43
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tren Penyediaan Karbohidrat Dari Ubi Kayu
Analisis ini dilakukan untuk melihat sejauh mana tren pertumbuhan produksi ubi kayu. Metode peramalan yang digunakan adalah Double Exponential Smoothing (DES). Metode ini dipilih karena lebih tepat untuk meramalkan data yang mengalami trend kenaikan yang teratur (Krajewski et al. 2010).
Impot Gandum (Ton/Tahun)
Randemen Karbohidrat Gandum / Randemen Karbohidrat Ubi Kayu
Kebutuhan Ubi Kayu Pengganti Gandum (Ton / Tahun)
Produktifitas Lahan
Luas Lahan yang Diperlukan
Hektar Lahan Petani
Jumlah Petani
Kebutuhan Ubi Kayu Total (Ton / Tahun)
Kebutuhan Ubi Kayu BUKAN pengganti Gandum
Kapasitas Pabrik Tapioka
Jumlah Pabrik Tapioka
Gambar 4.1 Metode perhitungan kebutuhan ubi kayu, jumlah petani dan pabrik tapioka yang diperlukan
Metode perhitungan kebutuhan produksi ubi kayu, jumlah petani yang terlibat dan pabrik tapioka yang diperlukan untuk memproduksi ubi kayu yang diperlukan pada tahun 2015 ditunjukkan pada Gambar 4.1. Kebutuhan ubi kayu sebagai penyedia karbohidrat di Indonesia memakai impor gandum sebagai contoh acuan perhitungan. Hasil perkiraan kebutuhan ubi kayu ini tidak dimaksudkan untuk mengganti gandum, tetapi untuk memberikan alternatif
44
sumber karbohidrat yang potensial yang banyak tersedia di Indonesia. Dengan tersedianya data ini diharapkan dapat berkembang berbagai makanan yang bersumber dari ubi kayu.
4.1.1 Volume Impor Gandum
Pemakaian terigu terus meningkat yang pada gilirannya meningkatkan impor gandum. Volume impor gandum Indonesia Tahun 2003 – 2008 terus mengalami peningkatan seperti dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dengan menggunakan metode Double Exponential Smooting, dilakukan peramalan impor gandum selama 5 tahun ke depan. Dengan memakai masing-masing smoothing constant alpha sebesar 0.8 dan beta 0.8 didapat MSE dan MAPE terkecil yaitu sebesar 13.339.340.791 untuk MSE dan 2.04 % untuk MAPE (Lampiran 2). Impor gandum Indonesia selama 5 tahun ke depan disajikan pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.2. Pada tahun 2015 diperkirakan impor gandum Indonesia mencapai 5.882.711 ton.
Tabel 4.1 Volume Impor Gandum Tahun 2003-2008 dan Peramalannya Tahun 2009-2015
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2009
45
Forecast Gandum 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Data
Forecast
Gambar 4.2 Grafik Forecasting Volume Impor Gandum Tahun 2009-2015
4.1.2
Volume Substitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu
Kandungan karbohidrat pada gandum sebesar 77 % dari berat bersihnya, sedangkan karbohidrat ubi kayu sebesar 35 %. Untuk menghitung jumlah ubi kayu yang diperlukan untuk mensubtitisi gandum adalah dengan mengalikan jumlah gandum dengan 0,77 dan kemudian dibagi dengan 0,35. Berdasarkan data impor gandum Indonesia, dengan melakukan konversi dapat dihitung penyedian kebutuhan karbohidrat dari ubi kayu. Peramalan lima tahun ke depan penyediaan kebutuhan karbohidrat dari ubi kayu menggantikan gandum dapat dilihat pada Tabel 4.2. Hasil peramalan menunjukkan bahwa pada tahun 2015 diperlukan lebih dari 12,9 juta ton ubi kayu untuk mensubsitusi karbohidrat bersumber dari gandum.
46
Tabel 4.2 Substitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu Tahun 2009-2015 Volume Impor Gandum
Substitusi Karbohidrat
(Ton)
Gandum ke Ubi Kayu (Ton)
2009
5.039.912
11.087.806
2010
5.180.379
11.396.834
2011
5.320.845
11.705.859
2012
5.461.311
12.014.884
2013
5.601.778
12.323.912
2014
5.742.244
12.632.937
2015
5.882.711
12.941.964
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2009
4.1.3 Volume Produksi Ubi Kayu Indonesia
Kebutuhan ubi kayu di Indonesia setiap tahun terus meningkat. Data historis volume produksi ubi kayu Indonesia di-forecast menggunakan metode Double Exponential Smoothing with Trend (DEST), dengan smoothing constant alpha sebesar 0.2 dan beta 0.2 didapat MSE dan MAPE terkecil yaitu nilai MSE sebesar 348.171.330.902 dan MAPE sebesar 2.54 (Lampiran 3). Hasil peramalan selama lima tahun ke depan menunjukkan peningkatan produksi ubi kayu yang cukup signifikan, dimana produksi ubi kayu mencapai 27.218.952 ton pada tahun 2015. Peramalan produksi ubi kayu Indonesia tahun 2010 – 2015 disajikan pada Tabel 4.3, sedangkan grafiknya disajikan pada Gambar 4.3.
47
Tabel 4.3 Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu Khusus untuk Tepung Tapioka Tahun 2000-2009 dan Peramalannya Tahun 2010-2015
Produksi Ubi Kayu
Produksi Ubi Kayu untuk
(Ton)
Tepung Tapioka (Ton)
2000
16.089.020
6.435.608
2001
17.054.648
6.821.859
2002
16.913.104
6.765.242
2003
18.523.810
7.409.524
2004
19.424.707
7.769.883
2005
19.321.183
7.728.473
2006
19.986.640
7.994.656
2007
19.988.058
7.995.223
2008
21.756.991
8.702.796
2009
22.039.145
8.815.658
2010
23.446.924
9.378.770
2011
24.201.330
9.680.532
2012
24.955.735
9.982.294
2013
25.710.141
10.284.056
2014
26.464.547
10.585.819
2015
27.218.952
10.887.581
Tahun
Data
Peramalan
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2010
48
Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka
30,000,000
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0
Produksi Ubi Kayu Forecast Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka
Gambar 4.3 Grafik Forecasting Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015
4.1.4 Perencanaan Total Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka
Produksi ubi kayu total yang dibutuhkan dihitung dengan menjumlahkan hasil peramalan konversi karbohidrat gandum ke ubi kayu dengan hasil peramalan produksi ubi kayu Indonesia hingga tahun 2015. Pada tahun 2010 diperkirakan kebutuhan ubi kayu mencapai 20,5 juta ton dan kebutuhan ini terus meningkat mencapai 23,5 juta ton pada tahun 2015. Perencanaan produksi ubi kayu tahun 2010 – 2015 disajikan pada Tabel 4.4 dan grafiknya disajikan pada Gambar 4.4.
49
Tabel 4.4 Perencanaan Volume Total Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015 Produksi Ubi kayu Tahun
untuk Tepung
Subtitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu
Tapioka (Ton)
Volume Total Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tapioka
2010
9.378.770
11.087.806
20.466.576
2011
9.680.532
11.396.834
21.077.366
2012
9.982.294
11.705.859
21.688.153
2013
10.284.056
12.014.884
22.298.940
2014
10.585.819
12.323.912
22.909.731
2015
10.887.581
12.632.937
23.520.518
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2010
30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000
5,000,000
Produksi Ubi Kayu Forecast Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka Subtitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu Total Volume Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tapioka
Gambar 4.4 Grafik Volume Total Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015
2015
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
50
4.1.5 Luas Lahan yang Dibutuhkan Rata-rata produktivitas tanaman ubi kayu Indonesia selama tahun 2006 – 2009 adalah sebesar 17,6 ton/Ha. Luas lahan yang dibutuhkan dengan adanya konversi karbohidrat gandum ke ubi kayu disajikan pada Tabel 4.5. Pada tahun 2015 diperkirakan kebutuhan luas lahan ubikayu mencapai 1,3 juta ha. Dengan kemitraan yang baik, diharapkan dapat dilakukan perbaikan teknologi budidaya sehingga produktivitas ubi kayu dapat ditingkatkan mendekati produktivitas ideal yang dapat mencapai 40 ton/ha sehingga kebutuhan luas lahan jauh lebih kecil dari perkiraan tersebut yaitu sekitar 588.013 ha (Tabel 4.5).
Tabel 4.5 Forecast Luas Lahan Ubi Kayu yang Dibutuhkan Tahun 2010-2015
Tahun
Luas Lahan dengan
Luas Lahan dengan
Produktivitas 17,6 ton/ha
Produktivitas 40,0 ton/ha
(Ha)
(Ha)
2010
1.162.874
511.665
2011
1.197.578
526.934
2012
1.232.281
542.204
2013
1.266.985
557.473
2014
1.301.689
572.743
2015
1.336.393
588.013
Kebutuhan lahan tersebut dimungkinkan dapat dipenuhi dari lahan terlantar yang mencapai sekitar 7,8 juta ha dan dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian sekitar 2,8 juta ha (BPN 2011). Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa pendayagunaan tanah terlantar antara lain adalah untuk mendukung program aksi ketahanan pangan melalui pengembangan lahan untuk pertanian pangan serta ikut serta dalam mendorong peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan disebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi
51
hak asasi setiap rakyat Indonesia. Selanjutnya, pasal 45 Ayat 1 menegaskan bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan tersebut, pengaturan oleh pemerintah adalah sebagai berikut : (1) mewujudkan cadangan pangan nasional; (2) penyediaan, pengadaan dan atau penyaluran pangan tertentu yang bersifat pokok; (3) kebijakan mutu pangan nasional dan penganekaragaman pangan; (4) mencegah atau menanggulangi gejala kekurangan pangan; (5) memberikan kesempatan bagi koperasi dan swasta mewujudkan cadangan pangan; (6) pengembangan dan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pangan; (7) penelitian dan pengembangan teknologi di bidang pangan; (8) penyebarluasan dan penyuluhan pangan; (9) kerja sama internasional di bidang pangan; (10) penganekaragaman konsumsi masyarakat. Program peningkatan pemanfaatan lahan terlantar juga dapat memberikan rasa berkeadilan bagi masyarakat umumnya dan khususnya petani, serta meningkatkan produktivitas lahan. Dengan demikian dapat searah dengan program pembangunan nasional khususnya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional. Terdapatnya lahan terlantar mengakibatkan hilangnya peluang kegiatan sosial-ekonomi bagi masyarakat khususnya petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, sehingga kehidupan masyarakat yang lebih berkeadilan dapat diwujudkan. Aturan pelaksanaan untuk pendayagunaan tanah terlantar sesuai dengan PP No. 11 tahun 2010. Pemanfaatan lahan terlantar untuk budidaya ubi kayu oleh petani diharapkan dapat memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) Untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, (2) Berkeadilan, (3) Tingkat partisipasi masyarakat yang luas, (4) Peningkatan produktivitas lahan dan lingkungan hidup, (5) Berkelanjutan, dan (6) Sesuai dengan sistem hukum yang ada. Selain itu kepastian hukum bagi penerima manfaatnya harus diciptakan. Pendayagunaan tanah terlantar khususnya untuk budidaya ubi kayu oleh petani merupakan salah satu alternatif kegiatan yang dapat memperkuat keberhasilan program pemerintah Indonesia dalam pendayagunaan lahan-lahan terlantar. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui reformasi agraria meliputi : (1)
52
penataan sistem politik dan sistem hukum pertanahan dan keagrariaan, (2) land reform, yaitu menata ulang lahan dengan mempertimbangkan adanya redistribusi dan distribusi atas aset tanah pada masyarakat yang berhak, sehingga masyarakat yang ikut dalam program redistribusi dan distribusi ini dapat memanfaatkan tanahnya secara baik. Hal ini dimaknai juga sebagai asset reform dan access reform. Asset reform adalah menata ulang pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Access reform adalah pembukaan akses terhadap sumbersumber ekonomi (keuangan, manajemen, teknologi, pasar), dan sumber-sumber politik (partisipasi politik) (BPN 2010). Terdapat tiga pola penguasaan (hak atas tanah) kepada masyarakat, diantaranya: 1. Penguasaan secara perorangan Penguasaan secara perorangan dapat memberikan keleluasaan kepada penerima manfaat dalam mengusahakan tanahnya, baik dalam menentukan jenis tanaman maupun pengolahan tanahnya tanpa terikat dengan penerima manfaat lainnya. Dalam hal ini, beberapa alternatif yang dapat dilakukan antara lain: 1) Penerima manfaat dapat mengusahakan sendiri (swakelola) 2) Penerima manfaat membentuk koperasi untuk mengusahakan tanah tersebut 3) Penerima manfaat bekerjasama dengan badan usaha dan atau pemerintah (BUMN, BUMD) dalam bentuk penyertaan modal. 4) Penerima manfaat secara bersama-sama atau melalui koperasi melakukan kontrak profit sharing dengan badan usaha dan atau pemerintah (BUMN, BUMD) untuk mengusahakan tanah tersebut dengan mekanisme bagi hasil. 5) Penerima manfaat secara bersama-sama atau melalui koperasi melakukan kontrak manajemen dengan badan usaha dan atau pemerintah (BUMN, BUMD) untuk mengelola tanah tersebut.
2. Penguasaan secara bersama Penguasaan secara bersama-sama berarti tanah tidak dipecah-pecah untuk perseorangan. Tanah tersebut dapat dikelola oleh koperasi atau Badan Usaha lainnya, dan penerima manfaat dapat bekerja di sana. Dalam mengusahakan tanahnya, penerima memiliki alternatif antara lain:
53
1) Penerima manfaat bersama mengusahakan sendiri tanah yang diperolehnya dengan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas. 2) Penerima manfaat bersama membentuk koperasi atau badan usaha untuk mengusahakan tanahnya 3) Penerima manfaat bersama dapat bekerjasama dengan badan usaha dan atau pemerintah (BUMN, BUMD) dalam bentuk penyertaan modal, kontrak bagi hasil, maupun kontrak manajemen.
3. Penguasaan oleh Badan Usaha atau Koperasi Penguasaan dilakukan atas nama koperasi atau bentuk badan usaha lainnya. Penerima manfaat merupakan pemegang saham dan dapat bekerja di dalam koperasi atau badan usaha tersebut. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan: 1) Koperasi dapat mengusahakan sendiri tanahnya dengan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas 2) Koperasi melakukan profit sharing dengan badan usaha lainnya. Anggota koperasi bekerja pada badan usaha tersebut. 3) Koperasi melakukan kontrak manajemen dengan badan usaha swasta atau pemerintah untuk mengelola tanah tersebut. Anggota koperasi dapat bekerja di badan usaha tersebut. Access reform ini merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait dan berkesinambungan yang meliputi: a. Penyediaan infrastruktur dan sarana produksi b. Pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat c. Dukungan permodalan d. Dukungan distribusi pemasaran serta dukungan lainnya.
Berdasarkan alternatif-alternatif pelaksanaan land reform tersebut di atas, maka dapat dipilih pembagian garapan lahan pertanian dengan pola pertama yaitu penerima manfaat (petani) secara perorangan melakukan kontrak kerjasama dengan perusahaan pengolah ubi kayu menjadi tapioka. Petani berkewajiban untuk tidak memperjual-belikan tanah garapan yang diperolehnya dari lembaga pemerintah dalam hal ini BPN melalui mekanisme land reform.
54
Dengan adanya kepemilikan lahan garapan bagi petani seluas kurang lebih 3 ha per orang dan disertai legalitas dari BPN, dapat digunakan untuk melakukan kontrak kerjasama dengan pihak perusahaan pengolahan ubi kayu. Bentuk kerjasama yang cocok dan layak untuk ditawarkan adalah kemitraan pola IntiPlasma (Pola Perusahaan Inti-Rakyat/PIR). Pola PIR dapat dilaksanakan melalui mekanisme sebagai berikut : 1. Aspek Organisasi Kemitraan Usaha Produksi Ubi kayu selanjutnya dinamakan Kemitraan Ubi Kayu (MITRA-UK) ini merupakan kerjasama usaha dalam produksi ubi kayu yang melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani, dan (2) Perusahaan Inti (Industri Pengolahan Ubi Kayu). Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam MITRA-UK yang sesuai dengan bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara petani dengan Perusahaan Inti dalam MITRA-UK, dibuat seperti dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani merupakan plasma dan Industri Pengolahan sebagai
Inti. Kerjasama kemitraan ini disiapkan dengan dasar saling
membutuhkan dan saling menguntungkan di antara semua pihak yang bermitra. a. Petani Plasma Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman ubi kayu, (b) Buruh tani yang menggarap lahan yang perlu ditingkatkan produktivitasnya, sehingga memerlukan bantuan teknologi dan permodalan. Kegiatan usaha dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman sampai dengan panen. Luas lahan atau skala usaha dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) hektar per petani atau tergantung kepada jumlah petani di wilayah yang bersangkutan. b. Perusahaan Inti Perusahaan Inti adalah sebuah perusahaan yang salah satu kegiatan usahanya bergerak di bidang perdagangan dan pengolahan hasil-hasil pertanian khususnya ubi kayu, yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Kemitraan, memiliki kemampuan pemasaran dan fasilitas pengolahan untuk memenuhi peluang pasar yang ada, serta bersedia membeli seluruh produksi dari
55
plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan dipasarkan. Mekanisme pemasaran oleh Perusahaan Inti dirancang dengan pola kerjasama, berkewajiban memberi bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasma. Untuk menjaga ketersediaan produksi, petani plasma wajib mengikuti program/penjadwalan produksi yang dibuat oleh perusahaan inti, dan hasil panennya harus dijual seluruhnya kepada Perusahaan Inti. Perusahaan Inti mempekerjakan tenaga-tenaga teknis yang memiliki keterampilan dibidang budidaya ubi kayu untuk membimbing petani dengan alokasi biaya tertentu yang ditetapkan oleh Perusahaan Inti. 2.
Perjanjian Kerjasama Untuk melaksanakan kerja sama kemitraan, perlu dikukuhkan dalam suatu
surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam perjanjian kerjasama itu dicantumkan kesepakatan perihal yang akan menjadi kewajiban dan hak dari masing-masing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan tersebut. Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak Mitra Perusahaan (Inti) dan petani (plasma) antara lain sebagai berikut : 1. Kewajiban Perusahaan Inti : a. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penanganan hasil; b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana produksi (bibit,
pupuk
dan
obat-obatan),
penanaman
serta
pemeliharaan
kebun/usaha; c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen untuk mencapai mutu yang tinggi; d. Sanggup membuat harga garansi terhadap sarana-sarana produksi dan hasil produksi untuk ditawarkan kepada petani mitra dengan prinsip saling memperkuat, membesarkan, dan saling menguntungkan; e. Melakukan pembelian seluruh produksi petani plasma sesuai harga kontrak; dan
56
f. Turut menanggung resiko kerugian usaha bilamana terjadi akibat bukan kelalaian petani selama menjalankan produksinya. 2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma : a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya; b. Melaksanakan kegiatan produksi sesuai bimbingan perusahaan inti meliputi penanaman, pemeliharaan tanaman, panen dan pengelolaan pasca-panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan; c. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang disediakan sesuai penjadwalan produksi perusahaan inti; d. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan sesuai petunjuk Perusahaan Inti untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada Perusahaan Inti; dan e. Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga produk sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban petani melunasi biaya-biaya sarana produksi dan biaya-biaya lainnya. f. Sanggup menanggung resiko kerugian apabila akibat dari kelalaian sendiri selama berproduksi.
4.1.6 Jumlah Petani dan Industri yang Akan Terlibat
Berdasarkan perkiraan kebutuhan luas lahan tersebut di atas (produktivitas lahan 17,6 ton/ha), maka dapat dihitung jumlah petani dan industri yang akan terlibat. Dengan asumsi penguasaan lahan oleh petani seluas 2 ha per orang, pada tahun 2015 diperkirakan jumlah petani yang akan terlibat mencapai 668.197 petani. Sejalan dengan konversi karbohidrat gandum ke ubi kayu pada tahun 2015 yang memerlukan total keseluruhan ubi kayu sebanyak 23.5 juta ton per tahun, maka dibutuhkan sebanyak 392 unit pengolahan / agroindustri ubi kayu menjadi tapioka dengan kapasitas 200 ton/hari (60.000 ton/tahun dengan asumsi 300 hari kerja).
57
4.2 Rantai Pasok Ubi Kayu Dalam Rangka Penyediaan Karbohidrat
Menurut Bunte (2006), teori kesejahteraan (welfare theory) yang dapat digunakan untuk menilai industri dan kinerja rantai pasok. Kesejahteraan dalam kinerja rantai pasok terletak pada dua elemen, yaitu: 1) efisiensi (profit) dan (2) keadilan (pemangku kepentingan). Efisiensi merujuk pada penciptaan nilai tambah, sedangkan keadilan merujuk pada pembagian nilai tambah untuk semua pemangku kepentingan. Secara garis besar rantai pasok ubi kayu dibahas pada penelitian ini terdiri dari: (1) petani yang membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, (2) pengumpul, (3) industri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka seperti disajikan pada Gambar 4.5.
Petani Ubi Kayu (yang memiliki luas lahan 1-2 Ha)
Petani Ubi Kayu (yang memiliki luas lahan >10 Ha)
ubi kayu
ubi kayu Pengumpul
dana
dana
Industri Tepung Tapioka
tepung tapioka
tepung tapioka
Distributor dana
Konsumen dana
ubi kayu dana
Gambar 4.5 Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka
Gambar 4.5 tersebut memperlihatkan adanya 6 macam peran pada rantai pasok ubi kayu dan tepung tapioka. Namun pada penelitian ini hanya fokus 4 peran pada sisi hulu dalam agroindustri ubi kayu dan tepung tapioka yaitu : 1. Petani ubi kayu, dibagi menjadi 2 kelompok. Satu kelompok adalah petani yang memiliki luas lahan 1 hingga 2 ha, dan satu kelompok lagi adalah petani yang memiliki luas lahan lebih besar atau minimal 10 ha. a) Untuk petani yang memiliki luas lahan 1-2 ha, akan menjual ubi kayu kepada pengumpul, lalu pengumpul yang akan menjual kembali kepada pabrik. Sistem penjualanpun ada 2 jenis : (1) potong tebas di kebun lalu langsung dibeli pengumpul atau (2) petani menjual ubi kayu yang masih ada di dalam tanah dengan satuan Hektare, lalu pengumpul menebang
58
sendiri ubi kayu tersebut. Sebagian harga masih ada yang ditetapkan oleh pengumpul. Namun saat ini dimana informasi berkembang sangat cepat, petani semakin pintar dalam menetapkan harga, sehingga tidak mudah lagi untuk dipermainkan. b) Sedangkan petani yang memiliki luas lahan lebih besar atau minimal 10 ha, akan menjual ubi kayunya langsung kepada pabrik. Biasanya petani kelompok ini telah bermitra dengan pabrik. 2. Pengumpul/pedagang, juga dibagi 2 kelompok. Satu kelompok pengumpul murni dan yang kelompok satu lagi adalah pengumpul sebagai agen dari pabrik. Pengumpul murni akan mengambil keuntungan berdasarkan selisih antara harga jual petani dengan harga beli pabrik. Sedangkan untuk pengumpul sebagai agen dari pabrik akan mengambil keuntungan berdasarkan fee yang diberikan oleh pabrik. Kalau pengumpul akan mencari keuntungan setinggi mungkin. Sering memainkan % refraksi, timbangan atau sistem botongan di kebun dengan petani. Biasanya pengumpul/agen menjaring petani-petani yang menjual volume yang tanggung 500 kg – 5 ton. 3. Pabrik/industri tapioka membeli ubi kayu dari pengumpul/agen dengan harga berdasarkan perhitungan tersendiri sebagai berikut. Harga beli lokal (dari Petani) + Transport + Ongkos Muat dan Bongkar + % refraksi + fee agen atau keuntungan pengumpul = Harga Pabrik. Contoh: (Rp 770 – Rp 775) + Rp 80 + Rp 10 + (% refraksi x Rp 5 / % refraksi) + Rp 10 (fee Agen). Pada umumnya, petani yang memiliki luas lahan sebesar 10 Ha atau lebih memasarkan ubi kayu langsung kepada industri pengolahan ubi kayu, sedangkan petani yang memiliki luas lahan hanya 1-2 ha memasarkan ubi kayu kepada pedagang pengumpul. Hanya sebagian kecil hasil panen ubi kayu yang langsung dipasarkan ke konsumen. Dalam prakteknya, petani hanya sebagai price taker, sedangkan yang menentukan harga adalah industri pengolahannya ataupun pedagang pengumpul. Di samping itu, karena belum adanya pola pertanaman yang terkoordinasi dengan masing-masing sentra produksi, pada banyak kasus terjadi over supply terutama pada masa panen. Pada kondisi harga ubi kayu yang
59
ekstrim, petani tidak memanen ubi kayunya karena harga yang ditawarkan sangat rendah sehingga penerimaan dari hasil panen biasanya hanya sebatas untuk menutupi biaya panen. Hingga saat ini, pengembangan agribisnis ubi kayu belum dilaksanakan secara terintegrasi mulai dari sub sistem budidaya (on farm) hingga ke sub sistem pasca panen, pengolahan, dan pemasaran (off farm). Masing-masing sub sistem dikembangkan secara sendiri-sendiri, belum saling mengkait dalam suatu kawasan agroindustri yang dikelola secara efisien dan berorientasi pasar dalam suatu manajemen rantai pasok (Supply Chain Management/SCM). Dalam rangka mengoperasionalkan sistem SCM yang dapat mengaitkan aktivitas di masing-masing sub sistem, diperlukan adanya kelembagaan di masing-masing sub sistem tersebut. Kelembagaan di tingkat petani merupakan masalah mendasar yang harus ditangani agar kekuatan tawar petani dapat ditingkatkan. Diharapkan, dengan kuatnya kelembagaan petani, posisi tawar petani pada saat berhadapan dengan industri pengolahan juga meningkat. Dengan demikian, total keuntungan dapat didistribusikan secara adil dan proporsional ke seluruh rantai suplai ubi kayu sesuai dengan tingkat resiko dan modal usaha yang diberikan. 4. Distribusi ke Konsumen. Gambar 4.6 adalah jalur distribusi pabrik tepung terigu kepada konsumen di Jawa Tengah. Untuk Jalur distribusi tepung tapioka dapat diambil dari rujukan tersebut. Beberapa hal dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensinya antara lain dengan :
Mengurangi eselon (jenjang distribusi) dengan menyalurkan tapioka ke pengguna dari eselon yang lebih tinggi.
Mengurangi jarak tempuh tapioka melalui pemilihan rute yang lebih optimal.
Mengurangi waktu dalam perjalanan tapioka.
60
Pabrik Tepung Tapioka Industri Besar
Distributor
Sub Distributor
Industri Menengah
Wholesaler
Industri Kecil
Retailer
Industri Rumah Tangga
Konsumen Akhir
Gambar 4.6 Jalur Distribusi Tepung Tapioka ke Konsumen
4.3 Penyeimbangan Bh/C Harga-harga di setiap interaksi (petani – pengumpul, pengumpul – industri, dan seterusnya) disimulasikan untuk mencari bagaimana sebaiknya dihitung harga dari tingkat petani sehingga bisa membangun suatu bisnis yang profesional dan rantai pasok yang berkesinambungan. Salah satu syarat untuk kesinambungan tersebut adalah harga wajar yang diterima setiap pelaku. Salah satu cara menetapkan harga yang wajar tersebut adalah dengan menetapkan persentase pendapatan terhadap biaya yang sama bagi semua pelaku. Indikator yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah benefit-cost ratio (Tarigan 2008, Maulana 2005). Agar benefit-cost ratio ini benar-benar memberikan laba yang wajar, perlu dikoreksi oleh faktor waktu. Pabrik dan pengumpul memerlukan
61
waktu yang relatif singkat dalam memproses bahan sejak pembelian barang menjadi produk yang dapat dijual. Lain halnya dengan petani yang memerlukan waktu 10 – 11 bulan untuk dapat menjual ubi kayu yang dihasilkannya. Jalan keluarnya adalah dengan mendapatkan “ adjusted Bh/C “
petani yang memasukkan komponen waktu
investasi petani. Sebagai ilustrasi untuk menghitung Bh/C dipakai angka-angka berikut: masa tanam singkong 10 bulan, bunga 8 % per tahun atau 0.67 % per bulan. Perhitungan Analisa Benefit – Cost Ratio kondisi awal disajikan pada Tabel 4.6, sedangkan Analisa Benefit – Cost Ratio disetarakan dengan Bh/C petani disajikan pada Tabel 4.7. Nilai Bh/C petani ubi kayu sudah cukup tinggi (3,5). Tingginya Bh/C pada tingkat petani terjadi karena rendahnya biaya yang harus dikeluarkan petani untuk aktivitas budidaya hingga pemanenan ubi kayu relative terhadap jumlah produksi ubi kayu dikalikan dengan harga jual ubi kayu di tingkat petani. Meskipun harga jual ubi kayu hanya Rp. 800/kg, namun karena produksi ubi kayu per ha yang cukup tinggi (sekitar 20 ton/ha) maka nilai manfaat /benefit yang diperoleh petani cukup besar. Meskipun demikian, secara keseluruhan pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera.
Bahkan dengan total
pendapatan sekitar Rp. 17.5 juta/ha per tahun dikurangi biaya produksi ubi kayu sebesar Rp. 5 juta/ha, maka penghasilan petani ubi kayu adalah sebesar Rp. 12.5 juta/tahun (rata-rata sekitar Rp. 1 juta/bulan). Jumlah ini bahkan lebih rendah daripada UMR beberapa daerah di Indonesia. Di sisi lain, rendahnya Bh/C di tingkat pabrik tapioka terjadi karena rendahnya margin keuntungan yang diperoleh pabrik dari harga tepung tapioka dibandingkan dengan harga bahan baku yang merupakan komponen biaya produksi terbesar dibandingkan dengan berbagai komponen biaya produksi lainnya. Hal yang sama terjadi pada pedagang yang tidak melakukan proses nilai tambah terhadap ubi kayu sehingga manfaat yang diperoleh pedagang hanyalah berupa marjin keuntungan yang dibatasi oleh harga beli ubi kayu oleh pabrik serta harga penjualan ubi kayu dari petani.
62
Tabel 4.6 Analisis Bh/C Kondisi Awal
Sumber : Data primer
Tabel 4.7 Analisis Bh/C disetarakan dengan Bh/C Petani
Sumber : Data primer
Meskipun marjin keuntungan pedagang maupun pabrik tepung tapioka per kilogram produk/komoditas yang mereka jual kecil, namun karena volume penjualan yang besar, maka pabrik tepung tapioka maupun pedagang memperoleh penghasilan yang menyebabkan pengusaha tersebut menjadi anggota masyarakat berpenghasilan tinggi. Secara sederhana, kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 4.7. Pada Gambar 4.7 pelaku dalam rantai pasok agroindustri yang berada dalam kwadran 2, akan menikmati nilai tambah yang rendah akibat biaya yang tinggi dan manfaat yang rendah sehingga memiliki nilai Bh/C yang rendah pula. Pada kwadran 4, pelaku dalam rantai pasok akan menikmati manfaat yang tinggi, namun biaya rendah, sehingga nilai tambah pelaku agroindustri yang berada dalam kwadran ini akan tinggi. Pada Kwadran 1 dan 3, Bh/C dapat rendah, sedang atau tinggi bergantung pada seberapa rendah dan seberapa tinggi nilai manfaat relatif terhadap biaya.
Biaya
63
Tinggi
Kwadran 2 (Bh/C Rendah)
Kwadran 1
Rendah
Kwadran 3
Kwadran 4 (Bh/C Tinggi)
Rendah
Tinggi Manfaat
Keterangan: Manfaat = Jumlah Produksi x Harga per satuan Gambar 4.7 Kategorisasi Bh/C untuk Para Pelaku dalam Rantai Pasok Agroindustri
Dengan klasifikasi pelaku agroindustri dalam empat kwadran pada Gambar 4.7 petani ubi kayu berada dalam kwadran 4, sedang pedagang dan pabrik tapioka berada pada kwadran 1. Karena volume yang tinggi, pedagang maupun pabrik, mungkin akan memiliki manfaat yang tinggi, namun pada saat yang sama, biaya yang mereka keluarkan juga tinggi. Berdasarkan kajian ini, dapat diketahui bahwa bila para pelaku dalam suatu rantai pasok agroindustri berada dalam kwadran-kwadran yang berbeda, maka upaya untuk menyeimbangkan Bh/C akan menyebabkan pelaku yang berada pada kwadran 4 akan mengalami penurunan manfaat relatif terhadap biaya. Karena itu, hal ini tidak dilakukan untuk petani – pedagang ataupun pabrik tapioka yang merupakan pelaku-pelaku dalam agroindustri berbasis ubi kayu. Hal ini terjadi karena pada agroindustri ubi kayu, pelaku yang yang berada pada kwadran 4 adalah petani, sehingga petanilah yang justru akan dirugikan pada kebijakan penyeimbangan Bh/C tersebut.
4.4 Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik Bahan Pangan Ubi Kayu, Beras, dan Terigu
Harga-harga dan biaya proses industri
dalam kasus penelitian
memberikan Bh/C industri 1.08. Penelitian atas industri proses makanan lainnya
64
menunjukkan bahwa angka/data mengenai tepung tapioka cukup valid. Validasi ini menunjukkan bahwa harga-harga dalam rantai pasok agroindustri tepung tapioka wajar dan cukup adil. Sebelumnya dapat dikatakan bahwa harga-harga yang dikutip telah diterima para pelaku dan rantai pasok telah berjalan lama sehingga dapat dikatakan wajar dan para pelaku menerima keuntungan yang adil. Bh/C industri proses bahan makanan, sumber karbohidrat, lainnya berkisar dalam rentang 1.03 – 1.1. Menarik untuk dicatat bahwa termasuk dalam rentang tersebut industri tepung terigu dengan bahan baku impor, di mana harga bahan baku 91.3% dari harga pokok produk (HPP). Sedangkan Bh/C berbagai industri tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik pada Beras, dan Tepung Terigu
65
4.5 Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani
4.5.1 Permasalahan-permasalahan dalam Penyediaan Bahan Baku Industri Sumber Karbohidrat Berbasis Ubi Kayu Keuntungan yang diterima saat ini belum cukup mensejahterakan petani ubi kayu. Persoalan yang perlu dikaji adalah tingkat produksi yang dapat dicapai petani dan tingkat harga jual ubi kayu yang berlaku, serta apakah kegiatan produksi ubi kayu cukup menarik bagi petani dengan ketersediaan lahan yang dimiliki. Jika petani mendapatkan kesempatan untuk memproduksi dan menjual komoditas lain yang lebih mampu mendukung ekonomi keluarganya, maka petani ubi kayu akan beralih kepada komoditas alternatif tersebut. Karena itu, tingkat kesejahteraan keluarga petani ubi kayu menjadi persoalan penting yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani mitra agroindustri sumber karbohidrat berbasis ubi kayu, terdapat berbagai alternatif yang mungkin dilakukan yaitu: o Peningkatan luas lahan kebun ubi kayu: Hal ini dapat dicapai dengan pemberian lahan usaha bagi petani seperti pola yang diterapkan pada program transmigrasi, dimana petani mendapatkan lahan pekarangan dan lahan usaha yang dapat mereka manfaatkan untuk kegiatan produksi berbagai komoditas. Sejalan dengan kemampuan mereka memanfaatkan lahan agar produktif, mereka dapat diberikan lahan usaha yang lebih luas untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Alternatif lain, adalah dengan pemberian akses untuk memanfaatkan berbagai lahan yang tersedia untuk kegiatan produksi ubi kayu. Pada alternatif ini, petani tidak harus memiliki lahan, namun mereka memiliki hak untuk memanfaatkan lahan dalam luasan tertentu. o Upaya peningkatan manfaat dari kegiatan usaha tani ubi kayu Pada alternatif ini, petani didorong untuk memperoleh penghasilan yang lebih
tinggi
dengan melakukan berbagai
upaya
peningkatan
66
produktivitas kebun ubi kayu mereka. Persoalan yang mungkin dihadapi adalah keterbatasan modal petani untuk memberikan tambahan input bagi pertanian ubi kayu mereka. Di sisi lain, upaya peningkatan pendapatan petani dapat juga dilakukan dengan meningkatkan harga jual ubi kayu di tingkat petani. Secara umum, peningkatan harga jual ubi kayu milik petani tidak mudah dilakukan karena kemampuan pabrik untuk membeli ubi kayu milik petani dibatasi oleh harga jual produk agroindustri tersebut kepada konsumen. Dengan demikian, peningkatan harga jual ubi kayu beresiko menurunkan daya saing pabrik tapioka dari pabrik-pabrik lainnya, maupun daya saing tapioka terhadap produk-produk tepung lainnya.
Meskipun demikian,
peningkatan harga jual ubi kayu petani masih mungkin dilakukan dengan melakukan efisiensi seperti memperpendek jalur rantai pasok, peningkatan efisiensi transportasi dengan menggunakan modal transportasi dengan kendaraan berkapasitas lebih besar. o Menggeser sebagian aktivitas pabrik tapioka kepada petani. Dengan kegiatan ini, petani mendapatkan tambahan penghasilan dari fungsi mereka sebagai “tenaga kerja” bagi pabrik di samping penjualan ubi kayu mereka. Aktivitas yang dapat dilakukan keluarga petani terdiri dari pengupasan, pembersihan hingga kegiatan produksi tapioka skala rumah tangga. Di samping meningkatkan pendapatan keluarga petani, pengalihan sebagian aktivitas tersebut dapat meningkatkan efisiensi transportasi (karena terjadinya pengurangan bobot bahan yang diangkut karena ubi kayu telah dikupas dan dibersihkan) serta memperbaiki sanitasi lingkungan pabrik tapioka dan mengurangi limbah cair yang dibuang ke lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, sampah berupa kulit dan kotoran ubi kayu yang tinggal di petani dapat dikembalikan ke kebun mereka ataupun dimanfaatkan sebagai bahan tambahan dalam pakan ternak yang dapat menjadi alternatif usaha sampingan bagi keluarga petani. Jika petani dapat melakukan kegiatan usaha peternakan di lokasi yang berdekatan dengan kebun mereka, maka kotoran ternak dan sisa-sisa pakan dapat menjadi pupuk organik yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas kebun ubi kayu dengan tambahan biaya yang tidak
67
terlalu besar. Apabila peternakan ini juga dapat dilakukan secara berkelompok, maka kotoran ternak dapat dimanfaatkan untuk produksi biogas yang juga dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga petani untuk bahan bakar. o Petani mendapatkan share dalam kepemilikan pabrik Dalam pola agroindustri yang umum dilakukan, petani hanya mendapat manfaat ekonomi dari penjualan hasil pertanian mereka sebagai bahan baku bagi agorindustri.
Manfaat ekonomi tersebut dapat lebih
tingkatkan jika petani dapat memperoleh kepemilikan dalam agroindustri tersebut. Hal ini tidak mudah dilakukan karena petani tidak memiliki dana untuk penyertaan modal dalam kepemilikan pabrik pengolahan yang didirikan. Bahkan banyak petani yang tidak mampu melakukan perawatan kebun ubi kayu mereka secara baik, baik untuk kegiatan pemeliharaan seperti penyiangan dan penggemburan tanah lebih-lebih untuk pembelian berbagai sarana produksi pertanian seperti bibit ubi kayu yang baik, pupuk, pestisida, insektisida dan sebagainya. Hal ini dapat diatasi dengan melibatkan petani dalam pengembalian modal dari institusi/pihak penyedia dana secara bertahap. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan menahan sebagian dana hasil penjualan ubi kayu milik petani yang bersedia menyertakan modal dalam kepemilikan industri tapioka yang didirikan. Cara lain adalah pembayaran dari bagian dividen petani. o Peningkatan daya guna lahan Dalam prakteknya, penyediaan tambahan lahan bagi petani ubi kayu memerlukan kebijakan lintas sektor dan memerlukan perencanaan yang lebih komprehensif. Pada saat yang sama, tuntutan atas berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan petani mendesak untuk dilakukan.
Di antara
alternatif yang dapat dilakukan dalam lingkup yang lebih kecil adalah dorongan dan dukungan bagi petani untuk meningkatkan daya guna lahan milik mereka yang terbatas. Kegiatan ini antara lain dapat dilakukan melalui berbagai bentuk sebagai berikut:
68
Melaksanakan kegiatan pertanian tumpang sari. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah penanaman jagung di sela-sela tanaman ubi kayu pada masa awal pertumbuhan ubi kayu. Dengan umur panen jagung sekitar 4 bulan, tanaman ubi kayu yang baru belum terlalu tinggi dan rimbun sehingga tidak menaungi tanaman jagung (Rusdi 2011).
Peningkatan populasi tanaman ubi kayu (masalah jarak tanam), sehingga dengan luasan yang sama populasi tetap sama, dengan input teknologi, produksi bisa sama. Dan tersedia sisa lahan untuk tumpang sari.
Meningkatkan populasi tanaman ubi kayu dengan memperkecil jarak tanam, sehingga dengan luas lahan yang sama, dan dengan bantuan input teknologi, produksi bisa lebih banyak.
Menggeser sebagian tahapan proses agroindustri/pabrik ke tingkat petani, misalnya pengupasan, pembersihan hingga produksi tapioka kasar.
4.5.2 Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan Peningkatan Luas Lahan
Peningkatan kesejahteraan petani dapat diukur dengan peningkatan penghasilan yang diterima petani dengan budidaya ubi kayu. Salah satu upaya yang dilakukan adalah peningkatan luas lahan yang diusahakan. Contoh perhitungan peningkatan kesejahteraan petani dengan peningkatan luas lahan ditampilkan pada Tabel 4.9. Formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Dengan asumsi luas lahan 1 Hektare income saat ini adalah = Rp 12,500,000 per tahun sehingga per bulan adalah Rp 1,041,667.
Income petani yang diharapkan adalah Rp 3,000,000 per bulan yang didapat bila luas lahan adalah 2.8 Hektare.
Maka tambahan lahan yang dibutuhkan adalah 2.88 – 1 = 1.88 Hektare, agar didapat peningkatan kesejahteraan petani menjadi Rp 3,000,000 per bulan.
69
Tabel 4.9 Contoh Perhitungan Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan Peningkatan Luas Lahan Budidaya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Deskripsi Luas Lahan Produktivitas Luaran Harga Satuan Ubikayu Pendapatan Biaya Budidaya Biaya Total Laba Rendemen Tapioka Tapioka Normal Income Sekarang
12
Income Petani Diinginkan
13 14 15 16
Laba Per Ha Lahan Dibutuhkan Tambahan Lahan Dibutuhkan Bh/C
Jumlah 1 25 25 700 17,500,000 5,000,000 5,000,000 12,500,000 0.25 6.25 12,500,000 1,041,667 3,000,000 36,000,000 12,500,000 2.88 1.88 3.5
Unit Hektar Ton/Ha Ton Rp/Kg Rp Rp/Ha Rp Rp Ton Rp/Tahun Rp/Bulan Rp/Bulan Rp/Tahun Hektar Hektar
Untuk setiap Hektare lahan diperlukan tenaga kerja sebesar 44 HariOrang-Kerja (HOK) per musim selama 11-12 bulan. Jika kesejahteraan petani ingin ditingkatkan dengan menambah lahan petani menjadi 3 Hektare, diperlukan 132 HOK untuk mengelola lahan masing-masing. Dengan mengambil patokan 300 hari kerja per tahun, masih ada tersisa 168 hari kerja untuk setiap petani. Dapat dilihat bahwa kesejahteraan petani masih dapat lebih ditingkatkan dengan memberi kesempatan kepada petani untuk memanfaatkan sisa harinya menjadi produktif.
4.6 Pola kemitraan
Aktivitas produksi yang dilakukan unit-unit bisnis dalam agroindustri berbasis ubi kayu menuntut pasokan bahan baku berupa ubi kayu dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi target kapasitas produksi dengan mutu yang memenuhi standar yang diharapkan serta pada waktu yang tepat. Jaminan tersebut
70
diperlukan agar kesinambungan aktivitas produksi terjamin pada tingkat efisiensi yang direncanakan. Ketersediaan pasokan yang tidak mencukupi akan menyebabkan agroindustri terpaksa berproduksi di bawah kapasitas yang direncanakan. Di sisi lain, penyediaan bahan baku ubi kayu yang tidak memenuhi standar akan menyebabkan rendahnya perolehan produk (rendemen) dari jumlah bahan baku serta waktu produksi yang direncanakan. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada biaya per unit produk yang dihasilkan yang berdampak pada tingkat keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan serta daya saing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan produk sejenis dari perusahaan lain ataupun produk substitusinya. Untuk itu, sangat diperlukan kesediaan petani ubi kayu untuk bekerja sama dan bermitra secara berkelanjutan dengan pabrik pengolah ubi kayu. Industri tepung tapioka mempunyai kemungkinan untuk memperpendek alur rantai pasok, dengan menangani sendiri fungsi pengumpul dan pengecer (semi-vertical integration). Bentuk kemitraan menjadi langsung antara petani ubi kayu dengan industri tepung tapioka, dan industri memiliki jaringan pengecer baik sendiri maupun kemitraan dengan pihak lain. Strategi bisnis seperti ini akan mampu menjamin adanya
“fair profit distribution “ serta kemitraan yang
langgeng dan “win- win “. Agar tujuan tersebut tercapai setiap pihak mempunyai kewajiban masing-masing yang harus dilaksanakan. Beberapa kewajiban yang harus dipenuhi para pelaku adalah sebagai berikut : Petani ubi kayu :
Menghasilkan ubi kayu sesuai kualitas dan kuantitas
Menyiapkan hasil panen tepat waktu
Meningkatkan produksi tanaman sesuai pengetahuan yang di dapatkan baik secara otodidak maupun melalui
bimbingan/penyuluhan melalui
kemitraan.
Menepati dan menaati
perjanjian kemitraan demi
tercapainya “win –
win “ dengan industri tepung tapioka
Membentuk kelompok / paguyuban petani ubi kayu di daerah yang sama atau berdekatan.
71
Industri tepung tapioka :
Membeli hasil panen para petani ubi kayu yang sesuai standar kualitas seberapun jumlahnya
Membantu petani dalam meningkatkan kualitas maupun produktifitas tanaman baik secara langsung maupun melibatkan pihak - pihak lain.
Memberikan pinjaman dana talangan yang memadai agar para petani tidak jatuh ke dalam perangkap rentenir
Melakukan monitoring akan kegiatan para petani
Membeli hasil panen petani dengan harga yang “ pantas “ dan memberikan keuntungan yang “fair “. Kemitraan dapat juga mencontoh bentuk kemitraan antara starbuck dengan
pemasok biji kopinya : starbuck memilih petani kopi yang menghasilkan biji kopi yang terbaik dari
seluruh penjuru dunia. Untuk mencapai kondisi ini
starbuck menerapkan pola kemitraan yang eksklusif :
Memberikan dana talangan operasional
Menyediakan asistensi dalam pemilihan lahan yang tepat dan penyuluhanpenyuluhan
Membeli dengan harga di atas harga pasar
Membeli semua hasil panen mitranya. Mengambil contoh pola kemitraan “Unilever Indonesia“ yang merupakan
bagian dari Program CSR-nya (Corporate Social Responsibility) : •
Unilever mampu melalui pola kerjasama dengan petani Black Soya Bean di Indonesia (mayoritas Ibu-ibu petani) menghasilkan kualitas paling baik di dunia.
•
Pola Kemitraan tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan Starbuck, memberikan motivasi, penyuluhan-penyuluahn serta dana talangan kepada para petani.
•
Unilever Indonesia juga membeli seluruh hasil panen Black Soya Bean tersebut dengan harga yang pantas, yang mampu meningkatkan kesejahteraan para petani.
72
Adapun beberapa kendala-kendala dalam kemitraan tersebut antara lain :
Kondisi di Indonesia masih memerlukan suatu pola pengembangan kemitraan yang mampu menghasilkan “win-win“.
Para petani masih belum mampu duduk sejajar dengan mitranya, dalam artian mampu untuk mengusahakan kesepakatan-kesepakatan yang memberi manfaat bagi dirinya serta untuk pengembangan usaha maupun kemampuannya.
Peran “pengumpul“ masih cukup signifikan karena di satu pihak para petani kurang mampu berhubungan dengan industri, di lain pihak industripun masih memakai “pengumpul” sebagai ujung tombak untuk mendapatkan harga beli yang rendah dan kadangkala sebagai “koordinator lapangan “ untuk mengelola para petani di suatu tempat.
Di pihak para petani sendiripun masih sangat kurang mampu dalam bidang pemasaran, keuangan, teknologi, ketrampilan serta pengetahuan.
Pola
hidup
komsumtifpun
telah
melanda
para
petani
sehingga
menyebabkan “mis-management“ dalam mengelola kehidupan yang lebih baik.
Di pihak industri, masih banyak hanya berorientasi “profit–taker” saja. Sehingga “pola bapak angkat“ atau “pola plasma“ tidak tepat sasaran .
Kendala-kendala diatas merupakan sebagian dari hambatan-hambatan keberhasilan kemitraan antara para petani dengan industri.
Ada beberapa alternatif solusi yang mungkin, yang perlu di pertajam, yang melibatkan beberapa pihak, yaitu : 1. Industri-industri harus sangat memahami bahwa mereka membutuhkan petani sebagai
pemasok bahan baku, berhak atas bagian profit yang
“pantas” 2. Para petani harus mengupayakan peningkatan
kesejahteraan mereka
melalui kemampuan penguasaan teknologi utk mendapatkan jumlah dan kualitas hasil yang sesuai tuntutan industri.
73
3. Perlu keterlibatan instansi pemerintah terkait meminimalkan kendalakendala yang ada, serta adanya suatu regulasi yang memberikan keseimbangan kekuatan tawar menawar baik bagi petani maupun industri. 4. Industri-industri penghasil tepung tapioka perlu mengadaptasi pola “Starbuck” maupun “Unilever Indonesia“
dalam pola kerjasama
kemitraannya dengan para petani ubi kayu. Dan menemukan pola yang sesuai dengan kondisi masing-masing.
Sebagai langkah awal, pola kemitraan yang di pilih sebagai alternatif adalah “pola kemitraan langsung petani dengan industri“ yang cenderung mengadaptasi
pola
unilever
indonesia.
Ada
4
faktor
yang
perlu
diimplementasikan, yaitu :
1. Jaminan Pembelian Ubi Kayu : industri tepung tapioka menjamin pembelian ubi kayu dari petani dengan harga yang di tetapkan di muka sebelum penanaman, dengan kesepakatan akan jumlah dan kualitas . Harga seyogyanya diatas harga pasar. 2. Penyuluhan Lapangan : industri baik secara langsung atau bekerjasama dengan pihak lain memberikan penyuluhan kepada petani untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman ubi kayu. 3. Bantuan Keuangan : para petani mendapat kesempatan meminjam dana talangan tanpa bunga, yang disalurkan melalui Paguyuban Petani atau Koperasi Petani. 4. Badan pemantau : kondisi di Indonesia memerlukan adanya suatu badan yang dibentuk berdasar undang-undang yang ada untuk memantau kemitraan ini secara sosial, perlu di bentuknya dewan ubi kayu Indonesia yang bernaung dan di biayai secara operasional di bawah kementrian pertanian, dengan tugas utama memajukan kesejahteraan petani ubi kayu dan mendorong ubi kayu sebagai salah satu bahan pangan utama di Indonesia.
74
Pola kemitraan yang ada dilakukan sebenarnya dapat menjadi bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pelaksanaannya di lapangan sehingga penyimpangan yang dapat merugikan salah satu pihak terutama petani dapat diminimumkan. Bentuk kerja sama dalam penyediaan bahan baku agroindustri tapioka disajikan pada Tabel 4.10. Kondisi ideal akan terjadi jika petani bersatu, misalnya dalam koperasi, sehingga memiliki posisi tawar yang cukup kuat ketika berhadapan dengan pabrik maupun pengumpul, namun hal ini sulit terjadi karena berbagai faktor sosial dan perilaku anggota maupun pengurus. Ada kalanya petani yang biasa memasok pabrik tertentu (tetapi tanpa ikatan pinjaman), menjual hasil panennya kepada pihak lain karena harga pihak lain tersebut lebih tinggi. Untuk penyediaan bahan baku ubi kayu, pabrik/pedagang mengumpulkan dari kebun-kebun ubi kayu milik petani yang tersebar di wilayah sekitar pabrik. Namun karena kebun-kebun ubi kayu milik petani tidak berada dalam satu hamparan, maka dengan kebutuhan panen 8000 ha (80 km2) per 10 bulan, pabrik mendapatkan pasokan bahan baku dari wilayah kerja yang luas.
Dengan
pertimbangan biaya transportasi, pabrik membatasi wilayah kerja sampai radius 60 km (luas wilayah kerja sekitar 11,000 km2). Di sisi lain, batasan ini juga mempertimbangkan adanya persaingan untuk mendapatkan bahan baku di wilayah kerja yang sama dengan pabrik lain. Adapun tipikal pabrik yang dipergunakan adalah (Triwiyono 2011) :
Kapasitas produksi : 200 ton tapioka/hari
Kebutuhan bahan baku 800 ton ubi kayu/hari
Produktivitas ubi kayu: 25 ton/ha
75
Tabel 4.10 Bentuk kerja sama dalam penyediaan bahan baku Agroindustri Tepung Tapioka
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, harus dipanen sekitar 32 ha kebun/hari (800 ton/hari : 25 ton/ha) atau 8000 ha/10 bulan (32 ha/hari * 10 bulan * 25 hari kerja/bulan = 8000
ha). Pola kemitraan di mana pabrik
memberikan pinjaman kepada petani sangat dibatasi oleh kemampuan pendanaan perusahaan. Jika seperempat kebun petani harus dibiayai dengan pola tersebut, maka perusahaan harus mengeluarkan dana sekitar Rp. 10 milyar dalam sepuluh bulan (Rp. 5 juta/ha * 8,000 ha * ¼ = Rp. 10 milyar). Jumlah tersebut sangat besar mengingat investasi pabrik dengan kapasitas 200 ton tapioka/hari hanyalah sekitar 28 – 30 milyar rupiah (di luar lahan). Kondisi tersebut membebani perusahaan karena dana besar tersebut tertahan terlalu lama.
76
Lembaga Keuangan Lain
PEMERINTAH
Petani Petani
PEDAGANG
Petani
Petani Petani
KOPERASI
PABRIK
Petani
Petani Petani Petani Aliran material Aliran pendanaan
Gambar 4.8 Pola kemitraan antara Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu
Untuk memecahkan masalah di atas dapat digunakan dua alternatif kemitraan berikut ini: Alternatif 1: Pabrik memberikan kontribusi permodalan kepada pedagang dalam jumlah tertentu, kemudian pedagang yang bermitra dengan petani. Pedagang menambah dana kemitraan dengan dana sendiri atau dana pihak ketiga. Dengan total dana kemitraan yang lebih besar ini pedagang dapat bermitra dengan lebih banyak petani dan luasan kebun yang lebih besar.
77
Alternatif 2: Alternatif ini mirip dengan Alternatif 1 dengan koperasi menggantikan posisi pedagang. Koperasi dapat mengajukan permintaan bantuan dana kepada pemerintah dan lembaga keuangan lainnya yang memang telah memiliki berbagai skim pendanaan bagi koperasi dan usaha kecilnya. Dari sisi pabrik, alternatif ini tak berbeda dengan Alternatif 1, namun dari sisi petani, adanya koperasi akan dapat meningkatkan pendapatan petani berupa Sisa Hasil Usaha yang dibagikan kepada anggota. Gambar 4.8 menunjukkan Pola kemitraan antara Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu. Pada konsep kemitraan pabrik – koperasi – petani, kepemilikan kebun berada di tangan petani tergabung pada koperasi. Koperasi adalah organisasi yang beranggotakan petani yang membentuk badan usaha yang bertanggungjawab membangun dan mengelola perkebunan ubi kayu. Lahan yang dikelola oleh koperasi adalah lahan milik petani secara perseorangan. Bentuk koperasi dipilih karena bentuk ini merupakan bentuk yang sudah akrab dikalangan petani. Dan memberikan beberapa keuntungan bagi petani, yaitu : 1. Petani anggota koperasi akan menerima bagian keuntungan dari sisa hasil usaha di samping pendapatan dari hasil penjualan ubi kayu ke pabrik, 2. Penetapan harga ubi kayu ke pabrik dapat dilakukan melalui kesepakatan bersama para anggota koperasi dengan dukungan dari manajemen dan pihak industri pengolahan tepung tapioka. 3. Bentuk koperasi memungkinkan setiap petani memiliki kedudukan setara yang akan memperkuat posisi petani terhadap industri pengolahan. Melalui mandat dari koperasi, manajemen koperasi akan menjalankan tugas pengelolaan kebun ubi kayu agar mendapatkan keuntungan yang optimal. Rancangan posisi dalam struktur organisasi koperasi disusun berdasarkan kebutuhan fungsional organisasi. Adapun fungsi-fungsi utama dalam koperasi antara lain adalah fungsi administrasi dan keuangan, fungsi pemasaran, dan fungsi operasi. Selama kegiatan operasional koperasi, diperlukan monitoring dan evaluasi masing-masing
anggota
koperasi.
Evaluasi
dilakukan
berkaitan
dengan
kemampuan penyediaan ubi kayu yang sesuai dengan perjanjian baik dari segi
78
kualitas, kuantitas dan kontinyuitas. Selain itu, dilakukan juga evaluasi anggota dalam hal yang berkaitan dengan keuangan seperti cicilan pinjaman koperasi. Hasil evaluasi ini akan menentukan apakah kerjasama dengan anggota koperasi tertentu akan dilanjutkan, atau diberhentikan. Kebijakan ini diperlukan untuk menjamin bahwa setiap anggota koperasi akan berusaha memenuhi seluruh perjanjian yang disepakati. Evaluasi kemitraan koperasi dapat dilihat pada Gambar 4.9. Data Realisasi Penyediaan Produk Masing-masing Petani, Cicilan Pinjaman
Evaluasi cicilan Pinjaman
Masalah Komitmen terhadap Perjanjian
Pembinaan, Revisi Target Produksi
Kerjasama dilanjutkan
Pemutusan Kemitraan
Gambar 4.9 Evaluasi Kemitraan Koperasi
Agar dapat berfungsi maksimal dan benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan petani anggota koperasi, maka koperasi harus memiliki pendanaan yang baik. Adapun sumber dan alokasi keuntungan koperasi berasal dari beberapa alternatif sumber yaitu 1) keuntungan penanaman ubi kayu, 2) bagi hasil dari agroindustri dan 3) keuntungan dari penjualan produk lain. Keuntungan yang diperoleh koperasi ini tentunya dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui pembagian keuntungan, untuk pengembangan usaha maupun untuk dana sosial. Sumber dan alokasi keuntungan koperasi dapat dilihat pada Gambar 4.10.
79
Keuntungan dari Penanaman Ubi Kayu
Bagi Hasil dari Agroindustri Tepung Tapioka
Dibagi Kepada Anggota
Keuntungan Koperasi
Keuntungan dari Penjualan Produk Lain
Pengembangan Usaha
Dana Sosial
Gambar 4.10 Sumber dan Alokasi Keuntungan Koperasi
Pada kondisi tertentu yang sangat tidak menguntungkan, misalnya gagalnya petani ubi kayu mendapatkan hasil panen yang sesuai dengan harapan, maka koperasi dapat membantu anggota yang bersangkutan dengan dana sosial yang disisihkan dari hasil usaha yang telah dicadangkan dari keuntungan koperasi. Dalam kerjasama ini, pendapatan anggota koperasi berasal dari penjualan produknya sendiri di dalam koperasi serta bagian dari keuntungan koperasi. Mekanisme seperti ini (termasuk dalam menangani kondisi yang tidak menguntungkan) diharapkan akan mengikat seluruh anggota koperasi agar loyal dan mempunyai komitmen yang baik dalam memenuhi perjanjian. Sumber pendapatan petani dapat dilihat pada Gambar 4.11.
Penjualan Ubi Kayu
SHU dari Koperasi
Pendapatan Petani
Dana Sosial dari Koperasi
Gambar 4.11 Sumber Pendapatan Petani
Dengan ini kombinasi pola kemitraan Pabrik-Petani, Pabrik-PedagangPetani, Pabrik-Koperasi-Petani diharapkan dapat membantu memecahkan
80
permasalahan pendanaan untuk petani. Kondisi ini dapat terjadi karena dana dapat disalurkan dari berbagai sumber kepada masyarakat petani. Berdasar pola kemitraan petani-koperasi-pengumpul-industri tapioka ini dapat dibuat suatu strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu, seperti yang terlihat pada Gambar 4.12. Dalam strategi ini, unsur-unsur petani, pengumpul,
agroindustri,
pedagang
dan
konsumen
saling
terkait
dan
mempengaruhi.
Wilayah Kerja 1
Daerah Pemasaran 1
Petani
Konsumen Pengumpul
Pedagang
Petani
Konsumen
Petani
Konsumen Koperasi
Pedagang
Petani
Konsumen
Agroindustri Tepung Tapioka
Petani
Konsumen Pengumpul
Pedagang
Petani
Konsumen
Petani
Konsumen Koperasi
Pedagang
Petani
Konsumen
Wilayah Kerja 2
Daerah Pemasaran 2
Gambar 4.12 Strategi Penyediaan Karbohidrat bersumber dari Ubi Kayu
Petani dapat bermitra dengan pengumpul dan agroindustri baik secara langsung maupun melalui koperasi. Melalui kemitraan akan dapat diperoleh dana dan kerjasama untuk peningkatan kualitas dan kuantitas produksi ubi kayu, kesinambungan produksi dan jaminan pasar yang dapat memberikan harga yang lebih wajar kepada petani.
81
Pengumpul dapat menerima dana dari pabrik dan menambahkan dana sendiri atau dana lembaga keuangan. Dana yang lebih besar ini dapat dipinjamkan kepada lebih banyak petani untuk meningkatkan kualitas budidaya ubi kayu. Agroindustri dapat memberikan lapangan kerja kepada petani untuk memanfaatkan waktu “idle” petani dan menyerahkan proses awal agroindustri kepada petani. Agroindustri dapat juga memberi kesempatan kepada petani untuk ikut memiliki pabrik melalui pemilikan saham. Saham tersebut dapat dibayar melalui potongan penjualan ubi kayu petani atau melalui pembayaran dividend Dalam strategi ini petani dibagi menjadi beberapa wilayah kerja untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tapioka. Bila industri tapioka kapasitas 200 ton per hari membutuhkan 800 ton ubi kayu per hari. Dengan hari kerja satu tahun 300 hari maka, dalam waktu satu tahun diperlukan 240.000 ton ubi kayu. Kebutuhan bahan baku ubi kayu ini harus dipenuhi minimal dari 9600 Ha lahan dengan produktivitas 25 ton/ha. Jika setiap petani mempunyai lahan 2 ha per orang, maka jumlah petani yang terlibat adalah sebanyak 4800 orang petani. Jumlah yang cukup besar ini perlu dikelola dalam beberapa wilayah kerja, dimana disetiap wilayah kerja terdapat koperasi dan pedagang pengumpul yang mengelola petani-petani yang menjadi anggotanya. Petani menghasilkan ubi kayu, dan untuk meningkatkan kesejahteraan dapat melakukan beberapa hal seperti menambah luas lahan dan melakukan kemitraan. Penambahan luas lahan dapat berupa pemilikan lahan tambahan atau pemberian akses lahan kepada petani. Pemberian akses ini akan melibatkan banyak pihak seperti masyarakat adapt setempat, pemerintah pusat dan daerah agar tidak menimbulkan potensi keresahan atau bentrok vertikal maupun horizontal. Dalam perluasan lahan ini tentu ada persaingan diantara komoditas pertanian seperti antara lain padi, jagung, tebu dan kelapa sawit . Dalam persaingan lahan ini ubi kayu mempunyai kelebihan yaitu dapat tumbuh di lahan yang marginal dengan daya adaptasi lingkungan (iklim, ketersediaan air). Oleh sebab itu besar kemungkinan ubi kayu akan mendapatkan lahan yang tidak diperebutkan oleh komoditas-komoditas lain.
82
(halaman ini sengaja dikosongkan)