ABSTRAK KAJIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 85 K/Pid.Sus/2012 Fakultas Hukum Universitas Asahan, Kisaran Sumatera Utara Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Email :
[email protected] Putusan Pengadilan adalah suatu pernyataan yang dikeluarkan oleh hakim yang diucapan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum yang bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata. Putusan Pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkara mereka dengan sebaik-baiknya. Putusan pengadilan tersebut mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.Dalam membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundangundangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, harus ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang. Apa yang diucapkan hakim pada sidang pengadilan harus benar-benar sama dengan apa yang tertulis dan apa yang tertulis harus benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang pengadilan. Dalam mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan di persidangan dan yang tertulis, mahkamah agung dengan surat edaran No. 5 Tahun 1959 dan No. 1 Tahun 1962 telah menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan konsepnya harus sudah disiapkan Salah satu faktanya dapat dilihat dalam kasus yang terjadi didalam Putusan
Mahkamah Agung No: 85K/ Pid. Sus/ 2012, dalam kasus ini telah terjadi Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Hidayat Bin H. Abu Mukmin dan diputus oleh Pengadilan Negeri Blangkejeren, perbuatan Hidayat tidak tebukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi dan membebaskannya.Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa putusan tersebut jauh dari nilai keadilan dan kemamfaatan, namun memberikan kepastian hukum terhadap terdakwa dan keluarganya. Kata Kunci : Putusan Mahkamah Agung No: 85K/ Pid.Sus/2012
1
1.PENDAHULUAN Hakim yang konsisten dengan kefitrahan nurani dan nalar sehatnya, didukung dengan sistem kekuasaan kehakiman dan peradilan yang transparan niscaya akan melahirkan sejumlaah vonis yang adil dan indah. Didalamya bermuatan nafas dan ruh kebenaran, keadilan, dan kepekaan yang tajam terhadap sense of justice serta responsive terhadap derita ketidak adilan rakyat (Maqoddas, 2006 : v ) kondisi ideal tersebut tercermin pada putusan yang diucapkan dalam ruang- ruang pengadilan sebagai lembaga yang senantiasa memancarkan cahaya kebenaran. Sebaliknya apabila cahaya itu memudar, maka dapat di jadikan Putusan Pengadilan hanyalah lembaran kertas yang tak bermakna tanpa memberikan keadilan, kemamfaatan dan kepastian hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gistav Radbruch. Pemenuhan tujuan hukum diatas menjadi satu- satunya pilihan hakim dalam memutuskan perkara yang terwujud dalam putusannya sebagai Mahkota hakim. Frame Loppy mengemukakan bahwa putusan hakim itu mahkota, mencerminkan segalanya bagi hakim, tanggung jawabnya, kejujurannya, keilmuannya, moralitasnya, ketulusannya, kesalehannya, dan lain sebagainya (Asikin, 2011 : 63 ). Jika mahkota tidak mencerminkan tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch, maka mahkota tersebut telah kehilangan makna dan kedudukan yang terhormat, pandangan masyarakat secara umum tentang hakim dan keadilan ibarat langit dan bumi. Putusan hakim hanya tajam ke bawah namun tumpul keatas. Maka tidak berlebihan sebagaimana pandangan Eman Suparman jika mengatakan keadilan hanyalah menjadi ungkapan yang merdu didengar saja, ternyata hanya isapan jempol karena pengadilan di anggap paling pintar dalam memutar balikkan keadilan. Keadaan itu bahkan telah menjadi rahasia publik di Negeri ini (Suparman, 2012: vii). Begitu pula niali- nilai kemamfaatan dan kepastian hukum dalam putusan hakim dianggap sulit diimplementasikan dan seringkali terjadi perbedaan arah satu dengan yang lain. Keagungan putusan hakim tercermin dengan mengandung tiga unsur tujuan hukum milik Gustav Radbruch sehingga akan menopang dimensi kajian hukum. Dimensi kajian hukum ini akan memenuhi ruang-ruang kebutuhan peningkatan kualitas hidup manusia. Aksiologi yang merupakan salah satu cabang filsafat yang bermakna konstribusi ilmu pengetahuan guna meningkatkan kualitas hidup manusia. Melalui dimensi kajian hukum akan melipat gandakan makna esensi dari Putusan hakim itu sendiri khususnya keadilan dan kemamfaatan.
2
Kegalauan Gustav Radbruch dan tereliminirnya dimensi kajian hukum seakan-akan tergambar dalam Putusan Mahkamah Agung No: 85/ Pid.Sus/2012 Putusan ini melepaskan terpidana dalam jeratan hukum sungguh sangat disayangkan hadir dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang berusaha mewujudkan cita- cita sebagaimana termaktub dalam Undangundang Dasar Negara Kasatuan Republik Indonesia tahun 1945. Putusan ini memikat untuk dianalisis yang tidak hanya karena adanya benturan terhadap teori milik Gustav Radbruch, namun juga mengejutkan masyarakat umum yang seakan- akan mimpi disiang bolong karena begitu banyak kejanggalan- kejanggalan yang memudarkan sosok hakim ideal di Lembaga puncak keadilan, Mahkamah Agung. Salah satu aspek yang Kontroversi dalam Putusan ini adalah Putusan Hakim Pengadilan Negeri Blangkejeren yang menyatakan Terdakwa Hidayat tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi serta membebaskan terdakwa dari jeratan hokum. II. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan paparan diatas, rumusan masalah yang diangkat dalam kajian hukum ini adalah Apakah Putusan Mahkamah Agung No: 85 K/Pid.Sus/2012 telah memenuhi tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch ? III. STUDI PUSTAKA Dalam proses lahirnya Putusan Hakim berlangsung apa yang disebut Penalaran Hukum. Kennet J. Vandevelde menekankan dua hal setiap kali orang berbicara tentang penalaran hukum atau berpikir sebagai ahli hukum. Menurutnya The Phrase to think like a lawyer encapsulates a way of thingking that is chacacterized by bith goal pursued and method used. Maria Farida menyatakan bahwa persoalan pertama (goal pursued) berdimensi Aksiologis sedangkan yang kedua (method used ) berdimensi epistemologi. Dimensi Aksiologis mendorong putusan hakim memberikan mamfaat yang sebenar- benarnya bagi ilmu Pengetahuan dan manusia, sementara dimensi epistimologi akan fokus pada asal mula atau sumber, struktur, metode, dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Aksiologis menurut kamus filsafat berasal dari bahasa yunani Axios (layak, pantas) dan Logos (ilmu). Secara sederhana aksiologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari nilai dan kegunaan dari ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya dengan Putusan Hakim, maka dimensi 3
aksiologis akan mewujudkan Putusan Hakim yang memberikan kesempurnaan hidup manusia bukan sebaliknya memunculkan friksi- friksi yang berujung pada hilangnya ruh tujuan hukum. Pandangan Gustav Radbruch secara umum diartikan bahwa kepastian hukum tidak selalu harus diberi prioritas pemenuhannya pad tiap sistem hukum positif seolah-olah kepastian hukum itu harus ada lebih dulu, baru kemudian keadilan dan kemamfaatan. Gustav Radbruch kemudian meralat teori ketiga tujuan hukum sederajat. Perubahan pandangan itu dipengruhi kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut jerman dibawah kekuasaan Nazi melegalisasi parktik- praktik yang tidak berprikemanusiaan selama masa perang Dunia ke-2 dengan jalan membuat hukum yang mengesahkan praktik- praktik kekejaman perang pada masa itu. Radbruch pun akhirnya meralat teorinya diatas dengan menempatkan tujuan keadilan diatas tujuan hukum yang lain, secara berururan keadilan menempati posisi yang pertama, dan selanjutnya aspek jaminan kepastian dan kemamfaatan. Meskipun demikian tujuan hukum milik Gustav dianggap sebagai satu kesatuan yang saling menopang dengan yang lain. Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila di penuhi dua prinsip yaitu pertama tidak merugikan seseorang dan kedua perlakuan kepada tiap- tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini terpenuhi barulah dikatakan adil. Kedua prinsip ibarat dua sisi keping mata uang yang sama tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang erat. Sebaliknya jika kedua prinsip tersebut dimaknai terpisah akan menimbulkan perbedaan prinsipil. Keadilan harus menjamin tidak adanya kerugian salah satu pihak dan juga memastikan setiap orang memperoleh sesuai dengan haknya. Pandangan Aristoteles mengenai keadilan dalam Rhetorica yaitu ius cuique tribuere. Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap- tiap orang memperoleh bagian yang sama (apeldorn: 2008: 11). Namun keadilan memberikan sesorang sesuai dengan hak dan sejauhmana melaksanakan kewajibannya. Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan masyarakat. Hukum menunjukkan pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita- cita hidup bersama yaitu keadilan. Plato merancang suatu tatanan dimana hanya kepentingan umum yang diutamakan, yaitu partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan.
4
Lebih tepatnya ia mencanangkan suatu negara dimana keadilan dicapai secara sempurna (wiko, 2009: 11). Teori tujuan hukum milik Gustav Radbruch sayangnya seringkali berbeda dengan fakta yang terjadi dengan penegakan hukum. Keadilan misalnya saja belum tentu akan memberikan nilai mamfaat bagi masyarakat, begitu juga dengan kepastian hukum belum tentu dapat menjamin nilai- nilai keadilan. IV.ANALISIS
Dalam setiap perkara pidana, adanya putusan bebas selalu menjadi atensi yang kontroversial, apabila putusan itu public issue(perhatian publik) karena setiap perkara yang mendekati urgensi masyarakat akan selalu di temui political atmosphere ( nuasa politik) yang justru menyelimuti perkara itu sendiri secara hukum (adji& adji, 2007: 113). Pandangan itu setidaknya tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung No.85 K/ Pid.Sus/2012 karena melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Putusan Pengadilan Negeri Blangkejeren No.18/ Pid.Sus/ 2011/PN.BKJ tertanggal 20 Juni 2011 yang menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa adalah tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi, sehingga hak terdakwa dalam kemampuan dan harkat serta martabatnya dipulihkan. Putusan terseebut diputus dalam rapat musyawarah putusan hakim tertanggal 20 Juni 2011. Lalu Kejaksaan Negeri Blangkejeren melakukan Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung, adapun Putusan Mahkamah Agung adalah menyatakan permohonan Kasasi Jaksa/ Penuntut Umum tidak dapat diterima . sehingga Putusan Mahkamah Agung No: 85 K/ Pid. Sus/2012 mengejutkan Masyarakat Luas lantaran menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Balngkejeren dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum. Kronologis kejadian perkara adalah bahwa terdakwa Hidayat Bin H. Abu Mukmin dalam kedudukan Kuasa Direktur CV. Listrik Karya sesuai dengan Surat Kuasa Direktur Nomor: 102 yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Notaris Sarlinawati, SH Notaris di kutacane tanggal 31 Oktober 2009 yang mempunyai tugas dan kewenangan sebagai Kuasa Direktur CV. Listrik Karya pada waktu dan tempat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaah raga kabupaten Gayo Lues, akan tetapi menyalahgunakan kesempatan ataau sarana yang diberikan kepadanya yaitu terdakwa
5
dengan sengaja tanpa kewenangan atau sarana yang diberikan kepadaanya yaitu bertindak seolaah-olah telah mendapatkan surat kuas Direktur CV. Listrik Karya pada hal terdakwa belum mendapatkannya, dan pada tanggal 05 Oktober 2009 meminta saksi Metti yang merupakan pemilik Toko Asia Computer yang terletak di Medan untuk memberikan surat dukungan buat CV. Karya Listrik mengikuti lelang/ tender kegiatan Note book sedangkan terdakwa belum mendapatkan Kuasa Direktur dari CV Karya Listrik dan juga terdakwa tahu bahwa Toko Asia Computer bukanlah Agen/ Distributor akan tetapi tetap terdakwa melampirkan di dalam salah satu berkas penawaran CV. Listrik Karya. Selain itu terdakwa juga selaku pihak kedua (penyedia barang dan jasa) dalam kontrak Nomor: 642/ 855.3/Otsus- Dikpora/ 2009 tanggal 10 November 2009 antara saksi Drs. Syamsul Bahri selaku pengguna barang/ jasa (pihak pertama) dan terdakwa hidayat Bin H. Abu Mukmin sebagai penyedia barang/ jasa dengan nilai Kontrak sebesar Rp 2.115.000.000, (dua milyar seratus lima belas juta rupiah) untuk pengadaan note book sebanyak 150 (seratus lima puluh unit) yang spesifikasi note book tertera dalam dokumen kontrak yang tidak dapat terpisahkan telah melakukan perbuatan menyalahgunakan sarana/ kesempatan yang diberikan kepadanya untuk kepentingan diri terdakwa berupa membeli barang note book tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi atau tanpa adanya adendum tentang perubahan spesifikasi barang tersebut yaitu tipe prosesor note book yang dibeli terdakwa adalah T6600 seharga 1 (satu) unit
sebesar Rp
9.500.000, (sembilan juta lima ratus ribu rupiah) sedangkan menurut kontrak adalah T6570 dengan penawaran harga sebesar Rp 14.100.000, (empat belas juta seratus ribu rupiah) sehingga negara dirugikan sebesar Rp 478.500.000, (empat ratus tujuh delapan juta lima ratus ribu rupiah ) dan berdasarkan hasil audit kerugian Negara Nomor: SR-717/ PW.01/5/2010 tanggal 30 Desember 2010 oleh tim Auditor BPKP perwakilan Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam
menyatakan Hasil Audit investigasi bahwa kerugian Negara terhadap kegiatan Notebook pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaah raga kabupaten Gayo Lues tahun 2009 sebesar Rp 478.500.000, (empat ratus tujuh puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah ). Pertimbangan Hakim Agung dalam Permohonan Kasasi Jaksa/ Penuntut Umum adalah bahwa Jaksa/ Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa Pembebasan terhadap Terdakwa adalah Pembebasan yang tidak Murni dan di samping itu juga tidak menemukan Putusan Pengadilan Negeri Blangkejeren telah melampaui wewenang, maka oleh karena itu secara hukum Hakim Agung menolak permohonan Kasasi Jaksa/ Penuntut Umum dengan alasan 6
berdasarkan Pasal 244 Undang- undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum acara Pidana (KUHAP). Pandangan Penulis Aspek Kemamfaatan Putusan Mahkamah Agung No. 85 K/ Pid.Sus/2012 nilai kemamfaatannya jauh dari harapan, sebab kemaamfaatan Putusan diatas hanya pihak yang berpekara saja, sementara kemamfaatan kepada masyarakat tidak ada terlihat. Justru Putusan ini menimbulkan gejolak masyarakat yang tidak puas dengan Putusan Majelis Hakim. Menyadur pandangaan Fence, dalam ruang lingkup yang kecil, kemamfaatan hukum sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama tindakan preventif agar tidak terjadi perbuatan yang sama dikemudian hari. Putusan Hakim seharusnya memberikan efek jera agar perkara serupa tidak terjadi lagi dimasa mendatang tidak terwujud karena terpidana dinyatakan lepas dari jeratan hukum sama sekali. Pada akhirnya hukum yang seharusnya mendorong kemamfaatan dengan mengembalikan tatanan kehidupan masyarakat pada kondisi yang ideal justru mendorong terciptanyaa kondisi sebaliknya. Putusan Hakim yang baik dapat dipastikan mengandung tiga tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemamfaatan, sebaliknya putusan yang kurang baik hanya akan cenderung mengedepankan satu tujuan hukum saja tanpa bandingkan tujuan hukum yang lain.
V.KESIMPULAN Tulisan ini diharapkan akan mampu menjawab rumusan masalah diatas yang mempertanyakan unsur tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 85 K/ Pid.Sus/ 2012 Penulis berkesimpulan bahwa putusan tersebut jauh dari nilai keadilan dan kemamfaatan, namun memberikan kepastian hukum terhadap terdakwa dan keluarganya. Kontradiksi diatas menunjukkan putusan ini juga jauh dari dimensi aksiologis, kemamfaatan terhadap sebuah nilai yang lahir dalam keputusan hukum. Putusan ini tidak mendorong kemamfaatan nilai dalam rangka peningkatan kualitas manusia dalam mewujudkan keadilan sebaliknya cenderung Normatif sehingga memberikan kepastian hukum semata. Putusan Hakim seharusnya menimbulkan efek jera agar perkara serupa tidak terjadi dimasa mendatang. Harapan itu terjadi karena putusan dapat menjadi alasan pembenar perkara serupa dimasa mendatang sehingga menjadi Yurisprudensi dalam kasus- kasus yang lain. 7
Hakim memiliki kewajiban dalam memutus perkara dengan mengedepankan asas kemamfaatan. Namun itu tidak terlihat dalam putusan tersebut diatas yang memutuskan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum sehingga dirasakan jauh dari nilai kemamfaatan dan keadilan.
8
DAFTAR PUSTAKA
Adji, oemar Seno & Indriyanto Seno Adji, April 2007, Peradilan bebas Contempt of cour, cetakan 1, Jakarta: Diadit Media Apeldoorn, L.J. Van. 2008. Pengantar Ilmu Hukum, cetakan ketiga puluh dua, jakarta: pradnya paramita. Asikin, 2011. Rekonstruksi Teori Pemerataan Keadilan, Varia Peradilan, Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia. Muqoddas, Busyro, 2006. Kata pengantar ketua Komisi Yudisial, Bunga rampai Refleksi satu tahun komisi Yudisial. Jakarta : Komisi yudisial Republik Indonesia. Wiko, garuda 2009, pembangunan sistem hukum berkeadilan, buku memahami hukum dari konstruksi sampai Implementasi, Jakarta: PT. Raja Graafindo persada.
9