UNIVERSITAS INDONESIA
KRITIK SOSIAL YANG TERDAPAT DALAM DRAMA TARI TOPENG KASAN OGWANGDAE DAN PONGSAN
MAKALAH NON SEMINAR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
AYU PERMATASARI 1106020434
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI BAHASA DAN KEBUDAYAAN KOREA DEPOK JANUARI 2015
Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
KRITIK SOSIAL YANG TERDAPAT DALAM DRAMA TARI TOPENG KASAN OGWANGDAE DAN PONGSAN Ayu Permatasari, Eva Latifah Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok E-mail :
[email protected],
[email protected]
Abstrak
Tari topeng Korea adalah salah satu bentuk teater klasik yang diperkirakan mulai berkembang sejak periode Joseon. Tari topeng pada umumnya bertemakan kritik sosial. Oleh karena itu, jurnal ini ditulis dengan tujuan untuk menemukan kritik sosial yang ada dalam drama tari topeng Korea, cara kritik tersebut disampaikan dan tujuannya sebagai suara penyampaian kritik oleh masyarakat. Drama tari topeng yang akan dianalisis adalah drama tari topeng Kasan Ogwangdae dan Pongsan. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan sosiologi sastra. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan close reading. Penelitian ini dapat disimpulkan, terdapat tiga kritik sosial utama yang ada dalam drama tari topeng Korea yaitu rahib yang ingkar, keangkuhan kaum bangsawan, serta hubungan cinta segitiga antara suami, istri, dan wanita simpanan yang ditemukan berdasarkan dialog-dialog yang ada dalam cerita dan bentuk topeng yang digunakan. Tujuan penyampaian kritik sosial ini sebagai pembuktian akan kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu dan peringatan agar hal yang sama tidak akan terjadi.
Kata Kunci: Kesusastraan kuno; teater klasik; periode Joseon.
The Social Criticism of the Korean Traditional Mask Dance Drama Kasan Ogwangdae and Pongsan Abstract Korean mask dance is one of classic theater which is developed since Joseon’s period. Generally, Korean mask dance have social critical theme. The reason why this journal was written with the purpose to find the social critical in Korean mask dance drama, in the critical way could be extended by and the purpose as the voice to extend the critic by the society. Korean mask dance drama would be analyzed is mask dance drama of Kasan Ogwangdae and Pongsan. This research will be use sociology literature approachment. The research methodology were used are qualitative methodology and close reading. This research had three main social critical conclusions in Korean mask dance drama which is about reluctant monk, the vain of nobleman, and the love triangle between husband, wife, and the mistress lady were found in the dialogues inside the story and the mask’s shape were used. The purpose is to tell the social critical as a proves of mistaken were happened in the past and became the order to warn the society not do something the same in the past. Keywords: Ancient literature; classic theater; Joseon’s period.
Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
1. Pendahuluan Kesusastraan adalah cabang ilmu yang menelaah dan mengaji sebuah objek yang bernama sastra. Istilah kesusastraan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu susastra. Su memiliki arti indah dan sastra memiliki arti tulisan. Kesusasteraan berarti tulisan yang indah. Daiches (1964) mengacu pada Aristoteles melihat sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain” (Budianta 2006:7). Sedangkan menurut Kim (2012: 88), “전통적으로 문이나 문학은 그 의미의 범위가 아주 넓어서 문화와 전적을 모두 포괄하는 개념이었다.” Maksudnya,
kesusastraan secara tradisional ruang lingkupnya sangat luas sehingga mencakup budaya dan seluruh karya susastra. Di Indonesia sastra terbagi menjadi dua ruang lingkup, sastra sebagai seni dan sastra sebagai ilmu pengetahuan. Sastra di dalam bidang seni mencakup seni drama, seni sastra, seni lukis, seni musik, dan seni tari. Sementara itu, di Barat penggunaan drama dan dramatis saling dihubungkan. Drama adalah karya yang dibuat sepadan menyatu dengan kehidupan, sedangkan dramatis berarti menunjukkan situasi yang serupa dengan drama (Hanguk Munhak Phyeongronga Hyeobhwe, 2006: 525). Istilah “drama” dan “teater” berasal dari kebudayaan Barat, tepatnya dari Yunani. Pada awalnya, di Yunani ini, baik “drama” maupun “teater” muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap dewa (Budianta, 2006: 99). Saat itu drama hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan. Sama halnya seperti di Korea, seluruh pertunjukan teater tradisional drama Korea berasal dari ritual-ritual keagamaan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu fungsi dari drama ini mengalami pergeseran. Drama tidak lagi digunakan untuk menjalankan proses ritual-ritual keagamaan tetapi sebagai seni yang menghibur bagi masyarakat luas dan tidak lagi hanya diperuntukkan untuk kaum bangsawan. Korea memiliki teater klasik yaitu tari topeng Sandaenori (tari boneka), yang merupakan gabungan tari, lagu, serta cerita yang diselingi oleh sindiran dan lawakan (Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea, 2008). Pada awalnya, drama tari topeng Sandaenori ini hanyalah sebuah pertunjukan tari atau yang lebih dikenal sebagai talchum (tari topeng). “탈춤은 얼굴에 가면을 쓰고 춤을 추거나 노래를 부르며 말을 주고받는 놀이이다” (Kwon, 2013: 118). Maksudnya, tari topeng adalah sebuah permainan yang 2 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
menggunakan topeng di wajah sambil menari, menyanyi dan saling bertukar kata. Tari-tarian rakyat ini menampilkan tokoh-tokoh seperti petani, dukun, biarawan, dan sebagainya. Musik dan tarian merupakan sarana yang digunakan untuk beribadah selama periode tiga kerajaan, tetapi pada periode Joseon musik dihargai sebagai unsur utama ritual dan upacara-upacara keagamaan yang kemudian membuat tarian ini menjadi populer. Tarian ini tidak hanya ditampilkan dengan gerakan bersama alunan musik, namun juga sering disisipkan ungkapan-ungkapan satir yang ditujukan untuk menyindir kaum bangsawan. Tari topeng ini sempat mengalami kemunduran pada masa penjajahan Jepang. Baru pada 1980an orang mulai berpikir untuk menghidupkan kembali tarian yang telah lama dilupakan ini. Meskipun satu daerah dan daerah lainnya memiliki sedikit perbedaan dalam hal gaya, dialog, dan kostum, bentuk teater ini memiliki popularitas di kalangan masyarakat pedesaan (Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea, 2008). Pada pertengahan periode Joseon, drama tari topeng ini dibedakan berdasarkan wilayah yaitu Pongsan, Eunhyul, dan Kangyong di Provinsi Hwanghae, Yangju Byeolsandaenori dan Songpa Sandaenori di Provinsi Kyonggi, Hahoe Byeolshin-gut di Provinsi Kyongsangbuk, Tongnae Yaryu, dan Suyong Yaryu Tongyong, Kosong, Kasan Ogwangdae di Provinsi Kyongsangnam (Park, 2011: 7-8). Akan tetapi, dalam jurnal ini penulis membatasi drama tari topeng yang akan diteliti, yaitu Kasan Ogwangdae dan Pongsan. Kasan Ogwangdae penulis pilih karena ia memiliki bentuk yang paling asli daripada Ogwangdae lainnya. Sementara itu, Pongsan dipilih karena mewakili Provinsi Hwanghae, Korea Utara. Dalam pertunjukannya, tarian ini disisipi oleh adegan-adegan jenaka dan dialog sindiran. Dialog bermakna sindiran digunakan untuk mengkritik kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menemukan kritik-kritik sosial yang ada di dalam cerita drama tari topeng Korea, cara kritik sosial tersebut disampaikan, dan tujuan dari penyampaian kritik sosial pada masyarakat tersebut melalui drama. Penelitian dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra. Metode yang dipakai dalam jurnal ini, yaitu metode kualitatif dan close reading. Pada awalnya penulis mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan drama tari topeng Korea, termasuk naskah drama. Setelah itu penulis melakukan verifikasi dan interpretasi. Jurnal ini disusun ke dalam lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup 3 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
latar belakang, tujuan, rumusan masalah, metode, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan teoritis. Bab ketiga berisi penggambaran drama tari topeng Korea. Bab keempat berisi analisis kritik-kritik sosial yang ada di dalam drama tari topeng Kasan Ogwangdae dan Pongsan yang dianalisis berdasarkan dialog dan bentuk topeng. Kemudian, bab kelima sebagai penutup yang berisikan kesimpulan.
2. Tinjauan Teoritis Menurut Wellek (1989: 110-111), sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Sastra dikaitkan dengan situasi tertentu, seperti sistem politik, ekonomi, dan sosial. Penelitian dengan pendekatan sosiologi sastra dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukannya dalam masyarakat. Dalam Damono (2002: 2-4), terdapat beberapa klasifikasi masalah sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi sastra. Dalam jurnal ini, penulis akan menggunakan pendekatan sosiologi karya sastra yang menitikberatkan kepada karya itu sendiri. Pokok penelaahannya adalah apa yang yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Drama dimasukkan ke dalam ruang lingkup sastra karena alat yang digunakan untuk menyampaikan pikiran dari pembuat drama kepada penikmatnya adalah bahasa (Budianta, 2006: 112). Seni drama adalah
bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan
kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog (Kosasih 2008: 88). Sumardjo dalam bukunya Apresiasi Kesusastraan, seorang dramawan atau penulis naskah drama pertama harus menemukan masalah yang artinya ia melihat kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Kesadaran akan adanya masalah, adanya pendapat bagaimana itu dan keinginan seniman berpesan kepada masyarakat, mendorong seniman itu untuk menciptakan karya sastra dramanya (1991: 147-148). Tema tidak perlu selalu berwujud moral atau ajaran moral, dapat hanya berwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan (Sumardjo, 1986: 56). Di dalam sebuah karya, pada umumnya seniman memasukkan pesan sosial yang ingin disampaikan kepada penikmatnya. Salah satunya adalah kritik sosial. Saat seorang memasukkan unsur kritik sosial pada karyanya pasti ada alasan dan tujuannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sementara, 4 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
sosial berarti berteman, bersama, berserikat, bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam masyarakat, yaitu persekutuan manusia untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama. Menurut Damono (1983: 22), kritik sosial dalam karya sastra ialah kritik yang mengangkat segala macam masalah sosial yang ada, misalnya menyangkut hubungan dengan lingkungan, kelompok sosial, dan intuisi terhadap ketidakadilan. Penulis menganggap tema utama yang ada di dalam cerita drama tari topeng Korea adalah kritik sosial. Oleh karena itu, penelitian ini akan berfokus untuk menganalisis kritikkritik sosial yang ada di drama tari topeng Kasan Ogwangdae dan Pongsan berdasarkan pendekatan sosiologi sastra. Penulis akan menganalisis kritik-kritik sosial yang ada di dalam drama tari topeng melalui skenario drama tari topeng itu sendiri.
3. Drama Tari Topeng Tradisional Korea
Tari topeng adalah seni pertunjukan tradisional yang biasa dinikmati oleh kalangan masyarakat pedesaan. Sulit mengetahui kapan mulai munculnya pertunjukan drama tari topeng, namun pada periode Koryeo sudah terlihat beberapa pertunjukan yang disebut Sandaedogam (Kwon, 2013: 118). Pada hari kelima belas di bulan pertama kalender lunar terdapat upacara Buddha, Yondhunghoe yang diadakan untuk kedamaian nasional dan kebahagiaan untuk orang banyak (Lee, 1997: 18). Pada upacara tersebut ditampilkan tarian, musik dan drama sama seperti yang dilakukan pada zaman kerajaan Silla. Pada zaman kerajaan Joseon (1392-1920), masyarakatnya mengikuti kebijakan pemerintah yang mulai menghilangkan pengaruh-pengaruh ajaran agama Buddha dan mulai mengenal dan menerapkan ajaran Konfusianisme. Hal ini menyebabkan upacara-upacara keagamaan yang berasal dari ajaran agama Buddha sudah tidak lagi diselenggarakan. Meskipun begitu, upacara untuk mengusir setan dan drama tari topeng tetap diselenggarakan bahkan lebih meluas dan berkembang di periode ini. Oleh karena itu, banyak yang menduga bahwa drama tari topeng ini muncul di zaman kerajaan Joseon. Pada periode Joseon didirikan sebuah lembaga Sandae, berbagai pertunjukan yang ditampilkan salah satunya berasal dari perwakilan yang didatangkan dari Tiongkok yang mempertunjukan drama tari Korea dan akrobatik yang tidak berbeda dengan yang ditampilkan pada periode Koryeo. Puisi-puisi yang berasal dari Tiongkok banyak diambil untuk dijadikan cerita dalam drama tari topeng terutama untuk menyindir kaum bangsawan, sedangkan drama tari topeng juga dibagi menjadi 5 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
dua kategori (Jeon, 2008: 70). Kategori yang pertama ditampilkan di Seoul dengan nama Pongsandaenori dan yang kedua adalah tari topeng rakyat yang berasal dari daerah pedesaan yang biasa mengadakan ritual shaman.1
3.1 Drama Tari Topeng 가산 오광대 (Kasan Ogwangdae) Ogwangdae memiliki arti “lima aktor” atau “lima pelawak”, yang merupakan salah satu kepercayaan rakyat dari filosofi yin-yang (sebuah filosofi asal usul alam semesta berasal dari Tiongkok yang menggabungkan lima elemen) (Lee, 1985: 140). Drama tari topeng Ogwangdae ini dimainkan di Provinsi Kyongsang Selatan. Sulit untuk mengetahui kapan pertama kali Ogwangdae mulai dimainkan, yang pasti diketahui Kasan Ogwangdae mulai dimainkan pada akhir 1960 kalender bulan. Kasan Ogwangdae termasuk salah satu wilayah Ogwangdae. Drama tari ini biasa dilakukan pada hari kelima belas pada awal tahun. Pada mulanya, drama ini dimainkan dengan tujuan ritual Shamanisme untuk pengusiran roh jahat, namun seiring berjalannya waktu fungsinya berubah menjadi hiburan bagi masyarakat pedesaan yang biasa dilakukan sepanjang bulan Februari. Kasan Ogwangdae dianggap lebih asli daripada Ogwangdae yang lainnya, sejak tari dan kepercayaan rakyat Shamanisme mulai berakar (Lee, 1985: 142). Karakter
dalam drama
tari topeng
Kasan
Ogwangdae,
yaitu
황제장군
(Hwangjejanggun, prajurit) berjumlah lima pemain, 영노 (Yongno, roh naga), 포수 (Posu, pemburu), 도문둥이 (Domundungi, kepala bangsawan sakit kusta), 어딩이 (Odingi, lima bangsawan sakit kusta) , 순사 (Sunsa, polisi), 양반 (Yangban, bangsawan), 말뚝이 (Malttuki, pelayan bangsawan), 작은 양반 (Jakeun yangban, bangsawan junior) berjumlah empat pemain, 중 (Jung, rahib tertinggi), 상좌 (Sangjwa, rahib muda), 할미 (Halmi, istri tua), 마당쇠 (Madangswe, anak istri tua), 옹생원 (Ongsaewon, penjual sepatu), 의원 (Euiwon, dokter), 영감 (Yonggam, suami dari istri tua), 서울 애기 (Seoul aegi, wanita simpanan), 봉사 (Pongsa,
tukang sihir buta), 큰 무당 (Kheun mudang, shaman senior). Seluruhnya terdapat dua puluh tujuh jumlah pemain. Kasan Ogwangdae ini terdiri dari enam episode.
1
Shaman adalah sebuah pelaksanaan ritual yang biasa dipimpin oleh seorang Mudang (pendeta wanita). Shamanisme adalah satu dari sekian banyak agama tertua yang menyebar di dunia. Korea menjadi salah satu tempat yang penting di mana ajaran ini masih bertahan sampai saat ini. (Lee, 2003: 222).
6 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
3.2 Drama Tari Topeng 봉산 (Pongsan)
Drama tari topeng Pongsan ini berasal dari Provinsi Hwanghae, Korea Utara. Sebelumnya drama ini hanya dimainkan untuk memperingati hari kelahiran Buddha, namun di akhir periode Joseon drama ini dimainkan malam hari dalam festival Tano pada bulan kelima yang diadakan setiap bulan kelima kalender bulan. Terdapat pergeseran fungsi drama, yang sebelumnya dilakukan untuk kegiatan religi menjadi hiburan. Pongsan merupakan tempat yang penting bagi distribusi produk pertanian dan perikanan, jadi akan menjadi lahan yang subur bagi pelestarian dari drama tari topeng ini. Berbeda dengan di Korea Selatan, di Korea Utara drama tari topeng umumnya tidak dilindungi oleh kalangan pemerintah elite. Sebagian besar hanya dimainkan untuk petani dan pedagang. Drama ini awalnya hanya dimainkan oleh pria, namun setelah 1920an, para wanita mulai ikut berperan (Korea Insights, 2002: 15). Karakter dalam drama tari topeng Pongsan, yaitu 상좌 (Sangjwa, rahib muda) berjumlah empat pemain , 마부 (Mabu, rahib-rahib) berjumlah delapan pemain, 거사 (Kosa, penyihir saman muda) berjumlah enam pemain,
사당 (Sadang, penari perempuan), 노장
(Nojang, pendeta), 소무 (Somu, penyihir saman muda), 신장수 (Sinjangsu, penjual sepatu), 원숭이
(Wonsungi,
monyet),
취발이
(Cwhibari,
pemboros),
맏양반/샌님
(Madyangban/Saennim, bangsawan senior), 서방님 (Seobangnim, bangsawan kedua), 종가집 (Jongkajib, bangsawan ketiga), 도련님 (Toryeonnim, bangsawan junior), 말뚝이 (Maltukki, pelayan bangsawan), 영감 (Yonggam, pria tua), 미얄 (Miyal, istri tua), 덜머리집 (Teolmeorijib, wanita simpanan), 남강노인 (Namgangnoin, pria tua dari sungai Nam), 무당 (Mudang, shaman). Seluruhnya terdapat tiga puluh empat jumlah pemain. Drama tari Pongsan terdiri dari tujuh episode.
4. Kritik-kritik Sosial dalam Drama Tari Topeng Kasan Ogwangdae dan Pongsan Kritik-kritik sosial merupakan tema yang pada umumnya muncul di dalam dramadrama tari topeng Korea. Kritik sosial yang ingin disampaikan melalui drama ini sangat kental. Hal itu dapat diketahui berdasarkan tema, para tokoh yang bermain, bentuk topeng, dan dialog-dialog yang diucapkan serta lirik nyanyian yang para pemain nyanyikan. Akan tetapi, yang dibahas dalam jurnal ini adalah kritik-kritik sosial yang ada pada dialog-dialog 7 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
para tokoh dan bentuk topeng yang dianggap sebagai bagian dari kritik yang disampaikan dengan lebih jelas.
4.1 Kritik Sosial dalam Dialog 4.1.1 Rahib yang Ingkar
Salah satu kritik sosial yang ada di dalam cerita drama tari topeng ini adalah persoalan mengenai rahib yang ingkar. Rahib adalah seorang petapa di Wihara. Di dalam cerita drama tari topeng, rahib muncul dengan berbagai nama seperti Sangjwa, Mokchung, Omjung, dan lain sebagainya. Akan tetapi, tidak semua tokoh bersamaan muncul di dalam setiap drama yang ada. Mereka dianggap suci oleh masyarakat karena sepanjang hidup mereka hanya berdoa, tanpa mengurusi kehidupan duniawi, tetapi dalam cerita ini hal yang terjadi adalah sebaliknya. 양 반 : 네 이놈! 중이란 놈이 산 속에서 불도나 닦을 것이지 이런데 와서 이따위 짓을 하는고 애 말뚝아! 저 중놈을 매우 쳐라. 중 : 꽃 본 나비가 불인 줄 어이 알며, 물 본 기러기가 어옹을 어이 두려워 하리오, 양반님! 저는 절로 다시 가겠습니다. 살려줍쇼. (Ogwangdae, http://www.gsokwangdae.com/home4-15.php, Ep.5)
Terjemahan: Bangsawan: Kamu (kata makian)! Rahib yang seharusnya sibuk berdoa kepada Buddha di gunung, tapi kenapa kamu datang ke tempat dunia melakukan hal seperti ini. Pelayan! Cambuk dia dengan keras. Rahib tertinggi: Bunga yang terlihat kupu-kupu, air yang terlihat angsa liar, wahai bangsawan! Izinkanlah aku pergi kembali. Biarkan aku hidup.
Dalam kutipan dialog tersebut, rahib yang seharusnya hanya berada di Wihara untuk berdoa kepada Buddha dan tidak diajarkan untuk mengurusi hal yang bersifat dunia, tergoda oleh kehidupan duniawi yang diajarkan oleh rahib muda. Rahib muda mengajarkan kepada Rahib cara-cara untuk merayu seorang wanita, sampai pada akhirnya rahib menggoda seorang gisaeng (wanita penghibur) di Seoul. Akan tetapi, ternyata wanita penghibur tersebut adalah kesukaan salah satu bangsawan. Saat kejadian tersebut diketahuinya, sang bangsawan segera memanggil pelayannya dan menyuruhnya untuk mencari rahib tersebut dengan tujuan untuk menghukumnya. Berdasarkan dialog di atas juga memperlihatkan keangkuhan kaum 8 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
bangsawan. Ia merasa berkuasa untuk memilih dan memiliki wanita penghibur yang ia suka dan tidak dapat diganggu oleh laki-laki lainnya. Lihat juga kutipan dialog yang ada dalam drama Pongsan berikut ini: 마 부 : 그러면 석가여래의 명을 받아 우리가 노승님을 파계 시킨줄 알고 우리를 벌주려고 왔느냐 그러면 우리를 다 잡아먹으려느냐 사 자 : (긍정하며 달려들어 마부를 잡아 먹으려 한다) 마 부 : 아이쿠 야단났구나 쉬이 쉬이 (중략) 마 부 : 사자야 나의 하는말을 자서히 들어봐라 우리가 무슨 죄가 있느냐 취발이가 시켜서 아직 못하고 하였으니 진심으로 회개하여 부처님제자가 될터이니 우리를 용 서하여 주겠느냐 (Pongsan, www.keid.de, Ep: 5)
Terjemahan: Rahib-rahib : Lalu, apa kamu dikirim ke sini oleh Bodhisattva untuk menghukum kami, sebab kami telah melanggar hukum karena membuat biksu tua melakukan kekeliruan? Apa kamu ingin memakan kami semua? Singa : (Mengiyakan seraya berlari dan ingin memakan rahib) … Rahib-rahib : Kita ada dalam kesulitan, hush hush Rahib-rahib : Singa, dengarkan kami. Kami ada dosa apa? Apa Pemboros yang menceritakan hal ini, kami sungguh minta maaf dan akan menjadi rahib yang bijaksana, bisakah kamu memaafkan kami?
Sedikit berbeda dengan kutipan dialog yang ada di dalam drama Kasan Ogwangdae, dalam Pongsan ada tambahan peran hewan Saja (singa). Akan tetapi, kritik sosial yang ingin disampaikan melalui drama ini serupa dengan sebelumnya, yaitu mengenai rahib yang ingkar. Hal ini menjelaskan bahwa kejadian seperti ini ada dan sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Dalam kutipan dialog tersebut, rahib-rahib dalam keadaan ketakutan karena singa ingin memakan mereka sebagai hukuman karena mereka telah merayu dan bercumbu dengan kekasih si pemboros. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya mereka seperti tidak memiliki rasa penyesalan dan berbalik menyalahkan si pemboros, sama sekali tidak mencerminkan orang yang selama ini menjaga ketaatannya kepada Buddha.
9 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
Buddha merupakan agama yang paling mendominasi pada masa dinasti Koryeo. Setiap keluarga menyarankan anak laki-lakinya untuk menjadi seorang rahib, meskipun ia termasuk dalam keluarga kerajaan (Lee, 2003: 40). Ajaran Buddha dalam Koryeo menekankan pada perlindungan negara dan keselamatan diri. Di dalam ajaran Buddha juga terdapat seorang pemimpin yang memiliki kedudukan tertinggi yang sangat dihormati. Kedudukan tersebut didapat dari sekolah, ujian, tingkat, dan gelar yang mereka dapat. Sedemikian besarnya rasa kepercayaan masyarakat kepada para rahib. Akan tetapi, setelah melihat kejadian yang sebenarnya membuat masyarakat terluka dan kecewa bahwa ternyata perilaku para rahib tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan. Kritik sosial rahib yang ingkar ini disampaikan melalui adegan dan dialog yang jenaka dengan tujuan untuk menyindir rahib-rahib yang ingkar karena mereka tidak menjalankan kewajibannya untuk menjadi orang yang suci. Sebaliknya, mereka justru menggoda wanita milik orang lain dan bercumbu bersamanya. Hal tersebut tidak pernah ada di dalam ajaran Buddha yang mereka pelajari. Oleh karena kekecewaan masyarakat Korea pada saat itu, mereka memasukkan cerita mengenai rahib ini menjadi salah satu tema utama dari drama tari topeng. 4.1.2 Keangkuhan Kaum Bangsawan Istilah yangban (bangsawan) telah ada sejak masa dinasti Koryeo. Kaum bangsawan menjadi aristokrasi baru yang berkuasa. Kekuasaan kaum bangsawan berlanjut sampai masa dinasti Joseon, yang membagi struktur kelas sosial ke dalam empat kategori, yaitu yangban (bangsawan), kelas menengah yang terdiri dari para teknisi, interpreter, hakim, dan pegawai pemerintahan, ketiga adalah masyarakat biasa, dan yang terakhir adalah kelas menengah ke bawah yang kebanyakan adalah seorang pelayan. Gelar bangsawan didapat bagi mereka yang telah lulus ujian bernama Kwageo yang menguji tentang pengetahuan Konfusianisme dan sejarahnya. Karakteristik birokrasi dalam pemerintahan Joseon ini ditandai oleh kekuasaan aristokrat (Lee, 2003: 50). Kekuasaan tertinggi diduduki oleh kaum bangsawan, sipil, dan militer. Mereka yang memonopoli sistem politik dan pemerintahan. Hal inilah yang menyebabkan kesombongan bagi para kaum bangsawan. 양 반 들 : 야 이놈 말뚝아 아! 이놈 말뚝아 야 ! 이놈 말뚝아 (다 같이) 말 뚝 이 : 아 예 예 예 ----- 아 저 지에미 붙을 양반인지, 좆반인지, 허리꺽어 절 반인지, 개다리소반인지 꾸레미전에 백반인지 말뚝아 꼴뚝아 밭가운데 최뚝아 10 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
오뉴월에 밀뚝아 잔대뚝에 메뚝아 아 그 부러진다리 절뚝아 호도엿장사 오는데 할에비 찾듯 왜 이리 찻소 양 반 : 양반을 모셨으면 새처를 정할 일이지 어디를 이렇게 끌고만 다니느냐 말 뚝 이 : 아 새처방이요 다 정해났습니다요. 아 그저 터를 이 마--------- 만 큼 잡아놓고, 참나무 울장을 뚜벅 뚜벅 꽂아 놓고 깃을 푸근푸근히 두고 문을 저 하늘로 낸 새처방을 다 잡아났습니다요. 양 반 : 야 이놈아 그럼 우리가 돼지 새끼란 말이냐! (Pongsan, www.keid.de, Ep: 6)
Terjemahan: Bangsawan : Hei kamu pelayan! Hei kamu pelayan! Kamu pelayan Pelayan bangsawan : Iya…iya…. Kamu yang bangsawan yang berzinah, chotban, cholban (hormat membungkukkan badan setengah), soban (meja kecil dengan kaki anjing), paekban (nasi dengan sayuran). Kamu memanggil aku dengan sebutan maltugga (pelayan), kkoltuga (gurita), chaettuga (selokan), milttuga (pertengahan Juni), mettuga (belalang), cholttugga (dungu)…Kenapa kamu memanggil saya begitu sering seperti seorang anak yang memanggil kakeknya ketika ada penjual keliling? Bangsawan : Kamu seharusnya menunggu kami berkumpul. Dari mana saja kamu sampai kembali seperti ini? Pelayan bangsawan : Tidak, tuanku. Semua telah diselesaikan. Itu cukup besar buat kamu, pohon di sana sini untuk membuat pagar, banyak jerami, dan pintu masuk surga sudah terbuka tuanku. Bangsawan : Hei, kamu (kata makian) Kamu kira kita anak babi!
Kutipan dialog di atas adalah sindiran yang diucapkan oleh pelayan kepada majikannya yang merupakan seorang bangsawan. Akan tetapi, bangsawan tersebut tidak menghiraukannya. Meskipun sang pelayan terus mengutarakan kata-kata yang mengandung satir. Pada masa itu, bangsawan memang memiliki status dan dikelilingi kehidupan yang mewah. Mereka selalu memamerkan apa yang telah dipelajarinya kepada masyarakat. Hal yang dibicarakannya bukan untuk berbagi pengetahuan yang dimiliki saja, melainkan hanya bertujuan untuk menyombongkan diri karena mereka tidak pernah sadar akan perbuatannya maupun hanya sekedar mendengarkan perkataan yang diucapkan orang lain. Lihat juga kutipan berikut ini: 양 반 : 어라! 쉬~이런 제기하고 기겁을 할 녀석들이 근일에 운풍(풍운)이 자악하니 봄날이 따뜻해지니까 낮귀신 난 듯이 모두 모여 말 잡아먹고 장고 매고, 소 잡아먹고 북 매고, 개잡아먹고 소고 매고 안성 마침 깽상 치고, 홍문연 잔치처럼 떡치고, 술 빛고, 양반의 청룡 띠에서 그저 밤낮없이 둥둥캥캥~ 11 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
(Ogwangdae, http://www.gsokwangdae.com/home4-15.php, Ep.4)
Terjemahan: Bangsawan : Ehem! Huh! Kamu adalah orang yang sangat dikenal dan mengherankan, akhirakhir ini karena musim semi udara menjadi hangat, bersama para hantu berkumpul, makan dan bermain bersama, menangkap dan makan sapi lalu dijadikan pukulan drum, menangkap dan makan anjing lalu memainkan gong dari Ansong, menikmati perjamuan dari Hongmunyon dengan kue beras dan anggur. Bangsawan bermain sepanjang hari tiada henti.
Berdasarkan kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa kerjaan para bangsawan saat itu lebih banyak bersenang-senang. Para bangsawan berkumpul, makan, dan melakukan hal yang mereka sukai bersama. Terlihat jelas kemakmuran bangsawan pada periode Joseon ini. Kedudukan mereka yang lebih tinggi ini membuat mereka sering meremehkan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah. Mereka selalu memanggil pelayannya dengan sebutansebutan yang tidak pantas. Hal ini tentu membuat masyarakat merasa kesal dan jengkel terhadap kelakuan para bangsawan. Kekesalan yang mereka rasakan tidak dapat terlampiaskan kepada para bangsawan itu sehingga mereka mengeluarkan unek-uneknya melalui drama tari topeng ini. Mereka berani membuat drama tari topeng ini karena merupakan pertunjukan yang hanya disaksikan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Kritik sosial terhadap keangkuhan kaum bangsawan ini juga menjadi masalah bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Kejadiannya hampir serupa dengan kritik sosial terhadap para rahib yang ingkar, bahwa ada rasa kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada para rahib dan bangsawan ini. Para bangsawan saat itu mendominasi kekuasaan di pemerintahan. Oleh karena itu, masyarakat menaruh harapan kepada mereka agar dapat membuat kehidupan pada masa itu lebih baik dengan menyejahterakan mereka, namun masyarakat justru melihat perilaku yang negatif dari kaum bangsawan. Mereka hanya melakukan hal yang memuaskan diri mereka sendiri, menyombongkan diri, dan tidak memikirkan kesejahteraan masyarakat. Kemarahan masyarakat tersebut disampaikan melalui pertunjukan drama tari topeng ini yang sekaligus menjadi hiburan bagi mereka. 4.1.3 Hubungan Cinta Segitiga Antara Suami, Istri, dan Wanita Simpanan Kehidupan rumah tangga di masa Koryeo banyak digambarkan dalam drama tari topeng. Salah satunya adalah permasalahan yang terjadi antara suami yang merupakan seorang bangsawan, istri tua, dan wanita simpanannya. Orang ketiga selalu menjadi penyebab dari keretakan rumah tangga. Orang ketiga yang ada di dalam cerita ini adalah kisaeng (wanita 12 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
penghibur yang ada di masa Koryeo dan Joseon) dan penjual sepatu. Wanita penghibur ini memang dilegalkan bertugas untuk menghibur raja dan para bangsawan, sedangkan penjual sepatu tidak terlalu dimunculkan terlalu menonjol hanya sebagai pemain pendukung. Akan tetapi, yang menjadi masalah utama bukan mereka, melainkan suaminya. Sang suami sebagai laki-laki yang juga memiliki status sebagai bangsawan menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapatkan kepuasan bersama wanita penghibur. Meskipun, mereka memang mendapatkan fasilitas wanita penghibur dari kerajaan tetapi semestinya mereka ingat bahwa mereka telah menikah memiliki istri dan anak. 영 감 전해라. 옹생원
: 내가 서울 갔다가 오다가 서울서 작은 엄마 서울 애기 데꼬 왔다고
: 마당쇠 어매, 잘됐다 잘됐다.
(중략) 할 미 : 으! 니가 서울 서 왔나? 그래! 나만은 늙은 영감 따라 사느라고 욕봤다. 여기 따스레한데 앉으라. (Ogwangdae, http://www.gsokwangdae.com/home4-15.php, Ep.6)
Terjemahan: Suami : Beritahukanlah, saya datang dari Seoul dan membawa selir Penjual sepatu : Ibu 마당쇠 (Madangsoe, anak laki-laki) sempurna…sempurna… Istri tua : Ehm! Kamu datang dari Seoul? Baiklah! Saya rasa kamu telah sangat sulit hidup bersama laki-laki berumur seperti suami saya. Duduklah di tempat yang hangat.
Dialog di atas menceritakan istri yang disia-siakan oleh suaminya yang tidak kembali juga dari Seoul, ketika suaminya kembali justru menambah beban penderitaan sang istri karena sang suami membawa selirnya. Sampai sang istri heran karena wanita itu mau bersama suaminya yang usianya sudah sangat tua. Di dalam cerita Kasan Ogwangdae ini pada akhirnya sang suami yang meninggal. Ia dianggap mendapat hukuman dari dewa vas bunga karena memecahkannya. Sang istri kemudian minta tolong kepada penjual sepatu untuk dicarikan shaman (dukun). Sang istri juga mencari wanita penghibur itu, namun wanita telah kabur setelah mengetahui peristiwa kematian itu. Pada akhirnya, dukun membaca-bacakan mantera dan memercikan air di sekeliling rumah juga di hadapan jenazah. Ritual Shamanisme dilaksanakan agar roh orang yang meninggal tidak diganggu oleh roh-roh yang jahat. Cerita dalam dari tari topeng Kasan Ogwangdae ini dikatakan memiliki keunikan dan lebih asli 13 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
daripada yang lain karena di dalam cerita ini yang meninggal adalah tokoh suaminya bukan sang istri seperti dalam cerita yang lain. Selain itu juga dikarenakan tarian dan ritual yang ada dalam cerita berakar dari kepercayaan tradisional masyarakatnya yaitu Shamanisme. Lihat juga dialog di bawah ini: 영 감 : 어허 이년이 또 무슨 일을 저질렀구나 어서 대봐 미 얄 : 하도 가난해서 저 산으로 나무하러 갔다 그만 호랑이에게 물려갔다오 … 영 감 : 허허 이년 이제 자식새끼도 죽이고 너하고 살 재미가 조금도 없지 않느냐 그러니 당장 헤어지고 말자 미 얄 : 헤어질려면 헤어짐세 이놈의 첨지 저런 고운년을 얻 어두었으니 나를 미워하지 이별하면 같이 이별하고 미워하면 같이 미워하지 야 요년아 너는 나하고 무슨 웬수가 졌길래 저놈의 영감을 환장을 시켰느냐 네년 죽이고 나죽으면 그만이다 덜 머 리 집 : 아이고 아이고 사람 살리유 (Pongsan, www.keid.de, Ep: 7)
Terjemahan: Suami : Oh iya, apa yang terjadi tahun terakhir ini? Cepat katakan Istri tua : Karena hidup kami yang sangat miskin, aku memintanya ke gunung untuk mencari kayu bakar. Namun, ia bertemu dengan harimau yang kelaparan dan dibawanya… Suami : Haha…Kamu membunuh anak kita dan kini hidup bersamamu sedikit pun sudah tidak menarik lagi, kita berpisah saja. Istri tua : Berpisah…kita berpisah setelah sekian lama dapat bersama kembali. Jika kamu ingin berpisah karena membenci saya mari kita berpisah dan jika kamu membenci mari kita saling membenci. Ya kamu wanita (kata makian)! Selir : Tolong…jangan biarkan saya mati
Berbeda dengan kutipan dialog yang sebelumnya, dalam cerita “Pongsan” ini, suami dan istri tua bertemu secara tidak sengaja dan pada akhirnya yang meninggal adalah sang istri. Sementara sang suami hidup kembali dan memukul istrinya sampai mati, meskipun matanya telah dimakan oleh burung gagak sehingga menjadi buta. Akan tetapi, permasalahan tetap pada sang suami yang membawa selir dari tempat ia bekerja. Sang suami yang awalnya bersikap baik kepada istri tua seperti hanya sebuah basa-basi saja dan seterusnya ia mencaricari alasan untuk tidak bersatu kembali dengan istrinya. Kematian anak mereka menjadi alasannya agar dia tidak punya alasan untuk kembali dengan istrinya. Padahal anaknya meninggal karena demi menyelamatkan kelangsungan hidup dirinya dan ibunya karena ayahnya sudah tidak lagi menafkahi keluarga, namun sang suami tidak mau mendengarkan 14 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
alasan itu. Ia sangat membenci istrinya. Pada akhirnya pun dilakukan ritual Shamanisme untuk mengusir roh jahat dari jenazah istrinya.
4.2 Bentuk Topeng dalam Drama Tari Topeng Ogwangdae dan Pongsan Di dalam sebuah pertunjukan, biasanya bangsawan digambarkan sebagai sosok yang berkarisma, bijaksana, dan berwibawa. Akan tetapi, di dalam drama tari topeng ini justru sebaliknya. Bangsawan digambarkan sebagai sosok yang memiliki wajah seram dan menakutkan. Terutama gigi-giginya yang besar pada topeng Kasan Ogwangdae, terlihat seperti ingin memangsa siapa pun yang ada di hadapannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa Joseon dan Koryeo bangsawan adalah sosok yang menyeramkan dan tidak disukai masyarakat. Seperti tampak pada gambar topeng berikut:
Topeng Bangsawan Kasan Ogwangdae, Pongsan, dan Tongkyeong Ogwangdae (www.korea.net)
Pada topeng yang digunakan dalam drama tari topeng Pongsan ini berbeda dengan topeng-topeng bangsawan yang digunakan di daerah lainnya. Topeng di Pongsan tidak digambarkan dengan begitu buruk, seperti bermulut miring dan terbuka (tersenyum sinis), seperti topeng bangsawan yang digunakan di Tongkyeong Ogwangdae (paling kanan). Mereka hanya menampilkan wajah bangsawan yang muram dan kehidupan mewah para bangsawan juga terlihat melalui aksesoris yang mereka gunakan saat pertunjukan. Rahib adalah seorang petapa, di bawah ini ada gambar topeng yang digunakan untuk pemeran rahib tertinggi. Hal tersebut terlihat jelas dari tanda yang ada di dahinya. Tanda ini memiliki makna tersendiri sebagai tanda ketulusan atas keinginan mencapai pencerahan. Tanda ini dibuat dengan menggunakan dupa yang menyala lalu ditindik di atas kepala seorang rahib. Oleh karena itu, tidak sembarang orang dapat melakukannya
15 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
Topeng Rahib Tertinggi (www.korea.net)
. Topeng ini terlihat digambarkan dengan tidak buruk dan tidak juga baik. Seharusnya seorang rahib tertinggi, topengnya digambarkan dengan senyum penuh ketulusan dan wajahnya memancarkan cahaya karena seorang rahib harusnya suci karena kehidupannya hanya diisi untuk berdoa dan tidak ikut campur dalam urusan duniawi. Akan tetapi, karena rahib-rahib pada zaman ini berbuat kesalahan maka dibuatlah topeng seperti gambar tersebut. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa bangsawan pada masa itu lebih tidak disukai masyarakat dibandingkan rahib karena topeng bangsawan lebih ditampilkan secara menakutkan. Selain rahib dan bangsawan, terdapat juga gambar topeng pelayan bangsawan seperti gambar di bawah ini:
Topeng Pelayan Bangsawan Kasan Ogwangdae dan Pongsan (www.korea.net)
Jika dibandingkan dengan topeng bangsawan, topeng pelayan bangsawan di dalam Kasan Ogwangdae seperti pada gambar di atas, tidak kalah menyeramkannya karena samasama digambarkan memiliki kepala dan gigi yang besar. Hal ini berarti tingkah laku kedua tokoh tersebut memiliki citra buruk di mata masyarakat, sedangkan topeng pelayan bangsawan di dalam Pongsan juga digambarkan menakutkan karena memiliki mata yang besar. Meskipun mereka pelayan bangsawan, mereka tidak takut dengan bangsawan karena mereka sering menyindir perilaku-perilaku kaum bangsawan. Jika ketiga gambar di atas merupakan topeng yang digunakan para pemain pria, berikut ini adalah gambar dari topeng para pemain wanita: 16 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
Topeng Istri Tua Kasan Ogwangdae dan Pongsan (www.blog.daum.net & www.paripae.co.kr) Kedua gambar topeng istri tua tersebut memiliki kesan berbeda bagi yang melihatnya. Topeng Kasan Ogwangdae memiliki senyum menyeringai di wajahnya sedangkan pada topeng Pongsan memperlihatkan raut wajah yang menyedihkan. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan cerita yang ada di Kasan Ogwangdae dan Pongsan. Di drama Kasan Ogwangdae, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tokoh yang meninggal adalah sang suami, sebaliknya di drama Pongsan tokoh yang meninggal adalah sang istri tua. Topeng dengan wajah senyum istri tua pada Kasan Ogwangdae ini memperlihatkan bahwa ia tersenyum menyeringai melihat suaminya yang telah menyakiti perasaannya, pada akhirnya meninggal dengan tragis seperti semua itu adalah balasan perbuatan buruk atas semua perlakuan suaminya kepada dirinya selama ini. Berbeda halnya dengan peran istri tua di drama Pongsan, sang istri yang selama ini menerima penderitaan akibat suami yang tidak bertanggung jawab, harus meninggal juga pada akhirnya. Sementara itu, sang suami tetap hidup. Selain istri tua, sosok seorang wanita simpanan juga menjadi tokoh utama dalam drama tari topeng Korea, yang diwujudkan seperti dalam gambar berikut:
Topeng Wanita Simpanan Pongsan (www.paripae.co.kr)
Wanita simpanan ini meskipun ia digambarkan sebagai sosok yang memiliki citra buruk, tetapi topengnya tetap digambarkan sebagai wanita yang cantik seperti gisaeng (wanita penghibur) Korea. Hal ini mungkin disebabkan karena menghibur para anggota kerajaan adalah pekerjaan mereka sehingga sulit untuk dihindari. Apabila mereka tidak bekerja mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda dengan kaum bangsawan, mereka 17 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
memang diberi hak untuk bersama dengan wanita penghibur, tetapi mereka dapat menghindari hal tersebut jika memilih setia dengan pasangan. Ketiga kritik sosial tersebut merupakan tema-tema yang paling terlihat jelas dalam setiap drama tari topeng Korea. Drama tari topeng ini merupakan drama yang berasal dari sastra lisan. Tidak diketahui dengan pasti siapa yang membuat dan menulis skenario drama ini pertama kali hanya dipertunjukan secara turun temurun. Kritik-kritik sosial disampaikan melalui dialog-dialog satir yang diucapkan oleh para pemainnya, seperti pada kutipan-kutipan dialog sebelumnya. Cerita drama tari topeng ini tentu memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat yang hidup di masa dinasti Koryeo dan Joseon karena mereka sampai memasukkan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada masa itu menjadi sebuah seni. Mereka membuat permasalahan-permasalahan yang terjadi saat itu, bukanlah tanpa suatu tujuan. Tujuan utamanya adalah untuk membuktikan kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa Koryeo dan Joseon terutama di kelas atas, kepada generasi yang akan datang dengan harapan tidak akan terjadi kesalahan-kesalahan yang sama. Selain itu juga, mereka tahu bahwa pertunjukan drama tari topeng hanya disaksikan oleh mereka. Oleh karena itu, mereka berani menuangkan segala perasaan yang terpendam ke dalam cerita drama tari topeng. Hal itu membuat perasaan lega dan menjadikan hiburan tersendiri bagi mereka, karena pada masa itu sulit untuk menemukan hiburan yang murah dan mudah bagi kelas menengah ke bawah. Jadilah, drama tari topeng tradisional Korea sebagai sebuah hiburan di antara kesusahan hati dan fisik mereka.
5. Kesimpulan
Drama tari topeng Korea merupakan salah satu warisan kebudayaan tradisional yang masih bertahan sampai saat ini. Selain ditujukan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, drama tari topeng ini dibuat dengan tujuan untuk membuktikan kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lalu agar tidak terjadi kesalahan yang sama di masa mendatang. Oleh karena itu, tema-tema yang menonjol dalam ceritanya adalah kritik sosial yang di antaranya ada rahib-rahib yang ingkar, keangkuhan kaum bangsawan, dan hubungan cinta segitiga antara suami, istri tua, dan wanita simpanan sehingga apabila kita 18 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
melihat pertunjukan drama tari topeng ini seakan kita hidup di masa Koryeo dan Joseon, karena cerita ini diambil dari kehidupan nyata sehari-hari pada masa itu. Kritik-kritik sosial dalam drama tari topeng ini disampaikan melalui dialog-dialog satir yang diucapkan oleh para pemainnya. Dialog-dialog tersebut tentu lebih memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat yang hidup pada masa itu. Akan terdapat perasaan yang sedikit berbeda apabila yang menontonnya generasi muda zaman sekarang karena tidak mengalami kejadian tersebut secara langsung. Drama tari topeng ini terbagi berdasarkan wilayahnya. Meskipun setiap daerah memiliki versi drama tari topeng yang berbeda, tetap memiliki tema kritik sosial yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah tokoh, hewan, alur, dan sedikit versi cerita yang berbeda seperti akhir cerita dari Kasan Ogwangdae dan Pongsan.
Daftar Referensi
Sumber buku:
권오경, 류종렬, & 박경수. (2013). 외국인을 위한 한국문학의 이해. 부산외국어대학교 출판부. (Kwon Jonghyeon, Ryoo Jongryeol, & Park Kyeongsu. 2013. Weigukinel Wihan
Hangukmunhakeui Ihae. Busan: Weiguko Daehakkyo Chulphanbu). 한국 문학 평론가 협회. (2006). 문학 비평 용어 사전 편집: 홍관호 등. 서울: 새미. (Hanguk
Munhak Phyeongronga Hyeobhwe. (2006). Munhak Biphyeong Yongo Sajon edited by Hong Kwan-ho et al. Seoul: Saemi) Budianta, Melani et al. (2006). Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi Magelang. Jakarta. Damono, Sapardi Djoko. (1983). Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia. Damono, Sapardi Djoko. (2002). Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. E. Kosasih. (2008). Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Nobel Edumedia. Jeon Kyungwook. (2008). Traditional Performing Arts of Korea. Seoul: Korea Foundation. Kementrian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea. (2008). Fakta-fakta tentang Korea. Seoul: Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea. Lee, Duhyeon dkk. (1997). Korean Performing Arts: Drama, Dance, and Music Theatre. Seoul: Jipmoondang Publishing Company.
19 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015
Lee, Kwangyu. (2003). Korean Traditional Culture edited by Joseph. P Linskey. Seoul: Jipmoondang Publishing Company. Marahimin, Ismail. (2008). Menulis Secara Populer. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Raco, Josef. (2010). Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo. Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sumardjo, Jakob, & Saini K. M. (1991). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wellek, Rene, & Austin Warren. (1989). Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Sumber Jurnal: 김지영. (2009).“문학 개념의 역사.” (Kim Jiyong. 2009. Munhak Gaenyeomeui Yoksa).
http://www.korean.go.kr/nkview/nklife/2012_4/22_0407.pdf. (11 Okt. 2014) Lee, Duhyeon, Lee Meewon. (1985). The Mask-Dance Play of Kasan Village (Kasan ogwangdae), Vol. 2, No. 2. http://www.jstor.org/stable/1124070. (09 Nov 2014).
Sumber Tesis: Park, Teayong. (2011). Korean Mask Dance and Aristotle’s Poetics. Las Vegas: University of Nevada Libraries. Digitalsscholarship.unlv.edu (11 Okt 2014)
Sumber Internet: 퐁산 탈춤 대본 (Pongsan Talchum Daebon). http://www.keid.de . (20 Sept 2014) 오광대 탈춤 대본 (Ogwangdae Talchum Daebon).
http://www.gsokwangdae.com/home4-
15.php. (10 Nov 2014) Korea
Insights.
(2002).
Madangguk
Mask
Dance
Drama.
file:///F/home/kukakinformation/Korea Insights?madangkuk/mad_b.htm. (5 Nov 2014). Talchum: Evoking and Intrinsic Sense of Joy. www.korea.net. (5 Nov 2014)
20 Universitas Indonesia Kritik sosial…, Ayu Permatasari, FIB UI, 2015