PENCEGAHAN PERKAWINAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KOMPARATIF FIQIH KLASIK DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 ) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh
ABDUR RAHMAN SAPUTRA 104044101383
Di Bawah Bimbingan
DR. KHA. Juaini Syukri, Lcs., MA. NIP : 150256969
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Pencegahan Perkawinan Perspektif Hukum Islam “(Studi Komparatif Fiqih Klasik Dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 )”. telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 8 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama). Jakarta, 17 September 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP. 150 169 102
(.................................)
2. Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag., MH. NIP. 150 285 972
(.................................)
3. Pembimbing : DR. KHA. Juaini Syukri, Lcs., MA. NIP : 150 256 969
(……………………)
4. Penguji I
: Dr. A. Sudirman Abbas, MA.. NIP. 150 294 051
(.................................)
5. Penguji II
: Alimin, M.Ag. NIP. 150 299 473
(...............................)
KATA PENGANTAR
ﻦ اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ِﻢ ِ ﺣ َﻤ ْ ﺴ ِﻢ اﻟﱠﻠ ِﻪ اﻟ ﱠﺮ ْ ِﺑ Tiada kata yang paling indah selain memanjatkan puja kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Puji kepada Zat yang maha suci serta syukur kepada Allah Rabbul Ghafur. Untuk mengukir rasa kebahagiaan, penulis mengucapkan Alhamdulillah atas seluruh Karunia dan Nikmat yang penulis rasakan, sehingga hanya kepadanyalah segala kelebihan terpulangkan. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah memberikan “Bayaan al-Tafsir” dalam menyikapi al-Qur’an dan “Bayyinah” antara yang haq dan yang bathil dalam menjalankan kehidupan ini, semoga penjelasanpenjelasan yang telah diberikan oleh beliau baik qauli, fi’li, dan taqriri dapat menjadi landasan kita berdiri dalam segala aspek kehidupan. Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini selesai tidak hanya jerih payah sendiri akan tetapi juga karena dukungan dan andil segenap pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih pun penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini:
1. Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bapak Dr.H.A. Djuaini Syukri, LCS, MA. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M. Hum., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Al-Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Segenap bapak dan ibu dosen atau staff pengajar pada lingkungan jurusan AlAhwal Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku kuliah. 5. Segenap jajaran staff dan karyawan akademik Fakultas Syari’ah dan Hukum, serta Kepala Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarata, Kepala Perpustakaan Iman Jama’ yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 6. Teman-Teman seperjuangan Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2004 dan Sahabat karibku
yang telah melewati hari-hari baik suka maupun duka dan
kawan-kawan terdekat yang selalu menemaniku selama masa perkuliahan dan memberikan motivasi. dan kawan-kawan lainnya yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan jalinan persahabatan kita tak terhenti sampai disini dan bisa terjalin sampai kapan pun dan dimana pun kita berada. Thanks ya buat semuanya.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda... Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 18 Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….....
i
DAFTAR ISI………………………………………………………………….......
iv
PENDAHULUAN ……………………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………
5
C. Manfaat dan Tujuan Penulisan …………………………………..
6
D. Teknik dan Metodologi Penelitian ……………………………….
6
E. Sistematika Pembahasan …………………………………………
8
BAB I
BAB II
ALASAN DAN AKIBAT PENCEGAHAN PERKAWINAN ………
10
A. Pengertian Tentang Perkawinan ………………………………….
14
B. Pengertian Pencegahan Perkawinan ……………………………...
21
C. Alasan Pencegahan Perkawinan ………………………………….
23
D. Akibat Pencegahan Perkawinan ………………………………….
28
BAB III
PENGERTIAN PENCEGAHAN PERKAWINAN ……………….
30
A. Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqih Klasik …………………..
32
B. Pencegahan Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
BAB IV
Tentang Perkawinan ………………………………………………
43
C. Pencegahan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam ……..
46
ANALISIS PENCEGAHAN PERKAWINAN MENURUT FIQIH KLASIK DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ……………………………………………………....
49
A. Perbedaan Pencegahan Perkawinan Antara Fiqih Klasik Dan UndangUndang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan …………………..
49
B. Persamaan Pencegahan Perkawinan Antara Fiqih Klasik Dan UndangUndang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan …………………
51
C. Analisis Penulis ………………………………………………….
53
PENUTUP ………………………………………………………….
58
A. Kesimpulan ……………………………………………………..
58
B. Saran ……………………………………………………………
59
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
60
BAB V
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah penting jika kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (mitsaqan goliidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, maka dianjurkan untuk berpuasa karena dengan berpuasa dapat menahan diri dari hawa nafsu. Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar. oleh karena itulah, perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyari’atkannya perkawinan bisa tercapai. Setiap mahluk hidup yang berada di atas bumi ini semuanya menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan ini langgeng dinikmati, salah satu jalan untuk mencapai 1
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2000), h. 14
bahagia adalah dengan jalan perkawinan.2 Dalam ajaran islam, perkawinan merupakan perjumpaan dua insan manusia yang berlawanan jenis, karena itu dalam perjalanan manusia beragama peristiwa yakni perkawinan dianggap memiliki nilai sakralitas paling tinggi.3 Perkawinan dibolehkan dan bahkan dianjurkan oleh Rasulallah SAW kepada umat manusia sesuai dengan tabiat alam yang mana antara golongan pria dan golongan wanita itu saling membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin sebagai suami-isteri yang sah dalam hukum agama dan Undang-Undang Negara yang berlaku. Adapun salah satu hikmah perkawinan berdasarkan ajaran Islam adalah memelihara manusia (pemuda) dari pada pekerjaan maksiat yang membahayakan diri, harta dan pikiran.4 Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang disahkan Presiden Republik Indonesia. yang didalamnya menjelaskan tentang mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan, aneka ragam hukum perkawinan di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, asas-asas perkawinan dan jaminan kepastian hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, antara lain mengatur tentang rukun dan syaratsyarat perkawinan, maka terciptalah kepastian hukum dalam urusan perkawinan pada khususnya, dan pada masalah keluarga pada umumnya. 2
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h.1 Ashad Kusuma Djaya, Rekayasa sosial lewat malam pertama (pesan-pesan Rasulallah SAW menuju pernikahan barokah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001), h.15. 4 Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h.30-31 3
Sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia kekal dan abadi.” Dan dalam instruksi Presiden No.1 Tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam juga ditegaskan dalam pasal 2 yaitu “perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”5 Maka diharapkan suatu perkawinan dapat berlangsung langgeng dan bahagia dalam perjalanannya. Roda kehidupan terus berputar dan terkadang tanpa disadari bahwa perkawinan yang baru atau yang sedang dijalani cacat hukum, entah karena tidak terpenuhinya syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang atau memang adanya para pihak atau oknum yang dengan sengaja melanggar ketentuan tersebut. Sama halnya dengan pembatalan perkawinan, pencegahan perkawinanpun diarahkan kepada kepastian hukum dan ketertiban umum dengan jalan campur tangan penguasa, yakni Pengadilan Agama. Dengan demikian, dicegahnya suatu perkawinan baru sah dan mengikat harus berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Kemungkinan-kemungkinan itu terjadi lebih disebabkan tidak dipahaminya syari’ah islam itu sendiri dengan baik dan masih awamnya masyarakat terhadap tata cara perkawinan. Jadi, jangankan memahami Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, hukum-hukum perkawinan dalam kitab fiqihpun masih banyak umat islam yang tidak memahaminya sehingga mengakibatkan
5
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2000), h. 14
terjadinya perkawinan yang terlarang. Lebih ironis lagi adalah perkawinan itu terjadi dibawah tangan, tanpa melibatkan pejabat berwenang yang sebenarnya jika pejabat berwenang dilibatkan, maka perkawinan terlarang tersebut tidak akan terjadi. Menurut Quraish Shihab hampir mustahil ada isteri yang mengijinkan suaminya berpoligami,6 maka tak heran jika para wanita banyak yang mencegah perkawinan suaminya yang kedua dengan mengajukan gugatan kepengadilan agama lantaran tidak meminta izin terlebih dahulu kepada mereka (para isteri). Fenomena di atas memang marak dilakukan oleh para wanita yang mencegah perkawinan suaminya yang kedua di Pengadilan Agama. Terlebih lagi kitab fiqih klasikpun tidak membahas tentang pencegahan perkawinan, namun yang ada di Indonesia yaitu Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam membahas tentang pencegahan perkawinan tersebut, yang mana keduanya merupakan rujukan utama bagi para hakim dalam memutuskan perkaraperkara di Pengadilan Agama, Sebenarnya bagaimana konsep hukum islam (dimensi Kompilasi Hukum Islam) dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengupas masalah pencegahan perkawinan ini ? dan apa yang membedakan antara tinjauan fiqih klasik dan Undang-Undang perkawinan mengenai pencegahan perkawinan ? Atas permasalahan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji, menelaah dan menganalisis perbandingan antara tinjauan fiqih klasik dan Undang-Undang Perkawinan mengenai pencegahan perkawinan. Semuanya itu penulis tuangkan dalam sebuah skripsi dengan tema “Pencegahan Perkawinan Perspektif Hukum Islam. (Analisis perbandingan antara fiqih klasik dan Undang-Undang No.1 tahun 1974 )”. 6
Khoiruddin Nasution, “Perbedaan Sekitar Status Poligami: Ditinjau dari Perspektif Syari’ah Islam”, Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam Vol.1 No.1 (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 2002), h. 65
B. Batasan dan Rumusan Masalah Penulis membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada masalah pencegahan perkawinan menurut fiqih klasik dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Karena luasnya struktur fiqih klasik yang mencakup berbagai macam dimensi, maka penulis membatasi fiqih klasik disini hanya pada dimensi pendapat dari para ulama mazhab, khususnya mengenai masalah pencegahan perkawinan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut : 1
Konsep Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqh Klasik & Alasannya
2
Konsep Pencegahan Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 & Alasannya
3
Persamaan Dan Perbedaan Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqh Klasik Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
C. Tujuan Penulisan Tujuan yang sangat penulis harapkan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui konsep pencegahan perkawinan menurut fiqh klasik & alasannya 2. Untuk mengetahui konsep pencegahan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan alasannya
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara fiqih klasik dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilsi Hukum Islam.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Metode Penelitian Dalam penulisan skaripsi ini, ada empat aspek metodelogi penelitian yang akan digunakan yaitu:
a. Metode Pembahasan Adapun metode pembahasan yang diterapkan dalam penelitian skripsi ini adalah deskriptif analisis dan komparatif. Metode pembahasan deskriptif perlu digunakan untuk
memaparkan
masalah
pencegahan
perkawinan,
sedangkan
metode
pembahasan komparatif digunakan untuk membandingkan antara pencegahan perkawinan menurut fiqih klasik dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. b. Jenis Data Dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis data berupa data primer dan sekunder,
dan
dari
kedua
data
sekunder
tersebut.
Penulis
berusaha
menginterpretasikandengan baik. Adapun sumber primer yang digunakan oleh penulis dalam tulisan ini adalah buku-buku, dan kitab undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Kemudian sumber data sekunder adalah majalah,internet dan artikel yang ada kaitannya dengan pencegahan perkawinan. c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan data dari berbagai literatur yang relevan dengan pokok masalah yang di jadikan sumber penulisan karya tulis ini. d. Metode Analisa Data Data yang dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis dan diinterpretasikan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Analisa data dilakukan dengan metode induktif kemudian menginterpretasikan dengan bahasa penulis sendiri. 2. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi , Tesis dan Disertasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.
E. Sistematika Pembahasan Skripsi ini dibagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu: BAB I : Mengenai Pendahuluan, yang terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Dan Sistematika Pembahasan BAB II : Alasan Dan Akibat Pencegahan Perkawinan, yang terdiri dari : Tinjauan Umum Tentang Perkawinan, Pengertian Pencegahan Perkawinan Alasan Dan Akibat Pencegahan Perkawinan. BAB III : Pengertian Pencegahan Perkawinan, yang terdiri dari : Pengertian Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqih Klasik, Pencegahan
Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam, Pencegahan Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
BAB IV : Analisa Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqih Klasik Dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. BAB V : Penutup, yang terdiri dari : Kesimpulan dan Saran
BAB II ALASAN DAN AKIBAT PENCEGAHAN PERKAWINAN
Sebelum memulai uraian tentang pencegahan perkawinan menurut fiqih klasik, penulis merasa perlu menggambarkan terlebih dahulu tentang Kerakteristik Hukum Islam, dimana hukum Islam itu sendiri tidak terlepas dari kerakteristiknya. Hukum Islam memiliki suatu sistem yang justru menimbulkan dorongan untuk dipelajari oleh para cendikia hukum Islam di seluruh dunia. Karena dari sistem hukum Islam itu terlihat perkembangannya yang sangat pesat di bidang sistem-sistem hukum lainnya.7 Sejak ratusan tahun yang lalu di kalangan umat islam di seluruh dunia termasuk Indonesia, mengalami ketidakjelasan persepsi tentang syari’ah, fiqih dan hukum islam kekacauan persepsi ini meliputi arti dan ruang lingkup pengertian syari’ah islam yang kadang-kadang diartikan sama dengan fiqih. Fatwa-fatwa tentang masalah islam di Indonesia kebanyakan diambil dari kitab-kitab yang dikarang oleh para sarjana hukum islam tempo dulu, tiap-tiap karangan diwarnai dengan pendapat dan pendirian masing-masing pengarangnya dan sangat tergantung kepada orang yang meminta fatwa tersebut kepada pengarang kitab tersebut. Akibat hal
7
R. Abdul Djamil, Hukum Islam (Asas-Asas,Hukum Islam I, Hukum Islam II ,) (Bandung, Mandar Maju), 1992. h, 64.
demikian, timbul masalah khilafah karena antara satu ulama dengan ulama lain mempunyai persepsi yang berbeda dalam menilai suatu masalah hukum. Menurut Abu al-Hasan Ahmad Faris secara sistematis kata fiqih bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya secara baik dan mendalam. Sedangkan menurut pengertian istilah, Muhammad Abu Zahrah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci. Dari dua definisi ini ada dua objek kajian fiqih, yaitu hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci dari al-Qur’an dan sunnah yang menunjuk suatu kejadian tertentu, atau menjadi rujukan lagi kejadian-kejadian tertentu, seperti riba haram hukumnya karena telah ditetapkan dalam surat Al-Baqarah (2):279. bahwa pengetahuan mengenai hukum syara’ itu di dasarkan kepada dalil tafsili, dan fiqih itu digali dan di temukan melalui penalaran mujtahid.8 Adapun hakekat dari fiqih itu adalah pertama, fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum syara’ dari setiap pekerjaan mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh, mandub, dan mubah: kedua, objek kajian fiqih adalah hal-hal yang bersifat amaliah, sedangkan hal-hal yang bukan bersifat amaliah seperti masalah akidah tidak termasuk dalam kajian fiqih: ketiga, pengetahuan hukum syariah itu di dasarkan kepada dalil tafsili; keempat, fiqih itu digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad; kelima, fiqih sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja sebagai bentuk praktis dari cara berfikir, terutama cara berfikir taksonomis dan cara berfikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadis hukum; keenam, pada hakekatnya fiqih merupakan
8
44
Abdul Manan Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.
seperangkat norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.9 Salah satu dimensi hukum Islam yang paling dikenal dalam masyarakat, baik umat Islam maupun komunitas ilmiah, adalah fiqih, yang merupakan produk penalaran fuqaha yang dideduksi dari sumber (ayat al-Qur’an dan teks hadis) yang otentik.10 Produk pemikiran mereka di dokumentasikan dalam berbagai kitab fiqih, yang tersusun secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan, mulai dari tharah sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum (‘Abd al-Wahab Khallaf, 1972: 11) yang bersifat praktis (amaliah atau terapan). Sementara itu, menurut Al-‘Asymawi (1993:119), fiqih memiliki beberapa karakteristik.pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak dapat dibandingkat dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Tetapi sebetulnya fiqih sangat dipengaruhi oleh hukum dan yurusprudensi Romawi-Bizantium. Kedua, mula-mula fiqih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan system, karena itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi selain yang dikembangkan oleh ilmu imam syafi’i. ketiga, fiqih kurang memberikan kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah islam. Keempat, ada kekurangan indepedensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor luar. Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru, tetapi mencari hilah. Kelima pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap pendapat-pendapat dalam berbagai macam mazhab. Jadi, fiqih adalah tidak sekedar ilmu tentang hukum syariah yang diperoleh dari proses istidlah, tetapi hukum-hukum itu seringkali disebut fiqih. Saat ini teknologi fiqih
9
Ibid, h. 45 Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 46 10
tidak lagi dimaksudkan sebagai seperangkat ilmu tentang hukum, melainkan hukum – hukum fiqih itu sendiri disebut fiqih.11 Berkaitan dengan konsep pencegahan perkawinan, hukum Islam dimaksud meliputi pada fiqih resmi yang berbahasa Indonesia yang telah di formalkan dan dikondifikasi dalam sebuah Kompilasi Hukum Islam atas Intruksi Peresiden No. 1 Th. 1991. Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum islam yang disusun secara sistematis dan menjadi rukun formal bagi hakim pengadilan agama dalam menstandarkan hukum materiil dilingkungan pengadilan agama yang mudah-mudahan dapat; 1) memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam hukum islam, 2) mengatasi berbagai masalah khilafiyah (perbedaan pendapat ) untuk menjamin kepastian hukum,dan 3) mampu menjadi bahan buku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional.12
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Kata “kawin” atau “nikah “berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-isteri (dengan resmi), jadi perkawinan atau pernikahan ialah hal (perbuatan) nikah. perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-dammu wa-al jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wath’al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.13 Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum islam adalah “perkawinan menurut hukum islam adalah 11
48
12
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), h.
Muhamad Daud Ali, Hukum Islam, ( Jakarta:PTRaja grafindo persada, 2004 ), cet. Ke-9, Amiur nurudin,dan azhari akmal tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (studi kritis perkembangan hukum islam dari fiqih,UU NO.1/1974 sampai KHI), (Jakarta: kencana,2004),cet.ke-1, h.38 13
pernikahan,yaitu akad yang sangat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.”14 Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hokum perkawinan islam mengandung unsure-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga berdasarkan relegius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Sedangkan dasar-dasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakannya, yaitu : iman, islam, ikhlas.15 Adapun dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal bedasarkan tuhan Yang Maha Esa).”16 Pencantuman ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamanya adalah ketuhanman Yang Maha Esa, dan sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani 14
Departemen agama, Kompilasi Hukum Islam Departemen Agama Republic Indonesia, 2000),h.14 R. Abdul Djamil, Hukum Islam (Asas-Asas,Hukum Islam I, Hukum Islam II ,) (Bandung, Mandar Maju), 1992. h, 72 15
16
Departemen agama, Himpunan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (direktorat Pembina badan peradilan agama islam direktora jendral pembinaan kelembaagaan agama islam, 2000), h.131
Hukum melakukan perkawinan variatif; wajib (bagi orang yang mempunyai penghasilan cukup dan ia takut terjatuh dalam lembah kejahatan), sunnah (bagi orang yang ingin kawin serta cukup belanjanya), jaiz (ini adalah hukum asalnya, dengan demikian, seseorang boleh kawin dan boleh tidak kawin atau tidak di hukum pula orang yang tidak kawin ), makruh (bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah) haram (bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang di nikahinya).17 Ada dua tujuan perkawinan menurut imam Ghazali dalam ihya’ulumuddinnya yaitu memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama, sehigga dua tujuan tersebut dapat di kembangkan menjadi lima: 1. mendapatkan dan melangsungkan perkawinan 2. memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya 3. memenuhi panggilan agama, memelihara diri, kejahatan dan kerusakan 4. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersengguh-sungguh memperoleh harta kekayaan yang halal dan 5. membangun rumah tangga untuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.18 Kompilasi Hukum Islam pasal 4 menyatakan bahwa perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum islam. hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No.1 1974 yang menganggap perkawinan sah menurut pasal 2 ayat 1 bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Walaupun Undang-Undang No.1 Th. 1974 Tentang Perkawinan menganut azas monogami sebagaimana tercantum dalam pasal 3 ayat 1 namun hal tersebut di tempatkan pada status darurat yang menyebabkan seseorang suami dapat beristeri lebih dari seorang
17
Rahmat Taufiq Hidayat,almank alam islami: sumber rujukan keluarga muslim baru, (Jakarta:PT.dinia Pustaka jaya, 2000), cet. Ke-1, h. 314 18 Abdul rahman ghajaly,fiqh munakahat, (bogor:kencana, 2003), cet.ke-1, h.23
dengan meminta izin ke pengadilan dan dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagai mana terdapat dalam pasal 4 ayat 2. Izin beristeri lebih dari seorang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diberikan dengan alasan sebagai mana terdapat dalam pasal 4 ayat 2 dan senada dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 57 yang menyatakan:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.19 Kemudian syarat yang di tentukan dalam Undang-Undang No.1 Th. 1974 untuk mendapatkan ijin pengadilan agama bagi suami yang akan berpoligami selain syarat utama (adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak), untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 undang-undang tersebut yaitu: a. Adanya persetujuan isteri atau isteri-isteri b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka Dalam hal isteri atau isteri-isteri tidak mau memberikan persetujuan, sedangkan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang telah berdasarkan alasan-alasan
19
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2000), h. 14
yang dipersyaratkan. Maka pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di pengadilan. Pengadilan agama dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.20 Syarat-syarat perkawinan yang dijelaskan oleh Undang-Undang No. 1 Th. 1974 pada pasal 6 adalah hal-hal yang harus dipenuhi jika akan melangsungkan sebuah perkawinan, yaitu: 1
Adanya persetujuan dari kedua belah pihak
2
Untuk yang berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari orang tua atau jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat di peroleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu meyampaikan kehendaknya.
3
Bila orang tua telah meninggal atau tidak dapat menyampaikan kehendaknya, maka izin di peroleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa rukun dan syarat dalam suatu perkawinan harus ada calon isteri, suami, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan Kabul. Dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No.1 Th.1974 dan pasal 15 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah menycapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun, namun demikian dalam hal terjadi penyimpangan dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang di
20
Departemen agama, tanyajawab saputar kepenghuluan, (Jakarta:direktorat jendral bibingan masyarakat islam dan penyelenggaraan haji,2003), h. 25
tunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat 2 dalam pasal 7 Undang-Undang perkawinan tersebut. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengatur perkawinan terlarang dalam pasal 8 senada dengan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 39 yang mana melarang perkawinan antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, menyamping (antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya), semenda (mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri), sesusuan (orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi/paman sesusuan), berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang, mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku. Selain dari hal tersebut di atas terdapat pula perkawinan terlarang lainnya seperti wanita dalam masa iddah dengan pria lain dan wanita yang tidak beragama islam (pasal 40 KHI) dan larangan terhadap isteri-isteri yang di talak raj’I, tetapi masih dalam masa iddah (pasal 41 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 10 Undang-Undang No.1 tahun 1974). Demikian juga seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi sebagaimana termaktub dalam pasal 9 Undang-Undang perkawinan, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 Undang-Undang ini, dan pada pasal 11-nya bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu yang apabila perkawinan terlarang tersebut tetap dilangsungkan maka perkawinan itu batal.
Kewajiban untuk mencatat perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan kompilasi hukum islam pasal 5 yang menyatakan
“1). Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan harus dicatat. 2). Pencatat perkawinan tersebut pada pasal (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.22 jo. Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954.” Realitas yang berkembang dalam masyarakat yang modern ini ternyata masih ada sebagian masyarakat kita yang melakukan perkawinan di bawah tangan, karena pentingnya catat mencatat dalam sebuah perkawinan yang diatur oleh Negara, maka terdapat dua pandangan pada fenomena tersebut. Pandangan pertama menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan, dan pandangan yang kedua, menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.21 Menurut penulis kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif, tetap harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di depan pegawai pencatat tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang telah dilangsungkannya; sebuah perkawinan yang sah.
B. Pengertian Pencegahan Perkawinan
21
Hartono Mardjono, Menegakan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997), h. 97.
Pada dasarnya yang di maksud dengan pencegahan perkawinan adalah usaha yang menyebabkan
tidak
berlangsungnya
perkawinan.
Berbeda
perkawinan, pencegahan itu berlaku sebelum terjadinya
dengan
pembatalan
perkawinan. Sedangkan
pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkan hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu telah terjadi secara sah.22 Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang di undangkan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum islam yang termuat dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan. Demikian juga yang terungkap dalam pasal 60 Kompilasi Hukum Islam. Pencegahan dimaksud adalah (1). Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan; (2). Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundangundangan. Ada dua syarat penting yang apabila tidak dipenuhi, perkawinan dapat dicegah.23 Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan seperti yang sudah diuraikan. dan kedua syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang
22
Amir Syarifuddin, Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: PT.Kencana,2006), cet,1, h, 150 23 Zainuddin Ali, Perdata Hukum Islam Di Indonesia,PT, Sinar Grafika, Cet,1, 2006, h, 33
meliputi calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya, juga harus diperhatikan. Selain itu, pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 menentukan : (1). Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2). Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (3). Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebut sesuatu alasan yang penting. Diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah. Selain itu dapat juga dilihat pada pasal 4,5,6,7,8, dan 9 PP Nomor 9 Tahun 1975. sebagai contoh pasal 8 menyatakan bahwa setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan
serta
tiada
sesuata
halangan
perkawinan,
pegawai
pencatat
menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang sudah di tentukan dan mudah dibaca oleh umum.24 Berdasarkan uraian dimaksud, menunjukan bahwa apabila ada pihak-pihak yang merasa keberatan dapat melangsungkan pencegahan, agar tidak terjadi perkawinan yang dilangsungkan bertentangan dengan hukum islam dan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, menurut garis hukum yang tertuang dalam pasal 61 KHI, “tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan. Kecuali tidak sekufu karena
24
Ibid, h, 34
perbedaan agama atau ikhtilafu al-din”.25 Upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan sehingga baik Undang-Undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam mengatur siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan mencegahan perkawinan yang dimaksud.
C. Alasan Pencegahan Perkawinan Islam mensyariatkan dan menggalakan perkawinan. Walaupun begitu, islam mengharamkan perkawinan dengan beberapa golongan perempuan. Pengharaman itu dilakukan karena beberapa sebab. Antaranya sebagai suatu penghormatan dan penghargaan kepada perempuan tersebut seperti mengawini ibu kandung sendiri. Antaranya karena fitrah semua manusia tidak menginginkan perkara tersebut seperti mengawini anak perempuan dan adik perempuan sendiri. Karena perkawinan itu menjaga kehormatan tidak dapat dicapai dengan sempurna apabila mengawini kaum kerabat, seperti mengawini saudara atau cucu perempuan. Dan karena perkawinan itu adalah untuk menyusun dan membina hubungan kekeluargaan, oleh karena itu diharamkan mengawini dengan anak-anak perempuan dan cucu-cucu perempuan sesususan.
25
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2000), h. 14
Dengan sebab tujuan tersebut. Islam mengharamkan perkawinan sebagian golongan permpuandengan sebagian golongan laki-laki. Berikut adalah keterangan kepada keharaman tersebut.26 Hal-hal yang menyebabkan haramnya menikahi perempuan ada tiga, yaitu : 1. Sebab Keturunan 2. Sebab Sepersusuan 3. Sebab Pernikahan jumlah wanita yang haram dinikahi adalah empat belas golongan. Tujuh diantaranya dari sebab keturunan, dua golongan dari sebab sepersusuan, dan lima golongan dari sebab pernikahan, semua ini disebut muhram.
A. Dari Sebab Keturunan 1. Ibu dan jalurnya ke atas (nenek perempuan dan seterusnya) 2. Anak perempuan dan keturunannya dari garis ke bawah (cucu, dan seterusnya) 3. Saudara perempuan seibu sebapak 4. Bibi (saudara perempuan ibu) 5. Saudara perempuan dari bapak 6. Anak perempuan dari saudara laki-laki 7. Anak perempuan dari saudara perempuan
26
Mustofo Al-Khin, kitab fikih mazhab safi’ie. Undang-undang kekeluargaan, nikah,talak nafkah, penjagaan anak-anak, penyusuan,menentukan keturunan, dan anak buangan. (kuala Lumpur : PT. Prospecta Printers SDN BHD, 2005), Hal. 744
Firman Allah SWT :
خ ِ ت اْﻻ ِ ﺧَﻼ ُﺗ ُﻜ ْﻢ َو َﺑﻨَﺎ َ ﻋﻤﱠﺎ ُﺗ ُﻜ ْﻢ َو َ ﺧﻮَا ُﺗ ُﻜ ْﻢ َو َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ُأ ﱠﻣﻬَﺎ ُﺗ ُﻜ ْﻢ وَﺑﻨَﺎ ُﺗ ُﻜ ْﻢ َوَأ َ ﺖ ْ ﺣﺮﱢ َﻣ ُ .. ﺖ ِ ﺧ ْ ت اْﻻ ِ َو َﺑﻨَﺎ Artinya. “Diharamkan atas ibumu, anak perempuan, saudara perempuanmu, saudara perempuan dari bapak, saudara perempuan dari ibu, anak perempuan saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempun”(Q.S. An-Nisa :23)
B. Dari Sebab Sepersusuan 1.Ibu yang menyusi (ibu susuan) 2.Saudara sesusuan (saudara susuan)
Firman Allah SWT :
.ِﺮﺿَﺎﻋَﺔ ﻦ اﻟ ﱠ َ ﺧﻮَا ُﺗ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﺿ ْﻌ َﻨ ُﻜ ْﻢ َوَأ َ َوُأ ﱠﻣﻬَﺎ ُﺗ ُﻜ ُﻢ اﻟﱠﻼﺗِﻰ َأ ْر Artinya. “dan diharamkan juga atasmu menikahi ibu yang menyusuimu dan saudaramu yang sesusuan”(Q.S. An-Nisa : 23) C. Dari Sebab Pernikahan (Musaharah) : 1. Ibu dari isteri
2. Anak tiri bila terjadi dukhul dengan ibunya 3. Saudara perempuan dari isteri, kecuali bila telah cerai 4. Isteri dari anak laki-laki sekandung 5. Isteri dari bapak (ibu tiri)27
Firman Allah SWT :
ﻦ ﺧ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻬ ﱠ َ ﻦ ِﻧﺴَﺎ ِﺋ ُﻜ ُﻢ اﻟﱠﻼﺗِﻰ َد ْ ﺠ ْﻮ ِر ُآ ْﻢ ِﻣ ُﺣ ُ ت ِﻧﺴَﺎ ِﺋ ُﻜ ْﻢ َو َرﺑَﺎ ِﺋ ُﺒ ُﻜ ُﻢ اﻟﱠﻼﺗِﻰ ﻓِﻰ ُ َوُأ ﱠﻣﻬَﺎ ﻦ َأﺻْﻼ ِﺑ ُﻜ ْﻢ ْ ﻦ ِﻣ َ ﻞ َأ ْﺑﻨَﺎ ِﺋ ُﻜ ُﻢ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َو ﺣَﻼ ِﺋ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ﻦ ﻓَﻼ ﺧ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻬ ﱠ َ ن َﻟ ْﻢ َﺗ ُﻜ ْﻮ ُﻧﻮْا َد ْ َﻓِﺈ .ﺣ ْﻴﻤًﺎ ِ ﻏ ُﻔ ْﻮرًا َر َ ن َ ن اﷲ آَﺎ ِإ ﱠ,ﻒ ْ ﺳَﻠ َ ﻦ اِﻻ ﻣَﺎ َﻗ ْﺪ ِ ﺧ َﺘ ْﻴ ْ ﻦ اْﻻ َ ﺠ َﻤ ُﻌﻮْا َﺑ ْﻴ ْ ن َﺗ ْ َوَأ Artinya : “ dan diharamkan juga atasmu menikahi ibu isterimu (mertuamu) dan anak isterimu yang ada di dalam penguasaanmu karena pernikahan dengan isteri-isteri yang telah kamu dukhul dengan mereka, jika kamu telah dukhul dengan mereka, tidaklah dosa atasmu (menikahinya) dan isteri-isteri anakmu (menantumu), begitu juga (haram hukumnya), bila kamu kumpulakan dua saudara perempuan, kecuali yang telah terdahulu bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (Q.S. An-Nisa : 23) Dan mengenai alasan perkawinan dapat dicegah, secara limitatif sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 13, dan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 60. 27
Ibnu Mas’ud, fikih mazhab syafi’I, edisi lengkap. Muamalat, munakahat, jinayat. ( Bandung : CV. Pustaka Setia Bandung, 1999), hal. 293.
Dari pasal-pasal yang tersebut di atas dapat penulis simpulkan bahwa pada dasarnya suatu perkawinan dapat dicegah, apabila : pertama. Para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan, baik itu syarat-syarat materiil ataupun syaratsyarat administratif. Seperti yang dimuat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974. bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a). berhubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas.
b). berhubungan darah dalam
garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c). berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d). berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e). berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f). mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
D. Akibat Pencegahan Perkawinan Berbicra tentang “akibat” berarti dengan sendirinya adanya sebab, dan membicarakan pencegahan perkawinan berarti bahwa perkawinan itu belum dilakukan atau belum terjadinya suatu perkawinan. Berbeda halnya dengan pembatalan perkawinan yang mana perkawinan itu sebelumnya telah berlangsung dan bisa jadi buah dari akibat perkawinannya itu telah menghasilkan anak, kemudian permasalahan yang timbul diantaranya adalah seputar masalah seksual, apakah perbuatan itu dianggap zina atau tidak ? dan jika menghasilkan anak, bagaimana status anak tersebut (dianggap anak zina atau bukan) kemudian tentang kaitannya dengan hak mewarisi. Dari beberapa
permasalahan akibat pembatalan perkawinan itu sama sekali tidak ditemukan dalam permasalahan pencegahan perkawinan, dengan tidak ditemukannya akibat dari pencegahan perkawinan ini, disebabkan karena perkawinan tersebut belum terjadi. jadi dalam hal ini penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa tidak ada akibat yang ditimbulkan dari pencegahan perkawinan tersebut.
BAB III PENGERTIAN PENCEGAHAN PERKAWINAN
Konseptualisasi fikih yang telah mendarah daging dalam diri identitas khazanah keislaman, kini telah mengalami proses seleksi alam. Dengan lahirlnya problematika fikih yang kian kompleks, eksistensinya pun digugat kembali. Fikih sudah tidak masanya menjadi barang sakral yang harus terus dikultuskan dan ditakuti. Tapi, realita kontemporer menuntut kehadiran fiqih harus lebih simple, elastis dan tidak mengandung intimidasi. Artinya; penampakan fikih bukanlah benang ruwet dengan konsep yang bertele-tele, apalagi membelenggu atau bahkan menakuti para penggunanya. Tapi, kelahiran fiqih bernuansa kontemporer seharusnya selaras dengan nilai-nilai humanis, pluralis, esensilais, dan berbanding lurus dengan waktu tanpa harus kehilangan identitasnya. Di sisi lain, cita-cita suci Mazhab empat sebagai founding father disiplin ilmu fikih yang berdasar atas istinbath, bukan atas otak-atik rekayasa pemikiran dapat direaktualisasikan. Sebutlah lebah, mazhab empat adalah sosok yang mensarikan bunga yang berupa teks menjadi madu-madu yang manis. Artinya; mereka mengkonsep fikih yang bersifat vertikal merupakan rumusan nilai-nilai yang kekal, namun rumusan horizontal merupakan norma-norma yang bersifat variabel dan selalu berubah atau lebih akrab
dengan
istilah
mutaghayyirat.
Dengan kata lain, formulasi fikih dan mengkontekstualisasikan teks tanpa mengobrak-
abrik substansi atau prinsip dasar keberfikihan. Walaupun konsep keberfikihan dalam pandangan sebagaian kalangan masih bersifat abu-abu atau yang lebih ekstrim harus hitam di atas putih, padahal sebenarnya konsep tersebut bersifat tidak baku di satu sisi, namu
baku
di
sisi
lain
Sinkronisasi antara cita-cita fikih ala mazhab empat dan realita reformulasi fikih kontemporer selayaknya perlu mendapat perhatian lebih . Sebab, jika fikih tidak lagi akrab terhadap tantangan, niscaya dia kan segera dikucillkan atau bahkan tergilas oleh seleksi alam. Memang, fiqih hanya sebatas sarana, namun ketika dia terlalu over acting atau lenyap begitu saja, niscaya kita pun malah kelabakan memproduksi sarana baru untuk menentukan sebuah produk-produk hukum islam Tak heran, bila kemudian muncul gagasan fikih lintas agama. Dalam pandangan penulis gagasan tersebut tak jauh dari fenomena di atas. Satu sisi, para penggagas tersebut tidak lagi membutuhkan fiqih. Namun di sisi lain mereka masih memerlukannya sebagai batu loncatan menuju sebuah cita-cita; kedamaian di muka bumi ( rahmatan lil alamin). Walaupun terlihat naif, jika fikih harus dipaksa untuk melompati garis-garis demarkasi agama. Atau bila gagasan tersebut masih berada dalam kubangan ramburambu agama dan hanya berorientasi untuk mendamaikan antar agama berarti gagasan tersebut tak ubahnya dengan fikih klasik yang telah menyejarah, namun kian mengalami penyempitan dan stagnasi. Karena ide passing over alias melintasi batas agama merupakan sebuah gagasan yang positif di satu sisi; karena dapat memperbaharui image sebuah agama melalui sentuhan esensi atau hakekatnya. Namun juga memiliki akibat negatif yaitu merapuhkan bangunan sebuah agama dan mengaburkan identitasnya. Oleh sebab itu, bila memang fikih lintas agama merupakan sebuah solusi atas kemandegan
fikih; berarti konsepnya pun harus matang dan tidak hanya mengulang-ulang problematika lama yang tentunya malah mengusik ketentraman para pengguna fikih. Atau bila usaha tersebut merupakan gerakan rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi bangunan fikih sekalipun, maka kematangannya pun harus ditekankan. Sebab bila gagasan tersebut hanya merupakan euforia sesaat, dikhawatirkan akan melahirkan problematika baru yang akan membingungkan umat beragama dan menghilangkan eksistensi ciri khas fiqih yang notabene hanya dimiliki oleh umat islam.28
A. Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqih Klasik Fiqih islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak ditemukan kosa kata pencegahan dalam fiqih islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fiqih islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa arab. Didalam fiqih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al- fasid dan nikah al-batil. Al-Jaziry menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil ialah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah al-fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah.29 Dalam terminologi Undang-Undang perkawinan nikah al-fasid dan al-batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Bedanya pencegahan itu lebih tepat digunakan sebelum perkawinan berlangsung sedangkan pembatalan mengesankan perkawinan telah berlangsung dan di temukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan28
http:// husniya.blogspot.com/2007/02/refleksi-keruwetan-fikih klasik.html 29
Amiur Nurudin,Dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (studi kritis perkembangan hukum islam dari fiqih,UU NO.1/1974 sampaiKHI), (Jakarta: kencana, 2004), cet.ke-1, h.98
ketentuan baik syarat ataupun rukun serta perundang-undangan. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan. Jika dianalisis diaturnya masalah pencegahan dan pembatalan dalam Undang-Undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, merupakan sebuah upaya efektif untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama. Wajarlah jika Cristian Kohler menyatakan bahwa undang-undang Indonesia yang baru itu memberikan bagi mereka yang dapat menuntut pencegahan perkawinan suatu peluang yang besar; mencakup semua orang yang berkepentingan. Ada kesan, tidak dikenalnya institusi pencegahan dalam fiqih islam itu disebabkan karena kecilnya kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan. Kuatnya posisi saksi (ingatan yang kuat- dabit sadran) dan tradisi walimah al-‘urusy tanpa disadari merupakan kontrol yang baik dari masyarakat terhadap kedua mempelai.30 Jika pada diri kedua mempelai diketahui terdapat larangan-larangan perkawinan maka masyarakat segera mengetahuinya. Seiring dengan perkembangan global seperti yang kita saksikan sekarang ini, maka terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan sangat mungkin terjadi. Untuk itulah pasal-pasal pencegahan perkawinan merupakan strategi jitu, meminjam ungkapan Kohler untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang. Secara sederhana pencegahan dapat diartikan dengan perbuatan menghalang-halangi, merintangi, menahan, tidak menurutkan sehingga perkawinan tidak berlangsung. Pencegahan perkawinan dilakukan semata-mata karena dipenuhinya syarat-syarat
30
Ibid, h.99
perkawinan tersebut.31 Akibatnya bisa saja perkawinan itu akan tertunda pelaksanaannya atau tidak terjadi sama sekali. Ada sebuah kritikan yang menarik dari Hilman Hadikusuma yang menyatakan, hukum perkawinan nasional memakai tiga istilah yang sebetulnya kurang dikenal atau tidak biasa dipakai oleh masyarakat pribumi yaitu, istilah, “pencegahan perkawinan”, penolakan perkawinan”, dan “pembatalan perkawinan”. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh pihak keluarga atau yang mengurus calon mempelai atau juga pejabat apabila persyaratan perkawinan tidak terpenuhi. Penolakan perkawinan dapat dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan apabila ada larangan terhadap perkawinan, dan batalnya perkawinan dapat dilakukan oleh keluarga atau oleh pejabat jika perkawinannya itu tidak memenuhi persyaratan. Dengan digunakannya ketiga istilah tersebut tampak bahwa Undang-Undang No.1/1974 dipengaruhi oleh KUH Perdata (BW) yang sebelumnya tidak berlaku bagi masyarakat hukum adat terutama yang beragama islam.32 Terlepas dari persoalan pengaruh memengaruhi, baik pencegahan, pembatalan dan penolakan, semuanya bermuara untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang. Muara yang dituju adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi semua pihak. Kitab-kitab fiqih tidak membicarakan pencegahan perkawinan itu secara khusus dalam bahasan tertentu. Meskipun demikian, usaha-usaha untuk tidak terjadinya perkawinan terdapat dalam fiqih dan di bicarakan secara sporadis dalam bahasa terpisah pisah.33 31
Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), h. 19. 32 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan, Hukum Adat, hukum Agama, (Bandung:Mandar Maju,1990), h.71. 33 Amir Syarifuddin, Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: PT.Kencana,2006), cet,1, h. 150
Pada dasarnya perkawinan dapat dilangsungkan bila sudah ada sebab-sebab, rukun, dan syaratnya serta sudah tidak ada lagi hal-hal yang menghalangi terjadinya perkawinan itu. Pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu sudah mengevaluasi sendiri segala persyaratan kelangsungan perkawinan itu. Sebaliknya, bila pihak-pihak yang melihat adanya syarat-syarat yang belum terpenuhi akan bertindak sendiri untuk tidak melangsungkan perkawinan itu. Umpamanya, saksi tidak akan mau menyaksikan suatu perkawinan bila ia yakin bahwa laki-laki dan perempuan terlarang untuk melangsungkan perkawinan. Begitu pula wali tidak akan melaksanakan perkawinan jika calon menantunya itu tidak seagama dengan anaknya. Seorang perempuan yang sudah dicerai oleh suaminya dan masih berada dalam masa iddah harus menolak dilaksanakannya perkawinan bila ia meyakini bahwa dia masih berada dalam masa iddah; begitu pula wali yang masih berada dalam ihram dapat menolak melangsungkan perkawinan dengan penjelasan bahwa ia masih berada dalam ihram, karena bebasnya dari ihram itu menjadi salah satu syarat bagi wali yang akan menikahkan anak perempuannya. Pencegahan perkawinan dalam kitab-kitab fiqih biasa disebut إﻋﺘﺮاض
yang berarti
intervensi atau penolakan atau pencegahan. Hal tersebut biasanya berkenaan dengan masalah kafaah dan mahar. Kafaah dan mahar merupakan harga diri
dalam suatu
keluarga. Pihak keluarga perempuan merasa harga dirinya jatuh bila anak perempuannya kawin dengan laki-laki yang tidak se-kufu atau setatus sosialnya lebih rendah. Demikian pula mahar yang diterima seorang anak perempuan lebih rendah dari apa yang diterima oleh anggota keluarganya yang lain akan merasa harga dirinya jatuh. Untuk menjaga
gengsi atau harga diri itu dia akan mengajukan keberatan untuk melangsungkan perkawinan. Tindakan seperti ini disebut إﻋﺘﺮاض.34 Anak perempuan dan para walinya mempunyai hak yang sama dalam hal kafaah atau mahar itu. Ulama yang membolehkan perempuan dewasa mengawinkan dirinya sendiri seperti di kalangan ulama hanafiah dan syi’ah, bila si anak perempuan mengawinkan dirinya dengan laki-laki yang tak se-kufu dengannya, wali yang juga memiliki hak atas kafaah berhak mengajukan pencegahan perkawinan. Demikian juga bila anak perempuan itu mengawinkan dirinya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsl, wali dapat mengI’tiradh. Maksud kafa’ah dalam perkawian adalah persesuaian keadaan antara sisuami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang kedudukannya dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaqnya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidak beruntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqih tentang kafa’ah. Lantas bagaimana hukum kafa’ah ini menurut islam ? bagaimanakah perakteknya ? sebenarnya, soal kafa’ah bukanlah dari syari’at islam, artinya islam tidak menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh kawin dengan perempuan yang sama kedudukannya, seorang miskin tidak boleh kawin dengan orang kaya, orang arab tidak boleh kawin dengan orang indonesia, islam tidak mengajarkan hal demikian. Islam adalah agama fitrah, yang condong kepada kebenaran, islam tidak membuat aturan tentang kafa’ah tetapi manusialah yang menetapkannya, karena itulah mereka berbeda pendapat tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya. 34
Ibid, h.151.
Ibnu Hazm pemuka mazhab Zahiriyah, yang dikenal sebagai mujtahid tidak mengakui adanya kafa’ah dalam perkawinan. Ia berkata setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh kawin dengan perempuan muslimah, siapapun orangnya asal bukan perempuan zina.35 Semua orang islam adalah saudara. Tidaklah haram perkawinan seorang budak hitam dari Ethiopia dengan perempuan keturunan khalifah hasyimi. Seorang muslim yang kelewat fisik, asal tidak berzina adalah sekufu bagi muslimah yang fasik asalkan perempuan itu tidak berzina, beralasan dari firman Allah :
ﺧ َﻮ ٌة ْ ن ِإ َ ِإِ ﱠﻧﻤَﺎاْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ُﻨ ْﻮ Artinya : “ Sesungguhnya orang-orang mukmin bersaudara ”. (49 Al-Hujarat :10)
Ada beberapa pendapat dari ulama di kalangan mazhab fiqih mengenai cakupan kafa’ah. Ulama Hanafiah misalnya mengatakan bahwa kafaah itu meliputi : keturunan (an-nasab) dalam kaitan ini terutama arab atau non arab, al-islam, propesi (al-hirfah), merdeka (al-huriyyah), agama / kepercayaan (ad-diyanah).36 Sedangkan menurut mazhab malikiyah menghubungkan kafa’ah hanya dengan satu hal saja yang paling mendasar yakni beragama, dalam artian muslim yang tidak fasik dan sehat fisiknya dalam pengertian sehat dari cacat fisik seperti belang, gila dan lain-lain.
35
Sa’id Thalib Al-Hamdani,Risalah Nikah, (Jakarta: PT. Pustaka Amani, 1989), cet,3, hal. 98. M.Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 83 36
Sedangkan harta, nasab dan setatus kemerdekaan itu merupakan kafa’ah yang tidak menjadi persyaratan utama bagi suatu akad pernikahan. Dan bagi Ulama Syafi’iyah, kafa’ah meliputi empat hal, yakni nasab, addin, merdeka dan setatus sosial terutama pekerjaan (ekonomi). Adapun menurut mazhab Hanabilah, kafa’ah meliputi lima hal. Yaitu: agama (ad-diynah) dalam konteksnya yang sangat luas, status sosial terutama profesi (as-shina’ah), kemampuan finansial terutama dihubungkan dengan hal-hal yang wajib dibayar seperti mas kawin (mahar) dan uang belanja (biaya hidup, nafkah), merdeka (al-huriyyah), nasab dalam kaitan ini antara arab dan non arab (‘ajam).37 Dalam hal pemilihan jodoh, atau ikhtiyar az-zaujah, nabi menetapkan empat hal utama yang berkaitan dengan soal kafa’ah yang layak dipertimbangkan oleh calon suami terhadap calon isterinya; dan sebaliknya, oleh calon isteri kepada calon suaminya. Keempat hal kafa’ah yang dimaksudkan ialah: harta (al-amal), keturunan (nasab), kecantikan (kegantengan) dan agama calon isteri (suami). Keempat hal ini terasa penting keberadaannya dalam kehidupan sebuah rumah tangga, dan umum terjadi di tengah-tengan masyarakat yang dalam memilih calon suami atau calon isteri kebanyakan sangat mendambakan calon yang memiliki hal-hal tersebut. Yakni, calon suami (isteri) yang berharta (kaya), berasal dari keturunan (lingkungan keluarga) baik-baik, terhormat atau terpandang, ganteng (cantik) sehingga sedap dipandang mata dan penampilannya mendambakan; serta berperilaku baik atau dalam istilah hadist dikenal dengan istilah taat beragama. Hany saja, yang disebutkan terakhir ini (agama) boleh jadi banyak orang yang mengabaikan urgensinya dalam hal pemilihan jodoh. Padahal, bagaimanapun ini akan turut menentukan baik buruknya suatu kehidupan 37
Ibid, h. 84.
rumah tangga. Itulah sebabnya mengapa nabi menggarisbawahi urgensi dari keberagamaan sang calon suami (isteri) meskipun ditempatkan pada urutan yang paling akhir.38 Kafa’ah dalam perkawinan itu diperlakukan bagi laki-laki bukan bagi perempuan.39 artinya orang laki-lakilah yang disyaratkan harus sekufu dengan perempuan yang akan dikawininya, setingkat dengan siperempuan dan siperempuan tidak disyaratkan harus sepadan dengan laki-lakinya, beralasan dengan sebuah hadist Rasulallah S.A.W.: yang Artinya: (“ barang siapa mempunyai budak perempuan, kemudian didiknya dengan baik, diperlakukan dengan baik, kemudian dimerdekakan lalu dikawinkan maka ia akan mendapat pahala dua kali lipat ” ). Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kafa’ah adalah hak wanita dan walinya. Wali tidak mengawinkanperempuan dengan orang yang tidak sekufu kecuali apabila yang bersangkutan itu ridho.40 Demikian pula para wali lainnya, karena perkawinan yang tidak sekufu akan membuat malu semua walinya, maka siperempuan tidak boleh dikawinkan kecuali dengan persetujuan para wali. Apabila perempuan dan walinya sudah ridho maka perkawinannya boleh dilaksanakan, sebab pencegahan perkawinan adalah hak wali, apabila mereka telah setuju maka hilanglah halangan untuk kawin. Dan seandainya seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu, dan tanpa keridhoan dari para walinya, maka perkawinannya itu batal. Dan menurut sebagian para sahabat bahwasanya: 1.pernikahan itu batal karena tidak adanya ridho dari para walinya.
38 39 40
Ibid, h. 85 Sa’id Thalib Al-Hamdani,Risalah Nikah, (Jakarta: PT. Pustaka Amani, 1989), cet, 3, hal.104. Ibnu Abidin, Hasyiyah Raddul Muhtar, Juz. 3. hal. 84,85
Dan yang ke-2. pernikahan itu sah akan tetapi ada kekurangan, karena ia menikah dengan yang tidak sekufu.41 Asy-syafi’i berpendapat bahwa mencegah perkawinan adalah hak para wali di saat perkawinan, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya menyatakan bahwa pencegahan itu adalah hak para wali, aqrab maupun ab’ad. Apabila mereka tidak suka maka wali berhak mengajukan fasakh.42 Sebaliknya dikalangan ulama yang mengharuskan perkawinan itu dilakukan oleh wali dan anak yang akan kawin harus dimintai persetujuannya, bila wali akan mengawinkannya dengan laki-laki yang tidak se-kufu dengannya, si perempuan boleh keberatan atau tidak memberi izin untuk melaksanakan perkawinan. Demikian pula bila ia akan dikawinkan dengan mahar yang kadarnya dibawah mahar mitsl dan ia tidak mau, maka perempuan yang akan dikawinkan itu dapat mengajukan keberatannya. Yang demikian disebut pencegahan. Bila kedua pihak yang sama berhak itu tidak sepakat, seperti yang satu mengatakan telah memenuhi kriteria kafaah sedangkan yang lain mengatakan belum, mesti diselesaikan pihak ketiga dalam hal ini adalah hakim di pengadilan.43 Kafa’ah dinilai pada waktu terjadinya akad nikah, apabila keadaannya berubah sesudah terjadinya akad maka tidak mempengaruhi akad, karena syarat akad diteliti pada waktu akad.
41
Syairozi, Abu ishaq ibrahim ibn ali ibn yusuf al fairuz, asy muhadzidzib fi fiqh al imam asy syafi’I, (bairut : dar al fikr, ) hal. 38-39. 42 Ibid,hal,105. 43 Amir Syarifuddin, Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: PT.Kencana,2006), cet,1, h. 152
I’tirad juga dapat dilakukan oleh wali yang urutan kekerabatannya lebih dekat bila calon mempelai perempuan akan dikawinkan oleh yang urut kekerabatannya lebih jauh, karena dalam ketentuan urutan wali menurut pendapat kebanyakan ulama wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali selama lebih dekat masih ada dan memenuhi persyaratan untuk menjadi wali. Dalam pandangan ulama fiqih urusan perkawinan itu adalah urusan peribadi atau keluarga dan orang luar tidak terdapat didalamnya, kecuali kalau dilibatkan. Dalam syarh minhaj karangan Al-Nawawiy disebutkan bahwa bila seseorang dimintai pandangan dan pendapatnya tentang seseorang laki-laki yang melamar anaknya ia harus menyebutkan segi-segi negatif dari calon menantunya itu secara objektif. Dalam tidak dimintai pendapat seseorang hanya dapat menyampaikan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan tentang dipenuhi atau tidaknya syarat perkawinan. Contoh dalam hal yang di sebutkan di atas umpamanya seseorang yang meyakini pasangan yang akan kawin itu adalah saudara sesusuan, ia dapat menyampaikan sebelum terjadinya perkawinan, namun secara langsung ia tidak dapat mencegah terjadinya perkawinan. Demikian pula bila seseorang yang hadir dalam acara perkawinan bila melihat atau mendengar ucapan akad menyalahi syarat yang ditentukan, ia dapat menyampaikan tidak sahnya akad tersebut, namun tidak dapat mencegah berlangsungnya perkawinan. Pihak luar keluarga tidak berhak mencegah berlangsunngnya perkawinan. Yang dapat dilakukan hanyalah pandangan atau nasihat dalam rangka amar ma’ruf dan nahi munkar meskipun membawa akibat tidak dapatnya perkawinan itu dilaksanakan. 44
B. Pencegahan Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974. 44
Ibid, h. 153
Pencegahan perkawinan di atur dalam UU No.1/1974 dalam pasal 13 yang bunyinya : Perkawinan dapat dicegah, apa bila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan peerkawinan. Tidak memenuhi persyaratan seperti yang di maksud di dalam ayat di atas mengacu dalam dua hal ; syarat administratif dan syarat materiil.45 Syarat, administratif berhubunan dengan administrasi perkawinan sebagaimna yang telah di jelaskan pada bagian yang membahas tata cara perkawinan yang akan di bahas pada bagian lain. Perkawinan dapat di cegah bila salah seorang atau kedua calon pengantin masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (iddah) baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi peria dan 16 tahun bagi wanita dapat di cegah untuk melangsungkan perkawinan kecualai telah mendapat dispensasi dari pengadilan. Adapun mekanisme yang di tempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke pengadilan agama
dalam
daerah
hukum
dimana
perkawinan
itu
di
langsungkan
dan
memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat di cabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah di masukan ke pengadilan Agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum di cabut maka perkawinan tidak dapat di langsungkan, kecuali ada
45
Ahmad rafiq, Hukum Islam Di Indonesia ,(Jakarta :rajawali pers,1998),
putusan pengadilan Agama yang memberikan dispensasi kepada para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.46 Di samping itu undang-undang perkawinan juga mengenal pencegahan perkawinan secara otomatis yang di lakukan oleh pegawai mencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20). Pencegahan otomatis ini dapat di lakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankkan tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasa l7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang perkawinan.47 Berkenaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pencegahan di muat dalam pasal 14 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi: 1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis ke turunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wakai nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak berkepentingan. 2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga berlangsung perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada di bawah pengampunan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Selanjutnya pasal 15 menyatakan: “Barangsiapa karna perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasarnya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.”
46
Amiur Nurudin,Dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (studi kritis perkembangan hukum islam dari fiqih,UU NO.1/1974 sampaiKHI), (Jakarta: kencana,2004),cet.ke-1, h.102 47 Gatot soppramono, Segi-Segi hukum hubungan Luar Nikah. (Jakarta:djambatan, 1998), h.33-34
Undang-undang perkawinan seperti yang dapat dalam pasal 16 ayat 1 dan 2, juga memberi wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan perkawinan. mengenai pejabat yang berwewenang di atur dalam peraturan perundang-undangan. Sebaliknya pejabat yang berwenang dilarangnya membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang tersebut. dalam pasal 20 Undang-Undang No. 1/1974 dinyatakan dengan tegas: “Pegawai pencatat perkawinan tidak di perbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.”
C. Pencegahan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Berkenaan dengan pencegahan ini, agaknya Kompilasi Hukum Islam mengikut rumusan-rumusan Undang-Undang Perkawinan walaupun dalam bagiannya ada beberapa penambahan dan modifikasi. Secara aksplisit Kompilasi Hukum Islam menyatakan perkawinan dapat dicegah jika terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi, baik yang berkenaan dengan syarat administratif ataupun syarat materiil. Tujuannya adalah untuk menghindari perkawinan yang terlarang. Lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini:
Pasal 60 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang di larang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat di lakukan bila calon suami atau calon istri yang akan
melangsungkan
perkawinan
tidak
mengetahui
syarat-syarat
untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam peraturan perundang-undang. Selanjutnya menarik untuk mencermati adalah Kompilasi Hukum Islam memandang perlu untuk menjelaskan masalah sekufu yang tidak dapat di jadikan alasan pencegahan seperti yang terdapat pada pasal 61 berikut ini:
Pasal 61 Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karna perbedaan agama atau ikhtilafu al-din.
Pasal 62 (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan. (2) Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewalianya untuk mencegah perkawinan yang akan di lakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63 Pencegahan perkawinan dapat di lakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan pekawinan.
Pasal 64 Pejabat yang di tunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi.dari pasal-pasal pencegahan di atas, sebenarnya ada beberapa hal penting untuk di catat pertama, di aturnya masalah pencegahan ini di dalam Kompilasi Hukum Islam adalah untuk menghindari perkawinan yang terlarang.kedua, sebab pencegahan dapat dilakukan adalah ketika tidak terpenuhi syarat-syarat bagi kedua mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Ketiga, tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan pencegahan adalah para kaluarga, wali, pengampu dan pihak-pihak yang berkepentingan.
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG PENCEGAHAN PERKAWINAN ANTARA FIQIH KLASIK DENGAN UNDANG-NDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, jelaslah bahwa antara ketentuan fiqih klasik dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam, mempunyai ketentuan-ketentuan yang sama di beberapa sisi dan perbedaan dilain sisi. Berikut penulis akan menyampaikan persamaan dan perbedaan antara fiqih klasik dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
A. Perbedaan tentang pencegahan perkawinan antara fiqih klasik dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di dalam pandangan para ulama fiqih klasik pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila si calon suami tidak sekufu dengan calon isterinya, karena menurut fiqih klasik tidak sekufu bisa menjadi alasan untuk mencegah suatu perkawinan.48 Dan sebagaimana yang telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa kafa’ah dalam perkawinan hanya diperlakukan bagi laki-laki bukan bagi perempuan, artinya calon suamilah yang diharuskan sekufu dengan calon isterinya, dijelaskan juga dalam pandangan para ulama mazhab bahwa kufu itu haknya para isteri atau para wali.49 Maka wali tidak boleh mengawinkan seorang wanita dengan laki-laki yang tidak sekufu. Kecuali jika ada
48
Amir Syarifuddin, Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: PT.Kencana,2006),cet,1, h. 151 49
Sa’id Thalib Al-Hamdani,Risalah Nikah, (Jakarta: PT. Pustaka Amani, 1989), cet, 3, hal.105
persetujuan dari perempuan yang akan dinikahi begitu juga dengan para wali yang lainnya. Maka hal yang demikian bolehlah perkawinan itu dilaksanakan. Sedangkan didalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, tidak ditemukan satu pasalpun yang menyatakan bahwa tidak sekufu bisa mencegah suatu perkawinan, disini jelas telah terjadi sebuah perbedaan antara fiqih klasik dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam hal pencegahan perkawinan, disatu sisi menurut pandangan ulama fiqih klasik bahwasannya tidak sekufu itu bisa dijadikan sebuah alasan untuk tidak dilaksanakannya suatu perkawinan atau perkawinan itu bisa dicegah, dan disisi lain didalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak ditemukan masalah sekufu atau tidak sekufu dalam hal pencegahan perkawinan. Jadi yang membedakan antara keduanya adalah dalam masalah sekufu. Lain halnya dengan Kompilasi Hukum Islam, yang mana didalam pasal 61 Tentang Pencegahan Perkawinan, disana dijelaskan bahwa tidak sekufu tidak dapat dijadikan suatu alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena Ikhtilaafu Al Dien. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam juga berbeda dengan fiqih klasik dalam hal pencegahan perkawinan.
B. Persamaan tentang pencegahan perkawinan antara fiqih klasik dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berbicara masalah persamaan mengenai masalah pencegahan perkawinan
antara
fiqih klasik dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Disini jelas
tidak terjadinya sebuah persamaan, dikarenakan diantara keduanya telah berbeda dalam mensyaratkan dan mendefinisikan masalah pencegahan perkawinan. Dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan masalah pencegahan perkawinan tersebut. Akan tetapi persamaan itu terjadi antara Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam mengenai masalah pencegahan perkawinan tersebut. Keduanya mensyaratkan bahwa pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-Undang. Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal; yaitu syarat administratif dan syarat materiil. Sebagaimana kedua persyaratan tersebut telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dari pihak-pihak yang bersangkutan. Dan keduanya juga menyebutkan bahwa pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan. Keduanya juga menyebutkan bahwa pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi, dan dipasal lain keduanya juga menyebutkan pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat nikah; dan kepada calon-calon
mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah. Didalam pasal lainnya keduanya menyatakan bahwa perkawinan dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut, dan pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, serta pegawai pencatat nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dan didalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tepatnya pada pasal 21 ayat (1),(2),(3),(4), dan ayat (5), serta dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 69 ayat (1),(2),(3),(4), dan ayat (5), keduanya sama-sama menyebutkan apabila pegawai pencatat nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawian, dan dalam hal penolakan maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah akan diberi suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya; serta para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan agama dalam wilayah mana pegawai pencat nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan dengan menyerahkan penolakan tersebut diatas, dan disebutkan juga bahwa pengadilan agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan; dan ketetapan ini hilang
kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
C. Analisis Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum Islam yang diundangkan, dalam arti yang lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa perkawinan yang akan dilakukan itu belum dilaksanakan. Dalam penelitian ini, penulis telah membandingkan antara pencegahan perkawinan menurut fiqih klasik dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya antara pencegahan perkawinan menurut fiqih klasik dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Memiliki perbedaan yang sangat penting, di satu sisi menurut fiqih klasik bahwa pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila calon suami tidak sekufu dengan calon isteri yang akan dinikahinya, maka atas dasar tidak sekufunya si calon suami, menurut fiqih klasik hal yang demikian itu dapat mencegah perkawinan tersebut, dan dijelaskan juga dalam fiqih klasik bahwa yang dapat mencegah perkawinan itu adalah haknya siperempuan dan walinya, jika si perempuan ingin dikawinkan oleh walinya kepada laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka seperempuan itu dapat menolaknya atau mencegahnya agar tidak terjadi perkawinan tersebut, dan jika siperempuan itu sendiri yang ingin menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka walilah yang berhak untuk mencegahnya, jika keduanya antara wali dan perempuan yang akan dinikahi telah setuju kepada calon suaminya nanti itu, walaupun calon suaminya itu tidak sekufu dengannya,
maka atas dasar persetujuan dan kerelaan dari keduanya maka perkawinan itu dapat dilaksanakan. Lain halnya dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang mana hal yang telah dijelaskan dalam fiqih klasik tidak terdapat dalam Undang-Undang tersebut, dalam artian Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah sekufu. Jadi jelas perbedaan yang ada diantara keduanya. Menurut fiqih klasik pencegahan dapat dilakukan apabila calon suami tidak sekufu dengan calon isterinya, dan didalam Undang-Undang hal yang demikian itu tidak diatur. Dan setelah membicarakan mengenai masalah pebedaan yang terjadi antara fiqih klasik dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka penulis disini juga akan mencari persamaan yang terjadi diantara keduanya.mengenai masalah pencegahan perkawinan antara fiqih klasik dan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tidak memiliki persamaan yang releven dari keduanya, sehingga penulis disini menyimpulkan bahwa tidak ada persamaan diantara fiqih klasik dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai masalah pencegahan perkawinan. Akan tetapi persamaan itu terjadi antara Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam mengenai masalah pencegahan perkawinan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pencegahan perkawinan menurut Undang-undang Tahun 1974 tentang perkawinan dengan kompilasi hukum islam memiliki beberapa persamaan didalam pasal-pasalnya yang mana diantara perbedaanperbedaan itu adalah; kedeuanya menyatakan bahwa pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan,
hal
ini
menggambarkan
bahwa
kedua
hukum
tersebut
menginginkan bahwa pencegahan perkawinan itu tujuannya agar para calon suami dan calon isteri yang akan menikah itu harus memenuhi segala persyaratan-persyaratan yang berlaku untuk melangsungkan sebuah perkawinan, agar tidak terjadi sebuah perkawinan yang dilarang baik itu menurut hukum islam ataupun menurut Undang-Undang. Karena apabila para pihak yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi persyaratan yang berlaku, maka perkawinan itu akan di cegah atau dibatalkan. Oleh karena itu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan agar para pihak memenuhi persyaratan-persyaratan untuk melangsungkan perkawinan. Selain itu keduanya juga menyatakan bahwa yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan; hal ini karena keduanya menganggap bahwa pencegahan perkawinan hanya dapat dicegah oleh para pihak yang telah ditentukan oleh kedua Undang-Undang ini, karena selain para pihak yang telah disebutkan diatas, maka tidak boleh atau tidak berhak untuk mencegah sebuah perkawinan. Keduanya juga menganggap bahwa pencegahan perkawina juga boleh dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan; ini artinya baik para isteri jika mengetahui suaminya ingin menikah lagi sedangkan suaminya itu masih terikat perkawinan dengannya, maka ia berhak untuk mencegah perkawinan suaminya yang keduan itu, begitu juga sebaliknya.
Dan keduanya juga menegaskan bahwa pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban untuk mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi; itu artinya pejabat yang ditunjuk tersebut tidak akan melangsungkan perkawinan bila tidak terpenuhinya rukun dan persyaratan perkawinan. Dan didalam pasal yang lain keduanya juga menyatakan bahwa pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberi tahukan juga kepada pegawai pencatat nikah; dan juga kpada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah, hal ini dimaksudkan bahwa perkara pencegahan perkawinan dapat diajukan didaerah dimana perkawinan tersebut akan dilaksanakan dan bukan diluar daerah pengadilan yang berwenang untuk menangani perkara tersebut, dan kepada calon yang akan melangsungkan perkawinan akan diberitahu oleh pegawai pencatat nikah akan hal pencegahan tersebut, gar tujuannya para pihak yang bersangkutan itu mengetahuinya. Dan keduanya sama-sama menyatakan bahwa perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut, dan pencegahan perkawinan dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, hal ini dimaksudkan bahwa perkawinan tidak akan bisa dilaksanakan apabila pencegahan atas perkawinan itu belum dicabut, dan pencegahan itu dapat dicabut dengan cara menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh orang yang mencegah dan atau oleh putusan pengadilan agama. Dan kemudian didalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa pegawai pencatat nikah tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran, disini jelas bahwa pegawai pencatat nikah dilarang untuk melaksanakan dan membantu untuk melangsungkan perkawinan jika ia tahu adanya pelanggaran dari perkawinan tersebut.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pencegahan perkawinan dilihat dari perspektif fiqih klasik adalah perkawinan yang dapat dicegah apabila calon suami tidak sekufu dengan calon isterinya, sedangkan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam keduanya mempunyai definisi yang sama yaitu pencegahan dapat dilakukan apabila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan baik menurut hukum islam maupun menurut UndangUndang. 2.Fiqih klasik secara eksplisit mengartikan pencegahan perkawinan yaitu, perkawinan dicegah hanya karena pada permasalahan kafa’ah, dan mengenai masalah kafa’ah ini telah penulis jelaskan pandangan para ulama mazhab pada bab sebelumnya sedangkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompiasi Hukum Islam menjelaskan bahwa perkawinan dapat dicegah hanya jika persyaratan-persyaratan
yang telah ditentukan itu tidak dipenuhi oleh para pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. 3. Ada beberapa alasan yang dapat diajukan untuk mencegah suatu perkawinan adalah; Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, baik tiu syarat-syarat materiil ataupun syarat-syarat administratif. Seperti yang dimuat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974. bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: a). Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah maupun keatas. b). Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c). Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d). Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e). Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam halseorang suami beristeri lebih dari seorang. F). mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
B. Saran-saran 1. Sebagai warga negara indonesia, maka bagi para calon suami atau calon isteri hendaknya mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, seperti memenuhi segala persyaratan-persyaratan untuk melangsungkan sebuah perkawinan. 2. Para pegawai pencatat perkawinan kantor urusan agama mestinya berhati-hati dalam melakukan penelitian, apakah syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
seseorang telah terpenuhi dan tidak terdapat halangan. Baik menurut hukum munakahat atau Undang-undang yang berlaku. 3. Kepada para birokrat pemerintahan termasuk lurah untuk menindak tegas pegawainya yang membantu seseorang melakukan penipuan identitas. 4. Hendaknya kantor urusan agama, kelurahan dan pengadilan agama mengadakan penyuluhan terpadu tentang pencegahan perkawinan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Perdata Hukum Islam Di Indonesia,PT, Sinar Grafika, 2006 Al-Hamdani, Sa’id Thalib. Risalah Nikah, Jakarta: PT. Pustaka Amani, 1989 Djalil, basiq. Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh Dan Kompilasi Hukum islam, Jakarta: qolbun salim,2005. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2000 Djaya, Ashad Kusuma. Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama Pesan-Pesan Rasulallah Saw Menuju Pernikahan Barokah, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001. Djamil, R. Abdul. Hukum Islam, Asas-Asas,Hukum Islam I, Hukum Islam II, Bandung, Mandar Maju,1992. Departemen agama, Himpunan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Pembina badan peradilan agama islam direktora Jendral Pembinaan Kelembaagaan Agama Islam, 2000, Daud Ali, Muhamad. Hukum Islam, Jakarta:PTRaja grafindo persada, 2004. Departemen agama, Tanyajawab Saputar Kepenghuluan, Jakarta:direktorat jendral bibingan masyarakat islam dan penyelenggaraan haji, 2003 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989
Ghajaly. Abdul rahman. Fiqh Munakahat, bogor: kencana, 2003 Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan, Hukum Adat, hukum Agama, Bandung:Mandar Maju,1990 Hasan Bisri, Cik. Pilar-Pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Mardjono, Hartono. Menegakan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997 Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Nasution, Khoiruddin. “Perbedaan Sekitar Status Poligami: Ditinjau dari Perspektif Syari’ah Islam”, Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam Vol.1 No.1 Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 2002. Nurudin,Amiur. dan Akmal Tarigan, Azhari. Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih,Uu No.1/1974 Sampai KHI, Jakarta: kencana,2004 Al-Khin Mustofo, kitab fikih mazhab syafi’I, Kuala Lumpur, Prospecta Printers, 2005. Prodjohamidjodjo, Martiman. Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002 Rahmat, Hidayat. Almank Alam Islami: sumber rujukan keluarga muslim baru, Jakarta:PT.dinia Pustaka jaya, 2000 Refleksi-Keruwetan-fikih klasik, artikel diakses pada 16 Juli 2008 dari
http://
husniya.blogspot.com/2007/02/refleksi-keruwetan-fikih
klasik.html.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia , Jakarta :rajawali pers,1998
Syarifuddin, Amir. Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: PT.Kencana,2006 Suma, M.Amin. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Soppramono, Gatot. Segi-Segi hukum hubungan Luar Nikah. Jakarta: djambatan, 1998 Taat Nasution, Amir. Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994. Mas’ud Ibnu, fikih mazhab syafi’I, Bandung : CV. Pustaka Setia Bandung, 1999