S
0,06 – 0,08
0,07
Pasir berlempung
LS
0,09 – 0,11
0,10
Lempung berpasir
SL
0,12 – 0,14
0,13
Lempung berdebu
SiL
0,20 – 0,22
0,21
SCL
0,16 – 0,18
0,17
L
0,17 – 0,19
0,18
CL
0,15 – 0,19
0,17
SiCL
0,18 – 0,20
0,19
Liat berpasir
SC
0,16 – 0,21
0,19
Liat berdebu
SiC
0,11 – 0,13
0,12
C
0,09 – 0,11
0,10
Lempung liat berpasir Lempung Lempung berliat Lempung liat berdebu
Liat
Sumber : Guides For Editing Soil Properties, USDA.
Lampiran 2 Pendekatan nilai K (erodibilitas tanah) berdasarkan tekstur tanah. Kandungan bahan organik (%) Rata-rata <0,5 2 4 Pasir 0,05 0,03 0,02 0.03 Pasir berlempung 0,12 0,10 0,08 0.10 Lempung berpasir 0,27 0,24 0,19 0.23 Lempung 0,38 0,34 0,29 0.34 Lempung berdebu 0,48 0,42 0,33 0.41 Debu 0,60 0,52 0,42 0.51 Lempung liat berpasir 0,27 0,25 0,21 0.24 Lempung berliat 0,28 0,25 0,21 0.25 Lempung liat berdebu 0,37 0,32 0,26 0.32 Liat berpasir 0,14 0,13 0,12 0.13 Liat berdebu 0,25 0,23 0,19 0.22 Liat 0,13-0,29 0,21 Sumber : Sumber : Stewart et al. (1975) dalam GWLF 2.0 User’s Manual (Haith)(1992) Teksture
107 Lampiran 3 Kelompok Hidrologi Tanah KHT
Uraian Tanah dengan potensi limpasan rendah karena tingkat infiltrasi yang tinggi, bahkan ketika pada kondisi benar-benar basah. Lapisan
A
tanahnya dalam, drainase baik hingga berlebihan dengan tingkat transmisi air yang tinggi (0,30 inc/hr). Meliputi tanah bertekstur pasir, pasir berlempung, dan lempung berpasir. Tanah dengan potensi limpasan agak rendah karena tingkat infiltrasinya sedang, bahkan ketika pada kondisi basah. Lapisan
B
tanahnya sedang hingga dalam, drainase sedang hingga baik dengan tingkat transmisi air sedang (0,15 - 0,30 inc/hr). Meliputi tanah bertekstur lempung berdebu dan lempung. Tanah dengan potensi limpasan agak tinggi karena tingkat infiltrasinya rendah, bahkan ketika pada kondisi basah. Lapisan tanahnya biasanya
C
memiliki lapisan dekat permukaan yang menghambat gerakan air ke bawah. Mempunyai tingkat transmisi air sedang (0,05 - 0,15 inc/hr). Meliputi tanah bertekstur lempung liat berpasir. Tanah dengan potensi limpasan tinggi karena tingkat infiltrasinya sangat rendah. Tanah ini terutama terdiri dari tanah liat dengan potensi kembang-kerut yang tinggi, muka air tanahnya permanen tinggi,
D
memiliki lapisan “claypan” atau lapisan liat dekat permukaan tanah, dan solum tanah yang dangkal yang berada dia atas bahan induk kedap air. Kemampuan mentransmisikan air sangat rendah (0,0 -0,05 inc/hr). Meliputi tanah bertekstur lempung berliat, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berdebu atau liat.
Sumber : Virginia Stormwater Management Program, Virginia Departement of Conservation and Recreation. (Virginia Stormwater Management Handbook, Volumes 1 and 2, First Edition, 1999)
108 Lampiran 4 Nilai CN pada lahan-lahan di Sub DAS Cisadane Hulu. Tata Guna Lahan Hutan - baik Hutan - buruk Kebun campuran - baik Kebun campuran - buruk Ladang - baik Ladang - buruk Semak/belukar Lahan terbuka Sawah – baik Sawah - buruk Rumput Permukiman Padat Permukiman Jarang Sumber : Arsyad; Haith
Kelompok Hidrologi Tanah A B C D 55 70 66 77 58 72 65 76 67 76 73 80 67 77 86 91 70 78 72 79 61 74 85 90 74 82
Lampiran 5 Nilai faktor C berbagai penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu. Penggunaan Lahan Hutan – seresah banyak Hutan – seresah kurang Kebun campuran –kerapatan tinggi Kebun campuran – kerapatan sedang Ladang - baik Ladang - buruk Semak/belukar Lahan terbuka Sawah – baik Sawah - buruk Rumput Permukiman Padat Permukiman Jarang
C 0,001 0,005 0,1 0,2 0,7 0,7 0,3 1,0 0,096 0,42 0,002 0,9 0,9
P 0,90 0,90 0,04 0,35 0,04 0,35 1 1 0,04 0,35 0,04 0,1 0,1
109
Lampiran 6 Kategori penggunaan lahan, kode dan padanannya Kategori (AVGWLF)
Water Low-Density Development High-Density Development Hay/Pasture1 Row Crops Coniferous Forest2 Mixed Forest2 Deciduous2 Woody Wetland3 Emergent Wetland3 Quarries4 Coal Mines4 Beaches Transitional4 Turfgrass/Golf Course5 Sumber : Evans, et al. (2008)
Kode (Cell Value) 1 2 3 4 5/6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Penggunaan Lahan
Danau, Sungai, Waduk Permukiman Jarang Permukiman Padat Padang Rumput Gembala/ SemakBelukar Pertanian Lahan Kering Hutan Berdaun Jarum Hutan, Kebun Campuran Hutan Gugur Lahan Basah dg Tanaman Keras Pertanaian Lahan Basah Pertambangan Terbuka Pertambangan Batubara Pantai Lahan Terbuka Lap Olah Raga/Golf
110 103
Tabel 7 Data dan perhitungan OA dan KA Kategori Klalsifikasi Total PermuPerkebn Semak/ Padang Lahan Perk. Kategori Baris Sawah kiman Hutan Campuran Belukar Ladang Rumput Terbuka Teh/Sawit (X) No Lapangan 1 Sawah 53 0 0 0 0 2 0 0 0 55 2 Permukiman 0 50 0 0 0 0 0 0 0 50 3 Hutan 0 0 8 2 0 2 0 0 0 12 4 Perk. Campuran 1 0 2 53 3 1 0 0 0 60 5 Semak/Belukar 2 0 0 4 43 3 1 0 1 54 6 Ladang 4 0 0 0 4 42 0 0 0 50 7 Padang Rumput 0 0 0 1 0 0 4 0 0 5 8 Lahan Terbuka 0 0 0 0 0 0 0 7 0 7 9 Perk. The/Sawit 0 0 0 0 0 0 0 0 11 11 60 50 10 60 50 50 5 7 12 304 Total Kolom (Y) Sumber : Hasil Perhitungan
110
Lampiran 7 Tabel dan perhitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy
111 Dimana : Xii : Jumlah poligon yang diklasifikasikan dengan benar ke kelas i (diagonal matriks) Xi+ : Jumlah poligon dalam baris ke-i X+I : Jumlah poligon dalam kolom ke-i N : Jumlah poligon dalam contoh r : Jumlah kelas penggunaan lahan
OA
= (53+50+8+53+43+42+4+7+11) x 100% 304 = 89,14%
KA = ((53+50+8+53+43+42+4+7+11)x 304) – ((55x60)+(50x50)+(12x10)+(60x60)+(64x50)+(50x50)+(5x5)+(7x7)+(11x12) (304)2 ((55x60)+(50x50)+(12x10)+(60x60)+(64x50)+(50x50)+(5x5)+(7x7)+(11x12) = 0,87
112 Lampiran 8 Sub-sub DAS di Sub DAS Cisadane Hulu ID 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama DAS Ci Sadane3 Ci Kaniki4 Ci Kaniki3 Ci Teras Ci Jambu Ci Saru Ci Kamaung Ci Jawung Ci Kaniki2 Ci Hamboro Ci Mapag Ci Sadeng Girang Leuwilisung Ci Haniwung Ci Anten3 Ci Kompeni Ci Aruteun Ci Ampea Ci Nangneng Ci Hideung1 Ci Apus Ci Sadane2
Luas (ha) 621.49 629.48 638.21 266.90 490.91 485.66 339.50 675.95 2,956.25 492.63 953.48 1,060.95 264.96 1,173.40 1,928.82 2,463.38 1,918.32 3,388.68 2,349.73 2,857.87 6,790.17 1,243.47
ID 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Nama DAS Ci Paku Ci Kereteg Ci Mande Ci Sadane1 Ci Nagara Legokmuncang Ci Pinanggading Ci Jeruk Ci Palasari Ci Genteng Ci Hideung2 Ci Kuda Ci Leungsir Ci Gombong Ci Gamea Ci Kuluwung Ci Anten2 Ci Anten1 Ci Puraseda Ci Teureup Ci Kaniki1 Ci Sarua
Luas (ha) 1,721.34 2,887.65 3,810.38 2,709.08 2,579.81 580.40 2,833.39 448.26 728.76 542.05 865.45 1,257.24 1,347.69 1,807.32 1,825.10 2,622.34 2,940.71 4,312.90 2,447.64 3,299.72 7,593.98 2,396.71
113 Lampiran 9 Tabel-tabel luaran hasil analisis model AVGWLF dari 4 skenario Tabel 9. Luaran AVGWLF berdasarkan Skenario Aktual Year 2010 Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Strm Precip Evapotrans Groundwater Runoff Flow 45 9.83 21.45 14.2 35.66 56.6 9.8 23.77 20.56 44.33 62.3 10.99 25.15 25.41 50.56 10.8 10.89 8.66 0.06 8.72 54.9 11.28 14.5 23.77 38.27 29.9 10.26 14.25 5.14 19.39 35.1 10.55 16.77 8.23 25 35.6 10.93 18.12 7.06 25.18 35.2 11.01 16.6 5.78 22.37 37.3 11.77 18.62 8.08 26.7 39.4 11.7 18.11 8.99 27.1 32.2 11.75 17.3 4.5 21.79
Erosion Sediment 1493417 99878.06 2225202 147588.6 2349251 189928.9 173868.1 40305.83 3322623 377344.5 926901.8 93901.25 1112402 142430.8 1155546 143055.5 835309.9 115642 894171 167560.5 990925.9 264131.1 600230.5 146503.6
Tabel 10. Luaran AVGWLF berdasarkan Skenario RTRW Year 2010 Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Strm Precip Evapotrans Groundwater Runoff Flow 45 9.09 26.07 10.57 36.64 56.6 9.02 29.07 15.69 44.76 62.3 10.15 31.31 19.51 50.82 10.8 10.18 11.07 0.03 11.1 54.9 10.45 18.03 20.06 38.09 29.9 9.51 17.16 3.55 20.71 35.1 9.78 19.98 5.96 25.95 35.6 10.14 21.2 4.86 26.06 35.2 10.22 19.2 3.62 22.82 37.3 10.92 22.1 5.34 27.45 39.4 10.85 21.61 6.15 27.76 32.2 10.9 20.74 2.68 23.42
Erosion Sediment 136224.2 146702.8 202975 180742 214290.4 190467.9 591096.4 72420.66 303077.8 208102.7 84548.68 109956.6 101469.3 130351.6 105404.8 130234.8 76194 118233.9 81563.1 137196 90388.73 161755.6 1007845 123480.3
114
Tabel 11. Luaran AVGWLF berdasarkan Skenario Kemampuan Lahan Year 2010 Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Precip Evapotrans Groundwater Runoff 45 9.62 26.21 9.91 56.6 9.51 29.4 14.82 62.3 10.67 31.71 18.49 10.8 10.69 11.02 0.02 54.9 10.97 17.85 19.42 29.9 9.98 17.08 3.23 35.1 10.35 19.9 5.53 35.6 10.73 21.07 4.42 35.2 10.71 19.06 3.16 37.3 11.45 22.12 4.79 39.4 11.38 21.64 5.57 32.2 11.43 20.73 2.28
Strm Flow 36.12 44.21 50.2 11.04 37.27 20.31 25.43 25.48 22.22 26.91 27.21 23.01
Erosion 203309.5 302932.6 319820.4 604381.9 452332.5 126185.8 151439.2 157312.8 113716.7 121729.9 134901.8 81713.68
Sediment 92848.88 115964.5 124077.3 45882.69 149722.4 70335.02 85436.8 85000.97 75527.21 90198.89 112985.5 80759.88
Erosion 195574.5 291407.4 307652.7 604986.1 435123.2 121385 145677.7 151327.8 109390.3 117098.6 129769.4 78604.84
Sediment 93201.89 116021.4 123865.7 46335.34 148619.9 70636.39 85475.23 85048.91 75717.74 90146.78 112433.8 80851.5
Tabel 12. Luaran AVGWF berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan Year 2010 Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Strm Precip Evapotrans Groundwater Runoff Flow 45 9.41 26.53 9.82 36.35 56.6 9.41 29.64 14.69 44.33 62.3 10.57 31.96 18.33 50.29 10.8 10.48 11.19 0.02 11.21 54.9 10.76 18.17 19.32 37.49 29.9 9.79 17.33 3.19 20.52 35.1 10.16 20.15 5.48 25.63 35.6 10.53 21.32 4.37 25.68 35.2 10.51 19.3 3.11 22.41 37.3 11.24 22.39 4.73 27.12 39.4 11.17 21.91 5.5 27.42 32.2 11.22 21.01 2.24 23.25
108 115 Lampiran 10 Luas penggunaan lahan yang sudah sesuai arahan dan perlu arahan pada masing-masing sub-sub DAS Sesuai Arahan
1
Ciampea
Cianten1
Cianten2
Hutan Padang Rumput Kebun Campuran Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Teh Permukiman Padat Permukiman Jarang Sawah Irigasi Tubuh Air Arahan Penggunaan Lahan Ladang-Hutan Ladang-Kebun Campuran Ladang-Permukiman Ladang-Sawah Lahan Terbuka-Hutan Lahan Terbuka-Kebun Campuran Lahan Terbuka-Sawah Kebun Campuran-Hutan Kebun Campuran-Permukiman Semak/Belukar-Hutan Semak/Belukar-Kebun Campuran Semak/Belukar-Permukiman Semak/Belukar-Sawah
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
460,1
1359,43
466,71
275,92
63,3
177,14
797,99
8,01
25 26 27
Ciapus
Ciaruteun
815,56 373,95
241,48
256,47
168,97
4,8
327,97 1030,2 14,22
146,76 755,8 21,54
115,84 175,42 2,83
101,14 1,13
47,6
480,4 1472,19 35,51
77,86 341,33 16,56
118,56 1095,44 19,74
359,31 995,8 61,11
50,49 21,93 1,21 45,22
103,55 28,13
67,21
7,39 23,19 14 9,68
358,78 3,21 30,04 176,1
17,88 7,14 1,52 45,3 3,21
1,27 335,99 2,9 760,44 19,31 56,27
1,64 34,56 6,88 78,67 12,08 1,38 79,23
5045,67 1744,31 6.789,98
1628,86 289,49 1.918,35
89,84 1,15 400,37 26,38
11,19
54,52
1424,84 56,27
920,17 5,75
27,89
3,93
2724,26 664,48 3.388,74
2656,59 1630,48 4.287,07
1885,6 1047,65 2.933,25
Cigenteng
341,74
590,92 1341,56 1998,65 46,79
2,57
Cigamea
41,76 5,98 1,06 30,55 1,36 2,49 1791,42 137,46 1.928,88
7,73
46,8
1,1
239,52 1,57
109,46
77,28 1434,81 390,16 1.824,97
298,89 243,17 542,06
115
Sudah sesuai arahan Perlu disesuaikan arahan Luas Total
Cianten3
108
116 Lampiran 10 (lanjutan) Cigombong 16.55
Cihamboro
Cihaniwung
Cihideung1 194.13
114.63
59.18
323.44
241.8
25 26 27
757.68 1047.6 1,805.28
Cihideung2 146.47
Cijamb Cijawung
73.29
195.27 158.51
Cijeruk 5.67
Cikamaung
Cikaniki1 4727.71
11.83
171.94
252.8 651.45
317.97 290.07 17.75
54.93 280.03 0.23
201.52 432.42 1.22
508.09 1178.06 31.41
88.76 94.5 1.78
104.32 131.49 7.14
85.58 174.78 2.44
71.35 81.18 0.49
18.1 112.11 1.61
56.6 518.17 13.44
495.59
2.14
10.54 24.54 13.19 17.12
13.74
148.46
37.07
9.62 2.37
0.95 1.98 0.36 0.07
37.57
0.69
74.55 12.42 1.18 67.19 0.41
262.91
221.18
55.47 17.43 4.3 24.73
49.89 5.58 5.09 16.05 0.18 36.04
139.92 1.1 334.43 66.27
3.44
3.21
958.6 214.76 1,173.36
2157.26 700.68 2,857.94
19.57
5.68
180.23
89.74
131.03 394.37 98.25 492.62
5.22
8.52 0.01
26.32
6.24 9.15 14.48 66.94 2.25 10.23
331.51 533.98 865.49
316.24 174.68 490.92
616.58 59.34 675.92
236.09
14.95 63.32
115.91
3.82 0.22 28.35
39.04 170.52 277.76 448.28
71.38 1134.75
5.44 303.76 35.75 339.51
6220.38 1365.05 7,585.43
116
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
108
117
Lampiran 10 (lanjutan) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Cikaniki3
Cikaniki4
1.73 517.43 5.32
310.64 969.1 41.17
Cikereteg
Cikompeni
538.18
Cikuda
Cikuluwung
Cileungsir
Cimande
176.66
1416.48
152.21
1276.34
Cimapag
Cinagara 1174.82
293.45
330.8
403.2
319.21
29.25
111.4
38.65
135.43
211.27
39.01 179.96 34.16
70.77 125.27 30.26
443.46 678.63 3.88
461.16 1469.91
193.45 317.04 1.66
98.1 598.19 25.87
220.13 501.06 3.15
477.41 841.94 4.06
145.55 450.66 12.31
238.42 442.5 2.73
18.61 16.81
6.72 32.45
128.37 34.02
277.33
46.88 0.16
215.17
239.64 55.62
17.77
261.66 87.6
1.3
8.14
72.03
24.04 12.75 1.95 1.81
10.77
26.2
20.88
18.72
16.04 7.52 20.56 9.11
18.46
216.28
0.85
49.87
4.47
101.72
0.39 6.23
292.08 35
223.27
274.58
142.26
479.19 53.59
37.3 6.13 51.3
42.53
73.86 5.56 86.32 5.9 0.1 0.13
2067.35 820.31 2,887.66
2250.86 212.42 2,463.28
124.91 0.03 62.8
4.66
169.4 654.52
100.18 1844.44 1111.84 2,956.28
548.31 89.95 638.26
557.1 72.39 629.49
188.95 78.25
0.3 32.98 718.06 539.09 1,257.15
2250.86 371.49 2,622.35
59.87
119.27
915.2 432.54 1,347.74
2735.18 1075.23 3,810.41
86.17 819.79 133.68 953.47
1858.47 721.35 2,579.82
117
25 26 27
Cikaniki2
108
118
Lampiran 10 (lanjutan) Cinangneng
Cipaku Cipalasari
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
202.13 26.85 65.49
61.25
378.38
145.15
37.85
133.03
235.66
25 26 27
51.41 194.67
Cipinanggading Cipuraseda Cisadane1 1115.5
Cisadane2
Cisadane3
Cisadenggirang
Cisaru
43.75 43.73 150.95
224.59
185.05
91.81
177.01 326.02 315.54 68.34
76.32 181.81 46.08
104.18 478.64 1.19
48.16 198.85 4.14
14 9.44 0.26 26.66
10.45 1.28 2.16 14.84 1.53
48.69 5.88
3.23 6.61 2.27 15.18
50.5
8.91 32.1 20.13
4.66 362.71 1204 21.26 78.69 26.36 3.55 16.74 2.06
263.67 487.27 343.3 13.3 57.92 21.49 100.76 0.28
63.74 530.2 20.35
117.68 195.46
219.87
198.66
177.82
425.18
9.95
10.19 142.53 7.13
27.1
16.48 35.85
126.09
436.23
3.78
17.19 6.59 1.11 103.94
30.46
0.21 252.93
1882.66 467.1 2,349.76
1353.62 349.14 1,702.76
315.31 413.47 728.78
1733.23 1100.21 2,833.44
96.88 0.34 174.82 63.88
1.02 38.84
83 132.19 1.02
206.96 613.55 392.98 8.33
26.24
62.45 1207.25 0.22
999.88 1447.74 2,447.62
794.26
34.81
3.76 1.65 0.93 11
1428.64 1280.49 2,709.13
1125.34 118.2 1,243.54
14.47 2.35 2.79 0.09 146.13
1.38
4.81
8.99 1.21 41.68 24.48 1.81 37.26
528.8 92.78 621.58
769.06 291.89 1,060.95
342.96 142.72 485.68
59.3 7.38
118
1
108 111
119 Lampiran 10 (lanjutan) 1
Cisarua
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
418.19
Legokmuncang Leuwilisung
317.32
92.36
1116.04
126.51 65.92
81.75 675.29 21.54
22.52 51.68 1.51
165.75 871.26 23.52
155.57 89.05 4.66
56.07 70.6 7.08
50.99
3.94
257.87 54.86
0.19 1.31
0.39
9.77
28.82 0.5
1.65
44.26
7.98
215.69
20.88
778.72
26.44 58.08
449.12 133.17
33.56
11.7 3.61 0.33 11.75
16.74
2.01
0.64
3.93
20.19
1514.09 876.51 2,390.60
168.07 98.84 266.91
2178.57 1121.12 3,299.69
441.71 138.68 580.39
214.22 50.73 264.95
30.76
6.03
80.47
119
25 26 27
Citeras Citeureup
120
Lampiran 11 Kuesioner penelitian
KUESIONER PENELITIAN
PERENCANAAN WILAYAH BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR DI DAS CISADANE BAGIAN HULU
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
121
PENDAHULUAN Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PS PWL), Institut Pertanian Bogor (IPB), maka saya : Nama
: DWI MARYANTO
NRP
: A156100061
Program Studi
: Ilmu Perencanaan Wilayah
mengajukan tugas akhir tesis dengan judul : Perencanaan Penggunaa Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Di Das Cisadane Bagian Hulu. Berkenaan dengan tugas akhir tersebut, saya menyusun kuisioner yang berkaitan dengan upaya pemanfaatan ruang yang bernilai konservasi sumber daya air di Sub DAS Cisadane Hulu. Untuk itu kami mohon kepada Bapak/Ibu untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ada dalam kuisioner ini dengan jawaban yang benar dan akurat agar data tersebut dapat diolah/dianalisa, sehingga menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuisioner ini, kami ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,
Dwi Maryanto
122
BAGIAN I IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama
: ……………………………………………
2. Tempat/Tgl. Lahir/Umur
: ……………………………………………
3. Alamat
: …………………………………………… ……………………………………………
4. No. Telepon
: ……………………………………………
5. Pekerjaan
: ……………………………………………
6. Jabatan
: ……………………………………………
7. Pendidikan Terakhir
: ……………………………………………
8. Apakah Bapak/Ibu/Saudara mengetahui tentang Daerah Aliran Sungai (DAS)? a. Ya b. Tidak 9. Apakah Bapak/Ibu/Saudara mengetahui tentang Penataan Ruang? a. Ya b. Tidak 10. Perlukah Kabupaten/Kota yang terletak pada DAS Lintas Kabupaten mempertimbangkan faktor DAS sebagai suatu sistem dalam penyusunan Tata Ruang Wilayahnya? a. Ya b. Tidak 11. Jika suatu DAS dibagi menjadi bagian hulu, tengah dan hilir, menurut Bapak/Ibu/Saudara apakah DAS bagian hulu mempunyai fungsi ekologi dalam mendukung pembangunan wilayah? a. Ya b. Tidak 12. Menurut Bapak/Ibu/Saudara apakah DAS bagian hulu juga mempunyai fungsi ekonomi dalam mendukung pembangunan wilayah? a. Ya b. Tidak
123
13. Menurut Bapak/Ibu/Saudara apakah DAS bagian hulu juga mempunyai fungsi sosial dalam mendukung pembangunan wilayah? a. Ya b. Tidak 14. Jika Bapak/Ibu/Saudara menjawab pertanyaan no. 9, dan/atau 10, dan/atau 11 dengan jawaban “Ya”, menurut Bapak/Ibu/Saudara apakah DAS bagian hulu perlu diatur pemanfaatan ruangnya untuk mengoptimalkan fungsifungsi tersebut dalam rangka pengembangan wilayah? a. Ya b. Tidak 15. Menurut Bapak/Ibu/Saudara seberapa pentingkah usaha konservasi sumber daya air perlu dipertimbangkan dalam perencanaan tata ruang untuk menjaga keberlanjutan pembangunan suatu wilayah? a. Tidak penting b. Kurang Penting c. Penting d. Sangat Penting
124
BAGIAN II
Tujuan utama pada bagian ini adalah untuk mendapatkan urutan rangking penggunaan lahan optimal berdasarkan 3 kriteria pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan berdasarkan persepsi dari para pemangku kepentingan baik penentu kebijakan, pakar di bidang tata ruang atau hidrologi, maupun masyarakat. Masing-masing kriteria dibagi lagi menjadi beberapa subkriteria. Setiap sub-kriteria kemudian digunakan untuk merangking 5 alternatif (penggunaan lahan) yaitu hutan, kebun campuran, sawah, lading, dan semak belukar. Pola pikir untuk mengetahui peran ketiga aspek tersebut menurut persepsi berbagai fihak disusun berbagai pertanyaan berhirarki dengan struktur hirarki yang ditampilkan pada Gambar 1. Pada penelitian ini, daerah penelitian dibagi ke dalam 3 zone/kawasan, yaitu : 1.
Zone lindung. Zone lindung diasumsikan penggunaan lahannya seluruhnya adalah hutan untuk mendapatkan hasil yang optimal, sehingga tidak perlu dibuat pertanyaannya.
2.
Zone Penyangga, dan
3.
Zone Budidaya. Kedua zone Penyangga dan Budidaya penentuan penggunaan lahan yang optimal ditentukan melalui perangkingan dengan metode AHP. Untuk itu
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner ini dibagi ke
dalam 2 kelompok. Kelompok A ditujukan untuk Zone Penyangga sedangkan kelompok B untuk Zone Budidaya. Hasilnya kemudian digunakan untuk mendapatkan arahan pemanfaatan ruang di Sub DAS Cisadane Hulu yang berbasiskan konservasi sumber daya air.
125
Penggunaan Lahan Optimal
Ekonomi
Peluang Pasar
Pendapatan
Hutan
Sosial
Tenaga Kerja
Ekologi
Penguasaan Teknik Budidaya
Kebun Campuran
Sawah
Kesesuaian Lahan
Konservasi SD Air
Ladang
Gambar 1. Struktur hirarki pemilihan penggunaan lahan optimal pada daerah penelitian.
Petunjuk umum : c. Pengisian kuisioner dilakukan secara langsung dan tertulis oleh responden. d.
Jawaban merupakan pendapat pribadi dari masing-masing responden.
e.
Dalam mengisi kuisioner, responden diharapkan melakukannya secara sekaligus (tidak menunda/sebahagian) untuk menghindari inkonsistensi jawaban.
Cara Menjawab Kuisioner : •
Responden hanya menentukan urutan aspek / kriteria dan nilai skor antara 1-9. Ketentuan pembobotan masing-masing nilai seperti pada tabel di bawah ini :
126
Nilai
Penjelasan
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain
5
Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain
7
Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Contoh : Dalam analisis penggunaan lahan optimal dan berkelanjutan di Sub DAS Cisadane Hulu, harus memenuhi 3 fungsi yaitu fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi. Menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan ketiga aspek urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya?
Contoh Jawaban Urutan
Bobot/Skor (1-9)
Kriteria
1
9
Ekologi
2
8
Sosial
3
5
Ekonomi
127
DAFTAR PERTANYAAN
Kelompok A Pertanyaan pada kelompok A ditujukan untuk analisis penggunaan lahan pada Zone Penyangga. 1. Dalam analisis penggunaan lahan optimal di Sub DAS Cisadane Hulu, harus memenuhi 3 fungsi yaitu fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi, menurut Bapak/Ibu/Sdr ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan ketiga aspek urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya? Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Ekologi Sosial Ekonomi
2.a Apabila kriteria Ekonomi di dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu peluang pasar hasil produksi (Peluang Pasar) dan sumber pendapatan bagi masyarakat (Sumber Pendapatan), Menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut.
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Peluang Pasar Sumber Pendapatan
b. Apabila kriteria Sosial dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu kemampuan menyerap tanaga kerja (Tenaga Kerja) dan penguasaan teknik budidaya oleh masyarakat (Penguasaan Teknik Budidaya), menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya
128
dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Tenaga Kerja Penguasaan Teknik Budidaya
c. Apabila kriteria Ekologi dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu kesesuaian antara penggunaan lahan dengan karakteristik lahannya (Kesesuaian Lahan) dan kemampuan penggunaan lahan dalam upaya konservasi sumber daya air (Konservasi Sumber Daya Air), menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Kesesuaian Lahan Konservasi Sumber Daya Air
3.a. Berdasarkan sub-kriteria peluang pasar hasil produksinya (Peluang Pasar), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar,
menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat
kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
129
b. Berdasarkan sub-kriteria sumber pendapatan bagi masyarakat (Sumber Pendapatan), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
c.
Berdasarkan sub-kriteria kemampuan menyerap tanaga kerja (Tenaga Kerja), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
d.
Berdasarkan sub-kriteria penguasaan teknik budidaya oleh masyarakat (Penguasaan Teknik Budidaya), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan
130
dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
e.
Berdasarkan sub-kriteria kesesuaian antara penggunaan lahan dengan karakteristik
lahannya
(Kesesuaian
Lahan),
dari
kelima
alternatif
penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar,
menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika
diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
f.
Berdasarkan sub-kriteria kemampuan penggunaan lahan dalam upaya konservasi sumber daya air (Konservasi Sumber Daya Air), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.
131
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
132
Kelompok B Pertanyaan pada Kelompok B ditujukan untuk analisis penggunaan lahan pada Zone Budidaya.
1. Dalam analisis penggunaan lahan optimal di Sub DAS Cisadane Hulu, harus memenuhi 3 fungsi yaitu fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi, menurut Bapak/Ibu/Sdr ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan ketiga aspek urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya? Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Ekologi Sosial Ekonomi
2.a Apabila kriteria Ekonomi di dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu peluang pasar hasil produksi (Peluang Pasar) dan sumber pendapatan bagi masyarakat (Sumber Pendapatan), Menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut.
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Peluang Pasar Sumber Pendapatan
b. Apabila kriteria Sosial dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu kemampuan menyerap tanaga kerja (Tenaga Kerja) dan penguasaan teknik budidaya oleh masyarakat (Penguasaan Teknik Budidaya), menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya
133
dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Tenaga Kerja Penguasaan Teknik Budidaya
c. Apabila kriteria Ekologi dirinci ke dalam dua sub-kriteria yaitu kesesuaian antara penggunaan lahan dengan karakteristik lahannya (Kesesuaian Lahan) dan kemampuan penggunaan lahan dalam upaya konservasi sumber daya air (Konservasi Sumber Daya Air), menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing sub-kriteria tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Kesesuaian Lahan Konservasi Sumber Daya Air
3.a. Berdasarkan sub-kriteria peluang pasar hasil produksinya (Peluang Pasar), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar,
menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat
kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
134
b. Berdasarkan sub-kriteria sumber pendapatan bagi masyarakat (Sumber Pendapatan), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
c. Berdasarkan sub-kriteria kemampuan menyerap tanaga kerja (Tenaga Kerja), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut. Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
d. Berdasarkan sub-kriteria penguasaan teknik budidaya oleh masyarakat (Penguasaan Teknik Budidaya), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan
135
dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
e. Berdasarkan sub-kriteria kesesuaian antara penggunaan lahan dengan karakteristik
lahannya
(Kesesuaian
Lahan),
dari
kelima
alternatif
penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar,
menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika
diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang
f.
Berdasarkan sub-kriteria kemampuan penggunaan lahan dalam upaya konservasi sumber daya air (Konservasi Sumber Daya Air), dari kelima alternatif penggunaan lahan yaitu hutan, kebun campuran, sawah, ladang dan semak belukar, menurut Bapak/Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing alternatif tersebut.
136
Urutan Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Hutan Kebun Campuran Sawah Ladang