TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja Penyertian Rernaja Remaja merupakan kelompok manusia yang berada diantara usia kanakkanak dan dewasa (Jones, 1997). Permulaan masa remaja dimulai saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat mencapai usia matang secara hukum atau diakui hak-haknya sebagai warga negara (Monks et al, 1992). Remaja sering kali disebut adolecence (adolescere dalam bahasa Latin) yang secara luas berarti masa tumbuh dan berkembang untuk mencapai kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). WHO memberikan definisi masa remaja mulai usia 10-24 tahun (Senderowitz, 1995). Monks
et a/
(1992) menyatakan masa remaja berlangsung pada umur 12 sampai 21 tahun, dengan pembagian masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (1518 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Masa remaja ditandai dengan gejala timbulnya seksualitas (genital) yang disebut pubertas. Masa pubertas merupakan masa terjadinya kematangan alat-alat seksual
dan tercapainya kemampuan reproduksi individu (Hanlon,
1984).
Kematangan seksual yang normal berlangsung pada usia 11-18 tahun (Kartono, 1992). Menurut WHO dalam Senderowitz (1995) remaja
digambarkan sebagai
periode perkembangan seksual, yaitu dari munculnya ciri-ciri seks sekunder menuju kedewasaan seksual; periode perkembangan psikologis, dari anak-anak menjadi orang dewasa; dan periode perkembangan sosioekonomi, dari orang yang sangat tergantung kepada orang lain menjadi orang mandiri.
Pertumbuhan Remaja
Masa pertumbuhan remaja ditandai dengan bertambahnya jaringan lemak, tulang, serta otot yang cepat sehingga diperoleh bentuk tubuh orang dewasa (growth spurt), pertumbuhan dan perkembangan gonad, perkembangan ciri-ciri seks sekunder, dan perkembangan sistem organ tubuh (WHO, 1978). Pertumbuhan dan perkembangan remaja laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh meningkatnya sekresi hormon dan gen, yang dihasilkan testes dan adrenal cortex pada laki-laki, dan adrenal cortex pada perempuan (Husaini, 1989). Growth spurt remaja putri terjadi lebih awal daripada laki-laki, sehingga pada umur 11-13 tahun wanita lebih tinggi dan lebih berat daripada laki-laki. Sedangkan laki-laki mengalami puncak pertumbuhan pesat pada umur 13-14 tahun dengan intensitas yang lebih besar daripada perempuan (Husaini, 1989). Hurlock (1991) menyatakan selama masa remaja terjadi perubahan eksternal dan internal tubuh. Perubahan eksternal tubuh meliputi perubahan dalam tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder seperti payudara, suara, rambut, dan sebagainya. Sedangkan perubahan internal tubuh yang terjadi pada masa remaja meliputi perkembangan sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin, dan jaringan tubuh terutama otot. Pada laki-laki pertumbuhan otot lebih menonjol sedangkan pada perempuan deposit lemak yang lebih banyak (Husaini, 1989). Menurut Hurlock (1991) pertumbuhan dan perkembangan pesat pada masa remaja tergantung pada faktor keturunan yang mempengaruhi kelenjar endokrin, faktor lingkungan khususnya terpenuhinya zat-zat gizi yang mempengaruhi produktivitas hormon pertumbuhan, dan faktor emosional.
Perkembangan Remaja
Cepatnya perkembangan dalam masa remaja yang berkaitan dengan kematangan fisik dan seksual memberikan perubahan dalam perkembangan sosial remaja. Monks et a1 (1992) menyatakan ada dua macam gerak dalam perkembangan sosial remaja, yaitu gerak memisahkan diri dari orang tua dan gerak menuju ke arah teman-teman sebaya. Remaja berusaha diterima oleh teman-teman sebayanya (peer group) sehingga perilaku, sikap, dan minat teman-teman sebaya memberikan pengaruh yang lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1991). Hasil penelitian Evans (1995) menunjukkan pengaruh peer group pada remaja terutama dalam ha1 konsumsi obat-obatan, konsumsi alkohol, dan kontrol berat badan. Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada remaja menyebabkan mereka
memberi
perhatian
besar terhadap
penampilan
dirinya.
Remaja
mengharapkan gambaran tubuh yang ideal (body image), sehingga penyimpangan atau cacat anggota tubuh sangat merisaukan perasaannya terutama pada remaja putri (Monks et a/, 1992). Salah satu upaya remaja untuk mencapai body image tersebut adalah menurunkan berat badan dengan mengubah kebiasaan makan. Perubahan kebiasaan makan yang tidak tepat memungkinkan terjadinya anorexia nenlosa dan bulimia sebagai masalah kesehatan remaja (Heald, 1998). Bentuk perubahan perkembangan sosial remaja yang menonjol adalah dalam ha1 hubungan heteroseksual. Remaja cenderung lebih menyukai teman dari lawan jenisnya. Perasaan suka kepada lawan jenis, tekanan-tekanan terhadap keinginan seks, dan keingintahuan remaja tentang seks meningkatkan risiko remaja melakukan hubungan seksual di luar nikah (Hurlock, 1991).
Kecukupan Gizi Remaja
Kecukupan gizi (Recomended Dietary Allowances) adalah jumlah masingmasing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar sebagian besar orang (97,5% populasi) hidup sehat (Hardinsyah, 1989). RDA pada remaja termasuk tinggi
karena harus memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat (Husaini, 1989). Berdasarkan intensitas pertumbuhan dan aktifitas fisiknya, remaja putra membutuhkan lebih banyak zat-zat gizi sehingga kecukupan gizi untuk remaja putra lebih tinggi daripada remaja putri. Kecukupan zat-zat gizi bagi remaja yang dianjurkan menurut National Research Council di dalam Recomended Dietary Allowences (RDA) ditunjukkan dalam tabel berikut : Tabel 1. Anjuran kecukupan gizi untuk remaja
I Energi I
Prot. I Vit A I Vit D (pg RE) (pg)
( ~ a l ) (gr)
Putri
I Vit E I Vit C I Ca I (mg)
(mg)
(mg)
Fe (mg)
I
Zn (mg)
11-14 15-18
19-22 Putra 11-14 15-18
1
1
2900 56 19-22 Sumber: Heald. 1998. Peningkatan kebutuhan zat gizi remaja tidak hanya terbatas pada energi dan protein, tetapi juga beberapa mineral (zat besi, kalsium, dan seng) serta vitamin (vitamin A, vitamin C, dan sebagainya) Survey mengenai pola makan remaja menunjukkan bahwa sebagian besar remaja rendah dalam konsumsi pangan sumber protein, zat besi, kalsium, seng, vitamin A, vitamin C, dan thiamin (Senderowitz, 1995; Forbes, 1998). Remaja putri menurut Husaini (1989) memiliki
kebutuhan zat besi yang tinggi pada masa pertumbuhan cepat karena terjadinya mensruasi, sehingga mengalami kehilangan zat besi 1,6 mglhari. Meningkatnya kebutuhan kalsium karena lebih dari 50% massa skeleton terbentuk saat remaja (FSN, 2002). Status Gizi Remaja
Status gizi merupakan kondisi tubuh yang muncul diakibatkan adanya keseimbangan antara konsumsi dan pengeluaran zat gizi. Secara umum, status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi dari makanan dan penyakit infeksi yang mengganggu proses metabolisme, absorpsi dan utilisasi zat gizi oleh tubuh (Suhardjo, 1986). Status gizi seseorang dibedakan atas gizi lebih, gizi baik atau optimal, dan gizi buruk (Soekirman, 2000). Masalah Gizi Remaja
Menurut Husaini (1989) masalah gizi yang dapat terjadi pada remaja adalah gizi kurang (underweight), obesitas (overweight), dan anemia. Gizi kurang terjadi karena jumlah konsumsi energi dan zat-zat gizi lain tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Akan tetapi pada remaja putri, gizi kurang umumnya terjadi karena keterbatasan diet atau membatasi sendiri intik makanannya. Kejadian gizi lebih pada remaja disebabkan kebiasaan makan yang kurang baik sehingga jumlah masukan energi (energy intake) berlebih. Beberapa faktor yang mempengaruhi gizi lebih ini adalah konsumsi makanan yang berlebihan karena meningkatnya ketersediaan pangan dan kurangnya aktivitas fisik remaja. Kecenderungan remaja untuk menghabiskan waktu
luang dengan menonton TV
dibandingkan beraktivitas di
atau
bermain games
luar rumah (outdoor activities) menyebabkan
meningkatnya obesitas remaja (Alexander, 1994; Berkey et a/, 2000).
Alexander (1994) sebagian besar masalah gizi pada remaja terjadi karena intik zat besi yang rendah atau anemia. Tingginya resiko anemia pada remaja putri disebabkan terbatasnya konsumsi pangan hewani, menstruasi, dan meningkatnya kebutuhan zat besi selama growth spurt (Anonim, 2002). Anemia merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen (02) yang diperlukan dalam pembentukan energi. Anemia dapat disebabkan kurangnya kadar hemoglobin darah yang mampu mengikat O2 atau berkurangnya jumlah sel darah merah karena pendarahan akibat infeksi maupun pecahnya sel darah merah karena penyakit malaria (King and Burgess, 1995). Hasil survei NHANES III (National Health and Nutrition Examination Survey) tahun 1996 di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi remaja putri umur 12-19 tahuri yang mengalami defisiensi zat besi antara 8-10% (Beard, 2000). lnsiden anemia remaja putri di lnggris mencapai 10,5%. Dari hasil penelitian yang dilakukan Wirawan (1995) di Jakarta Timur diketahui proporsi anemia pada siswi SLTA sebanyak 44,4%. Penelitian Saidin (1997) di Bandung menunjukkan proporsi anemia siswi SMUN sebesar 41%. Hasil penelitian Permaesih (1990) menunjukkan proporsi wanita remaja yang berstatus gizi baik menurut BBrrB dan nilai persentase lemak tubuh berada diatas normal ternyata menderita anemia sebanyak 44,4%. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengetahui masalah gizi yang ada pada masyarakat. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara penilaian secara langsung diantaranya melalui pengukuran antropometri dan penilaian biokimia.
lndeks pengukuran antropometri yang digunakan dalam penilaian status gizi remaja adalah indeks massa tubuh (body mass index). lndeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator yang teliti untuk megetahui simpanan kelebihan energi dalam bentuk lemak tubuh (body fat) dalam suatu populasi (Forbes, 1998; Berkey et a/, 2000). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut diketahui besaran masalah gizi kurang (underweight) maupun obesitas (overweight) yang terjadi pada remaja. Penentuan batasan berat badan normal pada orang dewasa berdasarkan nilai indeks massa tubuh dihitung menurut rumus berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter. Batasan nilai IMT normal bagi wanita adalah 18,7-23,8 atau sekitar 20,8 (Atmarita, 1992). Depkes (1996) mengkategorikan nilai IMT menjadi lima, yaitu kurus sekali (IMT<17,0), kurus (IMT 17,O-18,4), normal (IMT 18,5-25,0), gemuk (IMT 251-27,0), dan gemuk sekali (IMT>27,0). Becker et al(1999) juga menyebutkan nilai IMTe20 dikatakan underweight, nilai IMT 20 sampai 25 dikatakan normal, nilai IMT 25 sampai 30 dikatakan overweight, dan >30 dikatakan obese. Penilaian biokimia digunakan untuk menentukan status besi (hemoglobin) sebagai indikator anemia pada remaja. Meskipun telah dikembangkan metodemetode baru untuk mendeteksi anemia khususnya anemia kurang zat besi seperti ferritin, free erithrocyte protoporphyrin (FEP), dan transferrin, penentuan secara konvensional dengan hemoglobin dan hematokrit masih sering dilakukan. Akan tetapi berbeda dengan kadar hemoglobin, batasan kadar hematokrit untuk mendiagnosis anemia masih belum ada kesepakatan umum diantara para ahli (Husaini, 1997).
Menurut Muhilal (1980) metode penentuan kadar hemoglobin yang paling teliti adalah Cyanmethemoglobin. Sehingga cara ini dianggap paling digunakan penelitian gizi. Ambang batas hemoglobin bagi remaja putri adalah 12 gram/dl W
O dalam
Soekirman, 2001). Kadar hemoglobin yang berada di bawah 12 gramldl menunjukkan bahwa orang tersebut mengalami anemia. Konsumsi Pangan
Status gizi remaja dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan berkaitan erat dengan perilaku remaja (Alexander, 1994). Perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan dan di dalamnya mencakup cara-cara mancapai tujuan tersebut (Winkel, 1984). Terbentuknya
perilaku seseorang
dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu pengetahuan, kepercayaan, sikap, dan nilai (WHO, 1992). Menurut Friedman (1993) pembentukan pola perilaku saat dewasa diawali ketika remaja. Perilaku remaja lebih banyak dipengaruhi perilaku temanteman sebaya atau kelompoknya daripada pengaruh keluarga. Sehingga bila teman kelompoknya mencoba merokok, minum alkohol atau obat-obatan terlarang, remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan akibatnya (Hurlock, 1991). Konsumsi pangan remaja ditunjukkan dengan kebiasaan makan, merokok, minum alkohol, dan konsumsi obat-obatan. Hasil penelitian Evans et a1 (1995) menunjukkan pengaruh peer group terkadap perilaku sehat remaja yang tertinggi adalah pada pengontrolan berat badan, konsumsi obat-obatan, minuman keras, dan melakukan fitness. Sedangkan pengaruh peer group terhadap kebiasaan makan sehat remaja menempati posisi ranking terakhir.
Kebiasaan Makan dan Diet
Bourne (1979) menyatakan remaja mempunyai kecenderungan umtuk mengonsumsi makanan di luar rumah atau sekolah, memilih makanan yang sianggap populer dan meningkatkan gengsi, serta mempunyai kebiasaan makam tidak teratur. Kebiasaan makan yang kurang baik pada remaja dan keinginan untuk terlihat langsing, khususnya pada remaja putri seringkali menimbulkan gangguan makan atau eating disorders (Bruess, 1989). Eating disorders yang paling banyak dialami remaja putri adalah anorexia nervosa dan bulimia. Diperkirakan 3% dari seluruh remaja putri Amerika Serikat mengalami eating disorders (Becker et a/, 1999). Eating disorders pada remaja putri memungkinkan timbulnya komplikasi medis yang sangat serius, seperti berhentinya menstruasi, terganggunya fungsi hati, hipokalemia, anemia, dan sebagainya (Becker et a/, 1999). Becker et al(1999) juga menyatakan salah satu karakteristik anorexia nervosa adalah indeks massa tubuh <17,5. Beberapa pernyataan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara praktek makan dengan status gizi. Berkembangnya produk pelangsing atau penurun berat badan, baik berupa makanan, minuman, jamu, atau obat-obatan yang ditawarkan pada masyarakat meningkatkan peluang remaja untuk mengonsumsi produk tersebut. Praktek diet yang tidak tepat dan pengetahuan gizi yang kurang mengenai produk tersebut memberikan dampak negatif bagi kesehatan remaja. Konsumsi Fast Food
Konsumsi pangan seseorang erat kaitannya dengan kebiasaan makan. Kebiasaan makan merupakan sesuatu yang sulit diubah namun dapat berubah (Susanto, 1991). Perubahan kebiasaan makan pada remaja terutama dipengaruhi
teman kelompoknya (peer group). Menurut Alexander (1994) kebiasaan makan sehat pada remaja masih jauh dari ideal. Remaja lebih suka mengonsumsi makanan berupa fast food, snack, soft drink, dan sebagainya yang pada umumnya rendah sumber vitamin dan mineral. Asmoro (1993) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi pangan seseorang dalam menentukan makanan erat hubungannya dengan tradisi serta status simbol atau gengsi. Hasil penelitian yang dilakukan Sartiningsih (1993) tentang perilaku konsumsi fast food pada remaja di Bogor menunjukkan pada umumnya remaja yang mengonsumsi fast food memiliki lingkungan sosial, yaitu keluarga dan teman dekat atau teman sekolah yang mendukung konsumsi fast food. Alasan utama mereka mengonsumsi fast food karena selera atau kesenangan dan kondisi keuangan. Penelitian Yulia (1999) mengenai pembelian dan respon konsumen fast food usia 15 hingga 45 tahun di wilayah DKI Jakarta menunjukkan rata-rata frekuensi pembelian fast food adalah dua kali sebulan. Konsumsi pangan yang cenderung tinggi kalori dan lemak ini memungkinkan terjadinya obesitas pada remaja. Kebiasaan Merokok Menurut Aditama (1997) remaja putri biasanya mulai mencoba rokok pada usia 10-14 tahun. Perilaku merokok pada remaja merupakan wujud sikap pemberontakan, keingintahuan, tekanan dalam kelompoknya (peer pressure), dan anggapan merokok sebagai simbol kedewasaan (Bruess, 1989). Penelitian di ltalia menunjukkan sekitar 79,7% teman baik remaja putri yang merokok adalah perokok, sedangkan 72,2% teman baik remaja putri yang tidak merokok juga bukan perokok (Aditama, 1997).
Selain pengaruh teman, lingkungan keluarga juga sangat berpengaruh pada kebiasaan merokok remaja. Bruess (1989)menyatakan remaja yang berasal dari keluarga perokok memiliki kecenderungan menjadi seorang perokok. Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa remaja putri yang orang tuanya perokok lima kali peluangnya menjadi perokok dibandingkan dengan yang orang tuanya tidak merokok (Aditama, 1997). Data statistik yang dikeluarkan American Heart Association menunjukkan kurang lebih 44,ljuta remaja Amerika Serikat berusia 12-17tahun adalah perokok. Triatma (1989)membagi perokok menjadi tiga tingkatan, yaitu: (1)perokok ringan, orang yang merokok 1-9batang per hari, (2) perokok sedang, orang yang merokok
10-15batang per hari, dan (3)perokok berat, orang yang merokok diatas 15 batang per hari. Dari hasil penelitian kebiasaan merokok pada pelajar SLTA di Bandung menunjukkan 16,2% pelajar merokok sebelum usia 13 tahun dan proporsi siswi yang merokok 2,6% (Kartasasmita, 1990). Hasil penelitian di Jakarta menunjukkan persentase siswi atau pelajar putri yang merokok sebanyak 8,8% (Lubis, 1994). Aditama (1997) menyatakan merokok dapat menurunkan fertilitas atau kesuburan. Diperkirakan kesuburan wanita perokok hanya 72% dari kesuburan wanita yang tidak merokok, menopause juga datang 2-3 tahun lebih cepat pada wanita perokok. Gangguan kesehatan lain seperti kanker paru, kanker leher rahim, abortus, menurunkan fertilitas, kelahiran bayi cacat dan berat bayi lahir rendah pada ibu hamil juga merupakan resiko buruk akibat merokok pada wanita. Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi
Secara sederhana persepsi diartikan sebagai pemaknaan dari hasil pengamatan individu mengenai suatu obyek (Yusuf, 1991). Persepsi terhadap
kesehatan reproduksi merupakan pandangan atau pemahaman remaja terhadap segala aspek yang mendukung reproduksi sehat. Menurut Affandi (1995) kesehatan reproduksi mencakup tiga komponen, yaitu kemampuan (ability), keberhasilan (success), dan keamanan (safety). Persepsi remaja ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor struktural, faktor fungsional, dan faktor kultural. Faktor struktural bersifat fisiologis, berkaitan dengan fungsi organ-organ persepsi seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, dan lainlain. Faktor fungsional merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ingatan, kebutuhan, kebiasaan dan pengalaman yang diperoleh dari interaksi personal dan sosial. Sedangkan faktor kultural merupakan ha1 yang mempengaruhi individu dikaitkan dengan adat istiadat, norma, dan agama (Schiffman, 1982). Pengukuran Persepsi
Muhadjir (1992) menyatakan persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari domain kognitif berupa ekspresi pendapat yang lebih tepat atau kurang tepat. Menurut Schlosberg dalam Muhadjir (1992) pengukuran persepsi dapat disajikan dalam dua dimensi senang-tidak senang dan menerimamenolak. Selanjutnya Noeng dalam Muhadjir (1992) menyederhanakan pengukuran persepsi dalam bentuk skala penilaian setuju dan tidak setuju.
Pengetahuan Reproduksi
Menurut Media (1995) pengetahuan reproduksi meliputi kemampuan untuk mengetahui segala aspek yang mendukung proses reproduksi, seperti usia subur wanita, kehamilan, usia nikah yang dianjurkan dan jenis alat kontrasepsi. Affandi (1995) menyatakan pengetahuan reproduksi harus mencakup pemahaman terhadap
tiga komponen pendukung kesehatan reproduksi, yaitu kemampuan, keberhasilan, dan keamanan reproduksi. Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa pada umumnya pengetahuan reproduksi remaja masih rendah, hat ini disebabkan kurangnya kebenaran informasi kesehatan reproduksi yang diterima remaja (Friedman, 1993). Suatu penelitian menunjukkan ketidakakuratan informasi yang diterima remaja karena sumber informasi utamanya adalah peer group, saudara, media massa, dan hanya sebagian kecil remaja sumber informasinya dari orang tua (Senderowitz, 1995). Menurut Sarwono (1993) peran orang tua yang rendah dalam memberikan informasi pengetahuan reproduksi karena sikap orang tua yang tabu membicarakan seks dengan anaknya, sehingga anak berpaling mencari sumber-sumber lain yang tidak akurat seperti teman sebaya.
Kesehatan Reproduksi Reproduksi adalah merupakan proses perkembangbiakan dari suatu makhluk hidup untuk menghasilkan organisme lain yang sama jenisnya (Penghulu, 1993). Reproduksi dimaksudkan sebagai peristiwa atau proses yang berkaitan dengan fungsi kembang biak atau meneruskan keturunan (Media, 1995). Proses reproduksi manusia bermula dari pertemuan sperma pria dengan sel telur wanita melalui hubungan seksual kemudian berlanjut dengan kehamilan, dan berakhir pada persalinan (Chalik, 1998). Kesehatan reproduksi adalah didapatnya keadaan sehat yang mencakup keadaan fisik, mental, sosial, serta spiritual dan tidak adanya kecacatan yang terkait dengan sistem reproduksi fungsi dan prosesnya (Martodipuro, 2000). Kesehatan reproduksi mengharapkan dapat tercapainya kepuasan dalam kehidupan seksual
yang aman dan adanya kemampuan untuk berkembangbiak dengan kebebasan untuk memutuskan sendiri sejak kapan dan berapa banyak. Menurut Affandi (1995) kesehatan reproduksi mencakup tiga komponen, yaitu kemampuan (ability), keberhasilan (success), dan keamanan (safety). Kemampuan berarti wanita tersebut dapat bereproduksi. Keberhasilan berarti wanita tersebut dapat menghasilkan anak yang sehat, tumbuh dan berkembang dengan baik. Keamanan berarti semua proses reproduksi diantaranya hubungan seksual, kehamilan, persalinan, pengguanaan kontrasepsi dan aborsi menjadi suatu aktivitas yang aman dilakukan. Secara umum masalah kesehatan reproduksi remaja adalah kehamilan yang tidak diinginkan, kehamilan di usia belasan tahun, penyakit menular seksual (sexually transmitted disease), dan aborsi. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia menunjukkan semakin banyaknya remaja putri yang berhubungan seksual pada usia dini, sekitar 17% remaja putri melakukannya sebelum usia 16 tahun (Jones, 1998). Penelitian yang dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta menunjukkan proporsi remaja yang telah melakukan hubungan seksual 6,6% (Bandi, 1992). Dari hasil penelitian terhadap 633 pelajar SLTA di Bali menunjukkan 27% siswa dan 18% siswi mengaku pernah melakukan hubungan seksual (Media, 1995). Hubungan seksual yang dilakukan remaja sebelum menikah menyebabkan kehamilan dini atau kehamilan tidak diinginkan, yang beberapa diantaranya berakhir dengan aborsi dan terjangkitnya penyakit menular seksual termasuk diantaranya infeksi HIV (Friedman, 1993). Pada tahun 1995 di Thailand masalah penyakit menular seksual atau PMS pada remaja usia 15-24 tahun sebanyak 33% dari semua
kasus PMS yang ada dan kehamilan di usia belasan tahun mencapi 14,7% dari total jumlah kehamilan (Sawanto, 2002). Kesiapan Reproduksi
Kesiapan reproduksi berhubungan dengan tugas remaja nantinya sebagai calon ibu yang memiliki tanggung jawab besar dalam kehidupan keluarga. Mereka akan terlibat dalam proses pernikahan, dengan konsekuensi untuk hamil, melahirkan, merawat, mengasuh serta mendidik anak (Martodipuro, 2000). Untuk dapat memulai kehidupan keluarga dengan baik, diperlukan kesiapan fisik dan mental, diantaranya kesiapan dalam ha1 reproduksi. Kesiapan fisik remaja diukur dari status gizi remaja. Sedangkan kesiapan mental remaja terhadap reproduksi diukur dari pengetahuan reproduksi serta persepsi remaja mengenai kesehatan reproduksi.