4. KONDISI AKTUAL LOKASI PENELITIAN 4.1 Kota Tual Pada awalnya Kota Tual berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara namun dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku maka sejak tanggal 10 Agustus 2007 sebagian wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara telah dialihkan ke dalam wilayah administratif Kota Tual. Kecamatan-kecamatan yang dialihkan diantaranya: 1) Kecamatan Pulau-Pulau Kur 2) Kecamatan Dullah Utara 3) Kecamatan Dullah Selatan 4) Kecamatan Tayando Tam Dengan pemekaran wilayah tersebut, maka secara astronomis posisi koordinat Kota Tual menjadi terletak antara 5º - 6º LS dan 131º - 133º BT. Peta wilayah administratif Kota Tual seperti ditunjukan pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta wilayah administratif Kota Tual.
72
Secara geografis wilayah ini dibatasi oleh Laut Banda di sebelah Barat dan di sebelah Utara; Selat Nerong (Kabupaten Maluku Tenggara) di sebelah Timur; dan Kecamatan Kei Kecil (Kabupaten Maluku Tenggara) serta Laut Arafura di sebelah Selatan. Luas wilayah administratif Kota Tual tercatat sebesar 19.095,84 km2 yang terdiri dari daratan seluas 352,29 km2 (1,84%) dan lautan seluas 18.743,55 km2 (98,16%). Kota Tual merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 66 pulau, yang dihuni sebanyak 13 pulau dan 53 pulau belum berpenghuni. Pada umumnya pulau-pulau yang tidak berpenghuni dipergunakan sebagai lahan pertanian/perkebunan atau sebagai tempat singgah kapal, keseluruhan pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau kecil. Data jumlah pulau yang dirinci per kecamatan sebagaimana ditunjukan pada Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah pulau dan luas wilayah administratif Kota Tual Kecamatan
Luas Daratan (Km2)
Luas Lautan (Km2)
Luas Total (Km2)
9
60,78
5607,00
5.667,78
Dullah Utara
27
115,51
4217,00
4.332,51
Dullah Selatan
23
77,68
3209,00
3.286,68
Tayando Tam
7
98,32
5710,55
5.808,87
66
352,29
18.743,55
19.095,84
Pulau-Pulau Kur
Jumlah Total
Jumlah Pulau (buah)
Sumber: Diolah kembali dari Maluku Tenggara Dalam Angka Tahun 2008.
Dengan kondisi laut yang cukup luas dan dengan sumberdaya pulau-pulau kecil yang ada tersebut menjadikan Kota Tual memiliki potensi kelautan dan perikanan yang cukup melimpah dan potensi pariwisata yang cukup mempesona. 4.1.1 Penduduk Jumlah penduduk Kota Tual pada tahun 2009 berdasarkan data statistik penduduk pada Dinas Tenaga Kerja, Kesra, Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tual tahun 2010 adalah sebanyak 70.367 jiwa yang tersebar pada 4 kecamatan. Penyebaran penduduk di Kota Tual tidak merata, berdasarkan data statistik penduduk terlihat bahwa persentase penduduk di Kecamatan
73
Dullah Selatan tercatat lebih tinggi bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 41.930 jiwa (59,59 %) sementara di Kecamatan Pulau-Pulau Kur hanya mencapai 5.883 jiwa (8,46 %), hal ini karena sejak masih menjadi bagian dari wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara hingga saat ini, kecamatan Dullah Selatan merupakan kawasan pemukiman padat penduduk, pusat pemerintahan, dan pusat kegiatan perekonomian. Data jumlah penduduk Kota Tual tahun 2005 - 2009 sebagaimana ditunjukan pada Tabel 12.
Tabel 12 Perkembangan jumlah penduduk Kota Tual tahun 2005 - 2009 Kecamatan Pulau-Pulau Kur
2005 *)
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2006 *) 2007 *) 2008 *)
2009 **)
5.600
5.716
5.873
5.879
5.883
Dullah Utara
12.536
12.785
13.163
15.620
16.011
Dullah Selatan
25.050
25.566
26.013
40.451
41.930
Tayando Tam
6.856
7.014
7.213
6.494
6.543
50.042
51.081
52.262
68.444
70.367
Total
Sumber : *) Diolah kembali dari Maluku Tenggara dalam Angka Tahun 2008. **) Dinas Tenaga Kerja, Kesra, Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tual dalam RPJM Kota Tual Tahun 2010.
Dari Tabel 12 terlihat bahwa jumlah penduduk di Kota Tual menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah penduduk ini dibarengi dengan tingkat pertumbuhan yang relatif berbeda untuk setiap kecamatan. Pertumbuhan jumlah penduduk juga diikuti dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Secara total, laju pertumbuhan penduduk Kota Tual untuk tahun 2009 adalah sebesar 12,70 % bila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2008, sementara untuk tahun 2008 laju pertumbuhan penduduk mencapai angka 14,94 % bila dibandingkan jumlah penduduk untuk tahun 2007. 4.1.2 Mata Pencaharian Berdasarkan jenis mata pencaharian, masyarakat Kota Tual dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, baik secara formal maupun informal. Komposisi struktur penduduk berdasarkan jenis pekerjaan yaitu petani/pekebun, wiraswasta, serta pegawai negeri sipil merupakan jenis pekerjaan yang dominan
74
yaitu sebesar 37,24 % dari total jumlah penduduk Kota Tual; kemudian diikuti oleh kelompok penduduk yang belum bekerja atau tidak bekerja sebesar 32,60 %; setelah itu pelajar/mahasiswa serta mengurus rumah tangga sebesar 23,07 %. Disamping itu masih terdapat jenis pekerjaan lain yang digeluti seperti pedagang, karyawan swasta/BUMN/BUMD, buruh harian, tukang, guru/dosen, dan pekerjaan informal lainnya sebesar 5,92 %; sementara yang berprofesi sebagai nelayan masih sangat sedikit yaitu sekitar 1,17 % dari total jumlah penduduk Kota Tual. Khusus untuk yang berprofesi sebagai nelayan, jumlah penduduk yang bekerja sebagai nelayan adalah 826 orang yang terdiri dari nelayan sebanyak 739 orang dan buruh nelayan sebanyak 87 orang, kondisi ini tentunya sangat ironis bila dibandingkan dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Kota Tual yang tersedia yang seharusnya menjadi salah satu lapangan pekerjaan dominan di Kota Tual. 4.1.3 Potensi Kelautan dan Perikanan Berdasarkan pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia, perairan Kota Tual adalah termasuk dalam WWP 8 (Laut Arafura) dan WPP 5 (Laut Banda) sehingga dapat dianggap mewakili potensi perikanan tangkap perairan laut Kota Tual. Potensi total sumberdaya ikan laut dari WPP 5 dan WPP 8 adalah sebanyak 1.040.600 ton/tahun. Kelompok ikan dengan potensi terbesar adalah kelompok ikan pelagis kecil (600.660 ton/tahun), diikuti kelompok ikan demersal (256.070 ton/tahun) dan ikan pelagis besar (154.980 ton/tahun). Pemanfaatan potensi perikanan ini khususnya ikan pelagis kecil dan ikan demersal rata-rata masih di bawah 10 % sementara untuk ikan pelagis besar baru 42,60 % sehingga peluang pengembangannya masih cukup besar. Aktivitas pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada selama ini adalah perikanan tangkap yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu perikanan artisanal kecil oleh sebagian besar masyarakat, dan perikanan industri yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual. Jumlah produksi dan nilai produksi perikanan Kota Tual sesuai data tahun 2007 seperti ditunjukan pada tabel 13.
75
Tabel 13 Jumlah produksi dan nilai produksi perikanan Kota Tual tahun 2007 Kecamatan
Produksi (Ton)
Nilai Produksi (Rp)
Pulau-Pulau Kur
2.212,00
11.038.489,00
Dullah Utara
2.949,40
14.717.985,00
127.422,40
564.230.747,00
2.394,30
11.958.363,00
134.978,10
601.945.584,00
Dullah Selatan Tayando Tam Jumlah
Sumber : Diolah kembali dari Maluku Tenggara Dalam Angka Tahun 2008.
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa total produksi tahun 2007 mencapai 134,978,10 ton dengan total nilai produksi Rp.601.945.584,00 bila dibandingkan dengan kondisi 2 tahun sebelumnya dimana produksi perikanan yang dicapai pada tahun 2005 adalah sebesar 131.353.90 ton maka dari sisi produksi telah terjadi peningkatan sebanyak 3.624,20 ton. Kegiatan perikanan tangkap yang berkembang saat ini adalah usaha penangkapan ikan karang, perikanan demersal dan perikanan pelagis serta pengumpulan organisme bentos yang bernilai ekonomis seperti Lola (Trochus sp), Batu Laga (Turbo), Kima (Tridacna sp) dan Teripang (Holothuria sp). Potensi sumberdaya ikan karang dan ikan hias pada beberapa lokasi seperti di sekitar pulau Rumadan (Dullah Laut), Ngadi, Teluk Un, Teluk Vid Bangir, Pulau Tam serta Tayando adalah sekitar 307 jenis. 4.1.4 Potensi Pariwisata Sebagai wilayah kepulauan yang banyak memiliki pulau-pulau kecil, obyek wisata bahari di kawasan ini sangatlah banyak. Obyek wisata bahari tersebar hampir di seluruh kecamatan. Umumnya obyek wisata bahari yang ada berupa keindahan alam dan pantai, taman laut, ekosistem terumbu karang dengan ikan hiasnya, ekosistem mangrove, dan lamun. Selain memiliki obyek wisata bahari, Kota Tual juga memiliki obyek wisata budaya yang tersebar di Kepulauan Kei antara lain sejarah peninggalan Jepang.
76
Beberapa obyek wisata yang telah berkembang dan potensial untuk dikembangkan di Kota Tual antara lain sebagai berikut: 1) Obyek wisata Pantai Difur 2) Obyek wisata Pantai Nam Indah 3) Obyek wisata Pulau Adranan 4) Obyek wisata budaya Dullah Darat 5) Obyek wisata Pulau Duroa 6) Obyek wisata Pulau Burung 7) Obyek wisata taman laut Pulau Barak New 8) Obyek wisata Goa Tengkorak Ular Kepala Tujuh 9) Obyek wisata desa nelayan Pulau Fair 10) Obyek wisata Pulau Ubur 11) Obyek wisata Teluk Un Walapun potensi wisata Kota Tual tersebut diatas masih belum banyak dikenal dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Maluku, tetapi beberapa barang khas dari Kota Tual seperti mutiara dan perahu tradisional sudah mulai dikenal oleh masyarakat luas. Data perkembangan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kabupaten Maluku Tenggara (termasuk Kota Tual sekarang) dari tahun 2004 - 2008 seperti ditunjukan pada tabel 14.
Tabel 14 Jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kabupaten Maluku Tenggara (termasuk Kota Tual) tahun 2004 - 2008 Tahun
Jumlah Wisatawan (orang) Domestik Mancanegara
Total (orang)
Pertumbuhan (%)
2004
7.010
120
7.130
-
2005
10.500
165
10.665
49,58
2006
12.500
190
12.690
18,99
2007
15.907
263
16.170
27,42
2008
20.910
346
21.256
31,45
Pertumbuhan Rata-Rata (%)
31,86
Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tual Tahun 2009.
77
Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa total jumlah wisatawan pada tahun 2008 adalah 21.256 orang yang terdiri dari 20.910 orang wisatawan domestik dan 346 orang wisatawan mancanegara, bila dibandingkan dengan total jumlah wisatawan tahun 2007 sebanyak 16.170 orang maka terdapat peningkatan sebanyak 5.086 orang atau bila dihitung persentase pertumbuhannya mencapai 31,45%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan selama 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 - 2008 adalah sebesar 31,86%. 4.1.5 Sarana dan Prasarana Vital a. Sarana Transportasi Dalam rangka menunjang pergerakan orang serta barang dan jasa melalui transportasi darat, di wilayah Kota Tual telah tersedia jaringan jalan yang menghubungkan antara pusat-pusat pemukiman, pusat-pusat produksi dan pusat-pusat pemasaran dan pelayanan. Secara umum jaringan jalan di Kota Tual terdiri dari jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Pada umumnya kondisi jalan provinsi cukup baik, hal ini terkait dengan struktur geologi Pulau Dullah berupa batu kapur yang cenderung keras. Jalan provinsi pada umumnya merupakan jalan utama di sepanjang pantai dan jalur di dalam kota, namun demikian jaringan jalan yang menghubungkan daerah-daerah yang jauh dari Kota Tual dan yang menghubungkan kantong-kantong produksi masih sangat terbatas. Total panjang ruas jalan di Kota Tual adalah 137,45 km yang terdiri dari jalan aspal sepanjang 44,05 km, hotmix sepanjang 24,90 km, jalan setapak 63,50 km, dan jalan tanah sepanjang 5,00 km. Sedangkan jumlah jembatan yang ada di Kota Tual sebanyak 17 unit dengan panjang keseluruhan 6,4 km. Sarana angkutan umum yang berkembang di Kota Tual adalah berupa Angkutan Pedesaan dan Angkutan Perkotaan. Sarana angkutan umum ini adalah mobil berjenis carry atau kijang yang telah dimodifikasi. Trayek angkutan umum yang terdapat di Kota Tual berjumlah 9 trayek dengan jumlah armada yang beroperasi mencapai 57 unit. Rute-rute trayek yang ada masih terbatas pada rute-rute tertentu seperti Tual - Tamedan sebanyak 7 unit; Tual - Dullah sebanyak 9 unit; Tual - Fiditan sebanyak 20 unit; Tual - BTN sebanyak 8 unit; Tual Ohoitel sebanyak 9 unit; dan Tual - Taar sebanyak 4 unit. Sedangkan Trayek sarana angkutan umum yang menghubungkan Kota Tual dengan Kabupaten
78
Maluku Tenggara berjumlah 40 trayek dengan jumlah armada yang beroperasi mencapai 382 unit. Rute-rute trayek yang ada masih terbatas pada rute-rute tertentu seperti Tual, Langgur dan desa-desa kecil yang berada di Pulau Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Terminal di Kota Tual terdapat 2 unit yaitu Terminal Lodar El dan Terminal Wara dengan klasifikasi Tipe C, yaitu terminal yang melayani rute angkutan pedesaan dan angkutan perkotaan yang terdapat di dua pulau yang berbeda. Terminal Lodar El yang terdapat di Pasar Tual melayani angkutan umum pada trayek-treyak di Pulau Dullah dan Pulau Kei Kecil. Selain kedua terminal tersebut di Kota Tual juga terdapat sub-subterminal yang berguna sebagai penghubung terminal-terminal utama. Untuk transportasi udara, Kota Tual belum memiliki bandara komersil, angkutan udara masih dilayani oleh Bandara Dumatubun Milik TNI AU yang berlokasi di Langgur - Kabupaten Maluku Tenggara, dengan kelas layanan 4 dan panjang runway 900 x 25 meter. Bandara ini melayani penerbangan domestik dan regional Maluku dengan dengan rute reguler Ambon - Tual yang dioperasikan oleh Trigana Air dengan pesawat Fokker 27, dan Wings Air dengan pesawat DAS dengan frekuensi penerbangan 5 kali seminggu. Selain kedua maskapai tersebut, rute Tual - Ambon juga dilayani oleh Merpati Airlines dengan frekuensi penerbangan 3 kali seminggu dengan menggunakan pesawat Cassa 212, sedangkan penerbangan Tual - Dobo oleh Merpati Airlines belum terjadwal. Peranan transportasi laut di Kota Tual sangat penting karena Kota Tual adalah kota kepulauan dan sebagain besar wilayahnya merupakan perairan laut. Keberadaan sarana dan prasarana transportasi laut ini sangat vital karena selain sebagai sarana mobilitas orang serta dan barang dan jasa dari dan ke luar Kota Tual, juga sekaligus berfungsi sebagai penggerak roda ekonomi daerah. Prasarana transportasi laut yang terdapat di Kota Tual antara lain: 1) Pelabuhan Yos Sudarso, merupakan pelabuhan umum yang ada di Kota Tual
yang berfungsi bagi sarana mobilitas orang serta barang dan jasa di wilayah Indonesia Timur karena banyak disinggahi oleh kapal-kapal dari dalam negeri dan luar negeri. Pelabuhan ini memiliki causeway sepanjang 236 meter.
79
Selain itu, pelabuhan ini juga dimanfaatkan untuk aktifitas bongkar muat barang (kontainer). 2) Dermaga penyeberangan ferry dengan ukuran 50 x 6 meter dengan causeway
sepanjang 50 meter. Selain berfungsi sebagai pelabuhan penyeberangan dan pelabuhan pelayaran nusantara, dermaga ini juga melayani pelayaran rakyat ke pulau-pulau disekitarnya. 3) Pelabuhan Kur, merupakan pelabuhan lokal yang terdapat di Desa Lokwirin,
Pulau Kur yang dipergunakan untuk kegiatan bongkar-muat penumpang dan barang. 4) Dermaga Ngadi, milik PT. Maritim Timur Jaya, merupakan pelabuhan khusus
yang berlokasi di Desa Ngadi dengan ukuran 330 x 15 meter dengan causeway sepanjang 330 meter. 5) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Dumar, dengan tipe jetty yang
berukuran 120 x 6 meter dengan 2 causeway berukuran 60 x 6 meter. 6) Pelabuhan Pangkalan TNI - AL. 7) Pelabuhan Pertamina. 8) Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Kalvik, di Pulau Kalvik.
Selain prasarana diatas, maka ada beberapa sarana transportasi laut yang menghubungkan Kota Tual dengan kota-kota lainnya yaitu: 1) Kapal penumpang umum milik PT. PELNI (KM. Ciremai dan KM. Kelimutu) yang menghubungkan Kota Tual dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. 2) Kapal-kapal kargo milik swasta, yang melayani pengiriman barang dan jasa lainnya dari dan ke Kota Tual. 3) Kapal-kapal perintis milik swasta, yang melayani hubungan antar pulau di Provinsi Maluku. 4) Kapal ferry milik PT. ASDP (KMP Kormomolin), yang melayani hubungan antar pulau di Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. 5) Pelayaran rakyat/lokal (perahu motor 7 GT) yang melayani hubungan antar pulau di Kota Tual. b. Sarana Air Bersih Air bersih bagi Kota Tual adalah sesuatu yang sangat berarti. Pulau Dullah sebagai pusat Kota Tual sebagian besar tersusun dari jenis tanah/batuan berupa
80
kapur dan karang yang menjadikan pulau ini sangat minim sumber air bersih. Sumber air bersih bagi masyarakat yang tinggal di Pulau Dullah selama ini disuplai oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dimana sumber air bersih berasal dari
mata air Evu dengan debit 1.400 liter/detik. Selain itu untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat masih memanfaatkan aliran air permukaan. Untuk mengantisipasi kebutuhan akan air bersih yang semakin banyak dan berkurangnya debit mata air Evu, maka alternatif sumber air yang akan dimanfaatkan adalah air dari Danau Ngadi dan Danau Fanil. Kondisi
terakhir
menunjukkan
bahwa
belum
semua
masyarakat
mendapatkan layanan air bersih dari jaringan PDAM, masyarakat yang belum terlayani oleh jaringan PDAM memenuhi kebutuhannya dari PAH (Penampungan Air Hujan) dan membeli air dari pihak swasta yang disuplai melalui mobil tangki kapasitas 4 m3 dengan harga beli sebesar Rp.60.000.
4.2 Pulau Dullah 4.2.1 Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Dalam perspektif stratifikasi sosial budaya, masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogen. Masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompokkelompok sosial yang beragam. Karena masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka budaya yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Kehidupan masyarakat yang banyak berkaitan dengan lokasi geografis menjadikan masyarakat Kota Tual termasuk masyarakat yang mendiami Pulau Dullah sebagai masyarakat bahari dengan segala aktifitas ekonominya yang berbasis pada sumberdaya laut. Karakteristik budaya masyarakat Kota Tual cukup majemuk dan dapat digolongkan berdasarkan basis geografis dan kulturalnya (dialek bahasa). Penduduk setempat memahami hidupnya berdasarkan kesadaran bahwa mereka memiliki hubungan kekeluargaan yang sama atau berasal dari satu nenek moyang sehingga karakter tersebut kemudian ditransformasikan kedalam kehidupan sosial masyarakat mereka seperti pranata gotong royong yang dikenal dengan budaya “maren” yaitu tradisi tolong-menolong antara satu dengan yang lain misalnya
81
dalam mendirikan rumah, memagar kebun, hajatan, pekerjaan-pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti dibidang perikanan, pertanian, dan lain-lain. Ketergantungan masyarakat pada alam, terutama pada sektor perikanan dan pertanian menjadikan budaya mereka mempunyai konstruksi yang terasa alamiah. Konstruksi adat yang naturalistik ini bisa dilihat dari kuatnya nilai adat pantangan, keseimbangan tindakan pada alam, kemampuan membaca tanda-tanda alam dan kelebihan-kelebihan supranatural lainnya dalam kultur masyarakat Kei. Perilaku khas bagi masyarakat Kei adalah citra diri orang laut. Hal ini ditandai dengan mobilitas yang tinggi, sikap terbuka, dan penghargaan pada kaidah-kaidah hidup nenek moyang, terutama yang menyangkut bagaimana seharusnya mengelola sumberdaya alam. Karena adanya struktur nilai yang berhirarki supranaturalistik dan terlembagakan sedemikian rupa maka masyarakat Kota Tual juga memiliki pantangan-pantangan hidup. Salah satu budaya yang merupakan bentuk kearifan lokal yaitu Sasi atau Hawear yang dikenal masyarakat sebagai tradisi dalam mengatur waktu pemanfaatan sumberdaya alam. Saat ini budaya-budaya tersebut telah banyak mengalami pergeseran. Sasi Darat dan Sasi Laut lambat laun mulai ditinggalkan. Kondisi ini memberikan isyarat bahwa Sasi sebagai tradisi warisan dalam praktek pengelolaan sumberdaya alam perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah di masing-masing Desa, karena tujuan pelaksanaan Sasi adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan. 4.2.2 Hak Masyarakat Adat dalam Dimensi Legislasi Nasional dan Daerah Pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya (termasuk masyarakat adat Kei di Pulau Dullah) telah mendapatkan tempat yang istimewa dalam dinamika pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini termanifestasi dalam beberapa aturan formal dilevel konstitusi diantaranya: 1. Undang-Undang Dasar 1945. a. Pasal 18B Ayat (2) Amandemen Kedua, menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
82
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. b. Pasal 28I UUD 1945 Amandemen Kedua, ditegaskan bahwa: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 2. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tantang Hak Asasi Manusia. Pasal 41 menyebutkan: Identitas budaya masyarakat tradisional termasuk hakhak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Ketetapan ini menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pada level Undang-Undang, telah ditetapkan berbagai produk hukum yang memberikan posisi istemewa dan strategis bagi eksistensi masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (termasuk ekosistem hutan mangrove). Produk Undang-Undang tersebut antara lain: 1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Jo UU No. 19 tahun 2004 Tentang Kehutanan. Pasal 67 ayat (1) dinyatakan bahwa: Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak atas: a. Pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan. b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 2 Ayat (9) disebutkan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. 3. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
83
a. Pasal 5 disebutkan bahwa: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Pasal 6, dinyatakan bahwa: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaiman dimaksud Pasal 5 wajib melakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan : a. Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. Antar-Pemerintah Daerah; c. Antar sektor; d. Antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; e. Antara ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan f. Antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. Selain itu pada konteks lokal, Pemerintah Provinsi Maluku sebagai sikap responsif terhadap implementasi Peraturan Perundang-Undangan Nasional maupun menjawab dinamika dan kebutuhan lokal dalam koridor otonomi daerah, menetapkan berbagai Peraturan Daerah sebagai ekspresi terhadap pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Hal ini dilatari oleh realitas keberadaan masyarakat adat dan susunan pemerintahannya yang masih hidup dan tumbuh dalam dinamika kehidupan pembangunan di daerah termasuk di Pulau Dullah - Kota Tual Provinsi Maluku. Adapun berbagai produk hukum tersebut diantaranya: 1. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku. 2. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 3 Tahun 2008 tentang Wilayah Petuanan. Berbagai produk hukum peraturan perundang-undangan baik pada level Konstitusi, Undang-Undang, maupun Peraturan Daerah yang dikemukakan di atas
84
memberikan penjelasan bahwa secara makro eksistensi masyarakat adat dan hak-hak tradisonalnya termasuk di dalamnya pengelolaan terhadap wilayah pesisir dan laut di Maluku secara normatif diakui, dihormati, dan dilindungi oleh hukum positif di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah. 4.2.3 Isu-Isu Kerusakan Lingkungan Dengan adanya pemekaran wilayah Kota Tual maka pertumbuhan penduduk akan semakin tinggi dan kegiatan pembangunan di pesisir akan semakin pesat, dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya akan semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan memberikan dampak seperti terjadinya kerusakan lingkungan yang akan mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Isu-isu yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di Pulau Dullah antara lain: Penambangan Pasir Pantai Pengrusakan hutan bakau (mangrove) Pengrusakan Karang Pembuangan sampah ke laut Tumpahan minyak di laut Pembuangan air balast kapal Diantara ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut yang ada di Pulau Dullah, yang saat ini mulai berada dalam kondisi memprihatinkan adalah ekosistem pantai berpasir, mangrove, dan terumbu karang. Oleh karena itu agar ekosistem dan sumberdaya ini dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan upaya-upaya perlindungan dari berbagai ancaman degradasi yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas pemanfaatan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Salah satu upaya perlindungan yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan kawasan-kawasan tertentu di wilayah pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi ekosistem, sumberdaya, dan habitat-habitat
kritis; mempertahankan dan
meningkatkan kualitas sumberdaya; melindungi keanekaragaman hayati; dan melindungi proses-proses ekologi yang terjadi didalamnya.
85
4.3 Teluk Un 4.3.1 Status dan Sejarah Kawasan Teluk Un Teluk Un adalah merupakan perairan semi tertutup yang berada di dalam petuanan Desa Taar dengan posisi geografis 132o45`26`` - 132o45`44`` BT dan 5o38`18`` - 5o38`40`` LS dan membujur dari Timur laut ke Barat daya. Teluk ini berjarak kurang lebih 2 km dari pusat kota. Teluk Un memiliki kanal sepanjang kurang lebih 100 m dengan lebar 52 m yang menghubungkannya dengan Teluk Vid Bangir di bagian Barat daya Teluk Un. Potensi sumberdaya hayati laut Teluk Un banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Taar dan penduduk lain yang tinggal berdekatan dengan teluk tersebut. Teluk ini dikenal sebagai ladang ikan beronang (Siganus sp), kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan berbagai jenis moluska seperti teripang (Holothuria sp), tiram (Saccostrea cucullata dan Saccostrea echinata) yang telah lama dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan protein masyarakat. Pemanfaatan potensi sumberdaya laut teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi karena berada dalam pusat pengembangan Kota Tual maka dikhawatirkan dimasa datang akan terjadi tekanan eksploitasi maupun tekanan lingkungan lainnya terhadap sumberdaya teluk ini bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk sebagai konsekuensi pengembangan Kota Tual. Teluk ini merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional dan lokasi budidaya. Untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya yang ada, maka sejak tahun 2003 telah disepakati sistim penutupan areal perairan (moratorium) bagi eksploitasi segala jenis biota di dalam teluk ini oleh masyarakat Desa Taar. Pranata sosial budaya ini disebut dengan istilah Sasi atau yang dalam bahasa lokal disebut Yutut dan dikenal sebagai salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat yang ada disana. Praktek pelaksanaan sasi seperti ini sudah dilaksanakan berkalikali di Teluk Un oleh masyarakat desa Taar sebagai pemilik adat teluk tersebut. 4.3.2 Kondisi Lingkungan a. Kondisi Fisik Pulau Dullah merupakan dataran yang relatif landai dengan ketinggian ±100 meter diatas permukaan laut dengan beberapa bukit rendah di tengah pulau Dullah. Kemiringan lereng di pulau Dullah secara umum berkisar antara 0 - 8%
86
dan 8 - 15%. Desa-desa pada umumnya berada pada wilayah dengan ketinggian antara 0 - 100 meter diatas permukaan laut. Topografi daratan di sekitar Teluk Un sangat landai terutama daratan di bagian Timur teluk tersebut, terkecuali bagian barat pulau Kalvik yang berbukit-bukit dengan tingkat kemiringan lebih dari 40% yang terbentang dari Utara ke Selatan. Kemiringan topografi daratan bagian Barat laut Teluk Un lebih besar dari 1% terhitung dari batas pasang tertinggi. Untuk lingkungan perairan, batimetri dasar perairan Teluk Un sangat datar terutama pada bentangan Utara-Selatan. Kemiringan rata-rata dasar perairan Teluk Un termasuk dataran pasang surut adalah sebesar 0,12%. Persentase kemiringan dasar perairan ini tergolong sangat landai menuju kedalaman terbesar di bagian Selatan teluk tersebut yaitu berdekatan dengan ujung Timur kanal teluk tersebut. Kedalaman terbesar teluk ini adalah 12 meter pada saat surut terendah (Z o ) atau akan mencapai 14,60 meter pada saat pasang tertinggi karena tunggang pasut (tidal range) perairan kepulauan Kei adalah ±2,60 meter. Bentuk batimetri dataran pasang surut Teluk Un seperti ditunjukan pada Gambar 9.
Ketinggian dari pasang tertinggi (m)
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0 0
20
40
60
80
100
Jarak dari batas pasang tertinggi (m) Gambar 3. Topografi rata-rata dasar perairan Un diukur terhadap batas pasang tertinggi sebagai referensi.
Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006.
Gambar 9 Batimetri rata-rata dasar perairan Teluk Un diukur terhadap batas pasang tertinggi.
87
Gambar 9 memperlihatkan bahwa dari garis pantai hingga jarak 20 meter ke arah bagian tengah Teluk Un kedalaman perairan bertambah secara perlahanlahan, pada jarak 20 hingga 60 m hampir tidak ada penambahan kedalaman (datar), kemudian pada jarak 60 hingga 80 m kedalaman berkurang (makin dangkal) dan setelah 80 m kedalaman makin bertambah secara perlahan-lahan menuju bagian Selatan teluk tersebut. Iklim di sekitar kawasan Teluk Un dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga dibayangi oleh Pulau Irian di bagian Timur dan Benua Australia di bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan iklim. Keadaan musim teratur, musim Timur (kemarau) berlangsung dari bulan April sampai Oktober, sedangkan musim Barat (penghujan) berlangsung dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim Pancaroba berlangsung dalam bulan Maret/April (peralihan pertama) dan Oktober/Nopember (peralihan kedua). Biasanya pada bulan April sampai Oktober bertiup angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora. Curah Hujan antara 2.000 – 3.000 mm/tahun, suhu rata-rata untuk tahun 2007 sesuai data dari Stasiun Meteorologi Dumatubun - Langgur adalah 27,7ºC dengan suhu minimum 21,3ºC dan maksimum 33,6ºC. Kelembaban rata-rata 83,1%, penyinaran matahari rata-rata 62,2% dan tekanan udara rata-rata 1.010,1 milibar. Untuk lingkungan pantai dan perairan, kisaran ukuran partikel substrat perairan Teluk Un terdiri dari pebbles hingga lempung. Lebar dataran pasut dapat mencapai lebih dari 200 meter dan memiliki dasar perairan yang sangat landai. Karena kondisi dasar perairannya yang landai dan kisaran pasut wilayah ini yang tergolong dalam mesotidal (>2,50 meter) menyebabkan saat surut sebagian besar perairan ini mengalami kekeringan. Kecuali di areal sekitar kanal dan kanal itu sendiri yang tidak memiliki mintakad pasang surut karena relatif lebih dalam. Teluk Un berhubungan dengan Teluk Vid Bangir melalui kanal tersebut. Batuan penyusun pantai kawasan Teluk Un umumnya terdiri dari terumbu karang dan batuan kapur. Pada ujung Utara teluk ini terdapat sumber air tanah yang merembes ke dalam teluk tersebut. Substrat lumpur di teluk ini umumnya berasosiasi dengan ekosistem bakau, sehingga kandungan lumpur ini umumnya
88
terdiri dari serasah daun mangrove. Perairan teluk ini relatif belum tercemar walaupun jumlah pemukiman di sekitar teluk tersebut semakin meningkat. Kepekaan teluk ini terhadap pencemaran relatif kecil karena memiliki waktu menetap massa air yang singkat yaitu kurang lebih 9 jam. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan yang sempit dan dangkal dengan kecepatan arus di kanal yang umumnya mencapai 0,5 m/detik (Renjaan dan Pattisamalo 1999). b. Kondisi Oseanografi Arus dominan di Teluk Un adalah arus pasang surut, dari hasil pengukuran arus secara tertambat (eularian) berdasarkan laju disolusi kapur tulis pada bulan Oktober dan November 1997 diketahui bahwa bahwa kecepatan arus di dalam Teluk Un baik di dalam maupun di luar areal padang lamun memiliki kisaran antara 0,35 - 1,12 m/detik. Pada saat air bergerak pasang kecepatan arus rata-rata adalah 0,31 m/detik sedangkan pada saat surut adalah 0,24 m/detik. Kehadiran padang lamun dapat mereduksi kecepatan arus sebesar 0,002 – 0,025 m/detik (Polanunu 1998). Hal ini menunjukkan bahwa zonasi di belakang padang lamun relatif kurang dinamis dibandingkan di depannya, hal ini tentu akan berpengaruh terhadap suplai oksigen, makanan, maupun proses remineralisasi sedimen. Kecepatan rata-rata arus pada kanal menunjukan kondisi yang sama yaitu pada saat pasang kecepatan rata-rata adalah 0,54 m/detik sedangkan pada saat surut kecepatan rata-ratanya adalah 0,51 m/detik (Renjaan dan Pattisamalo 1999). Karena tipe pasang surut perairan ini adalah pasang campuran mirip harian ganda maka arus pasang surut pada suatu titik di Teluk Un akan berubah arah dan kecepatannya sebanyak empat kali. Kecepatan arus pada kanal teluk ini sangat mempengaruhi cepat lambatnya pergantian massa air di dalam teluk tersebut, hal ini berkaitan dengan kepekaan teluk tersebut terhadap polusi maupun dalam menentukan input dan output bibit (propagule), misalnya larva biota laut yang terbawa arus ke teluk tersebut. Renjaan dan Pattisamalo (1999) mengemukakan bahwa lama waktu menetap (residence time) atau lama waktu singgah (transit time) massa air di teluk tersebut diperkirakan kurang dari 9 jam. Dalam kurun waktu yang singkat ini Teluk Un dapat memperbaharui massa airnya maupun kondisi bio-ekologisnya.
89
Nilai salinitas sangat mempengaruhi sebaran fauna maupun flora pada suatu perairan teluk. Distribusi jenis mangrove tertentu atau distribusi kerang tertentu sangat dipengaruhi oleh nilai kisaran salinitas. Misalnya Saccostrea echinata tidak mampu bertoleransi terhadap salinitas rendah, sebaliknya Saccostrea cucullata mampu bertoleransi terhadap salinitas Tinggi. Hal ini menentukan keberadaan species-species ini di dalam teluk Un. Berdasarkan pengukurun secara terus menerus selama 15 hari pada kanal teluk tersebut, maka diketahui bahwa nilai salinitas berkisar antara 31 - 35‰, dimana salinitas pada saat surut lebih rendah dari salinitas pada saat pasang (Renjaan dan Pattisamalo 1999). Sedangkan nilai salinitas yang dipantau selama sebulan (Oktober - November 1999) di dalam Teluk Un menunjukkan bahwa nilai salinitas berkisar antara 33 - 35‰. Pola angin di Pulau Dullah khususnya di sekitar Teluk Un pada umumnya sama dengan di wilayah lain di Kepulauan Kei. Karena luas kawasan Teluk Un yang relatif kecil, maka angin tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap permukaan laut di dalam teluk tersebut. Hasil pengukuran Polanunu (1998) menunjukan bahwa pada bulan Oktober dan Nopember ( musim peralihan II) arah angin umumnya datang dari Barat daya (lokasi kanal). Disamping itu berdasarkan pengukuran menggunakan Anemometer pada ketinggian dua meter di atas permukaan laut Teluk Un memperlihatkan bahwa kecepatan angin berkisar antara 0,3 - 4,7 knot. Kecepatan ini hanya mampu menimbulkan riak karena wilayah pembentukan gelombang (fetch) dari teluk ini relatif sangat sempit. Tipe pasang surut di kawasan Teluk Un adalah pasang campuran mirip harian ganda (mixed predominantly semi-diurnal tide). Tipe pasang ini dicirikan dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari dimana pasang pertama lebih besar dari pada pasang yang kedua. Pasang tertinggi di perairan ini terjadi pada bulan April dan Desember. Hal ini bersamaan dengan musim pemijahan cacing laor (Perinereis cultrifera) atau dalam bahasa setempat disebut Es’u. Oleh karena itu masyarakat setempat menyebutnya Metruat Es’u yang berarti pasang laor (cacing laut), sedangkan surut terendah terjadi pada bulan Oktober. Karena kondisi topografi Teluk Un yang sangat landai, maka sebagian besar wilayah perairannya mengalami kekeringan. Pada saat itu terjadi eksploitasi (pengumpulan berbagai hasil laut) secara besar-besaran oleh masyarakat setempat.
90
Surut terbesar di bulan Oktober itu dikenal sebagai Meti Kei atau dalam bahasa setempat disebut Met Ef yang umumnya bersamaan dengan musim kemarau dan suhu udara yang relatif tinggi. Berdasarkan pengukuran suhu permukaan di kanal Teluk Un secara terusmenerus selama 15 hari pada bulan Oktober - Nopember 1997, dengan interval waktu pengukuran tiap 30 menit, diketahui bahwa suhu permukaan massa air yang masuk (inflow) dan yang keluar (outflow) dari Teluk Un berkisar antara 27 - 33°C. Suhu rata-rata inflow adalah 27,5oC sedangkan suhu rata-rata outflow adalah 27,7oC (Renjaan dan Pattisamalo 1999). Sedangkan suhu rata-rata di dalam teluk tersebut berdasarkan pengukuran selama sebulan adalah berkisar antara 29 - 31oC. Tingginya suhu air laut di dalam teluk dan yang ditransport dari bagian dalam teluk, dibandingkan dengan suhu air laut yang ditransport dari luar Teluk Un, diduga berhubungan dengan kondisi batimetri Teluk Un yang dangkal dan relatif sempit, sehingga proses pemanasan tubuh air di bagian dalam teluk relatif lebih cepat di bandingkan dengan bagian luar teluk yang relatif lebih dalam. c. Kondisi Biologis Flora dan fauna darat di sekitar kawasan Teluk Un diantaranya adalah tumbuhan Nipah (Nypa fruticans) yang tumbuh di bagian darat ekosistem mangrove. Pada bagian Utara tumbuhan pantai tersebut tumbuh pohon jenis Ketapang (Terminalia catapa), Waru laut (Hibiscus tiliaceus), lebih jauh ke darat tumbuh Pandan darat (Pandanus tectorius). Terdapat pula Cemara darat (Casuaria equisetifolia), demikian pula berbagai jenis tumbuhan anggrek (Dendrobium sp) yang mendiami batang dan dahan mangrove. Pepohonan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung seperti Kakatua (Cacatua sp) dan Nuri (Lorius sp). Kakatua Tanimbar (Cacatua gofini) merupakan jenis endemik yang hanya ada di Kepulauan Yamdena dan Kepulauan Kei, serta Kakatua (Cacatua galerita eleonora) yang juga merupakan jenis endemik kepulauan Kei Kecil, Aru dan Seram Timur, kedua jenis kakatua ini dilindungi Undang-Undang dan terdaftar sebagai species langka dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species). Pada pepohonan dengan kanopi yang besar dan lebat, hidup berbagai jenis Kuskus antara lain seperti Kuskus
91
coklat biasa (Phalanger orientalis), Kuskus kelabu (Phalanger gymnotis), dan Kuskus totol hitam (Phalanger rufoniger). Untuk flora dan fauna laut, mangrove dan lamun mendominasi kawasan perairan Teluk Un, sedangkan karang hanya terdapat pada ujung timur kanal kanal tersebut). Mangrove mengitari hampir keseluruhan teluk, demikian pula lamun yang hampir menutupi 50% dasar perairan teluk tersebut. Mangrove, lamun dan karang merupakan ekosistem produktif perairan tropis, kehadiran ketiga ekosistem ini menopang keberlanjutan ekosistem perairan karena merupakan habitat bagi berbagai fauna, yakni sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Mangrove sendiri memasok unsur hara ke dalam perairan karena serasah mangrove dirombak oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan fitoplankton, alga ataupun mangrove itu sendiri dalam fotosintesis, sebagiannya sebagai partikel serasah (detritus) yang dimakan oleh ikan, kepiting, dan udang. Selain mangrove, lamun, dan karang, pada kawasan perairan Teluk Un juga dijumpai makrofauna yang terdiri dari kelompok Moluska, Ekinodermata, Arthropoda, Annelida, dan beberapa spesies dari kelompok lainnya. Hasil sampling dari 10 transek pengamatan seperti ditunjukan pada Tabel 15. Dari Tabel 16 diketahui bahwa Bronia sp dari kelas Annelida merupakan jumlah terpadat yakni 1,55 ind/m2 diikuti oleh Eunice sp dari kelas yang sama dengan tingkat kepadatan 1,42 ind/m2, kemudian Pitar manilae dari kelas Molluska dengan tingkat kepadatan sebesar 1,42 ind/m2, sedangkan Owenia sp dari kelas Annelida merupakan jenis dengan jumlah paling jarang yakni 0,06 ind/m2. Disamping itu, keberadaan plankton juga tidak dapat diabaikan. Dalam struktur tropik, phytoplankton merupakan kelompok organisme yang berada pada struktur dasar atau produksi primer di dalam rantai makanan di laut. Dari hasil analisis terhadap populasi plankton terlihat bahwa kondisi plankton cukup baik dengan tingkat kestabilan komunitas berada pada kondisi sedang. Zooplankton merupakan spesies yang pada struktur tropik rantai makanan berada pada tingkatan kedua. Berdasarkan tingkat kepadatan, populasi zooplankton lebih rendah dibandingkan dengan populasi phytoplankton.
92
Tabel 15 Kelas dan spesies makrofauna di Teluk Un No. Kelas/Spesies
Kepadatan (ind/m2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
MOLUSKA Abra sp. Donax variagatus D. vittatus D. compresus Perna viridis Pitar manilae Rhinoclavis vertagus Tellina radiate Terebellum terebellum
0,26 0,34 1,32 0,56 0,18 1,42 0,72 2,80 0,22
1 2 3 4 5
EKINODERMATA Amphiura sp. Dendraster excentrias Holothuria atra Protoreaster nodosus Synapta recta
0,42 0,38 0,18 0,44 0,22
1 2 3
ARTHROPODA Macropthalmus sp. M. ceratophorus Penaeus sp.
0,24 0,32 1,34
1 2 4 5 6 7 8 9
ANNELIDA Autolytus sp. Axiotella sp. Bronia sp. Capitella sp. Eunice sp. Nereis sp. Owenia sp. Polynea sp.
0,56 1,12 1,55 1,12 1,52 0,80 0,06 0,86
1 2 3
KELOMPOK LAIN Aspidosiphon sp. Sipunculus sp. Plumularia sp.
0,22 0,42 0,30
Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006.
Hasil sampling larva selama 15 hari berturut-turut yang dilakukan dengan interval waktu sampling 30 menit selama bulan Oktober - November 1997 di kanal Teluk Un (Renjaan dan Pattisamallo 1999) seperti ditunjukan pada Tabel 16.
93
Tabel 16 Plankton yang terbawa arus pasut dari dan ke Teluk Un Arah arus
Klas
Ordo
Genus
Arus masuk (inflow) ke Teluk Un saat pasang
Gastropods
Heteropod Pteropod Archeogastropod
Atlanta Limacina Nerita
Bivalvia
Un-identified
Un-identifed
Gastropods
Heteropod Pteropod
Archeogastropod
Atlanta Limacina Peraclis Diacria Creseis Nerita
Un-identified
Un-identified
Arus keluar (outflow) dari Teluk Un saat surut
Bivalvia
Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006.
Dari hasil sampling tersebut diketahui bahwa jumlah jenis plankton yang terbawa oleh arus dari dalam ke luar Teluk Un lebih banyak bila dibandingkan dengan yang terbawa oleh arus dari luar ke dalam Teluk Un. Tercatat 3 jenis plankton (holoplankton) yang hanya didapatkan terbawa oleh arus dari dalam laguna ke luar laguna, hal ini mengindikasikan bahwa Teluk Un pada saat itu merupakan wilayah sumber (source) bagi ketiga jenis plankton tersebut. Demikian pula bahwa jumlah (kepadatan) plankton untuk setiap jenis yang terbawa oleh arus surut dari dalam Teluk Un lebih banyak dari yang terbawa oleh arus pasang dari luar teluk tersebut. d. Kondisi Kimia Perairan Salah satu indikator yang dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas perairan adalah pengamatan parameter kimia perairan. Dari hasil analisis terlihat bahwa kualitas perairan di sekitar perairan Kei Kecil dan Pulau Dullah berada dalam kondisi yang relatif baik dan tidak mengalami perubahan akibat masukan bahan-bahan kimia dan logam berat ke lingkungan perairan, sehingga dapat digunakan untuk kegiatan budidaya laut. Namun di beberapa tempat perairan Kei Kecil telah terjadi kelebihan kandungan logam cadmium yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan dalam badan air. Tingginya kandungan logam cadmium
94
ini banyak disebabkan oleh buangan limbah dari kegiatan penduduk disekitar perairan dan aktivitas lainnya di sekitar pelabuhan Tual. Kondisi kimia perairan di sekitar perairan Kei Kecil dan Pulau Dullah seperti ditunjukan pada Tabel 17. Tabel 17 Nilai parameter kimia air laut di sekitar perairan Kei Kecil dan Pulau Dullah No
Parameter
Satuan
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
PH DO Sulfida (H 2 S) COD Amonia (NH 3 -N) Nitrat (NO3-N) Nitrit (NO2-N) Sianida (CN) Phosfat Raksa (Hg) Kadmium (Cd) Timah Hitam (Pb) Tembaga (Cu)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7,71 6,912 <0,01 20,45 0,007 0,015 0,006 0,01 0,002 <0,001 0,041 0,006 0,017
Sumber : Data Spasial Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Tahun 2003.
4.3.3 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut a. Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung seperti halnya di perairan Teluk Un dan Vid Bangir. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting yaitu sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang
95
diangkut oleh aliran air permukaan; sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok; sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai macam biota perairan seperti ikan, udang dan kekerangan, baik yang hidup di perairan pantai maupun di laut lepas. Ditemukan 3 jenis mangrove yang tumbuh disekitar perairan Teluk Un yakni Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorhiza, dan Soneratia alba, serta 5 jenis mangrove yang tumbuh disekitar perairan Teluk Vid Bangir, yakni Aegiceras corniculatum, Rhizophora apiculata, Avicenia rumpiana, Soneratia alba, dan Xylocarpus granatum. Khusus yang tumbuh di sekitar perairan Teluk Vid Bangir, sebagian ekosistem ini telah terdegradasi akibat pembangunan jalan namun masih berpeluang untuk ditanami kembali, hal ini ditunjang oleh kestabilan sedimen berlumpur karena jauh dari pengaruh langsung faktor fisik seperti ombak dan gelombang karena posisinya yang terlindung. Luas keseluruhan ekosistem mangrove di kawasan ini adalah 153,58 ha dengan kerapatan 300 pohon/ha, persen penutupannya adalah sebesar 35%, tumbuh diperairan dengan suhu 29 - 32oC, salinitas 30 - 33‰, dengan dasar perairan berlumpur, pasir halus dan patahan karang. Suksesi ekosistem ini cenderung masih berlangsung, hal ini terindikasi dengan adanya kehadiran anakan mangrove yang tumbuh dan berkembang di kawasan perairan Teluk Un dan Vid Bangir. Kondisi ini diharapkan dapat mengimbangi ekosistem mangrove yang telah terdegradasi akibat pembangunan jalan yang melalui sebagian ekosistem ini. b. Lamun Lamun
(seagrass)
merupakan
satu-satunya
tumbuhan
berbunga
(Angiospermae) yang memiliki rhyzoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut yaitu produsen detritus dan zat hara; mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati
96
masa dewasanya dilingkugan ini; serta sebagai tudung pelindung yang melindungi padang lamun dari sengatan matahari. Lamun hidup diperairan dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter dengan sirkulasi air yang baik seperti halnya di perairan Teluk Un dan Vid Bangir. Ditemukan 2 spesies lamun yang tumbuh disekitar perairan Teluk Un yakni Enhalus accroides dan Halodule pinivolia, serta 3 spesies lamun yang tumbuh di sekitar perairan Teluk Vid Bangir yaitu Enhalus accroides, Thallasia hemprichii dan Halophila ovalis. Khusus yang tumbuh di sekitar peraitan Teluk Vid Bangir, spesies Thallasia hemprichii mendominasi hampir sebagian besar perairan ini karena memilki frekuensi kehadiran terbanyak pada setiap kuadran, setelah itu diikuti oleh jenis Halophila ovalis dan Enhalus accroides. Luas keseluruhan ekosistem lamun di kawasan ini adalah 55,14 ha dengan persen penutupan sebesar 61,20%, tumbuh diperairan dengan suhu 29 - 32oC, salinitas 30 - 33‰, dengan dasar perairan pasir halus. Di dalam padang lamun ini umumnya dijumpai berbagai krustasea, moluska, ekinodermata dan ikan. c. Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir dan laut daerah tropis. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapanendapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan Zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat. Secara ekologis terumbu karang mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut; sebagai habitat atau tempat tinggal, daerah mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Terumbu karang ditemukan diperairan dangkal dan jernih di daerah tropis dengan suhu perairan rata-rata tahunan >18oC perairan yang cerah pada kedalaman kurang dari 50 meter dengan sirkulasi air yang baik seperti halnya di perairan Teluk Un dan Vid Bangir.
97
Karang di perairan Teluk Un hanya berupa beberapa koloni pada ujung Utara dan sepanjang kanal yang menghubungkannya dengan Teluk Vid Bangir. Tipe terumbu karang di kawasan ini terutama di Teluk Vid Bangir adalah tergolong sebagai terumbu karang pantai (fringing reef). Ditemukan 35 spesies karang batu yang tergolong dalam 19 genera dan 10 famili, dengan spesies dominan adalah Porites lutea. Substrat dasar perairan di bagian tubir Teluk Vid Bangir didominasi oleh komponen biotik yang memiliki persen penutupan sebesar 53,4% dan didominasi oleh karang keras. Sedangkan komponen abiotik terdiri dari pasir dan patahan karang mati (gravel). Luas keseluruhan ekosistem terumbu karang di kawasan ini adalah 62,78 ha dengan persen penutupan sebesar 47,4% dan tergolong dalam kondisi kurang baik. Pada areal pengamatan selebar 2,5 m pada sisi kiri dan kanan garis transek, juga dijumpai berbagai biota laut lainnya seperti jenis-jenis ikan karang baik dari kelompok ikan mayor, ikan indikator, maupun ikan target; moluska (Tridacna spp); alga; dan ekinodermata (teripang). Disamping itu dijumpai juga adanya bekas-bekas kerusakan terumbu karena penggunaan bahan peledak (bom). Hasil sensus ikan karang memperlihatkan bahwa jenis-jenis ikan karang yang hidupnya secara bergerombol dari famili Caesionidae dijumpai dalam jumlah yang cukup besar.