KEBIJAKAN DESENTRALISASI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF TEOR! EKONOMI KELEMBAGAAN
UNIVERSIT AS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam IImu Ekonomi Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada . pada tanggal 23 Desember 2010 di Yogyakarta
Oleh: Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc., Ph.D.
Bismillahirrahmanirrahim Yang terhormat, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru Besar, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik,
Rektor, WakilRektor Senior, dan WakilRektor,
.
Para Dekan, WakilDekan, dan Ketua"Lembaga di Lingkungan UGM, Segenap Civitas Academica Universitas Gadjah Mada, Para hadirin dan tamu undangan yang saya hormqti dan muliakan, Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wa Barokatuh Salam sejahtera bagi kita semua dan,selamat pagi.
Puji syukur saya panjatkan ke haffirat Allah SWT, karena atas. rahmat dan karunia-Nya pada pagi hari ini maka saya dapat menyampaikan pidato pengukuhan GUru Besar Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomika dan °Bisnis, Universitas Gadjah Mada.' Melalui mimbar yang sangat terhormat ini perkenankanlah saya akan menyampaikan pidato dengan judul: "Kebijakan Desentralisasi di Indonesia dalam Perspektif Teori Ekonomi Kelembagaan" Pendahuluan Suatu kebahagian yang tak terhingga untuk dapat berdiri di sini guna menyampaikan beberapa butir pemikiran kepada Sidang Majelis yang paling terhormat. Adapun yang ingin saya sampaikan di sini adalah menyangkut suatu masalah yang tidak hanya untuk kepentingan akademis namun juga untuk kepentingan para praktisi ataupun warga bangsa. ludul pidato ini saya pilih untuk menjelaskan peran teori ekonomi yang relatif baru dalam menjelaskan salah satu fenomena dan persoalan dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yang telah menjadi kepedulian dan kajian saya selama ini. Ketika hampir 32 tahun belajar dan mengajar di bidang
2
.
ilmu ekonomi, saya mengamati telah terjadi pergeseran paradigma (paradigm shift) ilmu ekonomi yang diikuti perdebatan pemilihan paham (mazhab) ilmu ekonomi untuk menjadi pilihan atau mainstreaming guna diterapkan sebagai kebijakan di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, beberapa pemerintahan di seluruh dunia termasuk Indonesia telah melakukan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hasil empiris menunjukkan bahwa kesuksesan desentralisasi dan otonomi daerah telah meningkatkan efisiensi dan e[ektivitas pelayanan sektor publik, dan telah berhasil mengakomodasi dari tekanan kekuatan-kekuatan politik. Sebaliknya, ketidaksuksesan desentralisasi dan otonomi daerah telah mengancam stabilitas ekonomi dan politik serta mengganggu penyediaan pelayanan publik (Bird and Vaillancourt, 1998; Ter-Minassian, 1997; World Bank, 2000; Shah, 2003). Berdasar pendapat tersebut, pidato ini akan menjelaskan hal-hal yang merupakan sebab-akibat kesuksesan dan ketidaksuksesan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Ketidaksuksesan tersebut misalnya berupa ketidakpastian aturan main (rules of the game) yang berakibat biaya ekonomi yang tinggi (high cost economy) dalam penyediaan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi daerah. Sejumlah studi di negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa berlakunya undang-undang desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong dilaksanakannya akuntabilitas horizontal, namun juga menjadi peluang terjadinya saluran (chann.els)baru bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, politik uang (money politic), lobi-lobi (lobbying), suap (bribery) atau gratifikasi. Selain itu, salah satu risiko dari sistem desentralisasi dan otonomi daerah adalah kemungkinan terjadinya kontrol penuh oleh elit daerah (lihat misalnya, Bardhan and Mookherjee, 2002, MartinezVasquez dan Nab, 1997, Prud'Homme, 1995 dan Tanzi, 2000). Beberapa peneliti tersebut juga mengatakan bahwa ketidaksuksesan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dikarenakan desain kelembagaan (institutions design) yang dibuat tidak efisien. Di'dalam mendukung pemyataa,n di atas, beberapa peneliti juga mengatakan bahwa inefisiensi kelembagaan merupakan penyebab yang mendasar bagi adanya stagnasi ekonomi di beberapa negara berkembang dan juga negara industri masa lalu. Runtuhnya ekonomi
3 Uni Soviet, Asia Tengah dan Eropa Timur Tengah, Amerika Latin dan Kepulauan Karibia menunjukkan bukti hal ini (Burki dan Perry, 1998). Sumber-sumber utama inefisiensi kelembagaan di negara berkembang seperti korupsi, pemburu keuntungan pribadi (rentseeking), dan pengembalian aktivitas-aktivitas produksi yang tidak produktif secara langsung telah menyebabkan hilangnya kesejahteraan dan kerugian transaksi, serta menyebabkan dorongan nilai inflasi (cost push inflation). Bagaimana di Indonesia? Menurut pengamatan saya, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dimulai tahun 1974 sampai tahun 2010, merupakan suatu fenomena laboratorium penelitian ekonomi kelembagaan yang sangat dinamis, menarik dan menantang untuk diteliti. Karena kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tersebut tidak hanya telah mengubah suatu aturan main yang sangat drastis (big bang changes), namun juga telah mengubah organisasi, perilaku pelaku dan sumberdaya manusia. Perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berupa perubahan pemerintahan yang dulunya pemerintah sangat otoriter telah berubah menjadi pemerintah yang sangat demokratik, yang dulunya pemerintah sangat sentralistik berubah menuju pemerintah yang desentralistik, namun perubahan aturan-aturan tersebut belum diikuti perubahan tata kelola (governance) yang baik. Hasil Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2010 menetapkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara Asia Pasific. Di ASEAN pun Indonesia masih sebagai negara terkorup dengan nilai skor korupsi (8,32), disusul Thailand (7,11), Kamboja (7,25), Vietnam (7,11), Filipina (7,0), Malaysia dan Singapora (1,07). Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah apakah desain kebijakannya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia ada yang salah? Atau mindset perilaku pelaku pembuat kebijakan maupun pelaku penerima kebijakan belum berubah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong saya untuk melakukan pencarian alternatif teori ilmu ekonomi guna mendukung kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang cocok diterapkan di Indonesia. Di dalam pencarian alternatif pemikiran tersebut saya tidak saja terinspirasi pemikiran teori, kosep-konsep, dan pengetahuan (explicit knowledge) namun juga terinspirasi oleh pengetahuan dan
4 pengalaman para aktor pelaku desentralisasi dan otonomi daerah (tacit knowledge), misalnya diskusi-diskusi dengan para pejabat pemerintah daerah dari seluruh Indonesia, diskusi-diskusi dengan beberapa pejabat di Kementerian Dalam Negeri terutama Direktorat lenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah, Direktorat lenderal Otonomi Daerah dan Kementerian Keuangan terutama Direktorat lenderal Perimbangan Keuangan Daerah. Selain itu, saya juga telah mendapatkan pertukaran informasi dengan para peneliti-peneliti asing ketika melakukan riset maupun pelatihan yang bekerja sarna dengan lembaga intemasional (World Bank, AUSAID, USAID, GTZ, CIDA, UNDP dan ADB) sejak tahun 2000 sampai sekarang. Pada kesempatan ini perkenankanlah saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut yang mungkin dapat membantu kita mengenali permasalahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang dan akan kita hadapi di masa depan, sekalian memberikan sepercik pemikiran teori ekonomi kelembagaan baru. Pimpinan sidang dan para hadirin yang saya hormati ..
Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia: Apakah Sudah Sesuai dengan Ekspektasi Teori?
.
Menurut beberapa literatur teori desentralisasi, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di negara berkembang termasuk Indonesia telah menggunakan tiga tipe teori desentralisasi yaitu desentralisasi politiR:,desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Litvack dan Seddon, 1999 dan Shah, 1998). Desentralisasi politik didefinisikan sebagai mekanisme yang mana pemerintah pusat memberikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah, yang sering disebut' otonomi daerah. Desentralisasi administratif adalah penyerahan wewenang administratif dari pusat kepada pemerintah daerah. Ada tiga bentuk, yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi adalah pemberian tanggung jawab pemerintah pusat untuk beberapa pelayanan kepada pemerintah daerahnya. Demikian pula delegasi dan devolusi berhubungan dengan perimbangan kepentingan pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah. Selain itu, tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi
5 daerah adalah menciptakan pemerintah daerah yang demokratis, transparan, meningkatkan kapasitas administrasi, dan lebih mandiri dan mampu di dalam pengelolaan fiskal. Dalam sebelas tahun terakhir ini kita telah menyaksikan suatu periode yang mana kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia banyak menghasilkan bukti positif maupun negatif. Selain memberikan dampak positif, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia tidak hanya meningkatkan transparansi informasi namun juga telah memunculkan peluang dominasi kontrol elit lokal yang menghasilkan informasi yang tidak utuh (asymmetric information), yang pada gilirannya menimbulkan inefisiensi kelembagaan (institution inefficiency). Lemahnya pengawasan dan penegakan kelembagaan (lack of enforcement) merupakan hal yang krusial dalam hubungan pelaku desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan kelembagaan desentralisasi dan otonomi daerah telah mengakibatkan ketidakjelasan siapa yang menjadi pemberi kewenangan (principal) dan siapa yang diberi kewenangan atau yang mewakili (agent), sehingga terjadilah ketidakharmonisan kelembagaan serta menciptakan kemacetan (bottleneck) bagi terselenggaranya tata kelola yang baik (Jaya, 2005). Hasillaporan perkembangan opini laporan keuangan pemerintah daerah (Pemda) oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) tahun 2010 menunjukkan bahwa pada tahun 2009, dari 435 pemda di Indonesia baru 4% pemda yang memperoleh opini Wajar Tanpa Perkecualian (WTP), dan 72% pemda memperoleh Wajar Dengan Perkecualian (WDP) sedang sisanya 24% pemda memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer. Menurut BPK permasalahan pokok adalah rendahnya disiplin anggaran, daya serap rendah, rendahnya pertanggungjawaban atas kegiatan, penyimpangan ,
atas pengelolaan
pendapatan
dan belanja
daerah dan rendahnya
akuntabilitas pertanggungjawaban keuangan (BPK, 20 lO). Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa keuangan daerah penyumbangkerugian keuangan negara akibat korupsi yang terjadi dalam semester pertama tahun 2010 (ICW, 2010). Dari laporan ICW tersebut temyata oknum di parlemen (DPRD) dan kepala daerah masih rangking tertinggi melakukan tindakan yang terkait dengan korupsi di pemda.
.,~~~,,\,:,~:~.,.~.
6 Selain itu, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah seperti dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No: 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No. 29/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah belum meningkatkan kekuatan fiskal (fiscal power) bagi pemerintah kabupaten dan kota, hal ini merryebabkan pemerintah daerah masih tergantung dana perimbangan dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat masih mempertahankan pajak-pajak gemuk seperti pajak pendapatan, pajak nilai tambah dan pajak cukai. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum dapat mengurangi ketidakseimbangan fiskal secara vertikal (vertical fiscal imbalances). Selain itu, sistem kebijakan desentralisasi dan. otonomi daerah yang uniform atau simetris (symmetrical decentralization) di. Indonesia juga telah menyebabkan ketidakseimbangan fiskal secara horizontal (horizontal fiscal imbalances), terutama Indonesia bagian barat dan timur, Jawa dan luar Jawa, kota dan pedesaan (Jaya, 2000). Dari perspektif sejarah proses kebijakan desentralisasi di Indonesia sejak jaman kolonial sampai sekarang sebagai sebuah pola 'zigzag' antara desentralisasi' dan sentralisasi. Perubahan radikal kebijakan desentralisasi di Indonesia merupakan tinjauan ulang pengalaman pemerintah kolonial Belanda terhadap Undang-Undang Desentralisasi 1903. Desentralisasi sederhana dalam periode kolonial terakhir menjadi dasar Republik Federal dalam Negara Federal Indonesia, tetapi segera sesudah kemerdekaan Republik disusun kembali sebagai sebuah negara. kesatuan. Tingkat sentralisasi mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, dan akhimya memicu sebuah 'krisis' dalam hubungan pusat-daerah, sehingga diperkenalkannya undang-undang baru tentang kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tahun 1999 (Jaya dan Dick, 2001). Undang-Undang Desentralisasi dan Otonomi Daerah tahun 1999juga telah menyebabkan perubahan kekuasaan (locus of power) dari eksekutif ke legislatif, dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten dan kota, dan juga memicu krisis dalam hubungan kepala daerah dan legislatif, dan hubungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota. Akhimya untuk mengatasi krisis tersebut, l'~merintah pusat pada tahun 2004 memperkenalkan lagi undang yndang desentralisasi dan otonomi daerah yang baru.
7 .
Dari pembahasan sebelumnya,palingtidak ada beberapafakta-
fakta yang telah menunjukkan pada kita bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia selama ini bel).lm . . 'secara pemihmeinenuhi ekspektasi teori;'misalnya masih terjadinya praktek-praktek abuse of power oleh beberapa elite daerah seperti oknum legislatif, eksekutif dan pengusaha,' aturan main yang zigzag atau diskontinyu dan belum meningkatkanfiscal power kabupaten dan kota. Pimpinan sidang dan para hadirin yang saya hormati Teori Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economic): Kenapa Penting? Akhir-akhir ini perdebatan pemikiran ekonomi yang mainstream dan non-mainstream kembali menarik. Salah satunya adalah perdebatan ilmu ekonomi kelembagaan lama (Old Institutional Economics atau OIE), Ekonomi Neo Klasik (Neo Clasical Economics atau NCE) dan Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics. atau NIE). Perdebatan muncul sejak pemberian hadiah nobel ekonomi kepada Ronald Coase pada tahun 1991 dengan tulisannya yang berjudul 'The Nature of The Firm' (1937) dan 'The Problem of Social Cost' (1960), Douglas C. North pada tahun 1993 dengan isu-isu Kelembagaan dan Komitmen yang Kredibel (Institutions and Commitment Credibility), sampai dengan dianugerahkannya hadiah nobel di bidang ekonomi tahun 2009, kepada Elinor Ostrom dalam analisis Ekonomi Tata Kelola, terutama Kepentingan Umum (Economic Governance, especially Commons) dan Oliver E. Williamson dalam analisis Ekonomi Tata Kelola terutama Batasan Perusahaan (Economic Governance, especially Boundaries of the Firm). Perdebatan kembali semakin meningkat setelah adanya krisis keuangan global yang dimulai di Amerika Serikat di tahun 2007 sampai krisis Yunani 2010. Para ekonom saling menyalahkan, mengkritisi, dan berusaha untuk memodifikasi antar mazhab ilmu ekonomi yang satu dengan mazhab ekonomi lainnya. Teori OIE merupakan cabang ilmu ekonomi yang tidak memiliki teori dasar ekonomi orthodoks, ekonomi klasik ataupun
8
.
neo-klasik. Mereka menentang pemikiran neo-klasikal karena dianggap tidak memasukkan sisi-sisi humanistic dalam pendekatannya (Haris et al., 1995 dan North, 1990). Mereka mengatakan bahwa teori OlE bukan lembaga secara fisik melainkan perilaku ekonomi yang didorong oleh pertimbangan dan perasaan yang secara umum berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu. Sedangkan teori NCE masih mendominasi sebagai mainstream pemikiran ekonomi yang masih menekankan kepada mekanisme pasar. NCE dibangun dengan pendekatan teori dan banyak menggunakan asumsi-asumsi. Asumsi tersebut antara lain adanya informasi yang sempuma (perfect information) yang didapatkan oleh pelaku ekonomi dan tidak adanya biaya transaksi (zero transaction cost). Asumsi lain yang digunakan NCE adalah lingkungan yang kompetitif yang dihadapi oleh pelaku ekonomi, atau persaingan sangat sempuma (perfect competition). NCE juga menganggap setiap pelaku menghadapi situasi yang sama (stagnan rational behaviour) dan mereka bebas keluar masuk pasar (Furubotn and Richter, 1993 dan North, 1990). Teori NIE hadir karena mampu membuka kotak hitam (black box) dari lemahnya aplikasf penggunaan teori NCE di dalam memecahkan persoalan persoalan ekonomi dalam dunia nyata. NIE menggambarkan adanya ketidaksempumaan informasi dan adanya biaya transaksi. Setiap pelaku ekonomi tidak dapat secara bebas keluar masuk dalam pasar karena tidak semua pelaku memiliki informasi yang sama. Informasi yang tidak sempuma menimbulkan konsekuensi biaya transaksi (transaction cost). Semakin informasi tidak sempuma (adanya asymmetric information) semakin tinggi biaya transaksi yang dikeluarkan pelaku ekonomi. Dalam pandangan NIE perlu adanya usaha-usaha untuk meminimalkan biaya transaksi. Ada tiga alasan yang mendasari pentingnya peran NIE yaitu NIE merupakan suatu teori yang muncul dengan kerangka NCE, tetapi menawarkanjawaban untuk menyempumakan dan mengembangkan teori tersebut. Kedua, NIE penting dalam konteks kebijakan ekonomi tahun 1990an karena NIE menentang dominasi peran pasar oleh kaum orthodoks NCE. Ketiga, NIE penting karena merupakan teori yang dibangun dengan menyesuaikan perubahan institusi dalam kaitannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Furubotn and Richter, 1993 dan Harris, et ai, 1995).
9 Perdebatan ketiga teori OIE, NCE dan NIE semakin menjadi
menarik apabila dilihat dari pai-adigmametodologipenelitian yang . dipeq~unakan (Creswel~, 2003; Darlinton and Scott, 2002; Hussey .' and- Hussey, 1997). Selama sepuluh tahun mengamati -hasil~hasil penelitian ketiga teori OIE, NCE dan NIE, paradigma metodologi perielitian teori OIE lebih cenderung fenomenologis dicirikan dengan sampel kecil, studi kasus, induktif, observasi langsung, kualitatif dan bertujuan ingin memodifikasi teori daripada menguji teori. Sedang paradigma metodologi penelitiannya NCE cenderung positivis yang dicirikan dengan sampel besar, deduktif, kuantitatif, modeling, dan bertujuan untuk menguji hipotesa. Berbeda dengan OIE dan NCE, paradigma metodologi penelitian NIE cenderung campuran antara positivis dan fenomenologis, yang dicirikan dengan penggabungan metodologi kuantitatif dan kualitatif, dan menggunakan trianggulasi konsep, metodologi dan data. Dari perdebatan ketiga teori di atas, saya yakin teori NIE lebih cocok untuk dipakai sebagai paradigma teori baru perumusan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia; karena pendekatan NIE lebih bersifat demokratis, holistik, penggabungan pasar dan non pasar, formal dan informal, dan lebih sesuai dengan fenomena keberagaman ekonomi, budaya, agama, sosial dan penduduk di Indonesia. Para hadirin yang kami hormati Kontribusi Pemikiran Ekonomi Kelembagaan Baru terhadap Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Menurut nobelis ekonorni North (1990), kelernbagaan adalah aturan-aturan formal (formal rules) dan aturan informal (informal rules) beserta aturan-aturan penegakannya (enforcerment rules). Sedangkan organisasi adalah sekelornpok orang (players) yang rnernpunyai tujuan dan motif yang sarna. Organisasi dan individu rnencapai kepentingan rnereka di dalam sebuah struktur kelembagaan berupa aturan-aturan formal (hukum, peraturan, kontrak, hukurn konstitusional) dan aturan-aturan informal (etika, kepercayaan, dan norma-norma yang tidak tertulis lainnya). Organisasi kemudian
10 memiliki aturan-aturan internal untuk rnenangani permasalahan
personalia, anggaran, pengadaandah'. proseduf pefaporan, yang
.
membatasi perilaku anggota mereka. Depgan demikian, kelembagaan merupakal1struktut insentif (pendotong) bagi periiaku organisasidan individu. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dari tahun 1974, 1999 dan tahun 2004 merui:>akanperubahan kelembagaan dan organisasi yang drastis (institutional change), karena telah mengubah regulasi (formal rules) dan organisasi, perilaku para pelaku dan pola-pola pertukaran kewenangan (exchange). Nobelis ekonomi lainnya, Williamson pada tahun 2000, mengemukakan bahwa kelembagaan terbagi ke dalam empat level yang saling berhubungan timbal balik. Dimulai dengan level I yaitu teori sosial (social theory) yang merupakan aturan informal yang telah melekat dalam masyarakat, seperti tradisi, norma, adat, dan konvensi. Level II menekankan ekonomi kepemilikan (economics of property right) yang terdiri dari aturan main (hukum), politik, lembaga hukum, dan birokrasi. Level III menekankan biaya transaksi (transaction cost . economics). Level IV menekankan efisiensi'sumber daya dan struktur insentif. Pertanyaannya adalah bagaimana analisis keempat level dari model Williamson dipergunakan untuk menganalisis kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia? Pada bagian s«lanjutnya, saya akan menggunakan konsep North (1990) dan Williamson (2000) untuk menganalisis kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Hasil temuan analisis saya adalah sebagai berikut:
.
Pertama, aturan informal, yang merupakan tradisi, norma, adat, agama, kebiasaan baik yang bersifat produktif maupun tidak produktif, belum kompatibel mendukung aturan formal. Budaya primordialisme, patron-klien, raja-raja kecil, pangreh praja, upeti, adalah budaya informal yang melekat (embededness) sebagai mindset perilaku pelaku desentralisasi menciptakan biaya tinggi. Selain itu, administrasi Indonesia telah dipengaruhi oleh konsep tradisional Jawa dalam kekuasaan dan hirarki, yang menekankan sentralisasi kekuasaan, perilaku patrimonial, primordialism, patron-client dan pembuatan keputusan top-down (Rohdewohld, 1995). Namun budaya awig awig, bendesa adat dan sanksi adat pada Lembaga Perkreditan
11 Desa (LPD) di Bali, gugur gunung, aturan shariah pada Lumbung Pitih Nagari, qanum di Aceh yang merupakan "kebijaksanaan lokal" atau local wisdom yang kompatibel dengan aturan formal yang dapat memperkuat desentralisasi dan otonomi daerah (lihat juga Arsyad, 2007). Kedua, hak kepemilikan (property rights) kewenangan belum jelas dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sistem aturan kewenangan (system of rules) yang terdapat dalam UU No. 32/2004 serta diperjelas dalam Peraturan Pemerintah No. 38/2007 pembagian kewenangan belum memberikan fungsi yang jelas (lack clarity of function). Sistem kewenangan dibagi seCa1"ahirarkhi, yang mana kewenangan pusat adalah mengurusi moneter, perdagangan, agama, pertahanan dan militer, sedang kewenangan lainnya dibagi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dan kota berdasarkan akuntabilitas, efisiensi dan dampak ekstemalitas. Ketidakjelasan terjadi baik secara vertikal maupun secara horizontal, menyebabkan ketidakjelasan hak kepemilikan pemerintah pusat, provinsi dan daerah, ketidakjelasan kontrak hubungan hak kepemilikan. Selain itu, masih terjadi ego sektoral dan multitafsir kepemilikan kewenangan kementerian dan kelembagaan di tingkat pusat, yang juga berakibat multitafsir kepemilikan kewenangan di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten dan kota. Selain itu ada ketidakjelasan pemilikan formal dengan informal seperti hak kepemilikan adat, tradisi seperti dalam kasus pertanahan; perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Apalagi ketidakjelasan pembagian kewenangan juga sebagai akibat keterlambatan kementerian dan lembaga di pemerintah pusat menyiapkan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) (Jaya, 2009). Ketiga, rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) dan perilaku yang oportunis (opportunistic behaviour) telah meningkatkan biaya transaksi ekonomi (transaction cost economics). Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah menggeser pola penyalahgunaan kekuasaan "abuse of power" yaitu pola monopoli dan diskresi minus akuntabilitas oleh segelintir oknum di lembaga trias politika yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kontrak-kontrak hubungan transaksi antarpelaku desentralisasi belum lengkap
12 (incomplete contract). Selain itu, transaksi-transaksi oportunis, infonnal, ilegal, baik yang dilakukan oleh oknum kepala daerah, dewan perwakilan daerah ataupun oknum lembaga penegak hukum semakin meningkat. Hal ini dikarenakan lemahnya transparansi infonnasi, akuntabilitas dan minimnya mekanisme kontrol (check and balances) dari masyarakat (civil society). Keempat, konstruksi model mental (mental model) para pelaku desentralisasi dan otonomi daerah belum berubah. PerilakU birokrasi masih ingin dilayani (pangrehpraja) daripada ingin melayani masyarakat (pamongpraja). Selain itu, perubahan kelembagaan desentralisasi telah menghasilkan kelompok yang menang (winner) dan kelompok yang kalah (fosser). Kelompok incumbent yang kalah akan mempertahankan status quo saat memimpin dengan cara melawan kembali (revenge). Tarik-menarik kekuatan dari kelompok yang kalah menyebabkan aturan main desentralisasi menjadi limbung, tidak jelas, sehingga menciptakan biaya transaksi ekonomi, apalagi ditambah dengan perilaku aji mumpung (moral hazards) daripara pelaku elit desentralisasi. Selain itu, perilaku elit daerah yang oportunis sering menempatkan sumberdaya manusia berdasarkan kelompok, keluarga, dan tim sukses pilkada yang tidak sesuai dengan keahlian dan kompetensinya. Kelima, perspektif teori ekonomi mikro, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum memanfaatkan prinsipprinsip ekonomi, seperti skala ekonomi, cakupan ekonomi, komplementaritas, dan ekstemalitas jejaring matriks kelembagaan. Belanja publik dan belanja modal masih belum menunjukkan skala ekonomis (economic of scale). Atau dengan kata lain belanja rata-rata jangka panjangmeningkat terus yang tidak diikuti dengan kenaikan output pelayanan publik (diseconomies of scale). Selain itu pemerintah daerah helum memanfaatkan kerjasama antardaerah dengan prinsip kerjasama biaya (economic of scope) dan prinsip saling melengkapi (complementarity) guna menciptakan pelayanan publik
yang efisiendan akibatpenanggulangandampakekstemalitasnegatif. . .
Cara pandang (mindset) pelaku desentralisasi masih sangat terbatas dan dipengaruhi kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang turun temurun (path dependent).
13 Keenam, pergeseran pertanggungjawaban secara vertikal (vertical accountability) menuju pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability) dan kembali lagi ke pertanggungjawaban vertikal telah membuat ketidakjelasan hubungan principal-agent. Jalur akuntabilitas hubungan mulai dari pemilih partai atau rakyat (voters) sebagai principal dan DPRD sebagai agent ini tidak jelas aturannya, tidak ada kontrak kinerja, dan tidak ada mekanisme kontrol dan insentif (reward and punishment). Voters mempunyai keterbatasan informasi (bounded rationality) memilih anggota DPRD dan Partai, dan dengan keterbatasan pengawasan bagi DPRD dapat dimanfaatkan oknum DPRD untuk melakukan perilaku aji mumpung (opportunistic behaviour). Jalur akuntabilitas hubungan antara DPRD dengan eksekutif juga lemah, siapa menjadi principal dan siapa menjadi agent, dan siapa menjadi lembaga pengawas. Kondisi ini dimanfaatkan para pelaku dengan melakukan kesepakatankesepakatan kedua belah pihak yang tidak menguntungkan kepentingan publik. Jalur akuntabilitas yang terakhir juga lemah antara hubungan voters atau rakyat sebagai principal dan pemerintah daerah sebagai agent. Ketujuh, kerangka kelembagaan (institutions framework) dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak optimal membentuk struktur insentif untuk mendikte ketrampilan dan pengetahuan sumberdaya, maupun organisasi yang dianggap memiliki pertukaran hasil yang paling maksimum (maximum pay-ofJ). Desain kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia kurang komplit, tidak ada pemilikan kewenangan yang jelas, kontrak kinerja, tidak ada sistem meritokrasi, serta tidak adanya sertifikasi jabatan fungsional bagi pelaku pengelola keuangan daerah, maka dapat dikatakan bahwa kerangka kelembagaan desentralisasi belum menghasilkan hasil atau outcomes yang maksimal. Lingkungan yang tidak kompetitif belum mendorong organisasi untuk melakukan investasi ketrampilan dan pengetahuan, dan belum membentuk persepsi merubah kelembagaan menjadi lebih efisien dan efektif. Kedelapan, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan peraturan pemerintah atau PP No. 41 (2007) dan Permendagri 57 tahun 2007 tentang Organisasi Daerah masih bemuansa sentralistik.
14
.
Organisasi daerah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masih bersifat komando (command) dan kontro1 (control), dan bersifat kehendak dari pusat (top-down). Organisasi dibentuk berdasarkan kewenangan, jum1ah penduduk, 1uas wi1ayah dan jum1ah APBD. Organisasi tidak diciptakan berbasis kompetensi, kehendak dari bawah (bottom up) yang berdasarkan persepsi ketrampilan sumberdaya manusianya, kondisi tata ruang dan potensi ekonomi daerah masingmasmg. Selain masih banyak bukti positif yang bisa ditemukan sebagai hasil dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, namun dari gambaran di atas temyata masih menyisakan beberapa kompleksitas permasalahan seperti ketidakjelasan aturan kepemilikan kewenangan (institutional environment) dan ketidakjelasan tata kelola (institutional governance) seperti ketidakjelasan kontrak-kontrak hubungan kewenangan politik, administratif dan fiskal, ketidakjelasan hubungan principal-agent dan ketidakjelasan struktu.r insentif dan lemahnya kontrol dan penegakan dari .masyarakat (civil society) dan pada akhimya menyebabkan meningkatkan biaya-biaya transaksi ekonomi. Para hadirin yang saya hormati, Desain Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Depan Pada bagian ini saya ingin menyampaikan beberapa pemikiranpemikiran pada tataran konsep dan praksis. Desain ekonomi kelembagaan yang efisien perlu dilakukan pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia masa datang. Desain kelembagaan yang efisien yang dimaksud adalah desain yang tidak hanya yang pro pasar (market) namun juga pro kebijaksanaan l.okal (local wisdom). Pergeseran paradigma (paradigm shift) pemerintahan dari abad ke-20 (yang bersifat kesatuan, sentralistik, birokratik, terpimpin dan terkendali, risk-intolerant, tertutup dan lamban, tergantung) ke abad ke-21 (yang bersifat federasi/konfederasi, partisipatif, mengglobal dan melokal, partisipatif, responsif dan akuntabel, risk-tolerant, terbuka
15 dan cepat, kompetitif) telah mempengaruhi perubahan. sistel1). kelembagaan desentralisasi dan otonomi daerah. di fudonesia. Secara teori, Indonesia membutuhkan suatu sistem ekonomi kelembagaan baru yang kuat, mensyaratkan keselarasan seperangkat aturan formal dan informal beserta penegaknya yang menciptakan struktur mekanisme insentif hubungan antarindividu dan organisasi baik di tingkat pusat, maupun di daerah guna menurunkan biaya transaksi. Keyakinan saya menunjukkan bahwa perlu langkah-Iangkah penataan kelembagaan formal dan informal yang efisiensi di da1am membuat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masa depan di fudonesia sebagai beikut: Langkah pertama, menselaraskan kelembagaan level makro (institutional environment) yang efisien, yaitu harmonisasi aturan formal UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah, UU No.25/2004 tentang Perencanaan Daerah, UU No.1 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.15 tahun 2004 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara dan seperangkat aturan informal. Pendelegasian kewenangan kepada pemerintah yang dekat dengan rakyat. Kebijaksanaan lokal atau modal sosial seperti; jejaring sosial, rembug desa, sanksi adat, norma, kesepakatan, agama yang dulunya terpisah dengan kerangka kerja hukum atau aturan formal (de-coupling institutions) harus dimasukkan ke dalam aturan formal coupling institutions, misal ke dalam peraturan daerah masing-masing. Langkah kedua, memperbaiki level mikro yaitu tata kelola kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (institutional governance). Perbaikan kapasitas profesional antarbirokrat, sistem manajemen, dan infrastruktur, teknologi, sumberdaya menjadi signifikan untuk menentukan keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah. Elemen-elemen pendukung lainnya yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan strategi langkah ini berupa: (i) restrukturisasi organisasi dan sumber daya manusia berbasis kompetensi yang berorientasi pada pelayanan publik, (ii) kebijakan keuangan yang berorientasi pasar dan nonpasar (local wisdom), (iii) terciptanya mekanisme check and balances melalui civil society
16 me1a1ui penguatan asosiasi, organisasi profesi, dan LSM, (iv) pengga1angan kontrak kerjasama antardaerah dan swasta da1am penyediaan pelayanan publik, (v) peningkatan pengawasan dan koordinasi bertingkat dari pemerintah pusat terhadap pemerintah provinsi, dan dari pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupatenlkota (Jaya dan Adji, 2008). Langkah ketiga, perbaikan mekanisme insentif seperti: policyrelated incentives, market-based incentives dan institution mechanism (Fauzi, 2010). Insentif kebijakan diharapkan dapat memberikan stimulus para pelaku desentralisasi dan otonomi daerah, melalui instrumen fiskal seperti dana insentif reboisasi, tata kelola APBD, tax holiday, dan insentif kontrak kinerja lainnya. Selain itu, kebijakan insentif yang didasarkan pada mekanisme pasar diperlukan untuk menghindari para pelaku desentralisasi danotonomi daerah melakukan abuse of power. Insentif upah atau honor tersebut harus berdasarkan kontrak indikator kinerja. Selain kedua kebijakan di atas, mekanisme kelembagaan diperlukan . untuk mengatur dan mengendalikan kesepakatan-kesepakatan formal dan informal yang disepakati mengenai bagaimana kebijakandesentralisasi dan otonomi daerah dikelola. Selain itu,perlu pengaturan kejelasan fungsi (PP 3812007) beserta kontrak-kontrak kinerja, penciptaan reward and punishment dalam aturan main. Sementara itu, faktor-faktor pendukung langkah ketiga meliputi: (i) perlunya penyederhanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan, (ii) perlunya sinkronisasi produk aturan main agar dapat memberikan insentif dengan pembentukan menteri koordinator otonomi dan desentralisasi sebagai koordinator untuk semua urusan desentralisasi dan otonomi daerah, (iii) perlunya pemetaan dan penerapan sistem informasi yang terpadu antardaerah. Langkah keempat, membentuk suatu organisasi yang kuat dan independent. Kesepakatan kelembagaan kebijakan desentralisasi yang kuat yang tidak hanya berorientasi pada tata kelola (good governance) namun juga berorientasi pasar (market) dengan menyelaraskan atau menyatukan UU No 32/2004 dan UU No 33/2004: (i) aturan main kewenangan (desentralisasi politik dan administratif), (ii) aturan main keuangan (desentralisasi fiskal), (iii)
17
aturan main ekonomi daerah (desentralisasi ekonomi atau pasar), (iv) aturan main sumber daya alam dan lingkungan (desentralisasi pengelolaan sumber daya alam dan. lingkungan). Mainstreaming kebijakan mengenai sumber daya alam dan lingkungan hams mulai dilakukan. Penyelarasan tersebut membutuhkan sequencing kelembagaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang tepat. Selain itu, praktik pendidikan ilmu ekonomi sudah hams menyesuaikan pernbahan paradigma ilmu ekonomi dan paradigma metodologi penelitiannya. Tidak hanya menggunakan pendekatan pasar, namun sudah memulai dengan pendekatan nonpasar, formal dan informal, penggabungan metode penelitian positivis dengan penelitian grounded research, studi kasus termasuk memasukkan kasus-kasus kekinian kebijaksanaan atau local wisdom yang terjadi di Indonesia. Praktik kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah hams diubah, perlu memasukkan analisis kelembagaan dan tata kelola, sebelum membuat undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan menteri. Hal ini sangat urgent karena konsep ekonomi kelembagaan barn dapat digunakan untuk memahami: (1) kompleksitas pengelolaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang berkelanjutan dan sekaligus dapat dijadikan "umbrella" bagi masalah yang terjadi dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. (2) analisis grand design otonomi daerah, seperti aturan-aturan yang menyangkut persoalan kewenangan, organisasi, sumber daya manusia, keuangan, hubungan eksekutif dan legislatif, pengawasan, serta prosedur perencanaan dan administrasi. Saya yakin, masih banyak teori, konsep dan pemikiran ekonomi lain yang telah dan akan dikembangkan oleh para peneliti dalam studi ilmu ekonomi di dalam menopang kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, namun pemikiran saya ini bukan hanya sebagai pencarian pemikiran secara teoritik saja, namun pada level praktis diharapkan dapat membantu pemerintah, legislatif, yudikatif maupun stakeholders yang lain di dalam mendesain kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih terprediksi, terpercaya, pasti, ternkur, cerdas dan menciptakan biaya ekonomi yang efisien.
18 Para hadirin yang saya hormati dan .muliakan Penutup Pengukuhan saya sebagai guru besar dalam bidang ilmu ekonomi ini merupakan anugerah Allah SWT, sebagai manusia biasa saya sadar bahwa tidak mungkin saya dapat menyelesaikan gelar akademis yang tertinggi tanpa bantuan para pihak, oleh karena itu perkenankanlah saya mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah menetapkan jabatan guru besar bagi saya. Terima kasih juga saya sampaikan pada Rektor, Ketua, Sekretaris dan seluruh anggota . . Majelis Guru Besar, Dekan, Senat Akademik dan jurusan ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis yang telah mengusulkan dan menyetujui pengangkatan saya sebagai guru besar di bidang ilmu ekonomi. Terima kasih dan hormat saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ekonomi UGM, Bapak Dekan Prof. Dr. Marwan Asri, M.B.A, Bapak Prof. Dr. Isw~rdono S.P., M.A., Ketua Senat dan terutama almarhum Bapak Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, M.A. yang telah pertama kali membimbing dan mendidik saya menulis skripsi dalam memperoleh derajat doktorandus program S1 Fakultas Ekonomi UGM. Almarhum Bapak Supoyo Padmodirejo, M.A., almarhum Bapak Sulistyo, Ph.D., Bapak Soetatwo, Ph.D. dan Bapak Prof. Sukanto Reksohadidiprojo, Ph.D. yang pada saat itu menjadi dekan FE UGM, telah memberikan saran dan rekomendasi kepada saya untuk menjadi dosen di Fakultas Ekonomi UGM. Penghargaan dan terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Dickinson, Ph.D. pembimbing saya pada saat menyelesaikan program Master dalam bidang Uang, Bank dan Keuangan di Departemen Ekonomi Universitas Birmingham, England. Prof Marika Viqziany, Ph.D. dan almarhum Associate Prof. Robert Rice, Ph.D. sebagai pembimbing saya di program doktoral untuk bidang Desentr.alisasi Fiskal dan Kelembagaan, Departemen Ekonomi, di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Monash, Australia, saya juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Howard Dick, Ph.D. dan Elizabeth Maitland, Ph.D. pembimbing saya di program kandidat doktor di Universitas Melbourne.
19 Selain itu, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada guru.
guru dari sekolah dasar SD P IV IKIP Yogyakarta,SMP Negerl 8 Yogyakarta, sampai SMA Negeri 3 Yogyakarta yangkesemuanya telah menularkan ilmunya yang menjadi bekal dalam mencapai derajat ini. Ucapan terima kasih juga kepada kawan-kawan di Direktorat Bina Administrasi Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah, Kementerian Keuangan. Di luar semua itu, kepada orang tua saya, almarhum Bapak Drs. R. Sugondo dan almarhumah Ibu Srikundari, almarhumah Ibu Sugarti Sugarda dan Ibu Murtiningsih. Kepada almarhum Bapak Sugondo, saya ingin menyampaikan bahwa pidato saya ini sebagai dharma bakti saya kepada beliau dan almarhumah ibu-ibu saya. Ucapan terimakasih juga saya haturkan kepada kakak-kakak saya (almarhumah Sri Gandari, Ratna Maya Sari dan Drs. Wisnu Kuncoro) beserta keluarganya dan keluarga besar Muhamad dan keluarga besar Sugarda yang sangat menyayangi dan berkorban untuk saya. Ucapan terima kasih kepada mertua saya almarhum Bapak Prof. dr. Achmad Muhamad Djoyosugito dan almarhumah Ibu Prof. dr. Soemiati yang selalu memberikan bimbingan spirituil maupun akademis, serta kakakkakak, adik-adik ipar beserta keluarganya, dan keluarga besar Djoyosugito yang selalu mendukung dan membantu saya. Terakhir, dr. Usi Sukorini, M.Kes., Sp.PK(K), istri saya tercinta yang telah memotivasi dan menghantar sampai ke jenjang ini dengan sabar dan penuh cinta kasih, anak-anak: Arya Pradipta, Damas Nawanda dan Dea Karina yang telah memberikan dukungan dengan doa, tawa dan canda, yang kiranya tak satupun ungkapan kata-kata kebahagiaan yang tepat untuk kalian berempat, semoga Allah SWT yang akan membalasnya. Puji syukur saya panjatkan ke hadlirat Allah SWT yang telah melancar-kanperjalanan saya selama ini. Terima kasih atas kesabaran Bapak, Ibu dan para hadirin untuk mengikuti pidato pengukuhan ini. Wabillahi taufiq wal hidayah, Wassalamu' alaikum Warrahmatulahi Wabarahkatuh.
20 DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Lincolin ( 2005). Institutions Do Really Matter: Lesson from Village Credit Institutions of Bali, Journal of Indonesia Economy and Business, Vol 20, No 4, October, 2005, Faculty of Economics of Gadjah Mada University, Indonesia. Bardhan, P. and D. Mookeherjee (2002). "Corruption. and Decentralisation of Infrastructure in Developing Countries." Berkeley and Boston University. Bird, R.M. and F. Vaillancourt, Eds. (1998). Fiscal Decentralization in Developing Countries. Cambridge, Cambridge University Press. Burki, S.J. and G.E. Perry (1998). Beyond the Washington Consensus, Institutions Matter: World Bank Latin American and Caribbean Studies The World Bank Washington D.C. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (2010). Indeks Hasil Penilaian .Sementara, Republiklndonesia, Semester I (IHPS RI SMl). Erani, Y.A. (2006). Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi, Bayumedia Publishing. Fauzi, A. (2010), Peran Ekonomi Kelembagaan dalam Pengeiolaan Lahan Berkelanjutan: http/licnie.orglpage/2/ Furobotn, E.G. and R. Richter (1998). Institutions and Economics Theory, the Contribution of the New Institutional Economics. Michigan, the University of Michigan Press. Haris, John, et al. (1995). Introduction: Development and Significance of NIB. dalam John Harris, et. a.l. The New Institutional Economics and Third World Development. London and New York: Routledge Indonesia Corruption Watch (ICW) (2010). Pemberantasan Korupsi Termehek-mehek. Litvack, J. and J. Seddon, Eds. (1999). DecentraJisation Briefing Notes. Washington, D.C., World Bank Institute. Martine J. Vasquez; and R.M. McNab (1997). Fiscal Decentralization, Economic Growth and Democratic Governance. Atlanta, School of Political Studies, Georgia State University.
21 North, D.C. (1990). Institutions: Institutional Change and Economic Performance. Cambridge, Press Syndicate of the University of Cambridge Jaya, W.K, Dick, H. (2001). The Latest Crisis of Regional Autonomy in Historical Perspective, in Book Chapter "Indonesia Today" ISEAS, Singapore. Jaya, W.K (2005). Dysfunctional Institutions in the Case of Indonesia Regional Government Budget Process, Journal of Indonesia Economy and Business, Vol 20, No 2, April 2005, Faculty of Economics of Gadjah Mada University, Indonesia. Jaya, W.K. (2009). Norms Standard Procedure Criteria {NSPK) . . Kominfo, Asian Development Bank Project. Jaya, W.K dan Adji, A. (2008). Visi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia 2030, Indonesia Forum. PERC (2010). Survey Political and Economic Risk Consultancy. Prud'homme, R. (1995). "The Dangers of Decentralisation. "The WorldBank Resec;trchObserver 10(2): 201-220. Rohdewohld (1995). Public Administration in Indonesia, Melbourne, Montech Pty, Ltd. Rondinelli, D. (1999). "What is Decentralization?" Decentralization Briefing Notes. J. Litvack and J. Seddon. Washington, IDRD/World Bank: 2-5. Shah, A. (1998). "Balance Accountability, and Responsiveness: Lesson about Decentralization." Washington, World,Bank: 36. Tanzi, V. (2000) "Fiscal Federalism and Decentralisation: 'A. Review of Some Efficiency and Macroeconomic Aspects."; In Proceeding of the Annual World Ter-Minassian, T. (1997). "Intergovernmental Fiscal Relations in a Macroeconomic Perspective: An Overview." Fiscal Federalism' in Theory and Practice. T. Ter-Minassian. Washington, International Monetary Fund: 3-24. Martinez, J. Vasquez, and R.M. McNab (1997). Fiscal Decentralization, Economic Growth and Democratic Governance. Atlanta, School of Political Studies, Georgia State University. World Bank (2002). World Development Report 2002: Building Institutions for Market. New York: Oxford University Press
22 BIODA T A
Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc, Ph.D. Guru Besar Madya (Pembina Utama Muda Gol IV/C) adalah Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Wakil Dekan bidang Mahasiswa, Alumni, Kerjasama dan Pengembangan Usaha. Tempat dan Tanggal lahir: Yogyakarta,15 Desember 1958 Pendid~kan: 1. SD II IKIP Sekip Yogyakarta, 1966-1971 2. SMP Negeri 8 Yogyakarta, 1972-1974 3. SMA Negeri 3 Yogyakarta, 1975-1977 4. SI Fakultas Ekonomi UGM, 1978-1983 5. S2 Departemen Ekonomi, Universitas Birmingham, England, 1990 . 6. S3 Departemen Ekonomi, Universitas Monash, Melbourne, 2008 Pendidikan Training: 1. Local Government Finance, Maxwell Citizenships, Syracuse, 1993 2. Research of Experimental Economic, Andrew Young School of Policy Studies Georgia State University, USA, 2001 3. Fiscal Decentralization, Georgia State University, Georgia, 2009 Seminar Internasional: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Property Tax, Rome, Italy, 1995 Indonesia Regional Autonomy Crisis, ANU Canbera, 2000 Indonesia Fiscal Decentralizatron, University of Melbourne, 2000 Indonesia Regional Autonomy Reform, Victoria University, 2002 Institutions Matter in the Case of Local Government Budget, IRSA, UNPAD, 2003 Local Elite Behavior in the Case of Local Budget, UGM, 2005
23 Anggota Profesi: 1. ISEI (Association of Indonesian Bachelor of Economics) 2. Indonesian Regional Science Association (IRSA) Pengala man Jabatan:
. 1997-1999 : Deputi Kerjasama dan Deputi PendidikanProgram Magister Ekonomi Pembangunan, UGM · 2006 : Wakil Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan UGM · 2007-2009 : Publik, Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM · 2008 : Tim Asistensi Menteri Dalam Negeri bidang Keuangan Daerah · 2010 : Tim Anggota Pengarah Kursus Keuangan Daerah, Kemenkeu · 2010 : Wakil Dekan Bidang Mahasiswa, Alumni, Kerjasama dan Pengembangan Usaha, FEB UGM Pengala man Penelitian dan Pelatihan:
· 1994-1997 · 2004 · 2005 · 2006 · 2007 · 2008 · 2009 · 2010
: Konsultan Pengembangan Kapasitas. Pemda seluruh Indonesia Kerjasama P3EB dengan PUOD Kemendagri. : Penelitian Desentralisasi Fiskal, Kerjasama PSEKPADB : Pelatihan Aparatur Pemda Aceh, kerjasama PPE, PSEKP,GTZ : Pelatihan Aparatur Pemda di Indonesia bagian Timur, PPE-AUSAID : Konsultan Keuangan Daerah, CIDA dan USAID : Konsultan Keuangan Daerah, ADB : Pelatihan. Aparatur Provinsi Papua, PSEKP-World Bank : Konsultan Pengembangan Kapasitas Keuangan Daerah, ADB /'
24 Publikasi Terpilih Jaya, Wihana Kirana, (2000), Fiscal Decentralisation and Its Impacts on Local Gov~rnment Revenue, publisl:1edin Book Chapter "Beyond. Jakarta", Crawford Publication. Jaya, Wihana Kirana (2001), The Latest Crisis of Regional Autonomy in Historical Perspective, published in Book Chapter" Indonesia Today" ISEAS, Singapore. Jaya, Wihana Kirana (2002), Regional Autonomy in Indonesia, 100 Australia Federalism Anniversary, ABC-VUT Melbourne Jaya, Wihana Kirana (2003), Institution Matters in Regional Autonomy Transition, published in Book Chapter "Decentralisation Era in Indonesia". Jaya, Wihana Kirana. (2004), New Institutional Economics of The State: An Alternative Approach to Regional Autonomy in Indonesia, Journal of Indonesia Economy and Business, Vol 19, No 4, October, 200.4,Faculty of Economics of Gadjah Mada University, Indonesia. Jaya; Wihana Kirana (2005), Dysfunctional Institutions in the case of Indonesia Regional Government Budget Process, Journal of Indonesia Economy and Business, Vol. 20, No.2, April, (2005), Faculty of Economics of Gadjah Mada University, Indonesia. Jaya, Wihana Kirana (2006), Brief Reflection on Indonesia. Decentrallsation: Flip-Flop Pattern? Journal of Economic and Development: Pangsa, Vol. 12/XI, 2006, Faculty of Economics of Gadjah Mada University Jaya, Wihana Kirana (2007), The Role of the State in the case of Indonesia Local Tax Reform, Journal of Indonesia Economy and Business, 2007, Faculty of Economics of Gadjah Mada University, Indonesia. Jaya, Wihana Kirana (2008), Norms Standard Procedure Criteria (NSPK) Kominfo, Asian Development Bank Project Jaya, Wihana Kirana (2009-10 forthcoming), Indonesia Local Government Finance Capacity Building Evaluation, Asian Development Bank Project.