2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau dari gugusan Kepulau Seribu dan termasuk ke dalam daerah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). TNKpS memiliki luas 107.489 Ha yang terdiri dari 78 pulau kecil, 86 gosong pulau, dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 Ha. Selain itu, terdapat terumbu karang tipe fringing reef, mangrove dan lamun dengan substrat sangat miskin hara/lumpur dengan kedalaman laut dangkal sekitar 2040 m (Departemen Kehutanan 2008). Dari sejumlah pulau yang ada pada daerah tersebut, hanya 6 pulau yang menjadi pemukiman penduduk dan sisanya digunakan sebagai kawasan wisata (20 pulau) yang dikelola secara perorangan atau badan usaha (Departemen Kehutanan 2008). Ditinjau dari letak kontinental dan oseanografinya, wilayah Kepulauan Seribu mempunyai iklim muson laut tropis, yakni adanya pergantian arah angin setiap setengah tahun. Dimana musim basah mencapai kondisi maksimum pada bulan Januari, sedangkan musim kering mencapai puncak pada bulan JuniAgustus. Pengaruh musim sebagai tiupan angin Barat Laut–Utara yang kuat selama musim Barat pada bulan Oktober-April : serta angin Tenggara-Timur pada musim Tenggara atau Timur pada bulan Mei-September (Departemen Kehutanan 2008). Kondisi iklim di Kepulaun Seribu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pesisir Teluk Jakarta, dimana nisbah jumlah bulan kering dan bulan basah antara 60 - 100%. Musim hujan berlangsung pada bulan November - April dengan jumlah hari hujan antara 10 - 20 hari per bulan dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei Oktober dengan hari hujan antara 4 - 10 hari per bulan dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus. Rata-rata curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir berkisar antara 43 - 510 mm, dimana curah hujan terbanyak (510 mm)
7
terjadi pada bulan Januari dan curah hujan terkecil (43 mm) terjadi pada bulan Agustus (BPLHD DKI Jakarta 2002 in Departemen Kehutanan 2008).
2.2. Parameter Fisika dan Kimia Salah satu komponen abiotik dalam ekologi adalah parameter fisika dan kimia.
Kedua parameter ini merupakan faktor yang tidak dapat dikontrol
keberadaannya di alam. Parameter tersebut biasanya terdiri dari parameter fisika (suhu, arus, dan kecerahan) dan kimia (pH, salinitas, oksigen terlarut, dan nutrien). Selain parameter di atas, dalam penelitian ini yang perlu diamati adalah habitat dari makrozoobentos dan lamun itu sendiri, yaitu substrat dasar (tekstur dan kandungan C-Organik).
2.2.1. Suhu Suhu atau temperatur termasuk ke dalam tiga besar faktor yang paling berpengaruh di laut setelah sinar matahari dan salinitas (Odum 1993). Menurut Hutabarat & Evans (1985), suhu menjadi sangat penting bagi kehidupan organisme di laut karena dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme itu sendiri. Suhu udara rata-rata di Kepulauan Seribu berkisar antara 26,5 °C - 28,5 °C, suhu udara maksimum berkisar antara 29,5 °C - 32,5 °C, sedangkan suhu udara minimum berkisar antara 23,4 °C - 23,8 °C (Dinas Tata Kota DKI Jakarta 2003 in Departemen Kehutanan 2008). Di daerah tropis sendiri suhu air laut rata-rata berkisar antara 28o-31oC (Nontji 2007). Untuk lamun, suhu akan mempengaruhi transport elektron dalam proses fotosintesis, apabila suhu lingkungan mencapai kisaran 38o-40oC, maka akan akan menggangu proses fotosintesis dan akan mengakibatkan kematian pada lamun tersebut (McKenzie & Yoshida 2009).
2.2.2. Kecepatan Arus Kecepatan arus berpengaruh pada turbulensi air yang akan membawa unsur hara serta partikel-partikel yang pada akhirnya akan berpengaruh
8
terhadap produktivitas suatu kawasan. Beberapa spesies lamun mampu hidup dengan kecepatan arus berkisar antara 0 sampai 2,06 m/detik, contohnya Halophila spinulosa dan Halodule uninervis pada kisaran 0 sampai 1,03 m/detik (Walker 1989 in Irawan 2003). Menurut McKenzie & Yoshida (2009), arus pasang surut merupakan faktor yang mempengaruhi proses penyerbukan lamun. Menurut Nybakken (1988), kemungkinan faktor fisik terpenting yang beraksi pada komunitas dasar adalah turbulensi atau gerakan ombak. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pengadukan sedimen sehingga bahan-bahan yang telah mengendap pada sedimen akan kembali terlarut atau terbawa oleh massa air. Karena itu karakteristik sedimen akan berbeda pada setiap lokasi dan berpengaruh terhadap sebaran organisme bentik di dalamnya.
2.2.3. Kedalaman Kedalaman mempengaruhi sebaran lamun dan bentos di perairan. Lamun dapat hidup sampai kedalaman dimana radiasi matahari cukup untuk membantu melakukan proses fotosintesis. Jenis lamun Halophila dapat ditemukan pada kedalaman 90 meter di bawah laut (Kiswara 1985). Kedalaman berpengaruh terhadap pengadukan massa air dan proses sedimentasi. Kemudian proses sedimentasi akan mempengaruhi karakteristik serta kandungan bahan organik pada substrat atau sedimen sebagai habitat makrozoobentos. Oleh karena itu, sebaran makrozoobentos dipengaruhi juga oleh kedalaman suatu perairan.
2.2.4. Kecerahan Kecerahan sangat mempengaruhi kehidupan organisme di perairan terutama
organisme yang berperan
sebagai
produsen pertama yang
memanfaatkan sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis seperti lamun. Oleh karena itu penyebaran lamun sangat dipengaruhi oleh kecerahan suatu perairan dimana sinar matahari cukup untuk membantu dalam melakukan proses fotosintesis. Radiasi minimal yang dibutuhkan oleh lamun itu sendiri
9
untuk dapat tetap tumbuh yaitu, sekitar 4% sampai 29% (Dennison et al. 1993 in Heminga & Duarte 2000).
2.2.5. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman menunjukkan banyaknya jumlah ion hidrogen (H+) dalam suatu larutan. Nilai pH di lingkungan perairan laut relatif stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5 – 8,4 (Nybakken 1988). Hal tersebut dikarenakan adanya sistem karbon dioksida-asam karbonat-bikarbonat yang berfungsi sebagai buffer sehingga mampu mempertahankan air laut dengan kisaran yang sempit. Derajat keasaman (pH) berpengaruh terhadap metabolisme dari hewan akuatik. Nilai pH sendiri dipengaruhi oleh kadar CO2 di perairan dan kadar CO2 di perairan dipengruhi oleh aktivitas fotosintesis dan respirasi hewan air (Sanusi 2006).
2.2.6. Salinitas Salinitas merupakan jumlah total (gr) dari material padat termasuk NaCl yang terkandung dalam air laut sebanyak 1 kg dimana bromin dan iodin diganti dengan klorin dan bahan organik seluruhnya telah dibakar habis (Wibisono 2005; Sanusi 2006). Salinitas pada bebagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai variasinya sempit, biasanya antara 34-37 PSU, dengan rata-rata 35 PSU. Perbedaan terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi, oleh karena itu laut di daerah tropis cenderung memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah beriklim sedang atau subtropis (Nybakken 1988). Menurut McKenzie & Yoshida (2009) beberapa jenis lamun dapat mentolelir kisaran salinitas yang cukup luas yaitu sekitar 4-65 PSU. Akan tetapi pada umumnya pertumbuhan lamun akan maksimal pada salinitas 35 PSU. Berbeda dengan pernyataan McKenzie & Yoshida (2009), menurut Heminga & Duarte (2000) nilai salinitas yang dapat ditoleransi oleh lamun yaitu 10 PSU untuk air payau sampai 45 PSU dimana lamun sudah tidak dapat lagi tumbuh dan mati. Kematian tersebut dikarenakan jaringan pada lamun akan mengalami stres
10
akibat tekanan osmotik ketika berada pada salinitas yang tinggi atau rendah, kemudian akan kehilangan fungsinya dan terjadi kerusakan pada jaringan tersebut (necrotic) yang akan mengakibatkan kematian (Bieble & McRoy 1971 in Heminga & Duarte 2000). Salinitas air permukaan laut di Kepulauan Seribu secara umum berkisar antara 30-34 PSU. Salinitas air permukaan pada musim barat, musim timur dan musim pancaroba tidak berfluktuasi secara nyata (Dinas Perikanan DKl Jakarta 1997 in Departemen Kehutanan 2008).
2.2.7. DO (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut sangat mempengaruhi kelangsungan dari organisme yang hidup di laut, nilai DO ini sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan turbulensi air serta akan berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). Sumber oksigen terlarut bisa berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer sekitar 35% dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novonty & Olem 1994 in Effendi 2003). Ketiadaan DO pada dasar perairan mengakibatkan dekomposisi yang terjadi pada daerah tersebut menjadi anaerob dan menghasilkan H2S. Hal ini akan mempengaruhi makrozoobentos yang hidup pada substrat dasar perairan (epifauna dan infauna).
2.2.8. Nutrien (Nitrat dan Ortofosfat) Nutrien berpengaruh dalam produktivitas suatu perairan. Lamun sangat membutuhkan nutrien untuk bertahan hidup. Nutrien yang dibutuhkan lamun utamanya dua yaitu nitrogen dan fosfat.
Kebutuhan lamun akan nutrien
tergantung dari musim. Selama musim pertumbuhan, lamun membutuhkan nutrien yang tinggi akan tetapi ketika lamun tersebut telah dewasa, kadar nutrien yang tinggi dapat berubah menjadi toksik (McKenzie & Yoshida 2009). Sama halnya dengan lamun, organisme bentik dipengaruhi oleh kandungan nutrien di perairan terutama organisme yang menfaatkan nutrien secara langsung (suspention feeders). Akan tetapi, apabila nutrien berlebih dan proses
11
dekomposisi terjadi secara anaerob, maka organisme bentik akan terganggu. Unsur hara utama bagi jasad hidup di laut adalah posfor (P) dan nitrogen (N) yang memegang peranan terpenting dalam daur organik, meskipun bukan unsurunsur kima yang tinggi kadarnya dalam air laut (Romimohtarto & Juwana 2001).
2.2.9. Substrat (Sedimen) Sedimen terutama terdiri dari partikel-partikel yang berasal dari pembongkaran batu-batuan dan potongan-potongan kulit kerang (shell) serta sisa-sisa rangka-rangka dari organisme laut.
Tidaklah mengherankan jikalau
ukuran-ukuran partikel ini sangat ditentukan oleh sifat fisik mereka dan akibatnya sedimen yang terdapat pada berbagai tempat di dunia mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya (Hutabarat dan Evans, 1985). Salah satu cara untuk mengklasifikasikan jenis substrat yaitu dengan melihat secara langsung ukuran partikelnya. Ukuran sedimen laut dangkal sangat beragam, mulai dari batuan kerikil (> 1mm), pasir (1 16-1 mm), lumpur (1 256 - 1 32 mm), dan lempung atau liat (>1 4069 -
1
640
mm) (Sanusi 2006). Ukuran dari
partikel pasir dipantai merupakan fungsi dari gerakan ombak di pantai itu (Nybakken 1988). Menurut asal usulnya, sedimen dasar laut dapat dibedakan atau digolongkan menjadi (Wibisono, 2005) : (1) Lithogenous, yaitu jenis sedimen yang berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan vulkanik. (2) Biogenous, sedimen yang berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remah-remah tulang, gigi geligi dan cangkang-cangkang tanaman maupun hewan mikro. (3) Hydrogenous, sedimen yang berasal dari komponen kimia yang larut dalam air laut dengan konsentrasi yang lewat jenuh sehingga terjadi pengendapan (deposisi) di dasar laut.
12
(4) Cosmogenous, sedimen yang berasal dari luar angkasa dimana partikelpartikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan mengandung banyak unsur besi sehingga mempunyai respon magnetik dan berukuran antara 10-640 m. Kualitas sedimen, kedalaman dan arus sangat berpengaruh terhadap penyebaran lamun, pertumbuhan dan keberadaannya (McKenzie & Yoshida 2009). Sama halnya dengan lamun, jenis sedimen juga menentukan keberadaan dari organisme bentik yang tinggal, terutama senyawa kimia yang terdapat dalam sedimen yang terbentuk salah satunya oleh reaksi oksidasi-reduksi (Sanusi 2006).
Oleh karena itu pada lokasi tertentu terdapat pengelompokan jenis
organisme bentik yang berbeda.
2.3. Lamun Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang dapat menyesuaikan diri dalam kondisi tenggelam pada lingkungan laut. Biasanya terdapat pada perairan dangkal di kawasan pesisir pantai. Seperti rumput yang terdapat di daratan, lamun memiliki daun, tunas, rhizome, dan akar yang mencengkram substrat, selain itu lamun menghasilkan buah dan biji serta memiliki sistem transpor internal dalam tubuhnya untuk mengedarkan gas dan nutrien (Fortes 1990). Menurut Dahuri (2003) dan McKenzie & Yoshida (2009), lamun (seagrasses)
adalah
tumbuhan
berbunga
(Angiospermae)
yang
sudah
sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini mempunyai sifat yang memungkinkannya hidup di lingkungan laut, yaitu (1) mampu hidup di media air asin, (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, (3) mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, (4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam (Den Hartog 1970 in Dahuri 2003).
13
2.3.1. Habitat dan sebaran lamun Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir. Sering pula dijumpai di terumbu karang atau bahkan di lokasi yang lebih dalam dimana sinar matahari masih dapat menembus perairan. Dimana ada ruang tersedia, maka lamun dapat berkembang jika substratnya sesuai.
Kebanyakan dari spesies lamun
tumbuh terbatas hanya pada kawasan dengan substrat berpasir sampai berlumpur walaupun ada juga yang hidup di substrat berbatu. Berbeda dengan alga yang membutuhkan nutrien dalam air, lamun merupakan tumbuhan yang menyerap
nutrien
dari
sedimen
atau
substrat.
Jadi
lamun
dapat
mendaurulangkan nutrien kembali ke dalam ekosistem agar tidak terperangkap di dasar laut (Nybakken 1988). Lamun golongan Parvozosterid (daun panjang dan sempit seperti Halodulle dan Zostera) dan Halopilid (daun berebentuk elips, bulat telur, berbentuk tombak/lanciolate, rapuh dan tanpa saluran udara seperti Halophila) dapat ditemukan hampir disemua habitat, mulai dari pasir kasar sampai ke lumpur yang lunak, mulai dari daerah pasang surut (intertidal) sampai daerah yang cukup dalam dan mulai dari laut terbuka sampai ke estuari.
Bahkan untuk jenis
Halophila dapat ditemukan pada kedalaman 90 meter dibawah permukaan laut (Kiswara 1985). Batas kedalaman dari lamun ditentukan oleh berapa radiasi minimal yang dibutuhkan oleh lamun itu sendiri untuk dapat tetap tumbuh yaitu, sekitar 4% sampai 29% (Dennison et al. 1993 in Heminga & Duarte 2000). Setiap jenis lamun memiliki perbedaan habitat menurut kedalamannya, hal ini mengakibatkan adanya pola zonasi lamun berdasarkan kedalamannya. Sementara ini, di dunia dijumpai sebanyak 58 jenis lamun (Kuo & McComb 1989 in Kiswara 1999). Berdasarkan garis lintang, spesies lamun terbanyak berada di lintang rendah atau di kawasan tropis dibandingkan dengan dikawasan berlintang tinggi atau daerah subtropis (Heminga & Duarte 2000). Di Indonesia sendiri sebelumnya hanya terdapat 12 spesies yang terdiri dari tiga genus famili Hydrocharitaceae (Enhalus, Thalassia, Halophila) dan empat genus dari famili Potamogetonaceae (Cymodocea, Halodule, Sryngodium, dan Thalassodendron)
14
(Nontji 2007). Akan tetapi pada tahun 2007 telah ditemukan jenis baru yaitu, Halophila sulawesii di perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jenis ini mirip dengan H. Ovalis namun bersifat monoecious (berumah satu) dan ditemukan di perairan dalam sekitar 10-30 m (Kuo 2007 in Kuriandewa 2009). Informasi tentang sebaran lamun di Indonesia sangatlah langka. Dalam Kiswara (1985), dari keduabelas spesies lamun yang terdapat di Indonesia, terdapat satu spesies yang penyebarannya terbatas di kawasan timur Indonesia yaitu, Thalassodendron ciliatum. Selain itu terdapat dua spesies yang sebarannya sempit sekali dibandingkan dengan spesies lainnya yaitu, Halophila spinulosa yang tercatat hanya di empat lokasi yaitu, Kep. Riau, Anyer (Pulau Jawa), Baluran Utara (Besuki), dan Irian. Serta H. decipiens yang tercatat di tiga lokasi yaitu, Teluk Jakarta (Pulau Jawa), Teluk Moti-moti (Sumbawa), dan Kep. Aru. Di Pulau Pramuka, terdapat 6 jenis lamun, yaitu Cymodoceae rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila pinifolia (Dwindaru 2010). Akan tetapi, menurut Dwintasari (2009) di Pulau Pramuka juga ditemukan Syringodium isoetifolium. Menurut Kepmen LH No. 200 Tahun 2004, kondisi lamun di Pulau Pramuka tergolong rusak (Dwindaru 2010).
2.3.2. Peran dan Manfaat Lamun Secara ekologi, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan sumber utama produktivitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme (dalam bentuk detritus). Tidak seperti tumbuhan teresterial yang lain dimana herbivora dapat memanfaatkan langsung tumbuhan tersebut, organisme yang memanfaatkan lamun tidaklah banyak. Kemungkinan hewan yang paling banyak memanfaatkan lamun secara langsung adalah bulu babi, beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu, dan ikan duyung. Sumber energi yang berasal dari fotosintesis hanya sedikit yang disalurkan langsung kedalam rantai makanan daerah pesisir (Nybakken 1988). Menurut Fenchel (1977) in
15
Nybakken (1988), energi yang bersumber dari lamun ini memasuki ekosistem melalui detritus, yaitu tanaman air yang mati dan membusuk kemudian dihancurkan menjadi partikel yang lebih kecil dan bahan yang telah didekomposisi ini dimakan oleh berbagai organisme pemakan detritus (Gambar 2).
Penyu, Manatee
Bebek, Angsa
Rumput Laut (lamun)
Cadangan bahan organik terlarut
Penguraian oleh bakteri
Rantai makanan plankton
Daun dan akar mati Detritus tertentu
Jamur Bakteri
Mikro Fauna Bakteriovora
Mikrofauna Karnivora
Pemakan Detritus
Herbivora, Invertebrata Ikan Karnivora Ikan Herbivora
Ikan, Invertebrata, Karnivora besar
Gambar 2. Lintasan yang dilalui lamun (eel grass) untuk masuk ke dalam jaringan makanan (Sumber: Nybakken 1988). Padang lamun juga dapat berfungsi sebagai perangkap dasar sedimen dan selanjutnya membentuk dasar. Selain itu, apabila pertumbuhan lamun mencapai permukaan, maka daun yang mengapung dapat mematahkan kekuatan ombak sehingga membentuk habitat yang berair tenang dibawahnya dan menjadi tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari pengaruh cahaya matahari yang kuat. Jika padang lamun barada pada daerah pasang surut, daun dapat menutupi substrat dasar pada waktu air surut serta melindungi penghuninya dari kekurangan air (desiccation) (Nybakken 1988). Padang lamun juga merupakan habitat dari beberapa jenis biota laut seperti Crustacea, Moluska, Annelida, dan Pisces (ikan). Beberapa jenis ikan biasanya datang ke padang lamun untuk memijah atau sekedar mencari makan. Beberapa jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis menggunakan daerah
16
padang lamun sebagai tempat asuhan antara lain ikan beronang.
Duyung
(Dugong dugon) merupakan mamalia laut yang makanannya adalah lamun terutama Syringodium isoetifolium (Nontji 2007). Menurut Nybakken (1988), contoh spesies lain yang bernilai ekonomis penting dan memilih padang lamun sebagai tempat pembesaranya adalah udang (Penaeus duorarum) yang hidup di daerah Florida Selatan. Beberapa jenis lamun dapat dimanfaatkan sebagai makanan seperti samosamo (Enhalus acoroides) yang dimanfaatkan bijinya oleh penduduk Pulau Seribu sebagai bahan makanan dan dimasak seperti menanak nasi (Nontji 2007). Fortes (1990) membagi fungsi lamun menjadi 2, yaitu pertama, pemanfaatan secara tradisional (masa lalu), seperti dibuat anyaman keranjang, pupuk kompos, atap, bahan baku untuk tikar, sebagai kain pelapis untuk mengemas barang, sebagai sekat untuk suara dan temperatur, pengganti serat dalam membuat nitroselulosa, untuk membuat gundukan sebagai tanggul, dan bahan pembuatan rokok dan mainan anak kecil. Kedua, pemanfaatan pada masa sekarang; sebagai penyaring kotoran dalam air, sebagai penstabil kawasan pesisir, bahan baku pembuatan kertas, sumber bahan kimia yang bermanfaat, sebagai pupuk dan pakan, serta makanan dan obat untuk manusia. Valuasi ekonomi dari padang lamun sangat besar, walaupun sulit untuk dihitung. Padang lamun merupakan peringkat ketiga dalam ekosistem global yang bernilai tinggi (dalam satuan hektar) setelah estuari dan wetland. Estimasi rata-rata nilai lamun pada tahun 1994 secara global yang dgunakan untuk daur nutrien dan penyedia bahan baku produksi sebesar US$ 19,004 ha tahun-1 (McKenzie & Yoshida 2009).
2.4. Makrozoobentos Menurut Hutabarat & Evans (1985), organisme yang hidup di bagian dasar lautan dikenal sebagai bentos, termasuk seluruh hewan dan tumbuhan yang hidup pada daerah-daerah yang masih dipengaruhi oleh air pasang (daerah litoral), daerah continental shelf (sub litoral) dan yang tinggal di laut yang sangat
17
dalam (daerah bathyal dan abyssal). Bentos yang hidup di setiap daerah memilki pola adaptasi yang berbeda bergantung kepada kondisi dari daerah tersebut. Secara ekologis kelompok organisme ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu epifauna, merupakan organisme bentik yang hidup pada atau dalam keadaan lain berasosiasi dengan permukaan dan infauna, merupakan organisme yang hidup di substrat lunak (Nybakken 1988). Menurut Barnes & Huges (1991); Eleftheriou & Moore (2005); Gray & Elliott (2009), organisme bentos biasanya digolongkan berdasarkan ukuran saringan (mesh size) yang dipakai, yaitu: (1) Megafauna, merupakan organisme yang tertahan pada saringan berukuran > 5cm, (2) Makrofauna (makrozoobentos), merupakan organisme yang tertahan pada saringan berukuran 500µm-5cm, (3) Meiofauna, merupakan organisme yang lolos pada saringan berukuran 63-500µm, dan (4) Mikrofauna, merupakan organisme yang lolos pada saringan berukuran <63µm. Kelompok organisme dominan yang menyusun makrofauna di dasar lunak sublitoral terbagi menjadi empat kelompok taksonomi : kelas Polychaeta, kelas Crustacea, filum Echinodermata, dan fillum Moluska (Nybakken 1988). Woodin (1976) in Nybakken (1988) mengklasifikasikan organisme infauna menjadi penggali pemakan deposit, pemakan suspensi, dan pembentuk dari berbagai tipe. Pembagian tersebut bergantung kepada klasifikasi oportunis-ekuilibrium; dimana spesies oportunistik merupakan organisme yang mempunyai masa hidup yang pendek, perkembangan yang cepat untuk bereproduksi, terdapat banyak reproduksi per tahun, larva terdapat hampir atau sepanjang tahun di perairan, dan angka kematian yang tinggi serta biasanya merupakan hewan kecil dan sering menetap atau sesil. Sedangkan spesies ekuilibrium merupakan organisme yang memiliki daur hidup yang panjang, perkembangan mencapai dewasa relatif lama, terdapat satu atau lebih periode reproduksi per tahun, angka kematiannya
18
rendah, biasanya ukurannya besar, dan lebih bersifat mobil dibandingkan dengan yang bersifat oportunistik (MacArthur 1960 in Nybakken 1988). Penyebaran bentos biasanya dipengaruhi oleh lingkungan, pengaruh lingkungan tersebut dapat berupa kematian atau memperpendek usia organisme tersebut (pulse disturbances) dan tekanan yang berlangsung lama pada rentang waktu tertentu (press disturbances) (Bender et al. 1984 in Underwood & Chapman 2005). Menurut Pearson dan Rosenberg (1978) in Taurusman (2007), seringkali komunitas marine bentos dicirikan oleh jumlah spesies, kepadatan, dan biomassanya.
Selain
tiga
parameter
tersebut,
untuk
menjelaskan
keanekaragaman hayati bentos tersebut maka biasanya digunakan indeks seperti indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman. Di Indonesia, makrozoobentos sudah banyak dijadikan objek penelitian tidak terkecuali di kawasan Teluk Jakarta dan Pulau Seribu. Menurut Taurusman (2007), di Teluk Jakarta struktur komunitas makrozoobentos dipengaruhi oleh pengkayaan bahan organik di perairan. Penelitian lain di Kawasan Pulau Seribu, yaitu asosiasi makrozoobentos dengan lamun di Pulau Kelapa Dua dan Harapan. Pada penelitian tersebut, biomassa dan kepadatan lamun mempengaruhi keanekaragaman makrozoobentos (Ramadhan 2010).