PELINDIHAN THORIUM DARI LIMBAH PABRIK KAOS LAMPU PETROMAKS
NEKI OKTAPERA
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M /1432 H
PELINDIHAN THORIUM DARI TANAH TERCEMAR LIMBAH PABRIK KAOS LAMPU PETROMAKS
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh : Neki Oktapera
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M /1432 H
PELINDIHAN THORIUM DARI TANAH TERCEMAR LIMBAH PABRIK KAOS LAMPU PETROMAKS
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh : Neki Oktapera 104096003091
Menyetujui. Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Herlan Martono, M.Sc NIP. 330 001 828
Dr. Thamzil Las NIP.330 001 078
Mengetahui, Ketua Program Studi Kimia
Drs.Dede Sukandar, M.Si NIP. 19650104199103100
PENGESAHAN UJIAN Skripsi yang berjudul ”Pelindihan Thorium dari Tanah Tercemar Limbah Pabrik Kaos Lampu Petromaks” telah diuji dan dinyatakan lulus pada sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, 8 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai slah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.
Menyetujui. Penguji I
Penguji II
Dr. Mirzan T. Razzak, M. Eng, APU NIP. 330 001 086
Pembimbing I
Isalmi Aziz, MT NIP.19751110 200604 2 001
Pembimbing II
Ir. Herlan Martono, M.Sc NIP. 330 001 828
Dr. Thamzil Las NIP.330 001 078
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis NIP.150 317 957
Ketua Program Studi Kimia
Drs.Dede Sukandar, M.Si NIP. 19650104199103100
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, 12 Maret 2011
Neki Oktapera
KATA PENGANTAR Bismillahirohmanirrohim, Assalamualaikum Wr. Wb Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi dan Rasul mulia, Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta kepada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah, hingga hari akhir. Skripsi ini dibuat oleh penulis untuk memenuhi Tugas Akhir, sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya, yaitu kepada : 1. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi. 2. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia. 3. Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M.Sc selaku kapala PTLR-BATAN 4. Ir. Herlan Martono, M.Sc, selaku pembimbing I dan Dr. Thamzil Las, selaku pembimbing II, yang telah mencurahkan waktu, pikiran, tenaga dan telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis. 5. Dr. Mirzan T. Razzak dan Ibu Isalmi Aziz, M.T selaku penguji, yang telah banyak memberikan kritik dan saran yang membangun dalam skripsi ini.
iv
6. Ir. Husen Zamroni, Ir. Aisyah, MT, Wati ST, ibu Rita, Agus Gindo, bapak imam, Yuli Purwanto, Dwi Luhur Ibnu Saputra, dan mas Jaka serta staf-staf PTLR-BATAN yang telah membantu penulis selama penelitian. 7. Kedua orang tua (H. Syahrizal dan Hj. Aswati) dan saudara-saudaraku (Patman, Anitopia, Musriyadi, Alpajrin, dan Hendri Saputra) yang selalu mendoakan penulis serta memberikan dorongan moril dan materil. 8. Albobi (pudon) yang selalu memberikan semangat, dukungan dan bantuan kepada penulis. 9. Dosen-dosen kimia terima kasih untuk semua ilmu yang telah diajarkan kepada penulis. 10. Teman-teman Program Studi Kimia angkatan 2004: Miftarini, Masudah, Fitri Kumala Arum, Retno Handayani, Safinah, Rezkiana, Siti Inayah, Ratna Sarifah, Dian Afrianti, Naziati Ainun, Rahman suherman, Imamah Mabrur, Fira Lutfiana, Ahmad Fuad Rizal, Ade Yanti, Deli Rahmalia, Titi Setiawati kebersamaan yang telah kita lalui selama menuntut ilmu dalam suka dan duka merupakan suatu hal yang paling indah. Penulis yakin dan sadar bahwa dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Di akhir kalimat ini, penulis memohon kepada Allah SWT, semoga orang-orang yang telah bermurah hati membantu penulis mendapatkan balasan yang lebih baik. Wassalamualaikum Wr. Wb Jakarta, Maret 2011 Penulis v
DAFTAR ISI Hal. KATA PENGANTAR.....................................................................................
iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xi
ABSTRAK........................................................................................................
xii
ABSTRACT.....................................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................
1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah....................................................................................
3
1.3. Tujuan Penelitian........................................................................................
3
1.4. Manfaat Penelitian......................................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
5
2.1. Thorium.....................................................................................................
5
2.1.1. Sifat-Sifat Thorium.......................................................................
6
2.2. Limbah Radioaktif ……………………………………………………….
12
2.2.1. Pengolahan Limbah Radioaktif ………………………………....
12
2.2.2. Klasifikasi Limbah Radioaktif....................................................
13
2.3. Leaching dan Ekstraksi …………………….…………………………….
15
2.3.1. Leaching …………………………………………….
15
2.3.2. Ekstraksi…………………………………………...….
17
2.3.3. Kriteria Solven………………………………………………….
19
vi
2.4. Resin Penukar Ion......................................................................................
20
2.4.1. Mekanisme Pertukaran Resin dengan Ion Thorium .......................
23
2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertukaran Ion.......................
26
2.5.Analisis Low Background Counting (LBC).................................................. 28 2.5.1. Perangkat alat Low Background Counting (LBC) ……………….
29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................................
34
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................
34
3.2. Alat dan Bahan............................................................................................ 34 3.1.1. Alat.................................................................................................
34
3.1.2. Bahan.............................................................................................
34
3.3. Prosedur Penelitian....................................................................................
35
3.3.1. Penentuan Waktu Kontak………..................................................
35
3.3.2. Penentuan Perbandingan Berat Tanah dan Air dalam Pelindihan..
35
3.3.3. Penentuan Pengaruh pH pada thorium …......................................
36
3.3.4. Penentuan Waktu Kontak pada Penyerapan Larutan Thorium dengan Resin Penukar Kation…………………………………….
37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................
39
4.1. Pengaruh Waktu Kontak ...................................................................
41
4.2. Pengaruh berat tanah dan air............................................................... 42 4.3. Pengaruh pH terhadap pelindihan thorium dari tanah……………..
44
4.4. Penentuan Waktu Kontak Penyerapan Thorium Oleh Resin Penukar Kation………………………………………………………………
47
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 49 LAMPIRAN....................................................................................................... 52
vii
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Hal. Klasifikasi Limbah Berdasar Umur Paruh Radionuklidanya Dan Pengelolaannya.................................................................................. 14
Tabel 2.
Karakteristik amberlite IR 120 Na....................................................
24
Tabel 3.
Hasil Pengukuran Radioaktivitas Alfa dan Beta untuk menyatakan thorium terlindih pada berbagai waktu kontak…………………….
53
Hasil pelidihan thorium dari tanah tercemar yang dinyatakan dengan variasi tanah/500ml air selama 4 jam aktivitas alfa dan beta..................................................................................................
53
Laju pelindihan Thorium dari tanah dengan air pada berbagai pH, waktu kontak 4 jam dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta……
54
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Hasil Larutan Thorium yang diperoleh tanah/air 280 gram/500 ml diserap dengan resin amberlite IR 120 Na dengan berbagai variasi waktu yang dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta........................................................................................... 54
viii
DAFTAR GAMBAR Hal. Gambar 1.
Resin Penukar Kation.........................................................................
22
Gambar 2.
Resin Penukar Anion...................................................................
23
Gambar 3.
Rumus bangun amberlite IR 120 Na..........................................
24
Gambar 4.
Tempat terikatnya ion thorium nitrat dengan resin amberlite IR 120 Na........................................................................................ 25
Gambar 5.
Skema dari alat pencacah alfa beta latar rendah (LBC)............
31
Gambar 6.
Tempat sampel dengan lobang kode sensor................................
32
Gambar 7.
Posisi sensor foto transitor pada mesin LBC LB1500…………
30
Gambar 8.
Diagram alir metodelogi penelitian.............................................
38
Gambar 9.
Hubungan waktu kontak tanah terkontaminasi dan air terhadap thorium terlindih yang dinyatakan dengan aktivitas alfa dalam pelarut air untuk perbandingan tanah 200 gram/air 500 ml........
40
Gambar 10. n waktu kontak tanah terkontaminasi dan air terhadap thorium terlindih yang dinyatakan dengan aktivitas beta dalam pelarut air untuk perbandingan tanah 200 gram/air 500 ml.......
40
Gambar 11. Perbandingan berat tanah/500 ml air dengan waktu kontak 4 jam terhadap thorium terlindih yang dinyatakan aktivitas alfa dalam pelarut air.......................................................................... 42 Gambar 12. Perbandingan berat tanah/500 ml air dengan waktu kontak 4 jam terhadap thorium terlindih yang dinyatakan aktivitas beta dalam pelarut air …………………………………………….. 42 Gambar 13. Pengaruh pH terhadap thorium terlindih dinyatakan aktivitas alfa dalam larutan dengan waktu kontak 4 jam dan perbandingan tanah 280 gram/air 500ml………………………. 43
ix
Gambar 14. Pengaruh pH terhadap thorium terlindih yang dinyatakan aktivitas beta dalam larutan dengan waktu kontak 4 jam dan perbandingan tanah 80 gram/air 500 ml………………………. 44 Gambar 15. Hasil penyerapan thorium oleh resin amberlite IR 120 Na terhadap persen penyerapan thorium yang dinyatakan dengan aktivitas alfa pada berbagai waktu kontak resin dan larutan thorium........................................................................................ 46 Gambar 16
Hasil penyerapan thorium oleh resin amberlite IR 120 Na terhadap persen penyerapan thorium yang dinyatakan dengan aktivitas beta pada berbagai waktu kontak resin dan larutan thorium………………………………………………………… 46
x
DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1.
Gambar Alat Low Background Counting (LBC)....................
52
Lampiran 2.
Skema peluruhan radionuklida deret Thorium-232.................
53
Lampiran 3.
Data pengukuran Radioaktivitas Alfa dan Beta.....................
54
Lampiran 4.
Foto Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian.........
56
xi
ABSTRAK
Neki Oktapera. Pelindihan Thorium dari Tanah Tercemar Limbah Pabrik Kaos Lampu Petromaks Dibawah bimbingan Ir. Herlan Martono, M.Sc dan Dr. Thamzil Las.
Pelindihan Thorium dari Tanah Tercemar Limbah Pabrik Kaos Lampu Petromaks. Telah dilakukan analisa thorium dari hasil pembakaran sisa potongan bahan kaos lampu. Proses Pelindihan thorium dilakukan dilakukan dengan menggunakan pelarut polar yaitu air dan asam nitrat, kemudian tanah tercemar thorium tersebut dipisahkan dari unsur-unsur tanah dan pengotornya dengan cara penukar kation memakai resin amberlite IR 120 Na dan aktivitas thorium dianalisis dengan Low Background Counting(LBC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengambilan thorium dari tanah terkontaminasi thorium dengan air dan larutan asam mencapai optimum pada waktu kontak 4 jam dengan perbandingan tanah/air 280 gram/500 ml, dan pada pH 4. Penyerapan thorium oleh resin penukar ion amberlite IR 120 Na, mempunyai waktu kontak optimum 60 menit dengan efisiensi penyerapan alfa 60,71% dan beta 57,90 %.
Kata kunci : Limbah Thorium, Low Background Counting (LBC), Resin penukar ion.
xii
ABSTRACT
Neki Oktapera. Leaching Thorium from Soil Contaminated Waste Gas Mantle Lamp petromaks Advisor Ir. Herlan Martono, M.Sc and Dr. Thamzil Las.
Leaching Thorium from Soil Contaminated Waste Gas Mantle Lamp petromaks. Thorium analysis has been carried from the burning incandescent material scraps. Thorium leaching process is carried out using polar solvents namely water and nitric acid, then the soil contaminated with thorium is separated from ground elements and pengotornya by using cation exchange resins Amberlite IR 120 Na and thorium activity was analyzed with Low Background Counting (LBC). The results showed that the withdrawal of thorium from thorium contaminated soil with water and acid solution reaches the optimum contact time of 4 hours with a ratio of soil / water gram/500 280 ml, and at pH 4. Absorption of thorium by ion exchange resins Amberlite IR 120 Na, have optimum contact time of 60 minutes with 60.71% efficiency of absorption of alpha and beta 57.90%.
Keywords: Thorium Waste, Low Background Counting (LBC), ion exchange resins.
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pertama kali torium ditemukan pada tahun 1815, Berzelius menemukan
unsur baru yang disebut torina, kemudian pada tahun 1828, Berzelius menemukan unsur baru lagi yang disebut torit. Manfaat unsur ini mulai diketahui setelah von Welsbach pada tahun 1885 menggunakannya sebagai bahan pembuat lampu yang memberikan nyala terang ( incandescent lamp ). Sejak itu usaha untuk memanfaatkannya lebih lanjut dan kegiatan penelitian torium terus ditingkatkan. Keradioaktipan thorium dilaporkan Curie pada tahun 1898 dimana unsure ini merupakan induk deret unsure radioaktif alam yang disebut deret 4n. Tanah tercemar thorium dari pabrik kaos lampu petromaks didapatkan dari laboratorium Bidang Pengolahan Limbah Radioaktif - Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (BPLR - PTLR) yang berasal dari pabrik kaos lampu petromaks di Tangerang.
Thorium nitrat digunakan sebagai bahan pencelup kaos lampu
petromaks agar nyala lampu petromaks menjadi terang.
Penanganan limbah
tersebut saat ini adalah dengan mengisolasinya dalam wadah drum yang dilapisi dengan semen dan disimpan di interim storage (tempat penyimpanan sementara). Waktu paro thorium
sangat panjang, sehingga pada suatu saat wadah drum
rusak, dan perlu penggantian wadah drum dengan yang baru. Proses tersebut tidak sederhana karena harus melakukan pekerjaan ulang dan dipandang cukup
1
mahal, maka perlu dicari proses alternatif. Alternatif pengolahan limbah tersebut dilakukan dengan cara pengambilan thorium yang dipandang sangat potensial. Imobilisasi secara langsung tanah yang mengandung thorium dengan semen atau polimer volumenya sangat besar sehingga transportasi dan penyimpanannya lebih kompleks dan mahal. Pengambilan thorium dari tanah dilakukan dengan proses leaching (pelindihan) yang merupakan ekstraksi padat cair menggunakan solven (pelarut) air dan asam. Hasil ekstraksi berupa ekstrak yaitu larutan thorium nitrat yang dapat digunakan lagi untuk pencelup kaos lampu dan remediasi tanah yang sudah tidak mengandung thorium dan dapat dikembalikan ke tempat semula. Limbah pemancar alfa yang dikenal juga sebagai alpha bearing waste adalah limbah yang mengandung satu atau lebih radionuklida pemancar alfa, dalam jumlah batas konsentrasi di atas yang diperkenankan. Limbah pemancar alfa di atas batas yang diperkenankan perlu pertimbangan khusus untuk bahaya atau potensi keselamatan, kesehatan, atau dampak lingkungan mulai dari limbah tersebut
ditimbulkan
sampai
penyimpanan
dalam
jangka
panjang
(Martono, 2007). Limbah thorium termasuk limbah pemancar alfa. Thorium merupakan radionuklida pemancar alfa dengan waktu paro 1,405 x 1010 tahun. Oleh karena umur thorium yang sangat
panjang, maka perlu pengelolaan dalam jangka
panjang. Bahan matriks untuk imobilisasi limbah TRU digunakan polimer, yang tahan dalam jangka lama.
2
Dalam penelitian ini, dilakukan ekstraksi thorium dari tanah yang terkontaminasi limbah pabrik kaos lampu petromaks dengan air dan larutan asam. Hal ini karena imobilisasi langsung tanah dengan semen atau polimer tidak efektif karena volumenya besar. Thorium yang terekstraksi diserap dengan resin penukar kation amberlite IR 120 Na. Resin yang jenuh thorium diberlakukan sebagai resin bekas yang merupakan limbah radioaktif.
1.2.
Perumusan Masalah Tanah yang tercemar limbah radioaktif thorium tidak efektif dan efisien,
jika diimobilisasi langsung dengan semen dan polimer karena volumenya bertambah besar. Oleh karena itu dilakukan pengambilan thorium dari tanah secara ekstraksi dengan pelarut air dan larutan asam. Selanjutnya thorium diserap dengan resin penukar kation amberlite IR 120 Na.
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari proses pelindihan thorium dari
tanah tercemar limbah pabrik kaos lampu petromaks sehingga larutan thorium dapat digunakan lagi dalam pabrik kaos lampu.
1.4.
Manfaat Penelitian Setelah melakukan penelitian ini diharapkan: 1. Memahami proses pelindihan thorium dari tanah terkontaminasi dengan air dan larutan asam nitrat.
3
2. Memahani proses penyerapan thorium dari larutan dengan resin penukar kation amberlite IR 120 Na. 3. Sebagai sarana pengetahuan bagi pembaca.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Thorium Pada tahun 1815, Berzelius menemukan unsur baru yang disebut torina, kemudian pada tahun 1828, Berzelius menemukan unsur baru lagi yang disebut torit. Bergeman menemukan donatorium dalam mineral oranjit pada tahun 1851 dan menemukan wasmium dalam mineral ortit. Kedua unsur ini ternyata identik dengan unsur yang ditemukan oleh Berzelius.
Unsur ini kemudian dikenal
sebagai thorium. Thorium cukup banyak terdapat di alam dalam bentuk batuan mineral yang biasanya tercampur dengan uranium dengan presentase kandungan pada kerak bumi sekitar 0,001 - 0,002 %. Thorium di alam berasosiasi dengan uranium dari logam tanah, di dalam batuan seperti torit, torianit, uranotorit dan sebagai monasit dalam granit, syenit, pegmatit, dan intrusi asam yang lain. Kadar thorium dalam batu - batuan tersebut berkisar antara 0,7 – 85 % tergantung jenis batuannya. Monasit yang ditemui di PT. Timah pulau Bangka mempunyai kandungan thorium sekitar 3,3 %. Sumber monasit di dunia banyak terdapat di 5 wilayah yaitu Brazil, India, Ceylon, Indonesia, Malaysia, Australia, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Monasit yang mengandung thorium terbesar adalah Monasit dari Brazil dan India Reaksi inti untuk thorium (90Th232) yang menyerap neutron dan deret peluruhan 90Th 233 yang terjadi sebagai berikut :
5
90Th
232
+ 0n1
→ 90Th 233
β‐→
91Pa
233
β-
→92U233
Thorium adalah unsur logam deret aktinida, beberapa bentuk isotop thorium antara lain isotop radioaktif, Selain isotop dihasilkan dari peluruhan
232 90Th
235 . 92U
yang terdapat di alam dan merupakan unsur
terdapat isotop
238 , 92U
dihasilkan dari peluruhan peluruhan
232 90Th
dan isotop
disamping itu juga terdapat isotop
232 , 90Th
Namun hanya
234 90Th
dan isotop
232 , 90Th230 90Th
231 90Th
dan
230
yang
228 90Th
yang
90Th
yang dihasilkan dari
90Th
228
yang mempunyai
waktu paro yang cukup panjang. Lebih dari 99,99 % Th yang terdapat di alam adalah 90Th232, sisanya adalah 90Th230 dan 90Th228. Thorium banyak digunakan dalam berbagai bidang baik nuklir maupun non nuklir. Dalam industri non nuklir biasa dipakai dalam bahan komposit logam, mantel dan gas dalam kaos lampu, bahan dalam pembuatan elektrode tabung elektron, bahan campuran filamen lampu, campuran bahan gelas, dan masih banyak penggunaan lain. Penggunaan thorium dalam bidang nuklir antara lain dapat digunakan sebagai bahan bakar reaktor yang melalui proses olah ulang yaitu 232 90Th
ditembak terlebih dahulu dengan neutron untuk menghasilkan
233 . 92U
Isotop thorium-232 yang banyak terdapat di alam hanya dapat membelah dengan neutron yang bertenaga diatas 1,8 MeV, tetapi untuk menghasilkan bahan bakar baru, isotop ini masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembiak.
Thorium
6
dialam tidak mempunyai bahan yang dapat membelah, terlebih dahulu harus dicampur bahan fisil, seperti penangkapan neutron
232 90Th
235 , 92U233 92U
dan
94Pu
239.
Isotop
233 92U
hasil
dapat dipisahkan secara kimiawi sehingga dapat
diperoleh bahan dengan cara relatif mudah bila dibandingkan pemisahan isotop 235 92U
dari 92U238. Beberapa keunggulan sebagai bahan bakar nuklir dari thorium adalah
sebagai berikut: 1. Kandungan di alam lebih banyak, karena ini memiliki waktu paro tiga kali dari 92U238 (1,4 × 10 10 tahun). 2. Kualitas neutron tinggi daripada energi termal dan epitermal dari
233 , 92U
tampang lintang fisi tinggi, sementara tampang lintang tangkapnya rendah, limbah yang dihasilkan setelah proses iradiasi dalam teras nuklir rendah, 90Th232 menghasilkan sedikit aktinida. 3. Burn up (fraksi bakar) yang dicapai dapat tinggi (kira-kira 70 - 80 GW d/t). Hal ini dikarenakan bahan bakar ThO2 lebih tahan terhadap iradiasi dibandingkan dengan bahan bakar UO2. 4. Di samping itu, bahan bakar ThO2 - UO2 mempunyai konduktivitas termal yang lebih tinggi pada temperatur operasi dan laju pelepasan gas fisi yang lebih rendah. Selain itu beberapa kelemahan sebagai bahan nuklir dari thorium yaitu 1. Dari sudut pandang neutronik, serapan resonansi epitermal Th233 lebih rendah dari pada 92U 238 yang dapat mengurangi reaktivitas.
7
2. Fraksi neutron
233 92U
dibandingkan dengan
lebih kecil dibandingkan
94Pu
239
235 , 92U
tetapi dapat
yang membutuhkan respon sistem kendali
yang lebih cepat untuk keadaan transient. 3. Thorium-232 merupakan material fertil yang harus di start up dengan mencampurkan material fisil seperti 92 U235 , 94Pu239 atau 92U233. 4. Transmutasi 91Pa233 yang memiliki tampang lintang serapan neutron tinggi dalam spektrum termal. Thorium nitrat tetrahidrat dicampur dengan 1 % cerium nitrat akan mengeluarkan sinar sangat terang bila dipanaskan. Bahan inilah yang mencemari tanah di lokasi pabrik kaos lampu menggunakan larutan tersebut untuk mencelup kaos lampu. Thorium nitrat sangat mudah larut dalam air dan alkohol, tetapi oksidanya sangat sulit larut dalam air maupun dalam suasana basa serta hanya sedikit larut dalam asam, maka pelarut air dapat digunakan dalam perkolasi. Pada dan
230 90Th
90Th
228
yang memancarkan radiasi gamma pada energi 0,084 MeV
mempunyai energi antara 0,07 - 0,25 MeV, juga anak luruhnya
memancarkan radiasi gamma. Limbah tanah terkontaminasi thorium berbentuk pasiran mengandung tanah liat, sehingga limbah tersebut inert terhadap air pelindih, sampel didapatkan dari laboratorium bidang pengolahan limbah radioaktif (BPLR - PTLR).
2.1.2 Sifat-sifat Thorium Thorium adalah unsur kimia dengan simbol Th, mempunyai nomor atom 90, tingkat oksidasi:4, konfigurasi elektron: (Rn)6d2 7s2 6d2 7s2 , massa jenis:11,7
8
g/cm3, titik didih : 47900C, titik leleh :17500C. Unsur ini secara alami merupakan logam radioaktif. Thorium diperkirakan tiga sampai empat kali lebih banyak daripada uranium di lapisan bumi. Thorium merupakan salah satu unsur logam transisi golongan III B dalam deretan unsur aktinida yang bersifat radioaktif. Thorium berwarna gelap, bereaksi lambat dengan air, larutan dalam beberapa senyawa asam seperti asam hidroklorid, asam sulfat dan asam nitrat. Di alam, thorium terdapat pada lapisan bumi, dan dalam jumlah sedikit. Thorium ditemukan dalam mineral monazite, thorite (thorium silikat), orangite, dan thorianite (mineral radioaktif yang tersusun dari thorium oksida dan uranium). (Surnardi, 2006) Beberapa sifat senyawa torium yang penting untuk analisa dapat diringkaskan sebagai berikut: Oksida. Torium oksida terbentuk akibat reaksi logam torium dengan oksigen atau dapat pula terbentuk dari hasil pemijaran suatu garam torium seperti torium hidroksida,torium oksilat dan torium nitrat. Torium oksida adlah persenyawaan torium yang sangat stabil, dimana titik lelehnya lebih dari 30000C. Senyawa ini larut dengan lambat dalam asam sulfat pekat, tetapi tidak larut dalam asam nitrat. Namun demikian ternyata torium oksida larut dengan baik dalam asam nitrat pekat yang mengandung ion Fluorida sekitar 0,01-0,05 M. Hidroksida.Torium hidroksida berujud padatan putih yang tidak larut dalam air ataupun dalam larutan alkali berlebih. Bila torium hidroksida baru saja terbentuk, maka endapan tersebut dapat larut dalam larutan alkali karbonat ataularutan
9
ammonium oksalat serta juga dalam larutan natrium nitrat. Seandainya dalam larutan torium ternyata mengandung ion Th+4 berlebih atau terkandung pula ion UO2+4 dan ion Fe+3, maka dapat terbentuk senyawa koloid.Dalam hal demikian torium dapat dilarutkan dengan jalan mendidihkannya bersama asam khlorida. Oksalat.Torium oksalat Th(C2O4)2.2H2O, didapat sebagai hasil penambahan asam oksalat panas dengan suatu larutan garam torium. Jika dalam larutan garam torium terdapat pula unsure-unsur tanah jarang, maka torium oksalat akan mengendap dengan sempurna pada pH = 0,7. Sebagainya bila larutan bebas dari unsure-unsur tanah jarang, maka torium diendapkan sempurna pada pH =1-2. Torium oksalat dapat larut dalam asam fosfat. Karena itu bila dalam larutan terdapat ion fosfat akan mengganggu proses pengendapan oksalat. Torium oksalat juga larut dalam alkali karbonat dan ammonium oksalat, tetapi tidak larut dalam asam-asam mineral. Sulfat. Torium sulfat bersifat sedikit larut dalam air dan memiliki gugus hidrat.Senyawa ini dibentuk dengan jalan penambahan asam sulfat kedalam larutan torium khlorida atau torium nitrat.Kelarutan torium sulfat lebih kecil dibandingkan dengan kelarutan logam-logam lantanida sulfat.Karena itu atas dasar perbedaan kelarutan ini,torium dapat dipisahkan.Akan tetapi bila dalam larutan ada ion fosfat, maka torium dapat membentuk komplek dengan fosfat.Akibatnya proses pemisahan torium dari unsure-unsur lantanida terganggu. Khlorida. Torium khlorida ThCl4.8H20 adalah garam hidrat yang sangat larut.Hidratnya sukar dihilangkan dengan sempurna.Garam torium ini berujud padatan putih yang sangat higroskopik. Titik lelehnya mencapai 8200C dan bila
10
bebas oksigen maka akan menyublim pada temperature 7500C.Tetapi bila ada oksigen, maka terbentuk oksi-khlorida yang tidak mengendap. Nitrat. Torium nitrat Th(NO3)4.6H20 adalah juga garam yang sangat larut.Susunan hidratnya cukup komplek dan strukturnya sukar ditentukan.Bila larutan asamnya dikristalkan,maka diperkirakan akan terbentuk senyawa heksa hidrat, tetapi dapat pula terbentuk penta hidrat atau tetra hidrat.Torium nitrat yang dipakai untuk pembuatan kaos lampu,ternyata memilki empat molekul air (tetra hidrat), tetapi asalnya mungkin dari senyawa heksa hidrat. Torium nitrat juga larut dalam berbagai senyawa organic, terutama dalam pelarut tri-butil fosfat (TBP). Kelarutan torium dalam pelarut ini ternyata lebih besar dibandingkan dengan kelarutan lantanida nitrat, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan kelarutan uranil nitrat. Sifat ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar pemisahan torium dengan cara ekstraksi pelarut. Fosfat. Torium ortofosfat berujud endapan gelatin yang terbentuk sebagai akibat penambahan ion fosfat kedalam larutan torium. Senyawa ini larut dalam asam kuat, tetapi kelaritannya menurun bila keasaman berkurang dan hal ini mengakibatkan torium akan mengendap lebih dahulu dibandingkan dengan unsure-unsur tanah jarang (lantanida). Bila dalam larutan terdapat ion besi atau ion aluminium, maka pengendapan torium fosfat akan terganggu, sebab ion-ion tersebut dapat membentuk komplek dengan fosfat. Torium ortofosfat larut dengan baik dalam asam sulfat.
11
2.2. Limbah Radioaktif Menurut Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia No.27 Tahun 2002, limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion yang tidak dapat digunakan lagi.
2.2.1. Pengolahan Limbah Radioaktif Pengelolaan limbah radioaktif adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan dan pengelompokan limbah, pengakutan, pra-olah, pengolahan, penyimpanan sementara, penyimpanan akhir. Pengolahan limbah adalah mengubah bentuk dan sifat limbah, dengan alat-alat proses.
Pada umumnya pengolahan limbah
radioaktif meliputi 2 tahap, yaitu reduksi volume dan solidifikasi. 1. Reduksi volume digunakan untuk memperkecil volume limbah, sehingga memudahkan proses selanjutnya. Reduksi volume limbah cair dilakukan antara lain dengan proses koagulasi - flokulasi, penukar ion, dan evaporasi, sedangkan untuk limbah padat dilakukan antara lain dengan proses insenerasi dan kompaksi. Limbah hasil reduksi volume yang berupa flok, resin bekas, konsentrat evaporator diimobilisasi dengan bahan matriks yang sesuai.
12
2. Solidifikasi disebut juga imobilisasi yaitu mengikat radionuklida dalam limbah hasil reduksi volume dengan matriks tertentu, sehingga radionuklida tidak mudah larut dan lepas ke lingkungan, jika hasil imobilisasi kontak dengan air.
Bahan matriks yang digunakan untuk
imobilisasi yaitu semen, bitumen, polimer, gelas, dan keramik, tergantung karakteristik limbah radioaktif.
2.2.2. Klasifikasi Limbah Radioaktif Berdasarkan atas karakteristik limbah radioaktif dan untuk pengelolaan jangka panjang, maka limbah radioaktif diklasifikasikan menjadi (Miyasaki, et al. 1996 dalam Martono, 2007): 1. Limbah radioaktif dengan aktivitas rendah dan menengah (LLW) yang mengandung radioisotop pemancar beta dan gamma berumur pendek (waktu paro kurang dari 30 tahun) dan konsentrasi radionuklida pemancar alfanya sangat rendah. Setelah 300 tahun potensi bahaya radiasinya dapat diabaikan. 2. Limbah radioaktif dengan aktivitas menengah (ILW) yang banyak mengandung radioisotop waktu paro panjang diantaranya golongan aktinida sebagai pemancar alfa, dan sedikit atau tanpa radionuklida pemancar gamma dapat disebut limbah transuranium (TRU). 3. Limbah radioaktif dengan aktivitas tinggi (HLW) yang banyak mengandung radioisotop hasil belah dan sedikit aktinida.
13
Klasifikasi
limbah
berdasarkan
waktu
paro
radionuklidanya
dan
pengelolaannya ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Limbah Berdasar Waktu Paro Radionuklidanya dan Pengelolaannya Klasifikasi No
5.
Karakteristik yang ditinjau
Limbah berumur Panjang Limbah Berumur Pendek
Limbah Alfa
Limbah Aktivitas Tinggi
1. Aktivitas awal radionuklida yang berwaktu paro kurang dari 30 tahun
Rendah, aktivitasnya dapat diabaikan setelah 300 tahun
Rendah atau sedang, aktivitasnya dapat diabaikan setelah 300 tahun
Sangat tinggi, aktivitas dapat diabaikan setelah beberapa ratus tahun
2. Aktivitas awal radionuklida yang berwaktu paro ratusan atau ribuan tahun
Nol atau sangat rendah, lebih kecil dari batas ambang yang ditetapkan
Rendah atau sedang
Rendah atau sedang
3. Radiasi yang dipancarkan
Yang terutama beta-gamma
Yang terutama alfa
Yang terutama betagamma selama beberapa ratus tahun, kemudian setelah itu yang terutama alfa
4. Radionuklida yang pokok
Sr-90 (30 th), Cs137 (30 th), Co-60 (5 th), Fe-55 (2,5 th)
Co-60, Sr-90, NpNp-237 (2 x 106 237, Pu-239, Amth), Pu-239 (2,4 x 104 th), Am-241 (4 241, Am-243 x 102 th), Am-243 (8 x 103 th)
Semen (sementasi) Plastik (polimerisasi)
Plastik (polimerisasi) Aspal (bitumenisasi)
Gelas (vitrifikasi)
Penyimpanan tanah dangkal
Penyimpanan tanah dalam untuk
Penyimpanan tanah dalam untuk isolasi
Bahan matriks untuk pemadatan 6. Tipe penyimpanan
14
akhir
untuk isolasi limbah selama 300 tahun
isolasi limbah selama jutaan tahun
limbah selama jutaan tahun
(Sumber : Salimin, 2006)
2.3.
Leaching dan Ekstraksi
2.3.1. Leaching Leaching (pelindihan) adalah peristiwa pelarutan terarah satu atau lebih senyawaan dari campuran padatan dengan cara mengontakkan dengan pelarut cair. Pelarut melarutkan sebagian bahan padatan sehingga bahan terlarut yang diinginkan dapat diperoleh. Teknologi leaching biasanya digunkan oleh indistri-industri logam untuk memisahkan mineral dari bijih dan batuan. Leaching dapat dibagi menjadi dua: 1. Percolation (Cair ditambahkan kedalam padat) Pelarut dikontakkan dengan padatan melalui proses tunak ataupun tak tunak. Metode ini lebih banyak digunakan untuk pemisahan campuran padatcair dimana jumlah padatan sangat besar dibandingkan fasa cair. 2. Dispersed Solids (padat ditambahkan kedalam cair) Pada metode ini, padatan dihancurkan terlebih dahulu menjadi pecahan kecil sebelum dikontakkan dengan pelarut. Metode ini popular karena tingkat kemurnian hasil proses sehingga dapat mengimbangi biaya operasi pemisahan yang tinggi.
15
Untuk kedua jenis leaching diatas, tiga variabel penting di dalam leaching yaitu temperatur, area kontak, dan jenis pelarut. Istilah leaching, baik secara sengaja maupun tidak, sering juga dirancukan dengan sebutan “ ekstraksi”. Demikian juga alatnya sering dirancukan dengan penamaan sebagai “ ekstraktor”. Prinsip kerja: Operasi leaching bisa dilakukan dengan sistem batch, semibatch, atau kontinu. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu tinggi untuk meningkatkan kelarutan solute di dalam pelarut. Perhitungan dalam operasi ini melibatkan 3 komponen, yaitu padatan, pelarut, solute. Asupan umumnya berupa padatan yang terdiri dari bahan pembawa tak larut dan senyawa dapat larut. Senyawa dapat larut inilah yang biasanya merupakan bahan atau mengandung bahan yang kita inginkan. Bahan yang diinginkan akan larut sampai titik tertentu dan keluar dari ekstraktor sebagai alir-atas. Padatan yang keluar kita sebut sebagai alir-bawah. Sebagaimana diuraikan di atas, alir-bawah biasanya basah karena campuran pelarut masih terbawa juga. Bagian atau persentasi solute yang dapat dipisahkan dari padatan basah/kering disebut rendemen. Sebelum proses leaching kita kerjakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan terhadap padatan untuk mendapatkan rendemen yang tinggi. Perlakuan awal terhadap padatan ini sangat bergantung kepada jenis padatanya. Bahan organik dan anorganik akan bergantung pada kontak pelarut dengan solute, sehingga perlu perlakuan awal untuk memperluas permukaan kontak. Umumnya hal yang dilakukan adalah memperkecil ukuran padatan
16
(grinding) dengan alat yang disebut grinder. Grinding ini bisa dilakukan pada batuan, tau tanah dan lain-lain.
2.3.2. Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu metode operasi yang digunakan dalam proses pemisahan suatu komponen dari campuran cair dengan menggunakan sejumlah bahan pelarut cair (solvent) sebagai tenaga pemisah. Apabila komponen yang akan
dipisahkan (solute) berada dalam fase padat, maka proses tersebut
dinamakan pelindihan atau leaching. Jadi ekstraksi terjadi jika larutan yang di dalamnya terdapat kelompok zat terlarut (solute) C dalam diluen A, kemudian ditambahkan larutan B (solvent) yang melarutkan C dan B tidak saling larut dengan A. Ekstraksi padat-cair dikerjakan dengan alat sokhlet, dimana pada ekstraksi ini terjadi kesetimbangan komponen diantara fase padat dan fasa cair (pelarut) (Isa,1996). Apabila suatu zat terlarut dimasukkan ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur, maka zat terlarut akan terdistribusi diantara dua pelarut tersebut.
Pada suhu dan tekanan tetap, perbandingan banyaknya zat yang
terdistribusi dalam dua pelarut adalah tetap (Weis,1983). Ekstraksi padat cair atau leaching adalah peristiwa pelarutan terarah satu atau lebih senyawaan dari campuran padatan dengan cara mengontakkan dengan pelarut cair. Proses ini merupakan proses yang bersifat fisik karena komponen
17
terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam pelarut pengekstraksi. Ekstraksi bertingkat diperlukan apabila padatan hanya sedikit larut dalam pelarut. Namun sering juga digunakan pada padatan yang larut karena efektivitasnya (Lucas et al.,1949). Proses pemisahan dengan cara ekstraksi terdiri dari tiga langkah dasar. 1. Proses pencampuran sejumlah massa bahan ke dalam larutan yang akan dipisahkan komponen–komponennya. 2. Proses pembentukan fase setimbang. 3. Proses pemisahan kedua fase setimbang. Sebagai tenaga pemisah, solvent harus dipilih sedemikian hingga kelarutannya terhadap salah satu komponen murninya adalah terbatas atau sama sekali tidak saling melarutkan. Oleh karena itu, dalam proses ekstraksi akan terbentuk dua fase cairan yang saling bersinggungan dan selalu mengadakan kontak yang merupakan larutan heterogen. Campuran heterogen adalah campuran dimana 2 fase yang bercampur nampak bidang batasnya. Fase yang banyak mengandung diluen (zat terlarut) disebut fase rafinat, sedangkan fase yang banyak mengandung solven dinamakan fase ekstrak.
Terbentuknya dua fase cairan,
memungkinkan semua komponen yang ada dalam campuran terbesar dalam masing–masing fase sesuai dengan koefisien distribusinya, sehingga dicapai kesetimbangan fisis. Pemisahan kedua fase setimbang dengan mudah dapat dilakukan jika densitas fase rafinat dan fase ekstrak mempunyai perbedaan yang cukup. Tetapi
18
jika densitas keduanya hampir sama proses pemisahan semakin sulit, sebab campuran tersebut cenderung untuk membentuk emulsi.
Di bidang industri,
ekstraksi sangat luas penggunaannya terutama jika larutan yang akan dipisahkan tediri dari komponen-komponen : 1. Mempunyai sifat penguapan relatif rendah. 2. Mempunyai titik didih yang berdekatan. 3. Sensitif terhadap panas. 4. Merupakan campuran azeotrop, yaitu campuran dimana fraksi mol dalam cairan sama dengan fraksi mol dalam uap. Komponen–komponen
yang
terdapat
dalam
larutan,
menentukan
jenis/macam solvent yang digunakan dalam ekstraksi. Pada umumnya, proses ekstraksi tidak berdiri sendiri, tetapi melibatkan operasi–operasi lain sepeti proses pemungutan kembali solven dari larutannya (terutama fase ekstrak), hingga dapat dimanfaatkan kembali sebagai tenaga pemisah. Untuk maksud tersebut, banyak cara yang dapat dilakukan misalnya dengan metode distilasi, pemanasan sederhana atau dengan cara pendinginan untuk mengurangi sifat kelarutannya. (Gozan, 2006)
2.3.3. Kriteria pelarut (solvent) Untuk
memperoleh
hasil
sebaik–baiknya
dalam
ekstraksi,
tidak
dapat
menggunakan sembarang solvent. Namun solvent tersebut harus dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut (Gozan, 2006).
19
1. Mempunyai kemampuan melarutkan solute tetapi sedikit atau tidak sama sekali melarutkan diluen. 2. Mempunyai perbedaan titik didih yang cukup besar dengan solute. 3. Tidak bereaksi dengan solute maupun diluen.
2.4. Resin Penukar Ion Resin penukar ion adalah suatu polimer yang terdiri dari dua bagian yaitu matriks resin yang sukar larut dan gugus fungsional. Penukar ion adalah suatu zat padat yang mempunyai ion yang dapat saling dipertukarkan dengan ion dari suatu larutan yang mempunyai muatan yang sama. Penukar ion mempunyai gugus yang mudah terionisasi, sehingga dapat mengalami reaksi pertukaran apabila penukar ion kontak dengan larutan. Gugus fungsional adalah gugus yang mengandung ion-ion yang dapat saling dipertukarkan. Sebagai zat penukar ion, resin mempunyai karakteristik yang berguna dalam analisis kimia, antara lain kemampuan menggembung (swelling), kapasitas penukaran dan selektivitas penukaran ion. Penggunaannya dalam analisis kimia misalnya untuk menghilangkan ion-ion pengganggu, memperbesar konsentrasi jumlah ion-ion renik, proses deionisasi air atau demineralisasi air, memisahkan ion-ion logam dalam campuran dengan kromatografi penukar ion.
20
Resin penukar ion dibedakan menjadi dua yaitu penukar kation dan penukar anion. Penukar ion mengandung bagian-bagian aktif dengan ion yang dapat ditukar. Bagian aktif semacam itu misalnya adalah (Bernasconi, 1995) : 1. Pada penukar kation (kelompok asam sulfo – SO3-H+ (dengan sebuah ion H+ yang dapat ditukar)) 2. Pada penukar anion (kelompok amonium kuartener –N- (CH3)3+OH(dengan sebuah ion OH- yang dapat ditukar). Terdapat 4 jenis resin yang sering dipergunakan dalam pengolahan air : 1. Resin penukar kation asam kuat terbuat dari plastik atau senyawa polimer yang direaksikan dengan beberapa jenis asam seperti asam sulfat, asam fosfat, dan sebagainya. 2. Resin penukar kation asam kuat ini mempunyai ion hidrogen (R- H+), dengan adanya ion H+ yang bermuatan positif maka resin ini sering dipergunakan
untuk
mengambil
ion-ion yang bermuatan positif.
(Montgomery, 1985) 3. Resin penukar kation asam lemah terbuat dari plastik atau polimer yang direaksikan dengan grup asam karboksil dengan demikian grup (COOH-) sebagai penyusun resin. Resin kation penukar asam lemah diperlukan kehadiran alkalinitis untuk melepas ion hidrogen dari resin. (Montgomery, 1985) 4. Resin penukar anion basa kuat terbuat dari plastik atau polimer yang direaksikan dengan gugus senyawa amina atau amonium.
21
Sifat-sifat penting yang diharapkan dari penukar ion adalah daya pengambilan (kapasitas) yang besar, selektivitas yang besar, kecepatan pertukaran yang besar, ketahanan terhadap suhu, ketahanan terhadap penukar ion yang telah terbebani dapat dilakukan dengan mudah, karena pertukaran ion merupakan suatu proses yang sangat reversibel. (Bernasconi,1995). Ada 2 variabel utama yang menentukan ion selektivitas, yaitu : 1. Harga atau nilai ion (harga ion berpengaruh besar pada kekuatan besar pertukaran ion).
2. Ukuran ion (Montgomery,1985) : a. Pada konsentrasi rendah (encer) dan temperatur biasa, luas pertukaran meningkat dengan meningkatnya valensi dari pertukaran ion : Th4+ > Al3+ > Ca2+ > Na+ PO43- > SO42- > Clb. Pada konsentrasi rendah (encer, temperatur biasa dan valensi konstan) luas pertukaran meningkat dengan meningkatnya nomor atom pada luas pertukaran ion Cs+ > Rb+ > K+ > Na+ > Li + Ba 2+ > Sr2+ > Ca2+ > Mg2+ > Be2+ c. Pada konsentrasi tinggi, perbedaan kekuatan pertukaran ion dengan perbedaan valensi (Na+ dan Ca2+ atau NO3- dan SO42-) berkurang dan pada kasus yang sama, pada ion dengan valensi rendah mempunyai pertukaran ion yang tinggi.
22
Gambar berikut merupakan rumus bangun dari resin penukar ion yang merupakan resin penukar kation (Gambar 1) dan resin penukar anion (Gambar 2).
Gambar 1. Rumus bangun resin penukar kation
Gambar 2. Rumus bangun resin penukar anion
2.4.1. Mekanisme Pertukaran Resin dengan Ion Thorium Resin yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis resin penukar kation amberlite IR 120 Na. Amberlite merupakan nama dalam perdagangan dari senyawa kimia Styrena-divinylbenzena dengan kode IR 120 Na dan rumus
23
C6H5CH=CH2, mempunyai efisiensi katalis yang tinggi dalam mengkatalisis reaksi senyawa-senyawa lain, mempunyai titik didih diatas 100 0C dan daya larut yang kecil terhadap air sebesar 0,24 gram/liter. Senyawa ini berwarna coklat mengkilat dan berbentuk butiran dengan ukuran 16 - 50 mesh, yang rumus bangunnya ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Rumus bangun amberlite IR 120 Na
Tabel 2. Karakteristik amberlite IR 120 Na Kekuatan pengadukan
10 - 15 ppm
ρ (densitas)
0,909 gram/ml pada suhu 25 0C
Indeks bias
1,5458 (20 0C, 589 nm)
Tekanan uap
6 hPa
Daya larut dalam air
0,24 gram/liter
M (Berat Molekul)
104,15 gram/mol
Titik Jenuh
25,6 mg/liter
Titik didih
145 0C
24
Suhu Pembakaran
480 0C
Daya ledak
1,1 - 8,9 mol %
(Nasution, Syawaluddin 2009) Resin penukar kation asam kuat merupakan resin yang sering dipergunakan dalam mengambil ion-ion yang bermuatan positif. Pada operasionalnya resin penukar kation asam kuat ini mempunyai ion hidrogen (R-, H+), dengan adanya ion H+ yang bermuatan positif maka resin ini sering dipergunakan untuk mengambil ion-ion yang bermuatan positif (Montgomery, 1985). Resin penukar kation dapat menyerap thorium, yaitu thorium oksida (ThO2) ditambah dengan HNO3 sehingga terbentuk [Th(NO3)4] , persamaan reaksinya dapat ditulis sebagai berikut : ThO2 + 4HNO3
Th(NO3)4
+ 2H20
Pada pembentukan perlu ditentukan banyaknya
HNO3 supaya yang
terbentuk cukup banyak sehingga thorium yang terserap juga banyak. Jika yang ditambahkan terlalu banyak maka larutan mengandung HNO3 bebas dan akan diserap resin sehingga kapasitas untuk menyerap ion menjadi berkurang. Ion yang terbentuk stabil. Proses penukaran ion meliputi penyerapan ion-ion tersebut secara selektif dan kuantitatif oleh resin penukar kation, dengan reaksi sebagai berikut :
4R- Na+ + Th(NO3)4
R-4Th + 4Na NO3
25
Gambar 4. berikut ini merupakan tempat terikatnya ion kedalam struktur resin amberlite IR 120 Na dimana kedudukan dari ion natrium (Na+) akan ditempati oleh ion Th(NO3)4.
Gambar 4. Tempat terikatnya ion thorium nitrat dengan resin amberlite IR 120 Na 2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertukaran Ion Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pertukaran ion (Dofner, 1995) adalah : 1. pH Ada penukar ion penguraian gugus ionogenik tidak peduli pH, ada pula yang sangat dipengaruhi oleh pH sesuai kekuatan asam basanya. Gugus OH fenolik atau asam karboksilat tidak terurai pada pH rendah, maka kapasitas penukarannya baru optimum pada pH larutan alkali dan pH efektif penukar ion untuk jenis anion basa kuat pada rentang pH 0 – 14. 2. Kecepatan aliran Kecepatan aliran mempengaruhi proses pertukaran ion. Semakin cepat debit aliran yang ditetapkan dalam proses pertukaran ion, semakin sedikit banyaknya ion yang dapat dipertukarkan.
Sedangkan semakin
lambat kecepatan aliran yang ditetapkan dalam proses pertukaran ion, semakin besar banyaknya ion yang dipertukarkan. Hal ini dikarenakan
26
semakin cepat aliran maka semakin sedikit waktu kontak antara bahan dengan resin penukar ion. 3. Konsentrasi ion terlarut Semakin tinggi konsentrasi ion larutan yang akan dipertukarkan, semakin lambat kecepatan aliran sehingga makin banyak ion yang dipertukarkan pada reaksi pertukaran ion dan semakin rendah konsentrasi ion larutan yang akan dipertukarkan, sedikit ion yang dipertukarkan.
4. Tinggi media penukar ion Semakin tinggi media penukar ion yang terdapat dalam kolom pertukaran, semakin banyak ion dalam larutan yang akan dipertukarkan. Hal ini disebabkan semakin tinggi resin yang dipergunakan maka semakin banyak resin dalam kolom resin. 5. Suhu Pertukaran ion dipengaruhi suhu, akan tetapi secara praktis peningkatan suhu tidak cukup untuk menyebabkan pertambahan laju proses. Operasi suhu tinggi baru bermanfaat bila larutan semula memang pada suhu tersebut atau bila larutan terlalu kental pada suhu ruang. 6. Adsorpsi Adsorpsi merupakan fenomena yang berkaitan erat dengan permukaan dimana terlibat antara molekul yang bergerak (cairan atau gas) dengan molekul yang relatif diam yang mempunyai permukaan atau antar muka (Hermanto, 2006). Adsorbat adalah substansi yang dipindahkan dari
27
fase cair dipermukaan. Adsorben adalah fase padat dimana akumulasi penyerapan berlangsung. Adsorpsi ion sangat dipengaruhi oleh sifat dari adsorben.
Ion-ion yang terpolarisasi akan diserap pada permukaan
adsorben yang terdiri dari molekul-molekul atau ion-ion polar. karena itu adsorpsi ion tersebut juga adsorpsi polar.
Oleh
Daerah yang
mempunyai suatu muatan tertentu akan menyerap ion-ion yang berlawanan muatan sedangkan ion-ion yang bermuatan sama tidak langsung diserap tetapi tinggal diikat ion-ion terserap.
Adanya gaya
elektrostatik kemudian membentuk lapisan dobel elektrik dengan ion-ion yang diserap pada permukaan adsorben. Proses adsorpsi terjadi jika adsorban dimasukkan ke dalam larutan senyawa, maka pada permukaan adsorban terjadi kenaikan konsentrasi senyawa secara berangsur-angsur atau bertahap, sementara itu terjadi pengurangan konsentrasi pada larutan. Hal ini terus berlangsung sehingga terjadi kesetimbangan antara laju adsorpsi dan laju desorpsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi : 1) Sifat fisik dan kimia dari adsorben : luas permukaan, ukuran pori-pori, komposisi kimia dan sebagainya. 2) Sifat kimia dari adsorbat : ukuran molekul, polaritas molekul, komposisi kimia dan sebagainya. 3) Sifat dari fase cair : pH, suhu dan sifat-sifat dari fase gas seperti suhu dan tekanan. 4) Konsentrasi dari adsorbat untuk fase cair.
28
5) Waktu kontak antara absorbat dengan adsorben.
2.5. Analisis Low Background Counting (LBC) Alat cacah berlatar sangat rendah sistem alfa/beta (Low background Counting) adalah alat cacah yang secara khusus dirancang untuk mengukur contoh yang memiliki aktivitas sangat rendah, yang memancarkan radiasi alfa/beta atau keduanya.
Alat cacah tersebut terdiri atas beberapa rangkaian
elektronik, meliputi alat cacah proposional yang dialiri gas dan komponenkomponen mekanik lain yang dapat bekerja secara otomatis.
Alat cacah ini
menggunakan aliran gas P-10 yaitu campuran 90 % argon dan 10 % metan.
2.5.1. Perangkat alat Low Background Counting (LBC) terdiri dari: 1. High Voltage (HV) Sumber tegangan tinggi yang dihubungkan dengan detektor yang menimbulkan medan listrik. 2. Detektor GFP (Gas Flow Proportional) Berfungsi untuk mendeteksi pulsa suatu unsur dimana partikel alfa/beta yang dipancarkan oleh radionuklida akan ditangkap oleh detektor. 3. Penguat awal (PreAmplifier) Berfungsi dalam menjadi tegangan pada pulsa pendahuluan dan untuk mengadakan perubahan muatan menjadi tegangan pada pulsa keluaran detektor.
29
4. Penguat (Amplifier) Berfungsi untuk mempertinggi pulsa dan memberi bentuk pulsa. 5. Diskriminator Berfungsi untuk menyaring apakah suatu pulsa listrik keluaran amplifier diteruskan ke counter atau tidak.
6. Counter Berfungsi untuk mencacah (menghitung jumlah) pulsa listrik yang memasukinya. Selang waktu pencacahan dapat dilakukan secara manual (start/stop) atau secara otomatis. 7. Unit Pengolahan Data Berfungsi untuk menggambarkan spektrum energi sinar alfa/beta dengan keluaran berupa energi, luas area,dan waktu cacahan.
Prinsip kerja alat Low Background Counting (LBC) proses interaksi partikel alfa/beta dengan detektor adalah ionisasi elektron lepas dari atomnya ketika menyerap energi radiasi alfa/beta yang melaluinya. Apabila energi partikel alfa/beta dapat diserap seluruhnya maka akan terbentuk elektron jumlahnya sebanding dengan energi alfa/beta. Jumlah muatan yang terbentuk tersebut akan dikumpulkan oleh anode dan katode detektor dan dikonversikan menjadi pulsa listrik. Tinggi pulsa yang dihasilkan tersebut sebanding dengan jumlah elektron
30
atau sebanding dengan energi radiasi alfa /beta. Sinyal yang dilepas oleh detektor akan ditampung oleh preamplifier yang akan melakukan penguatan awal terhadap sinyal dan kemudian akan terjadi penguatan akhir baru diskriminator untuk menyaring apakah suatu pulsa listrik keluaran amplifier diteruskan ke counter atau tidak. Setelah sampai di counter untuk dicacah (menghitung jumlah) pulsa listrik yang memasukinya. Selang waktu pencacahan dapat dilakukan secara manual (start/stop) atau secara otomatis menggunakan serta pembentukan sinyal. Personal Computer (PC) merupakan komputer digital kecil yang digunakan untuk menyimpan data, menampilkan, dan mengolah hasil cacahan energi radiasi. Skema dari alat Low Background Counting (LBC). ditampilkan pada Gambar 5. Amplifier
Diskriminator
Counter
PC Komputer
Preamplifier Detektor. GFP
Printer
HV
Gambar 5. Skema alat Low Background Counting. Tempat sampel dengan lobang kode sensor diperlihatkan pada Gambar 6. Lobang tersebut mempunyai bobot nilai tertentu sesuai kedudukan bitnya. Posisi sensor foto transistor pada LBC LB1500 Tennelec diperlihatkan pada Gambar 7.
31
Gambar 6. Tempat sampel dengan lobang kode sensor Cara kerja gerakan mekanik LBC LB5100 Tennelec sebagai berikut: 1. Tempat sampel disusun sesuai sampel yang diinginkan di sebelah kanan. 2. Gerakan panah 1 untuk membaca nomor sampel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. 3. Tumpukan sampel akan turun ke bawah, karena sampel terbawah bergerak ke kiri. 4. Gerakan panah 2 dilakukan untuk memasukkan sampel tersebut ke tempat detektor. 5. Pencacahan sampel tersebut dilakukan. 6. Setelah selesai pencacahan sampel dikeluarkan dengan gerakan panah 3. 7. Setiap gerakan akan mendorong sampel ke arah yang dituju. 8. Langkah 2 diulangi untuk mencacah sampel berikutnya sampai seluruh sampel terbaca oleh komputer.
32
9. Seluruh gerakan dan pencacahan dilakukan secara otomatis dalam refurbishing secara total. Sampel yang telah dicacah akan terdorong ke kiri dan menumpuk secara teratur di bagian kiri. 10. Jika seluruh sampel telah dicacah, maka sensor akan membaca tepat sampel END, sehingga seluruh kegiatan telah selesai. 11. Hasil pencacahan dari beberapa sampel tersebut, selanjutnya dapat disimpan
dalam
bentuk
file.
Data
file
kemudian
diolah.
(SUMANTO,J.2009.)
Gambar 7. Posisi sensor foto transitor pada mesin LBC LB1500
33
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April - Nopember 2010. Tempat penelitian serta laboratorium untuk menganalisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN, kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang.
3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat pencacah alfa beta latar rendah atau Low Background Counting (LBC) digunakan untuk analisis thorium. 3.2.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah limbah thorium Pabrik Kaos Lampu, aquades, asam nitrat, dan resin penukar kation, kertas pH universal, Resin penukar kation yang digunakan dalam percobaan jenis Amberlite IR 120 Na dari Rohm and Haas France S.A.S.
34
3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Penentuan Waktu Kontak Untuk menentukan waktu kontak optimum pada variasi waktu dengan berat tanah 200 gram/500 ml air.
Beberapa botol rolling dipersiapkan dan
masing-masing diisi dengan tanah 200 gram yang mengandung thorium, kemudian ditambah aquades sebanyak 500 ml, ke dalam masing-masing tabung rolling, dan dikocok (rolling) dengan variasi waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam dengan berat tanah yang sama sebanyak 200 gram/500 ml air. kemudian dilakukan cara yang sama diatas sampai analisis kandungan thorium dengan alat Low Background Counting (LBC).
3.3.2. Penentuan Perbandingan Berat Tanah dan Air dalam Pelindihan. Botol rolling dipersiapkan dan diisi dengan 40 gram/tanah yang mengandung thorium, kemudian ditambah aquades sebanyak 500 ml, dimasukkan ke dalam tabung rolling, kemudian dikocok (rolling) selama 4 jam. Percobaan yang sama dilakukan untuk variasi sampel tanah 40, 80, 120, 180, 200, 240, 280 gram. Setelah pelindihan kemudian sampel disaring untuk diambil filtratnya dan dianalisis dengan Low Background Counting (LBC). Sebelum analisis filtratnya di pekatkan dari 500 ml menjadi 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam planset. Planset di sinari menggunakan lampu sampai larutan kering. Thorium kering di analisis dengan alat Low Background Counting (LBC).
35
3.3.3. Penentuan Pengaruh pH pada Thorium Tanah yang mengandung thorium ditimbang seberat 280 gram ke dalam botol media. Larutan HN03 3,5 ml kemudian dimasukkan kedalam labu ukur dan aquades sisa nya sampai 500 ml pH=1, larutan ini dan 280 gram tanah yang mengandung thorium dimasukkan ke dalam botol media kemudian di rolling selama 4 jam.
Larutan disaring lalu filtratnya diambil untuk dipekatkan sampai
seukuran planset kemudian larutan thorium disinari dengan lampu sampai kering, sampel dianalisis dengan alat Low Background Counting (LBC). Percobaan yang sama untuk sampel selanjut nya dengan variasi volume asam nitrat dengan pengenceran dari pH 1 kemudian diambil 0,35 ml pada pH 2, begitu juga selanjutnya asam nitrat 35 μl pada pH 3, asam nitrat 3,5 μl pada pH 4, asam nitrat 0,35 μl pada pH 5. Cara perhitungan untuk membuat larutan tersebut adalah: N1.V1 = N2 .V2 N2 = %.10.BJ/BM Keterangan: VI = Volume pengenceran NI = Normalitas Pengenceran V2 = Volume asam nitrat pekat % = Kadar asam nitrat pekat (65 %) BJ = Berat jenis asam nitrat pekat (1.39) BM = Berat molekul asam nitrat pekat (63)
36
3.3.4.
Penentuan Waktu Kontak pada Penyerapan Larutan Thorium dengan Resin Penukar Kation. Larutan hasil pelindihan dari tanah
yang mengandung thorium
280
gram/500 ml air waktu kontak 4 jam dan pH 4 merupakan hasil terbaik. Thorium dari larutan ekstrak diserap dengan resin penukar kation amberlite IR 120 Na. Larutan ekstrak sebanyak 500 ml ditambah 1 gram resin amberlite IR 120 Na kemudian dirolling dengan variasi waktu 20, 40, 60, 80 menit. Sebelum dan setelah rolling larutan dianalisis dengan alat Low Background Counting (LBC).
37
Mulai
Permasalahan
Persiapan Bahan Limbah thorium
pelarut Rolling
Penentuan Waktu Kontak Penentuan Perbandingan Berat Tanah dan Volume Air dalam Pelindihan.
Penentuan Pengaruh pH pada Pelindihan Thorium
Studi literatur
Thorium dengan. Penambahan resin Amberlite IR 120 Na dan Variasi waktu 20, 40,60, 80, (menit)
Data hasil percobaaan
Pengolahan data
Analisis & pembahasan
Kesimpulan
Laporan
Gambar 8. Diagram Alir Metodologi Penelitian (Sumber : Hasil Analisis, 2011)
38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Waktu Kontak Telah dicoba imobilisasi langsung tanah tercemar thorium dari pabrik kaos lampu petromaks dengan polimer epoksi dan polimer poliester tak jenuh. Imobilisasi tanah tercemar thorium lebih baik menggunakan polimer poliester tak jenuh dari pada polimer epoksi (Jaka, 2010). Namun penggunaan polimer untuk imobilisasi tanah tercemar akan perlu polimer yang banyak, sehingga dicari alternatif lain yaitu leaching (pelindihan) thorium dari tanah menggunakan solven. Solven yang digunakan adalah air dan asam nitrat. Pada umumnya leaching thorium dapat dipengaruhi antaralain oleh: Temperatur , Besar butir, Waktu kontak, Tehnik bacth (rolling), Jenis pelarut, Konsentrasi Thorium. Hasil pengambilan thorium dari tanah dilakukan dengan proses leaching (pelindihan) yang merupakan ekstraksi padat-cair menggunakan pelarut polar yaitu air. Tujuan pelindihan di laboratorium untuk mencari komposisi terbaik yang akan digunakan untuk proses selanjutnya. Hasil pelindihan thorium oleh air pada berbagai waktu kontak ditampilkan pada Gambar 9 dan 10. Adanya thorium dinyatakan dengan pengukuran radioaktivitas alfa dan beta.
39
Gambar 9. Hubungan waktu kontak tanah terkontaminasi dan air terhadap thorium terlindih yang dinyatakan dengan aktivitas alfa dalam pelarut air untuk perbandingan tanah 200 gram/air 500 ml.
Gambar 10. Hubungan waktu kontak tanah terkontaminasi dan air terhadap thorium terlindih yang dinyatakan dengan aktivitas beta dalam pelarut air untuk perbandingan tanah 200 gram/air 500 ml. Berdasarkan Gambar 9 dan 10 tampak bahwa dengan bertambahnya waktu kontak, maka aktivitas alfa dan beta semakin meningkat. Hal ini karena makin lama waktu kontak tanah terkontaminasi thorium dan air, maka kelarutan thorium dalam air bertambah. Hubungan waktu kontak tanah terkontaminasi dan air terhadap thorium terlindih yang dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta dalam
40
pelarut air untuk perbandingan tanah 200 gram/air 500 ml, dinyatakan dengan persamaan : Untuk aktivitas alfa: y = 2.527x + 8.061 R² = 0.899 Untuk aktivitas beta: y = 6.168x + 49.29 + 43.29 R² = 0.981 Dimana y = thorium terlindih dinyatakan aktivitas dan x = waktu (jam). Waktu kontak tanah terkontaminasi dan air 4 jam merupakan waktu kontak optimum untuk proses pelindihan thorium. Pada kondisi tersebut, penambahan waktu kontak tidak memberikan penambahan thorium terlindih yang berarti. Waktu 4 jam digunakan untuk lama proses pelindihan selanjutnya. Pada waktu 4 jam thorium yang terlindih dinyatakan dengan aktivitas alfa 11,67 Bq dan aktivitas beta 54,64 Bq.
4.2. Pengaruh berat tanah dan air. Hasil pengambilan thorium dari tanah dilakukan dengan proses leaching (pelindihan) dengan variasi berat tanah per 500 ml air selama 4 jam. Hasil pelindihan thorium yang dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta ditampilkan pada Gambar 11 dan 12.
41
Gambar 11. Perbandingan berat tanah/500 ml air dengan waktu kontak 4 jam terhadap thorium terlindih yang dinyatakan aktivitas alfa dalam pelarut air
Gambar 12. Perbandingan berat tanah/500 ml air dengan waktu kontak 4 jam terhadap thorium terlindih yang dinyatakan aktivitas beta dalam pelarut air Dari Gambar 11 dan 12 di atas diperoleh perbandingan hasil pelindihan terbaik pada tanah/air pada 280 gram tanah/500 ml air. Hubungan berat tanah dan aktivitas terlindih dinyatakan menggunakan persamaan garis polinomial orde 3 diperoleh persamaan : Untuk aktivitas alfa: y = 0.267x – 17.03
42
R² = 0.900 Untuk aktivitas beta: y = 0.855x - 41.65 R² = 0.966 Dimana y = thorium terlindih dinyatakan aktivitas dan x = berat tanah. Pada kondisi tersebut aktivitas alfanya sebesar 59,65 Bq dan betanya 189,2 Bq. Dalam penelitian ini berat tanah 40 gram/500 ml air merupakan berat tanah yang paling kecil. Pada berat tanah tersebut didapatkan aktivitas alfa sebesar 0,96 Bq sedangkan beta 6,18 Bq . Semakin bertambahnya berat tanah/500 ml air maka thorium yang terserap oleh air juga semakin bertambah, karena bertambahnya thorium sampai diperoleh kejenuhan larutan.
4.3. Pengaruh pH terhadap pelindihan thorium dari tanah Hasil pengambilan thorium dari tanah dilakukan dengan proses leaching (pelindihan) pada berbagai pH atau dengan larutan asam nitrat. Hasil ekstraksi ditampilkan pada Gambar 13 dan Gambar 14.
Gambar 13. Pengaruh pH terhadap thorium terlindih dinyatakan aktivitas alfa dalam larutan dengan waktu kontak 4 jam dan perbandingan tanah 280 gram/air 500ml.
43
Gambar 14. Pengaruh pH terhadap thorium terlindih yang dinyatakan aktivitas beta dalam larutan dengan waktu kontak 4 jam dan perbandingan tanah 280 gram/air 500 ml. Pada pengamatan laju pelindihan thorium dari tanah dengan air pada berbagai pH, waktu kontak 4 jam dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta. Hubungan pH dan thorium terlindih yang dinyatakan dengan aktivitas, diperoleh persamaan : Untuk aktivitas alfa: y = 18.09x + 40.05 R2 = 0.951 Untuk aktivitas beta: y = 14.32x + 123.4 R² = 0.982 Dimana y = thorium terlindih dinyatakan aktivitas dan x = pH . Dari Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa thorium terlindih mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pH, sedangkan pada pH 4 relatif thorium terserap optimum. Pada penambahan HNO3 diperoleh ekstrak yang bersifat asam. Hal ini
44
karena penambahan asam nitrat sedikit akan meningkat Th sebagai Th(NO3)2 sehingga thorium yang terlindih besar. Penambahan asam nitrat berikutnya akan terjadi HNO3 bebas sehingga pH makin kecil, maka thorium yang terlindih makin kecil pula. Pada ekstraksi tanpa penambahan asam nitrat dan resin amberlite IR 120 Na pH nya adalah 9 dan penyerapan itu ternyata aktivitas alfa = 90,65 Bq dan beta 137,75 Bq. Rendahnya aktivitas thorium dalam ekstraksi awal tanpa penambahan asam nitrat dan resin IR 120 Na adalah karena membentuk OH(suasana basa), membentuk Th(OH)4, endapan dengan air mengendap tidak terlindih kedalam air.
4.4. Penentuan Waktu Kontak Penyerapan Thorium Oleh Resin Penukar
Kation. Dalam penelitian ini akan ditentukan penyerapan thorium oleh resin penukar kation amberlite IR 120 Na, beserta waktu kontak optimumnya. Dari pengontakan resin penukar kation amberlite IR 120 Na dengan limbah thorium diperoleh hubungan waktu kontak dan efisiensi penyerapan thorium yang ditunjukkan pada Gambar 15 dan Gambar 16.
45
Gambar 15. Hasil penyerapan thorium oleh resin amberlite IR 120 Na terhadap persen penyerapan thorium yang dinyatakan dengan aktivitas alfa pada berbagai waktu kontak resin dan larutan thorium.
Gambar16. Hasil penyerapan thorium oleh resin amberlite IR 120 Na terhadap persen penyerapan thorium yang dinyatakan dengan aktivitas beta pada berbagai waktu kontak resin dan larutan thorium.
Pada pengamatan hasil larutan thorium yang diperoleh
tanah/air 280
gram/500 ml diserap dengan resin amberlite IR 120 Na dengan berbagai variasi waktu yang dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta. Hasil perhitungan dibuat ke
46
dalam grafik menggunakan persamaan garis polinomial orde 3 diperoleh persamaan : Untuk aktivitas alfa: y = 8E-05x3 - 0.019x2 + 1.515x + 20.11 R² = 1 Untuk aktivitas beta: y = 0.000x3 - 0.036x2 + 2.316x + 7.9 R² = 1 Dimana thorium terserap dinyatakan % penyerapan dan x = waktu kontak (menit). Dari Gambar 15 dan Gambar 16 terlihat bahwa waktu kontak yang optimum adalah 60 menit, karena pada waktu kontak 60 menit, penambahan waktu yang panjang hanya menambah efisiensi penyerapan yang relatif kecil. Makin lama waktu kontak, maka thorium yang terserap makin banyak karena waktu yang diperoleh untuk reaksi cukup. Ini berarti efisiensi penyerapanya makin besar. Pada waktu kontak 60 menit diperoleh efisiensi pemisah 60,71 % (dinyatakan dengan aktivitas alfa) dan 57,90 % (dinyatakan dengan aktivitas beta). Waktu kontak 60 menit dapat dianggap sebagai waktu optimum yang digunakan sebagai waktu tinggal larutan thorium dalam resin kolom penukar kation amberlite IR 120 Na pada operasi secara kontinyu (proses alir). Resin kation termasuk asam kuat ini mempunyai ion hidrogen (R-, H+), dengan adanya ion H+ yang bermuatan positif. maka resin ini sering dipergunakan untuk mengambil ion-ion yang bermuatan positif.
47
BAB V KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengambilan thorium dari tanah terkontaminasi thorium dengan air dan larutan asam, hasil optimum diperoleh pada waktu kontak 4 jam, perbandingan tanah/air 280 gram/500 ml, pH4. 2. Penyerapan larutan thorium dalam ekstrak yang diperoleh dengan resin penukar kation amberlite IR 120 Na, diperoleh waktu kontak optimum 60 menit dengan efisiensi pemisahan 60,71% (dinyatakan dengan aktivitas alfa) dan 57,90 % (dinyatakan dengan aktivitas beta).
48
DAFTAR PUSTAKA Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: ANDI Aisyah. 2004. Pengaruh Keasaman Dan Kandungan Limbah Pada Imobilisasi Limbah TRU Dari Instalasi Radiometalurgi Dengan Polimer, Hasil Penelitian Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif 200., Jakarta: P2PLR Aisyah, dkk. 2006. Pengolahan Limbah Cair Dari Instalasi Radiometalurgi secara Penyerapan dan Kondisioning. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VII. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK AISYAH, G, M. 2005. “Pengolahan Limbah Transuranium Dari Instalasi Radiometalurgi Dengan Media Polimer Super Adsorben”, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah Volume 8 Nomor 1, P2PLR, Serpong. Alhidayat, G, M. 2007. Radioaktivitas Gross β/γ dan Dosis Radiasi γ serta Analisis Radionuklida dalam Udara Ambien seputar Ring Road Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Nuklir Nasional Amini, S. 1992. Ion Exchange and Self Diffusion Phenomena in Zeolite-L and Its Use for The Fixation of Alpha – Emitling Radioactive Nuclides, PhD Thesis. US Mauckester. UK. Amiruddin, A. 2005. Kimia Inti dan Radiokimia. Bandung: PPIN-BATAN Akhadi, M. 2003. Pengantar Teknologi Nuklir. Jakarta: PT RINEKA CIPTA Athiyah, U. 2010. Penyerapan Uranium dengan Pengkompleks Na2CO3 Menggunakan Resin Amberlite IRA-400 Cl dan Imobilisasi dengan Resin Epoksi. 2010. Skripsi Jakarta: Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Bernasconi, G. H, Gerster, H., Hauser, H., Stauble, E. Scheiter. 1995. Teknologi Kimia 2. Jakarta : PT. Pradnya Paramita Djarot SW. 2006. Intruksi kerja Alat cacah Alfa Beta latar rendah. Serpong: PTLR
49
Dofner, K dan Hartono, A. J. 1995. Iptek Penukar Ion. Yogyakarta : Andi Offset Gozan,M. 2006. Absorpsi,leaching dan ekstraksi pada industri kimia. Jakarta: Universitas Indonesia Isa, I. 1996. Optimasilisasi Ekstraksi minyak kedelai dengan variasi pelarut dan ukuran serbuk. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Rachmadetin, J. 2010. Kondisioning Lumpur Thorium Menggunakan Resin Epoksi dan Poliester, Yogyakarta: Jasakiai Las, T. 1989. Use of Natural Zeolites for Nukleus Waste Treatment, PhD Thesis. University of Salford, Manchester, UK. Lucas, Howard J, David P. 1949. Principles and Practice In Organic Chemistry. John Wiley and Sonc, Inc, New york Nasution, S. 2009. Pembuatan Senyawa Epoksi Dari Metil Ester Asam Lemak Sawit Destilat. Tesis. Menggunakan Katalis Amberlite. Medan. Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatra Utara Martono, H. 2007. Karakteristik Penyimpanan Bahan Bakar Nuklir Bekas dan Gelas-Limbah. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah Volume 10 Nomor 1. Serpong: PTLR-BATAN Martono, H, Wati. 2010. Pengaruh Kondisi Penyimpanan dan Air TanahTerhadap Laju Pelindihan Radionuklida dari Solidifikasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengolahan Limbah VI. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN.Serpong. Merck KgaA,Darmstadt, 2002. katalog chemical Reagent, editor by Dr woolfgang Baden Miyasaki S, et al. 1996. Japan’s Experiences in Fundamental Management of Radioaktive Wastes. Jakarta: BATAN-JEPIC Montgomery, J. M. 1985. Water Treatment Principles and Design. New York : A. Wiley Interscinece Publication, Joh Wiley and Sons SALIMIN, Z., SOENTONO, S., GUNANDJAR. 2006. "National Policy and Current Status of Radioactive Waste Management in Indonesia",
50
Proceedings of the 2nd, Biannual International Workshop on High Level Radioactive Waste Management, August 10-12, Yogyakarta, Indonesia. SUMANTO,J.2009. Pembacaan Nomor Sample Dalam Refurbishing Alat Low Background Counter-LBC Tennelec Type LB5100 Series II. SerpongTangerang: PTLR-BATAN Surnardi. 2006. 116 Unsur Kimia. Bandung: CV.Yrama Widya Suratman. Pengukuran Radioaktivitas Beta, PTAPB-BATAN, Yogyakarta, 1997 UNTARA. 2006. “Kajian Keselamatan Penyimpanan Limbah Thorium Dari Pabrik Kaos Lampu”, Prosiding Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR. Wati., Gustri N., Mirawati. 2006. Pemadatan Resin Penukar Ion Bekas yang Mengandung Limbah Cair Transuranium Simulasi dengan Epoksi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086 Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK. Serpong-Tangerang Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Weis, J. 1983. Food Oils and Their Uses. Second Edition, Avi Publishing Company, Inc. Westpart, Connecticut Yurfida. 2006. Penentuan 90 Sr Dalam Minyak Kelapa sawit. Serpong-Tangerang: PTKMR BATAN.
51
Lampiran 1. Gambar Alat pencacah alfa beta latar rendah (LBC)
52
Lampiran 2. Skema peluruhan radionuklida deret Thorium-232
232
Th (1.41 1010y)
228
α
β α
228
β-
Ac (6.13 h)
-
α Th
(1.91 y) α α224Ra
228
Ra (5.75 y)
(3.66 d) α
220
Rn (55.6 s) Keterangan : y d min s
= tahun = hari = menit = detik
α 212
Po (3.05 10-7 s)
210
Po (0.15 s)
β212
α β212
Pb (10.6 h)
Bi (60.6 min)
64 %
208
α 206
Pb (stabil)
36 %
Ti (3.07 min)
β-
53
Lampiran 3. Data pengukuran Radioaktivitas Alfa dan Beta
Tabel 3. Hasil Pengukuran Radioaktivitas Alfa dan Beta untuk menyatakan thorium terlindih pada berbagai waktu kontak. No 1 2 3 4 5
Perbandingan tanah/air (gram/ ml) 200 g/500ml 200 g/500ml 200 g/500ml 200 g/500ml 200 g/500ml
Variasi Waktu (jam)
Aktivitas Alfa (Bq)
Aktivitas Beta (Bq)
1 2 3 4 5
9,89 12,62 18,03 17,67 20,00
53,88 62,88 68,74 74,64 78,84
Tabel 4. Hasil pelidihan thorium dari tanah tercemar yang dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta pada variasi tanah/500 ml air selama 4 jam. No
Jumlah tanah/ 500ml air)
1 2 3 4 5 6 7
40 80 120 160 200 240 280
Thorium terlindih selama 4 jam Alfa (Bq) 0,96 2,05 15,06 18,29 25,85 59,65 70,35
Beta (Bq) 6,18 13,35 63,47 80,43 128,35 185,35 189,20
54
Tabel 5. Laju pelindihan thorium dari tanah dengan air pada berbagai pH, waktu kontak 4 jam dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta No
Jumlah tanah/ 500ml air)
pH
1 2 3 4 5 6*
280g /500ml 280g /500ml 280g /500ml 280g /500ml 280g /500ml 280g /500ml
1 2 3 4 5 9
Alfa
(Bq)
54,25 75,30 99,85 119,85 122,45 90,65
Beta
(Bq)
134,00 156,00 167,70 181,55 192,85 137,75
* = Sampel awal ekstraksi
Tabel 6. Hasil larutan thorium yang diperoleh tanah/air 280 gram/500 ml diserap dengan resin amberlite IR 120 Na dengan berbagai variasi waktu yang dinyatakan dengan aktivitas alfa dan beta. No Larutan Resin Waktu Aktivitas Alfa Aktivitas Beta thorium (gram) kontak yang diserap yang diserap (ml) (menit) (Bq) (Bq) 1 500 1 20 43,50 41,13 2 500 1 40 55,70 54,59 3 500 1 60 60,71 57,90 4 500 1 80 62,53 60,68
55
Lampiran 4. Foto Bahan dan Alat yang digunakan dalam penelitian
Limbah Thorium
Resin penukar kation amberlite IRA 120 Na
Hot plate (penangas pada suhu tinggi)
Hot plate (penanggas pada suhu rendah)
Infra red
56
Mineralogical rollers (alat untuk ekstraksi)
Timbangan analitik
Timbangan
57