PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)
Hijau Daun - Suara (Ku Berharap).mp3
Disusun Oleh:
JUNAEDIH
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
OLEH: JUNAEDIH NIM:102045225164
Di Bawah Bimbingan
Dr. Rumadi, M.Ag. NIP :150 283 352
Muharrom, M.Ag NIP : 150 250 003
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)” Telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 November 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam pada Jurusan Mu’amalat Jakarta, 27 November 2008 Mengesahkan Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua
: Drs. Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394
(………………...)
Sekretaris
: Dra Sri Hidayati, M.Ag NIP. 150 282 403
(………………...)
Pembimbing I : Dr. Rumadi, M.Ag NIP. 150 283 352
(………………...)
Pembimbing II : Muharrom, M.Ag NIP.150 250 003
(……………..…)
Penguji I
: Drs. Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394
(………………...)
Penguji II
: Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, MA NIP.150 234 469
(………………...)
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad sang pembawa risalah kebenaran dan suri tauladan bagi manusia. Penulisan skripsi ini tidaklah dapat diselesaikan oleh penulis sendiri, tanpa adanya perhatian, bantuan dan pengorbanan baik doa maupun wujud kongkrit yang penulis terima dari orang-orang yang selalu ada di dalam hati dan fikiran penulis. Didasari hal tersebut, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat : 1. Prof. Dr. H.Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati,M.Ag. Sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada penulis. 3. Dr. Rumadi, M.Ag dan Muharrom, M.Ag selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran-saran sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT.
4. Teristimewa buat Ayahanda dan Ibunda serta seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala doa dan kesabarannya atas jerih payah dan pengorbanan yang tak terhingga serta senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga anaknda dapat menyelesaikan pengkajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan melainkan hanya sebuah kejayaan. 5. Kepada teman-teman seperjuangan di jurusan Sillaza Syar’iyyah angkatan 2002 terimaksih atas ide, dukungan, kehangatan dan kebersamaannya selama penulis belajar di UIN Jakarta 6. Terakhir kepada semua teman-teman yang telah memberikan batuan moril maupun materiil kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga teman-teman mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis,
Jakarta, 22 Desember 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ iv DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah......................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................................... 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................... 4 D. Tinjauan Pustaka..................................................................................... 5 E. Metode Penelitian ................................................................................... 8 F. Sistematika Penulisan............................................................................. 11
BAB II PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA........................... 14 A. Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia.............................. 14 1. Paradigma Integralistik...................................................................... 15 2. Paradigma Simbiotik......................................................................... 17 3. Paradigma Sekularistik...................................................................... 20 B. Sejarah Pergumulan Agama dan Negara di Indonesia............................. 22
BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL 30 A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid ..................................................... 30 B. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid .................................... 34 1. Tradisi Pesantren ............................................................................... 34 2. Perkenalan Abdurrahman Wahid dengan dunia modern ................... 39 3. Karya-karya dan pembagian pemikiran Abdurrahman Wahid ......... 45 C. Abdurrahman Wahid dan Perkembangan NU ......................................... 50
BAB IV ABDURRAHMAN WAHID DAN MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA ......................................................................... 59 A. Posisi Ideologis Abdurrahman Wahid ..................................................... 59 B. Hukum Islam Sebagai Komplemen Pembangunan ................................. 65 C. Pribumisasi Islam Sebagi Model ............................................................ 75 D. Relevansi
Pemikiran
Abdurrahman
Wahid
Terhadap
Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara......................................................................... 83
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 98 A. Kesimpulan ............................................................................................. 98 B. Saran-saran ............................................................................................ 100 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 101
DAFTAR TABEL
1.
Tabel 1.1
Jumlah tulisan Abdurrahman Wahid sejak awal tahun 1970-an hingga akhir tahun 1990-an dengan berbagai Bentuknya
45
2.
Tabel 1.2
Tema Pokok Pemikiran Abdurrahman Wahid
45
3.
Tabel. 1.3
Periodesasi Tulisan dan Kecenderungan Wacana
46
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bagi setiap muslim syari’ah lebih dari sekedar hukum agama, ia adalah hukum Allah dan dengan demikian secara esensial tidak dapat diubah. Disamping itu, ia menjangkau setiap segi kehidupan dan setiap bidang hukum. Karena itu dalam teori, ia tidak dapat ditandingi oleh hukum mana pun, bahkan ketetapanketetapannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat. Tetapi bila kita menengok ke dunia Islam—baik yang di pusat maupun pinggiran—kita mendapati perubahan-perubahan besar selama kira-kira satu abad terakhir ini, baik dalam sistem peradilan maupun dalam sistem hukum yang mereka terapkan.1 Dalam konteks Indonesia, hukum Islam telah mengalami proses irelevansi secara berangsur-angsur tapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, dirubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Hukum ketatanegaraan dan internasionalnya hampir-hampir tidak diketahui orang lagi. Tinggal soal-soal ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itu pun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang dan
1
JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994) cet ke 1
bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk agama Islam yang masih taat.2 Dalam praktek walau tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan para pemeluknya. Islam setidaknya turut menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan dan larangan agama. Menurut Abdurrahman Wahid, peranan hukum Islam di Indonesia bersifat statis dan terkesan apologetis. Ia masih berbentuk “pos pertahanan” untuk mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang bersifat sekular. Justru watak statis inilah yang menjadikan hukum Islam hanya berperan negatif dalam kehidupan hukum di negeri kita dewasa ini.3 Dalam hal demikian, masih dapatkah dipertahankan kebenaran claim hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku para muslimin, dan dengan demikian merupakan salah satu faktor yang secara sadar harus dibina untuk menjadi salah satu unsur pembinaan hukum nasional? Persoalann
ya akan semakin rumit dan berkelidan ketika dikaitkan dengan
realitas bangsa Indonesia yang majemuk dan plural. Sehingga penerapan hukum
2
Abdulahi An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta, Lkis, 2004) Cet, 4. Tentang perubahan hukum Islam di Negara-negara Muslim dapat dilihat di JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994) 3
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKIS, 1994), Cet,1, h. 38
Islam di Indonesia tidak sedikit juga mengundang kontroversi karena dituding mengancam stabilitas dan integrasi nasional. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam dalam konteks ke Indonesiaan, tentunya menarik untuk dijadikan kajian utama. Hal ini tidak saja karena sosok bernama Abdurrahman Wahid menduduki kelas elit dalam khasanah intelektual di Indonesia. Tetapi juga karena orientasi pemikirannya yang cenderung dianggap sekular,
tetapi pada saat yang bersamaan ia dianggap
sebagai tokoh sepiritual dan figur mistik. Bahkan hebatnya dia adalah seorang kyai yang pernah memimpin ormas keagamaan terbesar di tanah air yakni Nahdlatul Ulama (NU) selama 15 tahun lamannya.. Posisi demikian menjadikan Abdurrahman Wahid dikatakan orang yang hidup dalam dua dunia sekaligus, dunia langit yang penuh dengan nuansa keagamaan dan dunia bumi yang penuh dengan realitas-realitas. Dalam kerangka itulah, penulis tertarik mengkaji pemikiran Abdurrahman Wahid lebih jauh dalam sebuah karya tulis skripsi. Tema tersebut penulis kemas dengan sebuah judul “PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)” B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana model penerapan hukum Islam di Indonesia dalam pandangan Abdurrahman Wahid. Gagasangagasan Abdurrahman Wahid akan memungkinkan untuk dipahami secara cermat, proporsional dan komperhensif bila dikaitkan dengan konteks wacana
keagamaanmya. Oleh karena itu pemahaman tentang diskursus keagamaan Abdurrahman Wahid sangat signifikan. Begitu pentingnya aspek ini, hingga mustahil dapat memahami dan mengkaji secara objektif tentang model penerapan hukum Islam Abdurrahman Wahid tanpa memahami pemahaman keagamaannya. Dengan demikian fokus kajian ini adalah realita-realita secara mendalam dan kritis tetang pemikiran Abdurrahman Wahid dalam kaitannya dengan penerapan hukum Islam. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka penelitian skripsi ini dapat di rumuskan dalam poin-poin berikut ini: a) Bagaimana konstruksi pemikiran kegamaan Abdurrahman Wahid ditelusuri, dilacak dan dibangun? b) Bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam di Indonesia? c) Bagaimana signifikansi pemikiran tersebut dengan konteks kehidupan berbangsa? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Ditulisnya skripsi ini tidak lain diharapkan untuk dapat mencapai tujuantujuan dibawah ini: a) Menjelaskan konstruksi pemikiran kegamaan Abdurrahman Wahid ditelusuri, dilacak dan dibangun? b) Mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam di Indonesia?
c) Mengetahui signifikansi pemikiran tersebut dengan konteks kehidupan berbangsa? Melalui penelitian ini juga diharapkan akan membawa beberapa manfaat, diantaranya: a) Dapat menginventarisir berbagai hal menyangkut pemikiran Abdurrahman Wahid pada umumnya dan khususnya tentang model penerapan hukum Islam yang menjadi bagian penting dalam keseluruhan pemikiran dan aktifitas politiknya. b) Bermanfaat dalam upaya melakukan evaluasi kritis terhadap pemikiran, aktifitas publik dan orientasi spiritual Abdurrahman Wahid dengan menelusuri aspek yang berkaitan dengan pemunculannya dalam konstelasi intelektual di Indonesia. D. Tinjauan Pustaka. Abdurrahman Wahid sebagai intelektual Muslim yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran di berbagai bidang keilmuan, cukup banyak mendapat perhatian berbagai kalangan, apalagi ide-idenya seringkali kontroversial dan berseberangan dengan khalayak pemikir lainnya dan berujung pada polemik. Abdurrahman Wahid adalah sosok yang tergolong cukup produktif dalam menulis. Menurut catatan INCReS (Institute for Cultur and Relegion Studies)— sebuah komunitas anak muda NU Bandung—yang melakukan studi bibliografis atas tulisan-tulisan wahid sejak awal tahun 1970-an hingga akhir 1990-an, terdapat sekitar 494 buah tulisan, baik yang berbentuk buku, tarjamahan, kata
pengantar, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom maupun makalah. Adapun khusus tulisan yang dibukukan, setidaknya terdapat 12 buku. Di antara buku-buku yang relevan terhadap pembahasan tema ini antara lain adalah: Muslim Di Tengah Pergumulan; buku ini merupakan buku kedua Gus Dur setelah Bungai Rampai Pesantren, banyak bercerita tentang sumbangsih agama dalam pembangunan.
4
Prisma Pemikiran Gus Dur; merupakan buku yang memperkenalkan pemikiranpemikiran lama Gus Dur mengenai hubungan agama dan ideologi, negara dan gerakan keagamaan, hak asasi manusia, budaya dan integrasi nasional dan juga masalah pesantren.5 Tuhan Tak Perlu Dibela, 6 Islam Negara dan Demokrasi; bertutur tentang bagaimana masa membangun dan menegakkan masa depan demokrasi di Indonesia.7 Mengurai Hubungan Agama dan Negara; buku ini banyak membahas bagaimana mencari format hubungan agama dan Negara modern.8 Pergulatan Negara Agama dan Kebudayan; seperti buku lainnya pada buku ini gusdur banyak mengoksentrasikan pada aspek kebudayaan, terutama tarik ulur kebudayaan dalam hubungannya dengan negara dan agama.9 Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi; buku ini 4
Abdurrahman Wahid, Muslim Di Tengah Pergumulan, (Jakarta, Leppenas, 1981).
5
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LkiS, 1999).
6
Abdurrahman Wahid, Tuhan Takperlu Di Bela, (Yogyakarta, LkiS, 1999).
7
Abdurrahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, (Jakarta, Erlangga, 1999).
8
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1999).
9
Abdurrahman Wahid, Negara, Agama dan Kebudayaan, (Depok, Desantara, 2001).
merupakan kumpulan beberapa tulisan Gus Dur yang pernah terbit dibeberapa majalah maupun jurnal, banyak berisi tentang masalah Islam dan kaitannya dengan diskursus ideologi, Hak Asasi Manusia, Ekonomi, Sosial Budaya dan juga beberapa masalah tentang terorisme. 10 Sebagai seorang pemikir kontoversial, Abdurrahaman Wahid memiliki pesona tersendiri bagi beberapa kalangan intelektual untuk mendiskusikan gagasan maupun ide-ide liar beliau dalam pembahasan yang komprehensif. Namun demikian, buku-buku yang mengkaji secara khusus pemikiran Abdurrahman Wahid tentang model pemberlakuan hukum Islam boleh dikatakan minim, di tengah banyaknya buku yang membahas Abdurrahman Wahid. Diantara bukubuku yang membahas pemikiran baik yang berhubungan langsung atau tidak dengan Wahid antara lain adalah; buku-buku yang ditulis oleh Ahmad Suedy dan Ulil Absar Abdallah,11 Abdurrahim Ghozali, 12 Listiyono Santoso,13 Arif Afandi,14 Ma’mun Murad,15 Greg Barton16 maupun buku yang ditulis oleh Greg Fealy. 17
10
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta, The Wahid Institut, 2006). 11
Ahmad Suedy dan Ulil Absar Abdallah, Gila Gus Dur; Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta, Lkis, 2001). 12
Abdurrahim Ghozali (ed), Gus Dur dalam Sorotan Cendekiawan Muhamadiyah, (Bandung, Mizan, 1999). 13
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2004).
14
Arif Afandi, Islam Demokrasi Atas Bawah; Polemik Startegi Perjuangan Model Gus Dur dan Amien Rais, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996). 15
Ma’mun Murad, Menyikap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais, (Jakarta, Rajawali Pres, 1999).
Buku yang ditulis oleh Ahmad Suedy maupun Abdurrahim Ghozali merupakan buku yang berisi tentang refleksi pemikiran Wahid yang tersebar dalam beraneka tema. Sementara yang ditulis oleh beberapa penulis selanjutnya lebih mengurai pandangan politik Wahid tentang negara. Kajian tentang model penerapan hukum Islamnya terselip dalam gemerlap pembahasan tema yang lain. Buku Greg Barton yang merupakan biografi paling otoritatif tentang Wahid sangat membantu dalam penulisan tema ini, juga buku yang di editori oleh Greg Fealy dan Barton, membantu dalam melihat potret perkembangan Nahdlatul Ulama—organisasi di mana Wahid dibesarkan dan akhirnya berkiprah dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan darinya. Dengan mencermati buku-buku tersebut, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang model penerapan hukum Islam di Indonesia nampaknya belum dikaji dan ditulis secara khusus dan mendalam, padahal menurut pendapat penulis tema tersebut merupakan tema sentral dalam pemikiran beliau. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan menekankan pada hal tersebut.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
16
Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta, LKiS, 2003). 17
Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta, LKiS, 1997).
Penulisan skripsi ini adalah penelitian dengan kajian kepustakaan atau kajian Library Reseach yaitu dengan mengumpulkan, memilih dan mengkaji secara kritis bahan-bahan bacaan dan referensi yang representatif dan relefan dengan obyek studi ini atau literatur lainnya yang berbentuk dokumentasi.18 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Yakni prosedur penelitian yang mencari fakta lewat interpretasi yang tepat dengan maksud membatasi deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat tentang faktafakta, sifat-sifat serta relasi antar fenomena yang diselidiki.19 3. Sumber Data Sumber data dalam penulisan ini meliputi data primer dan sekunder dan pendukung.
Sumber
primer
disandarkan
pada
beberapa
tulisan-tulisan
Abdurrahman Wahid yang dibukukan dalam beberapa buku seperti Tuhan Tak Perlu Dibela (LkiS;1999), Islam Negara dan Demokrasi (Erlangga;1999), Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo;1999), Membangun Demokrasi, Pribumisasi Islam; Islam Indonesia Menatap Masa Depan (P3M;1989), Prisma Pemikiran Gus Dur (LkiS;1999), Negara Agama dan Kebudayaan (Desantara;2001), dan Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi (The Wahid Institut;2006). Sementara data sekunder disandarkan pada buku-buku maupun terbitan-terbitan lain yang 18
M Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta, Galia Indonesia,1988), h.112 cet ke 2.
19
Ibid., h.63
berkenaan dengan Abdurrahman Wahid yang ditulis oleh orang lain, adapun sumber pendukung merupakan data-data lain yang berkaiatan dengan pembahasan penulisan skripsi ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian kualitatif dilandasi strategi berfikir fenomenologis yang selalu lentur dan terbuka dengan menggunakan analisis induktif. Penelitian kualitatif meletakkan data penelitian sebagai model dasar bagi pemahaman. Karena itu proses pengumpulan datanya merupakan kegiatan yang lebih dinamis. Datadatanya berdiri sebagai realita yang merupkan elemen dasar yang membentuk teori.20 Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumenter, yakni cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan katagorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah dan lainnya. 21 5. Analisis Data Analisis data yang dugunakan adalah dengan pendekatan deskriptif analitis. Bersifat deskriptif karena penelitian ini lebih menekankan kepada pengumpulan informasi mengenai status suatu gejala yang ada yakni kedaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.22 Metode analisis yang digunakan adalah dengan analisis isi (content analysis) yakni penguraian data melalui 20
Imam Suprayogi dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung, Rosda Karya, 2001), h.161. 21
Ibid., h. 95
22
Suharsimi Arkanto, Menejemen Penelitian, (Jakarta, Rieneka Cipta, 1995), h.309.
katagorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat baik menggunakan analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil kesimpulan) maupun metode deduktif (berangkat dari ungkapan umum kemudian disempitkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sempit). Pendekatan pertama bermanfaat untuk menjelaskan pembahasan pada bab-bab awal baik itu bab dua maupun bab tiga. Sementara pendekatan kedua digunakan untuk menguraikan bab ke empat. Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada pedoman yang berlaku di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN sayarif Hidayatullah Jakarta, yakni buku Pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka penulis membagi penulisan pada lima bab, yang masing masing bab membahas pokok persoalan yang berbeda. Adapun rincian masing bab-bab tersebut adalah: BAB I PENDAHULUAN Bagian ini membahas tentang latar belakang penulisan skripsi. Disusul kemudian pembahasan tentang Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan ditutup penjelasan tentang Sistematika Penulisan
BAB II PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA Pada bab ini akan dibahas tentang tiga paradigma hubungan agama dan Negara yang selalu mengiringi pembahasan tentang penerapan sebuah hukum Islam disebuah negara, yakni paradigma integralistik, simbiotik dan sekularistik. Ketiga paradigma tersebut berperan penting dalam menentukan seperti apakah Islam dan hukumnya diejawantahkan. Pembahasan tentang pergumulan agama dan negara di Indonesia tak luput untuk diikutsertakan dalam pembahasan bab ini. BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL Pada ini akan mencoba mendiskripsikan siapa sebenarnya sosok bernama Abdurrahman Wahid, juga untuk menelusuri lebih dalam tentang bagaimana latar belakang pemikiran beliau terbentuk, apa saja yang mempengaruhi pemikiran beliau serta karya-karya dapa saja yang sudah Wahid tulis. Bab ini juga akan menjelaskan tentang tipologi pemikiran Abdurrahman Wahid yang terceraiberai dalam berbagai tulisan, juga untuk memotret perkembangan NU tempat dimana Wahid dibesarkan dan berkiprah. BAB IV ABDURRAHMAN WAHID TENTANG MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM DALAM KONTEKS KEHIDUPAN BERBANGSA Pada bab ini akan dibahas tentang posisi idoelogis Wahid, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang hukum Islam sebagai komplementer pembangunan, pribumisasi Islam sebagai model penerapan hukum Islam serta relevansi pemikiran Wahid terhadap kehidupan berbangsa.
BAB V PENUTUP Pada
bagian
ini
penulis
berupaya
menyimpulkan
dan
menjawab
permasalahan-permasalahan yang dihadirkan pada bab-bab sebelumnya, serta tidak lupa memberikan beberapa saran atas permasalahan-permasalahan tersebut.
BAB II PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA A. Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia. Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan salah satu subjek penting yang meski telah diperdebatkan oleh para pemikir Islam sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini, tetap belum terpecahkan secara tuntas. Diskusi tentang hal ini bahkan belakangan makin hangat, melanda hampir seluruh dunia Islam. Pengalaman masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia, khususnya sejak usai perang dunia II menegaskan terdapat hubungan yang canggung antara Islam (din) dan negara (dawlah) atau bahkan politik pada umumnya. Berbagai eksperimen dilakukan untuk menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim; dan eksperimeneksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam. 23 Keragaman bentuk dan pengalaman politik “negara-negara Islam” dewasa ini bersumber dari perkembangan pemikiran dan perbedaan pendapat di kalangan
23
Selama periode pasca kemerdekaan hingga sekarang terdapat tiga pola umum sistem kenegaraan di dunia Islam, yakni Sekular, Islam dan Muslim. Model Sekular diadopsi oleh Turki, sementara model Islam diadopsi oleh Arab Saudi, Iran, maupun Pakistan hal ini paling tidak dinilai dari dijadikannya Islam sebagai agama resmi negara. Sementara negara-negara lainnya seperti Mesir, Syria, Yordania, Malaysia dan juga Indonesia—dengan mayoritas muslimnya—tidak sedikit memasukkan warna Islam dalam kehidupan berbangsa meski masih kita jumpai sistem politik, hukum dan lainnya masih berhutang pada Barat. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, (Jakarta, Paramadina,1999), h.20 Lihat juga Jhon L Esposito (ed), Dinamika Kebangunan Islam, Watak Proses dan Tantangan, (Jakarta, Rajawali Pres, 1987), h.7
para pemikir politik muslim tentang hubungan antara din dan dawlah dalam masa modern.24 Menurut Munawir Sjadzali, secara umum pemikiran politik Islam dewasa ini terbagi dalam tiga kelompok besar yakni paradigma holistik, sekularistik dan simbiotik-mutualistik. Hal senada juga diungkapkan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi dengan bahasa yang sedikit berbeda yakni: intergalistik, sekularistik dan simbiotik.25 1. Paradigma Integralistik. Paradigma pertama adalah paradigma integralistik yang memahami Islam sebagai
agama holistik. Paradigma ini berpendirian bahwa Islam bukanlah
semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara.26
24
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik…h.1
25
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta, UI Pres, 1993), h.2. Hal senada diungkapkan juga oleh Marzuki Wahid dan Rumadi dalam Fiqih Madzhab Negara; Politik Hukum Islam Masa Orde Baru, (Yogyakarta, LKiS, 2000), h.23. Sementara itu Din Syamsyudin dengan rumusan yang tidak jauh berbeda mengungkapkan tiga paradigma, yakni: paradigma integratif, simbiotis dan Instrumental. Din Syamsyuddin, Islam dan Politik; Masa Orde Baru, (Jakarta, Logos, 2000). Sementara itu bagi sebagian kalangan, pembagian itu terkesan apologetis dan menunjukan stagnannya kajian politik Islam yang berkaitan dengan hal tersebut. Menurut Bahtiar, kajian politik Islam memang sulit beranjak pada tuntutan atau artikulasi yang baru. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan disiplin ilmu filsafat politik Barat, Pemikiran Politik Islam mengalami situasi stagnan, decasy, disartikuklatif bahkan mati. Bahtiar Effendy, Disartikulasi Pemikiran Politik Islam? Kata pengantar dalam buku Olivier Roy, Gagalnya Politik Islam, (Jakarta, Serambi, 1996), h.vi Penggunaan istilah dalam tulisan ini merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi. 26
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara...., h.1
Paradigma
integralistik ini kemudian melahirkan paham negara-agama,
dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam Din wa Dawlah (Islam agama dan (sekaligus) negara).27 Paradigma ini beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan.28 Paradigma sebagaimana di ungkap di atas, mempunyai beberapa implikasi. Satu sisi pandangan tersebut telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang “literal” yang hanya mementingkan dimensi “luar”nya. Dan kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi “kontekstual” dan “dalam” dari prinsip-prinsip Islam.29 Di sisi yang lain, pandangan ini juga akan melahirkan sebuah model negara yang otoriter dan sewenang-wenang, karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung di balik agama. 30 Bahkan beberapa pemikir Islam seperti Ibnu Taimiyah, menegaskan bahwa seorang pemimpin 27
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 25
28
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h.12 29
Ibid., h. 9
30
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 25
muslim yang zalim sekalipun tidak berhak untuk dibrontak. Ini menegaskan betapa kuatnya posisi negara yang bersembunyi di balik slogan-slogan agama. Absolutisme agama sebagai sistem dunia—sebagaimana disinggung di atas— dimana agama dan simbol-simbolnya melekat pada kekuasaan politis dan memegang monopoli interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan oleh individu untuk keselamatannya di dunia dan di akhirat. Agama itu politis dan politis itu relegius, maka tak satupun gerak gerik
individu dapat luput dari
kontrol kekuasaan. Jika agama melebur dalam negara, norma-norma hukumnya disakralisasi, dan negara pun menjadi aparatur yang mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan yang dipilih rakyatnya. Kebebasan individu di pasung dan pemakain rasio pun dicurigai sebagai racun bagi iman.31 Akhirnya, atas nama Tuhan, suatu otoritas politis dianggap sah untuk mengawasi fikiran, keinginan, perasaan dan iman individu. Secara amat ganjil, kehawatiran akan keselamatan jiwa-jiwa pun menjelma menjadi teror atas masyarakat, sebab negara merasa berhak meluruskan pikiran dan keyakinan moral-religius warganya. 2. Paradigma Sekularistik Paradigma ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Paradigma ini berpendirian bahwa agama mutlak urusan individu dengan Tuhan. Kehadiran
31
Budi Hardiman, Agama dalam Ruang Publik, Menimbang Kembali Sekularisme, Kompas edisi 5 April 2007, h.42
Muhammad adalah semata-mata sebagai seorang rasul dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Kehadiran Muhammad tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.32 Salah satu pemrakarsa gagasan ini adalah Ali Abdul Ar-Raziq (1887-1966), seorang cendekiawan Mesir. Abd. Ar-Raziq berpendapat bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kehalifahan. Kehalifahan, termasuk kehalifahan al-Khulafa’ ar-Rasyidin, bukanlah suatu sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi.33 Pemikiran jenis kedua ini cenderung menekankan terbentuknya sebuah negara yang sekular, dimana urusan agama dipisahkan dari urusan negara. Namun demikian menurut Yudi Latif, setidaknya terdapat empat karakteristik sekularisasi.34 Pertama, Polity-Separation Secularization, yakni pemisahan jagad politik (polity) dari ideologi dan struktur organisasi keagamaan. Kedua, PolityExpansion Secularization, yakni perluasan otoritas politik untuk menjalankan fungsi pengaturan dalam wilayah sosial-ekonomi yang sebelumnya berada dalam
32
Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta, UII Press,
2006), h.1 33
34
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 29
Yudi latif, Sekularisasi Masyarakat dan Negara Indonesia, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Islam Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta, Paramadina,2005), h.120
yuridiksi
agama.
Ketiga,
Polity-Transvaluation
Secularization,
yakni
demistifikasi budaya politik untuk menekankan sasaran-sasaran temporal nontransedental serta cara-cara yang rasional dan pragmatis, yaitu nilai-nilai politik sekular. Keempat, Polity-Dominance Secularization, yakni dominasi polity atas keyakinan, praktik serta organisasi keagamaan. Paradigma ini juga tidak kurang memiliki implikasi yang oleh Budi Hardiman di sebut sebagai Patologi Sekularisme. Yakni dialektika sekularisasi yang sama sekali menolak dan dengan sengit menyingkirkan iman relegius dan alasan relegius dalam kehidupan bersama secara politis. Agama dianggap irasional, maka tidak berhak bersuara dalam ruang publik. 35 Di sini sekularisme yang ingin membangun ruang publik yang pro-pluralisme malah berbalik menjadi intoleransi terhadap alasan-alasan relegius. Negara liberal sekular ingin mempertahankan netralitas di hadapan berbagai orientasi nilai yang majemuk dalam masyarakat, tetapi ini dilakukan sering dengan ongkos memblokade alasan-alasan relegius sebagai privat dan mengancam kepentingan keseluruhan, dalam konteks eksesif, negara hukum liberal ingin menjadi semacam mesin legal-politis yang bergerak sendiri lepas dari suber-sumber relegius, tetapi ia lupa bahwa warga negara memiliki motivasi mematuhi hukum lewat orientasiorientasi nilai yang antara lain bersumber dari nilai-nilai relegius. 36
35
Budi Hardiman, Agama dalam Ruang Publik…, h. 42
36
Ibid., h. 42
3. Paradigma Simbiotik Paradigma Simbiotik ini tidak sependapat bahwa Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di dalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan yang lengkap pula. Namun paradigma ini , tidak sependapat juga bila Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan kenegaraan. Menurut paradigma ini, Islam merupakan ajaran totalitas tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu, kedatipun dalam Islam tidak terdapat sistem ketata negaraan dalam artian teori lengkap, namun di sana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.37 Salah seorang pemikir yang mendukung paradigma ini adalah Muhammad Musain Haikal. Pemikir Mesir ini—sebagaimana di kutip oleh Munawir Sjadzali—berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Qur’an dan sunah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Ketentuan-ketentuan dasar tentang tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan ekonomi dan budi pekerti dalam wahyu tidak menyentuh secara rinci dasar-dasar bagi kehidupan bernegara, dan tidak secara langsung menyinggung sistem pemerintahan. Kepindahan Muhammad dari Makah ke Madinah sebagi awal kehidupan bernegara, nyatanya juga tidak serta merta merubah sedikitpun sistem pemerintahan yang demikian beraneka ragam di Hijaz, dan juga tidak meletakkan dasar-dasar bagi sistem pemerintahan Islam. Apa yang beliau lakukan adalah 37
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, h.2
mengirim utusan kepada berbagai suku dan kota yang sudah menerima Islam untuk mengajarkan agama dan mengatur pola hidup dengan prinsip-prinsip dasar seperti, keimanan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan. 38 Agama dan negara, dalam paradigma ini, berhubungan secara simbolik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya, negara juga butuh agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. 39 Dengan alur argumentasi semacam ini, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Bagi paradigma ini, yang terpenting adalah bahwa negara—karena posisinya yang bisa menjadi instrumental dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama—menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan teologis atau relegius untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai kedaulatan rakyat, negara bangsa sebagai unit teritorial yang sah, dan prinsipprinsip umum teori politik modern. Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu
38
Ibid., h.185
39
Marzuki Wahid dan Rumadi dalam Fiqih Madzhab Negara…, h.26
mempunyai
potensi
untuk
berperan
sebagai
pendekatan
yang
dapat
menghubungkan Islam dengan sistem politik modern.40 Namun demikian paradigma ini dapat melahirkan tiga bentuk model negara, tergantung dari perbedaan kualitas keterikatan agama dan negara.41 Pertama, meski agama dan negara memiliki keterikatan, namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga akan melahirkan sebuah model negara yang lebih dekat dengan “negara sekular”. Kedua, jika determinasi agama yang lebih tinggi, dimana 75% konstitusi negara diisi oleh hukum agama, maka akan melahirkan model negara yang lebih dekat kepada “negara agama”. Ketiga, jika determinasi keduanya berimbang maka akan melahirkan model negara netral. B. Sejarah Pergumulan Agama dan Negara di Indonesia. Sejarah pemunculan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara disadari telah terjadi berbagai perdebatan panjang tentang negara. Polemik tersebut pada dasarnya bermuara dari bagaimana seharusnya hubungan agama dan negara diletakan dalam konteks ke-Indonesia-an yang akan dan telah terbentuk. Hal semacam ini terus mewarnai dinamika historis perpolitikan Indonesia. Di Indonesia hubungan Islam dan negara sering memancing konflik, bahkan kearah antagonistik. Salah satu butir penting dalam pergolakan tersebut adalah
40
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara…, h.14
41
Marzuki Wahid dan Rumadi dalam Fiqih Madzhab Negara…, h.28
apakah negara Indonesia bercorak Islam atau nasional42 Jika konstruk kenegaraan pertama yang dipilih, maka dengan keholistikannya Islam harus diterima sebagai ideologi negara. Namun bila jatuh pada preferensi kedua, maka sebuah ideologi yang sudah didekonfensionalisasi yakni “Pancasila” harus didukung. 43 Asal-usul polemik tersebut, sebenarnya dapat ditelusuri jauh ke tahun-tahun pertama kemunculan pergerakan nasional, di mana elite politik terlibat dalam perdebatan yang melelahkan mengenai peran Islam di negara Indonesia merdeka. Upaya menemukan hubungan politik yang sesuai antara Islam dan negara terus berlanjut pada periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Karena tidak kunjung ditemukan, maka diskursus ideologis ini pada gilirannya menyebabkan berkembangnya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan negara, terutama sepanjang dua dasawarsa pertama periode Orde Baru. Bahkan polemik tersebut kembali mencuat pada masa-masa reformasi lewat proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung
di sekitar
masalah watak nasionalisme. Seokarno sebagai juru bicara kelompok nasionalis
42
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h.60 43
Dekonfensionalisasi merupakan salah satu pendekatan dalam memahami politik Islam di Indonesia. Teori ini dikembangkan oleh Van Nieuwenhuijze yang mencoba menjelaskan hubungan politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan pembarunan bangsa. Teori ini dipinjam dari kecenderungan akomodasionis kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik di negeri Belanda. Lebih jelas lihat di Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h.24. Dua paradigma ini pada gilirannya melahirkan dua golongan yang tidak henti-hentinya bersitegang, yaitu kelompok Islam dan kelompok nasionalis.
memandang pentingnya sebuah nasionalisme bagi landasan Indonesia merdeka. Pandangan ini ditentang oleh Agus salim dan Ahmad Hasan, yang dianggap sebagai representasi kelompok Islam. Baik Salim maupun Hasan menganggap nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme yang sempit dan Chauvanistik padahal seharusnya nasionalisme Indonesia haruslah berdasar pada Islam. Perdebatan religius-ideologis tersebut semakin panas ketika seorang murid Ahmad Hasan yakni Mohamad Natsir—yang berlatar belakang pendidikan Barat—ikut serta dalam perdebatan tersebut. Polemik Soekarno dan Natsir sebenarnya masih bersifat eksploratif. Ini terlihat bahwa sejak semula keduanya tidak bermaksud untuk merumuskan konsep-konsep yang siap-pakai mengenai hubungan agama dan negara. Namun keduanya juga tidak bermaksud untuk menemukan titik temu diantara mereka. Keduanya hanya ingin menunjukan posisi-posisi ideologis-politis masing-masing. Akibatnya, perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan yang tampaknya tak terjembatani antara kedua kelompok politik yang berseberangan.44
Perdebatan tersebut mereda seiring datangnya penjajahan
Jepang. Perdebatan kembali muncul dalam sebuah badan baru bernama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam berbagai pertemuan di badan tersebut, perseteruan antara kedua kubu kembali berlangsung. Kelompok Islam, yang saat itu dipelopori oleh Ki Bagus 44
Ibid., h. 81
Hadikusumo,
Abdul
Kahar
Muzakkir,
Abikusno
dan
Wahid
Hasyim
berpandangan bahwa karena posisi Islam di Indonesia begitu mengakar, maka negara harus di dasarkan kepada Islam. Di pihak lain berdiri kelompok nasionalis, yang dipelopori oleh Soekarno, Hatta dan Soepomo yang membela pandangan bahwa untuk mempertahankan kesatuan bangsa, maka watak negara harus didekonfessionalisasi.45 Ketegangan terus berlanjut, sehingga untuk mencairkan suasana maka dibentuklah sebuah tim kecil yang berfungsi untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara kelompok Islam dan nasionalis. Panitia kecil tersebut terdiri dari; Soekarno, Hatta, Soebarjo, M Yamin, Abikusno, Kahar Muzzakir, Agus Salim, Wahid Hasyim dan A.A Maramis. Panitia kecil ini, lewat perdebatan yang cukup alot, akhirnya menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan pancasila sebagai dasar negara dan penambahan bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Bahtiar, bagaimanapun kompromi tersebut pada dasarnya dibangun di atas landasan yang tidak kokoh dan menandai kekalahan pertama kelompok Islam dalam upaya merealisasikan gagasan mereka untuk mengaitkan hubungan 45
Perdebatan dalam badan tersebut masuk kedalam pembahasan-pembahasan yang lebih detail baik berkaiatan ideologi dan konstitusi negara. Apakah presiden harus seorang muslim atau tidak, apakah negara harus memiliki apparatus dan badan yang relefan untuk menerapkan hukum Islam, dan termasuk mengenai pembahasan akan kemungkinan hari Jum’at dijadikan sebagai hari libur. Ibid., h. 85
antara Islam dan negara secara legalistik formalistik.46 Ini terbukti, satu hari setelah kemerdekaan Piagam Jakarta kembali dipersoalankan. Sebuah kondisi yang memaksa para elit kelompok Islam untuk mengalah dengan menghapus ketentuan menjalankan syariat bagi umat Islam demi mempertahankan dan menjaga kemerdekaan yang baru saja diperoleh. Kekalahan tersebut, seperti tampak beberapa tahun kemudian, hanya bisa diterima untuk sementara, hingga Majelis Konstituante hasil pemilihan umum terbentuk mulai bekerja menyusun undang-undang baru. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu tahun 1955, telah menempatkan kekuatan politik Islam (Mayumi, NU, PSII dan Perti) berada di atas angin dengan mengantongi 43,5% suara atau 114 dari 254 kursi di parlemen. Meski ini bukan suara mayoritas untuk menggolkan pemberlakuan Piagam Jakarta, namun suara tersebut cukup signifikan dalam upaya tawar menawar politik nantinya. Dalam sidang majelis konstituante, perdebatan-perdebatan religius-ideologis kembali menyeruak dan berlangsung dengan sengit dan panas. Meski bukan tanpa kesulitan, majelis akhirnya dapat menyelesiakan beberapa tugasnya. Selama dua setengah tahun keberadaannya, majelis berhasil menyelesaikan 90% tugastugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara dan bentuk pemerintahan. Sayangnya perdebatan tentang dasar negara tidak berlangsung selancar perdebatan tentang 46
Ibid., h. 92
masalah-masalah lain di atas. Bahkan perdebatan tentang hal tersebut amat besar andilnya dalam membawa majelis konstituante ke jalan buntu. Kondisi yang kemudian dimanfaatkan sangat baik oleh Soekarno untuk mengeluarkan dekrit yang membekukan mejalis dan memberlakukan kembali UUD 1945. Dekrit Soekarno tersebut menandai kekalahan kedua kelompok Islam dan membawa ke arah peminggiran kekuatan Islam politik di pentas nasional secara simultan. Harapan kelompok Islam sempat merekah ketika orde lama tumbang dan digantikan oleh orde baru di bawah kepemimpinan jendral Soeharto. Namun harapan tersebut segera pupus, ketika orde baru dengan sedemikian rupa ternyata menolak malakukan rehabilitasi terhadap Mayumi dan tokoh-tokohnya. Lewat ideologi pembangunan, orde baru juga Memperlakukan kekuatan Islam seperti kucing kurap, dicurigai dan di pinggirkan dari pentas politik.47 Bagi orde baru, agama (Islam) dikawatirkan dapat menjadi ancaman dan sumber konflik yang dapat menggangu stabilitas kehidupan politik, sebagaimana yang diperlihatkan pada masa orde lama.48 Dengan
program
trilogi
pembangunan,
beberapa
kebijakan
yang
meminggirkan kekuatan Islam dijalankan. Di antaranya adalah, fusi beberapa partai Islam (NU, Perti, PSII dan Parmusi) kedalam satu partai politik yaitu PPP pada tahun 1973 yang kemudian diperkuat dengan UU No.3 tahun 1975. Usaha 47
Pembahasan tentang proses peminggiran Islam politik dari pentas politik nasional dapat dibaca lebih jauh dalam karya M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999). 48
Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi Umat Islam Periode 1967-1987, (Jakarta, Rajawali Pers, 1989), h.89, Cet ke 1
ini
dipandang sebagai upaya untuk memecah belah kekuatan politik Islam,
karena fusi artifisial tidak akan membawa persatuan. Sejarah telah mencatat, bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari konflik.49 Usaha ini juga dipandang sebagai penggiringan umat Islam menjauh dari pentas politik dan mencoba mendesain agama untuk ditempatkan pada peranan pengontrol moral etis, yang menjadi bagian dari peran aktif umat beragama dalam pembangunan.50 Secara umum hubungan agama dan negara pada masa orde baru oleh M.Syafi’i Anwar digambarkan dalam tiga periode, yaitu hegemonik, resipokal dan akomodatif.51 Pertama, pola hubungan hegemonik (sejak awal kelahirannya hingga 1970an). Periode ini ditandai oleh kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik dikalangan masyarakat, sehingga lahir kebijakankebijakan sebagaimana disinggung di atas (fusi partai Islam maupun pemberlakuan asas tunggal pancasila). Kedua, periode
resipokal (tahun 1980-an), yakni suatu hubungan yang
mengarah pada tumbuhnya saling pengertian, timbal balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Negara dalam periode ini mulai menyadari bahwa Islam merupakana denominasi politik yang tak dapat dikesampingkan, juga disadari
49
50
51
Din Syamsyuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta, Logos, 2001), h.42, Cet ke 1 Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi…h. 93
M Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentnag Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta, Paramadina, 1995), h. ix-x, Cet ke 1.
bahwa upaya memarginalisasi peran Islam dalam kebijakan pembangunan merupakan tindakan kontra produktif. Ketiga, periode akomodatif (akhir dekade 1890-an). Periode ini ditandai dengan semakin responsifnya birokrasi orde baru terhadap Islam, yang antara lain ditandai dengan lahirnya sejumlah kebijakan yang mengakomodir aspirasi umat Islam.
Disahkannya
Undang-Undang
Pendidikan
diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama dan
Nasional
(UUPN),
Lahirnya Kompilasi
Hukum Islam (KHI), diubahnya kebijakan tentang jilbab serta penghapusan SDSB, merupakan bukti kongkrit dari hubungan akomodatif agama dan negara pada akhir masa kekuasaan Soeharto.
BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid Abdurrahman ad-Dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari. Demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya.52 Sosok yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia ini, lahir di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940.53 Ia adalah putra dari mantan menteri Agama RI pertama, K.H Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kiai besar di Jawa. Kakek dari Ayahnya adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari seorang ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah memangku jabatan sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU).
52
Aris Saefullah, Gus Dur vs Amien Rais; Dakwah Kultural-Struktural, (Yogyakarta, Laelathinkers, 2003), h.65 53
Menurut catatan Barton, bahwa sebenarnya tanggal lahir Abdurrahman Wahid adalah tanggal 4 Sya’ban atau bertepatan dengan tanggal 7 September 1940 bukan tanggal 4 Agustus. Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta, LKis, 2003), h.25
Sementara itu, kakek dari pihak ibu, adalah K.H Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais Am Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh cikal bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), di samping K.H.A.Wahab Hasbullah.54 Dalam banyak aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah dipersiapkan sebagai “putra mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul Ulama, sebagai pewaris cita-cita ayah dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan ayahnya, K.H Wahid Hasyim terhadap putranya ini tergambar jelas dari nama yang diberikan kepadanya; Abdurrahman ad-Dakhil. Secara leksikal ad-Dakhil berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil K.H Wahid Hasyim dari seorang perintis dinasti Bani Umayah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol berabad silam.55 Sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah diberi pengetahuan dan pendalaman agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Diambang usianya yang masih sangat muda (12 Tahun),56 perasaan tanggung jawab ini 54
Ibid., h. 27. Untuk mengetahui silsilah keluarga Abdurrahman Wahid dapat di lihat di buku Beyond The Symbols; Jejak Antropologis, Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung, Rosdakarya dan INCReS, 2000), h. 29 55
A. Gafar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama, Politisasi Islam Indonesia, (Yogyakarta, LKiS, 1998), h.95 56
Angka ini diambil dari pengakuan Abdurrahman Wahid dalam Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas Reformasi Kultural, (Yogyakarta, LKiS, 1998), h.152. Hal ini berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Barton, yang menyebut usia Wahid saat itu adalah 13 tahun. Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta, LKiS, 1997), h.163
secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya dalam sebuah kecelakaan mobil. Upaya pengenalan terhadap dunia luar atau sejumlah kelompok sosial sudah diterapkan oleh kedua orang tuanya, baik sebelum maupun sesudah kematian ayahnya. Secara periodik, Abdurrahman Wahid kecil dititipkan dalam asuhan seorang warga Jerman, teman baik ayahnya yang telah memeluk agama Islam. Pada waktu itulah, ia pertama kali diperkenalkan dengan musik klasik Eropa yang kemudian menjadi kegemarannya.57 Setamat Sekolah Dasar di Jakarta pada tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan lulus pada tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada K.H Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis K.H Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majlis Tarjih Muhamadiyah.58 Pendidikan keagamaan Abdurrahman Wahid selanjutnya diasah di beberapa Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama terkemuka, antara lain di Pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajar kurang dari separo waktu santri pada umumnya (1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allima Bahrul Ulum, Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa
57
Ibid., h. 46
58
Ibid., h.164
Timur, kepada K.H Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di Pesantren Krapyak, dan tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul Ulama terkemuka K.H Ali Ma’shum.59 Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.60 Abdurrahman Wahid juga dikenal sebagai seorang “pemberontak”,61 ketidakpuasannya dengan sistem pendidikan di Universiatas Al-Azhar Kairo, ia salurkan dengan melakukan kegiatan lain yang lebih mencerahkan. Berbagai kajian ia ikuti, dan waktunya banyak dihabiskan untuk membaca di perpustakaan nasional Mesir Dar al-Kutub, serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan Prancis. Ia juga mengadakan kontak dengan Syaikh dan cendekiawan terkemuka Mesir, seperti Zaki Nuqaib Mahmoud, Sohier al-Qalamawi dan Syauqi Deif. 62 Selepas dari Kairo ia sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak sampai dengan tahun 1970, saat ia dipanggil pulang ke Jombang dan memulai
59
Ibid., h.164
60
Dalam pendidikannya di luar negeri tersebut, tidak jelas apakah Abdurrahman Wahid selesai dan mempunyai gelar atau tidak. Ada yang mengungkapkan bahwa Abdurrahman Wahid lulus dan memperoleh gelar L.C. dari Universitas Baghdad, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia tidak sampai lulus dalam pendidikannya. Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta, Rajawali Pres, 1999), h.67 61
Pembrontakan Wahid terhadap institusi Al-Azhar dimulai ketika, perguruan tersebut memasukkan ia dalam kelas pemula. Sebuah kelas kusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arab. Padahal studinya di Jombang pada tahun 1960-an telah membuatnya mendapat sertifikat yang menunjukan bahwa ia telah lulus studi yurisprudensi Islam, Teologi, dan pokok-pokok pelajaran terkait yang kesemuannya memerlukan pengetahuan bahasa Arab yang tinggi. Pembrotakan terus berlanjut seiring dengan tidak cocoknya Wahid dengan pendekatan pendidikan yang digunakan universitas tersebut yang lebih menekankan pada penghafalan. Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 84 62
A. Gafar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama…, h.96
kehidupan barunya sebagai seorang putra kyai, yaitu dengan mengajar di pesantren Tebuireng yang didirikan oleh kakeknya sendiri. 63 B. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid 1. Tradisi Pesantren Munculnya Abdurrahman Wahid menjadi presiden ke-4 membuat posisi pesantren naik daun dan kembali diperbincangkan dalam relasinya dengan kekuasaan dan negara. Hal ini mudah dipahami, karena Aburrahman Wahid merupakan produk pesantren. Sebagaimana yang telah kita ketahui pada bab sebelumnya, sebagian waktu Abdurrahman Wahid dihabiskan dibeberapa peantren Nahdalatul Ulama terkemuka. Pandangan Abdurrahman Wahid tidak bisa dilepaskan dari pandangan dunia pesantren. Dalam seluruh pengembaraan intelektual yang dialami sejak dari pesantren di Tegalrejo hingga kuliah di Baghdad, ia tetap tidak bisa meninggalkan rumah tempat ia tumbuh sejak kecil, yaitu pesantren. Tulisan pertama Abdurrahman Wahid sendiri adalah tentang pesantren sebagai sub kultur, yang merupakan penjelasan sangat canggih bagi nalar pesantren. Pesantren sebagai basisi utama kekuatan Nahdalatul Ulama (selanjutnya di tulis NU)—dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan bagi kalangan NU— sesungguhnya memainkan peran penting, karena dari sinilah bengkel intelektual warga NU diasah. Dari lembaga ini pulalah lahir pemimpin-pemimpin
63
Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan..., h.67
masyarakat, baik itu tingkat lokal maupun nasional.64 Dunia pesantren tidak pernah bisa dipisahkan dari tiga hal penting, yakni kyai, pedesaan dan kitab kuning. Tiga hal tersebut akan mewarnai dinamika pesantren nantinya. Kyai dalam hal ini memegang peran sentral karena berada di pusat aktifitas pesantren, namun demikian para kyai sering dikenal sebagai kelompok yang berpandangan konservatif dan tradisional sehingga dikenal sebagai kelompok tradisional. Disebut tradisonal dan konservatif karena masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran ulama ahli fiqh (hukum Islam), hadis, tasawuf, tafsir dan tauhid, yang hidup antara abad ketujuh hingga abad ketiga belas. 65 Pandangan tradisional dan konservatif para kyai, karenanya tidak menghasilakan sistem statis, tetapi justru melahirkan sistem di mana terjadi perubahan-perubahan, kendati dengan cara yang amat sulit diamati. Hal tersebut terkait dengan kehidupan kelompok tradisional. Menyangkut persoalan ajaran, dalam pengertian memperbaharui pemahaman keagamaan yang mengarah pada pelepasan diri dari pengaruh mistik, tarekat, taqlid berlebihan, dan pada gilirannya nanti memberikan perspektif pemahaman keagamaan baru, yaris tidak ada. Dengan demikian keterikatan pada para ulama fiqih abad pertengahan tidak berubah. 66
64
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta, Erlangga, 1992), Cet 1, h. 42 65 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta, LP3ES, 1982), Cet 1, h.1 66
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, (Bandung, Mizan, 1986), Cet 1, h. 50
Ciri lain dari pesantren, meski tidak sepenuhnya mutlak, adalah bahwa pesantren tumbuh dan berkembang di pedesaan. Ciri demikian bukan sematamata karena antara pesantren dan pedesaan sama-sama bercap komunitas tradisional. Konteks kesejarahannya memang memungkinkan berkembangnya pesantren di pedesaan.67 Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki kaitan erat dengan masyarakat sekitar pedesaan, yang pada kenyataannya telah berfungsi sebagai akar yang memperkuat keberlangsungan pesantren. Sebagai kelompok tradisonal yang mayoritas tinggal di pedesaan, pada mulanya mereka adalah kelompok ekslusif; dalam taraf-taraf tertentu mengabaikan persoalan duniawi— hidup dalam semangat asketisme, sebagai akibat keterlibatan mereka dalam kehidupan sufisme dan tarekat; bertahan tidak saja terhadap pengaruh modernisasi, tapi juga terhadap pengaruh santri kota; serta cenderung mempertahankan apa yang telah dimiliki, di mana kesemuanya itu mereka pusatkan dalam dunia pesantren.68 Adapun secara ideologis, di mana hal itu kemudian mempengaruhi seluruh tingkah laku keagamaan, politik dan kemasyarakatan mereka, adalah keterikatan mereka pada paham Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang dipahami secara khusus. Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah sendiri dalam pengertian yang lebih rinci, sebagaimana dikutip dari K.H Bisri Mustofa, seorang ulama asal rembang, adalah sebagai faham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut: Pertama, 67
Kacung Marijan, Quo Vadis NU..., h.41
68
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam..., h.51
dalam bidang-bidang hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat madzhab. Dalam praktik para kyai merupakan penganut kuat madzhab Syafi’i. Kedua dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran imam Abu Hasan AlAsy’ari dan imam Abu Mansyur al-Maturidi. Ketiga, dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar imam Abu Qosim al-Junaidi.69 Keterikatan mereka pada paham ini menjadi semakin ketat, dan seakan pada gilirannya berfungsi sebagai ideologi tandingan terhadap perkembangan pemikiran kelompok modernis yang berusaha melakukan penyegaran pemikiran Islam dan menganjurkan umat Islam untuk tidak terbelenggu dengan ajaran-ajaran empat madzhab fiqih. Satu hal penting dicatat adalah, bahwa ideologi Ahl alSunnah Wal al-Jama’ah yang mengenal relativisme internal Islam, berperan penting dalam menyiapkan sikap-sikap yang lebih toleran di banding kelompokkelompok Islam
lainnya, menjadi dasar logika munculnya suatu pandangan
kemasyarakatan yang tidak bercorak “hitam putih”.70 Transformasi keilmuan pesantren kemudian dibakukan dalam kitab kuning, yang berperan sebagai penyambung tradisi keilmuan lama yang telah beratusratus tahun, yang mengandung ajaran tauhid, fiqih, akhlaq. Kandungan isi kitab
69
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang…, h.149 lihat juga Abdurrahman Wahid, NU dan Islam Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h. 154 70
Yang dimaksud dengan relatifisme internal Islam adalah meski suatu kelompok sudah menganut faham atau aliran madzhab tertentu, namun mereka memiliki fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan hukum-hukum agama dengan kondisi sosial yang sedang dihadapi. Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang…, h.157.
kuning, karenanya bersifat pengulangan dari disiplin ilmu-ilmu keagamaan yang telah lama mapan dan tidak berkembang lagi. Disosialisasikannya kitab kuning di pesantren-pesantren, menurut Fachry Ali, bukan tidak mengandung maksudmaksud ideologis tertentu.71 Ia berperan penting dalam melahirkan ulama-ulama yang setia dan paham pada ideologi tradisionalis juga berperan penting dalam mengontrol perkembangan pemikiran keagamaan kelompok yang disebut tradisionalis tersebut. Meski tiap hari bergelut dengan kitab-kitab fiqh, dengan ajaran-ajaran tertulis, dalam kenyataannya, para kyai dan santri di pesantren kurang suka diidentikkan dengan skriptualisme. Kalau mereka terbentur semacam dilema, maka mereka biasanya dengan segala cara berusaha mencari alasan untuk lolos dari cengkraman teks. Inilah yang dalam tradisi pesantren disebut dengan hillah, atau siasat untuk lolos dari teks. Yang penting dari hillah ini bukanlah erudisi atau kedalaman dan kecanggihan sebuah argumen, tetapi kebutuhan praktis untuk memecahkan masalah. Pragmatisme keagamaan inilah yang mencirikan pandangan hidup seorang santri Jawa. Dalam beberapa hal, tampak juga instink semacam ini pada diri Abdurrahman Wahid. Oleh sebab itu, segi pragmatisme dalam cara berfikir dan tindak Abdurrahman Wahid ini ditengarai berasal dari tradisi pesantren yang lama ia geluti.72
71
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam..., h. 62 Ulil Absar Abdallah, Pada Mulanya Gus Dur Seorang Santri. Dalam Mustafa Ismail (ed). Melawan Melalui Melucon, kumpulan kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO (Pusat Data dan Analisa TEMPO, Jakarta, 2000), h.xxv 72
Selanjutnya K.H Cholil Bisri berpendapat bahwa inti pemikiran Abdurrahman Wahid adalah berangkat dari keinginan untuk menunjukan kepada khalayak ramai bahwa ajaran Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang dipertahankan oleh kalangan kyai pesantren, dengan kitab-kitab klasik sebagai obyek kajiannya masih sangat relevan untuk dicerdasi sebagai pijakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, Abdurrahman Wahid mencoba mengadaptasikan gagasan modern dengan sikap, tindakan dan kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi riil negari ini. Sehingga terkesan Abdurrahman Wahid telah meloncat jauh ke depan, sementara warga NU berlari terpontangpanting. Hanya sebagian kecil saja yang bisa memahami jalan penalaran yang pada dasarnya timbul dari obsesi ingin membumikan syari’ah Islam ahl sunah wal jama’ah. Karena menurutnya, ahlussunah wal jama’ah adalah keislaman yang manusiawi atau humanistik.73 2. Pertemuan Abdurrahman Wahid dengan Dunia Modern. Sejak kecil Abdurrahman Wahid dididik dan dibesarkan dalam keluarga pesantern, di bawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU dan pelopor Pesantren Tebuireng Jawa Timur. Sementara ayahnya, K.H Wahid Hasyim, adalah menteri Agama RI pada tahun 1950.
73
M Cholil Bisri, pengantar dalam Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung, Rosda Karya, 1999), h.viii-ix
Ketika menapak usia yang tergolong anak-anak, “Abdurrahman Wahid adDakhil” yang kerap dipanggil Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, ia tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Abdurrahman Wahid tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama
kakeknya. Disaat serumah dengan
kakeknya itulah, Abdurrahman Wahid kecil mulai mengenal politik dari orangorang yang setiap hari hilir mudik di rumah kakeknya. Tahun 1950, Abdurrahman Wahid dan saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Saat itu ayah Abdurrahman Wahid dilantik menjadi Menteri Agama, sehingga mereka harus bermukim di Jakarta. Karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian kalinnya, Abdurrahman Wahid kecil bisa akrab dengan dunia politik yang didengar dari rekan-rekan ayahnya yang sering berkunjung di rumahnya. Lagi pula, Abdurrahman Wahid sendiri adalah bocah yang tergolong amat peka mengamati dunia sekelilingnya. Tak heran, menurut pengakuan ibunya, sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca, adapun gurunya waktu itu adalah ayahnya sendiri. Abdurrahman Wahid kecil aktif menjadi anggota perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, segala jenis majalah, buku dan surat kabar, habis dilahapnya. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat hingga fiksi sastra tak sedikit pun ia lewatkan. Saat Abdurrahman Wahid masuk SMEP Gowangan sambil mondok di Pesantren Krapyak, kegandrungannya terhadap buku, kian menjadi-jadi. Kala itu, ia bahkan sudah dibantu dengan kemampuannya dalam menguasai bahasa Inggris
yang dipelajarinya lewat radio voice of America dan BBC London. Tak heran, kalau pada usia 15 tahun, bocah ini sudah melahap Das Kapital-nya Karl Mark, Filsafat Plato, Thales, novel-novel William Booher dan buku-buku lain yang di pinjamkan gurunya di SMEP Yogyakarta. Abdurrahman Wahid
berasal dan tersosialisasikan dalam pemikiran
tradisionalis.74 Akan tetapi di masa remajanya, ia pernah magang di rumah tokoh Muhamadiyah Yogyakarta selama beberapa tahun. Sosialisasinya dengan alam pemikiran modernis,75 terutama berasal dari kedudukan ayahnya sebagai tokoh politik nasional. Ketokohan ayahnya, memungkinkan Abdurrahman Wahid untuk melakukan komunikasi intelektual secara lebih luas, dibandingkan dengan pendukung pemikiran tradisionalis lainnya. Lewat kepustakaan yang dimiliki sang ayah, ia berkenalan dengan ide-ide lain. Agaknya, wawasan pandangannya semakin luas ketika ia menempuh pendidikan, baik di universitas Al-Azhar maupun Universitas Baghdad. Pergumulannya dengan dunia intelektual di luar batas-batas tradisionalisme, menyebabkan ia lebih memahami baik alam pemikiran modernis maupun alam pikiran tradisionalis sekaligus, lengkap dengan 74
Tradisi : Kebiasaan turun menurun atau menurut tradisi. Lihat : Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya, Arkola, 1994), h. 756. Dalam konteks bahasan, penulis mempersonifikasikan kata “tradisional” kepada Abdurrahman Wahid dengan makna yang kuat atau dekat kepada adat kebiasaan Kyai pesantren Jawa yang mendasari pendidikan pada lingkup pesantren, dengan kajian kitab-kitab kuning dan jauh dari metode pembaharuan pendidikan. 75
Modern : Cara baru, kreasi baru, pembaharuan corak model kehidupan. Lihat : Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya, Arkola, 1994), h. 477. Dalam konteks bahasan, penulis mempersonifikasikan kata “modern” kepada Abdurrahman Wahid dengan makna yang melekat pada gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dengan membuka jalan sumber daru dalam keilmuan. Jadi rujukan dan metode lain selain kitab kuning dan metode pesantren salafi yang didapat Abdurrahman Wahid, penulis anggap sebagai salah satu unsur modernisasi yang di dapat beliau.
kelemahan dan kelebihannya. Pengalaman dan komunikasi intelektual semacam inilah yang menyebabkan ia berusaha muncul dengan pola pemikiran neomodernis.76 Pada saat berada di Jombang, Abdurrahman Wahid sering terlibat konflik pemikiran dengan pamannya sendiri, K.H Yusuf Hasyim. Sebagai anak muda yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah dan telah mempelajari sebagian ilmu-ilmu Barat, Abdurrahman Wahid menunjukkan sikap kritisnya terhadap pemikiran dan perilaku politik K.H Yusuf Hasyim. Ini menunjukan bahwa Abdurrahman Wahid mulai menunjukan pemberontakan dan sikap radikalnya di dalam keluarga darah biru NU itu, dan tak segan-segan ia berhadapan dengan figur yang sebenarnya pewaris NU sendiri. 77 76
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung, Mizan, 1989), h.176-177. Penggolongan Wahid sebagai bagian dari kelompok neo-modernis, bukan tanpa perdebatan. Beberapa orang dalam tubuh NU, seperti Ahmad Baso maupun Rumadi menolak penggolongan ini. Bagi mereka Wahid masuk dalam kelompok neo-tradisonalis bukan neo-modernis. Menurut Rumadi neo-modernis Islam yang lahir dari tradisi modern Islam bukanlah tradisi pemikiran yang dilalui Wahid. Titik tolak pemikiran Wahid bukan dengan mengagungkan modernisme, tapi mengkritik modernisme yang diuniversalkan dengan menggunakan pisau tradisional. Ia sependapat dengan apa yang di sebut oleh Esposito dan Voll, bahwa Wahid adalah seorang pembaru modern tapi bukan modernis. Hal tersebut menggambarkan afiliasi kultural dan asal usul sosial Wahid, tapi juga menggambarkan corak dan tradisi pemikirannya. Penolakan penggolongan Wahid dalam kelompok noe-modernis dan cenderung pada kelompok neo-tradisionalis, didasarri oleh dua hal. Pertama, dari segi genealogi pemikiran dan pemahaman keagamaan, kalangan NU selalu menekankan pada kontiunitas tradisi, mereka juga mempunyai resistensi yang kuat terhadap gerakan modern karena dianggap mengancam tradisi. Kalau toh pun muncul pemikiran liberal dalam pemikiran mereka, hal tersebut merupakan upaya untuk mentransmisikan tradisinya dengan pemikiran yang lebih progresif, sehingga menjadi pemikiran yang berakar kuat pada tradisi dan mempunyai jangkauan yang luas. Kedua, dari segi topik dan pemilihan wacana, dimana kaum tradisonal mengalami kegelisahan terhadap fenomena gerakan simbolisme dan formalisme Islam, sementara kelompok modernis justru mengusung isu formalisme Islam yang dinilai tidak produktif dengan gerakan Islam. Rumadi, Post Tradisionalime Islam; Wacana Intelektualisme Dalam Komunitas NU, Disertasi Doktoral di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h.181-182 77
Laode Ida dan A Thantawi Jauhari, Gus Dur Di Antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta, Rajawali Press, 1999), h. 69
Sikap Abdurrahman Wahid ini sempat ditangkap oleh aktivis LSM di Jakarta, utamanya yang tergabung di LP3ES. Salah satu yang tanggap terhadap fenomena Abdurrahman Wahid pada saat itu adalah Dawam Rahardjo. Oleh karena itu, beliau kemudian berusaha menghadirkan Abdurrahman Wahid di Jakarta dan menjadikannya sebagai salah satu fungsionaris di LP3ES dan bergaul luas dengan para aktivis LSM, baik di Jakarta maupun di luar negeri. Perpindahan Abdurrahman Wahid ke Jakarta pada akhir 1977 merupakan awal fase baru yang membuatnya lebih dikenal, sebab ia semakin produktif. Sebagai konsekwensi kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia LSM sejak akhir 1970-an, ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda dan terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas sosial. Sejak saat itu juga, ia banyak mengadakan kontak secara teratur dengan kaum intelektual muda progresif dan pembaharu seperti Nurcholis Majid dan Johan Effendy, melalui forum akademik maupun lingkaran kelompok studi.78 Dunia di luar tradisi pesantren yang dia masuki antara lain sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1982-1985. Menjadi dewan juri Festival Film Nasional di tahun 1970-an dan 1980-an, padahal saat itu dunia film masih dianggap tabu di NU. Bergaul akrab dengan para pendeta, bahkan terlibat pada aktifitas semacam pelatihan bulanan kependetaan protestan, hadir dalam sidang
78
Ibid., h. 69
PGI maupun membuka lomba lagu-lagu gerejani. 79 Dalam aktivitasnya yang demikian, ia banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan ulama NU sendiri. Namun Wahid tetap berjalan dengan kiprah dan kegiatannya, ia beranggapan bahwa semua itu bukan saja merupakan konsekwensi logis kehidupan kemasyarakatan dan keindonesiaan kita, lebih dari itu merupakan salah satu perwujudan nilai-nilai Islamis. Dengan kata lain, yang ingin diyakinkan oleh Wahid adalah nilai-nilai Islam jauh melampaui batas-batas dunia simbolis yang berlabelkan Islam sebagaimana dipahami oleh sebagian kalangan.80 Wahid termasuk orang yang tidak sedikit bersitegang dengan berbagai kalangan, baik itu negara maupun kalangan Islam sendiri. Lewat Forum Demokrasi (Fordem) yang dibentuk pada tahun 1991 bersama 45 tokoh-tokoh intektual lainnya, melakukan perlawanan terbuka terhadap ICMI yang dibekengi oleh negara. Menurutnya pembentukan ICMI merupakan sebuah contoh eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok ekslusif yang sempit, di atas kepentingan nasional. Dengan mengedepankan kepentingan Islam, ICMI menurut Wahid telah mengembangkan visi Indonesia
79
Zainal Arifin Toha dan M.Aman Mustofa, Membangun Budaya Kerakyatan; Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, ( Yogyakarta, Titian Ilahi Pres, 1997), Cet 1, h.10 80
Laode Ida dan A Thantawi Jauhari. Gus Dur Di Antara…, h. 69
yang tidak demokratis. Lewat Fordem ia bersuara lantang menentang dan memerangi intoleransi keagamaan dan kesukuan.81 3. Karya-karya dan Pembagian pemikiran Abdurrahman Wahid. Berbeda dengan ulama-ulama tradisional lainnya yang lebih senang mengungkapkan ide-ide dan pemikiran melalui lisan atau ceramah-ceramah, Abdurrahman Wahid selain mengungkapkan pikirannya melalui media ceramah juga menggiatkan dengan media tulisan. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, dan sebagai seorang pemikir, Abdurrahman
wahid telah banyak melahirkan
tulisan yang berserakan di berbagai media massa, diskusi maupun pelatihanpelatihan, Hasil studi bibliografis yang dilakukan oleh INCReS (Institute for Culture and Relegion Studies), sebuah komunitas kaum muda NU di Bandung, terhadap tulisan Abdurrahman Wahid sampai dengan medio Agustus 2000, ditemukan sekitar 494 buah tulisan karyanya, yang dibuat sejak awal 1970-an hingga akhir 1990-an. Baik yang berbentuk buku, terjemahan, kata pengantar, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom maupun makalah. Hasil studi bibliografis tersebut memuat suatu klasifikasi jumlah tulisan dari Wahid, sebagai berikut:82
81
Douglas E. Ramage, Demokratisasi, Toleransi, Agama dan Pancasila; Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalime Radikal; Persinggungan NU-Negara, (Yogyakarta, LkiS, 1997), Cet 1, h.210 82
INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung, Rosdakarya, 2000), h. 35
Tabel 1.1 Jumlah tulisan Abdurrahman Wahid sejak awal tahun 1970-an hingga akhir tahun 1990-an dengan berbagai Bentuknya No 1 2 3 4 5 6 7 8
Bentuk Tulisan Buku Buku Terjemahan Kata Pengantar Buku Epilog Buku Antologi Buku Artikel
Jumlah 12 1 20 1 41 263
Kolom Makalah
105 50
Jumlah
493
Keterangan Terdapat pengulangan tulisan Bersama Hasyim Wahid Di berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media massa Di berbagai majalah Sebagian besar tidak dipublikasikan
Lebih lanjut dalam studi bibliografi tersebut, dipaparkan sebuah sekema tentang tema pokok pemikiran Wahid:83 Tabel 1.2 Tema Pokok Pemikiran Abdurrahman Wahid No 1
2 3 4 5 6 83
Tema pokok Jumlah Tulisan Keterangan Pandangan dunia 70 Termasuk tema pesantren vs pesantren modernisasi dan pengembangan masyarakat Pribumisasi Islam 43 Termasuk tema pembaruan Islam Keharusan Demokrasi 140 Termasuk tema civil society dan pemberdayaan ekonomi Finalitas Negara bangsa 73 Termasuk tema hubungan NU, Pancasila Negara dan agama Pluralisme agama 31 Termasuk tema Islam toleran dan inklusif Humaniterianisme 72 Termasuk tema HAM, gender Ibid., h. 38
7
universal Antropologi kiai
24
dan lingkungan hidup Sebagian besar berbentuk kolom
Sementara itu periodesasi tulisan dan kecenderungan wacana Pemikiran Abdurrahman Wahid terangkum dalam tabel berikut:84 Tabel. 1.3 Periodesasi Tulisan dan Kecenderungan Wacana No 1
Periode 70-an
Jumlah tulisan 37 buah
2
80-an
189 buah
3
90-an
253 buah
Wacana Tradisi pesantren, Modernisasi Pesantren, NU, HAM, Reinterpretasi ajaran, Pembangunan, Demokrasi. Dunia pesantren, NU, Ideologi Negara, Pembangunan, Militerisme Pembaharuan ajaran Islam, Demokrasi, Kepemimpinan umat, Pembangunan, HAM, Kebangsaan, Gender, Toleransi agama, Universalisme Islam, NU, Globalisasi.
Kalau diperhatikan secara mendasar, maka dapat dikatakan bahwa gagasan besar Abdurrahman Wahid tidaklah beranjak pada gagasan arus utama yang menjadi titik tolak. Hampir dapat dikatakan bahwa keragaman tulisan Wahid tetap menunjukan pola yang sama, yaitu tetap komitmen pada problem keagamaan, kemanusiaan, keIndonesia-an dan domokratisasi. Kalau belakangan ia kerap menunujukan sisi politiknya, itu hanya menjadi bagian panjang dari komitmen besarnya menciptakan tatanan Indonesia yang demokratis. 85
84
Ibid., h. 40
85
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2004), h. 134, Cet ke-1
Menurut Greg Barton, tulisan-tulisan Wahid yang muncul pada dasawarsa 1970-an dibagi dalam dua periode.86 Periode pertama meliputi tahun 1970 hingga akhir tahun 1977, dimana Wahid memfokuskan tulisannya pada kehidupan pesantren. Kecintaannya yang mendalam terhadap tradisi pesantren, tempat dimana ia di besarkan dan dididik, membuat Wahid berupaya mengenalkan tradisi kepesantrenan dan situasi yang melingkupinya terhadap orang luar. Tulisan tersebut kemudian dibukukan dalam Bunga Ranpai Pesantren; Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid. Periode kedua, dimulai ketika ia pindah ke Jakarta sekitar akhir 1977. Kepindahan tersebut membuat ia merasakan adanya situasi baru yang berdialektika dalam kehidupannya. Periode kedua ini dimulai dari bulan Januari 1978 sampai 1981, dan buku Muslim di Tengah Pergumulan adalah hasil tulisannya. Pada periode ini Wahid menampilkan diri sebagai intelektual publik, yang tidak hanya melulu membahas dunia pesantren, melainkan sudah meluas kepada persoalan-persoalan social politik modern. Setelah itu Wahid mulai rajin mengeluarkan berbagai gagasannya melalui tulisan-tulisan cerdasnya ke berbagai media massa dan majalah, utamanya Prisma dan Majalah Tempo. Masih menurut Barton, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Suedy dan Ulil Absar Abdallah, bahwa pemikiran Wahid dapat dipetakan kedalam lima elemen
86
Greg Barton, Liberalisme; Dasar-dasar Progresifitas Pemikiran Abdurrahman Wahid dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal…h. 167
kunci.87 Pertama, pemikiran progresif dan bervisi ke depan. Kedua, respon terhadap modernitas; respon dengan penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis terhadap kegagalan-kegagalan masyarakat Barat modern. Wahid secara umum bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal paska pencerahan, walaupun dia juga berpendapat bahwa hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga, bahwa posisi sekularistik teistik yang ditegaskan dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi non sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Keempat, Wahid mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka, toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dengan masyarakat. Kelima, pemikiran Wahid mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam tradisionalis, elemen modernisme Islam dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran Islam tanpa harus menyalahkan yang lain. Pada dekade 1999 hingga saat ini, utamanya pasca Wahid terpilih menjadi presiden Republik Indonesia ke IV, beberapa buku kumpulan tulisannya bermunculan. Buku-buku tersebut dalam banyak hal ditulis pada paro 1980-1990,
87
Ahmed Suedy dan Ulil Absar Abdallah (ed), Gila Gus Dur; Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta, LkiS, 2000), Cet 1, h. 89-90
yang lebih menitik beratkan pada isu-isu tentang wacana ke-Islaman, keIndonesian, kebudayaan, demokrasi dan sebagainya. Wacana-wacana yang merupakan isu besar pada pergulatan pemikiran intelektualitas modern di Indonesia. Buku-buku tersebut tidak hanya diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta, tetapi juga diterbitkan oleh penerbit lain yang berkeinginan menyebarkan gagasan-gagasan besar Abdurrahman Wahid. Beberapa karya Wahid yang di bukukan antara lain adalah: Kyai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS, 1997), Tabayun Gus Dur (LKiS, 1998), Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 1999), Membangun Demokrasi (Rosda Karya, 1999), Islam, Negara dan Demokrasi; Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (Milinium Baru, 1999), Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS,1999), Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999), Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, 1999), Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Desantara, 2001), Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (LKiS, 2002), dan yang mutakhir adalah sebuah buku yang berjudul Islam Ku Islam Anda dan Islam Kita, (The Wahid Institute, 2006), dan Islam Kosmopolitan (The Wahid Institute, 2007). C. Abdurrahman Wahid dan Nahdaltul Ulama. Membicarakan Wahid sepertinya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang Nahdalatul Ulama (selanjutnya ditulis NU). Wahid dan NU seperti sisi koin mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain—meminjam bahasa
sang paman (K.H.Yusuf Hasyim)— NU is Gus Dur, Gus Dur is NU.88 Oleh sebab itu, untuk mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh Wahid, akan lebih objektif kalau kita kaji dahulu nilai-nilai dan norma-norma apa saja yang berkembang dan dikembangkan di dalam Jam’iyyah NU yang disinyalir melandasi pemikiran dan tindakan Wahid, serta perananya dalam organisasi tersebut. Untuk memahami NU sebagai organisai keagamaan secara tepat belumlah cukup hanya dengan melihat dari sudut formal semenjak ia lahir, berikut pertumbuhan maupun perkembangannya hingga dewasa ini. Sebab sejauh NU lahir dalam bentuk organisasi, ia telah lebih dulu berwujud jama’ah yang terikat kuat oleh aktifitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik tersendiri. Lahirnya NU tidak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah ada. Dengan kata lain, wujud NU sebagai organisai keagamaan itu hanyalah sekedar penegasan formal dari mekanisme informal para ulama yang sepaham yang sudah berjalan sebelum lahirnya NU.89 Sejak kemunculannya, NU selalu menunjukan sikap fleksibel menanggapi perkembangan politik, dan puncak dari fleksibelnya itu adalah menerima pancasila menjadi asas organisasi. Sesuai dengan sinyalemen Zamaksyari bahwa sikap NU telah sering salah dimengerti karena dinilai sangat terikat kepada ajaran
h .4
88
Zainal Arifin Toha dan M.Aman Mustofa, Membangun Budaya Kerakyatan…, h. 10
89
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdalatul Ulama, (Solo, Jatayu, 1985),
sufisme, sehingga ia menekankan kehidupan akhirat saja dan mengabaikan kehidupan duniawi.90 Seolah-olah karena menekankan kehidupan akhirat ia tidak tegar dan kritis menaggapi perkembangan politik. NU sering digolongkan sebagai kelompok tradisionalis dan NU menegaskan demikian, namun hal itu tidak membenarkan penilaian bahwa NU adalah golongan konservatif, kolot dan tidak mampu menghadapi perkembangan zaman, seolah-olah hanya Islam modern saja yang memenuhi harapan yang mampu menghadapi suatu perkembangan.91 Apabila kita kembalikan lembaran sejarah, segera terpampang bahwa NU adalah sebuah organisasi Islam yang telah banyak merasakan garam pergolakan sejarah dan badai perubahan zaman, namun selalu mampu berdiri tegak. Walau kadang ia terhuyung tetapi ia mampu meneruskan perjalanannya. Maka tepatlah apa yang digambarkan oleh Zamaksyari tentang NU: “perkumpulan NU, seperti yang kita kenal sekarang ini, adalah pewaris dan penerus tradisi kyai. NU telah mampu mengembangkan suatu organisasi yang stabilitasnya sangat mengagumkan, walaupun ia sering menghadapi tantangan dari luar yang cukup berat. Modal utamanya adalah para kyai memiliki perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi dan selalu menghomati tradisi”.92 Menurut Einar M Sitompul, paling tidak ada dua faktor utama yang menyebabkan para ulama bangkit dan menghimpun kekuatan dengan mendirikan organisasi NU pada tahun 1926.
90
Ibid., h. 2
91
Einar Martahan, NU dan Pancasila, (Jakarta, Sinar Harapan, 1989), h. 30
92
Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang..., h.159-160
Pertama, kemunculan NU secara langsung atau tidak, berkaitan erat dengan politik penjajahan Belanda terhadap Islam. Pada mulanya Belanda tidak merasa perlu bentrok langsung dengan Islam, tetapi munculnya banyak pembrontakan selama abad XIX yang disana-sini diperkuat oleh motif keagamaan yang mendorong Belanda untuk berupaya membendung gerakan-gerakan Islam. Maka Belanda membuat pembatasan ketat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji ke Makah, sebab dalam pandangan Belanda, keberanian umat Islam menentang Belanda didorong oleh kerajaan-kerajaan Islam di luar negeri. Pembatasan
dilakukan
Belanda
menyebabkan
masyarakat
di
desa-desa
memperkuat diri di bawah bimbingan para ulama atau para kyai. Kedua, kemunculan NU sering dikatakan sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang berhembus dari Timur Tengah yang hanya menekankan wibawa Al-Qur’an dan Hadits saja untuk memberlakukan dan menilai Islam. Di Indonesia gerakan pembaharuan muncul dalam dua wadah yaitu Serikat Islam dan Muhamadiyah. Yang pertama adalah awal gerakan modern Islam dalam bidang politik dan yang kedua dalam bidang pendidikan dan sosial. 93 Namun hal itu bukan berarti para ulama pendiri NU tidak mengenal gerakan pembaharuan. Ketika kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dengan Timut Tengah terbuka—tercatat tiga orang tokoh yang kemudian dikenal sebagai pendiri NU; Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bisri Samsuri pernah belajar di
93
Hary J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1980), h. 37-38
Mekah. Para ulama bangkit
membela perikehidupan keagamaan yang
berlandaskan tradisi (sunah). 94 Kesetiaan pada tradsi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah, yang berarti penganut tradisi nabi Muhammad sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Hal ini menegaskan bahwa NU lebih mengutamakan tradisi dari pada pertimbangan rasional, dalam arti bahwa apa yang telah ditradisikan sejak zaman Nabi perlu diikuti dengan tidak perlu merasionalisasikannya. 95 Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah sendiri dalam pengertian yang lebih rinci adalah faham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut: Pertama, dalam bidang-bidang hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat madzhab. Dalam praktik para kyai merupakan penganut kuat madzhab Syafi’i. Kedua dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran imam Abu Hasan AlAsy’ari dan imam Abu Mansyur al-Maturidi. Ketiga dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar imam Abu Qosim al-Junaidi.96 Sikap-sikap normatif yang dimiliki NU itu juga mempengaruhi perspektifnya dalam melihat kehidupan politik kenegaraan.97 Baginya kewajiban hidup
94
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta, LP3ES, 1989).
95
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan…h.135
96
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang…h.149 lihat juga Abdurrahman Wahid, NU dan Islam Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h. 154 97
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru..., h.56
bermasyarakat dan bernegara merupakan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar. Menaati pemerintah, dengan begitu juga merupakan suatu kewajiban, sepanjang pemerintah tidak menganjurkan kepada kekufuran. Segala bentuk oposisi, apalagi mengarah kepada pembrontakan, dengan demikian tidak dimiliki NU. Tidak mengherankan apabila dalam menghadapi dualisme kepemimpinan Indonesia pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, antara presiden Soekarno dan SM Kartosuwiryo (DI/TII), NU mendukung presiden Soekarno dan memandang DI/TII sebagai pemberontak. Presiden Soekarno dianggap sebagai presiden yang sah, diberi gelar Waliy al-amri al-dharuri bi al-syaukah. Sementara itu bukan tanpa dasar, tetapi dipertimbangkan dan diputuskan berdasarkan fiqh Ahl alSunnah Wal al-Jama’ah.98 Jika kita melihat sejarah politik Islam, latar belakang pandangan politik Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah NU tersebut, dapat ditarik jauh dalam konstelasi pertarungan politik pada masa selepas wafatnya Rasulullah, yang kemudian melahirkan paham itu sendiri. Paham Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah termasuk paham yang relatif demokratis, berwatak terbuka (inklusif), moderat (tawasuth,
98
Zuhairi Misrawi, Meneguhkan Komitmen KeberIslaman Bervisi Kebangsaan dan Kerakyatan dalam Zuhairi Misrawi (ed), Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta, Kompas dan P3M, 2004), h.1
I’tidal), tasamuh dan tawazun.99 Ini tercermin dari sikap Sunni dalam menyikapi beberapa persoalan sosial politik yang berkembang saat itu. Pandangan kaum Sunni mengenai politik ini diantaranya bisa dilihat dari pemahaman tentang berdirinya negara, khilafah atau imamah. Kaum Sunni berpandangan bahwa berdirinya khilafah atau imamah merupakan sutu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). 100 Berdirinya negara tidak lain dan tidak bukan untuk mengayomi umat, melayani dan menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musyarokah). Keharusan ini bagi kaum Sunni hanya terbatas kewajiban yang bersifat fluktuatif (fardhu kifayah), dan untuk menghindari terjadinya kekosongan atau kevakuman kekuasaan. Karenannya di kalangan Sunni ada suatu ungkapan yang mengatakan “kepemimpinan sekalipun dzhalim, masih lebih baik dari pada negara tanpa kepemimpinan”. 101 Dalam soal bentuk negara, kaum Sunni juga tidak mempunyai patokan yang baku. Hal itu tergantung negara bersangkutan, apakah mau mengunakan model
99
Tawasuth dan I’tidal yakni sikap tengah yang berintikan tentang prinsip-prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan luruh ditengah-tengah kehidupan bersama. Tasamuh yakni sikap toleran terhadap perbedaan-perbedan pandangan baik soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ serta dalam soal kemasyarakatan dan kebudayaan. Sementara Tawazun adalah sikap seimbang dalam berkhidmad kepada Allah, kepada manusia dan lingkungan hidupnya; menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa depan. PBNU, Kembali ke Khittah 1926, (Bandung, Risalah, 1985), h.119 100
Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthoniah wa al-Wilayat al-Diniyah, (Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1978), h.5 101
Sayuti Pulungan, Fiqih Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta, Rajawali Pers, 1995), h.195-201.
demokrasi, teokrasi maupun monarki.
102
Hal yang terpenting bagi Sunni adalah
terpenuhinya kriteria yang mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah (syura), ditegakkannya keadilan (al-adl), adanya jaminan kebebasan (al-hurriah), dan adanya kesamaan derajat (al-musawah). Dalam konteks ini semua warga negara harus mendapat perlakuan yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap suatu suku atau golongan atau sekelompok masyarakat tertentu tidak dibenarkan oleh kalangan Sunni.103 Pandangan-pandangan Sunni yang terbilang cukup moderat ini sangat tampak dalam pemikiran dan gerakan politik Abdurrahman Wahid. Baginya, hal itu bukanlah sesuatu yang asing mengingat ia lahir dan dibesarkan di lingkungan yang sarat dengat kultur Sunni, yakni NU. Abdurrahman Wahid adalah seorang pemimpin yang telah menunjukan kelasnya, ia mengatasi berbagai persoalan di tubuh NU (selama tiga tahun kepemimpinannya) dengan kepemimpinan dan ketegaran yang luar biasa. Tegar atas oposisi yang tidak kecil dari elit NU yang lain, maupun menghadapi tekanantekanan yang dilakukan oleh negara. Seorang tokoh senior NU, K.H. As’ad Syamsul Arifin dari Asembagus, Situbondo melakukan gerak pemisahan atas kepemimpinannya. Juga kritik-kritik yang sangat tajam datang dari paman beliau
102
Ma’mun Murod,, Menyikap Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Amien Rais Tentang Negara, (Jakarta, Rajagrafindo, 1999), h.155 103
Said Aqiel Siradj, Ahlusunnah Wal Jama’ah Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta, LKPSM-NU, 1997), h.74-79
sendiri, K.H.Yusuf Hasyim. Belum lagi, sikap kiai-kiai yang berafiliasi ke Idham Kholid—ketua PBNU sebelumnya—yang dikenal sebagai kelompok Cipete. Dibanding Muhamadiyah, dilihat dari aspek sumber dana maupun sumber daya masyarakatnya, NU jauh tertinggal di belakang Muhamadiyah Namun di bawah kepeimpinan Wahid yang relatif singkat, ia berhasil mengubah citra NU yang tadinya tradisional, konservatif dan ekslusif, menjadi modernis, liberal, inklusif dan moderat. Wahid bukan saja berhasil membuka kominikasi komunitas NU dengan masyarakat non-muslim di tanah air dan internasional, tapi juga berhasil mengorbitkan tokoh-tokoh muda NU menjadi tokoh nasional.104 Dengan memegang teguh komitmen kembali ke khitah 1926 sejak tahun 1984—terlepas dari berbagai tafsirnya—Wahid mampu memberi ruang bagi lapisan baru yang lebih berorientasi pengembangan intelektual. 105 Dengan kekuatan darah birunya ia melindungi beberapa anak-anak muda NU yang memiliki fikiran liar dan progresif. Tak heran, jika kemudian para intelektual muda NU tersebut mengafiliasikan diri pada sosok Wahid. Pada akhirnya dapat disebut bahwa Wahidlah lokomotif utama bangkitnya gairah intelektualisme di tubuh NU.106
104
Ahmad Suady dan Ulil Absarabdallah (ed), Gila Gus Dur, (Yogyakarta, LkiS, 2000), h. 10
105
Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara; Pencarian, Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta, LkiS, 1999), h. 194 106
Rumadi, Post Tradisionalime Islam; Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Disertadi doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h. 171
BAB IV ABDURRAHMAN WAHID DAN MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA E. Posisi Ideologis Abdurrahman Wahid. Salah satu masalah yang di hadapi oleh negeri-negeri Islam pada masa-masa awal pembentukan negara adalah, bagaimana menempatkan agama dalam kehidupan bernegara. Sebagaimana disinggung oleh Deliar Noor, bahwa Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yakni agama dan masyarakat atau politik. Akan tetapi, menurut Deliar Noor, untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan ternyata masih menjadi suatu problem tersendiri.107 Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen ilahiyah untuk memahami dua dunia, seringkali dipandang sebagai lebih dari sekedar agama. Beberapa kalangan malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.108 Tetapi pemahaman ini ketika diartikulasikan pada tingkat praktis berhadapan dengan sesuatu yang problematis. Di samping karena memang ciri umum 107
108
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta, LP3ES, 1996), h.1
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, (Jakarta, LP3ES, 1996), h.15
sebagian ajaran Islam memungkinkan multiinterpretasi, sesuai dengan situasi yang dihadapi. Sementara itu, hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia sendiri pada sebagian tahapan sejarahnya merupakan cerita antagonis, saling berhadap-hadapan. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan para pendiri republik ini–yang pada dasarnya semuanya muslim—mengenai Indoensia merdeka yang dicita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam perdebatan tersebut adalah apakah negera bercorak Islami atau nasionalis. 109 Konstruk kenegaraan pertama mengharuskan agar Islam diakui dan diterima sebagi dasar ideologi negara. Sementara konstruk kenegaraan yang kedua menghendaki agar Indoensia di dasarkan atas Pancasila, sebuah ideologi yang sudah di dekonfensionalisasi.110 Tak dapat dipungkiri bahwa kemelut ideologi mengawali kelahiran negara Republik Indonesia, yang berakhir dalam suatu “kompromi khas”. Indonesia secara konstitusional bukanlah negara Islam, tetapi juga bukan negara sekular yang memandang agama sebagai masalah pribadi yang sama sekali lepas dari negara. Dalam ungkapan Munawir Sjadzali ini disebut sebagai negara Pancasila, bukan negara agama dan bukan negara sekular. Model ini merupakan suatu jalan tengah yang dicapai untuk mengatasi kemelut dari gagasan mengenai suatu
109
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h. 60 110
Ibid., h.23-28.
negara yang ingin mengakui suatu keagamaan tertentu atas pandangan bahwa agama merupakan unsur mutlak nation and character building.111 Bagi Abdurrahman Wahid, Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Pancasila sebagai basis nasionalisme bagi negara penting karena beberapa intelektual Islam memandang Pancasila sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Wahid berpendapat, tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme, dan ia bisa berkembang secara spiritual dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan Islam. Walaupun
Abdurrahman Wahid menerima Pancasila sebagai ideologi
nasional, tetapi benturan-benturan dan kesalahpahaman antar pemimpin negara dengan “petinggi” agama tidak dapat terelakkan. Bahkan, Abdurrahman Wahid mensinyalir semakin banyak bukti yang menunjukan besarnya hambatan dalam proses pembangunan yang disebabkan oleh kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggung jawab ideologi dengan pemimpin gerakan-gerakan keagamaan. Kenyataan itu, sudah begitu jauh menghantui hubungan agama dan ideologi negara, sehingga kehidupan politik menjadi sengat labil112 Namun demikian kesalahpahaman tersebut tidak dibiarkan “telanjang” sedemikian rupa,
111
112
B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta, Grafiti Pers, 1985), h.40
Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h.2
terutama oleh pemerintah, agar seolah-olah terlihat harmoni. Sebagaimana ungkapan Abdurrahman Wahid: “Retorika politik pun disusun sedemikian rupa untuk membungkus kenyataan pahit serapat mungkin. Dalam pada itu, retorika politik tersebut dikemukakan bersamaan dengan tindakan-tindakan berganda untuk melemahkan gerakangerakan keagamaan. Di satu pihak gerakan-gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara dalam jumlah sangat besar untuk keperluan peribadatan ritual, sedangkan dipihak lain didukung upaya untuk memojokkan gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki aspirasi politik korektif terhadap politik pemerintah.113 Fakta yang diungkapkan Wahid, paling tidak menggambarkan bahwa hubungan ideologi negara dan agama tidak selamanya mulus, bahkan kenyataannya seringkali justru bersifat antagonistik. Karena itu perlu dirumuskan sebagai upaya mencari format sintesis atas ketegangan-ketegangan antar keduanya. Menurut Wahid, ideologi nasional perlu diletakkan pada neraca penilaian yang sangat berbeda dalam wilayah keramat, yang meskipun tetap di pandang sebagai “benda sakral” dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Wahid juga memandang bahwa fungsi ideologi tak lebih hanya sebagai alat pemersatu bangsa dan pemberi arah bagi penyelenggaraan pemerintahan negara. Penyelewengan terhadap penggunaan ideologi negara misalnya, hanya sebagai legetimasi bagi otoritarianisme suatu rezim terhadap masyarakat, justru akan mendorong kehancuran ideologi tersebut. Jadi ideologi Pancasila beserta asas tunggalnya merupakan wewenang negara, sementara agama punya tugas yang
113
h.114
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo,1999),
berbeda. Dalam hal ini aqidah dan keimanan merupakan hal yang tak boleh di tundukkan di bawah negara. Wahid dalam hal ini menulis: “Memang benar, agama dan pancasila tidak boleh diidentikan secara menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain menjadi kerangka kemasyarakatan kita sebagai bangsa. Dalam keadan demikian, pancasila haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional. Sementara agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motifasi, yang memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka. Agama menempatkan seluruh kegiatan masyarakat pada tingkat yang tidak sekedar bersifat insidental belaka. Agama adalah faktor utama yang memberikan prespektif dinamis bagi kehidupan dalam pengertian yang paling dasar pertanggung jawaban manusia pada sang Maha Pencipta”114 Namun Wahid juga menolak jika Pancasila berada di luar masalah agama dan penerimaannya sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan alasan keagamaan. Jika demikian, menurut Wahid berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda, setia pada Pancasila dan setia pada agama. Orang semacam ini di mata Wahid adalah orang yang mendua dalam menyikapi antara Islam dan Pancasila.115 Padahal menurutnya, kalau kita setia pada Islam, kita juga harus setia pada negara.116 Karena negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama komponen bangsa yang lain, sementara aqidah bukan demikian. Jadi ada pembedaan, namun tetap dalam satu ikatan. 114
Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Kondisi Objektif kehidupan Beragama, dalam Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1997), h. 99. 115
Abdurrahman Wahid, Terserah Suara Rakyat, dalam Membangun Demokrasi, (Bandung, Rosda Karya, 1999), h.14 116
Abdurrahman Wahid, Islam, Negara dan Pancasila, dalam Mengurai hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1999), h. 93.
Dalam pandangan Wahid antara ideologi nasional, Pancasila dan agama tidak boleh diidentikan secara keseluruhan, karena fungsi keduanya saling berbeda. Sebagai sebuah ideologi negara, Pancasila harusnya mewadahi aspirasi agamaagama dan menopang kedudukan secara fungsional. Di sisi yang lain, agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif yang memberikan warna spiritual pada keyakinan mereka. 117 Namun demikian ia juga menolak pemisahan hubungan agama dan ideologi negara secara keseluruhan. Ia menyayangkan selama ini Pancasila hanya dilihat sebagai “pengatur lalulitas” hubungan antar agama dan tidak lebih dari itu. Dan perumusannya pun bersifat sepihak, yaitu Pancasila tidak menggusur keberadaan agama dari kedudukan historisnya dan juga tidak dimaksudkan untuk mengganti posisi agama. Agama juga dirumuskan demikian, yaitu tidak bertentangan dengan Pancasila.118 Pola hubungan semacam ini jelas bukan keinginan Wahid, karena berwatak defensif dan cenderung menutup diri. Wahid dalam konteks bernegara menawarkan ideologi Pancasila sebagai rule of game yang menghubungkan semua agama dan paham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurutnya; ”...jika Pancasila hanya berfungsi membenarkan suatu agama saja, katakanlah Islam, ia akan berhenti sebagai rule of game yang disepakati bersama. Sebab Pancasila merupakan kesepakatan semua komponen bangsa. Dengan demikian Pancasila harus memperlakukan semua agama sama di muka hukum dan dalam pergaulan masyarakat.” 117
Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Kondisi Objektif kehidupan Beragama..., h. 99.
118
Ibid., h. 99.
Lebih jauh Wahid menandaskan bahwa pola hubungan antara agama dan Pancasila harus berwatak simbiotik, artinya antara keduannya harus ada hubungan timbal balik dan saling menguntungkan. Agama, menurut Wahid harus memberi legetimasi pada Pancasila, sebaliknya Pancasila memberi keabsahan terhadap agama-agama, tanpa melihat mayoritas atau minoritas. ”...Pancasila adalah “hilir” dari berbagai “hulu” agama dan ia merupakan ekspresi dari suatu negara yang sekular secara politik, namun tetap mendukung perkembangan agama-agama secara umum, dan itu berarti tanpa adanya Pancasila, maka sama halnya kita akan berhenti sebagai negara. Dan berarti juga tanpa Pancasila, negara Indonesia tidak akan pernah ada.” 119 F. Hukum Islam Sebagai Komplemen Pembangunan. Potret sejarah hukum Islam di Indonesia sebenarnya dapat dibaca dari masuknya Islam ke negeri ini. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan raja (sultan) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu kredo yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dan filsafat hukum Islam yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat. Dalam bahasa Gibb sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum
119
Dougles E Remage, Demokrasi, Toleransi Agama dan Pancasila; Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU-Negara, (Yogyakarta, LKiS, 1997), h.198
Islam atas dirinya. 120 Begitulah keberadaan hukum Islam di Indoensia ketika itu. Sebagai sebuah sistem hukum, ia telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh pemeluknya, sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama yang diyakini. Karena kedudukan hukum Islam yang sedemikain memusat, maka hukum Islam tidak hanya turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluknya saja, tetapi ia justru menjadi penentu utama bagi pandangan hidup. Faktor-faktor lain seperti tasawuf dan lainnya, yang merupakan penentu pada tingkat lebih lanjut, baru memiliki arti jika telah diberi legitimasi oleh hukum Islam. Tetapi kedudukan yang sedemikian penting dan menentukan itu ternyata sebagian besar kini merupakan proyeksi teoritis belaka, sebagai semacam proses fosilisasi yang hampir selesai. Di sana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami proses inrelevansi secara berangsur-angsur tetapi pasti.121 Menurut Abdurrahman Wahid, peranan hukum dewasa ini masih bersifat statis, dan apologetis. Wahid menjelaskan: “...kestatisan hukum Islam terlihat dari peran hukum Islam sebagai “pos pertahanan” untuk mempertahankan identitas keIslaman dari pengaruh nonIslam, terutama yang bersifat sekular. Sebagai alat penahan lajunya proses 120
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta, LKiS, 2005), h. 50 121
Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h. 36
sekularaisasi kehidupan yang berlangsung secara merata, hukum Islam tidak berperan banyak karena dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya itu sendiri. Peran itupun coraknya sebagian besar hanyalah bersifat represif, melarang ini dan menentang itu. Hukum Islam hanya mampu mencanangkan suatu gambar dunia terlalu idiil, di mana hukum Islam ditandaskan dapat memberikan kebahagiaan duniawi ukhrowi, dunia mana merupakan kota Tuhan (Civitas Dei) yang masih jauh dari jangkauan masa kini, dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan akutnya yang memerlukan penggarapan dan pemecahan segera”.122 Untuk memperoleh relevansinya, maka hukum Islam harus mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan hukum nasional di alam pembangunan ini. Dalam hal ini terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yakni pendekatan suplementer dan komplementer.123 Menurut pendekatan pertama, agama adalah penunjang bagi upaya pembangunan, karena ia mempengaruhi pola tingkah laku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Karenannya agama (hukum Islam) harus memberikan sumbangsih dengan jalan melegitimasi upaya mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan. Keluarga Berencana misalkan, dengan berbagai pertimbangan ekonomis dan lain hal menuntut pelaksanaan sebuah program nasional tentang kependudukan, yang bertujuan untuk menurunkan angka kelahiran dalam titik tertentu dalam waktu tertentu pula, maka agama dituntut peran sertanya untuk memberi legitimasi upaya tersebut, tanpa dilibatkan dalam penentuan saran yang hendak dicapai.
122
123
Ibid., h. 38.
Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim Di Tengah Pergumulan, (Jakarta, Lappenas, 1981), h.5
Pendekatan kedua, justru bergerak sebaliknya. Pendekatan ini menuntut peran lebih agama dalam menetapkan sasaran pembangunan, metode dan sarana yang diperlukan, serta menetapkan orientasi pembangunan itu sendiri. Agama dalam hal ini terlibat dalam pembangunan sejak semula. Bersama dengan unsurunsur lain dalam pembangunan, agama berperan saling tunjang menunjang dalam menetapkan tujuan pembangunan dan cara-cara menyelenggarakannya. Abdurrahman Wahid dalam hal ini, lebih memilih pendekatan kedua dibanding pendekatan pertama.124 Bagi Wahid pendekatan pertama, lebih ber nuansa manipulasi terhadap agama terlihat kental, agama pada akhirnya juga akan dipolitisir. Wahid lebih memilih pendekatan kedua, karena melihat agama dalam hal ini hukum Islam yang lebih dinamis. Kedinamisan tersebut akan dimiliki jika meletakkan titik berat perhatiannya pada soal-soal duniawi yang menggulati kehidupan bagsa kita dewasa ini, dan memberikan pemecahan bagi persoalanpersoalan aktual yang di hadapi masa kini. Namun demikian, menurut Abdurrahman Wahid,
pendinamisan hukum
Islam sendiri akan menemui kegagalan jika tidak mempertimbangkan tiga ciri penting dalam hukum Islam itu sendiri.125 Pertama adalah keterlepasannya dalam perspektif kesejarahan. 126 Hukum Islam dalam hal ini berkembang dalam sebuah proses yang dalam dirinya sendiri 124
Ibid, h. 6.
125
Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai …, h.39.
126
Ibid., h. 40.
memiliki potensi kesejarahan, tetapi pada hakikatnya ia berkembang di luar perkembangan sejarah; ia memiliki sejarahnya sendiri (tarikh al-tasyri’), tetapi tidak menjadi bagian dari sebuah proses sejarah umum. Ciri inilah yang menerangkan mengapa tidak ada konflik tajam antara hukum Islam yang teoritis dan yang dipraktikkan oleh pemerintahan Islam di mana-mana selama ini. Kedua, keterikatan hukum Islam kepada landasan penafsiran harfiah bahasa Arab atas kehendak Tuhan, baik yang berbentuk ayat al-Qur’an mapun Hadits. 127 Pengertian bahasa menjadi ketentuan mutlak untuk memberi nama (dan dengan demikian status hukum) kepada suatu perbuatan. Definisi-definisi yang dibuat untuk membatasi status hukum dari suatu perbuatan, karena keterikatan kepada penafsiran linguistik yang ketat dan kaku ini, pada akhirnya meniadakan kemungkinan pengembangan pola diversifikasi dan multi-dimensional hukum Islam. Ketiga, adalah ketiadaan otoritas tunggal yang mampu meratakan keputusankeputusan hukumnya di masyarakat.
128
Walaupun telah ada pranata fatwa
dengan segenap kelengkapannya, keputusan hukumnya masih pribadi sebagai pendapat perseorangan para juristen (fuqoha). Akibatnya, hampir tidak dapat
127
Reformasi al-Syafi’i, berhasil menghilangkan cara pengambilan keputusan yang bersimpang siur. Metodenya yang dikenal dengan nama tariq al-istiqra, berhasil menyederhanakan proses tersebut menjadi sebuah sistem yang kemudian kita kenal sebgai ushul fiqh. Tetapi usaha alSyafi’i itu sendiri akhirnya tidak berhasil mengelakkan proses irelevansi hukum agama sebagai akibat keterikatan kepada konotasi bahasa yang terlalu literal. Ibid., h. 41-42. 128
Ibid., h. 43.
ditemui kodifikasi hukum Islam yang seragam untuk semua negara, atau bahkan untuk wilayah yang berbeda-beda dari sebuah negeri. Oleh karenanya Wahid menekankan perlunya kesediaan dari para fuqoha untuk memberikan batasan atas ruang lingkup daerah kehidupan yang dijangkau oleh hukum Islam dalam rangka pembinaan hukum nasional. Hal ini penting untuk menghindarkan diri dari penghamburan waktu dan fikiran dari pembicaraan panjang tentang soal-soal yang tidak urgen. Seperti pembahasan yang terjadi di Mesir dan Irak misalnya, pembahasan hanya dibatasi pada wilayah perdata perkawinan dan waris, sehingga dapat menghasilkan hukum yang responsif. Pembatasan ini pun harus diikuti oleh upaya untuk merumuskan prinsipprinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan masa kini. Bagi Wahid; ”...pertimbangan-pertimbangan manusia harus memperoleh tempat yang layak. Bahkan titik berat proses pengambilan keputusan hukum harus ditunjukan kepada integrasi pertimbangan manusiawi ini ke dalam pranata jurisprudensi”.129 Untuk itu dalam jangka panjang perlu disusun sebuah sistem jurisprudensi yang lebih berantisipasi kepada kemungkinan-kemungkinan hidup masa mendatang. Yang tak kalah penting adalah perlunya pembentukan sebuah lembaga untuk tujuan penyusunan metodologi, sehingga ada pranata yang secara sadar dan berencana, berusaha menyegarkan yurisprudensi yang telah ada, hingga ditetapkannya yurisprudensi yang baru. Lembaga ini paling tidak harus mampu 129
Ibid., h. 47.
menciptakan sarana administratif bagi upaya pengintegrasian hukum Islam kedalam hukum nasional.130 Ajakan kepada pengembangan dan penyegaran Wahid bukanlah ajakan untuk merombak hukum Islam.
131
Ajakan seperti itu tidak lain hanya akan
menempatkan hukum Islam kepada kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. Yakni upaya membuatnya lebih peka kepada kebutuhan masa kini dan masa depan. Adapun pelaksanaannya dapat dilaksanakan oleh aparat pemerintah dengan menjadi bagian hukum formil, atau dilaksanakan secara sukarela oleh masyarakat. Pelaksanaan hukum Islam dalam hukum formil di Indonesia—terutama sejak akhir tahun 1890-an, memang terlihat mulai menunjukan perkembangan cukup berarti. Lahirnya Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UndangUndang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, lahirnya Bank Muamalat Indonesia serta lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah wujud kongkrit dari hal itu. Terbitnya Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), membawa dampak positif bagi perkembangan peradilan Agama di Indonesia. 132 Sebagaimana diketahui bahwa sebelum di keluarkannya inpres tentang KHI, para
130
Ibid., h. 48.
131
Ibid., h. 50.
132
Cik Hasan Basri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, Rosdakarya, 1997), h. 30
hakim di peradilan agama mengalami kesulitan dalam memutuskan perkara, karena tidak ada sebuah peraturan yang bisa dijadikan rujukan tetap, kecuali bersandar pada kitab-kitab fiqih klasik. Potensi terjadinya putusan-putusan yang berdisparitas tinggi antara peradilan satu dengan peradilan yang lain, serta antara hakim satu dengan hakim yang lain menjadi tak terhindarkan. KHI merupakan wajah positif Hukum Islam bagi pembangunan Indonesia, karena ia lahir dari penggalian dari beberapa kitab fiqih klasik, penelaahan yurisprudensi peradilan agama, wawancara dengan ulama besar di Indonesia serta kajian perbandingan dengan hukum keluarga di Maroko, Mesir dan Turki. Disamping itu KHI memperlihatkan aspek-aspek historis dan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, baik secara vertikal maupun horisontal.133 Namun demikian, dalam prosesnya, dominasi birokrat Depag RI dan Hakim Agung MA RI terlihat sangat kental134
Hal tersebut berakibat pada
terpinggirkannya kelompok-kelompok sosial umat Islam dan individu-individu dalam masyarakat, menjadi pasif dan non-partisipatif dalam proses reformasi hukum Islam ini. Benar bahwa ulama/tokoh muslim dan intelektual dilibatkan, akan tetapi keterlibatan mereka bukan pada posisi kebijakan, lebih-lebih kebijan strategis. Keberadaan mereka hanya sebagai responden pada lokakarya.
133
Ibid., h. 28. Untuk melihat lebih jauh tentang proses kelahiran KHI dapat dilihat di Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta, LkiS, 2001), h. 141-171. 134
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara..., h. 190.
Dengan kata lain, bahwa kehadiran mereka adalah hanya sebagai pelengkap dan pengabsah kerja eksekutif dan yudikatif. Padahal proyek seperti ini sangat penting, karena bukan hanya sekedar tindakan reformulasi hukum Islam, melainkan penciptaan hukum Islam baru yang lebih bernuansa Indonesia. Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan Wahid, ia menegaskan; ”...bahwa meski hukum Islam dapat dilaksanakan oleh para pejabat negara, namun usaha-usaha penyesuaian yang bersifat individual dan tradisional antara kebutuhan masa kini dan keputusan yang telah ada, harus diikuti dengan cermat dan tidak boleh diabaikan”.135 Dalam masyarakat yang plural, termasuk dalam soal agama, pemekaran agama yang satu, dapat menjadi ancaman bagi agama yang lainnya. Legislasi hukum agama yang satu, dapat menimbulkan keterasingan dan kecemburuan agama yang lain. Oleh karena itu, untuk menjaga perasaan orang lain, hukum Islam harus direduksi sampai pada tingkat yang membuat penganut agama lain merasa tidak diancam eksistensinya, penganut agama lain pun mempunyai kepentingan yang sama. Karenanya, Wahid memiliki pandangan bahwa hukum agama tidak akan hilang kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan, katanya: ”...kebesaran akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi masyarakat yang bernama agama. Dan bukankah memaksakan hukum Islam melalui instrumen (perangkat) negara, hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat pemaksaan? Kita sebagai bangsa tidak ingin dipaksa-paksa oleh orang dengan alasan apapun. Bukankah dengan 135
Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai …, h. 49.
demikian berarti kita dilarang melakukan tindak kekerasan untuk memaksa kehendak juga?”136 Demikian pertanyan-pertanyaan retorik Abdurrhaman Wahid dalam berupaya agar legislasi hukum Islam tidak merugikan kelompok non muslim. Legislasi Islam, tanpa mempertimbangkan realitas sosiologis, kedalam kenegaraan, kata Abdurrahman Wahid: “…merupakan pengingkaran demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga kelas dua. Dalam keadaan demikian, persaman kedudukan semua warga Negara di depan undang-undang tidak tercapai”.137 Karena itu Wahid curiga bahwa mereka yang menganjurkan pembinaan masyarakat Islam, dalam kenyataannya, masih berupaya terus menerus “mengistimewakan umat Islam”. Terhadap mereka, ia mengungkapkan: “,,,Saya berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina sebuah masyarakat Islam. Dalam pandangan saya, masyarakat Islam di Indonesia merupakan penghianatan terhadap konstitusi, karena ia menempatkan masyarakat non muslim sebagai warga negara kelas dua. Tetapi, sebuah “masyarakat Indonesia” yang di dalamnya umat Islam menjadi kuat, dalam arti berfungsi dengan baik, adalah sesuatu yang saya anggap baik”.138 Penekanan yang berlebihan pada sisi legalistik hukum Islam disamping bertentangan dengan masyarakat Pancasila yang bersifat toleran, juga akan membawa Islam pada sikap sangat ideologis dalam pengaturan masyarakat yang
136
Abdurrahman Wahid, Antara Asas Islam dan Asas Pancasila dalam Membangun Demokrasi, (Bandung, Rosdakarya, 1999), h. 42. 137
Abdurrahman Wahid, Agama dan Demokrasi dalam Th. Sumartana (ed), Spiritualitas Baru; Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta, Interfidei, 1994), h. 274. 138
Ellyasa KH Darwis, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta, LKiS,1997), h. 115
mengabaikan penyempitan ruang gerak bagi refleksi kontemplatif yang mengembangkan arti manusia sebagai subjek kehidupan.
G. Pribumisasi Islam Sebagai Model. Sejak semula Abdurrahman Wahid tidak menjadikan Islam sebagai alternatif, begitu juga ia tidak begitu yakin dengan formalisme Islam. 139 Konsekwensinya, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitas. Model ini disebut oleh Abdurrahman Wahid dengan “Pribumisasi Islam” yaitu mengokohkan kembali akar budaya kita dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat taat beragama. 140 Dengan gagasan ini rupanya Abdurrahman Wahid ingin mengingatkan kepada umat muslim tentang perlunya untuk mempertimbangkan situasi-situasi lokal dalam rangka penerapan ajaranajaran Islam. Pertimbangan Abdurrahman Wahid agar Islam Indonesia tidak tercabut dari konteks lokalnya sendiri, semacam kebudayaan, tradisi dan lainnya. Agenda ini mengharuskan di pahaminya ajaran-ajaran Islam sedemikian rupa sehingga faktor-faktor konteks lokal dipertimbangkan sungguh-sungguh.
139
Abdurrahman Wahid, NU Dan Islam di Indoensia Dewasa Ini dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h.43. 140
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (pyt), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta, P3M, 1989), h. 96.
Sebagaimana ideologi yang telah bergerak pada level bahasa, kultur, politik dan pemikiran, “pribumisasi” pun juga bergerak pada level-level tersebut. Pada level bahasa Abdurrahman Wahid tidak setuju dengan penggantian sejumlah kosa kata dalam bahasa kita dengan bahasa Arab. Dengan bentuknya yang paling sederhana ia memanfaatkan istilah-istilah lokal. Dalam konteks ini Abdurrahman Wahid sekaligus bertanya, mengapa harus menggunakan kata-kata “salat” kalau kata “sembahyang” juga tak kalah benarnya. Mengapa harus di musholakan padahal dulu toh cukup dengan “langgar atau surau”. Belum lagi ulang tahun baru sreg kalau dijadikan milad, dulu guru atau kyai sekarang harus ustadz atau syeikh baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercerabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya dibelahan bumi. 141 Abdurrahman Wahid menolak gerakan “Arabisasi budaya” “pembaharuan Islam dengan budaya” atau “formalisme ajaran Islam dalam kehidupan budaya”, yaitu sebuah upaya menjadikan Islam sebagai tolak ukur ideal untuk menilai manifestasi budaya pada umumnya. Singkatnya dalam logika Islamisasi ini, Islam ditampilkan sebagai “budaya ideal” yang terlepas dari akar-akar budaya lokal. Sehingga alternatifnya, Wahid mengajukan gagasan ‘keterbukaan antar budaya”. Dari sini Abdurahman Wahid menjelaskan: “…antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekwensi logis dari 141
Abdurrahman Wahid, Salahkah Jika diPribumisasikan dalam Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h. 91. lihat juga dalam Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Depok, Desantara, 2001), h. 132.
keterbukaan seperti ini adalah keharusan untuk mendudukan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal. Dan melayani semua budaya lokal itu (akan) menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahannya masing-masing”.142 Sekalipun demikian proses saling mengambil dan saling belajar tidak boleh lepas kontrol. Karena itu senantiasa menyatakan perlunya sikap kehati-hatian. Pandangannya dalam proses pribumisasi, percampuran antara Islam dan kebudayaan lokal harus benar-benar dikontrol sedemikian rupa sehingga yang bersifat setempat tidak merusak citra khas Islam. Dalam hal ini beliau menulis : “Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam…untuk menyatakan bahwa proses interaksi Islam dengan realitas-realitas historis tidak akan mengubah Islam itu sendiri, melainkan hanya akan mengubah manifestasi agama Islam dalam kehidupan”.143 Statment tersebut mengindikasikan bahwa Abdurrahman Wahid memiliki kepedulian bukan hanya pada pengembangan Islam, melainkan juga pada budaya setempat. Dengan cara itu, Islam dapat tumbuh berkembang tanpa memarginalkan dan berkonfrontasi dengan nilai-nilai budaya lokal yang sebenarnya bersifat positif. Sementara budaya lokal tetap dapat survive tanpa merusak pilar-pilar ajaran Islam. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid sering memberikan gambaran tentang masjid Demak. Pada awalnya masjid Demak memiliki tangga atau tutup yang
142
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam…, h. 92.
143
Ibid., h. 83.
terdiri dari sembilan susunan yang diambil dari konsep “meru”yang berasal dari pra Islam (Hindu-Budha). Kemudian dipotong oleh Sunan Kalijaga menjadi tiga susunan yang melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, iman, islam dan ihsan. Pada tahap berikutnya, datanglah proses Arabisasi yang membawa bentuk masjid gaya Timur Tengah lengkap dengan kubah dan segala ornamennya. Begitu juga dalam seni agama, seni rupa, sastra, musik, Islam terserap dalam budaya lokal dalam berbagai bentuk seperti jipun dan rebana. 144 Rupanya dengan pribumisasi, Abdurrahman Wahid mampu meminimalisir ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya dan tidak mencari sisisisi yang islami dalam kultur lokal. Namun Abdurrahman Wahid tidak setuju dengan adanya supremasi budaya atas agama atau sebaliknya. Menurutnya: “…pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qoidah fiqh”.145 Atas konsep tersebut Abdurrahman Wahid menjelaskan secara ilustratif. Ia menggambarkan Islam sebagai suatu sungai besar dan kekhasan sosio kultural Indonesia sebagai anak sungai itu. Keduanya harus bertemu untuk membentuk sungai yang lebih besar lagi. Masuknya anak sungai mau tidak mau akan
144
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Depok, Desantara, 2001), h. 118. 145
Ibid., h. 119.
membawa air baru yang pada saatnya akan mengubah atau juga mungkin akan mencemarkan warna air aslinya. Terlepas dari itu, sungai itu bagaimanapun tetaplah sungai yang sama dan dengan air lama yang sama. Dengan memahaminya, logis manakala Abdurrahman Wahid tidak setuju dikubahkannya masjid. Baginya masjid beratap genteng yang sarat dengan simbolisasi lokal sendiri tidak kalah menariknya di negeri ini. Budaya walisongo yang serba Jawa, Saudati Aceh, Talbut Pariaman, didesak dipinggirkan oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ. Bahkan ia juga menolak ikat kepala lokal (udeng) harus mengalah kepada sorban “merah putih” ala Yaser Arafat.146 Abdurrahman Wahid tampaknya memiliki kepentingan dalam hal ini, yakni agar nash tidak hanya dipahami secara literal, sebab rekonsiliasi antara Islam dan budaya berarti mengupayakan agar wahyu dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan, jadi bukan “pembaruan Islam dan budaya” jika istilah pembaruan yang digunakan, maka konsekwensinya “berbaur’ berarti hilangnya sifat-sifat asli. Ini tidak dibenarkan mengingat Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Untuk menghindari kesalahpahaman, Abdurrahman Wahid mendasarkan kembali: “Yang dipribumikan adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut keimanan dan peribadatan formal. Tidak diperlukan Qur’an Batak dan Hadits Jawa, Islam tetap Islam, dimana juga berada. Namun tidak berarti sama harus disamakan ‘bentuk luarnya” salahkah kalau tetap “dipribumikan sebagai manifestasi kehidupan”. 147 146
Abdurrahman Wahid, Salahkah Jika di Pribumikan… , h. 90. Lihat juga dalam Pergulatan Negara, Agama…, h.120. 147 Ibid., h. 92.
Jadi lewat pribumisasi, Islam terlihat sebagai agama yang apresiatif terhadap konteks lokal dengan tetap menjaga pada realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Abdurrahman Wahid tidak berkenan dengan wajah-wajah mono Islam dalam ekspresi kehidupan. Misalnya semua simbol harus mengunakan ekspresi kebudayaan Arab atau bahasa Arab tempat Islam lahir. Penyeragaman ini bukan hanya akan mematikan kreatifitas kebudayaan umat, tetapi juga mempersempit ruang gerak Islam. Karena Islam akan teralinasi dari arus utama kebudayaan nasional yang disitu Islam menjadi sub sistem keagamaan. Bagi Abdurrahman Wahid, Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah hanya akan menyebabkan tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Disamping itu Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar agama itu tidak hilang. Jadi pribimisasi adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak dapat terelakkan.148 Lebih dari itu, menutup rapat-rapat Islam dari berbagai budaya luar, menurut Wahid justru pengakuan terselubung atas kelemahan Islam. Bukankah ketertutupan hanya membuktikan ketidakmampuan melestarikan keberadaan diri dalam keterbukaan. Bukankah isolasi justru menjadi petunjuk kelemahan pada
148
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam…, h. 82. Lihat juga dalam Pergulatan Negara, Agama…, h. 119
pergaulan.149 Pandangan semacam ini mencerminkan semangat optimisme Wahid dalam mengkaji setiap persoalan. Sekalipun demikian, antara agama dan budaya memiliki logika sendiri, walau tidak menutup kemungkinan untuk bersinggungan. Agama dan budaya memiliki independensi masing-masing, tetapi disinilah keduanya mempunyai wilayah berkelindan. Manusia tidak bisa beragama tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kreatifitas manusia yang bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagamaan. Namun demikian, Wahid tidak sampai berkesimpulan bahwa agama adalah kebudayaan. Ia meyakini antara keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi, namun tetap memiliki sisi perbedayaan. Agama bersumber dari wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma agama bersifat normatif, karena ia cenderung menjadi permanen. Sementara budaya adalah kreatifitas manusia, karenannya berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk berubah.150 Tetapi Wahid berkeyakinan bahwa fakta perbedaan tidak menghalangi kemungkinan memanifestasikan kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Berkelindannya agama dan budaya akan terjadi terus menerus bagi suatu proses yang akan memperkaya kehidupan. Variasi-variasi budaya akan memungkinkan adanya perimbangan antara berbagai kelompok atas dasar
149
Abdurrahman Wahid, Salahkah Jika di Pribumikan …, h. 98 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam…, h. 81. Lihat juga dalam Pergulatan Negara, Agama…, h.117 150
persaman-persamaan baik agama maupun budaya, jika tidak demikian dengan sendirinya manusia akan mengalami kekeringan batin. Bukankah terpisahnya salah satu kebutuhan hanya akan menimbulkan kegelisahan-kegelisahan, karena merasa ada semacam sesuatu yang hilang pada dirinya. Jika demikian, akibatnya akan mereduksi keberagamaan sesorang. Sejak awal kelahirannya, Islam telah membuktikan sikap bersahabat dengan budaya setempat. Ia tidak serta merta menolak semua tradisi Arab pra Islam. Beberapa tradisi yang telah mengakar dan memiliki makna positif bahkan di internalisasikan menjadi bagian dari ajaran Islam. Sebab dari itu sebagian dari tradisi pra-Islam menjadi sumber-sumber “material” hukum Islam dengan demikian tradisi dan adat setempat yang tidak bertentangan secara diametrial dengan Islam dapat di lestarikan. Pola-pola pemahaman seperti itu telah dilakukan oleh intelektual masa lalu dimana pemikiran mereka selalu bernuansa antropologis dan sangat dijiwai nilainilai budaya setempat. Karaya-karya ulama Islam menunjukan adanya kecenderungan kuat untuk melakukan proses penyesuaian dengan budaya setempat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip umum dari hukum agama itu sendiri. H. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Sejarah kontemporer Indonesia, yang diwarnai perdebatan ideologi dalam mengisi wacana kebangsaan, mengilhami setiap diskursus-diskursus pemikiran
kenegaraan Abdurrahman Wahid. Sangat logis manakala gagasannya bernuansa melerai antara Islam dan wacana kebangsaan. Oleh karena itu secara konsisten Wahid menolak Islam Formalistik sebagai konstruksi masyarakat Islam Indonesia, sekalipun agama tersebut sebagai anutan mayoritas. Di mata Wahid, agama memiliki logika sendiri, begitu juga negara. Sebagaimana ungkapannya : “Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga Negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan”.151 Jika ditilik cara pandangnya, rupanya Wahid telah mengemukakan argumen tentang “pemisahan wewenang fungsional antara agama dan negara”. 152 Ajaranajaran agama berlaku melalui proses persuasi kepada masyarakat, melalui kesadaran masyarakat sendiri dan bukan melalui perundangan negara. Jika tidak demikian, agama “tertentu” akan menjadi kekuatan pemaksa melalui kekuasaan negara dan aparaturnya. Sehingga negara bukan hanya mengambil satu pendapat, dan memperlakukan pendapat itu seolah-oleh sebagai yang benar, tetapi juga menjadikan agama sebagai pembenaran atas apa yang dimaui negara. Agama lalu
151
Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, dalam Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisas Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1994), h. 583. 152
Abdurrahman Wahid, dalam kata pengantar buku karya Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila, (Jakarta, Sinar Harapan, 1989), h. 9.
berfungsi suplementer terhadap kerangka acuan pemikiran yang dikembangkan oleh negara.153 Sebab itu Wahid tidak bosan-bosannya, memperingatkan agar setiap upaya mencari legetimasi negara dalam masalah-masalah keagamaan harus dijauhi sedapat mungkin, demikian pula sebaliknya. Ini berarti negara harus pandaipandai membawakan diri untuk tidak memasuki wilayah yang bukan urusannya. 154 Menurut Greg Barton, kata kunci dari berbagai pola perjuangan pemikiran Abdurrahman Wahid adalah “dinamisasi”. Dinamisasi baginya adalah faktor yang bisa membangkitkan kualitas progresif yang memungkinkan Islam untuk terus relevan dan diterima. Tanpa ini, Islam menjadi rumusan doktriner dan kering. Proses
dinamisasi
yang
diterapkan
Abdurrahman
Wahid
merupakan
penerjemahan dari konsep Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang ditawarkannya untuk diterapkan dalam masyarakat Indonesiasebagai wujud keterlibatannya dalam wacana dan kiprah modernitas sebagai jawaban atas persoalan konkret umat Islam.155 Abdurrahman
Wahid
melakukan
pembaharuan
bidang
politik
yang
berorientasikan pada komitmen kemanusiaan yang ada dalam ajaran Islam. 153
Ahmad Baso, NU Studies; Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo Liberal, (Jakarta, Erlangga, 2006), h.287. 154
Abdurrahman Wahid, A Wahid Hasyim, NU dan Islam dalam Membangun Demokrasi, (Bandung, Rosdakarya, 1999), h.11 155
Aris Saefullah, Gusdur vs Amin Rais (Yogyakarta, Laelathinkers, 2003) h. 141.
Pandangan tersebut dapat memberikan pijakkan kepada posisi komunitas di dalam sebuah masyarakat modern dan pluralistik di Indonesia yang menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kerukunan sosial. Sikap saling menghargai perbedaan yang ditanamkan oleh Abdurrahman Wahid berikut prinsip perlindungan terhadap komunitas minoritas dapat diterima oleh seluruh komponen bangsa. Greg Barton dalam pengantar buku “Prisma Pemikiran Gusdur” mengatakan : “...Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Gusdur adalah bahwa ia penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas. Dengan kata lain Abdurrahman dipandang sebagai muslim non-chauvinis, serta figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam...156” Abdurrahman Wahid sangat mencintai Islam dan memahami Islam dari pesan utama Islam itu sendiri. Pandangan Abdurrahman Wahid tentang negara adalah pandangan kulturalnya yang menyetujui bahwa di dalam Islam tidak diatur tentang kewajiban membentuk negara Islam. Jika demikian, bagaimana peran agama dalam kemasyarakatan?. Sikap Wahid jelas dengan ide “Etika Sosial”. Upaya menuju penyejahteraan masyarakat tersebut, manusia diciptakan dengan kelengkapan (ahsan taqwim) sebagai makhluk, sehingga mampu membentuk kepribadian (personality) yang anggun menuju tata pergaulan yang santun dan toleran. Untuk
mendiskripsikan gagasan “etika sosial” lebih
memaparkan:
156
Aris Saefullah, Gusdur vs Amin Rais ..., h. 142-143.
lanjut, Wahid
“Islam berfungsi dalam dua bentuk. Pertama, sebagai akhlak masyarakat (etika sosial) warga masyarakat. Kedua, partikel-partikel dirinya yang dapat dan memungkinkan untuk diundangkan, dengan mempertimbangkan realitas sosiologis masyarakat. Dengan catatan proses perundangan harus melalui mekanisme konstitusi yang absah”.157 Namun demikian muncul persoalan bagaimana etika tersebut mempengaruhi proses pemerintahan dalam posisi dirinya yang berada di luar negara, sementara apa yang disebutnya dengan partikel-partikel agama bisa masuk ke dalam negara dalam bentuk undang-undang. Menurut beliau: “Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara di negeri ini.”158 Wahid menyadari bahwa tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara di negeri kita ini. Lalu dimanakah nilai-nilai normatif tersebut dapat berlaku secara utuh dan menyeluruh?. Dalam hal ini Wahid kemudian bicara soal “hukum Islam” menurutnya, hukum Islam dalam kenyataannya hanya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran masyarakat. Sementara kebutuhan mengundangkan hukum agama atau fiqih hanya pada “apa yang dapat di
157
Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos…, h. 585.
158
Ibid., h. 583.
undangkan” (wad’u al-ahkam fi halati imkaniyati wad’ihi). Yakni pada segmen yang bisa dipertimbangkan untuk berlaku bagi segenap komponen masyarakat.159 Beakangan, Ide-ide liberal yang didengungkan Abdurrahman Wahid, yang membuat merah kuping kaum konservatif, sebenarnya berangkat dari komitmen Wahid terhadap universalisme Islam dan khasanah klasik yang mempunyai potensi masif untuk membangun basis-basis kehidupan politik yang adil, egaliter dan demokratis. Dari landasan tersebut, Wahid mampu memilah mana prinsip yang harus dipertahankan dan mana sisi ornamentalnya. Dalam memaknai ajaran agama, menurut Abdurrhaman Wahid, juga tidak dapat dilepaskan dari sisi kemanusiaan. Menurut beliau, penganut Islam yang baik, selain meyakini ajaran agamanya, juga harus menghargai kemanusiaan. Ketika nilai kemanusiaan dihilangkan, menurut Abdurrahman Wahid, maka pada waktu itu hilang pula nilai-nilai keagamaan yang benar. 160 Bagi Abdurrahman Wahid ajaran Islam cukup ditarik sejumlah prinsip-prinsip fundamental-universalnya, seperti kedaulatan hukum ditegakkan, perlakuan yang sama bagi warga negara tanpa memandang perbedaan agama, ras, suku di depan hukum atau undang-undang, pengambilan putusan berdasarkan mekanisme suara terbanyak. Wahid juga berpendirian, dalam Islam sendiri tidak pernah mempersoalkan mana yang lebih unggul antara “masukan Islam” dan masukan 159
Abdurrahman Wahid, Islam dan Masyarakat Bangsa, dalam Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1999), h. 76. 160
. Mohammad Bakir dan M. Zaid Wahyudi, Abdurrahman Wahid –Ketegaran Pluralisme Akar Rumput- Kompas, Jumat, 23 Mei 2008. h. 52.
nilai lain yang datang dari manapun. Dari sini wajar manakala secara pribadi Wahid menyatakan akan menyampaikan kebenaran yang datang dari manapun yang sesuai dengan hati nurani, apakah kebenaran itu datang dari Injil, Bhagawad Gita atau lainnya.161 Sebab dalam konteks kebangsaan, Islam tidak berfungsi sebagai hipotesis operatif, tetapi sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.162 Jadi bagi Abdurrahman Wahid, dalam bermasyarakat, Islam “seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuk ekslusif” yakni “tidak menampilkan warna keislamannya, tapi mengintegrasikan kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara keseluruhan”. Pola fikir semacam ini secara diametral berlawanan dengan kelompok formalisme. Wahid menampilkan diri sebagai intelektual muslim Indonesia, yang terikat pada nilai-nilai keagamaan Islam, tetapi pada saat yang sama juga menyadari relitas pluralisme masyarakat di mana mereka hidup. Pluralisme manjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, karena merupakan kondisi objektif bangsa ini. Bangsa ini mempunyai tingkat kemajemukan yang tinggi baik secara fisik maupun sosial budaya. Secara fisik, kepulauan nusantara terdiri dari sekitar 13.000 pulau. Selain itu, Indonesia juga terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat, dan bahkan agama yang menunjukan heteroginitas sosial budaya. 161
Abdurrahman Wahid, Intelektual di Tengah Ekslusivisme,dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h. 202. 162
M Dawam Rahadjo, Melihat Ke Belakang, Merancang Ke Depan, pengantar dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed), Islam Indoensia Menatap Masa Depan, (Jakarta, P3M, 1989), h. 12.
Jadi, dalam hidup berbangsa umat Islam perlu mengembangkan dialog dan kerja sama dengan umat agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah umat Islan terus belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain. Kondisi ini bukan menempatkan Islam sebagai alternatif tetapi sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa.163 Maka dalam konteks ini Wahid melihat hubungan antara Islam dan pluralisme dalam kerangka manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam. Di mana Islam memberikan lima jaminan dasar bagi individu maupun kelompok, yakni jaminan terhadap keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk pindah agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan jaminan terhadap keselamatan profesi.164 Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian
hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan
persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti 163
Mohammad Bakir dan M. Zaid Wahyudi, Abdurrahman Wahid –Ketegaran Pluralisme Akar Rumput- Kompas, Jumat, 23 Mei 2008. h. 52. 164
Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia.., h. 545-552.
sebenar-benarnya.
Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup
(Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial. Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masingmasing bagi para warga masyarakat
atas
dasar
masyarakat sikap
melandasi
hubungan antar-warga
saling hormat-menghormati, yang akan
mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda
keyakinan
agamanya
dari
keyakinan mayoritas,
sejarah ummat
manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah "orang besar", walaupun sasarannya selalu "orang kecil". Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang
rasa dalam
membangun masyarakat.
Justru toleransilah
yang
melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang
dianut mayoritas
orang
Arab waktu itu. Dengan
tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal
paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan. Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena
keluarga
merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga
inilah
yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi
dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan,
atau setidak-tidaknya
mempersempit, ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang
akan
menajamkan
kebenaran masing-masing keyakinan pandangan
maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan
upaya
perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui
pengalaman
esoteris,
Islam
juga
memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyrakatan terkecil yang sangat kecil
itulah
individu
dapat
bernama keluarga. Di lingkungan mengembangkan pilihan-pilihannya
tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga karena keluarga berfungsi
mengintegrasikan warganya
secara
umum ke dalam unit
kemasyarakatan yang lebih besar. Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya
dengan
hak-hak masyarakat
atas
individu.
Masyarakat
dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara
perorangan tidak
dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan hartabenda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam masyarakat. Sejarah
alur
umum
kehidupan
ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan
pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu
kreativitas warga
masyarakat,
berarti
kesediaan
melakukan transformasi itulah
warga
masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya? Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan
profesi
berarti meletakkan diri dalam
masyarakat, yang penuh
dengan
alur
ukuran-ukurannya
umum
sendiri.
kegiatan
Ini
berarti
keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai
wadah
untuk menguji
kebenaran
keyakinan
dalam
rangkaian
kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu. Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan
adalah unsur-unsur utama
kemanusiaan,
dan
dengan
demikian
menampilkan universalitas ajaran Islam. Tetapi Wahid mengingatkan kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam. Watak kosmopolitan dari
peradaban
Islam
pemunculannya. Peradaban itu, yang
itu
telah
dimulai
tampak dengan
sejak
awal
cara-cara Nabi
Muhammad s.a.w mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis
Muslim
awal (seperti al-Jahiz) pada abad
ketiga Hijri, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Kosmopolitanisme peradaban Islam itu menurut Wahid hanya muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batas etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heteroginitas politik.165 Mengenai kosmopolitanisme Islam ini Wahid menulis : “...kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, menekala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim). Kosmopolitanisme seperti ini adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran”.166
165
Ibid., h. 549.
166
Ibid., h. 550.
Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam
bentuk-bentuk
nyata, bukannya
nyata
dalam
postulat-postulat
spekulatif belaka. Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di antara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian
sempit
antara kebebasan berfikir di satu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan intelektual
(intellectual tension) yang mewarnai situasi seperti itu akan
mengotori kosmopolitanisme yang
menjadi keharusan bagi universalisasi
nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara keseluruhan. Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus alA'ain,
yang
sepenuhnya
menggunakan
pembagian
ilmu pengetahuan
melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'i mujtahid di bidang hukum agama (istinbat
(fiqh),
justru
menundukkan proses
pengambilan
hukum
agama
al-ahkam) kepada sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya
hanya sekedar menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara tidak kreatif dan dengan
sendirinya
berubah
fungsi
menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas. Sebuah
agenda
baru
dapat
dikembangkan sejak sekarang untuk
menampilkan kembali universalitas ajaran
Islam
dan kosmopolitanisme
peradaban Islam di masa datang. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku
yang
bermartabat dan
berderajat
penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah
dikembangkan
agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa
kegunaannya bagi ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan
kaum Muslim sendiri akan
memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideologi lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumberdaya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan penjelasan panjang dalam bab-bab sebelumnya, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, Pesantren dan NU memainkan
peran
penting
dalam
membentuk
karakter
dan
pemikiran
Abdurrahman Wahid. Ini karena lebih dari separuh usianya dihabiskan untuk bergulat dengan dunia pesantren dan NU. Tradisi keilmuagamaan yang dikembangkan, pandangan kemasyarakatan NU dan Pesantren akhirnya melekat dalam diri Abdurrahman Wahid. Maka tidak heran jika dari tradisi keagamaan Ahlusunnah wal jama’ahnya—yang di dalamnya merupakan perpautan tiga elemen penting Islam, yakni tauhid, fiqih dan tasawuf—melahirkan pandanganya yang tidak bercorak “hitam-putih” Kedua, pandangan tersebut akan terlihat jelas dalam sikap Wahid tentang agama dan negara. Wahid menolak Islam sebagai konstruk masyarakat Indoensia, sekalipun Islam sebagai anutan mayoritas. Di mata Wahid, agama memiliki logika sendiri, begitu juga negara. Islam sebagai agama memberlakukan nilainilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya. Sedangkan negara seperti Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan nilainilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan.
Di sini Wahid menegaskan pemisahan wewenang fungsional antara agama dan negara. Ajaran-ajaran agama berlaku melalui proses persuasi kepada masyarakat,
melalui kesadaran
masyarakat
sendiri dan
bukan
melalui
perundangan negara. Jika tidak demikian, agama “tertentu” akan menjadi kekuatan pemaksa melalui kekuasaan negara dan aparaturnya. Sehingga negara bukan hanya mengambil satu pendapat, dan memperlakukan pendapat itu seolaholeh sebagai yang benar, tetapi juga menjadikan agama sebagai pembenaran atas apa yang dimaui negara. Agama lalu berfungsi suplementer terhadap kerangka acuan pemikiran yang dikembangkan oleh negara. Ketiga, berkaitan dengan hukum Islam. Menurut Wahid, peranan hukum Islam dewasa ini bersifat statis dan apologetis. Kestatisan hukum Islam terlihat dari peran hukum Islam
sebagai “pos pertahanan” untuk mempertahankan
identitas ke Islaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang bersifat sekular. Sebagai alat penahan lajunya proses sekularaisasi, hukum Islam tidak berperan banyak karena dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya itu sendiri. Peran itupun coraknya sebagian besar hanyalah bersifat represif, melarang dan menentang. Pribumisasi Islam merupakan tawaran alternatif yang dikemukakan oleh Wahid menyikapi hal di atas. Pribumisasi yang pada tataran konseptual merupakan kontekstualisasi ajaran Islam, oleh Wahid ditunjukan sebagai upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama, tetapi bukan sebagai Jawanisasi atau singkretisasi
Islam.
Pribumisasi
Islam
mengandaikan
suatu
upaya
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam perumusan hukum-
hukum agama, tanpa mengubah hukum dasar itu sendiri. Pribumisasi Islam bukanlah upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma tersebut
mampu
menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan
mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash. Sejalan dengan pribumisasi Islam, Wahid juga menyerukan untuk menjadikan Islam sebagai etika sosial. Dalam konteks Islam dan politik maka Islam harus ditilik fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan masyarakat bukan dalam bentuk simbol-simbol dan ajaran-ajaran formal keagamaan. Dengan etika sosial, Islam tidak harus menampilkan dirinya dalam bentuk
ekslusif,
yakni
tidak
menampilkan
warna
keIslamannya,
tapi
mengintegrasikan kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara keseluruhan dan haruslah menghindarkan diri agar tidak diletakkan di bawah wewenang negara melainkan menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat. Dengan etika sosial sebenarnya kita menempatkan Islam sebagai kekuatan transformatif dan sebagai kekuatan kultural. B. Saran-saran Beberapa pemikiran Abdurrahman Wahid untuk menjadikan hukum Islam sebagai penunjang atau komplemen pembangunan sebagaimana yang ia tulis dulu, barang kali masih banyak yang bergulat ditataran wacana belum menemukan langkah kongritisasi. Perlunya sebuah lembaga—mendirikan yang baru atau menggunakan yang telah ada—yang bertujuan untuk penyusunan metodologi, penyediaan tenaga ahli, serta berperan sebagai pengawas dalam
upaya penyegaran yurisprudensi baru Islam Indonesia, sampai saat ini tidak terlihat. Menggaris bawahi peranan agama sebagai etika politik—Sesuatu yang belum banyak diangkat oleh pemikir Islam lain seperti Nurkholis Madjid, Dawam Rahadjo ataupun Kuntowijoyo. Juga mengalami hal yang, ia tidak mengelaborasi visi sekularisme dan etika sosialnya ini dalam bentuk yang lebih mapan, sehingga melahirkan sebuah tradisi bukan hanya di kalangan NU tapi untuk masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya. Yang tak kalah penting adalah perlunya kembali mendengungkan pribumisasi Islam,
melalui
kajian-kajian
akademisi
maupun
langkah
kongrit
pengimplementasiannya di tengah-tengah masyarakat. Langkah ini penting bukan karena ide ini mampu menjembatani pluralisme yang menjadi ciri bangsa kita, melainkan juga untuk mengerem gencarnya kembali isu-isu formalisme agama pasca lahirnya kebebasan politik masyarakat, yang tidak jarang mulai mempraktekkan cara-cara pemaksaan dan kekerasan. Barangkali memang diperlukan kerja yang lebih keras lagi untuk mengejawantahkan ide-ide tersebut dalam ranah nyata, sambil terus memupuk semangat
pluralisme dan
egalitarianisme demi terwujudnya negeri yang gemah ripah loh jinawi, kerta tentrem kerta raharja, negeri yang tentram, sejahtera dan diberkahi Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdalatul Ulama, Solo : Jatayu, 1985. Ali,Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung : Mizan, 1986. Arkanto, Suharsimi, Menejemen Penelitian, Jakarta : Rieneka Cipta, 1995. Barton, Greg, Biografi Gus Dur; The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : LKiS, 2003. Baso, Ahmad, NU Studies Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Noe Liberal, Jakarta : Erlangga, 2006. Benda, Hary J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980. Bisri, Mustopa (ed), Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung : Rosdakarya dan INCReS, 2000. Dhofier, Zamaksari, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta : LP3ES, 1982. Esposito. Jhon L (ed), Dinamika Kebanguan Islam; watak Proses dan Tantangan, Jakarta : Rajawali Pers, 1987. Eickelmen, Dale F dan J Piscatori, Ekspresi Politik Islam, Bandung : Mizan, 1998. Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998. Fealy, Greg dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta : LKiS, 1997. Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta : LKiS, 2005. Karim, A. Gafar, Metamorfosis Nahdlatul Ulama, Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta : LKiS, 1998. Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus Af (ed), Passing Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta : Paramadina, 1998.
Ida, Laode dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta : Rajawali Pres, 1999. Martahan, Einar, NU dan Pancasila, Jakarta : Sinar Harapan, 1989. Mawardi, Abu Hasan, Al-Ahkam al-Sulthoniah wa al-Wilayat al-Diniyah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1978. Meleong, Lexy Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosda Karya, 1998. Misrawi, Zuhairi, Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, Jakarta : Kompas dan P3M, 2004. Murod,Ma’mun, Menyikap Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Amien Rais Tentang Negara, Jakarta : Rajagrafindo, 1999. Nazir,M, Metode Penelitian, Jakarta : Galia Indonesia,1988. Pulungan, Sayuti, Fiqih Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : Rajawali Pers, 1995. Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual, Bandung : Pustaka, 1995. Suprayogi, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung : Rosda Karya, 2001. Saefullah, Aris, Gus Dur vs Amien Rais; Dakwah Struktural-Kultural, Yogyakarta : Laelathinkers, 2003. Santoso, Listiyono, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2004. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993. Siradj, Said Aqiel Ahlusunnah Wal Jama’ah Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : LKPSM-NU, 1997 Suedy, Ahmed dan Ulil Absar Abdalah (ed), Gila Gus Dur; Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : LkiS, 2000. Tibi, Basam Krisis Modern Dalam Peradaban Islam, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987.
Wahid, Abdurrahman, Muslim Di Tengah Pergumulan,, Jakarta : Pappenas, 1981. ______________, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta : LkiS, 1999. ______________, Peranan Umat dalam Berbagai Pendekatan dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung : Rosdakarya, 1991. ______________, Tuhan Takperlu Di Bela, Yogyakarta : LkiS, 1999. ______________, Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok : Desantara, 2001. ______________, Islam, Negara dan Demokrasi, Jakarta : Erlangga, 1999. ______________, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta : Grasindo, 1999. ______________, Membangun Demokrasi, Bandung : Rosdakarya, 1999. ______________, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Jakarta : Kompas, 1999. ______________, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta : The Wahid Institut, 2006. ______________, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas Reformasi Kultural, Yogyakarta : LKiS, 1998. Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara; Kritik Atas Politik Islam di Indonesia, Yogyakarta : LKiS, 2001.