UNIVERSITAS INDONESIA
DEMOKRATISASI PENYIARAN DALAM SISTEM SIARAN JARINGAN
MAKALAH NON-SEMINAR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi
BENAZIR SEKAR ASIH 1106004273
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI INDUSTRI KREATIF PENYIARAN DEPOK 2014
Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Demokratisasi Penyiaran dalam Sistem Siaran Jaringan Benazir Sekar Asih / 1106004273 Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Demokratisasi penyiaran yang diimplementasikan dengan Sistem Siaran Jaringan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh stasiun televisi swasta nasional di Indonesia. Di lain sisi, stasiun televisi swasta bersifat komersial, yang didasarkan pada orientasi keuntungan semata. Dengan hal tersebut, banyak konten televisi yang disiarkan stasiun televisi tidak sesuai pada ranah publik dan lebih mementingkan kepentingan dari stasiun televisi tersebut. Studi ini bertujuan untuk melihat implementasi Sistem Siaran Jaringan di Indonesia yang dijalankan oleh stasiun televisi swasta nasional. Hal tersebut berkaitan dengan konten televisi yang disajikan ternyata belum memenuhi prinsip demokratisasi penyiaran. Dalam tulisan ini disimpulkan bahwa sebagian besar stasiun televisi swasta nasional mengesampingkan konsep ranah publik dalam sistem penyiaran televisi. Penulis berharap studi ini dapat menjadi pijakan bagi pihak stasiun televisi untuk dapat memberikan konten sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia. Kata kunci : demokratisasi penyiaran, Sistem Siaran Jaringan, konten televisi, stasiun televisi
Abstract Democratization of broadcasting implemented by Network Broadcast System which is an obligation that must be carried out by national private television station in Indonesia. On the other hand, private, national private television station is based on a profit orientation. Therefore, many of television content broadcast by television stations are not appropriate in the public sphere. A lot of them are more concerned with the interests of the television station. This study aims to look at the implementation of Broadcast Systems Network in Indonesia, which is conducted by national private television stations. This is related to television content which they presented has not fulfill the democratization of broadcasting principles. In this article concluded that most of the national private television stations put aside the concept of the public sphere in the television broadcasting system. Author hopes this article could be the foundation for the television station to deliver good content for Indonesian people. Keywords: democratization of broadcasting, Broadcast Systems Network, television content, television stations
1 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Menurut Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002, setiap stasiun televisi swasta nasional diwajibkan untuk menerapkan sistem desentralisasi dalam mekanisme penyiarannya. Wujud dari sistem desentralisasi dalam regulasi penyiaran ialah penggunaan Sistem Siaran Jaringan. Pengertian dari Sistem Siaran Jaringan (SSJ) adalah sistem penyiaran yang memenuhi asas kerjasama antara Stasiun Televisi Swasta Nasional yang menjadi Induk Jaringan, sebagai koordinator penyiaran, dengan beberapa stasiun televisi lainnya yang berfungsi sebagai anggota jaringan (Puslitbang Aptel SKDI Kemkominfo, 2009). Semenjak adanya penerapan Sistem Siaran Jaringan yang juga sebagai amanat dari Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002, maka sudah menjadi kewajiban bagi stasiun televisi swasta nasional untuk menjalankannya. Namun, perlu diketahui juga bahwa Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002 yang diusulkan oleh DPR dan sangat berdasar pada demokratisasi tidak ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada waktu tersebut , yaitu Megawati Soekarnoputri (Masduki, 2007). Hal tersebut membuat stasiun-stasiun televisi swasta nasional menjadi ‘setengah-setengah’ dalam mengikuti kebijakan Sistem Siaran Jaringan. Fakta yang terjadi juga menunjukkan bahwa Sistem Siaran Jaringan memang tidak berjalan dengan lancar sampai dengan saat ini. Masih banyak stasiun televisi swasta nasional yang tetap menggunakan sistem sentralisasi yang terpusat dari Jakarta. Dengan hal tersebut menimbulkan sistem bias yang memang proses penyiaran dari pihak stasiun televisi swasta nasional memang sebenarnya masih sentralistik. Pada dasarnya, jika Sistem Siaran Jaringan dilaksanakan sesuai dengan prinsip demokratisasi, maka akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Tujuan dari pelaksanaan Sistem Siaran Jaringan sendiri ialah negara ingin menjamin adanya pluralisme media, yakni terdiri dari keragaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman isi (diversity of content). Keragaman kepemilikan (diversity of ownership) menjadi hal yang esensial karena kepemilikan media akan mempengaruhi konten media, dan konten media selalu
merefleksikan
kepentingan
mereka
yang
membiayainya
(McQuail,
2005).
Keberagaman pemilik bertujuan untuk meminimalisir adanya bias dengan kepentingan pemilik media. Apabila semakin beragam kepemilikan media, maka akan mendorong semakin beragam pula isi media (diversity of content). Dengan semakin beragamnya isi media tentunya akan semakin dapat memenuhi kebutuhan dari setiap masyarakat Indonesia
2 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
sesuai dengan preferensinya. Hal ini tentunya akan menjamin keadilan bagi tiap masyarakat Indonesia yang ingin menikmati siaran televisi. Media sebagai sarana komunikasi perlu menjadi ruang yang setara bagi seluruh pihak agar dapat mengakses informasi dan memberikan pendapatnya (Habermas dalam Jones, 2009). Oleh karena itu, pandangan ini dapat menjadi dasar dari konsep keberagaman kepemilikan dan keberagaman isi yang harus dijaga dalam demokratisasi penyiaran. Dengan bertolak ukur pada peran media sebagai ruang publik, maka konten yang disajikan harus didasarkan pada kebutuhan untuk melayani kepentingan publik. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam latar belakang yang berbeda mulai dari suku, agama, ras, bahasa, budaya. Sehingga, setiap masyarakat memiliki kebutuhan yang berbeda-beda termasuk dalam kebutuhan memperoleh informasi (Armando, 2011). Seperti informasi yang dianggap penting oleh masyarakat di Pulau Jawa, tentunya berbeda dengan penduduk di daerah lain. Jakarta yang sifatnya metropolitan banyak membahas informasi mudik menjelang perayaan Lebaran. Tentunya hal ini menjadi hal yang tidak begitu signifikan untuk diperoleh oleh masyarakat di daerah Papua. Hal ini disebabkan oleh sistem penyiaran kita yang cenderung masih bersifat sentralistis walaupun sudah diterapkan kebijakan Sistem Siaran Jaringan di Indonesia . Sebagian besar stasiun televisi swasta nasional tidak memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat di sebagian daerah di Indonesia. Beragam berita dari daerah luar Jakarta mengenai politik, ekonomi, dan budaya lokal yang diperoleh dari kontributor setempat harus berkompetisi dengan berbagai berita yang umumnya berasal dari Jakarta. Selain itu, budaya metropolitan dapat dengan menginternalisasi kehidupan masyarakat daerah. Gaya hidup modernisasi maupun westernisasi yang berlatarbelakang kota metropolitan menjadikan budaya lokal menjadi kian tergerus secara berangsur-angsur. Dengan adanya hal tersebut, maka sistem penyiaran yang terpusat dari Jakarta dapat dikatakan bertolak belakang dengan fungsi media sebagai ruang publik. Data penelitian dari Remotivi bersama Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung dengan mengamati pemberitaan di 10 stasiun televisi nasional Indonesia, menunjukkan bahwa 48% daerah asal berita berasal dari wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), 38% berasal dari Non-Jabodetabek dengan alokasi daerah 7,8% Jawa Timur, 6,2% Jawa Barat, 3,8% Sulawesi Selatan, 3,6% Jawa Tengah dan 3 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
1,8% Bali. Kemudian 7% berasal dari dunia Internasional serta 7% merupakan berita kompilasi (Heychael dan Kunto, 2014). Interpretasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat di Indonesia mengalami ketimpangan dalam memperoleh informasi. Hal tersebut dikarenakan stasiun televisi nasional masih melakukan sentralisasi informasi yang terpusat pada sebagian besar di wilayah Jawa, khususnya wilayah Jabodetabek. Padahal, stasiun televisi swasta nasional diharuskan melakukan Sistem Siaran Jaringan yang desentralisasi. Ini menimbulkan berbagai macam akibat seperti, banyak daerah di luar Pulau Jawa seperti di Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua tidak mendapatkan informasi sesuai kebutuhan yang mencukupi. Masalah penyiaran yang masih sentralistik tersebut juga tidak jauh dari tujuan berdirinya stasiun televisi swasta nasional, yakni untuk memperoleh keuntungan yang besar. Orientasi yang dimiliki stasiun televisi swasta nasional tersebut membuat mereka menayangkan konten yang memang laku di pasaran agar memperoleh penonton sebanyak mungkin. Mereka melakukannya tanpa mementingkan dampak negatiif yang akan terjadi. Konten yang laku di pasaran tersebut juga umumnya berasal dari siaran terpusat dari Jakarta. Padahal, jika ditelaah secara lebih mendalam, masih banyak masyarakat daerah yang membutuhkan informasi mengenai hal-hal sekitarnya. Dengan masalah yang ada tersebut membuat Sistem Siaran Jaringan mengesampingkan nilai-nilai demokratisasi yang dijunjung dalam Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002.
Tinjauan Literatur Sistem Siaran Jaringan Undang-Undang Penyiaran lahir pada tahun 2002 dengan memuat pasal-pasal yang mendorong terjadinya demokratisasi penyiaran. Salah satu bagian dari demokratisasi penyiaran tersebut ialah tentang televisi berjaringan yang berarti sistem penyiaran televisi tidak lagi berpusat di Jakarta (Armando, 2009). Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 mengusung gagasan desentralisasi penyiaran televisi, yakni tidak lagi dikenal adanya stasiun televisi yang bersiaran secara nasional sehingga mampu menjangkau penonton di seluruh Indonesia secara langsung dari Jakarta. Dalam Sistem Siaran Jaringan ini, tidak ada lagi stasiun televisi nasional melainkan sistem jaringan televisi secara nasional. 4 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Berdasarkan Undang-Undang Penyiaran No.32 Tahun 2002, stasiun-stasiun televisi lokal di luar Jakarta dapat berdiri, baik sebagai stasiun independen atau menjadi bagian dari jaringan stasiun televisi nasional. Pemodal dari Jakarta tetap dapat mendirikan stasiun-stasiun televisi lokal di seluruh Indonesia, namun mereka tidak otomatis memperoleh izin penyiaran di sebuah karena harus memenuhi beberapa prosedur terbuka terlebih dahulu. Di daerah di luar Jakarta, stasiun televisi besar dapat saja mendirikan sendiri stasiun televisi lokal atau memilih mencari mitra stasiun televisi lokal sebagai bagian dari jaringan mereka (Armando, 2011). Head dan Sterling (1987:20) mendefinisikan Sistem Siaran Jaringan atau Network Broadcasting System sebagai, “...two or more stations interconnected by some means of relay (wire, cable, terrestrial microwaves, satellites)”. Dari penjelasan tersebut, secara universal Head dan Sterling menekankan adanya hubungan antara dua atau lebih penyedia konten yang saling memiliki koneksi satu sama lain dan disalurkan melalui medium seperti kawat, kabel, terrestrial, atau satelit. Kemudian, Hiebert, Ungurait, dan Bohn (1974) mengatakan bahwa Sistem Siaran Jaringan ialah pengorganisasian terhadap program, pemasaran, teknis, dan administrasi dari beberapa stasiun oleh sebuah stasiun jaringan. Sedangkan menurut Bambang Subiantoro, PLT Dirjen SKDI Menkominfo (2008) Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) adalah tata kerja yang mengatur relai siaran secara tetap antar lembaga penyiaran, yang terdiri atas induk stasiun jaringan, dan anggota stasiun jaringan.
Sistem Siaran Jaringan yang diterapkan di Indonesia sendiri sejak tahun 2002 telah menuai beberapa hal. Kebijakan Sistem Siaran Jaringan pada dasarnya lahir dari UndangUndang Penyiaran Tahun 2002. Kemudian, setelah Presiden Megawati Soekarno Putri naik sebagai Presiden Republik Indonesia, UU Penyiaran Tahun 2002 yang diusulkan oleh DPR tidak ditandatangani olehnya (Masduki, 2007). Dengan hal tersebut menyebabkan stasiunstasiun televisi swasta nasional menjadi tidak sepenuhnya mengikuti peraturan Sistem Siaran Jaringan. Pemerintah melihat pihak Stasiun Televisi Swasta Nasional dianggap belum mampu menyelenggarakan Sistem Siaran Jaringan, sehingga pada Desember 2007, kebijakan tersebut ditunda (Subiakto, 2012). Hal itu ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip fundamental dengan alasan yang partikular, antara lain besarnya investasi pembangunan stasiun penyiaran lokal, keterbatasan potensi iklan, keterbatasan teknologi, serta kerumitan dalam memecah aset perusahaan. Menkominfo, Tifatul Sembiring kemudian memberikan pernyataan bahwa 5 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
pelaksanaan Sistem Siaran Jaringan harus sudah dilakukan pada 28 Desember 2009 atau mulai
Januari
2010.
Hal
tersebut
sesuai
dengan
Peraturan
Menkominfo
No.32/Per/M.Kominfo/12/2007. Namun, melalui Siaran Pers No. 201/PIH/KOMINFO/10/2009, pemerintah kembali menunda implementasi Sistem Siaran Jaringan. Penundaan itu dilakukan hingga tenggat waktu yang tidak ditentukan. Hal tersebut seakan memberi pilihan bagi Stasiun Televisi Swasta Nasional di Jakarta untuk mendirikan stasiun jaringan di daerah atau tidak (Azhari, 2011). Untuk menindaklanjuti Kebijakan Sistem Siaran Jaringan yang terbengkalai selama beberapa tahun, pemerintah akhirnya menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) 2013 di Bali. Salah satu isi dari rapat tersebut ialah merekomendasikan KPI agar memberikan waktu pada lembaga penyiaran yang melakukan siaran secara berjaringan. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi perintah regulasi atas konten lokal sebesar 10% selama setahun, hingga 12 April 2014. Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dalam Public Domain Menurut UU No. 32 Tahun 2002 pasal 16, Lembaga Penyiaran Swasta adalah “lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi”. Pada dasarnya, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) bersifat komersial dan menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan. Namun, sebagai institusi yang mempergunakan ranah publik, LPS harus terikat oleh ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran (Yusuf, 2011). Lembaga penyiaran Swasta (LPS) di Indonesia adalah media yang menggunakan public domain. Pada sebuah negara yang menganut paham demokrasi, jika suatu media menggunakan public domain, maka regulasinya sangat ketat. Hal ini karena, ketika seseorang atau suatu badan telah diberi izin mengelola frekuensi yang sifatnya terbatas, maka sebenarnya ia telah diberi hak monopoli oleh negara untuk menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu (Yusuf, 2011). Secara filosofis, menurut Joseph R. Dominick (2004) ada beberapa alasan mengapa media yang menggunakan public domain memiliki regulasi berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain, yaitu :
6 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
• Pertama, merupakan alasan utama, karena media tersebut menggunakan public domain, yang merupakan barang publik. Oleh karena itu, harus diatur secara ketat. Frekuensi adalah milik publik yang dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, pengaturan tersebut ditujukan untuk kemanfaatan publik yang luas, bukan hanya perorangan atau kelompok. • Kedua, public domain mengandung prinsip scarcity (scarcity theory). Scarcity theory ini menegaskan bahwa frekuensi yang berasal dari spektrum gelombang radio itu adalah ranah publik yang terbatas. Itulah juga sebabnya izin frekuensi untuk penyiaran itu mempunyai masa waktu yang terbatas, dapat 10 atau 15 tahun, meskipun dapat diperpanjang. Dalam pengaturan spektrum frekuensi yang terbatas tersebut dibutuhkan wasit yang adil dan demokratis untuk menjamin tersedia, terdistribusikan dan terawasinya ranah publik tersebut. • Ketiga, sifatnya yang pervasif (pervasive presence theory). Pervasive presence theory
menjelaskan bahwa program siaran media elektronik memasuki ruang pribadi, meluas dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga tanpa diundang. Media ini juga bisa hadir dimana-mana dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. Frekuensi sebagai public domain merupakan domain yang sebenarnya dimiliki secara bersama. Oleh sebab itu, Lembaga Penyiaran Swasta termasuk stasiun televisi harus mengikuti regulasi penyiaran yang telah diatur oleh negara. Karena dalam sejarah pun, dapat dikatakan bahwa media penyiaran merupakan media massa yang paling diatur atau diregulasikan (the most heavily regulated mass medium), dan media penyiaran menjadi media yang paling tersistematisasikan (systemized media) (Albarran, dalam Armando 2011). Diversity of Ownership dan Diversity of Content Pengertian diversity atau diversitas ialah konsep tentang keberagaman atas dasar perbedaan-perbedaan, seperti sosial, politik, gender, etnik, dan ras (Aminah, 2012). Sedangkan konsep ownership atau kepemilikan merupakan seperangkat hak untuk menggunakan, mengelola sebuah benda, termasuk hak untuk memberikan kepada pihak yang lain. Prinsip Diversity of Ownership memiliki orientasi untuk menghindari terjadinya konsentrasi dalam kepemilikan modal dalam lembaga penyiaran. Selain itu, secara bersamaan diarahkan untuk mendorong adanya pelibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia. Oleh karena itu, Diversity of Ownership menjadi prinsip dasar dalam media penyiaran untuk 7 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
menciptakan persaingan yang sehat, mencegah terjadinya monopoli dan oligopoli, serta memilki manfaat ekonomi bagi masyarakat luas. Prinsip demokrasi penyiaran yang kedua ialah, Diversity of Content yang berarti menjamin keberagaman isi siaran. Hal ini sesuai dengan semangat dan eksistensi budaya bangsa Indonesia yang pluralis dan heterogen. Oleh karena itu, beragam kelompok budaya, etnis, agama, ras, dan golongan memilki posisi dan kesempatan yang sama dalam penyiaran. Konsep Diversity of Content dapat diwujudkan dengan memberi keberagaman pada konten atau isi dari siaran televisi. Tayangan yang disajikan oleh lembaga penyiaran tidak hanya acara musik, berita yang menggiring opini tentang politik, sinetron dan komedi. Di sisi lain, harus ada tayangan yang mengaspirasi dan berisi acara atau berita lokal. Hal tersebut dilakukan agar warga di seluruh Indonesia tidak harus menonton acara yang berasal dari pusat (Angrani, 2012). Public Sphere dalam Media Penyiaran Televisi termasuk sebagai salah satu media penyiaran, sehingga merupakan bagian dalam ranah publik atau public sphere yang terkait dengan penggunaan spektrum frekuensi. Konsep public sphere sendiri diperkenalkan oleh Jurgen Habermas (1989), sosiologis Jerman, yang banyak mengurai konstelasi kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan menawarkan suatu bentuk ideal dalam kritik-kritiknya. Public sphere adalah ruang dimana
setiap
memiliki akses
kepentingan yang
terungkap
secara gamblang,
sama untuk berpartisipasi,
dan
setiap
warga masyarakat
media massa sangat
bisa
berkontribusi dalam proses-proses demokrasi di masyarakat melalui ruang yang terbuka luas untuk berlangsungnya dialog-dialog publik (Habermas dalam Croteau dan Hoynes, 2006:22). Dengan demikian, menjadi suatu keharusan bagi lembaga penyiaran swasta untuk menempatkan kepentingan publik dalam setiap aspek penyiaran konten televisi. Konsep public sphere pada dasarnya lebih melihat dan memperlakukan khalayak sebagai warga negara, bukan sekedar konsumen (Croteau dan Hoynes, 2006:22). Oleh sebab itu, media massa seharusnya dapat melayani warga negaranya dan bukannya menjadikan target potensial konsumen dengan dalih mengikuti mekanisme pasar. Habermas juga menyoroti kemampuan
media
penyiaran untuk
menjadi
sebuah
ruang
publik
menjalankan fungsinya (Croteau dan Hoynes, 2006:22).
8 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
yang
dapat
Konteks Ekonomi Media Penyiaran Dalam konteks ekonomi, media merupakan institusi bisnis atau institusi ekonomi yang memproduksi dan menyebarkan informasi, pengetahuan, pendidikan, dan hiburan kepada konsumen yang menjadi target (Albarran, 1996:6). McQuail (2005:99) melihat teori media ekonomi-politik sebagai sebuah pendekatan yang berfokus pada hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dengan muatan (content) ideologi media. Pada dasarnya, keberadaan dan karakteristik media massa tidak pernah lepas dari persoalan modal, persaingan dan profit oriented (McQuail, 2005:203-204). Dilihat secara etimologis, maka Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) memilki sifat komersial dan profit oriented. Sebuah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) merupakan industri media yang memang didirikan untuk memenuhi kebutuhan atas keuntungan ekonomi (komersialisasi). Oleh sebab itu, jika pasar menghendaki siaran yang berorientasi hiburan, pada saat itu pula logika industri media akan mengikuti apa yang sedang menjadi tren yang sedang diminati konsumen dalam pasar. Karena memakai dasar pertimbangan logika pasar, maka ukuran kesuksesan dari pencapaian Lembaga Penyairan Swasta adalah dengan mengukur dari rating yang telah didapat oleh sebuah program (Suryandaru, 2013). Seperti konsep rating yang tidak terlepas dari jumlah penonton, yaitu “penonton naik, maka rating akan naik, dan pengiklan akan naik” (Masil, 2014). Oleh karena itu, rating menjadi patokan bagi stasiun televisi untuk memperoleh pendapatan dari para pengiklan agar tetap dapat mempertahankan eksistensi dalam dunia penyiaran.
Pembahasan Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada pertengahan tahun 2014, ternyata menunjukkan lembaga penyiaran baru mulai menghadirkan konten lokal dengan durasi rata-rata hanya 30 menit di 10 kota yang ada di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari hasil laporan 14 KPI Daerah yang ada di Indonesia. Jika melihat salah satu isi dari Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dijelaskan bahwa setiap stasiun televisi berjaringan harus memuat konten lokal daerah sebesar 10 % dari total seluruh jam siaran. Melihat fakta tersebut, tentu memperlihatkan bahwa Sistem Siaran Jaringan belum sepenuhnya dijalankan dengan baik oleh pihak stasiun televisi swasta nasional di Indonesia. 9 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Hal senada juga dikutip dari media online yang ada di beberapa daerah di Indonesia, seperti salah satunya di daerah Riau. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau menyatakan sebagian besar lembaga penyiaran televisi nasional masih minim dalam menayangkan konten lokal. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPID Provinsi Riau, Alnofrizal kepada bertuahpos.com, Selasa (17/06/2014). Ia mengatakan bahwa sejauh ini hasil pantauan pihaknya memang mendapati sudah ada beberapa televisi berjaringan menyiarkan konten lokal. "Ada yang sudah mulai melaksanakan konten lokal, tapi belum maksimal," tambahnya. Ia juga berkata “Hal tersebut dikarenakan pihak penyelenggara siaran yang menayangkan konten lokal pada jam dua dini hari atau subuh.” Padahal konten lokal seharusnya disiarkan di katu normal, bukan saat dini hari. Melihat hal tersebut, tentu tidak selayaknya jika konten lokal ditayangkan pada waktu dini hari. Hampir sebagian besar orang-orang pada umumnya tidur dan tidak melakukan aktivitas menonton televisi pada jam tersebut. Sehingga, konten lokal yang disiarkan juga tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh penonton di daerah tersebut. Konten lokal yang diletakan pada jam “hantu” tersebut juga berarti seakan-akan hanya untuk mengisi slot waktu yang kosong saja. Diketahui bahwa, pada waktu-waktu tersebut jarang sekali orang-orang yang berada didepan televisi. Jika dianalisis, sebagian stasiun televisi swasta nasional tersebut masih mementingkan konten yang berasal dari Jakarta sebagai siaran utamanya untuk dapat disiarkan kepada penonton. Seakan-akan konten yang sifatnya dari daerah tersebut berfungsi hanya sebagai pelengkap untuk mengisi waktu di jam-jam yang slotnya tidak begitu diminati oleh penonton dirumah. Belum maksimalnya Sistem Siaran Jaringan juga dirasakan di Sulawesi Selatan. Sebanyak 10 televisi swasta yang telah memasukkan usulan untuk membangun jaringan penyiaran di Sulawesi Selatan ternyata belum memenuhi syarat sertifikasi Siaran Sistem Jaringan. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulsel, Azwar Hasan di Makassar kepada antarasulsel.com, mengaku ada empat poin penting dalam aturan berjaringan di Sulsel yang hingga saat ini belum dipenuhi. Ia menyebutkan, keempat poin itu diantaranya belum mampu memenuhi 10 persen siaran yang bermuatan lokal dan kepemilikan saham belum terbagi dengan pengusaha lokal maupun daerah. Kemudian, lanjutnya pemanfaatan sumber daya lokal yang sebanyak 50 persen juga belum terpenuhi, begitupun dengan komitmen 10 televisi swasta yang harus proporsional dalam memberikan pencitraan Sulawesi Selatan kearah yang lebih positif diakui belum mampu dipenuhi. Hal
10 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
tersebut menunjukkan bahwa Sistem Siaran Jaringan yang dilakukan di Sulawesi Selatan juga belum dirasakan manfaat positifnya bagi sebagian besar penduduknya. Di Medan, Sumatera Utara, masalah tidak berjalannya Sistem Sistem Jaringan telah menuai respons dari masyarakat sekitar. Diberitakan oleh media Medan Bisnis, sebanyak 10 stasiun televisi nasional bersama 10 jaringannya di Sumut digugat karena tidak menayangkan siaran lokal sebesar 10 persen dan melanggar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) RI No 43 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Siaran Jaringan oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi. Gugatan tersebut diajukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut dan telah didaftar di Pengadilan Negeri (PN) Medan pada 20 September 2013. Ketua KPID Sumut, Abdul Haris Nasution mengatakan "Hingga kini kami belum mengetahui alasan mendasar siaran lokal tersebut tidak dilaksanakan oleh lembaga penyiaran, padahal pemerintah sudah berbaik hati ketika adanya permintaan penundaan pelaksanaan Sistem Siaran Jaringan dari tahun 2004 ke 2007, 2009 hingga ke 2013. Maka itu, sudah ada dua kali penundaan tidak dilaksakannya SSJ. Bahkan, permintaan penundaan penyangan itu dari pihak lembaga penyiaran swasta, bukan dari pihak KPI dan waktu yang diberikan sudah berakhir." Berkaca dari kasus tersebut, terlihat bahwa pihak stasiun televisi swasta belum siap dalam mengahadapi Sistem Siaran Jaringan. Penundaan yang dilakukan oleh stasiun televisi swasta bahkan sudah molor hampir 10 tahun. Entah, mungkin ini hanya sebagai akalakalan mereka saja untuk menunda-nunda sehingga mereka tidak perlu bekerja keras dalam memenuhi syarat dalam Sistem Siaran Jaringan. Hal tersebut seakan mengindikasikan tidak adanya keseriusan pihak stasiun televisi swasta dalam membangun Sistem Siaran Jaringan bagi keadilan bangsa Indonesia. Di Pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah ternyata Sistem Siaran Jaringan pun masih belum berjalan dengan baik. Dikutip dari suaramerdeka.tv (16/04/2014), Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah, Asep Cuwantoro menyatakan, sebanyak 80 persen televisi swasta nasional telah melanggar aturan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) yang mewajibkan menayangkan siaran daerah atau konten lokal setiap hari 10 persen atau 2,4 jam. Ia mengatakan bahwa ketentuan Sistem Siaran Jaringan ini sudah diberlakukan sejak 2007, tapi masih banyak dilanggar stasiun televisi nasional. Beliau menambahkan, jika melihat perolehan iklan di televisi yang mencapai belasan triliun, maka lembaga penyiaran itu sebenarnya tidak perlu khawatir memberlakukan sistem tersebut. Sependapat dengan 11 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
argumen tersebut, bahwa memang benar stasiun televisi swasta sudah memperoleh pendapatan yang cukup besar dari bisnis penyiaran televisi. Sehingga pihak stasiun televisi juga harus melakukan timbal balik dengan menyiarkan konten yang sesuai dengan penerapan Sistem Siaran Jaringan agar dapat memenuhi kebutuhan tiap masyarakat di Indonesia. Hal yang dipaparkan diatas berkaitan erat dengan media yang menggunakan public domain. Dalam konteks public domain frekuensi yang digunakan oleh setiap stasiun televisi swasta nasional sejatinya adalah milik publik. Oleh karena itu, harus dipergunakan sebesarbesarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sehingga, stasiun televisi swasta nasional sudah seharusnya memberikan konten televisi yang bermanfaat dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan mengikuti implementasi Sistem Siaran Jaringan. Dengan kata lain, implementasi Sistem Siaran Jaringan tersebut ditujukan untuk kemanfaatan publik yang luas, bukan hanya perorangan atau kelompok. Ini juga didukung dengan keharusan bagi lembaga penyiaran swasta untuk menempatkan kepentingan publik dalam setiap aspek penyiaran konten televisi. Sesuai dengan konsep public sphere yang pada dasarnya lebih melihat dan memperlakukan khalayak sebagai warga negara, bukan sekedar sebagai konsumen. Stasiun televisi pada dasarnya memiliki fungsi untuk menyiarkan program audio visual kepada masyarakat. Namun berdirinya stasiun televisi swasta nasional tidak lain juga untuk memperoleh profit yang sebesar-besarnya dari bisnis penyiaran. Stasiun televisi swasta nasional terbukti tidak serius dalam menerapkan Sistem Siaran Jaringan. Seperti yang diketahui, bahwa dalam Sistem Siaran Jaringan setiap stasiun televisi yang bersiaran secara nasional harus menyediakan 10% konten siaran lokal dari total durasi siaran setiap harinya. Fakta yang ada menggambarkan bahwa konten lokal dikesampingkan dan tetap menyiarkan konten televisi secara terpusat dari Jakarta. Kemudian, siasat yang dilakukan oleh sebagian pihak stasiun televisi ialah dengan meletakan konten lokal pada waktu dini hari. Hal tersebut jelas sangat menyalahi aturan dari nilai demokratisasi dan menyepelekan Sistem Siaran Jaringan. Dikarenakan orientasi utama dari pihak stasiun televisi swasta nasional adalah keuntungan semata, maka mereka akan menyiarkan konten televisi yang memang benarbenar disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun yang perlu diketahui, kacamata yang digunakan untuk melihat preferensi masyarakat ialah hanya dengan bertolak ukur pada rating yang dikeluarkan oleh Nielsen. Data rating yang diberikan oleh Nielsen 12 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
diketahui hanya mewakili 11 kota besar di Indonesia dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, hal ini menjadi bias karena tidak dapat mewakili kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia. Dalam penyiaran konten yang dilakukan oleh pihak stasiun televisi swasta nasional terlihat hampir sebagian besar disiarkan secara terpusat dari Jakarta. Sehingga, konten televisi yang disiarkan juga bersifat Jakartasentris. Stasiun televisi swasta nasional cenderung melihat tren yang sedang berkembang dari sisi masyarakat Ibukota Jakarta saja yang kemudian dieksekusi menjadi konsep dalam program televisi yang disiarkan. Program televisi yang disiarkan juga umumnya merupakan program hiburan yang memang jenis konten yang banyak digemari oleh masyarakat. Disamping itu, orang-orang yang ada di layar kaca televisi juga umumnya merupakan artis Ibukota. Saya pribadi menganggap sifat konten Jakartasentris lebih “menjual” bagi pihak stasiun televisi swasta nasional dibandingkan dengan konten lokal yang sulit untuk dikembangkan. Hal ini menjadi kerap dilakukan oleh stasiun televisi swasta nasional agar memperoleh banyak penonton, sehingga akan menaikkan rating program. Jika rating naik maka akan banyak para pengiklan yang ingin beriklan di program tersebut. Semakin banyak pengiklan yang ingin mengiklankan produk barang dan jasanya pada slot program televisi maka secara absolut juga akan meningkatkan pendapatan bagi pihak stasiun swasta televisi. Dalam hal ini, rating diibaratkan menjadi “dewa” yang diutamakan dan kualitas isi konten menjadi dikesampingkan. Konten Siaran (Program TV)
Audience
Pengiklan Model Bisnis Penyiaran Televisi
Seperti model bisnis penyiaran diatas, konten televisi merupakan hal utama yang diproduksi oleh stasiun televisi agar dapat ditonton oleh para pemirsa dirumah. Jumlah penonton tersebut menjadi tolak ukur keberhasilan suatu program televisi dan menjadi 13 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
sesuatu yang dijual kepada para pengiklan. Kemudian, iklan berfungsi menjadi sumber revenue utama bagi pihak stasiun televisi swasta nasional. Hal ini menjadi model bisnis penyiaran yang dijadikan sebagai dasar dan orientasi bagi stasiun televisi swasta nasional. Pihak stasiun televisi juga lebih menyukai sistem penyiaran secara sentralistik karena lebih menguntungkan. Ini berhubungan dengan prinsip yang dipegang oleh para pengiklan dimana mereka lebih menyukai sistem siaran yang nasional atau sentralistik. Hal tersebut dikarenakan penyiaran sentralistik dapat menjangkau khalayak secara luas dan menjadi efisien bagi para pengiklan yang ingin mempromosikan barang dan jasanya. Oleh karena itu, para pengiklan rela membayar tinggi rate card demi cakupan yang luas, jika suatu program terbukti banyak diminati oleh para penonton. Sebagian besar stasiun televisi swasta nasional di Indonesia saat ini umumnya tergabung dalam sebuah media group yang terdiri dari beberapa perusahaan. Seperti yang kita ketahui stasiun televisi swasta nasional Rajawali Citra Televisi (RCTI), Global TV, dan MNC TV tergabung dalam MNC Group dibawah pimpinan Hary Tanoesoedibjo. Kemudian Trans TV dan Trans 7 berada dibawah naungan Grup Trans Corp. Dibawah pimpinan Chairul Tanjung. Selanjutnya, IVM atau Indosiar dengan Surya Citra Televisi (SCTV) tergabung dalam Grup EMTEK dibawah pimpinan Ibu Siwi. ANTV dan TV One juga tergabung dalam satu grup, yakni Viva Group yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Tetapi adanya penggabungan beberapa stasiun televisi swasta nasional kedalam satu grup membuat kepemilikan stasiun menjadi tidak beragam. Disamping itu, dikhawatirkan akan berakibat tidak beragamnya isi siaran. Semua stasiun televisi swasta nasional diatas sudah eksis di dunia penyiaran dalam waktu yang lama. Namun, hal yang dikhawatirkan dari adanya penyatuan beberapa stasiun televisi nasional dalam satu grup ini ialah kurang beragamnya konten televisi yang disiarkan (Armando, 2013). Hal ini khususnya terjadi pada program berita. Contohnya, program berita pada Trans TV dan Trans 7 cenderung memiliki konten berita yang tidak jauh berbeda karena berasal dari kontributor yang sama. Ini juga terjadi pada sebagian besar stasiun televisi swasta nasional lainnya, karena menayangkan beberapa berita berasal dari sudut pandang kontributor yang sama. Masalah ini menyebabkan keberagaman konten menjadi tersisihkan. Selain itu masalah kepemilikan media yang mempengaruhi konten jelas terlihat pada masa-masa Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014. Diketahui bahwa pemilik TV One (Aburizal Bakrie) dan Metro TV (Surya Paloh) memiliki 14 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
latar belakang sebagai politisi. Aburizal Bakrie yang merupakan politisi asal Golongan Karya (Golkar) dan Surya Paloh merupakan pemimpin Partai Nasional Demokrat.
Aburizal Bakrie, Hary Tanoesoedibjo, dan Surya Paloh yang merupakan politisi sekaligus pemilik stasiun televisi. (kiri-kanan) Sumber: http://theindonesianinstitute.com
Selain itu, pemilik MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) juga baru menapakkan diri sebagai politisi. Faktanya, Hary Tanoesoedibjo bahkan pernah menjadi anggota dari Partai Nasdem dan Hanura dan kemudian mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden RI. Masyarakat Indonesia yang hampir setiap hari menonton televisi pasti merasakan bagaimana efek baru yang terjadi pada stasiun televisi seperti RCTI, MNC TV, dan Global TV. Banyak iklan Hary Tanoesoedibjo yang mengatasnamakan “sosialisasi” dengan dalih berusaha memperkenalkan dirinya kepada masyarakat Indonesia. Tapi tentu sebagian besar orang mengetahui bahwa ini merupakan kampanye terselubung. Hal ini sangat ironis, karena telah menyalahi makna televisi sendiri sebagai ruang publik, dan digunakan untuk kepentingan salah satu pihak saja. Namun, keberpihakan media penyiaran jelas terlihat pada stasiun televisi berita seperti TV One dan Metro TV. Pada masa-masa menjelang Pemilihan Umum, baik TV One maupun Metro TV sama-sama mendahului kepentingan pemiliknya sesuai dengan latar belakang Partai Politiknya. Hal tersebut ditujukan untuk pencitraan politik para pemiliknya kepada para penonton televisi. Jelas, hal ini sangatlah menyalahi aturan karena televisi yang berfungsi sebagai ranah publik dipergunakan untuk kepentingan perorangan (pemiliknya). Masalah yang lebih jelas terlihat ialah pada masa Pemilihan Presiden Republik Indonesia yang ketujuh. Sangat jelas terlihat TV One berpihak pada Capres dan Cawapres Prabowo Subianto – Hatta Radjasa. Kemudian Metro TV terlihat keberpihakannya pada Capres dan Cawapres Joko Widodo – Jusuf Kalla. Masalah tersebut menimbulkan konten
15 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
penyiaran berita yang berpihak pada salah satu kubu politik. Ini jelas sangat melanggar aturan demokratisasi penyiaran yang ada. Dari paparan tersebut menunjukan prinsip Diversity of Content dan Diversity of Ownership dikesampingkan oleh pihak stasiun televisi swasta nasional. Banyak stasiun televisi swasta nasional hanya mengutamakan kepentingan pemilik stasiun televisi saja. Hal ini tentunya juga membuat demokratisasi penyiaran menjadi tidak berjalan dengan baik. Tidak beragamnya kepemilikan stasiun televisi swasta nasional juga merupakan hal yang nyata yang berakibat pula dengan tidak beragamnya konten siaran televisi.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan diatas, telah terbukti bahwa stasiun televisi swasta nasional belum sepenuhnya menjalankan Sistem Siaran Jaringan di Indonesia. Hampir sebagian besar stasiun televisi swasta nasional mengesampingkan konsep ranah publik dalam sistem penyiaran televisi. Prinsip Diversity of Content dan Diversity of Ownership tidak dijadikan sebagai dasar sistem penyiaran sehingga tidak dapat memenuhi amanat dari demokratisasi penyiaran. Kemudian, faktor orientasi profit dan ownership menjadi hal pokok yang mempengaruhi konten media sehingga menyimpang dari nilai-nilai demokratisasi dalam implementasi Sistem Siaran Jaringan. Sistem Siaran Jaringan sebenarnya merupakan sesuatu hal yang positif dalam dunia penyiaran, yang telah ada semenjak munculnya Undang-Undang No.32 Tahun 2002. Berlandaskan asas demokratisasi, Sistem Siaran Jaringan memiliki tujuan untuk meratakan hak untuk memperoleh informasi bagi seluruh masyarakat Indonesia dimanapun berada. Saya pribadi memandang, untuk mengkonversi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi penyiaran memang bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut dikarenakan memerlukan biaya yang besar dan perencanaan kembali untuk mengatur mekanisme yang baru tersebut. Namun, jika setiap stasiun televisi swasta nasional tersebut memiliki rasa peduli akan kemajuan bangsa Indonesia, sudah seharusnya mereka mengesampingkan kesulitan tersebut. Selain itu profit oriented yang menjadi prinsip stasiun televisi swasta nasional harus diselaraskan dengan nilai demokratisasi. Hal tersebut dapat diimplementasikan dengan menyajikan tayangan yang kreatif, inovatif, dan memberikan manfaat bagi masyarakat
16 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah juga harus meninjau kembali sistem kepemilikan stasiun televisi agar keberagaman pemilik dapat dicapai. Dengan itu, juga dapat mempengaruhi siaran konten televisi yang tidak berpihak dan netral dalam memberikan informasi kepada seluruh masyarakat Indonesia. Banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan melaksanakan Sistem Siaran Jaringan di Indonesia. Dengan Sistem Siaran Jaringan ini, sebenarnya industri pertelevisian akan tumbuh dengan baik, karena tolak ukur kehidupan penyiaran tidak hanya tersentral pada ibukota saja, melainkan akan menyebar dan rata ke seluruh penjuru di Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya hal positif yang didapatkan dari Sistem Siaran Jaringan, maka kita sebagai masyarakat harus tetap menjadi aktif kritis dalam meninjau Implementasi Sistem Siaran Jaringan di Indonesia saat ini.
DAFTAR PUSTAKA Albarran, Alan B. 1996. Media Economics: Understanding Markets, Industries and Concepts. Ames, Iowa: Iowa state University Press. Aminah. 2012.
Media Diversity, Mata Kuliah Ekonomi Politik Internasional. Jakarta:
Universitas Muhamadiyah. (Online). Diakses pada 7 Agustus 12014 pukul 19.47 WIB. Angrani, K. 2012. Pengaturan Pemusatan Kepemilikan Lembaga Penyiaran Televisi Swasta Dalam Penggunaan Frekuensi Radio, Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Antara News. 2014. 10 TV Swasta Belum Penuhi Persyaratan SSJ. Diakses pada 23 November 2014 pukul 20.15 dari http://www.antarasulsel.com/print/15106/profil-antara Armando, A. 2011. Televisi Jakarta di atas Indonesia, Yogyakarta: Bentang. Azhari, Nicko Rizqi. 2011. Kompas TV dan Implementasi Sistem Siaran (Televisi) Berjaringan di Indonesia. (Online). Diakses pada 21 Juli 12014 pukul 15.12 WIB. Croteau, David., and William, Hoynes. 2006. The Business of Media: Corporate Media and The Public Interest. Edisi ke-2. California: Pine Forge Press.
17 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Dominick, Joseph R., Fritz Messere, dan Barry L Sherman,. 2004. Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond 5th Edition, Boston: McGraw Hill. Hal. 230 Head, Sydney W dan Christopher Sterling. 1987. Broadcasting in America: A Survey of Electronic Media. Edisi ke-5. Boston: Houghton Mifflin Company. Heychael, M dan Wibowo, Kunto. A. 2014. Melipat Indonesia dalam Berita Televisi, Bandung: Creative Commons Hiebert, Ungurait, Bohn. 1974. Mass Media IV: An Introduction to Modern Communication. Newyork&London: Longman. Ira. 2014. KPI Evaluasi Pelaksanaan SSJ. (Online). Diakses pada 21 Juli 2014 pukul 13.20 WIB
http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/40-topik-pilihan-2/31837-kpi-
dari
evaluasi-pelaksanaan-ssj Khafid, Supriyantho. 2010. Tak Semua Stasiun Televisi Jakarta Buka Cabang di NTB. (Online).
Diakses
pada
23
November
2014
pukul
20.15
dari
http://www.tempo.co/read/news/2010/01/11/058218370/Tak-Semua-Stasiun-TelevisiJakarta-Buka-Cabang-di-NTB Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor. Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran : dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta. Hal. 119 McQuail, Dennis. 2005.
Mass Communication Theory.
Edisi
ke-5. London: SAGE
Publication Ltd. Pekuwali, Daniel. 2013. 10 Stasiun Televisi Nasional Digugat (Langgar Permen Kominfo 43 Tahun
2009).
Diakses
pada
23
November
2014
pukul
20.36
dari
http://medanbisnisdaily.com/news/read/2013/09/28/53340/10_stasiun_televisi_nasional_di gugat/ Primasanti, KB. 2009. Studi Eksplorasi Sistem Siaran Televisi Berjaringan di Indonesia. Surabaya. Puslitbang Aptel SKDI Kemkominfo. 2009. Sistem Siaran Berjaringan Butuh Tahapan dalam Penerapannya, Jakarta: Puslitbang Aptel SKDI Kemkominfo. 18 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014
Riki. 2014. TV Nasional Minim Menayangkan Konten Lokal. (Online). Diakses pada 23 November 2014 pukul 20.24 dari http://bertuahpos.com/favicon.ico Suryandaru, Yayan. S. 2011. Hand Out Lembaga Penyiaran Komersial. (Online). Diakses pada 7 Agustus 2014 pukul 20.10 WIB. Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 . Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia. Yulianto. 2014. KPID Tegur Televisi Nasional. (Online). Diakses pada 23 November 2014 pukul
20.36
dari
http://www.suaramerdeka.tv/view/video/35904/kpid-tegur-televisi-
nasional
19 Demokratisasi Penyiaran..., Benazir Sekar Asih, FISIP UI, 2014