5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau dari gugusan Kepulauan Seribu dan termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). Wilayah Kepulauan Seribu memiliki perairan yang terlindung, aman dari badai dan gelombang laut yang tinggi karena dikelilingi oleh daratan besar Sumatera, Jawa dan Kalimantan (Tomascik et al. 1997). Secara umum keadaan laut Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 0 - 40 meter (Departemen Kehutanan 2008). Musim hujan di Kepulauan Seribu biasanya terjadi antara bulan November sampai April dengan jumlah hari hujan antara 10 - 20 hari per bulan. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei sampai Oktober dengan jumlah hari hujan antara 4 - 10 hari per bulan. Rata-rata curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir (1992 - 2002) berkisar antara 43 - 510 mm, dimana curah hujan tertinggi (43 mm) terjadi pada bulan Januari dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (510 mm). Musim Barat dengan tiupan angin Barat Laut - Utara yang kuat dan curah hujan yang tinggi terjadi pada bulan Oktober - April, sedangkan musim Timur dengan tiupan angin Tenggara-Timur dan curah hujan rendah terjadi pada bulan Mei - September (BPLHD DKI Jakarta 2002 in Departemen Kehutanan 2008). Suhu air dan salinitas laut tidak berfluktuasi secara nyata antara musim barat, musim timur maupun musim peralihan. Suhu air berkisar antara 28,5 - 30,0 oC pada musim barat (November - Maret) dan 28,50 - 31,0 oC pada musim timur (Mei - September). Salinitas permukaan berkisar antara 30 - 34‰ pada musim barat maupun pada musim timur (LAPI-ITB 2001). Pencemaran sampah yang masuk Kepulauan Seribu semakin meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 2002 tidak kurang dari 14.000 m3 sampah per hari masuk ke wilayah perairan Teluk Jakarta yang mengakibatkan menurunnya produksi ikan hingga 38%. Pada tahun 2007, terdapat tiga belas sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta membawa material sampah sebanyak 768 m3 sampah per hari dari total sampah yang dihasilkan DKI Jakarta sebanyak 27.966 m3/hari.
5
6
Artinya sebanyak 2,7% per hari sampah di DKI Jakarta masuk ke Teluk Jakarta hingga Kepulauan Seribu (Kardian 2007). 2.2. Parameter Fisika dan Kimia Parameter fisika dan kimia merupakan faktor abiotik dalam ekologi yang keberadaannya di alam tidak dapat dikontrol. Yang termasuk kedalam parameter fisika antara lain suhu, arus, kecerahan, dan kedalaman, sedangkan yang termasuk kedalam parameter kimia adalah pH, salinitas, DO, dan nutrien. Di samping itu, dalam penelitian ini diamati habitat dari makrozoobentos itu sendiri, yaitu substrat dasar (tekstur dan kandungan C-organik). 2.2.1. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh di laut. Suhu menjadi sangat penting bagi kehidupan organisme laut karena dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakkan organisme tersebut (Hutabarat & Evans 1985). Pada daerah tropis suhu air laut rata-rata berkisar antara 28 - 31 oC (Nontji 2007). Nybakken (1988) menyatakan bahwa kisaran perubahan suhu pada zona intertidal adalah kecil dan jarang melebihi batas letal organisme. Peningkatan suhu dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang selanjutnya meningkatkan pula konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC akan menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme sebesar 2 - 3 kali lipat (Effendi 2003). Kelas Polikaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau salinitas dengan membuat lubang dalam substrat dan membenamkan diri di bawah permukaan substrat (Alcantara & Weiss 1991). 2.2.2. Kedalaman Secara umum keadaan laut Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 0 - 40 meter (Departemen Kehutanan 2008). Sebaran makrozoobentos dipengaruhi oleh kedalaman suatu perairan. Kedalaman berpengaruh terhadap pengadukan massa air dan proses sedimentasi. Kemudian proses sedimentasi akan mempengaruhi karakteristik serta kandungan bahan
6
7
organik pada substrat atau sedimen sebagai habitat makrozoobentos. Nybakken (1988) menyatakan bahwa seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan, gangguan yang disebabkan oleh ombak akan berkurang sehingga komunitas yang lebih dalam cenderung dihuni oleh lebih banyak spesies ekuilibrium daripada spesies oportunistik. 2.2.3. Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual. Nilai kecerahan dapat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi dalam perairan (Effendi 2003). Penetrasi cahaya yang semakin rendah karena meningkatnya kedalaman dan kekeruhan mengakibatkan cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tumbuhan air menjadi berkurang. Hal itu menyebabkan penyebaran vegetasi mangrove, lamun dan terumbu karang juga akan terhambat atau tidak merata. Oleh karena itu, secara
tidak
langsung
kecerahan
akan
mempengaruhi
pertumbuhan
makrozoobentos yang hidup didalamnya. 2.2.4. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman menyatakan besarnya intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Menurut Nybakken (1988), kisaran pH optimal untuk air laut berkisar antara 7,5 - 8,5. pH bukan merupakan faktor penting bagi organisme di suatu perairan. Hal ini dikarenakan pH memiliki variasi kecil pada perairan laut. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7,0 - 8,5 (Effendi 2003). Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum 1993). 2.2.5. Salinitas Salinitas pada berbagai tempat di laut terbuka yang jauh dari pantai memiliki variasi yang sempit, antara 34 - 37‰ dengan rata-rata 35‰. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan penguapan, sehingga laut di daerah tropis memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah beriklim sedang atau subtropis (Nybakken 1988). Salinitas permukaan air di Kepulauan Seribu
7
8
berkisar antara 30 - 34‰ pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat, musim timur dan musim pancaroba nilai salinitas tidak berfluktuasi secara nyata (LAPI-ITB 2001). Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme makrozoobentos baik secara vertikal maupun horizontal dan secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun Bivalvia dan Polikaeta yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Odum 1993). Kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya makrozoobentos berkisar antara 15 - 35‰ (Hutabarat & Evans 1985). 2.2.6. DO (Dissolved oxygen) Oksigen terlarut (DO) mempunyai peran yang penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota di perairan laut (Nybakken 1988). Kadar oksigen terlarut dapat dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan turbulensi air. Kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2003). Sumber DO dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Faktor yang mempengaruhi distribusi secara vertikal DO di laut antara lain suhu, salinitas, tekanan hidrostatik, fotosintesis dan respirasi, biodegradasi, dan transpor massa air bawah laut (Sanusi 2006). Keadaan perairan dengan kadar oksigen terlarut yang sangat rendah berbahaya bagi biota didalamnya. Menurut Effendi (2003) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mg l-1. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg l-1 akan menimbulkan efek kurang menguntungkan bagi hampir semua biota perairan (UNESCO/WHO/UNEP 1992 in Effendi 2003). DO yang defisit pada dasar perairan akan mengakibatkan dekomposisi yang terjadi pada daerah tersebut sehingga kemudian menjadi anaerob dan menghasilkan H2S. Hal ini akan mempengaruhi makrozoobentos yang hidup pada dasar perairan. 8
9
Konsentrasi oksigen di dasar perairan mempunyai peran yang penting terhadap perubahan struktur makrozoobentos dikarenakan pengayaan bahan organik di perairan pesisir (Gray et al. 2002 in Taurusman 2007). Menurut literatur (Gray et al. 2002 in Taurusman 2007), pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di perairan memberikan efek bagi tingkah laku sekelompok fauna, jika dilihat dari tingkat sensitifitas ikan, Krustasea, Annelida (Polikaeta), dan Bivalvia (Tabel 1). Tabel 1. Rangkuman dari efek penurunan konsentrasi oksigen terlarut terhadap organisme laut (modifikasi dari Gray et al. 2002 in Taurusman 2007). Garis mendatar dalam tabel memisahkan antara makrozoobentos dan ikan. Tipe organisme Ikan perenang aktif (pelagis) Ikan perenang aktif (pelagis) Ikan demersal Ikan secara umum Kepiting, udang, lobster, isopoda (Krustasea) Isopoda yang hidup di dasar (Krustasea) Moluska bivalvia Annelida Periophthalmus sp. (mudskippers)
Efek Pertumbuhan Metabolisme Metabolisme Mortalitas Pertumbuhan
Batas konsentrasi oksigen terlarut (mg l-1) 6 4,5 4 2 2-3,5
Mortalitas Pertumbuhan Pertumbuhan Mortalitas
1-1,6 1-1,5 1-2 1
Hewan yang dapat bergerak secara mobile akan melarikan diri dari daerah dimana terjadinya penurunan konsentrasi oksigen terlarut, jika tidak mereka akan mengalami kematian. Konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah dari 4 mg l-1 di perairan akan menyebabkan kematian akut bagi sebagian besar spesies makrozoobentos. Oleh karena itu, jika DO pada dasar perairan lebih rendah dari 4 mg l-1, maka dapat diduga bahwa komunitas makrozoobentos akan menunjukkan perubahan yang berbeda pada komposisi spesies (Gray et al. 2002 in Taurusman 2007). 2.2.7. Nutrien (Nitrat dan orthophosphat) Nutrien atau senyawa inorganik esensial terlarut berperan dalam fungsi metabolik biota laut, terutama untuk kehidupan dan pertumbuhan produktivitas primer (Sanusi 2006). Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Senyawa ini
9
10
dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik, termasuk makrozoobentos. Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg l-1. Kadar nitrat lebih dari 5 mg l-1 menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan hasil ekskresi hewan (Effendi 2003). Orthophosphat yang merupakan produk ionisasi dari asam orthophosphat adalah bentuk fosfor yang paling sederhana di perairan. Orthophosphat dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan atau alga di perairan. Keberadaan fosfor di perairan biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar nitrogen karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan (Effendi 2003). Kadar fosfor dalam orthophosphat (P-PO4) jarang melebihi 0,1 mg l-1, sedangkan kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg l-1 (Boyd 1988 in Effendi 2003). Fosfor tidak bersifat toksik bagi manusia, hewan dan ikan. 2.2.8. Substrat (Sedimen) Substrat dasar perairan terdiri atas partikel-partikel yang berasal dari pembongkaran batuan dan potongan-potongan kulit kerang serta sisa-sisa rangka dari organisme laut. Ukuran dari partikel tersebut ditentukan oleh sifat fisik mereka sendiri, sehingga menyebabkan tipe substrat yang terdapat di berbagai tempat dunia memiliki sifat berbeda satu sama lain (Hutabarat & Evans 1985). Salah satu cara mengklasifikasikan jenis substrat adalah dengan melihat secara langsung ukuran partikelnya. Berdasarkan ukuran dan besar butir, maka substrat dapat diklasifikasikan seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 2. Tabel 2. Tekstur (grain size) untuk sedimen menurut skala Wentworth (Wentworth 1922 in Gray & Elliott 2009) Deskripsi tekstur sedimen Kerikil – bongkah (Pebbles – boulders)
Ukuran (mm)
>4,00
Butiran (Granule) Pasir sangat kasar (Very coarse sand) Pasir kasar (Coarse sand) Pasir sedang (Medium sand) Pasir halus (Fine sand) Pasir sangat halus (Very fine sand) Lumpur (Silt) Lempung (Clay)
4,00 2,00 1,00 0,50 0,25 0,125 0,0625 <0,0039
10
11
Menurut Hutabarat & Evans (1985), sedimen dasar laut dapat dibedakan menjadi tiga, antara lain: 1) Sedimen lithogenous, yaitu jenis sedimen yang berasal dari sisa pengikisan batu-batuan di darat. Hal ini dapat terjadi karena adanya suatu kondisi fisik yang ekstrem, seperti adanya perubahan proses pemanasan dan pendinginan maupun aksi kimia yang terdapat di dalam air hujan terhadap permukaan batu; 2) Sedimen biogenous, yaitu jenis sedimen yang berasal dari sisa-sisa rangka organisme hidup yang membentuk endapan partikel halus yang dinamakan ooze dan biasanya mengendap pada daerah yang terletak jauh dari pantai; 3) Sedimen hydrogenous, yaitu jenis sedimen yang berasal dari hasil reaksi kimia dari dalam air laut dengan konsentrasi lewat jenuh sehingga terjadi pengendapan di dasar laut. Kualitas sedimen menentukan keberadaan organisme bentik yang bertempat tinggal, terutama adalah senyawa kimia yang terdapat dalam sedimen yang terbentuk akibat proses oksidasi-reduksi (Sanusi 2006). Maka pada lokasi tertentu terdapat pengelompokkan jenis organisme bentik yang berbeda. Nybakken (1988) menyatakan bahwa makrozoobentos tipe deposit feeders cenderung melimpah pada sedimen lumpur maupun sedimen lunak lainnya yang merupakan daerah dengan kandungan bahan organik tinggi, sedangkan untuk makrozoobentos tipe suspension feeders terdapat lebih melimpah pada substrat yang lebih berbentuk pasir dengan bahan organik yang lebih sedikit. Perairan dengan substrat pasir memberikan keuntungan bagi organisme laut, yakni sebagai penyangga yang baik terhadap perubahan suhu dan salinitas yang besar serta sebagai penghalang dari pengaruh berbahaya akibat keterbukaan langsung dari sinar matahari karena pasir berwarna kusam dan tidak tembus cahaya. Pantai pasir didominasi oleh tiga kelas makrozoobentos, yaitu Polikaeta, Bivalvia dan Krustasea. Perairan substrat pasir cenderung mempunyai lebih sedikit detritus karena detritus sering terbawa oleh gelombang laut naik turun perairan sehingga akan lebih sering melayang daripada mengendap di dasar perairan. Makrozoobentos yang dominan ditemukan adalah tipe suspension feeders. Makrozoobentos jenis karnivora hanya sedikit yang dapat ditemukan
11
12
pada perairan dengan substrat pasir, antara lain dari kelas Polikaeta (Nephtys dan Glycera) atau Gastropoda (Nybakken 1988). Perairan dengan substrat lumpur cenderung memiliki ciri berukuran partikel sangat halus, rendahnya ketersediaan oksigen dalam sedimen walau hanya beberapa sentimeter di bawah permukaan, dan cenderung mengakumulasi bahan organik sehingga banyak tersedia makanan yang potensial untuk biota di perairan. Makrozoobentos yang mendominasi perairan substrat lumpur hampir sama dengan perairan substrat pasir, yaitu Polikaeta, Bivalvia dan Krustasea, hanya saja dengan genus yang berbeda. Bahan organik yang melimpah serta sangat kecilnya pengaruh gelombang menyebabkan makrozoobentos tipe deposit feeders mendominasi perairan ini, seperti Polikaeta (Arenicolidae, Spionidae dan Capitellidae), Krustasea (Corophium) dan Bivalvia (Macoma dan Scrobicularia). Makrozoobentos jenis karnivora yang sering ditemukan pada perairan berlumpur antara lain berbagai kepiting, udang, Glycera, Nephtys, Polinices, dan Busycon (Nybakken 1988). 2.3. Mangrove Hutan mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Setidaknya 60 - 75% garis pantai daerah tropis di bumi telah ditumbuhi mangrove. Pohon mangrove yang penting atau dominan di antaranya adalah dari genus Rhizophora, Avicennia, Bruguiera, dan
Sonneratia.
Mangrove
memiliki
sejumlah
bentuk
khusus
yang
memungkinkan mereka hidup di perairan lautan yang dangkal, yaitu berakar pendek dan menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang atau dahan. Daunnya kuat, mengandung banyak air serta memiliki jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garam yang tinggi (Nybakken 1988). Mangrove tumbuh optimal pada pantai yang terlindung atau datar. Pada tempat yang tidak ada muara sungai vegetasi mangrove agak tipis, namun pada tempat yang mempunyai muara sungai besar dan delta dimana aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir, vegetasi mangrove biasanya tumbuh 12
13
meluas. Mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat, karena hal ini tak memungkinkan untuk terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji 2007). Mangrove dapat berkembang sendiri yaitu pada tempat dimana tidak terdapat gelombang, sehingga kondisi fisik pertama yang harus ada adalah gerakan air yang minimal. Gerakan air yang lambat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar perairan. Hasilnya berupa kumpulan lumpur. Tanah hutan mangrove ditandai oleh kadar oksigen yang rendah, kadar garam yang tinggi dan butiran sedimen yang halus dengan kandungan organik tinggi. Mangrove berkembang hanya pada perairan yang dangkal dan daerah intertidal sehingga sangat dipengaruhi oleh pasang-surut (Nybakken 1988). Menurut Nybakken (1988) komunitas mangrove bersifat unik, disebabkan luas vertikal pohon, dimana organisme daratan menempati bagian atas dan hewan lautan yang sebenarnya menempati bagian bawah. Kelompok fauna akuatik pada komunitas mangrove ada dua tipe, yaitu hidup di kolom air serta hidup pada substrat keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun substrat lunak (menempati lumpur) (Bengen 2001). Mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting yaitu sebagai peredam dari gelombang energi tinggi dan badai pada pantai, membantu menstabilkan sedimen dan meningkatkan akumulasi sedimen lokal didalamnya, penjebak nutrien anorganik, memproduksi sejumlah besar detritus yang berasal dari dedaunan dan ranting pohon mangrove yang jatuh untuk badan air disekitarnya, serta tempat mencari makan, memijah dan daerah asuhan bagi berbagai macam biota laut (Knox & Miyabara 1984). Asosiasi mangrove berbeda dengan pantai berlumpur, karena adanya daerah permukaan yang keras dan luas dari akar-akar yang tersedia bagi organisme, yang tidak terdapat pada tipe pantai berlumpur (Nybakken 1988). Biota golongan invertebrata adalah komponen penting yang menyediakan berbagai sumber makanan bagi manusia dan hewan lain yang lebih tinggi tingkatan trofiknya. Makrozoobentos memproduksi berjuta larva dalam bentuk meroplankton yang mendukung populasi ikan dan menjaga keseimbangan ekosistem dengan membuat
13
14
lubang, sehingga air dan udara dapat masuk ke dalam tanah (Chaudhuri & Choudhury 1994 in Fitriana 2006). Umumnya mangrove ditempati oleh kepiting (Uca, Cardisoma, Cleistostoma), udang, Moluska (Littorinidae, Ellobiidae dan Potamididae), serta beberapa jenis Polikaeta (Nybakken 1988). 2.4. Lamun Lamun adalah tumbuhan berbunga angiosperma yang hidup dan tumbuh terbenam di dalam perairan laut, memiliki tulang daun, batang, akar, bunga, dan buah. Akar dan rimpang dari lamun tumbuh terbenam dalam pasir atau lumpur (McKenzie
&
Yoshida
2009).
Lamun
termasuk
ke
dalam
Famili
Hydrocharitaceae, Cymodoceaceae dan Potamogetanaceae, namun tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan tumbuhan darat dari kelas Poaceae. Terdapat 13 genus dan 58 spesies tersebar di seluruh dunia. Enam genus (Amphibolis, Heterozostera, Phyllospadix, Posidonia, Pseudalthenia, Zostera) terdapat pada kawasan perairan laut beriklim sedang dan sebanyak 7 genus (Cymodoceae, Enhalus, Halodule, Halophila, Syringodium, Thalassia, Thalassodendron) terdistribusi di perairan laut tropis (Kannan & Thangaradjou 2002). Tumbuhan lamun tumbuh optimal pada salinitas 35‰, namun dapat mentolerir kisaran salinitas antara 4 - 65‰, meskipun tidak semua jenis lamun dapat mentolerir salinitas tersebut sama baiknya. Lamun membutuhkan cahaya untuk fotosintesis. Kebutuhan cahaya permukaan rata-rata berkisar antara 10-20% dengan nilai minimum 4,4% dan maksimum 29% tergantung spesiesnya. Lamun membutuhkan dua nutrien utama untuk tumbuh, yaitu nitrogen dan fosfor. Ketersediaan nutrien untuk lamun bergantung pada kualitas sedimen yaitu dari jenis dan ukuran partikel (McKenzie & Yoshida 2009). Lamun hidup di perairan dangkal yang berpasir. Sering pula dijumpai di kawasan terumbu karang atau pada lokasi lebih dalam dimana sinar matahari masih dapat menembus perairan. Berbeda dengan alga yang membutuhkan nutrien dalam air, lamun merupakan tumbuhan yang menyerap nutrien dari sedimen atau substrat. Untuk itu, lamun dapat mendaurulangkan nutrien kembali ke dalam ekosistem agar tidak terperangkap di dasar laut (Nybakken 1988). Lamun terlihat mencolok di perairan dan terhampar menyebar luas di kawasan perairan laut dangkal seluruh dunia, memproduksi bahan organik dalam 14
15
jumlah besar dan memberikan substrat dasar yang sangat baik bagi berbagai jenis alga termasuk diatom dan fauna sessil (Smith 1991). Beberapa fungsi ekologis dari lamun adalah sebagai produsen detritus, mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakarannya, tempat berlindung, mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground), dan memijah (spawning ground) bagi berbagai jenis biota laut, serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Hemminga & Duarte 2000). Habitat lamun tinggi akan keanekaragaman dan kelimpahan biota di perairan. Lamun yang berada dekat reef flats dan estuari juga akan membantu menyerap nutrien dan masukan bahan kimia lainnya untuk lingkungan perairan laut. Tingkat produksi primer yang tinggi pada lamun berkaitan erat dengan tingginya tingkat produksi perikanan. Lamun memberikan nilai ekonomis yang sangat besar bagi kehidupan manusia, meskipun tidak mudah untuk dihitung secara kuantitatif, sehingga termasuk dalam peringkat ketiga ekosistem paling produktif di laut setelah estuari dan lahan basah (McKenzie & Yoshida 2009). Di Pulau Pramuka, terdapat 6 jenis lamun, yaitu Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila pinifolia (Dwindaru 2010). Namun menurut Dwintasari (2010) di Pulau Pramuka juga ditemukan Syringodium isoetifolium. Berdasarkan kriteria Kepmen LH No. 200 tahun 2004, kondisi lamun di Pulau Pramuka tergolong rusak (Dwindaru 2010). 2.5. Terumbu karang Terumbu karang (Coral reef) merupakan ekosistem khas di wilayah pesisir tropis. Terumbu terbentuk berasal dari endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxanthellae serta tambahan dari alga berkapur dan organisme lain yang ikut mengekskresikan kalsium karbonat (Nybakken 1988). Terumbu karang adalah ekosistem laut yang paling produktif dengan tingkat produksi kotor setiap harinya berkisar antara 2 – 12 gC m-2. Tingginya produktivitas terumbu karang berasal dari beberapa komponen seperti, 15
16
zooxanthellae, alga filamen, makroalga bentik, dan fitoplankton. Namun pada ekosistem mangrove, porsi utama dari produktivitas adalah berasal dari komponen daratan, seperti vegetasi mangrove, dibandingkan dengan yang berasal dari komponen akuatik. Hasil pengamatan yang dilakukan di Puerto Rico menunjukkan bahwa produksi diperkirakan 8 gC m-2 d-1 (Qasim & Wafar 1990). Reef crest merupakan bagian terdangkal dari tipe habitat terumbu karang yang dihuni oleh keanekaragaman dan kelimpahan fauna yang sangat ekstrem. Pada umumnya kedalaman reef crest hanya kurang dari 10 meter. Habitat reef crest mendapat energi gelombang tertinggi dibandingkan kawasan terumbu karang lainnya dan biasanya perairan dilapisi oleh alga merah dan karang berbentuk lembaran (sheet-like coral forms) sehingga memungkinkan banyak terdapat pecahan karang didalamnya (Kensley 1984). Pada penelitian ini, bagian reef crest dari salah satu tipe habitat terumbu karang dijadikan sebagai lokasi pengambilan contoh makrozoobentos. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 - 29 oC (Hutabarat & Evans 1984). Kadar salinitas perairan laut yang dapat mendukung pertumbuhan terumbu karang berkisar antara 32 - 35‰ (Nybakken 1988). Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia. Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Produktivitas primer yang tinggi di perairan terumbu karang memungkinkan ekosistem ini sebagai tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi biota laut. Kerangka hewan karang dapat dijadikan tempat berlindung atau menempelnya biota laut lainnya. Beberapa ikan pelagis menggantungkan masa larvanya terhadap keberadaan terumbu karang. Selain itu, terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi (Mukhtasor 2007). Faktor pengendapan atau sedimentasi memberikan pengaruh negatif terhadap terumbu karang. Sebagian besar karang hermatipik tidak dapat bertahan bila ada sedimentasi yang besar, menutupi dan menyumbat alur pemberian makanan. Endapan dalam air juga dapat mengurangi intensitas cahaya yang
16
17
dibutuhkan zooxanthellae untuk berfotosintesis dalam jaringan karang. Akibat yang akan terjadi adalah menurunnya perkembangan terumbu karang bahkan hilangnya terumbu karang tersebut dari daerah yang memiliki tingkat pengendapan yang tinggi (Nybakken 1988). Menurut Departemen Kehutanan (2008) kondisi terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu kawasan TNKPs dikategorikan sedang sampai rusak. Persentase penutupan karang hidup berkisar antara 4,3 – 50,7% dan didominasi oleh tutupan pasir, pecahan karang serta karang mati yang telah melampaui 50%. Kerusakan ini sebagian besar diakibatkan oleh faktor buatan (ulah manusia) seperti penangkapan ikan yang merusak dan berlebih, pencemaran air, penimbunan sampah, serta penambangan pasir dan karang. Di samping itu faktor alami yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan terumbu karang adalah pengaruh grazing oleh bulu babi seperti Diadema dan Eucidaris (Nybakken 1988).
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Sammarco
(Nybakken
1988),
memperlihatkan bahwa bulu babi Diadema pada kepadatan yang tinggi akan memakan semua organisme tidak hanya alga, dengan demikian akan menghalangi pertumbuhan karang. Penelitian lainnya oleh Glynn (Nybakken 1988) di Kepulauan Galapagos juga memperlihatkan bahwa bulu babi Eucidaris thouarsii memakan karang yang dominan, sehingga mengganggu perkembangan terumbu karang dan menyebabkan berkurangnya terumbu karang di pulau tersebut. 2.6. Konektivitas Konektivitas antar habitat di perairan dangkal tropis mempengaruhi banyaknya komunitas ikan dan organisme bentik didalamnya (Mumby et al. 2003). Pada penelitian ini konektivitas antara habitat dengan makrozoobentos difokuskan kepada habitat mangrove, lamun dan reef crest (terumbu karang). Habitat mangrove, lamun dan reef crest saling berinteraksi satu sama lain dan membentuk suatu konektivitas ekologis untuk menciptakan efek stabilitas pada lingkungan dalam mendukung komunitas biota didalamnya (Amesbury & Francis 1988). Konektivitas yang terjadi antar habitat dapat dihasilkan dari transpor bahan organik, nutrien dan migrasi fauna. Bahan organik yang masuk ke laut sebagian besar berasal dari detritus daun mangrove dan lamun dibandingkan dengan yang 17
18
berasal dari terumbu karang. Habitat mangrove dan lamun cenderung sebagai penghasil nutrien. Kelebihan nutrien akan diikat oleh vegetasi pada masingmasing habitat, namun untuk nutrien dengan ukuran lebih besar akan meninggalkan habitat ini sebagai bahan organik terlarut atau partikulat (DOM/POM) yang dapat membantu memelihara organisme karang. Biota laut juga turut membantu dalam perpindahan nutrien diantara ketiga habitat. Berbagai jenis burung, ikan, bahkan invertebrata yang menghuni suatu habitat namun mencari makan pada habitat berbeda yang berdekatan, berpotensi untuk memindahkan nutrien (UNESCO 1983). Hewan invertebrata yang menutupi akar mangrove menghasilkan larva planktonik yang akan terbawa oleh pergerakan arus ke habitat lain dan menjadi sumber makanan potensial di habitat tersebut. Organisme filter feeders di habitat lamun dan terumbu karang akan diuntungkan dengan melimpahnya larva planktonik yang berasal dari habitat mangrove (UNESCO 1983). Di samping itu, peningkatan bahan organik yang berasal dari mangrove dekat lamun, berpotensial menyediakan
sumber
makanan
yang
dapat
meningkatkan
kelimpahan
makrozoobentos (Alongi 1990 in Unsworth 2008). 2.7. Makrozoobentos Organisme yang hidup pada bagian dasar lautan dikenal sebagai bentos, termasuk didalamnya adalah seluruh hewan-hewan dan tumbuhan yang hidup pada daerah yang masih dipengaruhi air pasang (daerah litoral), daerah continental shelf (sublitoral), hingga yang tinggal di laut sangat dalam (daerah batial dan abisal). Secara ekologis kelompok organisme ini terbagi menjadi dua, yaitu epifauna, merupakan organisme bentik yang hidup di atas permukaan dasar lautan dan infauna, organisme bentik yang cara hidupnya dengan menggali lubang pada dasar lautan (Hutabarat & Evans 1985). Menurut Gray & Elliott (2009) organisme benthos biasanya digolongkan berdasarkan ukuran saringan (mesh size) yang dipakai, yaitu: 1) Megafauna, merupakan organisme yang berukuran > 5 cm, seperti Echinodermata dan Decapoda; 2) Makrofauna (makrozoobentos), merupakan organisme berukuran 500 µm 5 cm, seperti Polikaeta, Amphipoda dan Moluska; 18
19
3) Meiofauna, organisme yang berukuran 63 - 500 µm, seperti Nematoda, Oligochaeta dan Gastrotricha; 4) Mikrofauna, organisme yang berukuran < 63 µm, seperti Siliata dan Rotifer. Kelompok organisme dominan yang menyusun makrofauna di dasar lunak sublitoral terbagi menjadi empat kelompok taksonomi, yaitu kelas Polikaeta, kelas Krustasea, filum Echinodermata, dan filum Moluska (Nybakken 1988). Woodin (1976) in Nybakken (1988), mengklasifikasikan organisme infauna menjadi penggali pemakan deposit, pemakan suspensi dan pembentuk tabung dari berbagai tipe (penggali pemakan deposit atau pemakan suspensi). Makrozoobentos
tipe
deposit
feeders
(penggali
pemakan
deposit)
merupakan kelompok hewan bentik yang memiliki kemampuan dalam mencerna detritus yang jatuh atau memang berada di dasar perairan (Nybakken 1988). Di lain pihak, menurut beberapa literatur antara lain Heip (1995), Heilskov & Holmer (2001), dan Wong et al. (2003) yang diacu dalam Taurusman (2007), makrozoobentos tipe suspension feeders (pemakan suspensi) merupakan kelompok hewan bentik yang memiliki kemampuan untuk mengabsorpsi bahan organik dan polutan dari perairan yang kemudian akan digunakan kembali melalui proses mineralisasi. Dikenal dua pola daur hidup organisme yang berbeda pada habitat manapun. Tipe yang pertama disebut oportunistik, dimana spesies ini memiliki ciri masa hidup yang pendek, perkembangan yang cepat untuk bereproduksi sehingga terdapat banyak periode reproduksi per tahun, larva terdapat hampir atau sepanjang tahun di perairan, dan memiliki angka kematian yang tinggi. Biasanya hewan tipe ini berukuran kecil dan sering menetap atau sessile. Tipe kedua yaitu ekuilibrium dimana mempunyai ciri masa hidup yang panjang, perkembangan mencapai dewasa yang relatif lama sehingga terdapat satu atau lebih periode reproduksi per tahun, dan memiliki angka kematian yang rendah. Hewan tipe ini biasanya berukuran besar dan aktif bergerak (mobile) (MacArthur 1960 in Nybakken 1988). Spesies oportunistik cenderung berada pada substrat yang sering mengalami gangguan, seperti ombak, pengendapan sedimen yang cepat di dasar perairan dan ikan-ikan besar yang menggali dasar (pari). Di lain pihak, spesies ekuilibrium
19
20
cenderung mendiami daerah yang tidak sering mengalami gangguan agar dapat melengkapi siklus hidupnya. Terlalu banyak gangguan dapat memusnahkan spesies tipe ini sebelum mereka menjadi dewasa dan menghasilkan larva yang dapat menetap di daerah tersebut (Nybakken 1988). Hewan bentos terutama yang bersifat herbivora dan detritivora dapat menghancurkan tumbuhan akuatik yang hidup maupun yang mati, serta serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen di perairan (Nybakken 1988). Kehidupan makrozoobentos dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara lain faktor fisika seperti tipe substrat, kedalaman, suhu, dan salinitas; faktor biologi seperti kompetisi dan predasi (Nybakken 1988); dan faktor kimia seperti konsentrasi polutan di perairan dan sedimen. Menurut beberapa literatur antara lain Pearson & Rosenberg (1978), Beukema & Cadee (1997), dan Rosenberg (2001) yang diacu dalam Taurusman (2007), ketersediaan makanan (terutama bahan organik) merupakan faktor pembatas bagi komunitas bentos.
20