Jurnal Ultima Humaniora, September 2014 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Ultima Humaniora merupakan gabungan dua konsep kunci yaitu Ultima yang berarti “dalam, ber bobot, bernilai” dan Humaniora (Latin) yang berarti “ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya.” Secara umum, yang tergolong dalam rumpun ilmu humaniora adalah: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya & Linguistik (Kajian bahasa), Kesusastraan, Kesenian, dan Psikologi. Jurnal Ultima Humaniora merupakan jurnal ilmiah interdisipliner yang menghimpun gagasan dan riset terkini di bidang Pancasila, kewarganegaraan, religiositas (agama), bahasa Indonesia, bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL), pengembangan metode belajar serta mengajar yang efektif di Perguruan Tinggi, kepemimpinan dan kewirausahaan. Jurnal ini diterbitkan Universitas Multimedia Nusantara, di bawah kordinasi Departemen Mata Kuliah Umum (MKU), secara semi-annual atau dua kali dalam se tahun, yaitu pada Februari dan Agustus. Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, dan siapapun yang berminat untuk menyumbangkan tulisan mengenai topik umum rumpun ilmu humaniora maupun topik khusus Jurnal Ultima Humaniora. Artikel yang dimuat dalam Jurnal Ultima Humaniora tidak selalu mencerminkan pandangan/pendapat redaksi.
Pelindung Penanggungjawab Pemimpin Umum Mitra Bestari pada edisi ini
: : : :
Ketua Dewan Redaksi Dewan Redaksi
: :
Tata Usaha Sirkulasi dan Distribusi Keuangan
: : :
SUSUNAN REDAKSI Dr. Ninok Leksono Hira Meidia, Ph. D. Dr. Ir. P. M. Winarno, M. Kom. Dr. H. Pudjo Sumedi AS, S. E., M. Ed. (Pemimpin Umum Majalah ANCAS; mantan atase Pendidikan Kedubes RI di Timur Tengah) Ibnu Wahyudi, S.S., M.A. (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia) Mitha Budhyarto, Ph. D. (Researcher and Curator; Alumnus University of London: PhD. in Humanities and Cultural Studies) Hendar Putranto, M. Hum. Niknik M. Kuntarto, M Hum., Johannes Langgar Billy, M. M., M. V. Santi Hendrawati, M. Hum., Edi Sius Riyadi, S. H. Canggih G. Farunik, M. Fil., Alexander Aur, M. Hum. Sularmin I Made Gede Suteja, S. E., Regina Fika, S. E.
Alamat Redaksi Jurnal Ultima Humaniora: UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN) Gedung Rektorat Lantai 3 Jalan Boulevard Gading Serpong, Desa Curug Sangereng Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten 15333 Telp. +6221 5422 0808 ext. 3622; Faks: (021) 5422 0800 Surel Ketua Dewan Redaksi:
[email protected] dan
[email protected]
00-daftarisi.indd 1
4/16/2015 6:26:40 AM
ii
Daftar Isi
Vol II, 2014
DAFTAR ISI
Volume II, Nomor 2
Pengantar Redaksi ............................................................................................................
iii
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa MARTIN SURYAJAYA . ............................................................................................
136
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi BUDI HARTANTO ...................................................................................................
148
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan YULIUS TANDYANTO ............................................................................................
161
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan PAULUS CATUR WIBAWA .....................................................................................
175
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer RINDHA WIDYANINGSIH ....................................................................................
186
Wajah Janus Generasi Maya: Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi BERTO TUKAN . .......................................................................................................
201
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya DEDE HASANUDIN . ..............................................................................................
217
Appreciating Marah Rusli’s Sitti Nurbaya: A Structuralist Analysis of Roland Barthes’ Five Codes RETNOWATI .............................................................................................................
232
Servant Leadership: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan ARCADIUS BENAWA ..............................................................................................
243
[Resensi Buku] Melacak Asal-usul Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Berdasarkan Teori Properti John Locke HENDAR PUTRANTO ............................................................................................
251
00-daftarisi.indd 2
4/16/2015 6:26:40 AM
Pengantar Redaksi
iii
KATA PENGANTAR
Pada 1947, filsuf Eksistensialis ternama asal Jerman, Martin Heidegger (1889 – 1976), membuka wacana tentang berpikir, berbahasa, dan keterkaitannya dengan Ada, dalam esei panjang berjudul Letter on Humanism (‘Brief uber den “Humanismus”) dengan mengatakan, “Bahasa adalah rumah Ada. Di dalamnya manusia bermukim. Mereka yang berpikir dan mereka yang mencipta dengan kata-kata adalah para penjaga rumah ini. Kepenjagaan mereka mencapai secara tuntas dan utuh (Vollbringen) manifestasi Ada sejauh mereka membawa manifestasi ini pada Bahasa dan mempertahankannya dalam Bahasa lewat tuturan mereka” Demikianlah sebuah paragraf pembuka yang tidak mudah dicerna pembaca hanya dengan tindakan sekali membaca saja. Jika disederhanakan, pokok yang mau disampaikan Heidegger di atas adalah bahwa untuk memahami eksistensinya, manusia tidak boleh sekali-kali melupakan fakta bahwa mereka adalah manusia yang berbahasa. Ada-nya manusia adalah Ada yang dicapai lewat aktivitas berpikir, dan diartikulasikan serta dijaga dan dirawat lewat aktivitas berbahasa. Sebagai para penjaga rumah Ada, sudah seyogianya kita memerhatikan baik-baik dua ranah Bahasa yaitu Bahasa sebagai esensi mengada kita, maupun Bahasa sebagai instrumen, yang lewatnya, Ada kita termanifestasi secara perlahan tetapi pasti menuju kepenuhannya. Ada di sini bukan hanya dalam individualitasnya, tetapi juga dalam kolektivitasnya. Maka, memanggil memori kolektif pra kemerdekaan 1945, pantas disebut momen Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai titik kulminasi dari meleburnya gugus kesadaran primordial kesukuan dan kedaerahan menjadi entitas kesatuan (“Ada kolektif”) yang bernama bangsa (nation), termasuk di dalamnya mencuat soal penting dan signifikannya keberadaan bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Rumusan termasyhur Soempah Pemoeda, yang dibuat oleh mahasiswa tahun pertama Rechts Hooge School, utusan Jong Sumatranen Bond yang merangkap tugas sebagai Sekretaris Panitia Kongres, Muhammad Yamin, yang salah satunya berbunyi “Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia,” merupakan salah satu pencapaian manifestasi Ada. Peristiwa Soempah Pemoeda ini jugalah yang melatari diperingatinya bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa Nasional. Dalam koridor pemikiran, kesejarahan, dan kerinduan untuk menjaga serta merawat fenomena Bahasa sebagai “rumah Ada yang di dalamnya manusia bermukim” secara umum, dan Bahasa Indonesia, secara khusus, edisi keempat Jurnal Ultima Humaniora, Volume II, No. 2, September 2014, yang bertemakan “Bahasa dan Identitas” berikut ini menyajikan sembilan makalah utuh (full paper) dan satu buah resensi buku. Dari sembilan makalah utuh yang tersaji, delapan buah makalah tematis akan membahas tentang keterkaitan antara “Bahasa dengan Identitas”, yang, demi memudahkan pembacaan dan pemahaman, dibagi menjadi dua pokok pembahasan besar, yaitu:
00-daftarisi.indd 3
4/16/2015 6:26:40 AM
iv
Pengantar Redaksi
Vol II, 2014
Pertama, pembahasan tentang ‘Bahasa dan Identitas’ secara filosofis yang diwakili oleh empat buah makalah, yaitu makalah karya Martin Suryajaya berjudul “Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa”, makalah karya Budi Hartanto berjudul “Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi”, makalah karya Yulius Tandyanto berjudul “Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan,” dan makalah karya Paulus Catur Wibawa berjudul “Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan”. Kedua, memberi porsi pembahasan tentang ‘Bahasa dan Identitas’ secara lebih grounded, aplikatif, dan kontekstual, yaitu Bahasa dan Identitas dalam keterkaitannya dengan dialek lokal Ngapak dan karakter wong Banyumasan (makalah berjudul “Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa HansGeorg Gadamer” karya Rindha Widyaningsih), Bahasa dan keterkaitannya dengan pembentukan identitas Generasi Maya yang bertumpu pada proliferasi internet dalam novel Semusim (makalah berjudul “Wajah Janus Generasi Maya: Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi” karya Berto Tukan), Bahasa dan Identitas sejauh dikaitkan dengan perilaku tutur para pengguna media sosial Facebook yang menyimpang dari nilai budaya dan norma kesantunan yang luhur dan khas Indonesia (makalah berjudul “Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya” karya Dede Hasanudin), serta Bahasa dan Identitas dalam tegangan antara pandangan modern dengan pandangan tradisional sejauh termanifestasikan dalam novel Siti Nurbaya karya pujangga Marah Rusli (makalah berjudul “Appreciating Marah Rusli’s Sitti Nurbaya: A Structuralist Analysis of Roland Barthes’ Five Codes” karya Retnowati) Makalah kesembilan, yang merupakan makalah non-tematis satu-satunya dalam edisi jurnal kali ini, merupakan refleksi dari Arcadius Benawa tentang Model Kepemimpinan kontemporer yang dianggap mengemuka pasca peristiwa Pemilihan Presiden 2014 yang lalu, yang berjudul “Servant Leadership: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan.” Jurnal edisi keempat ini ditutup dengan sebuah resensi buku baru yang berjudul “Sesat Pikir Kekayaan Intelektual: Membongkar Akar-akar Pemikiran Konsep Hak Kekayaan Intelektual (2014)” karya Ignatius Haryanto. Semoga sidang pembaca dapat menikmati sajian makalah-makalah yang bermutu dalam edisi jurnal Ultima Humaniora kali ini, dan dalam proses menikmati tersebut, dibantu refleksinya untuk sampai pada kedalaman sekaligus keluasan pemahaman tentang Bahasa dan Identitas. Tabik!
Hendar Putranto Ketua Dewan Redaksi
00-daftarisi.indd 4
4/16/2015 6:26:40 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 136-147 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa MARTIN SURYAJAYA A l u m n u s S T F D R I YA R K A R A , J a k a r t a Surel:
[email protected] Diterima: 30 Juli 2014 Disetujui: 12 Januari 2015
ABSTRACT The rise of cultural politics and its extreme version of identity politics have posed a challenge to the standard Marxist approach to culture and identity. The usual Marxist political-economy analysis seems inadequate to answer such challenge. In this respect, the post-Marxism of Slavoj Žižek offers a promising alternative. With the aid of Lacanian psychoanalysis and post-structuralist account of language, Žižek argues that collective identity is constructed by language. In psychoanalysis vein, identity and consciousness necessarily supervened on unconsciousness. In Lacanian poststructuralist approach, the unconscious is structured like language. Thus, by implication, identity is constructed by language. In this respect, Žižek offers a vast illustrations from everyday life to show how collective identity is a necessary illusion that arises from linguistic-ideological phenomena. It is an illusion because language works through a simulation of reality, an ideological reality. Yet it is necessary because in it we also found the problematic ground of, and thus the solution against, identity politics. Keywords: unconsciousness, the symbolic, the Real, Big Other, subject, constitutive lack
agaknya dalam kasus politik identitas ana Politik identitas dewasa ini kian menjadi lisis semacam itu tidak sepenuhnya berhasil tantangan teori-teori kebudayaan. De menjelaskan duduk perkaranya. Pasalnya, ngan mengendurnya pertarungan ide- politik identitas kerap tampil dalam asosiaologis antara liberalisme dan sosialisme si-asosiasi yang lintas-kelas, dan karenanya dengan keruntuhan Uni Soviet, kini pa tampak tidak terstruktur oleh logika kelas norama kebudayaan dunia ditandai den- sosial. Hal ini menghadirkan permasalahan gan mengerasnya perseteruan antar kelom- bagi pendekatan Marxis yang secara tradi pok yang identitasnya dikonstitusikan oleh sional bertopang pada analisis kelas. Namun teori kebudayaan Marxis tidak ciri-ciri primordial seperti etnis, agama dan keyakinan kultural. Situasi ini meng- hanya dibangun di atas analisis kelas yang hadirkan tantangan tersendiri terhadap sifatnya ekonomis. Dalam hal kebudayaan, teori kebudayaan Marxis. Apabila lazim- Marx juga memberikan analisis menarik nya pendekatan Marxis berpatokan pada tentang ideologi dan pemberhalaan (feanalisis kelas sosial dalam masyarakat, tisisme) yang pada akhirnya mencerPendahuluan
01-martin.indd 136
4/16/2015 6:18:24 AM
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
minkan hubungan sosial tertentu dalam masyarakat. Dalam masyarakat kapitalis, komoditas tampil sebagai kumpulan barang yang dihasilkan oleh investasi modal dan pada gilirannya menghasilkan akumulasi modal. Komoditas, karenanya, tampil sebagai berhala; asal-usul sosialnya seolah lenyap. Ideologi komoditas semacam ini dibongkar oleh Marx dengan menunjukkan bahwa hubungan komoditas sejatinya menyamarkan hubungan sosial antar kelompok sosial dalam masyarakat sejauh komoditas merupakan objek yang dihasilkan lewat kerja manusia. Apa yang sejatinya merupakan hubungan antar manusia, tampil seolah sebagai hubungan antar benda mati (Marx, 1979: 165 – 166).1 Inilah efek ideologi sebagai kesadaran palsu, yakni sebagai potret terbalik tentang kenyataan. Dengan analisis semacam ini Marx membukakan jalan bagi teori ideologi dan kritik ideologi yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial-budaya di kemudian hari. Pendekatan kultural semacam itu jugalah yang belakangan banyak berkembang dalam filsafat Marxis kontemporer. Slavoj Žižek adalah Marxis asal Slovenia yang banyak mengembangkan pendekatan seperti itu. Ia menggunakan campuran pendekatan Marxis tentang ideologi dengan pendekatan psikoanalisis Jacques Lacan yang berpusat pada perkara bahasa. Hasilnya adalah suatu pendekatan tentang konstruksi ideologis tentang subjek melalui bahasa. Pandangan inilah yang akan penulis kupas dalam artikel ini. Paparan dalam artikel ini akan disusun ke dalam tiga bagian. Pertama, penulis akan menguraikan teori Lacan tentang formasi
1
01-martin.indd 137
martin suryajaya 137
kesadaran-diri melalui bahasa, khususnya teori tentang hubungan antara tiga aras kesadaran: imajiner, simbolik dan Riil. Kedua, penulis akan mengupas pembacaan Žižek tentang Lacan yang merekonstruksinya dalam aras teori kebudayaan dan konstruksi identitas melalui bahasa. Ketiga, penulis akan menunjukkan beberapa kekurangan dari pendekatan Žižek dalam menjawab problem identitas. 1. Teori Lacanian tentang Fase Imajiner, Simbolik dan Riil dalam Formasi Kesadaran-Diri Lacan merumuskan teorinya tentang fase imajiner, simbolik dan Riil secara berurutan dalam tiga tahap pemikirannya. Pada mulanya adalah penemuan fase imajiner pada 1936. Selanjutnya adalah perumusan fase simbolik pada 1953. Terakhir ialah sketsa tentang fase Riil pada 1954. Kita akan mendekati teori Lacanian itu secara selaras dengan alur penemuannya. 1.1. Fase Cermin dan Formasi Tahap Kesadaran Imajiner Kontribusi pertama Lacan terhadap kajian psikoanalisis telah dimulai dengan presentasinya dalam kongres XVI Asosiasi Psikoanalisis Internasional tahun 1936 di Marienbad, Cekoslovakia. Judul presentasi itu adalah “Stadium Cermin” (Le stade du miroir). Stadium inilah yang nantinya dimengerti Lacan sebagai yang-Imajiner—suatu ranah sebelum ego mengerti bahasa. Tujuan utama Lacan pada fase ini adalah untuk mengklarifikasi pengertian psikoanalisis tentang narsisisme (Vanier, 2000: 32). Artinya, ranah problematik dari
“The commodity-form ... is nothing but the definite social relation between men themselves which assumes here, for them, the fantastic form of a relation between things. [...] This fetishism of the world commodities arises from the peculiar social character of the labour which produces them. [...] To the producers, therefore, the social relations between their private labours appear as what they are, i.e. they do not appear as direct social relations between persons in their work, but rather as material relations between persons and social relations between things.”
4/16/2015 6:18:25 AM
138
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
teori tentang “stadium cermin” ini adalah problem identifikasi diri. Fase cermin, bagi Lacan, terjadi sejak bayi mencapai usia enam bulan. Pada tahap ini, sang bayi belum dapat mengkoordinasikan keseluruhan anggota tubuhnya ke dalam fungsi terpadu. Ia belum mampu mendiferensiasikan dirinya dan dunia di sekitarnya—dengan kata lain, ia belum mengerti dirinya. Pengertian tentang diri ini didapat melalui citra (imago) tentang dirinya di hadapan ‘cermin’ —tentu saja, cermin ini dapat dimengerti tidak hanya secara harafiah melainkankan juga secara metaforis, misalnya dalam bayangan di permukaan air atau refleksi-diri sang bayi di mata ibu. Dengan kata lain, diri diperoleh melalui persepsi tentang citra visual (l’image speculaire) tentang dirinya.
Fase Cermin: Formasi Subjek Imajiner
Apa yang dilihat oleh sang bayi di cermin adalah Gestalt atau sebuah totalitas diri yang eksterior (Lacan, 2006: 76). Itulah sumber identifikasi-diri atau basis formasi ego sang bayi. Sementara sang bayi menemukan dirinya dalam tubuh yang terfragmentasi secara fungsional, ia pada saat yang sama menemukan ‘diri-Ideal’-nya dalam cermin. Melalui citra cermin itulah diri terbentuk, namun diri yang terbentuk itu terbelah antara diri dan citra-diri—persis karena diri itu dibentuk melalui citra-diri. Sang bayi menemukan dirinya di dalam
2
Vol II, 2014
citra-dirinya di cermin. Dengan kata lain, “la premiere connaissance de soi est méconnaissance”: pengertian pertama tentang diri adalah salah-pengertian. Bagi Lacan, di sinilah terjadi keterasingan pertama manusia, yaitu ketika identitas-diri dikonstitusikan oleh sesuatu yang eksternal atau asing terhadap diri itu sendiri—citra-diri (Lacan, 2006: 78). Itulah sebabnya, Lacan menulis : “Keterasingan bersifat konstitutif terhadap tatanan imajiner. Keterasingan adalah yang-imajiner itu sendiri.” (Lacan, 1997: 146) Singkatnya, yang-imajiner adalah ranah di mana ego terbelah antara dirinya dengan citra tentang dirinya sebelum ia terintegrasikan sepenuhnya dalam struktur bahasa. 1.2. Ketaksadaran, Bahasa dan Formasi Tahap Kesadaran Simbolik Kontribusi kedua Lacan mengemuka dalam apa yang dikenal sebagai “Wacana Roma”, yakni ceramah panjang yang ia berikan dalam kongres Institut Psikologi di Universitas Roma pada tahun 1953. (Lacan, 2006: 197 – 268)2 Pada waktu itulah ia memperkenalkan suatu konsep psikoanalisis tentang tatanan simbolik (symbolique). Konsep ini diambil-alih Lacan dari aplikasi Lévi-Strauss atas strukturalisme linguistik Ferdinand de Saussure ke dalam ilmu kemanusiaan secara umum. Melalui konsep ranah simbolik ini, Lacan hendak memetakan wilayah ketaksadaran manusia. Yang dimaksud Lacan dengan ranah simbolik adalah struktur penandaan atau bahasa. Ide tentang kesebangunan antara ketaksadaran dan bahasa ini terkenal dalam ungkapan Lacan bahwa “ketaksadaran terstruktur seperti bahasa.” (Lacan, 1977: 149) Mengapa demikian? Alasannya pertamatama karena ketaksadaran adalah wilayah hasrat manusia dan, kedua, karena hasrat
The Function and Field of Speech and Language in Pschoanalysis.
01-martin.indd 138
4/16/2015 6:18:25 AM
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
selalu merupakan hasrat orang lain yang diinternalisasikan ke dalam kita melalui tuturan, nasihat, sindiran, ekspektasi— singkatnya, melalui bahasa. Itulah sebabnya Lacan mengatakan bahwa hasrat “mesti dirumuskan sebagai hasrat yang-Lain [désir de l’Autre] sebab ia pada mulanya merupakan hasrat dari apa yang dihasrati yang-Lain [désir de son désir].” (Lacan, 2006: 662) Ambil contoh berikut: Dalam modus produksi kapitalis seperti sekarang ini, kita menghasrati laptop terbaru karena penanda tentang ke-trendi-an yang ditawarkan oleh iklan bersinergi dengan pemujaan atas ketrendi-an yang terdapat dalam lingkungan pergaulan sosial kita—artinya, hasrat kita akan laptop adalah, pada dasarnya, hasrat orang lain tentang sesuatu yang ditandai oleh laptop itu, yakni ke-trendi-an. Dengan ini kita dapat menarik persamaan antara ranah simbolik, wilayah ketaksadaran, dan jaringan hasrat. Melalui contoh di muka kita juga dapat melihat secara implisit bahwa struktur hasrat adalah struktur hukum, atau lebih tepatnya, hukum dari yang-Lain yang menuntut kita untuk mengkoordinasikan hasrat kita sesuai dengan perintahnya. Keidentikan antara struktur hukum dan struktur hasrat inilah yang dirumuskan oleh Lacan, dengan acuan pada karya Freud, Totem dan Tabu, melalui istilah ‘nama-sang-Ayah’ (nom du Père). (Lacan, 2006: 230) Konsep ini juga diolah Lacan dari analisis antropologis Lévi-Strauss tentang ‘larangan inses’ atau larangan bagi pernikahan sedarah, yang bagi Lévi-Strauss sama tuanya dengan usia peradaban itu sendiri. Melalui ‘larangan inses’ ini terlihat bahwa hasrat dikanalisasi melalui hukum atau dengan kata lain difabrikasi melalui bahasa. Hukum inilah yang disebut oleh Lacan, dalam Seminaire III, sebagai ‘yang-Lain Besar’ (le Grand Autre): ‘yang-Lain’ dalam bentuknya yang umum dan abstrak, yang misalnya
01-martin.indd 139
martin suryajaya 139
disimbolkan melalui Tuhan atau hukum adat. (Lacan, 1997: 274)
Fase Simbolik. Formasi Subjek Hasrat
Melalui internalisasi hukum hasrat inilah, bagi Lacan, subjek terlahir. Dan senada dengan keidentikan struktur hasrat dan hukum tadi, kelahiran subjek pun ditandai oleh keterbagian secara internal, yakni antara subjek-yang-menyatakan (subject of statement) dan subjek-yang-mengutarakan (subject of enunciation). Kedua istilah yang diambil Lacan dari teori linguistik ini— yakni pernyataan dan pengutaraan—dipakainya untuk menjelaskan perbedaan tingkat kesadaran dan ketaksadaran dalam laku berbahasa: subjek-yang-menyatakan adalah suatu kondisi ketika subjek menyatakan secara sadar apa yang ada dalam pikirannya kepada orang lain, sementara subjek-yang-mengutarakan adalah landasan tak-sadar dari pernyataan itu, yakni makna tak-sadar dari pernyataan tersebut. (Lacan, 1977: 139) Maka sebuah pernyataan yang diutarakan subjek dapat berarti lain jika ditilik dari intensi tak-sadarnya. Inilah yang disebut Lacan sebagai subjek-terbagi (barred subject), yang dinotasikan Lacan dengan simbol $. Artinya, dalam tindak berbahasa sehari-hari pun seorang subjek selalu dibimbing oleh yang-Lain persis karena ketaksadaran—yang menjadi sumber asali dari setiap laku berbahasa—merupakan wilayah operasi yang-Lain melalui struktur penandaan. Dalam ranah simbolik, subjek selalu dikonstitusikan oleh negativitas, yakni apa
4/16/2015 6:18:25 AM
140
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
yang disebut Lacan sebagai ‘kekurangan’ (lack ; manque). Dalam ranah penandaan, setiap penanda selalu mengacu pada apa yang ditandainya. Oleh karenanya setiap penanda selalu merupakan kekuranganakan-petanda, dan sebangun dengannya, hasrat selalu merupakan kekuranganakan-kepuasan. Itulah sebabnya Lacan berbicara tentang “kekurangan yang tidak terpuaskan dalam penanda”.(Lacan, 2004: 155) Lacan merumuskan relasi kekurangan dalam subjek ini dengan notasi $ ◊ a, yang artinya: subjek-yang-terbagi menghasrati ‘a’. Apakah ‘a’ itu ? Itu adalah notasi Lacan untuk apa yang ia sebut sebagai ‘objek a kecil’ (objet petit a), yakni sebuah detail dalam objek yang membuat subjek menghasrati objek—sesuatu yang disebut Lacan sebagai sesuatu yang ‘ada dalam dirimu lebih ketimbang dirimu sendiri’. (Lacan, 1977: 263). Karena objek kecil di dalam objek inilah yang membuat subjek menghasrati objek, maka Lacan menyebut objet petit a ini sebagai ‘objek-penyebab hasrat’. Namun ‘objek a kecil’ ini tidak pernah dapat sepenuhnya direngkuh oleh subjek, persis karena ia tak tersimbolisasikan, ia tidak dapat direpresentasikan melalui bahasa, sementara hasrat—seperti sudah kita lihat— senantiasa mengandaikan struktur bahasa untuk mengartikulasikan-dirinya. Ambil contoh: kita mencintai seseorang yang karena ada sesuatu yang ada dalam dirinya yang secara tidak terjelaskan menimbulkan hasrat kita, namun ketika kita berhasil mendapatkan cinta orang itu terasa ada yang hilang darinya atau kita merasa tidak semenggebu-gebu dulu lagi—yang hilang itu tidak lain adalah objek-penyebab hasrat itu sendiri. Objek ini, dengan demikian, tidak dapat dimengerti sebagai objek dalam pengertiannya yang biasa, bahkan—dalam arti tertentu—ia adalah materialisasi objektif dari kekurangan yang ada dalam subjek.
01-martin.indd 140
Vol II, 2014
Struktur Internal Proses Hasrat
Situasi inilah yang digambarkan Lacan—mengikuti Freud dan Heidegger— dengan istilah ‘kecemasan’ (l’angoisse ; Angst ; anxiety) yang dibedakannya dari ‘ketakutan’ (peur ; Furcht ; fear). Apabila rasa takut selalu memiliki objek, sebaliknya kecemasan tidak mengandaikan objek : L’angoisse [...] est une crainte sans objet, “kecemasan adalah suatu kegelisahan tanpa objek”. (Lacan, 2004: 155). ‘Objek’ dari kecemasan ini adalah ‘objek a kecil’ yang, seperti telah kita lihat, bukan objek dalam arti yang biasa persis karena objek itu bagian dari subjek itu sendiri. Apabila hasrat selalu muncul dari kekurangan, maka kecemasan muncul dari kekurangan yang paling radikal, yakni kekurangan atas kekurangan. Dalam kecemasan, sang subjek telah mendapatkan objek yang dihasratinya namun justru perasaan ‘telah mendapatkan’ ini membuatnya rindu atas perasaan kekurangannya yang terdahulu, rindu pada ‘objek a kecil’ yang lenyap itu. Dengan kecemasan ini pula, Lacan hendak menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih mendalam ketimbang ranah simbolik—sesuatu yang menjadi sumber se sungguhnya dari ‘objek a kecil’ yang tidak tersimbolisasikan itu. Sesuatu itu adalah yang ia sebut sebagai ‘yang-Riil’. Lacan mengatakan : “Kecemasan adalah tanda akan yang-Riil”. (Lacan, 2004: 185) 1.3. Yang-Riil dan Keterbatasan Identitas dalam Bahasa Apa itu yang-Riil? Bagaimana membahasakan sesuatu yang, berdasarkan defi-
4/16/2015 6:18:25 AM
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
nisi, berada di luar bahasa? Dalam seminarnya pada 1954, Lacan menerangkan jika yang-simbolik selalu ditandai oleh negativitas, kekurangan, absensi, maka yangRiil sebaliknya: “Tidak ada absensi dalam yang-Riil.” (Lacan, 1991: 313) Apabila sesuatu direpresi dalam ranah simbolik, maka sesuatu itu dapat muncul kembali sebagai halusinasi dalam ranah yang-Riil. (Evans, 1996: 163) Namun, halusinasi di sini tidak boleh diartikan secara populer, yakni sebagai fenomena ilusi subjektif belaka. YangRiil bukanlah ranah subjektif psikologis semata, melainkan juga realitas dalam artinya yang paling material. (Evans, 1996: 164) Konsep tentang yang-Riil dalam Lacan, oleh karenanya, bersifat ambigu—ia memiliki arti yang mendua dan nampak kontradiktif: di satu sisi, ia internal dalam subjek, namun di sisi lain, ia juga tidak kurang riil dalam dunia material-konkrit yang eksternal terhadap subjek. Secara spasial, Lacan mendeskripsikan yang-Riil dengan neologisme yang ia ciptakan, ‘ekstimasi’ (extimité), yakni gabungan antara kata ‘eksterior’ (exterieur) dan ‘intimitas’ (intimité) (Evans, 1996: 59). Dengan kata lain, yangRiil berada di dalam sekaligus di luar. Ia menggambarkannya dalam ilustrasi teori topologi dalam matematika, yakni tentang ‘pita mobius’ (bande de moebius).
Gambar. Moebius Strip (Lacan, 2004: 114)
3
01-martin.indd 141
martin suryajaya 141
Dalam ‘pita mobius’ ini kita menyaksikan sebuah bidang geometris yang di dalamnya hanya terdapat satu permukaan— tidak ada permukaan luar dan permukaan dalam. Itulah yang dimaksudkan Lacan dengan ekstimasi yang-Riil, yakni ia berada dalam suatu ranah di mana yang-subjektif (atau internal) dan yang-objektif (atau eksternal) sehingga menjadi tidak terbedakan lagi. Yang-Riil, dengan demikian, adalah landasan dari yang-imajiner dan yang-simbolik namun sekaligus pada-dirinya tidak dapat diketahui. Artinya, setiap upaya identifikasi melalui kerangka bahasa, setiap upaya identifikasi simbolik, akan selalu gagal mencapai kepenuhan makna sebab selalu ada yang tersisa dan tidak terbahasakan. Yang-Riil, karenanya, menandai batasbatas identifikasi simbolik 2. Apropriasi Žižek terhadap Lacan: Teori tentang Formasi Ideologis atas Identitas melalui Bahasa Berikut akan ditunjukkan pengertian Lacanian tentang triade imajiner-simbolikRiil yang direkonstruksi oleh Žižek menjadi batang tubuh teori kontemporer tentang konstruksi ideologis atas identitas melalui bahasa. Oleh karena itu, kita akan berfokus pada konsep subjek Žižekian, yakni soal bagaimana formasi subjek dalam kacamata psikoanalisis-Marxis Žižek. Sejak awal karir pemikirannya, Žižek telah berkutat dengan persoalan subjek. Ini dapat kita lihat dalam karya pertamanya dalam bahasa Inggris, The Sublime Object of Ideology.3 Kendati begitu, puncak refleksinya tentang formasi subjek dapat kita temukan dalam karya besarnya, The Ticklish Subject. Keseluruhan buku ini dijiwai oleh semangat merehabilitasi subjek Cartesian—sesuatu yang bagi Žižek hendak
Dalam karya tersebut, Žižek bahkan meluangkan bab terakhirnya bagi diskusi di seputar konsep subjek. Lih. Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London: Verso), 1999 (aslinya 1989), hlm. 151-231.
4/16/2015 6:18:26 AM
142
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
Vol II, 2014
didestruksi habis-habisan oleh para filsuf kontemporer sejak Heidegger (Žižek, 1999: 1). Melawan kecenderungan umum ini, Žižek mengupayakan rehabilitasi atas subjek Cartesian melalui reinterpretasi atasnya: tidak untuk kembali pada konsep cogito Descartes sebagai aku yang memahami realitas dari “titik tolak keabadian” (sub specie aeternitatis), melainkan untuk mengeksplisitkan dimensi negativitas kreatif yang inheren di dalam subjek Cartesian—sesuatu yang tidak disadari oleh Descartes sendiri (Žižek, 1999: 2).
yang-Sublim. Inilah yang terjadi, misalnya, dalam pengalaman estetis atas karya seni atau bentangan alam yang maha besar. Pada momen itu, ketakterhinggan kenyataan seperti tersingkap secara serentak di hadapan subjek. Pengalaman akan yang-Sublim inilah yang ditafsirkan secara Lacanian oleh Žižek sebagai ‘dorongan kematian’ (death drive) (Žižek, 1999: 49 50). Dorongan kematian yang dimaksud Žižek bukanlah suatu dorongan untuk mati atau bunuh diri secara harafiah, melainkan suatu kehendak akan kepenuhan makna dan identitas. Subjek dibentuk dan 2.1. Kekurangan Konstitutif dalam Iden- digerakkan oleh dorongan untuk mencatitas pai kepenuhan dirinya, mencapai kondisi Untuk mengeksplisitkan dimensi ne identitas yang paripurna. Namun, dalam gatif tersebut, Žižek mengawali paparan- tafsiran psikoanalisis Žižek, dorongan ini nya dengan mengkritik pembacaan Heide- akan senantiasa gagal; alih-alih mengangger atas Kant. Heidegger menekankan tarkan subjek pada objek yang dihasratinpentingnya karya Kant, Critique of Pure Rea- ya, dorongan kematian senantiasa meleset son, yang menurutnya telah menyediakan dari obyek yang dituju dan terus-menerus landasan bagi suatu “ontologi tentang berpusar di sekitar obyek tersebut (Žižek, keterhinggaan” (ontology of finitude), yakni 1999: 108). Artinya, di dalam jantung subpengertian bahwa pengetahuan manusia jek terdapat dimensi kekurangan. Manusia secara konstitutif berciri terhingga. Kar- adalah subjek yang ditandai oleh hasrat enanya, tidak ada kebenaran dan makna akan kepenuhan yang pada saat bersamaan absolut yang dapat diraih manusia. Kon- berarti selalu merasa kurang. Inilah yang sekuensi dari pembacaan Heidegger ini dalam kerangka Lacanian dirumuskan senantinya terejawantah di dalam filsafat pas- bagai $ ◊ a, artinya: subjek yang senantiasa camodern sebagai “peminggiran terhadap menghasrati objek tanpa sepenuhnya dasubjek” (decentering of the subject). Subjek pat meraih kepenuhan darinya. tidak lagi dianggap sebagai masalah utama Žižek memperlihatkan bahwa subjek dalam filsafat dikarenakan subjek hanyalah justru eksis karena ada kekurangan yang efek yang tercipta dari konfigurasi sejarah mengkonstitusinya. Justru karena subjek dan lokalitas tertentu. Tidak ada lagi sub- senantiasa kekurangan identitas dirinya, jek universal yang dapat mengakses makna maka ia terus melaksanakan proses ‘menyang sama secara universal. jadi-subjek’ (Žižek, 1999: 76). Kekurangan, Žižek memperlihatkan bahwa Heide- karenanya, bersifat konstitutif terhadap gger telah abai terhadap penekanan Kant adanya subjek: di mana ada subjek, di situ pada yang-Sublim dalam karyanya yang ada kekurangan. Mengapa demikian? Ka lain, Critique of Judgement (Žižek, 1999: rena hasrat terstruktur oleh hubungan ba49). Selain berbicara tentang keterhing- hasa. Hasrat selalu merupakan hasrat akan gaan subjek, Kant juga berbicara tentang makna dan makna adalah perkara bahasa. kemungkinan manusia untuk mengakses Persoalannya, makna selalu bertopang
01-martin.indd 142
4/16/2015 6:18:26 AM
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
pada perbedaan antar tanda. Apabila setiap benda disebut melalui tanda yang sama, maka kita tidak akan dapat mengerti makna dari tanda tersebut. Makna kata ‘angin’, misalnya, dapat ditentukan persis karena ada perbedaan antara kata ‘angin’ dan kata ‘tanah’. Karenanya, makna ditentukan oleh hubungan perbedaan antar tanda. Akibatnya, selama masih ada kemungkinan bagi munculnya kata-kata baru, maka selama itu pula tidak pernah dimungkinkan adanya makna yang absolut dan final. Karena alasan itulah hasrat akan makna niscaya tidak pernah terpenuhi secara mutlak. Inilah kekurangan yang menandai setiap subjek dan identitasnya. Artinya, selama identitas subjek dibentuk lewat operasi bahasa, maka tidak pernah ada identitas yang sepenuhnya tetap dan mutlak; identitas selalu berwatak contingent, artinya, selalu dapat diubah. Žižek juga mengajukan argumen Lacanian bagi tesis tentang kekurangan konstitutif subjek. Mengikuti Lacan, Žižek menyatakan bahwa hasrat adalah selalu “hasrat dari orang lain” (Žižek, 1999: 109)4. Di sini Žižek menggunakan teori Lacan tentang “yang-Lain Besar” (le Grand Autre) untuk berbicara tentang formasi subjektivitas melalui aparatus ideologi. Dalam kebudayaan kapitalis, menurut Žižek, hasrat apapun yang kita miliki selalu dikondisikan oleh kekuatan kapital. Misalnya, hasrat kita akan mobil mewah sebetulnya tidak lebih daripada hasil fabrikasi industri periklanan yang melayani kepentingan industri otomotif. Karenanya, kapitalisme tampil sebagai “yang-Lain Besar” dan mengarahkan apa-apa saja yang perlu dan tidak perlu kita hasrati. Karena hasrat adalah hal yang membentuk diri kita sebagai subjek,
4
01-martin.indd 143
martin suryajaya 143
maka dapat disimpulkan bahwa dalam kebudayaan kontemporer, kapitalisme menjadi unsur kunci formasi identitas-diri. Di sinilah ideologi kapitalisme bekerja. Subjek kontemporer adalah hasil ideologisasi yang dilancarkan oleh kapitalisme sebagai sistem. Dengan itu, kita dapat melihat bagaimana Žižek menelurkan teorinya tentang formasi identitas subjektif melalui jalan ideologi, hasrat dan bahasa. Subjek adalah hasil konstruksi ideologi yang berperan melalui penanaman hasrat yang terstruktur oleh bahasa. Konsekuensinya, subjek tidak pernah swa-identik atau mengalami kepenuhan identitas karena identitasnya selalu dihasilkan persis oleh perantaraan pihak lain, oleh ‘yang-Lain Besar’ (Žižek, 1999: 72). Pertanyaan besar yang mesti dijawab Žižek, kemudian, adalah menerangkan bagaimana emansipasi sosial atas kungkungan simbolik itu dimungkinkan. Dengan kata lain, jika identitas subjek adalah efek dari mekanisme ideologisasi yang-Lain Besar, lantas bagaimana mungkin seseorang menjadi subjek secara otentik dan mencapai kepenuhan identitasnya tanpa tunduk pada ideologi yang-Lain Besar? 2.2. Keruntuhan Identitas Simbolik dan Pengalaman akan Yang-Riil Yang-Lain Besar bukanlah awal dan akhir dari segala-galanya. Ia dapat runtuh dalam situasi-situasi krisis yang mendorong semua orang mempertanyakan konfigurasi aktual segala yang ada. Žižek memberikan contoh konkrit. Pada awal mula keruntuhan rezim Syah Rizal Pahlevi di Iran yang korup pada tahun 1979, muncul kabar bahwa seorang warga biasa menolak patuh pada instruksi polisi. Kabar
“[...] desire is always the desire of the Other, never immediately ‘mine’ (I desire an object only in so far as it is desired by the Other)—so the only way for me authentically to ‘desire’ is to reject all positive objects of desire, and desire Nothingness itself”.
4/16/2015 6:18:26 AM
144
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
ini meluas dengan cepat dan sekonyongkonyong semua orang membangkang terhadap kekuasaan rezim Syah. Di sinilah terjadi apa yang disebut Žižek sebagai keruntuhan ‘yang-Lain Besar’ (Žižek, 2000: 232-233). Efektivitas simbolik rezim Syah yang ditopang oleh kanalisasi atas hasrat dan ekspektasi masyarakat tidak lagi bisa dipertahankan. Dengan pudarnya efektivitas simbolik itu, runtuhlah pula rezim Syah dan terbitlah kenyataan politik baru. De ngan kata lain, terbitlah emansipasi subjek dari kungkungan simbolik ideologi lama. Kehancuran tatanan simbolik menyibakkan pengalaman subjektif akan yangRiil. Sang subjek kehilangan kepastian identitasnya yang selama ini dijamin lewat proses ideologisasi simbolik. Pada momentum keruntuhan rezim Syah, rakyat Iran selama sesaat berhadapan dengan wajah asli kenyataan yang nir-simbolik. Keadaan kacau dan tidak menentu, tanpa hukum dan pemimpin, semacam itulah yang sejatinya merupakan wajah kenyataan sosial. Dengan runtuhnya hukum, lenyaplah pula identitas rakyat Iran sebab status mereka sebagai ‘warga negara’ dengan sejumlah hak dan kewajiban yang dirumuskan oleh undang-undang menjadi tertangguhkan (Žižek, 1996: 168-169).5 Inilah momen desubjektivasi: mereka kehilangan status mereka sebagai subjek dan beralih ke dalam zona pra-ideologis yang serba-kacau di mana belum ada distingsi antara individu dan masyarakat (sebab individu politik adalah produk hukum), serta antara diri dan kenyataan (sebab tanpa distingsi legal antara warga negara dan pemerintah, setiap orang bisa saja identik dengan ‘pemerintah’ itu sendiri). Inilah yang-Riil dari
5
Vol II, 2014
identitas: subjek yang dikosongkan dari identifikasi simbolik, dari segala identitas dan subjektivitas—suatu ‘subjek’ tanpa subjek. Namun momen yang-Riil seperti itu amat rapuh. Sesaat setelah rezim Syah tumbang, berdirilah rezim Ayatollah dan dengan itu dimulailah tatanan simbolik yang baru. Bersamaan dengannya, muncullah juga proses ideologisasi yang melahirkan identitas subjektif baru. Pengalaman akan yang-Riil adalah pengalaman yang dengan cepat berlalu. Di sini kita dapat menyaksikan betapa contingent identitas itu. Tidak pernah ada identitas yang tetap sebab pergantian tatanan simbolik akan membawa serta perubahan pada aras identitas subjektif. Dengan demikian, hasrat untuk mengekalkan identitas—seperti yang dilakukan para penganut politik identitas— adalah hasrat yang sia-sia. Identitas tidak mungkin kekal sebab tatanan simbolik selalu dapat diubah. Lantas bagaimana emansipasi sosial yang sejati dimungkinkan? Dalam kerangka Žižekian, tidak pernah ada emansipasi yang tuntas; emansipasi adalah rentetan proses tanpa akhir. Emansipasi terjadi manakala subjek terbebas dari belenggu identitasnya yang dikonstruksikan secara ideologis oleh yang-Lain Besar. Dengan kata lain, emansipasi terjadi ketika subjek berpapasan dengan yang-Riil. Pada momen itu, subjek tampil secara anonim, dalam kondisi nir-identitas, persis karena identitas adalah produk ideologi simbolik. Mengapa pengalaman akan yang-Riil yang membawa kita pada kondisi nir-identitas ini dapat disebut sebagai emansipasi? Karena dengan itu terlihat bahwa seluruh tatanan
“The ethics of the Real, finally, brings into play the moral Law in its impenetrable aspect, as an agency that arouses anxiety by addressing me with the empty, tautological and, for that very reason, enigmatic injunction ‘Do your duty!’, leaving it to me to translate this injunction into a determinate moral obligation—I, the moral subject, remain forever plagued by uncertainty, since the moral Law provides no guarantee that I ‘got it right’.”
01-martin.indd 144
4/16/2015 6:18:26 AM
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
martin suryajaya 145
simbolik bertopang pada yang-Riil sebagai kekosongan, bahwa seluruh tatanan simbolik yang selalu mencitrakan-dirinya seolah-olah sebagai satu-satunya tatanan yang mungkin, sebagai tatanan yang niscaya, nyatanya dapat tumbang setiap saat. Pengalaman akan yang-Riil bersifat emansipatoris sebab dengan itu ditunjukkan bahwa yang (selama ini dianggap) tidak mungkin itu sesungguhnya mungkin. Žižek menyatakan: “Yang penting bukanlah bahwa yangRiil itu tidak mungkin, melainkan bahwa ketakmungkinan itu sendiri Riil.” 6 (Žižek dan Daly, 2004: 69 - 70) Anggapan bahwa tatanan simbolik yang ada tidak mungkin runtuh adalah pencitraan yang dihasilkan lewat ideologi. Kemungkinan berhadapan dengan yang-Riil akan mewujud dalam kesadaran bahwa klaim itu tidak berdasar dan dengan itu emansipasi terjadi.
kan bahwa dalam perspektif Lacan realitas yang sepenuhnya eksternal dari manusia itu ada. Dalam yang-imajiner, misalnya, kendati kita berangkat dengan pengenalan bayi akan realitas namun momen itu sendiri ditandai oleh ketakmampuan membedakan antara diri dan realitas. Ketakmampuan ini kemudian diatasi justru dengan mensimbolisasi realitas, yakni dengan terintegrasinya sang bocah ke dalam tatanan simbolik. Dalam ranah simbolik, realitas eksternal lenyap sebab yang ada hanyalah ungguntimbun tanda. Apakah dengan konsep yang-Riil Lacan bermaksud menyuntikkan dimensi kenyataan? Yang-Riil memang seakan menunjuk ke arah itu. Yang-Riil dialami dari dalam ranah simbolik sebagai krisis struktural, sebagai sesuatu yang traumatis, yang menunjukkan bahwa ranah simbolik tidak pernah penuh pada dirinya. (Stavrakakis, 1999: 67) Namun Lacan 4. Identitas dan Kenyataan mengutarakan dalam Seminar XX bahwa Masalah utama dari pendekatan Žižek “yang-Riil tidak ada hubungannya dengan dan Lacan adalah lenyapnya pertimban- apa yang dalam pengetahuan tradisional gan tentang kenyataan objektif. Žižek dianggap sebagai basis dan sesuatu yang cenderung mereduksi persoalan identitas dipercayainya—yakni realitas—melainkan pada aras mental-kultural semata (ideolo- fantasi.” (Stavrakakis, 1999: 68) Yang-Riil, gi, tatanan simbolik, kekurangan, dst.) dan dengan demikian, tidak dimengerti Lacan tidak berhasil menjangkarkannya pada di- sebagai realitas material. Ia adalah ‘fantasi’ mensi kenyataan material, antara lain pada yang menunjukkan kekurangan realitas konteks ekonomi-politik. Apa yang leny- itu sendiri, yakni bahwa realitas yang ada ap, kemudian, adalah gambaran tentang sekarang ini—maksudnya ‘realitas’ simkenyataan objektif itu sendiri. Kita akan bolik—mengandung sebuah kekosongan memperlihatkan akar permasalahan ini se- (Void) dalam dirinya. Yang-Riil, dengan cara berturut-turut pada Lacan dan Žižek. kata lain, adalah sebuah ranah yang dianPertama-tama, terkait soal Lacan, kita daikan mendahului realitas material sebab dapat mempertanyakan: Apakah yang- realitas material itu dikonstruksikan secara Riil adalah kenyataan material? Apabila simbolik. kita perhatikan triade imajiner-simbolikTidak pelak lagi, visi Lacanian tentang Riil, kita tidak bisa secara tegas mengata- ‘kekurangan konstitutif’ yang kemudian
6
01-martin.indd 145
The result of all this is that, for Lacan, the Real is not impossible in the sense that it can never happen—a traumatic kernel which forever eludes our grasp. No, the problem with the Real is that it happens and that’s the trauma. The point is not that the Real is impossible, but rather that the impossible is Real. [...] The point is that you can encounter the Real, and that is what is so difficult to accept.”
4/16/2015 6:18:26 AM
146
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
dibicarakan lagi oleh Žižek adalah sejenis idealisme, yakni keyakinan bahwa kenyataan material tidak lain adalah produk dari imajinasi kultural. Artinya, tidak ada realitas eksternal. Realitas telah selalu dikonstitusikan oleh kita. Tidak ada titik henti material bagi variasi konstitusi ini. Semuanya ada sejauh berkorelasi dengan elemen subjektif—entah itu kesadaran ataupun ketaksadaran. Yang-Riil adalah mistifikasi atas realitas eksternal—sebuah mistifikasi yang menghadirkan realitas eksternal itu hanya sebagai ‘yang tidak hadir di dalam ketaksadaran’, sebagai trauma. Dengan itu, kenyataan ditundukkan pada anasir-anasir psikologis. Tidak ada realitas di luar ruang konsultasi psikoanalis, di luar ruang ceramah teoretisi budaya. Situasi ini menghasilkan persoalan tersendiri pada diskursus tentang formasi identitas. Marxisme-psikoanalis Žižek telah membuang khazanah yang berharga dari pendekatan Marxis tradisional, yakni analisis ekonomi-politik atas kebudayaan. Identitas tidak melulu perkara makna yang dihayati secara kultural. Identitas juga terjangkarkan pada faktor-faktor material seperti kelas sosial. Kesadaran seseorang untuk berpikir sebagai pemodal, alih-alih sebagai warga negara, dikondisikan oleh realitas ekonomi-politik yang mengenal pembagian antara kelas pemodal dan pekerja. Artinya, kemungkinan untuk melakukan identifikasi-diri dikonstitusikan pula, selain oleh perkara simbolik, oleh kenyataan material berupa distribusi kepemilikan atas sumber daya. Tidak ada seorang pun yang dapat mengidentifikasi diri secara efektif sebagai seorang buruh sebelum perkembangan moda produksi kapitalis. Sebelum moda produksi kapitalis terwujud, orang berpikir dalam kerangka kerja-wajib yang mesti dilakukan hamba pada tuan tanah. Setelah moda produksi kapitalis terwujud, orang berpikir dalam kerangka kerja-upa-
01-martin.indd 146
Vol II, 2014
han yang dilakukan buruh bagi pemodal. Artinya, pergeseran moda produksi mengikut-sertakan pergeseran imajinasi tentang diri. Moda produksi menjadi cakrawala material yang memungkinkan sekaligus membatasi tumbuhnya identitas subjektif. Faktor material inilah yang diabaikan Žižek dari Marxisme tradisional. Akibatnya, aras kebudayaan dan identitas tampil secara otonom tanpa dapat dijelaskan asalusul materialnya. Dalam hal ini, telaah intelektual yang dilakukan Žižek serupa dengan para penganut politik identitas yang mencerabut akar historis-material identitas dan mengekalkannya sebagai memori kultural yang steril dari kenyataan. DAFTAR PUSTAKA Evans, Dylan. (1996). An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London: Routledge. Lacan, Jacques. (2006). Écrits, terj. Bruce Fink. London: W.W. Norton & Co. _____. (2004). Le Séminaire X: L’angoisse. Paris: Seuil. _____. (1997). The Seminar Book III: The Psychoses, terj. Russell Grigg. London: W.W. Norton & Co. _____. (1991). The Seminar Book II: The Ego in Freud’s Theory (1954-1955), terj. Sylvana Tomasseli. New York: W.W. Norton & Co. _____. (1977). The Four Fundamental Concepts of Psycho-Analysis, terj. Alan Sheridan. London: The Hogarth Press. Marx, Karl. (1979). Capital Volume I, terj. Ben Fowkes. London: Penguin. Vanier, Alain. (2000). Lacan. Paris: Les Belles Lettres. Žižek, Slavoj. (2000). Tarrying with the Negative: Kant, Hegel, and the Critique of Ideology. Durham: Duke University Press. _____. (1999a). The Sublime Object of Ideology. London: Verso.
4/16/2015 6:18:26 AM
Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif melalui Bahasa
martin suryajaya 147
_____. (1999b). The Ticklish Subject: The Ab- Žižek, Slavoj dan Glyn Daly. (2004). Consent Centre of Political Ontology. London: versation with Žižek. Cambridge: Polity Verso. Press. _____. (1996). The Indivisible Remainder: An Stavrakakis, Yannis. (1999). Lacan and the Essay on Schelling and Related Matters. Political. London: Routledge. London: Verso.
01-martin.indd 147
4/16/2015 6:18:26 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 148-160 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi BUDI HARTANTO Alumnus STF Driyarkara, Jakarta Surel:
[email protected] Diterima: 24 Oktober 2014 Disetujui: 21 Januari 2015
ABSTRACT
Philosophy of technology begins with ontological criticism of technology. Existentialism philosophers such as Martin Heidegger, Gabriel Marcel, and Hans Jonas put forth ideas that technology will change the nature of human being. The relevance of cyborg discourse is related to the idea of how technology affects human freedom and authenticity. In order to understand the existence of cyborg is not primarily from its hybrid condition or when technology embedded in human body. The reality of cyborg is constructed through phenomenological relations of human-technology. Human-technology relations here is desribed based on Don Ihde’s phenomenology of instrumentation. I divide two main relations concerning the ontology of cyborg, technology that integrated to human body (embodiment and hermeneutics relations) and human body that integrated to technology (alterity and background relations). I compare cyborg with AI (Artificial Intelligence). AI studies discourse of how consciousness is made in the form of computer program. In the discourse of AI, machinic consciousness is possible limited to language that is understood in its syntax as explained in John Searle’s philosophy. I will end this writing with discussion about the relevance of technological (or cyborg) world. Existentialist thinkers would mostly say that it is not a human ideal condition. In reality, it is the condition of possibility of world as system and lifeworld itself. Keywords: Existence, Cyborg, AI, Phenomenology, Ethics, Technology
pandangan teknologi sebagai entitas nonPerkembangan teknologi terbaru mencip- netral yang berpengaruh terhadap kehidutakan situasi etis yang relevan untuk dire- pan manusia. Teknologi menjadi non-nefleksikan. Hal ini menjadi nyata terutama tral tentunya karena ia berada dalam relasi ketika dampak yang dihasilkannya tidak dengan manusia. Tanpa adanya relasi ini, hanya pada lingkungan dan kehidupan so- teknologi menjadi objek belaka yang tidak sial, melainkan juga terhadap keotentikan bernilai etis. Dalam tulisan ini, saya akan menelaah dan eksistensi manusia di Bumi. Teknologi memang membawa kemudahan, tetapi isu tentang cyborg dari perspektif eksispada saat yang sama juga membawa per- tensialisme (telaah yang didasarkan pada soalan. Filsafat teknologi menjadi tren dis- pemikiran Martin Heidegger, Hans Jonas, kursus filsafat kontemporer bermula dari dan Gabriel Marcel tentang teknologi) dan Pendahuluan
02-Budi.indd 148
4/16/2015 6:19:05 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
fenomenologi instrumentasi (didasarkan pada pemikiran Don Ihde). Dalam filsafat eksistensialisme, akan dijelaskan bagaimana relasi manusia dengan teknologi berpengaruh terhadap keotentikan dan kebebasan eksistensialnya. Menjadi cyborg dapat membawa pada suatu keadaan krisis eksistensial. Sedangkan dari perspektif fenomenologi instrumentasi, pembahasan difokuskan pada relasi empiris antara tubuh, instrumen, dan artefak teknologi lainnya. Selain itu, penulis juga berikhtiar untuk mendedah persoalan eksistensi kesadaran mesin (AI). Bila dalam eksistensialisme, keotentikan eksistensial atau kesadaran manusia tereduksi sampai kemudian menjadi terasing, maka, dalam AI, ia dapat berekstensi ke dalam sebuah mesin. Kita merancangnya melalui program komputer berdasarkan logika bahasa mesin yang kemudian termanifestasikan dalam bahasa lisan atau tulisan. AI menjadi problematis terutama ditinjau dari kritik John Searle, ahli filsafat kesadaran, yang meyakini bahwasanya AI hanya memahami bahasa sebatas bentuknya. Dengan alasan ini, kesadaran mesin tidak benar-benar memahami sebuah bahasa. Pada bagian akhir akan dibahas problem etis dan relevansi dunia teknologis. Eksistensialisme dan Kritik Teknologi Membaca filsafat teknologi pada mulanya adalah membaca kritik eksistensialisme terhadap teknologi. Para filsuf eksistensialis seperti Martin Heidegger, Hans Jonas, dan Gabriel Marcel memberi komentar tentang kemajuan teknologi yang menjadi ciri modernitas. Perkembangan teknologi, dalam pandangan mereka, telah mendistorsi nilai kemanusiaan. Refleksi para filsuf ekstensialisme memberi tilikan bahwa teknologi menjadi kekuatan yang berpen-
02-Budi.indd 149
budi hartanto 149
garuh tidak hanya pada manusia sebagai tubuh, tetapi yang utama adalah manusia sebagai ‘eksistensi’. Teknologi membentuk suatu ontologi yang diantisipasi oleh filsuf-filsuf ekstensialisme. Ontologi tersebut pada awalnya diterangkan sebagai sebuah materialisme yang mereduksi manusia sebagai benda-benda tidak berjiwa. Inilah yang menstimulasi munculnya kritik eksistensialisme (Driyarkara, 1989: 55-57). Dalam filsafat Heidegger, dijelaskan bahwa teknologi memungkinkan membawa manusia pada suatu kondisi determinisme. Ia berpengaruh secara ontologis pada bagaimana manusia menjalani hidupnya di dunia. Teknologi menurutnya memiliki esensi pada pembingkaian (enframing) yang mengondisikan dunia kehidupan yang terus bergerak untuk menyingkap kebaruan. Selain itu, enframing dalam konteks mode of ordering telah membawa manusia pada kondisi ketika ia, pada suatu saat, tidak lagi bisa berada dalam kondisi alamiahnya (Heidegger, 1977: 20). Esensi teknologi sebagai penyingkapan realitas teknologis didefinisikan Heidegger dengan moda kebenaran. “Technology is therefore no mere means. Technology is a way of revealing. If we give heed to this, then another whole realm for the essence of technology will open itself up to us. It is the realm of revealing, i.e., of truth.” (Heidegger, 1977: 12). Definisi Heideggerian di atas memberi pemahaman bahwa teknologi menjadi bagian dari cara mengadanya manusia atau mengaktualisasikan dirinya di dunia. Eksistensi yang terkondisikan oleh kebaruan teknologi menjadi ciri filsafat teknologi Heidegger. Teknologi menjadi berbahaya bukan pada potensinya yang merusak, seperti persenjataaan dan limbah industri, tapi ketika penyingkapan realitas justru membawa pada situasi yang tidak terpikirkan. Terciptanya teknologi menjadi kekuatan yang mengatasi kebebasan.
4/16/2015 6:19:05 AM
150 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
“What is dangerous is not technology. There is no demonry of technology, but rather there is the mystery of its essence” (Heidegger, 1977: 28). Heidegger berpandangan pesimis mengenai perkembangan teknologi yang bergerak seturut dengan esensinya, yang pada gilirannya membawa pada suatu keadaan ketika teknologi mendeterminasi kehidupan manusia. Teknologi menjadi entitas non-netral yang mendeterminasi tidak hanya soal bagaimana kita menjalani hidup, melainkan juga berpotensi merenggut kebebasan dan keotentikan manusia. Heidegger melihat bahaya teknologi dari perspektif esensinya yang bersifat universal yang berkarakter ‘selalu membawa kebaruan yang merupakan takdir dari peradaban’. Kita tidak bisa mencegah perkembangan teknologi dalam arti enframing ini. Filsafat Heidegger menjelaskan bahwa enframing telah mencipta situasi yang di dalamnya kekuatan teknologi relevan untuk diantisipasi keberadaannya. Seperti halnya Heidegger, Hans Jonas turut menyatakan bahwa teknologi telah menciptakan persoalan etis yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Fenomena kemajuan teknologi membuat esensi manusia berjarak dengan alam yang kemudian mendistorsi kealamiahan manusia. Distorsi ini pertama-tama dapat dipahami sebagai sebuah peralihan menuju esensi manusia yang merupakan bagian dari teknologi. Menurut Jonas, kondisi etis ini tidak terelakkan, sehingga mengharuskan kita untuk mengambil sikap bertanggung jawab terhadap alam. Sikap bertanggung jawab terhadap alam, dalam bentuk antisipasi dan menidak terhadap teknologi, dalam etika Jonas diperoleh melalui heuristic of fear, yaitu dengan melihat dampak negatif yang dihasilkannya terhadap kehidupan (Ihde, 1979: 134). Ini menjadi sikap
02-Budi.indd 150
Vol II, 2014
etis Hans Jonas untuk mengatasi distorsi teknologi terhadap diri manusia. Distorsi terhadap esensi, dalam filsafat Jonas, tentunya juga membawa pada distorsi eksistensi. Ketika teknologi membuat manusia berada pada situasi berjarak dengan alam, maka terbentuklah eksistensi atau konsepsi diri yang berbeda dibandingkan ketika ia berada dalam kondisi alamiahnya (Ihde, 1979: 138). Meski Jonas lebih membahas pengaruh teknologi terhadap lingkungan, pemikirannya mengantisipasi situasi cyborg. Pada titik ultimnya, teknologi tidak hanya merusak, tapi juga bergerak menuju keadaan singularitas yang pada akhirnya menghilangkan jati diri manusia. Maka pengandaian Jonas adalah bahwa teknologi berpengaruh terhadap tubuh manusia menuju suatu keadaan keterasingan, yaitu dari tubuh yang alami, kemudian menjadi cyborg yang bersifat hibrid dan relasional, sampai akhirnya sepenuhnya menjadi mesin. Tidak berbeda dengan Heidegger dan Jonas, dalam filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, keotentikan tidak bisa diraih dengan hidup secara teknologis. Bahkan menurutnya teknologi mereduksi nilainilai spiritual atau kesakralan dalam diri manusia (Gendreau, 1998). Mengenai persoalan keotentikan eksistensi ini,dapat kita telaah dari pemikirannya mengenai relasi eksistensialistis kepemilikan tubuh. Pernyataan filosofis ‘Aku memiliki tubuhku’ dalam filsafat Marcel menjelaskan tentang misteri keberadaan manusia di Bumi sebagai eksistensi (Marcel, 1949: 45). Eksistensi manusia menjadi filosofis ketika kita menjumpai misteri pada pernyataan ‘Aku memiliki tubuhku’, yaitu persis ketika kita merasakan sensasi pada tubuh kita. Di satu sisi pernyataan ‘Aku memiliki tubuhku’ mengandaikan Aku sebagai entitas yang terpisah, tetapi di sisi lain ketika tubuh merasakan sensasi diketahui adanya
4/16/2015 6:19:05 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
kesatuan antara Aku dan tubuh. Eksistensi dalam filsafat eksistensialisme Marcel adalah ketika ia menemukan ambiguitas pada pernyataan ‘Aku memiliki tubuhku’. Inilah yang mengonstruksi kedirian atau keberadaan Aku sebagai suatu eksistensi. Ada (being) dan memiliki (having) dalam filsafat Marcel memberikan tilikan tentang asal-usul kesadaran eksistensial manusia. Pernyataan bahwa ‘Aku memiliki tubuhku’ mengungkapkan eksistensi yang melampaui materialitas tubuh. “Aku” menjadi entitas yang tidak dapat diterangkan, tetapi eksistensinya tetap dikatakan nyata sebagai entitas yang memiliki tubuh. Perkataan “memiliki tubuh”, menurut Marcel, dapat disamakan dengan memiliki benda-benda atau teknologi, contohnya: piano, gergaji dan pisau cukur. Kata ‘memiliki’ di sini bermakna sama dengan ‘memiliki tubuh’. Meskipun demikian, kita menjumpai kesulitan untuk memahami misteri kedirian dalam kepemilikan ini. Memiliki teknologi mengandaikan keterpisahan dengan tubuh, sedangkan ‘memiliki tubuh’ membentuk suatu gagasan filosofis tentang adanya ambiguitas pada pernyataan “Aku memiliki tubuhku” (Marcel, 1949: 14). Karena itu relasi kepemilikan teknologi tidak bisa menjadi otentik secara eksistensial dibandingkan dengan relasi kepemilikan tubuh. Walaupun Marcel membedakan secara esensial antara eksistensi dengan relasi kepemilikan tubuh, tetapi keduanya samasama dapat dikategorikan sebagai medium untuk memperoleh pengetahuan. Ketika manusia menggunakan artefak teknologi, secara pragmatis tercipta suatu ontologi kepemilikan. Ponsel pintar (smartphone) yang kita miliki mengonstruksi konsep kedirian (atau subjektivitas) yang selalu berada dalam relasi. Aku, tubuh, dan ponsel pintar menjadi kesatuan ontologis yang berciri relasional. Kesadaran eksistensial cyborg dapat dikategorikan berada dalam
02-Budi.indd 151
budi hartanto 151
kesatuan relasional ini. Hanya saja keterpisahan relasional dalam kepemilikan ponsel pintar membuatnya tidak otentik, sebagaimana kepemilikan tubuh. Relasi ini menurut Marcel tidak bisa membentuk subjektivitas eksistensial sebagaimana kepemilikan tubuh. Bahkan Marcel menjelaskan bahwa ia hanya mendistorsi keotentikan eksistensi. Seiring dengan perkembangan teknologi, tentu saja relasi eksistensial kepemilikan teknologi dapat kita pertimbangkan relevansinya (atau keotentikannya). Banyak teknologi yang terintegrasi dengan tubuh mengondisikan manusia sebagai cyborg. Dalam dunia medis, kita ketahui bagaimana organ-organ tubuh dapat tergantikan. Transparansi atau kesatuan tubuh dalam relasinya dengan teknologi menjadikan eksistensi dalam arti tertentu bisa sama otentiknya. Eksistensialisme versi Heidegger, Jonas, Marcel seperti telah dijelaskan di atas sama-sama mengafirmasi bahwa teknologi memang berpengaruh terhadap eksistensi manusia. Mereka juga mengantisipasi agar teknologi tidak menguasai kebebasan. Argumen eksistensialisme sudah menegaskan pengaruh teknologi secara empiris terhadap dunia kehidupan. Marcel, misalnya, melihat bahaya teknologi terhadap masyarakat, sementara Heidegger mengantisipasi kebaruan teknologi, dan Jonas melihat bahaya teknologi terhadap lingkungan. Namun, pembahasan mereka lebih dalam perspektif filsafatnya yang khas yaitu pengaruh teknologi terhadap eksistensi. Fenomenologi Cyborg Relasi manusia-teknologi tentu tidak semata bersifat abstrak dan universal seperti diuraikan dalam filsafat eksistensialisme. Bila ditelaah secara fenomenologis, relasi manusia-teknologi tersebut berada dalam
4/16/2015 6:19:05 AM
152 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
kategori relasi-relasi yang bersifat partikular. Don Ihde, seorang filsuf teknologi, menjelaskan hal ini dalam fenomenologi instrumentasi (Ihde, 1979). Fenomenologi instrumentasi membahas lebih spesifik dan empiris ihwal relasi-relasi manusia dengan mesin. Pemikiran Ihde membawa pada pemahaman tentang manusia sebagai cyborg yang terkonstruksi berdasarkan relasi-relasi fenomenologis manusia-teknologi. Intensionalitas yang tertuju pada dunia termediasikan atau berada dalam relasi dengan teknologi. Cyborg adalah makhluk hibrida organisme dan artefak teknologi yang biasanya memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan tubuh alami. Cyborg merupakan wujud fenomena berekstensinya persepsi inderawi dan pengetahuan dengan mediasi teknologi. Meskipun direka-bayangkan sebagai makhluk superior setengah mesin, dalam kenyataannya kondisi ini merupakan kompensasi dari kekurangan-kekurangan yang ada pada tubuh atau suatu kondisi cacat. Penggunaan instrumen teknologis yang terintegrasi dengan tubuh dalam arti tertentu bukan merupakan pilihan bebas manusia. Kendati demikian, dalam tulisan ini cyborg dibahas dalam makna generiknya yaitu amplifikasi pengetahuan, persepsi inderawi, dan motorik melalui teknologi. Mengenai Cyborg bisa dilihat proyek Neil Harbisson dalam Cyborg Foundation (http://cyborgism.wix.com/cyborg), yang bermarkas di kota Barcelona. Dalam proyek tersebut, Harbisson memperjuangkan kebebasan untuk menjadi cyborg atau menggunakan instrumen-instrumen yang menjadikan seseorang berpotensi memiliki daya persepsi dan pengetahuan lebih luas dari yang lainnya. Harbisson adalah seorang aktivis cyborg yang buta warna sejak lahir. Ia membuat perangkat yang terintegrasi dengan tubuhnya yang ia namakan eyeborg yang berbentuk mirip head-
02-Budi.indd 152
Vol II, 2014
phone, dan terpasang seperti kamera di depan kepala. Perangkat ini dapat mengubah tampilan warna pada benda-benda menjadi frekuensi-frekuensi dalam wujud suara. Dengan eyeborg, ia dapat memahami warna melalui suara-suara yang dikonversikan secara teknologis. Harbisson dapat mendengar warna pada benda-benda melalui instrumen. Ia mendefinisikan kondisi hibrida dirinya dengan istilah sonochromatism, yaitu situasi ketika ia dapat membedakan warna-warna yang sebelumnya tidak bisa ia bedakan dalam bentuk suara teknologis. Kemampuannya mendengar gelombang cahaya (warna) mencipta suatu keadaan cyborg, karena ia dapat melihat dengan cara mendengar dunia melalui mediasi eyeborg. Eyeborg mengoptimalisasi kemampuan tubuhnya. Harbisson dan instrumen yang digunakannya dapat kita telaah secara filosofis menggunakan pendekatan fenomenologi instrumentasi Ihde. Instrumen eyeborg dalam fenomenologi instrumentasi berada dalam kategori relasi fenomenologis kemenubuhan (Ihde, 1990: 72). Relasi ini mengonstruksi kesatuan relasi manusia-instrumen. Instrumen seperti menjadi indera baru baginya. Amplifikasi dan reduksi realitas dalam hal ini adalah transformasi pengalaman dunia inderawi yang sebelumnya tidak dapat dipersepsikan olehnya. Dengan instrumen eyeborg, ia dapat ‘mendengar’ warna-warna yang tidak dapat dilihatnya dalam keseharian. Ia dapat mendengar seluruh bentuk sinar, seperti misalnya sinar ultraviolet dan inframerah, yang tidak dapat diinderai dengan mata alamiah yang terbatas. Eyeborg yang terpasang di kepala Harbisson menjadi indera baru yang merupakan bentuk transparansi dalam relasi kemenubuhan, yang di dalamnya tubuh dan instrumen menjadi kesatuan relasional. Dalam arti ini, teknologi tidak berjarak dan
4/16/2015 6:19:05 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
menjadi bagian dari tubuh manusia. Eyeborg yang digunakan Harbisson merupakan ekstensi indera yang terkoneksi dengan indera lainnya, yakni indera pendengaran. Intensionalitas eyeborg dalam hal ini adalah kemampuan Harbisson untuk mencerap warna dalam bentuk suara. Sedangkan amplifikasi dalam konteks fenomenologi instrumentasi terwujud dalam kemampuannya mendengar semua bentuk sinar atau melihat warna dalam bentuk suara. Namun, bila dilihat secara bahasa, cyborg bermakna organisme sibernetik (cybernetics), karena itu tentunya ia tidak terbatas pada teknologi yang melekat pada tubuh, atau ekstensi dari persepsi inderawi dan pengetahuan instrumental sebagaimana proyek yang dikembangkan Harbisson dan Cyborg Foundation. Ketika kita menggunakan tang, kunci stem, dan bor listrik misalnya, maka terkonstruksi sebuah entitas relasional instrumental. Seperti halnya Harbisson dengan eyeborg yang melekat pada tubuhnya, relasi manusia dengan instrumen-instrumen tersebut merupakan kesatuan relasional dengan tubuh. Instrumen yang mengamplifikasi kemampuan tubuh menjadikan tubuh memiliki intensionalitas cyborg. Relasi dengan teknologi tidak terbatas pada instrumen yang menubuh atau dalam relasi kemenubuhan. Dalam filsafat Ihde, selain relasi kemenubuhan, ada juga relasi hermeneutis, background, dan alteritas (Ihde, 1990: 80). Dalam relasi hermeneutis, instrumen digunakan untuk membaca dan memahami dunia. Dalam relasi ini, realitas tidak dipersepsikan oleh tubuh secara langsung melainkan melalui suatu pembacaan. Dalam relasi background, teknologi melatari dunia kehidupan. Semua bentuk teknologi dari infrastruktur sampai artefak-artefak teknologi yang kita jumpai sehari-hari merupakan teknologi dalam kategori relasi background. Sedangkan dalam relasi alteri-
02-Budi.indd 153
budi hartanto 153
tas, teknologi hadir sebagai ‘yang lain yang berhadapan dengan manusia’. Program komputer atau AI, misalnya, menjadikan komputer dipahami sebagai ‘yang lain’. Demikian pula dengan teknologi-teknologi yang terintegrasi dengan sistem AI, yang berciri otomatis. Otomatisasi menjadikan teknologi berhadapan dengan manusia sebagai ‘yang lain’ (the other). Berdasarkan relasi-relasi tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa eksistensi manusia dalam relasinya dengan teknologi atau kondisi cyborg tidak terbatas pada tubuh. Lingkungan atau artefak yang melatari dunia kehidupan mengondisikan dunia cyborg. Dalam relasi hermeneutis, artefak teknologi secara konseptual berjarak dengan tubuh, tapi kita dapat membacanya sebagai pengetahuan. Dalam dunia keseharian, hal ini bisa dicontohkan dengan jam, ponsel pintar, dan google glass. Meskipun berada dalam kesatuan relasional dengan tubuh, amplifikasi realitas yang dimampukan teknologi tersebut adalah melalui pembacaan atau kategori relasi hermeneutis. Google glass menggunakan teknologi GPS yang terintegrasi dengan internet untuk keperluan navigasi, informasi cuaca, pemesanan tiket atau reservasi hotel dan informasi lainnya yang berada di sekitar pengguna google glass. Internet menjadi prakondisi dalam hal amplifikasi pengetahuan dari relasi-relasi manusia-instrumen. Infrastruktur internet ini merupakan teknologi dalam relasi background yang meliputi jaringan teknologi informasi dan komunikasi (satelit, modem, komputer, dll). Dengan demikian, situasi cyborg juga mensyaratkan suatu lingkungan teknologis. Lingkungan teknologis tentu tidak terbatas pada infrastruktur peradaban, tetapi juga teknologi yang berciri otomatis, efisien, dan terkoneksi dalam sebuah jaringan (internet).
4/16/2015 6:19:05 AM
154 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
Vol II, 2014
Dalam sistem teknologi gedung bertingkat, misalnya, kita temui suatu lingkungan teknologis. Gedung merupakan lingkungan teknologis yang berjarak dengan alam. Di dalamnya sistem teknologi gedung (lampu, pendingin udara, lift, tangga jalan, dll.) terintegrasi dalam sebuah jaringan komputer atau sistem BAS (Building Automatic System), yang dapat dikontrol operasional otomatisasinya oleh manusia. Otomatisasi artefak teknologi menjadikan gedung sebagai lingkungan teknologis. Lingkungan teknologis memberi gambaran keberadaan dua bentuk integrasi manusia dan teknologi. Pertama, ketika teknologi yang bersifat partikular menjadi bagian dari tubuh--dalam hal ini teknologi digunakan secara instrumental fungsional, yaitu dalam relasi kemenubuhan dan hermeneutis. Kedua, ketika teknologi menyubordinasi tubuh manusia. Teknologi menjadi sistem kompleks yang mengatasi tubuh manusia, yaitu dalam relasi alteritas dan background. Kemampuan cyborg tidak terbatas pada tubuh dan instrumen yang digunakan dalam relasi hermeneutis dan kemenubuhan, tapi juga terkondisikan oleh teknologi dalam relasi background dan alteritas. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kondisi cyborg ternyata mencakup lingkungan teknologis secara lebih luas dan tidak terbatas pada teknologi yang berada dalam relasi dengan tubuh. Dengan kata lain, kondisi cyborg adalah kondisi ketika manusia telah berada dalam suatu sistem teknologi, baik itu sebagai bagian dari tubuh atau teknologi yang mengondisikan kehidupan.
derawi melalui teknologi mengonstruksi kesadaran terbatas pada relasi-relasi yang termediasikan. Pada bagian ini akan dibahas persoalan eksistensi kesadaran mesin atau AI (Artificial Intelligence). AI adalah diskursus yang menjelaskan kecerdasan yang ada pada artefak teknologi sehingga ia dikatakan ‘memiliki kesadaran’. Kecerdasan yang ada pada mesin ini merupakan ‘mimikri’ dari kecerdasan yang ada pada manusia. Dua bentuk AI adalah strong dan weak AI. Strong AI merupakan sebuah keadaan ketika eksistensi kesadaran mesin terkonstruksi berdasarkan pemahaman bahasa dalam sebuah simulasi program komputer. Eksistensi kesadaran mesin ini menemukan bentuknya dalam sebuah bahasa yang diartikulasikan, baik itu lisan atau tulisan. Sedangkan weak AI, seperti dinyatakan filsuf Amerika, John Rogers Searle, adalah fenomena kecerdasan yang bersifat fungsional atau otomatisasi, yang berada dalam relasi dengan manusia (Searle, 1997: 17). Fenomena cyborg dapat kita kategorikan sebagai weak AI, yang di dalamnya teknologi digunakan sebagai ekstensifikasi kecerdasan manusia. Dalam dunia pemrograman komputer, kita temukan cukup banyak contoh yang mengindikasikan adanya kecerdasan buatan. Program games catur dapat kita kategorikan sebagai AI karena kita berinteraksi dengan komputer sebagai ‘yang lain’. Selain catur, masih ada sejumlah games yang merepresentasikan kecerdasan buatan. Tapi yang menjadi pokok utama dalam diskursus ini adalah menjelaskan bagaimana suatu program dikatakan memiliki identitas atau kesadaran (strong AI). Contoh strong AI adalah HAL 9000 dalam film 2001: Eksistensi Kesadaran Mesin A Space Odyssey karya sutradara Stanley Dalam fenomenologi cyborg, kesadaran Kubrick. HAL 9000 adalah komputer super yang menubuh berada dalam relasi den- yang dapat berinteraksi secara sosial dan gan teknologi. Ekstensifikasi persepsi in- merespon segala bentuk persoalan yang
02-Budi.indd 154
4/16/2015 6:19:05 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
ditanyakan kepadanya. HAL 9000 menjadi contoh idealitas kesadaran mesin yang dikonstruksikan melalui program komputer. Dalam diskursus AI, ada cukup banyak program yang mencoba menyimulasikan kecerdasan manusia. Informasi terbaru per Juni 2014 menyebutkan adanya program simulasi kecerdasan buatan yang dinyatakan lolos dari tes Turing. Tes Turing adalah tes untuk mengetahui bagaimana suatu mesin, melalui serangkaian pertanyaan, dapat dikatakan memiliki kecerdasan. Program tersebut, sebuah chatterbot, bernama Eugene Goostman. Eugene adalah identitas AI yang dibuat programer kelahiran Rusia bernama Vladimir Veselov dan programmer kelahiran Ukraina bernama Eugene Demchenko, serta Sergey Ulasen. Eugene dapat berinteraksi sebagaimana anak berumur 13 tahun. Program ini adalah program AI pertama yang lolos dari tes Turing, sehingga bila seseorang berinteraksi dengan Eugene, ia tidak akan menyangka bahwa Eugene adalah sebuah program komputer. Mengacu pada temuan terbaru program Eugene, visi futuristis eksistensi kesadaran mesin seperti HAL 9000 tentu bukan dongeng semata. AI mengonstruksi kesadaran berdasarkan pada logika bahasa, yang dipahami dalam konteks kesadaran logosentris yang menubuh dengan teknologi komputer. Searle mempersoalkan kesadaran mesin yang terkonstruksi berdasarkan pada logika bahasa. Meskipun dikatakan dan dibuktikan dapat berinteraksi secara sosial atau memiliki identitas layaknya manusia, tetapi kesadaran mesin tetap tidak bisa dibuktikan eksistensinya sebagaimana manusia. Menurut Searle, AI terbatas memahami bahasa dalam sintaksisnya, sedangkan kesadaran dalam arti ‘pemahaman’ tidak hanya berhenti pada sintaksis, tetapi juga sampai pada semantis: sebuah kata meliputi
02-Budi.indd 155
budi hartanto 155
maknanya yang terlepas dari bentuknya (Searle, 2003:28). Progam Eugene, misalnya, memiliki kesadaran dalam konteks sintaksis. Eugene memahami bentuk kalimat dan menjawab dengan bentuk serupa, seolah-olah ia memahami maknanya. Searle menjelaskan hal ini lebih jauh dalam argumen tentang AI yang ia beri istilah Chinesse Room Argument (CRA), yaitu sebuah argumen tentang ketidakmungkinan adanya kesadaran mesin (strong AI). Argumen ini berbunyi bahwa kita dapat memahami bahasa yang tidak kita mengerti melalui instruksi-instruksi dengan bahasa yang kita mengerti. Bila seseorang tidak memahami bahasa Mandarin, misalnya, maka melalui sebuah mekanisme programatis, seakan-akan ia dapat mengerti. Contohnya, bila kita disodori sebuah pertanyaan dengan huruf-huruf Mandarin, kita dapat memahaminya melalui program yang berisi instruksi-instruksi dengan bahasa yang kita pahami. Instruksi menjelaskan bahwa untuk menjawab pertanyaan dengan huruf-huruf bentuk tertentu, maka jawablah dengan huruf-huruf bentuk tertentu pula. Dalam arti ini bahasa dimengerti sebatas bentuknya atau sintaksis. Eksistensi AI seperti Eugene sama seperti CRA yang diajukan Searle, karena pembuktiannya diperoleh melalui bahasa yang diartikulasikan sebatas bentuknya. Strong AI yang ditinjau lewat argumentasi Searle lantas tidak memungkinkan untuk eksis. Meski demikian, memahami kesadaran mesin dengan bertolak dari bahasa, lisan atau tulisan, menurut Searle kita akan menjumpai misteri. Program Eugene dapat berinteraksi melalui bahasa yang terbatas dalam bentuknya (sintaksis) seakan-akan memahami maknanya (semantis). Pemikiran Searle mengenai CRA juga dapat kita terapkan pada kesadaran nonmesin selain dari diri kita. Kesadaran ‘selain diri’ mengartikulasikan dirinya mela-
4/16/2015 6:19:05 AM
156 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
lui bahasa. Kita tidak pernah tahu apakah kesadaran ‘selain diri’ ini dapat merasakan hal yang sama dalam kaitannya dengan pemahaman sebuah bahasa. Melalui CRA, bisa saja ‘selain diri’ kita memahami bahasa sebatas bentuknya, dan bukan maknanya, karena kita tidak pernah tahu hal-hal yang menandakan pemahaman akan bahasa. Argumen Searle bisa dijelaskan ketika suatu pemahaman bahasa berada dalam konteks proses kimia dan biologis dalam tubuh. Misteri makna sebuah kata (semantis), sebagaimana dikatakan Searle, dapat kita ketahui dengan melihat respon tubuh terhadap makna kata tersebut. Melalui penelitian ilmiah, misalnya, kita dapat mengetahui bahwa pemahaman itu bersifat materialistik. Antonio R. Damasio adalah neuroscientist ternama yang menyanggah pandangan ontologis klasik dari René Descartes (1596 – 1650) yang menyatakan bahwa pikiran itu terpisah dari tubuh (res cogitans vs. res extensa). Menurut kajian Damasio, memahami rasionalitas tidak bisa dilepaskan dari pemahaman atas emosi, perasaan, atau hal-hal yang bersifat kimiawi dan biologis dalam tubuh (Damasio, 1994: 245). Dengan demikian, makna sebuah kata, yang dijelaskan Searle sebagai misteri, ternyata terkait dengan mekanisme tubuh. Makna dapat dipahami, mengikuti temuan Damasio, ketika ia berada dalam mekanisme tubuh yang menyertakan emosi atau perasaan. Karena itu, makna sebuah kata bukanlah misteri seperti diyakini Searle. Pemahaman yang tidak terkatakan, dapat diketahui melalui mekanisme tubuh. Respon terhadap pemahaman tidak selalu dapat dibuktikan melalui bahasa. Penelitian Damasio membantu kita menggaris-bawahi pandangan yang menyatakan bahwa pemahaman suatu kata inheren dengan mekanisme tubuh. Konsekuensinya, pemahaman yang terlepas dari tubuh tidak bisa dikatakan sebagai
02-Budi.indd 156
Vol II, 2014
pemahaman. AI merupakan simulasi kecerdasan manusia yang dimanifestasikan melalui sebuah program. Program AI memahami kata dalam bentuknya dan meresponnya berdasarkan instruksi, seperti diargumentasikan CRA. Secara bahasa, pandangan ini memang sulit dibantah, sehingga dapat mendorong terbentuknya gagasan tentang ‘eksistensi kesadaran mesin’ atau, menggunakan istilah Ihde, ‘relasi dengan teknologi sebagai yang lain (alteritas)’. Hal ini mengacu pada gagasan bahwa pemahaman atas makna sebuah kata pada dasarnya tertutup atau hanya dapat dirasakan oleh si pemilik kesadaran itu sendiri. Akan tetapi, dengan mengacu pada pemahaman yang ditentukan secara kimiawi, berkat temuan penelitian Damasio, dalam beberapa hal, eksistensi kesadaran mesin dapat dibuktikan. Problem eksistensi kesadaran mesin yang terkonstruksi melalui bahasa juga dapat kita telaah berdasarkan perspektif hermeneutika Heidegger. Dalam hermeneutika Heidegger, bahasa menjadi syarat keberadaan kita di dunia. Dalam arti ini, pemahaman menentukan Adanya manusia di dunia. Interpretasi adalah ihwal mendasar yang menjadi syarat bagaimana manusia memahami dunianya. Bahasa adalah hal pokok yang dengannya kita memahami keberadaan diri kita di dunia secara eksistensial (Ihde, 1983: 150). Dengan demikian, problem AI, sebagaimana diajukan Searle, dapat kita bandingkan dengan hermeneutika Heidegger. Lewat model hermeneutika Heidegger, dapat dipahami bahwa kesadaran pada dasarnya terkait dengan interpretasi dan pemahaman. Tentunya kesadaran interpretif dalam nalar Heideggerian ini tidak terbatas pada teks. Interpretasi merupakan cara mengada (mode of being) yang menentukan keberadaan manusia. Dalam perspektif hermeneutika Heidegger, eksistensi mensyaratkan interpretasi,
4/16/2015 6:19:06 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
dalam arti pemahaman yang bersifat linguistik menjadi hal yang mendasar. Dapat diproposisikan bahwa konstruksi AI pada dasarnya bersifat Heideggerian karena ditentukan dalam batas-batas pemahaman sebuah bahasa. Namun, AI, seperti telah dipaparkan di atas, terbatas pada pemahaman teks. Hal ini berbeda dengan perspektif Heidegger yaitu bahwa interpretasi, meskipun berpijak pada bahasa, tetapi tidak terbatas pada interpretasi teks. AI menjadi lebih menarik tentunya bila komputer dikonstruksikan agar dapat melihat atau memiliki mata yang berciri mesin dan juga dapat mendengar. Dalam perkembangan teknologi komputer, kita jumpai adanya teknologi program komputer bernama face recognition (www.face-rec. org). Program ini dapat mengenali bentuk wajah secara programatis melalui kamera seperti halnya indera penglihatan mata manusia. Meskipun program ini belum digunakan sebagai sesuatu yang inheren dalam program strong AI, tetapi teknologinya memungkinkan untuk terintegrasi dengannya. Dengan adanya program face recognition, eksistensi kesadaran mesin seperti Eugene tentunya tidak hanya dapat mengartikulasikan bahasa, tetapi juga dapat melihat dan mengenali wajah. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teknologi AI terbatas pada kecerdasan logosentrisme dan simulasi-simulasi programatis. AI tetap sama dengan fenomenologi cyborg dalam hal ekstensifikasi kesadaran melalui artefak teknologi (weak AI). Kecerdasan dalam konteks AI berada pada tataran konseptual linguistik: AI dieksternalisasikan sebagai sesuatu yang berjarak dengan tubuh, yang dimanifestasikan melalui program, dalam batas-batas pemahaman bahasa. Relevansi dari telaah AI ini tentunya berupa daya kalkulasi matematisnya yang jauh lebih cepat dari pikiran manusia.
02-Budi.indd 157
budi hartanto 157
Etika Dunia Teknologis Berdasarkan kritik eksistensialisme terhadap teknologi dan relasi manusiateknologi dalam fenomenologi instrumentasi, dapat kita ajukan pertanyaan filosofis mengenai relevansi etis kondisi cyborg. Menjadi cyborg mengandaikan keadaan relasi transparansi dengan teknologi, yang sesuai dengan fitrahnya, mendistorsi kealamian tubuh. Bahkan, seperti dicitrakan dalam fiksi sains, ia selalu merupakan hasil konstruksi, seiring dengan kekurangannya. Dalam film Robocop, Terminator, dan film-film makhluk setengah mesin lainnya, cyborg adalah keadaan yang di dalamnya teknologi digunakan untuk mengoptimalisasi kemampuan tubuh manusia. Dalam perspektif eksistensialisme, menjadi cyborg tentunya suatu kondisi eksistensi yang tidak ideal. Bahkan, keotentikan eksistensial diasumsikan menjadi hilang karenanya. Eksistensi cyborg menciptakan situasi poshumanistik yang menimbulkan persoalan etis yang sulit diselesaikan. Salah satunya adalah perihal kemampuan cyborg dalam mempersepsikan dan mengetahui yang melampaui kapasitas tubuh alamiah. Hal yang sama juga bisa dikatakan terkait visi terciptanya eksistensi kesadaran mesin (AI). AI membawa pada situasi munculnya mesin berkesadaran, yang sesuai logikanya dapat berinteraksi dan tentunya juga berkompetisi. Meskipun diargumentasikan tidak bisa memiliki kesadaran sebagaimana manusia, tetapi keputusankeputusan kalkulatif dan programatis yang menjadi ciri kecerdasan mesin merupakan kekuatan nyata AI yang dapat mengatasi manusia. Selain itu, AI juga menjadi representasi teknologi yang dapat mendeterminasi kehidupan. Bila ditelusuri lebih lanjut, pemikiran tentang kekuatan teknologi sebagai ‘yang lain’ ini berawal dari gerakan anti-mesin pada masa revolusi industri. Visi distopian AI pada mulanya dibayangkan
4/16/2015 6:19:06 AM
158 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
sebagai keadaan ketika mesin mengambil alih berbagai kerja manusia sampai kemudian menguasai kehidupan. Dalam model filsafat Hans Jonas, laju perkembangan teknologi diteorikan bergerak menuju kerusakan. Tidak hanya itu saja, teknologi menurutnya menciptakan situasi etis yang tidak bisa diselesaikan oleh etika klasik atau tradisional (Ihde, 1979: 138-139). Etika klasik berada dalam dimensi alamiah manusia, sedangkan teknologi mengondisikan kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga berjarak dengan kondisi alamiahnya. Jonas mengatakan bahwa idealitas manusia justru berada dalam kondisi alamiahnya. Situasi etis yang dihasilkan teknologi, dalam filsafat etika masa depan Jonas, menjadi konter-argumen untuk meredam perkembangan teknologi, terutama dalam konteks cyborg dan AI. Yang alami, dalam pandangan Jonas, lebih bernilai secara eksistensial. Heidegger dan Marcel, seperti halnya Jonas, mengingatkan manusia akan potensi keterasingan dan hilangnya kebebasan yang diakibatkan oleh relasi manusia-teknologi. Pandangan pesimistis dari aliran eksistensialisme terhadap dunia teknologis menjelaskan bahwa teknologi pada dasarnya tidak bisa membebaskan manusia. Dari kritik eksistensialisme tersebut, dapat dipahami bahwa teknologi tidak selalu membawa kemudahan. Setiap kali tercipta suatu teknologi, selalu muncul persoalan yang diakibatkan olehnya. Inilah yang didalilkan Jacques Ellul yaitu bahwa perkembangan teknik (atau teknologi) bergerak secara dialektis berdasarkan persoalan dan penyelesaian yang dihasilkannya (Ellul, 1964: 92). Perkembangan dialektis ini menjadikan teknologi sebagai kekuatan yang mengontrol kehidupan. Mengacu pada model dialektika perkembangan teknologi, dapat dirumuskan bahwa cyborg dan AI terkonstruksi seiring den-
02-Budi.indd 158
Vol II, 2014
gan dialektika perkembangan teknologi. Ketika suatu teknologi memunculkan persoalan, kita membuat teknologi (baru) untuk menyelesaikannya, demikian seterusnya. Ketika polusi udara sudah sedemikian parah, misalnya, kita dikondisikan untuk selalu menggunakan masker. Dilihat dari perspektif filsafat teknologi Ellul, perkembangan teknologi memiliki logikanya yang khas, sehingga seolah-olah kita tidak bisa berbuat banyak berkenaan dengan persoalan tersebut. Pemikiran Ellul ini dapat kita pahami, kemudian tanggapi, terutama ketika teknologi secara universal merujuk hanya pada yang ada di negara-negara maju. Limbah industri, nuklir, dan polusi udara merupakan persoalan khas yang dihadapi negara-negara maju. Sementara itu, di beberapa wilayah lainnya, teknologi masih digunakan selaras dengan nilai-nilai kebudayaan wilayah tersebut. Pandangan tentang teknologi yang diacu secara universal ini berseberangan dengan pandangan Ihde tentang pluralitas teknologi. Menurut Ihde tidak ada “Teknologi” (dengan huruf kapital) yang bergerak mendeterminasi kehidupan. Ihde meyakini bahwa teknologi selalu berada dalam relasi dengan kebudayaan. Kemajuan teknologi sama artinya dengan kemajuan kebudayaan. Karena itu, tidak semua kebudayaan berkembang menjadi peradaban teknologis. Ada kebudayaan yang tetap tidak berkembang karena mempertahankan kondisi alamiah. Namun, ada juga kebudayaan yang berkembang menjadi peradaban teknologis, beradaptasi dengan kompleksitas masyarakat, dan mengikuti dialektika perkembangan sains dan teknologi. Dari sini dapat kita simpulkan secara umum bahwa semua bentuk relasi manusia dengan artefak kebudayaan pada dasarnya mengondisikan manusia sebagai cyborg. Memakai sepatu, misalnya, memunculkan
4/16/2015 6:19:06 AM
Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
pengalaman yang teramplifikasi karena sepatu melindungi telapak kaki dari batu atau duri sehingga kita bisa bergerak dengan bebas. Contoh lain, menggunakan pakaian (kain) untuk menahan udara dingin. Kondisi cyborg pada mulanya merupakan suatu keadaan beradaptasi menghadapi lingkungan. Relevansi etis cyborg tentu saja harus dilihat dalam konteks proses adaptasi manusia dengan keadaan lingkungan dan juga tentunya dengan kebudayaan. Dengan melihat teknologi sebagai kebudayaan, ia tidak selalu berkembang sesuai dengan dialektika teknik seperti dirumuskan Ellul. Dunia yang semakin canggih secara teknologis memang membawa kemungkinan bahaya-bahaya yang merusak lingkungan sehingga, untuk mengatasinya, manusia perlu beradaptasi dengan membuat teknologi-teknologi baru. Namun, kondisi ini tidak bersifat universal, melainkan terjadi hanya pada wilayah tertentu. Ellul menunjukkan kondisi ini terbatas pada masyarakat teknologis perkotaan. Gagasan bahwa peradaban teknologis membawa pada suatu keadaan determinisme, yang di dalamnya kebebasan manusia tersubordinasi dan juga potensi hilangnya eksistensi seperti disampaikan kritik eksistensialisme, dapat kita siasati dengan melihat teknologi sebagai kebudayaan. Bukan berarti implikasinya lalu kita menidak pada perkembangan teknologi. Tidak menerima teknologi dengan mengacu pada idealitas kebudayaan dapat menjadikan kita tertinggal dari kebudayaan lainnya, baik secara ekonomi maupun politis. Dalam konteks Indonesia, pesatnya perkembangan teknologi tentu saja bisa kita pertimbangkan dengan melihatnya dari idealitas nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan dalam kehidupan bernegara. Kebudayaan nasional dapat menjadi pertimbangan tersendiri dalam mengembangkan proses transfer teknologi. Alur pemikiran
02-Budi.indd 159
budi hartanto 159
teknologi sebagai kebudayaan menyatakan bahwa menerima begitu saja teknologi dari luar sama dengan menerima kebudayaannya. Bila teknologi yang diimpor tersebut sesuai atau compatible dengan kebudayaan yang menerimanya tentu hal ini tidak menjadi persoalan. Dalam negara industri, jam atau komputer, misalnya, merupakan piranti penting penanda waktu dan fungsi lainnya. Dalam negara pra-industri, dalam arti tertentu, teknologi tidak bisa sepenuhnya dapat diaplikasikan. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa relevansi etis peradaban teknologis dapat dilihat dari perspektif kebudayaan nasional. Selain itu, sikap terbuka terhadap kebaruan menjadi penting tanpa melupakan antisipasi terhadap situasi keterasingan seperti disuarakan filsafat eksistensialisme. Penutup Perkembangan teknologi telah sampai pada keadaan ketika ia mememungkinkan untuk mengamplifikasi persepsi inderawi, pengetahuan, dan juga daya motorik tubuh yang merupakan suatu kondisi cyborg. Walaupun demikian, de facto, tidak banyak yang diketahui tentang fenomena ini. Penggunaan teknologi lebih bersifat pragmatis dan instrumental. Saya sendiri berpandangan bahwa kondisi alamiah tetap ideal, kecuali ketika kehidupan dikondisikan oleh suatu keadaan yang mengharuskan kita menggunakan teknologi. Mengenai teknologi yang telah berhasil menyimulasi eksistensi kesadaran, ternyata masih berada dalam batas-batas kesadaran linguistik atau bersifat logosentris. Ia tetap dikategorikan dalam arti ekstensifikasi kecerdasan yang bersifat fungsional. Walau demikian, eksistensi kesadaran AI menjadikan teknologi sebagai the other yang merupakan mimikri kecerdasan manusia. Persoalan eksistensi, dalam kaitannya den-
4/16/2015 6:19:06 AM
160 Cyborg dan Eksistensi Kesadaran Mesin (AI): Sebuah Tinjauan dari Perspektif Filsafat Teknologi
Vol II, 2014
gan teknologi baru, tentu menarik untuk _____. (1983). Existential Technics. New direfleksikan, terutama ketika muncul dan York: State University of New York diwacanakannya visi distopian tentang Press. mesin yang menguasai kehidupan dan hil- _____. (1979). Technics and Praxis. Holland angnya keotentikan diri manusia. dan Boston (USA): D. Riedel Publishing Company. Mahzar, Armahedi. (2004). Revolusi IntegralDAFTAR PUSTAKA isme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami. Bandung: Mizan. Damasio, Antonio. (1995). Descartes’ Error: Emotion, Reason, and Human Brain. New Marcel, Gabriel. (1962). Man Against Mass Society. Chicago: H Regnery. York: Harper Perennial. Driyarkara SJ, N. (1989). Percikan Filsafat. _____. (1949). Being and Having. New York: Harper dan Row. Jakarta: PT Pembangunan. Ellul, Jacques. (1964). Technological Society. Palmer, Richard E. (1969). Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, New York: Alfred A. Knopf, Inc. dan Dilthey, Heidegger, and Gadamer. NorthRandom House, Inc. western University Press Evanston. Gendreau, Bernard. (1998). The CautionSearle, John. (2002). Consciousness and Lanary Ontological Approach to Technology guage. Cambridge: Cambridge Univerof Gabriel Marcel. Papers for Twentieth sity Press. World Congress of Philosophy. Dipublikasikan dalam Paideia Archive, bisa _____. (1980). Minds, Brains, and Programs. Daring. Diunduh dari www.cup.cam. diakses di http://www.bu.edu/wcp/ ac.uk MainTech.htm Hakken, David. (1999). Cyborg@cyberspace? _____. (1980). Minds, Brains and Science. Harvard: Harvard University Press. An Etnographer Look at the Future. New The Institute for Ethics and Emerging TechYork dan London: Routledge. nologies (IEET). Laman Facebook, www. Hartanto, Budi. (2013). Dunia Pasca-Manufacebook.com/ieet.org. sia: Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer Filsafat Teknologi. Depok: Penerbit Ke- Verbeek, Peter-Paul. (2008). “Cyborg intentionality: rethinking the phenomenolpik. ogy of human-technology relations” Heidegger, M. (1977). The Question Concerndalam Phenomenology and the Cognitive ing Technology and Other Essays. Terj. W. Sciences, September 2008, Volume 7, Lovitt. New York: Harper dan Row. Issue 3, hlm. 387-395. Versi daring diIhde, Don. (1990). Technology and the Lifeakses dari Springer Science + Business world: from Garden to Earth. BloomingMedia B.V. (http://link.springer.com/ ton/Indianapolis: Indiana University article/10.1007%2Fs11097-008-9099-x) Press.
02-Budi.indd 160
4/16/2015 6:19:06 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 161-174 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan YULIUS TANDYANTO M a h a s i s w a P r o g r a m M a g i s t e r S e k o l a h Ti n g g i F i l s a f a t D r i y a r k a r a Surel:
[email protected] Diterima: 19 Januari 2015 Disetujui: 19 Maret 2015
ABSTRACT Hannah Arendt said implicitly that forgiveness is the humanity threshold. On the contrary, forgiveness is not too different from such a transaction between both sides, the forgiver and the forgiven. In such circumstances, thus, forgiveness always being understood in terms of economy of exchange which is critized by Jacques Derrida. In order to trancend those condition, we could offer to affirm the unconsciousness’ realm, and language’s expressions as a symbolic order, into forgiveness’ schema. We may maintain that the unconsiousness and language’s expressions are accomodating every individual’s violence for his/her development such as reconciliation and its humanity, and each word that was given will complete the human experience of forgiving as an event which is opaque and enigmatic. Thus, the expression of the word “pardon” becomes human identity, in fact, the humanity threshold itself. Keywords: forgiveness, violence, economy of exchange, unconsciousness, language, humanity Tanpa pengampunan—dibebaskan dari dampak-dampak perbuatan yang telah kita lakukan, kapasitas tindakan kita akan dibatasi oleh satu perbuatan yang tidak pernah dapat dipulihkan. Kita akan tetap menjadi korban dari dampak perbuatan tersebut selamalamanya, ibarat murid penyihir yang gagap dengan rumusan sihirnya sehingga tidak dapat mematahkan mantra. —Hannah Arendt, 1998: 237
Pendahuluan Komaruddin bertafakur. Ia tidak menyangka perselingkuhannya tepergok oleh istrinya, Nita. “Maafkan saya,” ujar Komaruddin menyesal. Namun, Nita tak menggubrisnya. Sejak peristiwa itu, Nita tak pernah lagi memercayai Komaruddin seperti sebelum-sebelumnya.
03-yulius.indd 161
Kisah Komaruddin adalah salah satu pengalaman nyata yang penulis jumpai dalam hidup keseharian. Kendati ia telah melayangkan permohonan ampun, perbuatan salahnya tidaklah serta-merta dibatalkan. Jika demikian, apatah fungsi pokok pernyataan maaf yang diucapkan secara verbal?
4/16/2015 6:19:26 AM
162
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Dalam konteks tersebut, penulis meng ajukan suatu hipotesis bahwa pernyataan maaf berfungsi untuk mengungkapkan berbagai kemungkinan identitas dan ambang batas kemanusiaan itu sendiri. Gagasan tersebut penulis olah berdasarkan inspirasi dari beberapa pemikir, terutama Hannah Arendt, Jacques Derrida, dan Jacques Lacan. Arendt berpendapat bahwa pengampunan justru memungkinkan tindakan-tindakan manusia bersifat mendunia dan lebih stabil. Pasalnya, pengampunan memutus rantai dendam yang bersifat reaktif. Meski demikian, Arendt juga mengakui ada jenis perbuatan yang tidak terampuni. Pada dakuan Arendt itulah, Derrida menyatakan sanggahannya. Bagi Derrida, praktik pengampunan model Arendt tidak ubahnya suatu transaksi ekonomis antara pihak pengampun dan yang diampuni. Padahal, pengampunan hanya bermakna apabila ia diperhadapkan pada tindakantindakan yang tidak terampuni. Di tengah dilema antara tindakan yang terampuni dan yang tidak terampuni tersebut, penulis memasukkan gagasan ketaksadaran Lacanian. Bagi penulis, aspek ketaksadaran memungkinkan tiap individu untuk mengakomodasi unsur keliyanan melalui ekspresi bahasa. Walhasil, pengampunan pun menjadi semacam afek yang membuka selubung-selubung kemanusiaan. Berdasarkan pengantar singkat inilah, penulis membagi paparan selanjutnya ke dalam tiga bagian besar, yakni (1) ambang batas kemanusiaan, (2) kemustahilan pengampunan, dan (3) perjumpaan dengan yang Liyan. Ambang Batas Kemanusiaan Dalam kutipan yang tertera di awal tulisan, secara tak langsung Arendt menyatakan bahwa tanpa pengampunan, manusia akan
03-yulius.indd 162
Vol II, 2014
dihantui oleh rasa bersalah seumur hidupnya. Oleh karena itu, pengampunan membebaskan manusia dari keterikatan atas tindakan-tindakannya. Namun, pernyataan Arendt tersebut tidak serta-merta menjadikan manusia permisif atas segala perbuatannya. Sebaliknya, Arendt sendiri merupakan sosok pemikir penting yang berupaya memahami berbagai perilaku manusia yang berdampak traumatis, khususnya dalam sejarah Eropa abad ke-20. Keahliannya dalam bidang teori politik, filsafat, serta kajian perihal pembinasaan manusia mendapat perhatian yang serius (Swift, 2009: 1). Dengan demikian, pengertian “tindakan” perlu ditautkan dalam sejarah traumatis kemanusiaan. Maka, tidak meng herankan apabila Arendt menggarisbawahi gagasan pokok yang tertuang dalam Human Condition, yakni memikirkan tindakan yang sedang kita lakukan. Ia menyatakan:
“Apa yang saya ajukan berikut ini adalah suatu pertimbangan ulang mengenai kondisi manusia yang berasal dari pengalaman dan ketakutan-ketakutan kita yang terkini. Tentu saja, hal-hal tersebut adalah perkara pemikiran dan kesembronoan—kecerobohan atau kegamangan atau repetisi ‘kebenaran-kebenaran’ yang menjadi sepele dan hampa—yang bagi saya merupakan ciri khas istimewa zaman ini. Dengan demikian, apa yang saya ajukan sa ngat sederhana: tidak lebih dari memikirkan apa yang sedang kita lakukan. ‘Apa yang sedang kita lakukan’ adalah tema utama buku ini. Tema tersebut mencakup artikulasi kondisi manusia yang paling mendasar sekaligus tradisional di dalam ranah setiap manusia. Ka rena alasan itulah, aktivitas berpikir—sebagai aktivitas paling tinggi dan murni yang dimiliki manusia—ditinggalkan karena pertimbanganpertimbangan terkini. (Arendt, 1998: 5).”
Tentu saja dengan pernyataan tersebut Arendt sedang mengkritik gaya “berpikir” yang biasa dilakukan oleh orang-orang modern—khususnya yang berasal dari tradisi filsafat Barat modern. Bagi Arendt,
4/16/2015 6:19:26 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
model berpikir dengan keketatan logika demi mencapai kebenaran mutlak justru mengasingkan si pemikir dengan dunia nyatanya. Akibatnya, berbagai klaim kebenaran yang didengung-dengungkan tak ubahnya merupakan rangkaian kesembronoan. Barangkali fenomena pemilihan Presiden tahun 2014 yang lalu dapat dijadikan salah satu contohnya. Fanatisme tiap pendukung terhadap calon presiden (capres) pilihannya malah membakukan identitas “rakyat” yang seharusnya bersifat lentur. Maka, kasus-kasus seperti Suto dan Saleh, dua penarik becak di Pamekasan, Jawa Timur, yang berkelahi gara-gara berbeda pilihan capres (Kompas, 3/6/2014) akan ke rap dijumpai dalam wajah yang berbedabeda. Karena itu, di mata Arendt, tradisi filsafat sejak Platon menjadikan manusia sebagai mahkluk yang terasing. Keter asingan muncul akibat pengutamaan kaum cendekia pada dunia ideal dibandingkan dunia fenomena. Di tengah-tengah situasi tersebut, Arendt menawarkan dunia fenomena dengan segenap kemajemukan opininya. Dengan kata lain, bagi Arendt, kemajemukan dan penerimaan terhadap opini yang berbeda-beda merupakan suatu kondisi hakiki manusia (Swift, 2009: 24). Implikasinya, aktivitas berpikir tidak melulu menyangkut pertimbangan-pertimbangan yang ideal. Namun, berpikir terutama berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seharihari. Sederhananya, kita memikirkan tindakan-tindakan yang “biasa” kita lakukan. Lantas, apa kaitan “memikirkan hal 1
03-yulius.indd 163
yulius tandyanto 163
ihwal yang biasa kita lakukan” dengan pengampunan? Persis pada titik itulah Arendt memperlihatkan bahwa manusia sudah selalu membutuhkan pengampunan. Pendek kata, pengampunan bersifat eksistensial. Pasalnya, manusia modern kerap bertindak dalam modus produksi dan logika sarana-tujuan. Salah satu bahaya terbesar bertindak dalam modus dan logika tersebut adalah perusakan diri sendiri. Menurut Arendt perusakan diri bersifat inheren dalam tindakan (Arendt, 1998: 238). Perusakan diri terjadi karena “bertindak” berarti melakukan kekerasan-kekerasan yang dibutuhkan untuk menghasilkan atau pun membatalkan segala jenis daya cipta. Barangkali kekerasan-kekerasan tersebut dapat diibaratkan seperti seorang pengrajin tembikar yang menempa tanah liat untuk menghasilkan tembikar yang apik. Namun, ketika hasilnya tidak sempurna (cacat) ia harus menghancurkan tembikar tersebut dan memulainya lagi dari awal. Dalam kasus Komaruddin, baik perselingkuhan maupun penyesalan dirinya merupakan perwujudan kekerasan yang berpotensi merusak diri. Karena itu, pengampunan niscaya dibutuhkan untuk memulihkan kerusakan-kerusakan diri. Pengampunan memungkinkan manusia untuk terus berdaya cipta tanpa dihantui oleh tindakan-tindakan masa lampaunya. Kendati demikian, Arendt berpendapat bahwa pengampunan bukanlah satu-satunya alternatif yang berjalin erat dengan tindakan manusia. Dua bentuk aktivitas lainnya yang memiliki posisi diametral dengan pengampunan ialah balas dendam dan hukuman.1
Balas dendam merupakan reaksi terhadap suatu tindakan yang salah, tetapi tidak mengakhiri dampak dari tindakan tersebut. Malahan, balas dendam membungkam kebebasan tiap pihak dalam suatu rantai tindakan yang tak pernah berakhir. Lain halnya dengan balas dendam, hukuman memutus rantai tindakan sebagaimana pengampunan. Kesamaan struktur antara hukuman dan pengampunan dapat dideskripsikan sebagai berikut: manusia tak dapat mengampuni tindakan yang tak dapat dihukum dan juga tak dapat menghukum tindakan yang tak terampuni. Berdasarkan struktur itulah, dapat pula disimpulkan adanya suatu jenis tindakan yang tidak dapat dihukum maupun terampuni, yakni kejahatan radikal. Bagi Arendt, kejahatan radikal melampaui dunia kemanusiaan dan segala daya potensialnya. Bahkan, ketika kejahatan radikal tampil, dunia kemanusiaan dan segala daya potensialnya musnah (Arendt, 1998: 241-242).
4/16/2015 6:19:26 AM
164
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Vol II, 2014
Meski demikian, Arendt tetap memprioritaskan pengampunan. Barangkali prioritas tersebut muncul karena perhatian Arendt tertuju pada kekhasan daya yang memungkinkan pengampunan, yakni respek. Ia menyatakan,
ekspresikan dalam tradisi Kristianitas (Arendt, 1998: 242). Cinta tidak memedulikan kualitas, kekurangan, keberhasilan, kegagalan, dan pelanggaran seorang individu. Cinta pulalah yang meleburkan ruang perantara—yang menghubungkan sekaligus memisahkan—seorang individu dari “Respek merupakan suatu perhatian yang yang lainnya. ditujukan pada pribadi dari kejauhan, yang Namun, justru karena kekhasan itumemberi ruang di antara kita. Perhatian ini lah, cinta bersifat tidak mendunia. Cinta tidak dipengaruhi oleh berbagai kualitas yang bertransformasi menjadi kekuatan apolitis kita puja atau pun keberhasilan-keberhasilan terbesar karena ia selalu menerima siapa yang kita hargai sangat tinggi. Dengan demikian, modernitas kehilangan respeknya. Atau, pun dan rela mengampuni apa pun. Karkita meyakini bahwa respek muncul karena ena itu, “Pengampunan menjadi sesuatu kita mengagumi atau menghargai [kualitasyang berada di luar pertimbangan-pertimkualitas tertentu]. Respek macam ini hanya bangan kita,” papar Arendt (Arendt, 1998: mengkonstitusi gejala akan lucutnya kema242-3). Melalui paparan Arendt tersebut, nusiaan dalam kehidupan publik dan sosial. kita dapat menyimpulkan bahwa respek Bagaimanapun juga, respek hanya berkaitan pada pribadi sehingga ia memadai untuk memiliki ruang lingkup yang lebih luas mengampuni tindakan seseorang demi pribadi dibandingkan cinta, yakni sifatnya yang tersebut. (Arendt, 1998: 243).” politis dan mendunia. Dengan demikian, pengampunan mePendek kata, respek di mata Arendt mungkinkan berkembangnya pelbagai adalah suatu jenis perhatian tanpa keinti- tindakan antarmanusia meskipun sarat man. Respek berorientasi pada pribadi ma- dengan kekerasan. Hubungan sekaligus nusia tanpa memperhitungkan beragam keterpisahan antarmanusia tersebut diperkualitas yang melekat padanya, seperti ke- antarai oleh respek—sebagai daya utama baikan, kepandaian, keluhuran, dan segala pengampunan. Dengan kata lain, pengammacamnya. Tentu pandangan ini berten- punan menjadi semacam ambang batas tangan dengan masyarakat modern yang bagi manusia untuk memikirkan tindakan cenderung menghargai manusia berdasar- dan kemanusiaannya. kan kualitas atau atribut-atributnya. Pada ambang batas itulah Derrida hadir Perhatian Arendt pada respek seba- untuk memeriksa praktik-praktik pengamgai daya pengampunan tidaklah muncul punan dalam kehidupan sehari-hari. sekonyong-konyong. Tampaknya Arendt telah menjajaki daya lainnya, yakni cinta. Kemustahilan Pengampunan Arendt berpendapat bahwa cinta memiliki daya yang tak tertandingi untuk mengge Kehadiran Derrida di ambang batas menrakkan pengampunan, sebagaimana ter- gungkapkan sisi liyan2 pengampunan. 2
03-yulius.indd 164
Penulis menggunakan kata “liyan” untuk merujuk pada “yang-lain”. Istilah “liyan” merupakan kata serapan dari bahasa Jawa “liya” yang berarti “lain” atau “asing” (Prawiroatmodjo, 1981: 310). Lema ini belum terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)—selanjutnya disingkat sebagai KBBI. Hal tersebut penulis lakukan untuk menekankan nuansa asing, gelap, terselubung, dan yang tak terpahami dari “yanglain”—seperti yang dialami oleh penutur non-Jawa ketika berhadapan dengan istilah “liyan”. Dengan kata lain, “keliyanan” selalu luput untuk didefinisikan atau ditotalisasi dalam kerangka berpikir yang ontis, yang-sama, atau pun oposisi biner.
4/16/2015 6:19:26 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Derrida berpendapat bahwa ada semacam kedaulatan kekuatan yang telah diandaikan dalam praktik-praktik pengampunan tradisional—termasuk model pengampunan Arendt. Syahdan, kekuatan yang berdaulat tersebut seolah-olah menjadi tolok ukur pengampunan. Derrida menyatakan, “Jika seseorang dapat mengampuni setelah seseorang tersebut dihakimi dan dihukum sebagaimana yang dinyatakan oleh Jankélévitch dan Arendt, maka penilaian, mendudukkan perkara, institusi terkait putusan segera mengandaikan adanya suatu kekuasaan, suatu daya, suatu kedaulatan. Seperti argumen kaum ‘revisionis’: Pengadilan Nuremberg merupakan reka cipta dari sang pemenang; ia tetap memiliki fitrahnya untuk menegakkan hukum, putusan, dan hukuman sebagaimana juga untuk menyatakan ketidakbersalahan dan sebagainya (Derrida, 2001a: 59).”
yulius tandyanto 165
bagai “pengampunan” apabila ia mengampuni hal-hal yang terampuni. Sebaliknya, pembalikan logika yang dilakukan oleh Derrida justru memperlihatkan bahwa pengampunan sejati adalah pengampunan yang mustahil. Implikasinya, muncul semacam tuntutan etis untuk mengampuni yang tak terampuni. Oleh karena itu, pengampunan sejati merupakan pengampunan yang tidak mungkin3—dalam pengertian logika tradisional. Barangkali Derrida sadar bahwa bentuk pengampunan yang ia tawarkan sangatlah sulit tercapai, alih-alih mustahil. Kendati hipotesisnya dianggap “sinting”, Derrida tetap mengupayakan jenis pengampunan murni tersebut. Demikian ia ungkapkan, “Apa yang saya impikan, apa yang saya pikirkan sebagai ‘kemurnian’ pengampunan yang cocok dengan nama pengampunan itu sendiri adalah pengampunan tanpa kekuatan: mutlak tetapi tanpa kedaulatan. Tugas yang paling sulit, sekaligus penting dan tampaknya mustahil, adalah memisahkan kemutlakan dan kedaulatan. Apakah mungkin hal tersebut dilakukan suatu saat kelak? Seperti yang telah dinyatakan, hal tersebut tidak akan pernah segera terjadi. Namun, karena hipotesis mengenai tugas yang tak dapat dikerjakakan ini menyatakan dirinya, entah sebagai impian, barangkali kesintingan ini tidaklah terlalu sinting ... (Derrida, 2001a: 59-60).”
Berdasarkan pernyataan tersebut, secara implisit Derrida mengajukan suatu bentuk pengampunan tanpa kekuatan yang berdaulat baik berupa cinta atau pun respek. Bagaimanapun, usulannya tersebut tidak dapat dilepaskan dari keniscayaan bahwa logika tradisional tidak lagi memadai dalam mendeskripsikan setiap fenomena. Bagi Derrida, suatu kemungkinan yang sejati akan selalu melampaui tatanan yang mungkin menuju ketakmungkinan (Glendinning, 2011: 80). Dengan kata Kalangan tradisional (klasik) acap kali lain, satu-satunya yang mungkin adalah menyejajarkan “kesintingan”4 atau kemuskemustahilan. Logika tradisional memperlihatkan tahilan yang dipaparkan oleh Derrida sebahwa pengampunan layak dinyatakan se- bagai etika hiperbolis. Dalam pandangan
Konsep kemustahilan atau ketakmungkinan (impossibility) yang diungkapkan oleh Derrida bukanlah lawan dari “kemungkinan” (possiblity). Derrida menyatakan bahwa bertindak dalam kategori “yang mungkin” adalah mengikuti suatu kesepakatan, norma, atau hukum. Contohnya: menyambut yang dapat disambut, mengampuni yang dapat diampuni, menciptakan yang dapat diciptakan, atau memutuskan yang dapat diputuskan. Derrida justru akan mempertanyakan, “Mengapa peristiwa keramahtamahan, pengampunan, penciptaan, atau putusan selalu beroperasi dalam bentuk-bentuk yang terbatas atau bersyarat?” Sebaliknya, Derrida akan mengajukan bahwa putusan baru akan terjadi dalam situasi yang tidak dapat diputuskan. Atau, pengampunan terjadi dalam situasi yang tidak dapat diampuni. Melalui pemikiran ini Derrida hendak mengajak kita untuk memikirkan ulang dan mengubah yang-bersyarat (conditional) demi yang-mutlak (unconditional) [Wortham, 2010:75-76]. 4 Derrida menggunakan istilah Søren Kierkegaard untuk menggambarkan syarat ideal pengampunannya sebagai “suatu kesintingan akan yang mustahil (une folie de l’impossible)” [Oliver, 2003: 280]. 3
03-yulius.indd 165
4/16/2015 6:19:26 AM
166
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
kalangan tradisional, pengampunan yang dimaksudkan oleh Derrida bersifat buntet (aporetis)5, dekonstruktif6, dan “oto-interuptif” (Caputo, dkk, 2001: 8). Pasalnya, pengampunan model Derrida mengandung sesuatu yang tak terkandung, sebut saja sebagai daya hiperbolis atau “sebutan apa pun yang engkau kehendaki”. Boleh jadi salah satu tafsiran mengenai daya hiperbolis yang diutarakan oleh Derrida merujuk pada peradikalan syaratsyarat ideal Kantian yang menuntut kemurnian—termasuk kemurnian pengampunan (Oliver, 2003: 282). Namun, berbeda dengan Kant, Derrida tidak menganggap kewajiban demi kewajiban merupakan suatu motif yang murni. Derrida menolak tuntutan Kant bahwa hukum moral ditegakkan melalui kewajiban. Sebaliknya, Derrida justru memperlihatkan bahwa hukum moral mereduksi kewajiban sebagai suatu pelunasan hutang yang sesuai dengan skema ekonomi pertukaran7. Bila tujuan Kant menuntut suatu kemurnian adalah untuk membangun kedaulatan kehendak, Derrida justru meniadakan kedaulatan kehendak. Menurut Derrida, praanggapan mengenai kedaula-
Vol II, 2014
tan kehendak hanya akan menempatkan pengampunan dalam skema ekonomi pertukaran (Oliver, 2003: 280). Misalnya, seseorang akan memberikan pengampunan kepada orang lain demi mendapatkan rekonsiliasi. Lantas, bagaimana Derrida mengupayakan syarat-syarat ideal Kantian tersebut agar tidak menjadi semacam filsafat kritis yang mustahil diwujudkan? Sebagai langkah awal, Derrida akan membedakan postulat yang mendasari syarat-syarat ideal pada filsafat Kant maupun dirinya. Menurut Derrida, syarat-syarat ideal Kant berhubungan dengan pengandaian tentang kedaulatan kehendak manusia yang rasional dan baik (Oliver, 2003: 282). Postulat Kant tersebut jelas berbeda dengan Derrida yang menyatakan bahwa pengampunan yang ideal adalah tanpa kehendak dan kedaulatan. Bagi Derrida pengampunan yang ideal tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh nalar karena melampaui skema rasionalitas. Namun, model pengampunan Derrida tersebut tidak serta-merta hanya dapat “dipahami” dalam skema iman. Bagi Derrida pengampunan terjalin erat dengan istilah
“Aporia” merujuk pada istilah Yunani yang berarti situasi yang tidak ada jalan keluarnya. Situasi ini tidak dapat dipecahkan baik melalui analisis rasional maupun pemikiran dialektis. Dengan kata lain, aporia adalah suatu “situasi” yang tidak dapat diidentifikasikan situasinya (Wortham, 2010: 31-33). Dalam tulisan ini, penulis memadankan istilah “aporia” dengan “buntet” (KBBI) yang juga memiliki nuansa kebuntuan dan tidak ada jalan keluar. 6 Dekonstruksi dapat dianalogikan seperti gempa bumi. Ia muncul secara tiba-tiba dan bukan disebabkan oleh faktor eksternal, melainkan suatu gerak internal yang ada pada dirinya. Nicholas Royle mendefinisikan “dekonstruksi” sebagai kata benda yang berarti, “Bukan hal yang kita pikirkan; pengalaman akan yang mustahil; hal yang terisa untuk dipikirkan; suatu logika ketidakstabilan yang sudah selalu bergerak dalam ‘dirinya sendiri’; perihal yang menjadikan tiap identitas sesuai dan sekaligus berbeda dengan dirinya; suatu logika kehantuan”; suatu virologi atau parasitisme teoretis dan praktis; hal yang memungkinkan masyarakat, politik, diplomasi, ekonomi, realitas historis, dan sebagainya hadir saat ini; awal masa depan itu sendiri (Royle, 2003: 25).” 7 Penulis menafsirkan “ekonomi pertukaran” sebagai salah satu konsep khas yang diajukan Derrida. Untuk sedikit memahaminya, kita perlu terlebih dahulu mengenal keterkaitannya dengan konsep “peristiwa” (event). Bagi Derrida, peristiwa haruslah bersifat tunggal, eruptif, tak dapat diantisipasi, dan melampaui pemahaman. Dengan kata lain, suatu peristiwa selalu melampaui muatan (isi) dan representasinya. Derrida merefleksikan pandangannya mengenai berbagai peristiwa, seperti: keputusan (decision), penciptaan (invention), keramahtamahan (hospitality), pemberian (gift), dan pengampunan (forgiveness). Dalam teks “A Certain Impossible Possibility of Saying the Event”, Derrida menyatakan bahwa pemberian sebagai suatu peristiwa melampaui nilainilai “ekonomi pertukaran” (economy of exchange) [Wortham, 2010: 48-49]. Artinya, pemberian selalu melampaui apa yang diberikan, siapa yang memberikan, dan kepada siapa diberikan. Singkat kata, ekonomi pertukaran selalu terkait dengan hal ihwal mengenai apa, siapa, dan kepada siapa. 5
03-yulius.indd 166
4/16/2015 6:19:26 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
“pemberian”. Pada pokok itulah Derrida memperlihatkan kebuntetan yang ada dalam kedua istilah tersebut.8 Syahdan, Derrida menawarkan suatu jalan panjang untuk memeriksa kembali konsep pengampunan yang telah diterima begitu saja. Derrida kembali menunjukkan bahwa pengampunan tradisional terjebak pada suatu transaksi antara yang mengampuni dan yang terampuni.9 Bagi Derrida, kalkulasi antara pihak yang mengampuni dengan yang terampuni bukanlah pengampunan. Pengampunan murni justru mengacaukan ekonomi pertukaran, kesetimbangan, dan ketersalingan. Pengampunan terjadi ketika pengampunan tak lagi dimungkinkan. Demikan Derrida menyatakan, “Lebih dari sekali kita berhadapan dengan kebuntetan [pengampunan] yang hampa dan kering, tetapi ia pun gigih menuntut untuk senantiasa diuji. Kebuntetan pengampunan, jika memang ada, harus dan hanya dapat mengampuni yang tidak terampuni, yang tak mungkin terampuni, dan melakukan yang mustahil. Mengampuni yang dapat terampuni (pardonable), kesalahan yang ringan, yang dapat dimaklumi, ketika siapa pun dapat selalu
yulius tandyanto 167
mengampuni bukanlah pengampunan (Derrida, 2001b: 30).”
Bagi Derrida hal yang tak terampuni adalah satu-satunya yang memungkin kan pengampunan sekaligus menjadikan pengampunan sebagai suatu pemberian. Derrida meradikalkan ketakmungkinan pengampunan murni pada kebuntetan yang membatasi pemberian dan pengampunan. Analisisnya memperlihatkan bahwa pengampunan murni bukanlah penerapan dari logika aporetis pemberian. Malahan, pengampunan melampaui pemberian. Ia berpendapat, “Kita selalu bergulat dalam jerat kebuntetan yang abstrak dan kering, tetapi juga dalam logika yang gigih dan tak terbantahkan: Jika ada yang namanya pengampunan, ia hanya mengampuni yang tak terampuni. Dengan demikian, jika mungkin ada pengampunan, ia adalah ketidakmungkinan. Pengampunan tidak hadir sebagai kemungkinan. Ia ada hanya dengan cara mengecualikan dirinya dari hukum kemungkinan. Ia memustahilkan dirinya dalam rentang ketak-mungkinan abadi sebagai yang tidak mungkin. Inilah persamaannya dengan pemberian. Namun, kita perlu memilah simetri atau analogi antara
Derrida menyatakan, “Dan lebih dari sekali kita menunda berbagai persoalan dan kebuntetan mengenai ‘pemberian’ ... dan memindahkannya pada persoalan dan juga yang bukan persoalan—terkait kebuntetan pengampunan, kebuntetan yang serupa, dan bahkan yang saling terkait. Namun, kita jangan menyerah dahulu pada analogi antara pemberian dan pengampunan, atau pun menolak keniscayaannya; melainkan kita perlu mengartikulasikan keduanya, mengikuti keduanya hingga pada titik yang sekonyong-konyong mereka tidak lagi saling berkaitan. Setidaknya di antara pemberian dan pengampunan terdapat afinitas mengenai pemewaktuan di samping prinsip mutlak kedua hal tersebut terhadap waktu—satu dan yang liyan, memberi dan mengampuni, memberi untuk memberi [don par don]. Afinitas tersebut hadir meskipun ada hal yang mengikat pengampunan pada masa lalu sehingga pengampunan menjadi suatu pengalaman yang tak dapat direduksi pada pemberian—suatu pemberian yang bersifat umum di masa kini, dalam suatu presentasi atau kehadiran dari yang kini (Derrida, 2001b: 22).” 9 Derrida berpendapat, “Kita memulai dengan mempertimbangkan kata benda ‘maaf’ sebagai ujaran performatif (Maaf! Saya minta maaf [je te demande pardon/je vous demande pardon], kami minta maaf [nous te demandons, nous vous demandons pardon]). Dalam bahasa Prancis, Anda melihat bahwa kata tersebut dapat digunakan sebagai bahasa performatif—dengan pengertian ‘memohon pengampunan’, tidak dalam kasus pengampunan sudah diberikan atau ditolak. Benarkah bahwa agar pengampunan dapat diberikan atau bahkan dipertimbangkan, ia haruslah diminta, dan diminta di atas dasar [sur fond] pengakuan dan penyesalan? Dalam pandangan saya, kondisi tersebut bukanlah sesuatu yang telah ditentukan, bahkan perlu dikecualikan sebagai kekeliruan yang mendasar ketika seseorang memberikan pengampunan. Jika saya memberi pengampunan dengan kondisi bahwa orang lain mengakui, bahwa orang lain mulai menebus dirinya, mengubah kesalahannya, memisahkan diri dari perbuatannya untuk meminta pengampunan, maka pengampunan yang saya berikan terkontaminasi oleh suatu ekonomi, suatu kalkulasi yang mengkorup pengampunan itu sendiri (Derrida, 2001b: 45-46).” 8
03-yulius.indd 167
4/16/2015 6:19:26 AM
168
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Vol II, 2014
gala identifikasi, spiritualitas, ekonomi pertukaran, dan semua momen penebusan kesalahan, meskipun pihak yang bersalah tidak meminta ampun, tidak menyesal, tidak mengakui, tidak memperbaiki, atau pun tidak menebus dirinya. Bagi Derrida kedua kutub tersebut tidak dapat direduksi atau pun dipisahkan. Malahan, kedua kutub itulah yang menentukan putusan dan tindakan individu sebagai ruang yang di dalamnya kita hidup di antaranya. Oleh karena itu, Derrida menawarkan suatu alternatif yang dapat di sebut sebagai “selain-rekonsiliasi”.10 Menurut Derrida, selain-rekonsiliasi merupakan perjumpaan tak terduga denDengan demikian, sangat dimungkink- gan keliyanan (Oliver, 2003: 287). Pengaman dalam model Derridean bahwa kejaha- punan sebagai perjumpaan tak terduga tan radikal yang diutarakan oleh Arendt dengan keliyanan juga mengandaikan justru memperlihatkan sifat dekonstruktif adanya kesangsian tanpa batas. Kesangkonsep pengampunan tradisional. Di satu sian tersebut muncul melalui pertanyaankutub, Arendt “mengkalkulasi” kengerian pertanyaan tanpa henti dan merupakan kejahatan radikal yang telah terjadi sehing- hal yang pokok bagi Derrida untuk memga tak ada suatu pun yang dapat memu- pertahankan pengampunan murni. Ia lihkan kembali keseimbangan hubungan menyatakan bahwa semua orang perlu antarsesama—atau bahkan kemanusiaan berupaya untuk mencapai pengampunan itu sendiri. Walhasil, tidak ada hukuman murni dengan cara menginterogasi diri seyang setimpal karena kejahatan tersebut cara terus-menerus. Namun, Derrida juga menegaskan bahwa setiap orang juga perlu tidak dapat ditebus dan diampuni. Namun, di kutub lain Derrida juga mengakui kemustahilan diri dalam mencamenggambarkan bahwa pengampunan— pai kemurnian tersebut. Penekanan berlebihan pada kemurdalam pengertiannya yang asali—mennian dan kemustahilan (etika hiperbolis) gandung suatu daya, hasrat, dorongan, gerakan, tarikan, atau “sebutan apa pun yang dikemukakan oleh Derrida menunyang engkau kehendaki” yang menuntut jukkan bahwa manusia tidak pernah puas agar ampunan diberikan (Derrida, 2001b: dengan dirinya sendiri (Oliver, 2003: 287). 28). Bahkan, “sebutan apa pun yang eng- Ketidakpuasan ini terlihat ketika manusia kau kehendaki” tersebut melampaui se- menanggapi sesamanya, khususnya yang pemberian dan pengampunan ketika fakta persamaan tersebut menghantarkan kita untuk berpikir mengenai yang-mungkin dan yang-tak-mungkin dalam sejarah kebudayaan kita—di mana yang-mungkin dan ‘kekuasaan’ disebut sebagai filsafat atau pengetahuan. Jika urgensi pengampunan-yang-tak-mungkin bukanlah hal yang abadi dan pengalaman tak sadar akan ketak-mungkinan menghasilkan keadaan terampuni, sebagaimana pengampunan bukanlah suatu modifikasi atau hasil kerumitan sekunder yang muncul dari pemberian, maka pengampunan berada dalam kebenarannya yang utama dan ultima. [Dengan kata lain] Pengampunan merupakan kebenaran mustahil akan pemberian yang mustahil. Sebelum pemberian, ada pengampunan (Derrida, 2001b: 48).”
10
03-yulius.indd 168
Derrida menyatakan, “Jika dengan rekonsiliasi … saya mengacu pada sesuatu yang tidak memiliki identifikasi, tidak ada pemulihan, tidak ada terapi, sederhananya hanya suatu relasi tertentu dengan yang lain, maka itulah yang saya pikirkan tentang pengampunan. Namun, pemikiran seperti ini tidak umum dalam benak orang-orang ketika berbicara tentang rekonsiliasi. Tidak hanya pada [pemikiran] Hegel, tetapi juga pada orang lain yang berbicara tentang rekonsiliasi yang mengimplikasikan komunitas, pendidikan, keterlibatan dengan tindak kejahatan, dan seterusnya. Itu bukanlah pengampunan murni (Kearney, 2001: 57).”
4/16/2015 6:19:27 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
tidak ia kenali. Ia tidak pernah berhenti untuk mempertanyakan diri, “Mengapa saya melakukan apa yang sedang saya lakukan, mengapa saya menilai apa yang sedang saya nilai, mengapa saya menghasrati apa yang sedang saya hasrati, mengapa saya menakuti apa yang sedang saya takuti?” Berdasarkan ketidakpuasan itulah, wacana tentang kemurnian merupakan salah satu pokok penting yang didekonstruksi oleh Derrida. Oleh karena itu, etika hiperbolis Derrida menuntut untuk menginterogasi batasan-batasan mengenai yang murni dan yang tidak murni. Derrida sendiri akan mempertahankan kutub ideal nan mutlak (sebagai pengampunan murni) yang bersifat tak terpisahkan dari kutub yangbersyarat (sebagai pengampunan dalam kehidupan sehari-hari). Dengan demikian, pengampunan bukanlah suatu kalkulasi yang menuntut terpenuhinya syarat-syarat yang memungkinkannya. Tuntutan Derrida perihal mengampuni yang tidak terampuni bukanlah perkara kekerasan atau tanpa kekerasan. Ia bukan pula suatu bentuk imperatif moral Kantian yang diradikalkan (murni). Namun, mengampuni yang tidak terampuni merupakan suatu daya internal yang mengaduk-aduk konsep tersebut sehingga kita tidak pernah tenang dengan istilah kemenduniaannya, yakni “pengampunan”.
yulius tandyanto 169
Melalui skema Derridean tersebut pengampunan ditarik menuju dua arah sekaligus, efektif sekaligus labil. Di satu sisi, pengampunan digerakkan oleh suatu daya efektif tertentu sehingga ia menjadi tindakan konkret di dalam beragam institusi sehari-hari—baik bersifat politik, yuridis, maupun religius. Namun, di sisi lain, pengampunan juga digerakkan oleh daya hiperbolis yang labil sehingga ia merupakan kemenjadian terhadap “yang akan datang”. Dalam konteks tersebut, pengampunan digerakkan oleh suatu dorongan, atau hasrat, atau sebutan apa pun yang engkau kehendaki, sehingga struktur berbagai institusi tersebut memiliki tujuan yang terbuka, dapat direvisi, dan terarah pada masa depan yang tidak terkira.11 Berdasarkan uraian singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep “pengampunan” Arendt dan Derrida berada dalam dua aras yang berbeda—kendati sama-sama “menempatkan” pengampunan sebagai ambang batas kemanusiaan. Pengampunan model Arendt memperlihatkan kondisi eksistensial manusia yakni, dimensi “keterampunan” yang memungkinkan tindakan-tindakan manusia. Pendek kata, bagi Arendt, pengampunan (dan janji) merupakan mekanisme kontrol terhadap keberadaan (tindakan) manusia.12 Di aras yang lain, pengampunan model
Ann Murphy mengistilahkan dorongan tersebut sebagai “keheningan”. Ia menyatakan, “Keheningan yang melandasi wacana pengampunan Derrida layak untuk diperhatikan karena kesengajaan Derrida untuk menolak isu-isu tertentu terkait pengampunan. Malahan, wacana Derrida mengenai pengampunan tidak dialamatkan pada motifmotif populer sebagaimana yang dilakukan oleh keadilan historis dan politik ingatan. Di antaranya adalah perdebatan terkait apakah mengingat atau melupakan yang menjadi strategi paling produktif untuk mengatasi kekejaman sejarah. Apakah pengampunan menghasilkan semacam ingatan kolektif atau bertujuan untuk menjahit luka-luka dengan harapan untuk bergerak maju? Sebagian kritisi menekankan pentingnya dan kesahihan hukuman untuk tindak kekerasan. Sebagian yang lain keberatan dengan amnesti dan pengampunan karena merupakan strategi yang tidak adil secara moral terhadap kekerasan masal. Terkait debat dan diskusi mengenai isu-isu tersebut, Derrida tidak berkata banyak. Keheningannya jelas; persoalan-persoalan yang tak dijawab oleh Derrida memperlihatkan bahwa ia memahami pengampunan sebagai suatu tanggapan atau saran yang lebih positif (Murphy, 2014: 538-5399).” 12 Arendt menyatakan, “[P]engampunan dan janji muncul dari itikad untuk hidup bersama-sama dengan orang lain yang terejawantahkan dalam tindakan dan pernyataan. Jadi, pengampunan dan janji seolah-olah merupakan mekanisme kontrol untuk memulai proses yang baru dan yang tidak akan pernah berakhir (Arendt, 1998: 246).” 11
03-yulius.indd 169
4/16/2015 6:19:27 AM
170
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Derrida menyingkapkan tuntutan etis dari wacana dan praktik-praktik pengampunan itu sendiri. Dengan kata lain, Derrida memperlihatkan dimensi “praktik” antara sang pengampun dan yang terampuni. Di dalam praktik tersebut terdapat ketegangan yang tak terselesaikan antara pengampunan mutlak dan pengampunan bersyarat. Lantas, bagaimana kita dapat menjembatani dua aras pengampunan yang berbeda tersebut agar dimensi eksistensial dan etis dari pengampunan tersebut dapat dihayati dan dihidupi secara bersamaan? Pada pokok itulah penyelidikan akan aras ketaksadaran memampukan kita untuk mencurigai dan menginterogasi ilusi-ilusi yang tersembunyi ketika kita berupaya mencapai hal-hal ideal, termasuk pengampunan murni. Melalui penyelidikan tersebut manusia dimungkinkan untuk bertanggung jawab tidak hanya akan keberadaan tindakannya, tetapi juga akan ketakutan dan hasrat-hasrat dalam dirinya. Singkatnya, aras ketaksadaran meradikalkan ope rasi pengampunan di dalam yang Liyan. Perjumpaan dengan yang Liyan Barangkali ketaksadaran tidak ubahnya seperti wacana mengenai yang Liyan. Pasalnya, yang Liyan ini dibutuhkan untuk
13
03-yulius.indd 170
Vol II, 2014
mengkondisikan ketaksadaran manusia. Lacan menyatakan, “[…] yang Liyan dengan L besar merupakan suatu lokus yang penting dalam struktur simbolik. Yang Liyan ini dibutuhkan untuk mengkondisikan ketaksadaran dalam kebenaran, yakni untuk menstrukturkannya sehingga seluruh rangkaian neurosis menjadi suatu persoalan dan bukan suatu daya pikat—suatu pembedaan yang perlu digarisbawahi terkait fakta bahwa subyek menggunakan daya pikat (umpan) hanya untuk ‘mengitari persoalan’ (Lacan, 2006: 379 [454]).”
Lacan membedakan yang Liyan dengan “L” besar dan yang liyan dengan “l” kecil. Bagi Lacan, “yang liyan” selalu mengacu pada sesuatu yang imajiner. Kita memperlakukan yang liyan sebagai keseluruhan, ego yang utuh, dan refleksi akan sosok yang utuh. Di sisi lain, “yang Liyan” merupakan keterasingan mutlak yang tidak dapat dileburkan ke dalam subyektivitas manusia. Yang Liyan merupakan tatanan simbolik. Ia adalah bahasa asing yang melingkupi manusia. Ia perlu dipelajari sehingga manusia dapat mengartikulasikan hasrat dirinya. Yang Liyan merupakan wacana dan hasrat-hasrat yang berada di sekeli ling manusia—yang di dalamnya manusia menginternalisasi dan mengekspresikan
Dalam penafsiran Lacan, ketaksadaran model Freudian merupakan warisan subyek Cartesian (Homer, 2005: 67). Oleh karena itu, Lacan mengabaikan semua filsafat yang diturunkan darinya. Jika Descartes berangkat dari kesangsian metodis sehingga dapat memastikan dirinya ada, maka dalam perspektif Lacanian, suatu hal yang dapat dipastikan adalah ia tidak ada. Bagi Lacan, Freud adalah seorang Cartesian karena masih berpikir dalam skema Cartesian, meskipun ia memprioritaskan kajiannya pada ketaksadaran. Implikasinya, kepastian kesadaran selalu didukung oleh keraguan, yang tidak diketahui, atau yang Freud sebut sebagai ketaksadaran. Sebaliknya, Lacan memperlihatkan bahwa hanya ada satu kepastian yang berbeda dengan Freud, yakni subyek tak sadar yang menyatakan dirinya. Subyek tak sadar berpikir sebelum mendapat kepastiannya. Lacan menulis, “Descartes tidak mengetahui—terkecuali bahwa pengetahuannya hanya meliputi kepastian subyek dan menolak segala pengetahuan sebelumnya—tetapi kita mengetahui berkat bantuan Freud bahwa subyek yang tak sadar menyatakan dirinya; bahwa ia berpikir sebelum ia memperoleh kepastiannya. Inilah yang ditinggalkan pada kita. Inilah satu-satunya persoalan kita yang pasti. Namun, persoalan itu telah menjadi suatu wilayah yang tidak dapat kita hindari—setidaknya sejauh persoalan itu terkait (Lacan, 1998a: 37).” Dengan kata lain, ketaksadaran bersifat pra-ontologis (Homer, 2005: 67). Ia tidak dapat ditundukkan dalam kesadaran atau pun skema berpikir Cartesian. Ketaksadaran bukanlah persoalan tentang eksistensi, ada atau non-ada, tetapi yang tidak disadari—yang tidak diketahui dalam posisi keraguan Cartesian. Dengan demikian, ketaksadaran adalah ketidaktahuan yang melampaui keraguan.
4/16/2015 6:19:27 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
hasratnya (Homer, 2005: 70). Dalam kutipan Lacan di atas juga telah diandaikan bahwa ketaksadaran memiliki struktur simbolik seperti bahasa. Pengandaian tersebut dimungkinkan karena Lacan memprioritaskan ketaksadaran dibandingkan kesadaran manusia.13 Berdasarkan prioritas itulah Lacan mengembangkan hipotesis ketaksadaran yang terstruktur seperti bahasa. Ketaksadaran model Lacan diatur oleh aturan-aturan penanda sebagaimana bahasa menerjemahkan imaji-imaji di dalam strukturnya (Homer, 2005: 68-69). Manusia hanya mengetahui ketaksadaran melalui pernyataan dan bahasa. Karena itu, ada persamaan antara unsur-unsur ketaksadaran dengan penanda dan bentuk-bentuk bahasa lainnya. Bagi Lacan, bahasa bukan hanya pernyataan verbal atau teks tertulis, tetapi segala sistem penanda yang berdasarkan hubungan diferensial. Dengan kata lain, dalam ketaksadaran terjadi proses penandaan yang meliputi pengkodean dan pemecahan kodenya atau pembentukan isyarat dan penerjemahannya. Ketaksadaran hadir dalam tatanan simbolik sebagai celah14 antara penanda dan yang ditandai—melalui pergeseran yang
yulius tandyanto 171
ditandai dan kegagalan untuk menetapkan maknanya. Singkatnya, ketaksadaran adalah kode atau pun isyarat yang menandai dan sekaligus perlu diuraikan. Dalam Seminar XX, Lacan merumuskan pembedaan antara istilah “bahasa” yang digunakannya dengan linguistik secara umum melalui neologismenya, yakni ekstralinguistis (la linguisterie).15 Jika linguistik berkaitan dengan bahasa, maka ekstralinguistis adalah sisi kebahasaan yang diabaikan oleh bahasa. Ekstralinguistis mengacu pada kegagalan bahasa dalam membentuk maknanya. Dengan kata lain, ekstralinguistis adalah ilmu mengenai kata yang tak memiliki maknanya. Bruce Fink menerjemahkan ekstralinguistis sebagai “linguistrick” (Homer, 2005: 69). Melalui istilah tersebut, Fink menitikberatkan sifat ketaksadaran yang penuh permainan, yang selalu menjadi batu sandungan subyek, dan menipu kesadaran. Dalam pengertian inilah ketaksadaran Lacanian terstruktur seperti bahasa. Melalui ciri khas ketaksadaran itulah—sebagai celah, terstruktur seperti bahasa, dan ihwal keliyanan—pengampunan beroperasi. Aras ketaksadaran memperlihatkan bahwa pengampunan selalu ber-
Lacan berpendapat bahwa ketaksadaran bagaikan celah atau patahan. Celah inilah yang menghubungkan antara persepsi dengan kesadaran. Lacan menyatakan, “Sekali lagi, proses utama—yang saya selalu definisikan bagi Anda dalam beberapa kuliah terakhir saya terkait bentuk ketaksadaran—haruslah dipahami dalam suatu pengalaman patahan antara persepsi dan kesadaran. Celah tersebut merupakan lokus yang tak mewaktu, yang memaksa kita untuk menempatkan sesuatu yang Freud sebut sebagai die Idee einer anderer Lokalitdt—sebagai penghormatan kepada Fechner, yakni gagasan tentang lokalitas yang liyan, ruang yang liyan, suasana yang liyan, perantara antara persepsi dan kesadaran (Lacan, 1998a: 56).” Dalam Seminar XI, Lacan menyelidiki teks-teks Freud tersebut dan mendefinisikan ketaksadaran sebagai “kegagapan”, “peruntuhan”, dan “pemisahan” (Homer, 2005: 68). Ketaksadaran menyatakan dirinya ketika bahasa kandas dan tergagap-gagap. Dengan kata lain, ketaksadaran hadir persis ketika ada celah atau patahan dalam rantai simbolik. 15 Lacan menyatakan, “Suatu hari saya menyadari bahwa sangatlah sulit untuk tidak mengkaji bahasa ketika ketidaksadaran ditemukan. Berdasarkan hal itulah, saya merumuskan suatu sanggahan terhadap Jakobson yang telah Anda dengar melaluinya bahwa semua yang disebut bahasa (tout ce qui est du langage) terjebak dalam kerangka linguistik—yang dalam analisis finalnya berada dalam karangka si linguis. Ketidaksetujuan saya terhadapnya bukan hanya terkait mengenai puisi di mana ia pun telah memberikan argumennya. Namun, jika seseorang mempertimbangkan bahwa melalui bahasa segala sesuatu selalu seturut subyek—yang telah ditumbangkan dan diperbaharui secara mendalam oleh Freud bahwa segala sesuatu yang didaku sebagai tak sadar dapat didasarkan—maka seseorang perlu menempa kata lain untuk meninggalkan pengaruh (domaine réservé) Jakobson. Saya menyebutnya sebagai ekstralinguistis (linguisterie) [Lacan, 1998b: 14-15].” 14
03-yulius.indd 171
4/16/2015 6:19:27 AM
172
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
hubungan erat dengan keliyanan. Hasrat, ketakutan, dan harapan dari yang Liyan mengalir pada sang pengampun dan penerima ampunan melalui bahasa. Oleh karena itu, pengampunan selalu dibentuk dan dicetak oleh bahasa. Kita hanya dapat mengekspresikan pengampunan melalui bahasa yang kita miliki, dan bahasa tersebut kita pelajari melalui orang lain. Implikasi lainnya adalah manusia selalu hadir melalui sesamanya. Manusia hanya dapat mengungkapkan dirinya dalam lokus yang Liyan. Manusia (subyek) model Lacanian tidak memiliki kepastian akan kesadaran diri—seperti aku berpikir, maka aku ada. Manusia Lacanian adalah ketiadaan, yakni ia yang kehilangan keberadaannya (Homer, 2005: 71). Bahkan, dalam Seminar XI, Lacan menggambarkan bagaimana manusia menyadari dirinya di dalam yangLain, yakni melalui keterasingan (bahasa) dan keterpisahan (hasrat). Lacan selalu mendeskripsikan bahwa manusia akan tiba atau telah tiba (Homer, 2005: 74). Jadi, tidak akan ada suatu momen pasti bahwa dirinya muncul dalam wujud yang stabil dan utuh. Manusia selalu muncul melalui serangkaian proses subyektivikasi—keterasingan dan keterpisahan— dibandingkan melalui suatu peristiwa yang khusus. Dalam kondisi tersebut, pokok yang perlu diperhatikan adalah bahwa manu-
16
03-yulius.indd 172
Vol II, 2014
sia mengasumsikan posisi dirinya dalam tatanan simbolik sehingga ia dapat bertindak. Manusia tidak melulu ditentukan oleh struktur. Ia harus berhubungan dengan hasrat yang Liyan untuk menjadi manusia. Unsur itulah yang memungkinkan perubahan dan yang melampaui ketetapan tak terhindarkan dari tatanan simbolik. Walhasil, manusia mampu membuat pilihan yang menentukan masa depannya, meskipun secara paradoksal pilihan tersebut didasarkan pada hasrat dan ketaksadaran yang tidak tentu. Dalam pengertian tersebut, manusia tertunda antara “manusia yang menjadi” dan wilayah yang Liyan. Ia berada dalam kebimbangan tak berkesudahan. Ia tidak pernah hadir di saat ini secara substantif. Lantas, apa yang disebut dengan manusia bila ia tidak memiliki konsistensi dan juga tidak hanya merupakan dampak bahasa (wacana)? Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam pemahaman psikoanalisis mengenai naluri (drive).16 Secara karikatural, bagi Lacan, manusia tidak ubahnya adalah naluri (Homer, 2005: 74). Berdasarkan uraian mengenai ketaksadaran inilah, kita dapat menyimpulkan bahwa (kesadaran) manusia bukanlah agen yang menentukan pengampunan. Sebaliknya, tatanan (wacana) lentur pengampunanlah yang memungkinkan identitas kemanusiaan. Pengampunan memang
Dalam konteks ini, naluri perlu dibedakan dengan insting. Menurut Freud, naluri merupakan suatu konsep perbatasan antara yang somatis (ragawi) dan yang mental. Naluri memuat energi dan representasi psikis. Di sisi lain, insting adalah kebutuhan yang dapat dipuaskan. Dengan kata lain, naluri adalah sesuatu yang berasal dari tubuh dan mencari ekspresinya dalam psikis sebagai representasi. Freud sendiri memusatkan perhatiannya pada tujuan naluri dan bagaimana ia terpuaskan. Lacan akan mempertahankan dan mengembangkan gagasan Freud mengenai naluri untuk memahami subyektivitas. Bagi Lacan, naluri tidak pernah mencapai tujuannya. Naluri selalu mengitari obyeknya dan tidak pernah mendapat kepuasan. Kendati demikian, teori naluri Lacan berbeda dengan Freud setidaknya dalam dua aspek. Pertama, sifat naluri yang terbagi-bagi. Freud berpendapat bahwa seksualitas terdiri dari serangkaian naluri yang terbagi-bagi dalam fase oral, anal, dan penis. Fase-fase tersebut akan menyatu menjadi naluri genital melalui kompleks Oidipus. Sebaliknya, Lacan berpendapat bahwa semua naluri bersifat terbagi-bagi karena tidak akan pernah ada kesatuan naluri di dalam subyek. Kedua, berkaitan dengan dualisme naluri. Lacan mempertahankan dualisme naluri Freudian, tetapi menolak pembedaan dua naluri, yakni Eros dan Thanatos. Bagi Lacan, secara alamiah setiap naluri bersifat seksual sekaligus mematikan—yang oleh Lacan diistilahkan sebagai yang-nyata dan jouissance (Homer, 2005: 76).
4/16/2015 6:19:27 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
mengakomodasi pelbagai tindakan ke kerasan manusia yang digerakkan oleh naluri. Namun, pada saat yang bersamaan, kemanusiaannya selalu berada dalam ketegangan dan dibentuk oleh hal-hal yang tidak terpahami oleh pribadi yang bersangkutan. Karena itu, pernyataan permohonan atau pemberian maaf boleh jadi merupa kan ekspresi kegamangan terhadap realitas legap yang dihidupi oleh manusia itu sen diri. Dalam keterbatasannya, ia menginterogasi segala afek akibat naluri yang tidak pernah mencapai tujuannya. Kendati demikian, pengucapan kata, “Saya mohon maaf” atau “Saya memaafkan Anda” juga merupakan momen pengutuhan identitas dirinya yang siap terserak kembali di dalam keliyanan. Dengan demikian, ekspresi pengampunan menyingkapkan selubungselubung kemanusiaan yang misterius, buntet, dan tidak pernah selesai. Dalam konteks itulah, ekspresi-ekspresi pengampunan yang terejawantahkan dalam kebudayaan menjadi ambang batas kemanusiaan.
yulius tandyanto 173
Kemanusiaan justru dibentuk oleh keterampunan sebagai perwujudan yang Liyan. Pada aras itulah, tiap individu menyangsikan dan menginterogasi berbagai afek (amarah, takut, putus asa, benci, pengharapan, dsb.) dirinya yang terekspresikan melalui bahasa. Secara karikatural, pada tabel 1 di bawah ini penulis tampilkan perbandingan pandangan Arendt, Derrida, dan Lacan terkait pengampunan. Tabel 1. Perbandingan Konsep “Pengampunan” dalam Arendt, Derrida, dan Lacan Unsur
Arendt
Derrida
Lacan
Aras pengampunan
eksistensial
etis
ketaksadaran
Fokus pengampunan
keterampunan subyek
proses pengampunan
hasrat akan yang liyan
Dengan demikian, permohonan dan pemberian maaf boleh jadi menuntaskan kegamangan manusia akan realitas yang dihadapinya. Namun, penuntasan kegamangan tersebut tidak serta-merta menempatkan manusia dalam keadaan yang stabil. Malahan, ia diperhadapkan pada kemanusiaan yang misterius dan ambivalen karena selubung-selubung simbolik yang tersingkap. Barangkali permohonan maaf yang di Penutup utarakan Komaruddin terhadap Nita—atau Pengampunan adalah ambang batas kema- pun Nita yang memberi ampunan terhadap nusiaan. Pernyataan tersebut menggaris- Komaruddin—merupakan ekspresi kebawahi bahwa ada suatu “sebutan apa pun gamangan terhadap perselingkuhan yang yang engkau kehendaki” yang mengako- telah dilakukannya. Mungkin saja Koma modasi pelbagai kekerasan yang dilakukan ruddin mengharapkan rekonsiliasi, tetapi manusia, yakni pengampunan. Pengampu- mungkin pula ia tidak tahu secara jelas akan nan memungkinkan setiap orang untuk apa yang ia harapkan. Pada momen itulah, senantiasa berdaya cipta tanpa dihantui terbuka berbagai kemungkinan identitas oleh berbagai tindakan (kekerasan) yang kemanusiaan yang boleh jadi melampaui telah dilakukannya. pakem tradisi yang melingkupi dirinya. Kendati demikian, pengampunan tidak Ya, Komaruddin tengah berjumpa dengan hanya merupakan suatu transaksi pertu- keliyanan sebagaimana pula Nita. karan untuk membuat hubungan antarsTentu saja berbagai ekspresi peng esama menjadi seimbang atau harmonis. ampunan tidak dengan mudahnya melegitMalahan, pengampunan adalah tindakan imasikan (atau pun mendelegitimasikan) yang mustahil karena manusia bukanlah berbagai kekerasan dan kejahatan manuagen yang menentukan keterampunan. sia—dari contoh kasus perselingkuhan
03-yulius.indd 173
4/16/2015 6:19:27 AM
174
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Komaruddin hingga perdebatan mengenai hukuman mati yang mungkin masih hangat hingga kini. Toh, di hadapan tindakan-tindakan yang tidak terampuni itulah pengampunan justru beroperasi secara optimal. Agaknya memang dibutuhkan ke sintingan untuk menyelami tindakan manusia dan keabsurdan pengampunan demi kemanusiaan itu sendiri. Kiranya sidang pembaca sekalian dapat memafhumi suguhan penulis yang boleh jadi agak sinting dan naif. Karena itu, “Maaf, maaf, maaf ....” Daftar Pustaka Murphy, Ann V. (2014). “On Forgiveness and the Possibility of Reconciliation.” Dalam Zeynep Direk dan Leonard Lawlor (Tim Editor). A Companion to Derrida. Chichester (UK): John Wiley & Sons, Ltd, hlm. 537-549. Arendt, Hannah. (1998). The Human Condition. Chicago (USA) dan London (UK): The University of Chicago Press. Caputo, John D., Dooley, M., dan Scanlon, Michael J. (2001). “Introduction: God Forgive.” Dalam John D. Caputo, Mark Dooley, dan Michael J. Scanlon (Tim Editor). Questioning God. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, hlm. 1-18. Derrida, Jacques. (2001a). On Cosmopolitanism and Forgiveness. Diterjemahkan oleh Mark Dooley dan Michael Hughes. London (UK) dan New York (USA): Routledge. _____. (2001b). “To Forgive: The Unforgivable and the Imprescriptible.” Diterjemahkan oleh Elizabeth Rottenberg. Dalam John D. Caputo, Mark Dooley, dan Michael J. Scanlon (Tim Editor). Questioning God. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, hlm. 21-51.
03-yulius.indd 174
Vol II, 2014
Glendinning, Simon. (2011). Derrida: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press. Homer, Sean. (2005). Jacques Lacan. London (UK) dan New York (USA): Routledge. Kearney, Richard. (2001). “On Forgiveness: A Roundtable Discussion with Jacques Derrida.” Dalam John D. Caputo, Mark Dooley, dan Michael J. Scanlon (Tim Editor). Questioning God. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, hlm. 52-72. Lacan, Jacques. ---. (2006). Écrits: The First Complete Edition in English. Diterjemahkan oleh Bruce Fink. New York (USA) dan London (UK): W. W. Norton & Company. _____. (1998a [1973]). The Seminar of Jacques Lacan, Book XI: The Four Fundamental Concept of Psychoanalysis 1964-1965. Editor J. A. Miller, Diterjemahkan oleh Alan Sheridan. New York (USA) dan London (UK): W. W. Norton & Company. _____. (1998b [1975]). The Seminar of Jacques Lacan, Book XX: Encore, On Feminine Sexuality, The Limits of Love and Knowledge 1972-1973. Editor J. A. Miller. Diterjemahkan oleh Bruce Fink. New York (USA) dan London (UK): W. W. Norton & Company. Oliver, Kelly. (2003). “Forgiveness and Subjectivity.” Dalam Philosophy Today 47, 280-292. Prawiroatmodjo, S. (1981). Bausastra JawaIndonesia: Jilid I, Abjad A-Ny, Edisi ke-2. Jakarta: PT Gunung Agung. Royle, Nicholas. (2003). Jacques Derrida. London dan New York: Routledge. Swift, Simon. (2009). Hannah Arendt. Abingdon dan New York: Routledge. Wortham, Simon Morgan. (2010). The Derrida Dictionary. London dan New York: Continuum.
4/16/2015 6:19:27 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 175-185 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan PAULUS CATUR WIBAWA A l u m n u s F a k u l t a s Te o l o g i U n i v e r s i t a s S a n a t a D h a r m a , Yo g y a k a r t a Surel:
[email protected] Diterima: 6 Januari 2015 Disetujui: 9 Maret 2015
ABSTRACT Since Youth Pledge on October 28, 1928, Bahasa Indonesia has officially been acknowledged as a national language. In fact, Bahasa Indonesia is not a homogeneous language. There are numerous variety of vocabularies and concepts borrowed from various cultures in Indonesia and from other nations. This fact confirms what Edward Said stated in his Culture and Imperialism that no culture is single and pure. Considering the variety of Bahasa Indonesia, there is a series of long history on how the national identity has been constructed and denied. Pengakuan Pariyem (The Confession of Pariyem) is a good example on this issue. This lyrical prose by Linus Suryadi shows a complex that infects most of the Javanese in practising Indonesian. Until now, Pariyem’s syndrome can be still found. For example, the idiom of “Aku Rapopo” always appears in TV and printing news in Indonesian language. In other word, Pariyem has acknowledged the identity issue as an identity that has been mess-mixed up by hybridity and cultural heritage value. Keywords: bahasa Indonesia, identity, hybridity, postcolonial, neologism, The Confession of Pariyem.
kompas.com dan tribunnews.com pada 1 “Mau nyerang silakan, mau ngejek silakan. hari Senin, 24 Maret 2014 . Ungkapan aku Toh, masyarakat sudah bisa menyaring rapopo tiba-tiba begitu populer belakangan mana yang benar dan mana yang tidak ini. Joko Widodo, mantan Walikota Solo benar. Mau dukung silakan, mau tidak yang kemudian menjadi gubernur DKI dukung silakan. Aku rapopo, aku rapopo, he- (dan terakhir, menjadi Presiden terpilih Inhe-he,” kata Jokowi, di Balaikota Jakarta, donesia, periode 2014 - 2019) ini memang sungguh orang Jawa. Caranya bertutur daSenin (24/3/2014). Kutipan di atas diambil dari berita lam bahasa Indonesia sangat dipengaruhi yang ditayangkan oleh media berita daring oleh cara bertutur masyarakat Jawa. Tidak Pendahuluan
1
04-paulus.indd 175
“Jokowi: Diserang, Aku Rapopo...” dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2014/03/24/1737543/Jokowi.Diserang.Aku.Rapopo. Penulis: Alsadad Rudi, Editor: Hindra Liauw; “Jokowi: Mau Nyerang, Meledek, Silakan, Aku Rapopo,” Senin, 24 Maret 2014 21:18 WIB dalam http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/03/24/jokowi-maunyerang-meledek-silakan-aku-rapopo; Penulis: Imanuel Nicolas Manafe, Editor: Hendra Gunawan.
4/16/2015 6:19:46 AM
176
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
hanya menggunakan banyak kosakata dan konsep-konsep Jawa dalam berbahasa Indonesia, Joko Widodo dengan jelas berbahasa Indonesia dengan gaya Jawa. Tidak heran, Joko Widodo berulangkali menggunakan ungkapan aku rapopo dalam wawancara dengan awak media. Bahkan dalam ajang pemilihan Presiden tahun 2014 yang lalu, ungkapan aku rapopo menjadi ungkapan yang secara politis identik dengan diri Joko Widodo, yang dipergunakan sebagai kosa kata kampanye, baik oleh para pendukung maupun lawannya. Meskipun menarik—dan karena itu perlu dicatat— ungkapan aku rapopo diperlawankan dengan aku raiso popo. Ironi Bahasa Per-satu-an Joko Widodo dengan aku rapopo-nya bukanlah fenomena baru. Pada 1981, di ranah sastra, terbit sebuah prosa liris karya Linus Suryadi berjudul “Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita Jawa”. Karya ini sempat membuat beberapa pembaca dan pengamat ragu mengenai identitas karya ini. Banyaknya kosakata dan konsep berbahasa Jawa dalam karya ini membuat tidak sedikit orang bertanya-tanya apakah Pengakuan Pariyem harus disebut sebagai sastra Indonesia atau sastra Jawa yang meminjam bahasa Indonesia sebagai mediumnya. Lepas dari perdebatan tersebut, Bakdi Sumanto dalam kajiannya terhadap Pengakuan Pariyem, mengatakan bahwa fenomena Pariyem adalah kompleks psikologis yang menghinggapi sebagian besar orang Jawa dalam kancah bertutur di Indonesia (Sumanto, 1999:xii). Kita bisa melihat bahwa sampai sekarang, kompleks semacam itu tidak pernah dapat disembuhkan. Di samping aku rapopo (dan raisopopo), muncul pula istilah legowo yang diselewengkan sebagai let it go, Wo dan juga ungkapan “Piye, isih penak jamanku
04-paulus.indd 176
Vol II, 2014
tho?” yang ditampilkan secara masif dalam satu paket bersama gambar mantan Presiden RI ke-2, Soeharto. Bisa jadi, Ben Anderson agak terburu-buru ketika meramalkan bahwa poliglotisme periode kolonial dan pascarevolusi di Indonesia akan berangsur-angsur hilang, sementara bahasa Indonesia akan semakin menjadi satu-satunya bahasa yang dipakai oleh generasi muda Indonesia (Anderson, 1966: 89). Meskipun demikian, dalam tulisan pendek tersebut, Anderson memberi sumbangan yang berharga dalam memetakan unsur dominan yang membentuk bahasa Indonesia. Menurutnya, jiwa bahasa Indonesia dibangun dalam kungkungan pengaruh tiga bahasa dominan dan dua tradisi yang mengakar. Ketiga bahasa itu adalah bahasa Belanda, bahasa Jawa dan “Bahasa Melayu Revolusioner,” sedangkan dua tradisi yang dimaksud adalah tradisi Belanda (Barat) dan Jawa. Perlu diingat bahwa nasionalisme di Indonesia dimulai dari para mahasiswa yang memperoleh ilmunya dari bahasa yang bukan Indonesia. Sekolah-sekolah pertama— yang terbatas, eksklusif dan elitis—diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Fasih berbahasa Belanda adalah salah satu tanda orang termasuk dalam golongan elite, terpelajar dan atau aristokrat. Artinya, dari segi jumlah, tidak sangat banyak orang pribumi yang fasih berbahasa Belanda. Penyebab utamanya adalah karena orang Belanda sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa mereka, bahkan mereka berusaha membuat penyebaran bahasanya terjadi selambat mungkin, seperti dianalisis Lombard berikut ini: ...bahkan ketika pada abad ke-19 bahasa Belanda telah menggantikan kedudukan bahasa Portugis dan Melayu dalam percakapan sehari-hari, bahasa Belanda itu hanya digunakan dalam lingkungan “intern.” Baru kemudian,
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
ketika sudah sangat terlambat dan agaknya terdesak oleh kebutuhan akan pegawai administrasi “pribumi”, pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan beberapa sekolah. Itupun hanya terbatas bagi putra para pembesar, segelintir minoritas yang disaring dengan sangat teliti, yang diperkenankan masuk ke kuil untuk mengenal rahasia kekuatan Barat. (Lombard, 2008:94)
Tidak hanya membatasi penyebaran bahasanya pada segelintir orang pribumi yang diseleksi dengan ketat, juga tidak melupakan motif investasinya bahwa kelak pribumi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, pemerintah Belanda menunjukkan pula sikap tidak suka atau terkesan merasa terhina jika ada orang pribumi yang berbicara kepada me reka dengan bahasa Belanda. Bagi pemerintah Belanda, berbicara bahasa Belanda tidak membuat seorang pribumi menjadi Belanda. Karena itu, “balas budi” pemerintah kolonial terhadap bangsa pribumi— yang mendapatkan inspirasinya dari tulisan Conrad Theodore Van Deventer (1857 – 1915) berjudul Een Eereschuld atau “Hutang Kehormatan” yang dimuat dalam majalah De Gids (Panduan) pada 1899—dengan cara memperkenalkan bangsa pribumi kepada ilmu pengetahuan telah dijalankan dengan motivasi yang ketulusannya sungguh meragukan. Foulcher membandingkannya dengan Notulen untuk Parlemen karya Thomas Babington Macaulay, Anggota Dewan Hukum India, pada 2 Februari 1835, yang membayangkan diciptakannya “satu kelas orang yang darah dan warnanya India, tapi selera, pendapat, moral dan inteleknya Inggris” dan melihat bahwa keduanya telah gagal. “Seperti ke-Inggris-an kawula kolonial itu kelak akan terbukti menjadi sekutu yang sama sekali tidak bisa dipercayai oleh negara kolonial, demikian juga otoritas di Hindia Belanda dengan cepat sekali menyadari bahwa “rasa terima kasih” para kawula yang baru direkon-
04-paulus.indd 177
paulus catur wibawa 177
struksi itu bukan sesuatu yang dapat diandalkan. Mimikri loyal dari pegawai negeri kolonial yang meniru selera,, pendapat dan intelek bangsa kolonial membuat mereka menjadi hampir serupa tapi tidak sama…dalam kacamata kolonial, peniruan budaya kolonial oleh pihak terjajah harus dikendalikan dengan ketat agar tidak melampaui batas-batas ‘rasa terima kasih dan mulai menuntut mendapatkan otoritas yang tidak pernah dimaksudkan untuk si terjajah’” (Foulcher dan Day, 2008: 106)
Meskipun demikian, penyebaran bahasa Belanda telah memberikan peran yang cukup signifikan bagi tumbuhnya kesadaran bangsa pribumi. Para tokoh pergerakan nasional—yang sebagian besar memang berasal dari kalangan priyayi— banyak memublikasikan ide nasionalisnya dalam artikel berbahasa Belanda, di surat kabar berbahasa Belanda. Kenyataan tersebut bukan hanya menunjukkan bahwa pengaruh bahasa Belanda dalam pembentukan bahasa Indonesia tidak mungkin diabaikan, tetapi lebih-lebih menegaskan betapa kolonialisme Belanda selama beratus-ratus di Indonesia telah menorehkan jejak yang dalam dan tidak mungkin dapat dihapuskan. Tidak terhapusnya jejak-jejak kolonial tersebut sekaligus juga mengasumsikan bahwa ketika para cendekiawan muda Indonesia menemukan rasa kebangsaannya, di dalam diri mereka telah menyusup nilainilai dan kesadaran baru yang sebelumnya adalah milik bangsa yang menjajahnya. Para cendekiawan yang memulai gerakannya sejak awal abad ke-19 adalah generasi yang karena pengaruh kolonialisme sudah terhibridisasi. Pemberontakan mereka terhadap kolonial sekaligus juga pemanfaatan mereka atas warisan kolonial. Seperti dilihat dengan jernih oleh Edward Said, fenomena ini terjadi di semua tempat jajahan. Dalam bukunya, Culture and Imperialism, Said mengatakan “Partly because of empire, all cultures are involved in one another; none is single and pure, all are hy-
4/16/2015 6:19:47 AM
178
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
brid, heterogenous, extraordinarily differentiated and unmonolithic” (Said, 1993: xxv). Dari kutipan ini, Edward Said menunjukkan bagaimana imperialisme bangsa-bangsa Eropa ke tanah jajahan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kebudayaan di tanah jajahan. Konsep-konsep budaya baru, gaya hidup, cara berpikir penjajah dicangkokkan ke dalam kebudayaan tanah jajahan. Pemikiran Edward Said ini menjadi salah satu simpulan yang sering ditemukan dalam kajian pascakolonial. Maka, dalam terang ini, praktik penggunaan bahasa Indonesia bisa ditelusuri taut kelindannya dengan kebudayaan bangsa kolonial yang telah datang ke Indonesia sejak abad ke-17. Senada dengan Said, tetapi dengan titik perhatian yang lebih spesifik, Denys Lombard memberi catatan bahwa “kehadiran penjajah telah memasukkan sejumlah besar barang, lembaga, konsep dan kata-kata baru, maka bahasa Melayu— yang sedikit demi sedikit mengambil nama “bahasa Indonesia”—dibebani sejumlah besar neologisme.” (Lombard, 2008:162) Ketika membahas masalah pembaratan bahasa Indonesia, Lombard menunjukkan ketercengangannya melihat berkembangbiaknya neologisme. Ia mengutip penghitungan yang dilakukan oleh SOAS London (1978) yang menemukan bahwa jumlah istilah yang ditemukan berasal dari bahasa Belanda atau bahasa Inggris ada sekitar 4800. Angka ini, menurut Lombard sendiri, sangat nisbi karena teramat sulit memperkirakan kelangsungan hidup neologisme yang baru dipinjam. Namun, angka tersebut dapat memberi gambaran mengenai besarnya gejala tersebut. Kita tidak tahu bagaimana nasib 4800 neologisme yang mengganggu Lombard itu sekarang. Pada 2003, JS Badudu menerbitkan Kamus KataKata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Kamus tersebut berisi 8.615 lema. Pada kurun yang sama, Kamus Besar Bahasa Indone-
04-paulus.indd 178
Vol II, 2014
sia edisi Ketiga (2005) berisi 78.000 lema. Secara kasar dapat dikatakan bahwa hampir 10% kosakata bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa asing. Meskipun angka ini masih sama nisbinya dengan data yang disajikan Lombard, gambaran tentang besarnya gejala impor bahasa asing masih terlihat sampai sekarang. Statusnya sebagai bahasa penghubung menjadikan bahasa Indonesia sangat terbuka terhadap kata pinjaman. Karena itu, penerimaan neologisme asing secara besar-besaran bukan hal yang mustahil. Kendati jumlah neologisme yang dipinjam dari Barat cukup banyak, tidak sedikit pula didapati istilah yang dipinjam dari bahasa daerah. Suatu kajian mengenai bahasa Indonesia tahun 1955-1975 menunjukkan bahwa separuh dari istilah baru yang diterima selama masa itu berasal dari bahasa Sunda dan terutama dari bahasa Jawa, sehingga jelas sekali peranan besar yang dimainkan oleh cadangan kosakata asli (Lombard, 2008:163) Terlemparnya bahasa Melayu ke dalam heterogenitas masyarakat di kepulauan Indonesia merupakan sesuatu yang istimewa untuk perkembangan bahasa itu sendiri. Bahasa Melayu yang sejak semula sudah heterogen—sebagai lingua franca sudah dengan sendirinya ia memunyai banyak dialek—dinaikkan derajatnya sebagai bahasa nasional, dipertemukan dengan ambisi politik kebangsaan dan hasrat kolonial yang tengah (dan terus?) berlangsung. Tidak pelak lagi, benih-benih bahasa Indonesia ini berkembang dengan heterogenitas yang menjadi-jadi. Walaupun demikian, seperti dinyatakan Henk Maier, …ketika varian penting bahasa melayu yang dikenal sebagai “bahasa melayu rendah” mengkristal sebagai medium yang dominan untuk komunikasi sehari-hari dan untuk tulisan sastra di Batavia akhir abad ke-19, maka perkembangan mendatang tak pelak lagi ditan-
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
dai oleh ciri-ciri “longgar” dan “heterogen” yang selama berabad-abad telah membuatnya dapat dipakai sebagai bahasa komunikasi di antara kelas-kelas sosial dan lintas budaya untuk seluruh kepulauan Indonesia. (Maier dalam Foulcher dan Day, 2008: 7)
Di kemudian hari, demi alasan politis, bahasa melayu rendah dengan sistematis mengalami netralisasi dan kanonisasi yang lalu menghasilkan satu macam bahasa Indonesia yaitu bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Tugas politis tersebut dilakukan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nasionalitas Bahasa Indonesia sebagai Proyek Politik Dalam rangka 69 tahun kemerdekaan Indonesia, majalah TEMPO menghadirkan tokoh Muhammad Yamin. Yamin memang diketahui banyak menulis tentang bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan sejak 1920, sejak ia aktif di jong Sumatranen Bond. Dalam Lustrum pertama perkumpulan pemuda Sumatra itu, Yamin berpidato selama dua setengah jam tentang pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, meskipun pidatonya waktu itu ia sampaikan dalam bahasa Belanda. Ide itu kembali didesakkan oleh Yamin pada Kongres Pemuda I dan mengundang diskusi yang tidak selesai. Artinya, tidak semua peserta Kongres Pemuda setuju bahwa bahasa persatuan itu perlu. Kubu yang tidak setuju menunjukkan beberapa konter argumen. Pertama, bahasa persatuan tidak mutlak perlu. Mereka memberi contoh Swiss yang rakyatnya menggunakan tiga bahasa yaitu Jerman, Perancis dan Italia. Kedua, Negaranegara seperti Amerika Serikat, Kanada 2
04-paulus.indd 179
paulus catur wibawa 179
dan Australia sama-sama menggunakan bahasa Inggris, tetapi kenyataannya ketiga negara itu terpisah dan tidak menjadi satu bangsa dengan Inggris. Yamin menjawab bahwa konter argumen itu tidak bisa berlaku di Indonesia. Yamin bersikeras bahwa bahasa Indonesia diperlukan ada karena merupakan salah satu wujud persatuan. Kita hanya melihat akhirnya: Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 meresmikan bahasa Indonesia sebagai satu–satunya bahasa persatuan. Sampai sekarang, kendati mengalami perubahan besar, bahasa Indonesia tidak hanya terlestarikan tetapi telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini bukan hanya menjadi satu-satunya bahasa nasional, melainkan juga satu-satunya bahasa pengantar di institusi pendidikan dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, satu-satunya bahasa pers dan radio, dan satu-satunya bahasa penghubung yang diterima dari ujung yang satu ke ujung yang lain di seluruh kepulauan Indonesia, dan bahkan di Jawa, yang bahasa daerahnya masih sangat kuat hingga sekarang. Kata “satu-satunya” di sini selalu harus diberi tanda kutip mengingat bahwa pada satu dasawarsa terakhir ini (2003 – 2013) telah bermunculan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pengajarannya2. Pada bidang pers, muncul pula siaran berita tentang Indonesia yang berbahasa Inggris; bertahan pula sejumlah majalah, terbitan dan siaran radio berbahasa Inggris. Betapapun kekecualian ini pantas untuk dikaji, bahasa Inggris tidak pernah dapat
Sebelum akhirnya Dasar Hukum dari SBI dan RSBI ini, yaitu UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3, dinyatakan “dibatalkan” oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 8 Januari 2013, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 dari UUD 1945.
4/16/2015 6:19:47 AM
180
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
melampaui status bahasa “sekunder,” kendati bergengsi. Mencermati paparan faktual di atas, tampak sekali bahwa bahasa Indonesia tidak lebih dari sebuah proyek politik. Bahasa Indonesia dipakai sebagai alat pemersatu dan sekaligus sebagai alat perlawanan terhadap penjajah. Seperti dirangkum de ngan jitu oleh Shiraishi (2001:133), Sebagai simbol perlawanan anti Belanda dan di tengah kompleksitas etnik, bahasa Indonesia menjadi revolusioner. Pidato-pidato dalam kampanye dibuat dalam bahasa Indonesia. Koran dan pamflet ditulis dalam bahasa Indonesia. Para guru mengajar dengan bahasa Indonesia di sekolah nasionalis. Demikian pula pemogokan organisasi buruh digerakkan dengan bahasa tersebut. Bahkan, revolusi direncanakan dengan bahasa itu pula.
Untuk memantapkan nasionalitas bahasa Indonesia ini, pemerintah mendirikan lembaga yang sekarang disebut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Lembaga yang sejarahnya terentang sejak sebelum kemerdekaan ini (1930) telah berkali-kali berubah nama. Tapi semenjak mendapat mandat resmi dari Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada 1947, tugas lembaga ini di antaranya adalah menangani masalah pemeliharaan dan pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Sudah barang tentu tugas itu akan berlanjut pada proses kanonisasi yang nantinya akan menghasilkan baik pedoman tertib berbahasa, juga sekaligus upaya mengusir dan memencilkan bahasabahasa yang dalam kanon itu nanti akan dipandang sebagai versi bahasa yang tidak baku. Imperialisme kultur Jawa dalam bahasa Indonesia Bahasa Jawa penting dikarenakan sejumlah alasan, tetapi alasan utamanya adalah
04-paulus.indd 180
Vol II, 2014
kombinasi antara kekuasaan politik, jumlah pengguna, dan kekuatan identitas kultural Jawa yang kesemuanya menjadikan bahasa Jawa kekuatan besar dalam pembangunan (bahasa) Indonesia baru. Ketika bersikeras mendesakkan perlunya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan untuk Indonesia, Yamin bukannya tidak menyadari “kekuasaan” bahasa Jawa. Sejak dalam Kongres Pemuda itu, sudah muncul bahasa Jawa sebagai opsi untuk bahasa persatuan. Yamin sendiri, meskipun berasal dari Sumatera Barat, merupakan satu dari sedikit cendekiawan yang menguasai bahasa Jawa kuno. Selain itu, Yamin mempunyai ambisi untuk membawa Indonesia kembali ke zaman kejayaan Majapahit yang pernah mempersatukan daerah-daerah di seluruh Nusantara, ambisi yang juga dimiliki oleh Soekarno. Di tangan Soekarnolah, imperialisme kultur Jawa dalam bahasa Indonesia dimulai. Ben Anderson dengan cermat melihat bagaimana Jawanisasi bahasa Indonesia memiliki beberapa wajah. Wajah pertama adalah kramanisasi bahasa Indonesia. Karena munculnya berbagai variasi berupa dialek dalam bahasa Indonesia merupakan kenyataan yang tidak bisa dielakkan, bahasa Indonesia yang baik dan benar dihadir kan sebagai simbol kesantunan politis. Mereka yang berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap lebih halus sehingga, dengan itu, mereka terbedakan dari rakyat yang masih ‘bodoh’. Sebagaimana dalam istilah krama sendiri terkandung unsur yang menghadir kan pemujaan terhadap susastra kuno, kramanisasi bahasa Indonesia pun memiliki cara kerja yang hampir mirip, yakni mengidentifikasi diri dengan kejayaan masa lalu, dengan cara memanggil kembali heroisme dari susastra kuno. Demikianlah, istilah “Pancasila” yang diambil dari kitab Negara kertagama dihadirkan kembali sebagai
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
dasar untuk kenyataan Indonesia modern. Begitu pula penamaan polisi brigrade mobil, Bhayangkari, diambil dari nama pengawal istana dalam kerajaan Jawa kuno. Modus semacam ini dapat dilihat juga pada istilah-istilah berikut ini: sapta marga, mandala, satya lancana dsb. Wajah kedua adalah muncul dan digunakannya bahasa ngoko baru. Jika bahasa Indonesia disebandingkan dengan bahasa Jawa Krama, maka, di sisi lain—di seberang kesantunan dan kehalusan bahasa Indonesia—muncul pula bahasa ngoko yang baru. Sukarno dan PKI yang sangat Jawa menjadi pelopor pembaruan bahasa politik Indonesia modern sekaligus pelopor lahirnya istilah-istilah ngoko baru sebagai lawan dari bahasa Indonesia “Krama” yaitu ganyang, bobrok, nggrogoti, gontok-gontokan, plinthat plinthut dan banyak istilah lain yang hampir semua dimuati peyorasi. Wajah ketiga adalah netralisasi simbol-simbol revolusioner. Ben Anderson menjelaskannya sebagai proses asimilasi terhadap simbol-simbol anti revolusi, yang dilakukan dengan mengubur kata-kata yang memiliki kekuatan simbolis seperti revolusi, demokrasi dsb, yang kemudian diganti dengan akronim yang kreatif tetapi sekaligus menggelikan seperti RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional), USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), DJAREK (Djalan Revolusi Kita). Akronim tersebut bisa saja terlihat biasa dan tampak akrab—terutama untuk orang Jawa yang mengenal istilah jarwo dhosok atau kerata basa—tetapi tetap saja istilahistilah ini bukan kata-kata atau bahasa, melainkan mantra, atau semacam ajimat. Wajah ketiga juga ditampilkan dengan cara lain, misalnya dengan memberi tafsir baru atau istilah baru untuk menjelaskan ide-ide besar seperti gotong royong, musyawarah,
04-paulus.indd 181
paulus catur wibawa 181
sama rasa sama rata, untuk menjelaskan demokrasi dan sosialisme. Pariyem : Bahasa Perlawanan Terhadap Kramanisasi Bahasa Indonesia Seperti sudah disinggung di awal, prosa liris karya Linus Suryadi menyajikan kompleks yang menghinggapi sebagian orang Jawa dalam kancah bertutur di Indonesia. Prosa liris ini berkisah tentang Pariyem—seorang perempuan lugu dari pinggiran kota Yogyakarta, yaitu Wonosari—yang ngenger di rumah Kanjeng Raden Tumenggung Cokro Sentono di nDalem Suryomentaraman sebagai babu. Pariyem menapaki nasib hidupnya dengan penghayatan nilai-nilai spiritual dan falsafah Jawa yang penuh dengan rasa lilo, narimo ing pandum dan krasan dengan jagad yang menaunginya. Seperti juga Linus Suryadi, Pariyem menganut aliran kepercayaan kejawen meskipun pada KTPnya tertulis bahwa ia beragama Katolik dan pernah dibaptis oleh Pastor berkebangsaan kolonial bernama Van de Moutten. Dalam kisah hidupnya sebagai babu, ia terlibat affair dengan putera majikannya, yaitu Den Bagus Ario Atmaja. Dari hasil affair itu, ia mengandung. Sikap pasrahnya menghadapi nasib tersebut dengan jelas mewakili keinginan penulisnya untuk menunjukkan bagaimana falsafah Jawa selalu punya kecenderungan untuk menyelaraskan diri dengan alam dan kehidupan. Sebagai karya sastra Indonesia, Peng akuan Pariyem dinilai menarik karena ber taburan kosakata Jawa. Karena ini, sempat ada kebingungan apakah Pengakuan Pariyem harus disebut sebagai sastra Jawa ataukah sastra Indonesia. Ada yang meyakini bahwa Pengakuan Pariyem pada dasarnya merupakan sastra Jawa yang meminjam bahasa Indonesia sebagai media (Mawardi, 2009). Ada pula sastrawan yang nekat berpendapat bahwa Pengakuan Pariyem
4/16/2015 6:19:47 AM
182
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
bagaimanapun harus diperhitungkan sebagai sastra Indonesia, bukan sastra Jawa. Bakdi Sumanto bahkan sampai repot-repot menghitung demikian (Sumanto, 1999:13):
Vol II, 2014
nya tidak mempunyai pilihan lain. Berangkat dari titik pandang ini, bahasa yang digunakan sebagai media ungkap Pengakuan Pariyem da patlah dilihat sebagai “counter culture”.
Jadi, bahasa Indonesia diakui, diterima dan digunakan seraya diingkari dan dieliminasi sebagian. Tidak seperti Ben Anderson yang melihat bahwa penulis-penulis Jawa yang terbaik tidak menulis dalam bahasa ibu mereka tetapi memilih menulis dalam bahasa Indonesia karena mereka melihat bahasa Indonesia sebagai “bahasa pembebasan” mereka. Umar Kayam (1932 – 2002)---seorang sosiolog dan penulis kenamaan Indonesia kelahiran Ngawi, Jawa Timur---membaca Pengakuan Pariyem seraKenyataan bahwa Pengakuan Pariyem ya mempertanyakan kebenaran pendapat harus menjadi sastra Indonesia karena ra- Ben Anderson. sio penggunaan bahasa Indonesianya yang Penulis ini justru memilih wahana yang ditimlebih banyak, menunjukkan betapa bahasa banya dari sumur-sumur budaya yang tradisIndonesia merupakan unsur penting unional. Gejala apakah ini? Manipulasi bahasa demi untuk pemuasan penciptaan suasana tuk ‘menjadi Indonesia’. Pada simpul inidalam ceritera? Pengakuan akan ketidakmamlah, Pengakuan Pariyem memunyai persopuan bahasa Indonesia menyampaikan artikualan karena alasan berikut ini (Sumanto, lasi yang agak khusus? Pengakuan akan mis1999:xii-xiii): kinnya khazanah kosakata bahasa Indonesia? Pengakuan Pariyem diperkirakan menggunakan 30.000 kata. 2000 di antaranya kosakata Jawa, atau kurang lebih sekitar 6,6 %. Kosakata Inggris, Belanda, dan Latin dalam Pengakuan Pariyem diperkirakan tidak lebih dari 0,3 %... Betapapun jumlah kosakata Jawa cukup ba nyak, namun dengan pertimbangan rasionya, tidak dapat lain harus dikatakan bahwa secara kuantitatif Pengakuan Pariyem adalah sastra Indonesia, atau setidak-tidaknya Pengakuan Pariyem pada dasarnya adalah karya sastra Indonesia.
Namun demikian, munculnya Pengakuan Pariyem yang sudah mulai dibacakan di berbagai tempat sebelum karya itu selesai hingga terbit menjadi buku adalah momen yang menjadikan prosa lirik itu penting. Sebab, pada saat itu, Pusat Bahasa Jakarta dan beberapa cabangnya di beberapa wilayah tengah gencar mensosialisasikan bahasa Indonesia baku, yang dikenal dengan sebutan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, terutama melalui siaran televisi dan media lainnya. Pada saat itu, cara penyampaian dan komentar pengasuh acara yang disiarkan melalui TVRI pusat, Jakarta, menunjukkan gejala bahwa ahli bahasa yang ada di belakangnya belum menyadari bahwa yang disebut Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar dimaksud sebenarnya, hanyalah salah satu ragam bahasa. Dengan demikian, pandangan tentang bahasa Indoesia baku yang diumumkannya menjadi kebenaran tunggal yang bersifat hegemonik. Lebih-lebih pada waktu itu belum ada stasium teve swasta. TVRI adalah satu-satunya studio yang membuat penonton-
04-paulus.indd 182
Cermin keangkuhan kultural orang Jawa akan kekayaan khazanah kosakata dan kemampuannya bermetafora? (Kayam, 1981)
Mencermati dinamika perdebatan para ahli bahasa dan sastra Indonesia tentang Pengakuan Pariyem di atas, bisa ditarik alur refleksi yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia juga mengalami nasib yang dramatis, mungkin pula ironis. Di satu sisi, bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa Nasional. Namun, di sisi lain, dalam hidup dan pembicaraan sehari-hari, bahasa Indonesia tidak dipakai. Orang Jawa, misalnya, berbicara satu sama lain menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia—meminjam simpulan dari Sapardi Djoko Damono-sejak semula memang tidak dipersiapkan untuk menghayati hidup, tetapi terutama untuk menyampaikan informasi. (Damono, 2001:
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
204) Bisa berbahasa Indonesia yang baik memang membuat orang dianggap warga negara yang baik, tetapi bisa berbahasa Jawa yang baik membuat orang dianggap berbudi luhur, tahu tata krama dan unggahungguh. Dalam dirinya sendiri, bahasa Jawa bersifat hirarkis dan disarati anggitan tentang kekuasaan. Hirarki yang diciptakan dan dilanggengkan bahasa Jawa tampak secara lebih jelas dalam Pengakuan Pariyem. Bahasa Jawa secara gamblang menunjukkan hirarki kekuasaan dalam hubungan nDoro – Babu dan Laki-laki – Perempuan, yang di dalamnya yang satu mendominasi yang lain. Dominasi tersebut bahkan melahirkan sikap-sikap yang dipandang luhur. Pariyem selalu berbahasa Jawa krama inggil dengan para nDoronya. Superioritas para nDoro tersebut dibatinkan oleh Pariyem sebagai sikap hormat sedangkan inferioritasnya terbatinkan dalam sikap pasrah, lega lila. Saya sudah terima, kok saya lega lila Kalau memang sudah nasib saya sebagai babu, apa ta repotnya? Gusti Allah Maha Adil, kok saya nerima ing pandum (Suryadi, 1982:29)
Namun, secara serentak Pariyem juga mengelak dari dominasi tersebut ketika dalam pengakuannya, ia selalu berbahasa Jawa ngoko, juga ketika membayangkan dan menggambarkan perilaku para nDoronya. Bahkan ia secara jelas justru menunjukkan kekuasaan ketika menggagahi Den Bagus Ario Atmaja, anak majikannya. “Saya kenal betul hasrat lelaki yang timbul di balik gerak geriknya. Pendeknya dia kasmaran sama saya. Selagi saya membersihkan kamarnya, tiba tiba saya direnggut dari belakang. O Allah saya kaget setengah mati. Sekujur tubuh saya digerayangi. Pipi, bibir, pentil saya dingok pula.
04-paulus.indd 183
paulus catur wibawa 183
Paha saya diraba raba. Alangkah bergidik bulu kuduk saya. Tapi saya pasrah saja. Kok saya lega lila. Tanpa berkata barang sekecap, peristiwa itupun terjadilah” (Suryadi, 1982: 39)
Dilihat dari kutipan di atas, Pariyem menjadi sosok orang Jawa yang ingin mempertahankan kejawaannya sekaligus selalu berupaya agar tidak terlepas, tetap diakui, dan termasuk sebagai orang Indonesia. Selain beragama dan berbahasa Indonesia, kita juga bisa menemukan jejakjejak nasionalisme dan Ke-Indonesia-an Pariyem serta tokoh-tokoh lain dalam kisahnya. Pariyem mengagumi Kartini, Putri Indonesia yang harum namanya, pendekar bangsa yang sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia. Ia memuji—atau katakanlah sekedar menyebut dengan hormat—Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa, tokoh pergerakan nasional yang berjuang lewat pendidikan. Bahkan, kejawennya Pariyem (atau Linus Suryadi) banyak dipengaruhi oleh tokoh kebatinan bernama Ki Ageng Suryomentaram, tokoh yang berjuang di samping Ki Hajar Dewantara dalam Pergerakan Nasional lewat wejangan dan saresehan—bukan pendidikan formal. Selain itu, Pengakuan Pariyem menampilkan sebuah keluarga ideal menurut orang Indonesia, sekurang-kurangnya menurut Rezim Orde Baru di bawah Soeharto: Ayah, Ibu, dua orang anak—sesuai program KB—dan satu orang pembantu. Proses mengindonesia bagi Pariyem adalah proses yang tidak mudah. Ia selalu berada dalam ketegangan dan tarik ulur yang barangkali tiada berakhir. Identitasnya terus terbelah antara Jawa-Indonesia, Kebatinan-Katolik, yang akhirnya membuatnya mengalami gegar identitas dengan menempelkan atribut-atribut modern dan nasional yang tidak pernah secara penuh dihayatinya, dan sekaligus “mengganggu” kemurnian tradisional yang dibayangkan masih teguh dipegangnya.
4/16/2015 6:19:47 AM
184
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
Kesimpulan Sebagai penutup wacana, menurut hemat saya, kutipan dari potongan berita tentang aku rapopo yang ada pada awal tulisan ini perlu dilanjutkan, sebagai berikut. “Waktu saya buka Kaskus, banyak banget ‘aku rapopo’-nya. Ya sudah, saya gunakan saja itu buat jawaban,” kata Jokowi saat berbincang santai dalam makan siang seusai melakukan kegiatan blusukan, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan
Perkembangan media sosial memang menampilkan sisi lain dari pers Indonesia yang cenderung formal. Berbeda dengan karakteristik berita di surat kabar pada umumnya, media sosial memiliki ciri yang lebih mirip dengan rubrik podjok, dalam surat kabar metropolitan. Gejala ini diamati dengan sangat jeli oleh Ben Anderson: The most interesting external manifestation of this is the metropolitan newspaper, which, for our purposes, can be divided into two quite clearly separable portions. First, the portion in Bahasa Indonesia, which covers all news items, all features and all editorials (about 95% of the Newsprint). Second, the portion in bahasa Djakarta, which covers only the podjok. Though rarely run more than half a column, they are normally the first thing in the paper that the Djakarta reader turns to. The essence of the podjok is biting, anonymous comment on the latest news or the general political or economic situation. Often they will indirectly refer to events which are “opensecrets”, though the censorship will not permit them to be mentioned elsewhere. The podjok frequently take the form of dialogues between two (supposed) proletarians or petty traders: Bang Dul, Pak Otong, etc., etc. The art of podjok-writing is one of allusion, innuendo, sarcasm, mock surprise, poker- faced apophthegms, and dot-dotdot, almost impossible to convey in another language.
Lebih lanjut, Anderson menjelaskan bahwa keduanya sama sekali bertentangan. Berita yang berbahasa Indonesia cenderung serius, menampilkan “jiwa besar” dan tidak
04-paulus.indd 184
Vol II, 2014
jarang menggurui. Isinya biasanya mengulas pidato presiden, sambutan menteri atau tajuk dari redaksi. Tidak dapat disangsikan bahwa berita ini sangat bermanfaat, tetapi juga aspiratif, ideologis dan kerap otoriter. Hampir semua berita utama yang berbahasa Indonesia menampilkan sisi hirarkis sosial politik yaitu informasi (atau meminjam istilah Orde Baru: penerangan) yang diberikan oleh pemimpin kepada rakyat atau orang banyak. Sebaliknya, porsi yang berbahasa Jakarta (podjok) cenderung menyindir, menggigit, demokratis, humoris, dan lebih dari itu, intim. Jejaring Sosial (juga termasuk Kaskus) menampilkan berita dan informasi dengan bahasa pergaulan sehari-hari. Kaskus sendiri berbeda dari media sosial lain karena Kaskus didirikan oleh tiga pemuda Indonesia, yaitu Andrew Darwis, Ronald Stephanus, dan Budi Dharmawan, yang sempat kuliah di Seattle, Amerika Serikat. Kaskus sendiri merupakan kependekan dari Kasak Kusuk (Yuliastuti, Dian, 19 Agustus 2008. “Kaskus Targetkan Pendapatan Iklan Rp 2-3 Miliar” dalam Tempo Interaktif). Mereka yang mengenal jejaring ini (baik sebagai pengguna: kaskuser) maupun sekadar pengamat, akan akrab dengan istilah agan/ aganwati (kependekan dari juragan/juraganwati: sapaan untuk sesama kaskuser), cendol (Good Reputation Point), Bata Merah (Bad Reputation Point), COD (Cash On Delivery), thrit (thread: halaman topik), pejwan (Page One). Terminologi Kaskus ini bisa disejajarkan dengan terminologi Podjok-nya Anderson, seperti contoh berikut ini: masuk kantong (filling one’s pockets), sepak ke atas (kick upstairs), njatut (to chisel), djatuh ke kasur (fall on a mattress - i.e., be removed from office but be given a fat sinecure as consolation prize), main kaju (playing it rough and dirty) and ngakunje (so he claims).The editorial may speak of demokratis (democratic) - the podjok echoes it as dia mau gratis (he wants it for nothing).
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
Tidak ditemukannya hirarki sosial politik dalam wacana di podjok, jejaring sosial maupun Kaskus menciptakan komunikasi yang sejajar antara berita dan pembaca (podjok), atau antara sesama pengguna jejaring sosial. Hal itu berarti komunikasi dari rakyat, untuk rakyat, dan antar rakyat, sebab, dalam komunikasi yang sejajar, jabatan tidak dibutuhkan. Kedua, ungkapan aku rapopo sendiri berarti “aku tidak apa-apa”. Meskipun tidak sangat mirip, ungkapan ini bisa disebandingkan sikap pasrah dan narima ing pandum versi Pariyem ketika ia mengalami ketidakadilan (yaitu ‘ditiduri’ anak majikannya sampai mengandung). Ungkapan Jawa ini aslinya lebih banyak dipakai untuk menguatkan diri daripada mengabarkan keadaannya kepada orang lain. Ironi, harapan, dan kepasrahan seperti terlebur dalam ungkapan aku rapopo. Ungkapan yang di jejaring sosial banyak muncul sebagai meme ini memiliki arti yang hampir mirip dengan meme populer lain yang (juga) beredar di jejaring sosial, seperti: there’s always a little truth behind every “just kidding”; a little knowledge behind every “I don’t know”; a little emotion behind every “I don’t care”; a little pain behind every “It’s Okay”3 Di balik ungkapan berbahasa Jawa ngoko, “aku rapopo”, terbayang suatu identitas kerakyatan sebagaimana bahasa itu sendiri dipergunakan. Akan tetapi, penggunaannya dalam surat kabar nasional, sambutan dan propaganda politis oleh pemimpin kepada rakyat, membuat penghadiran istilah aku rapopo selalu menyimpan anggitan tentang identitas belang-belang atau identitas tambal sulam seperti yang umumnya dialami oleh masyarakat yang punya sejarah panjang kolonialisme.
3
paulus catur wibawa 185
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Ben. (1966). “The Languages of Indonesian Politics” dalam Indonesia, Volume I, hlm. 89-116. Damono, Sapardi Djoko. (2001) “Mencoba Menghayati Si Malin Kundang”, dalam Goenawan Mohammad. Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta: Metafor Foulcher, Keith dan Day, Tony (Tim Editor) (2008). Sastra Indonesia Modern: Kritik Poskolonial. Jakarta: Obor dan KILTV Khayam, Umar. (1981). “Multilingualisme dalam Kesusastraan Indonesia Kontemporer,” Makalah disampaikan dalam Ceramah dan Diskusi Peringatan Hari Sumpah Pemuda/Hari Pemuda ke-53, Universitas Sebelas Maret, Solo, 28 Oktober 1981. Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Mawardi, Bandung. (2009) “Sastra Jawa Tanpa Bahasa Jawa”, dalam “Jagad Jawa” Solopos, 5 Maret 2009. Shiraishi, Saya Sasaki. (2001). PahlawanPahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: KPG. Sumanto, Bakdi. (1999). Angan-angan Budaya Jawa: Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,. Suryadi, Linus. (1988), Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, _____ (2014). “Rendang dalam Bahasa Persatuan” dalam Tempo, Vol. 4325 (72-73)
Lih. http://boardofwisdom.com/togo/Quotes/ShowQuote?msgid=243655#.VRP1ueEXW1k atau http://www.
lovequotes.photos/wp-content/uploads/2014/08/quotes-51.jpg
04-paulus.indd 185
4/16/2015 6:19:48 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 186-200 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer RINDHA WIDYANINGSIH Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Surel:
[email protected] Diterima: 11 November 2014 Disetujui: 15 Februari 2015
ABSTRACT Banyumas people, popularly called Wong Banyumasan, widely known as a unique and different community compared with other Javanese communities. The particular difference lies in their using special accent called Ngapak language. It is called Ngapak because of the pronunciation of vowels “a” and “o” and consonants b, d, k, g, h, y, k, l and w which are steady and do not float or half, as commonly encountered in standard Javanese language. Ngapak language itself is classified as the initial stage of Javanese language called Jawadwipa, including ngoko lugu. While language is perceived as a symbol of the real, therefore Ngapak rejection of the hegemony of the palace, especially the culture palace of Mataram, which is considered more valuable, because of its using Javanese Krama, can be considered as an anti-realist language. The usage of Ngapak language in everyday life of Banyumas people indicates their consistency in not being absorbed by the hegemony of the palace. This also shows the character of Wong Banyumasan, who speak the language in such spontaneous and straightforward manner, without having to cover up what they mean because of the psychological limitation called ewuh pekewuh. The character that tends to pervade amongst Wong Banyumasan is called Cablaka or Blakasuta which is a universal character of Banyumas people. Philosophical study of language and mentality of Banyumas Ngapak aims to find an explanation of the nature of language as the substance and form, the relationships of the mind, culture, and human communication in life. Keywords: Ngapak language, Wong Banyumasan, egaliter principle, Cablaka and blakasuta, hegemony of the palace
mas maka yang diingat adalah kabupaten Secara administratif Kabupaten Banyu- dan eks karesidenan Banyumas yang melimas merupakan kabupaten yang berada di puti kabupaten Banyumas, kabupaten PurProvinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banyu- balingga, kabupaten Banjarnegara, dan kamas memiliki karakteristik khas, baik secara bupaten Cilacap. Namun, secara kultural, geografis maupun sosio-kultural. Secara cakupannya jauh lebih luas daripada sekageografis, ketika orang menyebut Banyu- dar wilayah administratif dan geografis. Pendahuluan
05-Rindha.indd 186
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
Secara sosio-historis, masyarakat Banyumas merupakan hasil sinkretisme dari dua kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan budaya Sunda. Wilayah Banyumas bagian barat merupakan wilayah yang berbatasan dengan Keraton Pakuan Parahyangan (Pajajaran) yang di dalamnya rakyatnya juga terkait hubungan persaudaraan yang mempengaruhi keragaman budayanya. Hubungan ini sudah terjalin sejak zaman Kadipaten Pasirluhur, yang dimulai dengan perkawinan antara keturunan kedua penguasa daerah tersebut. Sedangkan wilayah Banyumas bagian timur, sebagaimana diungkapkan Herusatoto (2008:15), memiliki hubungan historis pangiwa1 dan menjadi wilayah mancanegara (di luar batas daerah kekuasaan) dari keraton-keraton Jawa, sejak Kerajaan Majapahit II, Pajang, Mataram II, Kertasura, hingga Ngayogyakarta. Banyumas memiliki daya tarik berupa potensi alam berupa keindahan lanskap, kekayaan ragam kuliner, kesenian, dan kerajinan yang khas, sehingga menjadi daerah potensial untuk berinvestasi. Dengan iklim yang dominan berhawa sejuk menjadikan Banyumas daerah yang kondusif untuk proses belajar. Pembangunan di Kabupaten Banyumas dalam sepuluh tahun terakhir dapat dikatakan sangat pesat dan bahkan digadang-gadang sebagai kota terbesar ketiga di Jawa Tengah, setelah Semarang dan Surakarta. Hal ini dapat dicermati dari pembangunan infrastruktur yang semakin memadai dan investasi yang senantiasa menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Daya tarik lain dari Kabupaten Banyumas adalah keberadaan Bahasa Ngapak
1
05-Rindha.indd 187
RINDHA WIDYANINGSIHa 187
yang merupakan bahasa khas yang memiliki gaya atau langgam yang berbeda dibandingkan dengan Bahasa Jawa baku seperti yang luas dikenal. Bahasa Ngapak memiliki kekhususan-kekhususan linguistik yang tidak dimiliki Bahasa Jawa standar. Keunggulan itu misalnya dialek dapat menutup kata-katanya dengan bunyi bersuara dan tidak bersuara, misalnya sendok, endog, angop, abab, dsb. Bahasa menunjukkan bangsa. Sep���� erti digambarkan peribahasa tersebut, bahasa Ngapak memberikan penggambaran yang jelas mengenai kondisi mentalitas masyarakatnya dan karakter khas yang menyertainya. Perkembangan zaman membawa serta perubahan persepsi terhadap bahasa Ngapak, sehingga dalam komunikasi sehari-hari, bahasa Ngapak mengalami modifikasi dan bercampur dengan bahasa lain. Saat ini Bahasa Ngapak mulai melebur dengan kalangan kaum urban, sebab banyak penduduk Banyumas yang mencari nafkah di kota-kota besar, kemudian kembali ke daerah asalnya dengan ’’bahasa baru’’ yang merupakan hasil perpaduan antara bahasa urban dan Bahasa Ngapak. Hal lain yang tidak dapat dihindari adalah persepsi terhadap Bahasa Ngapak sebagai bahasa yang lucu dan bahkan menjadi bahan lelucon yang menghibur, alih-alih sebagai bahasa yang mencerminkan nilainilai budaya yang luhur, sebagai identitas masyarakat Banyumas atau yang dikenal dengan istilah Wong Banyumasan. Masih banyak orang yang menganggap Bahasa Ngapak sebagai bahasa kasar dan bahasa rakyat jelata sehingga banyak juga orang Banyumas sendiri yang tidak merasa bang-
Silsilah dari garis keturunan bapak, yang jika ditelusuri lebih ke belakang berasal dari keturunan para dewa dan Nabi Adam. Silsilah penengen dan pengiwa dimaksudkan agar rakyat mengetahui bahwasanya raja-raja Mataram merupakan keturunan dari tokoh-tokoh yang kuat dan terkenal sehingga akan menambah legitimasi dan wibawa mereka.
4/16/2015 6:20:15 AM
188
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
ga dengan bahasa Ngapak, bahkan cenderung menghindari penggunaan Bahasa Ngapak dan merasa malu kalau berbahasa Ngapak dengan orang dari luar daerahnya. Penyebaran Bahasa Banyumasan jauh melampaui daerah administrasi pemerintahan. Bahasa sebagai alat komunikasi keseharian tidak hanya terbatas penggunaannya oleh pemilik bahasa ibu itu sendiri, tetapi dapat dipelajari dan digunakan oleh siapa saja yang berminat dan ingin menggunakannya. Hingga saat ini, Bahasa Ngapak masih dipakai di wilayah-wilayah eks Keresidenan Banyumas, seperti Kabupaten Kebumen, Pemalang, Tegal, Brebes, bahkan sampai ke bagian timur dan pantai utara wilayah Cirebon, yakni Kabupaten Indramayu dan Karawang, yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Bahasa Jawa dialek Banyumas merupakan warisan dari zaman Majapahit dan bahasa masyarakat pada umumnya (lingua franca). Karena itu, tidaklah tepat jika ada anggapan yang menyebutkan bahwa Bahasa Banyumasan/ Bahasa Ngapak adalah bahasa Jawa kasar. Bahasa Ngapak justru menunjukkan sikap egaliter dan tidak memandang status (Priyadi, 2002:256). Bahasa Ngapak dan mentalitas masya rakat Banyumas merupakan hal yang tidak terpisahkan karena hakikat bahasa bukanlah sekadar bahasa seperti diungkapkan kaum strukturalis dan pascastrukturalis, yang meyakini bahasa sebagai suatu sistem tanda-tanda murni yang tertutup dan seolah-olah tidak mengungkapkan apapun selain dirinya sendiri. Bahasa pun memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar keyakinan kaum analitik, yang memandang bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan hakikat problem filsafat. Lebih jauh lagi, bahasa merupakan cara manusia memahami “kenyataan”: bahasa menjadi cara ‘kenyataan’ hadir dan bermakna bagi manusia.
05-Rindha.indd 188
Vol II, 2014
1. Wong Banyumasan Siapakah sebenarnya yang disebut sebagai orang Banyumas atau Wong Banyumasan? Penyebutan Wong Banyumasan tentu lebih luas dari sekadar orang yang hidup di Kabupaten Banyumas. Masyarakat Banyumas, atau yang dikenal sebagai Wong Banyumasan merupakan masyarakat yang memiliki ciri khas dan karakteristik yang unik. Karakter, identitas, dan kepribadian selalu ditemukan pada masyarakat tertentu sebagai warisan masa lampau leluhurnya, termasuk masyarakat Banyumas. Herusatoto (2008:15) menjelaskan tiga kriteria yang disebut sebagai orang/masyarakat/ Wong Banyumasan, yaitu: Pertama, orang-orang yang masih merasa dan memiliki kakek-nenek moyang (leluhur) sampai dengan bapak-ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau seumur hidupnya menetap di wilayah yang dulunya berada di Keresidenan Banyumas. Walaupun sekarang orang-orang ini tidak lagi tinggal dan menetap di wilayah eks Karisidenan Banyumas, tetapi mereka mengakui dirinya memiliki trah (keturunan) Banyumas. Kedua, orang-orang yang sampai saat ini “merasa bangga” menjadi bagian dari garis keturunan Wong Banyumasan, apalagi mereka yang masih bisa berbicara dan merasa rindu menggunakan Bahasa Ngapak. Ketiga, siapa saja yang pernah tinggal dan menetap di wilayah eks Keresidenan Banyumas dan merasa menyukai kehidupan sosial budaya, logat bahasa, serta merasa nyaman bergaul dengan orang Banyumas lainnya, walaupun tidak lagi tinggal dan menetap di eks Keresidenan Banyumas. Wong Banyumasan tidak hanya terbatas pada batas wilayah administrasi pemerintahan, ataupun pada siapa yang berkuasa dan menjadi elit di Banyumas, bahkan juga tidak tergantung dari garis keturunan.
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
Dari catatan Babad Banyumas diketahui bahwa Wong Banyumasan adalah warga pembauran antara dua Kerajaan/Kadipaten yang bersebelahan, yaitu Pakuan Parahiyangan/Pajajaran dan Pasirluhur/Galuh, dan akhirnya membentuk satu komunitas baru yang terus berkesinambungan dalam sejarah dan kehidupan sosial budaya yang khas sebagai komunitas perbatasan dari dua suku, yaitu Jawa dan Sunda. Hal ini juga dapat dicermati melalui segi bahasa yang mirip bahkan banyak persamaan di antara keduanya. Wong Banyumasan saat ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di dunia. Hal ini membawa dampak semakin meluas dan dikenalnya bahasa Ngapak. Dampak lain adalah terjadinya percampuran bahasa sehingga penggunaan bahasa Ngapak murni tidak lagi banyak ditemukan, bahkan di daerah pedesaan sekalipun. Hal ini disebabkan banyak masyarakat pedesaan Banyumas yang bekerja di kota besar atau di luar negeri, dan ketika pulang ke daerahnya mereka membawa pengaruh bahasa asing tersebut. Sejauh manapun Wong Banyumasan pergi dan mempelajari bahasa baru, tetapi bahasa Ngapak tidak akan pernah hilang dan menjadi bahasa yang dirindukan untuk dilafalkan. Ada ungkapan yang dikenal luas oleh Wong Banyumasan, yaitu ora ngapak ora kepenak, mbok? (kalau tidak ngapak tidak enak, kan?).
05-Rindha.indd 189
RINDHA WIDYANINGSIHa 189
2. Karakter Wong Banyumasan
rubahan dan manusia Banyumas sudah banyak berinteraksi dengan manusia yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda, atau berpindah dan menetap di luar daerah Banyumas. Karakter ini disebut dengan cablaka, thokmelong atau blakasuta. Lingkaran kedua, berisi karakter khusus yang menyangkut legenda-legenda yang hidup di Banyumas. Legenda yang sangat populer dan mendominasi masyarakat Banyumas adalah legenda Kamandaka dari teks Babad Pasir. Legenda ini memiliki pengaruh yang sangat luas bahkan melampaui batas-batas budaya Banyumasan itu sendiri. Legenda lain yang tidak kalah populer, sebagaimana dituangkan dalam Babad Banyumas, yaitu legenda Raden Baribin, Raden Keduhu, dan Adipati Wargautama I. Lingkaran ketiga, merupakan karakter yang bersifat lebih khusus yang berkaitan dengan sejarah Banyumas yaitu menyangkut peristiwa sejarah yang melekat pada tokoh Banyumas di masa lampau, sebagaimana disebutkan dalam Babad Pasir dan Babad Banyumas, maupun pada tokoh yang dikenal dalam sejarah kontemporer Banyumas. Lingkaran keempat, merupakan karakter umum yang ditemui dalam masyarakat Banyumas pada umumnya, dalam kehidupan sehari-hari. Karakter pada lingkaran keempat ini bukan merupakan karakter inti dari Wong Banyumasan sehingga sangat dimungkinkan karakter ini ditemukan pada komunitas dan masyarakat lainnya.
Menurut Priyadi (2013:5), model karak ter Wong Banyumasan dapat disistematisasikan dalam empat lapis lingkaran yang saling berkaitan dan terintegrasi. Lingkaran pertama merupakan lingkaran terdalam yang berisi karakter Banyumas yang paling hakiki. Artinya, karakter pada lingkaran ini merupakan karakter inti yang tidak mudah berubah walaupun zaman mengalami pe-
a) Cablaka/ Blakasuta/Thokmelong Cablaka sering diartikan sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan Wong Banyumasan (Priyadi, 2013:7) Karakter cablaka menunjukkan bahwa wong Banyumas lebih suka menyampaikan pendapat dan pemikirannya secara terus terang dan apa adanya tanpa basa basi atau menyem-
4/16/2015 6:20:15 AM
190
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
bunyikan sesuatu. Karakter ini menunjukkan bahwa Wong Banyumasan adalah orang yang spontan dan tidak dibuat-buat. Akibatnya, ada anggapan bahwa Wong Banyumasan tidak tahu sopan-santun, etika, karena gaya bicara yang demikian seringkali menimbulkan rasa sakit hati bagi orang yang tidak memahaminya. Hal ini tentu agak berbeda dengan karakter manusia Jawa pada umumnya. Cablaka dan blakasuta memuat unsur yang sama. Priyadi (2013:8) menjelaskan lebih lanjut, bahwa blaka artinya terus terang atau bersahaja. Blaka berasal dari kata blak (Banyumas:blag), yang artinya “menga amba” atau “teladan dan contoh”, sehingga kata ulang blak-blakan (Banyumas: blag-blagan) berarti tanpa nganggo ditutupi (tanpa ada yang ditutupi). Sedangkan blakasuta berarti kandha ing sabenere (berbicara yang sebenarnya). Kata blaka jika dirunut dari asal-usulnya berasal dari bahasa Jawa Kuno, balaka, atau Bahasa Sansekerta, walaka, yang artinya “terus terang, sejujur-jujurnya, lurus, tanpa tedheng aling-aling”. Kata walaka diartikan “anak”, “bocah”, “anak-anak” atau “muda”, “belum tumbuh sepenuhnya” (Mardiwarsito, 1979:106). Menurut Priyadi (2008:8), kata cablaka ini dimungkinkan berasal dari kata bocah blaka atau disingkat menjadi cah blaka, dan selanjutnya menjadi cahblaka, dan dibaca menjadi cablaka. Kata walaka yang berarti “bocah”, “anak” atau “muda” menunjukkan bahwa cahwalaka atau cawlaka berarti anak-anak yang masih alamiah, yang masih memperlihatkan watak murni. Kata blakasuta berasal dari kata suta, yang memiliki arti “anak”. Cablaka dan blakasuta ini memiliki arti kejujuran yang masih murni, lugu, atau apa adanya dan belum berubah. Anakanak secara fitrah masih memperlihatkan kejujuran jika dibandingkan dengan orang dewasa.
05-Rindha.indd 190
Vol II, 2014
Dalam penjelasan berikutnya, Priyadi (2008:10) menyatakan bahwa Thokmelong adalah istilah yang hampir sama pemaknaannya dengan cablaka atau blakasuta. Thokmelong terdiri dari dua kata, yaitu thok dan melong. Thok memiliki arti “sahaja”, “belaka”, “hanya”, sedangkan melong berarti “mengkilap”. Jadi thokmelong diartikan sebagai “hanya yang mengkilap”, dalam arti Wong Banyumasan berbicara apa adanya sebagaimana yang terlihat di depan mata. Dilihat dari ketiga istilah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Wong Banyumasan memang pada dasarnya adalah tipikal orang yang spontan, apa adanya, tanpa dibuat-buat dan lugas cara berbicara nya, tanpa harus menutup-nutupi sesuatu hanya karena rasa ewuh pekewuh. Hal inilah yang terkadang menimbulkan kesan tidak sopan dan dapat menyinggung perasaan orang lain/lawan bicaranya. Dalam hal relasi antar individu, secara umum Wong Banyumasan adalah orang yang egaliter dan menjunjung kesetaraan, tanpa membedabedakan strata sosial. Hal ini tercermin juga dalam penggunaan istilah inyong dan kowe/ ko/rika/kono, yang menunjukkan keakraban dan telah menjadi satu keluarga besar. Karakter Wong Banyumasan yang egaliter dan apa adanya rupanya telah menjadi karakter yang ada sejak dahulu kala, yang diwariskan dari sastra lisan maupun sastra tulisan sebagaimana dimuat dalam Babad Banyumas. Penelitian yang dilakukan Taufiq (2014:86) menjelaskan bukti karakter cablaka yang tertuang dalam teks Babad Banyumas Kalibening. Sifat dan perilaku cablaka tampak dalam cerita pembunuhan Adipati Wargautama I oleh utusan Sultan Pajang yang berakhir dengan munculnya sejumlah pantangan atau tabu dari pihak Wirasaba. Pantangan Adipati Wargautama I dinyatakan secara cablaka dan dibalas dengan pantangan serupa yang tidak kalah cablaka-nya dari pihak Toyareka.
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
Perang cablaka juga dikisahkan ketika Raden Banyak Catra, putra Prabu Siliwa ngi Raja Pajajaran, yang menyamar dengan menggunakan nama Kamandaka masuk ke dalam istana putri Tamansari Pasirluhur dengan maksud untuk menemui puteri Ciptarasa, yaitu Putri Bungsu dari Adipati Kandha Daha, penguasa Pasirluhur. Mengetahui perbuatan Kamandaka yang menyelinap masuk ke istana dengan menyamar tersebut, Kandha Daha kemudian menyumpahi Kamandaka seperti anjing. Perilaku Kamandaka ini merupakan aib, oleh karena itu, atas perintah Kandha Daha, dilakukan perburuan untuk mendapatkan kepala dan hati Kamandaka. Ternyata Kamandaka bukanlah orang yang mudah untuk dibinasakan. Maka, dimulailah siasat licik dengan cara mengirimkan kepala dan hati anjing kepada Kandha Daha, yang oleh anak buahnya dikatakan bahwa itu adalah kepala dan hati Kamandaka. Kemudian, Kandha Daha memakannya sebagai simbol bahwa dia telah menghilangkan orang yang telah membuat aib dan onar di istana Tamansari. Ternyata, tidak lama kemudian, muncullah Kamandaka di Istana Pasirluhur dan mengatakan kepada Kandha Daha bahwa dia pun anjing, karena telah dengan mudahnya makan darah dan kepala anjing. Sepenggal kisah di atas menunjukkan bahwa karakter cablaka muncul baik pada Kamandaka maupun Kandha Daha, yang tidak segan-segan menggunakan bahasa yang sangat vulgar, meskipun mereka berasal dari kalangan istana. Hal lain yang menonjol dari Babad Banyumas adalah cablaka yang ditunjukkan oleh Bagus Mangun atau Jaka Kaiman
2
05-Rindha.indd 191
RINDHA WIDYANINGSIHa 191
yang bersedia berangkat ke Pajang untuk memenuhi panggilan sultan. Bagus Ma ngun secara cablaka menyatakan dirinya siap berangkat ke Pajang untuk mempertanggungjawabkan kesalahan mertuanya2. Bagus Mangun berkata secara blak-blakan kepada saudara-saudara iparnya, bahwa jika ia mendapatkan gelar anugerah raja dan diangkat sebagai pengganti mertua nya, saudara yang lain tidak boleh iri. Cablaka Bagus Mangun ini menunjukkan sifat yang jujur dan tidak menghina saudarasaudara lain yang tidak berani menghadap Sultan Pajang. Tanpa diduga ternyata maksud dari pemanggilan Sultan Pajang adalah untuk mengangkat pengganti penguasa daerah Wirasaba yang kosong, menyusul terbunuhnya Adipati Wargautama I. Ka rena yang berani menghadap ke Pajang adalah Jaka Kaiman, maka dialah yang kemudian diangkat untuk menggantikan mertuanya dengan gelar Nunggak Semi, Adipati Wargautama II. Setelah menjadi adipati, Jaka Kaiman lalu menyerahkan kekuasaannya kepada saudara iparnya, Wargawijaya, dan membagi wilayah Wirasaba menjadi empat bagian, sehingga kelak dikenal dengan nama Adipati Mrapat. Jaka Kaiman sendiri memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya dan membentuk kadipaten baru, yaitu Banyumas. b) Bawor, Simbol Karakter Orang Banyumas Bawor alias Carub adalah salah satu dari tokoh punakawan dalam wayang purwa gagrag (pola, gaya, model) yang ada dalam pedalangan Banyumasan maupun di tanah Pasundan. Pakem atau dasar cerita
Sesungguhnya putera dari Adipati Wirasaba/Adipati Wargautama I dan juga keluarga tidak tahu persis duduk persoalan mengapa ayah mereka dinyatakan bersalah oleh Sultan Pajang dan kemudian dibunuh oleh utusan gandek Sultan Pajang. Namun, pada akhirnya, ada kejelasan bahwa Adipati Wargautama I terbunuh karena adanya kesalahpahaman. Kisah ini kemudian memunculkan beberapa pantangan bagi wong Banyumas, dan menjadi salah satu awal kisah terbentuknya Kabupaten Banyumas.
4/16/2015 6:20:15 AM
192
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
yang digunakan adalah Layang Purwacarita, yang merupakan karya dari Prabu Wiyasaka, tahun 1031 Saka. Dalam pakem Layang Purwacarita di ceritakan Bawor diciptakan dari bayangbayang Semar, bukan anak ataupun keturunan dari Semar. Oleh sebab itu, Bawor memiliki kemiripan yang identik dengan tokoh Semar. Penciptaan Bawor oleh Sang Hyang Tunggal dimaksudkan untuk menjadi teman seperjalanan Semar menuju tempat Semar ditugaskan, yaitu Ngarcapada (alam dunia para wayang). Secara etimologis, Bawor berasal dari bahasa Kawi, yaitu “Ba” yang memiliki arti “sunar” (cahaya atau sinar), dan “Wor” yang memiliki arti “awor”(campur), demikian juga kata Carub yang berarti campuran, yaitu campuran dari cahaya terang dan gelap: cahaya terang yang terhalang oleh suatu benda sehingga bercampur dengan cahaya gelap dan memunculkan bentuk rupa bayang-bayang (Herusatoto, 2008:198). Bentuk tubuh Bawor memiliki kesamaan dengan Semar, yaitu tambun. Kepala Bawor berambut bkoak dan berpusar bodong, suaranya besar dan berat, dan menjadi tokoh yang dihormati dan dipercaya oleh adik-adiknya. Makna dari penampilan bentuk Bawor secara umum menjadi ciri pola tingkahnya yang menggambarkan watak Bawor seperti diungkapkan Herusatoto (2008:202) sebagai berikut: a. Sabar lan narima (sabar dan menerima apa adanya dalam kehidupan kesehariannya), b. Berjiwa ksatria (jujur, berkepribadian baik, toleran, rukun, suka membantu orang lain, mementingkan kepentingan bersama), c. Cancudan ( rajin dan cekatan), dan d. Cablaka (lahir batinnya terbuka terhadap pertimbangan yang matang atas apapun yang diucapkannya secara
05-Rindha.indd 192
Vol II, 2014
spontan dengan bahasa yang lugas, tanpa tedheng aling-aling atau eufemisme). Sifat dan watak yang dimiliki Bawor memiliki kesamaan dengan sifat dan watak universal yang dimiliki orang Banyumas. Dalam sejarahnya, Banyumas merupakan daerah mancanagari atau daerah yang jauh dari pusat kekuasaan keraton sehingga sangat sedikit dipengaruhi budaya keraton. Hal ini juga dapat dilihat dari peri bahasa Jawa yang menunjukkan karakter Wong Banyumasan, yaitu adoh ratu cedhek watu (jauh dari raja dan hanya dekat de ngan batu). Ungkapan ini memiliki makna bahwa wong Banyumas memiliki tata pergaulan yang jauh sekali dari tradisi keraton dan hidup dengan cara yang alamiah saja. Kondisi yang demikian menyebabkan Wong Banyumasan memiliki bahasa yang relatif berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya yang memang terpengaruh budaya keraton. Bahasa ini dikenal sebagai bahasa Ngapak yang didasari oleh cablaka. Wong Banyumasan adalah masyarakat yang egaliter dan mengedepankan kesetaraan dibanding dengan unggah-ungguh yang bersifat struktural-hirarkis. Oleh sebab itu, banyak yang beranggapan kalau Wong Banyumasan kurang memiliki sopan santun, kalau berbicara menggunakan Bahasa Jawa Kluthuk (bersahaja), sing pating blekuthuk (saling menimpali adu keras), mbleketupruk (kalau berbicara akrab dan tidak peduli dengan kondisi sekitar). Bawor adalah simbol dari ksatria yang jujur, lugas, apa adanya dan mementingkan persaudaraan serta sangat memperhatikan orang lain dan lingkungan sekitar, walaupun dengan sifatnya yang suka berterus terang terkadang menjadikan orang lain yang belum kenal menjadi salah paham dan menganggapnya tidak tahu sopan santun. Secara umum, tipologi orang Jawa
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
RINDHA WIDYANINGSIHa 193
Bahasa Ngapak merupakan bagian dari Bahasa Jawa, maka bahasa Ngapak pun mengalami tahap-tahap perkembangan Bahasa Jawa sebagaimana umumnya, yang oleh Retnosari (2013:44) dirangkum sebagai 3. Bahasa Ngapak, Dialek Khas Wong berikut: Banyumasan a) Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari Bahasa Jawa kuno Istilah dialek berasal dari kata Yunani διάλεκτος (dialektos), yang pada mulanya b) Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi Bahasa Jawa abad pertengahan dipergunakan di sana dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani, ter- c) Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi Bahasa Jawa baru dapat perbedaan-perbedaan kecil di dalam d) Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah bahasa yang digunakan oleh pendukungsatu dialek Bahasa Jawa modern. (Tanya masing-masing, tetapi sedemikian jauh hap-tahapan ini tidak berlaku secara hal tersebut tidak sampai menyebabkan universal). mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Meillet (dalam Wahyuni, 2010:76) Retnosari (2013:46) lebih lanjut meng menyatakan ada dua ciri lain yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek adalah seperangkat ungkapkan bahwa setidaknya terdapat bentuk ujaran setempat yang berbeda- empat sub dialek Bahasa Ngapak seperti dibeda, yang memiliki ciri-ciri umum dan ungkapkan para ahli bahasa, yaitu: masing-masing lebih mirip sesamanya a) Wilayah Utara dibandingkan dengan bentuk ujaran lain Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain di Tanjung, Ketangdari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak gungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, harus mengambil semua bentuk ujaran Pemalang, Surodadi dan Tegal. dari sebuah bahasa. Bahasa Ngapak memiliki spesifi- b) Wilayah Selatan kasi dan/atau ciri-ciri khusus yang da- Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain di Bumiayu, Karang pat dibedakan dengan bahasa Jawa baru Pucung, Cilacap, Nusakambangan, (standar). Beberapa ciri khusus tersebut Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalberkembang secara lokal hanya di wilayah ingga, Bobotsari, Banjarnegara, Pursebaran kebudayaan Banyumas, ����������� seperti diwareja, Kebumen serta Gombong. ungkapkan Saptono (2014:2) berikut ini: c) Cirebon - Indramayu a) Memiliki karakter lugu dan terbukti b) Tidak terdapat banyak gradasi unggah- Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara ungguh administratif, wilayah ini termasuk dac) Digunakan sebagai bahasa ibu oleh selam provinsi Jawa Barat. bagian besar masyarakat Banyumas d) Mendapat pengaruh bahasa Jawa kuno, d) Banten Utara Dialek ini dituturkan di wilayah BanJawa tengahan, dan bahasa Sunda ten utara yang secara administratif tere) Pengucapan konsonan di akhir kata dimasuk dalam provinsi Banten. baca dengan jelas (selanjutnya sering disebut ngapak-ngapak) Dibandingkan dengan bahasa Jawa dif) Pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca alek Jogjakarta dan Surakarta, Bahasa Ngadengan jelas adalah orang yang sangat menjaga perasaan orang lain dan enggan berterus terang guna menjaga hubungan baik.
05-Rindha.indd 193
4/16/2015 6:20:15 AM
194
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
pak memiliki perbedaan yang signifikan, terutama tampak pada akhiran ‘a’ yang tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi, jika di Solo orang makan sego (nasi), di wilayah Banyumas orang makan sega (nasi). Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, sementara dialek lain bunyinya ena’. Itulah sebabnya bahasa Banyumas oleh masyarakat di luar Banyumas disebut bahasa Ngapak atau ngapakngapak. Ciri khas cara bicara Wong Banyumasan sebagaimana diuraikan Herusatoto (2008:20) adalah blepotan (campur aduk tidak karuan), pating pechotot (terburai, berloncatan tidak karuan), dalam logat bahasa ngoko lugu (Jawadwipa) atau Jawa Koek (Jawa Kuno) dan Jawa Kramantara, yang sekarang disebut logat/dialek Banyumasan, atau, “orang berbahasa Jawa Gandekan” yang tinggal di bagian tengah dan timur provinsi Jawa Tengah, menyebutnya sebagai bahasa Ngapak, yaitu Bahasa Ibu dari bahasa umumnya orang-orang Banyumas. Sebelum zaman Kesultanan Pajang mengembangkan Bahasa Jawa logat Gandekan, seluruh bahasa Jawa adalah Jawadwipa (ngoko lugu). Kemudian setelah mengenal aksara Ha, Na, Ca, Ra, Ka pada abad ke-8 M, mulai berkembang bahasa Jawa Kramantara (krama lugu) yang juga disebut sebagai krama awal. Ciri utama bahasa Wong Banyumasan adalah jika berbicara terlihat cowag (keras nada suaranya), gemluthuk (kalau berbincang-bincang seperti orang tergesa-gesa atau cepat menanggapi), logatnya kenthel, luged, mbleketaket (kental, mengasyikan, sedap didengar oleh sesama asal daerahnya), dan cara bicaranya mulutnya mecucu (maju ke depan). Kekhasan yang dimiliki oleh bahasa Ngapak dan luasnya daerah persebaran penggunaan bahasa Ngapak menjadi sebuah
05-Rindha.indd 194
Vol II, 2014
indikasi bahwa bahasa Ngapak memberikan khazanah tersendiri dalam tata Bahasa Jawa (paramasastra), sekaligus menunjukkan dengan lugas bahwa ada suatu keterkaitan yang erat antara bahasa Ngapak dengan karakter kuat masyarakatnya, yang berdampak pada kebudayaan dan juga cara hidup masyarakatnya. 4. Bahasa Ngapak sebagai Wujud Sikap Anti Hegemoni Keraton dari Wong Banyumasan Bahasa Jawa dialek Banyumasan atau bahasa Ngapak ditemukan sepanjang da erah aliran Sungai Serayu yang berasal dari kompleks Sindoro-Sumbing-Dieng. Hal ini selaras dengan sejarah Banyumas yang menyatakan bahwa wilayah Wirasaba pada masa Majapahit dan wilayah Pasirluhur pada masa Kerajaan Demak itu amatlah luas, membentang dari perbatasan da erah barat yaitu Karawang dan perbatasan timurnya yaitu Sindoro-Sumbing. Bahasa Ngapak tergolong bahasa yang lebih tua dibandingkan dengan Bahasa Jawa baku. Banyak kosakata bahasa Ngapak yang berasal dari Bahasa Jawa Kuno dan Sunda. Bahasa Ngapak diperkirakan berasal dari zaman Majapahit, karena Banyumas termasuk wilayah Majapahit yang berbatasan dengan Pasirluhur dan Pajajaran. Bahasa Ngapak eksis bukan hanya dalam bentuk lisan saja tetapi juga tulisan. Di Banyumas ditemukan naskah Babad Banyumas tertua yang berasal dari abad ke-16 atau 17, yang menggunakan bahasa Ngapak, berdasarkan huruf yang dipakainya. Logat Banyumasan (ngapak) ditengarai sebagai logat B ahasa J awa yang tertua. Padmosoekotjo (dalam Herusatoto, 2008: 125) menyatakan bahwa Bahasa Jawa Asli (Jawadwipa) sudah ada jauh sebelum Aji Saka menciptakan aksara Jawa. Saat itu bahasa lisan yang digunakan masih ber-
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
bentuk ngoko lugu, seperti bahasa Ngapak saat ini. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa kata dalam bahasa Kawi/Sansekerta yang merupakan nenek moyang dari bahasa Jawa yang masih dipakai dalam bahasa Ngapak, seperti kata rika (Jawa = kowé, Indonesia = kamu), juga kata inyong yang berasal dari ingong, serta pengucapan vokal ‘ a’ yang utuh, tidak seperti ‘ å’ (baca: ‘ a’ tipis/miring) yang menjadi peng ucapan dialek Banyumasan seperti halnya bahasa Sansekerta. Sebelum terkena pengaruh dari keraton/kerajaan, hampir tidak ada perbedaan antara krama inggil dan ngoko dalam Bahasa Jawa. Namun, setelah masa kerajaan-kerajaan Jawa, bahasa Jawa mengalami penghalusan, artinya, bahasa yang dipakai oleh rakyat biasa dan yang dipakai oleh keluarga kerajaan dibedakan pengucapannya walaupun maknanya sama. Di kalangan Wong Banyumasan sendiri, bahasa Jawa yang biasa digunakan oleh orang Jawa wetanan (yaitu Jawa Tengah bagian Timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur) disebut sebagai bahasa bandhekan. Kata asal ‘bandhek’ adalah ‘gandhek’. Gandhek adalah nama pangkat bentara (pendamping raja) yang setiap saat bertugas mendampingi raja. Yang dimaksud dengan basa nggandek (bahasa dengan logat/dialeknya para gandhek) adalah bahasanya para abdi bentara dari keraton Pajang. Gaya pengucapan bunyi atau lagu bicaranya hampir-hampir bibirnya tidak terbuka karena harus selalu berbicara dengan perlahan atau dengan berbisik-bisik, baik terhadap Sang Raja maupun dengan sesama gandhek. Tidak hanya dalam mengucapkan vokal ‘a’ saja, tetapi hampir seluruh huruf pun terdengar diucapkan dengan suara yang lebih ringan atau lemah, termasuk huruf-huruf lain yang seharusnya diucapkan dengan mantap, seperti d, g, h, j, k, o, dan w. Cara peng ucapan ini kemudian menjadi kebiasaan
05-Rindha.indd 195
RINDHA WIDYANINGSIHa 195
karena para gandhek ini harus berbicara secara pelan-pelan, nada rendah, dan berbisik kepada rajanya. Terkadang mereka juga diberi tugas khusus untuk menyampaikan berita yang bersifat rahasia sehingga harus disampaikan dengan suara pelan. Lama-kelamaan, mereka terbiasa bertutur kata dengan pengucapan dan pelafalan yang tidak mantap, yaitu mulut setengah terbuka saja. Rupanya penggunaan bahasa Jawa dialek gandhek itu justru menarik minat Sultan Hadiwijaya, yang semasa mudanya dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang menganggap bahasa Jawa logat gandhekan itu dirasa lebih halus, lebih sopan, dan lebih dapat menahan diri, walaupun para gandhek berada dalam situasi dan perasaan yang emosional. Hal ini didasarkan atas penilaian Sultan dalam keseharian para gandhek yang sedang menjalankan tugas, yaitu selalu manahan diri dalam situasi dan kondisi apapun. Selanjutnya, diputuskan sebuah ketetapan sebagai “Titah Sri Baginda”: semua Punggawa Kerajaan Pajang, termasuk seluruh rakyat Pajang, harus belajar dan kemudian menggunakan bahasa gandhek sebagai bahasa resmi kerajaan Pajang (Herusatoto, 2008:126). Munculnya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa membawa dampak pada tumbuhnya budaya-budaya feodal yang kemudian memunculkan pembedaan status sosial yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk pembedaan penggunaan bahasa sesuai dengan strata sosial seseorang. Namun, pengaruh feodal ini tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat Banyumas. Wilayah dan Wong Banyumasan diibaratkan seperti adoh ratu cedhek watu (jauh dari raja dan dekat dengan batu). Herusatoto (2008:128) menyatakan bahwa sepanjang sejarah Jawa, tidak pernah ada raja yang memiliki keraton di wilayah Banyumas. Yang ada adalah Adipati (Bupati) keraton yang diangkat
4/16/2015 6:20:16 AM
196
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
serta mewakili kepentingan keraton-keraton di Jawa Barat (Pajajaran pada zaman Kadipaten Pasirluhur, abad ke-14 s/d 15), Jawa Timur (Majapahit pada zaman Kadipaten Wirasaba I, abad ke-15), Jawa Tengah bagian Timur (Demak, Pajang, dan Mataram pada zaman Kadipaten Wirasaba II sampai Kabupaten Banyumas, abad ke-16 s/d 19). Meskipun demikian, fakta ini tidak lantas membenarkan anggapan bahwa Wong Banyumasan tidak bisa berbahasa krama sebagaimana digambarkan dalam tokoh pewayangan Werkudara (Bima/Bratasena), Antasena, dan Wisanggeni. Karena adanya para adipati sejak zaman Majapahit itulah, bahasa Jawa Kawi atau Bahasa Krama Lugu (Kramantara) pun berkembang di seluruh wilayah Banyumas sebagai bahasa kedua dalam pergaulan umum masyarakat Banyumas, baik kepada yang lebih tua maupun antar rekan sebaya. Dalam Krama Lugu sebagai bahasa Jawa Kawi, seluruh kata-kata yang digunakan berbentuk krama asli, yaitu ucapan vokal ‘a’-nya tetap diucapkan dengan lafal ‘a’, bukan ‘o’ (Herusatoto, 2008:129). Moedjanto (dalam Sugeng Priyadi, 2008:255) menyebutkan bahwa Bahasa Jawa baku merupakan alat legitimasi Dinasti Mataram. Budaya feodal telah menyebabkan adanya pembedaan strata sosial yang salah satu wujud nyatanya adalah dalam penggunaan bahasa. Sebelumnya Bahasa Jawa sangatlah sederhana. Hanya ada satu bahasa saja dan tidak bertingkattingkat. Wong Banyumasan lebih memilih untuk menggunakan bahasa krama lugu (ngapak) karena lebih memegang prinsip egaliter dan tidak ingin hubungan yang akrab antar warga menjadi terganggu dikarenakan adanya pembedaan status. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa wong Banyumasan lebih memilih untuk merdeka dalam bersikap dan bertutur kata. Mereka
05-Rindha.indd 196
Vol II, 2014
lebih memilih mempertahankan prinsip dan kebiasaan berbahasa demi menjaga hubungan harmonis dibanding mengikuti sepenuhnya apa yang menjadi titah raja. Hal lain yang mendukung sikap ini adalah karena secara geografis wilayah Banyumas memang cukup jauh dari pusat pemerintahan. Akan tetapi prinsip ini tidak berlaku bagi kalangan elite lokal yang mengikuti apa yang diperintahkan oleh pihak keraton sepenuhnya yaitu menggunakan tata bahasa Jawa baku yang dikenal sebagai Bahasa Jawa alusan (bahasa halus). Penggunaan istilah Bahasa Jawa alusan (bahasa halus) ini lantas menegasikan bahasa yang digunakan oleh masyarakat kebanyakan, sehingga bahasa ngapak kemudian dipersepsikan sebagai bahasa kasar dan merupakan bahasa rakyat jelata. Hal semacam ini tidak membuat Wong Banyumasan kemudian mengubah prinsipnya sehingga mereka tetap menggunakan bahasa Ngapak dalam pergaulan dan komunikasi sehari-hari. Wong Banyumasan lebih memilih untuk menolak sikap yang ingin mencoba melanggengkan tradisi feodal, yang membuat kelas-kelas sosial masuk dalam lingkaran keraton, dengan tetap mempertahankan bahasa ngapak yang lugu sebagai bahasa pergaulan dan komunikasi sehari-hari. Bahasa Ngapak merupakan sebuah ungkapan yang menunjukkan kejujuran yang apa adanya serta menunjukkan budaya yang egaliter---dalam arti Wong Banyumasan tidak munduk-munduk ketika berhadapan dengan orang asing, juga mereka memperlakukan setiap golongan secara setara. Hal ini jelas berbeda dengan Bahasa Jawa alusan yang lebih bersifat struktural dan memperlihatkan secara jelas jenjang dan tingkatan sosial berdasarkan bahasa yang dipergunakan. Dengan kata lain, bukan berarti bahasa Ngapak bahasa yang tidak sopan, tetapi penggunaannya lebih menunjukkan bahwa
4/16/2015 6:20:16 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
para penuturnya menghormati orang lain tanpa membeda-bedakannya. 5. Bahasa Ngapak dalam Kajian Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer Gadamer lahir di Marburg, Jerman, pada 11 Februari 1900 dan mendapat pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Pada 1929, Ia memperoleh gelar Doktor Filsafat kemudian menjadi Profesor pada umur 37 tahun. Hingga akhir hayatnya (meninggal pada 13 Maret 2002), Gadamer aktif menjadi pengajar di Universitas Heidelberg. Pemikiran Gadamer banyak dipenga ruhi kritik terhadap tradisi filsafat modern yang mengembangkan metode kuantitatif dan kritik terhadap paham positivisme logis yang pada saat itu menguasai hampir semua aspek keilmuan. Linguistik modern mengembangkan pengertian bahasa sebagai suatu sistem tanda yang bermakna dan merupakan sarana komunikasi manusia, sebagaimana dikemukakan Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) maupun Ernst Cassirer (1874 – 1945). Akan tetapi, pemikiran ini ditolak oleh Gadamer. Menurutnya, bahasa bukan hanya sekadar sistem tanda, bukan bentuk, dan bukan sarana saja, melainkan secara ontologis, bahasa merupakan penampak an dari “ada” pada manusia. Oleh karena itu, bahasa ditangkap manusia tidak hanya sebagai realitas empiris belaka tetapi lebih kepada realitas ontologisnya. Secara ontologis, bahasa bukan diciptakan oleh manusia melulu sebagai sarana komunikasi dan sarana berpikir, tetapi bahasa adalah sebuah bentuk pengejawantahan realitas, dan manusia mengaktualisasikannya. Dapat dikatakan bahwa bahasa Ngapak pada hakikatnya adalah cara Wong Banyumasan untuk menunjukkan ke”ada”an-nya. Bahasa tidak sekadar ucapan untuk mengkomunikasikan suatu pesan. Pilihan untuk
05-Rindha.indd 197
RINDHA WIDYANINGSIHa 197
tetap menggunakan bahasa Ngapak diban dingkan dengan menggunakan Bahasa Jawa alusan adalah sebuah pernyataan sikap untuk menunjukkan jati diri Wong Banyumasan yang berakar kuat pada tradisi dan tidak hanya berhenti sebagai simbol. Wong Banyumasan sadar betul darimana mereka berasal dan bahasa adalah cara yang efektif bagi mereka untuk dapat selalu ingat akan asalnya. Bahasa tidak lagi hanya dipahami sebagai sebuah sistem tanda, bentuk, dan sarana saja, tetapi lebih jauh lagi, yaitu menunjukkan suatu bentuk “ ada” yang nyata, tanpa perlu melakukan usaha muluk-muluk atau bahkan dengan cara yang tidak baik. Bilamana bahasa hanya dipandang sebagai alat belaka dan merupakan suatu wujud empiris saja, maka lenyaplah hubungan asasi antara berkata dan berpikir. Dari sini, selanjutnya muncullah hubungan instrumental, yaitu bahwa bahasa diperlakukan hanya sebagai alat saja. Bilamana bahasa dipandang sebagai alat berpikir, maka “kata” dipakai guna menunjuk bendabenda; “kata” berfungsi sebagai tanda dan menandai segala sesuatu. Perubahan kata menjadi tanda, terletak dalam sendi dasar ilmu yang senantiasa mencita-citakan artikulasi bahasa yang serba eksak, jelas dan pasti, tanpa dwiarti (Kaelan, 2002:211). Perkataan dan pikiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan, karena perkataan mewakili isi pikiran. Prinsip egaliter dan penghormatan kepada orang lain tanpa memandang kelas sosial telah terpatri dalam pikiran Wong Banyumasan, maka secara spontan pikiran ini kemudian memunculkan suatu perkataan yang datang begitu saja (spontan). Meskipun kita sudah berusaha untuk menata perkataan, tetapi hal ini akan menjadi lebih sulit manakala tidak ada kordinasi yang selaras dengan pemikiran yang mendukung perkataan tersebut. Oleh sebab itu, tampak jelas bahwa
4/16/2015 6:20:16 AM
198
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
pengucapan bahasa Ngapak menunjukkan pemikiran si pelafalnya. Perkara muncul persepsi yang berbeda oleh orang lain tentu juga tidak terlepas dari unsur pengaruh pemikiran yang ada dalam diri orang lain yang menilai tersebut. Teori yang menyatakan bahwa manusia menciptakan kata-kata dan memberikan artinya adalah teori linguistik yang oleh Gadamer dianggap sama sekali tidak benar. Bagi Gadamer, seperti dijelaskan Kaelan (2002:212), pemahaman, pengalaman, dan pikiran pada hakikatnya benar-benar berupa kebahasaan. Bahasa bukanlah hasil refleksi. Jadi, Bahasa bukan berasal dari aktivitas manusia yang berpikir dan merenung, kemudian menciptakannya, tetapi bahasa justru tercipta dari realitas. Dalam kehidupan manusia, bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga penyerta proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Oleh sebab itu, selain memiliki fungsi komunikatif, Bahasa juga memiliki fungsi kognitif dan emotif. Informasi lewat bahasa, selain menunjuk struktur kebahasaan itu sendiri, juga mampu menunjuk pada suatu aktivitas mental (Hidayat, 2006:26). Bahasa Ngapak menunjukkan dengan jelas gambaran mentalitas yang kemudian menjadi watak universal Wong Banyumasan. Hubungan antara bahasa dan pikiran inilah yang menghadirkan konsep mental yang akhirnya membentuk pandangan hidup seseorang atau suatu masyarakat. Kajian ini bukan hanya telaah Gadamer seorang, tetapi jauh sebelumnya sudah ada, bahkan sejak zaman Yunani kuno. Filsuf termasyhur Yunani kuno, Aristoteles (384 SM – 322 SM) pernah mengemukakan pandangan bahwa kata-kata sebagai sarana ujaran pada hakikatnya dapat digunakan sebagai penanda sikap maupun aktivitas kejiwaan.
05-Rindha.indd 198
Vol II, 2014
Meskipun tuturan yang diungkapkan manusia tidak sama tetapi bentuk hubungan mental setiap orang dengan dunia luar lewat bahasa pada dasarnya adalah sama. Munculnya bahasa menampilkan suatu transformasi mendasar dan total dari taraf kebinatangan ke taraf tingkatan hakikat kodrat manusia, yaitu suatu keterpisahan mendasar dari kungkungan alam. Munculnya bahasa menandai munculnya kemampuan reflektif manusia untuk memahami realitas. Berkat adanya bahasa, manusia menjadi objek yang potensial bagi dirinya sendiri. Manusia bukanlah makhluk yang ditakdirkan telah terbentuk sedemikian rupa. Namun, manusia memiliki kemampuan kultural sehingga ia mampu mewujudkan suatu konstruksi linguistik. Bahasa Ngapak yang dianggap kasar oleh sebagian kalangan merupakan suatu konstruksi tersendiri yang juga harus dipahami dalam aspek kultural. Anggapan bahasa Ngapak sebagai bahasa kasar muncul manakala keraton melegitimasi bahasa resmi yang lebih mengakomodasi bahasa Gandhekan. Sedangkan bahasa Gandhekan itu sendiri muncul akibat adanya konstruksi yang diatur sedemikian rupa dalam rangka profesionalisme kerja, bahkan bisa dikatakan muncul “tanpa sengaja”. Bahasa pada hakikatnya bukan hanya sekadar substansi belaka atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris. Ada tiga aspek substansi dan bentuk bahasa seperti diungkapkan Kaelan (2002:274), yaitu: (1) substansi isi bahasa, yaitu berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut benda dan pengalaman tentang benda-benda tersebut serta pikiran dari penutur bahasa, (2) substansi ekspresi bahasa, yaitu bunyi yang kita gunakan untuk membicarakan pikiran dan hal-hal yang kita bicarakan, yaitu benda-benda serta pengalaman tentang benda tersebut, (3) substansi isi dan ekspresi, yaitu apa yang dibicarakan dan alat-alat yang di-
4/16/2015 6:20:16 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
gunakan untuk membicarakan tersebut. Substansi isi maupun ekspresi sebagaimana ditampakkan dalam bahasa Ngapak sebagai bahasa pergaulan dan komunikasi sehari-hari menunjukkan pola pikir dan kepribadian masyarakat Banyumas secara umum. Wong Banyumasan dikenal sebagai orang yang dengan lugas menyampaikan ekspresinya tanpa tedheng aling-aling (tanpa basa-basi). Sifat keterusterangan inilah yang menyebabkan orang lain terkadang menjadi sakit hati, terlebih karena sifat manusia Jawa pada umumnya berhatihati menjaga perasaan lawan bicara agar tidak tersinggung. Bahasa sebenarnya bukan sekadar substansi fisik yang menjadi objek ilmu pengetahuan saja, tetapi hakikatnya lebih luas karena bahasa tidak dapat dilepaskan dari pengalaman manusia. Namun, bahasa juga memiliki keterbatasan. Bahasa menjadi terbatas karena pengalaman manusia senantiasa jauh lebih luas, lebih dalam, dan lebih rumit daripada yang dapat diungkapkan bahasa. Bahasa menemukan keterbatasannya pada sisi pragmatik, yaitu bagaimana kita memperlakukan bahasa dalam hubungannya dengan pengalaman hidup manusia. Masalah keterbatasan bahasa ini menurut Gadamer tidak dapat dilepaskan dari dimensi epistemologisnya. Gadamer sampai pada keputusan bahwa asumsi-asumsi yang terdasar, misalnya tentang hakikat pengetahuan, tentang hubungan antara bahasa dengan dunia, selalu merupakan suatu lapisan yang secara struktural tak terlihat dan pada masa itu sendiri tidak bisa dieksplisitkan (Kaelan, 2002: 319). Pembahasan mengenai bahasa memang menarik karena bahasa senantiasa dinamis dan berkembang. Hal ini pulalah yang menjadi dasar dari keterbatasan bahasa. Kita hanya dapat menganalisis suatu perubahan atau pergeseran manakala hal
05-Rindha.indd 199
RINDHA WIDYANINGSIHa 199
itu sudah berlalu, dan bukan pada masa itu. Kita dapat dengan jelas melihat bagaimana pengaruh hegemoni keraton terhadap penggunaan bahasa Ngapak dan Gandhek setelah pengaruh keraton tersebut tidak lagi begitu dirasakan pada masa kini. Akan tetapi, hal yang tidak bisa dihindari adalah perubahan itu sendiri, dan hal ini sudah terpikirkan oleh filsuf semenjak Herakleitos (535 SM - 475 SM). 6. Penutup Sebagai kesatuan linguistik, bahasa Ngapak adalah tuturan/ucapan dengan sistematika tertentu yang digunakan Wong Banyumasan untuk mewakili wujud suatu benda, tindakan, gagasan serta keadaan. Sebagai kesatuan karakter, Banyumasan adalah sikap mental dan nilai-nilai moral yang secara genetis hidup dalam masyarakat Banyumas. Karakter Banyumasan sekaligus menjadi identitas masyarakat Banyumas. Gadamer adalah salah satu filsuf yang menyumbangkan pemikirannya mengenai bahasa. Melalui Gadamer, kita diajak untuk memahami makna sebuah bahasa. Tulisan ini bermaksud mengupas inti pemikiran Gadamer dan menerapkannya dalam kerangka memahami bahasa Ngapak itu sendiri. Melalui pemikiran Gadamer, kita diberikan pemahaman bahwasanya bahasa adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan karena Bahasa dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai realitas. Bila dilihat dari struktur substansi, isi, maupun bentuknya, bahasa Ngapak terkait erat dengan pola pikir masyarakat Banyumas. Bahasa Ngapak memberikan gambaran watak dasar yang universal dari Wong Banyumasan, sekaligus jendela untuk melihat interaksi, pola pikir, kebudayaan, dan tipe komunikasi dari masyarakatnya. K�� ebudayaan Banyumas dibentuk dari kebudayaan yang heterogen. Hal ini didukung
4/16/2015 6:20:16 AM
200
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
Vol II, 2014
oleh watak Wong Banyumasan yang apa adanya, terbuka, dan terus terang. Watak inilah yang tersingkap dengan lebih jelas ketika Wong Banyumasan menggunakan bahasa Ngapak. Bahasa Ngapak adalah identitas sekaligus realitas itu sendiri. Upaya yang dilakukan untuk melestarikannya merupakan upaya untuk menjaga kejelasan identitas sebagai bangsa yang berkarakter. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Banyumas untuk melestarikan bahasa Ngapak adalah dengan melegitimasinya melalui peraturan perundang-undangan, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 1867 tahun 2013 tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Banyumas di Lingkungan Pemkab Banyumas. Upaya legal ini akan menjadi lebih baik lagi apabila diteruskan hingga ke tingkat sekolah, supaya generasi muda semakin memahami dan mencintai bahasa daerahnya.
Priyadi, Sugeng. (2013). Sejarah Mentalitas Brebes. Yogyakarta: Ombak _____. (2008). Banyumas: antara Jawa dan Sunda. Semarang: Mimbar Indah Retnosari, Hesti. (2013). Pergeseran Bahasa Jawa Dialek Banyumasan di Kalangan Remaja dalam Berkomunikasi (Studi Kasus di Desa Adimulya, Wanareja, Cilacap dalam Penggunaan Bahasa Banyumas). Skripsi diajukan pada Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Versi daring diakses dari http://lib.unnes. ac.id/17894/1/3401409011.pdf Saptono. TT. Kebudayaan Sebagai Identitas Masyarakat Banyumas. Versi daring diakses dari www.repo.isi-dps. ac.id74/1/kebudayaan.sebagai_identitas_masyarakat_Banyumas.pdf Taufiq, Muhammad, dkk. (2014). Penggalian Nilai-Nilai Pancasila Dalam Babad Banyumas Kalibening Sebagai Upaya Penyelesaian Hukum Berbasis Kearifan Lokal. Makalah dipresentasikan dalam Daftar Pustaka Seminar Nasional yang diselenggarakan Universitas Jendral Soedirman di Herusatoto, Budiono. (2008). Banyumas: SePurwokerto, 20-21 November 2014. jarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. YogyaDimuat dalam Prosiding. karta: PT LKiS Pelangi Aksara Hidayat, Asep Ahmad. (2006). Filsafat Ba- Wahyuni, Sri. (2010). Tarik Menarik Bahasa Jawa Dialek Banyumas dan Bahasa Sunda hasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna di Perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat dan Tanda. Bandung: PT. Remaja RosdaBagian Selatan Sebagai Sikap Pemertahkarya. anan Bahasa Oleh Penutur. Makalah Kaelan, M. S. (2008). Filsafat Bahasa: Masalah dipresentasikan dalam Seminar Nadan Perkembangannya.Yogyakarta: Parasional Pemertahanan Bahasa Nusandigma tara yang diselenggarakan Universitas Mardiwarsito, L. Adiwimarta, S. S., SuratDiponegoro, di Semarang, 6 Mei 2010. man, S. T. (1979). Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Nusa Indah
05-Rindha.indd 200
4/16/2015 6:20:16 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 201-216 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Wajah Janus Generasi Maya: Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi BERTO TUKAN Mahasiswa Program Magister STF Driyarkara dan Redaktur Lembar Kebudayaan IndoProgress Surel:
[email protected] Diterima: 26 November 2014 Disetujui: 12 Maret 2015
ABSTRACT Higher Internet usage in Indonesia is not followed by a response from the literature on the theme of the internet. Semusim dan Semusim Lagi novel can be seen as one of the few works that responds to it. Literature, consciously or unconsciously, shows us the reality of the people who becomes his inspiration or his scope of work. On Semusim dan Semusim Lagi, characteristics of the generation that uses Internet in Indonesia appear frequently. This article will address them as generasi maya (virtual generation). This virtual generation is facing the world as two realities: the real reality and the virtual reality. Virtual reality is the reality created by the Internet. The characteristics of virtual generation found in Semusim dan Semusim Lagi are very obvious. I will highlight and explain that the inability to distinguish knowledge from information, anti-social, multiplicity-surface, and the use of visual references are some characteristics of virtual generation. Furthermore, this article sees the potential of mental disorder in the virtual generation that has the characteristics mentioned above in a severe dose. Keywords: literature, novel, internet, virtual generation, virtual reality, mental disorder
pemerintah dengan intensitas tinggi. InterInternet seakan menjadi kewajiban bagi net, sadar atau pun tidak, lantas mengubah kelas menengah perkotaan di Indonesia de- perilaku manusia, mulai dari aktivitas berwasa ini. Tahun 2005 saja, tercatat dari 2,2 belanja, mencari hiburan, berpolitik, menjuta rumah tangga yang memiliki komput- ciptakan citra diri, mencari pengetahuan, er, 2,0 jutanya berada di perkotaan. Dari bahkan juga bercinta; hampir semua aksetiap 100 rumah tangga yang memiliki tivitas manusia bisa dilakukan dan sudah komputer tersebut, 27 di antaranya meng- kerap dilakukan melalui media internet. gunakannya untuk akses internet (Berita Perkembangan teknologi komputer dan Resmi Statistik, 2006: 1-2). Barangkali, ke- internet termutakhir bahkan sudah mulai nyataan ini sebentar lagi akan merambah berupaya menciptakan sentuhan tubuh secara maya. Salah satu contohnya adalah ke wilayah-wilayah pedesaan. Beberapa program pemerataan internet peranti bernama kissenger (lihat http://kishingga ke pelosok desa tengah digalakkan senger.lovotics.com/). Peranti ini memungPendahuluan
06-bertotukan.indd 201
4/16/2015 6:20:36 AM
202
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
kinkan dua orang yang berada di tempat yang berbeda merasakan ciuman yang riil (Oktavianti, 2013: 55-66). Kegiatan-kegiatan yang dahulunya mengharuskan orang mendatangi tempattempat lain dan berinteraksi langsung dengan manusia lain kini bisa dilakukan dari rumah melalui internet. Dengan kata lain, realitas yang menampak pada manusia kini bergeser. Internet telah membingkai realitas dan realitas terbingkai ini lantaran menjadi konsumsi kita. Realitas yang dibingkai internet inilah yang disebut ‘realitas maya’. Perlahan-lahan, ‘realitas maya’ kita terima sebagai ‘realitas sesungguhnya’. ‘Realitas maya’, dengan jargon yang hampir kita semua amini; keserba-gampangan informasi, sesungguhnya laksana wajah Janus; paradoksal, punya sisi baik dan buruk. Pada era informasi digital dengan lokomotifnya internet ini, kita perlahan-lahan memahami realitas bukan sebagai ‘realitas yang sesungguhnya’ melainkan ‘realitas yang dihadirkan internet’, realitas yang terbingkai internet’, atau ‘realitas maya’. Yang kita tangkap dan kita anggap sebagai kebenaran ternyata adalah realitas yang sudah melalui proses pengerangkengan. Realitas yang dikerangkeng media internet punya pretensi untuk mengikis realitas yang sesungguhnya. Sifat ‘realitas maya,’ menurut Michael Heim, memang suatu peristiwa atau entitas yang efeknya nyata tetapi tidak nyata sebagai fakta (Heim dalam Pando, 2013: 14). Di sisi lain, internet
1
Vol II, 2014
memungkinkan kita untuk memahami dan mengakses begitu banyak hal; sebuah kenyataan yang sulit dibayangkan bahkan pada era 1980-an. Fenomena ini sesungguhnya sudah menjadi salah satu perhatian Jean Baudrillard. Dalam karyanya Simulations (1983) misalnya Baudrillard memperkenalkan konsep dunia hiperealitas. Dunia kontemporer menurutnya dipenuhi model-model kebenaran/realitas tanpa orisinalitas; dengan kata lain bersifat simulasi. Yang muncul pada kita adalah penanda kosong. Citra atau penanda menggantikan pengalaman dan referensi tanda di dunia nyata (simulakrum). Dengan demikian, kebenaran tidak perlu direpresentasikan tapi direproduksi lewat simulasi atau penciptaan model realitas. Kondisi berbaur dan tumpang tindihnya berbagai bentuk tanda-tanda di dalam satu ruang yang sama menghasilkan suatu efek imajinasi realitas yang tercampur aduk sehingga tidak dapat dibedakan antara ‘nyata’ dan ‘tidak nyata’ (Baudrillard, 1983: 1-3). Perihal ini, jika ditarik lebih jauh, sesungguhnya adalah problem pembedaan antara ‘realitas eksternal’ dan ‘realitas internal’. ‘Realitas eksternal’ merujuk pada ‘realitas objektif’ yang eksternal dan independen dari subjek. Sedangkan ‘realitas internal’ adalah realitas yang dihadirkan oleh persepsi manusia atas realitas objektif itu, dengan cara persepsi apa pun.1 Dengan demikian, yang kita tangkap dan kita anggap sebagai kebe-
Dalam aras yang lebih fundamental, perkara ini akan masuk pada perkara ontologi yakni pembedaan ‘realitas eksternal’ dan ‘realitas internal’. ‘Realitas eksternal’ merujuk pada ‘realitas okjektif’ yang eksternal dan independen dari subjek. Sedangkan ‘realitas internal’ adalah realitas yang dihadirkan oleh persepsi manusia atas realitas okjektif itu. Yang saya maksud dengan ‘realitas sesungguhnya’ adalah realitas sosial yang ada di hadapan kita secara real sehari-hari sedangkan ‘realitas maya’ adalah penggambaran atas ‘realitas sesungguhnya’ itu oleh media internet. Lebih jauh, bisa jadi ‘realitas sesungguhnya’ bertopang lagi di atas ‘realitas eksternal’ atau realitas yang dibingkai oleh media tertentu, dalam hal ini internet, lantas diterima manusia sebagai ‘realitas’. Mengenai pemahaman ‘realitas internal’ dan ‘realitas eksternal’ yang lebih mendalam silahkan diperiksa dalam Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta: Resist Book), 2012. Baudrillard, terkhusus dalam pandangannya tentang ‘simulasi’ tampak lebih berkonsentrasi pada perihal realitas yang direproduksi oleh media tertentu ini.
06-bertotukan.indd 202
4/16/2015 6:20:36 AM
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
naran ternyata realitas yang sudah melalui proses pengerangkengan. Adapun realitas yang dikerangkeng media internet memiliki pretensi untuk mengerdilkan realitas yang sesungguhnya. Sifat ‘realitas maya’ menurut Michael Heim2, memang suatu peristiwa atau entitas yang efeknya nyata, tetapi tidak nyata sebagai fakta (Heim dalam Pando, 2013: 14). Di sisi lain, internet memungkinkan kita untuk memahami dan mengakses begitu banyak hal; sebuah kenyataan yang sulit dibayangkan bahkan pada era 1980-an. Jika mengikuti pemahaman yang di bangun Neil Postman, maka sebuah perangkat komunikasi, alat pengakses informasi, berpengaruh dengan sangat signifikan pada perilaku dan peri kehidupan sebuah generasi yang menggunakannya. Postman menyatakan hal tersebut setelah melihat peri kehidupan masyarakat Amerika dalam beberapa dekade. Ia menemukan bahwa pola tingkah laku masyarakat Amerika pada saat hanya mendapatkan informasi dari media tulisan—surat kabar, pamflet, majalah—sangat berbeda dengan ketika televisilah yang menjadi acuan utama informasi mereka. Menurut Postman, media bagaikan metafor yang beraksi dengan tidak mencolok untuk menghadirkan kenyataan pada kita atau dengan kata lain media informasi inilah yang mendefinisikan sebuah kenyataan bagi kita (Postman, 1995: 22). Atas fungsinya yang demikian, media tersebut pun lantas memiliki kekuat an untuk mengubah pola perilaku dan kebudayaan penggunanya. Media punya cara untuk mengarahkan manusia dan meninggalkan bekas yang begitu kuat dalam alam
2
06-bertotukan.indd 203
berto tukan 203
kesadaran manusia serta institusi sosialnya (Postman, 1995: 30). Inilah ciri epistemologis media menurut Postman. Bentuk media tertentu akan berdampak pada perubahan tingkah laku masyarakat penggunanya. Media internet, seperti halnya media tulisan dan media televisi, memiliki potensi serupa. Kehadiran internet di Indonesia sejak awal 1996 membawa banyak dampak dalam peri kehidupan bangsa ini. Khrisna Zen dan David T. Hill dalam The Internet in Indonesia’s New Democracy bahkan menekankan peranan besar internet dalam rangka perlawanan terhadap otoritarianisme di Indonesia (Zen dan Hill, 2005: 1732). Sastra di Indonesia pun tidak terlepas dari dampak internet. Beberapa tahun yang lalu, istilah Sastra Internet menjadi sebuah topik polemik yang cukup seru. Sejumlah situs web khusus sastra pun bermunculan bak jamur di musim penghujan. Belum lagi puisi-puisi dan cerpen-cerpen yang tercipta dan disebarkan lewat media-media sosial seperti facebook, blog pribadi, dan lain semacamnya. Salah satu fungsi sastra tentu saja adalah merefleksikan kehidupan. Perbedaannya dengan ilmu lain yang juga merefleksikan kenyataan kehidupan adalah sastra merefleksikannya dengan cara estetik, simbolik, dan imajinatif; sebuah cara yang indah dan juga mempunyai kekuatan untuk menyadarkan pembaca. Ketika internet sudah mulai merasuki kehidupan kita, masih jarang ditemukan sebuah karya sastra yang mengangkat atau setidaknya menyinggung dengan signifikan Generasi Maya atau fenomena internet. Paling kurang, novel
Michael Heim, kelahiran California (USA) pada 1944, dikenal sebagai “filsuf dunia siber” menurut JOHO - Journal of the Hyperlinked Organization, 16 Mei 1998. Tiga buku ilmiah yang ditulisnya, Electric Language: A Philosophical Study of Word Processing (diterbitkan Yale University Press pada 1986), The Metaphysics of Virtual Reality (diterbitkan Oxford University Press pada 1993), dan Virtual Realism (diterbitkan Oxford University Press pada 1998), menegaskan sematan gelar dirinya sebagai “filsuf dunia siber”.
4/16/2015 6:20:36 AM
204
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
yang secara tersirat menceritakan fenome na generasi tersebut. Novel Semusim, dan Semusim Lagi (2013) karya Andina Dwifatma pada hemat saya mengisi kekurang an tersebut. Pembacaan saya atas Semusim adalah salah satu upaya untuk melihat fenomena hubungan manusia dengan internet. Pembacaan ini berpegang pada pendapat dari Pierre Macherey bahwa salah satu aspek kritisisme sastra adalah, dengan berpegang pada norma yang ideal, maka kritik punya daya untuk menuntut revisi, koreksi, dan versi yang lebih konsisten pada realitas sesungguhnya (Macherey, 1978: 15). Dengan demikian, pembacaan ini pun berkemungkinan untuk mengedepankan hal-hal yang dianggap tidak konsisten dengan realitas sesungguhnya di dalam Semusim. Dengan tidak melupakan fakta bahwa pada sebuah karya sastra bisa digali pelbagai hal, pembacaan ini lebih berkonsentrasi pada asumsi bahwa Semusim merupakan sebuah novel yang bercerita tentang Generasi Maya. Paling tidak, Semusim mengandung ciri-ciri kemunculan Generasi Maya. Saya juga akan menunjukkan ‘wajah janus internet’ di dalam Semusim. Yang dimaksud dengan ‘wajah janus internet’ di sini adalah kemampuan internet menghadirkan kesemestaan informasi pada kita, tetapi pada saat yang bersamaan ia membuat kita tidak berkonsentrasi untuk melihat akar terdalam suatu masalah. Hal ini sangat mencolok bila Semusim dibaca dengan teliti dan hati-hati. Konsekuensi dari kedua hal ini adalah hilangnya imajinasi manusia sebagai makhluk sosial yang beriring berjalan dengan fantasi-fantasi individu kesepian; suatu kenyataan literer
3
Vol II, 2014
yang mewarnai hampir separuh cerita Semusim. Generasi Maya, Semesta Referensi, dan Dunia Visual Semusim diceritakan oleh Tokoh Aku, seorang gadis 17 tahun, dengan gaya flashback. Hal yang diceritakan berfokus pada peristiwa yang terjadi hanya dalam beberapa bulan saja. Cerita dimulai dari masa kelulusan gadis tersebut dari bangku SMA hingga dirawatnya ia di sebuah Sanatorium untuk Orang Dengan Masalah Kejiwaan (selanjutnya disingkat ODMK)3. Semua narasi dimuntahkan oleh Tokoh Aku. Hanya pada beberapa bagian saja ada narasi dari pihak di luar Tokoh Aku. Itu pun serba sedikit dan selalu dalam kerangka peresapan Tokoh Aku. Tokoh Aku sejak kecil hidup hanya bersama Ibunya; seorang dokter ahli bedah otak yang cukup sibuk. Bagi Tokoh Aku, mereka bukan hidup bersama melainkan sekadar serumah. Sejak kecil hingga umurnya yang ke-17, Tokoh Aku dan Ibunya tidak sering berkomunikasi. ‘Tatap muka’ antara Tokoh Aku dan Ibunya pun jarang terjadi. Meskipun demikian, ada satu hal penting yang membuat Sang Ibu berarti bagi Tokoh Aku yakni fasilitas yang disediakannya: Itulah hal yang paling kusuka dari Mama. Ia tidak pernah cerewet soal uang dan fasilitas. Sebuah rak besar memenuhi satu sisi dinding kamarku, dari langit-langit sampai lantai, berisi segala jenis buku yang kumau. Sejak SMP aku dipasangkan komputer dan jaringan internet sendiri yang bebas kupakai 24 jam. Kukira
Sebutan yang netral dan tidak diskriminatif untuk mereka yang mengalami gangguan kejiwaan adalah ODMK. Sebutan ini, ODMK, dikampanyekan dengan serius untuk melawan sebutan-sebutan lain yang mengandung stigma negatif seperti ‘orang gila’, ‘sakit jiwa’, dll.
06-bertotukan.indd 204
4/16/2015 6:20:36 AM
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
berto tukan 205
film, musik, buku, dan berita, informasi sekolah, informasi kesehatan, informasi pemerintah, informasi keuangan, informasi pekerjaan, atau informasi tentang politik, dll.5 Bahkan dalam rangka menghormati Dengan kata lain, untuk menghadapi Ibunya, alasan utama dari Tokoh Aku ada‘realitas yang sesungguhnya’ Tokoh Aku lah fasilitas internet yang diberikan padanterlebih dahulu mengintip realitas tersebut ya. Mengapa dengan difasilitasi internet melalui ‘realitas maya’. ‘Realitas maya’, Tokoh Aku lantas menghormati Ibu yang dalam filsafat teknologi, memang bukanseperti orang asing itu? Ternyata lantaran lah sebuah realitas yang benar-benar tidak Tokoh Aku merasa internet adalah ses- ada. ‘Realitas maya’ adalah realitas yang uatu yang berharga dan begitu penting un- menggambarkan kenyataan sesungguhtuknya. nya, tetapi tidak sepenuhnya. Ia hanya Perhatikan refleksi Tokoh Aku tentang sekadar menggambarkan corak-corak dari caranya ‘menghadapi dunia’. Refleksi ini apa yang ada, tetapi ia sendiri tidak berwudisarikan dari pengalamannya sebelum jud konkret (Shields, 2003: 3). terbang meninggalkan kota kediamannya Dilihat dari perspektif Tokoh Aku, Sang menuju kota lain, yang masih satu pulau, Ibu dalam Semusim direfleksikan sebagai untuk mengunjungi Ayahnya (yang oleh- orang asing yang tinggal bersama dengannya diberi nama, Joe). Penerbangan terse- nya. Apalagi, cerita Semusim adalah sebuah but adalah penerbangan pertamanya: reka ulang pengalaman Tokoh Aku yang diceritakan dari dalam Sanatorium untuk Malam sebelum berangkat, aku menghabiskan ODMK. Kita bisa berasumsi bahwa ia berwaktu dengan browsing sebanyak mungkin cerita dalam keterjagaan nalar yang patut mengenai penerbangan. Ini kebiasaanku sejak dipertanyakan. Maka, imajinasinya tenSMP. Setiap kali aku akan melakukan sesuatu tang Sang Ibu bisa jadi kurang tepat, tetapi untuk pertama kali, aku akan mencari informasi dari internet, sebanyak mungkin agar barangkali juga benar. aku merasa siap. Aku tidak suka menghadapi Dalam era digital dengan internet sesesuatu dalam keadaan tidak tahu apa-apa; itu bagai lokomotifnya ini, orang tua memang membuatku gugup dan gelisah (Dwifatma, terkadang tak mampu mengontrol apa 2013: 41).4 yang dilakukan anaknya dengan internet. Salah seorang ayah di Amerika misalnya Internet bagi Tokoh Aku menjadi temengatakan demikian perihal perilaku man, senjata, dan tameng untuk meng anak-anaknya dan internetnya di kamar: hadapi dunia luar. Ia bisa digolongkan sebagai pengguna internet dengan kepen Mereka ada di dalam sana [kamar mereka] tingan informasi (Information utility) yaitu melakukan pekerjaan rumah mereka dan menaktivitas internet untuk mencari informasi dengarkan segala macam lagu yang berbeda. Saya tak tahu apa yang mengunci mereka di seperti informasi produk, informasi perdalam sana (Montgomery, 2007: 1). jalanan, informasi cuaca, informasi tentang alasan pertama, dan utama, anak-anak wajib menghormati orangtuanya, adalah karena orangtualah yang membayar internet mereka (Dwifatma, 2013: 41).
4 5
06-bertotukan.indd 205
Underline dari penulis Horrigan (2000) membagi tipe pengguna internet berdasarkan kepentingan menjadi empat, yakni 1) Email; 2) Aktivitas kesenangan (Fun activities); 3) Kepentingan informasi (Information utility); 4) Transaksi (Transaction).
4/16/2015 6:20:36 AM
206
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
Tokoh Aku adalah salah satu anak de ngan fasilitas internet di dalam kamarnya. Di dalam keseluruhan cerita Semusim, tampak jelas bahwa ia punya referensi musik yang begitu beragam! Bisa jadi di tengah asumsi ‘hidup dengan Orang Asing’ itu, Tokoh Aku tak sadar bahwa Ibunya sesungguhnya bertanya-tanya mengenai apa yang dilakukan sang anak yang kerap mengunci diri di kamar dengan jejaring internet yang ada di sana. Kehadiran internet mengubah perilaku generasi yang menggunakannya. Generasi digital berada dalam sebuah gempa tektonik besar dengan kemunculan internet. Orang tua, perwakilan dari generasi sebelumnya, barangkali merasa takut dengan ketergantungan dan betapa asiknya anak mereka dengan internet, tetapi di sisi lain mereka pun merasa bahwa anak-anak me reka membutuhkan internet (Montgomery, 2007: 1). Demikianlah sebuah paradoks kehidupan kembali disajikan oleh media bernama internet. Pentingnya internet bahkan mengalahkan buku untuk Tokoh Aku. Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa fasilitas yang diberikan Ibunya ternyata bukan hanya internet, tetapi juga rak besar berisi segala buku yang disukainya. Dengan buku, yang dihadapi manusia adalah teks. Dengan internet, manusia menghadapi hiperteks; teks berstruktur nonlinier yang terhubung secara interaktif dengan teks-teks lain serta grafis, suara, film, animasi, dan sebagainya. Di antara buku dan internet, Tokoh Aku lebih menganggap penting internet. Maka, buku yang begitu banyak itu
Vol II, 2014
sebenarnya menjadi sumber pengetahuan kelas dua baginya. Yang utama dan pertama adalah internet. Lebih jauh lagi, internet-lah yang membuat Tokoh Aku merasa percaya diri (pede) menghadapi dunia. Fenomena seperti inilah yang hendak saya labeli sebagai Generasi Maya. Generasi Maya adalah generasi yang menggunakan perangkat utama internet untuk berhadap an dengan dunia, dengan realitas di luar mereka. Generasi Maya galibnya adalah kelanjutan dan bentuk paling radikal dari generasi digital.6 Sebagai bentuk termutakhir dari generasi digital, tentu ciri-ciri dunia visual/ dunia citra mengemuka pula. Di dalam Semusim, hal ini tampak jelas. Dalam ‘kedongkolannya’ merasa hidup dengan orang asing di bawah satu atap,7 Tokoh Aku lantas membangun imajinasi tentang ibu kandungnya. Sosok ibu kandung yang asli itu lantas disematkannya pada karakter Agen Scully, salah satu tokoh dalam XFiles, sebuah serial televisi Amerika yang sempat juga diputar di salah satu televisi swasta Indonesia. Video klip sebuah lagu menjadi lebih penting bagi Tokoh Aku ketimbang lirik atau nada-nada dari lagu tersebut. Perhatikan gambarannya tentang lagu Selamat Malam dari Evie Tamala, “aku hafal lirik lagunya, dan aku suka bagaimana si penyanyi terlihat begitu sedih dan sendu padahal ia hanya mengucapkan selamat malam kepada pacarnya yang mau tidur” (Dwifatma, 2013: 15).8 Perhatikan juga bagaimana Tokoh Aku menggambarkan perasaannya ketika mendapatkan surat dari ayahnya. Ia membayangkan sang ayah duduk di
Dalam tulisannya untuk membahas beberapa cerpen karya Nukila Amal, Arif Bagus Prasetyo sedikit banyak sudah memperkenalkan zaman digital, zaman citra (zaman virtual) dan hubungannya dengan karya sastra (Prasetyo dlm Zen Hae, 2007: 3-29). 7 Perhatikan gambaran tentang keasingannya atas Ibunya tersebut berikut ini, “itu bahkan bukan analogi, sebab aku dan ibuku memang seperti dua orang asing yang tinggal satu atap.” Italic sesuai dengan aslinya (Dwifatma, 2013: 16). 8 Underline dari penulis. 6
06-bertotukan.indd 206
4/16/2015 6:20:36 AM
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
sebuah tempat tersembunyi dan memanggilnya bak adegan khas dalam film-film era Humphrey Bogart (Dwifatma, 2013: 18). Perhatikan juga pemaparan Tokoh Aku tentang mobil Peugeot: Aku selalu suka mobil Peugeot karena mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang, sehingga dengan plat mobil yang terletak di tengah-tengah bemper, ia seperti kumbang besar yang sedang nyengir. Aku suka gagasan tentang hewan yang ramah dan suka tersenyum (Dwifatma, 2013: 43).
Betapa sebuah imajinasi tentang mobil dan binatang yang hanya mungkin disumbangkan oleh sebuah film kartun dengan tokoh mobil yang punya ciri manusia. Film, sebuah bentuk pengejawantahan kebudayaan visual yang paling populer, memang berhamparan dan bertebaran di keseluruhan Semusim. Bahkan ada kesan bahwa film, sebagai sebuah media yang juga ‘mengerangkeng realitas’, diterima oleh Tokoh Aku sebagai realitas yang sesungguhnya. Dalam penjelasannya tentang tipe laki-laki keren, Tokoh Aku bernarasi demikian:
berto tukan 207
Imajinasi tentang pria keren dari referensi film menjadi sebuah pegangan bagi Tokoh Aku; imajinasi didaulat sebagai realitas olehnya. Jika pada kutipan di atas kita masih menangkap adanya unsur imajinasi, pada kutipan berikut ini, referensi dari komik bukan lagi berada di dalam imajinasi, melainkan malah merasuki fisik Tokoh Aku. Alkisah, Tokoh Aku mulai jatuh cinta pada Muara (anak dari J.J. Henri). Setiap kali Muara menepuk punggungnya, Tokoh Aku selalu limbung: …setiap kali dia [Muara] melakukan itu aku merasa agak limbung. Dadaku bergemuruh. Aku seperti sedang berada di dek kapal dan di depanku ada angin besar dan setiap kali menabrak ombak kapalku bergoyang-goyang. Ini membuatku teringat tokoh Kapten Haddock di komik Tintin yang selalu memaki, “Demi topan badai!” (Dwifatma, 2013: 81)
Mengapa saya mengatakan bahwa, dari kutipan di atas, referensi dari komik bahkan secara fisik merasuki Tokoh Aku dan bukan sekadar sebuah imajinasi? Semusim menceritakan bahwa Tokoh Aku adalah orang yang tak pernah meninggalkan kota Aku sendiri sudah pernah bertemu dengan kelahirannya. Setidaknya sampai akhir cerpria keren. Tidak hanya satu, tetapi beberapa, ita kita tahu bahwa Tokoh Aku hanya sekadan semuanya punya nama yang mengandung li meninggalkan kota kelahirannya yakni unsur Joe. Pria keren pertama yang kutemui ke kota tempat ayahnya tinggal. Itu pun ia bernama Joe Hallenbeck... (Dwifatma, 2013: menggunakan pesawat. Lantas, dari mana 59). asal pengalamannya tentang ‘mabuk laut’ Joe Hallenbeck adalah tokoh protago- sehingga ia bisa menggambarkan situasi nis dalam film The Last Boy Scout (1991); dirinya yang ditepuk oleh Muara itu seperdengan demikian, ia merupakan tokoh ti ‘mabuk laut’? Ternyata, yang dipahaminfiktif. Tokoh fiktif tentu saja cerminan dari ya tentang ‘mabuk laut’ itu didapatkannya sebuah realitas tertentu. Oleh Tokoh Aku, dari sebuah komik, yakni serial Tintin. Di pertemuannya dengan sang tokoh fiktif ini, sini, imajinasi visual yang dihadirkan lewat yang tentu saja berasal-muasal dari proses media visual komik, menjadi nyata secara menyaksikan film The Last Boy Scout, di- fisik pada tubuh Tokoh Aku. Menggunakan referensi dari teks lain terimanya sebagai kenyataan. Perhatikan kalimat yang dikutip di atas, “aku sendiri pada tingkatan tertentu mengingatkan kita sudah pernah bertemu dengan pria keren”. pada pemikiran Jacques Derrida dengan
06-bertotukan.indd 207
4/16/2015 6:20:36 AM
208
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
semesta tanda-tandanya, atau intertekstualitasnya Julia Kristeva. Memang terkadang, intertekstualitas, yaitu keterkaitan sebuah teks dengan teks yang lain, sungguh menarik hati. Penggunaan intertekstualitas bisa menunjukkan betapa beragamnya pengetahuan Tokoh Aku (atau bisa juga dikatakan luasnya referensi sang penulis). Selain itu, intertekstualitas juga dapat merangsang pembaca untuk mencari lebih jauh, untuk masuk lebih dalam pada pembacaan-pembacaan lebih lanjut. Permainan intertekstualitas sejatinya hendak mengatakan bahwa tak ada sebuah teks yang tunggal; sebuah teks senantiasa menjadi bermakna dalam hubungannya dengan teks yang lain. Namun, terkadang terlalu naif dan terburu-buru ketika dikatakan bahwa strategi meminjam film dan lagu untuk membangun karakter atau menggambarkan suasana adalah permainan intertekstualitas. Permainan intertekstualitas sejatinya hendak mengatakan bahwa realitas yang sesungguhnya tidak bisa terkatakan sehingga untuk memahaminya kita harus mencari pemahaman dari teks yang lain. Dalam karya-karya sastra unggul tingkat dunia, intertekstualitas ini terasa sebagai sebuah strategi yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Umberto Eco, misalnya, dalam Baudolino (2000) dan The Prague Cemetery (Il cimitero di Praga; 2010), termasuk penulis yang sangat piawai memainkan strategi intertekstualitas ini. Untuk kalangan dalam negeri, bisa kita sebut cerpen-cerpen dari A. S. Laksana sebagai salah satu contohnya. Haruki Murakami, dalam batas-batas tertentu, bisa dikatakan lincah bermain-main dengan intertekstualitas. Haruki Murakami bisa jadi banyak
9
Vol II, 2014
menginspirasi penulis Semusim.9 Bahkan, kita bisa melacak sejumlah kesamaan antara karya Murakami, khususnya lewat novel Norwegian Wood (Edisi terjemahan dalam Bahasa Indonesia, 2005), dengan Semusim. Penokohan Toru Watanabe dalam Norwegian Wood hampir mirip dengan Tokoh Aku dalam Semusim. Mereka sama-sama suka membaca, suka mendengarkan musik, dan suka menyendiri. Mereka juga jatuh cinta dan bercinta pada usia muda. Dalam Norwegian Wood-pun, begitu juga pada Semusim, permasalahan kejiwaan mendapat tempat yang cukup sentral. Jika Norwegian Wood menjadikan lagu Norwegian Wood dari The Beatles sebagai ‘soundtrack’ utama cerita, bahkan diangkat menjadi judul novel, pada Semusim, ‘soundtrack’ utamanya adalah Blowin’ In the Wind dari Bob Dylan. Judul Semusim justru diambil dari sebaris puisi Sitor Situmorang, padahal keseluruhan puisi tersebut tidak menyumbangkan apa-apa untuk jalinan cerita Semusim, jadi, terkesan hanya dicomot begitu saja. Salah satu pembeda antara Semusim dengan Norwegian Wood, di antaranya adalah bahwa dalam Semusim, internet merupakan isu pokok yang bisa dianggap sebagai salah satu penentu utama; hal yang sama tidak ditemukan dalam Norwegian Wood. Hal ini tentu saja dikarenakan Norwegian Wood mengambil latar tahun 1960-an, ketika internet belum dikenal luas dan populer, sedangkan Semusim mengambil latar waktu tahun 2000-an. Kembali pada permasalahan intertekstualitas, dalam Semusim kerap ditemukan bagian-bagian tertentu yang dirasa tidak terlalu dibutuhkan. Perhatikan misalnya penggambaran Tokoh Aku atas peristiwa histerisnya Sang Ibu, “ia lalu berteriak den-
Jika tidak terpengaruh dengan sangat tegas, kita pun bisa tahu secara langsung, melalui Semusim bahwa penulisnya membaca Haruki Murakami (Dwifatma, 2013: 92-93).
06-bertotukan.indd 208
4/16/2015 6:20:36 AM
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
gan begitu memilukan seperti manusia serigala di film Wolfman” (Dwifatma, 2013: 28). Dari kalimat ini sebenarnya Tokoh Aku tak perlu harus merujuk pada teriakan di film Wolfman. Ia seharusnya cukup mampu untuk menggambarkan betapa memilukannya sang ibu berteriak tanpa harus merujuk pada film tersebut. Bukan hanya film, Semusim pun sering sekali berlari dan mengajukan serial televisi, lagu, dan juga sesekali buku-buku tertentu untuk menggambarkan peristiwa, suasana, atau hal-hal lainnya. Dengan kata lain, demi menggambarkan ‘realitas yang sesungguhnya’ yang terpampang di depan mata, Tokoh Aku dalam Semusim, lagi-lagi, harus memparalelkannya dengan referensi-referensi lain. Apa sesungguhnya penyebab dari hal ini? Tokoh Aku, sang tokoh sentral, narator cerita, adalah orang yang jarang ke luar kamar, hampir tidak memiliki teman, dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan internet dan buku-bukunya. Ini barangkali yang menyebabkan kenapa Tokoh Aku hanya bisa menggambarkan realitas yang terpampang di hadapannya dengan mencarinya pada realitas lain yang dibingkai oleh media tertentu padanya, alih-alih berusaha menjelaskan realitas yang sesungguhnya itu dengan bahasanya sendiri. Begitulah ciri Generasi Maya yang hidup dalam jagat visual; begitu banyak referensi tentang realitas yang dihamparkan oleh media internet di hadapannya. Untuk dapat menjelaskan realitas sesungguhnya yang ada di hadapannya, Tokoh Aku harus meminjam kosa kata-kosa kata dari realitas-realitas terbingkai yang didapatkannya dari segala macam hal yang tersaji padanya melalui media utama internet. Bukankah ini suatu paradoks? Generasi yang lebih banyak berpegang teguh pada asupan data, informasi, dan referensi dari internet ini secara bersamaan
06-bertotukan.indd 209
berto tukan 209
juga semakin tercerabut dari kesosialan mereka. Lebih jauh lagi, Generasi Maya tercerabut dari ‘realitas sesungguhnya’ dan lebih bergantung pada ‘realitas maya’. Kita bisa menyaksikan hal ini pada cerita Tokoh Aku tentang peristiwa perkemahan yang diikutinya berikut ini. Alkisah, Tokoh Aku mampu melakukan segala sesuatu yang berkenaan dengan perkemahan hanya dari pengetahuan yang didapatkannya dari internet. Tokoh Aku dalam Semusim bahkan tidak perlu bersimulasi sendiri untuk bisa membuat kemah, mengikat simpul, dan lain sebagainya. Dengan informasi yang didapatkannya dari internet, ia bisa melakukan semua hal itu. Tokoh utama dalam Semusim merupakan sebuah contoh dari Generasi Maya. Internet menjadi pegangannya dalam menghadapi dan menghidupi dunia; dari internetlah ia menganggap dirinya bisa mengetahui segala hal. Tokoh Aku mengungkapkan secara tersirat hal tersebut dengan selalu mengulang-ulang nama dua orang pencipta mesin pencari google, Larry Page dan Sergey Brin. Namun, di sini paradoksnya, apakah google dapat memberikan pengetahuan yang mendalam dan mendetil untuk memahami Tokoh Aku dalam Semusim? Keserba-permukaan dan Kesosialan yang Alpa Keanehan pertama yang muncul tentu saja adalah pengucapan berulang-ulangnya Tokoh Aku dengan penuh hormat atas Larry Page dan Sergey Brin. Kedua penemu mesin pencari google ini terkesan begitu berjasa untuk kehidupan Tokoh Aku. Larry Page dan Sergey Brin yang memberi tahu tata cara perkemahan Pramuka (Dwifatma, 2013: 42), Larry Page dan Sergey Brin yang memberi tahu tentang beberapa jurnal ternama yang disingkat menjadi JOE (Dwifatma, 2013: 60). Seolah-olah, segala
4/16/2015 6:20:36 AM
210
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
hal yang dimunculkan oleh google adalah kerja dari kedua orang itu saja. Padahal, sejatinya kita mengetahui bahwa kedua orang itu hanya menciptakan mesin pencari dan berikutnya masih banyak orang lain yang bekerja pada bidang-bidang lain yang spesifik yang lalu memasukkan entri-entri tertentu. Imajinasi tentang keriwehan kerja dan kerja-sama yang memungkinkan internet dan kesaling-terhubungannya menjadi konsumsi kita tidak dipunyai Tokoh Aku. Dalam penghormatan dan ketergantungan yang begitu tinggi pada internet, imajinasi Tokoh Aku tentang kerja di balik mesin pencari pada internet ternyata tidak ada. Dengan kata lain, watak sosial dari manusia yang akan selalu menampak dalam kerja pada bidang apa pun juga, tidak terkecuali internet, tidak ada sama sekali dalam isi kepala Tokoh Aku. Melalui intuisi Marxisme, kita bisa berkata bahwa realitas manusia dan dunianya yang sesungguhnya, tidak diindahkan oleh Semusim. Menurut Marx, keadaan alamiah manusia adalah kerja dan di dalam kerja itu selalu dan senantiasa menampak watak kesosialan manusia. Dengan kesosialan yang memungkinkan kerja inilah, manusia menghadapi dunia. Karl Marx dan Friedrich Engels menyatakan premis ini dalam The German Ideology: Premis pertama dari seluruh sejarah manusia ialah keberadaan individu-individu manusia yang hidup. Dengan demikian fakta utama untuk bertahan [hidup] adalah pengorganisasian yang bersifat fisik dari individu-individu ini dan konsekuensi relasi mereka dengan alam. (Marx dan Engels, 1991: 42).
Perkara kesosialan memang menjadi masalah utama Tokoh Aku. Perhatikan ketika J.J. Henri dan Tokoh Aku bercakapcakap tentang musik blues. Ketika J.J. Henri menjelaskan bahwa musik blues adalah musik kaum budak sehingga lirik-liriknya
06-bertotukan.indd 210
Vol II, 2014
menggambarkan keadaan-keadaan yang dialami kaum marjinal, Tokoh Aku menimpali bahwa semua manusia adalah budak, sekurang-kurangnya untuk diri sendiri (Dwifatma, 2013: 45-46). Pada titik ini, Tokoh Aku membelokkan permasalahan pertentangan kelas, penindasan, menjadi masalah eksistensial individu. Padahal, dua hal ini jelas-jelas berangkat dari titik tolak yang sangat berbeda. Pertentangan kelas dan perlawanan atas penindasan, yang secara tersirat tampak dalam penjelasan J.J. Henri tentang musik blues, berangkat dari pemahaman bahwa manusia itu makhluk sosial dan semua manusia itu setara. Sedangkan eksistensialisme individualis, yang secara tersirat ada dalam penjelasan Tokoh Aku selanjutnya, berangkat dari pengandaian bahwa manusia itu lahir sebagai individu yang sendirian dan merdeka. Dengan demikian, sekali lagi, perihal kesosialan ternyata alpa di dalam Semusim. Kesosialan disisihkan sedemikian rupa dan pokok yang dikedepankan adalah perihal individualisme. Tendensi penyisihan dimensi kesosialan manusia ini ternyata bukan sekadar ‘visi’ Tokoh Aku, melainkan bisa juga dikatakan sebagai ‘visi’ pengarang Semusim. Tentu saja di sini kita mengesampingkan anggapan bahwa setiap suara yang diutarakan dalam sebuah karya adalah perwakilan suara Sang Pengarang. Akan tetapi, yang saya maksud di sini adalah bahwa penyisihan dimensi kesosialan itu bukan sekadar karakter dari satu tokoh saja (Tokoh Aku), melainkan bisa jadi karakter dari keseluruhan cerita. Hal yang sama muncul pula dalam pandangan tokoh yang lain, yakni tokoh Muara. Perhatikan isi ungkapan Muara ketika membicarakan perihal karya seni. Muara menjauhkan ‘realitas sesungguhnya’ sebagai sumber dari karya seni itu sendiri:
4/16/2015 6:20:36 AM
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
berto tukan 211
Bahkan pemikir paling idealis dan sering dijadikan rujukan sumber pemikiran idealis selanjutnya, yaitu Plato, pun tidak menempatkan seni dalam posisi yang demikian. Bagi Plato, seni adalah mimesis (tiruan) dari realitas, dengan penirunya adalah seniman (Beardsley, 1985: 31-38). Lantas, kita bisa lanjut bertanya, seiring kebiasaan Tokoh Aku yang menggunakan internet— Beberapa pertanyaan kritis yang bisa sebuah materialisasi dari kemajuan sains diajukan ketika membaca kutipan di atas yang selalu berusaha mencari jawaban leadalah, ‘lantas apa ontologi atau pendasawat penelitian yang cermat pada hal-hal ran dari lahirnya karya seni? Apakah karya material—bagaimana mungkin pernyataan seni dibayangkan sebagai sebuah entitas yang bebas merdeka, lepas sama sekali yang bersifat mistik semacam ini masih dari apa pun, ada di sebuah tempat yang saja muncul? Padahal, sudah umum diketentah, dan oleh takdir datang pada suatu ahui dalam sejarah pemikiran bahwa ‘yang ketika? Apakah kehadiran karya seni be- mistik’ selalu hadir ketika manusia dengan nar-benar lepas sama sekali dari peristiwa nalarnya sendiri tidak mampu memecahsosial—kutipan di atas merujuk pada per- kan sebuah masalah. Melarikan diri pada istiwa pergerakan warga kulit hitam pada hal mistik sesungguhnya merupakan ciri akhir tahun 60-an—dan hanya datang ketidakmampuan nalar manusia. Bukan sekali itu saja muncul kedangsekonyong-konyong pada suatu masa dan kalan berargumentasi para tokoh sentral peristiwa tertentu?’ Analogi yang digunakan Muara, “… dalam Semusim. Alkisah, Tokoh Aku selalu ibarat Maria melahirkan Yesus,” malah menyebutkan buku Mimpi-mimpi Einstein semakin memperkeruh usaha kita untuk dengan penuh hormat dan bahkan dicerimemahami asal-muasal karya seni. Analo- takan bahwa ia sudah membacanya seban10 gi ini membingkai karya seni seakan-akan yak 1.000 kali. Kita mengetahui bahwa sesuatu yang mistik, yang berada di luar Einstein adalah ilmuwan brilian yang mendunia kita, barangkali di Surgaloka. Penu- emukan hukum relativitas energi. Kita pun lis, melalui Muara, menghancurkan dua hal tahu bahwa buku Mimpi-mimpi Einstein penting dalam seni yakni seniman dan ke- berisikan beberapa cerita seputar mimpi sosiologisan seni itu sendiri. Karya seni di- Einstein tentang waktu. Dengan membaca pandang Muara (atau, pengarang) sebagai buku Mimpi-mimpi Einstein berkali-kali, sesuatu yang tidak bisa tidak bersifat mis- apakah sang tokoh sebegitu bodohnya untik, independen, dan tidak berasal dari dun- tuk tidak memahami sebuah kenyataan ia. Padahal, klaim atau pemikiran semacam alam yang sederhana, yaitu bahwa bumilah ini bahkan tidak pernah ditemukan pada yang mengelilingi matahari dan bukan mapemikir-pemikir paling mistik dan teologis tahari yang mengelilingi bumi? Perhatikan dalam sejarah filsafat Barat, seperti pada ungkapan tentang senja yang puitis dari tradisi Skolastik Abad Pertengahan Eropa. Tokoh Aku berikut: Sebuah karya seni,….,adalah genius pada dirinya. Sebagai penikmat, kitalah yang hebat karena bisa menangkap kegeniusannya. Seniman yang menghasilkannya hanyalah media yang memungkinkan karya itu lahir ke dunia, ibarat Maria melahirkan Yesus. Blowin’ In The Wind sudah ditakdirkan menjadi karya hebat yang menemani pergerakan warga kulit hitam pada akhir tahun 60-an (Dwifatma, 2013: 98).
“…dan menamatkan Einstein’s Dreams untuk yang keseribu tiga ratus empat puluh tiga kalinya” (Dwifatma, 2013: 61).
10
06-bertotukan.indd 211
4/16/2015 6:20:37 AM
212
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
Bola besar berwarna oranye itu semakin turun, turun, dan turun, seolah-olah di bawah sana ada seseorang yang menariknya dengan tali yang tak tampak. Dan semakin turun, semakin tua warnanya (Dwifatma, 2013: 61).
Dengan menggunakan ungkapan ‘turun’ untuk menggambarkan semakin hilangnya matahari di cakrawala, imajinasi Tokoh Aku yang menggambarkan hal itu tentu saja berpegang pada asumsi bahwa bumi berada tetap di tempatnya sementara mataharilah yang meninggalkannya. Padahal, jangankan Einstein, jauh abad sebelumnya, sekitar abad ke-15 M, Nicolaus Cusanus atau Nicholas dari Kues (1401 - 1464) sudah pernah menyatakan bahwa bumi haruslah senantiasa bergerak seperti juga benda langit lainnya, sehingga pemahaman bahwa bumi adalah pusat Alam Semesta mulai dipertanyakan. Nicolaus Copernicuslah (1473 - 1543) peneliti yang berhasil menemukan dalil bahwa matahari sebagai pusat Alam Semesta dan bumilah yang mengelilingi matahari. Sekali lagi, pada Semusim kecanggihan hanya tampak di permukaan, tetapi di kedalamannya, kebodohanlah yang tampak. Jika pun alasannya untuk mengejar sebuah penggambaran yang puitis, saya beranggapan bahwa realitas yang sesungguhnya—yakni bahwa bumilah yang mengelilingi matahari—bisa saja digambarkan dengan tidak kalah puitis. Kita bisa mencobanya demikian, “Bola besar berwarna oranye itu semakin hilang, hilang, dan hilang, seolah-olah ia mendorong bumi pergi menjauhinya, bagaikan kekasih yang tak mau pasangannya ikut menderita bersamanya.” Kedangkalan pemahaman pun muncul ketika kita membaca kutipan-kutipan dari ranah filsafat dalam Semusim. Yang
11
Vol II, 2014
pertama datang dari pemikiran Sartre yang secara tersirat dihadirkan dalam Semusim. Berikut kutipannya, “aku tidak pernah punya ponsel sebab kuanggap orang lain adalah neraka (Sartre pasti juga tidak punya ponsel)” (Dwifatma, 2013: 88). Mengapa kutipan ini saya anggap menggelikan? ‘Orang lain adalah neraka’ (L’enfer, c’est les autres) memang merupakan ungkapan khas Sartre yang dikutip dari karyanya berupa naskah drama eksistensial berbahasa Perancis yang berjudul Huis-Clos atau No Exit (1944). Ungkapan ini dipakai Sartre untuk menggambarkan hubungan antara Aku dan Anda atau hubungan Subjek dan Objek. Pada intinya, manusia menurut Sartre memiliki kebebasan dan kesadaran mutlak yang memberi makna dan mendasari tanggung jawab atas eksistensinya. Kehadiran orang lain yang mengobjektivikasikan manusia membuat esensi manusia ini hilang. Itulah situasi seperti neraka yang dimaksud Sartre. Sejauh ini, kutipan dari Semusim di atas, meskipun tidak tepat persis dengan yang dimaksud Sartre, masih bisa ‘diterima’ akal sehat. Namun, lelucon yang sengaja dihadirkan pengarang, dalam tanda kurung, sungguh menunjukkan kenyataan bahwa Tokoh Aku sangatlah a-historis, padahal ia mengaku suka dengan sejarah. Jean-Paul Sartre terlahir pada 1905 dan meninggal pada 1982.11 Fakta kecil ini tentu saja mengamini bahwa Sartre tidak memiliki ponsel karena memang belum ada ponsel pada zaman itu. Ada atau tidak ada ponsel tidak pernah mengubah pandangan Sartre bahwa orang lain adalah neraka. Lelucon yang sengaja dihadirkan pengarang lewat kutipan di atas dengan demikian terbilang ‘lucu’ bukan karena ia berhasil sebagai sebuah lelucon, tetapi ‘lucu’ karena kebodohan yang tampak dalam lelucon itu. Kutipan dari
Lih. misalnya Cohen-Solal, 2005
06-bertotukan.indd 212
4/16/2015 6:20:37 AM
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
Sartre pada akhirnya tidak lebih dari sekadar kata-kata mutiara yang terlihat indah, gagah-gagahan, dan seksi, daripada menunjukkan isi pemikiran Sartre sendiri. Untuk membuktikan bahwa kutipan dari ranah filsafat di dalam Semusim memang sekadar gagah-gagahan tanpa disertai pemahaman yang memadai dari si pengarang tentang inti sari pemikiran filsafat, saya akan membahas satu kutipan lainnya. Marcus Aurelius (121 – 180 M), seorang pemikir terkemuka dari aliran Stoik (Stoicism), yaitu aliran filsafat yang cukup dominan hidup pada zaman Romawi, pun dikutip oleh Sobron12. Alkisah, Tokoh Aku berada di dalam tahanan polisi karena ia menikam Muara. Tokoh Aku kalut menghadapi keadaan itu. Sobron lalu datang menghampirinya dan ia mengutip katakata dari Marcus Aurelius yang berbicara tentang realitas atau apa pun yang terjadi haruslah terjadi demikian (Dwifatma, 2013: 152).13 Marcus Aurelius memang membedakan antara ‘hal-hal yang tergantung pada manusia’ dan ‘hal-hal yang tak tergantung pada diri manusia’. Namun, untuk sampai pada penerimaan akan ‘apa yang tergantung pada manusia’ dan ‘apa yang tidak tergantung pada manusia’ ini, seseorang harus menjalankan sebuah laku hidup meditasi filosofis. Hal ini dikarenakan kedua pembedaan itu bisa dilakukan manusia ketika ia memiliki cara berpikir yang tepat untuk menghadapi peristiwa (Adot, 1998: 82-83). Di dalam Semusim, Tokoh Aku tidak ditunjukkan sedikitpun melakukan sebuah meditasi filosofis. Lelucon konyolnya tentang Sartre dan ponsel sebenarnya sudah cukup sebagai bukti akan keyakinan penu-
berto tukan 213
lis. Dengan demikian, Sobron—sosok imajiner ciptaan Tokoh Aku—mengutip katakata Marcus Aurelius hanya sebagai sebuah kata-kata indah, sebagai penghiburan atau motivasi, alih-alih sebagai tawaran sebuah cara berpikir yang mendalam. Lantas, apa bedanya jika kalimat Marcus Aurelius itu diganti dengan kalimat dari Mario Teguh? Bedanya hanya satu: Semusim akan lebih tampak sebagai bacaan yang berbobot ketika mengutip kata-kata dari Marcus Aurelius ketimbang dari Mario Teguh. Padahal, kalaupun diganti dengan kalimat dari Mario Teguh, tidak ada yang berubah dari jalan cerita Semusim. Kutipan-kutipan filsafat dengan demikian hanya bunga-bunga penghias bangunan cerita, tanpa dipahami lebih jauh seperti apa logika berpikir yang ditawarkan kutipan aslinya, juga tanpa ada sedikit pun sumbangsih dari kutipan pemikiran tersebut untuk bangunan cerita. Sayang sekali! Di sinilah salah satu wajah janus realitas maya internet kembali mengemuka. Internet, dunia maya, menghamparkan begitu banyak informasi pada Generasi Maya, sehingga Generasi Maya begitu terpesona dan merasa sudah mengetahui begitu banyak hal, serta memiliki pengetahuan tentang pelbagai hal itu. Padahal, yang mereka dapatkan hanyalah kedangkalan tumpukan informasi, atau sekadar susunan-susunan kalimat dengan kata-kata indah, tetapi yang jelas bukan pengetahuannya. Hubert L. Dreyfus, filsuf asal Amerika yang mengajar filsafat di the University of California, Berkeley, sudah sejak 2001 (tahun terbit bukunya On The Internet: Thinking In Action) mewanti-wanti akan hal ini (Supelli, 2013: 6).
Sobron adalah makhuk surreal berupa Ikan Mas Koki raksasa yang bisa bertingkah laku layaknya manusia dan menjadi teman berbincang-bincang dari Tokoh Aku. 13 Lih. Marcus Aurelius Meditationes, Buku IV, No. 10, yang lengkapnya berbunyi demikian dalam Bahasa aslinya, Latin, “Quidquid accidit, juste accidit, idque, si diligenter animadverteris, reperies…” http://www.slu.edu/colleges/ AS/languages/classical/latin/tchmat/pedagogy/latinitas/ma/ma4.htm 12
06-bertotukan.indd 213
4/16/2015 6:20:37 AM
214
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
Penutup: Kegilaan sebagai Konsekuensi Generasi Maya? Tokoh Aku yang terasing dari kesosialan, Tokoh Aku yang terjejali tumpukan sampah informasi, Tokoh Aku yang terlepas dari ‘realitas sesungguhnya,’ pada akhirnya terganggu masalah kejiwaannya.14 Kenyataan harafiah ini barangkali bisa dengan gampang dijawab demikian, bahwa kecanduan terhadap internet memang sekarang dianggap sebagai salah satu gejala klinis kelainan psikologis (Supelli, 2013: 5). Dengan demikian, Tokoh Aku, setidaknya sejak ia duduk di bangku SMP, sudah mengalami kelainan psikologis. Walaupun demikian, kelainan psikologis berbeda dengan Skizofrenia atau gejala bipolar. Kedua jenis penyakit yang disebut terakhir ini pengobatannya harus dilakukan melalui perawatan dokter dan, jika cukup akut, harus dilakukan terapi di Rumah Sakit Jiwa. Setelah menikam Muara dan oleh Polisi dianggap mengalami gangguan kejiwaan, Tokoh Aku akhirnya dirawat di sebuah Sanatorium untuk ODMK. Kelainan psikologis pada Tokoh Aku menjadi semakin akut ketika ternyata Muara, yang telah menciumnya, yang telah bercinta dengannya, ternyata tidak mau bertanggung jawab. Bahkan Muara merayu Tokoh Aku untuk menggugurkan bayi di kandungannya. Meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa kehamilannya itu pun hanyalah imajinasi Tokoh Aku semata. Kenyataan harafiah yang patut dicatat adalah bahwa Muara merupakan orang pertama dan satu-satunya, setidaknya sampai akhir cerita, yang intim dan dekat dengan Tokoh Aku. Muara dengan demikian merupakan sosok kontak sosial intim pertama dari Tokoh Aku. Ternyata, kontak sosial ini tidak
14
Vol II, 2014
mencintainya dan bahkan tidak mau bertanggung jawab atas hasil perbuatannya. Inilah peristiwa yang memicu gangguan jiwa pada Tokoh Aku. Sebelum pertemuan dengan Muara, kita mengetahui bahwa Tokoh Aku adalah orang yang hanya bersentuhan dengan dunia melalui internet. Dengan demikian, ia adalah contoh dari Generasi Maya yang hidupnya begitu ditopang oleh ‘realitas maya’; suatu peristiwa atau entitas yang efeknya nyata, tetapi tidak nyata sebagai fakta. Selain itu, ‘realitas maya’ adalah ‘realitas sesungguhnya’ yang dihadirkan tidak dengan utuh. Tokoh Aku juga sosok yang terjejali begitu banyak informasi permukaan, yang dianggapnya sebagai pengetahuan. Sosok yang terhimpit dalam dua keadaan dan situasi ini, ketika bertemu dengan wajah ‘realitas sesungguhnya’—yang diwakili interaksinya yang nyata dengan tokoh Muara—mendapati bahwa ternyata realitas yang dibayangkannya selama ini— yang dibangun oleh ‘realitas maya’—tidak benar seratus persen. Dengan terus berinteraksi dengan ‘realitas sesungguhnya’ melalui ‘realitas maya’, sesungguhnya manusia justru menumpulkan kemampuan tubuhnya yang penting, yakni berpartisipasi di dalam sebuah risiko. Padahal, dalam rangka menghadapi berbagai risiko, yang hanya mungkin dilakukan dengan terlibat sungguh dalam ‘realitas sesungguhnya’, tubuh manusia belajar terus menerus untuk menanggulangi risiko (Pando, 2013: 14). Dengan terus bersembunyi di tengah ‘realitas maya’, Tokoh Aku menumpulkan kemampuan tubuhnya untuk menghadapi risiko ini. Walhasil, ketika berhadapan dengan ‘realitas sesungguhnya’ dengan risiko-risikonya, tubuh si Tokoh Aku terguncang. Ia belum cukup
Semusim terdiri dari empat belas bab. Dari bab sembilan sampai bab empat belas, diceritakan bahwa Tokoh Aku mengalami gangguan kejiwaan.
06-bertotukan.indd 214
4/16/2015 6:20:37 AM
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
kuat untuk menghadapinya. Akibatnya, ia pun mengalami gangguan kejiwaan. Generasi Maya hidup di jagad informasi dengan internet sebagai lokomotifnya. Segala sesuatunya sudah digampangkan untuk mereka; mereka juga dipermudah mengendus informasi yang berhamparan begitu banyaknya. Namun, keterlenaan pada ‘realitas maya’ yang membawa pelupaan akan ‘realitas sesungguhnya’ membawa dampak-dampak yang cukup genting serta krusial. Pertama, Generasi Maya bisa terjebak pada jagad visual dan mengalami kesulitan membahasakan secara langsung ‘realitas sesungguhnya’ yang ada di depan matanya. Kedua, informasi-informasi yang begitu beragam dan begitu banyaknya yang menampak padanya menumpulkan daya analitis dari Generasi Maya. Walhasil, begitu banyak yang bisa dibicarakan oleh mereka, tetapi begitu sedikit yang mereka ketahui sampai ke akar-akarnya. Ketiga, ketika Generasi Maya yang begitu bergantung pada ‘realitas maya’ bersinggungan dengan ‘realitas sesungguhnya’ yang mengandung segala macam risiko yang berkelindan di dalamnya, maka, dampaknya bisa fatal. Contoh dari Semusim adalah kegilaan. Inilah Wajah Janus Generasi Maya; generasi yang sedang dibangun di sekitar kita, di dalam kehidupan kita. Segala fasilitas tersaji di depan mata; segala kemudahan tersedia di tangannya. Namun, persis pada saat itulah Generasi Maya pun rentan tercerabut dari ‘realitas sesungguhnya’ lantaran terlalu percaya pada ‘realitas maya’. Wajah Janus memiliki sisi indah rupawan dan sisi buruk rupa. Percaya dan bergantung sepenuhnya pada ‘realitas maya’ membawa Generasi Maya pada kehilangan rerasa (sense) akan kesosialan dan keaktualan. Kita pun lantas hanya menatap sisi buruk rupa dari Wajah Sang Janus. Menempatkan
06-bertotukan.indd 215
berto tukan 215
‘realitas maya’ sebagai sekadar instrumen untuk memahami ‘realitas sesungguhnya’ sehingga sense akan kesosialan dan keaktualan tidak hilang dari kebertubuhan kita, barangkali dapat membawa kita pada sisi jelita dari Wajah Sang Janus. Atau, jangan-jangan kita akan terusmenerus secara dialektis berada di antara dua tegangan itu? Daftar pustaka Adot, Pierre. (1998). The Inner Citadel. Diterjemahkan oleh Michael Chase. London: Harvard University Press. Beardsley, Monroe C. (1985). Aesthetics from Classical Greece to the Present: A Short History. Alabama: University of Alabama Press. Cohen-Solal, Annie. (2005). Jean-Paul Sartre: A Life. Diterjemahkan oleh Anna Cancogni. New York: The New Press. Dwifatma, Andina. (2013). Semusim, dan Semusim Lagi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hill, David T. dan Krishna Zen. (2005). The Internet in Indonesia’s New Democracy. Oxon: Routledge. Macherey, Pierre. (1978). A Theory of Literary Production. Diterjemahkan oleh Geoffrey Wall. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. Marx, Karl dan Friedrich Engels. ([1932] 1991). The German Ideology: Part One. Disunting oleh C. J. Arthur. London: Lawrence & Wishart. Montgomery, Kathryn C. (2007). Generation Digital: Politics, Commerce, and Childhood in The Age of the Internet. Cambridge: The MIT Press. Murakami, Haruki. ([1987] 2005) Norwegian Wood. Diterjemahkan oleh Jonjon Johana; Disunting oleh Yul Hamiyati. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
4/16/2015 6:20:37 AM
216
Mengintip Hubungan Manusia dan Internet dalam Semusim, dan Semusim Lagi
Postman, Neil. (1995). Menghibur Diri Sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi. Diterjemahkan oleh Inggita Notosusanto. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Prasetyo, Arif Bagus. (2007). “Tamzil tentang Zaman Citra: Perihal Segugusan Cerpen Nukila Amal,” dalam Zen Hae (peny.), Tamzil Zaman Citra: Bunga Rampai pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, hlm. 3-29. Shields, Rob. (2003). The Virtual. London: Routledge. Suryajaya, Martin. (2012). Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book. Jurnal dan Majalah: Oktavianti, Riliana. (2013). “Makna Menubuh dalam Dunia Maya,” dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, Tahun XXXIV, No. 3: 55-66. Pando, Bonifasius Melkyor. (2013). “Menyingkap Makna ‘Kenyataan Maya’”,
06-bertotukan.indd 216
Vol II, 2014
dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, Tahun XXXIV, No. 3: 13-27. Supelli, Karlina. (2013). “Introduction”, dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, Tahun XXXIV, No. 3: 3-12. Tanpa Nama. (2006). “Profil Pemanfaatan Teknologi Informasi oleh Masyarakat: Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005”, Berita Resmi Statistik, No. 42 / IX / 14 Agustus 2006, hlm. 1-6. Artikel bisa diakses di http:// bps.go.id/website/brs_ind/brsInd20141007090635.pdf Sumber daring: Horrigan, John B. (2000). New Internet Users: What They Do Online, What They Don’t, and Implications for the ‘Net’s Future. Artikel bisa diakses di http://www. pewinternet.org/files/old-media/Files/ Reports/2000/New_User_Report.pdf. pdf http://kissenger.lovotics.com/, diakses pada 25 September 2013.
4/16/2015 6:20:37 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 217-231 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya DEDE HASANUDIN D o s e n P a r u h Wa k t u P e n g a m p u M K B a h a s a I n d o n e s i a Universitas Multimedia Nusantara S e r p o n g , Ta n g e r a n g Surel:
[email protected] Diterima: 16 Maret 2015 Disetujui: 26 Maret 2015
ABSTRACT This study aims to: (1) Observing direct use of language in cyberspace, especially social networking facebook. (2) Knowing Bahasa Indonesia rules used in the world of facebook. (3) Describing the use of language in the world of facebook. (4) Classifying the data used in the facebook. (5) Interpreting the data in order to understand the pattern and meaning. The data is then analyzed and then linked to the culture and character of the nation. The method used in this research is descriptive method, which aims to describe direct communication between communities who do social networking in facebook, twitter, and blackberry. The result of the current research is to highlight and to clarify these following assumptions: (1) There is a variation of language that is always expressed in the world of facebook, (2) A lot of comments made on facebook world are using satire or sarcasm, especially when addressing the subject matter being discussed, like using the word ‘stupid,’ ‘idiots’, etc, (3) The usage of the words or dictions showing how the characters of the users found on facebook are not in accordance with the valuable culture and character of Indonesian nation, (4) Low politeness language displayed in facebook’s comments is because almost all users do not pay attention to the use of language’s politeness when making critiques, (5) Low level of obeying Bahasa Indonesia’s grammatical rule when making critiques or judging others in facebook. Keywords: Communication, cyberspace, culture, character
Pendahuluan Bahasa menunjukkan bangsa. Seharusnya pepatah ini masih terpatri dalam setiap sanubari insan Indonesia. Pepatah ini mengandung makna yang sangat dalam yaitu, dari bahasa saja, orang sudah dapat melihat jati diri kita sebagai suatu bangsa. Baik buruknya sifat dan tabiat orang yang diwadahi oleh bangsa, dapat diduga dari tutur kata atau bahasanya, apakah santun, atau kasar.
07-Dede.indd 217
Bahasa digunakan sebagai alat komu nikasi oleh manusia untuk menjalin hu bungan, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dalam kegiatan berbahasa, terutama berbahasa secara tertulis, kaidah yang berlaku dalam bahasa tersebut akan lebih kompleks. Kita mengenal dalam bahasa Indonesia bahwa sebuah kalimat minimal harus memiliki unsur subjek dan predikat. Itulah sebabnya dalam bahasa tulis, orang harus menggunakan bahasa yang baik dan
4/16/2015 6:21:00 AM
218
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
benar agar mudah dipahami oleh orang lain. Hal ini cukup beralasan, karena dalam bahasa tulis, antara penulis dan pembaca tidak berhadapan langsung, sehingga kesepahaman ide, pendapat, ataupun maksud yang diinginkan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Kesalahan interpretasi antara kedua belah pihak akan menyebabkan informasi jadi tidak berguna. Intinya adalah baik berkomunikasi lisan maupun tertulis harus terjadi kesepahaman antara pembicara dengan lawan bicara, antara penulis dengan pembaca, agar komunikasi dapat terjalin baik. Dewasa ini, bentuk komunikasi dalam bahasa tulis, semakin marak terjadi dalam jejaring sosial seperti facebook, yang dianggap sebagai salah satu alternatif yang populer. Hal ini cukup beralasan, karena di samping mudah melakukannya, juga tidak repot dan terjangkau. Kita memafhumi bahwa dewasa ini masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di perkotaan, dalam kegiatan sehari-hari tidak pernah lepas dari alat komunikasi, mulai dari yang paling sederhana sampai kepada alat yang paling canggih. Telepon genggam, ipod, tablet, laptop, blackberry merupakan piranti yang mudah dibawa ke mana-mana, dan pastinya juga dilengkapi dengan koneksi internet untuk mengoptimalkan fungsinya. Komunikasi dalam jejaring sosial tampak berjalan sangat akrab, kekeluargaan, santai, sehingga menggunakan bahasa yang tidak formal. Komunikasi biasanya diawali dengan perkenalan awal sampai berkelanjutan, dan lebih jauh lagi, sampai membentuk sebuah komunitas. Setelah terbentuk, komunitas tersebut melanjutkan komunikasi di alam nyata. Tidak jarang di antara mereka ada yang menjalin hubungan serius, baik dalam bidang bisnis, kerjasama, bahkan sampai ke jenjang pernikahan. Namun, tidak jarang pula komunikasi da-
07-Dede.indd 218
Vol II, 2014
lam jejaring sosial bisa menimbulkan perpecahan, perseteruan, bahkan perkelahian antar sesama komunitas, manakala komunikasi yang terjadi sudah menyinggung perasaan, keyakinan, ataupun agama. Intinya adalah bahwa bahasa yang digunakan sudah tidak lagi menjunjung tinggi norma-norma umum yang berlaku dalam hidup berbangsa dan bernegara. Contoh konkretnya adalah berkata-kata kasar, mendiskreditkan seseorang, menghina pribadi seseorang, ataupun sudah menyentuh pada ranah menghina SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Inilah pengamatan awal yang menjadi ketertarikan penulis untuk melakukan riset kecil ini, yaitu untuk melihat seberapa jauh dampak dari penggunaan bahasa dalam jejaring sosial di dunia maya terhadap pembentukan karakter bangsa. Di satu sisi, bisa saja berdampak positif, tetapi di sisi lain berdampak negatif, bahkan sampai menjalar ke dunia nyata, sehingga para pelakunya lupa akan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Timbul pertanyaan penulis, apakah kata-kata yang digunakan ketika berkomunikasi dalam jejaring sosial di dunia maya ini masih dalam batas-batas yang wajar dan pantas, atau memang sudah masuk kategori tidak wajar dan tidak pantas? A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Komunikasi Salah satu aktivitas dasar manusia dalam berhubungan satu dengan yang lainnya adalah berkomunikasi. Demikian pula halnya dalam berinteraksi sosial, manusia selalu melakukan komunikasi. Pada dasarnya komunikasi merupakan proses pertukaran informasi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Kehidupan manusia ditandai oleh dinamika komunikasi, seperti dinyatakan oleh Lili-
4/16/2015 6:21:00 AM
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
weri (2003:2), yaitu bahwa seluruh umat manusia di dunia benar-benar menyadari bahwa semua kebutuhan hidupnya hanya dapat dipenuhi jika ia berkomunikasi dengan orang lain. Keberhasilan berkomunikasi secara efektif akan mempengaruhi tercapainya seluruh kebutuhannya. Keberhasilan komunikasi akan terjadi apabila tercapai kesepahaman antara pembicara dan pendengar, serta antara penulis dan pembaca. Kata ‘komunikasi’ dalam bahasa Inggris yaitu ‘communication’, yang berasal dari kata Latin ‘communicatio’, yang bersumber dari kata ‘communis’, yang berarti ‘sama’ (Effendy, l984:9). ‘Sama’ di sini dalam hal ‘sama makna’. Komunikasi akan terus berlangsung selama ada kesamaan makna menyangkut hal yang dikomunikasikan. Kesamaan makna tidak berarti sama bahasa. Ada beberapa definisi tentang komunikasi yang dikemukakan para ahli dengan sudut pandang yang berbeda-beda. William J. Seller (dalam Muhammad, 2009: 4) mengatakan bahwa komunikasi adalah proses simbol verbal dan nonverbal yang dikirimkan, diterima dan diberi arti. Menurut Hoben (dalam Mulyana, 2007: 55), komunikasi adalah pertukaran pikiran atau gagasan secara verbal maupun nonverbal. Secara implisit, definisi ini mengasumsikan bahwa komunikasi harus berhasil dalam pertukaran pesan atau gagasan sehingga dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Dalam buku yang sama, Brent D. Ruben (2009: 3) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses yang di dalamnya individu, dalam hubungannya, dalam kelompok, organisasi dan masyarakat, menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengordinasikan lingkungan dan orang lain. Pada dasarnya, ada banyak konteks dalam komunikasi, tetapi yang umumnya terjadi dalam setiap interaksi antara dua orang
07-Dede.indd 219
dede hasanudin 219
individu adalah komunikasi interpersonal (komunikasi antarpribadi). Konteks dari komunikasi jenis ini, hampir selalu pada setiap kesempatan terjadi, baik dalam kelompok maupun organisasi. Dalam lingkup organisasi (perusahaan, sekolah atau lembaga lain), komunikasi interpersonal menjadi faktor penting untuk dapat mencapai tujuan dari organisasi tersebut. 2. Hakikat Kalimat Efektif Mulyono (2012: 73) mengatakan bahwa kalimat efektif adalah jenis kalimat yang menyatakan informasi secara tajam dengan bentuk pengungkapan yang menarik. Secara tajam, artinya informasi tersampaikan tidak hanya dengan jelas, melainkan lebih dari itu. Kalimat efektif juga me ngandung unsur keindahan. Terkait kalimat efektif, Putrayasa (2009: 47) menjelaskan bahwa kalimat efektif itu merupakan kalimat yang mencakup kalimat umum, kalimat paralel, dan kalimat periodik. Kalimat umum pada dasarnya dibentuk melalui unsur wajib dan unsur tidak wajib. Unsur wajib meliputi unsurunsur yang harus ada dalam sebuah kalimat, yaitu unsur subjek (S) dan predikat (P). Sementara itu, unsur tidak wajib adalah unsur yang boleh ada dan boleh tidak ada, seperti kata kerja bantu harus atau boleh. 3. Diksi Keraf (2007: 87) berpendapat bahwa “Diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan-gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan kata yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.” Memiliki kemampuan dalam memilih kata-kata yang tepat pada petuturan akan membantu penyampaian gagasan dengan baik. Terlebih lagi,
4/16/2015 6:21:00 AM
220
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
bila ditambah kesadaran bahwa penulis berada dalam suatu kelompok masyarakat pembaca atau pendengar. Dengan demikian, penulis dapat memberikan kepuasan batin bagi pembaca atau pendengar dalam menikmati petuturan. Akhadiah, dkk (2003: 83) menambahkan bahwasanya “Persoalan memilih kata yakni ketepatan dan kesesuaian. Ketepatan menyangkut makna, aspek logika kata; katakata yang dipilih harus secara tepat mengungkapkan apa yang mau diungkapkan. Sedangkan kesesuaian menyangkut kecocokan kata yang dipakai pada situasi dan keadaan pembaca.” Jadi, diksi itu penting sekali dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar. Manusia tidak akan lepas dari diksi ketika mereka bertutur, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Widjono (2005: 87) mengatakan bahwa “Diksi adalah ketepatan pilihan kata.” Ketepatan memilih kata ini tentunya dipengaruhi oleh pengguna bahasa yang terkait dengan kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menggunakan sejumlah kosakata secara aktif yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sehingga mampu mengomunikasikannya secara efektif kepada pembaca atau pendengar. Parera (1991: 66) menambahkan bahwa “Diksi adalah pilihan kata atau penggunaan kata. Pilihan atau penggunaan kata yang dimaksudkan adalah kemampuan memilih dan menentukan kata yang tepat dalam menyampaikan gagasan.” Jadi, diksi erat hubungannya dengan kemampuan menulis atau berbicara, dalam hal menyampaikan gagasan kepada pembaca atau pendengar.
Vol II, 2014
na bahwa gagasan yang diekspresikan dapat mengembangkan suasana yang baik, hubungan yang harmonis dan keakraban.” Kalimat yang baik dan santun ditandai sifat-sifat berikut ini: singkat, jelas, lugas dan tidak berbelit-belit. Pranowo (2009: 67-68) mengatakan bahwa aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan, antara lain: aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Abdul Chaer (2010: 6-8) mengatakan bahwa di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu yaitu etika berbahasa. Etika berbahasa ini erat berkaitan dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam nada berbicara, terkadang sebuah perkataan terasa menyindir dan bahkan terasa kasar saat dibaca. Berdasarkan hal tersebut, sering dikenal istilah gaya bahasa sindiran. 5. Hakikat Budaya
Koentjaraningrat (1990: 179) menyatakan bahwa budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, “buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dengan kata lain, sesuatu yang terkait atau dihasilkan dari budi dan daya manusia adalah sebuah budaya atau kebudayaan. Koentjaraningrat memandang bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem pikiran, 4. Hakikat Kesantunan kegiatan, dan wujud dari kegiatan, misalWidjono (2007:164) mengatakan bahwa nya, dalam pemikiran manusia dirumus“Kesantunan kalimat mengandung mak- kan tentang kejujuran, lalu ia mencoba
07-Dede.indd 220
4/16/2015 6:21:01 AM
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
merumuskan konsep kejujuran itu, kemudian konsep kejujuran tersebut diwujudnyatakan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai budaya berfungsi sebagai identitas bangsa Indonesia yang harus dilestarikan. Kekuatan dan kesinambungan identitas bangsa serta eksistensinya terletak pada kekuatan mempertahankan nilai-nilai budaya. Tidak dapat dihindari, era globalisasi yang kita masuki saat ini akan mempengaruhi bidang kehidupan, dan kita tidak mungkin pula mengelak dari dampak yang diakibatkannya. Kondisi yang secara tidak langsung melahirkan budaya baru dan memengaruhi tatanan budaya masyarakat Indonesia inilah yang harus kita hadapi. Oleh karena itu, pelestarian nilai-nilai budaya sangat penting dilakukan demi menjaga nilai-nilai leluhur sebagai identitas bangsa. Nilai-nilai budaya juga merupakan aspek dalam sistem ideologi yang terdiri dari aspek kosmologi, aspek pola sikap, dan aspek sistem nilai. Suatu sistem nilai pada dasarnya merupakan suatu rangkaian dari konsep yang luas, dan sistem nilai budaya itu berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi manusia dalam hidupnya. Dengan demikian, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sejumlah nilai yang hidup dalam keseharian suatu bangsa. Penerapan dari nilai-nilai kehidupan ini harus memiliki konsistensi sejak tingkat individu hingga tingkat kolektivitas bangsa. Jika terjadi ketimpangan maka akan terjadi sejumlah distorsi dalam kehidupan bangsa. Misalnya, nilai budaya bekerja keras berhasil diaplikasikan oleh seseorang dalam hidupnya, tetapi pada saat yang sama ia tidak memunyai budaya empati dan rasa malu. Dengan demikian, ia dapat saja menerabas norma-norma wajar kemajuan dengan melakukan berbagai penyelewengan dalam masyarakat.
07-Dede.indd 221
dede hasanudin 221
Selanjutnya, Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1990: 191), menyatakan bahwa nilai-nilai budaya dari tiap-tiap kebudayaan tidak terlepas dari lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar itu, ia membuat suatu kerangka teori yang dapat dipakai para ahli antropologi untuk menganalisis secara universal setiap variasi dalam sistem nilai budaya yang didapati dalam semua macam kebudayaan di dunia. Menurut Kluckhohn, kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah: a. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, b. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia, c. Masalah mengenai hakikat dari ke dudukan manusia dalam ruang waktu, d. Masalah mengenai hakikat hubungan dari manusia dengan alam sekitarnya, dan e. Masalah mengenai hakikat dari hu bungan manusia dengan sesamanya. 6. Hakikat Karakter Thomas Lickona (2012: 81) menjelaskan bahwa, ‘’Karakter adalah campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasikan oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.” Meskipun disadari bahwa tidak ada satu orang pun yang memiliki semua kebaikan itu, dan bahwa setiap orang memiliki beberapa kelemahan, tetapi orang-orang dengan karakter yang sering dipuji, bisa jadi sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Terkait dengan pengertian karakter, Narwanti (2011: 2) mengidentifikasi bahwa “Karakter adalah gabungan segala sifat kejiwaan yang membedakan seseorang
4/16/2015 6:21:01 AM
222
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
dengan orang lain. Secara psikologis pun karakter dipandang sebagai kesatuan seluruh ciri atau sifat yang menunjukkan hakikat seseorang.” Melalui karakter inilah, seseorang dapat diidentifikasi segala sikap dan ciri khasnya, dalam setiap tindak dan perilaku kehidupannya. Selain memperlihatkan sifat dan watak seseorang, karakter dapat juga memperlihatkan sifat dan watak yang khas dari suatu komunitas dalam suatu bangsa. Kita mengenal di Indonesia banyak suku bangsa. Masing-masing suku bangsa memiliki karakter yang menunjukkan ciri khas suku bangsa tersebut. Dua pakem yang sampai sekarang ini masih bisa kita terima adalah, jika suku itu berada di daerah pesisir pantai, maka karakter suku itu keras, berjiwa besar, senang berpetualang, dan mandiri. Sementara, suku-suku yang mendiami daerah pegunungan lebih cenderung sopan santun dalam berbahasa. Namun, tentunya dua pakem itu tidak serta merta melekat pada setiap orang yang tinggal di kedua daerah tersebut. Karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai), yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Kemudian istilah ini banyak digunakan dalam bahasa Perancis, menjadi “caratere” pada abad ke-14, dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character”, yang lalu diadopsi menjadi bahasa Indonesia, “karakter”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai sifat-sifat akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang. Fenichel (2014: 467) dalam The Psychoanalytic Theory of Neurosis, mendefinisikan karakter sebagai “ the habitual mode of bringing into harmony the tasks presented by internal demands and by the external world, is necessarily a function of the constant, organized, and integrating part of the personality
07-Dede.indd 222
Vol II, 2014
which is the ego.” Sedangkan menurut Hernowo (2004: 175), karakter adalah watak, sifat, atau hal-hal sangat mendasar yang ada pada diri seseorang. Selanjutnya, Hernowo juga mendefinisikan karakter sebagai tabiat dan akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Masih menurut Lickona, dimensidimensi karakter yang baik yang dapat menunjang karakter siswa atau bangsa meliputi pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan atau tingkah laku moral (moral action). Pengetahuan tentang moral (moral knowing) sendiri meliputi kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai moral (knowing value), berpikir moral (moral thinking), penalaran moral (moral reasoning), membuat keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self-knowledge). Perasaan moral (moral feeling) meliputi hati nurani (conscience), harga diri (self esteem), empati (empathy), mencintai kebaikan (loving the good), kontrol diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Sedangkan, tindakan atau tingkah laku moral (moral action) meliputi kompetensi (competence), kemauan (will), dan kebiasaan (habit). B. Pembahasan 1. Berkomunikasi dalam dunia maya Dalam mencari data dan informasi mengenai bagaimana masyarakat atau pengguna jejaring sosial khususnya Facebook, peneliti harus terjun mulai dari memantau status Facebook secara up to date, hingga wawancara kepada para pengguna Facebook dari berbagai kalangan. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh para responden pengguna dunia maya dan media sosial Facebook, secara keseluruhan hampir semuanya merujuk pada opini argumentasi yang sama. Rata-
4/16/2015 6:21:01 AM
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
rata responden menggunakan alat komunikasi handphone yang sekaligus menyediakan fitur browser untuk menjelajah di dunia maya dan media sosial, khususnya media sosial yang sudah teraplikasi pada telepon genggam, seperti Facebook, Twitter, Line, Path, dan sebagainya. Bermacammacam kegiatan yang digunakan para responden dalam memanfaatkan Facebook, misalnya mengobrol (dalam istilah dunia maya disebut “chat” atau “chatting’) dengan teman-teman lama, berbelanja daring, game, mengunggah foto, dan posting serta membaca berita. Dari keterangan responden dapat diketahui bahwa para pengguna Facebook rata-rata mendapatkan berita maupun informasi yang aktual tentang peristiwa serta kejadian yang tengah terjadi di dunia internasional, contohnya Konflik di jalur Gaza, ISIS, perang saudara di Suriah, Libia, Mesir, bahkan sampai kegiatan pemilihan presiden dan wakil presiden. Tentang pelbagai kejadian ini, para pengguna Facebook mendapat kesempatan untuk saling berkomentar. Banyak sekali ragam bahasa yang digunakan. Secara umum, bahasa yang digunakan dalam Facebook adalah bahasa percakapan sehari-hari. Para responden tersebut tidak menampik jika dalam komentar-komentarnya, mereka kerap menggunakan bahasa yang kurang sopan bahkan menjurus ke kasar, jika berita atau informasi yang dipublikasikan tidak sesuai dengan harapannya. Responden menerangkan bahwa beberapa komentar memang ada yang kasar, tetapi tetap ada komentar yang sopan dan tidak menyakitkan pembacanya. Kelebihan Facebook atau media sosial secara umum adalah dapat mengeratkan silaturahmi kerabat-kerabat yang jauh, menggali informasi secara cepat dan lebih efisien dalam berkomunikasi. Sedangkan kekurangannya yaitu tidak ada filter
07-Dede.indd 223
dede hasanudin 223
dari Facebook itu sendiri untuk menyaring kata-kata kasar. Bahkan, Facebook sangat rentan untuk diretas (hack). Kekurangan ini cukup disepakati oleh para pengguna dunia maya. Suatu kelemahan yang tentunya tidak bisa dipungkiri adalah tidak adanya batasan usia bagi pengguna Facebook. Oleh karena itu, mulai dari anak anak, remaja, hingga orang dewasa bisa saja berada dalam satu forum umum tanpa ada filterisasi pembahasan suatu topik masalah. Tentunya hal ini begitu ironis mengingat pasti banyak anak yang terbawa arus perbincangan orang-orang dewasa. Terlebih lagi, tidak dipungkiri oleh para responden bahwa para pengguna Facebook bebas berkomentar sesuai dengan kehendaknya. Apakah pengguna ingin menggunakan bahasa yang baik, atau ingin menggunakan bahasa yang kasar, tidak ada sedikitpun sensor dari pihak Facebook. Hal inilah yang ditakutkan akan terlihat dan dicontoh oleh anak-anak. 2. Kebahasaan dan Kesantunan dalam Dunia Maya Dalam pembahasan ini, penulis mengutip satu buah posting berita dari Facebook tentang Kementrian Perhubungan RI yang merilis nama-nama warga negara Indonesia yang menjadi korban dalam jatuhnya pesawat Malaysia Airlines (MAS) MH 17 di Zona perang Ukraina, pada 17 Juli 2014. Berita yang dirilis viva.co.id terkait jatuhnya pesawat MAS MH 17 melalui lamannya http://nasional.news.viva.co.id/ news/read/522630-ini-12-penumpang-wnikorban-tragedi-pesawat-mh-17, diposkan pada akun Facebook-nya pada Jumat, 18 Juli 2014 sekitar pukul 14.00. Pesawat komersial itu diduga ditembak roket dalam perjalanan dari Amsterdam Belanda menuju Kuala Lumpur Malaysia. Seluruh penumpangnya tewas.
4/16/2015 6:21:01 AM
224
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
3. Analisis Data a. Analisis Kebahasaan Dari sisi berita, tidaklah terdapat m asalah mengenai aspek kebahasaan yang dituangkan dalam berita. Hal tersebut karena para administrator Fanpage Facebook tentunya sangat memerhatikan aspek kebahasaan sebagaimana ketentuan dalam membuat berita pada umumnya. Akan tetapi, aspek kebahasaan sepertinya kurang diperhatikan oleh para komentator berita yang memberikan komentarnya pada kolom yang tersedia di bawah berita tersebut. Dalam berita di atas, penulis membagi dua aspek kebahasaan, yaitu (1) kalimat efektif, dan (2) diksi. 1) Keefektifan Kalimat Berdasarkan berita yang diposkan oleh VIVAnews.com melalui akun Facebook-nya, banyak masyarakat pengguna Facebook yang memberikan komentar beragam. Dari komentar-komentar tersebut, penulis mengambil beberapa komentar untuk dijadikan bahan analisis, sebagai berikut: Komentar Iwar Guiteirez: “Sekalian ata tUh Negara Malaysia di bOmbArdir biar ancur. Buat penumpang WNI biar mampus lu rasain jadi penghianat. Siapa suruh gak naik garuda.”
Vol II, 2014
“mudah mudahan Pesawat tu Jatuh KE air dan para penumpangnya tidak dapat ditemukan terima kasih”
Komentar Roy Mohade di atas memiliki bahasa yang lugas dan tegas, tetapi juga memiliki sifat sarkas. Apabila dijadikan kalimat efektif, akan berbunyi sebagai berikut: “Anda cacat!” Komentar Dina Rizky: “Pilot nya aja Oon !! Ud tau di kawasan sana lagi tempur, ngpain terbang melintas di atas sana.”
Komentar di atas belum memiliki struktur kalimat yang efektif. Penulisan kata juga masih ada yang salah. Agar kalimat di atas efektif, maka seharusnya: “Pilotnya yang bodoh! Sudah tahu di sana sedang tempur, kenapa melintas di sana?” Komentar Dozzy Paradise: “kok ora wong Malaysia wae seng modharr..crott”
Komentar di atas berbahasa Jawa. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kalimat efektif, menjadi sebagai berikut: “Kok tidak orang Malaysia saja yang meninggal. Crott!” Dulas Anuraga: “mampus tuh Malaysia”
Komentar di atas merupakan sumpah serapah. Secara tegas Dulas Anuraga Kalimat pada komentar di atas belum menyampaikan umpatannya, yang dalam efektif karena masih ada beberapa kata ragam kalimat efektif menjadi, “Mampus yang kurang tepat penggunaannya dan itu Malaysia!” masih ada kata yang tidak baku. Maka kalimat efektif dari komentar tersebut adalah: Komentar Gue Yeexcarr Cenang: “wong edan “Sekalian saja Negara Malaysia dibombardir ikie” biar hancur. Untuk penumpang WNI biar mampus, kalian rasakan akibat jadi penghiKomentar di atas berbahasa Jawa. anat. Siapa suruh tidak naik Garuda.” Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kalimat efektif, menjadi Komentar Roy Mohade: “CACADLO!!” sebagai berikut: “Ini orang gila!” Komentar Roy Mohade ini mengomentari komentar dari Van Putra Sihite C’lalu, yaitu:
07-Dede.indd 224
Komentar Santo Kurniawan: “BEGO!!!”
4/16/2015 6:21:01 AM
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
Umpatan tersebut secara lugas diberikan Santo Kurniawan. Namun, penggunaan tanda seru dalam umpatan tersebut terlalu banyak sehingga tidak menjadi kalimat yang efektif. Seharusnya: “Bego!” Komentar Cahstress: “goblok”
Umpatan Cahstress tersebut tidak diberi intonasi final “tanda seru” sebagai bentuk luapan emosi. Seharusnya: “Goblok!”
dede hasanudin 225
analisis sebagai berikut. Komentar Rio Rinaldi: “Mati aja kau, Org strezz”
Diksi “mati” dan “strezz”, pada komentar Rio Rinaldi, menunjukkan kekesalannya atas komentar seseorang dalam ruang komentar. Komentar Serdadumancunianpemuja Reddevilgariskeras: “Bangsat lu gk ada rs kemanusiaan skali lu”
Komentar Dian Silviana: “stress Joe”
Komentar di atas merupakan teguran; diksi “bangsat” ditujukan pada seseorang Umpatan Dian Silviana tersebut tidak yang dianggapnya tidak memiliki rasa kediberi intonasi final “tanda seru” sebagai manusiaan dalam komentarnya. bentuk luapan emosi kepada seseorang yang ditujunya. Seharusnya: “Anda stres!” Komentar Dani Firmansyah Jr. “Btut”
Komentar Andry Raka Shinobi: “klo keluarga L oe yang jadi salah satu korban nya apa loe masih mau bilang kaya gitu ???????? #dongo”
Sindiran dari komentar Dani Firmansyah Jr. ditujukan pada pesawat MH17 yang dianggapnya sudah “butut”.
Andry Raka Shinobi dalam komenKomentar Princess Jazira: “Kalian orang duntarnya, memberikan pertanyaan balik kegu!! Dulas anuraga.. lwar guiteirez!!! Kalian mapada beberapa orang dalam ruang komenkan tai saja biar bisa mikir” tar. Jika diubah ke dalam kalimat efektif, yakni sebagai berikut: “Kalau keluarga Anda Komentar Princess Jazira merupakan yang jadi salah satu korbannya, apa Anda teguran yang tertuju langsung pada dua masih mau bilang begitu? #dongo.” orang yang disebutnya. Dalam komentar tersebut ada diksi “dungu” dan “tai’” seKomentar Uciim Jamaica Uyea: “DASAR bagai umpatan kekesalannya yang ditujuORANG GOBBLOG,.,·>” kan kepada kedua orang tersebut. Komentar di atas merupakan sebuah umpatan untuk menyatakan emosi. Na- b. Analisis Kesantunan Berbahasa Dalam ruang komentar, tidaklah damun, jika diubah ke dalam kalimat yang efektif, akan menjadi seperti: “Orang gob- pat dipungkiri jika masyarakat pengguna Facebook seringkali melontarkan kata-kalok!” ta atau bahasa yang tampak melanggar nilai-nilai kesantunan. Berbagai macam 2) Diksi Berdasarkan analisis keefektifan ka- pengungkapan emosi di dalam komentar limat di atas, terdapat beberapa diksi (pi- dapat tertuang melalui cara apa pun, mislihan kata) yang terdapat pada komentar- alnya melalui sindiran, celetukan, emosi komentar tersebut untuk dijadikan bahan yang tinggi, hingga kata-kata sarkas yang
07-Dede.indd 225
4/16/2015 6:21:01 AM
226
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
Vol II, 2014
nadanya sangat kasar dan tidak layak diungkapkan. Pada bagian ini, penulis membagi analisis kesantunan berbahasa pada komentarkomentar di atas menjadi dua macam, yaitu: (1) sindiran, dan (2) sarkasme. Berikut adalah contoh sindiran dan umpatan kasar yang diambil dari komentarkomentar yang dipublikasikan pada 6 Juli pukul 14.46 di Fanpage Facebook berjudul “Puisi Perjanjian dengan Jokowi-JK.” Tautan berita: https://www.fac e b o o k . c o m / D e n n y J AWo r l d / p o s t s / 617091061720380. Puisi tersebut menginformasikan tentang aksi para relawan dari pendukung calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut dua yaitu Ir. Joko Widodo dan Drs. Mumammad Jusuf Kalla. Dalam berita tersebut, disampaikan pembacaan sebuah puisi oleh salah seorang pendukung kedua pasangan capres-cawapres pada saat kampanye tanggal 5 Juli 2014 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Uniknya, komentar yang dituliskan atau diargumentasikan oleh para pembaca Facebook terkadang tidak sinkron dengan apa yang diberitakan. Komentar-komentar tersebut pada akhirnya berujung pada debat, saling ejek, dan saling sindir. Komentar-komentar tersebut dilontarkan begitu saja, terkadang tanpa memikirkan dampaknya. Banyak di antara komentar yang keluar, jika dilihat dari sudut pandang bahasa, akan menghasilkan kalimat atau gagasan yang tidak efektif. Selain itu, gagasan yang dilontarkan pun memicu kontroversi dan konflik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam dunia maya pun sangat rentan terjadi konflik yang bersifat horizontal antar sesama pengguna dunia maya.
mentar, yang penulis kategorikan sebagai sindiran Komentar : Sultan Cilik Kondang “alasan saya memilih Jokowi : (1) Tidak suka dan tidak pernah melanggar sumpah jabatan atas nama Tuhan dan kitab suci baik di solo maupun di jakarta (2) Suka blusuan dan pencitraan dengan membawa puluhan wartawan agar segera diliput (3) Tidak Suka pamer prestasi baik itu di sesi debat sekalipun karena tidak Berambisi menang. (4) Berasal dari keluarga miskin dan aset kekayaannya sekarang cuma Puluhan Milyar belum Triliyunan (5) Tampang lugu tapi hati mulya suka melecehkan lawannya sekali-sekali gk sering (6) Menguasai 10 bahasa termasuk bahasa basi (7) Tidak merupakan capres Boneka yang sering dikatakan orang tapi capres ajudan Mega Sumpah adalah amanah baginya, jadi haram hukumnya melanggar sumpah (8) Pintar merebut hati rakyat dengan berlagak ndeso dan dengan segala upaya biar banyak yang suka (9) Lahir dari keluarga yang terhormat dan tidak terkenal jadi tidak perlu diperkenalkan segala (10) Sukses memimpin Solo dengan segala prestasi yang tentu diketahui semua orang. Karena selalu diliput di media masa, gk kaya yang lain prestasinya gk pernah diliput jadi orang gk tahu (11) Yakin menang 100% kalau Pemilu tidak main curang tidak boleh tidak. Kalau yg lain malah ngomong, menerima saja keputusan Rakyat apapun hasilnya 1) Sindiran (12) Sederhana dalam penampilan agar diharDari wacana di atas, muncul beberapa gai oleh PemimpinPemimpin Dunia dan sindiran, dan berikut adalah beberapa koagar rakyat simpati.
07-Dede.indd 226
4/16/2015 6:21:01 AM
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
(13) Jujur, Bertanggung jawab dgn segala tugas yang diberikan Rakyat, karena sekali berbohong merupakan hal yang tidak biasa ia lakukan (14) Belum pernah didemo masa dan belum pernah tersandung kasus apapun (15) Pintar berpolitik termasuk berpolitik dengan membuka rekening gotong royong agar tidak ada yang dirugikan bila kalah nanti (16) Taat dalam beribadah, rajin sholad dan puasa. Kalau tidak percaya lihat saja gambrnya banyak beredar di media masa (17) Jago berdebat semua lawannya kalah dan selalu memahami materi debat tidak pernah salah (18) Segala tindakannya selalu benar tidak pernah salah dan tidak mau disalahkan (19) Figur pemimpin yang tegas dan berwibawah, cocok jika disejajarkan dengan tokoh2 dunia yang tegas dan pintar (20) Setiap Ucapannya tegas dan akurat tidak mencla mencle, pagi tempe sore dele (21) Rela berkorban demi kepentingan Rakyat meski harta kekayaannya ludes dia rela asalkan demi Rakyat (22) Tidak pernah mencalonkan diri tapi dicalonkan oleh partai berhubung popularitasnya lagi naik maka dicalonkan agar PDIP tetap diatas (23) Disiplin dalam tugas karena sudah biasa dilatih kedisiplinan, tidak pernah molor janji dan molor waktu (24) Mengerti segala seluk beluk Negara dan segala akar permasalahan bangsa serta menguasai segala bidang termasuk urusan pertahanan dan keamanan Negara. Jadi tunggu apa lagi? Komentar tersebut terkesan sebagai pujian atau dukungan terhadap salah satu calon presiden Republik Indonesia. Akan tetapi, jika kita melihat dan membaca secara kritis, kita dapat mengetahui bahwa komentar dari pengomentar meru-
07-Dede.indd 227
dede hasanudin 227
pakan sebuah sindiran. Sindiran tersebut bermacam-macam, mulai dari yang terasa halus, hingga sindiran yang terasa sangat frontal dan kasar. Berikut contoh sindiran yang halus, (1) Tidak suka dan tidak pernah melanggar sumpah jabatan atas nama Tuhan dan kitab suci baik di solo maupun dijakarta (2) Suka blusuan dan pencitraan dengan membawa puluhan wartawan agar segera diliput (3) Tidak Suka pamer prestasi baik itu disesi debat sekalipun karena tidak berambisi menang. (4) Berasal dari keluarga miskin dan aset kekayaannya sekarang cuma Puluhan Milyar belum Triliyunan Pada komentar yang pertama, pengomentar menyebutkan bahwa salah satu capres tidak suka dan tidak pernah melanggar sumpah jabatan atas nama Tuhan dan Kitab Suci baik di Solo maupun di Jakarta. Mungkin jika masyarakat atau pembaca yang belum memahami situasi di Indonesia, akan melihat ini sebagai pujian. Akan tetapi, rata-rata masyarakat memahami bahwa ada isu dan berita yang menyebar bahwa salah satu capres yang dimaksud justru berada pada situasi sebaliknya. lni mengindikasikan bahwa pengomentar memberikan sebuah sindiran halus kepada salah satu capres yang dimaksud olehnya. Secara keseluruhan, beberapa per nyataan dari pengomentar sebenarnya menggunakan kesantunan yang baik. Akan tetapi, kesantunan tersebut terasa hilang pada beberapa pernyataan sindiran yang dapat dikatakan cukup keras. Pada komentar yang kedua, pengomentar menuliskan atau mengargumentasikan bahwa beliau yang dimaksud tersebut suka blusukan dan pencitraan
4/16/2015 6:21:01 AM
228
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
dengan membawa puluhan wartawan agar segera diliput. Pernyataan ini jelas merupakan sindiran. Sindiran sangat terasa pada pernyataan ‘’membawa puluhan wartawan agar segera diliput”. Pada komentar yang ketiga, pengomentar menuliskan tidak suka pamer prestasi baik itu di sesi debat sekalipun karena tidak berambisi menang. Sama seperti kalimat sebelumnya, dalam hal ini terdapat sindiran yang halus, karena sebenarnya pengomentar mengritik bahwa orang/calon presiden yang dimaksud tersebut mungkin menurut pengomentar berada pada situasi yang sebaliknya yaitu suka memamerkan prestasi, dan berambisi untuk menang. Pada komentar yang keempat, selanjutnya dia menuliskan bahwa salah satu capres berasal dari keluarga miskin dan aset kekayaannya sekarang cuma Puluhan Milyar belum Trilyunan. Pernyataan tersebut jelas sebuah sindiran yang cukup dalam. Sindiran sangat terasa ketika pada pernyataan, “kekayaannya cuma puluhan miliar”. Padahal, uang puluhan miliar tersebut jumlahnya sangatlah banyak dan orang yang memiliki uang sebanyak itu tentulah bukan orang miskin. Selain itu, ada juga komentar sindiran yang agak sedikit kasar, misalnya, (1) Tampang lugu tapi hati mulya suka melecehkan lawannya sekali-sekali gk sering. (2) Menguasai 10 bahasa termasuk bahasa basi Pada komentar yang pertama, pengomentar menyatakan bahwa “Tampang lugu tapi hati mulya suka melecehkan lawannya sekali-sekali gak sering”. Pernyataan ini merupakan sindiran yang cukup kasar, karena ada istilah “hatinya mulia suka melecehkan”. Kita memahami bahwa hati mulia dengan suka melecehkan merupakan ungkapan yang bertentangan. Ketika seseorang berhati mulia, mana mungkin
07-Dede.indd 228
Vol II, 2014
orang tersebut melecehkan orang lain. Maka dari itu, jelas pernyataan dari pengomentar sangat menyindir dan sangat kasar. Selanjutnya, pada pernyataan, “menguasai 10 bahasa termasuk bahasa basi”, pun jelas sebuah sindiran yang cukup kasar. Kasarnya tingkat sindiran tersebut terjelaskan pada ungkapan “bahasa basi”. Ada dua kemungkinan yang dimaksud dari “bahasa basi” tersebut, yaitu 1) bahasa yang mengungkapkan “basa-basi”, atau 2) bahasa atau pembahasan yang dianggap sudah basi atau sudah lawas dan tidak berguna lagi diungkapkan. 2) Sarkasme Komentar atas nama Rediya Nehru, yang menuliskan, “Culas fitnah bohong hoak gelembuk solo adu domba curiga marah HAPUSkan sekarang”. Pengomentar dengan nama Rediya Nehru di atas tampak berbeda dengan pengomentar sebelumnya. Jika sebelumnya didapati berbagai macam sindiran, maka komentar yang ini lebih to the point dalam mengemukakan pendapat, bahkan mengeluarkan kata-kata yang cukup kasar seperti “culas, fitnah, bohong, hoak, adu domba”. Selain itu, ada kata yang penulisannya menggunakan huruf kapital secara keseluruhan dalam kata ‘”HAPUSkan”. Penggunaan huruf kapital tersebut merupakan sebuah penekanan atau menandakan emosi yang sudah memuncak dari pembuat komentar. Komentar atas nama Irfan Susanto: Klo manusia waras pilih no’2.. peace......Klo yg pilih 2 itu dr fikiran turun k’hati, krna orang yg milih 2 punya pendtrian &komitmen, yg ga asal ikut2an: 1. Partai 2. Keluarga
4/16/2015 6:21:01 AM
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
dede hasanudin 229
3. Teman 4. Golongan
atau mungkin sudah sangat tinggi. Penggunaan huruf kapital juga merupakan tanda bahwa si pengomentar sedang daKomentar atas nama lrfan Susanto lam keadaan marah. memang terkesan sederhana. Akan tetapi, ada hal yang terasa begitu kasar jika kita 4. Budaya dan Karakter dalam Dunia lihat dengan lebih teliti. Pengomentar Maya mengungkapkan bahwa “klo manusia a. Budaya waras pilih no 2” atau lebih jelasnya “KaBerdasarkan analisis kesantunan berlau manusia waras akan memilih nomor bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa 2”. Maksudnya adalah bahwa menurut komentar terhadap berita 12 Penumpang pengomentar yang memilih calon presi- WNI Korban Tragedi Pesawat MHI 7 lebih den nomor urut dua merupakan orang banyak menekankan kepada sarkasme. yang waras, begitupun sebaliknya. Pe Banyak para komentar menggunakan bangomentar menyiratkan bahwa yang hasa sarkasme dalam memberikan masuk tidak sependapat atau tidak memilih no- an maupun komentar terhadap komentar mor 2, maka akan kembali ke premis awal yang tiap kali muncul. Hal ini menandayaitu, hanya pemilih nomor 2 yang waras, kan bahwa nilai kesantunan berbahasa sehingga pemilih nomor 1 diindikasikan masyarakat pada umumnya dalam ranah tidak waras oleh pengomentar. Hal ini komunikasi maya ini mulai menghilangmerupakan sebuah bahasa yang sangat kan nilai kesantunan yang semestinya berkasar dan tidak santun, mengingat hampir laku dalam situasi apapun. Dengan bahasetengah penduduk di Indonesia tidak sa-bahasa kasar yang dilontarkan tersebut memilih capres nomor 2. Simpulannya, menandakan bahwa komunikasi dalam berarti hampir setengah penduduk In- dunia maya tidaklah memperhatikan kesdonesia tidak waras, menurut kriteria si antunan bahasa. pengomentar. Jejaring sosial Facebook sendiri sejatinya Dari berita tersebut, dapat disimpul- bukanlah asli dari budaya Indonesia. Facekan bahwa kesantunan para pengomen- book diciptakan oleh seorang pemuda asal tar bermacam ragamnya. Ada pengo- Amerika Serikat bernama Mark Zuckermentar yang menggunakan sindiran yang berg, pada awal tahun 2000-an. Facebook mulai dari sindiran halus hingga sindiran masuk ke Indonesia dengan sangat cepat yang terkesan frontal dan kasar. Selain itu, dan pesat karena melalui media Interada juga komentar yang membela dengan net. Perkembangan Facebook di Indonesia kasar: pembelaannya menggunakan ba- kemudian terintegrasi dengan kegiatan hasa yang kasar. Selain melakukan pem- masyarak:at di Indonesia, mulai dari kabelaan, ada juga yang menggunakan kata langan anak-anak, remaja, hingga orang kasar dalam mencibir atau mengejek pihak dewasa. yang berlainan pendapat dengannya. Kendati Facebook sendiri bukan berasal Ada hal yang menarik dari komentar dari bangsa dan budaya Indonesia, akan para pembaca berita, yaitu penggunaan tetapi penggunaannya yang mudah dan huruf kapital pada seluruh kata yang di- dapat dipakai oleh siapapun membuat gunakan. Hal tersebut menunjukkan Facebook dengan mudah terintegrasi denpenekanan yang kuat dan mengindikasi- gan masyarakat Indonesia beserta budaya kan tingkat emosional yang mulai tinggi ketimurannya. Dengan adanya Facebook,
07-Dede.indd 229
4/16/2015 6:21:02 AM
230
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
bangsa Indonesia dengan mudah melihat bagaimana wujud konkret dari budaya luar. Sehingga, banyak anak muda dan remaja mencontoh dan meniru apa yang mereka lihat dan mereka baca di Facebook dalam kehidupan sehari-hari. b. Karakter Berikut kutipan komentar pengguna dalam sebuah posting berita di Facebook. “Lu lu pade emang lebih baik daripada aa gym hah.? Mulut lu. doank berkoar, tapi otak ma moral kaga ada...gw tampol bego beneran lo lo pade ah elah....makan tuh kemunafikanmu dan kefanatikanmu; Nama ustad kondang pun difitnah, dasar syaitan kamu....” Berbagai macam cacian, makian, perdebatan yang terjadi di dunia maya antar pengomentar bukanlah hal yang dapat dipungkiri lagi. Identitas bangsa Indonesia yang ramah dan santun tampak bertolak belakang dengan apa yang dapat kita lihat setiap saat di Facebook terutama jika terjadi pro-kontra akan suatu kasus dan permasalahan. Tentunya hal-hal seperti itu bukanlah identitas asli bangsa Indonesia. Hal tersebut tentunya mengakibatkan terbentuknya karakter yang negatif dan dapat mengakibatkan disharmonisasi antar golongan yang berbeda pendapat. Dapat dibayangkan betapa buruknya suasana jika setiap individu atau kelompok yang berbeda pendapat selalu berakhir dan berujung pada cacian dan makian kepada sesama masyarakat. Tentunya hal tersebut bukan hal yang baik dan benar jika dibiarkan saja. Penggunaan ungkapan cacian yang menjurus kepada cacian kasar yang tidak pantas diungkapkan merupakan sebuah cerminan karakter yang jauh dari akhlak yang mulia. Karakter negatif tersebut terlihat dari penggunaan bahasa yang kasar yang ditujukan kepada orangorang tertentu yang tidak sesuai dengan
07-Dede.indd 230
Vol II, 2014
pendapatnya. Permasalahan seperti itu tentunya merupakan masalah bersama dan harus diselesaikan mulai dari diri sendiri. Tanpa adanya kesadaran dari setiap individu, maka permasalahan tetap akan berlarut dan tetap akan kita saksikan seperti itu. Kesimpulan Penulis menyimpulkan bahwa terdapat ragam variasi bahasa yang selalu diungkapkan di dunia Facebook. Selain itu, banyak sekali komentator di dunia Facebook yang menggunakan bahasa-bahasa sindiran atau bahkan bahasa yang berada pada kategori sarkasme, ketika mengomentari sesuatu hal pokok yang dibicarakan. Dalam penelitian, dapat ditemukan rendahnya kesantunan berbahasa yang ditampilkan dalam komentar di dunia Facebook karena hampir seluruh pengguna tidak memerhatikan kesantunan bahasa ketika mengkritik subjek dalam Facebook. Rendahnya kaidah bahasa Indonesia yang ditampilkan ketika mengkritik atau menilai subjek di dalam Facebook menunjukkan pola pikir dan karakter yang tidak sesuai dengan budaya dan karakteristik bangsa Indonesia yang dikenal ramah dan sopan. Dari hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan peneliti, kebanyakan dari masyarakat pengguna facebook tidak memungkiri bahwa memang perdebatan katakata dengan menggunakan diksi yang buruk, tidak dapat dihindari di dunia maya. Hal tersebut terjadi lantaran tidak adanya aturan baku mengenai penggunaan bahasa dalam berkomunikasi di dunia maya. Untuk mengurangi hal tersebut tentunya hanya kesadaran dari setiap individu pengguna dunia maya yang dapat meng ubah semua hal negatif yang terjadi menjadi lebih positif.
4/16/2015 6:21:02 AM
Telaah Budaya dan Karakter dalam Pola-pola Komunikasi di Dunia Maya
dede hasanudin 231
Lickona, Thomas. (2012). Educating for Character (Mendidik Untuk Membentuk Amirulloh. (2012). Buku Pintar Pendidikan Karakter). Jakarta: Bumi Aksara. Karakter. Jakarta: Prima Pustaka. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. (2004). Liliweri, Alo. (2003). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. LKiS. Effendi, Onong Uchyana. (1980). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT _____. (1995). Perspektif Teoritis Komunikasi Antarpribadi. Bandung: PT Citra Aditya Remaja Rosdakarya. Bakti. Fajri, EM Zul dan Ratu Aprilia Senja. (2008). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Edisi Muhammad, Arni. (2009). Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Revisi, Cet. 3, Semarang: Difa PublishMulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi, ers. Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Faruqi, Ismail R. (1989). Islam dan KebuRosdakarya. dayaan. Jakarta: Mizan. Fenichel, Otto. ([1945] 2014). The Psychoana- Narwanti, Sri. (2011). Pendidikan Karakter: Pengintegrasian 18 Nilai Pembentuk Karalytic Theory of Neurosis, revised edition. kter dalam Mata Pelajaran. Yogyakarta: London: Routledge Familia. Hernowo. (2004). Self Digesting: Alat Menjelajahi dan Mengurai Diri. Bandung: Mi- Nurhajarini, Dwi Ratna. (1999). Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Pangzan Learning Center. gelaran. Jakarta: Putra Sejati Raya. Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Rakhmat, Jalaluddin. (1988). Psikologi KoAntropologi. Jakarta: Rineka Cipta. munikasi. Bandung: Remaja Karya. Daftar Pustaka
07-Dede.indd 231
4/16/2015 6:21:02 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 232-242 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA: A Structuralist Analysis of Roland Barthes’ Five Codes RETNOWATI Part-time English Lecturer of Universitas Multimedia Nusantara Surel:
[email protected] Diterima: 17 September 2014 Disetujui: 6 Maret 2015
ABSTRACT Novel as a literary work sometimes represents society’s culture. Sitti Nurbaya: A Love Unrealized, written by Marah Rusli, represents the culture of Minangkabau during Dutch colonization period. This novel is read and loved by many people and it has been translated into English. By using Roland Barthes’s Stucturalism, which consists of five codes: proaretic, hermeneutic, cultural, semic, and symbolic, the theme, the content and the context of this novel is thoroughly analyzed for readers to understand more easily. Kata-kata Kunci: lima kode Roland Barthes, Strukturalisme, budaya, biner, simbol
Introduction Marah Rusli is one of the greatest Romantic writers of Indonesia whose works are acknowledged by many people, not only from Indonesia but also from foreign countries. One of his works is Sitti Nurbaya: A Love Unrealized (Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai), published by Balai Pustaka, the state-owned publisher and literary bureau of the Dutch East Indies, in 1922. This novel was written in Indonesia and also translated into English. For the purpose of the article here, I am using the English translation published by Lontar Foundation, in 2011. The English translation here means that this work is appreciated worldly. Sitti Nurbaya describes the condition of people in Minangkabau in the 1900s. Sitti Nurbaya was a daughter of a wealthy mer-
08-retnowati.indd 232
chant, Baginda Sulaiman. Samsulbahri was the son of a Sutan Mahmud, a Penghulu (the name of a senior grade or ranking in Padang, West Sumatra, a kind of District Head). They were close since they were children because they were neighbors. When they were adults, they fell in love but they had to be separated because Samsul had to go to Batavia, now Jakarta, to continue his school. Datuk Meringgih, another character, is portrayed as a merchant who did many things to get money. He was very stingy about everything except for women. He was a womanizer, too. Datuk Meringgih did not like to see the success of Baginda Sulaiman, then he commanded his men to burn the properties of Baginda Sulaiman to make him living in poverty so that Baginda
4/16/2015 6:21:22 AM
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
Sulaiman asked for some loans to Datuk Merringgih. Baginda Sulaiman could not pay his debt and Datuk Meringgih threatened him to put him in jail if he could not pay his debt, or he had to make Nurbaya as Meringgih’s wife to pay his debt. To save his father, Nurbaya married to Datuk Meringgih. She said about it to Samsul and it made him furious to Datuk Maringgih. When Samsul went back to Padang on his holiday, he met Nurbaya and this was known by Datuk Meringgih, so it made them fight which led to the death of Baginda Sulaiman who had been previously ill. Nurbaya then left her house, because it belonged to Meringgih. Samsul on the other hand was being dismissed by his father because he was assumed as not respectful. Samsul then went to Batavia. Nurbaya also tried to join her lover to Jakarta by ship but this was known by Datuk Meringgih, then he asked his men to kill Nurbaya. This was not successful. On the other hand, Datuk Meringgih sent a message to the police saying that Nurbaya stole his belongings, so that Nurbaya was sent back to Padang, but she was free of being accused. Knowing this, Datuk Meringgih was not satisfied and he sent a person to sell a poisonus lemang (a kind of tradional snack from Padang, a cake of sticky rice and coconut milk, cooked in a length of bamboo lined with banana leaves). Nurbaya died because of eating that snack. In Batavia Samsul was frustrated knowing his lover died and he tried to commit suicide but it was not successful. Ten years later, he joined the Dutch army. His name was changed to be Liutenant Mas. He was sent to Padang to overcome the rebel of anti tax which was led by Datuk Meringgih. He successfully killed Datuk Meringgih but he was also wounded. Before he died, Liutenant Mas apologized to his father, Sultan Mahmud, and asked him to be buried be-
08-retnowati.indd 233
retnowati 233
side Nurbaya, in Mount Padang. Supriatin (2009) in Jurnal Geoteknologi wrote about nationalism which was portrayed through Marah Rusli’s Sitti Nurbaya. Nationalism in this novel was about the defense of Minangkabau people and culture, society and the land of Minang as a native, when facing Dutch as the colonizer. Damono (in Dhewy, 2014) stated that the dialog between characters of Samsulbahri and Siti Nurbaya implicitly showed their support to Dutch education and marriage. On the other hand, the antagonist, Datuk Meringgih, showed that he was against Dutch, pro Minang tradition and Islamic education. Damono also concluded that this novel successfully became the Dutch propaganda. Arivia (in Dhewy, 2014) discussed this novel from feminist perspective. She said that the right to be equal between man and woman was the theme Marah Rusli wanted to show to the readers. The character, especially Siti Nurbaya, was the person who was independent in making decision for herself, even for marriage, also when she asked Datuk Meringgih to get out of her house. The other characters, Sutan and Samsul, were male characters who were against poligamy. Ariavia also discussed about Pariaman tradition that man was “bought” by a bride. This was used by some men to make them rich. Some of the characters in this novel were against this tradition. This novel, in short, portrayed the principle of feminism because of its content about a challenge toward phallocentrism -- a belief centered on the superiority of the male sex. Although there are some discussions about Sitti Nurbaya, to explore more and to appreciate this work, it is suitable to use the five codes of Roland Barthes’s structuralism. By using this analytical tool, I will argue for the content of the novel to be clearer
4/16/2015 6:21:22 AM
234
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
to understand, both for lay people as well as academician. Theoretical Framework Barthes effectively extends structural analysis and semiology (the study of signs) to broad cultural phenomena, confronts the limit of structuralism, points the way to more freedom and more realistic valuations of texts and their role in culture (Habib, 2008: 638). Barry (2009: 48) suggested that structuralism aims to understand the individual item by placing it in the context of the larger structure to which it belongs. The individual item in narrative is the story and the larger structure is the five codes. They are Proaretic, Hermeneutic, Cultural, Semic and Symbolic code. Proaretic code focuses on action (Barry, 2009: 49). According to Barthes, actions can fall into various sequences which should be indicated merely by listening to them, since the proaretic sequences are never more than the result of an artifice of reading (Barthes, 1974: 19). The artifice of reading means that how the reader understands everything is stated in the text. The cause-and-effect pattern can be seen from this code by looking at actions leading to another action and the action may create suspense, but not mystery. The proaretic code applies to any action that implies a further narrative action. In hermeneutic code, there is a list of various (formal) terms by which an enigma can be distinguished, formulated, held in suspense, and finally disclosed. These terms will not always occur, but they will often be repeated. Nevertheless, they will not appear in any fixed order (Barthes, 1974: 19). Cultural code refers to anything in the text which refers to an external body of knowledge such as scientific, historical, and cultural knowledge. This code analyzes the
08-retnowati.indd 234
Vol II, 2014
words or sentences that refer to the thing(s) that have been known before in society. Semic code finds out the connotation meaning of the text. Connotation related not to a word’s actual meaning but rather to the ideas or qualities implied by the word. This code links the connotation meaning of the text to a character (or a place or an object) or to arrange them in some order, so that they form a single thematic grouping. Symbolic code is also linked to the theme but on a larger scale. It consists of contrast and pairings related to the most basic binary polarities—male and female, night and day, good and evil and so on. These structures of compared and contrasted elements are the most fundamental thing in the human way of perceiving and organizing reality (Barry, 2009: 50). Reid (2001) criticized an essay written by Thomas Pavel and Claude Bremond in 1998, about S/Z, entitled De Barthes à Balzac, Fictions d’un critique, critiques d’une fiction. In her opinion, the reception of Pavel and Bremond’s essay was a sign of a double phenomenon. According to her, Pavel and Bremond attacks on Barthes’ methods and way of questioning a text, in the name of “historical perspective and proper literary analysis (text and context, plot, and the intention of the author)”, indicates the first symptom of hostility towards Barthes. The second indication of hostility towards Barthes implied in the essay, comes after the essay was released to public. It was “greeted, however, with polite silence” due to untimely package of criticism using blunt words. Reid posed some acute questions saving Barthes’ worthiness of method and intellectual stance from Pavel and Bremond attack, “Had the authors aimed at a target that, for a long time, had only the blurred outlines of a ghost? If theory is dead, does that mean that criticism is, in its turn, dying?” By asking these questions, Reid
4/16/2015 6:21:22 AM
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
retnowati 235
seems to restore Barthes methodological The second proaretic code is seen when ‘five codes’ found in S/Z to its proper place Samsul came back to Padang and went to within the canons of literary criticism. Nurbaya’s house: Analysis 1. Proaretic code The first proaretic code is seen when Baginda Sulaiman told his bankruptcy to her daughter, Siti Nurbaya. Nurbaya wrote in in her letter to Samsul: Hearing Father’s words of persuasion, I finally found my voice and asked. ‘If all my possession are sold, along with the house and land, would that be enough to pay off the debt? (Rusli, 2011: 122)
Inside his neighbour’s yard, Samsul saw the bench when he and Nurbaya had sat the night before he left for Batavia one year ago. His heart began to race and he recalled all he had done and said that night, the promise he had made to her. Had he not been ashamed to do so in front of Ali, he would have wept all the thought of it all. “Will Nurbaya be here?” he wondered. And if she were there, how would he get the beloved who had left him? (Rusli, 2011: 131)
When he was going back to Padang, Samsul went to Nurbaya’s house although she was married to Datuk Meringgih. He After listening to her father’s statement remembered the place where he and Nurabout his bankruptcy, Nurbaya asked herbaya sat together before he left her to Bataself whether all the belongings of Baginda via. He also remembered about the promSulaiman could pay all of his debt to Datuk ise he had made to Nurbaya, and he was Meringgih. ashamed of it. He questioned whether NurThis is a proaretic code because it leads baya still lived in that house or not. to the next action. It will be a telling quesThis is included in proaretic code betion whether Baginda Sulaiman could pay cause after coming back to Padang and all of his debt or not if he sold all his poswent to Nurbaya house, Samsul questioned sessions. If he could, what would happen whether Nurbaya was still living in the to him? If he could not, would he be sent house of Baginda Sulaiman or not. If she to jail? What about Nurbaya? This is Nurwas, would he meet her? If her husband, baya’s reaction in her letter to Samsul. Datuk Meringgih, was there, what would he do? I would rather be poor than become Datuk Meringgih’s wife.(Rusli, 2011: 122) Then Samsul finally met Nurbaya in her house, talking about Nurbaya’s condiIn her letter, she said she would choose tion but suddenly Datuk Meringgih came to be poor than being married by Datuk to that house and found them together. In Meringgih, but in fact she was married to Minangkabau’s tradition which is also reDatuk Meringgih because all Baginda Su- lated to Islamic tradition up to now, it is not laiman’s belongings could not pay his debt, allowed for a wife to be together with other so Datuk Meringgih would send Baginda man, except her husband. Datuk MeringSulaiman to jail. The problem was solved gih was very angry knowing that Nurbaya when Nurbaya married to Datuk Mering- was with Samsul in her house. gih. Because she was pity with her father’s condition who was very ill, finally she of- 2. Hermeneutic code fered herself to be married by Datuk MerThe first hermeneutic code is seen when inggih to pay all her father’s debt. Datuk Meringgih asked his man, Number
08-retnowati.indd 235
4/16/2015 6:21:22 AM
236
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
Vol II, 2014
Five, to burn the shops and properties of he was, so he tried everything to ruin his Baginda Sulaiman: rival. Then he did whatever he liked to do by destroying all the possessions of Bagin“Tomorrow you’ll begin working at Ujung da Sulaiman. In his opinion, if Baginda SuKarang. Tell the pupils there to sprinkle poison laiman had no possession, he would come on all the coconut palms so they’ll die. Then go to him to ask some loan. Then, it happened to Terusan and Painan and talk everyone there that Baginda Sulaiman asked some loan to into leaving their jobs and joining us. Also, get Datuk Meringgih, with his house and the the shipmen to the scuttle all his vessels and everything in them. When you’re done, go to rest of his possession as the warranty. Unpadang Darat and elsewhere, and convince all fortunately, they were not adequate to pay the shops that buy from him to cease working all of his debt and this has caused his health with him. That way, I can buy from him cheap. deteriorating. Baginda Sulaiman told NurLet me lose a bit, so long as Baginda Sulaiman baya about all of his debt. If he could not falls. When that’s done, set about burning down his shops and warehouses.” (Rusli, 2011: 91) pay it, he would be sent to jail. Because she was pity to her father, finally Nurbaya ofDatuk Meringgih ordered his men to fered herself to be married by Datuk Merdestroy all the possession of Baginda Sulai- inggih, although, truth be told, she did not man, and it began from Ujung Karang. He love him but Samsul. wanted all coconut palm trees be poisoned The second hermeneutic code is perin order to die. If it was done, he wanted his ceived when Nurbaya ran away from Datuk men to go to Terusan and Painan, and there, Meringgih in Padang and went to Jakarta: he would ask everybody to leave Baginda Sulaiman and joined Datuk Meringgih. He Once the vessel had cleared Teluk Bayur, the young woman who had gone aboard felt brave also asked his men to destroy the vessels enough to leave her hiding place and look of Baginda Sulaiman, to tell the other meraround for someplace better to spend the voychants not to buy from Baginda Sulaiman. age. At last, she found one near the captain’s He also ordered his men to burn the shops cabin. Led there by the woman, the old man acand warehouses of Baginda Sulaiman. companying her unrolled his mat and opened up a cloth easy chair he had brought for her to These series of actions are included in sit on. (Rusli, 2011: 180) hermeneutic code because what Datuk Meringgih did is like a puzzle: Why did he do Nurbaya left Padang in order to meet all those things to Baginda Sulaiman? What kind of person Datuk Meringgih was? her lover, Samsul, in Batavia. She went What would happen after he destroyed all there by ship, departing from Teluk Bayur. the belongings of Baginda Sulaiman? All of She left Padang secretly. She tried to find the answers to these questions will make a out a place in the ship to hide during the sequence of events in the story, which re- trip, then finally she could find it near the captain’s cabin. Going with her was a man lates one another. Datuk Meringgih was an old, ugly, who served her along the way of the voystingy and mean person. He did not like it age. This occasion is included in hermeneuif there was somebody else richer than he tic code because it aims to articulate in variwas. He liked money very much. He chose to collect money rather than spending it. ous ways a question, its response, and the He did not like the fact that Baginda Sulai- variety of chance events which can either man was more successful and richer than formulate the question or delay its answer;
08-retnowati.indd 236
4/16/2015 6:21:22 AM
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
or even, constitute an enigma and lead to its solution. Some questions are raised here: why did Nurbaya run away to Batavia secretly? What would Datuk Meringgih do if he knew that his wife was running away? This is her first voyage, therefore, what would she do during the voyage? And then, what would she do if she finally arrived in Batavia? Nurbaya thought that no one knew when she ran away to Batavia by ship. Actually, without her knowledge, Datuk Meringgih’s men trailed along after her. Ali, the servant of Samsul, accompanied and helped her during the voyage. In fact, before she reached Batavia, she was arrested because of stealing the belonging of Datuk Meringgih. Knowing that Nurbaya ran away from him, Datuk Meringgih found out some reasons to make Nurbaya come back to Padang. It was executed by accusing her of stealing his possession since her father could not pay his debt, all of Baginda Sulaiman’s possession became Datuk Meringgih’s, and she did not have anything left. Although she sold her jewelry inherited from him to pay for her voyage, everything on her was assumed as Datuk Meringgih’s possession.
retnowati 237
Talking about Sultan Mahmud, both Sultan Hamzah and Rubiah questioned his view and practice of monogamous marriage. Sultan Hamzah had many wives. On the other hand, Sutan Mahmud, a man with high position and distinct culture, who was traditionally supposed to have more than one wife---in accordance with the culture of Minangkabau which was adopted from Islamic sharia---chose to be loyally married with his wife, Siti Mariam. The second cultural code occurs when Rubiah asked the responsibility of Sultan Mahmud to his son: “For your children there’s always money, but for mine there’s never any.” (Rusli, 2011: 13)
Rubiah doubted that Sultan Mahmud would care for the future of his son, because according to the culture of Minangkabau, it is the uncle who has to be responsible for the fate of his niece and nephew, and not the parents. The statement uttered by Sultan Mahmud was the answer to Putri Rubiah’s question which showed that he had a different point of view from her sister: “It’s for nothing that I’m sending Samsul to school: as I see it, a father is obliged to improve and advance his child.” (Rusli, 2011: 13)
3. Cultural code The first cultural code can be seen In Sultan Mahmud’s view, a father is through the statement of Sutan Hamzah. supposed to be responsible for his chilIn Islam, a man is allowed to have four dren, and he was responsible for Samsul. wives: He wanted Samsul to have the best of his life and he provided everything to Samsul. “And why won’t we accept marriage proposals Putri Rubiah, who held a strong Mifrom other families or taken on more than one nangkabau culture based on matriarchy, wife? Isn’t it all because of money? Each time replied: he got married, he’d received two or three hundred rupiah in proposal money, so why would he even need a salary money? If all the money gets spent, marry again. What’s the problem with having lots of wives and children? (Rusli, 2011: 53)
08-retnowati.indd 237
That’s not your obligation, it’s the obligation of your wife’s older brother,” replied Putri Rubiah. (Rusli, 2011: 13)
4/16/2015 6:21:22 AM
238
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
In a culture that applied matriarchy, a child is supposed to be under the responsibility of the uncle. Therefore, in Putri Rubiah’s point of view, Samsul’s uncle, the brother of his mother, had to be responsible for him. Meanwhile, Sultan Mahmud I supposed to be responsible for the children of Putri Rubiah. The third cultural code is belief in superstition. Although most of the people of Minangkabau were Moslem, they still believed in superstition. When he comes, you should tell him to cast a spell to see whether our district head really has been affected by someone’s sorcery. If he has been, have the Champ free him from whatever’s been done to him. Then you should tell the sorcerer to make Mahmud hate his wife,” Putri Rubiah said very quietly. (Rusli, 2011: 57)
Putri Rubiah and her brother, Sutan Hamzah, could not understand why Sultan Mahmud loved his wife so much. In their opinion, the bond of love between Sultan Mahmud and Siti Mariam was because the wife gave her husband a magic spell in order that her husband loved and only thought about her. They mischievously wanted Sultan Mahmud and Siti Mariam be separated by calling a Shaman to put a spell on Sutan Mahmud, to hate his wife and finally divorce her.
Vol II, 2014
How Nurbaya treated the letter of Samsul by kissing it and holding it close to her heart shows how happy she was when receiving his letter. This is the symbol of happiness. But the letter of Nurbaya to Samsul also tells about the sad thing in their relation. Perhaps you can’t imagine, Samsul, just how crushed I now feel. First, because I have gone back on my promise to you and brought your hope to an end. Second, because I’m being forced to marry Datuk Meringgih: an old devil I hate. (Rusli, 2011: 125)
On the other hand, the letter from Nurbaya to Samsul symbolizes the sadness because through the letter, Nurbaya told him about the bitter life that she had to experience. She hated to be married by Datuk Meringgih, an old man with bad character. The second symbol is the tower in the dream of Samsul: “Last Friday night, I had a dream. I seemed to be climbing this same mountain. Reaching the summit, I suddenly felt I was in the big, bustling city of Batavia, in the middle of which was a lofty tower. An old man said to me, “Hey, Samsul, if you want to get what you’re after, climb up this tower.”(Rusli, 2011: 48)
Samsul dreamt about climbing a mountain and he found a tower and there he found an old man saying that if he wanted to reach his dream he had to climb that 4. Semic code The first symbol which can be found tower although it was high. The tower in in this novel is letters. The letters are from Samsul’s dream symbolizes how high the Samsul to Sitti Nurbaya and vice versa. The dream of Samsul was. In order to realize it, letters portray the ups and downs of the re- he had to pass through it. The third symbol is the dream of Samlationship between the lovers. At first, the letter tells about the happy thing and this is sul itself. shown through Nurbaya’s action: Nurbaya kissed the letter and held it to her beating heart for a moment, then placed it in her closet with the others her beloved had sent. (Rusli, 2011: 109)
08-retnowati.indd 238
“As I was about to climb the tower, I suddenly see you following me, all alone. I waited for you, so we could climb together. Suddenly, there was Datuk Meringgih, pulling you back down and running off with you pressed up
4/16/2015 6:21:23 AM
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
against him. In a rage I pulled you from his grasp, and he and I fought. But he was stronger than I was and hurled me to the foot of the mountain. And because you wouldn’t give in to him, you too were thrown headlong below. We fell, tolling ang tumbling to the foot of the mountain and into a great hole from which we could not escape.” (Rusli, 2011: 48)
Samsul told Nurbaya about his dream that as he was climbing the tower, he made Nurbaya be left behind. Then, in the dream, Datuk Meringgih pulled Nurbaya, which made him fight with Datuk Meringgih. Because Datuk Meringgih was stronger than Samsul, he made both Samsul and Nurbaya fell from the mountain. The dream symbolizes how Samsul and Nurbaya experienced the life related to Datuk Meringgih. Both of them had bitter life because of Datuk Meringgih, who always ruined their life and did not like to see them happy. Datuk Meringgih always created things that made their life miserable. The fourth symbol is Mount Padang. It is the first and the last place Samsul and Nurbaya met. The first place to meet is shown when Samsul asked his father’s permission to go to Mount Padang: “With your permission, I would like to go to Mount Padang tomorrow.” “With whom?” “With Arifin and Bakhtiar and maybe Nurbaya.” “With Nurbaya?” Sultan Mahmud mused. “All right, but make sure you take good care of yourself and Nurbaya.” (Rusli, 2011: 8)
Mount Padang is the place where they went together, before Samsul left Padang. They went together accompanied by Arifin and Bakhtiar. This is also the place which symbolizes the beginning of love between Samsul and Nurbaya. Here Samsul showed that he loved Nurbaya.
08-retnowati.indd 239
retnowati 239
On the other hand, Mount Padang is the last place of their love. The last place is shown when they were buried side by side. On the second was written, “This is the grave of Sitti Nurbaya, the daughter of Baginda Sulaiman, Died 5 Ramadan, 1315.” On the third was written, “This is the grave of Samsulbahri, child of Sultan Mahmud, Penghulu of Padang. Died 5 Syafar, 1326. (Rusli, 2011: 288)
In Mount Padang, there were two graves, one was Siti Nurbaya who died on the 5th of Ramadan, 1315, and the other was Samsulbahri, who died on the 5th of Syafar, 1326. Both graves of Siti Nurbaya and Samsulbahri in Mount Padang symbolize the end of their love relationship. It has been proven by the graves, which symbolize the end of their life. Their love started and ended in Mount Padang. The friends, Arifin and Bakhtiar said after seeing their graves: Only they who were buried there stayed on, forever and ever. (Rusli, 2011: 288)
The statement of Arifin and Bakhtiar confirmed that Nurbaya and Samsul could not be separated even though they had died. They were buried side by side which showed that they were unseparable. 5. Symbolic code The first binary found is about love and hate. Here, it is shown the love of Samsul to Nurbaya: “I’m worried about leaving behind..... At this time he stooped, as if he were not brave enough to say the name of the person he worried about. “Leaving behind who, Sam?” asked Nurbaya. “Is there someone here you’re stuck on?” “Leaving you, Nur,” Sam blurted out. (Rusli, 2011: 47)
4/16/2015 6:21:23 AM
240
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
Before going to Batavia, Samsul told Nurbaya what he was worried about leaving her alone in Padang. The love of Samsul to Nurbaya is also stated in this quotation: “How could my heart not be completely shattered? How can I leave you?” (Rusli, 2011: 69)
Samsul felt that he would suffer if leaving her alone in Padang. Actually Samsul was worried about leaving her because he remembered about his dream that something would happen to Nurbaya if he left her to Batavia. On the other hand, hate is shown by Nurbaya to Datuk Meringgih:
Vol II, 2014
what they study at no small expense and with great effort in elite schools. If that’s the case, then we elders are right to think that advancing the young will not raise their standards. It will actually bring them from a noble height to degradation. It means sulling illustrious names and throwing away the high standards and nobility of women, while the old customs and skills, so beneficial to them are wasted. Women like that must not develop. (Rusli, 2011: 157)
Datuk Meringgih found out that Nurbaya and Samsul were being together. He knew that they were lovers. As the wife of Datuk Meringgih, Nurbaya asked permission to be back home to take care of her father. While she was home, Samsul came to her house. When they were together, Datuk Meringgih came. Datuk Meringgih did not I would rather be poor than become Datuk Melike his wife to be with another man. In his ringgih’s wife. (Rusli, 2011: 122) opinion, Nurbaya and Samsul, who were Nurbaya loved Samsul but she could educated, should not break the rule of their not be his wife. She hated Datuk Meringgih culture. He said that both of them were dewho forced her to marry him, for the sake of grading their life. paying her father’s debt. She offered herself Samsul also hated Datuk Meringgih because to be married by Datuk Meringgih to help he cheated on him by stealing her lover. His her father. She did not want her father to be hatred to Datuk Meringgih now too strong— sent to jail because of his debt to Datuk Mefor he suddenly remember the vow he made ringgih. She knew that Datuk Meringgih in Batavia—Samsul could no longer restrain was the cause of his father’s bankruptcy, himself and retorted. You needn’t speak like that! Look at yourself in a mirror! Are you a but she could not do anything better than polite man with an honest and true heart? Do exchanging her life with the life of her fayou follow our customs and traditions? If the ther. wickedest of devils walks this earth, then withDatuk Meringgih hated Nurbaya beout question, you are that devil.” (Rusli, 2011: cause she did not obey him as wife should 158). be. “So that’s the reason you wanted so badly to go home instead of back to me.” “It wasn’t to take care of your father,” the old man continued, “like you said, but to have fun with your lover. So this is what young people do, educated people, people who observe the customs of respect: trick their husbands, so they can flirt with men in dark places, while their own fathers lie gravely ill. It seems this is where the young have it over the old. This is
08-retnowati.indd 240
Since the first time, he knew that Nurbaya was being set up to be the wife of Datuk Meringgih. Nevertheless, he remembered about his vow in Batavia. He said that Datuk Meringgih was a hypocrite man. Samsul questioned about the behaviour of Datuk Meringgih who claimed himself as the man with strong hold of customs and traditions.
4/16/2015 6:21:23 AM
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
retnowati 241
The second binary is about tradition and a woman was forbidden to have more than modernity. The traditional point of view is one husband, so was the man. A good and shown by Putri Rubiah when she said, loyal man should not have more than one wife. Sultan Mahmud was classified as ‘a I have no idea what love potion your wife give modern man’ because he had learnt and you so that you’d never leave her. It’s as if you adopted the western culture, the Dutch were bound hand and foot by her. All the disculture, which only permits one wife for a trict head in Padang have two or three, four, husband. wives. You alone have just that one woman and haven’t replaced her or added new wives. Isn’t that important man supposed to have lots of wives? Isn’t it good for a man of high birth to keep changing his wives to maximize his lineage? Isn’t it degrading if he only has one wife? When commoners with no ranking and no lineage have as many as four wives, why is it you don’t follow suit?” (Rusli, 2011: 14).
Putri Rubiah, who strongly held the tradition of Minangkabau, questioned about her brother’s (Sultan Mahmud) uncommon practice that he had only one wife. In her opinion, based on the tradition of Minangkabau, a man with high position like Sultan Mahmud, was supposed to have more than one wife. She thought that his wife has put some magic spell on him that made him closely tied to her. Having only one wife, in the view of traditionalist, means that it was degrading because many men with lower position than Sultan Mahmud had more than one wife. And here is the answer of Sultan Mahmud, who represents modern point of view: “The way I see it, only animals take on many mates, not humans,” replied Sultan Mahmud, his face now reddened with growing rage. “If a woman can’t have two or three husbands, then certainly it shouldn’t be required that a man have many wives!” (Rusli, 2011: 14)
Sultan Mahmud said that only animals had more than one mate. He lashed it out with anger to his sister saying that if
08-retnowati.indd 241
Conclusion After analyzing Sitti Nurbaya: A Love Unrealized using the five codes of Barthes, I come to the conclusion that the proaretic code tells that the first action, when Samsul and Nurbaya were in Mount Padang, leads to other actions. In the hermeneutic code, everything that caused Nurbaya’s suffering was created by Datuk Meringgih, and this interpretation is proven with the series of actions from Datuk Meringgih, who always had plans to ruin the life of Nurbaya. The cultural code explains the content of the culture of Minangkabau which consists of tradition influenced by Islam, such as having four wives for a husband, and also a deep and underlying superstition belief, in which Putri Rubiah and Sutan Hamzah still believed in the efficacy of magic spell. The semic code tells about the symbols used in this novel such as letter, tower, dream, Mount Padang, and graves, which taken altogether, show the ups and downs of intimate relationship that cannot be separated even by death. In the last code, the symbolic code, there are two examples of binary oppositions. First, love and hate of the major characters in this novel: Datuk Meringgih, Samsul and Nurbaya, and second, traditional and modern views of the major and the other characters.
4/16/2015 6:21:23 AM
242
Appreciating Marah Rusli’s SITTI NURBAYA
References Barry, Peter. (2009). Beginning Theory: An Introduction to Literary and Cultural Theory. New York: Manchester University Press Barthes, Roland. (1974). S/Z. (R. Miller Trans). New York: Hill and Wang. Dhewy, Anita. (2014). “Membaca Siti Nurbaya Lewat Kacamata Pascakolonial dan Feminis” Article may be accessed at http://www.jurnalperempuan.org/ membaca-siti-nurbaya-lewat-kacamata-pascakolonial-dan-feminis.html Reid, Martine. 2001. “S/Z Revisited”. In The Yale Journal of Criticism, Volume 14(2), 447-452. Article may be
08-retnowati.indd 242
Vol II, 2014
accessed at http://muse.jhu.edu/ login?auth=0&type=summary&url=/ journals/yale_journal_of_criticism/ v014/14.2reid.html Rusli, Marah. (2011) Sitti Nurbaya A Love Unrealized, English ed. Jakarta: Lontar Foundation Supriatin, Yeni Mulyani. (2010). “Nasionalisme dalam Siti Nurbaya Karya Marah Rusli” dalam Jurnal Sosioteknologi Isu Melihat Kembali Fungsi Bahasa Dalam Kehidupan Kontemporer, Issue 19 Year 9, April 2010, pp. 797 – 811. Article may be accessed at http://journal.fsrd.itb.ac.id/ jurnal-desain/pdf_dir/issue_3_9_19_3. pdf
4/16/2015 6:21:23 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 243-250 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
SERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan ARCADIUS BENAWA Dosen Home-base pada Character Building Development Center Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah, Jakarta Telp: (021) 532 7630 / Fax: (021) 5332985 Surel:
[email protected] Diterima: 27 Oktober 2014 Disetujui: 15 Januari 2015
ABSTRACT This article aims to show that the spiritual aspect must be highlighted in terms of leadership style and significance, because every leader is always marked with oath of office before fulfilling his tour of duty. Leaders should also be accountable not only on the horizontal level but also at the vertical level. With phenomenological studies and literature about the practice of leadership is faced with a number of theories about leadership and then to be synthesized the more authentic leaderships than just imaging or false branding leadership. Current assumption tends to say that leadership (either in political or organizational sphere) is merely a sociological problem devoid of spiritual aspects. However, seen from the historical development of leadership perspective, it is never excluded from the spiritual dimension. In the form of manipulative style, some versions of leadership are derived from the “sky” (gods), so then these gave way to tyrannical king and rulers’ model of leadership. In this article, I will argue that these days one must ponder on the birth and growth of authentic leadership as popularized by Robert K. Greenleaf, framed within the term of servant leadership. This article resumes on the conviction that authentic leadership will give more benefit to develop the life system as well as the purpose of leadership itself rather than merely the pseudo leadership, which actually, in the long run, will damage the people because of its failure to meet members’ expectations in satisfactory ways. Keywords: authentic leadership, spiritual leadership, pseudo leadership
periode jabatan publik, setiap pemimpin Merebaknya praktik korupsi, kolusi, dan di negeri ini selalu disahkan dengan ritual nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh ban- “sumpah jabatan”. Bagi penulis, realitas itu yak pemimpin politik di negara Indonesia, memrihatinkan dan cukup memadai untuk yang didasarkan pada Pancasila, utamanya dijadikan indikasi awal dari diabaikannya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa,” merupa- aspek spiritual dalam praktik kepemimpikan sebuah ironi yang serius. Apalagi da- nan di negeri ini. Padahal seorang pemimpin lam upacara pelantikan sebelum memulai tentu dituntut untuk memiliki kepercayaan Pendahuluan
09-arcadius.indd 243
4/16/2015 6:21:47 AM
244
ERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
(trust) di dalam dirinya. Pertanyaannya, bagaimana pemimpin akan mendapatkan trust dari orang yang dipimpinnya bila ia sendiri tidak setia pada kebenaran yang absen terwujud dikarenakan praktik-praktik terselubung ataupun terang-terangan yang melukai hati konstituennya? Dalam bahasa ragam populer, konstituen butuh bukti bukan janji. Ambil contoh berikut: tekad seorang pemimpin untuk memberantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), ternyata dalam praktiknya justru si pemimpin tersebut yang ditengarai menjadi pemicu pembiaran terhadap praktik KKN. Hal ini tentu sangat melukai hati konstituen yang berujung pada merosotnya tingkat elektabilitas si pemimpin dalam periode pemilihan berikutnya. Berkaca dari paragraf pembuka di atas, secara khusus dengan menyoroti momentum Pemilu 2014 yang baru saja berlalu, baik dalam Pemilihan Legislatif April 2014 maupun Pemilihan Presiden Juli 2014, ditemukan sejumlah persoalan yang mengemuka. Persoalan-persoalan tersebut dapat dirumuskan dalam gugus pertanyaan seperti berikut: 1) Seperti apakah wajah kepemimpinan di Indonesia pasca Pemilu 2014? Bagaimanakah pemetaannya secara makro maupun mikro? 2) Persoalanpersoalan krusial seperti apa yang sudah, sedang dan masih mungkin akan muncul setelah fase Pemilu 2014? 3) Adakah sumbangan yang berarti dari dunia pendidikan untuk memperlancar, atau malah mungkin mendistorsi proses pematangan, bahkan mungkin juga pembusukan demokrasi dalam Pemilihan Umum? 4) Bagaimana membingkai dan menganalisis dramaturgi politik pasca-Pemilu 2014 dalam bingkai politik pencitraan? 5) Adakah pesan moral-spiritual yang bernilai, pantas, dan berharga yang dapat dipelajari dari peristiwa Pemilu 2014 yang lalu sebagai modal dan bekal menjadi warga negara Republik In-
09-arcadius.indd 244
Vol II, 2014
donesia yang lebih santun, beradab, dan demokratis? Didorong oleh rumusan pertanyaanpertanyaan di atas, penulis hendak memfokuskan pembahasan dalam artikel ini pada aspek spiritual dalam kepemimpinan, yang dalam praktik nyatanya kerap dilalaikan, walaupun dalam ritual pelantikan sang pemimpin, aspek spiritual itu ditampakkan dengan jelas dalam “sumpah jabatan”. Metode Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pemandu penelitian tersebut di atas, penulis meneliti literatur akademis tentang spiritualitas dan kepemimpinan. Gea, A. et. al. (2004: 308) dalam buku Relasi dengan Tuhan mengungkapkan bahwa salah satu wujud kesetiaan pada kebenaran adalah setia pada janji. Namun, paradoksnya, bagaimana pemimpin bisa diharapkan setia pada janji bila pada level sumpah saja ia telah berani melanggarnya? Hal ini sudah cukup mengindikasikan tiadanya kesetiaan pemimpin pada kebenaran. Lebih jauh lagi, pemimpin yang tidak setia pada kebenaran diragukan dapat membangun trust di antara konstituennya. Paling jauh, pemimpin yang tidak setia pada kebenaran akan membangun trust tersebut dengan model pencitraan. Amat disayangkan bahwa pencitraan yang tidak otentik itu tidak akan bertahan lama. Otentisitas kebaikan si pemimpin masih harus diuji kalau si pemimpin benar-benar mau membangun citra baik di antara konstituennya. Menurut U. S. Army Handbook, seperti dikutip A. B. Susanto (2010: 16), terdapat tiga gaya utama kepemimpinan, yakni otoriter atau otokratis. partisipasi atau demokrat, dan delegasi atau pemerintahan bebas. Gaya kepemimpinan otoriter (otokratis) diterapkan manakala pemimpin
4/16/2015 6:21:47 AM
ERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
meminta anak buah untuk melakukan apa yang diinginkan si pemimpin. Sifat dari gaya kepemimpinan ini tidak mengenal kompromi. Yang penting, para pengikut melakukan kewajiban mereka, sebab dalam kewajiban tersebut sudah termaktub nilai kebijaksanaan dan kebaikan. Gaya ini diterapkan dalam kondisi ketika seorang pemimpin beranggapan memiliki semua informasi untuk memecahkan masalah, mengejar tenggat waktu, dan memotivasi karyawan. Beberapa pemimpin menerapkan gaya otokratis sebagai “kendaraan” untuk berteriak, dengan menggunakan bahasa yang merendahkan, memimpin dengan ancaman, bahkan cenderung menyalahgunakan kekuasaan yang diamanahkan padanya. Gaya kepemimpinan ini cenderung kasar. Pemimpin memerintah orang-orang di sekitarnya dengan tangan besi. Tidak ada kesempatan untuk mengulang apa yang telah diperintahkan. Sekali pemimpin berkata, anak buah wajib melaksanakannya tanpa banyak bertanya. Gaya otoriter biasanya digunakan hanya pada saat tertentu. Umumnya, pemimpin yang mempraktikkan gaya ini adalah orang yang otoriter yang seolah-olah memiliki kuasa tanpa batas (omnipotentia). Dalam sejarah peradaban Eropa, Kaisar Nero dikenal sebagai pemimpin otoriter. Nero dikenal dengan semboyannya, “Orderint, dum metuant”. Artinya, biar mereka (rakyat) benci, asal takut. Gaya kepemimpinan kedua adalah partisipasi atau demokrat. Gaya kepemimpinan ini tidak segera mendapatkan hasil cepat dan mencapai tujuan dengan lekas, namun, sifatnya lebih bersahabat dan egaliter. Bahasa yang digunakan bukan perintah, namun lebih sebagai ajakan. Misalnya, “Mari bersama-sama kita bahu membahu memecahkan dan mencapai tujuan bersama ….” Gaya kepemimpinan partisipatif melibatkan anggota, termasuk satu atau
09-arcadius.indd 245
arcadius benawa 245
lebih karyawan dalam proses pengambilan keputusan. Secara tim, mereka menentukan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Meskipun demikian, si pemimpin tetap orang yang paling bertanggung jawab. Jika si pemimpin menerapkan gaya ini, bukan berarti suatu organisasi atau lembaga lemah. Sebaliknya, penerapan gaya kepemimpinan model partisipasi justru menunjukkan kekuatan seorang pemimpin yang mengundang hormat dari para anak buahnya. Gaya kepemimpinan ini lazim diterapkan ketika si pemimpin memiliki informasi yang cukup mengenai kekuatan dan kelemahan anak buah, se hingga ia dapat membagi tugas dan tanggung jawab sesuai dengan keterampilan masing-masing anak buahnya. Untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga, si pemimpin tidak bekerja sendirian. Ia bekerja bersama orang lain, dalam tim. Dalam lingkup hidup bermasyarakat (sosio-politis), gaya ini dapat diterapkan ketika sebagian besar warga memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pada dasarnya gaya kepemimpinan ini bertolak dari asumsi bahwa semua warga punya potensi, tinggal bagaimana si pemimpin menggali, mengembangkan, dan mengarahkan potensi-potensi itu semua untuk mencapai tujuan. Sosok pemimpinlah yang bertugas mengarahkan dan memaksimalkan kemampuan anak buah. Gaya kepemimpinan partisipatif ini cocok bagi warga yang sudah terdidik dan paham mengenai hak dan kewajibannya. Baik pemimpin maupun warga berelasi secara saling menguntungkan. Setiap warga menjadi bagian utuh dari organisasi sehingga pemimpin dimungkinkan untuk membuat keputusan yang lebih baik dan adil untuk semua. Gaya kepemimpinan ketiga adalah delegasi atau pemerintahan bebas. Dalam model ini, pemimpin memungkinkan anak buah untuk membuat keputusan. Namun,
4/16/2015 6:21:47 AM
246
ERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
pemimpin tetap bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat. Gaya ini akan berhasil, manakala anak buah mampu menganalisis situasi dan menentukan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya. Seorang pemimpin tidak dapat melakukan semuanya seorang diri. Ia harus pandai membaca situasi, mana tugas yang harus didelegasikan dan mana yang tidak. Yang didelegasikan hanyalah tugas tertentu saja. Pendelegasian tugas bukan berarti tidak ada satu pun yang bertanggung jawab. Jika terjadi kesalahan yang berdampak pada kegagalan, si pemimpin tidak bisa menyalahkan orang lain. Mengambil contoh dari sejarah kekaisaran Romawi, model kepemimpinan yang diterapkan Pontius Pilatus merupakan kasus yang menarik untuk direfleksikan. Dalam tradisi Kristiani, Injil Yohanes bab 18 – 19 menjadi konteks dari kasus kontroversial yang menyeret Yesus pada tuntutan dan vonis hukuman salib, sebuah hukuman paling nista waktu itu bagi khalayak Yahudi. Dalam perikop Injil Yohanes 18: 38a, Pilatus mempertanyakan “kebenaran” yang dicanangkan Yesus, karena Pilatus mau mengaburkan “kebenaran” itu dengan tindakan simbolik “mencuci tangan.” Pasalnya, hukuman berat yang “layak” dijatuhkan bagi seorang Yahudi adalah hukuman “rajam”, dan bukan “salib”. Namun, sedemikian nistanya sosok Yesus yang dituduh telah menghojat Allah sehingga orang Yahudi pun merasa jijik untuk menjatuhkan hukuman “rajam” bagi Yesus. Karena itu, dipakailah tangan orang Romawi melalui hukuman salib, dan tuduhan pun lalu dibuat relevan dengan bahasa penguasa waktu itu, yakni subversif. Seperti tertulis dalam Injil Lukas 23: 38 dan Yohanes 19: 19, Yesus dituduh mengaku sebagai Raja orang Israel, sehingga pada salib-Nya dituliskan INRI (Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum
09-arcadius.indd 246
Vol II, 2014
= Yesus orang Nazareth [yang mengaku sebagai] Raja orang Yahudi). Model kepemimpinan Pilatus jelas mengisyaratkan kepemimpinan yang berorientasi pada statusquo dan melalaikan keutamaan-keutamaan yang semestinya melekat pada sosok pemimpin, seperti setia pada kebenaran. Pilatus yang jelas-jelas tidak menemukan adanya kesalahan pada Yesus justru menyerahkan proses penyaliban Yesus pada bangsa Yahudi dengan ungkapannya yang terkenal “Aku tidak bertanggung jawab atas darah orang ini!” Citra Pemimpin yang “membiarkan,” yang disimbolkan dengan adegan cuci tangan tersebut menjadi cikal-bakal meruapnya anarkisme di tengah masyarakat. Meskipun pelaku dan konteks sejarahnya berbeda, namun pesan moral itu jugalah yang kerap dirasakan oleh warga di Indonesia. Beberapa kejadian bisa disebutkan sebagai contoh, antara lain, pembiaran terhadap perilaku anarkis ormas tertentu terhadap kelompok-kelompok minoritas, baik berupa perusakan fasilitas fisik bangunan maupun penganiayaan fisik. Selain itu, belum terselesaikannya kasus-kasus korupsi besar yang diduga akan menyeret sejumlah elit pemimpin negeri ini juga menunjukkan adanya pembiaran kasuskasus hukum berdampak besar yang lalu ditutup-tutupi dengan kasus-kasus kecil pengalih perhatian khalayak. Contoh dari sosok pemimpin yang berdimensi spiritual ada pada kepemimpinan yang dipraktikkan Yesus; sosok yang tidak disukai para pemuka masyarakat Yahudi, yang lalu membawa risiko jelas, yakni salib (kebinasaan). Salib tak mungkin terhindarkan bagi pemimpin yang menyadari bahwa kepemimpinannya tidak semata-mata dipertanggungjawabkan pada level sosial kemasyarakatan (horizontal) melainkan juga pada level ilahi (vertikal). Alasannya cukup jelas: pada level
4/16/2015 6:21:47 AM
ERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
horizontal, dengan keahliannya menutupnutupi kesalahan, si pemimpin bisa memainkan citra dirinya seolah-olah ia sosok pemimpin yang baik. Syaratnya juga jelas: sejauh tidak bisa dibuktikan secara legalyuridis tuduhan terhadap kesalahannya, maka tuduhan itu akan dikembalikan menjadi tuntutan balik sebagai pendiskreditan pemimpin, atau bahkan bisa saja dikenakan tuduhan “subversif”. Sementara itu, bila pemimpin menyadari dimensi spiritual dalam kepemimpinannya, ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya pada Yang Ilahi, yang dipercayai sebagai Yang Mahatahu, baik terhadap kesalahan atau kejahatan yang tampak nyata maupun yang ditutup-tutupi. Di mata manusia, bisa saja kebenaran dikaburkan, tetapi tidak demikian di mata Tuhan. Secara formal, pemimpin memang diminta melakukan sumpah jabatan. Artinya, ia menyadari bahwa jabatan kepemimpinan tersebut ia terima dari Atas dan harus dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemberi Amanah juga. Maraknya pemimpin yang tidak memerhatikan dimensi spiritual ditengarai oleh Dudi Arisandi sebagai pemicu bagi Robert K. Greenleaf untuk menyuarakan kembali pentingnya dimensi spiritual dalam kepemimpinan lewat bukunya “The Servant as Leader” (2008), yang disusunnya demi memberikan sumbangsih bagi terbentuknya kondisi masyarakat yang lebih baik, yakni masyarakat yang lebih peduli. Menurutnya, yang harus dilakukan seorang pemimpin pertama-tama adalah melayani. Itulah tolok ukur pemimpin yang sejati, yakni pemimpin yang motivasi utama dalam kepemimpinannya adalah hendak melayani orang lain. Model pemimpin yang melayani bukan sekadar demi pencitraan, melainkan ditunjukkan dengan konsisten dan terusmenerus, demi memicu dan memacu ang-
09-arcadius.indd 247
arcadius benawa 247
gotanya dalam meningkatkan kompetensi sekaligus mengembangkan potensi anggotanya. Selayaknya pelayan, hendaknya pemimpin selalu mengutamakan yang dilayaninya agar kebutuhan anggotanya terpenuhi. Niatan atau spirit pemimpin pelayan seperti itu jelas akan bertentangan dengan nafsu akan kekuasaan yang kerap menjadikan status pemimpin justru sebagai peluang untuk meraup harta melimpah. Spirit yang dibawa dan dikembangkan pemimpin pelayan justru demi tumbuh kembangnya anggota yang dilayaninya, sehingga mereka tumbuh sebagai pribadi yang lebih baik, sehat, bijaksana, mandiri, dan dapat diandalkan. Lebih jauh Arisandi juga menyitir Max De Pree (2003), yang dalam bukunya Leadership is an Art, mengungkapkan ciri khas seorang pemimpin pelayan, yakni respek terhadap orang lain. Konkretnya, sejauh mana pemimpin dapat memahami bahwa setiap manusia itu memiliki kemampuan, bakat, dan kekuatan yang khas. Pemimpinlah yang mengambil peran sentral untuk menumbuhkembangkan rasa percaya diri di antara anggotanya, bahwa masingmasing anggota memiliki potensi dan kemampuan yang khas. Bagaimana seorang pemimpin itu memfasilitasi, memberi kesempatan demi memaksimalkan potensi dan kemampuan anggotanya, merupakan seni tersendiri. Dengan demikian, jelas bahwa seorang pemimpin pelayan mensyaratkan kedewasaan yang harus ditunjukkan, selain bahwa ia mampu menghargai dirinya sendiri juga anggotanya. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian literatur ini menunjukkan bahwa keterlibatan unsur iman ataupun spiritual dalam konsep kepemimpinan menjadi jelas dalam model kepemimpinan pelayan.Artinya, semakin pemimpin itu menunjukkan
4/16/2015 6:21:47 AM
248
ERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
keberimanannya atau spiritualitasnya, semakin jelas pula konsep kepemimpinannya yang dihadirkan dalam model kepemimpinan yang melayani, bukan menguasai. Hal ini sejalan dengan temuan yang dikemukakan Sahertian dan Frisdiantara (2012: 284), bahwasanya ada hubungan antara kepemimpinan spiritual dengan teori-teori kepemimpinan berbasis nilai, meskipun kepemimpinan spiritual masih lebih kerap menjadi wacana teoretis, namun ia tetap merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan, terutama jika dibandingkan dengan teori-teori kepemimpinan lainnya. Demikian pula temuan Freeman (2011: 121), yang mengafirmasi bahwa keyakinan spiritual (misalnya, harapan dan iman kepada Allah) sebagai faktor penyebab dalam pembentukan nilai-nilai dan perilaku pemimpin yang melayani. Menyitir Arisandi (2010) dalam blognya, “Kepemimpinan pelayan memandang masalah apa saja di dunia sebagai masalah di sini, di dalam diri sendiri, bukan di luar sana. Maka, kalau pemimpin ingin mengobati suatu cacat anggota atau masyarakat, pemimpin pelayan harus memulai proses perubahan/penyembuhannya dari sini, dalam diri pelayan, bukan di luar sana. Pada intinya kepemimpinan pelayan adalah pendekatan jangka panjang yang memberikan perubahan kepada kehidupan dan kerja, demi menciptakan perubahan positif di seluruh kehidupan masyarakat. Banyak sekali individu dan perusahaan besar dunia telah menjadikan kepemimpinan pelayan sebagai falsafah hidupnya. Banyak tokoh dunia yang menerapkan model kepemimpinan pelayan ini, dan mereka dianggap sebagai pemimpin yang besar. Contohnya: Nabi Muhammad, Yesus, Kong Hu Cu, Gandhi, Abraham Lincoln, Ki Hajar Dewantoro dan masih banyak pemimpin besar lainnya. Para penulis, pemikir, dan pemimpin yang terkemuka pun memberikan respon yang positif bagi kemunculan model kepemimpinan pelayan.”
09-arcadius.indd 248
Vol II, 2014
Dalam perspektif Jawa, kepemimpinan pelayan telah dikenal sejak dulu. Menurut Tugiman (1999: 46), prinsip-prinsip kepemimpinan Jawa tercermin dalam trilogi kepemimpinan yang dikenalkan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung tulada (di depan pemimpin harus menjadi teladan atau role model dalam perannya sebagai pengarah; directing), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah anggota yang dipimpinnya ia harus membangun semangat – sebagai animator), dan tut wuri handayani (bila pemimpin berada di belakang ia memberi dorongan – sebagai motivator). Konsep kepemimpinan pelayanan yang menonjolkan pelayanan kepada orang lain, termasuk kepada bawahan, akan semakin menumbuhkan keterikatan yang kuat antara pemimpin dengan yang dipimpin. Tanggung jawab ke bawah (downward accountability) akan menjadikan kepemimpinan berakar dan diterima dengan tulus oleh bawahan. Cara pandang Jawa mengenal istilah sifat tumungkul (tanggung jawab ke bawah) yang harus dimiliki seorang pemimpin Konsep kepemimpinan tradisional yang telah lama dikenal dalam tradisi luhur masyarakat Nusantara, di antaranya tertuang dalam kumpulan seloka “Asta Brata,” yang berisikan ajaran-ajaran Hindu tentang bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang baik. Menurut Arifin Abdulrachman (1968), Asta Brata adalah contoh kepemimpinan yang terdapat dalam Ramayana. Asta Brata adalah delapan tipe kepemimpinan yang merupakan 8 (delapan) sifat Kemahakuasaan Tuhan. Ajaran ini diberikan Sri Rama kepada Wibhisana sebagai Raja Alengka Pura saat menggantikan kakaknya, Rahwana. Kedelapan ajaran Asta Brata tersebut berbunyi sebagai berikut:
4/16/2015 6:21:47 AM
ERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
1. Indra Brata: Artinya, pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Indra sebagai dewa pemberi hujan, yang memberi kesejahteraan kepada rakyat. 2. Yama Brata: Artinya, pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Yama, yaitu menciptakan hukum, menegakkan hukum, dan memberikan hukuman secara adil kepada setiap orang yang bersalah. 3. Surya Brata: Artinya, pemimpin hendaknya memberikan penerangan secara adil dan merata kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya. Ia juga perlu selalu berbuat berhati-hati seperti matahari yang sangat berhati-hati dalam menyerap air. 4. Candra Brata: Artinya, pemimpin hendaknya selalu dapat memperlihatkan wajah yang tenang dan berseri-seri, sehingga masyarakat yang dipimpinnya merasa yakin akan kebesaran jiwa dari pemimpinnya. 5. Bayu Brata: Artinya, pemimpin hendaknya selalu dapat mengetahui dan menyelidiki keadaan serta kehendak yang sebenarnya, terutama keadaan masyarakat yang hidupnya paling menderita. 6. Kuwera Brata: Artinya, pemimpin hendaknya harus bijaksana dalam mempergunakan dana atau uang, selalu berhasrat menyejahterakan masyarakat, dan tidak menjadi pemboros yang malah dapat merugikan negara dan masyarakat. 7. Baruna Brata: Artinya, pemimpin hendaknya dapat memberantas segala bentuk penyakit yang berkembang di masyarakat, seperti pengangguran, kenakalan remaja, pencurian dan pengacau keamanan negara. 8. Agni Brata: Artinya, pemimpin seharusnya memiliki kesungguhan untuk memotivasi tumbuhnya sifat ksatria
09-arcadius.indd 249
arcadius benawa 249
dan semangat yang berkobar dalam menundukkan musuh-musuhnya. Dalam perspektif Buddha, menurut Hagen Berndt (2006: 95), sebagaimana disitir Andri Pitoko, terdapat ciri-ciri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Buddhis, lebih populer dikenal dengan istilah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang dikelompokkan menjadi tiga pokok, yaitu: kebijaksanaan (panna), moralitas (sila), dan konsentrasi (samadhi). Kebijaksanaan meliputi pemahaman benar dan pikiran benar; Moralitas meliputi ucapan benar, tindakan benar, dan penghidupan benar; sementara Konsentrasi meliputi usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Bagaimanapun rupa sang pemimpin, tentu ia memunyai kriteria-kriteria tersendiri antara lain, ia mempunyai kelebihankelebihan, seperti lebih kuat, lebih pandai, lebih memiliki kualitas pribadi yang unggul, serta lebih memiliki kesempatan dari pada orang lain. Seorang pemimpin mendapat mandat untuk bekerja guna memenuhi keperluan orang banyak. Kekuasaan yang dimiliki hanya dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang pemimpin. Dalam pandangan Buddhis, pemimpin tidaklah berbeda dengan bawahannya. Pandangan mengenai martabat dan derajat perlakuan yang sama pada semua manusia, menunjukkan sifat agama Buddha yang demokratis. Dari uraian di atas, menjadi jelaslah pandangan yang penulis ajukan dalam makalah ini, yaitu bahwa kepemimpinan bukanlah suatu ajang popularitas, bukan perebutan kekuasaan, bukan keahlian melakukan pertunjukan, dan bukan sekadar kebijaksanaan dalam perencanaan jangka panjang. Dalam bentuknya yang paling sederhana, kepemimpinan adalah ikhtiar untuk menyelesaikan suatu amanah
4/16/2015 6:21:47 AM
250
ERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
bersama orang lain dan membantu orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Simpulan dan Implikasi Dari paparan pada bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa tatkala aspek spiritual diabaikan dalam kepemimpinan, maka “sumpah jabatan” hanya akan menjadi ritual kosong yang tidak menginspirasi sang pemimpin, terkait dengan aspek spiritual dalam kepemimpinan. Keterlibatan unsur iman atau spiritualitas dalam konsep kepemimpinan kontemporer menjadi lebih jelas terwujud dalam model kepemimpinan pelayan. Sudah seyogianya model kepemimpinan pelayan ini diterapkan secara lebih massif dan intens di Indonesia. Implikasinya, perlu lebih ditanamkan di kalangan calon pemimpin, perhatian akan aspek spiritual di dalam kepemimpinan, sehingga para calon pemimpin dapat memaknai ungkapan pemimpin pelayan atau leader as servant, dengan pelbagai karakteristiknya. Istilah “Revolusi mental” yang lantang didengang-dengungkan akhir-akhir ini pada hakikatnya adalah revolusi mental pemimpin agar tidak lagi suka minta dilayani tetapi seharusnya si pemimpinlah yang lebih berusaha untuk dapat melayani anggotanya, umatnya, warganya, rakyatnya. Itulah makna pokok dalam aspek spiritual kepemimpinan, yang, jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan tulus hati, diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dari krisis kepemimpinan dan dekadensi moralitas beberapa tahun belakangan ini. DAFTAR PUSTAKA Arifin Abdulrachman, R. (1968). Leadership Theory, Pengembangan dan Filosofi Kepemimpinan. Jakarta: Dinas Latihan Djabatan Lembaga Administrasi Ne gara.
09-arcadius.indd 250
Vol II, 2014
Arisandi, Dudi. (2010). “Servant Leadership – Memimpin dengan Hati untuk Melayani”, yang dapat diakses di http://darisandi. wordpress.com/2010/04/17/servantleadership-memimpin-dengan-hatiuntuk-melayani/ Berndt, Hagen. (2006). Agama yang Bertindak – Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi. a.b. A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. Bdk. dengan sitiran Andri Pitoko dalam http://posbali.com/ciriciri-pemimpin-buddhis/ DePree, Max. (2003). Leadership is an Art. New York: Random House LLC. Freeman, GT. (2011). “Spirituality and Servant Leadership. A Conceptual Model and Research Proposal”, dalam Emerging Leadership Journeys, Vol. 4 (1): 120140, yang dapat diakses di http://www. regent-edu/acad/global/publications/ elj/vol/ss1/Freeman_V4/1_pp120-140. pdf Greenleaf, Robert K. dan Frick, Don M. (2008). A Life of Servant Leadership. San Francisco, California: Berrett-Koehler. Greenleaf, Robert K., Don M. Frick, dan Larry C. Spears. (1996). On Becoming a Servant Leader. California: Wiley. Sahertian, P. dan Frisdiantara. Christea. (2012). “The Spiritual Leadership Dimension In Relation to Other ValueBased Leadership in Organization”, dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol.2 (15): 284290, yang dapat diakses di http://www. ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_15_ August_2012/36.pdf Senge, Peter M. (1994). The Fifth Discipline. New York: Double Day Act Publishing Group, Inc. Susanto, A.B. dan Masri Sareb Putra, R. (2010). 60 Management Gems: Applying Management Wisdom in Life. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tugiman, Hiro. (1999). Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Soeharto. Yogyakarta: Kanisius.
4/16/2015 6:21:48 AM
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 251-254 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Melacak Asal-usul Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Berdasarkan Teori Properti John Locke
Judul
: Sesat Pikir Kekayaan Intelektual: Membongkar Akar-akar Pemikiran Konsep Hak Kekayaan Intelektual Penulis : Ignatius Haryanto Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Cetakan : 2014 Tebal : xxvi + 164 halaman (termasuk Indeks) ISBN : 978-979-91-0762-6
Pada awal September 2014, telah terbit buku berjudul Sesat Pikir Kekayaan Intelektual: Membongkar Akar-akar Pemikiran Konsep Hak Kekayaan Intelektual (berikutnya disingkat menjadi Sesat Pikir) karya Ignatius Haryanto, seorang jurnalis kawakan, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) sekaligus dosen paruh waktu di Universitas Multimedia Nusantara. Buku yang diberi pengantar oleh Prof. Agus Sardjono, Guru Besar Hukum Ekonomi dan Hukum Kekayaan Intelektual dari Universitas Indonesia, ini merupakan modifikasi dari tesis yang diajukan
1
010-hendar.indd 251
kepada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara untuk memeroleh gelar Magister Humaniora, pada 2012. Timing dipublikasikannya buku ini pun dilihat cukup tepat mengingat beberapa tahun terakhir ini (2010 – 2014), semakin marak terungkap pelbagai kasus plagiarisme yang melibatkan nama-nama besar dalam dunia akademis, maupun dalam jajaran pemerintahan era SBY.1 Buku Sesat Pikir dibagi menjadi tujuh bab, dengan diawali “Sebuah Pengantar Masuk” yang cukup ekstensif (xiii – xxvi), Bab Pendahuluan (1 – 10), Bab Dua: Riwayat John Locke dan Kemunculan Teori
8 Februari 2010, menyangkut Prof Anak Agung Banyu Perwita, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan; 15 April 2010, menyangkut Dr. M. Zuliansyah, alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB); 24 Agustus 2011, menyangkut Guru Besar Universitas Riau (UNRI) Prof Dr. Isjoni Ishaq Msi; 17 April 2012, menyangkut seorang calon guru besar di Universitas Lampung (Unila) berinisial BS, dosen FKIP dan seorang calon Guru Besar Fakultas MIPA Unila dengan inisial MR; 4 Maret 2012, menyangkut tiga calon guru besar, yaitu Dr. Cecep Darmawan (Direktur Kemahasiswaan UPI & Rektor Universitas Subang), Dr. B Lena Nuryanti (Dosen FPIPS UPI), dan Dr. Ayi Suherman (Dosen UPI Kampus Sumedang); 7 Februari 2014, menyangkut Rektor Universitas Kristen Maranatha (UKM) Dr. dr. Felix Kasim MKes.; 17 Februari 2014, menyangkut Anggito Abimanyu, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama; 31 Oktober 2014, menyangkut dugaan plagiasi oleh Rektor UIN Malang, Mudjia Raharjo (http:// www.tribunnews.com/regional/2014/10/31/inilah-kronologi-dugaan-plagiasi-oleh-rektor-uin-malang) dan menurut data Kemendikbud, kasus plagiat atau biasa disebut copy paste (copas) pada proses sertifikasi dosen mencapai 808 kasus di tahun 2013. (http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/04/dosen-lebih-suka-menjiplak-tahun-lalu-ada808-kasus-plagiarisme)
4/16/2015 6:22:08 AM
252
Melacak Asal-Usul Hak Kekayaan Intelektual (Haki)
Kepemilikan Pribadi (11 – 37), Bab III: Pokok-pokok Teori Kepemilikan Locke (39 – 56), Bab IV: Kritik atas Teori Kepemilikan John Locke (57 – 73), Bab V: Pandangan Locke-an dalam Konsep Hak Kekayaan Intelektual (75 – 105), Bab VI: Pengkritik Konsep Locke-an dalam Hak Kekayaan Intelektual (107 – 141), dan Bab VII: Penutup (143 – 150). Ada empat hal yang unik dan menarik dari buku ini, yang bisa dianggap sebagai selling points: *) Buku ini ditulis didasarkan pada tesis program Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, artinya, bobot isi maupun metodenya sudah diuji oleh dewan pakar---para Doktor dan Guru Besar pada bidang Filsafat---dalam ujian tesis, dan dinyatakan lulus, *) Dari wawasan resensator tentang penulis, tema HAKI memang merupakan passion penulis sejak lama, artinya, passion tersebut sudah dimatangkan oleh waktu dan diuji oleh pembacaan serta pengalaman, jadi bukan hanya “karbitan” saja, *) Perjumpaan dan perbincangan yang dilakukan penulis dengan para pakar HAKI dari berbagai negara (hlm. xxi – xxii) menambah bobot komparatif maupun kekinian dari buku ini, *) Sudut pandang filsafat digunakan untuk membahas isu HAKI yang biasanya digeluti ‘hanya’ oleh para pakar hukum. Penggunaan Filsafat sebagai metode kritis untuk mengkaji dan mendalami tema HAKI yang dilakukan penulis menjadikan buku ini appeals to larger readers. Adapun, dua pokok argumentasi khas yang diajukan penulis menjadi kekuatan untuk memecahkan dua buah pertanyaan besar yang memandu penulis dalam mengerjakan penelitian ini (hlm. 7), yaitu:
010-hendar.indd 252
Vol II, 2014
Pertama, penulis berhasil menunjukkan bahwa John Locke, meskipun sering dituding orang banyak sebagai “perintis Liberalisme, orang yang serakah dan menganjurkan pengambilalihan sebanyak-banyaknya dari alam”, tetapi “Locke yang religiuslah yang lebih mengemuka dalam melatari pandangannya soal teori kepemilikan … Locke menaruh konteks teori kepemilikannya sebagai bagian dari tugas manusia untuk melakukan perintah Tuhan,” (hlm. 145) dan bahwa “sosok Locke yang religius dan memiliki kepedulian kepada manusia yang lain lebih cocok sebagai representasi pemikiran Locke terkait dengan teori kepemilikan,” (hlm. 149). Dengan demikian, lebih tepat jika dikatakan bahwa “konsep HKI ‘hanya’ diinspirasikan oleh pemikiran Locke,” (hlm. 146), dan “tidak memadai jika dipergunakan untuk menjelaskan perkembangan dalam konsep hak kekayaan intelektual.” (hlm. 150) Kedua, secara etis, kajian atas pemikiran Locke menarik untuk dipertimbangkan karena adanya hak moral dan hak ekonomi yang melekat pada setiap hasil karya cipta. Dalam peristilahan yang diajukan Locke sendiri, pernyataan sesuatu sebagai milik harus dilengkapi dengan dua syarat berikut: “adanya sisa yang cukup dan baik bagi orang lain” serta “pengambilan dari alam tersebut tidak menimbulkan kerusak an ataupun kesia-siaan karena mengambil sesuatu lebih dari yang dibutuhkan” (hlm. 34 – 37). Dilatarbelakangi oleh dua pertimbangan etis dari Locke tersebut, maka fair use doctrine dalam dunia bisnis, industri, dan hukum kontemporer, mendorong terwujudnya ‘pemanfaatan yang adil dan proporsional dari karya-karya yang mengandung HKI’ (hlm. 82) karena hal tersebut dapat “menyeimbangkan hakhak pemilik hak cipta dengan kepentingan masyarakat luas untuk memperoleh akses informasi, … penggunaan ciptaan-ciptaan
4/16/2015 6:22:08 AM
Melacak Asal-Usul Hak Kekayaan Intelektual (Haki)
hendar putranto 253
tertentu tanpa perlu izin Pencipta atau Pelatar-belakangi pemikiran Locke dalam megang Hak Cipta,” (hlm. 82) juga untuk karyanya An Essay Concerning Human “kepentingan seperti membuat tulisan Understanding (ECHU), yang mendakritik, tulisan opini atau komentar, pemhului lahirnya Second Treatise of Governberitaan, pengajaran, serta kegiatan penement (STG), kurang dijelaskan secara litian.” (hlm. 84) memadai. Etienne Balibar, dalam buMaka, tilikan lebih lanjut tentang isi kunya Identity and Difference: John Locke buku ini menggariskan tiga corak penopang and the Invention of Consciousness (Verso, kekuatan dari dua pokok argumentasi di 2013), menyatakan bahwa ‘konsep diri atas, yaitu: yang empiris’ yang biasanya disemat1) Ketajaman pertanyaannya: Seberapa sakan pada Locke, ternyata tidaklah tehih menerapkan pemikiran John Locke pat. Menurut Balibar, konsep diri yang yang berasal dari tradisi pemikiran hudirancang dan disampaikan Locke kum kodrat (sebagai kelanjutan dari dalam ECHU, lebih didasarkan pada alam pemikiran Abad Pertengahan) cara berpikir rasionalis. Selain itu, Balipada konsep HAKI yang berasal dari bar juga berhasil menunjukkan bahwa tradisi revolusi industri, dan perkempandangan, komentar dan kritik trabangan kapitalisme (klasik)? disional yang melihat Filsafat Manu2) Tersedianya terjemahan langsung dari sia yang digagas Locke (dalam ECHU) teks bahasa Inggris pemikiran John terpisah dari Filsafat Politiknya (dalam Locke yang dicantumkan di catatan STG) ternyata kurang tepat. Properti kaki yang bertebaran di setiap halaman dan Propriety (kedirian) ternyata terbuku ini, agar pembaca dapat menilai hubung dengan erat dan tidak bisa dilangsung atau sekurang-kurangnya anggap terpisah. Dua konsep inilah, di membaca sendiri apa yang dimaksud antaranya, yang menjembatani ECHU teks aslinya dengan STG. (Balibar, 2013: 28) 3) Disediakannya rangkuman pada setiap 2) Penggunaan istilah “Sesat Pikir” pada akhir bab (II s/d VI), yang memudahkan judul buku, bahkan secara mencolok pembaca awam untuk mencerna kemkarena menggunakan warna merah, bali kompleksitas argumentasi serta bisa membawa orang pada terminologi menangkap inti paparan sebelumnya. Logika formal, dalam hal ini fallacies. Dalam buku ini tidak disebutkan denWalaupun demikian, resensator masih gan cermat dan konsisten, sesat pikir menemukan dua kelemahan dalam Sesat manakah yang dimaksud: Apakah Pikir, yang masih bisa ditanggapi penulis sesat pikirnya disengaja atau tidak dispada edisi berikutnya, yaitu: engaja? Apakah termasuk sesat pikir 1) Meskipun sedikit disinggung oleh Igbahasa, formal, atau informal? Jika ternatius Haryanto tentang asal-usul munmasuk sesat pikir informal, apakah terculnya hak milik pribadi, yang dinyatamasuk ad hoc ego propter hoc, atau non kan oleh Locke sebagai berikut, “every causa pro causa, atau yang lainnya? PraMan has a Property in his own person” duga resensator adalah bahwa istilah (hlm. 34), tetapi soal pendasaran an“Sesat Pikir” ini ditambahkan kemutropologis tentang subjek (personhood) dian ketika manuskrip sudah jadi dan dan kesadaran (consciousness) yang mesiap dicetak, dan istilah ini pun ditam-
010-hendar.indd 253
4/16/2015 6:22:09 AM
254
Melacak Asal-Usul Hak Kekayaan Intelektual (Haki)
bahkan bukan oleh penulis buku, melainkan oleh penerbit. Tidak dibahasnya istilah “Sesat Pikir” oleh penulis sepanjang 160 lebih halaman buku ini, menguatkan praduga resensator tersebut. Secara keseluruhan, karya tesis Ignatius Haryanto yang dibukukan ini merupakan sebuah sumbangan yang sangat berarti baik untuk khazanah pustaka filsafat (khususnya jelajah tradisi pemikiran Liberalisme Inggris dengan tokoh utamanya John Locke) sekaligus pustaka menyangkut tema Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), yang dalam bahasa Indonesia masih terbilang belum berlimpah. Buku ini menawarkan cara berpikir yang historisgenealogis, sistematis, tekstual sekaligus kontekstual menyangkut tema HAKI, baik
Vol II, 2014
secara global maupun versi lokalnya di Indonesia, sekaligus menantang daya kritis pembaca yang sudah “terbiasa” (baca: berada dalam zona nyaman berpikir) dengan kerangka hukum positif dalam membaca dan memaknai problematika HAKI. Memang buku ini tidak diperuntukkan bagi pembaca pemula dikarenakan kompleksitas isu dan pembahasan filosofis yang mendasari HAKI, termasuk pandanganpandangan para pemikir yang pro maupun kontra tentangnya dalam rentang 400 tahun. Buku ini amat direkomendasikan untuk dibaca dan dijadikan rujukan bagi mahasiswa program Magister maupun Doktoral, teoretisi hukum dan para peneliti, yang mengambil studi maupun menekuni kajian hukum bisnis dan HAKI.
Resensator: Hendar Putranto * Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Critical and Creative Thinking, Universitas Multimedia Nusantara (2009 – 2015)
010-hendar.indd 254
4/16/2015 6:22:09 AM
PEDOMAN PENULISAN JURNAL ULTIMA HUMANIORA
1. Artikel berupa hasil penelitian, baik penelitian lapangan maupun kajian pustaka atau yang setara dengan hasil penelitian, serta kajian konseptual di bidang rumpun ilmu humaniora, yaitu: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya & Linguistik (Kajian bahasa), Kesusastraan, Kesenian, dan Psikologi. 2. Jurnal Ultima Humaniora memberikan perhatian dan porsi yang lebih khusus pada artikel, hasil penelitian, serta kajian konseptual seputar Pancasila dan Kewarganegaraan, Agama dan Religiositas, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing, Metode Belajar dan Mengajar yang efektif di Perguruan Tinggi, Kepemimpinan dan Kewirausahaan. 3. Jurnal Ultima Humaniora terbit secara berkala, dua kali dalam setahun (Maret dan September). 4. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila artikel menggunakan bahasa Indonesia abstraknya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan bila artikel menggunakan bahasa Inggris, abstraknya berbahasa Indonesia 5. Panjang abstrak 150-200 kata, spasi 1, jenis huruf Times New Roman 10pt, ditulis de ngan huruf miring serta dilengkapi dengan tiga sampai lima kata kunci. 6. Untuk artikel hasil penelitian lapangan, abstrak harus memuat latar belakang dan perumusan masalah,tujuan,metode,hasil atau kesimpulan penelitian 7. Panjang naskah antara 15-25 halaman, ukuran kertas Kwarto (A4), di luar bagan, gambar/foto dan daftar rujukan atau daftar pustaka (referensi) 8. Pengetikan naskah menggunakan program Microsoft Word, spasi 1.5, jenis huruf Times News Roman, 12pt. Marjin kanan-kiri, atas bawah 2.5 cm. 9. Gambar dan Tabel a) Gambar yang akan ditampilkan dalam jurnal adalah gambar hitam-putih. b) Bila menginginkan, penulis dapat menyertakan gambar berwarna, namun penulis akan dikenai biaya tambahan untuk pencetakan gambar berwarna tersebut. c) Gambar dan tabel diberi nomor sebagai berikut: Gambar 1, Gambar 2, dst. Tabel 1, Tabel 2, dst. d) Gambar dan tabel yang substansinya sama, ditampilkan salah satu. e) Tabel berbentuk pivot table. 10. Komposisi artikel hasil penelitian : (1) Judul dan sub-judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), di bawah nama penulis dicantumkan nama institusi/afiliasi/alumni, (3) abstrak, (4) kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Tinjauan Pustaka/ Kerangka Teori , (7) Metodologi Penelitian, (8) Hasil dan Pembahasan (9) Simpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel) 11. Komposisi artikel konseptual: (1) Judul dan sub-judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), (3) abstrak, (4) Kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Sub judul- sub judul sesuai kebutuhan, (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel).
011-pedoman.indd 255
4/16/2015 6:22:24 AM
12. Ucapan terima kasih: Penulis dapat menuliskan ucapan terima kasih kepada individu, lembaga pemberi dana penelitian, dan sebagainya. Ucapan terima kasih dituliskan sebelum Daftar Pustaka. 13. Penulisan sitasi dibuat dengan catatan perut (in-text references, APA style) yang memuat nama belakang pengarang,tahun penulisan, dan halaman penulisan. Contoh: Satu penulis : (Siapera,2010:49) Dua penulis : (Kanpol dan McLaren, 1995:118) Lebih dari dua penulis : (Lister,dkk,2009:239) 14. Penulisan dalam Daftar Pustaka dapat dilakukan sebagai berikut: Sumber buku: Kearney, R. (1999). Poetics of Modernity: Toward a Hermeneutic Imagination. New York: Humanity Books. Killen, M. dan Smetana, J. G. (Tim Editor). (2006). Handbook of Moral Development. Mahwah, New Jersey (USA) dan London (UK): Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Semi, G., Colombo, E., Camozzi, I. & Frisina, A. (2009). Practices of Difference: Analysing Multiculturalism in Everyday Life. Dalam Amanda Wise dan Selvaraj Velayutham. (Tim Editor). Everyday Multiculturalism (hlm. 66 – 84). Hampshire RG21 6XS (UK) dan New York (USA): Palgrave Macmillan.
011-pedoman.indd 256
Sumber jurnal: Mancini, S. (2009). Imaginaries of Cultural Diversity and the Permanence of the Religious. Diogenes 56 (4), 3 – 16. Sumber prosiding seminar: Akbar, A. 2012. Adam, Atlantis, dan Piramida di Indonesia: Antara Fakta Arkeologi dan Gegar Jati Diri. Artikel dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kajian Indonesia (ICSSIS) ke-4 yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia di Bali, 9 – 10 Februari. Dimuat dalam Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies (hlm. 96 – 107). ISSN 2087-0019. Sumber internet: Harrington, A. M. (2010). Problematizing the Hybrid Classroom for ESL/EFL Students. TESL-EJ, The Electronic Journal for English as a Second Language, Desember 2010, Volume 14 (3). Bisa diakses di http://www.tesl-ej.org/wordpress/issues/volume14/ ej55/ej55a3/ Sumber disertasi/tesis: Sayles-Hannon, S. (2008). In search of multiculturalism: Uprooting ‘whiteness’ in curriculum design and pedagogical strategies. Texas Woman’s University. ProQuest Dissertations dan Theses, n/a. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/304326219?a ccountid=17242
4/16/2015 6:22:25 AM
15. Setiap naskah diserahkan dalam bentuk hard copy atau soft copy, dengan format .rtf atau .doc/.docx. Naskah dapat dikirimkan melalui pos surat biasa atau lewat surel (e-mail). 16. Hard copy artikel (dalam format RTF/doc/docx) bisa dikirimkan paling lambat satu bulan sebelum periode penerbitan kepada : Redaksi Jurnal Ultima Humaniora Gedung Rektorat Lantai 2 UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN) Jalan Boulevard Gading Serpong, Desa Curug Sangereng, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten 15333 Telp + 6221 5422 0808 ext. 2510 Atau format soft copy bisa dikirimkan lewat surel ke: Redaktur Pelaksana Jurnal Ultima Humaniora, Hendar Putranto, dengan alamat surel:
[email protected] sertakan juga carbon copy ke alamat surel kantor,
[email protected] 17. Redaksi berhak memperbaiki gramatika (mistyping, misspelling, inaccuracy) penulisan naskah tanpa mengubah isi naskah tersebut. Semua pandangan, pendapat atau pernyataan (klaim) yang terdapat dalam naskah merupakan tanggungjawab penulis. Naskah yang tidak dimuat pada edisi Mei dapat dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi November tahun yang sama (atau yang tidak dimuat di edisi November dapat dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi Mei tahun berikutnya), dengan catatan bahwa penulis akan merevisi naskah tersebut sesuai saran dan rekomendasi Redaksi. Naskah yang tidak memenuhi ketentuan dan kebijakan Redaksi akan dikembalikan dengan catatan, lewat surel. 18. Penulis yang naskahnya diterima dan dipublikasikan dalam jurnal akan mendapatkan honorarium, setelah dipotong pajak 2.5% (dengan NPWP) atau 3% (tanpa NPWP). Honorarium akan ditransfer ke rekening dengan nama penulis (tidak boleh diwakilkan) paling lambat dua minggu setelah jurnal naik cetak dan siap didistribusikan.
011-pedoman.indd 257
4/16/2015 6:22:25 AM