6. PEMBAHASAN UMUM
6.1 Kondisi Vegetasi Habitat Komunitas Burung di Lokasi Penelitian Kondisi vegetasi di tiga tipe habitat yang sedang mengalami suksesi tampak menunjukkan perbedaan terutama pada kerapatan spesies tumbuhan semak (Table 2, Gambar 16, Lampiran 18-24, 27-29). Semakin tinggi usianya suksesi semakin rendah kerapatan tumbuhan semak, tetapi memiliki indeks keanekaan spesies tumbuhan lebih tinggi. Tingginya nilai indeks tersebut lebih didukung oleh semakin meningkatnya jumlah spesies (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan semak tertutama yang berdaun lebar berkurang jumlah individunya karena ternaungi oleh jenis tumbuhan lain, sedangkan disisi lain muncul spesies yang tidah ditemukan atau jarang di temukan di tipe vegetasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Begon et al (1996), dan Smith (1990) bahwa keanekaan spesies akan meningkat sesuai dengan perkembangan suksesi, namun kelimpahan individu dari spesies-spesiesnya mengalami penurunan. Keanekaan
spesies
dan
kerapatan
tumbuhan
di
habitat
dapat
mempengaruhi spesies burung yang menggunakannya (Tabel 2 & 4). Pada habitat yang sedang mengalami suksesi tahap semak, sumberdaya yang tersedia sangat menunjang kehidupan burung semak karena banyak terdapat tempat berlindung, bersarang, makan dan tenggeran (Tabel 3, Lampiran 31-33). Terjadi pertambahan usia suksesi habitat tidak selalu diikuti oleh peningkatan keanekaan spesies dan kerapatan tumbuhan semak, terutama pada habitat yang vegetasinya homogen seperti kebun teh (Tabel 2). Keadaan tersebut berdampak pada ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan oleh burung penghuninya, sehingga tampak dengan berkurangnya jumlah dan keanekaan spesies burung di habitat suksesi yang lebih tinggi usianya (Gambar 19, Lampiran 13-17). Hal ini karena ketersediaan sumberdaya untuk burung kurang sesuai dengan kebutuhannya terutama tumbuhan pakan tempat istirahat maupun berlindung. Walaupun tersedia sumberdaya ranting-ranting dan buah kebanyakan dari tumbuhan yang tidak dimanfaat oleh burung seperti tumbuhan teh kurang pada tipe vegetasi KT10. Hal ini terbukti selama pengamatan tidak ada satu spesies burungpun yang
119
menggunakan buah teh sebagai pakannya. Selain itu, vegetasi semak yang rapat di KT5 lebih nyaman digunakan burung semak seperti Perenjak sayap-garis (Prinia familiaris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax), Tepus gelagah (Timalia pileata) menjadikan sebagai habitat
tempat sarang (Tabel 3, Gambar 16,
Lampiran 27-29). Burung Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) membuat sarang di tumbuhan teh di KT5, sementara di beberapa tempat diluar lokasi penelitian sulit ditemukan sarangnya walaupun tersedia pohon yang tinggi.. Hal ini terbukti 15 sarang burung Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) dan 2 sarang burung Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) ditemukan di KT5 (5-10 m jarak dari pinggiran petak) yang berbatasan dengan kebun teh produktif, sedangkan di KT10 cenderung sarang yang ditemukan dari spesies Bondol jawa (Lonchura leucogastroides). Tempat bersarang di vegetasi hutan sekunder tersedia banyak, selain untuk burung semak juga burung elang (Tabel 3). Pada strata 4 ditemukan sarang burung Elang brontok (Spizaetus cirrhatus) dan Jalak tunggir-merah (Scissirostrum dubium). Keberadaan KT5, KT10 dan hutan sekunder sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup komunitas burung termasuk burung pemakan buah karena menyediakan tempat perlindungan dan tempat bertengger (Tabel 3). Berdasarkan diagram profil (Gambar 17) menunjukkan bahwa di hutan sekunder sangat menunjang terhadap kehadiran burung pengguna pohon diantaranya kelompok predator. Pohon-pohon tersebut digunakan untuk bertengger sambil mengintai mangsa di daerah terbuka. Oleh karena itu ketiga tipe vegetasi tersebut menyediakan tempat mencari makan untuk kelompok burung predator seperti Elang jawa (Spizaetus bartelsi), Elang brontok (Spizaetus cirrhatus), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Elang ular bido (Spilornis cheela) dan Alap-alap kawah (Falco peregrinus). Hal ini karena di ke-3 tipe vegetasi tersebut tersedia mangsa yang berlimpah berupa burung dan spesies hewan lainnya. Hampir setiap hari KT5 dan KT10 didatangi oleh burung elang. Kondisi yang relatif terbuka dan jarang terdapat tumbuhan yang menjulang tinggi memudahkan burung predator mengintai mangsanya. Kegiatan burung elang dalam mencari mangsanya dimulai dengan terbang berputar putar di sekitar hutan
120
primer, kemudian bergeser ke hutan sekunder dan ke kebun teh baik KT10 maupun KT5. Di KT10 dan KT5, burung elang tidak bertengger melainkan selalu terbang berkeliling dan sesekali menyambar mangsanya di vegetasi semak termasuk di pohon teh. Berbeda dengan Alap-alap kawah (Falco peregrinus) yang sering bertengger di pohon Kayu afrika (Maesopsis eminii) dan Kaliandra (Caliandra haetomacephala) karena badannya lebih kecil dibanding elang. Selain itu, burung alap-alap sering terbang melayang diantara pohon teh, sehingga kadang-kadang terjaring jala kabut pada saat burung memburu mangsanya yang menabrak jaring. Banyaknya tumbuhan semak yang buahnya dapat dijadikan makanan burung di ke 3 tipe vegetasi menyebabkan tingginya kekayaan spesies burung yang menjadikan tempat tersebut sebagai tempat mencari makan, serta beberapa bagian dari tumbuhan dapat dimakan oleh burung diantara buah, nektar dan madu bunga (Lampiran 31-33). Menurut Sody (1989) beberapa tumbuhan semak yang buahnya dijadikan makanan burung adalah Arben (Rubus chrysophyllus), Bungbrum (Poligonum chinensis), Harendong beureum (Melastoma affine), Harendong bulu (Clidemia hirta), Kipapatong (Sambucus javanicus), Saliara (Lantana camara), dan Sauheun (Panicum palmifolium). Selain itu tumbuhan dijadikan pakan burung adalah Cecerenean (Breynia microphylla), Harendong nagri (Leucosyke capitellata), Kayu afrika (Maesopsis eminii) (Lampiran 9, 3133). Ketersediaan beberapa tumbuhan yang memiliki bunga dan buah menyebabkan tumbuhan tersebut sering dikunjungi burung nektarivora seperti familia Dicaeidae dan Nectarinidae. Selain itu banyak jenis serangga pada tumbuhan tersebut mengakibatkan banyak kehadiran burung-burung insektivora seperti familia Apodidae, Campephagidae, Chloropseidae, Cuculidae, Dicaeidae, Lanidae, Muscicapidae, Pycnonotidae, Sylviidae, Timalidae dan Zosteropidae (Lampiran 12-13). Kehadiran burung yang tinggi juga menyebabkan meningkatnya gangguan pada habitatnya. Hal ini karena penduduk selain mencari rumput dan kayu bakar (Lampiran 28), juga berburu berbagai spesies binatang termasuk berburu burung yang dilakukan oleh penduduk setempat maupun penduduk luar daerah Ciater hampir setiap hari. Hal ini karena daerah tersebut memiliki banyak spesies burung yang sangat potensial untuk diperdagangkan seperti burung Anis merah (Zoothera
121
citrina), Jalak tunggir-merah (Scissirostrum dubium), burung Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Ayam hutan merah (Gallus gallus) dan familia Columbidae (Lampiran 12-13). Penangkapan burung sering dilakukan dengan jerat atau jaring. Pemasangan jerat dilakukan di setiap tipe vegetasi, sedangkan pemasangan jaring dilakukan di hutan sekunder, namun burung digiring dari tipe vegetasi KT5 dan KT10. Gangguan pada ketiga lokasi penelitian dari manusia selain sebagai tempat berburu binatang, akibat kebijakan pemerintah yang menaikan harga minyak tanah, sehingga banyak penduduk sekitar lokasi penelitian yang beralih mencari kayu bakar untuk kebutuhan hidupnya. Hampir setiap hari tipe vegetasi terutama di KT10 sering dijadikan tempat mencari kayu bakar (Tabel 3, Lampiran 28). Setiap hari berkisar antara 15-25 orang pencari kayu bakar mengambil berbagai tumbuhan dan 10-15 orang mengambil rumput untuk sapi dan domba di lokasi KT10 dan hutan sekunder, baik mengambil ranting tumbuhan maupun menebang batangnya. Selain itu, beberapa penduduk sering menggunakan daerah KT10 sebagai tempat mencari benalu teh dan tanaman obat lainnya seperti tumbuhan Sulibra (Cinchona sucirubra) serta tumbuhan pakis untuk media tanaman anggrek.
6.2 Komunitas Burung Pemakan Buah Komposisi burung pemakan buah pada tiga tipe vegetasi tampak menunjukkan peningkatan sesuai dengan tingkat usia suksesi (Gambar 19). Namum secara secara umum jumlah spesies pada KT10 lebih rendah dibanding dua lokasi yang lainnya. Perubahan ini terjadi karena pada KT10, tumbuhan semak dibagian petak-petak kebun teh semakin berkurang
(Tabel 3, Gambar 16,
Lampiran 21 & 28), sehingga jumlah spesies burung pemakan serangga menurun. Akan tetapi terjadi peningkatan jumlah spesies burung pemakan buah lebih dikarenakan kehadiran pohon-pohon tinggi di KT10 (Gambar 17) yang dapat digunakan oleh burung pengguna tajuk pohon seperti Ptilinopus, Macropygia dan Megalaima (Lampiran 32). Selain itu, perubahan komposisi burung karena beberapa spesies burung ada yang lebih menyukai daerah terbuka dengan lapisan semak yang rapat, tetapi
122
sebagian lagi lebih cenderung menggunakan tegakan tumbuhan yang lebih tinggi. Perubahan suksesi vegetasi berdampak pula pada jumlah spesies burung berdasarkan guild (Tabel 3). Kelompok burung semak guild insektivora cenderung menurun sedangkan guild frugivora meningkat (Lampiran 12 &13). Hal ini karena pada beberapa burung insektivora terutama yang sangat sensitif kehadiran pengganggu sangat dibutuhkan ketersediaan lapisan semak yang lebih rapat untuk mencari makan maupun berlindung. Peningkatan komunitas burung pemakan buah di habitat suksesi tidak terlepas juga pada sebaran dari tumbuhan buah pakannya. Beberapa spesies tumbuhan yang buahnya berpotensi sebagai makanan burung tidak selalu terdapat di berbagai lokasi (Lampiran 31-33). Habitat yang lebih lengkap menyediakan berbagai spesies tumbuhan buah maka mendorong meningkatnya jumlah spesies burung pemakan buah yang menempatinya. Hal ini tampak pada hutan sekunder yang selain banyak ditumbuhi oleh tumbuhan semak juga terdapat pohon yang buahnya dapat dimakan burung (Lampiran 33). Selain itu, burung pemakan buah pengguna tajuk pohon hadir di hutan sekunder karena habitat tersebut menyediakan tempat untuk bertenggeran dan aktivitas lain dari burung tersebut
6.3. Karakteristik Morfologi Burung Pemakan Buah Pengelompokan burung semak berdasarkan guild oleh beberapa peneliti cenderung dilakukan berdasarkan tujuan dari penelitiannya. Kagetori tersebut sebagian hanya didasarkan pada parameter morfologi eksternal atau sistem pencernaan saja. Setelah dilakukan uji kedua parameter tersebut ditemukan bahwa nisbah panjang paruh dan panjang kepala (Tabel 5) tidak menunjukkan nilai yang mencolok antara burung frugivora, granivora dan insektivora, kecuali pada burung nektarivora. Hal ini karena burung nektarivora membutuhkan bentuk paruh yang lebih panjang untuk mendukung cara pengambilan makanan berupa nektar dan madu yang yang jauh berada di dalam bunga. Beberapa spesies dinyatakan sebagai pemakan buah dan kemungkinan diduga membantu penyebarkan biji tumbuhan yang dimakannya karena karena kadang-kadang dijumpai melakukan aktivitas makan buah baik yang berdaging maupun buah kering (Tabel 6). Burung tersebut belum dapat dipastikan sebagai
123
frugivora karena proporsi individu yang memakan buah lebih sedikit, selain itu buah yang dimakan belum tentu bijinya dapat keluar utuh bersama feses. Hal ini disebabkan cara penanganan buah baik secara eksternal di paruh maupun di saluran pencernaan sangat menentukan keselamatan biji dapat keluar utuh bersama feses. Pada burung familia Ploceidae (Lonchura dan Erythrura) berpeluang biji utuh dikeluarkan bersama fesesnya sangat kecil (Tabel 7), hal ini karena proses penanganan makanan oleh paruh yang tebal dan kokoh (Lampiran 25) serta ventrikulus yang berotot tebal, hanya biji yang mempunyai exocarp tebal yang dapat selamat. Kelompok burung tersebut dikategorikan sebagai predator buah (Herrera 1984b). Walaupun beberapa spesies familia Ploceidae diketahui memakan buah di hutan subtropik di Hongkong, namun nasib biji dari buah yang dimakan sangat jarang yang utuh (Corlett 1998a, 1998b) Ukuran bukaan paruh sangat berperan dalam proses menelan buah oleh burung frugivora. Spesies burung yang banyak ditemukan memakan buah dan biji utuh banyak terdapat fesesnya ternyata memiliki bentuk paruh yang tidak tebal serta nisbah tinggi dan lebar bukaan paruh ≥ 0,9 atau cenderung bulat (Tabel 6-8). Sehingga hanya familia Dicaeidae, Pycnonotidae dan Zosteropidae yang termasuk dalam kelompok frugivora. Ketiga familia tersebut mempunyai panjang saluran yang relatif pendek sehingga memiliki waktu retensi yang singkat (Tabel 9). Burung Pycnonotidae yang mempunyai panjang sistem pencernaan 34-37 cm memiliki waktu retensi lebih singkat dibanding Sylviidae yang berat tubuhnya jauh lebih ringan (Jordano 1986; Fukui 1995). Selain itu, biji untuk pada feses burung pemakan buah karena memiliki ventrikulus yang relatif lebih tipis dibanding burung granivora.
6.4 Ketersediaan Buah Pakan Burung Ketersediaan buah pakan sangat dipengaruh oleh perkembangan bunga dan buah. Dari ke 7 spesies tumbuhan semak yang buahnya digunakan sebagai pakan burung menunjukkan perbedaan yang antara perkembangan bunga dan buah (Tabel 10, Lampiran 26). Hal ini terjadi baik pada spesies yang sama maupun pada spesies yang berbeda. Kelimpahan buah pakan pada tiap tipe vegetasi berbeda lebih dikarenakan kelimpahan dan ketersediaan tumbuhan buah
124
yang dewasa. Karakteristik buah pakan burung pada kondisi matang cenderung lembek, berair, dan warna oranye-hitam. Secara umum diameter buah proporsional dengan bukaan paruh, sedangkan jumlah biji dalam buah tidak terkait langsung dengan besar diameter buah (Gambar 23). Akan tetapi, diameter buah berkorelasi kuat dengan berat basah buah. Karakteristik buah berpengaruh terhadap perilaku makan burung yang mengkonsumsinya. Burung frugivora memakan buah tidak hanya karena tersedia melimpah tetapi juga dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, warna dan kandungan nutrisi. Walaupun ketersediaan sedikit di alam akan tetapi sangat disukai burung maka buah mempunyai nilai indeks prerefensi yang tinggi (Tabel 13). Hal ini tampak pada buah Arben (Rubus chrysophyllus) yang memiliki warna oranye dan kandungan karbohidrat tinggi.
6.5 Perilaku Makan Penggunaan buah pakan oleh burung frugivora juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tumbuhan tersebut. Pada lokasi yang lebih terbuka aktivitas makan buah lebih singkat dibanding yang lebih tersembunyi. Secara umum perilaku makan diawali dengan mendatangi tumbuhan pakan, kemudian mengamati keberadaan buah kemudian mendekati, memetik dan menelan. Perilaku mencari makan dan memetik buah pada burung frugivora secara umum berjalan kemudian berhenti untuk mengamati dan mengambil buah, akan tetapi pada burung Pycnonotus aurigaster dan Pycnonotus goiavier sambil berjalan atau menggelantung dan memilih buah matang. Laju pengambilan buah sangat tergantung pada ukuran buah, semakin kecil dan mudah ditangani, semakin semakin singkat waktu penanganannya. Selain itu laju makannya lebih tinggi di tempat makan yang lebih terbuka karena untuk menghindari gangguan dari predator. Jumlah kunjungan dan laju makan burung Pycnonotus aurigaster dan Pycnonotus goiavier tampak tidak berbeda nyata, tetapi lama waktu kunjungan dan lama aktivitas makan menunjukkan berbeda. Waktu kunjungan Pycnonotus goiavier lebih singkat berkisar antara 47,0-130,2 detik dibanding burung Pycnonotus aurigaster 67,0-130,5 detik. Demikian pula dengan lamanya waktu
125
aktivitas makan. Akan tetapi, tampak lama waktu makan tidak diikuti oleh laju makan yang lebih tinggi, bahkan sebaliknya. Dengan demikian menunjukkan bahwa burung Pycnonotus goiavier lebih efisien yaitu alokasi waktu yang lebih sedikit untuk makan tetapi laju makan yang tinggi sehingga kemungkinan dapat menyebarkan biji buah lebih banyak. Hal ini karena semakin singkat waktu kunjungan dengan laju makan yang lebih tinggi diharapkan dapat membawa biji jauh dari tumbuhan induk lebih banyak (Wheelwright 1991). Penyebaran biji tumbuhan buah oleh burung selain dipengaruhi komposisi buah yang dimakan, jumlah buah buah yang dimakan, jumlah biji yang terkandung dalam tiap buah serta jarak terbang setelah makan. Jarak terbang setalah makan burung Pycnonotus aurigaster tampak lebih jauh dibanding Pycnonotus goiavier. Penyebaran biji Harendong beureum (Melastoma affine) paling jauh disebar oleh burung Pycnonotus aurigaster. Ini menunjukkan bahwa sebaran tumbuhan tersebut jauh dari induknya sangat dibantu oleh burung.
6.6. Interaksi Komunitas Burung Pemakan Buah dengan Tumbuhan Buah 6.6.1 Hubungan Besar Bukaan Paruh dengan Ukuran Buah Pakan Hubungan besar bukaan paruh burung pemakan buah dengan buah pakannya dapat dinyatakan dengan koefisien diterminan (R2). Besaran nilai koefisien diterminan menunjukkan tingkat keeratan hubungan tersebut. Hubungan yang sangat kuat ditunjukkan antara besar bukaan paruh burung pemakan buah dengan diameter buah maksimum yang dimakan burung di lokasi Panaruban (Gambar 25). Semakin besar bukaan paruh semakin besar diameter maksimum buah yang dapat dimakan (R2 = 0,96) dengan persamaan Y = 0,4421x – 2,8014. Faktor lain sebesar
4,00 % yang berperan dalam menentukan buah tersebut
pilihan oleh burung untuk dimakan dan buahnya dapat ditelan secara keseluruhan adalah karakteristik buah seperti warna buah, mengandung banyak air, daging buah lembek, ukuran biji yang kecil, kulit tidak keras serta kandungan nutrisi dalam buah.
126
8
Diameter buah (mm)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6 7 8 9 ukaan paruh (m mm) Bu
10
11
12
1 13
14
15
G Gambar 25. Kisaran bessar bukaan paruh dengann diameter buuah pakan dari d spesies frugivora, ukuran diam meter buah maksimum (lingkaran hitam) h dan ( koosong) minimum (lingkaran Ukurran diameterr minimum buah yang dimakan buurung tidak terkait t erat d dengan besaar bukaan paruh p (R2 = 0,0065) deengan persaamaan y = 0,0477x + 2 2,3178. Hal tersebut beerarti burungg yang mem mpunyai bukkaan paruh lebih l besar t tidak selalu memilih bu uah yang beerukuran bessar pula. Akkan tetapi buurung yang m mempunyai bukaan paruuh lebih besaar mempunyyai kisaran ddiameter mak kanan buah y yang lebih lebar. l Leightton & Leighhton (1983) menyatakann bahwa sem makin besar b bukaan paruuh burung maka m semakinn luas pula kisaran k ukurran buah yanng dapat di t telan secara keseluruhann oleh burunng pemakan buah. b Oleh kkarena itu buurung yang s semakin bessar bukaan paruhnya, p seemakin beraggam spesiess buah yang ditelannya ( (Herrera 198 85). Ukurran buah yanng dimakan oleh burungg pemakan buuah yang terrtangkap di l lokasi Panaaruban, mennujukkan keecenderungaan yang sam ma dengan penelitian S Sorensen di Spanyol seelatan dan dii daerah Gu uadalquivir M Marismas Mediterrania M ( (Wiens 19922). Jordano (1986) ( meneemukan hal senada bahw wa besar bukkaan paruh b burung berkkorelasi yangg sangat kuat dengan ukuran u buah yang dimak kannya (r= 0 0,886). 6 6.6.2 Komp posisi Biji paada Feses Burung Pemakan Buah Kom mposisi jumllah biji dann jenis bijii tumbuhann dalam fesses burung p pemakan b buah menunnjukkan berrvariasi padda setiap spesies burrung yang
127
memakannya (Tabel 20). Burung Cabai bunga-api (Dicaeum trigonostigma) hanya dijumpai 2 spesies tumbuhan pakan dengan komposisi tertinggi biji Harendong bulu (Clidemia hirta). Tabel 20. Rata-rata jumlah biji spesies tumbuhan yang terdapat pada feses burung No
Spesies burung
1
D. trigonostigma
2
Pycnonotus aurigaster
3 4
Pycnonotus bimaculatus Pycnonotus goiavier
5
Zosterops palpebrosus
N/n
Arb
5/5
0,00
14/12
1,00 ±1,83 1,89 ±2,63 0,82 ±2,16 2,43 ±2,63
9/7 34/28 128/107
Br 2,40 ±2,65 4,67 ±2,74 0,00 0,71 ±1,00 0,00
Cr 0,00
Hbr 0,00
0,83 76,08 ±0,46 ±64,08 6,29 24,57 ±8,98 ±26,87 1,75 189,75 ±1,61 ±331,74 3,18 27,65 ±3,72 ±114,31
Hbl 70,20 ±26,83 40,42 ±16,42 0,00 28,89 ±67,26 7,17 ±84,17
Kpt
Sl
0,00
0,00
1,50 ±2,07 1,43 ±2,08 7,57 ±9,92 0,95 ±1,87
1,82 ±2,05 1,86 ±1,26 2,21 ±5,18 0,19 ±1,23
Arb: Arben (Rubus chrysophyllus), Br: Bungbrum (Poligonum chinensis), Cr: Cecerenean (Breynia microphylla), Hbr: Harendong beureum (Melastoma affine), Hbl: Harendong bulu (Clidemia hirta ), Kpt: Kipapatong (Sambucus javanicus), Sl: Saliara (Lantana camara), N: jumlah sampel burung ditangkap, n: jumlah sampel feses yang ditemukan biji pada burung yang ditangkap
Dari Tabel 20 terlihat bahwa dengan dijumpai banyak biji pada feses burung mengindikasi ada interaksi antara burung dengan tumbuhan buah sebagai pakannya. Burung mendapatkan keuntungan dengan tersediaan makanan berlimpah disekitarnya tempat hidupnya, sementara tumbuhan mendapatkan keuntungan pula dengan bijinya dapat disebar. Keberhasilan beberapa spesies tumbuhan semak tersebar luas sehingga memiliki kelimpahan dan indeks nilai penting yang tinggi, diduga sebagai hasil kontribusi burung pemakan buah. Jumlah biji pada feses burung tidak selalu karena banyaknya buah yang dimakan oleh burung tersebut. Hal ini karena beberapa spesies tumbuhan semak dapat memiliki jumlah biji yang sangat banyak tiap buahnya seperti Harendong bulu (Clidemia hirta) dan Harendong beureum (Melastoma affine) (Tabel 12). Buah dari familia Melastomataceae memiliki rata-rata kandungan biji/buah ≥ 100 butir (Gerlach 1993; Binggeli et al. 1997; Pizo & Morellato 2002). Perbedaan kelimpahan biji pada feses di setiap spesies burung dipengaruhi oleh ketersediaan pakan di habitat burung tersebut (Tabel 11). Spesies burung Dicaeum trigonostigma banyak ditemukan di lokasi semak bawah hutan sekunder. Pada tempat tersebut buah Clidemia hirta tersedia melimpah. Sedangkan
128
Melastoma affine banyak ditemukan di lokasi kebun teh KT5 dan KT10 dengan buah matang berlimpah. Buah tumbuhan tersebut tampak menjadi pakan burung pemakan buah. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya biji Melastoma affine dan Clidemia hirta pada spesies burung Dicaeum trigonostigma, Pycnonotus goiavier, Pycnonotus bimaculatus, Pycnonotus aurigaster dan Zosterops palpebrosus dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu burung dapat membantu tumbuhan semak menginvasi lahan terbuka di beberapa hutan di daerah tropik (Binggeli et al. 1997). Poligonum chinensis ditemukan melimpah pada feses Pycnonotus aurigaster (Tabel 20). Hal ini dikarenakan buah tumbuhan tersebut memiliki warna yang menarik, buah banyak mengandung air, ukuran buah proporsional dengan bukaan paruh serta berlimpah di semua tipe vegetasi (Tabel 12). Demikian pula, biji Kipapatong (Sambucus javanicus) dan Saliara (Lantana camara) dijumpai dalam feses burung Pycnonotus dan Zosterops (Tabel 20). Tumbuhan tersebut berpotensi disebar bijinya oleh burung karena mengandung nutrisi tinggi seperti lemak dan protein (Tabel 12, 14). Buah Lantana camara banyak dimakan burung mengakibatkan penyebaran tumbuhan tersebut ke beberapa daerah yang jauh dari tumbuhan induknya (Gosper 2004). Dari feses yang dikeluarkan oleh setiap burung pemakan buah yang tertangkap jaring, beberapa diantaranya mengandung biji utuh, bahkan masih terbungkus kulit buah. Semua feses burung Cabai bunga-api (Dicaeum trigonostigma) mengandung biji utuh (Tabel 21). Tabel 21. Persentase feses mengandung biji pada burung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Familia Dicaeidae Ploceidae Ploceidae Ploceidae Pycnonotidae Pycnonotidae Pycnonotidae Sylviidae Zosteropidae
Spesies burung Dicaeum trigonostigma Erythrura hyperythra Lonchura leucogastroides Lonchura punctulata Pycnonotus aurigaster Pycnonotus bimaculatus Pycnonotus goiavier Stachyris melanothorax Zosterops palpebrosus
Feses berbiji (%) 100,00 20,00 6,25 20,00 85,71 77,78 82,35 47,73 83,59
129
Tinggi rendahnya frekuensi biji di dalam feses burung yang tertangkap dipengaruhi perilaku pemilihan jenis makanan oleh burung. Kelimpahan buah yang tinggi di habitatnya, tipe buah, tingkat kematangan, warna buah, serta ukuran buah dapat mempengaruhi kehadiran biji buah tersebut dalam feses burung pemakan buah. Selain itu, perbedaan frekuensi biji dalam feses burung pemakan buah disebabkan sistem pencernaannya. Burung-burung yang tertangkap diluar waktu makan, atau pagi hari sebelum makan cenderung memiliki sedikit biji bahkan tidak dijumpai biji dalam fesesnya. Hal ini karena proses pencernaan burung pemakan buah memiliki waktu retensi singkat (Fukui 1995). Menurut Jordano (2000) waktu untuk memuntahkan biji oleh burung pemakan buah sangat cepat, rata-rata 5-20 menit, sementara waktu untuk defekasi biji jauh lebih lama dengan interval waktu antara 18-90 menit. Hal ini karena feses harus melalui proses pencernaan yang dilakukan di dalam ventrikulus kemudian biji dilewatkan melalui usus halus menuju kloaka. Tabel 22. Persentase penyebaran biji spesies tumbuhan yang terdapat pada feses burung No 1 2 3 4 5
Nama spesies burung Dicaeum trigonostigma Pycnonotus aurigaster Pycnonotus bimaculatus Pycnonotus goiavier Zosterops palpebrosus
Arb
Br
Cr
Hbr
Hbl
Kpt
Sl
100,00
0,00
0,00
0,00
60,00
0,00
0,00
33,33
91,67
66,67
33,33
16,67 41,67
66.67
44,44
0,00
44,44
33,33
0,00 33,33
44,44
35,71 0,29
17,86 0,00
57,14 3,18
46,43 27,64
14,29 72,43 7,17 0,95
53,57 0,19
Arb: Arben (Rubus chrysophyllus), Br: Bungbrum (Poligonum chinensis), Cr: Cecerenean (Breynia microphylla), Hbr: Harendong beureum (Melastoma affine), Hbl: Harendong bulu (Clidemia hirta), Kpt: Kipapatong (Sambucus javanicus), Sl: Saliara (Lantana camara
Dari Tabel 22, menunjukkan bahwa frekuensi biji tumbuhan Harendong bulu (Clidemia hirta) paling tinggi pada burung Cabai bunga-api (Dicaeum trigonostigma) dibanding pada spesies burung yang lainnya. Adanya perbedaan frekuensi biji dalam feses burung pemakan buah disebakan ketersediaan pakan di lokasi, berat biji, serta preferensi burung dalam pemilihan pakan (Tabel 14-16). Kombinasi jenis biji dalam feses burung penyebar biji, bukan merupakan hasil suatu proses acak pola pemilihan makan (diet) dari buah yang tersedia, tetapi lebih
130
mengindikasikan kehadiran pola-pola pemilihan yang konsisten (Herrera 1984a, 1985, 2002; Jordano 1992). 6.63 Daya Kecambah Kemampuan perkecambahan biji dari tumbuhan yang dimakan burung tidak menunjukkan perbedaan nyata antara pada media tanam kapas dan pasir (χ2=8,55; df=6). Akan tetapi rata-rata daya kecambah biji pada perlakuan buah dikupas (22,86-31,43%) atau melewati saluran pencernaan burung pemakan buah (31,43-45,71%) cenderung lebih tinggi dibanding kontrol (14,29-17,29%) (Tabel 23). Tabel 23. Persentase daya kecambah biji tumbuhan buah pakan burung
Media kapas
Media pasir
Media Jenis tanam tumbuhan R. chrysophyllus P. chinensis B. microphylla M. affine C. hirta S. javanicus L. camara Rata-rata R. chrysophyllus P. chinensis B. microphylla M. affine C. hirta S. javanicus L. camara Rata-rata
Buah utuh 0 0 0 40 80 0 0 17,14 20 0 0 30 40 0 10 14,29
Buah dikupas 0 0 0 50 100 10 0 22,86 40 30 20 60 60 0 10 31,43
Biji melewati saluran pencernaan Dt Pa Pb Pg Zp 0 10 10 0 0 10 10 20 0 10 0 10 0 0 0 70 60 70 30 50 100 80 90 70 80 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 25,71 24,29 28,57 14,29 20,00 40 10 60 80 30 30 60 60 50 50 0 10 0 0 0 40 70 70 40 50 50 50 70 50 70 0 0 0 0 0 60 40 60 50 80 31,43 34,29 45,71 38,57 40,00
Dt:Dicaeum trigonostigma, Pa:Pycnonotus aurigaster, Pb:Pycnonotis goiavier, Pg:Pycnonotus goiavier, Zp:Zosterops palpebrosus
Pemecahan dormasi biji secara fisiologi sangat dibutuhkan air. Pada media kapas diduga kelembaban media lebih baik sehingga biji dapat tumbuh lebih banyak dibanding di media pasir. Tidak semua biji tumbuhan pakan burung dapat berkecambah baik pada media tanam pasir maupun kapas. Keberadaan daging buah dan kulit ari biji menghambat perkecambahan, terutama kecepatan mulai berkecambah. Banyaknya kandungan air di daging buah tidak menjamin bijinya cepat tumbuh. Buah Rubus chrysophyllus dan Polygonum chinensis mempunyai
131
kadar air lebih tinggi (Tabel 14), tetapi lebih lambat berkecambah dibanding Melastoma affine dan Clidemia hirta. Kedua buah tersebut dapat berkecambah setelah mencapai 8 minggu. Kemunculan tunas terjadi setelah daging buah dan kulit buah membusuk. Fukui (1995) menyatakan bahwa daging buah dapat menghambat perkecambahan biji. Pengelupasan daging buah berarti mengurangi hambatan biji dapat berkecambah, sehingga biji dapat lebih cepat tumbuh. Barnean et al. (1992) menemukan bahwa biji yang sulit tumbuh seperti Morus nigra memiliki daya perkecambahan lebih tinggi setelah melewati saluran pencernaan Pycnonotus xanthopygos dan Turdus merula dibanding kontrol. Dengan waktu retensi yang singkat (44,4±29,10 menit) dari burung Turdus merula (Barnea et al.1991) dan Hypsypetes amaurotis sekitar 28 menit (Fukui 2003) kulit buah, daging buah dan kulit ari biji dapat rusak sehingga bisa terjadi imbibisi dan enzim pada biji bekerja aktif sehingga cepat berkecambah. Biji yang mengandung cangkang yang tebal kemungkinan mempunyai masa dormasi yang lebih lama. Diduga buah melewati saluran pencernaan akan mempercepat berakhirnya masa dormasi karena biji mengalami abrasi oleh asam lambung dan gesekan pada saat melewati ventrikulus (Fukui 1995). Seperti tampak pada biji Sambucus javanicus mempunyai kulit biji yang lebih kokoh dan kuat sehingga bila ditumbuhkan dalam biji yang utuh membutuhkan waktu yang lama. Biji Sambucus javanicus tersebut, walaupun melalui pencernaan pemakan buah seperti Dicaeum trigonostigma, Pycnonotus aurigaster, Pycnonotus bimaculatus tetap masih lama dan membutuhkan 3,5 bulan untuk dapat berkecambah. Hal ini diduga pematahan dormansi biji Kipapatong (Sambucus javanicus) memerlukan proses yang lebih lama dalam saluran pencernaan, karena waktu retensi kelompok burung Pycnonotidae sekitar 20,8 menit. Barneat et al. (1990) menyatakan bahwa waktu retensi yang lebih lama menyebabkan lebih efektif abrasi kulit biji oleh asam lambung dan ventrikulus sehingga daya kecambah menjadi lebih baik. Secara umum biji melalui proses pencernaan burung memiliki daya kecambah lebih tinggi dibanding biji yang di kupas dagingnya maupun buah utuh. Hal ini karena buah yang melalui saluran pencernaan, pada tahap pertama akan mengalami proses penghacuran kulit buah maupun daging buah oleh paruh
132
burung. Pada rongga mulut terjadi pencampuran makanan buah dengan mukosa yang berisi beberapa enzim penghidrolisa karbohidrat. Tahap kedua setelah buah sampai ke lambung (tembolok & proventrikulus), dinding lambung mengeluarkan asam lambung dan enzim yang membantu mencerna buah sehingga menjadi lebih lembek. Tahap selanjutnya, buah mengalami proses pengerusan di ventrikulus. Pada tahap ke 2 dan 3, enzim akan menghancurkan kulit buah, daging buah dan kulit ari biji terutama enzim yang berperan dalam menghancurkan selulosa (Proctor & Lynch 1993). Biji yang dilewatkan melalui usus harus ke kloaka sangat mungkin tidak memiliki kulit ari atau kulit arinya rusak. Dengan kondisi tersebut, biji yang keluar bersama feses burung akan mudah terimbibisi air, karena kulit ari biji yang mempunyai permiabilitas tinggi sudah rusak. Biji yang mudah mengalami imbibisi akan mudah tumbuh karena air yang masuk akan memacu reaktivitas embrio biji untuk tumbuh (Bewley & Black 1986, Sadjad 1993, Widyajati et al. 2008). Selanjutnya keberhasilan kecambah menjadi semai dan tumbuh dewasa sangat tergantung kemampuan kecambah tersebut adaptasi dengan tempat tumbuhnya.
133