STRATEGI PENYEDIAAN KARBOHIDRAT BERSUMBER DARI UBI KAYU
SJOUFJAN AWAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul ”Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu” merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Sjoufjan Awal NRP. F36103101
ABSTRACT SJOUFJAN AWAL. Strategy for the Supply of Cassava-Based Carbohydrate. Under the supervision of Irawadi Jamaran, Marimin, Amril Aman, and Yandra Arkeman. Import dependency reduction, or elimination, can be achieved by increasing locally grown carbohydrate source. Local cassava maintains good environmental adaptability characteristics and can be readily grown throughout Indonesia. Farmers are familiar with cassava, due to its relatively easy cultivation and allows for a high degree of land productivity. Being the third most important carbohydrate source, after rice and maize, the use of cassava raw material for various industries continues to grow. Several sub-Saharan African countries’ experience has shown that cassava provides a greater income, to both poor and rich farmers, than any other commodity. This research establishes a strategy and thought framework for cassava based carbohydrate supply, providing potential prosperity to cassava farmers and a fair profit to stakeholders, as well as designs a cooperation scheme that ensures upstream and downstream supply chain sustainability, through a mutually beneficial agreement/contract. The cassava based carbohydrate supply is calculated by forecasting future cassava demand, using the double exponential smoothing method with trend (DEST). From the forecasting results, year 2015 cassava demand is estimated to reach 23.5 million tons, require 1.3 million ha cultivation land, involve 668,197 farmers, assuming per farmer holds a 2 ha land area, and require 392 tapioca plants of 200 tons / day capacity. B/C analysis is made to determine the supply chain parties’ benefit level. B/C balancing has limitation, as each supply chain party maintains differing material volume and production time. B/C equalization only leads to greater income inequality amongst the supply chain parties. As the benefit aspect of this analysis emphasizes price, thus the B/C is substituted with Bh/C. Various efforts can be pursued for the improvement of cassava farmers’ welfare, i.e. increased plantation area through increased land ownership, or grant farmers greater access to land use that can be supported through existing laws and regulations pertaining to idle land utilization; improve intercropping benefits through increased efficiency, or shift some process stages to the farmer’s level. Various partnership arrangements amongst farmers, suppliers and agroindustries are suggested. Keywords: Strategy, agro industry, cassava, supply chain, benefit – cost ratio, partnership
RINGKASAN SJOUFJAN AWAL. Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu. Dibawah bimbingan : Irawadi Jamaran sebagai ketua, Marimin, Amril Aman, dan Yandra Arkeman masing-masing sebagai anggota. Ketersediaan karbohidrat yang bersumber dari bahan yang tumbuh di negeri sendiri perlu ditingkatkan untuk mengurangi atau menghilangkan ketergantungan kepada impor. Ketergantungan kepada impor mengurangi dan dapat mengancam ketahanan pangan, membuat suatu negara tegantung kepada negara lain sehingga mengurangi kedaulatannya. Ketergantungan kepada impor mengandung resiko di mana ketersediaan bahan pangan ditentukan di luar negeri dan bukan oleh negara pengimpor itu sendiri. Impor tersebut setiap saat mungkin saja terhenti karena situasi politik yang tidak kondusif. Ketidakpastian impor diperparah lagi oleh perubahan iklim yang kini sedang berlangsung sehingga mungkin saja tidak ada negara yang mau menjual bahan pangannya karena harus memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih dahulu. Di samping itu, kecuali beras, peran bahan-bahan karbohidrat yang lain sebagai bahan pangan pun pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat. Swa-sembada pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pengurangan ketergantungan kepada impor. Ketersediaan karbohidrat lokal merupakan suatu alternatif dari impor. Sumber karbohidrat yang dipilih adalah ubi kayu, karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang baik, sehingga ubi kayu dapat tumbuh di semua provinsi di Indonesia. Disamping itu, pembudidayaan ubi kayu mudah, dikenal baik oleh petani, produktivitas lahan yang tinggi. Selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, ubi kayu juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang. Pengalaman dibeberapa negara di sub-sahara Afrika menunjukkan bahwa ubi kayu memberikan penghasilan kepada petani miskin dan kaya melebihi dari komoditas lain. Produksi ubi kayu Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2009 terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya produktivitas, meskipun luas areal panennya tidak mengalami peningkatan. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/ ha. Luas kepemilikan lahan petani yang sempit, serta harga produk dan nilai tambah yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan petani ubi kayu. Melalui penelitian ini akan dibuat strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, dengan rantai pasok yang berkelanjutan, serta dapat memberikan semua pemangku kepentingan keuntungan yang adil. Disamping itu penelitian ini merancang pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok. Strategi yang dihasilkan akan dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu, dan mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok ubi kayu dari hulu sampai hilir dengan terjadinya kesepakatan atau kontrak yang saling menguntungkan. Dalam penelitian ini dilakukan analisa B/C untuk melihat tingkat keuntungan bagi pelaku rantai pasok, dan yang terakhir merancang pola kemitraan dalam penyediaan bahan baku ubi kayu untuk industri tapioka. Penyediaan karbohidrat dari ubi kayu dihitung dengan peramalan kebutuhan ubi kayu pada masa yang akan datang, dengan metode double exponential smoothing with trend (DEST). Dari hasil peramalan
kemudian dihitung seberapa besar luasan lahan dan jumlah petani yang terlibat dan dibuat usulan kemitraan pagi para pelaku rantai pasok ubi kayu dan tepung tapioka. Kebutuhan karbohidrat penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat saat ini bersumber dari beras, ubi kayu dan gandum. Dari hasil peramalan, pada tahun 2015 diperkirakan kebutuhan ubi kayu mencapai 23,5 juta ton yang membutuhkan lahan budidaya sebesar 1,3 juta Ha. Dengan asumsi penguasaan lahan oleh petani seluas 2 Ha per petani, maka jumlah petani yang akan terlibat mencapai 668.197 petani dan 392 unit pabrik tapioka dengan kapasitas 200 ton/hari. Penyeimbangan B/C mempunyai keterbatasan. Karena setiap pelaku dalam rantai pasok memiliki volume material dan waktu produksi yang berbeda. Penyetaraan B/C hanya akan menyebabkan ketimpangan pendapatan yang makin besar antar pelaku rantai pasok. B/C petani ubi kayu saat ini sudah cukup tinggi (3,5), sedangkan B/C pabrik tapioka cukup rendah (1,08). Namun demikian walaupun mempunyai B/C yang tinggi pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera. Laba yang diterima petani ubi kayu hanya sebesar Rp. 12.5 juta/ha/tahun (rata-rata sekitar Rp. 1 juta/bulan/Ha). Pada pabrik tapioka karena volume penjualan yang besar, maka pabrik tepung tapioka mampu memperoleh penghasilan yang tinggi. Dalam analisis ini benefit ditekankan kepada price atau harga. Nilai benefit adalah price atau harga pe satuan produk dikali jumlah produk, dan diberi notasi Bh. Sehingga benefit ratio yang dipakai adalah Bh/C. Peningkatan kesejahteraan petani ubi kayu perlu diupayakan, agar petani tidak beralih membudiyakan tanaman yang lebih menjamin kesejahteraannya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu antara lain dengan peningkatan luas lahan kebun ubi kayu, dengan cara penambahan kepemilikan lahan atau pemberian akses penggunaan lahan pada petani ubi kayu. Peraturan Perundangan antara lain tentang tata cara penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dapat dijadikan landasan untuk mendukung upaya tersebut. Di samping itu peningkatan kesejahteraan petani dapat juga diupayakan melalui tanaman tumpang sari dan peningkatan efisiensi penggunaan lahan, menggeser sebagian tahapan proses ke tingkat petani, misalnya pengupasan, pembersihan hingga produksi tapioka kasar, dan petani ikut memiliki pabrik melalui kepemilikan saham, dengan pembayaran langsung atau melalui pembagian keuntungan yang diterima petani ubi kayu. Beberapa alternatif diberikan untuk menunjang hubungan kemitraan antara petani, pemasok dan pabrik. Alternatif pertama pabrik memberikan pinjaman permodalan kepada pedagang dalam jumlah tertentu, kemudian pedagang bermitra dengan petani berdasarkan modal yang dipinjamkan ditambah modal pedagang sendiri atau dari sumber lain. Alternatif kedua adalah pola yang digunakan pada alternatif pertama yang diterapkan pada koperasi yang permodalannya dapat diajukan kepada pemerintah dan lembaga keuangan lainnya yang memang telah miliki berbagai skim pendanaan bagi koperasi dan usaha kecil. Alternatif ketiga adalah pola kemitraan petani-pabrik, dimana pabrik memberikan pinjaman kepada petani. Kata kunci : strategi, agroindustri, ubi kayu, rantai pasok, benefit – cost ratio, kemitraan.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan kepada khalayak dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENYEDIAAN KARBOHIDRAT BERSUMBER DARI UBI KAYU
SJOUFJAN AWAL
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Ujian Tetutup Penguji Luar Komisi:
1. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. 2. Dr. Ir. Sukardi, MM.
Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi:
1. Prof. Dr. Ir. Abdul Aziz Darwis, MSc. 2. Prof. Dr. Ir. Nadirman Haska, Msi.
Judul Disertasi
: Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu
Nama
: Sjoufjan Awal
NRP
: F361030101
Program Studi
: Teknologi Industri Pertanian
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua
Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc. Anggota
Dr. Ir. Amril Aman, MSc. Anggota
Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng. Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Ujian Terbuka : 30 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil alamin, puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena hanya dengan pertolongan dan rahmat-Nya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa banyak pihak telah membantu sampai selesainya Disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan dan arahan, dukungan serta dorongan sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc; Bapak Dr. Ir. Amril Aman, MSc; dan Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan masukan hingga terselesaikannya Disertasi ini. 3. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Bapak Dr. Ir. Sukardi, MM selaku Penguji Luar Komisi, dan Bapak Dr. Ir. Machfud, MS selaku pimpinan sidang pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan untuk perbaikan disertasi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS selaku Ketua, Ibu Dr. Titi Candra Sunastri, STP, MSi dan Dr. Eng. Taufik Djatna, STP, MSi masing-masing selaku Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian, SPs-IPB yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian. 5. Bapak Dr. Ir. Sulistyo Sidik Purnomo, MSi, Bapak Dr. Ir. Iding Chaidir, MS, Bapak Dr. Ir. Alexie Herryandie Bronto Adi, MS, Bapak Ir. Syarif Hidayat, M.Eng.Sc., MM, Bapak Ir. Bambang Triwiyono, MSi, Bapak. Ir. Nurul Rusdi dan Bapak Suyono atas masukan dan bantuannya. 6. Bapak Ir. Arfie Thahar, MM, Bapak Ir. Haekal Luthfi, MT, Ibu Suminar dan Bapak Ir. Ghozin Ghazali atas bantuannya.
7. Seluruh staf Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu dalam pengurusan administrasi. 8. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan kuliah di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, utamanya rekan-rekan kelompok konsultasi hari Sabtu di Halulas, surau kami, atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan pendidikan ini dengan sebaik-baiknya. Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS penulis menyampaikan terima kasih yang dalam dan penghargaan yang setinggi-setingginya atas dorongan, dukungan dan utamanya memberi semangat agar penulis terus berjuang sampai studi penulis selesai. Penulis selalu mendoakan agar Allah SWT memelihara, mengasihi dan mengampuni Mami Hj. Fathimah Zahara (Almarhumah) dan Ayah Awaluddin (Almarhum), sebagaimana beliauu memelihara penulis semasa kecil. Dalam keadaan ekonomi rumah tangga yang jatuh bangun dan turun naik, beliau selalu memberi berkecukupan kepada penulis sehingga tidak pernah berkekurangan. Penulis selalu merasa tidak
cukup memberikan yang terbaik kepada beliau. Jika ada nilai-nilai
(values) yang baik pada diri penulis hanyalah semata-mata dengan ijin Allah dan penanaman yang dilakukan oleh Mami dan Ayah. Pada saat-saat yang sangat indah dan berarti ini penulis selalu mengenang Almarhum Letjen H. Bustanil Arifin, SH, seorang yang berbudi mulia selalu ingin melihat orang lain bahagia dan berkecukupan dan selalu siap untuk membantu mereka mencapai kebahagiaan dan berkecukupan tersebut. Beliau dengan ijin Allah telah merubah serta menuntun jalan hidup penulis ke arah yang lebih baik dan bermanfaat. Dengan segala kerendahan hati, disertasi ini penulis dedikasikan kepada Almarhum Letjen (Purnawirawan) H. Bustanil Arifin, SH. Beliau adalah seorang mantan atasan, kemudian sahabat abadi yang sangat akrab. Begitu juga isteri beliau Hj. Suhardani Arifin beserta keluarga besarnya juga mempunyai hati yang mulia dan terus melanjutkan silaturahmi dan persaudaraan dengan penulis dan keluarga. Isteri penulis Hj. Sofie Sutan Durdahlan telah mendampingi penulis sejak lebih dari 48 tahun lalu dalam kehidupan yang penuh dengan kemudahan dan kesusahan yang dihadapi dengan tabah. Anak-anak penulis beserta menantu Leksin dan Sulastri, Wabas,
H. Andrew dan Hj. Maya Yusufina telah memberikan suasana “persahabatan” yang telah memberikan kebahagiaan luar biasa kepada keluarga kami. Hubungan kami lebih bersifat antara sahabat ketimbang antara anak dan orang tua. Isteri penulis beserta anak dan menantu selalu mendukung dan mendoakan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian disertasi ini. Untuk semua itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas dukungan, bantuan dan doa mereka. Semoga anak-anak dan menantu terpanggil untuk melanjutkan studinya ke tingkatan yang lebih tinggi. Amin.
Jakarta, 24 Februari 2012 Sjoufjan Awal
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada 23 Juni 1939, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Awaluddin (Alm.) dan Ibu Hj. Fathimah Zahara (Almh.). Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah di Medan dan selesai tahun 1957. Penulis menyelesaikan Program Sarjana (S1) Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1962, Program Master of Science in Electrical Engineering, Illinois Institute of Technology (IIT), Chicago, Amerika Serikat tahun 1965. Penulis adalah lulusan Kursus Reguler Lembaga Pertahanan Nasional, Angkatan XX (9 bulan) pada tahun 1987.
Selanjutnya penulis menyelesaikan Program
Pascasarjana (S2) Magister Manajemen di Universitas Indonesia (UI) tahun 1994. Penulis mengikuti Program Studi Teknologi Industri Pertanian (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai tahun 2003. Tahun 1968 penulis bekerja sebagai Principal Engineer, Commonwealth Edison Company (Electric Utility Company), Chicago, Amerika Serikat. Kemudian pada tahun1975 penulis mendapat Professional Engineer (PE) licence. Di samping itu penulis juga mengajar di Illinois Institute of Technology, Department of Electrical Engineering, Chicago. Tahun 1980 penulis menjabat Kepala Unit Pembangunan dan Pengembangan Proyek Listrik Pedesaan, Departemen Perdagangan dan Koperasi. Di samping itu penulis juga menjadi Direktur Akademi Akuntansi Dr. Muchtar Thalib. Tahun 1983 penulis menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Koperasi, Bidang Teknologi Koperasi, dan kemudian Bidang Hubungan Luar Negeri. Pada tahun 1991 penulis menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI), sekolah pascasarjana bisnis. Tahun 1996 menjabat sebagai Tenaga Ahli Utusan Indonesia, Bidang Pengusaha Kecil dan Menengah, APEC Business Advisory Council (ABAC). Saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Pengawas Yayasan Pengembangan Manajemen Indonesia (YPMI) dan Komisaris PT. Sriboga Raturaya.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT………………………………………………………………...
v
RINGKASAN……...……………………………………………………….
vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
xxi
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xxiii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xxv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
xxvi
PENDAHULUAN ……………………………………………………
1
1.1. Latar Belakang ………………………………...............................
1
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………......
3
1.3. Ruang Lingkup ……………………………………………...........
4
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………...
5
2.1. Manajemen Rantai Pasok................................................................
5
2.2. Studi Sistem....................................................................................
10
2.3. Pendekatan Sistem .........................................................................
11
2.4. Sumber Karbohidrat Ubi Kayu di Indonesia ………………….…
12
2.5. Status dan Variasi Penyediaan Sumber Karbohidrat…………..…
22
2.6. Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu......... …………………………….
26
2.6.1. Petani ………………………………………………………
26
2.6.2. Pengumpul ………………………………………………...
27
2.6.3. Industri Pengolahan Ubi Kayu..............................................
28
2.7. Perkembangan Industri Tepung Terigu...........................................
31
3. METODE PENELITIAN......................................................................
35
1.
2.
3.1. Kerangka Pemikiran.........................................................................
35
3.2. Tahapan Penelitian...........................................................................
36
3.3. Analisa Peramalan dengan menggunakan Double Exponential Smoothing with Trend…………………...………………………
39
3.4. Analisa Benefit Cost Ratio..............................................................
40
xxi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................
43
4.1. Tren Penyediaan Karbohidrat dari Ubi Kayu..................................
43
4.1.1. Volume Impor Gandum.........................................................
44
4.1.2. Volume Konversi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu..........
45
4.1.3. Volume Produksi Ubi Kayu Indonesia..................................
46
4.1.4 Perencanaan Total Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka...................................................................................
48
4.1.5 Luas lahan yang Dibutuhkan..................................................
50
4.1.6 Jumlah Petani dan Industri yang Akan Terlibat......................
55
4.2. Rantai Pasok Ubi Kayu Dalam Rangka Penyediaan Karbohidrat...
57
4.3. Penyeimbangan Bh/C.......................................................................
60
4.4.Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik Bahan Pangan Ubi Kayu, Beras, dan Terigu………………………………………………………… 4.5. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani ………………...……
63 65
4.5.1. Permasalahan-permasalahan dalam Penyediaan Bahan Baku Industri Sumber Karbohidrat Berbasis Ubi Kayu......
65
4.5.2. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan Peningkatan Luas Lahan…………………………………..
68
4.6. Pola Kemitraan ………………………………………………....
69
KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................
83
5.1. Kesimpulan.....................................................................................
83
5.2. Saran...............................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………...........................
87
5.
xxii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1
Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk Pertanian....................................................................................
9
Tabel 2.2
Komposisi Kimia Ubi Kayu Setiap 100 gram............................
14
Tabel 2.3
Luas lahan dan Produksi Serta Produktivitas Tanaman Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2000 – 2009.......................................
Tabel 2.4
15
Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun 2010…………………………………………………………....
16
Tabel 2.5
Komposisi kimia tepung tapioka setiap 100 gram...................
20
Tabel 2.6
Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman padi di Indonesia tahun 2000 – 2009.....................................................
Tabel 2.7
22
Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan makanan penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 – 2009……………………………………………………............
Tabel 2.8
Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman Jagung di Indonesia tahun 2000 – 2009.................................................
Tabel 2.9
44
Substitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu Tahun 20092015............................................................................................
Tabel 4.3.
33
Volume Impor Gandum Tahun 2003-2008 dan Peramalannya Tahun 2009-2015........................................................................
Tabel 4.2.
32
Tingkat Konsumsi Tepung Terigu dan Pertumbuhannya Tahun 1992-2002...................................................................................
Tabel 4.1.
26
Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun 1998-2002...................................................................................
Tabel 2.11
25
Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100 gram............................................................................................
Tabel 2.10
23
46
Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu Hanya untuk Tepung Tapioka Tahun 2000-2009 dan Peramalannya Tahun 2010-2015........................................................................
47
xxiii
Tabel 4.4.
Perencanaan Total Volume Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tapioka Tahun 2010-2015……………………………………..
Tabel 4.5.
49
Forecast Luas Lahan Ubi Kayu yang Dibutuhkan Tahun 2010-2015………………………………………..…………….
50
Tabel 4.6.
Analisis Bh/C Kondisi Awal…………………………………...
62
Tabel 4.7.
Analisis Bh/C disetarakan dengan Bh/C Petani………………..
62
Tabel 4.8.
Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik pada Beras, dan Tepung Terigu…………………………………………………………..
Tabel 4.9.
64
Contoh Perhitungan Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan Peningkatan Luas Lahan Budidaya……………………………
69
Tabel 4.10. Bentuk kerja sama dalam penyediaan bahan baku Agroindustri Tapioka………………………………………………………...
75
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1
Jaringan Rantai Pasok Vertical………………………………
Gambar 2.2
Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk
6
pertanian...................................................................................
7
Gambar 2.3
Organisasi, sumberdaya dan lingkungannya............................
11
Gambar 2.4
Peta Sebaran Produksi Ubi Kayu Indonesia Tahun 2010…….
18
Gambar 2.5.
Produk nilai tambah dari ubi kayu...........................................
21
Gambar 2.6.
Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka……………
30
Gambar 2.7.
Jalur Distribusi Tepung Terigu.................................................
34
Gambar 3.1.
Tahapan Penelitian ……………………...…………………
38
Gambar 4.1.
Metode perhitungan kebutuhan ubi kayu, jumlah petani dan pabrik tapioka yang diperlukan ……………………….
Gambar 4.2.
Grafik Forecasting Volume Impor Gandum Tahun 20092015..........................................................................................
Gambar 4.3.
45
Grafik Forecasting Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015...............
Gambar 4.4.
43
48
Total Volume Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015…………………………………..
49
Gambar 4.5.
Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka..........................
57
Gambar 4.6.
Rantai Pasok Tepung Tapioka ke Konsumen...........................
60
Gambar 4.7.
Kategorisasi Bh/C untuk Para Pelaku dalam Rantai Pasok Agroindustri..............................................................................
63
Gambar 4.8.
Pola Kemitraan antara Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu........
76
Gambar 4.9.
Evaluasi Kemitraan Koperasi………………………...
78
Gambar 4.10.
Sumber dan Alokasi Keuntungan Koperasi…………
79
Gambar 4.11.
Sumber Pendapatan Petani……………………………
79
Gambar 4.12.
Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka Berdasarkan Kemitraan yang Diusulkan……………………..
80
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kesesuaian Lahan Ubi kayu (Maniohot esculenta)…………….
95
Lampiran 2 Hasil Peramalan Trend Impor Gandum.......................................
97
Lampiran 3 Hasil Peramalan Trend Volume Ubi Kayu Indonesia.................
99
xxvi
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketersediaan karbohidrat yang bersumber dari bahan yang tumbuh di negeri sendiri perlu ditingkatkan untuk mengurangi atau menghilangkan ketergantungan kepada impor. Ketergantungan kepada impor mengurangi dan dapat mengancam ketahanan pangan, membuat suatu negara tegantung kepada negara lain sehingga mengurangi kedaulatannya. Ketergantungan kepada import mengandung resiko di mana ketersediaan bahan pangan ditentukan di luar negeri dan bukan oleh negara pengimpor itu sendiri. Impor tersebut setiap saat mungkin saja terhenti karena situasi politik yang tidak kondusif. Ketidakpastian impor diperparah lagi oleh perubahan iklim yang kini sedang berlangsung sehingga mungkin saja tidak ada negara yang mau menjual bahan pangannya karena harus memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih dahulu. Indonesia kaya dengan berbagai sumber karbohidrat di samping beras, seperti jagung, sagu dan ubi kayu (Maniohot esculenta). Sesuai budaya dan kearifan lokal, bahan tersebut dikonsumsi sebagai makanan pokok. Setelah beras diperkenalkan ke seluruh pelosok tanah air, antara lain melalui pembagian jatah beras bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI dan POLRI, maka bahan-bahan karbohidrat yang lain beralih peran menjadi penganan (INDEF 1995). Pada tahun 1993 dan 1996 tingkat partisipasi konsumsi beras hampir mendekati 100%, yaitu masing-masing sebesar 98,6% dan 98,8% (Ariani 1999). Di samping itu, kecuali beras, peran bahan-bahan karbohidrat yang lain sebagai pengananpun pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat (INDEF 1995). Swasembada pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pengurangan ketergantungan kepada impor. Ketersediaan karbohidrat lokal merupakan suatu alternatif dari impor. Sebagai contoh untuk perhitungan, gandum dijadikan rujukan. Bagaimana keadaannya jika karena satu dan lain hal gandum tidak diekspor ke Indonesia oleh
2
negara penghasil. Sehubungan hal itu perlu disiapkan skenario pengembangan sumber karbohidrat lokal. Dalam skenario tersebut seyogyanya sumber karbohidrat yang ingin dikembangkan tidak mengganggu penyediaan karbohidrat oleh sumber lokal yang telah berlangsung. Gangguan tersebut antara lain dapat berupa persaingan mendapatkan lahan. Sumber karbohidrat yang akan dikembangkan tidak akan berkompetisi untuk mendapatkan lahan dengan sumber lokal antara lain padi dan jagung. Sumber karbohidrat yang dipilih adalah ubi kayu, karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang baik, sehingga ubi kayu dapat tumbuh di semua provinsi di Indonesia (Deptan 2009a). Di samping itu, pembudidayaan ubi kayu mudah, dikenal baik oleh petani, produktivitas lahan yang tinggi. Selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, ubi kayu juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang (Subandi et al. 2005). Pengalaman dibeberapa negara di sub-sahara Afrika menunjukkan bahwa ubi kayu memberikan penghasilan kepada petani miskin dan kaya melebihi dari komoditas lain (Nweke 1996). Jadi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu bukan karena ingin menyediakan karbohidrat yang sama dengan atau mendekati sifat-sifat terigu. Tujuannya adalah menyediakan sumber karbohidrat dalam jumlah yang banyak yang kemudian dapat menarik ahli kuliner untuk menciptakan makanan enak berbasis karbohidrat bersumber dari ubi kayu. Di Indonesia ubi kayu memainkan peranan penting bagi perekonomian negara serta peranannya semakin strategis sebab selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang (Subandi et al. 2005). Berdasarkan data BPS (2010) jumlah produksi ubi kayu Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2009 terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya produktivitas, meskipun luas areal panennya tidak mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 luas areal panen tanaman ubi kayu seluas 1.284.040 ha dengan produktivitas 12,5 ton/ha dan produksi sebanyak 16.089.020 ton. Pada tahun 2009 luas areal penen ubi kayu seluas 1.174.819 ha dengan produktivitas tanaman 18,75 ton/ha dan produksi sebanyak 22.028.502
3
ton. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/Ha. Menurut Subandi et al. (2005) terdapat beberapa permasalahan dalam produksi ubi kayu di Indonesia diantaranya rata-rata produktivitas ubi kayu secara nasional masih rendah (15,5 ton/ha ubi segar), sebab umumnya adalah diusahakan oleh petani kecil pada lahan kering yang tanahnya kurang subur, dengan sedikit menanam varietas unggul (10%) dan sebahagian besar tidak memupuk. Padahal hasil penelitian produktivitas tanaman ubi kayu dapat mencapai 30-40 ton/ha. Rendahnya produktivitas tanaman juga masih ditambah dengan rendahnya harga jual produk dan nilai tambah hasil produksi. Berdasarkan hasil penelitian Limbongan et al. (1999) menyebutkan bahwa harga jual 100 kg ubi kayu basah seharga Rp 25.000 (Rp 250 per kg), sementara dalam bentuk chip dijual seharga Rp 120.000 dengan biaya produksi Rp 80.000, sehingga nilai tambah yang diperoleh hanya Rp 15.000 untuk 100 kg ubi kayu basah atau rata-rata Rp 150 / kg. Luas kepemilikan lahan petani yang sempit, serta harga produk dan nilai tambah yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan petani
ubi kayu.
Melalui penelitian ini akan dibuat strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, dengan rantai pasok yang berkelanjutan, serta dapat memberikan semua pemangku kepentingan keuntungan yang adil. Salah satu upaya untuk lebih meningkatkan pendapatan petani adalah pengembangan agroindustri ubi kayu yang memiliki nilai tambah yang tinggi, dimana petani dapat ikut memiliki industri atau mempunyai aliansi strategis.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendapatkan
strategi
penyediaan
karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, melalui pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok. Pada tahap pertama akan disediakan bahan baku ubi kayu untuk industri tapioka sebagai alternatif karbohidrat bersumber dari gandum.
4
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan gambaran umum dan permasalahan yang dihadapi para stakeholder dalam rantai pasok ubi kayu. 2. Mendapatkan strategi yang dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu. 3. Mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok ubi kayu dari hulu sampai hilir dengan terjadinya kesepakatan atau kontrak yang saling menguntungkan.
1.3 Ruang Lingkup
Sumber karbohidrat yang diteliti adalah ubi kayu dan produk agroindustri adalah tepung tapioka. Petani adalah yang melakukan budidaya ubi kayu. Industriawan adalah pelaku usaha agroindustri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pedagang adalah pengumpul ubi kayu petani dan menjualnya kepada agroindustri
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Rantai Pasok
Rantai pasok adalah rangkaian yang terkait dari proses dalam perusahaan dan lintas perusahaan lain yang menghasilkan produk atau jasa yang memuaskan konsumen. Lebih jauh rantai pasok adalah jejaring aliran produk, jasa, keuangan, dan atau informasi yang mengaitkan pemasok dan konsumen (Krajewski et al. 2010). Sedangkan manajemen rantai pasok adalah seperangkat keputusan dan kegiatan yang digunakan untuk mengintegrasikan pemasok, produsen, gudang, pengangkut, pengecer, dan konsumen yang efisien, sehingga produk atau jasa dapat didistribusikan dengan jumlah yang tepat, ke lokasi yang tepat, dan waktu yang tepat. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya dengan tingkat pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Tujuan manajemen rantai pasok ini adalah untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Li 2007; Levi et al. 2000). Sementara itu, menurut Vorst (2006), manajemen rantai pasok merupakan perencanaan yang terintegrasi, koordinasi, dan pengawasan seluruh proses dan kegiatan bisnis dalam rantai pasok yang memberikan nilai kepuasan yang tinggi kepada konsumen dengan biaya yang minimum. Namun demikian, tetap memuaskan keinginan pemangku kepentingan lainnya dalam rantai pasok tersebut. Lazzarini (2000) menurut Vorst (2006) menggambarkan jaringan agroindustri secara vertikal (Gambar 2.1) sehingga merupakan aliran produk disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jaringan rantai pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah titik dalam lapisan jaringan rantai pasok ini. Agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar. Selain itu agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
6
Distributor lainnya
Pemangku Kepentingan
Konsumen
Agroindustri
Petani/Pemasok
Gambar 2.1 Jaringan Rantai Pasok Vertikal (Lazzarini 2000)
Untuk produk pertanian, rantai pasok merujuk kepada kegiatan seluruh rantai pasok, yaitu mulai produksi di kebun, pengolahan, distribusi, hingga kegiatan mengecer ke konsumen (Chen 2004). Berbeda dengan sistem manufaktur, manajemen rantai pasok untuk produk pertanian memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) produk pertanian bersifat mudah rusak, 2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, 3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, 4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994 dalam Marimin et al. 2010). Pembentukkan rantai pasok produk pertanian didorong oleh keinginan untuk meningkatkan daya saing. Menurut Chen (2004), terdapat tiga hal yang menjadi market drivers pembentukkan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) keamanan pangan dan jaminan kualitas produk, dari mulai produksi sampai ke konsumen, 2) inovasi produk dan diferensiasi, 3) minimalisasi biaya untuk mengurangi biaya logistik yang mencakup berbagai transaksi, pengiriman, penggudangan, dan biaya pengiriman. Menurut Vorst (2006) yang mengadaptasi Lambert dan Cooper (2000) terdapat empat elemen yang dapat digunakan untuk menjelaskan, menganalisis, dan membentuk rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) struktur jaringan yang membatasi jaringan rantai pasok dan menjelaskan pelaku utama rantai pasok,
7
aturan dan penyusunan kelembagaan yang mengatur jaringan tersebut, 2) rantai proses bisnis, yang terukur dalam kegiatan bisnis yang terencana untuk memproduksi output yang spesifik (produk fisik, jasa, dan informasi) bagi konsumen atau pasar tertentu, 3) manajemen jaringan dan rantai pasok yang menunjukkan koordinasi dan struktur manajemen dalam jaringan yang memfasilitasi pelaksanaan proses oleh para pelaku rantai pasok dan penggunaan sumber daya rantai pasok, 4) sumber daya rantai pasok yang digunakan untuk memproduksi produk dan menyalurkannya ke konsumen. Frame work rantai pasok produk pertanian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk pertanian (Vorst 2006, adaptasi Lambert dan Cooper 2000)
Setiap elemen dalam frame work rantai pasok produk pertanian secara langsung berkaitan dengan tujuan rantai pasok produk pertanian tersebut. Tiga proposisi nilai yang menjadi tujuan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) diferensiasi jaringan dan segmentasi pasar, dimana target diferensiasi rantai pasok sesuai dengan permintaan spesifik dari konsumen, 2) kualitas yang terintegrasi,
8
dimana target ini sesuai dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk yang aman dan ramah lingkungan, 3) optimasi jaringan, yang dilakukan untuk mengurangi biaya melalui efisiensi rantai pasok dengan pasokan informasi yang rasional (Vorst 2006). Tujuan dari rantai pasok yang akan diwujudkan harus dapat diukur melalui output yang dihasilkan, yaitu kinerja rantai pasok. Menurut Vorst (2006) kinerja rantai pasok didefinisikan sebagai tingkat rantai pasok dalam memenuhi keinginan pengguna akhir dan pemangku kepentingan dengan memperhatikan indikator kinerja setiap saat. Sedangkan indikator kinerja adalah operasionalisasi karakteristik proses yang membandingkan kinerja sistem dengan target nilai. Contoh indikator kinerja logistik untuk rantai pasok produk pertanian disajikan pada Tabel 2.1. Dalam rantai pasok produk pertanian, bagian untuk petani dari pengeluaran konsumen kemungkinan kecil karena penyalahgunaan kekuatan pasar oleh industri pengolahan dan distributor. Industri pengolahan dapat mengambil nilai tambah yang besar baik dari harga pembelian yang lebih rendah atau harga konsumen yang lebih tinggi ataupun keduanya (Bunte 2006). Oleh karena itu diperlukan teori kesejahteraan (welfare theory) yang dapat digunakan untuk menilai industri dan kinerja rantai pasok. Kesejahteraan dalam kinerja rantai pasok terletak pada dua elemen, yaitu: 1) efisiensi (profit) dan 2) keadilan (pemangku kepentingan). Efisiensi merujuk pada penciptaan nilai tambah, sedangkan keadilan merujuk pada pembagian nilai tambah untuk semua pemangku kepentingan (Bunte 2006).
9
Tabel 2.1 Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk Pertanian Level Jaringan Rantai Pasok
Indikator Kinerja Ketersedian produk
Penjelasan Tersedianya produk dalam jaringan rantai pasok
Kualitas produk
Produk yang masih terjaga kualitasnya
Responsiveness
Siklus waktu order rantai pasok
Realibility pengiriman
Sesuai dengan waktu pengiriman yang terjamin
Total biaya rantai pasok
Jumlah seluruh biaya organisasi dalam rantai pasok
Organisasi
Level persediaan
Jumlah produk yang tersedia
Waktu proses
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan rantai proses bisnis
Responsiveness
Fleksibilitas organisasi
Realibility pengiriman
Persen order yang dikirim tepat waktu dan jumlah
Total biaya organisasi
Jumlah seluruh biaya proses dalam organisasi yang spesifik
Proses
Responsiveness
Fleksibilitas proses
Waktu proses
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses
Hasil proses
Hasil dari proses
Biaya proses
Biaya untuk melakukan proses
Sumber: Vorst (2006)
10
2.2 Studi Sistem
Perkembangan yang terjadi di dunia nyata memberikan konsekuensi logis terhadap peningkatan kompleksitas persoalan. Semakin kompleks sebuah persoalan di dunia nyata maka semakin dituntut suatu pola pikir yang integratif dalam penyelesaiannya sehingga diperoleh suatu solusi yang optimal. Persoalan dunia nyata dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya bisa terdiri dari beberapa sub sistem, sehingga persoalan dapat diselesaikan secara bertahap dengan sebuah metodologi yang sistematis yang dikenal dengan metodologi sistem. Menurut Eriyatno (2003) metodologi sistem mempunyai tujuan untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Analisis dengan metodologi ini akan menghasilkan satu set alternatif dari kebutuhan yang telah diidentifikasi. Selanjutnya dikatakan bahwa metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yang meliputi ; (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah ke-1 sampai ke6 tersebut selanjutnya disebut dengan Analisis Sistem. Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan obyek yang berkaitan di antara satu obyek dengan obyek yang lainnya dan antar atribut-atributnya serta keterkaitannya dengan lingkungan dengan membentuk suatu sinergi (Schoderbek 1985). Manetch and Park (1985) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Perbedaan definisi di atas terletak pada pernyataan bahwa di dalam sistem yang berinteraksi tidak murni obyeknya melainkan ada komponen intrinsik yang berinteraksi yaitu atribut yang relevan yang terdapat pada obyek tersebut. Pada sebuah organisasi dapat digambarkan kerangka sistem yang sekaligus menunjukkan posisi sistem yang terdiri dari komponen-komponen dengan lingkungannya yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.3.
11
Penggambaran skema tersebut dapat mempermudah dalam menentukan batasan sistem, identifikasi komponen dan analisisnya. Lingkungan merupakan elemen di luar sistem yang seringkali tidak dapat dikendalikan. Suatu obyek mungkin termasuk dalam sistem dan lingkungan. Eriyatno (2003) membagi komponen input menjadi input endogen (input yang terkendali) dan input eksogen (input yang tidak terkendali) serta mengklasifikasikan output ke dalam output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi dan pendefinisian yang benar akan seluruh bagian dari sistem di dalam sebuah persoalan sistem akan sangat menentukan validasi dari hasil sebuah studi sistem. Parameter sistem harus ditentukan terlebih dahulu untuk dapat mengelola sistem tersebut sehingga mampu mencapai tujuan yang diinginkan, manajemen/pengelolaan sistem tersebut dalam kerangka sistem akan menentukan kinerja umpan balik.
Gambar 2.3 Organisasi, sumber daya dan lingkungannya (Schoderbek 1985)
2.3 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem merupakan pendekatan terpadu yang memandang suatu persoalan
dengan
memperhatikan
interaksi
antara
obyek-obyek
yang
menggabungkan obyek-obyek tersebut sehingga membentuk keseluruhan
12
(Schoderbek 1985). Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah (1) Suatu sistem lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, (2) Bagian dari sistem yang dipelajari harus dapat diduga, (3) Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri, sub sistem ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, (4) Adanya pengorbanan suatu tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, (5) Sistem yang kompleks harus dipecah ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat dianalisis dan dimengerti sebelum digabungkan kembali, (6) Komponen sistem saling berinteraksi, perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh komponen dan (7) Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang merupakan keseimbangan dari berbagai kekuatan dari luar sistem. Menurut Schoderbeck (1985) terdapat tiga fase utama dalam melakukan studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase konseptualisasi, fase kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem merupakan multidisiplin ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya adalah tersedianya (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) Kerja tim (multidisiplin), (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non – kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan aplikasi komputer (Eriyatno 2003).
2.4 Sumber Karbohidrat Ubi Kayu di Indonesia
Sumber karbohidrat yang penting di Indonesia adalah padi, jagung, sagu, ubi kayu dan ubi jalar. Padi dan jagung sudah sangat penting sehingga telah banyak mendapat perhatian dan penanganan pemerintah dan masyarakat. Walau belum tersebar luas, sagu sudah mulai dibudidayakan di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau Daratan. Sedangkan singkong, walau penting belum mendapat perhatian dan penanganan yang cukup, telah dibudidayakan (dengan siklus 1 tahun) dan melibatkan petani. Ubi kayu bisa ditanam kapan dan di mana saja, tidak memerlukan tanah yang “baik”, dan tidak se-sensitif padi. Tanaman ubi kayu termasuk dalam famili Euphorbiaceae, dengan spesies Manihot esculenta dan Manihot utilisima. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada ketinggian 0 – 1000 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 1000 –
13
1500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan sekitar 24 – 29oC, pada suhu yang lebih tinggi dari 29oC produksi akan menurun sedangkan pada suhu yang lebih rendah dari 10oC pertumbuhan akan terhenti (Kay 1973).
Tanaman ubi
kayu tidak memerlukan tanah dengan persyaratan khusus, tanaman ini dapat tumbuh di tanah yang subur maupun di tanah yang kering Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (2011), produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, tekstur tanah agak halus/sedang, rata-rata temperatur sekitar 24 – 29oC, dengan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun, dan lama bulan kering 3,5-5 bulan. Kriteria kesesuaian lahan ubi kayu secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan bentuk umbi, maka hampir tidak ada kontribusinya terhadap struktur dan kandungan unsur hara tanah, karena akar/umbi tanaman dicabut. Dengan demikian kelestarian perkebunan ubi kayu memerlukan upaya khusus untuk menjaga kelestarian lahan dengan memberikan kembali unsur hara tanah berupa pupuk organik di samping pupuk buatan. Sisa tanaman sebaiknya dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah. Mengingat nilai produksi dan kemudahan di dalam budidayanya, pola usaha ubi kayu sering tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi jika ditanam bukan merupakan usaha pokok. Bagi petani yang tidak memiliki modal usaha yang cukup, dengan hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah tanah, petani sudah dapat
menanam
ubi
kayu
karena
bibitnya mudah didapat dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanaman ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan persyaratan tanah tertentu. Ubi kayu mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan terbesar tepung ubi kayu adalah air sebesar 62,8 persen, dan karbohidrat sebesar 34,7 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein relatif kecil yaitu 0,3 dan 1,2 persen.
14
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Ubi Kayu Setiap 100 gram Komposisi
Nilai
Satuan
Energi
146,0
Kkal
Protein
1,2
Gram
Lemak
0,3
Gram
Karbohidrat
34,7
Gram
Kalsium
33
Miligram
Fosfor
40
Miligram
Besi
0,7
Miligram
Vitamin B1
0,06
Miligram
Vitamin A
0,0
SI
Vitamin C
30
Miligram
62,8
Gram
Air
Sumber : Kementerian Pertanian (2011)
Indonesia pada kurun waktu 1961-2005 merupakan net eksportir ubi kayu dan produk olahannya, namun mengimpor pula pati ubi kayu mulai tahun 1989 karena lambatnya laju produksi dalam negeri. Pada Tahun 2008 Volume ekspor ubi kayu sebanyak 166.685 ton dan volume impor 158.100 ton. Nilai ekspor pada Tahun 2008 senilai US$ 35.871.000 sementara nilai impornya lebih tinggi yaitu US$ 57.948.000 (Pusdatin Deptan 2010). Komoditi ubi kayu, walau diekspor dan secara makro memberikan kontribusi pendapatan devisa dan mendukung industri domestik sebagai bahan baku, relatif tidak memberikan motivasi kepada petani untuk meningkatkan produksinya. Harga ubi kayu di tingkat petani hanya meningkat dari Rp. 161 /kg pada periode 1990-1999 menjadi Rp. 514 /kg pada periode 2000-2005. Keadaan tersebut dapat juga dilihat dari index pendapatan per unit biaya produksi (R/C) yang menurun sebesar -2.4 % pada periode 1980-1999 (Darwanto 2007). Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu dan beberapa produk olahannya seperti gaplek, tepung tapioka dan tepung cassava (FAO 2006). Hal ini dimungkinkan karena iklim
yang sesuai dan teknologi yang dibutuhkan tidak
terlalu sulit, sehingga tingkat produksi ubi kayu dapat ditingkatkan. Produksi ubi
15
kayu atau singkong di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 22.028.502 ton dengan luas tanam 1.174.819 Hektare, meningkat sebesar 1,25 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya di mana pada tahun 2008 produksi singkong tercatat 21.756.991 ton dengan luas tanam 1.204.933 Hektare. Jumlah produksi dan luas tanam ubi kayu Indonesia Tahun 2000 - 2009 disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Luas lahan dan Produksi Serta Produktivitas Tanaman Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2000 – 2009 Tahun
Luas Panen
Produktivitas
Produksi (Ton)
(Ha)
(Ton/Ha)
2000
1.284.040
12,5
16.089.020
2001
1.317.912
12,9
17.054.648
2002
1.276.533
13,2
16.913.104
2003
1.244.543
14,9
18.523.810
2004
1.255.805
15,5
19.424.707
2005
1.213.460
15,9
19.321.183
2006
1.227.459
16,3
19.986.640
2007
1.201.481
16,64
19.988.058
2008
1.204.933
18,06
21.756.991
2009
1.174.819
18,75
22.028.502
Sumber: BPS 2010 dan Deptan.go.id 2010
Produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2010 mencapai 23 juta ton. Provinsi Lampung memberikan kontribusi terbesar dengan produksi mencapai 8,3 juta ton, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah dengan produksi mencapai 3,9 juta ton, dan Provinsi Jawa Timur sebesar 2,9 juta ton. Produksi ubi kayu menurut provinsi di Indonesia Tahun 2010 disajikan pada Tabel 2.4. Peta persebaran produksi ubi kayu menurut provinsi pada tahun 2010 disajikan pada Gambar 2.4.
16
Tabel 2.4 Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun 2010 Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Papua Maluku Utara Papua Barat Total Sumber : Kementerian Pertanian (2011)
Produksi (Ton) 45.580 1.004.111 181.145 75.002 40.343 161.613 46.311 8.294.070 22.860 8.668 267 2.117.976 3.936.525 1.037.610 2.957.884 115.464 161.459 76.420 1.101.104 193.662 80.175 102.697 113.824 88.425 76.737 487.165 224.610 6.288 50.560 130.958 35.178 107.884 10.947 23.093.522
Dalam beberapa hari setelah dipanen, ubi kayu akan rusak atau busuk sehingga perlu diolah secepat mungkin. Proses kerusakan yang cepat ini menyebabkan masalah dalam pemasaran maupun penggunaan dan pemanfaatan ubi kayu, serta menghasilkan susut yang relatif besar (Barret dan Damardjati
17
1984). Kerusakan yang biasa terdapat pada ubi kayu adalah timbulnya warna hitam yang disebabkan oleh aktifitas enzim polifenolase (Syarief dan Irawati 1988).
18
Gambar 2.4 Peta Sebaran Produksi Ubi Kayu Indonesia Tahun 2010
19
Ubi kayu diambil umbinya dan pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Sebagai bahan pangan ubi kayu atau singkong dapat dikonsumsi langsung dalam berbagai jenis makanan seperti ubi kayu rebus, goreng, keripik dan sebagainya. Sebagai bahan baku industri ubi kayu biasanya diolah sebagai produk antara (intermediate product) dalam bentuk tepung gaplek, tapioka dan tepung ubi kayu. Pohon Industri ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 2.5. Tepung ubi kayu atau singkong dibuat dengan mengeringkan singkong baik sesudah perajangan maupun dengan pemarutan, dan kemudian ditepungkan. Tepung ubi kayu sebagai bahan baku industri dapat diolah menjadi berbagai produk antara lain tepung tapioka, glukosa, fruktosa, sorbitol, dekstrin, alkohol dan sebagainya. Sorbitol dibuat dari tapioka cair berwarna putih bening seperti gel yang digunakan antara lain pada industri permen/kembang gula dan minuman instan, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemanis pasta gigi, kosmetik dan cat minyak (Hafsah 2003). Dekstrin antara lain digunakan pada industri tekstil, kertas perekat plywood dan industri kimia. Selain itu tepung ubi kayu atau tepung kasava sudah sejak puluhan tahun lalu telah dimanfaatkan di kabupaten Boyolali sebagai bahan baku pembuatan mie-kuning untuk memasok kebutuhan penjual bakso di daerah tersebut (Darwanto 2007). Tepung tapioka mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung tapioka disajikan pada Tabel 2.5. Kandungan terbesar tepung tapioka adalah karbohidrat sebesar 88,2 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein relatif kecil yaitu 0,5 dan 1,1 persen. Tepung tapioka juga mengandung kalsium dan fosfor yang tinggi yaitu masing-masing 84,0 dan 125,0 mg/100 gram bahan. Hal ini menunjukkan bahwa selain sebagai sumber karbohidrat, tepung tapioka juga dapat memberikan asupan kedua jenis mineral tersebut (Direktorat Gizi, Depkes 1979).
20
Tabel 2.5 Komposisi kimia tepung tapioka setiap 100 gram Komposisi
Nilai
Satuan
Energi
363.0
Kkal
Protein
1.1
Gram
Lemak
0.5
Gram
Karbohidrat
88.2
Gram
Kalsium
84.0
Miligram
Fosfor
125.0
Miligram
Besi
1.0
Miligram
Vitamin B1
0.0
Miligram
Vitamin A
0.0
SI
Vitamin C
0.0
Miligram
Niacin
9.1
Gram
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
21
UBI KAYU
Gambar 2.5 Pohon Industri Ubi Kayu. (Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 2007)
22
2.5 Status dan Variasi Penyediaan Sumber Karbohidrat
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Indonesia memiliki aneka ragam sumber karbohidrat dan yang utama adalah beras, jagung dan ubi kayu. Produksi padi pada Tahun 2009 sebanyak 64.329.329 ton atau 37.954.304 ton setara beras. Produksi padi tahun 2009 mengalami peningkatan 6,64% dibanding Tahun 2008 sebanyak 60.325.925 ton (setara beras 35.592.296 ton).
Peningkatan produksi
padi
lahan dan peningkatan
disebabkan
oleh
adanya
peningkatan
luas
produktivitas tanaman. Secara lebih rinci data luas panen dan produksi padi sejak tahun 2000 sampai tahun 2009 disajikan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman padi di Indonesia tahun 2000 – 2009
Sumber BPS 2010
Berdasarkan data di atas, selama kurun waktu Tahun 2000 sampai Tahun 2009 terjadi kenaikan peningkatan luas panen tanaman padi sebesar 9% atau rata-rata 1% per tahun. Pada kurun waktu yang sama permintaan (konsumsi ) beras juga meningkat dari 23.897.878 ton pada tahun 2000 menjadi 32.057.945,3 ton pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 24% atau rata-rata 2,7% per tahun.
23
Peningkatan laju permintaan (konsumsi) beras selain disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, juga adanya peningkatan tingkat konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia dari 116,5 kg/kapita pada tahun 2000 menjadi 139,0 kg per kapita pada tahun 2009.
Pada Tabel 2.7 disajikan data jumlah penduduk
Indonesia dan tingkat konsumsi per kapita berbagai tanaman penghasil karbohidrat.
Tabel 2.7 Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan makanan penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 – 2009
Tahun Penduduk
tingkat
tingkat
tingkat
tingkat
(X 1000
konsumsi
konsumsi
konsumsi
konsumsi
jiwa)*
beras
Ubi kayu
Jagung
Ubi jalar
(Kg/kapita) (Kg/kapita) (Kg/kapita) (Kg/kapita) 2000
205,132.0
116.5
13.40
3.40
3,0
2001
207,927.5
116.6
13.40
3.40
3,0
2002
210,736.3
115.5
12.80
3.40
2.8
2003
213,550.5
115.5
11.96
3.30
2.8
2004
216,381.6
107,0
12,00
3.20
3.3
2005
219,204.7
138.81
15,00
3.30
4,0
2006
222,051.3
135,0
13.83
3.44
3.4
2007
224,904.9
139.15
13.62
5.50
2.6
2008
227,779.1
139,0
14.19
3.60
2,9
2009
230,632.7
139,0
14.22
3.60
3,0
Sumber: Susenas 2000, 2003, 2006, BPS 2009, Deptan go.id (2010) Selama kurun waktu 2000 – 2009 berdasarkan data BPS (2010) seperti disajaikan pada Tabel 2.3 produksi ubi kayu juga mengalami peningkatan yaitu dari 16.089.020 ton pada Tahun 2000 menjadi 22.028.502 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi ternyata bukan disebabkan oleh meningkatnya luas panen ubi kayu, tetapi karena meningkatnya produktivitas per ha. Selama kurun waktu 2000-2009 luas panen tanaman ubi kayu mengalami penurunan 8,5% atau terjadi
24
rata-rata penurunan luas panen 0,9% per tahun. Padahal permintaan (konsumsi) ubi kayu selama periode 2000 – 2009 terjadi peningkatan yaitu dari 2.748.768,8 ton tahun 2000 menjadi 3.279.597,0 to tahun 2009 yang meningkat 19,3% atau terjadi rata-rata kenaikan permintaan ubi kayu 2,1% per tahun. Peningkatan permitaan ubi kayu lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, yaitu bila diperhatikan tingkat konsumsi ubi kayu perkapita sejak tahun 2000 sampai 2009 hanya mengalami peningkatan 0,7% per tahun sedangkan laju peningkatan penduduk mencapai 1,4% per tahun. Produksi jagung selama tahun 2000 – 2009 mengalami peningkatan yang cukup tinggi (82%) yaitu dari 9.676.899 ton tahun 2000 menjadi 17.592.309 ton tahun 2009 atau rata-rata menigkat 9% per tahun. Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan luas areal rata-rata 2,1% per tahun yang meningkat dari 3.500.318 ha tahun 2000 menjadi 4.156.706 ha pada tahun 2009. Produktivitas tanaman jagung juga mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu dari 2,77 ton/ha tahun 2000 menjadi 4,29 ton per ha pada tahun 2009. Secara rinci luas areal panen dan produksi jagung sejak tahun 2000 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.8.
25
Tabel 2.8 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman jagung di Indonesia tahun 2000 – 2009
Sumber: BPS 2010
Dibandingkan tanaman-tanaman sumber karbohidrat, tepung tapioka memiliki kandungan karbohidrat paling tinggi. Berdasarkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, kandungan karbohidrat yang terdapat beras, tepung terigu, dan tepung tapioka dalam setiap 100 gram berturut-turut adalah 78,9 gram, 77,3 gram dan 88,2 gram. Disamping itu tepung tapioka juga memiliki kandungan kalsium paling tinggi yaitu mencapai 84 miligram, sedangkan pada beras dan terigu beruturut-turut hanya 6 dan 16 miligram. Komposisi kimia beras giling, tepung terigu dan tepung tapioka disajikan pada Tabel 2.9
26
Tabel 2.9 Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100 gram
Komposisi
Satuan
Beras Giling
Terigu
Tapioka
Energi
Kal
360.0
365
363.0
Protein
Gram
6,8
8,9
1.1
Lemak
Gram
0,7
1,3
0.5
Karbohidrat
Gram
78,9
77,3
88.2
Kalsium
Miligram
6
16
84.0
Fosfor
Miligram
140
106
125.0
Besi
Miligram
0,8
1,2
1.0
Vitamin B1
Miligram
0,26
0,12
0.0
Vitamin C
Miligram
0.12
0,12
0.0
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
2.6 Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu
Secara garis besar rantai pasok ubi kayu terdiri dari: (1) petani yang membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, (2) pengumpul, (3) industri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka, (4) Distributor, (5) Konsumen.
2.6.1 Petani
Hingga kini rata-rata hasil ubi kayu nasional masih tergolong rendah, yaitu sekitar 17,6 ton per Hektare. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/ha (Subandi et al. 2005). Dari segi teknis produksi, penyebab penting atas rendahnya tingkat hasil ubi kayu di tingkat petani adalah terbatasnya penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan kurangnya penggunaan pupuk. Untuk meningkatkan produktivitas ubi kayu petani harus dilakukan beberapa hal yaitu pemilihan varietas unggul berdaya hasil tinggi, pengaturan jarak tanam yang sesuai, pemupukan yang efektif, sistem tanam yang produktif, serta pengaturan waktu tanam dan panen yang tepat.
27
Varitas unggul untuk produksi ubi kayu sebagai bahan industri tapioka dan pellet/gaplek pada umumnya memiliki ciri produktivitas tinggi, rasa umbi pahit dan kandungan patinya tinggi. Beberapa varitas ini yang sudah banyak dikembangkan adalah varitas nasional Aldira II, Aldira IV dan varitas Kasetsart 50 dari Thailand. Kasetsart 50 pada uji coba di Umas Jaya, Lampung, mampu memberikan hasil sampai 38,9 ton/ha, sedangkan Malang-1 dan Ardira-4 pada pengujian yang sama menghasilkan berturut-turut 41,7 ton/ha dan 36,9 ton/ha (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2008)
2.6.2 Pengumpul Petani yang mempunyai luas lahan 1 – 2 ha biasanya menjual produksi ubi kayu tidak langsung kepada pabrik tapioka, tetapi melalui pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena lokasi lahan petani yang terpencar jauh dari pabrik pengolahan ubi kayu, sehingga memerlukan biaya tambahan transportasi. Para pengumpul ini dengan kendaraan truk mengambil hasil panen petani untuk dibawa ke pabrik dan ditimbang untuk menentukan beratnya. Banyak masalah dalam penentuan berat timbangan ini, yang sering tidak memuaskan dan dapat merugikan petani. Sementara pihak pengumpul atau perantara itu sendiri sangat mengupayakan keuntungan dari peranannya itu. Kejadian yang sangat merugikan petani adalah kalau dalam kondisi yang serba tidak kecukupan, petani terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan meminta uang terlebih dahulu sebelum panen dari para pengumpul atau para perantara ini. Dalam keadaan seperti ini, pada saat panen petani bisa jatuh berada pada posisi yang lemah dalam hal penentuan harga dan berat timbangan hasil panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi kayu, ditambah juga dengan penentuan refraksinya yang tidak transparan. Perhitungan/patokan pengumpul atau agen yang berlaku adalah sebagai berikut : Harga beli lokal (dari Petani) + Transport + Ongkos Muat dan Bongkar + % refraksi + fee agen atau keuntungan pengumpul = Harga Pabrik Contoh: (Rp 770 – Rp 775) + Rp 80 + Rp 10 + (% refraksi x Rp 5 / % refraksi) + Rp 10 (fee Agen).
28
Pengumpul
akan
mencari
keuntungan
setinggi
mungkin.
Sering
memainkan % refraksi, timbangan atau sistem Botongan di Kebun dengan Petani. Biasanya Agen / Pengumpul menjaring petani-petani yang menjual volume yang tanggung 500 kg – 5 ton.
2.6.3 Industri Pengolahan Ubi Kayu
Pengolahan ubi kayu menjadi produk antara (intermediate product) merupakan salah satu cara pengawetan ubi kayu yang berkadar air tinggi. Selain itu, pengolahan ubi kayu menjadi produk antara berguna, yaitu menjadikan ubi kayu sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi tepung merupakan salah satu proses pengolahan ubi kayu menjadi produk antara yang dianjurkan karena produk antara yang dihasilkan lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur dengan bahan lain, dapat diperkaya zat gizi (difortifikasi), mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Darwis et al. 2009). Pada strategi penyediaan karbohidrat dari ubi kayu ini, tanaman ubi kayu akan diolah menjadi tepung tapioka. Tapioka merupakan pati ubi kayu. Proses pengolahan tapioka terdiri dari penggilingan (pada industri skala kecil perlu dilakukan pengupasan kulit ubi kayu), pengepresan, pemisahan ampas (onggok), pengendapan pati, pengambilan dan pengeringan pati.
Pada industri besar
pengendapan pati dilakukan dengan proses sentrifugasi dan pengeringannya dilakukan dengan menggunakan oven sehingga dapat dihasilkan rendemen dan mutu tinggi. Pada prinsipnya pembuatan tepung tapioka adalah mengambil granulagranula pati dari dalam selnya dan selanjutnya dipisahkan dari komponenkomponen lain sehingga diperoleh pati dalam keadaan murni. Secara ringkas proses pembuatan tepung tapioka dalam skala industri dapat dilihat pada Gambar 2.6. Proses produksi tepung tapioka dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
29
1.
Singkong segar (maksimal 2 hari setelah panen) dimasukkan ke dalam mesin pengupas kulit.
2.
Singkong yang telah dikupas dibersihkan dalam mesin pembersih untuk memisahkan dari kotoran-kotoran yang melekat. Tujuan pencucian yaitu untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama pengupasan, dan lendir yang ada di lapisan permukaan umbi, dan mengurangi kandungan HCN
3.
Singkong yang telah bersih diparut atau dihancurkan dengan mesin penghancur.
4.
Hasil pemarutan dicampur dengan air dan diaduk dalam sebuah mesin pengaduk.
5.
Hasil adukan diperas untuk memisahkan pati dengan ampasnya.
6.
Pati yang bercampur air diendapkan untuk memisahkan cairan pati yang kental dan berat dengan cairan yang ringan atau air limbah.
7.
Cairan pati kental dan berat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tangki pati dan ditambahkan sulfur (belerang) agar hasil produksinya bersih dari kotoran.
8.
Dari tangki pati cairan tersebut selanjutnya dikeringkan menjadi tepung. Hasil pengeringan ini masih berupa gumpalan tepung kasar, yang kemudian diayak untuk mendapatkan tepung tapioka yang halus sebagai produk jadi.
9.
Pada tahap yang paling akhir, tepung tapioka dimasukkan ke dalam karung plastik dan diangkut dengan mesin khusus dan selanjutnya disimpan dalam gudang sebelum di jual.
Dalam proses produksi tersebut dihasilkan tiga jenis limbah, yaitu : 1. Kulit singkong, limbah ini tidak memiliki nilai ekonomi akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk bahan kompos oleh penduduk yang ada di sekitarnya. 2. Ampas singkong (onggok), merupakan ampas basah hasil pemisahan dengan pati. Ampas dapat digunakan untuk pakan ternak dan pabrik asam sitrat. 3. Air limbah cair, yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang karena mengandung sianida yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.
30
Gambar 2.6 Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka (Sriroth 1999)
Di Indonesia, singkong telah dapat diolah lebih lanjut menjadi gaplek, sawut, tepung tapioka, tepung singkong dan yang terbaru adalah tepung mocaf. Pada saat penelitian dilakukan processing tapioka sudah mapan, sedangkan mocaf yang memerlukan luas lahan lebih kecil masih dalam taraf experiment. Namun strategi penyediaan karbohidrat dalam disertasi bisa dipakai untuk produk olahan lain.
31
2.7 Perkembangan Industri Tepung Terigu
Di Indonesia, selain industri tepung berbasis karbohidrat Indonesia juga terdapat industri tepung berbasis gandum atau tepung terigu yang gandum tersebut dipenuhi melalui impor. Indonesia sebelumnya langsung mengimpor dalam bentuk tepung terigu. Industri tepung terigu di Indonesia dimulai dari pendirian perusahaan penggilingan terigu pertama, yaitu PT. Bogasari Flour Mills pada Tahun 1971. Pendirian perusahaan penggilingan ini disebabkan oleh sering terjadinya penurunan kualitas tepung terigu impor yang tiba di pelabuhan Indonesia, seperti berkutu dan bau apek sebagai akibat waktu perjalanan yang cukup lama. Selain itu, pendirian perusahaan penggilingan juga disebabkan semakin meningkatnya konsumsi pangan berbasis tepung terigu (Visidata Riset Indonesia 2003). Sampai tahun 1995 PT. Bogasari Flour Mills hanya bertindak sebagai pelaksana penggilingan. Bahan baku gandum dan hasil penggilingan tepung terigu dimiliki Badan Urusan Logistik (Bulog). PT. Bogasari Flour Mills hanya menerima fee untuk penggilingan gandum tersebut. Bulog melakukan pembelian bahan baku, pengapalan bahan baku ke Indonesia, dan pemasaran dan distribusi tepung terigu yang dihasilkan PT. Bogasari Flour Mills (Visidata Riset Indonesia 2003). Pemerintah Indonesia kemudian secara bertahap melakukan deregulasi tata niaga gandum dan terigu. Pada tahun 1995 pemerintah mencabut larangan investasi terhadap tepung terigu. Monopoli Bulog atas impor gandum dan terigu dihapus pada tahun 1997. Deregulasi Juni 1998 menghentikan monopoli Bulog terhadap suplai tepung terigu, harga domestik, dan distribusi tepung terigu. Sejak itu setiap perusahaan dapat mengimpor gandum sendiri, melakukan pemasaran, dan menetapkan harga (Visidata Riset Indonesia 2003). Pada tahun 2010 terdapat 14 penggilingan tepung terigu yang telah beroperasi pada total kapasitas produksi 7.894.000 ton/tahun. Di Indonesia tepung terigu digunakan untuk bahan baku industri mi, biskuit, dan roti. Selain digunakan sebagai bahan baku industri pangan, tepung terigu juga sebagai bahan baku industri plywood. Pada tahun 2002 Kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
32
tercatat sebagai kelompok pemakai terbesar dari total kebutuhan tepung terigu dalam negeri, yaitu sebesar 58,86%. Penggunaan ini diikuti oleh kelompok industri besar dan modern yang meliputi industri mi instan, mi kering, mi basah, biskuit, snack, roti dan industri plywood, yaitu sebesar 34,37%. Sedangkan untuk industri rumah tangga sebesar 3,54% dan pemakaian rumah tangga sebesar 3,23% (Visidata Riset Indonesia 2003). Penggunaan tepung terigu untuk berbagai industri tahun 1998-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun 1998-2002 Industri Pemakai
Jumlah (Ton) 1998
1999
2000
2001
2001
Industri Besar dan Modern Mi Instan
584.791
638.750
715.006
754.638
807.642
Mi Kering
64.560
74.723
85.398
93.741
104.389
Mi Basah
2.971
3.178
3.321
3.478
3.662
Biskuit dan
99.096
107.901
118.762
131.901
144.109
Roti
21.258
23.513
27.122
32.585
37.690
Plywood
4.729
3.685
4.036
2.768
2.472
777.405
851.750
953.645
1.019.111
1.099.964
Snack
Sub Total
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) 600.504
597.082
728.017
740.457
743.868
Biskuit dan Snack
286.535
323.419
356.425
318.361
354.355
Roti
637.084
634.399
811.436
729.726
785.520
1.554.900
1.895.878
1.788.544
1.883.743
78.411
88.924
122.512
102.031
113.220
71.060
68.598
91.884
93.028
103.516
149.471
157.522
214.396
195.059
216.736
2.450.999
2.564.172
3.063.919
3.002.714
3.200.443
Mi basah dan Kering
Sub Total 1.524.123 Industri Rumah Tangga Rumah Tangga Sub Total Total
Sumber: Visidata Riset Indonesia 2003
33
Tingkat konsumsi tepung terigu di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Pada tahun 1992 tingkat konsumsi tepung terigu hanya sebesar 9,9 kg/kapita kemudian meningkat mencapai 15,4 kg/kapita pada tahun 1997. Pada tahun 1998 terjadi penurunan tingkat konsumsi tepung terigu sebesar 20,8% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 tingkat konsumsi tepung terigu mencapai 14,8 kg/kapita atau mengalami peningkatan sebesar 8,8% dari tahun sebelumnya (Aptindo 2003). Tingkat konsumsi tepung terigu dan pertumbuhannya tahun 1992-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Tingkat Konsumsi Tepung Terigu dan Pertumbuhannya Tahun 1992-2002 Tahun
Tingkat Konsumsi
Pertumbuhan
(Kg/Kapita)
(%)
1992
9,9
-
1993
10,2
3,0
1994
12,5
22,5
1995
14,6
16,8
1996
14,8
1,4
1997
15,4
4,1
1998
12,2
-20,8
1999
10,9
-10,7
2000
12,9
18,3
2001
13,6
5,4
2002
14,8
8,8
Sumber: Aptindo 2003
Berdasarkan pengamatan terhadap salah satu pabrik tepung terigu yang berlokasi di Semarang didapatkan rantai pasok tepung terigu dari mulai pabrik (agroindustri)
sampai
ke
konsumen
akhir.
Pabrik
tepung
terigu
ini
mendistribusikan produknya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Tepung terigu sebagai produk dari pabrik didistribusikan ke industri besar dan
34
distributor. Selanjutnya, distributor memasok tepung terigu ke sub distributor, industri menengah, dan wholesaler. Wholesaler kemudian memasok tepung terigu ke industri kecil dan retailer. Industri rumah tangga dan konsumen akhir mendapat pasokan tepung terigu dari retailer. Rantai pasok tepung terigu dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Pabrik Tepung Terigu
Industri Besar
Sub Distributor
Distributor
Industri Menengah
Wholesaler
Industri Kecil
Retailer
Industri Rumah Tangga
Gambar 2.7 Jalur Distribusi Tepung Terigu
Konsumen Akhir
35
3 METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Ubi kayu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki produktivitas paling tinggi per satuan luas lahan bila dibandingkan dengan tanaman padi, jagung dan ubi jalar. Meskipun demikian peranan ubi kayu sebagai penyedia karbohidrat masih lebih rendah dibanding dengan padi, dan jagung. Peran ubi kayu juga semakin pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat. Panganan dari bahan terigu semakin tersebar dan beragam, sementara panganan dari bahan ubi kayu relatif tidak berkembang. Seiring dengan itu pula pendapatan petani ubi kayu hampir tidak mengalami peningkatan, bahkan ikut menurun.
Untuk
meningkatkan kembali pamor ubi kayu sebagai alternatif sumber karbohidtrat perlu dibuat suatu strategi penyediaan karbohidrat di Indonesia bersumber dari ubi kayu. Penelitian ini fokus kepada
peningkatan pendapatan petani, distribusi
pendapatan yang adil di antara pemangku kepentingan, penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang berkualitas, harga terjangkau dan delivery tepat waktu, harga ubi kayu yang stabil di tingkat petani. Penelitian ini fokus kepada peningkatan pendapatan petani dengan merancang pola kemitraan dan distribusi pendapatan yang adil di antara pemangku kepentingan dalam penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu. Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu memberikan alternatif pasokan karbohidrat yang selama ini dipenuhi dari bahan impor gandum. Jumlah karbohidrat yang diperoleh melalui impor gandum pada masa mendatang diharapkan dapat disuplai dari ubi kayu. Selanjutnya dihitung jumlah bahan baku ubi kayu yang perlu disediakan. Setelah itu dilakukan analisa B/C untuk melihat tingkat keuntungan bagi pelaku rantai pasok. Dan yang terakhir merancang pola kemitraan dalam penyediaan bahan baku ubi kayu untuk industri tapioka. Tahapan Penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
36
3.2 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Namun secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Studi pustaka dan survei awal Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam penelitian adalah studi pustaka. Peneliti melakukan penelusuran studi pustaka terhadap literatur yang ada guna menggali pemahaman teori-teori yang telah berkembang dengan bidang ilmu pengetahuan yang berkepentingan. Peneliti juga melakukan studi pustaka untuk mencari metode yang digunakan dalam pengumpulan data, pengolahan data dan juga analisa data, sehingga memperoleh orientasi yang lebih luas dalam menyelesaikan permasalahan yang telah ditentukan.
2.
Pengumpulan data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data di provinsi lampung. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara yang mendalam dengan praktisi dan ahli pakar. Kriteria pemilihan pakar dilakukan berdasarkan kriteria menurut Marimin (2002), yaitu 1) keberadaan pakar atau responden dan kesediaannya untuk dilakukan wawancara, 2) memiliki reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai ahli atau pakar pada substansi yang diteliti, dan 3) telah memiliki pengalaman dalam bidangnya. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran artikel-artikel, buku, dan media elektronik, seperti Biro Pusat Statistik (BPS), data perkembangan penyediaan karbohidrat di indonesia dari departemen pertanian dan departemen perdagangan republik indonesia , maupun dari sumber lain.
3.
Peramalan kebutuhan ubi kayu pada masa yang akan datang (dengan pola kebutuhan saat ini) Selanjutnya dalam penelitian ini akan melakukan peramalan kebutuhan ubi kayu pada masa yang akan datang. Peramalan ini dilakukan
37
berdasarkan data kebutuhan ubi kayu pada saat ini. Peramalan di lakukan dengan metode double exponential smoothing with trend (DEST). Metode ini dipilih karena lebih tepat untuk meramalkan data yang mengalami trend kenaikan. 4.
Peramalan kebutuhan gandum pada masa yang akan datang dan konversi kebutuhan gandum ke ubi kayu pada masa yang akan datang Peramalan kebutuhan gandum dilakukan guna untuk melihat seberapa besar kebutuhannya pada masa yang akan datang. Sehingga bisa diketahui seberapa besar kebutuhan ubi kayu guna untuk mengkonversi kebutuhan karbohidrat gandum. Peramalan menggunakan metode double exponential smoothing with trend yang memiliki dua komponen utama yaitu level dan trend. Dimana pada setiap periode dilakukan koreksi terhadap level dan trend tersebut. Dengan metode ini dilakukan peramalan impor gandum Indonesia selama 5 tahun ke depan. Smoothing constant alpha dan beta dipilih yang terbaik, antara 0 hingga 1.
5.
Perencanaan kebutuhan total produksi ubi kayu, kebutuhan luasan, dan kebutuhan jumlah petani mitra Dengan didapatkannya kebutuhan ubi kayu dan kebutuhan konversi gandum menjadi ubi kayu pada masa yang akan datang, maka didapat pula total produksi ubi kayu pada masa yang akan datang, sehingga bisa lihat seberapa besar luasan lahan dan jumlah petani yang dibutuhkan. Dengan data total luasan lahan maka diketahui persentase (%) distribusi luas lahan petani yang dibutuhkan sebagai bahan perencanaan.
6.
Evaluasi kemitraan dan pola kemitraan usulan Setelah diketahui jumlah kebutuhan total produksi ubi kayu, kebutuhan luasan, dan kebutuhan jumlah petani, selanjutnya dilakukan analisa kesejahteraan dengan menganalisa B/C dan kesetaraan B/C guna untuk menganalisa penyebaran benefit yang setara pada setiap pelaku rantai pasok. Pada tahap akhir lalu mengevaluasi kemitraan petani.
38
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian
39
yang dilakukan saat ini dan memberikan usulan kemitraan bagi para pelaku rantai pasok ubi kayu dan tepung tapioka 7.
Kesimpulan dan saran Tahap terakhir dari penelitian ini adalah menarik kesimpulan dari hasil-hasil yang telah didapat dan dianalisa serta memberikan saran untuk peningkatan dan kemajuan dimasa akan datang.
3.3 Analisa Peramalan dengan menggunakan Double Exponential Smoothing with Trend
Analisa ini dilakukan guna melihat sejauh mana trend pertumbuhan produksi ubi kayu. Adapun metode forecasting yang digunakan adalah metode Double Exponential Smoothing (DES). Metode ini dipilih karena lebih tepat untuk meramalkan data yang mengalami trend kenaikan (Krajewski et al. 2010). Berdasarkan overview dari data yang ada dimana terdapat trend kenaikan yang stabil namun tidak tetap setiap tahunnya, digunakan metode forecast double exponential smoothing with trend yang memiliki dua komponen utama yaitu level dan trend. Pada setiap periode dilakukan koreksi terhadap level dan trend tersebut. Formula yang digunakan pada metode ini adalah : At = α. Dt + (1-α).(At-1+Tt-1) Tt = β.(At-At-1) + (1-β) Tt-1 Ft+1 = At + Tt Dalam formula ini F adalah nilai forecast, A adalah level dan T adalah trend, dimana setiap variable tersebut memiliki indeks untuk menunjukkan periodenya. Dapat dilihat bahwa nilai forecast dari suatu periode adalah jumlah dari level dan trend periode sebelumnya. Kemudian nilai level (A) dan trend (T) selalu diupdate setiap periode.
Corrected Level Nilai level pada periode tertentu adalah jumlah dari data level actual (D) pada periode tersebut yang diberi bobot α dan nilai forecast dari periode sebelumnya (At-1+Tt-1) yang diberi bobot (1-α). Karena itu nilai α adalah suatu
40
konstanta yang menunjukkan mana yang lebih menentukan nilai corrected level, antara level actual atau forecast periode sebelumnya.
Corrected Trend Nilai trend pada periode tertentu adalah jumlah dari selisih level saat ini dan sebelumnya atau dapat disebut trend actual (At-At-1) yang diberi bobot β dan nilai trend dari periode sebelumnya (Tt-1) yang diberi bobot (1-β). Karena itu nilai β adalah suatu konstanta yang menunjukkan mana yang lebih menentukan nilai corrected trend, antara trend actual atau trend periode sebelumnya. Sehubungan hal tersebut perlu dilakukan adjustment nilai α dan β agar diperoleh nilai forecast yang paling akurat (error terkecil).
3.4 Analisa Benefit-Cost Ratio
Benefit Cost Ratio (B/C) adalah nilai kini benefit dibagi oleh nilai kini cost. B/C digunakan sebagai salah satu kriteria investasi dan kegiatan untuk menentukan apakah suatu proyek atau kegiatan memberikan keuntungan (B/C >1) dan patut dilaksanakan (Gittinger 1982). Walaupun mempunyai keterbatasan, B/C
sering dipergunakan sebagai
kriteria dalam pengukuran kinerja suatu rantai pasok. Kesetaraan B/C di antara para pelaku rantai pasok dapat menunjukkan bahwa para pelaku rantai pasok mendapat harga yang wajar dan keuntungan yang adil. Dengan perkataan lain keuntungan di dalam rantai pasok terbagi di antara para pelaku dengan berkeadilan. Perhitungan benefit dan cost proyek atau kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis financial karena yang berkepentingan langsung dalam benefit dan cost adalah individu atau pengusaha yaitu petani, pengumpul dan pabrik. Dalam analisis ini dipergunakan harga-harga pasar. Di samping analisis financial ada juga analisis ekonomi, bila yang bekepentingan langsung dalam benefit dan cost adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan (Gittinger 1982, Fischer 1988).
41
Dalam analisis ini benefit ditekankan kepada price atau harga. Nilai benefit adalah price atau harga per satuan produk dikali jumlah produk. Oleh karena itu B/C
yang dipakai adalah benefit berdasarkan harga (Bh) dibagi oleh cost (C) sehingga benefit cost ratio ditulis sebagai Bh/C. Cost sendiri adalah cost per satuan produk atau harga pokok produk (HPP) dikali jumlah produk. Karena jumlah produk yang dijual adalah jumlah produk yang diproduksi, dalam perhitungan benefit cost ratio (benefit dibagi cost) faktor jumlah produk saling meniadakan. Sehubungan hal tersebut faktor jumlah produk tidak lagi dicantumkan dalam perhitungan benefit cost ratio. Pada penelitian ini dilakukan analisis Bh/C untuk melihat tingkat manfaat yang didapat oleh para pelaku rantai pasok ubi kayu/tepung tapioka. Lalu analisis juga di lakukan pada industri karbohidrat lain (beras dan gandum) untuk melihat apakah Bh/C tersebut wajar, layak dan seimbang.
42
(halaman ini sengaja dikosongkan)
43
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tren Penyediaan Karbohidrat Dari Ubi Kayu
Analisis ini dilakukan untuk melihat sejauh mana tren pertumbuhan produksi ubi kayu. Metode peramalan yang digunakan adalah Double Exponential Smoothing (DES). Metode ini dipilih karena lebih tepat untuk meramalkan data yang mengalami trend kenaikan yang teratur (Krajewski et al. 2010).
Impot Gandum (Ton/Tahun)
Randemen Karbohidrat Gandum / Randemen Karbohidrat Ubi Kayu
Kebutuhan Ubi Kayu Pengganti Gandum (Ton / Tahun)
Produktifitas Lahan
Luas Lahan yang Diperlukan
Hektar Lahan Petani
Jumlah Petani
Kebutuhan Ubi Kayu Total (Ton / Tahun)
Kebutuhan Ubi Kayu BUKAN pengganti Gandum
Kapasitas Pabrik Tapioka
Jumlah Pabrik Tapioka
Gambar 4.1 Metode perhitungan kebutuhan ubi kayu, jumlah petani dan pabrik tapioka yang diperlukan
Metode perhitungan kebutuhan produksi ubi kayu, jumlah petani yang terlibat dan pabrik tapioka yang diperlukan untuk memproduksi ubi kayu yang diperlukan pada tahun 2015 ditunjukkan pada Gambar 4.1. Kebutuhan ubi kayu sebagai penyedia karbohidrat di Indonesia memakai impor gandum sebagai contoh acuan perhitungan. Hasil perkiraan kebutuhan ubi kayu ini tidak dimaksudkan untuk mengganti gandum, tetapi untuk memberikan alternatif
44
sumber karbohidrat yang potensial yang banyak tersedia di Indonesia. Dengan tersedianya data ini diharapkan dapat berkembang berbagai makanan yang bersumber dari ubi kayu.
4.1.1 Volume Impor Gandum
Pemakaian terigu terus meningkat yang pada gilirannya meningkatkan impor gandum. Volume impor gandum Indonesia Tahun 2003 – 2008 terus mengalami peningkatan seperti dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dengan menggunakan metode Double Exponential Smooting, dilakukan peramalan impor gandum selama 5 tahun ke depan. Dengan memakai masing-masing smoothing constant alpha sebesar 0.8 dan beta 0.8 didapat MSE dan MAPE terkecil yaitu sebesar 13.339.340.791 untuk MSE dan 2.04 % untuk MAPE (Lampiran 2). Impor gandum Indonesia selama 5 tahun ke depan disajikan pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.2. Pada tahun 2015 diperkirakan impor gandum Indonesia mencapai 5.882.711 ton.
Tabel 4.1 Volume Impor Gandum Tahun 2003-2008 dan Peramalannya Tahun 2009-2015
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2009
45
Forecast Gandum 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Data
Forecast
Gambar 4.2 Grafik Forecasting Volume Impor Gandum Tahun 2009-2015
4.1.2
Volume Substitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu
Kandungan karbohidrat pada gandum sebesar 77 % dari berat bersihnya, sedangkan karbohidrat ubi kayu sebesar 35 %. Untuk menghitung jumlah ubi kayu yang diperlukan untuk mensubtitisi gandum adalah dengan mengalikan jumlah gandum dengan 0,77 dan kemudian dibagi dengan 0,35. Berdasarkan data impor gandum Indonesia, dengan melakukan konversi dapat dihitung penyedian kebutuhan karbohidrat dari ubi kayu. Peramalan lima tahun ke depan penyediaan kebutuhan karbohidrat dari ubi kayu menggantikan gandum dapat dilihat pada Tabel 4.2. Hasil peramalan menunjukkan bahwa pada tahun 2015 diperlukan lebih dari 12,9 juta ton ubi kayu untuk mensubsitusi karbohidrat bersumber dari gandum.
46
Tabel 4.2 Substitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu Tahun 2009-2015 Volume Impor Gandum
Substitusi Karbohidrat
(Ton)
Gandum ke Ubi Kayu (Ton)
2009
5.039.912
11.087.806
2010
5.180.379
11.396.834
2011
5.320.845
11.705.859
2012
5.461.311
12.014.884
2013
5.601.778
12.323.912
2014
5.742.244
12.632.937
2015
5.882.711
12.941.964
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2009
4.1.3 Volume Produksi Ubi Kayu Indonesia
Kebutuhan ubi kayu di Indonesia setiap tahun terus meningkat. Data historis volume produksi ubi kayu Indonesia di-forecast menggunakan metode Double Exponential Smoothing with Trend (DEST), dengan smoothing constant alpha sebesar 0.2 dan beta 0.2 didapat MSE dan MAPE terkecil yaitu nilai MSE sebesar 348.171.330.902 dan MAPE sebesar 2.54 (Lampiran 3). Hasil peramalan selama lima tahun ke depan menunjukkan peningkatan produksi ubi kayu yang cukup signifikan, dimana produksi ubi kayu mencapai 27.218.952 ton pada tahun 2015. Peramalan produksi ubi kayu Indonesia tahun 2010 – 2015 disajikan pada Tabel 4.3, sedangkan grafiknya disajikan pada Gambar 4.3.
47
Tabel 4.3 Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu Khusus untuk Tepung Tapioka Tahun 2000-2009 dan Peramalannya Tahun 2010-2015
Produksi Ubi Kayu
Produksi Ubi Kayu untuk
(Ton)
Tepung Tapioka (Ton)
2000
16.089.020
6.435.608
2001
17.054.648
6.821.859
2002
16.913.104
6.765.242
2003
18.523.810
7.409.524
2004
19.424.707
7.769.883
2005
19.321.183
7.728.473
2006
19.986.640
7.994.656
2007
19.988.058
7.995.223
2008
21.756.991
8.702.796
2009
22.039.145
8.815.658
2010
23.446.924
9.378.770
2011
24.201.330
9.680.532
2012
24.955.735
9.982.294
2013
25.710.141
10.284.056
2014
26.464.547
10.585.819
2015
27.218.952
10.887.581
Tahun
Data
Peramalan
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2010
48
Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka
30,000,000
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0
Produksi Ubi Kayu Forecast Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka
Gambar 4.3 Grafik Forecasting Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015
4.1.4 Perencanaan Total Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka
Produksi ubi kayu total yang dibutuhkan dihitung dengan menjumlahkan hasil peramalan konversi karbohidrat gandum ke ubi kayu dengan hasil peramalan produksi ubi kayu Indonesia hingga tahun 2015. Pada tahun 2010 diperkirakan kebutuhan ubi kayu mencapai 20,5 juta ton dan kebutuhan ini terus meningkat mencapai 23,5 juta ton pada tahun 2015. Perencanaan produksi ubi kayu tahun 2010 – 2015 disajikan pada Tabel 4.4 dan grafiknya disajikan pada Gambar 4.4.
49
Tabel 4.4 Perencanaan Volume Total Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015 Produksi Ubi kayu Tahun
untuk Tepung
Subtitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu
Tapioka (Ton)
Volume Total Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tapioka
2010
9.378.770
11.087.806
20.466.576
2011
9.680.532
11.396.834
21.077.366
2012
9.982.294
11.705.859
21.688.153
2013
10.284.056
12.014.884
22.298.940
2014
10.585.819
12.323.912
22.909.731
2015
10.887.581
12.632.937
23.520.518
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2010
30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000
5,000,000
Produksi Ubi Kayu Forecast Produksi Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka Subtitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu Total Volume Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tapioka
Gambar 4.4 Grafik Volume Total Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015
2015
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
50
4.1.5 Luas Lahan yang Dibutuhkan Rata-rata produktivitas tanaman ubi kayu Indonesia selama tahun 2006 – 2009 adalah sebesar 17,6 ton/Ha. Luas lahan yang dibutuhkan dengan adanya konversi karbohidrat gandum ke ubi kayu disajikan pada Tabel 4.5. Pada tahun 2015 diperkirakan kebutuhan luas lahan ubikayu mencapai 1,3 juta ha. Dengan kemitraan yang baik, diharapkan dapat dilakukan perbaikan teknologi budidaya sehingga produktivitas ubi kayu dapat ditingkatkan mendekati produktivitas ideal yang dapat mencapai 40 ton/ha sehingga kebutuhan luas lahan jauh lebih kecil dari perkiraan tersebut yaitu sekitar 588.013 ha (Tabel 4.5).
Tabel 4.5 Forecast Luas Lahan Ubi Kayu yang Dibutuhkan Tahun 2010-2015
Tahun
Luas Lahan dengan
Luas Lahan dengan
Produktivitas 17,6 ton/ha
Produktivitas 40,0 ton/ha
(Ha)
(Ha)
2010
1.162.874
511.665
2011
1.197.578
526.934
2012
1.232.281
542.204
2013
1.266.985
557.473
2014
1.301.689
572.743
2015
1.336.393
588.013
Kebutuhan lahan tersebut dimungkinkan dapat dipenuhi dari lahan terlantar yang mencapai sekitar 7,8 juta ha dan dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian sekitar 2,8 juta ha (BPN 2011). Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa pendayagunaan tanah terlantar antara lain adalah untuk mendukung program aksi ketahanan pangan melalui pengembangan lahan untuk pertanian pangan serta ikut serta dalam mendorong peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan disebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi
51
hak asasi setiap rakyat Indonesia. Selanjutnya, pasal 45 Ayat 1 menegaskan bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan tersebut, pengaturan oleh pemerintah adalah sebagai berikut : (1) mewujudkan cadangan pangan nasional; (2) penyediaan, pengadaan dan atau penyaluran pangan tertentu yang bersifat pokok; (3) kebijakan mutu pangan nasional dan penganekaragaman pangan; (4) mencegah atau menanggulangi gejala kekurangan pangan; (5) memberikan kesempatan bagi koperasi dan swasta mewujudkan cadangan pangan; (6) pengembangan dan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pangan; (7) penelitian dan pengembangan teknologi di bidang pangan; (8) penyebarluasan dan penyuluhan pangan; (9) kerja sama internasional di bidang pangan; (10) penganekaragaman konsumsi masyarakat. Program peningkatan pemanfaatan lahan terlantar juga dapat memberikan rasa berkeadilan bagi masyarakat umumnya dan khususnya petani, serta meningkatkan produktivitas lahan. Dengan demikian dapat searah dengan program pembangunan nasional khususnya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional. Terdapatnya lahan terlantar mengakibatkan hilangnya peluang kegiatan sosial-ekonomi bagi masyarakat khususnya petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, sehingga kehidupan masyarakat yang lebih berkeadilan dapat diwujudkan. Aturan pelaksanaan untuk pendayagunaan tanah terlantar sesuai dengan PP No. 11 tahun 2010. Pemanfaatan lahan terlantar untuk budidaya ubi kayu oleh petani diharapkan dapat memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) Untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, (2) Berkeadilan, (3) Tingkat partisipasi masyarakat yang luas, (4) Peningkatan produktivitas lahan dan lingkungan hidup, (5) Berkelanjutan, dan (6) Sesuai dengan sistem hukum yang ada. Selain itu kepastian hukum bagi penerima manfaatnya harus diciptakan. Pendayagunaan tanah terlantar khususnya untuk budidaya ubi kayu oleh petani merupakan salah satu alternatif kegiatan yang dapat memperkuat keberhasilan program pemerintah Indonesia dalam pendayagunaan lahan-lahan terlantar. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui reformasi agraria meliputi : (1)
52
penataan sistem politik dan sistem hukum pertanahan dan keagrariaan, (2) land reform, yaitu menata ulang lahan dengan mempertimbangkan adanya redistribusi dan distribusi atas aset tanah pada masyarakat yang berhak, sehingga masyarakat yang ikut dalam program redistribusi dan distribusi ini dapat memanfaatkan tanahnya secara baik. Hal ini dimaknai juga sebagai asset reform dan access reform. Asset reform adalah menata ulang pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Access reform adalah pembukaan akses terhadap sumbersumber ekonomi (keuangan, manajemen, teknologi, pasar), dan sumber-sumber politik (partisipasi politik) (BPN 2010). Terdapat tiga pola penguasaan (hak atas tanah) kepada masyarakat, diantaranya: 1. Penguasaan secara perorangan Penguasaan secara perorangan dapat memberikan keleluasaan kepada penerima manfaat dalam mengusahakan tanahnya, baik dalam menentukan jenis tanaman maupun pengolahan tanahnya tanpa terikat dengan penerima manfaat lainnya. Dalam hal ini, beberapa alternatif yang dapat dilakukan antara lain: 1) Penerima manfaat dapat mengusahakan sendiri (swakelola) 2) Penerima manfaat membentuk koperasi untuk mengusahakan tanah tersebut 3) Penerima manfaat bekerjasama dengan badan usaha dan atau pemerintah (BUMN, BUMD) dalam bentuk penyertaan modal. 4) Penerima manfaat secara bersama-sama atau melalui koperasi melakukan kontrak profit sharing dengan badan usaha dan atau pemerintah (BUMN, BUMD) untuk mengusahakan tanah tersebut dengan mekanisme bagi hasil. 5) Penerima manfaat secara bersama-sama atau melalui koperasi melakukan kontrak manajemen dengan badan usaha dan atau pemerintah (BUMN, BUMD) untuk mengelola tanah tersebut.
2. Penguasaan secara bersama Penguasaan secara bersama-sama berarti tanah tidak dipecah-pecah untuk perseorangan. Tanah tersebut dapat dikelola oleh koperasi atau Badan Usaha lainnya, dan penerima manfaat dapat bekerja di sana. Dalam mengusahakan tanahnya, penerima memiliki alternatif antara lain:
53
1) Penerima manfaat bersama mengusahakan sendiri tanah yang diperolehnya dengan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas. 2) Penerima manfaat bersama membentuk koperasi atau badan usaha untuk mengusahakan tanahnya 3) Penerima manfaat bersama dapat bekerjasama dengan badan usaha dan atau pemerintah (BUMN, BUMD) dalam bentuk penyertaan modal, kontrak bagi hasil, maupun kontrak manajemen.
3. Penguasaan oleh Badan Usaha atau Koperasi Penguasaan dilakukan atas nama koperasi atau bentuk badan usaha lainnya. Penerima manfaat merupakan pemegang saham dan dapat bekerja di dalam koperasi atau badan usaha tersebut. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan: 1) Koperasi dapat mengusahakan sendiri tanahnya dengan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas 2) Koperasi melakukan profit sharing dengan badan usaha lainnya. Anggota koperasi bekerja pada badan usaha tersebut. 3) Koperasi melakukan kontrak manajemen dengan badan usaha swasta atau pemerintah untuk mengelola tanah tersebut. Anggota koperasi dapat bekerja di badan usaha tersebut. Access reform ini merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait dan berkesinambungan yang meliputi: a. Penyediaan infrastruktur dan sarana produksi b. Pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat c. Dukungan permodalan d. Dukungan distribusi pemasaran serta dukungan lainnya.
Berdasarkan alternatif-alternatif pelaksanaan land reform tersebut di atas, maka dapat dipilih pembagian garapan lahan pertanian dengan pola pertama yaitu penerima manfaat (petani) secara perorangan melakukan kontrak kerjasama dengan perusahaan pengolah ubi kayu menjadi tapioka. Petani berkewajiban untuk tidak memperjual-belikan tanah garapan yang diperolehnya dari lembaga pemerintah dalam hal ini BPN melalui mekanisme land reform.
54
Dengan adanya kepemilikan lahan garapan bagi petani seluas kurang lebih 3 ha per orang dan disertai legalitas dari BPN, dapat digunakan untuk melakukan kontrak kerjasama dengan pihak perusahaan pengolahan ubi kayu. Bentuk kerjasama yang cocok dan layak untuk ditawarkan adalah kemitraan pola IntiPlasma (Pola Perusahaan Inti-Rakyat/PIR). Pola PIR dapat dilaksanakan melalui mekanisme sebagai berikut : 1. Aspek Organisasi Kemitraan Usaha Produksi Ubi kayu selanjutnya dinamakan Kemitraan Ubi Kayu (MITRA-UK) ini merupakan kerjasama usaha dalam produksi ubi kayu yang melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani, dan (2) Perusahaan Inti (Industri Pengolahan Ubi Kayu). Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam MITRA-UK yang sesuai dengan bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara petani dengan Perusahaan Inti dalam MITRA-UK, dibuat seperti dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani merupakan plasma dan Industri Pengolahan sebagai
Inti. Kerjasama kemitraan ini disiapkan dengan dasar saling
membutuhkan dan saling menguntungkan di antara semua pihak yang bermitra. a. Petani Plasma Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman ubi kayu, (b) Buruh tani yang menggarap lahan yang perlu ditingkatkan produktivitasnya, sehingga memerlukan bantuan teknologi dan permodalan. Kegiatan usaha dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman sampai dengan panen. Luas lahan atau skala usaha dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) hektar per petani atau tergantung kepada jumlah petani di wilayah yang bersangkutan. b. Perusahaan Inti Perusahaan Inti adalah sebuah perusahaan yang salah satu kegiatan usahanya bergerak di bidang perdagangan dan pengolahan hasil-hasil pertanian khususnya ubi kayu, yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Kemitraan, memiliki kemampuan pemasaran dan fasilitas pengolahan untuk memenuhi peluang pasar yang ada, serta bersedia membeli seluruh produksi dari
55
plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan dipasarkan. Mekanisme pemasaran oleh Perusahaan Inti dirancang dengan pola kerjasama, berkewajiban memberi bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasma. Untuk menjaga ketersediaan produksi, petani plasma wajib mengikuti program/penjadwalan produksi yang dibuat oleh perusahaan inti, dan hasil panennya harus dijual seluruhnya kepada Perusahaan Inti. Perusahaan Inti mempekerjakan tenaga-tenaga teknis yang memiliki keterampilan dibidang budidaya ubi kayu untuk membimbing petani dengan alokasi biaya tertentu yang ditetapkan oleh Perusahaan Inti. 2.
Perjanjian Kerjasama Untuk melaksanakan kerja sama kemitraan, perlu dikukuhkan dalam suatu
surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam perjanjian kerjasama itu dicantumkan kesepakatan perihal yang akan menjadi kewajiban dan hak dari masing-masing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan tersebut. Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak Mitra Perusahaan (Inti) dan petani (plasma) antara lain sebagai berikut : 1. Kewajiban Perusahaan Inti : a. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penanganan hasil; b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana produksi (bibit,
pupuk
dan
obat-obatan),
penanaman
serta
pemeliharaan
kebun/usaha; c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen untuk mencapai mutu yang tinggi; d. Sanggup membuat harga garansi terhadap sarana-sarana produksi dan hasil produksi untuk ditawarkan kepada petani mitra dengan prinsip saling memperkuat, membesarkan, dan saling menguntungkan; e. Melakukan pembelian seluruh produksi petani plasma sesuai harga kontrak; dan
56
f. Turut menanggung resiko kerugian usaha bilamana terjadi akibat bukan kelalaian petani selama menjalankan produksinya. 2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma : a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya; b. Melaksanakan kegiatan produksi sesuai bimbingan perusahaan inti meliputi penanaman, pemeliharaan tanaman, panen dan pengelolaan pasca-panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan; c. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang disediakan sesuai penjadwalan produksi perusahaan inti; d. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan sesuai petunjuk Perusahaan Inti untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada Perusahaan Inti; dan e. Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga produk sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban petani melunasi biaya-biaya sarana produksi dan biaya-biaya lainnya. f. Sanggup menanggung resiko kerugian apabila akibat dari kelalaian sendiri selama berproduksi.
4.1.6 Jumlah Petani dan Industri yang Akan Terlibat
Berdasarkan perkiraan kebutuhan luas lahan tersebut di atas (produktivitas lahan 17,6 ton/ha), maka dapat dihitung jumlah petani dan industri yang akan terlibat. Dengan asumsi penguasaan lahan oleh petani seluas 2 ha per orang, pada tahun 2015 diperkirakan jumlah petani yang akan terlibat mencapai 668.197 petani. Sejalan dengan konversi karbohidrat gandum ke ubi kayu pada tahun 2015 yang memerlukan total keseluruhan ubi kayu sebanyak 23.5 juta ton per tahun, maka dibutuhkan sebanyak 392 unit pengolahan / agroindustri ubi kayu menjadi tapioka dengan kapasitas 200 ton/hari (60.000 ton/tahun dengan asumsi 300 hari kerja).
57
4.2 Rantai Pasok Ubi Kayu Dalam Rangka Penyediaan Karbohidrat
Menurut Bunte (2006), teori kesejahteraan (welfare theory) yang dapat digunakan untuk menilai industri dan kinerja rantai pasok. Kesejahteraan dalam kinerja rantai pasok terletak pada dua elemen, yaitu: 1) efisiensi (profit) dan (2) keadilan (pemangku kepentingan). Efisiensi merujuk pada penciptaan nilai tambah, sedangkan keadilan merujuk pada pembagian nilai tambah untuk semua pemangku kepentingan. Secara garis besar rantai pasok ubi kayu dibahas pada penelitian ini terdiri dari: (1) petani yang membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, (2) pengumpul, (3) industri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka seperti disajikan pada Gambar 4.5.
Petani Ubi Kayu (yang memiliki luas lahan 1-2 Ha)
Petani Ubi Kayu (yang memiliki luas lahan >10 Ha)
ubi kayu
ubi kayu Pengumpul
dana
dana
Industri Tepung Tapioka
tepung tapioka
tepung tapioka
Distributor dana
Konsumen dana
ubi kayu dana
Gambar 4.5 Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka
Gambar 4.5 tersebut memperlihatkan adanya 6 macam peran pada rantai pasok ubi kayu dan tepung tapioka. Namun pada penelitian ini hanya fokus 4 peran pada sisi hulu dalam agroindustri ubi kayu dan tepung tapioka yaitu : 1. Petani ubi kayu, dibagi menjadi 2 kelompok. Satu kelompok adalah petani yang memiliki luas lahan 1 hingga 2 ha, dan satu kelompok lagi adalah petani yang memiliki luas lahan lebih besar atau minimal 10 ha. a) Untuk petani yang memiliki luas lahan 1-2 ha, akan menjual ubi kayu kepada pengumpul, lalu pengumpul yang akan menjual kembali kepada pabrik. Sistem penjualanpun ada 2 jenis : (1) potong tebas di kebun lalu langsung dibeli pengumpul atau (2) petani menjual ubi kayu yang masih ada di dalam tanah dengan satuan Hektare, lalu pengumpul menebang
58
sendiri ubi kayu tersebut. Sebagian harga masih ada yang ditetapkan oleh pengumpul. Namun saat ini dimana informasi berkembang sangat cepat, petani semakin pintar dalam menetapkan harga, sehingga tidak mudah lagi untuk dipermainkan. b) Sedangkan petani yang memiliki luas lahan lebih besar atau minimal 10 ha, akan menjual ubi kayunya langsung kepada pabrik. Biasanya petani kelompok ini telah bermitra dengan pabrik. 2. Pengumpul/pedagang, juga dibagi 2 kelompok. Satu kelompok pengumpul murni dan yang kelompok satu lagi adalah pengumpul sebagai agen dari pabrik. Pengumpul murni akan mengambil keuntungan berdasarkan selisih antara harga jual petani dengan harga beli pabrik. Sedangkan untuk pengumpul sebagai agen dari pabrik akan mengambil keuntungan berdasarkan fee yang diberikan oleh pabrik. Kalau pengumpul akan mencari keuntungan setinggi mungkin. Sering memainkan % refraksi, timbangan atau sistem botongan di kebun dengan petani. Biasanya pengumpul/agen menjaring petani-petani yang menjual volume yang tanggung 500 kg – 5 ton. 3. Pabrik/industri tapioka membeli ubi kayu dari pengumpul/agen dengan harga berdasarkan perhitungan tersendiri sebagai berikut. Harga beli lokal (dari Petani) + Transport + Ongkos Muat dan Bongkar + % refraksi + fee agen atau keuntungan pengumpul = Harga Pabrik. Contoh: (Rp 770 – Rp 775) + Rp 80 + Rp 10 + (% refraksi x Rp 5 / % refraksi) + Rp 10 (fee Agen). Pada umumnya, petani yang memiliki luas lahan sebesar 10 Ha atau lebih memasarkan ubi kayu langsung kepada industri pengolahan ubi kayu, sedangkan petani yang memiliki luas lahan hanya 1-2 ha memasarkan ubi kayu kepada pedagang pengumpul. Hanya sebagian kecil hasil panen ubi kayu yang langsung dipasarkan ke konsumen. Dalam prakteknya, petani hanya sebagai price taker, sedangkan yang menentukan harga adalah industri pengolahannya ataupun pedagang pengumpul. Di samping itu, karena belum adanya pola pertanaman yang terkoordinasi dengan masing-masing sentra produksi, pada banyak kasus terjadi over supply terutama pada masa panen. Pada kondisi harga ubi kayu yang
59
ekstrim, petani tidak memanen ubi kayunya karena harga yang ditawarkan sangat rendah sehingga penerimaan dari hasil panen biasanya hanya sebatas untuk menutupi biaya panen. Hingga saat ini, pengembangan agribisnis ubi kayu belum dilaksanakan secara terintegrasi mulai dari sub sistem budidaya (on farm) hingga ke sub sistem pasca panen, pengolahan, dan pemasaran (off farm). Masing-masing sub sistem dikembangkan secara sendiri-sendiri, belum saling mengkait dalam suatu kawasan agroindustri yang dikelola secara efisien dan berorientasi pasar dalam suatu manajemen rantai pasok (Supply Chain Management/SCM). Dalam rangka mengoperasionalkan sistem SCM yang dapat mengaitkan aktivitas di masing-masing sub sistem, diperlukan adanya kelembagaan di masing-masing sub sistem tersebut. Kelembagaan di tingkat petani merupakan masalah mendasar yang harus ditangani agar kekuatan tawar petani dapat ditingkatkan. Diharapkan, dengan kuatnya kelembagaan petani, posisi tawar petani pada saat berhadapan dengan industri pengolahan juga meningkat. Dengan demikian, total keuntungan dapat didistribusikan secara adil dan proporsional ke seluruh rantai suplai ubi kayu sesuai dengan tingkat resiko dan modal usaha yang diberikan. 4. Distribusi ke Konsumen. Gambar 4.6 adalah jalur distribusi pabrik tepung terigu kepada konsumen di Jawa Tengah. Untuk Jalur distribusi tepung tapioka dapat diambil dari rujukan tersebut. Beberapa hal dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensinya antara lain dengan :
Mengurangi eselon (jenjang distribusi) dengan menyalurkan tapioka ke pengguna dari eselon yang lebih tinggi.
Mengurangi jarak tempuh tapioka melalui pemilihan rute yang lebih optimal.
Mengurangi waktu dalam perjalanan tapioka.
60
Pabrik Tepung Tapioka Industri Besar
Distributor
Sub Distributor
Industri Menengah
Wholesaler
Industri Kecil
Retailer
Industri Rumah Tangga
Konsumen Akhir
Gambar 4.6 Jalur Distribusi Tepung Tapioka ke Konsumen
4.3 Penyeimbangan Bh/C Harga-harga di setiap interaksi (petani – pengumpul, pengumpul – industri, dan seterusnya) disimulasikan untuk mencari bagaimana sebaiknya dihitung harga dari tingkat petani sehingga bisa membangun suatu bisnis yang profesional dan rantai pasok yang berkesinambungan. Salah satu syarat untuk kesinambungan tersebut adalah harga wajar yang diterima setiap pelaku. Salah satu cara menetapkan harga yang wajar tersebut adalah dengan menetapkan persentase pendapatan terhadap biaya yang sama bagi semua pelaku. Indikator yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah benefit-cost ratio (Tarigan 2008, Maulana 2005). Agar benefit-cost ratio ini benar-benar memberikan laba yang wajar, perlu dikoreksi oleh faktor waktu. Pabrik dan pengumpul memerlukan
61
waktu yang relatif singkat dalam memproses bahan sejak pembelian barang menjadi produk yang dapat dijual. Lain halnya dengan petani yang memerlukan waktu 10 – 11 bulan untuk dapat menjual ubi kayu yang dihasilkannya. Jalan keluarnya adalah dengan mendapatkan “ adjusted Bh/C “
petani yang memasukkan komponen waktu
investasi petani. Sebagai ilustrasi untuk menghitung Bh/C dipakai angka-angka berikut: masa tanam singkong 10 bulan, bunga 8 % per tahun atau 0.67 % per bulan. Perhitungan Analisa Benefit – Cost Ratio kondisi awal disajikan pada Tabel 4.6, sedangkan Analisa Benefit – Cost Ratio disetarakan dengan Bh/C petani disajikan pada Tabel 4.7. Nilai Bh/C petani ubi kayu sudah cukup tinggi (3,5). Tingginya Bh/C pada tingkat petani terjadi karena rendahnya biaya yang harus dikeluarkan petani untuk aktivitas budidaya hingga pemanenan ubi kayu relative terhadap jumlah produksi ubi kayu dikalikan dengan harga jual ubi kayu di tingkat petani. Meskipun harga jual ubi kayu hanya Rp. 800/kg, namun karena produksi ubi kayu per ha yang cukup tinggi (sekitar 20 ton/ha) maka nilai manfaat /benefit yang diperoleh petani cukup besar. Meskipun demikian, secara keseluruhan pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera.
Bahkan dengan total
pendapatan sekitar Rp. 17.5 juta/ha per tahun dikurangi biaya produksi ubi kayu sebesar Rp. 5 juta/ha, maka penghasilan petani ubi kayu adalah sebesar Rp. 12.5 juta/tahun (rata-rata sekitar Rp. 1 juta/bulan). Jumlah ini bahkan lebih rendah daripada UMR beberapa daerah di Indonesia. Di sisi lain, rendahnya Bh/C di tingkat pabrik tapioka terjadi karena rendahnya margin keuntungan yang diperoleh pabrik dari harga tepung tapioka dibandingkan dengan harga bahan baku yang merupakan komponen biaya produksi terbesar dibandingkan dengan berbagai komponen biaya produksi lainnya. Hal yang sama terjadi pada pedagang yang tidak melakukan proses nilai tambah terhadap ubi kayu sehingga manfaat yang diperoleh pedagang hanyalah berupa marjin keuntungan yang dibatasi oleh harga beli ubi kayu oleh pabrik serta harga penjualan ubi kayu dari petani.
62
Tabel 4.6 Analisis Bh/C Kondisi Awal
Sumber : Data primer
Tabel 4.7 Analisis Bh/C disetarakan dengan Bh/C Petani
Sumber : Data primer
Meskipun marjin keuntungan pedagang maupun pabrik tepung tapioka per kilogram produk/komoditas yang mereka jual kecil, namun karena volume penjualan yang besar, maka pabrik tepung tapioka maupun pedagang memperoleh penghasilan yang menyebabkan pengusaha tersebut menjadi anggota masyarakat berpenghasilan tinggi. Secara sederhana, kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 4.7. Pada Gambar 4.7 pelaku dalam rantai pasok agroindustri yang berada dalam kwadran 2, akan menikmati nilai tambah yang rendah akibat biaya yang tinggi dan manfaat yang rendah sehingga memiliki nilai Bh/C yang rendah pula. Pada kwadran 4, pelaku dalam rantai pasok akan menikmati manfaat yang tinggi, namun biaya rendah, sehingga nilai tambah pelaku agroindustri yang berada dalam kwadran ini akan tinggi. Pada Kwadran 1 dan 3, Bh/C dapat rendah, sedang atau tinggi bergantung pada seberapa rendah dan seberapa tinggi nilai manfaat relatif terhadap biaya.
Biaya
63
Tinggi
Kwadran 2 (Bh/C Rendah)
Kwadran 1
Rendah
Kwadran 3
Kwadran 4 (Bh/C Tinggi)
Rendah
Tinggi Manfaat
Keterangan: Manfaat = Jumlah Produksi x Harga per satuan Gambar 4.7 Kategorisasi Bh/C untuk Para Pelaku dalam Rantai Pasok Agroindustri
Dengan klasifikasi pelaku agroindustri dalam empat kwadran pada Gambar 4.7 petani ubi kayu berada dalam kwadran 4, sedang pedagang dan pabrik tapioka berada pada kwadran 1. Karena volume yang tinggi, pedagang maupun pabrik, mungkin akan memiliki manfaat yang tinggi, namun pada saat yang sama, biaya yang mereka keluarkan juga tinggi. Berdasarkan kajian ini, dapat diketahui bahwa bila para pelaku dalam suatu rantai pasok agroindustri berada dalam kwadran-kwadran yang berbeda, maka upaya untuk menyeimbangkan Bh/C akan menyebabkan pelaku yang berada pada kwadran 4 akan mengalami penurunan manfaat relatif terhadap biaya. Karena itu, hal ini tidak dilakukan untuk petani – pedagang ataupun pabrik tapioka yang merupakan pelaku-pelaku dalam agroindustri berbasis ubi kayu. Hal ini terjadi karena pada agroindustri ubi kayu, pelaku yang yang berada pada kwadran 4 adalah petani, sehingga petanilah yang justru akan dirugikan pada kebijakan penyeimbangan Bh/C tersebut.
4.4 Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik Bahan Pangan Ubi Kayu, Beras, dan Terigu
Harga-harga dan biaya proses industri
dalam kasus penelitian
memberikan Bh/C industri 1.08. Penelitian atas industri proses makanan lainnya
64
menunjukkan bahwa angka/data mengenai tepung tapioka cukup valid. Validasi ini menunjukkan bahwa harga-harga dalam rantai pasok agroindustri tepung tapioka wajar dan cukup adil. Sebelumnya dapat dikatakan bahwa harga-harga yang dikutip telah diterima para pelaku dan rantai pasok telah berjalan lama sehingga dapat dikatakan wajar dan para pelaku menerima keuntungan yang adil. Bh/C industri proses bahan makanan, sumber karbohidrat, lainnya berkisar dalam rentang 1.03 – 1.1. Menarik untuk dicatat bahwa termasuk dalam rentang tersebut industri tepung terigu dengan bahan baku impor, di mana harga bahan baku 91.3% dari harga pokok produk (HPP). Sedangkan Bh/C berbagai industri tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik pada Beras, dan Tepung Terigu
65
4.5 Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani
4.5.1 Permasalahan-permasalahan dalam Penyediaan Bahan Baku Industri Sumber Karbohidrat Berbasis Ubi Kayu Keuntungan yang diterima saat ini belum cukup mensejahterakan petani ubi kayu. Persoalan yang perlu dikaji adalah tingkat produksi yang dapat dicapai petani dan tingkat harga jual ubi kayu yang berlaku, serta apakah kegiatan produksi ubi kayu cukup menarik bagi petani dengan ketersediaan lahan yang dimiliki. Jika petani mendapatkan kesempatan untuk memproduksi dan menjual komoditas lain yang lebih mampu mendukung ekonomi keluarganya, maka petani ubi kayu akan beralih kepada komoditas alternatif tersebut. Karena itu, tingkat kesejahteraan keluarga petani ubi kayu menjadi persoalan penting yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani mitra agroindustri sumber karbohidrat berbasis ubi kayu, terdapat berbagai alternatif yang mungkin dilakukan yaitu: o Peningkatan luas lahan kebun ubi kayu: Hal ini dapat dicapai dengan pemberian lahan usaha bagi petani seperti pola yang diterapkan pada program transmigrasi, dimana petani mendapatkan lahan pekarangan dan lahan usaha yang dapat mereka manfaatkan untuk kegiatan produksi berbagai komoditas. Sejalan dengan kemampuan mereka memanfaatkan lahan agar produktif, mereka dapat diberikan lahan usaha yang lebih luas untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Alternatif lain, adalah dengan pemberian akses untuk memanfaatkan berbagai lahan yang tersedia untuk kegiatan produksi ubi kayu. Pada alternatif ini, petani tidak harus memiliki lahan, namun mereka memiliki hak untuk memanfaatkan lahan dalam luasan tertentu. o Upaya peningkatan manfaat dari kegiatan usaha tani ubi kayu Pada alternatif ini, petani didorong untuk memperoleh penghasilan yang lebih
tinggi
dengan melakukan berbagai
upaya
peningkatan
66
produktivitas kebun ubi kayu mereka. Persoalan yang mungkin dihadapi adalah keterbatasan modal petani untuk memberikan tambahan input bagi pertanian ubi kayu mereka. Di sisi lain, upaya peningkatan pendapatan petani dapat juga dilakukan dengan meningkatkan harga jual ubi kayu di tingkat petani. Secara umum, peningkatan harga jual ubi kayu milik petani tidak mudah dilakukan karena kemampuan pabrik untuk membeli ubi kayu milik petani dibatasi oleh harga jual produk agroindustri tersebut kepada konsumen. Dengan demikian, peningkatan harga jual ubi kayu beresiko menurunkan daya saing pabrik tapioka dari pabrik-pabrik lainnya, maupun daya saing tapioka terhadap produk-produk tepung lainnya.
Meskipun demikian,
peningkatan harga jual ubi kayu petani masih mungkin dilakukan dengan melakukan efisiensi seperti memperpendek jalur rantai pasok, peningkatan efisiensi transportasi dengan menggunakan modal transportasi dengan kendaraan berkapasitas lebih besar. o Menggeser sebagian aktivitas pabrik tapioka kepada petani. Dengan kegiatan ini, petani mendapatkan tambahan penghasilan dari fungsi mereka sebagai “tenaga kerja” bagi pabrik di samping penjualan ubi kayu mereka. Aktivitas yang dapat dilakukan keluarga petani terdiri dari pengupasan, pembersihan hingga kegiatan produksi tapioka skala rumah tangga. Di samping meningkatkan pendapatan keluarga petani, pengalihan sebagian aktivitas tersebut dapat meningkatkan efisiensi transportasi (karena terjadinya pengurangan bobot bahan yang diangkut karena ubi kayu telah dikupas dan dibersihkan) serta memperbaiki sanitasi lingkungan pabrik tapioka dan mengurangi limbah cair yang dibuang ke lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, sampah berupa kulit dan kotoran ubi kayu yang tinggal di petani dapat dikembalikan ke kebun mereka ataupun dimanfaatkan sebagai bahan tambahan dalam pakan ternak yang dapat menjadi alternatif usaha sampingan bagi keluarga petani. Jika petani dapat melakukan kegiatan usaha peternakan di lokasi yang berdekatan dengan kebun mereka, maka kotoran ternak dan sisa-sisa pakan dapat menjadi pupuk organik yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas kebun ubi kayu dengan tambahan biaya yang tidak
67
terlalu besar. Apabila peternakan ini juga dapat dilakukan secara berkelompok, maka kotoran ternak dapat dimanfaatkan untuk produksi biogas yang juga dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga petani untuk bahan bakar. o Petani mendapatkan share dalam kepemilikan pabrik Dalam pola agroindustri yang umum dilakukan, petani hanya mendapat manfaat ekonomi dari penjualan hasil pertanian mereka sebagai bahan baku bagi agorindustri.
Manfaat ekonomi tersebut dapat lebih
tingkatkan jika petani dapat memperoleh kepemilikan dalam agroindustri tersebut. Hal ini tidak mudah dilakukan karena petani tidak memiliki dana untuk penyertaan modal dalam kepemilikan pabrik pengolahan yang didirikan. Bahkan banyak petani yang tidak mampu melakukan perawatan kebun ubi kayu mereka secara baik, baik untuk kegiatan pemeliharaan seperti penyiangan dan penggemburan tanah lebih-lebih untuk pembelian berbagai sarana produksi pertanian seperti bibit ubi kayu yang baik, pupuk, pestisida, insektisida dan sebagainya. Hal ini dapat diatasi dengan melibatkan petani dalam pengembalian modal dari institusi/pihak penyedia dana secara bertahap. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan menahan sebagian dana hasil penjualan ubi kayu milik petani yang bersedia menyertakan modal dalam kepemilikan industri tapioka yang didirikan. Cara lain adalah pembayaran dari bagian dividen petani. o Peningkatan daya guna lahan Dalam prakteknya, penyediaan tambahan lahan bagi petani ubi kayu memerlukan kebijakan lintas sektor dan memerlukan perencanaan yang lebih komprehensif. Pada saat yang sama, tuntutan atas berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan petani mendesak untuk dilakukan.
Di antara
alternatif yang dapat dilakukan dalam lingkup yang lebih kecil adalah dorongan dan dukungan bagi petani untuk meningkatkan daya guna lahan milik mereka yang terbatas. Kegiatan ini antara lain dapat dilakukan melalui berbagai bentuk sebagai berikut:
68
Melaksanakan kegiatan pertanian tumpang sari. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah penanaman jagung di sela-sela tanaman ubi kayu pada masa awal pertumbuhan ubi kayu. Dengan umur panen jagung sekitar 4 bulan, tanaman ubi kayu yang baru belum terlalu tinggi dan rimbun sehingga tidak menaungi tanaman jagung (Rusdi 2011).
Peningkatan populasi tanaman ubi kayu (masalah jarak tanam), sehingga dengan luasan yang sama populasi tetap sama, dengan input teknologi, produksi bisa sama. Dan tersedia sisa lahan untuk tumpang sari.
Meningkatkan populasi tanaman ubi kayu dengan memperkecil jarak tanam, sehingga dengan luas lahan yang sama, dan dengan bantuan input teknologi, produksi bisa lebih banyak.
Menggeser sebagian tahapan proses agroindustri/pabrik ke tingkat petani, misalnya pengupasan, pembersihan hingga produksi tapioka kasar.
4.5.2 Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan Peningkatan Luas Lahan
Peningkatan kesejahteraan petani dapat diukur dengan peningkatan penghasilan yang diterima petani dengan budidaya ubi kayu. Salah satu upaya yang dilakukan adalah peningkatan luas lahan yang diusahakan. Contoh perhitungan peningkatan kesejahteraan petani dengan peningkatan luas lahan ditampilkan pada Tabel 4.9. Formula yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Dengan asumsi luas lahan 1 Hektare income saat ini adalah = Rp 12,500,000 per tahun sehingga per bulan adalah Rp 1,041,667.
Income petani yang diharapkan adalah Rp 3,000,000 per bulan yang didapat bila luas lahan adalah 2.8 Hektare.
Maka tambahan lahan yang dibutuhkan adalah 2.88 – 1 = 1.88 Hektare, agar didapat peningkatan kesejahteraan petani menjadi Rp 3,000,000 per bulan.
69
Tabel 4.9 Contoh Perhitungan Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan Peningkatan Luas Lahan Budidaya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Deskripsi Luas Lahan Produktivitas Luaran Harga Satuan Ubikayu Pendapatan Biaya Budidaya Biaya Total Laba Rendemen Tapioka Tapioka Normal Income Sekarang
12
Income Petani Diinginkan
13 14 15 16
Laba Per Ha Lahan Dibutuhkan Tambahan Lahan Dibutuhkan Bh/C
Jumlah 1 25 25 700 17,500,000 5,000,000 5,000,000 12,500,000 0.25 6.25 12,500,000 1,041,667 3,000,000 36,000,000 12,500,000 2.88 1.88 3.5
Unit Hektar Ton/Ha Ton Rp/Kg Rp Rp/Ha Rp Rp Ton Rp/Tahun Rp/Bulan Rp/Bulan Rp/Tahun Hektar Hektar
Untuk setiap Hektare lahan diperlukan tenaga kerja sebesar 44 HariOrang-Kerja (HOK) per musim selama 11-12 bulan. Jika kesejahteraan petani ingin ditingkatkan dengan menambah lahan petani menjadi 3 Hektare, diperlukan 132 HOK untuk mengelola lahan masing-masing. Dengan mengambil patokan 300 hari kerja per tahun, masih ada tersisa 168 hari kerja untuk setiap petani. Dapat dilihat bahwa kesejahteraan petani masih dapat lebih ditingkatkan dengan memberi kesempatan kepada petani untuk memanfaatkan sisa harinya menjadi produktif.
4.6 Pola kemitraan
Aktivitas produksi yang dilakukan unit-unit bisnis dalam agroindustri berbasis ubi kayu menuntut pasokan bahan baku berupa ubi kayu dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi target kapasitas produksi dengan mutu yang memenuhi standar yang diharapkan serta pada waktu yang tepat. Jaminan tersebut
70
diperlukan agar kesinambungan aktivitas produksi terjamin pada tingkat efisiensi yang direncanakan. Ketersediaan pasokan yang tidak mencukupi akan menyebabkan agroindustri terpaksa berproduksi di bawah kapasitas yang direncanakan. Di sisi lain, penyediaan bahan baku ubi kayu yang tidak memenuhi standar akan menyebabkan rendahnya perolehan produk (rendemen) dari jumlah bahan baku serta waktu produksi yang direncanakan. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada biaya per unit produk yang dihasilkan yang berdampak pada tingkat keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan serta daya saing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan produk sejenis dari perusahaan lain ataupun produk substitusinya. Untuk itu, sangat diperlukan kesediaan petani ubi kayu untuk bekerja sama dan bermitra secara berkelanjutan dengan pabrik pengolah ubi kayu. Industri tepung tapioka mempunyai kemungkinan untuk memperpendek alur rantai pasok, dengan menangani sendiri fungsi pengumpul dan pengecer (semi-vertical integration). Bentuk kemitraan menjadi langsung antara petani ubi kayu dengan industri tepung tapioka, dan industri memiliki jaringan pengecer baik sendiri maupun kemitraan dengan pihak lain. Strategi bisnis seperti ini akan mampu menjamin adanya
“fair profit distribution “ serta kemitraan yang
langgeng dan “win- win “. Agar tujuan tersebut tercapai setiap pihak mempunyai kewajiban masing-masing yang harus dilaksanakan. Beberapa kewajiban yang harus dipenuhi para pelaku adalah sebagai berikut : Petani ubi kayu :
Menghasilkan ubi kayu sesuai kualitas dan kuantitas
Menyiapkan hasil panen tepat waktu
Meningkatkan produksi tanaman sesuai pengetahuan yang di dapatkan baik secara otodidak maupun melalui
bimbingan/penyuluhan melalui
kemitraan.
Menepati dan menaati
perjanjian kemitraan demi
tercapainya “win –
win “ dengan industri tepung tapioka
Membentuk kelompok / paguyuban petani ubi kayu di daerah yang sama atau berdekatan.
71
Industri tepung tapioka :
Membeli hasil panen para petani ubi kayu yang sesuai standar kualitas seberapun jumlahnya
Membantu petani dalam meningkatkan kualitas maupun produktifitas tanaman baik secara langsung maupun melibatkan pihak - pihak lain.
Memberikan pinjaman dana talangan yang memadai agar para petani tidak jatuh ke dalam perangkap rentenir
Melakukan monitoring akan kegiatan para petani
Membeli hasil panen petani dengan harga yang “ pantas “ dan memberikan keuntungan yang “fair “. Kemitraan dapat juga mencontoh bentuk kemitraan antara starbuck dengan
pemasok biji kopinya : starbuck memilih petani kopi yang menghasilkan biji kopi yang terbaik dari
seluruh penjuru dunia. Untuk mencapai kondisi ini
starbuck menerapkan pola kemitraan yang eksklusif :
Memberikan dana talangan operasional
Menyediakan asistensi dalam pemilihan lahan yang tepat dan penyuluhanpenyuluhan
Membeli dengan harga di atas harga pasar
Membeli semua hasil panen mitranya. Mengambil contoh pola kemitraan “Unilever Indonesia“ yang merupakan
bagian dari Program CSR-nya (Corporate Social Responsibility) : •
Unilever mampu melalui pola kerjasama dengan petani Black Soya Bean di Indonesia (mayoritas Ibu-ibu petani) menghasilkan kualitas paling baik di dunia.
•
Pola Kemitraan tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan Starbuck, memberikan motivasi, penyuluhan-penyuluahn serta dana talangan kepada para petani.
•
Unilever Indonesia juga membeli seluruh hasil panen Black Soya Bean tersebut dengan harga yang pantas, yang mampu meningkatkan kesejahteraan para petani.
72
Adapun beberapa kendala-kendala dalam kemitraan tersebut antara lain :
Kondisi di Indonesia masih memerlukan suatu pola pengembangan kemitraan yang mampu menghasilkan “win-win“.
Para petani masih belum mampu duduk sejajar dengan mitranya, dalam artian mampu untuk mengusahakan kesepakatan-kesepakatan yang memberi manfaat bagi dirinya serta untuk pengembangan usaha maupun kemampuannya.
Peran “pengumpul“ masih cukup signifikan karena di satu pihak para petani kurang mampu berhubungan dengan industri, di lain pihak industripun masih memakai “pengumpul” sebagai ujung tombak untuk mendapatkan harga beli yang rendah dan kadangkala sebagai “koordinator lapangan “ untuk mengelola para petani di suatu tempat.
Di pihak para petani sendiripun masih sangat kurang mampu dalam bidang pemasaran, keuangan, teknologi, ketrampilan serta pengetahuan.
Pola
hidup
komsumtifpun
telah
melanda
para
petani
sehingga
menyebabkan “mis-management“ dalam mengelola kehidupan yang lebih baik.
Di pihak industri, masih banyak hanya berorientasi “profit–taker” saja. Sehingga “pola bapak angkat“ atau “pola plasma“ tidak tepat sasaran .
Kendala-kendala diatas merupakan sebagian dari hambatan-hambatan keberhasilan kemitraan antara para petani dengan industri.
Ada beberapa alternatif solusi yang mungkin, yang perlu di pertajam, yang melibatkan beberapa pihak, yaitu : 1. Industri-industri harus sangat memahami bahwa mereka membutuhkan petani sebagai
pemasok bahan baku, berhak atas bagian profit yang
“pantas” 2. Para petani harus mengupayakan peningkatan
kesejahteraan mereka
melalui kemampuan penguasaan teknologi utk mendapatkan jumlah dan kualitas hasil yang sesuai tuntutan industri.
73
3. Perlu keterlibatan instansi pemerintah terkait meminimalkan kendalakendala yang ada, serta adanya suatu regulasi yang memberikan keseimbangan kekuatan tawar menawar baik bagi petani maupun industri. 4. Industri-industri penghasil tepung tapioka perlu mengadaptasi pola “Starbuck” maupun “Unilever Indonesia“
dalam pola kerjasama
kemitraannya dengan para petani ubi kayu. Dan menemukan pola yang sesuai dengan kondisi masing-masing.
Sebagai langkah awal, pola kemitraan yang di pilih sebagai alternatif adalah “pola kemitraan langsung petani dengan industri“ yang cenderung mengadaptasi
pola
unilever
indonesia.
Ada
4
faktor
yang
perlu
diimplementasikan, yaitu :
1. Jaminan Pembelian Ubi Kayu : industri tepung tapioka menjamin pembelian ubi kayu dari petani dengan harga yang di tetapkan di muka sebelum penanaman, dengan kesepakatan akan jumlah dan kualitas . Harga seyogyanya diatas harga pasar. 2. Penyuluhan Lapangan : industri baik secara langsung atau bekerjasama dengan pihak lain memberikan penyuluhan kepada petani untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman ubi kayu. 3. Bantuan Keuangan : para petani mendapat kesempatan meminjam dana talangan tanpa bunga, yang disalurkan melalui Paguyuban Petani atau Koperasi Petani. 4. Badan pemantau : kondisi di Indonesia memerlukan adanya suatu badan yang dibentuk berdasar undang-undang yang ada untuk memantau kemitraan ini secara sosial, perlu di bentuknya dewan ubi kayu Indonesia yang bernaung dan di biayai secara operasional di bawah kementrian pertanian, dengan tugas utama memajukan kesejahteraan petani ubi kayu dan mendorong ubi kayu sebagai salah satu bahan pangan utama di Indonesia.
74
Pola kemitraan yang ada dilakukan sebenarnya dapat menjadi bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pelaksanaannya di lapangan sehingga penyimpangan yang dapat merugikan salah satu pihak terutama petani dapat diminimumkan. Bentuk kerja sama dalam penyediaan bahan baku agroindustri tapioka disajikan pada Tabel 4.10. Kondisi ideal akan terjadi jika petani bersatu, misalnya dalam koperasi, sehingga memiliki posisi tawar yang cukup kuat ketika berhadapan dengan pabrik maupun pengumpul, namun hal ini sulit terjadi karena berbagai faktor sosial dan perilaku anggota maupun pengurus. Ada kalanya petani yang biasa memasok pabrik tertentu (tetapi tanpa ikatan pinjaman), menjual hasil panennya kepada pihak lain karena harga pihak lain tersebut lebih tinggi. Untuk penyediaan bahan baku ubi kayu, pabrik/pedagang mengumpulkan dari kebun-kebun ubi kayu milik petani yang tersebar di wilayah sekitar pabrik. Namun karena kebun-kebun ubi kayu milik petani tidak berada dalam satu hamparan, maka dengan kebutuhan panen 8000 ha (80 km2) per 10 bulan, pabrik mendapatkan pasokan bahan baku dari wilayah kerja yang luas.
Dengan
pertimbangan biaya transportasi, pabrik membatasi wilayah kerja sampai radius 60 km (luas wilayah kerja sekitar 11,000 km2). Di sisi lain, batasan ini juga mempertimbangkan adanya persaingan untuk mendapatkan bahan baku di wilayah kerja yang sama dengan pabrik lain. Adapun tipikal pabrik yang dipergunakan adalah (Triwiyono 2011) :
Kapasitas produksi : 200 ton tapioka/hari
Kebutuhan bahan baku 800 ton ubi kayu/hari
Produktivitas ubi kayu: 25 ton/ha
75
Tabel 4.10 Bentuk kerja sama dalam penyediaan bahan baku Agroindustri Tepung Tapioka
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, harus dipanen sekitar 32 ha kebun/hari (800 ton/hari : 25 ton/ha) atau 8000 ha/10 bulan (32 ha/hari * 10 bulan * 25 hari kerja/bulan = 8000
ha). Pola kemitraan di mana pabrik
memberikan pinjaman kepada petani sangat dibatasi oleh kemampuan pendanaan perusahaan. Jika seperempat kebun petani harus dibiayai dengan pola tersebut, maka perusahaan harus mengeluarkan dana sekitar Rp. 10 milyar dalam sepuluh bulan (Rp. 5 juta/ha * 8,000 ha * ¼ = Rp. 10 milyar). Jumlah tersebut sangat besar mengingat investasi pabrik dengan kapasitas 200 ton tapioka/hari hanyalah sekitar 28 – 30 milyar rupiah (di luar lahan). Kondisi tersebut membebani perusahaan karena dana besar tersebut tertahan terlalu lama.
76
Lembaga Keuangan Lain
PEMERINTAH
Petani Petani
PEDAGANG
Petani
Petani Petani
KOPERASI
PABRIK
Petani
Petani Petani Petani Aliran material Aliran pendanaan
Gambar 4.8 Pola kemitraan antara Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu
Untuk memecahkan masalah di atas dapat digunakan dua alternatif kemitraan berikut ini: Alternatif 1: Pabrik memberikan kontribusi permodalan kepada pedagang dalam jumlah tertentu, kemudian pedagang yang bermitra dengan petani. Pedagang menambah dana kemitraan dengan dana sendiri atau dana pihak ketiga. Dengan total dana kemitraan yang lebih besar ini pedagang dapat bermitra dengan lebih banyak petani dan luasan kebun yang lebih besar.
77
Alternatif 2: Alternatif ini mirip dengan Alternatif 1 dengan koperasi menggantikan posisi pedagang. Koperasi dapat mengajukan permintaan bantuan dana kepada pemerintah dan lembaga keuangan lainnya yang memang telah memiliki berbagai skim pendanaan bagi koperasi dan usaha kecilnya. Dari sisi pabrik, alternatif ini tak berbeda dengan Alternatif 1, namun dari sisi petani, adanya koperasi akan dapat meningkatkan pendapatan petani berupa Sisa Hasil Usaha yang dibagikan kepada anggota. Gambar 4.8 menunjukkan Pola kemitraan antara Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu. Pada konsep kemitraan pabrik – koperasi – petani, kepemilikan kebun berada di tangan petani tergabung pada koperasi. Koperasi adalah organisasi yang beranggotakan petani yang membentuk badan usaha yang bertanggungjawab membangun dan mengelola perkebunan ubi kayu. Lahan yang dikelola oleh koperasi adalah lahan milik petani secara perseorangan. Bentuk koperasi dipilih karena bentuk ini merupakan bentuk yang sudah akrab dikalangan petani. Dan memberikan beberapa keuntungan bagi petani, yaitu : 1. Petani anggota koperasi akan menerima bagian keuntungan dari sisa hasil usaha di samping pendapatan dari hasil penjualan ubi kayu ke pabrik, 2. Penetapan harga ubi kayu ke pabrik dapat dilakukan melalui kesepakatan bersama para anggota koperasi dengan dukungan dari manajemen dan pihak industri pengolahan tepung tapioka. 3. Bentuk koperasi memungkinkan setiap petani memiliki kedudukan setara yang akan memperkuat posisi petani terhadap industri pengolahan. Melalui mandat dari koperasi, manajemen koperasi akan menjalankan tugas pengelolaan kebun ubi kayu agar mendapatkan keuntungan yang optimal. Rancangan posisi dalam struktur organisasi koperasi disusun berdasarkan kebutuhan fungsional organisasi. Adapun fungsi-fungsi utama dalam koperasi antara lain adalah fungsi administrasi dan keuangan, fungsi pemasaran, dan fungsi operasi. Selama kegiatan operasional koperasi, diperlukan monitoring dan evaluasi masing-masing
anggota
koperasi.
Evaluasi
dilakukan
berkaitan
dengan
kemampuan penyediaan ubi kayu yang sesuai dengan perjanjian baik dari segi
78
kualitas, kuantitas dan kontinyuitas. Selain itu, dilakukan juga evaluasi anggota dalam hal yang berkaitan dengan keuangan seperti cicilan pinjaman koperasi. Hasil evaluasi ini akan menentukan apakah kerjasama dengan anggota koperasi tertentu akan dilanjutkan, atau diberhentikan. Kebijakan ini diperlukan untuk menjamin bahwa setiap anggota koperasi akan berusaha memenuhi seluruh perjanjian yang disepakati. Evaluasi kemitraan koperasi dapat dilihat pada Gambar 4.9. Data Realisasi Penyediaan Produk Masing-masing Petani, Cicilan Pinjaman
Evaluasi cicilan Pinjaman
Masalah Komitmen terhadap Perjanjian
Pembinaan, Revisi Target Produksi
Kerjasama dilanjutkan
Pemutusan Kemitraan
Gambar 4.9 Evaluasi Kemitraan Koperasi
Agar dapat berfungsi maksimal dan benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan petani anggota koperasi, maka koperasi harus memiliki pendanaan yang baik. Adapun sumber dan alokasi keuntungan koperasi berasal dari beberapa alternatif sumber yaitu 1) keuntungan penanaman ubi kayu, 2) bagi hasil dari agroindustri dan 3) keuntungan dari penjualan produk lain. Keuntungan yang diperoleh koperasi ini tentunya dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui pembagian keuntungan, untuk pengembangan usaha maupun untuk dana sosial. Sumber dan alokasi keuntungan koperasi dapat dilihat pada Gambar 4.10.
79
Keuntungan dari Penanaman Ubi Kayu
Bagi Hasil dari Agroindustri Tepung Tapioka
Dibagi Kepada Anggota
Keuntungan Koperasi
Keuntungan dari Penjualan Produk Lain
Pengembangan Usaha
Dana Sosial
Gambar 4.10 Sumber dan Alokasi Keuntungan Koperasi
Pada kondisi tertentu yang sangat tidak menguntungkan, misalnya gagalnya petani ubi kayu mendapatkan hasil panen yang sesuai dengan harapan, maka koperasi dapat membantu anggota yang bersangkutan dengan dana sosial yang disisihkan dari hasil usaha yang telah dicadangkan dari keuntungan koperasi. Dalam kerjasama ini, pendapatan anggota koperasi berasal dari penjualan produknya sendiri di dalam koperasi serta bagian dari keuntungan koperasi. Mekanisme seperti ini (termasuk dalam menangani kondisi yang tidak menguntungkan) diharapkan akan mengikat seluruh anggota koperasi agar loyal dan mempunyai komitmen yang baik dalam memenuhi perjanjian. Sumber pendapatan petani dapat dilihat pada Gambar 4.11.
Penjualan Ubi Kayu
SHU dari Koperasi
Pendapatan Petani
Dana Sosial dari Koperasi
Gambar 4.11 Sumber Pendapatan Petani
Dengan ini kombinasi pola kemitraan Pabrik-Petani, Pabrik-PedagangPetani, Pabrik-Koperasi-Petani diharapkan dapat membantu memecahkan
80
permasalahan pendanaan untuk petani. Kondisi ini dapat terjadi karena dana dapat disalurkan dari berbagai sumber kepada masyarakat petani. Berdasar pola kemitraan petani-koperasi-pengumpul-industri tapioka ini dapat dibuat suatu strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu, seperti yang terlihat pada Gambar 4.12. Dalam strategi ini, unsur-unsur petani, pengumpul,
agroindustri,
pedagang
dan
konsumen
saling
terkait
dan
mempengaruhi.
Wilayah Kerja 1
Daerah Pemasaran 1
Petani
Konsumen Pengumpul
Pedagang
Petani
Konsumen
Petani
Konsumen Koperasi
Pedagang
Petani
Konsumen
Agroindustri Tepung Tapioka
Petani
Konsumen Pengumpul
Pedagang
Petani
Konsumen
Petani
Konsumen Koperasi
Pedagang
Petani
Konsumen
Wilayah Kerja 2
Daerah Pemasaran 2
Gambar 4.12 Strategi Penyediaan Karbohidrat bersumber dari Ubi Kayu
Petani dapat bermitra dengan pengumpul dan agroindustri baik secara langsung maupun melalui koperasi. Melalui kemitraan akan dapat diperoleh dana dan kerjasama untuk peningkatan kualitas dan kuantitas produksi ubi kayu, kesinambungan produksi dan jaminan pasar yang dapat memberikan harga yang lebih wajar kepada petani.
81
Pengumpul dapat menerima dana dari pabrik dan menambahkan dana sendiri atau dana lembaga keuangan. Dana yang lebih besar ini dapat dipinjamkan kepada lebih banyak petani untuk meningkatkan kualitas budidaya ubi kayu. Agroindustri dapat memberikan lapangan kerja kepada petani untuk memanfaatkan waktu “idle” petani dan menyerahkan proses awal agroindustri kepada petani. Agroindustri dapat juga memberi kesempatan kepada petani untuk ikut memiliki pabrik melalui pemilikan saham. Saham tersebut dapat dibayar melalui potongan penjualan ubi kayu petani atau melalui pembayaran dividend Dalam strategi ini petani dibagi menjadi beberapa wilayah kerja untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tapioka. Bila industri tapioka kapasitas 200 ton per hari membutuhkan 800 ton ubi kayu per hari. Dengan hari kerja satu tahun 300 hari maka, dalam waktu satu tahun diperlukan 240.000 ton ubi kayu. Kebutuhan bahan baku ubi kayu ini harus dipenuhi minimal dari 9600 Ha lahan dengan produktivitas 25 ton/ha. Jika setiap petani mempunyai lahan 2 ha per orang, maka jumlah petani yang terlibat adalah sebanyak 4800 orang petani. Jumlah yang cukup besar ini perlu dikelola dalam beberapa wilayah kerja, dimana disetiap wilayah kerja terdapat koperasi dan pedagang pengumpul yang mengelola petani-petani yang menjadi anggotanya. Petani menghasilkan ubi kayu, dan untuk meningkatkan kesejahteraan dapat melakukan beberapa hal seperti menambah luas lahan dan melakukan kemitraan. Penambahan luas lahan dapat berupa pemilikan lahan tambahan atau pemberian akses lahan kepada petani. Pemberian akses ini akan melibatkan banyak pihak seperti masyarakat adapt setempat, pemerintah pusat dan daerah agar tidak menimbulkan potensi keresahan atau bentrok vertikal maupun horizontal. Dalam perluasan lahan ini tentu ada persaingan diantara komoditas pertanian seperti antara lain padi, jagung, tebu dan kelapa sawit . Dalam persaingan lahan ini ubi kayu mempunyai kelebihan yaitu dapat tumbuh di lahan yang marginal dengan daya adaptasi lingkungan (iklim, ketersediaan air). Oleh sebab itu besar kemungkinan ubi kayu akan mendapatkan lahan yang tidak diperebutkan oleh komoditas-komoditas lain.
82
(halaman ini sengaja dikosongkan)
83
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu melibatkan unsur
petani, pengumpul, pabrik, pengecer dan konsumen. Penelitian ini berupaya meningkatkan kesejahteraan petani.
Pengumpul agar lebih efektif dan
menurunkan biaya yang selama ini dibebankan kepada petani. Pabrik agar mendukung petani dengan membeli ubi kayu mereka dengan harga setinggi mungkin dalam batas bisnis yang sehat. Harga yang tinggi tersebut akan membuat petani tetap bergairah menanam ubi kayu. Pengecer agar berupaya bekerja se-efektif dan se-efisien mungkin agar dapat menyampaikan produk kepada konsumen secara teratur dengan harga yang kompetitif dan terjangkau. Konsumen juga mengharapkan kualitas produk yang baik, tersedia dan mudah didapatkan. 2. Kebutuhan karbohidrat penduduk Indonesia pada saat ini terus mengalami
peningkatan setiap tahun. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat saat ini bersumber antara lain dari beras, ubi kayu dan gandum. Pada tahun 2015 dengan kebutuhan karbohidrat ubi kayu yang diperkirakan mencapai 23,5 juta ton akan membutuhkan lahan budidaya seluas 1,3 juta ha. Sehubungan hal tersebut akan terlibat 668.197 petani dan 392 pabrik tapioka dengan kapasitas 200 ton tapioka/hari. 3. Kebutuhan lahan yang cukup besar untuk komoditas ubi kayu tersebut dimungkinkan dapat dipenuhi dari lahan terlantar yang mencapai sekitar 7,8 juta ha dan dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian sekitar 2,8 juta ha. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui reformasi agraria meliputi : (1) penataan sistem politik dan sistem hukum pertanahan dan keagrariaan, (2) land reform, yaitu menata ulang lahan dengan mempertimbangkan adanya distribusi dan redistribusi atas aset tanah pada masyarakat yang berhak sesuai dengan Peraturan Perundangan yang ada. 4. Benefit (berdasar harga) Cost Ratio (Bh/C) mempunyai keterbatasan jika
dipakai sebagai penyeimbang karena dapat menyebabkan ketimpangan
84
pendapatan yang besar antar pelaku rantai pasok. Setiap pelaku dalam rantai pasok memiliki volume material dan waktu produksi yang berbeda. 5. Bh/C petani ubi kayu saat ini sudah cukup tinggi (3,5), namun demikian
pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera. Laba yang diterima petani ubi kayu hanya sebesar Rp. 12.5 juta/ha/tahun (ratarata sekitar Rp. 1 juta/bulan). 6. Peningkatan kesejahteraan petani ubi kayu perlu diupayakan, agar petani tidak beralih membudidayakan tanaman yang lebih menjamin kesejahteraannya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu adalah sebagai berikut : a.
Peningkatan luas lahan kebun ubi kayu, dengan cara penambahan kepemilikan lahan atau pemberian akses penggunaan lahan pada petani ubi kayu
b.
Upaya peningkatan manfaat melalui tanaman tumpang sari dan peningkatan efisiensi penggunaan lahan
c.
Menggeser sebagian tahapan proses ke tingkat petani, misalnya pengupasan, pembersihan hingga produksi tapioka kasar.
d.
Petani ikut memiliki pabrik melalui kepemilikan saham, dengan pembayaran langsung atau melalui pembagian keuntungan yang diterima petani ubi kayu.
7. Beberapa alternatif diberikan untuk menunjang hubungan kemitraan antara petani, pemasok dan pabrik, diantaranya sebagai berikut : a. Pabrik memberikan pinjaman permodalan kepada pedagang dalam jumlah tertentu, kemudian pedagang bermitra dengan petani berdasarkan modal yang dipinjamkan pabrik ditambah modal pedagang sendiri atau dari sumber lain. b. Pola yang digunakan pada alternatif (a) dapat diterapkan pada koperasi yang permodalannya dapat diajukan kepada pemerintah dan lembaga keuangan lainnya yang memang telah miliki berbagai skim pendanaan bagi koperasi dan usaha kecil. c. Pola kemitraan petani-pabrik, dimana pabrik memberikan pinjaman kepada petani.
85
5.2 Saran
1. Untuk meningkatkan pendapatan petani ubi kayu perlu penambahan penguasaan lahan sebesar 2 ha hingga 3 ha, yang terhimpun dalam sebuah koperasi dan menjalin kerjasama dengan industri pengolahan yang terdekat dalam satu pola kemitraan yang saling menguntungkan. 2. Penambahan luas lahan dapat berupa pemilikan lahan tambahan atau pemberian akses lahan kepada petani.
Pemberian akses ini
memerlukan
kebijakan yang melibatkan banyak pihak seperti masyarakat adat setempat, pemerintah pusat dan daerah agar tidak menimbulkan potensi keresahan atau bentrok vertikal maupun horizontal. Peraturan Perundangan telah ada yang kiranya dapat dipergunakan untuk mendukung kebijakan tersebut. 3. Memberi kesempatan kepada petani untuk mendapatkan pekerjaan untuk mengisi waktu “idle” nya dengan membekali mereka dengan pelatihan dan bimbingan antara lain dalam pengolahan limbah ubi kayu, industri rumah tangga berbasis ubi kayu dan meningkatkan manfaat lahan melalui tanaman tumpang sari. 4. Perlu perhatian pemerintah terhadap komoditas ubi kayu antara lain berupa kemudahan
memperoleh
pendanaan
untuk
petani,
pengumpul
dan
agroindustri, melakukan regulasi yang mendukung efektifitas implementasi rantai pasok ubi kayu, dan melakukan pembatasan impor ubi kayu dan turunannya terutama pada saat panen raya.
86
(halaman ini sengaja dikosongkan)
87
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo). 2003. Jakarta. Laporan Berkala. Ariani, M. 1999. Laporan Hasil Penelitian; Pengkajian Diversifikasi Konsumsi Pangan Utama Di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Ariani, M. 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD Working Paper No. 67. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Barret, D. M. dan D. S. Damardjati. 1984. Peningkatan Mutu Hasil Ubi Kayu di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. III (2). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Ubi Kayu. ISBN 978-979-1452-24D. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia [BPN]. 2010. Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 Tanggal 1 Pebruari 2010 tentang Tata Cara Penertiban
Tanah
Terlantar.
http://bpn.go.id/BES/jenis_peraturan/peraturan-Kepala-BPN-RI/TATACARA-PENERTIBAN-TANAH-TERLANTAR.
diakses
tanggal
12
Pebruari 2012. _____.2011.Pendayagunaan
Tanah
Negara
Bekas
Tanah
Terlantar.
http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2011/11/policy-paperpendayagunaan-Tanah-Terlantar-bhn-FGD.pdf. diakses tanggal 12 Pebruari 2012. " Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. 2011. Kriteria Kesesuaian Lahan Ubi Kayu. http://www. bbsdlp.litbang.deptan.go.id. Akses Tanggal 12 Desember 2011 Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Produksi Tanaman Pangan. Jakarta.
88
Bunte, F. 2006. Pricing and Performance in Agri-Food Supply Chains. Quantifying The Agri-Food Supply Chain. Springer Netherlands. Chapter 4: 37-45. Chen, K.Z. 2004. Agri-Food Supply Chain Management: Opportunities, Issues, and Guidelines. University of Alberta, Australia. Darwanto, D. H. 2007. Aspek Sosial Ekonomi Pengembangan dan Pemasaran Produk Olahan Cassava Indonesia (Makalah Seminar). Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Produk Pangan Lokal Menuju Kemandirian Pangan Bangsa Indonesia : Optimalisasi Potensi Tepung Cassava” (10 Desember 2007). Universitas Diponegoro, Semarang. Departemen Pertanian. 2008. Rencana Teknis Pengembangan Gandum. ____. 2009a. Bahan Sosialisasi Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Ubi Kayu. ____. 2010. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin Depatemen Pertanian).
http://www. Deptan.go.id/pusdatin, akses tanggal
18 juni
2010. Departemen Kesehatan. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta : Bhatara Karya Aksara. Departemen Perindustrian Republik Indonesia 2007. Pohon Industri Ubi Kayu. http://www.depperin.go.id. [15 September 2011]. Fischer, S., R. Dornbusch dan R. Schmalensee. 1988. Economics. Second Edtion. McGraw-Hill Book Co. Singapore. Gittinger, J. P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects. Second Edition. Completely Revised and Expanded. The Johns Hopkins University Press Baltimore, Maryland. Hafsah, M. J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Indonesia. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). 1995. Ekonomi Politik Industri Tepung Terigu. Makalah 10 Agustus 1995.
89
Kay, D.E. 1973. Roots Crops. The Tropical Product Institute. England. Kementerian Negara Koperasi dan UKM. 2007. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan Melalui Pengembangan UKM Industri Pangan Berbasis Tepung Cassava. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Produk Pangan Lokal Menuju Kemandirian Pangan Bangsa Indonesia. Semarang. Kementerian Pertanian. 2011. Vedemikum Ubi Kayu. http://www.deptan.go.id. Akses Tanggal 15 Desember 2011 Krajewski, L. J., L. P. Ritzman, M.K. Malhotra. 2010. Operations Management, Processes and Supply Chains. Ninth Edition. Pearson Education, Inc. Lambert, D. M. dan M. C. Cooper. 2000. Issues in Supply Chain Management. Industrial Marketing Management 29: 6583. Levi, D., P. Kaminsky, dan S. Levi. 2000. Designing and Managing The Supply Chain. McGraw-Hill, International Edition. Li, L. 2007. Supply Chain Management: Concepts, Techniques and Practices. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Limbongan, J., M. Slamet, M. Hasni, H. Sudana. 1999. Proceedings of The National Seminar on The Results of Agricultural Technology Assessment and Research Towards Governance Autonomous Era.
Eds. Bogor
(Indonesia): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi (PSE Pertanian). 1999.- ISBN 979-95318-5-3 Economic Analysis of Cassava Utilization in Agroindustry. http://agris.fao.org download tgl 19 june 2010. Maulana, A. 2005. Model Pengembangan Agroindustri Nenas Di Kabupaten Subang Dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani-Pengusaha Industri Pengolahan [disertasi]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mentzer, J. T., W. DeWitt, J.S. Keebler, S. Min, N. W. Nix, C. D. Smith, dan Z. G. Zacharia. 2001. Defining Supply Chain Management. Journal Of Business Logistics, Vol. 22, No.2.
90
Nweke, F. I. 1996. Cassava : A Cash Crop in Afrika. COSCA working paper no.14, Collaborative Study of Cassava in Africa, International Institute of Tropical Agriculture, Ibadan, Nigeria. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah
Terlantar
tanggal
22
Januari
2010.
http://www.depdagri.go.id/produk-hukum/2010/02/22/peraturanpemerintah-no11-tahun-2010. diakses tanggal 12 Pebruari 20 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi (PSE Pertanian). 2004. Trend Konsumsi Pangan Produk Gandum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Puspita, S. R. 2011. Analisis Nilai Tambah dan Kelayakan Usaha Agroindustri Chip Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Pembuatan MOCAF (Modified Cassava Flour) di Kabupaten Trenggalek. Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Rachman, H. P. S. 2004. Permintaan Komoditas Pangan; Analisis Perkembangan Konsumsi Untuk Rumah Tangga dan Bahan Baku Industri. ICASERD Working Paper No. 37. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Rukmana, R. H. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Rusdi, N. 2011. Kepala Bidang Teknologi Sumberdaya Pati, Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), BPPT. Wawancara, tidak dipublikasikan Syarief, R. dan A. Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Siregar, M. dan M. Suryadi. 2004. Changes In Food Crop Diversification In Indonesia. Indonesian Center For Agricultural Socio Economic Research and Development. Bogor.
91
Subandi, Y. Widodo, N. Saleh, dan L. J. Santoso. 2005. Inovasi Teknologi Produksi Ubi Kayu Untuk Agroindustri Dan Ketahanan Pangan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan Dan Umbi-Umbian, Semarang. Suyono, H. S. 2011. Mitra Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), BPPT dalam Penerapan
Teknologi
Budidaya
Ubi
Kayu.
Wawancara,
tidak
dipublikasikan. Sriroth, K. 1999. Cassava industry in Thailand: The status of technology and utilization. Paper presented at International Symposium on Cassava, Starch, and Starch Derivatives, held in Nanning, Guangxi, China. Nov 11–15,1996. Tarigan, D. 2008. Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Triwiyono, B. 2011. Kepala Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), BPPT. Wawancara, tidak dipublikasikan. Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. http://www.pom.go.id/public/hukum perundangan /pdf/ACT of FOOD. pdf. diakses tanggal 12 Pebruari 2012. Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Diundangkan tanggal
14
Oktober
2009.
TLNRI
http://www.pla.deptan.go.id/pdf/UNDANG_
Nomor
5068.
UNDANG_PLPPB.pdf.
diakses tanggal 12 Pebruari 2012. Visidata Riset Indonesia. 2003. Perkembangan Industri Tepung Terigu dan Sektor Pemakainya di Indonesia (Paska Deregulasi Tahun 1998). Visidata Riset Indonesia, Jakarta. Vorst, V. D. 2006. Performance Measurement In Agri-Food Supply-Chain Network: An Overview. Quantifying The Agri-Food Supply Chain. Springer Science Business Media. Chapter 2: 13-24.
92
Widowati, S. dan K. Hartojo. 2000. Production And Use Of Cassava Flour: A New Product Of Future Potential In Indonesia. Bogor Research Institute For Biotechnology, Bogor.
93
LAMPIRAN
94
(halaman ini sengaja dikosongkan)
95
Lampiran 1 Kesesuaian Lahan Ubi kayu (Maniohot esculenta) Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan
Kelas kesesuaian lahan S1
S2
S3
N
22 - 28
28 - 30
18 - 20 30 - 35
< 18 > 35
Curah hujan (mm)
1.000 2.000
600 1.000 2.000 3.000
500 - 600 3.000 5.000
< 500 > 5.000
Lama bulan kering (bln)
3,5 - 5
5-6
6-7
>7
baik, agak terhambat
agak cepat, sedang
terhambat
sangat terhambat, cepat
Temperatur (tc) Temperatur rerata (°C) Ketersediaan air (wa)
Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
Media perakaran (rc) Tekstur
agak halus, halus, sangat halus sedang agak kasar
kasar
Bahan kasar (%)
< 15
15 - 35
35 - 55
> 55
Kedalaman tanah (cm)
> 100
75 - 100
50 - 75
< 50
< 60
60 - 140
140 - 200
> 200
< 140
140 - 200
200 - 400
> 400
saprik+
saprik, hemik+
hemik, fibrik+
fibrik
> 16
≤ 16
20
< 20
5,2 - 7,0
4,8 - 5,2
Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/ pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O
< 4,8
96
Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan
C-organik (%)
Kelas kesesuaian lahan S1
S2
S3
7,0 - 7,6
> 7,6
N
> 0,8
≤ 0,8
<2
2-3
3-4
>4
-
-
-
-
> 100
75 - 100
40 - 75
< 40
<8
8 - 16
16 - 30
> 30
sangat rendah
rendah sedang
berat
sangat berat
F0
-
F1
> F1
<5
5 - 15
15 - 40
> 40
<5
5 - 15
15 - 25
> 25
Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
Sumber : bbsdlp.litbang.deptan.go.id
97
Lampiran 2 Hasil Peramalan Trend Impor Gandum
Kombinasi
alfa
beta
MSE
MAD
MAPE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
0.2
0.2 0.4 0.6 0.8 0.2 0.4 0.6 0.8 0.2 0.4 0.6 0.8 0.2 0.4 0.6 0.8
181.723.142.483 158.409.981.707 137.947.383.650 120.056.591.606 104.151.526.745 79.487.467.256 60.982.945.265 47.323.780.941 61.972.162.991 42.582.380.389 30.276.979.515 22.651.402.380 39.008.724.439 25.159.880.158 17.544.439.067 13.339.340.791
397004 374367 352604 331699 310709 274866 242066 212180 244862 203184 167332 136867 195958 153756 120093 93932
8,34% 7,88% 7,43% 6,99% 6,55% 5,81% 5,13% 4,51% 5,19% 4,32% 3,58% 2,94% 4,17% 3,29% 2,59% 2,04%
0.4
0.6
0.8
98
Lampiran 2 Hasil Peramalan Trend Impor Gandum (lanjutan)
99
Lampiran 3 Hasil Peramalan Trend Volume Ubi Kayu Indonesia
Kombinasi
alfa
beta
MSE
MAD
MAPE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
0.2
0.2 0.4 0.6 0.8 0.2 0.4 0.6 0.8 0.2 0.4 0.6 0.8 0.2 0.4 0.6 0.8
348.171.330.902 333.825.642.822 323.865.971.071 317.780.918.262 362.117.754.144 363.089.863.641 374.182.501.302 393.857.288.224 413.271.593.340 440.601.452.699 483.149.712.906 538.421.404.790 478.614.623.959 533.234.487.284 604.548.169.062 686.868.827.371
466873 472507 479202 486900 515621 533545 554040 576626 561854 591114 622383 654041 592626 624655 653541 710376
2,54% 2,57% 2,61% 2,65% 2,80% 2,90% 3,00% 3,12% 3,05% 3,20% 3,37% 3,54% 3,22% 3,39% 3,54% 3,84%
0.4
0.6
0.8
100
Lampiran 3 Hasil Peramalan Trend Volume Ubi Kayu Indonesia (Lanjutan)