DAMPAK PERCERAIAN TERHADAP KEBERAGAMAAN DAN PERILAKU SOSIAL REMAJA (Studi Kasus di Perumnas Klender Kelurahan Malaka Jaya Duren Sawit Jakarta Timur) SKRIPSI Diajukan untuk kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
ANITA DAHLIA NIM: 103032227712
Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1429 H/2008 M
DAMPAK PERCERAIAN TERHADAP KEBERAGAMAAN DAN PERILAKU SOSIAL REMAJA (Studi Kasus di Perumnas Klender Kelurahan Malaka Jaya Duren Sawit Jakarta Timur) SKRIPSI Diajukan untuk kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
ANITA DAHLIA NIM: 103032227712
Pembimbing:
Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, MA NIP. 150 062 829
Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1429 H/2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul DAMPAK PERCERAIAN TERHADAP KEBERAGAMAAN DAN PERILAKU SOSIAL REMAJA (Studi Kasus di Perumnas Klender Kelurahan Malaka Jaya Duren Sawit Jakarta Timur) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Agustus 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1) pada Jurusan Sosiologi Agama.
Jakarta, 25 Agustus 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap Anggota,
Sekretaris merangkap anggota,
Dra. Jaoharotul Jamilah, M.Si NIP.150 282 401
Drs. Agus Darmaji, M.Fils NIP. 150 262 447 Anggota:
Penguji 1
Penguji II
Media Zainul Bahri, MA NIP. 150 326 894
Dra.Jaoharutul Jamilah, M. Si NIP. 150 282 401 Pembimbing,
Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, MA NIP. 150 062 829
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis berbagai nikmat, terutama nikmat kesehatan sehingga mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tak lupa shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pencerahan kepada umat manusia dengan ilmu pengetahuan. Tidak terasa penulisa skripsi ini akhirnya selesai juga. Di sela-sela kesibukan penulis mengelola toko sebagai salah satu penobang perekonomian keluarga, penulis sempatkan untuk mencari buku dan mengetik skripsi hingga selesai. Begitu banyak halangan dan rintangan yang penulis hadapi, terutama masalah waktu yang tidak banyak bagi penulis untuk mencurahkan perhatian dalam penulisan skripsi ini. Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga dalam penyusunan tugas akhir ini. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. M. Amin Nurdin, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) 2. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA (ketua Jurusan Sosiologi Agama) dan Dra. Joharatul Jamilah, M. Si., (sekretaris Jurusan) 3. Ibu Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, MA selaku pembimbing, yang tiada henti dan bosannya memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga mampu menyelesaikan skripsi ini di sela-sela kesibukan penulis dalam pekerjaan. 4. Bapak dan ibu petugas perpustakaan utama, terima kasih atas pelayanan dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat mencari literatur.
5. Bapak dan ibu petugas perpustakaan fakultas, serta adik-adik peserta PKL yang membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Ibunda penulis, yang selalu memberikan nasihat dan semangat kepada penulis untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliah. Beliau adalah teladan bagi penulis, karena meskipun telah menjadi single parent semenjak perceraian dengan ayah, tetap semangat dalam menafkahi keluarga sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Terima kasih bunda, semoga surganya Allah SWT senantiasa memanggil-manggilmu karena begitu banyak kebaikan dan kasih sayang yang engkau berikan kepada penulis. 7. Adik-adik yang menjadi informan dalam penelitian yang penulis lakukan di Kelurahan Klender Duren Sawit Jakara Timur: Dani, Fina, Mia, Mugi, Rian, Seila, Tika yang bersedia bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan yang penulis ajukan. Penulis bisa memahami bagaimana rasanya mempunyai orang tua yang bercerai. Tetap semangat untuk menjalani hidup! 8. Teman-teman penulis di Sosiologi Agama angkatan 2003: Yuni, Ira, Yoyoh, Nani, Seha, Susi, Zie, Dina, Ryan, Tuti, Nadia, Rahmat, Ical, Toto, Roni, Didink, Hamami. 9. Teman-teman penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam lembar kata pengantar ini. Terima kasih atas segala masukan, kritikan, saran dan bantuannya. Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang diberikan mendapat balasan yang berlipat dari Yang Maha Kuasa, amin. Selain itu, semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberi kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi terima kasih.
Jakarta, 04 Juni 2008 Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. ii KATA PENGANTAR......................................................................................... iii DAFTAR ISI........................................................................................................ vi
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 4 D. Metodologi Penelitian............................................................. 5 E. Sistematika Penulisan ............................................................. 7
BAB II
KAJIAN TEORI .......................................................................... 9 A. Perceraian................................................................................ 9 1. Perceraian dalam Perspektif Sosiologis ............................ 9 2. Perceraian dalam Perspektif Yuridis................................. 11 3. Dampak Perceraian bagi anak........................................... 13 B. Agama dan Keberagamaan ..................................................... 16 1. Definisi Agama dan Keberagamaan ................................. 16 2. Dimensi-dimensi Keberagamaan ...................................... 22 C. Remaja .................................................................................... 23 1. Definisi Remaja: Pendekatan Biologis, Psikologis, dan Sosiologis.......................................................................... 23 2. Ciri-ciri Sifat Remaja ........................................................ 24
D. Perilaku Sosial ........................................................................ 27 1. Definisi Perilaku Sosial..................................................... 27 2. Bentuk-bentuk Perilaku Sosial.......................................... 27 BAB III
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN SUBJEK PENELITIAN.............................................................................. 32 A. Kondisi Geografis dan Demografis ........................................ 32 B. Latar Belakang Subjek Penelitian........................................... 38 1. Pendidikan ........................................................................ 38 2. Agama ............................................................................... 39 3. Sosial Budaya.................................................................... 39 4. Ekonomi Keluarga ............................................................ 40
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ................................... 45 A. Perilaku Sosial Remaja Korban Perceraian ............................ 45 B. Perilaku Keberagamaan Remaja Korban Perceraian .............. 53 C. Dampak Perceraian Terhadap Keberagaman dan Perilaku Sosial Remaja .................................................................................... 56
BAB V
PENUTUP.................................................................................... 60 A. ........................................................................................ Kesim pulan........................................................................................ 60 B. ........................................................................................ Saransaran ........................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 62
BAB I PENDAHULUAN
F. Latar Belakang Masalah Seiring laju perkembangan kemajuan zaman, kehidupan masyarakat sekarang ini dirasakan semakin kompleks. Permasalahan yang muncul pun tentunya sangat bervariasi, jenis dan sifatnya mulai dari masalah pribadi yang berhubungan dengan pergaulan, gaya hidup, sampai pada perilaku keberagamaan yang erat kaitannya dengan keyakinan individu termasuk remaja. Segala persoalan dan problema yang terjadi pada remaja sebenarnya berkaitan dengan usia yang mereka lalui, dan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan di mana mereka hidup. Dalam hal ini, suatu faktor yang penting yang memegang peranan remaja adalah agama.1 Tapi sayang sekali, dunia modern kurang menyadari betapa penting dan hebatnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia, terutama pada orang-orang yang mengalami kegoncangan jiwa, di mana usia remaja dikenal dengan masa kegoncangan. Karena pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui mereka dari segala bidang dan segi kehidupan. Bagaimanapun, generasi saat ini adalah gambaran kehidupan bangsa pada saat yang akan datang, untuk itu semua komponen masyarakat bertanggung jawab dalam memupuk moralitas dan nilai-nilai agama pada generasi kita demi terwujudnya bangsa yang dicita-citakan. Keluarga merupakan lingkungan yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap perkembangan intelektual dan emosional anak, dalam hal ini remaja. Karena keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan remaja, tempat ia belajar dan berperan sebagai makhluk sosial. 1
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 69
Namun tidak selamanya kehidupan dalam keluarga berjalan mulus, terkadang dapat terjadi pertengkaran hebat yang menyebabkan perbedaan pendapat antara kedua orang tua, sehingga terjadilah keretakan dalam rumah tangga. Keadaan inilah yang biasanya menjadi penyebab awal terjadinya perceraian. Cerai secara bahasa Arab adalah talak yang berarti melepas ikatan. Yang dimaksud dengan kata cerai di sini adalah melepaskan ikatan perkawinan. Hukum asal perceraian adalah makruh berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar: “Sesuatu halal tapi dibenci Allah ialah talak (HR. Ibnu Majah).2 Dengan begitu tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian apabila ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan. Perceraian itu sendiri harus didasari alasan-alasan yang dapat dipertangungjawabkan.3 Perceraian memiliki dampak yang kurang baik dalam keluarga terutama bagi perkembangan anak. Keadaan setelah terjadi perceraian mempengaruhi psikis dan kehidupan sosial keagamaan anak, dalam hal ini remaja. Masa remaja adalah masa yang penuh kegoncangan jiwa, yakni masa berada dalam peralihan atau di atas jembatan goyang, yang menghubungkan masa kanakkanak yang penuh kebergantungan, dengan masa dewasa yang matang dan berdiri sendiri.4 Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan bisa membangkitkan integrasi yang tinggi dalam kehidupan sosial bermasyarakat, ada pun pribadi seorang remaja sangat menentukan perilaku sosial dan keberagamaannya baik secara khusus di lingkungan keluarga maupun secara umum di lingkungan masyarakat. 2
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, hadis no. 2008 lihat juga Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis no. 1863 3 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarya, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam (Jakarta: Hida Karya Agung, 1981), h. 7 4 Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, h. 72
Pada masa remaja dibutuhkan seorang figur yang bisa mereka jadikan teladan, yakni kedua orang tua mereka. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bahwa terjadinya perceraian akan mempengaruhi perilaku sosial dan keberagamaan remaja. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul “Dampak Perceraian terhadap Keberagamaan dan Perilaku Sosial Remaja” (Studi Kasus di Perumahan Nasional Klender Kelurahan Malaka Jaya Duren Sawit Jakarta Timur).
G. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar penelitian yang penulis lakukan tersusun dan tertata dengan baik serta berhubungan dengan judul, tema pembahasannya lebih terfokus dan tidak melebar, maka perlu dijelaskan batasan masalahnya sebagai berikut: A. Dampak perceraian terhadap perilaku sosial dan keberagamaan remaja, maksudnya adalah perilaku seperti apa yang tampak pada remaja saat kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah atau mengakhiri hubungan suamiistri atau dengan kata lain bercerai. B. Perceraian adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya perkawinan.5 C. Sikap keberagamaan adalah sikap yang dimiliki oleh seseorang yang beragama yang terdiri dari lima dimensi: keyakinan, pratik, pengalaman, pengetahuan, konsekuensi. Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan pada dimensi keyakinan dan dimensi praktik. D. Perilaku adalah suatu tindakan rutin yang dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi ataupun kehendak untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkannya, dan hal itu mempunyai arti baginya. 5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penterjemah Moh Thalib (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Cet. Ke-2, jilid 8, h. 9
E. Remaja di sini adalah keadaan masa peralihan yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai dewasa.6 Masa remaja dalam penelitian ini adalah mereka yang termasuk dalam kategori remaja madya yang berumur antara 16-18 tahun. Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dampak perceraian terhadap perilaku remaja? 2. Bagaimana keberagamaan remaja yang menjadi korban perceraian?
H. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: A. Untuk mengetahui dampak yang dirasakan oleh remaja karena perceraian. B. Untuk mengetahui bagaimana keberagamaan remaja korban perceraian dari dimensi keyakinan dan praktik. C. Untuk mengetahui perilaku sosial remaja yang menjadi korban perceraian. Sedangkan manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Untuk menambah wawasan sosial keagamaan bagi penulis, khususnya mengenai dampak perceraian pada remaja. 2. Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai dampak dari perceraian terhadap perilaku sosial dan keberagamaan remaja. 3. Untuk memberikan motivasi serta pelajaran hidup bagi subjek penelitian, sehingga dapat menghindari perceraian di kemudian hari.
6
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, h. 82
4. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
I. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: A. Pendekatan dan jenis penelitian Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research) dengan mengambil sebuah studi kasus. Studi kasus diambil karena diharapkan dapat menjelaskan suatu fenomena sosial yang ada di masyarakat secara mendalam dan murni, dalam hal ini dampak perceraian terhadap keberagamaan dan perilaku sosial remaja. Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi.7 B. Subjek Penelitian Istilah subjek penelitian menunjuk kepada orang atau individu atau kelompok yang dijadikan unit atau satuan (kasus) yang diteliti. Dalam penelitian ini subjeknya adalah remaja yang orang tuanya mengalami perceraian di Prumnas Klender Kelurahan Malaka Jaya Duren Sawit Jakarta Timur. C. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi atau pengamatan langsung penulis lakukan untuk mendapatkan gambaran sebanyak mungkin mengenai tema yang dibahas, yaitu keberagamaan dan perilaku sosial remaja sebagai dampak dari perceraian. 7
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; Pemikiran Norman dan Egan Guba (Yogyakarta: Tirta Wacana Yogya, 2001), h. 93
b. Wawancara mendalam (indepth interview) Wawancara mendalam yaitu peneliti atau petugas penelitian melakukan interview dengan subjek atau informan penelitian secara mendalam untuk mendapatkan
informasi
yang
berkaitan
dengan
tema
penelitian.
Pertanyaan-pertanyaan kepada informan dikemukakan secara lisan, berdasarkan pedoman wawancara. D. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah deskriptif analitis, artinya data-data yang penulis peroleh dari sumber primer yang berupa hasil observasi dan sumber sekunder dari hasil wawancara dianalisa dengan menggunakan teori yang telah dicantumkan sebelumnya. E. Teknik Penulisan Dalam penulisan skrispi ini penulis menggunakan pedoman penulisan skripsi yang dikeluarkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006/2007 serta panduan pembuatan skrispi, tesis dan disertasi karangan Hamid Nasuhi et.al.
J. Sistematika Penulisan Adapun pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bahasan dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan. Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, sistematika penulisan.
BAB II
Kajian Teori. Dalam bab ini berisi kerangka teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu mengenai perceraian yang
terdiri dari perceraian dalam perspektif sosiologis, perceraian dalam perspektif yuridis, dampak perceraian bagi anak yang terdiri dari pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, lalu tentang agama dan keberagamaan yang terdiri dari definisi agama dan keberagamaan, dimensi-dimensi keberagamaan, kemudian remaja yang terdiri dari definisi remaja: pendekatan biologis, psikologis, dan sosiologis, ciriciri sifat remaja, dan yang terakhir perilaku sosial yang terdiri dari definisi perilaku sosial, bentuk-bentuk perilaku sosial. BAB III
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Subjek Penelitian. Bab ini merupakan gambaran umum mengenai daerah penelitian dan subjek penelitain yang terdiri dari kondisi geografis dan demografis, latar belakang subjek penelitian yang terdiri dari pendidikan, agama, sosial budaya, ekonomi keluarga, serta faktor-faktor penyebab perceraian.
BAB IV
Pembahasan Hasil Penelitian. Bab ini merupakan hasil dari penelitian dalam skripsi ini, yang berisikan perilaku sosial remaja korban perceraian, perilaku keberagamaan remaja korban perceraian, dampak perceraian terhadap keberagaman dan perilaku sosial remaja.
BAB V
Penutup. Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Perceraian 4. Perceraian dalam Perspektif Sosiologis Perceraian di kalangan masyarakat terdapat pro dan kontra. Mereka yang pro terhadap perceraian menganggap bahwa pernikahan seharusnya dipertahankan bagaimanapun kondisinya. Hal ini mengingat dampak sosial yang timbul dari perceraian, mulai dari anak-anak hingga masyarakat yang masih memandang perceraian sebagai sesuatu yang tidak baik dengan dalih bahwa perceraian adalah sesuatu yang halal namun dibenci oleh Allah SWT. Sedangkan yang kontra menganggap sudah tidak ada gunanya lagi mempertahankan perkawinan yang sudah tidak harmonis. Langkah yang tepat adalah dengan berpisah dan berusaha membangun rumah tangga dengan orang lain. Perceraian dalam bahasa Arab disebut thalak, kata thalak berasal dari bahasa Arab yang artinya melepaskan ikatan perkawinan (berpisah, bercerai).8 Kata thalak dalam bahasa Arab kemudian diserap oleh bahasa Indoensia menjadi talak. Talak dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai perceraian menurut Islam, yang dilakukan seorang laki-laki kepada istrinya.9 Secara etimologis, talak adalah perpisahan yang diinginkan oleh suami sebagai haknya.10 Hal yang senada juga diungkapkan oleh Sayyid Sabiq yang
8
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: PP AlMunawwir, 1984), h. 239 9 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 998 10 Abu A’la Al-Maududi dan Fazl Ahmad, Pedoman Perkawinan dalam Islam (Jakarta: Darul Ulum Press, 1987), Cet. Ke-1, h. 35
mengatakan bahwa talak adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya perkawinan.11 Beberapa hal yang berkenaan dengan perceraian antara lain: a. Perceraian lebih banyak terjadi di kota-kota besar b. Perceraian lebih banyak menimpa masyarakat yang kurang berbudaya dan lebih-lebih pada masyarakat awam. c. Perceraian lebih banyak menimpa masyarakat tidak beragama. d. Perceraian lebih banyak menimpa keluarga tanpa keturunan. e. Perceraian lebih banyak menimpa keluarga kaya daripada keluarga miskin. f. Perceraian lebih banyak menimpa keluarga yang strukturnya tidak kokoh. g. Perceraian lebih banyak terjadi karena keinginan suami. h. Perceraian lebih banyak terjadi dalam kondisi sulit. i. Perceraian lebih banyak menimpa pasangan usia muda.12 Penyebab-penyebab perceraian seperti yang telah disebutkan diatas, memberikan
informasi
bahwa
perceraian
itu
hendaknya
didasari
atas
pertimbangan yang logis dengan mengesampingkan emosi. Penyebab-penyebab perceraian seperti tidak mempunyai keturunan setidaknya bisa ditolerir, karena salah satu dari fungsi pernikahan adalah untuk mempertahankan keturunan. Hikmah perceraian antara lain adalah untuk menolak bahaya, yaitu apabila perpecahan antara suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami istri, maka cerai dengan caracara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT merupakan penolak terjadinya permusuhan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah.13
5. Perceraian dalam Perspektif Yuridis
11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penterjemah Moh Thalib (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Cet. Ke-2, jilid 8, h. 9 12 Ali Husain Muhammad Makki al-Amili, Perceraian Salah Siapa; Bimbingan Islam dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga (Jakarta: Lentera, 2001), Cet. Ke-1, h. 41-42 13 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-2, h. 226
Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang tercakup dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.14 Sedangkan mengenai hukum perceraian ada empat yaitu: wajib, sunnah, haram, dan makruh. a. Wajib Talak menjadi wajib apabila suami sudah bersumpah dengan mengatakan ia tidak akan mengggauli istrinya lagi. b. Sunnah Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupinya (nafkahnya) dengan cukup atau si istri tidak dapat menjaga kehormatan dirinya.15 Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:
ٍﺣﺴَﺎن ْ ِﺢ ﺑِﺎ ٌ ﺴ ِﺮ ْﻳ ْ ف َا ْو َﺗ ٍ ك ِﺑ َﻤ ْﻌ ُﺮ ْو ٌ ﻦ َﻓِﺈ ْﻣﺴَﺎ ِ ق َﻣ ﱠﺮ َﺗ ُ ﻄﻠَﺎ اَﻟ ﱠ Artinya: Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah: 229). c. Haram Perceraian akan menjadi haram bila terdapat dua hal, yaitu: 1) Menjatuhkan talak sewaktu istri dalam keadaan haid 2) Menjatuhkan talak sewaktu istri dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri dalam keadaan suci tersebut. Sabda Nabi SAW:
14
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Depag, 1995), h. 236 Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibari, Fathul Muin, penterjemah Aliy As’ad (Kudus, Menara, 1979), h. 135 15
ﷲ ِ لا ِ ﺳ ْﻮ ُ ﻋ ْﻬ ِﺪ َر َ ﺾ ِﻓﻰ ٌ ﺣﺎ ِﺋ َ ﻲ َ ﻖ ِا ْﻣ َﺮَا َﺗ ُﻪ َو ِه َ ﻃَﻠ َ ﻋ َﻤ َﺮ َا ﱠﻧ ُﻪ ُ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ِﻋ َ ﺻ ﱠﻠﻰ َ ﷲ ِ لا ِ ﺳ ْﻮ ُ ب َر ِ ﻄﺎ ﺨﱠ َ ﻦ ا ْﻟ ُ ﻋ َﻤ ُﺮ ا ْﺑ ُ ل َ ﺴَﺄ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ا َ َ ﺳ ﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ا ﺳ ﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻ ﱠﻠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ﻚ َﻓ َﻘ ﺎ َ ﻦ َذِﻟ ْ ﻋ ﻄ َﻬ ُﺮ ُﺛ ﱠﻢ ْ ﺾ ُﺛ ﱠﻢ َﺗ ُ ﺤ ْﻴ ِ ﻄ َﻬ ُﺮ ُﺛ ﱠﻢ َﺗ ْ ﺣ ﱠﺘﻰ َﺗ َ ﺴ ُﻜ َﻬﺎ ِ ﺟ ُﻌ َﻬﺎ ُﺛ ﱠﻢ ِﻟ َﻴ ْﻤ ِ ُﻣ ﱡﺮ ُﻩ َﻓ ْﻠ ُﻴ َﺮا ﻚ َ ﺲ َﻓ ِﺘ ْﻠ ِ ن َﻳ ْﻤ ْ ﻞ َا َ ﻃﱠﻠ َﻘ َﻬ ﺎ َﻗ ْﺒ َ ﺷ ﺎ َء َ ن ْ ﻚ َوِا َ ﺴ َﻜ َﻬﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ َذِﻟ َ ﺷ ﺎ َء ِا ْﻣ َ ن ْ ِا ( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﺴﺎ ُء َ ﻖ َﻟ َﻬﺎ اﻟ ﱢﻨ ُ ﻄُﻠ ْ ﻦ َﻳ ْﻋ َ ﻞ ﺟﱠ َ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﷲ ُ ا ْﻟ ِﻌ ﱠﺪ ُة اﱠﻟ ِﺘﻰ َا َﻣ َﺮ ا Artinya: Dari Ibnu Umar ra berkata dia pernah mentalak istrinya di masa Rasulullah asw ketika istrinya sedang haid. Lalu Umar bin Khattab menanyakan hukum kasus te rsebut kepada Rasulullah Saw, sabda beliau: Suruhlah dia rujuk kemudian tinggallah sampai ia suci, sesudah itu dia haid lagi, kemudian suci kembali. Pada saat suci kedua itulah dia boleh memilih apakah dia akan tetap berpasangan atau bercerai, yaitu sebelum melakukan persetuuhan lagi. Dan itulah yang dimaksud dengan iddah yang diperintahkan Allah azza wa jalla menerapkannya. (HR. Muslim).16 d. Makruh Perceraian akan menjadi makruh bila tidak ada sesuatu hal yang menyebabkan perceraian tersbebut. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa perceraian itu adalah sesuatu yang halal namun dibenci oleh Allah. Seperti yang tercantum dalam hadis di bawah ini:
ﺳ ﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻲ ﺻَ ﻠﱠﻰ ا ﻦ اﻟ ﱠﻨﺒِ ﱢ ِ ﻋ َ ﻋ َﻤ ِﺮ ُ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ِ ﻋ َ ﻦ ِدﺛَﺎ ِر ِ ب ا ْﺑ ِ ﻦ َﻣﺤَﺎ ِر ْﻋ َ )رواﻩ اﺑ ﻮا داود واﺑ ﻦ.ق ُ ﻞ اﻟﻄﱠَﻠ ﺎ ﺟ ﱠ َ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﷲ ِ ل ِاَﻟ ﻰ ا ِ ﺤَﻠ ﺎ َ ﺾ ا ْﻟ ُ َا ْﺑ َﻐ:ل َ ﻗَﺎ (ﻣﺎﺟﻪ Artinya: Dari Muhasib bin Ditsar dari Umar dari Nabi saw bersabda: Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah yaitu talak. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)17
6. Dampak Perceraian bagi anak a. Pendekatan Sosiologis Perceraian yang terjadi di dalam sebuah keluarga, membuat anak akan merasa tidak puas dengan keadaan yang membingkai kehidupannya. Menurut
16 17
Muslim, Shahih Muslim, penterjemah F.A. Widjaya (Jakarta: Ma’mur Daud, t.th), h. 99 Abu Daud, Sunan Abi Daud, penterjemah Bey Arifin (Semarang; As-Syifa, 1992), h. 87
Dra Hastaning Sakti MKes, dosen psikologi Universitas Diponegoro Semarang, dalam hal ini batin si anak pasti berteriak, karena mereka tidak menyukai keadaan seperti itu. Hastaning lebih jauh mengatakan bahwa ada kecenderungan si anak tidak merasa puas dengan kedua orang tua mereka, saat orang tua mereka bercerai. Yang paling ekstrem menurutnya adalah, kadang si anak bahkan memutuskan untuk tidak memilih kedua-duanya untuk diikuti. Ini terutama terjadi pada anak yang beranjak remaja. Bagi si anak, perceraian orang tua itu sendiri adalah aib. Karena kecewa dengan kondisi itu, dia akan menarik diri dari lingkungan dan merasa minder dengan orang lain. Dia akan merasa risih ketika ditanya oleh orang lain, misalnya saja guru dan teman mereka. Tidak heran jika si anak akan memilih menghindari orang lain. Saat yang paling tidak menguntungkan bagi anak dalam perceraian orang tua mereka adalah, ketika proses perceraian itu sedang berlangsung. Mereka akan merasa tertekan dan bisa jadi bingung akan ikut siapa. Namun jika sudah ada keputusan final, kondisi psikologisnya akan berangsurangsur pulih. perceraian
bisa
menimbulkan
ketidakseimbangan
anak
yang
seharusnya berada dalam pendidikan kedua orang tua mereka. "Jika orang tua bercerai, maka si anak akan kehilangan salah satu figur orang tua mereka. Apa pun alasannya, dampak perceraian paling dirasakan oleh sang anak. Selain kasih sayang yang berkurang karena ikut salah satu orang tuanya, kesempatannya untuk mendapat pendidikan dari kedua orang tuanya pun jadi terganggu.
Ketika orang tuanya masih bersama, dia mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Namun ketika sudah bercerai, keadaannya pasti berbeda. Dalam istilah Hastaning, perceraian bisa menyebabkan kepandaian anak menurun.18 Perceraian yang terjadi pada orang tua memberikan dampak sosiologis bagi anak. Salah satu di antaranya adalah anak akan merasa tidak percaya diri dalam pergaulan sehari-hari bersama dengan teman-teman sebayanya karena orang tua mereka telah berpisah.
b. Pendekatan Psikologis Perceraian bagaimanapun adalah keputusan yang menyakitkan bagi pasangan suami istri, juga anak-anaknya. Untuk itu, Asniar Khumas, S.PSi menekankan bahwa perceraian akan sangat berdampak bagi kehidupan seluruh anggota keluarga, baik secara fisik maupun psikologis. Dan yang paling rentan mengalami trauma adalah anak usia remaja dibandingkan mereka yang masih berusia kanak-kanak. Menurutnya anak remaja paling rentan trauma karena ia telah mengerti akan arti kasih sayang. Dan ini dibuktikan dengan data bahwa begitu banyak anak remaja yang mengonsumsi narkoba akibat trauma perceraian orangtua mereka. Artinya, mereka tidak bisa menerima fakta perceraian orangtuanya. Trauma perceraian ini tidak hanya berdampak pada perilaku ketika anak remaja masih sendiri, tetapi juga akan berpengaruh pada kehidupan rumah tangga mereka di kemudian hari. Lebih lanjut Asniar menambahkan 18
Perceraian akibatkan trauma psikologis, artikel di akses tanggal 11 April 2008 dari http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2520&Itemid=7
bahwa anak akan selalu berada dalam lingkaran ketakutan akan mengalami hal yang sama seperti kehidupan ayah ibunya. Buntutnya anak bisa saja memutuskan tidak akan mendekati lawan jenisnya, atau tidak ada keinginan untuk menikah.19 Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah: -
tidak aman (insecurity)
-
tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi
-
sedih dan kesepian
-
marah
-
kehilangan
-
merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai. Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat termanifestasi
dalam bentuk perilaku: -
suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.20 Dampak-dampak psikologis tersebut seringkali membuat anak
terganggu perkembangannya, khususnya perkembangan mental.
B. Agama dan Keberagamaan 3. Definisi Agama dan Keberagamaan 19
Perceraian Orangtua, artikel di akses tanggal 11 April 2008 dari http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=18226 20 Martina Rini S. Tasmin, Spsi, Perceraian dan Kesiapan Mental Anak, artikel di akses tanggal 11 April 2008 dari http://www.e-psikologi.com/keluarga/180402a.htm
Secara etimologis istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu a artinya tidak dan gama artinya kacau. Dari pengertian seperti ini, agama dapat diartikan sebagai suatu institusi penting yang mengatur kehidupan manusia agar tidak terjadi kekacauan. Istilah agama juga dapat disamakan dengan kata religi yang berasal dari bahasa latin religio yang berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat.21 Secara mendasar dan umum agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam ghaib -khususnya dengan Tuhannya- mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungannya.22 Sedangkan secara lebih khusus dengan memperhatikan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci. Sebagai suatu sistem keyakinan maka agama berbeda dengan sistem keyakinan dan isme-isme lainnya karena landasan keyakinan agama adalah konsep suci (sacred) dan ghaib (supranatural) yang dibedakan dari yang duniawi (profane) dan hukum-hukum alamiah (natural). Selain itu hal lain yang membedakan agama dengan isme-isme lainnya adalah karena ajaran-ajaran agama selalu bersumber pada wahyu Tuhan atau wangsit-dalam agama-agama lokal dan primitif- yang diturunkan kepada nabi sebagai pesuruh-Nya. Adapun ciri yang mencolok dari agama yang berbeda dengan isme-isme adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhannya. 21
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung:Remaja Rosda Karya,2000), h.13. Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT Rajawali Press, 1988), h.V 22
Menurut Quraish Shihab agama adalah ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Karakteristik agama diantaranya adalah hubungan makhluk dengan sang pencipta yang terwujud dalam sikap batinnya, tampak dalam ibadah yang dilakukannya serta tercermin dalam perilaku kesehariaannya. Dengan demikian agama meliputi tiga persoalan pokok yaitu tata keyakinan (atas adanya kekuatan supranatural) tata peribadatan (perbuatan yang berkaitan dengan zat yang diyakini sebagai konsekwensi keyakinan) dan tata kaidah (yang mengatur hubungan antar manusia dengan manusia dan dengan alam sekitarnya. 23 Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama tak akan pernah tuntas tanpa mengikut sertakan aspek-aspek sosiologisnya karena agamanya menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya. Karena itu agama benarbenar merupakan masalah sosial. Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada 3 macam, kepercayaan pada hal-hal yang spiritual, perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dan idiologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural24 Buku yang lain mendefinisikan agama sebagai suatu sistem sosial yang dibuat penganutnya yang berporos pada perbuatan-perbuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.25 Dalam terminologi Arab, agama biasa disebut dengan kata al-Din/alMillah. Sebagaimana agama, kata al-Din itu sendiri mengandung berbagai arti. AlDin/Al-Millah yang berarti “mengikut” maksudnya adalah mempersatukan segala
23
Fuad Nashori dan Bachtiar Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam perspektif Psikologi Islam (Yogyakarta: Menara Kudus, 2000). Cet. 1, h. 71. 24 Dadanng Kahmad, Sosiologi Agama, h. 129 25 Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h.34
pemeluknya dan mengikat mereka dalam satu ikatan yang erat.26 Al-Din juga berarti undang-undang yang harus dipatuhi. Selain itu kata al-Din juga dapat diartikan al-Mulk (kerajaan), Al-khidmat (pelayanan), al-Izzah (kemenangan), alDzul (kehinaan), al-Ikrah (pemaksaan), al-Ikhsan (kebajikan). Sedangkan al-Din yang biasa diterjemahkan dengan “Agama” menurut Guru Besar Al-Azhar Syaikh Muhammad Abdullah Badran menggambarkan suatu hubungan antara dua pihak dimana pihak yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua. Dengan demikian, agama merupakan antara makhluk dan Khaliknya, hubungan ini kemudian terwujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam praktek ibadah atau ritual yang dilakukannya untuk kemudian tercermin pula dalam sikap dan perbuatan dalam kesehariannya.27 Dalam kamus sosiologi pengertian agama (religion) mencakup tiga aspek yakni : pertama menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat speritual. Kedua, merupakan perangkat kepercayaan dan praktek-praktek speritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri. Ketiga, ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.28 Selanjutnya definisi agama dalam kajian sosiologi adalah definisi yang bersifat empiris, artinya kajian agama dalam sosiologi tidak pernah memberikan definisinya secara evaluatif (menilai), mengenai baik dan buruknya, benar dan tidaknya agama atau agama-agama bukanlah wilayah kajian sosiologi. Wilayah kajian sosiologi hanya memberikan definisi tentang agama yang sifatnya deskriptif (menggambarkan apa adanya), mengungkapkan apa yang dimengerti dan apa yang dialami masyarakat bisa bersifat positif atau sebaliknya negatif. Ia
26
Hasbi Ash-Shiddiqy, Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang , 1952), h. 50 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qu’arn: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Masyarakat (Bandung : Mizan, 1997), h. 210 28 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1993), h. 430 27
(agama) mungking mendukung kesinambungan eksistensi masyarakat atau malah berperan menghancurkannya.29 Bagi para penganut aliran fungsionalisme, mereka dengan sengaja memberikan sorotan dan tekanan khusus atas apa yang ia lihat dari agama. Jelasnya ia melihat agama dari fungsinya. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik di lingkup lokal, regional maupun nasional. Maka ditinjauan teori fungsional yang dipentingkan adalah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama atau agamaagama, cita-cita masyarakat (akan terciptanya suatu keadilan, kedamaian dan kesejahteran jasmani dan rohani dapat terwujud).30 Agama dan keberagamaan adalah dua istilah yang dapat difahami secara terpisah meskipun kedua mempunyai makna yang sangat erat. Mengenai definisi agama telah dijelaskan di atas sedangkan keberagamaan berarti pembicaran mengenai pengalaman atau fenomena yang manyangkut hubungan antar agama dengan penganutnya atau suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang (penganut utama) yang mendorong untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya. Kata keberagamaan berasal dari kata “beragama”. Kata beragama dalam Kamus Bahasa Indonesia yaitu antara lain : a. Menganut (memeluk) agama b. Beribadat, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama), misalnya dia berasal dari keluarga yang taat beragama. Menurut
Djamaluddin
mendefinisikan
keberagamaan
“manifestasi” seberapa jauh individu penganut agama 29
sebagai
meyakini, memahami,
Thomas F O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, diterbitkan bekerjasama dengan Yayasan Solidaritas Gadjahmada (Jakarta : Rajawali Press, 1988), h 30 30 Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h. 30
menghayati dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek kehidupan.31 Berkaitan dengan keberagamaan Islam, kualitas keberagamaan seseorang ditentukan oleh seberapa jauh individu memahami dan mengamalkan ajaranajaran serta perintah Allah secara menyeluruh dan optimal. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan iman dan ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan sehingga fungsi sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia dan seluruh alam dapat dirasakan. Keberagamaan Islam meliputi jasmani dan rohani, pikir dan zikir, aqidah dan ritual, pribadatan, penghayatan dan pengamalan, akhlak, individu dan sosial masyarakat serta masalah duniawi dan akhirat. Dalam dimensi keyakinan atau aqidah seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan. Keyakinan seperti itu akan diperoleh oleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada keimanan kepada Allah dan hari Akhir. Selanjutnya dalam dimensi syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan mengamalkan syariat representasi dari keyakinan sehingga sulit dipercaya jika seorang mengaku beriman kepada Allah dan hari Akhir tetapi tidak mengindahkan syariatnya, karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang darinya. Maksudnya ialah keyakinan harus disertai dengan pengamalan kepada Allah.
4. Dimensi-dimensi Keberagamaan
31
Muhammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi (Yogyakarta: UGM Press, 1995) , h. 44
Konsep-konsep tentang keberagamaan tidak sama bagi semua orang, baik masyarakat komplek, modern, maupun bagi sebagian besar masyarakat primitif yang homogen karena adanya keberagamaan yang luas. Setiap penelitian mengenai individu dan agamanya menghadapi masalah yang pelik dalam hal definisi bagaimana kita melihat dan memberi batasan “keberagamaan” dan bagaimana kita menggolongkan seseorang dalam konteks ini. Menurut R Stark dan C.Y. Glock dilihat dari sudut dimensi sosiologi agama terdapat lima dimensi utama dalam memahami masyarakat agama, yaitu : a. Dimensi keyakinan merupakan dimensi yang berisikan dimensi yang berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrindoktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan taat walaupun demikian isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi sering kali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. Dalam setiap agama mesti terdapat sistem kepercayaan yang harus dipertahankan dimana penganutnya diharapkan mentaatinya. b. Dimensi prektek agama menurutnya, dimensi ini mencakup perilaku pemujaan-pemujaan serta ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan sebuah komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktekpraktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting yaitu : pertama, ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua agama mengharapkan para penganutnya melaksanakan. Keua, ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi. c. Dimensi pengalaman, dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu walaupun tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan tercapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu keadaan kontak dengan perantara supranatural. d. Dimensi pengetahuan agama, dimensi ini mengacu pada harapan bahwa seseorang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi agama yang dianutnya. Glock melihat bahwa dimensi ini tidak selalu sejalan dengan prakteknya. Seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. e. Dimensi konsekuensi, konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat dimensi di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-
akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah “kerja” dalam pengertian teologis digunakan disini walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan seharihari tidak sepenuhnya jelas sebatas konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan semata-mata berasal dari agama. 32
C. Remaja 3. Definisi Remaja: Pendekatan Biologis, Psikologis, dan Sosiologis Untuk mendefinisikan istilah remaja memang tidak mudah karena manusia itu sangat heterogen, baik dilihat dari segi fisiknya maupun psikisnya, lingkungan sosial dan sebagainya. Walaupun demikian para ahli memberikan batasan-batasan tentang definisi remaja penelitiannya masing-masing karena memang keadaan fisik daln psikis remaja itu berbeda dengan usia anak-anak maupun usia dewasa walaupun perbedaannya tidak terlalu jauh. Istilah adolescence mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget : Secara psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada daam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.33 Masa remaja identik dengan dengan masa puber. Pubertas adalah suatu periode kedewasaan kerangka tubuh dan seksual yang cepat, terutama terjadi pada awal masa remaja. Testosteron memainkan peran penting dalam perkembangan pubertas
laki-laki,
estradiol
pada
perkembangan
pubertas
perempuan.
Pertumbuhan yang cepat pada anak laki-laki terjadi kira-kira 2 tahun lebih telat daripada anak perempuan, yakni 12 ½ tahun usia awal rata-rata pada anak laki-
32
Roland Robertson, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, h. 295 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1996), Edisi ke 5, h. 206. 33
laki, 10 ½ tahun usia awal rata-rata pada anak-anak perempuan. Kematangan individual pada masa pubertas bersifat menyuluruh.34 Sedangkan menurut Amir Hamzah Nasution masa remaja adalah masa pubertas, masa perubahan-perubahan fisik dan psikis, masa kegelisahan atau resah, masa penuh pertentangan lahir batin, masa cita-cita setinggi langit, masa romatis, herois, radikal, masa mencapai kematangan seksuil, pembentukan pribadi dan mencapai pandangan dan tujuan dunia dan akhirat.35
4. Ciri-ciri Sifat Remaja Masa remaja terbagi atas dua tingkat36 yaitu masa remaja pertama, kirakira dari umur 9 sampai dengan umur 16 tahun, dimana pertumbuhan jasmani dan kecerdasan berjalan dengan cepat yang lebih dikenal dengan sebutan ABG (Anak Baru Gede) dan kedua masa remaja akhir kira-kira dari umur 17 tahun sampai dengan 21 tahun yang merupakan pertumbuhan atau perubahan terakhir dalam pembinaan pribadi sosial. Panjang pendeknya masa remaja dan berat ringan masalah yang dihadapinya ditentukan pula oleh kemajuan dan keterbelakangan masyarakat dimana remaja itu hidup. Pengaruh keadan ekonomi, budaya, dan keberagamaan masyarakat tempat remaja itu juga besar. Tidak mengherankan bila dua anak remaja berbeda daya pikirnya karena lingkungan dan kondisi sosial ekonominya berbeda. a. Pertumbuhan fisik
34
John W. Santrock, Life-Span Development; Perkembangan Masa Hidup (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 15 35 Amir Hamzah Nasution, Ilmu Jiwa Kanak-kanak (Surabaya : NV Ganaco, 1970) Cet. Ke-1, h. 73
Pertumbuhan fisik cepat terjadi pada masa antara 13 – 16 tahun, namun pertumbuhan anggota fisik tidak berjalan serentak dan kecepatan pertumbuhan antara seorang remaja dengan remaja lainnya juga tidak sama. Perubahan erat hubungannya dengan perubahan fisik adalah perubahan tingkah laku, misalnya perubahan minat, antara lain minat belajar berkurang, timbul minat terhadap lawan jenis, juga minat terhadap kerja menurun. Anak perempuan mulai sering memperhatikan dirinya. Perubahan lain adalah pada emosi, pandangan hidup, sikap dan sebagainya. Dengan perubahan tingkah laku maka jiwa akan gelisah dan juga seing konflik dengan orang tua karena adanya perbedaan-perbedaan sikap dan pandangan hidup. Kadang-kadang juga bertentangan dengan lingkungan masyarakat dikarenakan adanya norma yang dianutnya dengan yang berlaku dilingkungannnya.37 b. Pertumbuhan dan kematangan fisik Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan fisik terjadi pula perubahan dengan perkembangan dalam tubuhnya, kelenjar kekanakkanakannya telah berakhir berganti dengan kelenjar endoktrin yang memproduksi hormon sehingga menggalakkan pertumbuhan organ seks yang bertumbuh menuju kesempurnaan. Organ seks menjadi besar disertai dengan kemampuannya untuk melaksanakan fungsinya. Pada remaja putri terjadi pembesaran payudara dan membesarnya pinggul, disamping itu meningkat pula dengan cepat berat dan tinggi badan, sedangkan pada remaja putra mulai kelihatan membesar jakun di lehernya dan suara menjadi besar, di samping itu bahunya bertambah lebar dan mulai tumbuh bulu di ketiak dan kumis. Satu
37
ke-3, h. 20
Sopyan S. Willis, Problema Remaja dan Pemecahannya (Bandung : Angkasa, 1994), Cet
tanda kematangan seksual yang jelas pada remaja putri yaitu terjadinya datang bulan atau haid dan pada remaja putra mimpi basah. c. Mulai tertarik pada lawan jenisnya Rasa tertarik pada lawan jenisnya sangat kuat dibandingkan dengan masa kanak-kanak sebelumnya, oleh karena itu ia selalu ingin memperhatikan lawan jenisnya sekaligus juga ingin diperhatikan. Keinginan untuk memperhatikan dan diperhatikan itu sering menimbulkan pertanyaan apakah saya tampan atau dia tampan? Demikian juga sebaliknya.
D. Perilaku Sosial 3. Definisi Perilaku Sosial Perilaku adalah setiap cara reaksi atau respon manusia, makhluk hidup terhadap lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku adalah aksi, rekasi, terhadap rangsangan.38 Perilaku adalah suatu tindakan rutin yang dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi ataupun kehendak untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkannya, dan hal itu mempunyai arti baginya.39 Perilaku sosial bisa juga diartikan sebagai tindakan sosial. Dalam hal ini Max Weber mengartikan tindakan sosial sebagai tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat. dalam bertindak atau berperilaku seorang individu hendaknya memperhitungkan keberadaan individu lainnya dalam masyarakat, hal ini perlu diperhatikan 38
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis Anak, Remaja, dan Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), h. 5 39 K.J. Veeger, Realitas Sosial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), Cet. Ke-4, h. 171
mengingat tindakan sosial menjadi perwujudan dari hubungan atau perilaku sosial.40
4. Bentuk-bentuk Perilaku Sosial Mengenai bentuk-bentuk perilaku sosial, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Max Weber. Weber membuat peralihan dari aksi sosial ke kehidupan sosial umum adalah tipologi aksi. Aksi diklasifikasikan ke dalam empat macam untuk keperluan penyusunan komponen-komponen, yang tercakup di dalamnya. Aksi adalah zweckrational (berguna secara rasional) manakala ia diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu pluratilas cara-cara dan tujuan-tujuan di mana si pelaku bebas memilih cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi; aksi adalah wertirational (rasional dalam kaitannya dengan nilai-nilai) manakala cara-cara dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan; aksi adalah afektif manakala faktor emosional menetapkan cara-cara dan tujuan-tujuan daripada aksi; dan aksi adalah tradisional manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya adalah pasti sekedar kebiasaan.41 Untuk lebih jelasnya, berikut ini empat tipe tindakan sosial yang dianggap sebagai tipe ideal. 1) Rasinalitas Instrumental Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macammacam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini. 40
Yadi Mulyadi, Panduan Sosiologi (Jakarta: Yudistira, 1995), h. 16 Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, dari Comte hingga Parson (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), Cet. Ke-1, h. 276 41
Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih tadi. Hal ini mungkin mencakup pengumpulan informasi, mencatat kemungkinan-kemungkinan serta hambatan-hambatan yang
terdapat
dalam lingkungan,
dan
mencoba
untuk
meramalkan
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alterinatif tindakan itu. Akhirnya suatu pilihan dibuat atas alat yang dipergunakan yang kiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektivitasnya. Sesudah tindakan itu dilaksanakan, orang itu dapat menentukan secara obyektif sesuatu yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai. Weber, sebagaimana yang dikutip oleh Doyle Paul Johnson, menjelaskan: Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif. 2) Rasionalitas yang berorientasi nilai Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalita yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal di mana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuantujuan mana yang harus dipilih. Lebih lagi, komitmen terhadap nilai-nilai ini adalah sedemikian sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan, efisiensi, dan sebagainya tidak relevan. Juga orang tidak
memperhitungkannya (kalau nilai-nilai itu benar-benar bersifat absolut) dibandingkan dengan nilai-nilai alternatif. Individu mempertimbangkan alat untuk mencapai nilai-nilai seperti itu, tetapi nilai-nilai itu sendiri sudah ada. Hal ini dibenarkan oleh James S. Coleman, yang mengatakan bahwa tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor.42 3) Tindakan tradisional Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Kalau seorang individu memperlihatkan perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan yang sadar, atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional. Individu itu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya. Apabila kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini, maka kebiasaan dan institusi mereka diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai kerangka acuannya, yang diterima begitu saja tanpa persoalan. Satusatunya pembenaran yang perlu adalah bahwa, “Inilah cara yang sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kami, dan demikian pula nenek moyang mereka sebelumnya; ini adalah cara yang sudah begini dan akan selalu begini terus”. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental. 42
Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke-3, h. 396
4) Tindakan afektif Tipe tindakan ini ditandai oleh perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa reflekasi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya.43
43
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 220-221
BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN SUBJEK PENELITIAN
C. Kondisi Geografis dan Demografis Kelurahan Malaka Jaya merupakan salah satu dari tujuh kelurahan yang terletak di Bagian Timur Kecamatan Duren Sawit Kotamadya Jakarta Timur. Pembagian kelurahan tersebut berdasarkan keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1227 Tahun 1989 tentang Penyempurnaan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986 tentang Penghapusan Pemekaran Penyatuan batas di wilayah Kelurahan. Dengan adanya Keputusan Gubernur tersebut, maka batas-batas di Kelurahan Malaka Jaya adalah sebagai berikut: Batas Utara Batas Timur
Rel Kereta Api Kelurahan Penggilingan Jl. Mawar Merah Raya, Jl. Raya Pondok Kelapa Kelurahan Pondok Kopi
Batas Selatan
Taman Malaka Selatan Kelurahan Pondok Kelapa
Batas Barat
Jl. Teratai Putih Raya, Jl. Wijaya Kusuma Raya, Kelurahan Malaka Sari
Luas Kelurahan Malaka Jaya Kecamatan Duren Sawit Kotamadya Jakarta Timur adalah 98,82 Ha dengan peruntukan tanah sebagai perumahan bagi pera penduduk seluas 71,10 Ha. Sedangkan tanah yang diperuntukkan untuk fasilitas umum seluas 12,27 Ha serta tanah yang diperuntukkan sebagai sarana ibadah seluas 2,10 Ha. 44
44
1-2
Monografi Kelurahan Malaka Jaya Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur tahun 2007, h.
Data yang diperoleh melalui kantor Kelurahan Malaka Jaya, menunjukkan bahwa penduduk Kelurahan Malaka Jaya pada tahun 2007 berjumlah 45.924 orang yang terdiri dari laki-laki 23.933 orang, dan perempuan 21.991 orang, dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) 135 dan Rukun Warga (RW) 13. 1. Keadan Penduduk Menurut Umur dan Gender Mengenai jumlah penduduk Kelurahan Malaka Jaya menurut umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Gender No Umur dalam tahun
Jumlah
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
1
0–4
1777
1795
3572
2
5–9
1946
1893
3839
3
10 – 14
1868
1559
3427
4
15 - 19
1781
1489
3270
5
20 - 24
3476
3212
6688
6
25 – 29
3079
3033
6112
7
30 – 34
2170
1931
4101
8
35 – 39
2023
1913
3936
9
40 – 44
1434
1361
2795
10
45 – 49
1943
1415
3358
11
50 - 54
1225
1222
2448
12
55 - 59
582
535
1117
13
60 - 64
344
331
675
14
65 - 69
185
171
356
15
70 - 74
70
84
154
16
> 75
29
47
76
23933
21991
45324
Jumlah
2. Keadaan Penduduk Menurut Agama
Negara Indonesia menjamin warganya untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 ayat 29. Agama yang diakui keberadaannya di Indonesia berjumlah 6, yakni Islam, Katholik, Protesta, Hindu, Budha, dan Konghucu. Data penduduk menurut agama berdasarkan data yang penulis peroleh sampai dengan tahun 2007 dapat terlihat dari tabel berikut:45 Tabel 5 Keadaan Penduduk Menurut Agama No Agama yang Dianut
Jumlah
Prosentase
1
Islam
40.328
88,11
2
Kristen Katholik
2.003
4,38
3
Kristen Protestan
2.187
4,74
4
Hindu
686
1,51
5
Budha
576
1,26
6
Konghucu
-
-
45324
100
Jumlah
3. Keadaan Penduduk Menurut Latar Belakang Pendidikan Pendidikan adalah hak setiap warga negara Indonesia. Berbagai program yang dicanangkan pemerintah, seperti wajib belajar 9 tahun, BOS (Bantuan Operasional Siswa), BKG (Bantuan Kesejahteraan Guru), dan program-program lainnya ditujukan untuk memajukan pendidikan warga negara Indonesia. Keadaan penduduk Kelurahan Malaka Jaya berdasarkan latar belakang pendidikan dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
45
Tabel 6 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No
Tingkat Pendidikan
Jumlah Usia Sekolah
Ket
Pend. Akhir
TK
1.852
Sekolah Dasar
5.127
7.967
SLTP
2.678
6.319
SLTA
1.961
9.770
Universitas
7.899
927
D3
498
S1
489
S2
117
S3
99
Jumlah
19.517
26.343
45.924
Sumber: Daftar Isian Potensi Kelurahan Malaka Jaya Jakarta Timur, 2007, h. 4 Dalam penyelenggaraan pendidikan, pemerintah memberikan berbagai fasilitas bagi keberlangsungan pendidikan seperti gedung dan juga biaya operasional. Dari lembaga pendidikan yang terdapat di Indonesia, ada lembaga pendidikan negeri yang mendapatkan bantuan dana dari pemerintah dan ada pula lembaga pendidikan swasta, yang meskipun mendapatkan bantuan dari pemerintah, lembaga tersebut dituntut untuk dapat mencari pemasukan dana untuk mencukupi biaya operasional yang ada. Berikut ini adalah sarana pendidikan yang terdapat di Kelurahan Malaka Jaya:
Tabel 7 Sarana Pendidikan Kelurahan Malaka Jaya
No
Jenis Sarana
Jumlah
Pendidikan Gedung
Murid Guru/Dosen
1
Taman Kanak-Kanak
6
365
14
2
Sekolah Dasar
20
4630
166
3
SLTP
5
711
49
4
SLTA
4
652
48
Sumber: Daftar Isian Potensi Kelurahan Malaka Jaya Jakarta Timur, 2007, h. 15 4. Keadaan Penduduk Menurut Pekerjaan Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan sarana sosialisasi dan juga mempertahankan diri, manusia memiliki pekerjaan untuk mempertahankan hidupnya. Dengan bekerja, seseorang dapat mencukupi kebutuhannya seperti rumah, pakaian, makanan yang seringkali disebut sebagai kebutuhan primer. Jika terdapat uang berlebih mereka dapat mencukupi kebutuhan sekunder yang jenis dan macamnya cukup banyak. Berbagai macam jenis pekerjaan ditekuni oleh masyarakat untuk mendapatkan penghasilan dan dengan penghasilan tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan penduduk Kelurahan Malaka Jaya, sebagaimana keluarhaan-kelurahan yang terdapat di ibu kota Jakarta yang padat penduduk, mempunyai beragam jenis pekerjaan. Penduduk Kelurahan Malaka Jaya berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 8 Keadaan Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan No 1
Jenis Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Frekuensi
Prosentase
2.428
0,7
2
ABRI
101
0,3
3
Polisi
45
39
4
Karyawan/Buruh
1.339
17,4
5
Pedagang
135
14,4
6
Pengusaha
234
14,3
7
Pensiunan/purnawirawan
149
0,6
8
Pensiunan/Pegawai negeri
2.145
12,7
5.489
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk Kelurahan Malaka Jaya berprofesi sebagai petani, yaitu 2.170 orang (39%), 956 orang (17,4%) adalah karyawan/buruh, 791 orang pedagang, 787 orang berprofesi di bidang jasa, 39 orang pegawai negeri sipil (PNS), 15 orang TNI/Polri, 32 orang pensiunan/purnawirawan, dan 699 orang (12,7%) belum/tidak produktif. Dalam rangka untuk mencapai hidup yang sejahtera, faktor kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Berbagai fasilitas kesehatan, baik yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta adalah dalam rangka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang kesehatan. Kesehatan, sebagaimana pendidikan juga merupakan hak setiap warga negera Indonesia. Tabel 9 Sarana Kesehatan Kelurahan Malaka Jaya No
Sarana Kesehatan
Jumlah
1
Rumah Sakit
1 buah
2
Puskesmas
1 buah
3
Apotik
4 buah
4
Poliklinik
4 buah
5
Dokter Praktek
4 buah
Sumber: Daftar Isian Potensi Kelurahan Malaka Jaya Jakarta Timur, 2007, h. 14
D. Latar Belakang Subjek Penelitian 5. Pendidikan Latar belakang subjek penelitian dalam bidang pendidikan, yang dalam penelitian ini adalah para remaja yang orang tuanya bercerai berdasarkan hasil wawacara dengan para informan, dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 10 Latar belakang pendidikan subjek penelitian No
Nama
Pendidikan terakhir
1
Informan D
Sedang duduk di kelas 3 SLTA
2
Informan F
Sedang duduk di kelas 2 SLTA
3
Informan M
Sedang duduk di kelas 2 SLTA
4
Informan MU
Sedang duduk di kelas 2 SLTA
5
Informan R
Sedang duduk dikelas 3 SLTA
6
Informan T
Sedang duduk di kelas 2 SLTA
7
Informan S
Sedang duduk di kelas 3 SLTA
6. Agama Berikutnya adalah mengenai agama yang dianut oleh para subjek penelitian. Indonesia sebagai negara republik, menjamin setiap warga negaranya dalam memeluk agama sebagai yang diakui oleh pemerintah. Berikut ini adalah agama yang dianut oleh subjek penelitian: Tabel 11 Agama yang dianut oleh subjek penelitian No
Nama
Agama
1
Informan D
Islam
2
Informan F
Islam
3
Informan M
Islam
4
Informan MU
Islam
5
Informan R
Islam
6
Informan T
Islam
7
Informan S
Islam
7. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya dari para subjek penelitian cukup beragam, karena negara Indonesia didirikan berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika. Jakarta, sebagai ibukota negara Indonesia, memiliki daya tarik bagi penduduk di daerah untuk mencari pekerjaan dan mengharapkan penghasilan yang layak, turut memberikan andil terciptanya keanekaragaman etnis yang berbaur di sini. Jakarta merupakan miniatur Indonesia, karena di sini hampir semua etnis yang ada di Indonesia ada. Dari segi etnis, mereka terdiri dari etnis Jawa, Betawi, Minang, dan Sunda. Berikut ini etnis para subjek penelitian:
Tabel 12 Etnisitas Subjek penelitian No
Nama
Suku
1
Informan D
Jawa
2
Informan F
Minang
3
Informan M
Jawa
4
Informan MU
Sunda
5
Informan R
Sunda
6
Informan T
Betawi
7
Informan S
Sunda
Dari tabel di atas, informan yang menjadi korban perceraian yang berasal dari suku Sunda berjumlah 3 orang. Jumlah tersebut paling banyak jika dibandingkan dengan suku Jawa yang berjumlah 2 orang, suku Betawi 1 orang
dan suku Minang 1 orang. Berdasarkan kepercayaan yang berlaku di masyarakat Sunda, konon pernikahan adalah salah satu cara untuk memperlancar rejeki. Jika seseorang menikah, maka diyakini pasangannya akan membawa keberuntungan dalam hal rejeki. Namun sebaliknya, jika mendapatkan pasangan yang tidak cocok, maka rejekinya pun tidak lancar. Hal ini yang membuat pernikahan di dalam suku Sunda bisa berlangsung berkali-kali untuk mendapatkan pasangan yang cocok.
8. Ekonomi Keluarga Sebagai keluarga yang mengalami perceraian, mau tidak mau maka orang tua menjadi orang tua tunggal yang harus mengasuh dan menghidupi anak-anak yang menjadi korban perceraian. Baik istri maupun suami yang menjadi tempat anak tumbuh besar, mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan anaknya hingga dewasa. Berikut ini adalah kondisi ekonomi subjek penelitian. Tabel 13 Kondisi ekonomi subjek penelitian No
Nama
Tingkat Ekonomi
1
Informan D
Menengah
2
Informan F
Menengah
3
Informan M
Menengah
4
Informan MU
Menengah
5
Informan R
Menengah
6
Informan T
Menengah
7
Informan S
Menengah
Informan D termasuk dalam kategori keluarga menengah dengan mengukur ekonomi keluarga informan D. Penghasilan utama keluarga D adalah dari hasil usaha katering yang dijalankan oleh ibu informan D. Dari usaha ini, ibu
informan D dapat menghidup keluarga. Selain itu juga mantan ayah informan D masih memberikan nafkah kepada keluarga D meskipun tidak mencakup seluruh kebutuhan keluarga informan D, terutama segala kebutuhan informan D: mulai dari biaya sekolah sampai uang jajan. Penghasilan ibu informan D adalah 20 % dari omset usaha kateringnya. Dalam sebulan, omset usaha ibu informan D sekitar 20 juta – 30 juta. Dari omset tersebut, ibu informan D mempunyai penghasilan antara 4 juta – 6 juta tergantung kondisi usaha. Kalau sedang sepi ibu informan D paling tidak bisa mendapatkan 2 juta dalam sebulan. Apa yang dilakukan oleh ibu informan F sama dengan yang dilakukan oleh ibu informan D, yaitu dengan membuka usaha katering. Dengan dibantu oleh beberapa karyawan, keluarga informan F dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Penghasilan keluarga F tidak terlalu jauh dengan penghasilan keluarga D. Hal ini mengingat usaha katering yang dijalankan oleh keluarga informan F juga dibarengi dengan pembuatan kue jika ada pesanan dari pelanggan. Penghasilan keluarga informan F berkisar antara 3 juta – 5 juta. Adapun informan M ibunya mempunyai usaha toko pakaian di pasar perumnas. Meskipun usaha ini tidak begitu besar, namun bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga informan M. Selain kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah informan M juga berasal dari usaha toko yang dikelola oleh ibu informan M. Mantan ayah informan M tidak memberi uang tambahan seperti informan D. Untuk itu ibu informan M harus bekerja sendiri dengan dibantu oleh beberapa karyawan termasuk informan M sepulang dari sekolah. Dari hasil usaha tersebut,
ibu informan M sanggup membeli mobil untuk keperluan belanja dan lain sebagainya. Penghasilan dari usaha toko pakaian tersebut sekitar 3 – 4 juta, tergantugn ramai tidaknya toko. Apabila mendekati hari raya maupun tanggal muda, dimana orang yang bekerja di kantor gajian, maka omset toko pakaian informan M akan meningkat cukup tajam. Informan MU adalah keluarga Betawi, dengan usaha utama menyewakan rumah petakan atau kontrakan. Dari hasil sewa kontrakan ini, keluarga informan MU dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan juga biaya sekolah. Mantan ayah MU juga tidak memberi uang belanja kepada ibu informan MU. Meskipun demikian, dengan jumlah kontrakan 10 petak, usaha tersebut bisa mencukupi keluarga. Di samping itu, kakak-kakak informan MU sudah berkeluarga dan terkadang turut membantu dalam hal materi. Hasil dari kontrakan dalam sebulan bisa mencapai 4 jutaan, karena satu petak kontrakan ibu informan MU bisa menerima uang sebesar 300 ribu – 600 ribu. Sedangkan jumlah kontrakan informan MU ada 10 petak. Maka penghasilan keluarga informan MU dalam sebulan sekitar 4 juta, setelah dipotong berbagai keperluan dan perbaikan kontrakan. Ibu Informan R memiliki usaha konfeksi dengan karyawan 10 orang. Dari hasil usaha ini dapat mencukupi kebutuhan keluarga informan R. Sedangkan mantan suami informan R sudah memiliki istri lagi sehingga tidak memberikan bantuan kepada keluarga informan R. Perceraian yang terjadi terhadap keluarga informan S dikarenakan selama ini ayah informan S suka menghabiskan uang dengan berjudi. Ibu informan S adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan, sedangkan ayah informan S
berwiraswasta dengan penghasilan yang tidak tentu. Karena seringnya ayah informan S meminta uang kepada ibu informan dan terkadang disertai dengan kekerasan, maka keluarga informan S terutama ibu memutuskan untuk bercerai. Sebagai seorang karyawan, ibu informan S mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga, karena gaji yang diterimanya cukup besar, sekitar 4 juta. Keluarga informan T bercerai dengan meninggalkan usaha warung sembako yang lumayan besar. Warung ini adalah hasil dari pemberian orang tua informan T setelah mereka menikah. Tatkala orang tua informan T bercerai, usaha tersebut jatuh ke tangan ibu informan T, dan bukan jatuh ke tangan ayah informan Warung sembako tersebut juga melayani penjualan gas elpiji, air mineral galon dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Omset warung sembako milik keluarga T dalam sehari bisa mencapai 2 juta. Jadi, dalam sebulan omset warung tersebut sekitar 60 juta. Margin keuntungan warung sembako berkisar antara 2 – 10 persen dengan keuntungan bersih dalam sebulan 3 jutaan. Ukuran ekonomi yang penulis gunakan dalam menentukan tingkat ekonomi informan adalah dengan mengamati keadaan ekonomi mereka. Seluruh informan termasuk dalam ekonomi menengah, karena penulis melihat bahwa keluarga tersebut dalam kondisi cukup, dimana mereka sudah menempati rumah sendiri
bukan
dengan
mengontrak,
menyekolahkan anak hingga SLTA.
serta
kemampuan
keluarga
dalam
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
D. Perilaku Sosial Remaja Korban Perceraian Perceraian yang terjadi di antara suami-istri disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah ketidakcocokan antara suami dan istri, baik itu perbedaan prinsip maupun sudah tidak adanya lagi saling pengertian. Perceraian yang terjadi dalam suatu rumah tangga merupakan sesuatu yang jarang dikehendaki oleh pasangan suami-istri karena dapat memberikan pengaruh yang tidak baik bagi anak. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, beberapa informan mengaku bahwa orang tua mereka bercerai sudah beberapa tahun lamanya. Setelah orang tua bercerai, anak-anak dapat memilih ingin tinggal dengan bapak atau ibu. Seperti yang diungkapkan oleh informan R yang menyatakan bahwa orang tuanya bercerai saat ia masih berumur 15 tahun dan lebih memilih tinggal dengan ibu. Sebagaimana yang diungkapkannya: “Orang tua saya cerai waktu saya kelas 3 SMP, kalau nggak salah waktu itu saya berumur 15 tahun.”46 Penyebab perceraian orang tua informan R adalah bahwa sudah tidak ada kecocokan lagi antara bapak informan R dengan ibunya. Menurut pengakuan informan R salah satu penyebab ketidakcocokan tersebut adalah bahwa orang tua informan R menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Selain itu juga bapak informan R sering cemburu berlebihan kepada setiap teman laki-laki istrinya. Bahkan tak jarang bapak informan R ringan tangan terhadap istrinya. Seperti yang diungkapkan oleh informan R: 46
Wawancara pribadi dengan informan R, Jakarta tanggal 3 Mei 2008
“Penyebab orang tua saya cerai adalah sudah tidak adanya kecocokan di antara mereka. Sering kali saya menyaksikan orang tua saya bertengkar dalam berbagai hal dan saya lebih memilih untuk menghindar. Bapak dan ibu saya dulu waktu menikah karena dijodohkan oleh masing-masing orang tua. Berhubung ibu termasuk wanita yang cantik bapak sering sekali cemburu dengan teman-teman ibu yang datang main ke rumah maupun yang sedang bertemu di jalan. Akibatnya adalah bapak jadi ringan tangan, memukul ibu.”47 Sedangkan informan D mengaku orang tuanya bercerai saat dia masih berumur 5 tahun. Mengingat waktu terjadinya perceraian informan D masih kecil, ia begitu merasakan kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Seperti yang diungkapkan oleh informan D: “Waktu orang tua saya cerai, saya berumur 5 tahun. Waktu itu sih yang paling terasa adalah kurangnya kasih sayang dari orang tua saya karena mereka memutuskan untuk berpisah. Setelah orang tua cerai, saya diasuh oleh ibu.”48 Lebih lanjut informan D menjelaskan bahwa penyebab perceraian orang tuanya adalah bapak sering tertangkap tangan oleh ibu bertemu dengan wanita-wanita yang dianggap oleh ibu sebagai wanita idaman lain (WIL). Selain itu juga informan D menyatakan bahwa bapaknya sering melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap ibunya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan D: “Setahu saya sih orang tua cerai gara-gara ibu sering melihat bapak berteman dengan wanita lain. Pertemanan tersebut lebih dari teman biasa, ibu sering menyebutkan WIL (wanita idaman lain). Di samping itu juga ibu sering mengalami kekerasan dari bapak. Kadang saya melihat ibu saya menangis sesaat setelah bertengkar dengan bapak dan mengalami memar-memar di beberapa bagian tubuhnya.”49 Masa kanak-kanak yang seharusnya berlangsung penuh dengan keceriaan dan kasih sayang dari orang tua, terkadang harus hilang karena terjadi perceraian. Berbagai alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian sesungguhnya mengambil kesempatan bagi anak-anak untuk menjalani masa kanak-kanak mereka dengan penuh
47
Wawancara pribadi dengan informan R, Jakarta tanggal 3 Mei 2008 Wawancara pribadi dengan informan D, Jakara tanggal 3 Mei 2008 49 Wawancara pribadi dengan informan D, Jakarta tanggal 3 Mei 2008 48
kasih sayang dari orang tua. Informan M menyatakan bahwa ia masih berumur 7 tahun saat kedua orang tuanya berpisah. Seperti yang diungkapkannya: “Pas orang tua pisah, saya waktu itu berumur 7 tahun. Seingat saya waktu orang tua cerai, saya bingung juga. Karena sebelumnya setiap hari saya bisa melihat ayah, tetapi setelah cerai, saya terkadang hanya seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali baru bertemu dengan ayah. Rasanya aneh, karena teman-teman seusia saya sering bercanda dengan ayah mereka.”50 Menurut penuturan informan M, penyebab perceraian orang tuanya adalah hampir sama dengan informan D, yaitu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, adanya wanita lain yang menjadi kekasih bapaknya. Selain itu menurut informan M, dulu orang tuanya menikah karena dijodohkan. Seperti yagn diungkapkannya “Pas saya tanya ibu kenapa pisah dengan bapak, ibu bilang kalau bapak mempunyai wanita simpanan. Selain itu juga bapak sering melakukan tindak kekerasan kepada ibu kalau lagi bertengkar. Ibu bilang, dulu waktu menikah dijodohkan oleh orang tuanya.”51 Lain halnya jika perceraian terjadi saat anak mulai menginjak usia remaja. Mereka sudah mulai peduli terhadap keutuhan rumah tangga. Meskipun masa remaja adalah masa yang penuh dengan rasa ingin tahu serta masa yang labil, di masa ini saat orang tua hendak memutuskan untuk bercerai, remaja seringkali menunjukkan sikapnya. Sikap tersebut bisa berupa persetujuan atau penolakan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan MU yang menyaksikan orang tuanya bercerai saat berumur 17 tahun. Ia merasa bahwa saat orang tuanya bercerai hal tersebut merupakan keputusan yang tepat. Hal tersebut mengingat perlakuan ayahnya yang sering melakukan tindak kekerasan terhadap ibunya. Karena tidak kuat menerima perlakuan tersebut, akhirnya informan MU menyetujui ibunya untuk memutuskan berpisah dengan orang tuanya. Seperti yang diungkapkan oleh informan MU: “Orang tua saya cerai tidak lama, sekitar 6 bulan yang lalu saat usia saya 17 tahun. Penyebab dari perceraian tersebut adalah ayah saya sering melakukan 50 51
Wawancara pribadi dengan informan M, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 Wawancara pribadi dengan informan M, Jakarta tanggal 4 Mei 2008
tindak kekerasan terhadap ibu saya. Terkadang saya juga mendapat perlakuan yang sama dari ayah. Setelah berunding dengan ibu, akirnya saya menyetujui agar ibu bercerai dengan ayah. Dari pada dipertahankan namun sering mendapat perlakuan kasar, lebih baik berpisah saja.”52 Penulis mendapatkan jawaban yang berbeda dari informan F. Menurut pengakuannya kepada penulis, ia menyaksikan orang tuanya bercerai saat usianya 10 tahun. Penyebab perceraian orang tua informan F adalah faktor ekonomi. Informan F menyatakan bahwa bapaknya sudah lama tidak bekerja dan memberikan nafkah kepada keluarga. Sedangkan ibu informan F berusaha untuk bekerja apa saja, seperti menjual makanan kecil, maupun memasak untuk dapat menghidupi keluarga. Semakin lama bapak informan F belum juga bekerja, dan akhirnya membuat ibu informan F memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Seperti yang diungkapkan oleh informan F: “Kedua orang tua saya berpisah saat saya berumur 10 tahun, kira-kira waktu itu saya duduk di bangku kelas 5 SD. Penyebab perceraian adalah karena kondisi ekonomi saat itu. Menurut ibu, beliau sudah terlalu capek hidup bersama ayah yang malas sekali mencari uang. Hal ini membuat ibu harus banting tulang menghidupi keluarga dengan berjualan kue dan membuka usaha catering kecil-kecilan. Setelah dipikir masak-masak, akhirnya ibu memutuskan untuk bercerai dengan ayah.”53 Pernyataan
hampir
serupa
disampaikan
oleh
informan
S.
menurut
pengakuannya, perceraian yang terjadi antara kedua orang tuanya disebabkan oleh factor ekonomi. Perbedaannya dengan yang terjadi dengan informan F adalah, ayah informan S mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarga, namun seringkali uang tersebut habis di meja judi dan untuk minum minuman keras, sehingga saat pulang ayah informan S sudah tidak mempunyai uang lagi. Seperti yang diungkapkannya: “Ibu cerai dengan ayah karena sudah nggak kuat. Tiap hari ayah main judi sama mabuk terus. Uang yang diperoleh ayah dari hasil kerjanya habis di meja 52 53
Wawancara pribadi dengan informan MU, Jakarta tanggal 5 Mei 2008 Wawancara pribadi dengan informan F, Jakarta tanggal 4 Mei 2008
judi. Sampai rumah karen sering kalah, ayah marah-marah dan tak jarang memukul ibu sebagai pelampiasan kekalahannya tersebut. Akhirnya ibu memutuskan untuk berpisah dengan ayah.”54 Sebagai anak korban perceraian, para informan memberikan beragam tentang perasaan mereka saat mengetahui perceraian orang tua. Seperti informan R yang menyatakan bahwa memang perceraian adalah keputusan yang tepat yang diambil oleh ibunya. Menurutnya ia sangat mendukung keputusan ibu dalam bercerai karena memang sudah tidak ada kecocokan lagi dan seringnya bapak melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang diungkapkan oleh informan R: “Kalau ditanya bagaimana perasaan saya saat terjadi perceraian orang tua saya, saya merasa itu adalah keputusan yang terbaik yang diambil oleh ibu. Dari pada harus mempertahankan perkawinan tapi ibu mendapatkan perlakuan yang keras dari bapak, lebih baik pisah saja. Kalau memang sudah tidak ada kecocokan, buat apa dipertahankan?”55 Pernyataan hampir sama disampaikan oleh informan D yang mendukung keputusan yang diambil oleh ibunya untuk berpisah dengan bapak karena ibu sering mendapat pukulan kalau sedang bertengkar. Terlebih bapak sering bermain dengan wanita lain, dan ibu mengetahuinya. Seperti yang diungkapkan oleh informan D: “Mengenai perceraian ibu dan bapak saya, perasaan saya justru senang. Karena ibu sudah tidak mendapat perlakuan kasar lagi. Walaupun sebetulnya saya juga merasa iri dengan mereka yang masih mempunyai ibu bapak. Tapi mau bagaimana lagi? Dari pada ibu menderita terus menerus, lebih baik pisah saja. Apalagi bapak ketahuan mempunyai wanita simpanan.”56 Pendapat di atas juga serupa dengan apa yang diungkapkan oleh informan M. perasaannya saat orang tua bercerai adalah adanya penyesalan namun juga kegembiraan. Penyesalan yang dirasakan oleh informan M adalah bahwa ia harus menerima kenyataan tidak bisa melihat ayahnya setiap hari, berbeda saat ayahnya masih belum cerai. Namun kegembiraan yang dirasakan oleh informan M adalah
54
Wawancara pribadi dengan informan S, Jakarta tanggal 5 Mei 2008 Wawancara pribadi dengan informan R, Jakarta tanggal 3 Mei 2008 56 Wawancara pribadi dengan informan D, Jakarta tanggal 3 Mei 2008 55
bahwa ibunya kini sudah tidak lagi mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh ayahnya. Seperti yang diungkapkan oleh informan M: “Perasaan saya terhadap perceraian orang tua antara sedih dan senang. Sedihnya karena saya masih ingin ayah saya bersama keluarga, bercanda dan lain sebagainya sebagaimana orang lain. Kalau mengingat hal tersebut saya jadi sedih. Tapi senangnya, setelah tidak ada ayah ibu saya jadi tidak mengalami tindakan kekerasan lagi. Sekarang ibu saya lebih semangat dan lebih ceria.”57 Setelah terjadinya perceraian yang mengakibatkan perpisahan antara ibu dan bapak, anak-anak akan mengalami perubahan dalam pergaulan. Hal tersebut dikarenakan orang tua mereka sudah tidak bersama lagi. Dalam pernyataan yang disampaikan oleh informan, sebagian menjawab bahwa mereka merasa biasa saja saat teman-teman mereka mengetahui bahwa orang tua mereka sudah tidak bersama lagi. Namun sebagian yang lain merasa tidak percaya diri karena sudah tidak memiliki orang tua yang utuh lagi. Pendapat yang menyatakan bahwa seorang anak yang menjadi korban perceraian dan ia merasa biasa-biasa saja setelah teman-temannya mengetahui perceraian tersebut adalah informan R. menurutnya, tidak perlu merasa khawatir saat teman-teman tahu bahwa orang tuanya bercerai. Tetapi harus disikapi dengan menunjukkan bahwa sebagai anak yang orang tuanya bercerai, masih bisa melanjutkan
hidup
sebagaimana
anak-anak
yang
lainnya.
Seperti
yang
diungkapkannya: “Saya sih biasa-biasa saja saat teman-teman tahu bahwa orang tua saya sudah tidak bersama lagi. Buat apa minder? Justru kalau menurut saya lebih baik kita menyikapinya dengan positif. Artinya kita harus bisa bersikap seperti tidak ada apa-apa, jangan sampai malah jadi minder. Itu menurut saya.58” Hal senada diungkapkan oleh informan D, informan M, dan informan MU yang menyatakan bahwa reaksi mereka saat tahu teman-teman bahwa orang tua mereka bercerai mereka biasa saja. Meskipun teman-teman awalnya kaget, tetapi 57 58
Wawancara pribadi dengan informan M, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 Wawancara pribadi dengan informan R, Jakarta tanggal 3 Mei 2008
menurut pengakuan mereka teman-teman malah memberi support agar dapat terus menjalani hidup tanpa mengalami perubahan setelah adanya perceraian. Seperti yang diungkapkan oleh informan M: “Teman-teman pas pertama kali tahu orang tua saya cerai merek kaget juga. Tapi lama kelamaan mereka bersikap biasa saja, tidak membedakan dengan anak-anak yang lainnya. Malah mereka sering memberi support ke saya untuk tetap bertahan dalam kondisi keluarga yang sudah tidak utuh lagi. Saya suka teman-teman yang demikian.”59 Perasaan yang dirasakan baik oleh anak korban perceraian, maupun ibu yang berpisah dengan suaminya adalah perasaan antara sedih dan senang. Sedih karena harus meninggalkan dan berpisah dengan orang yang pernah bersama-sama menjalani pahit getirnya kehidupan, senang karena sudah berakhir hari-hari yang berat karena adanya kekerasan dan pertengkaran yang terjadi antara suami-istri yang sering didengar dan diperhatikan oleh anak. Perilaku anak korban perceraian, dimana orang tua mereka sudah tidak bersatu lagi jika tidak diiringi dengan kontrol yang kuat dari salah satu orang tua, baik suami maupun istri akan menjerumuskan anak kepada hal-hal yang negatif. Sebagai remaja yang masih membutuhkan perhatian dari orang tua, anak korban perceraian akan mencari kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang bisa merusak diri mereka sendiri seperti terlibat dengan berbagai aksi kekerasan maupun obat-obatan terlarang. Perilaku negatif tersebut dilakukan oleh anak sebagai bentuk pelampiasan atas kekesalan mereka terhadap kondisi keluarga yang sudah tidak utuh lagi. Namun, berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari para informan, mereka tidak sampai terjerumus dalam kegiatan-kegiatan negatif karena masih mendapatkan perhatian dan kontrol dari salah satu orang tua. Seperti yang diungkapkan oleh informan D:
59
Wawancara pribadi dengan informan M, Jakarta tanggal 4 Mei 2008
“Alhamdulillah setelah ibu cerai dari bapak, saya tidak melampiaskan kekesalan saya karena bapak sudah tidak bersama lagi dengan kegiatankegiatan yang negatif seperti terjerumus menggunakan obat-obatan terlarang. Hal ini karena ibu saya senantiasa memperhatikan saya dan saya merasakan kasih sayang ibu lebih besar saat beliau sudah tidak bersama ayah lagi.”60 Hal yang hampir sama dinyatakan oleh informan M. Menurutnya, jika perhatian dan kasih sayang orang tua meskipun hanya satu orang, itu sudah cukup untuk mencegahnya dari tindakan-tindakan yang tidak baik. Karena informan M merasa bahwa sekarang ia mendapatkan perhatian dari ibu lebih besar dibandingkan dengan dulu sebelum bercerai. Seperti yang diungkapkan oleh informan M: “Saya tidak akan melakukan hal-hal yang negatif untuk mencari pelarian karena kesal terhadap perceraian orang tua. Ini karena saya masih mendapatkan perhatian dari ibu. Bahkan yang saya rasakan ibu saya perhatian dan kasih sayangnya lebih besar setelah beliau cerai dengan ayah. Mungkin akan beda kalau seandainya saya tidak mendapatkan perhatian dari ibu saya, bisa jadi saya akan bertindak semau saya.”61
E. Perilaku Keberagamaan Remaja Korban Perceraian Perubahan yang terjadi dalam keluarga, seperti berkurangnya anggoata keluarga atau bahkan salah satu dari orang tua memberikan pengaruh dalam beberapa kehidupan remaja. Salah satunya adalah keberagamaan remaja. Mereka yang kehilangan salah satu orang tua akibat perceraian bisa mengalami perubahan dalam keberagamaan dan bisa juga mereka tidak mengalami perubahan apapun dalam hal keberagamaan. Sebagai remaja, tentu keinginan untuk mencari tahu segala sesuatu sangat besar. Hal tersebut akan sangat positif jika mendapat dukungan dan arahan dari kedua orang tua. Salah satu keinginan yang besar dalam diri remaja adalah keinginan untuk mencari jati diri mereka. Hal ini setidaknya mempengaruhi sikap keberagamaan remaja. 60 61
Wawancara pribadi dengan informan D, Jakarta tanggal 23 Agustus 2008 Wawancara pribadi dengan informan M, Jakarta tanggal 23 Agustus 2008
Menurut informan D, dirinya mengaku mendapatkan pengajaran mengenai ajaran agama dan menjalankan ajaran tersebut saat orang tuanya belum bercerai. Tetapi setelah orang tuanya memutuskan untuk bercerai, kini ia jadi sering malas untuk mengerjakan shalat, bahkan saat bulan puasa informan D sering tidak puasa. Seperti yang diungkapkannya: “Dulu waktu saya masih bersama kedua orang tua saya, saya sering mendapatkan pengajaran ajaran agama dari mereka. Saya juga sering melakukan ajaran agama tersebut bersama mereka, seperti salat berjamaah, mengaji maupun puasa. Namun setelah orang tua saya cerai, saya jadi malas mengerjakannya. Salat malas, puasa malas, ngaji juga jadi malas.”62 Sedangkan informan R mengaku saat orang tuanya belum bercerai ia jarang melakukan ritual keagamaan. Informan R menyatakan bahwa ia mendapatkan pengetahuan keagamaan bukan dari kedua orang tuanya, melainkan dari guru ngaji. Setelah orang tuanya bercerai, informan R masih jarang
melasakanakan ibadah.
Seperti yang diungkapkannya: “Dulu waktu orang tua belum cerai, saya memang jarang salat, puasa pun juga sering batal. Orang tua saya tidak mengajarkan agama kepada saya, tetapi saya mendapatkan ajaran tersebut dari guru ngaji saya.”63 Hal yang berbeda di ungkapkan oleh informan M. menurutnya sebelum orang tuanya bercerai, ia jarang melaksanakan ibadah agama sehari-hari. Tetapi setelah orang tuanya bercerai, kini informan M lebih sering melaksanakan ibadah. Menurutnya hal tersebut karena ia kini ingin lebih dekat dengan Allah dengan melaksanakan ibadah tersebut. Seperti yang diungkapkannya: “Waktu orang tua saya belum cerai saya males banget shalat. Ngaji juga jarang banget. Tapi setelah orang tua saya cerai, kini saya jadi lebih rajin melaksanakan ibadah yang dulunya saya malas mengerjakannya. Sekarang saya lebih merasa dekat dengan Allah SWT.”64
62
Wawancara pribadi dengan informan D, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 Wawancara pribadi dengan informan R, Jakarta tanggal 3 Mei 2008 64 Wawancara pribadi dengan informan M, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 63
Jawaban yang hampir sama adalah jawaban yang diberikan oleh informan MU. Menurutnya, sebelum orang tuanya bercerai informan MU mendapatkan pengetahuan agama dari orang tuanya. Setelah mereka bercerai, kini MU tinggal bersama ibunya dan masih mendapatkan pengajaran agama seperti pentingnya salat, mengaji, puasa dan membayar zakat. Sebagaimana yang diungkapkannya “Saya memperoleh pengajaran agama dari kedua orang tua saya. Meskipun mereka sering bertengkar, mereka masih sempat memberikan pelajaran mengenai agama kepada saya. Setelah cerai, saya tinggal dengan ibu, dan masih memberikan pengajaran kepada saya pentingnya salat, mengaji, melakanakan puasa, dan membayar zakat.”65 Setelah terjadinya perceraian, informan R mengaku jarang melaksanakan salat, demikian juga dengna mengaji dan puasa. Apalagi informan R mendapatkan pengetahuan agama bukan dari orang tua melainkan dari guru ngaji. Setelah orang tuanya cerai, informan R mengaku menjadi jarang dalam melaksanakan salat, mengerjakan
puasa,
maupun
membaca
al-Qur’an.
Sebagaimana
yang
diungkapkannya: “Setelah orang tua saya cerai, saya jadi malas banget salat, membaca alQur’an dan mengaji. Mungkin karena dulu saya tidak mendapatkan pengajaran agama dari orang tua kali.”66 Saat penulis menanyakan mengenai pengetahuan mereka tentang ajaran agama dalam hal perceraian, jawaban yang diberikan hampir sama. Mereka umumnya menganggap bahwa perceraian dilarang oleh agama. Meskipun sebenarnya, praktek perceraian adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh agama, namun hukumnya dibenci atau makruh. Seperti jawaban yang diberikan oleh informan M, menurutnya perceraian itu dibenci oleh agama karena Allah sangat membenci perceraian. Seperti yang diungkapkannya: “Menurut pengetahuan agama saya, perceraian itu dilarang agama. Perceraian dilarang karena perbuatan tersebut dibenci oleh Allah SWT.”67 65
Wawancara pribadi dengan informan MU, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 Wawancara pribadi dengan informan R, Jakarta tanggal 3 Mei 2008 67 Wawancara pribadi dengan informan M, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 66
Jawaban yang sama diberikan oleh informan MU. Menurutnya perceraian adalah perbuatan yang dilarang agama. Seperti yang diungkapkannya: “Setahu saya agama melarang perceraian. Karena hal tersebut menimbulkan dampak yang tidak baik bagi keluarga.”68 Jawaban serupa diberikan oleh informan R, informan S, informan F. Menurut mereka perceraian adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Karena mereka beranggapan bahwa perceraian memberikan dampak yang tidak baik bagi anak dan juga keluarga.
F. Dampak Perceraian Terhadap Keberagaman dan Perilaku Sosial Remaja Dampak perceraian terhadap remaja dalam segi keberagamaan adalah mereka seringkali menjadi malas dalam melaksanakan ibadah. Di sisi yang lain, sebagian remaja justru merasa bahwa mereka semakin rajin dalam melaksanakan ibadah seharihari. Dalam perilaku sehari-hari, umumnya remaja sudah dapat membiasakan diri dengan keadaan di mana orang tua mereka sudah tidak bersama lagi. Memang awalnya mereka merasa malu dan bahkan tidak percaya diri karena orang tua mereka bercerai. Lambat laun mereka dapat menghadapi keadaan tersebut. Bahkan tak jarang, teman-teman mereka memberikan dukungan untuk dapat bertahan dalam menghadapi keadaan yang demikian. Segala sesuatu yang menimpa umat manusia memiliki hikmah atau pelajaran yang dapat dipetik untuk dijadikan pengetahuan di kemudian hari. Begitu halnya dengan perceraian. Menurut beberapa informan, perceraian mempunyai hikmah. Salah satu di antaranya adalah apa yang disampaikan oleh informan R yang mengatakan bahwa hikmah dari perceraian adalah penghormatan kepada ibu yang telah 68
Wawancara pribadi dengan informan MU, Jakarta tanggal 4 Mei 2008
membesarkan dan memberi rasa kasih sayang yang tidak terkira. Jika seorang ibu mendapatkan perlakuan kasar dari suami, maka langkah terbaik yang harus diambil adalah bercerai. Seperti yang diungkapkannya: “Hikmah dari cerai adalah dapat membahagiakan dan menghormati ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh rasa kasih sayang. Kalau ibu mendapatkan perlakuan kasar dari ayah, maka menurut saya cerai adalah jalan terbaik yang harus diambil untuk menyelamatkan dan membahagiakan ibu.”69 Sedangkan menurut informan M, hikmah dari perceraian adalah mengajarkan kita untuk belajar hidup mandiri dan lebih menghargai jerih payah orang tua dengan cara menyayanginya dengan segenap jiwa dan lebih tegar dalam menjalani hidup, dengan demikian diharapkan keluarga yang terbentuk adalah keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Seperti yang diungkapkannya: “Hikmah dari perkawainana adalah mengajarkan kepada kita untuk dapat hidup mandiri dan lebih menghargai hasil jerih payah orang tua dengan cara menyayangi mereka dengan segenap jiwa. Selain itu juga dengan adanya perceraian, kita menjadi lebih tegar dalam menjalani hidup, mudah-mudahan keluarga saya nanti menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, amin.”70 Menurut informan F, dirinya mengaku bahwa dengan adanya perceraian hendaknya seseorang berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Karena menurut informan F, pasangan hidup bukanlah pasangan yang menemani kita dalam setahun maupun 5 tahun, melainkan seumur hidup. Jika salah dalam memilih pasangan hidup, maka salah satu resiko yang ada adalah perceraian. Seperti yang diungkapkannya: “Menurut saya salah satu hikmah dari perceraian adalah kita harus lebih pintar dalam memilih pasangan hidup. Karena pasangan hidup bukan untuk setahun maupun 5 tahun, melainkan untuk menemani kita seumur hidup. Kalau salah dalam memilih pasangan, maka perceraian adalah salah satu resiko yang harus siap-siap kita hadapi.”71
69
Wawancara pribadi dengan informan R, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 Wawancara pribadi dengan informan M, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 71 Wawancara pribadi dengan informan F, Jakarta tanggal 4 Mei 2008 70
Sedangkan informan T menyatakan bahwa hikmah yang diperoleh dari perceraian adalah bahwa masing-masing orang tua akan menyadari mereka juga sebenarnya tidak luput dari kesalahan, entah itu saat memutuskan untuk menikah maupun saat mereka memutuskan untuk bercerai. Sebagai anak, informan T berusaha untuk menjadikannya pelajaran yang akan berguna di masa yang akan datang. Seperti yang diungkapkannya: “Hikmah perceraian menurut saya adalah bahwa kita baru menyadari kalau orang tua juga tidak bisa luput dari kesalahan yang mereka buat entah saat mereka memutuskan untuk menikah maupun saat mereka memutuskan untuk berpisah. Saya sebagai anak korban perceraian, berusaha untuk mengambil pelajaran dari kejadian yang menimpa kedua orang tua saya tersebut, berusaha untuk tidak terjadi pada diri saya di masa yang akan datang.”72 Hikmah perceraian yang dinyatakan oleh para remaja korban perceraian adalah bahwa mereka dapat membantu mengakhiri penderitaan ibu mereka yang serig mendapat perlakuan kasar dari suami dengan memberikan dorongan kepada ibu agar mengambil keputusan untuk berpisah. Selain itu juga, remaja korban perceraian dapat menjadikannya pelajaran yang berguna di kemudian hari. Sedangkan dampak perceraian yang dialami oleh informan terhadap keberagamaan mereka ternyata hanya membawa sedikit perubahan dalam sikap keberagamaan yang selama ini mereka yakini dan mereka jalankan. Hal ini mengingat bahwa suasana keluarga mengalami perubahan saat salah seorang bapak atau pun ibu sudah tidak tinggal lagi dalam satu rumah, sehingga memberikan perbedaan suasana yang dirasakan oleh anak. Mengenai dampak perceraian terhadap perilaku keagamaan anak yang menjadi korban, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan R, dirinya mengaku bahwa setelah orang tuanya cerai informan R agak malas dalam melaksanakan ibadah. Hal ini menurut informan R karena dirinya merasa bahwa ibadah yang dilakukannya tidak 72
Wawancara pribadi dengan informan T, Jakarta tanggal 5 Mei 2008
menolong kondisi keluarga dari perceraian. Namun seiring bertambahnya pengetahuan agama, informan R menyadari bahwa Tuhan memberikan cobaan kepada manusia sesuai dengan kekuatan dan sejauh mana manusia tersebut mampu memikulnya. Seperti yang diungkapkan oleh informan R: “Awal mulanya memang malas banget buat ibadah, entah itu salat atau ngaji. Karena saya merasa bahwa ibadah yang saya lakukan tidak bisa menolong ibu saya agar tidak cerai dengan bapak. Tapi setelah saya mendapatkan pengetahuan agama, saya sadar bahwa Tuhan kalau memberikan cobaan kepada manusia pasti sudah diukur sejauh mana manusia itu mampu menjalaninya. Jadi nggak mungkin Tuhan ngasih cobaan di luar kekuatan manusia.”73 Demikian halnya perilaku sosial remaja yang menjadi korban perceraian juga mengalami perubahan. Pada awal-awal perceraian orang tua, anak sering mengalami ketidakpercayaan diri saat bergaul dengan teman-temannya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Hal ini akan berubah seiring dengan berjalannya waktu, di mana anak akan merasa terbiasa dengan kondisi keluarganya yang sudah tidak utuh lagi. Perasaan tidak percaya diri di hadapan teman-teman karena anak remaja korban perceraian tidak memiliki orang tua yang utuh, akan hilang dan anak akan merasa percaya diri kembali.
73
Wawancara pribadi dengan informan R, Jakarta tanggal 23 Agustus 2008
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan penulis sajikan dalam bab sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut 1. Perceraian yang terjadi di masyarakat dengan anak-anak sebagai korban, menimbulkan dampak bagi anak dalam pergaulan sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian, para korban perceraian pada mulanya merasa tidak percaya diri jika bergaul dengan teman-teman di lingkungan maupun di sekolah. Namun keadaan tersebut lambat laun akan berubah karena anak merasa sudah terbiasa dan teman-teman mereka juga bisa memakluminya. 2. Anak korban perceraian, mulanya sering merasa malas dalam menjalankan ibadah sehari-hari. Hal ini disebabkan anak merasa bahwa ibadah yang mereka lakukan tidak memberikan pengaruh dengan kondisi keluarga, di mana pada akhirnya orang tua mereka berpisah. Setelah anak mendapatkan pengetahuan agama, mereka menyadari bahwa setiap manusia pasti akan mendapatkan cobaan, sehinga anak kembali beribadah sebagaimana mestinya.
B. Saran-Saran Saran yang dapat penulis berikan adalah: 1. Bagi para korban perceraian hendaknya lebih arif dalam menyikapi hidup karena setiap manusia pasti mempunyai masalah dan cobaan yang berbedabeda. Salah satu di antaranya adalah dengan cobaan adanya perceraian.
2. Adanya peran aktif dari alim ulama yang berkompeten dalam meminimalisir terjadinya proses perceraian dengan lebih giat lagi dalam mensosialisasikan pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga. 3. Bagi para remaja yang hendak melangsungkan pernikahan, hendaknya lebih hati-hati dalam memilih pasangan hidup. Hendaknya diteliti lebih dahulu mengenai latar belakang dan lain sebagainya tentang kondisi calon pasangan agar dapat terhindar dari ketidakcocokan yang kemudian menghasilkan perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amili, Ali Husain Muhammad Makki, Perceraian Salah Siapa; Bimbingan Islam dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga (Jakarta: Lentera, 2001), Cet. Ke-1 Bachtiar, Wardi, Sosiologi Klasik, dari Comte hingga Parson (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), Cet. Ke-1 Darajat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) Daud, Abu, Sunan Abi Daud, penterjemah Bey Arifin (Semarang; As-Syifa, 1992) Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Depag, 1995) Djamaluddin, Muhammad, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi (Yogyakarta: UGM Press, 1995) Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003) Ghazaly, Abdurrahman, Fiah Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-2 Gunarsa, Singgih D., Psikologi Praktis Anak, Remaja, dan Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) http://www.e-psikologi.com/keluarga/180402a.htm http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=18226 http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=252 0&Itemid=7 Hurlock, Elizabeth B., Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1996), Edisi ke 5 Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994) Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama (Bandung:Remaja Rosda Karya,2000) Majah, Ibnu, Sunan Ibn Majah, hadis no. 2008 lihat juga Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis no. 1863
al_Malibari, Zainuddin bin Abdul Azis, Fathul Muin, penterjemah Aliy As’ad (Kudus, Menara, 1979) Al-Maududi, Abu A’la, dan Fazl Ahmad, Pedoman Perkawinan dalam Islam (Jakarta: Darul Ulum Press, 1987), Cet. Ke-1 Monografi Kelurahan Malaka Jaya tahun 2007 Mulyadi, Yadi, Panduan Sosiologi (Jakarta: Yudistira, 1995) Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: PP AlMunawwir, 1984) Muslim, Shahih Muslim, penterjemah F.A. Widjaya (Jakarta: Ma’mur Daud, t.th) Nashori, Fuad dan Bachtiar Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam perspektif Psikologi Islam (Yogyakarta: Menara Kudus, 2000). Cet. 1 Nasution, Amir Hamzah, Ilmu Jiwa Kanak-kanak (Surabaya : NV Ganaco, 1970) Cet. Ke-1 O’dea, Thomas F, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, diterbitkan bekerjasama dengan Yayasan Solidaritas Gadjahmada, (Jakarta : Rajawali Press, 1988) Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982) Rahman, Bakri A., dan Ahmad Sukarya, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam (Jakarta: Hida Karya Agung, 1981) Ritzer, Goerge, dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke-3 Robertson, Roland, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT Rajawali Press, 1988) Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, penterjemah Moh Thalib (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Cet. Ke-2, jilid 8 Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; Pemikiran Norman dan Egan Guba (Yogyakarta: Tirta Wacana Yogya, 2001) Santrock, John W., Life-Span Development; Perkembangan Masa Hidup (Jakarta: Erlangga, 2002) Ash-Shiddiqy, Hasbi, Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang , 1952) Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qu’arn: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Masyarakat (Bandung : Mizan, 1997) Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1993)
Veeger, K.J., Realitas Sosial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), Cet. Ke-4 Willis, Sopyan S., Problema Remaja dan Pemecahannya (Bandung : Angkasa, 1994), Cet ke-3
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Usia Pendidikan Agama Alamat
: : : : :
1. Sejak kapan orang tua anda bercerai? 2. Tahukah anda penyebab perceraian orang tua anda? 3. Saat ini anda tinggal dengan siapa? 4. Apakah anda sering mengunjungi orang tua anda yang tidak tinggal bersama anda? 5. Apakah orang tua anda mengajarkan hal-hal yang berkenaan dengan agama sebelum bercerai? 6. Apakah orang tua anda sekarang masih mengajarkan hal tersebut? 7. Bagaimana praktik keagamaan anda setelah orang tua bercerai? 8. Adakah ajaran agama yang anda ketahui mengenai kasus perceraian? 9. Bagaimana anda memahami ajaran agama tersebut? 10. Dari sisi ibadah, adakah perbedaan sebelum dan sesudah orang tua anda bercerai? 11. Bagaimana perasaan anda saat mengetahui bahwa orang tua anda bercerai? 12. Adakah upaya dari kedua orang tua anda untuk rujuk kembali? 13. Sebagai anak dari orang tua yang bercerai, apakah anda mengalami gangguan dalam bergaul? 14. Bagaimana reaksi teman-teman anda di sekolah saat mengetahui orang tua anda bercerai?
15. Apakah kehadiran bapak/ibu tiri mempengaruhi sikap keberagamaan dan perilaku anda? 16. Bagaimana sikap ibu/bapak anda setelah bercerai terhadap anda? 17. Bagaimana reaksi teman-teman sepermainan anda setelah mereka mengetahui orang tua anda bercerai? 18. Adakah perbedaan reaksi teman-teman anda sebelum dan sesudah orang tua anda bercerai? 19. Bagaimana anda menyikapi reaksi teman-teman yang menganggap anda sebagai korban dari perceraian? 20. Apa hikmah yang bisa anda dapatkan dari perceraian orang tua anda?
HASIL WAWANCARA
Nama Usia Pendidikan Agama Alamat
: Dani : 17 tahun : 3 SLTA : Islam : Perumnas Klender Jakarta Timur
21. Sejak kapan orang tua anda bercerai? Waktu orang tua saya cerai, saya berumur 5 tahun. Waktu itu sih yang paling terasa adalah kurangnya kasih sayang dari orang tua saya karena mereka memutuskan untuk berpisah. 22. Tahukah anda penyebab perceraian orang tua anda? Setahu saya sih orang tua cerai gara-gara ibu sering melihat bapak berteman dengan wanita lain. Pertemanan tersebut lebih dari teman biasa, ibu sering menyebutkan WIL (wanita idaman lain). Di samping itu juga ibu sering mengalami kekerasan dari bapak. Kadang saya melihat ibu saya menangis sesaat setelah bertengkar dengan bapak dan mengalami memar-memar di beberapa bagian tubuhnya 23. Saat ini anda tinggal dengan siapa? Setelah orang tua cerai, saya diasuh oleh ibu 24. Apakah anda sering mengunjungi orang tua anda yang tidak tinggal bersama anda? Kadang-kadang kak. Soalnya saya agak males datang ke rumah bapak. 25. Apakah orang tua anda mengajarkan hal-hal yang berkenaan dengan agama sebelum bercerai? Ya
26. Apakah orang tua anda sekarang masih mengajarkan hal tersebut? Masih, ibu saya sering mengajari saya mengaji dan memberitahu beberapa hal mengenai agama, seperti pentingnya menghormati orang tua. 27. Bagaimana praktik keagamaan anda setelah orang tua bercerai? Selama ini sih tidak banyak berbeda. 28. Adakah ajaran agama yang anda ketahui mengenai kasus perceraian? Setahu saya agama Islam tidak menganjurkan untuk bercerai, karena hal tersebut kurang disukai oleh Allah SWT. 29. Bagaimana anda memahami ajaran agama tersebut? Yang saya pahami dari ajaran tersebut, bahwa sebisa mungkin untuk mempertahankan perkawinan. Tapi kalau memang sudah tidak bisa dipertahankan lagi ya harus cerai. Dari pada dilanjutkan dan hasilnya malah lebih buruk? 30. Dari sisi ibadah, adakah perbedaan sebelum dan sesudah orang tua anda bercerai? Dulu waktu saya masih bersama kedua orang tua saya, saya sering mendapatkan pengajaran ajaran agama dari mereka. Saya juga sering melakukan ajaran agama tersebut bersama mereka, seperti salat berjamaah, mengaji maupun puasa. Namun setelah orang tua saya puasa, saya jadi malas mengerjakannya. Salat malas, puasa malas, ngaji juga jadi malas 31. Bagaimana perasaan anda saat mengetahui bahwa orang tua anda bercerai? Awalnya saya merasa shock juga setelah tahu ibu memutuskan untuk bercerai dengan bapak. Tapi lama-kelamaan saya jadi terbiasa dengan keadaan di mana bapak sudah tidak ada lagi di rumah. 32. Adakah upaya dari kedua orang tua anda untuk rujuk kembali? Nggak ada.
33. Sebagai anak dari orang tua yang bercerai, apakah anda mengalami gangguan dalam bergaul? Nggak, teman-teman tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Mereka bisa menerima kalau orang tua saya sudah tidak bersama lagi. 34. Bagaimana reaksi teman-teman anda di sekolah saat mengetahui orang tua anda bercerai? Sama, mereka juga bisa mengerti 35. Apakah kehadiran bapak/ibu tiri mempengaruhi sikap keberagamaan dan perilaku anda? Kalau kehadiran bapak tiri sampai saat ini belum ada, karena ibu belum memutuskan untuk menikah lagi. Jadi ya saya nggak bisa jawab. 36. Bagaimana sikap ibu/bapak anda setelah bercerai terhadap anda? Ibu sekarang lebih bahagia kalau saya lihat dibandingkan dengan dulu sebelum cerai dengan suaminya. Mengenai perceraian ibu dan bapak saya, perasaan saya justru senang. Karena ibu sudah tidak mendapat perlakuan kasar lagi. Walaupun sebetulnya saya juga merasa iri dengan mereka yang masih mempunyai ibu bapak. Tapi mau bagaimana lagi? Dari pada ibu menderita terus menerus, lebih baik pisah saja. Apalagi bapak ketahuan mempunyai wanita simpanan 37. Bagaimana reaksi teman-teman sepermainan anda setelah mereka mengetahui orang tua anda bercerai? Apalagi teman sepermainan, mereka dari awal justru tahu kalau orang tua saya bakal tidak bertahan lama karena sering terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga. 38. Adakah perbedaan reaksi teman-teman anda sebelum dan sesudah orang tua anda bercerai?
Tidak ada. 39. Bagaimana anda menyikapi reaksi teman-teman yang menganggap anda sebagai korban dari perceraian? Karena teman-teman tidak memberikan reaksi yang aneh-aneh saya jadi biasa saja. 40. Apa hikmah yang bisa anda dapatkan dari perceraian orang tua anda? Hikmahnya saya jadi ikut mengambil pelajaran dalam hal berumah tangga agar tidak berpisah seperti orang tua saya. 41. Pernahkah terbersit dalam benak anda untuk mencari pelarian karena perceraian orang tua? Alhamdulillah setelah ibu cerai dari bapak, saya tidak melampiaskan kekesalan saya karena bapak sudah tidak bersama lagi dengan kegiatan-kegiatan yang negatif seperti terjerumus menggunakan obat-obatan terlarang. Hal ini karena ibu saya senantiasa memperhatikan saya dan saya merasakan kasih sayang ibu lebih besar saat beliau sudah tidak bersama ayah lagi
Jakarta, 03 Mei 2008
Dani