MODUS ACEH
2
Redaksi
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
TABLOID BERITA MINGGUAN
MODUS ACEH BIJAK TANPA MEMIHAK
P e n a n g g u n g j awa b / Pimpin an Red aksi Pimpinan Redaksi Muhammad Saleh Direktur Usaha Agusniar Man a ger Mana
liput an liputan
Juli Saidi Editor Salwa Chaira Kar tunis/Design Kartunis/Design
Grafis
Rizki maulana Pemasaran/Sirkulasi Firdaus, Hasrul Rizal, Ghifari Hafmar M. Supral, azhari usman iklan/Sirkulasi Lhokseuma we/a ceh Lhokseumawe/a we/aceh
ut ara utara
mulyadi
Sekret aria t/ADM ta at Yulia Sari Kep ala B a gian Keuang an Kepala Agusniar Bagian I T
Family Gathering
MODUS ACEH, MODUSACEH.CO dan INSIPIRATOR Pembaca Setia LELAH itu akhirnya, terobati saat anak dan istri berada di sisi. Sesekali, terdengar suara tangisan manja sang bayi, mengoda beberapa awak redaksi yang masih berstatus jomblo. Ada yang malu-malu dan menatap dari kejauhan, tapi ada pula yang spontan merapat, meluapkan perasaan gemas pada Khalif Saidi, anak kedua Juli Saidi yang masih berusia lima bulan. Di area lain, sang kakak berlarilari kecil, mengejar ombak landai Pantai Lampu’uk Aceh Besar, Kamis (29/12/2016). Bahkan, nyaris menegak air asin. Maklum saja, sang ayah dan ibu, memilih istirahat di jambojambo kecil dan sengaja membiarkan putra-putri mereka bermain, mendampinggi sang ayah, mengadu ket-
angkasan bermain sepak bola kiyam alias kaki ayam, sebagai kegiatan pembuka, sebelum makan siang dilaksanakan. Itulah hari bahagia yang kami gagas dalam bentuk: Family Gathering MODUS ACEH, MODUS ACEH.CO dan INSPIRATOR 2016. Tak ada sekat, apalagi pemisah, semua larut dalam canda tawa. Bahkan, saat adu ketangkasan sepak bola dan loncat goni dilakukan, mereka pun saling bertabrakan dan terjatuh. Usai menyantap makan siang dengan ikan bakar, adu ketangkasan bola tangan dimulai, setiap yang mendapat hukuman, wajib merebut bola dari tangan ‘lawan’. Salah satunya, Rizki yang selalu jadi bulan-bulanan. Walau sempat ngos-ngosan, semua
itu tak berarti, saat banana boat berputar, menghentak arus laut yang tenang. Setenang jiwa saat bersatu dengan alam. Tak ada yang mampu menahan, lihainya sang penarik hingga tiga kali terjatuh, baru putaran selesai. Pembaca Budiman Itulah kegiatan kami, jelang tutup tahun 2016 dan menyambut tahun baru 2017. Ternyata, kebahagian itu, tak selamanya harus mengeluarkan banyak uang atau pergi jauh, berlibur hingga Pulau Dewata, Bali. Pantai Lampu’uk Aceh, ternyata tetap menyimpan pesona dan kemeriahan. Banyak hal yang bisa kami petik, setidaknya meraih kebahagian bersama keluarga serta tim media ini. Mulai dari awak redaksi, sirkulasi, iklan serta administarsi. Selamat tahun baru 2017, semoga tetap sukses selalu.
Joddy Fachri Wa r taw a n rt Muhammad Saleh Juli Saidi ZULHELMI
Ko r e s p o n d e n Aceh Selatan Sabang Nagan Raya Takengon Aceh Besar Aceh Tenggara Gayo Lues Kuala Simpang Pidie, Langsa Bener Meriah Simeulue
Alama t Red aksi Alamat Redaksi Jl. T. Panglima Nyak Makam No. 4 Banda Aceh. Telp (0651) 635322 email:
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected] www.modusaceh.com.
FOTO-FOTO MODUS ACEH
Penerbit PT Agsha Media Mandiri Rek Bank Aceh: 01.05.641993-1 Rek Bank BRI Cabang Banda Aceh: 0037.01.001643.30.9 NPWP: 02.418.798.1-101.000 Percetakan PT. Medan Media Grafikatama
Dalam Menjalankan Tugas Jurnalistik, Wartawan MODUS ACEH Dibekali Kartu Pers. Tidak Dibenarkan Menerima Atau Meminta Apapun Dalam Bentuk Apapun dan Dari Siapa Pun
MODUS ACEH
Aceh selatan
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
3
■ Kejurda III FPTI Aceh 2016 di Tapaktuan
TRADISI JUARA ANAK PULAU MODUS ACEH/ZULHELMI
Untuk ketiga kalinya, atlet panjat tebing dari Pengcab Kota Sabang meraih juara umum di Kejurda III FPTI Aceh. Inilah tradisi juara dari anak pulau.
Zulhelmi
upati Kabupaten Aceh Selatan, Teuku Sama Indra SH, yang ditunggu-tunggu sejak pukul 9.00 WIB akhirnya datang juga sekira pukul 10.00 WIB. Walau sempat molor satu jam dari jadwal, tak mengurangi kemeriahan pembukaan Kejuaraan Daerah (Kejurda) III, Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Aceh, 23-28 Desember 2016 di Taman Pala, Kota Tapaktuan. “Kita tunggu usai Pak Bupati membuka satu acara lain dan
B
langsung kemari,” jelas Ketua Harian KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Aceh Selatan, Syamsul Rizal,” pada panitia pelaksana. Kejurda ini diikuti atlet dari 16 Pengurus Cabang (Pengcab) FPTI dari seluruh Aceh, kecuali Bireuen, Singkil dan Simeulue. Ketua Pengprov FPTI Aceh, Muhammad Saleh, di Tapaktuan menjelaskan, Kejurda III FPTI Aceh 2016 ini diikuti seratusan lebih atlet junior dan senior dari 16 Pengcab FPTI, yaitu Gayo Lues, Pidie, Aceh Timur, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Besar, Kota Lhokseumawe, Aceh Barat Daya, Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Aceh Jaya, Kota Langsa, Aceh Barat, Aceh Selatan dan Kota Subulussalam. “Kita patut memberi apresiasi kepada adik-adik dari Pidie Jaya. Walau masih dalam keadaan berkabung karena musibah gempa, 7 Desember 2016 lalu, tapi mereka masih menunjukkan komitmennya untuk bertanding,” kata Saleh memuji tim Pidie Jaya, saat itu. Lanjut Saleh, ada dua kelas yang diperlombakan yaitu lead (rintisan) dan boulder (jalur pendek) yang dibagi dalam enam
kategori, seperti lead umum putra, lead umum putri, lead tim mix, boulder umum putra, boulder umum putri serta boulder tim putra. Dalam Kejurda ini juga diperlombakan kelas junior atlet lead junior putra dan putri serta boulder junior putra dan putri. Menurut Saleh, begitu dia akrab disapa, kejurda ini didukung penuh Bupati Aceh Selatan, T. Sama Indra, yang disatukan dengan kegiatan hari ulang tahun (HUT) Kota Tapaktuan ke-71. “Ini luar biasa. Baru kali ini ada bupati di Aceh yang mau mengaitkan hari jadi kotanya dengan menggelar kejurda olahraga. Terima kasih, Ampon TS,” ucap Saleh. Pimpinan Redaksi MODUSACEH.CO ini juga berharap, Kejurda 2016 dapat dijadikan ajang evaluasi pembinaan atlet di daerah menuju Pra Pora 2017 dan Pekan Olahraga Aceh (PORA) 2018 di Aceh Besar. Sementara, tiga pengcab yang absen, sesuai AD/ ART FPTI, akan dikenakan sanksi organisasi. Misal tidak dikutsertakan pada event tingkat daerah. “Keputusan jelasnya kami rapat dulu. Yang jelas ada sanksi organisasi,” tegas Saleh.
Terkait potensi tuan rumah, menurut Saleh, Aceh Selatan sudah memiliki sarana (wall) berstandar nasional. Ini setara dengan yang dimiliki Pengcab Aceh Timur dan Sabang. “Karena itu, tolong jaga sarana yang ada ini dengan baik. Jadikan tempat latihan untuk meraih prestasi. Dan, jangan sampai, usai kejurda, dinding ini menjadi tempat ikat sapi dan satu per satu besinya hilang,” tegas Saleh. Selain itu, sebut saleh, Aceh Selatan sudah patut dan layak ditunjuk sebagai tuan rumah kejuaraan serupa tingkat Sumatera. “Saya kira, jika Pak Bupati sepakat, tahun depan kita tunjuk sebagai tuan rumah kejuaraan se-Sumatera di Tapaktuan,” tawar Saleh. Tawaran tersebut, rupanya langsung disambut Bupati Kabupaten Aceh Selatan HT Sama Indra. Dia mengaku siap jika ditetapkan sebagai tuan rumah Kejuaraan Panjat Tebing se-Sumatera di kota ini. Kesiapan itu disampaikan Sama Indra yang juga Ketua Umum KONI Aceh Selatan. “Saya siap bila Aceh Selatan tuan rumah untuk Kejuaraan Panjat Tebing se-Sumatera. Bilapun tidak didukung dana APBK, akan saya cari sumber
dana lain,” ujarnya yang disambut tepuk tangan atlet dan undangan yang hadir. Selain itu, dia mengaku, sangat bergembira dengan hadirnya atlet Pengcab FPTI Pidie Jaya (Pijay). Sebab, telah mengirim atletnya walau masih dalam rasa duka lantaran musibah gempa bumi, 7 Desember 2016 lalu. “Musibah gempa yang terjadi di Pidie dan Pidie Jaya tidak menyurutkan semangat kalian untuk ikut dan ambil bagian pada ajang ini,” ujarnya. Dia menyebutkan, atlet dari Pijay adalah pejuang sejati. Sementara itu, arena Kejurda III FPTI se-Aceh di Tapaktuan menjadi saksi bisu betapa tangguhnya atlet junior-senior (putra dan putri) panjat tebing dari Pengcab FPTI Sabang. Bayangkan, hari pertama digelar, langsung menyabet medali emas atas nama Aidil Adha di nomor lead junior putra. Keberhasilan Aidil setelah di final mampu mengalahkan delapan atlet lainnya dari Aceh Utara, Aceh Timur Banda Aceh dan daerah lainnya. Aceh Selatan sendiri menurunkan dua tim yaitu A dan B. Penyerahan medali dilakukan Ketua Umum FPTI Aceh, Muham-
4
MODUS ACEH NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
mad Saleh. Pantauan MODUS ACEH, rata-rata atlet dari seluruh Aceh berwajah baru dan masih berusia muda, baik putra maupun putri. Itu sebabnya, Saleh optimis, lima tahun ke depan, olahraga ini akan mampu melahirkan atlet muda berbakat. “Ini salah satu strategi kita menghadapi PON 2020 di Papua,” sebut Saleh. Makanya, Saleh berharap, event atau kejuaraan seperti ini dapat terus dilakukan di Aceh, termasuk mengikutsertakan atlet Aceh pada event setingkat Aceh, regional maupun nasional lainnya. Selain itu, menghadapi Pra PORA 2017 dan PORA 2018 di Aceh Besar, akan diatur regulasi yang mengikat, terutama kelompok umur. “Kami juga sedang menggarap potensi untuk melaksanakan Kejuaraan Panjat Tebing seSumatera di Tapaktuan. Bupati T Sama Indra sudah menyatakan persetujuannya. Bahkan, menantang kami untuk menggelar event tersebut di Kota Naga ini,” ujar Saleh. Selain itu, Saleh berharap, Pengcab FPTI di Aceh terus melakukan pembinaan, termasuk menyediakan sarana dan prasarana berstandar. “Saya gembira setelah mendapat kabar bahwa Pengcab FPTI Subulussalam juga sudah mendirikan wall (dinding) lead dan menyusul speed. Karena itu, kami akan mengagendakan kejuaraan di sana. Tentu jika ada dukungan dari pemko dan KONI setempat,” harap Saleh. Sementara itu, di hari kedua, atlet junior putri Rizki Geby Akhena dari Sabang kembali meraih medali emas pertama di kelas boulder junior putri setelah berhasil mengungguli lawan beratnya Ira Maulidar dari Aceh Barat Daya (Abdya). Keberhasilan Rizki menambah medali untuk kontingen Sabang. Sementara, medali perak diraih Ira Maulidar dan perunggu Lucia Puji Astuti dari Banda Aceh. Memasuki hari keenam Kejuaraan Daerah (Kejurda) III Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Aceh, 28 Desember 2016, tim FPTI Sabang semakin menunjukkan digdayanya. Kejurda III ini diakhiri dengan penambahan dua medali emas yaitu di nomor lead umum putri atas nama Selviana Meta Merlina Wati (Sabang). Perak diraih Desi Ratna Sari dan perunggu Mauliza (Aceh Timur). Sementara, medali emas keempat Sabang diperoleh dari nomor boulder tim putra (Aidil Adhar, Aizul Fahmi, Refi dan Ahmad Harisman), perak Aceh Jaya (Putra
Agus Toni, Maulidar, Musliwar dan Ahmad Mutaqim Imama, perunggu tim Aceh Tengah (Hermansyah Putra Miga, Salihin Putra, Arami Rizki dan Fardhan Bihabillah). Dengan demikian, tim FPTI Sabang telah meraih empat medali emas. Atlet FPTI Simeulue, Singkil dan Bireuen tak ikut serta alias absen. Ketidak-hadiran ketiga Pengcab FPTI tadi, dinilai Ketua FPTI Aceh Muhammad Saleh, sebagai bentuk dari kegagalan pembinaan atlet di daerah tersebut. “Bayangkan, Pidie Jaya yang dilanda musibah saja mengirim atletnya. Ini membuktikan bahwa mereka serius membina atlet. Sementara, tiga kabupaten tadi absen. Demi tegaknya aturan organisasi, sebut Saleh, pihaknya akan mengevaluasi kepengurusan tiga pengcab tersebut, termasuk memberikan sanksi organisasi. Itu sebabnya, jika sanksi ini diterapkan, maka Simeulue, Bireuen dan Aceh Singkil terancam untuk ikut Pra Pora 2017 dan PORA 2018 di Aceh Besar. “Ya, otomatis. Sebab, untuk bisa ikut PORA harus melalui Pra Pora. Nah, jika tidak ikut Pra Pora, berarti tidak ada tiket untuk bisa ikut PORA,” ujar Saleh. Sementara itu, Ade Ariantos dari Pengcab Aceh Barat berhasil mempertahankan reputasinya sebagai atlet FPTI Aceh yang berlaga di PON XX-2016 lalu di Jawa Barat. Dia berhasil meraih emas di nomor boulder umum putra (senior) serta lead umum putra. Keberhasilannya tak lepas dari jam terbang dan pengalamannya bertanding selama ini walaupun KONI Aceh Barat hingga kini belum menyediakan wall panjat. Sayang kan?***
Aceh selatan
Hasil Lengkap Kejurda III FPTI se-Aceh di Tapaktuan, Aceh Selatan Kelas
Nama Atlit
Utusan
Medali
Lead Junior Putra
Aidil Adhar Fardhan Bihabillah Fachrizal Hafiz
Sabang Aceh Tengah Aceh Selatan
Emas Perak Perunggu
Boulder Junior Putri
Rizki G A Ira Maulidar Lucia Puji A
Sabang Abdya Banda Aceh
Emas Perak Perunggu
Diana Hasna Alfa Yarita Lucia Puji A
Lhokseumawe Aceh Selatan Banda Aceh
Emas Perak Perunggu
Selvina Meta MW Desi Ratna Sari Mauliza
Sabang Aceh Timur Aceh Timur
Emas Perak Perunggu
Boulder Tim Putra
Sabang Aceh Jaya Aceh Tengah
Emas Perak Perunggu
Lead Mix
Subulussalam Aceh Barat Sabang
Emas Perak Perunggu
Boulde Umum Putri
Sabang Aceh Jaya Aceh Timur
Emas Perak Perunggu
Boulder Mix
Sabang Aceh Timur Subulussalam
Emas Perak Perunggu
‘ Lead Junior Putri
Lead Umum Putri
Lead Umum Putra
Ade Andriantos Putra Agustoni Aidil Adhar
Aceh Barat Aceh Jaya Sabang
Emas Perak Perunggu
Boulder Junior Putra
Aidil Adhar Faisal Refi
Sabang Aceh Timur Sabang
Emas Perak Perunggu
Boulder Umum Putra
Ade Ariantos Aidil Adhar Hermansyah PM
Aceh Barat Sabang Aceh Tengah
Emas Perak Perunggu
MODUS ACEH
bireuen
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
5
■ Sapi Aspirasi Kontrak Politik Pak Dewan
JANJI DIPENUHI LALU DITARIK KEMBALI Kelompok ternak Manok Uteun Matang Kulee, Kecamatan Plimbang, Kabupaten Bireuen melaporkan sikap Muzakkir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen ke Polres setempat. Pasalnya setelah memberikan bantuan 8 ekor sapi, lalu empat diantaranya diminta kembali. Zulhelmi
ak ada kata yang tepat, selain rasa gembira yang dialami anggota kelompok Ternak Manok Uteun Matang Kulee, Kecamatan Plimbang, Kabupaten Bireuen. Bayangkan, kelompok ternak dibawah kepimpinan Abdullah Hasan (45), Rabu 7 Desember 2016 lalu, menerima bantuan delapan ekor sapi dari Dinas Pertanian dan Peternakan Bireuen. Sapi diterima berita acara pun ditanda tangani oleh kelompok ternak itu. Bantuan sapi yang diterima kelompok ternak beranggota 20 orang itu, tak lepas dari saran Muzakkir, anggota DPRK Bireuen dari Partai NasDem. Sebelum menerima bantuan sapi, Muzakir menyerankan kepada kelompok itu membuat proposal, kemudian diajukan ke Dinas Pertanian dan Peternakan setempat di tahun 2015 lalu. Begitupun, kegembiraan kelompok ternak tadi tak lama berlangsung. Sebab, tak lama berselang atau keesokan harinya, empat ekor sapi telah diserahkan tadi, diminta atau tarik kembali oleh Muzakkir. Alasannya untuk diserahkan kepada kelompok lain. Apalagi kelompok yag dimaksud Muzakkir tidak pernah mengajukan proposal bantuan. Tapi alasan Muzakkir, tak mudah diamini Abdullah Hasan dan anggotanya. Mereka tetap ogah untuk menyerahkan 4 ekor sapi tadi kepada Muzakkir. Tapi apa daya, Muzakkir tetap ngotot menarik 4 sapi
T
Abdullah Hasan bantuan dari dana aspirasinya. Nah, tak menerima dengan tindak oknum dewan itu, lalu kelompok ternak ini menyurati Partai NasDem Bireuen, Partai NasDem Aceh di Banda Aceh dan DPP Partai NasDem di Jakarta. Surat itu ditanda tangani Ketua dan Sekretaris Kelompok Ternak Manok Uteuen, Abdullah Hasan dan Safwan Jafar, tanggal 10 Desember 2016. Dalam surat tersebut, kelompok Manok Uteuen, Gampong Matang Kulee, Kecamatan Plimbang, Kabupaten Bireuen, menceritakan prihal pengambilan empat ekor sapi oleh dua kader atau politisi Partai NasDem. Pada paragraf awal surat tersebut, Abdullah Hasan dan Safwan Jafar menjelaskan bahwa, tanggal 7 Desember 2016 lalu, mereka mendapat bantuan delapan ekor sapi. Kemudian, 8 Desember 2016, Muzakkir yang juga anggota DPRK Bireuen, meminta kembali empat ekor sapi yang telah diserahkan itu. “Kelompok kami sekarang tinggal empat ekor sapi. Padahal, kami telah menandatangani berita acara serah terima delapan ekor sapi,” ungkap mereka, dalam surat, tanggal 10 Desember 2016. Itu sebabnya, kelompok penerima de-
Muzakkir lapan sapi tadi merasa keberatan dan mengaku telah dibohongi Muzzakir. Alasannya, tidak pernah dikomunikasikan terkait pengambilan empat ekor sapi tersebut. Karena itu, kelompok Manok Uteuen meminta pimpinan Partai NasDem menyikapi permasalahan tersebut agar tidak menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap Partai NasDem. “Jika diperlukan kami siap memberikan keterangan,” kata mereka dalam suratnya. Surat tersebut langsung ditanggapi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai NasDem Kabupaten Bireuen, Ir. Saifuddin Muhammad. Disebutkan, partainya sudah membentuk tim investigasi untuk menelurusi kasus itu. “Kelompok sendiri sudah menyurati partai, jadi kami sudah membentuk tim investigasi menyangkut dengan persoalan itu. Partai sudah melakukan rapat tapi kami belum bisa menentukan sikap. Masih menunggu hasil dari tim investigasi, “ jelasnya kepada MODUS ACEH, 26 Desember 2016 lalu. Sebutnya tim investigasi yang telah dibentuk diketuai Armia SH. “Untuk informasi lebih dalam lagi apakah sudah ada hasil dari tim, boleh hubungi ketua tim,” pintanya. Setelah dilakukan investigasi oleh tim, ternyata ada surat perdamaian antara kelompok ternak itu dengan Muzakkir. “Kami telah menerima surat perdamaian, dan sapi itu sudah dikembalikan secara utuh. Surat laporan ke polisi pun telah dicabut,” jelas Armia. Begitupun Ketua Kelompok Manok Uteun mengakui bahwa persoalan itu sudah tuntas dengan jalan perdamain. “Sudah damai dan sapi sudah kami terima kembali,” ujarnya. Saat ditemui media ini di Warkop Gayong Kupi, Seleasa, 27 Desember 2016 lalu, Muzakkir mengatakan, itu dilakukannya sesuai janji politik antara dirinya dengan warga, ketika mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada 2014 silam. Dalam kontrak politik tersebut, dirinya berjanji akan menyalurkan bantuan
aspirasi untuk setiap desa yang mampu memenuhi kuota suara untuk dirinya. “Karena ada kontrak politik tersebut maka saya harus menyalurkan bantuan secara merata ke setiap desa yang sudah saya janjikan, karena itu saya minta 4 ekor sapi tersebut untuk saya bagikan ke salah satu kelompok ternak lain di Desa Cot Geulumpang, Kecamatan Plimbang, Bireuen. Jadi sapi tersebut bukan saya ambil untuk pribadi,” jelasnya. Selain itu, Muzakir juga mengakui dirinya telah keliru dengan mengambil sapi dari kelompok Manok Uteun dan menyerahkan ke salah satu Kelompok di Desa Cot Geulumpang. Sebab, proposal hanya diajukan oleh kelompok Manok Uteun. Dia pun mengakui dan telah mengembalikan sapi yang sempat dia ditarik. “Saya mengakui telah keliru dan saya siap mengembalikan sapi tersebut kepada Kelompok Manok Uteuen”, janjinya.
Kapolres Bireuen AKBP Heru Novianto SIK melalui Kasat Reskrim Iptu Riski Andrian SIK mengatakan, walau pun sudah damai, namun pihaknya masih menunggu surat perdamaian dari dua pihak yang berselisih itu. “Surat perdamaian antara kedua belah pihak belum saya terima, tapi saya dengar mau damai, mungkin masih proses di tingkat desa. Jadi ada itkad baik dari kedua belah pihak, dari pihak kelompok menyebutkan berdamai saja. Alasannya Sapi pun tidak hilang hanya dialihkan saja ke kelompok lain,” jelasnya. Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan pihaknya sebut Riski, persoalan ini lebih berupa janji politik, namun tidak teruang dalam bentuk tulisan. “Nah setelah bantuan didapat, jadi tidak lagi komitmen atas janjinya itu,” ungkap Iptu Riski.***
6
MODUS ACEH NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
Iklan
MODUS ACEH
Di balik berita
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
7
■ Terkait Isu Mahar Jabatan SKPA
Manuver Diantara Tradisi
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo meminta pejabat eselon yang akan menempati kepala dinas atau badan di Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), jangan melakukan manuver-manuver. Sebab, ia mengaku akan bekerja secara profesional dalam menempatkan pejabat SKPA, di Aceh. Disisi lain, beredar kabar adanya tradisi penyerahan mahar. Seperti ijab kabul saja. Muhammad Saleh | Juli Saidi
ABAR tak sedap itu, akhirnya sampai juga ke telingga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia- Perjuangan (PDI-P), Karimun Usman. Mantan anggota DPR RI ini mengakui, dalam beberapa hari terakhir ada seorang pejabat eselon II di jajaran Setda Aceh, menyodorkan uang kepada Plt Gubernur Aceh Mayjen Purn Soedarmo. Jumlahnya memang tak seberapa, antara Rp 3-5 miliar. Namun, jenderal yang lama bertugas di Badan Intelijen Negara (BIN) ini tak silau. “Pas dilihat amplopnya tipis, Pak Plt Gubernur menolaknya,” cerita Karimun sambil bergurau. Pernyataan itu disampaikan Karimun pada media ini saat ditemui di Kantor DPD PDI-P Aceh, Desa Blang Cut, Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh, Selasa pekan lalu. Karimun mengetahui ada yang sodorkan uang dalam amplo p kepada Plt Gubernur Aceh, berdasarkan cerita yang disampaikan langsung Plt Gubernur Aceh Soedarmo kepada dirinya. “Ada pejabat eselon II di jajaran Sekda Aceh, datang dan temui Plt Gubernur Aceh. Lalu, ngomong serta unjung-unjungnya kasih amplop kepada Plt Gubernur Aceh,” ungkap Karimun Usman, tanpa menyebutkan lokasi pertemuan tersebut. Saat ditanyai siapa nama pejabat tersebut, Karimun Usman enggan memberitahukannya. “Jangan tanya nama pejabatnya, tulis saja begitu,” kata Karimun berkilah. Meski dikasih uang, cerita Karimun, Plt Gubernur Aceh Soedarmo, menolak uang tersebut.
K
Kata Karimun Usman, kehadiran Plt Gubernur Aceh Soedarmo ke Aceh bukan untuk menerima uang dari pejabat di Aceh. Sebaliknya dia punya tekat kuat untuk membersihkan birokrasi Pemerintah Aceh dari unsur KKN. Ketua DPD PDI-P Aceh ini juga meminta kepada semua pihak agar tidak mengisukan yang bukan-bukan terhadap Plt Gubernur Aceh. Karena tugas Plt Gubernur Aceh, selain menyukseskan Pilkada Aceh juga menata birokrasi Pemerintah Aceh yang baik. “Selaku partai yang berkuasa saat ini, saya berhak memantau jalanya pemerintahan di Aceh, tentu untuk kebaikan Aceh dan kita bersama,” kata Karimun Usman. Setali tiga uang, sinyalemen itu juga disampaikan Soedarmo pada awak media. “Ngak perlu manuver ke sana dan kemari. Saya ngak suka yang begituan, saya profesional dalam menempatkan pejabat,” kata Plt. Gubernur Aceh, usai mengikuti Sidang Paripurna penetapan 15 rancangan qanun (raqan) prioritas tahun 2017, Banda Aceh, Senin (19/12/2016). Bahkan, selain adanya manuver-manuver, Soedarmo juga mengaku ada isu untuk memberi kontribusi alias mahar yang jumlahnya mencapai Rp 3-5 miliar. “Saya ada isu-isu begitu, kita ini banyak orang yang bisa memberikan informasi pada saya. Termasuk mereka yang manuver pada teman-teman dekat saya. Misal kalau bisa ke jabatan itu, kasih sekian, mereka laporkan juga pada saya. Saya tidak mau yang kek gitu,” tegas Soedarmo. Menurut Soedarmo, kenapa bisa seperti itu? Ini kebiasan dan
tradisi yang berlaku di Aceh. “Kenapa bisa berlaku kek gitu, ini kebiasaan, ini kebiasaan yang berlaku di sini. Jadi seakan-akan uang segalanya. Bagi saya tidak,” ujarnya. Itu sebabnya, Soedarmo meminta pada pejabat SKPA tidak usah takut karena tidak ditempatkan sebagai kepala badan atau dinas, karena tidak membayar. Namun, Plt Gubernur Aceh ini menegaskan, pejabat yang akan ditempatkan akan dilihat track record jabatan yang akan dia duduki. Kemudian integritas dan kinerja selama ini. “Ngak usah takut, saya tidak bisa jabat karena tidak bayar, ngak ada itu. Artinya the right man on the right place. Saya berazaskan itu,” katanya. Memang, sejak dua pekan lalu, khasanah perpolitikan dan birokrasi di Aceh seketika menjadi buah bibir. Ini, tak hanya soal dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan Kepala Biro Umum Setda Aceh yang juga Plt Wali Kota Sabang, Teuku Aznal serta belasan PNS di Sekretariat KIP Aceh, yang menerima tunjangan ganda dan menjadi temuan Inspektur Aceh. Lebih dari itu, pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo, agar pejabat eselon yang akan menempati posisi kepala dinas atau badan di Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), tidak melakukan manuver atau mengunakan ‘tangan’ pihak ketiga, untuk meraih posisi tersebut. Sinyal positif ini harus dicermati sebagai langkah awal atau upaya preventif untuk melakukan revitalisasi sejumlah pejabat di daerah ini. Sebab, ia mengaku akan bekerja secara profesional dalam menempatkan pejabat
Doto. Namun, tak elok jika kita su’udzon (berprasangka) pada sesuatu yang belum diketahui kebenarannya. Selain berdosa juga menimbulkan fitnah. Sebab, dari enam pasangan calon GubernurWakil Gubernur Aceh, ternyata hanya Abu Doto yang terkecil memiliki harga dan uang di rekening. Ini artinya, dialah calon orang nomor HUMAS SETDA ACEH satu Aceh pada kontestasi Pilkada 2017 mendatang, yang ‘terSKPA di Aceh. Yang mengelitik adalah, Soe- miskin’ dan amat sangat jujur. darmo juga menyentil adanya Jangankan korupsi, menerima dugaan dan isu yang kadung ‘upeti’ saja ogah alias dia tolak! Makanya, bayangkan saja beredar selama ini di Bumi Serambi Mekah bahwa, untuk bila tak terpilih sebagai Gubermeraih satu jabatan di Pemerin- nur Aceh pada Pilkada 2017 tah Aceh, ada ‘uang mahar’ yang mendatang? Sungguh rakyat harus disetor antara Rp 3-5 mil- dan pengusaha Aceh tidak adil. iar. Dan, paling kecil Rp 300 Sebab, sebagai mantan elit GAM sampai Rp 500 juta. Tentu, ini dan orang nomor satu Aceh, dia hanya sinyalemen atau rumor. tak memiliki harta apa pun, seteTapi, bukan mustahil adalah fak- lah 30-an tahun berjuang dan ta yang terjadi sejak empat tahun satu periode memimpin Aceh. Persoalan kemudian menjaterakhir. Ibarat kentut, nyaris tak berbunyi namun menebarkan di lain tat kala kasus Teuku Aznal mencuat. Sebagai ‘Goldel Boy’ bau busuk kemana-mana. Sebagai Plt Gubernur Aceh, Abu Doto, berbagai pertanyaan posisi Soedarmo memang bu- kemudian muncul, termasuk kan pejabat biasa. Dia juga se- sejumlah memory hitam, terkait bagai salah satu pejabat eselonir- kutak-katik pejabat di jajaran Peing di Kemendagri RI (Dirjen), merintah Aceh. Bayangkan, paska reformasi Jakarta yang ditugaskan selama tiga bulan untuk membenahi atau perjanjian damai antara birokrasi yang kadung karut GAM dengan Pemerintah Indomarut di Aceh. Kecuali itu, lama nesia, hanya di era kepemimpibertugas di Badan Intelijen Nega- nan Abu Doto terjadi mutasi ra (BIN). Itu sebabnya, dia me- hingga 17 kali. Inilah proses miliki jaringan luas, baik dari ka- mutasi terbanyak di Indonesia langan birokrasi maupun satu- dan pantas diberi dan tercatat di mesium MURI. an intelijen. Termasuk jurnalis. Yang jadi soal adalah, apakah Nah, soal dugaan adanya ‘mahar’ tadi, memang sudah lama proses mutasi (yang juga terjadi diendus Soedarmo. Maklum, tak pada orang telah meninggal dusedikit pula laporan yang masuk nia) muncul begitu saja? Seorang padanya, dalam kapasitas se- mantan pejabat mengaku pada bagai salah satu Dirjen di Ke- media ini, dia terdepak dari posisi mendagri RI, Jakarta. Apalagi salah satu kadis, karena dugaan saat ini sebagai Plt Gubernur yang diutarakan Plt Gubernur Aceh. Itu berarti, apa yang disin- Aceh Mayjen Purn Soedarmo, tak yalir Soedarmo tidaklah menga- mampu dia penuhi. da-ada, tapi telah tercium jauh Bisa jadi Abu Doto tak tahu hingga ke Jakarta. atau pura-pura tidak tahu denLantas, siapakah pihak yang gan ‘permainan’ ini, sebab bupaling bertanggungjawab dan kan mustahil pula, ‘permainan’ pantas dilirik dari sinyalemennya mahar tadi dilakonkan oleh ortadi? Orang pun menduga-duga. ang-orang di sekitar Abu Doto. Salah satunya diarahkan pada Itu sebabnya, jangankan calon petahana Gubernur Aceh masyarakat, adik kandung Abu dr. Zaini Abdullah atau Abu Doto sendiri yaitu Hasbi Abdul-
8
MODUS ACEH
Hukum
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
lah pada media ini sempat mengaku pusing dengan ‘gerakan’ dan ‘manuver’ yang dilakukan orang-orang di sekeliling Abu Doto atau elok disebut para: PUNGAWA! Memang, mutasi adalah hal biasa dalam iklim birokrasi di negeri ini. Namun, menjadi aneh jika mutasi itu dilakukan hingga mencapai 17 kali dalam satu periodeisasi kepemimpinan. Bahkan, ada pejabat (SKPA) baru enam bulan menjabat, sudah diganti, tanpa alasan yang jelas. Eeh, selidik punya selidik, karena ‘pungawa’ di Pendopo Gubernur Aceh yang tak senang dengan pejabat SKPA tadi. Apakah benar karena bekerja dan berkinerja tak becus atau ada persoalan lain? Karena itulah, terkait kasus Teuku Aznal dan kebijakan kutak-katik pejabat eselon selama ini. Banyak pihak menduga bukan tanpa sebab. Termasuk tidak adil rasanya jika Baperjakat (Setda Aceh, Asisten I dan III, Kepala Inspektur Aceh serta Kepala BKPP Aceh), melempar handuk alias buang badan. Membiarkan Aznal sendiri dalam persakitan. Sebab, semua proses tadi adalah lumrah terjadi dan mereka ‘pasti’ tahu. Menjadi tak aneh, jika Baperjakat berani bersuara pada publik bahwa proses mutasi selama ini (Abu Doto memimpin), sematamata karena kebijakan tunggal dari Abu Doto sendiri, tanpa melibatkan Baperjakat. Jika memang begitu adanya, wajar jika Baperjakat lepas tangan. Sebaliknya, jika mereka ikut terlibat, ini jelas perbuatan munafik! Sebab, bisa jadi kasus Aznal mencuat ke permukaan, karena ada ambisi pejabat tertentu yang tidak tercapai? Misal, kenapa harus Aznal sebagai Plt Walikota Sabang, sedang pangkat dan senioritas, lebih pada oknum pejabat tadi? Terlalu naif rasanya, jika praktik yang dilakukan Teuku Aznal berdiri sendiri, tanpa adanya keterlibatan pihak lain. Walau tak jelas, sejumlah mantan Kepala SKPA dengan sangat halus berbisik pada media ini bahwa, apa yang disentil Mayjen Purn Soedarmo, begitulah fakta yang terjadi. Para pungawa di sekitar Abu Doto, tak pernah henti dan terus mencari ‘mangsa’ untuk ‘melelang’ sejumlah posisi dan jabatan. Pertanyaannya adalah, sekali lagi apakah Abu Doto tahu atau kura-kura dalam perahu alias pura-pura tidak tahu? Tanda tanya besar ini perlu dicermati, sebab dalam banyak kesempatan, Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) juga selalu berujar bahwa dirinya tak pernah dilibatkan dalam penempatan seorang Kepala SKPA. Itu berarti, mutlak diputuskan dan tentukan oleh Abu Doto bersama para pungawanya. Nah, akankah niat baik serta langkah ‘pembersihan’ yang akan dilakukan Plt Gubernur Aceh Mayjen Purn Soedarmo berjalan mulus? Inilah yang masih jadi tanda tanya besar. Sebab, sebelum rencana itu disampaikan ke publik, sesungguhnya para pejabat SKPA pun telah lebih awal mengambil langkah antisipasi. Caranya, mendekat pada jaringan Soedarmo, baik pejabat sipil, militer dan ulama. Inilah pertaruhan yang akan dihadapi Soedarmo. Jika dia kuat dan tangguh, maka jasanya akan dikenang selamanya oleh rakyat Aceh yang masih ingin Bumi Serambi Mekah ini bersih dari para pejabat berakal bulus. Sebaliknya bila goyah, rakyat Aceh juga akan mencatat: Eeh ternyata sama saja.***
■ Putusan Perkara WTP Sabang
Delapan Tahun untuk Mahfud dan Dedek
Sidang WTP Sabang.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada Mahfud dan Dedek, pelaksana proyek Water Treatment Plant (WTP) di Sabang. Siapa menyusul? Azhari Usman
J
ika tak pasrah atau menerima vonis delapan tahun penjara dari Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh. Jalan kedua bagi Mahfud bin Abdul Majid dan Zulfadli alias Dedek bin Jamaluddin adalah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Sebab, kedua dijerat dinyatakan bersalah, terkait proyek Water Treatment Plant (WTP) di Sabang. Hakim ketua T. Syarafi (ketua) secara bergiliran membaca amar putusan setebal 140 halaman. Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, menyatakan kedua bersalan dan divonis delapan tahun penjara. Selain itu, keduanya diperintahkan untuk membayar uang denda Rp 200 juta. Apabila kedua terdakwa tidak mengganti uang tersebut, maka harus menjalani hukuman penjara tambahan selama enam (6) bulan. Termasuk membayar uang pengganti Rp 2.6 miliar lebih. Tetap dengan ketentuan, apabila uang pengganti tidak dibayar maka semua benda berharga milik kedua terdakwa akan dirampas untuk negara dan dilelang. Jika tidak sanggup membayar uang
pengganti, kedua terdakwa akan menjalani tambahan masa kurung selama tiga tahun enam bulan penjara serta biaya perkara sepuluh ribu rupiah. Fakta yang memberatkan kedua terdakwa menurut Majelis Hakim adalah, keduanya tidak patuh terhadap Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 55 tahun 2012, tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi serta memberikan contoh yang tidak baik terhadap masyarakat. Sedangkan pertimbangan yang meringankan, kedua terdakwa berlaku sopan di persidangan. Kedua terdakwa juga sangat kooperatif serta mempunyai tanggung jawab terhadap anak dan istri. Saat Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh membacakan amar putusan, tampak keluarga kedua terdakwa, tak bisa menahan sedih serta langsung meninggalkan ruang sidang. Padahal, persidangan belum selesai. Di sisi lain, kedua terdakwa tampak tertunduk lesu, seakan masih belum percaya dengan hukuman yang terlalu amat berat dijatuhkan majelis hakim. Sekedar mengingatkan, dugaan korupsi proyek konstruksi pembangunan pengolahan air (IPA), Water Treatment Plant (WTP) itu, berlokasi di Jurong Pria Laot, Gampong Bate Shok, Kecamatan Sukakarya Sabang. Dananya bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Otsus), Dinas Cipta Karya Aceh Tahun Anggaran 2013. Nah, dugaan korupsi itu terungkap, setelah Badan Pengawas dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Aceh, mengeluarkan hasil audit mereka, Nomor : SR-2655/PW.01/5/2015, tanggal 11 November 2015 yang mengatakan, akibat proyek itu telah menimbulkan kerugian negara Rp 2, 6 miliar lebih. Hal lain yang menarik, saat persidangan, kedua terdakwa mengaku secara gamblang telah ‘diperas’ oknum
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Kasat Reskrim Polres Sabang, serta seorang oknum wartawan, anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Sabang. Besaran aliran dana itupun bervariasi. Katanya, oknum Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sabang Teuku Muzafar SH, menerima Rp 110 juta, sedangkan Kasat Reskrim Sabang saat itu, AKP Rizal Antoni SH, Rp 100 juta dan seorang oknum wartawan yaitu Riandi Armi (Andi), Rp 5 juta,” ungkap Dedek yang diamini Mahfud. Oknum –oknum tersebut hingga kini masih belum menjalani proses hukum. Dalam wawancara singkat dengan MODUS ACEH, kuasa hukum terdakwa Haspan Yusuf Ritonga, M.H menyatakan menolak semua putusan hakim yang dijatuhkan kepada kedua terdakwa. Alasannya, putusan itu hakim tidak mempertimbangkan aspek-aspek dan fakta persidangan serta tidak jelas dan juga tidak mencerminkan rasa keadilan. Sebab, proyek pembangunan WTP Sabang tahun 2013 tersebut, sudah selesai dikerjakan dan sampai sekarang mamfaatnya sudah dirasakan masyarakat di sana. Tapi, masih dibebankan biaya penganti bagi kedua terdakwa. Ritonga menilai, perkara ini terlalu dipaksakan, karena keterangan saksi ahli yang dipakai tidak memenuhi spesifikasi yang cukup, sesuai dengan peraturan pemerintah (PP) 29 pasal 37 tahun 2010. Sayangnya keterangan itu justeru dipakai majelis hakim dalam menjerat kedua terdakwa. Ritongajuga mengatakan, akan berkoordinasi dengan terdakwa tentang upaya hukum yang akan ditempuh selanjutnya. “Namun pada intinya akan menggunakan setiap celah hukum yang ada,” tutup Ritonga. ***
MODUS ACEH
Hukum
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
Sinyal Soedarmo untuk Kasus Teuku Aznal
9
MITRAPOL
Plt. Walikota Sabang Aznal Zahri
Proses kasus dugaan pemalsuan persyaratan administrasi kenaikan pangkat Kepala Biro Umum Setda Aceh T Aznal menunggu izin Kemendagri RI. Plt Gubernur Aceh Mayjen PurnSoedarmo mengaku sudah mengusulkan ke Jakarta. Kita tunggu! Juli Saidi
engakuan itu diucapkan langsung Plt Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo. Selasa, 27 Desember 2016 lalu, usai menggelar rapat dengan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) di ruang Pengendali dan Percepatan Kegiatan (P2K) APBA, Kantor Gubernur Aceh, Jalan T. Nyak Arief, Banda Aceh. Soedarmo mengaku telah minta persetujuan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, terkait kasus yang dilakoni Teuku Aznal, Kepala Biro Umum Setda Aceh. Menjawab pertanyaan media ini, Selasa pekan lalu, Soedarmo mengatakan telah meminta persetujuan Mendagri atas dugaan pemalsuan kenaikan pangkat T Aznal, itu sudah di-
P
lakukannya dua pekan lalu. Izin Mendagri memang prosedur yang mesti ia tempuh. Karena, T Aznal juga menjabat Plt. Wali Kota Sabang. Selain itu Soedarmo juga menjabat sebagai Plt. Gubernur Aceh, maka harus mendapat izin Mendagri. “Kita sesuai prosedur. Artinya proses-prosesnya tetaplah lanjut, kemudian kita juga sudah minta proses persetujuan Menteri Dalam Negeri, untuk tindak lanjutnya. Karena memang aturannya begitu. Saya sebagai Plt harus minta persetujuan Menteri Dalam Negeri,” kata Plt. Gubernur Aceh Soedarmo, Selasa pekan lalu. Karena itu, bagaimana tindak lanjut terhadap kasus T Aznal, itu masih menunggu jawaban dari Menteri Dalam Negeri. “Sudah kita minta Minggu kemarin. Nanti kita tunggu keputusan Menteri Dalam Negeri seperti apa ya,” ujarnya. Terungkapnya dugaan itu, berawal dari SK yang ditandatangani Setda Provinsi Aceh, saat itu dijabat Teuku Setia Budi. Persis 18 Februari 2013 silam. SK Nomor: PEG.821.22003.2013 ini, kata Kepala Inspektorat Aceh Abdul Karim, dipalsukan dengan cara mengubah tanggal, bulan, tahun, serta memindahan tanda tangan Teuku Setia Budi yang ada di SK jabatan sebelumnya, tertanggal 18 Februari 2012. Cara itu dilakukan dengan men-scan, kemudian memindahkan ke SK jabatan tertanggal
5 September 2012. Hal yang sama juga dilakukan terhadap paraf para asisten. Abdul Karim mengungkapkan, modus operandi ini diketahui karena dari dua SK yang ditemukan arsipnya di Setda Aceh dan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh, SK jabatan diteken Sekretaris Daerah (Sekda) Teuku Setia Budi, tanggal 18 Februari 2013. Sementara, yang diteken tertanggal 5 September 2012, tidak pernah ada. Kata Abdul Karim, menurut analisis tim pemeriksa Baperjakat, motif T Aznal memalsukan SK kenaikan jabatannya saat dilantik menjadi Kabag Keuangan Biro Umum untuk mempercepat kenaikan pangkat dari III/d ke IV/a, atau lainnya. “Tindakan Saudara Aznal ini melanggar Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri,” ujar Abdul Karim. Berdasarkan Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010, PNS yang melakukan pelanggaran disiplin berat, bisa dikenakan sanksi antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Begitupun, seperti diberitakan Harian Serambi Indonesia,
mantan Setda Aceh Teuku Setia Budi, ia mengaku tidak ingat. Alasan T Setia Budi, proses itu sudah dua tahun lalu. Karena itu, kata T Setia Budi, jika memang ada yang tidak benar dalam proses kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS) T Aznal, maka ada Inspektorat dan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) yang mengusut. Itu sebabnya, dari proses yang dilakukan Inspektorat Aceh menguatkan T Aznal diduga benar melakukan pemalsuan kenaikan pangkat, maka T Aznal bisa dijerat pidana dengan dengan Pasal 263 KUHP. Karena isi aturan itu, tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat berbunyi: (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal (2): diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan
bahwa: (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap; akta-akta otentik; surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. Nah, jika dugaan itu terbukti benar, maka tentu tak hanya pemalsuan SK kenaikan pangkat yang perlu diproses. Sebab, atas kenaikan pangkat, juga mengeluarkan uang Negara. Misal Tunjangan Prestasi Kerja (TPK) dan tunjangan lain. Tentu itu setali dengan kenaikan pangkat dan jabatan yang dipercayakan pada T Aznal oleh Gubernur Aceh nonaktif dr. Zaini Abdullah. Karena, pada era dr. Zaini Abdullah menjabat sebagai orang nomor satu, T Aznal diangkat menjadi Kepala Biro Umum Setda Aceh. Begitupun, beberapa waktu lalu T Aznal mengaku pasrah atas dugaan pemalsuan kenaikan pangkat tersebut, jika itu benar, ia juga siap menerima resiko. Semoga, dibalik kasus T Aznal, tidak muncul Aznal lainnya.***
10
MODUS ACEH NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
Kriminal
■ Asmara Terlarang Chairul Putra-Ita Sarianti
Akhiri Perjalanan Hidup Tarmizi
statusaceh.net
Rumah di salah satu sudut, Jalan Medan-Banda Aceh, Desa Blang Creum, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhoksuemawe itu, sejak dua hari lalu ramai dikunjungi pelayat. Selain saudara almarhum Tarmizi, juga warga setempat. Khairul Anwar
angunan rumah permanen itu sedikit menjulang ke dalam. Didepan rumah hanya dipasang teratak beralas tenda dan tikar plastik. Sementara di sisi kiri, sejumlah anak-anak sibuk dan asyik bermain, ada pula yang menggambar di kertas putih. Tapi tidak dengan Humairah, bocah berusia lima tahun ini merupakan anak satu-satunya pasangan almarhum Tarmizi - Ita Sarianti. Dia duduk termenung dalam pangkuan Mustafa (36) sang paman (adik) almarhun Tarmizi. Dia tak banyak bicara. “Kondisi Humaira hanya diam saja, tak banyak bicara. Dia juga tak mau bermaian bersama-sama anakanak lain,” kata Mustafa, adik almarhum Tarmizi pada media ini, Jumat, 30 Desember 2016, pekan lalu. Mustafa, bercerita tentang peristiwa kepergian Tarmizi. Almarhum merupakan anak ketiga dari enam persudaraan. Sebelum Tarmaizi mengakhiri hidup, sosok peramah dan periang itu , juga suka bergaul sesama kawan. “Almarhum memang dikenal warga sekitar. Dia juga paling disukati oleh masyarakat,” papar. Keluarga menduga, hubungan asmara Ita Sariyati dengan Chairul Saputra alias Putra Mahonk sudah lama dijalani. Buktinya, almarhum Tarmizi pernah menceritakan kehidupan dalam rumah tangga, kepada saudaranya. Tapi pihak keluarga hanya menganggap keributan biasa. Sebab, almarhum Tarmizi sering pulang ke rumah untuk mengenguk anaknya, Humaira. “Memang almarhum ada beberapa kali menceritakan, tapi kami diam saja,” kenang Mustafa. Itu sebabnya, Tarmizi berharap, keduanya dihukum seberat-beratnya. “Saya minta aparat penegak hukum, menghukum pelaku seberat-beratnya,” harap Mustafa, sambil meneteskan air mata. Dia tampak begitu terpukul dengan musibah yang menimpa abangnya itu. Cerita Mustafa, keretakan rumah tangga almarhum Tarmizi, berawal dua tahun lalu. Ketika itu, Tarmizi
B
membuka lahan setengah hektar tanaman kacang. Lalu, seketika kacang itu panen dan tidak menjual, hanya dibagi-bagi kepada tetangga. Selanjutya, Ita Sarianti memprotes, tapi Tarmizi tidak menanggapi pernyataan Ita. Bukan hanya itu saja, almarhum Tarmizi juga memiliki kebun Mangga, pada musim panen, dia tidak pernah menjual, hanya membagi-bagi kepada warga sekitar. Lagi-lagi Ita Sarianti tak ikhlas, terhadap perbuatan yang dilakoni suami ini. “Maunya dia hasil panen dijual. Sedangkan suami tidak mau hanya suka berbagi-bagi,” tgasanya Sebelumnya, Ita Sarianti sempat menunding almarhum Tarmizi berselingkuh dengan wanita lain, ditambah lagi Tarmizi tidak pernah pulang, juga jarang memberi nafkah. Namun pihak keluarga menolak tundingan Ita Sarianti, kerena Tarmizi hanya berkerja sabagai Toke kulit Sapi untuk dikirim ke Jakarta. Bahkan didepan rumah masih ada satu gudang, juga tumpukan kulit sapi kering belum dikirim dan masih tersusun rapi untuk dijual. “Keluarga menolak pernyataan Ita Sarianti, abang saya sering pulang, jika tak pulang biaya untuk keluarga dikirim sama anak buahnya,” papar. Kata Mustafa, sebelum menikah dengan Tarmizi, Ita Sarianti adalah anak yatim piatu dan orang miskin serta tidak memiliki harta benda sedikit pun. Setelah menikah dengan Tarmizi, keduanya berhasil membangun rumah dan membeli tanah. “Bang Tarmizi menikah dengan Ita karena sayang, dia anak orang miskin. Rumahnya pun tidak ada. Tapi, ujung-ujungnya dia tega berbuat begini terhadap abang kami. Saya belum bisa membayangkan bagaimana nasib Humaira ke depan,” ulasnya, pada MODUS ACEH, Jumat pekan lalu. Keluarga almarhum Tarmizi mengharap, aparat penegak hukum mengusut tuntas pelaku pembunuhan yang dilakukan Mahonk. Sebab, ada dugaan perbuatan itu sudah
direncanakan. Buktinya pelaku berhasil kabur dengan menggunakan kendaraan milik almarhum Tarmizi. *** Memang, peristiwa berdarah itu sempat didahului adu jotos. Tarmizi (36) akhirnya tewas mengerang nyawa di tangan ‘pacar’ sang istri yaitu Chairul Putra alias Putra alias Mahonk, Minggu, 25 Desember 2016, sekira pukul 05.30 WIB. Peristiwa itu terjadi di rumah korban, Desa Pulo Rungkom, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Ceritanya, Minggu, 25 Desember 2016, sekira pukul 01.00 WIB, Putra alias Mahonk, warga Pematang Siantar, Provinsi Sumut, tiba di rumah korban untuk menjumpai istri korban yang bernama Ita Sariyanti (29). Sekira pukul 05.30 WIB. Mengetahui itu, Tarmizi pulang ke rumah dan mendengar ada suara laki-laki sedang bersama istrinya dalam rumah. Lalu, korban menemukan istri dan tersangka dalam rumah. Lantas terjadi percecokan antara korban dengan istrinya dan menampar istri korban. Seketika Ita lari keluar rumah hingga akhirnya korban terlibat duel dengan tersangka sehingga korban meninggal dunia dengan luka bacok di bagian leher dan dada dengan luka sayatan benda tajam. Dari pemeriksaan sementara, Putra Mahonk mengaku, sempat menghantam kepada Tarmizi dengan kayu balok. Karena masih sanggup berdiri, lalu dia menghunuskan pisau dan menusuk tubuh Tarmizi enam kali hingga akhirnya tewas bersimbah darah di tempat. Setelah mengeksekusi korban, pelaku melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor milik korban. Bahkan, Ita Sarianti ikut membantu dengan memberikan BPKB dan STNK sepeda motor milik korban pada sang pacar yaitu Putra Mahonk. Lalu, korban di bawa ke rumah Sakit Cut Mutia di Lhokseumawe untuk diotopsi. Begitupun, tak butuh waktu lama bagi Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Lhokseumawe.
Putra alias Mahonk berhasil ditangkap di Kabupaten Langkat, Sumutra Utara (Sumut). “Dua tersangka telah diamankan, pihak kepolisian masih melakukan penyidikan motif pembunuhan,” kata Kapolres Lhokseumawe melalui Kasat Reskrim AKP Yasir, Senin, 26 Desember 2016. Yasir menuturkan, tersangka Mahonk mencoba kabur dengan membawa satu unit sepeda motor milik korban. Sedangkan tersangka Ita Suryani, ditangkap di rumahnya, setelah Tarmizi (36) akhirnya tewas. “Saat ini masih dalam pemeriksaan. Bahkan keduanya telah ditahan di Polres,” paparnya. Kapolres Lhokseumawe AKBP Hendri Budiman saat konferensi Pers, Senin, 26 Desember 2016 mengatakan, setelah terjadi pembunuhan tersebut, pihaknya melakukan pengejaran pelaku dengan memakai umpan istri dari korban hingga berhasil ditangkap di kawasan SPBU Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Nah, dari hasil pengembangan, ternyata pelaku sudah tiga hari berada di rumah isteri korban, hingga pada Minggu pagi sekitar pukul 05:30 WIB, korban Tarmizi pulang dan melihat ada seorang pria tak patut yang sedang tidur di ruang tamu bersama istrinya. Pandangan tak elok ini membuat korban Tarmizi naik pitam. Dia seketika emosi. Lalu, menampar dan memukul istrinya Ita Sarianti (26). Melihat tindakan Tarmizi, Chairul Saputra alias Putra alias Mahonk, berusaha untuk membatu selingkuhannya itu. Lalu, Chairul berbalik arah dan memukul Tarmizi dengan balok kayu dari belakang, namun korban masih juga berdiri. Merasa korban masih kuat, Chairul menusuk korban dengan pisau sebanyak enak kali sampai tidak lagi bergerak dan dipastikan tewas. Usai mengeksekusi Tarmizi, pelaku yang dibantu istri korban yaitu Ita Sarianti melarikan diri dengan sepada motor milik korban, STNK sama BPKB juga dikasih untuk pel-
aku. Pada aparat Polres Lhokseumawe, Ita Sarianti mengaku bahwa Chairul adalah selingkuhannya. Mereka pertama kali dikenal melalui acakan nomor handphone hingga sepakat untuk berjumpa dan memadu kasih layaknya suami istri. Sebelumnya, Ita sendiri sering cekcok dengan suaminya. Kondisi ini lebih diperparah, karena korban Tarmizi jarang pulang ke rumah. Korban adalah pedagang atau pengumpul kulit sapi dan kerbau, untuk kemudian di kirim ke Medan, Sumatera Utara dan Jakarta. Sementara Chairul mengaku, sudah menjalani hubungan dengan istri korban selama satu tahun. “Kami kenal melalui telepon seluler, perempuan ini yang menghubungi saya duluan. Dan kami sering berkomunikasi melalui facebook,” katanya saat dimintai keterangan oleh Kapolres Lhokseumawe AKBP Hendri Budiman, Senin 26 Desember 2016. Tak hanya itu, istri korban juga mengaku sudah satu tahun tidak berhubungan intim dengan suaminya. Dia menikah pada 2010 dan sejak 2011 sering bertengkar dengan korban. Nah, entah peluang itulah yang kemudian dimanfaatkan Chairul untuk menjalin asmara terlarang bersama Ita Sarianti. “Saya masih dinafkahi oleh suami. Sebenarnya saya tidak bermaksud untuk membunuh, hanya ucapan saja, saya akan membunuhnya,” ungkap Ita. Polisi berhasil menyita barang bukti berupa pisau, kayu, 4 unit telepon genggam, STNK dan surat kendaraan, KTP pelaku dan istri korban, sepeda motor, uang Rp 2 juta, sandal, tas, baju, dan sapu tangan. “Kedua pelaku dikenakan pasal 340 KUHP Junto Pasal 338 tentang pembunuhan berencana dengan hukuman maksimal 20 tahun, dan minimal 8 tahun penjara,” jelas Kapolres AKBP Hendri Budiman di Aula Mapolres Lhokseumawe. Inilah kisah Chairul dan Ita Sarianti, diantara medsos dan asmara terlarang.***
Kriminal
MODUS ACEH NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
11
■ Polres Aceh Timur Tangkap Pelaku Penembakan Alat Berat
Kado Jelang Tahun Baru aceh.tribunnews.com
Keraguan banyak pihak tentang kemampuan Tim Reskrim Polres Aceh Timur untuk menciduk pelaku penembakan alat berat, terbantah sudah. Aparat penegak hukum ini berhasil menangkap dua tersangka yang diduga sebagai pelaku. Salah satunya, adik Din Minimi.
Muhammad Saleh| Kontributor Aceh Timur Bahar, adik Din Minimi yang diduga terlibat penembak alat berat di Aceh Timur.
walnya memang sempat menimbulkan silang pendapat. Ini terkait soal pengakuan tersangka dan barang bukti (BB) berupa senjata api. Apalagi, setelah tiga hari ditangkap, jajaran Polres Aceh Timur belum bisa mendapatkan keterangan sahih dan BB tadi. Begitupun, bukan polisinya namanya jika tak punya 1001 cara untuk mengungkap kasus kriminal bersenjata. Hasilnya, Sat Reskrim Polres Aceh Timur, Jumat (23/12/2016) lalu, berhasil mengamankan dua terduga pelaku penembakan alat berat jenis bulldozer tersebut. Memang, sebelumnya atau Rabu (21/12/2016) sekira pukul 08.30 WIB, telah terjadi insiden penembakan yang dilakukan oleh orang tak dikenal (OTK) terhadap alat berat jenis buldozer milik sub kontraktor PT Medco E&P yang beroperasional di wilayah di Blok A atau persis di Sumur Alur Rambong Gampong Mane Rampak, Kecamatan Julok, Aceh Timur. Kapolres Aceh Timur AKBP Rudi Purwiyanto dalam siaran persnya pada media, Sabtu (24/ 12/2016) mengatakan, terduga pelaku yang diamankan dua orang. Keduanya ditangkap di dua lokasi terpisah pada Jumat (23/ 12/2016). Terduga pertama yang diamankan adalah AZ alias Aji alias BH (32) warga Gampong Ladang Baro, ia diamankan di Gampong Blang Miden, Kecamatan Julok, Jumat (23/12) pukul 10.00 WIB. Terduga kedua yang diamankan yakni ZB alias RB (29) warga Blang Miden pukul 10.30 WIB. Ia diamankan di Gampong Bukit Siraja, Kecamatan Julok, Aceh Timur.
A
Kapolres menyebutkan, kedua terduga diamankan berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/ 22/XII/2016/SPKT Polsek Julok tgl 21 Desember 2016. Sebelumnya jelas Kapolres, insiden penembakan terhadap alat berat jenis buldozer milik sub kontraktor PT Medco E&P di Gampong Mane Rampak, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Rabu (21/12/ 2016) lalu dilakukan oleh tiga orang tak dikenal. “Ketiga pelaku merusak bagian depan buldozer dengan cara menembaknya menggunakan senjata api laras panjang tanpa izin atau ilegal. Sekarang dua terduga AZ alias Aji alias BH (32) dan ZB alias RB (29) telah ditangkap, satu orang lagi masih DPO,” jelasnya. Salah satu pelakunya adalah adik kandung Din Minimi yang kini sedang menunggu proses amnesti dari Presiden RI Joko Widodo, terkait aksi kriminal bersenjata beberapa waktu lalu. Nah, untuk memperkuat dugaan tadi, polisi akhirkan mendapatkan sepucuk senjata api (Senpi) laras panjang jenis AK-56 plus 18 butir peluru, yang diserahkan salah satu tersangka kepada pihak kepolisian. “Setelah mereka menembak alat berat, senjata api tersebut disembunyikan. Kemudian, berdasarkan kesadaran sendiri mereka serahkan sepucuk senjata api jenis AK-56 plus18 butir peluru kepada kami, Rabu (28/ 12) pukul 16.00 WIB. Diserahkannya senjata api supaya ke depan tidak ada lagi sangkutan dengan pidana,” jelas Kapolres Aceh Timur AKBP Rudi Purwiyanto didampingi Kabag Ops Kompol Rusman Sinaga, Kasat Reskrim AKP P. Harahap, saat temu pers di Mapolres setempat,
Kamis (29/12) Siang. Kapolres Aceh Timur menyebutkan, hingga saat ini pihaknya masih mengejar satu orang lagi buronan terkait kasus penembakan bulldozer milik subkontraktor PT.Medco E&P Malaka ini. Sedangkan dua terduga pelaku, yakni Azhar alias Bahar dan Zubir alias Rambo telah ditangkap personel Sat Reskrim Polres Aceh Timur, Jumat (23/12) lalu di Kecamatan Julok, Aceh Timur. Azhar alias Bahar merupakan adik kandung Din Minimi. “Kepada DPO kita harapkan agar segera menyerahkan diri. Jika tidak maka dampak hukumannya kepada keluarganya sendiri. Yaitu kalau suatu saat keluarganya menjadi korban, maka dia tidak akan bisa menuntut orang, karena kasusnya,” jelas Kapolres. Kapolres Aceh Timur, AKBP Rudi Purwiyanto mengaku sepanjang tahun 2016 pihaknya telah mengamankan tiga pucuk senpi laras panjang jenis AK-56 plus 42 butir peluru, satu FN, dan satu airsoft gun. Menurut Kapolres, sepucuk AK-56 plus 16 butir peluru dan pistol jenis FN diserahkan Raja Rimba terkait aksi penculikan warga Negara Asing (WNA) Malcom, sepucuk AK-56 plus 5 butir peluru diserahkan Buraq terkait kasus penggranatan di Idi Rayeuk, sepucuk AK56 diserahkan Bahar dan Rambo terkait kasus penembakan alat berat di PT Medco, sedangkan airsoft gun hasil transaksi dengan warga. “Kasus Raja Rimba sudah sampai ke pengadilan, tapi korbannya belum bisa dihadirkan sesuai dengan permintaan pengadilan. Sedangkan kasus Buraq sudah dilimpahkan ke jaksa, tinggal menunggu P21. Sedangkan
kasus Bahar dan Rambo sudah menyerahkan senjata api, tapi satu terduga lagi masih dalam pengejaran,” jelas Kapolres. Terkait masih banyak peredaran senpi di Wilayah Aceh Timur, Kapolres mengatakan, ini karena pehaman hukum di wilayah Aceh Timur masih rendah. Selain itu, dotrin pada saat konflik itu terlalu kuat. “Semua senpi ini sisa konflik,”jelas Kapolres. Begitupun kata Kapolres, kondisi keamanan tahun 2016 di Aceh Timur masih aman terkendali. “Walaupun ada peristiwa penembakan tapi tidak berkait dengan politik. Aksi mereka ini termotivasi sendiri, seperti Buraq, aksinya bukan terkait politik,tapi aksi balas dendam antara orang per orang. Jadi, semuanya berkaitan dengan kriminal murni,” ujarnya. Menurut analisis Kapolres, itu terjadi karena orang-orang ini memanfaatkan situasi, baik situasi politik dan situaasi wilayah. Kaitannya dengan situasi wilayah, jelas Kapolres, karena selama ini orang beranggapan kalau di Aceh Timur ada penembakan itu sudah lumrah. “Opini inilah yang harus saya ubah. Jadi, tidak wajar kalau ada senjata api illegal lagi,”jelasnya. Sementara itu, munculnya asumsi bahwa setiap aksi kriminal berkaitan dengan politik, kata Kapolres, Pilkada di Aceh Timur saat ini ada dua Paslon Cabup dan Cawabup dari independen dan partai politik. Kedua kubu ini dari latar belakang yang sama. “Inilah yang dimanfaatkan. Apabila terjadi penembakan, pelaku mengharapkan kedua kubu ini berantem. Alhamdulillah, motifmotif atau tujuan-tujuan itu bisa kita redam, sehingga tidak terjadi perselisihan antarkedua belah
kubu,” kata AKBP Rudi Purwiyanto. Sekedar mengulang, 21 Desember 2016 lalu, sekira pukul 08.30 WIB, terjadi dua kali penembakan terhadap satu unit doser alat (berat) milik PT.Meligo yang berlokasi di Alue Rambong1, Desa Mane Rampak, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur. Berawal sekira pukul 08.00 WIB, satu unit alat berat jenis doser mulai berkerja, membersihkan areal telaga sumur bor Alue Rambong-1. Operator alat berat itu bernama Feri Efendi (21), warga Desa Timbang Langsa, Kecamatan Langsa Baro, Kota Langsa. Nah, sekira pukul 08.30 WIB atau saat bekerja, Feri didatangi tiga 3 orang OTK bersenjata dua pucuk laras panjang jenis AK47 dengan memakai seboh warna hitam (penutup kepala) dan kaca mata hitam sambil berkata. “Matikan alat berat, jangan kerja lagi, pulang kau,” hardik OTK tadi. Karena takut, Feri pun melarikan diri. Selanjutnya, ketiga OTK itu mengeluarkan tembakan 3 kali. Satu tembakan diarahkan ke udara dan dua tembakan lagi ke sasaran (doser) dan mengenai tabung pendingin radiator dan pisau/blade doser. Usai mengeluarkan timah panas itu, ketiga orang pelaku melarikan diri kearah perkebunan warga Desa Mane Rampak, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur. Hingga kini, belum diketahui motif penembakan tersebut. Tidak ada korban dalam kejadian itu, hanya satu unit alat berat jenis doser mengalami kerusakan pada bagian pisau/ blade berlobang dan radiator serta pendingin radiator mengalami kebocoran.***
12
MODUS ACEH
utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
Opini
MERAJUT OPTIMISME 2017
ramuaceh.blogspot.co.id
IKA ada yang menyebut Aceh daerah kaya, tentu tak salah. Dan, jika ada yang bertanya mengapa investasi dan dunia usaha tak tumbuh, kualitas pendidikan juga rendah serta tingkat kemiskinan dan pengangguran juga bertambah, itu pun tak dosa. Bayangkan, sejak 2008 hingga 2016, triliunan Dana Otonomi Khusus (Otsus) telah mengalir ke Bumi Serambi Mekkah. Jumlahnya mencapai Rp 55.636.288.062.500. Tahun 2008 (Rp 3.590.142.897.000), 2009 (Rp 3.728.282.000.000), 2010 (Rp 3.849.806.840.000), 2011 (Rp 4.510.656.496.500), 2012 (Rp 5.476.288.764.000), 2013 (Rp 6.222.785.783.000), 2014 (Rp 6.824.386.514.000) dan 2015 (Rp 7.057.756.971.000.) serta 2016 (Rp 7.057.756.900.000). Dan, diprediksi, tahun 2017 mendatang, akan bergulir kembali sekitar Rp 7.707.216.942.000. Tentu bukan jumlah sedikit jika dibandingkan dengan daerah lain di republik ini. Itu sebabnya, muncul sejumlah pertanyaan besar yang harus dijawab. Apakah dana sebesar ini telah membawa perubahaan nasib dan kondisi perekonomian, dunia usaha, tingkat kesejahteraan rakyat maupun mutu pendidikan di Aceh menjadi lebih baik? Pertanyaan ini menjadi penting sebab peningkatan ekonomi, kesejahteraan, dan dunia usaha serta pendidikan bergerak lurus dengan persoalan patologi sosial. Apalagi, Aceh sempat dilanda konflik bersenjata lebih dari 30-an tahun. Karena itu, berbagai regulasi tata kelola pemerintahan dan keuangan daerah khususnya, patut ditelaah secara mendalam dan kritis. Pendidikan misalnya, berdasarkan neraca pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2015, Aceh menduduki peringkat 32 dari 34 provinsi di Indonesia atau di bawah Papua dan di atas Maluku dengan rerata uji kompetensi guru 2015 (profesional dan pedagogik 48,33 persen), sementara rata-rata nasional 56,69 persen. Sedangkan indeks pembangunan manusia tahun 2014,
J
Aceh berada di urutan 11 dari 34 provinsi (68,81) di bawah Yogyakarta (76,81) dan setingkat di atas Papua Barat (61,28). Kondisi ini jelas anomali. Sebab, anggaran pendidikan Aceh tahun 2015 dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), Rp 12,76 triliun, Aceh mengalokasikan Rp 1,13 triliun (8,90 persen) ditambah dari APBN, Rp 604 miliar. Berada di bawah DKI Jakarta (18,17 persen) dan di atas Kalimantan Selatan (8,33 persen). Lalu, bagaimana dengan iklim investasi? Barang tersedia, tetapi daya beli masyarakat rendah. Begitulah gambaran secara kasar. Maklum, pertumbuhan ekonomi Aceh sempat berada di level atas, tetapi puncaknya justru terjadi lima tahun silam. Kondisi ini sepertinya berjalan seiring pertumbuhan ekonomi Aceh yang belum sepenuhnya membaik setelah
sempat terpuruk tahun lalu. Walaupun menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh sempat tumbuh mencapai 2,67 persen pada awal Agustus 2015 lalu. Akibatnya, tingkat pengangguran terbuka di Aceh pada 2011 mencapai 8,62 persen, tahun 2012 (9,06 persen), 2013 (10,12 persen), 2014 (9,02 persen), 2015 (9,93 persen) dan 2016 (7,57 persen—sumber: BPS). Sementara, angka kemiskinan dengan kategori rumah tangga 530.772 jiwa dan jumlah individu 2.200.134 jiwa di seluruh Aceh (sumber: Bappeda Aceh 2016). Tak hanya itu, terkait Rencana Investasi Program Pengembangan Sistem Ketenagalistrikan 2016 dan 2017 misalnya, Aceh hanya 138,0 274,0. Sedangkan Sumatera Utara 830,0 928,0, Riau 446,0 747,0, Kepulauan Riau 64,3 23,9. Bangka Belitung 182,0 40,0, Sumatera Barat 88,0 500,0, Jambi 364,8 64,5, Sumat-
era Selatan 969,4 412,0, Bengkulu 248,0 202,0 dan Lampung 446,2 348,5. Disusul perkiraan pendapatan operasional sektor listrik tahun 2017. Nah, Aceh berada di angka 274,0, Sumatera Utara 928,0, Riau 747,0, Kepulauan Riau 23,9, Bangka Belitung 40,0, Sumatera Barat 500,0, Jambi 64,5, Sumatera Selatan 412,0, Bengkulu 202,0 dan Lampung 348,5 (sumber: Outlook Perekonomian Indonesia 2017 (Tantangan Menghadapi Resiko Global, Kementerian PPN/Bappenas 2016). Dari sisi ketenagakerjaan, pembangunan pembangkit listrik yang sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sebesar 13.759.000 orang pada 2016 dan 27.167.000 (2017). Penyerapan tenaga kerja selama dua tahun tersebut diperkirakan terjadi pada sektor pertanian (27
%), konstruksi (25 %), sektor perdagangan, hotel, dan katering (16 %), sektor listrik, gas, dan air (11 %), serta sektor manufaktur (8 %). Provinsi yang diperkirakan mendapatkan penambahan nilai tambah terbanyak dari pembangunan sistem kelistrikan di Indonesia tahun 2016-2017 adalah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Jawa Timur. Hasil tersebut sejalan dengan rencana pembangunan sistem kelistrikan 2016-2017, di mana nilai investasi terbesar untuk 2016 dan 2017 terdapat di wilayah-wilayah tersebut. Sementara, Aceh hanya 6,5 persen (skala dalam ribuan). Bisa jadi, karena ekonomi Aceh yang lesu inilah mengakibatkan minimnya investasi di Aceh. Infrastruktur dibangun, suasana juga kondusif, aman, tapi sayang tidak diikuti investasi swasta yang cukup.
MODUS ACEH
utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
13 MODUS ACEH/Azhari Usman
Laporan Bank Indonesia (BI) pada triwulan pertama 2015, menyebutkan, penyerapan anggaran (APBA) yang kurang maksimal sangat berdampak pada melambatnya ekonomi Aceh. Selain ketergantungan pada APBA, menurut Bank BI, belum adanya sektor swasta (terutama sektor industri) yang dapat menggerakkan roda perekonomian di Aceh. Di mana letak kendalanya? Pada triwulan pertama 2015, Badan Investasi dan Promosi Aceh menyebutkan, penanaman modal dalam negeri mencapai Rp 1,3 trilun lebih, sementara penanaman modal luar negeri mencapai Rp 42 miliar. Sejumlah analisa menyebutkan, angka ini tidak sebesar penanaman modal setahun sebelumnya. Pertanyaannya kemudian, mengapa investasi swasta dari dalam dan luar negeri di Aceh belum seperti diharapkan? Enam tahun silam, Bank Dunia menyebut ada dua faktor besar penghambat investasi di Aceh yaitu ketersediaan infrastruktur dan korupsi, termasuk aksi kekerasan yang dilakukan segelintir eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebetulnya, pertumbuhan ekonomi Aceh bisa lebih cepat, tapi harus ada investasi dari dalam dan luar negeri. Investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya asal tidak ada korupsi, pemerintahan yang bersih dan ada penegakan hukum. Masalah keamanan yang memang sempat dikhawatirkan ternyata bukan lagi dianggap sebagai biang keladi. Tapi, terletak pada masalah regulasi, infrastruktur serta sumber daya manusia. Misal, di Aceh, masalah suplai listrik masih minimal. Dan, untuk satu investasi yang kecil sekali pun, suplai listrik yang konstan sangat diperlukan. Apalagi, jika ada investor yang mau mendirikan pabrik. Dan, bukan rahasia lagi isu soal korupsi di Aceh juga sudah menjadi pembicaraan hangat di berbagai kedai kopi yang menjamur di ibu kota provinsi ini. Sekali lagi, kenapa semua itu terjadi? Para ahli dan akademisi berpendapat. Salah satunya adalah karena relasi politik budaya di Aceh, belum berjalan ke arah lebih baik. Diakui atau tidak, 11 tahun pasca damai antara GAM dengan Pemerintah Indonesia, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia belum sepenuhnya memberikan ruang dan keluasaan dalam dunia usaha, investasi dan pertumbuhan ekonomi. Faktanya, di satu sisi, telah
melahirkan para pengusaha baru, khususnya dari mantan kombatan GAM. Di sisi lain, muncul praktik monopoli terhadap sejumlah sumber-sumber pendapatan (proyek). Naifnya, semua bertumpu pada sumber anggaran dari APBA dan APBN. Sementara, industri belum tumbuh secara baik di Bumi Serambi Mekkah ini. *** Tidak bisa dipungkiri, penyumbang terbesar Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/ Kota (APBK) sejak 2008 hingga 2016 bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Otsus). Prosentasenya mencapai 60,42 persen. APBA 2015 misalnya, penerimaan Aceh terbesar dari Dana Otsus. Karena sejak tahun 2008 sampai 2022, pengalokasiannya dua persen dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU). Namun, itu hanya berlangsung selama 15 tahun. Sedangkan enam tahun terakhir, sejak tahun 2023 sampai 2028, konstribusi Dana Otsus untuk Aceh mulai berkurang. Jumlahnya menjadi satu persen dari pagu DAU. Semula, berdasarkan Pasal 11 huruf a dan b Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi serta Penggunaan Dana Otsus Aceh, 40 persen dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan Aceh dan 60 persen kabupaten/kota. Tapi, Dana Otsus 60 persen untuk kabupaten/kota itu tak lagi dilakukan transfer dalam bentuk tunai (cash) oleh provinsi. Lalu, kabupaten/kota mengusulkan mekanisme program dan kegiatan. Itu diatur dalam Pasal 12 Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tadi. Namun, cara itu hanya berjalan enam tahun. Artinya, dari tahun 2008 sampai 2013 dan sejak 2014 sampai 2016, perun-
tukan Dana Otsus untuk kabupaten/kota berubah dengan sistem transfer 40 persen dan 60 persen dikelola oleh provinsi. Berubahnya penyaluran Dana Otsus itu bukan tanpa sebab. Kala itu, muncul desakan dari kabupaten/kota agar Dana Otsus Aceh ikut dikelola daerah. Permintaan ini dengan beragam alasan, terutama karena dinilai bahwa Dana Otsus Aceh merupakan milik bersama, yaitu antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Nah, senjata ampuh yang digunakan untuk merongrong perubahan mekanisme pengelolaan bersama Dana Otsus tersebut adalah MoU Damai (Helsinki) 15 Agustus 2005, kemudian terbitlah Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006. Padahal, jika mau jujur poin penting dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh juga ada diatur seperti dalam UUPA. Memang, dalam UUPA disebutkan bahwa sumber penerimaan dan pengelolaan seperti diatur dalam Pasal 179 ayat (2) pendapatan daerah huruf a sampai d disebutkan Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan lainlain pendapatan yang sah. Itu sebabnya, atas desakan daerah, sehingga terjadi perubahan Qanun Dana Migas dan Otsus tadi pada 2013. Atas perubahan itulah, sistemnya 40 persen Dana Otsus ditransfer provinsi ke 23 kabupaten/kota. Sehingga, transfer Dana Otsus untuk kabupaten/kota, dari total tujuh triliun rupiah lebih, ada Rp 2,9 triliun lebih ditransfer ke 23 kabupaten/kota di Aceh. Belakangan, persisnya awal tahun 2016 lalu, muncul kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk melakukan revisi Qanun Nomor 2 Tahun
2013 tentang Migas dan Otsus Aceh. Perubahan ini semula tidak ada dalam Prolega 2016, tapi perubahan qanun itu merupakan inisiatif wakil rakyat sendiri. Sehingga, terbentuklah panitia khusus (khusus) yang diketuai Abdurrahman Ahmad beserta perwakilan fraksi-fraksi partai politik yang ada di DPRA. Dilakukan perubahan qanun itu bukan pula tak ada sebab. Ini karena peruntukan program dan kegiatan anggaran yang bersumber dari Otsus 40 persen cenderung diperankan secara tunggal oleh eksekutif di kabupaten/kota, bahkan tak melakukan pembahasan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK). Sehingga, fungsi pengawasan dewan tak jalan untuk program Dana Otsus, lantaran dewan daerah tidak tahu kegiatan Dana Otsus itu dialokasikan untuk apa dan ke mana. Maka, muncullah keluhan dari sebagian anggota DPRK terkait Dana Otsus 40 persen tersebut. Bukan hanya itu, selain tak berfungsinya pengawasan dari dewan, bupati atau walikota juga sering melakukan revisi di tengah jalan terkait berbagai program dan kegiatan Dana Otsus. Misalnya, di Kabupaten Aceh Selatan, Bupati T. Sama Indra, dua kali mengusulkan revisi Dana Otsus pada 2015. Maka, muncullah program dan kegiatan yang menguntungkan sepihak dan juga kegiatannya dicincang. Karena itu, perubahan ketiga kalinya aturan Dana Otsus dengan alasan spirit membangun Aceh menjadi pertanyaan besar. Begitupun, ada juga yang janggal terhadap rencana perubahan qanun tersebut. Sebab, jika dulu pengusulan kegiatan Dana Otsus berdasarkan indikator, namun dalam rencana perubahan tahun 2016, pemerintah daerah hanya mengusulkan
proposal ke provinsi. Mekanisme ini pula yang membuka peluang subjektif jika tidak elok disebut liar. Sehingga, muncul spekulasi yang beragam. Bisa jadi, para pemangku kepentingan Aceh, mulai di provinsi hingga kabupaten dan kota beranggapan bahwa Dana Otsus tadi ibarat sumber mata air yang selalu memberi kesejukan untuk melepas ‘syahwat’ kegerahan. Tapi, mereka lupa bahwa suatu saat sumber ‘mata air’ tersebut akan habis dan kering kerontang. Nah, dari berbagai persoalan tadi, KAMAR DAGANG DAN INSDUSTRI INDONESIA (KADIN) ACEH bekerjasama dengan Tabloid Berita MINGGUAN MODUS ACEH, Portal Berita MODUSACEH.CO dan Majalah INSPIRATOR (Kelompok Media) serta Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah I (Sumatera UtaraAceh) dan Koordinator Wilayah (Korwil) Aceh, DPP Partai Golkar, menggelar diskusi sehari tentang: OUTLOOK ACEH 2017 di Sulthan Hotel Banda Aceh. Diskusi yang membedah realita pendidikan, dunia usaha, ekonomi serta politik budaya dengan narasumber berkompeten, yaitu Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof. Dr. Farid Wadji Ibrahim MA, Ketua KADIN Aceh dan anggota DPR RI Fraksi Golkar asal Aceh Firmandez, pengamat ekonomi yang juga dosen Unsyiah Rustam Effendi, serta antropolog Unimal Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya. Berbagai pemikiran kritis narasumber tadi diramu pemandu diskusi Andi Sinulingga, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah I (Sumatera Utara-Aceh) DPP Partai Golkar. Seperti apa gagasan dan pemikiran mereka? Wartawan MODUS ACEH, Muhammad Saleh, Juli Saidi dan Azhari Usman Usman, menulisnya untuk Laporan Utama pekan ini.***
14
MODUS ACEH
utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
■ Outlook Aceh 2017
JIKA TAK BERBENAH, 2028 ACEH “KIAMAT” FOTO FB/EDI FADHIL
Outlook Aceh 2017 tidak berada di ruang yang imun dari situasi-situasi sejarah yang mendahuluinya. Situasi saat ini adalah dialektika Aceh sejak konflik hingga perdamaian dan kita bisa menaksir kualitas demokrasi Aceh ke depan. Outlook Aceh sesungguhnya tidak hanya pada 2017, tapi juga 2019 akan menjadi batas untuk menilai apakah Aceh akan sukses untuk menapaki situasi demokrasi yang lebih terkonsolidasi atau terjebak pada involusi politik seperti yang dengan mudah kita lihat saat ini.
onsep involusi yang ingin dijelaskan di sini meminjam apa yang dikatakan antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz dalam bukunya Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia (1963). Di situ, Geertz melihat bahwa pertanian di Jawa yang meskipun telah terpapar oleh pandangan modern kolonialisme Eropa tetap tidak bisa mengabsorsi secara sempurna. Sehingga, dalam beberapa hal, yang terjadi budaya pertanian Jawa masih seperti sebelum kolonialisme. Pelbagai upaya kolonialisme Eropa untuk memajukan pertanian Jawa selalu terhalang tembok, yaitu inti kebudayaan Jawa (core culture) yang memiliki keintiman tersendiri ketika berelasi dengan alamnya. Jika kita kontekstualisasikan dengan konteks budaya politik Aceh, segala upaya untuk memajukan demokrasi Aceh bercita-rasa Eropa (dan kelirunya ketika cita rasa Eropa atau Finland-
K
ia ini dianggap sebagai obat segala obat) masih terhalang oleh karakter dalam (inner culture) masyarakat Aceh (terutama masyarakat yang terluka dan kini memerintah). Alhasil, banyak dari nilai-nilai demokrasi belum tembus di dalam raganya. Budaya cot gateh, ku’eh, misee kon ie mandum leuhob, misee kon droe mandum gob masih menjadi nilai-nilai yang secara intrinsik menolak semangat kompetisi dan kontestasi dalam demokrasi modern. Situasi involusi itu masih terjadi hingga saat ini. Atau situasi kedua, regresi atau kemunduran dan kebangkrutan Aceh karena perdamaian dan syafaatnya yaitu Dana Otonomi Khusus (Otsus) tidak bisa membuat masyarakat Aceh lebih baik dibandingkan dengan daerah lain yang tidak ada Otsus. Situasi ini pernah dicibir oleh mantan Mendagri Gamawan Fauzi, bahwa dana pembangunan Sumatera Barat “hanya seperempat”. Aceh tapi lebih bisa
membangun dan mensejahterakan dibandingkan Aceh. Ini tentu regresi terbesar ketika nikmat gagal menjadi rahmat bagi seluruh rakyat, malah menjadi kiamat. Atau situasi ketiga, dan ini lebih buruk: segregasi atau terpecah-pecah, sehingga gagal berjumpa sama lain. Akhirnya masyarakat Aceh akan terbelah berdasarkan imajinasi, kesejarahan dan kesadarannnya tentang Aceh. Ketika politik Aceh semakin tersegregasi tentu semakin jauh terjadi konsolidasi demokrasi. Hingga saat ini ide tentang pemekaran provinsi masih berngiang di komunitas Gayo dan pantai Barat, yang menunjukkan bahwa perdamaian yang hadir hingga saat ini pun belum menjadi politik kesejahteraan yang menyatukan dan memesrakan hubungan masyarakat Aceh. Inilah pendapat Teuku Kemal Fasya. *** “SAYA akan meng-highlight kondisi Aceh terkait dengan alokasi dan sumber ekonomi
yang dikelola dengan jelek serta buruk,” begitulah, kalimat pembuka dari Rustam Effendi, pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Rustam tampil sebagai pembicara pertama dalam Diskusi Outlook Aceh 2017; membedah realita pendidikan, ekonomi, dunia usaha dan politik budaya Aceh. Diskusi ini digagas dan laksanakan Tabloid Berita Mingguan MODUS ACEH, Banda Aceh, bekerjasama dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) ACEH, Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah I (Sumatera Utara-Aceh) dan Korwil Aceh DPP Partai Golkar di Sulthan Hotel Banda Aceh, Rabu pekan lalu. Menurut Rustam, selama ini, banyak belanja konsumsi yang tidak perlu dan serapan paling besar adalah pada belanja gaji dan tunjangan, termasuk belanja tambahan penghasilan pegawai negeri sipil (PNS), belanja hibah dan banyak contoh lain,
yang menunjukkan pengalokasian yang buruk. Sementara, simpanan atau tabungan masyarakat Aceh bentuknya sangat likuid. Harusnya, tabungan jangka yang paling banyak dilakukan masyarakat. Di sisi lain, perbankan hanya menjadi tukang kumpul uang tapi tidak membagi ke bawah. Ironis, tugasnya hanya mendistribusikan atau menjadi terminal saja. Pinjaman yang paling banyak justru untuk konsumsi bukan untuk membuka lapangan usaha. Artinya, bank juga ingin aman sendiri. Karena itu, kata Rustam, KADIN Aceh dan dunia perbankan, pemerintah daerah, gubernur, ekonom, harus duduk dan melihat sektor mana saja yang bermasalah dan harus segera dibenahi serta ditindaklanjuti. “Bagaimana mengukur kinerja pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi harus dilihat, termasuk juga kualitas hidup masyarakat, iklim usaha dan seterusnya. Lalu, angka hu-
MODUS ACEH
utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
15 MODUS ACEH/Azhari Usman
man development-nya,” jelas Rustam. Rustam menilai, ekonomi Aceh dari sektor pertanian tumbuh sangat lambat, padahal sangat punya basis dan potensi besar. “Tapi faktanya, pengolahan pertanian kita minus. Maknanya, kita tidak melihat di sana ada peluang uang, baik barang jadi atau setengah jadi. Yang paling menonjol hanyalah pemerintahan. Inilah komposisi yang paling menyusahkan kita,” ungkap Rustam. Tak hanya itu, produk domestik regional bruto (PDRB) ekspor Aceh juga minus, sehingga konsumsi tumbuh sangat kecil. Dan, angka yang ada saat ini selisihnya tinggi sekali dari deviasi antara yang diplot dengan realisasi. “Karena itu, jangan heran, ekonomi Aceh tumbuh di bawah angka nasional. Kita yang paling jelek,” ujarnya. Kejelekan itu bukan tanpa sebab, sebut Rustam. Misal, dapat dilihat dari kualitas hidup, ketimpangan antara orang miskin dan kaya semakin tinggi, baik di kota maupun desa. Sementara, kesempatan usaha dan peluang pekerjaan juga semakin kecil, sehingga melahirkan kemiskinan yang tinggi pula. Lantas, bagaimana dengan human development? Aceh berada pada nomor dua paling bawah di Indonesia. Di mana salah Aceh? Menurut Rustam, salah satu terletak pada strategi pembangunan dan itu harus segera diperbaiki baik di propinsi maupun kabupaten dan kota. Caranya, analisa yang bagus dengan data yang tajam, jangan hanya berada di atas meja Bappeda, Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) serta Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/ kota (SKPK). Sebaliknya, harus dibuat kondisi eksisting seperti apa, mau jadi apa. “Sehingga, kita tahu kondisi seperti apa yang diinginkan. Base of issue yang penting, harus bisa dijawab dari mana angka-angka itu muncul,”
gugat Rustam. Rustam menilai, selama ini, orientasi realisasi anggaran di Aceh hanya pada proyek. Jika tabiat ini terus dipertahankan, menurutnya Aceh tidak bisa mengubah keadaan apa pun. Apalagi, kalau pembangunannya base of the fee. Maka, tidak akan pernah baik kondisi ekonomi di Aceh. “Ke depan, jangan lagi seperti ini. Harus ada alasan-alasan mengapa harus dilakukan,” sarannya. Nah, untuk bisa menopang sumber pembangunan tadi, tak ada pilihan lain, kata Rustam, kecuali swasta harus masuk dan investasi harus ada. “Kalau Aceh mau tumbuh ekonominya, maka harus tumbuh lima persen untuk migas dan non-migas. Karena kita hanya mampu 23 persen, sehingga yang mampu dipenuhi hanya Rp 1-2 triliun dengan non-migas. Maknanya, kita tidak cukup uang. Dari mana itu semua kalau bukan dari swasta. Kita butuh belanja modal yang besar, baik migas maupun non-migas. Maka, support dari pihak perbankan dan dunia usaha melalui KADIN harus ada,” tawar Rustam. Persoalannya adalah adakah yang menyentuh usaha kecil dan
menengah? Harus ada komitmen pemegang mandat politik di daerah ini, terutama pada penguatan sentra-sentra produksi. “BUMA/BUMD harus menjadi lokomotif dalam memperkuat kapasitas fiskal untuk mengantisipasi pasca berakhirnya penerimaan Dana Otonomi Khusus. Fokuslah pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, sehingga dapat mendorong kemajuan daerah, mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Jangan banyak dimensi politik karena selalu akan ribut. Bagaimana Aceh ke depan tanpa swasta yang masuk? Tidak mungkin Aceh maju. KADIN bersama semua pihak ajaklah swasta untuk masuk,” kata Rustam. Pendapat Rustam, dipahami Andi Sinulingga bahwa masalah di Aceh tentu harus dijawab oleh orang Aceh sendiri. Mengapa Aceh tidak seperti semut mencari gula dan benarkah ada negara yang mensejahterakan rakyatnya sendiri? Atau para pelaku dunia usahalah yang membuka lapangan kerja dan pemerintah hanya sebagai regulator serta fasilitator yang membuat persaingan usaha lebih baik? Lantas, sejauh mana kondisi tadi ikut
■ Sumber: Presentasi Rustam Effendi
mempengaruhi realitas pendidikan di Aceh, apakah sudah berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya atau tidak? Tanda tanya ini dijawab Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim MA, Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Kata Prof Farid, kondisi piramida masyarakat Indonesia 30 persen di atasnya adalah kelompok menengah ke atas dan itu tetap yang paling sedikit. Lalu, penguasa, pengusaha dan filosof dan para pakar berikutnya. Angka-angka itu tidak pernah berubah. “Setting siapa orang bodoh lebih banyak dari orang pintar? Tidak ada kerisauan banyak orang pintar di luar Indonesia hari ini. Kapan Indonesia itu mau menjadi negara industri, negara maju. Karena memang Indonesia disetting jangan jadi negara maju. Dan itu bukan hanya di Indonesia, di banyak negara yang berpotensi menjadi negara maju akan dihambat memang,”ungkap Prof Farid. Menurut dia, kondisi pendidikan Aceh saat ini memang diukur secara standar dan memang tidak jauh beda dengan kondisi ekonomi. “Unggulan itu belum menunjukkan kuantitas, bukan saja kualitas. Indonesia ini seperti negara salah urus dan tidak memiliki target, begitu juga dengan Aceh, tidak fokus kita dalam mengurus dunia pendidikan. Banyak kesalahan menempatkan kepala dinas, kerjanya hanya kejar tayang dan tidak punya target,” sebut Prof Farid. Dia mengulas sejumlah fakta. Misal, antar kabupaten/kota juga tidak sinkron, termasuk tidak pernah sinkron antara DPRA dengan Pemerintah Aceh. Padahal, ada payung besar yaitu undang-undang Nasional. Tapi, tidak dipakai seperti perekrutan tenaga pendidikan yang tidak
memenuhi standar pendidikan. “Pendidikan hanya untuk pembangunan fisik saja, penguatan mutu pendidikan tidak ada,” kritik Prof Farid. Di sisi lain, dukungan dana sudah cukup, tapi sumber daya manusia hari ini masih mengkhawatirkan. “Banyak sumber daya manusia yang brilliant dan sudah mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri, tapi tidak dimanfaatkan dengan baik di Aceh. Putra putri Aceh tidak sanggup bersaing dengan kemampuan dari diluar Aceh,” ujarnya. Saat ini, lanjut Prof. Farid, ada 13 perguruan tinggi negeri (PTN) di Aceh dan 150 PTS dengan jumlah pendudukan enam juta jiwa. Kondisi ini sangat membanggakan, tapi yang terbanyak rakyat miskin di dunia justru ada di Kota Lhokseumawe. Pendapat Prof. Farid diselaraskan oleh pemandu diskusi Andi Sinulingga. Katanya, memang ada masalah dengan kondisi ekonomi dan pendidikan Aceh saat ini, yaitu bagaimana orang-orang pintar tidak tertampung di Aceh. Namun, adakah semua itu memiliki pengaruh bagi dunia usaha di Aceh? Sebab, antara pelaku dunia usaha yang memang bisa membuka lapangan pekerjaan dengan dunia pendidikan dan industri pendidikan tidak bisa dipisahkan. Maka, kehadiran dunia usaha untuk membangun sekolah industri unggulan dan menjadi peluang dan potensi untuk bisa dikembangkan. Tak hanya itu, pertanyaannya kemudian adalah seberapa besar peluang KADIN Aceh dalam memberikan sumbangan perekonomian untuk Aceh lebih baik? Ketua KADIN Aceh yang juga anggota pemantau Dana Otsus Aceh dan Papua, DPR RI, Firmandez berpendapat. KADIN
16
MODUS ACEH
Utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
adalah kelompok dunia usaha yang dilindungi undang-undang (UU) dan didirikan juga dengan UU. Tapi, pemberi keputusan tidak paham dengan posisi KADIN. “Memberikan kesempatan usaha itu dapat membuka peluang kerja kepada pencari kerja. Perlunya kesempatan berusaha, ada kesempatan bekerja, tentunya ada pendapatan buat masyarakat, pengangguran berkurang, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejateraan,” sebut dia. Tapi, faktanya, perusahaan daerah itu justru menjadi seperti dinasdinas saja. “Padahal, gen orang Aceh adalah enterprenurship. Potensi yang luar biasa di Aceh, berpadu dengan sumber daya manusia yang memiliki gen pengusaha, maka akan berpeluang besar untuk memajukan ekonomi Aceh,” ungkap Firmandez. Begitupun, semua berpulang pada pemegang kekuasaan. Belajar dari pengalaman lima tahun lalu, kondisi ini justeru stagnan. Karena itu sebut Firmabdez, Gubernur Aceh terpilih nantinya harus paham kondisi ini. “Daerah harus berbisnis dengan BUMD-nya, itu wajar saja. Tapi, kuncinya ada di tangan pimpinan daerah, terutama menggunakan orang-orang yang pintar di sekitarnya. Pendekatan proyek sudah benar, tapi yang dibangun mercusuar dan tidak mengena pada peningkatan ekonomi industri masyarakat. Kita perlu bicara semua itu dari hati ke-hati,” papar anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar ini. Terkait soal keamanan di Aceh, menurut Firmandez sudah semakin baik. Ini sejalan dengan perdamaian tumbuh dan terbukti
MODUS ACEH/Juli Saidi
dengan kondisi jelang Pilkada 2017 mendatang. Kondisinya masih sangat nyaman tinggal di Aceh. “Nah, dengan adanya perusahaan daerah, semua sumber daya daerah akan dikembalikan ke daerah. Tempatkan uang di holding perusahaan daerah dan kita cukup mengambil selisihnya saja. Di samping usahanya berjalan, juga akan menghasilkan keuntungan,” usul Firmandez. Begitupun, harus ada diproteksi dan keberpihakan pemerintah daerah terhadap perusahaan daerah, terutama yang mana harus dikembangkan melalui badan usahanya. “Harusnya rakyat lebih kaya dari pemerintah,” kritik Firmandez. Pendapat Firmandez dipertajam oleh Andi Sinulingga. Katanya, politik yang mengenyangkan, sepanjang para politisi dan birokrasi itu menjadi pengusaha, maka rakyatnya akan mendorong menjadi pengusaha. Namun, apakah semua itu dapat berjalan secara mulus?
■ Sumber: Presentasi Rustam Effendi
Antropolog Universitas Negeri Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya berpendapat, “Masa depan Aceh yang sedang kita jelang ini tidaklah berseri-seri amat, karena banyak pilu dan dialegtika negatif. Aceh akan “kiamat” pada 2028 jika Dana Otsus habis dan tanpa mau insaf serta sadar untuk mencari sumber ekonomi baru,” sebut dia. Kata Kemal, Aceh akan menjadikan daerah tempat saling memakan, karena uang sudah tidak ada lagi, tapi semua harus hidup dan makan. Dan, enam pasangan calon pemimpin Aceh yang akan berlaga pada Pilkada 2017 mendatang, dinilai Kemal, tidak cukup kuat untuk membawa perubahaan pada Aceh baru. “Malah memunculkan bahasa mitos yang menjadi mantra, yang mereka sendiri sesungguhnya tidak melakukan mantra itu,” ungkap Kemal. Menurut Kemal, tidak bisa ekonomi menjadi matra utama dalam konteks pembangunan,
sebaliknya harus dikendalikan oleh pengawasan mandat politik. “Tapi problemnya hari ini adalah, imajinasi ekonomi secara implimentatif tidak muncul dari para calon pemimpin kita. Bicara keadilan di Aceh, sektor yang tertinggal tidak dibicarakan yaitu eks kombatan, mereka tidak mendapatkan apa-apa, kelompok yang paling tidak diuntungkan dalam pembangunan yaitu korban konflik,” sebut dia. Terkait soal keadilan, lanjut Kemal, hari ini, tidak ada yang berbicara kebenaran yang memenangkan para korban untuk Aceh ke depan. Sementara, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh baru hadir tahun 2016. “Ini representasi kelompok yang terluka. Tapi, berkolusi dengan kelompok pelaku yang berkolusi dengan mereka. Bagaimana misalnya Partai Gerindra dan PA bisa berkolaborasi,” gugat Kemal. Dia menilai, setiap pilkada kecuali 2006-2007, prahara pemilihan umum kepala daerah 2012 banyak menimbulkan tumbal dari problem hari ini. Dan, memasuki 2017, adalah lorong yang penuh kecemasan. Ini dibuktikan dengan tingkat kepercayaan terhadap lembaga survei sangat diragukan, karena hasil ini ditekan. “Ini bukan momentum kontestasi yang sehat. Banyak diksi yang tidak berkebudayaan. Bahasa yang tidak patur di ruang publik justru dimunculkan. Momentum pemilihan umum kepala daerah bagi Aceh bukan momentum kesejahteraan. Ini adalah proses berperang dengan semua, yang dulu saudara kini menjadi musuh,” ulasnya. Kemal mengatakan, ada fakta lain bahwa ekonomi tidak bisa bergerak kalau dikendalikan dengan pimpinan yang tidak sehat. Pemilihan umum kepala daerah berhenti kepada logikalogika politik saja. Selain itu, representasi pemilihan umum kepa-
la daerah juga masih berselimut dalam sektarian. “Berlomba-lomba para kontestan untuk memunculkan simbolisme interaksi, agama pun di tunggangi di Aceh,” sebut dia. Tapi, di sisi lain, tak bisa juga menyalahkan kelompok yang sedang berkuasa saat ini juga. Sebab, mereka yang terpilih belum tentu representasi intelektual. “Justru orang seperti Pak Rustam susah menjadi bupati atau gubernur. Karena relasi hari ini adalah kapitalisasi. Uang adalah pertaruhan untuk menghitung kepala-kepala rakyat. Ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka, karena mereka dipilih dalam proses pemilihan umum,” pendapat Kemal. Sebaliknya, daerah-daerah yang tertindas dan mau menghirup konsep demokratis kapitalis modern akan kebingungan menggunakannnya, sebab rakyat tidak siap dengan revolusi seperti ini. “Yang kita pilih bukan pemimpin, hanya kelompok pemerintah dan kelompok yang diperintah. Politik dari orang-orang yang diperintah, ketika masuk ke area yang dipimpinnya, maka akan kebingungan. Sekarang kita akan memilih orang-orang yang bingung ini,” katanya. Itu sebabnya, kata Kemal, takdir rakyat Aceh adalah jalan di tempat dengan uang Migas dan Otonomi Khusus. Ironisnya, uang dalam jumlah puluhan triliun rupiah itu tidak tahu menguap ke mana. “Tidak ada bekas dalam pembangunan, terlalu banyak mismanajemen, perilaku koruptif dan tidak ditujukan untuk pembangunan. Otonomi khusus yang kita terima ini tidak ada mekanisme responnya. Papua menolak otonomi khusus, sementara kondisi Aceh lebih buruk dari hari kemarin. Siklus kekerasan akan muncul lagi, Aceh akan terpecah-pecah lagi dengan kondisi seperti ini, tidak ada imajinasi untuk Aceh itu satu,” ungkap Kemal.***
MODUS ACEH
Utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
17
■ Teuku Kemal Fasya
INVOLUSI, REGRESI, ATAU SEGREGASI? MODUS ACEH-DOK
etapa tidak. Dengan uang yang sudah sebesar itu digelontorkan plus dana APBA dan juga insentif yang telah dilakukan multi-donor di masa rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami, dampak perubahan yang dirasakan masyarakat hingga saat ini masih sangat minimal kalau tidak mengatakan tidak ada. Pengelolaan anggaran yang demikian besar itu yang telah dilalui dua periode pemerintah lokal yang hadir dari rahim perdamaian Aceh, bukan saja mengindikasikan adanya korupsi dan moralitas buruk dalam pengelolaan politik lokal, tapi juga memperlihatkan problem laten di dalamnya. Padahal, seperti imperatif UU Pemerintahan Aceh (UU PA) Pasal 183 ayat (1) menyebutkan bahwa peruntukan dana otonomi khusus adalah untuk pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Anggaran itu juga memiliki irisan yang jelas dengan anggaran umum APBA dan APBN agar tidak terjadi duplikasi anggaran. Namun, dengan irisan seperti itu pun, pemerintah Aceh tidak kunjung bisa memenangkan hati dan pikiran rakyat. Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh adalah prinsip dijalankannya otonomi khusus atau dalam bahasa yang senang dikutip eks GAM: self-government. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.dalam sistem otonomi yang demokratis, masyarakat Aceh memiliki
B Situasi perdamaian Aceh yang berhulu dari penandatanganan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Vantaa, Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 dan kemudian digemburkan dengan pelaksanaan proyek otonomi khusus Aceh, dengan politik anggaran yang sudah berjalan sejak 2008 hingga 2016, menggelontorkan tak kurang dari Rp 55,6 triliun (catatan saya 49,2 triliun), merupakan uang besar yang terhambur percuma. Kesiasiaan itu semakin terlihat jika kita menghitung dengan metodologi manajemen pembangunan atau cost and benefit analysis (CBA).
peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah. Hal lain yang penting diingat adalah perdamaian Aceh dan paket otonomi khusus itu sebuah matra yang harus dijalankan secara konstitusional dan demokratis. Prinsip otonomi khusus dipertegas sebagai kewajiban konstitusional, yang menekankan posisi Pemerintahan Aceh sebagai bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penegasan ini dapat dibaca dalam penjelasan UUPA. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat Aceh. Dari sisi Pemerintah Pusat, dia dilihat sebagai sikap untuk meneguhkan janji akibat pembiaran yang menyebabkan Aceh berantakan karena konflik. Dari perspektif pemerintah daerah ia adalah amanat yang harus dijalankan dengan penuh ketakziman dan semangat keras pada tujuan kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat Aceh. Politik Elektoral dan Rivalitas Hal yang masih sulit dilihat menggembirakan di Aceh pada politik 2017 adalah tentang representasi politik yang akan hadir ke depannya. Dari enam kandidat yang hadir saat ini dan berkontestasi ke depan merupakan “wajah-wajah lama” politik di Aceh. Kehadiran mereka tentu tidak dapat dikatakan akan melahirkan “lompatan paradigmatik” dalam perpolitikan Aceh. Jikapun ada sosok yang belum pernah beredar dalam pemerintahan, seperti Zakaria Saman, hanya menjadi
cameo dari empiris politik yang sering melelahkan dan melahirkan kecemasan. Hal itu terjadi karena dua aras. Satu hal yang paling mengemuka jika mengutip kalimat profesor linguistik Amerika Serikat, Noam Chomsky. Kelemahan pada aspek pendidikan untuk membentuk masyarakat yang mampu membangun rekayasa sajarah untuk dirinya. Proses politik saat ini belum mampu membangun kemandirian dalam pembangunan dan masyarakat yang kritis. Akibatnya, ketika bicara tentang demokrasi, sering tidak dihubungkan dengan pentingnya pendidikan. Padahal, pendidikanlah yang bisa menggerakkan masyarakat berada pada level lebih besar dalam menyongsong perubahan. Melalui pendidikanlah hanya akan “terbangun masyarakat yang lebih adil dan bebas, yang tujuan tertingginya bukan hanya menghasilkan barang-barang, tapi membangun manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya secara setara”. Situasi ini telah terlihat sejak pasangan pilkada ditetapkan secara definitif. Menjelang Pilkada 2017, situasi kecemasan dan keberulangan politik kekerasan seperti pada Pilkada 2012 kembali terbayang di benak publik. Rivalitas antara dua partai lokal yaitu Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) masih menjadi bayangan yang sama seperti Pilkada 2012. Namun, pada pilkada kali ini, konflik menyebar bukan hanya dualitas PA dan PNA, tapi juga menyasar tokoh-tokoh lain seperti Tarmizi Karim dan juga Zaini Abdullah. Bawaslu sendiri juga menunjukkan indikator bahwa di antara 101 daerah yang melaksanakan pilkada serentak pada tahun 2017, Aceh termasuk yang memiliki indeks kerawanan pemilu tertinggi bersama Banten, dan Papua Barat. Pengalaman ini memberikan sinyal bahwa pilkada yang akan berlangsung tiga kali pada tahun depan belum menjadi pelajaran demokrasi yang konstruktif bagi publik (civic education). Pilkada yang seharusnya menjadi momentum kontestasi bersifat damai, malah menjadi arena pergelutan fisik dan konfrontatif dengan semangat menang atau mengalahkan “musuh” dengan cara Machiavellian: menghalalkan segala cara. Representasi Demokrasi vs Representasi Sektarian Problem di Aceh pasca momen elektoral yang disebut pilkada itu menjadi pola representasi politik baru, ternyata belum kunjung menghadirkan demokrasi subtansial. Hal itu karena masih ada garis besar yang memisahkan demokrasi lokal di Aceh yang belum mampu membangun sinergi antara dua turbulensi, yaitu demokrasi perwakilan (representative democracy) dan demokrasi partisipatoris (participatory democracy). Aktor yang berperan dalam pemerin-
18
MODUS ACEH
utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
tahan lokal pasca perdamaian sebagian besar berangkat dari kekuatan lokal dominan baru, yaitu Partai Aceh dan kelompok pendukungnya belum memiliki talenta dalam membangun kekuatan berpemerintahan (governmentality)–memakai istilah Michel Foucault, filsuf Perancis yang banyak meneliti tentang konsep kekuasaan. Sehingga, kehadiran aktoraktor politik baru pasca perdamaian masih sulit menyesuaikan dengan alam birokrasi dan pemerintahan yang partisipatif. Kekuatan politik lokal dominan baru itu–dalam bahasa Edward Aspinall, pengamat politik Australia– membentuk sistem oligarki ekonomi yang melibatkan barisan pendukungnya. Mereka ini menjadi kekuatan tak resmi yang tak jarang melakukan tekanan-tekanan politik, sehingga melemahkan integritas pemerintahan lokal. Akhirnya, Pemerintah Aceh berada dalam lingkaran setan untuk mau tidak mau melakukan kolusi dalam meloloskan proyek pembangunan. Belum lagi aura nepotisme yang begitu kental, sehingga tujuan-tujuan berpemerintahan yang transparan, akuntabel, berpihak kepada publik sulit dimunculkan. Meskipun menjadi kekuatan politik baru, Pemerintahan Aceh cum PA lebih banyak membawa peran keseragaman (political unity) dan bukan keragaman (political diversity). Ini dialektika negatif demokrasi di era transisi konflik, ketika pesan-pesan subtansial demokrasi gagal dikembangkan karena kekuatan politik baru lebih memilih untuk memperkuat representasi politik sendiri, sehingga aspirasi di luar mereka kurang bisa diakomodasi, seperti juga terlihat kegagalan demokrasi di Timor Leste. Ruang pelarian yang paling sempurna dari kegagalan berpemerintahan ini akhirnya menemukan situasi yang sangat rancu, bahwa pemerintah yang merupakan hasil dari demokrasi representatif yang hadir melalui pilkada lebih senang bersekutu dengan representasi sektarian berbasis agama. Fenomena itu terlihat ketika Muzakkir Manaf ikut meleburkan diri di dalam aksi Parade Ahussunnah wal Jamaah Aceh 1 Oktober 2015, sehingga mendapatkan sebutan Umar bin Khattab dari Aceh.
Demikian pula dengan Zaini Abdullah dan Illiza Saaduddin Djamal yang ikut menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad yang dilaksanakan Front Pembela Islam (FPI) dengan menghadirkan Habib Rizieq Shihab sebagai penceramah 26 Desember 2016. Kehadiran sosok seperti Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf dalam gerakan-gerakan Islam politik seperti itu bukan saja bentuk dukungan pemerintah dan pribadi, tapi juga yang dikenal dalam istilah antropologi politik : interaksionisme simbolik, sebuah interaksi sosial yang mengemban makna-makna politik lebih dalam dibandingkan makna sosial itu sendiri. Mereka berkepentingan mendulang sumber daya politik yang dimiliki oleh jemaah dan halaqah seperti itu untuk kepentingan politik dan bukan etik. Padahal, kedua sosok itu (tentu pengecualian Illiza yang berangkat dari politik islamis) dikenal sebagai sosok sekuler dalam jejak rekamnya. Pilihan-pilihan bersekutu dengan representasi politik sektarian meskipun secara substansial menolak demokrasi, terpaksa dipilih hanya dan demi memenangkan pertempuran pada momen elektoral. Tidak lebih. Padahal, tujuan setiap momen elektoral dalam kerangka demokrasi kesejahteraan (welfare democracy) adalah bukan menghadirkan representasi politik semata, tapi menjadi fasilitator dan katalisator hadirnya demokrasi partisipatif (participatory democracy ). Tidak ada demokrasi kesejahteraan tanpa ada partisipasi dari warga yang luas. Politik Orang yang Diperintah Secara budaya politik, apa yang terlihat dalam konteks politik hari ini dan akan membayangi juga di realitas politik Aceh pada lima tahun ke depan adalah hadirnya pemerintahan populis dengan talenta yang miskin kreativitas dan imajinasi untuk menghidupkan demokrasi. Demokrasi kapitalis modern– istilah yang secara sinis digunakan oleh Partha Chatterjee–yang saat ini hadir dalam bentuk pilkada yang berbiaya mahal dan di Aceh plus mengerikan dan traumatis. Riset Chaterjee berfokus bukan saja pada bentuk-bentuk politik popular di India (sela-
tan) tapi juga di seluruh dunia di luar Eropa yang sebenarnya tidak cukup familiar dengan bentuk pemerintahan demokratis yang bercita rasa barat, salah satunya melalui pemilu one man one vote. Situasi ini semakin lekat dengan gambaran di Aceh, ketika demokrasi elektoral yang dinamakan pilkada dan telah sukses terjadi tanpa kekerasan yaitu yang pertama (2006-2007) tapi menjadi casus belli (motif perang dan permusuhan) pada Pilkada 2012 dan kini mulai tampak tanda-tandanya pada Pilkada 2017. Sesungguhnya, peran dari hadirnya demokrasi–seperti cita-cita barat modern–adalah hadirnya masyarakat madani (civil society) yang bertujuan melahirkan dan mengembangkan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan hukum yang rasional. Namun, dalam perjalanannya, pemerintahan-pemerintahan di AsiaAfrika menjadikan pemilu atau momen elektoral lainnya untuk menghadirkan “masyarakat madani yang semu” yang lebih dekat dengan elite dan terasing (sequestered ) dari kehidupan popular masyarakatnya. Basis material yang membedakan sejarah demokrasi salah satu yang menyebabkannya. Hal lainnya adalah ketidaksiapan sebuah daerah untuk mengusung demokrasi elektoral yang modern dan “sangat Eropa dan Amerika” yang tidak ditemukan akar-akar antropologisnya di daerah itu. Kaum aristokrat Eropa dan Amerika Serikat adalah pengawal pertama ide-ide tentang demokrasi sebelum menjadi ide populis di tingkat masyarakat luas. Namun, di Aceh dan juga daerahdaerah berkonflik yang mengalami kerusakan pranata sosial-politik, tidak ada kaum pemimpin (the ruler) dan kaum dipimpin (the ruled). Yang ada hanyalah orang yang memerintah (the govern) dan yang diperintah (the governed). Jika kita ekstrapolasi lebih lanjut daerah Aceh telah lama menjadi daerah yang tidak bertuan, apalagi sejak kekuasaan lokal yang kharismatis tidak lagi ada setelah Abu Beureueh. Yang ada Aceh hanya dipimpin oleh orang-orang yang memerintah yaitu para gubernur yang remote kekuasaannya berasal dari Jakarta atau
ketika masa konflik diperintah oleh kekuatan militer. Jika pemerintahan Ibrahim Hasan dianggap adalah pemerintahan terbaik Aceh, itu sesungguhnya terjadi dalam kerangka teknokratis dan ekonomis, yang pengelolanya ada di Jakarta. Atau ketika Aceh berada di situasi Darurat Militer, orang Aceh menghormati Mayjen Endang Suryana bukan karena talenta kepemimpinannya, tapi karena ia adalah Penguasa Darurat Militer di Aceh. Situasi yang lama tanpa pemimpin telah membangun budaya fasifikasi dan fatalistis di kalangan masyarakat Aceh. Ketika perdamaian hadir dan mekanisme demokrasi diintroduksi untuk membingkai perdamaian Aceh, maka yang hadir adalah representasi dari orang yang diperintah (the governed) yang takdirnya menjadi orang yang memerintah (the govern). Kelompok eks GAM yang masuk di tampuk kekuasaan menjadi orang yang serba canggung ketika melihat kompleksitas sistem pemerintahan daerah yang berbeda dengan masa gerilya. Hal ini melahirkan delusi pemerintahan atau delusi demokrasi. Hal yang paling sering diulas, “kaum pemberontak” tak menunjukkan bakatnya dalam pemerintahan. Mereka masih kaum pinggiran yang gagap ketika berada di sentral kekuasaan. Lebih nyaring sebagai oposisi yang nyinyir dibandingkan pelaku pembangunan yang bekerja nyata. Sebabnya adalah rendahnya visi pembangunan, tidak adanya kaum intelektual yang mengawal proyek otonomi khusus, hingga turunan birokrasi yang majal dan bobrok. Dalam situasi saat ini, dari enam kandidat yang muncul di dalam Pilkada 2017 berdasarkan pertimbangan survei, popularitas pemberitaan, dan elektabilitas publik, hanya ada tiga pasangan yang bersaing untuk menjadi duet nomor satu di Aceh: Tarmizi Karim–Teuku Machsalmina Ali, Muzakkir Manaf – TA Khalid, dan Irwandi Jusuf–Nova Iriansyah. Ketiganya terlihat yang paing bersaing. Kita tentu bisa menilai mana yang memiliki talenta sebagai pemimpin (the ruler), atau hanya menjadi orang yang memerintah dari budaya politik sebagai orang yang diperintah (the governed).***
MODUS ACEH
utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
19
DANA OTSUS, ACEH DAN ANCAMAN DEFISIT MODUS ACEH/Juli Saidi
Pertemuan Banggar DPRA dengan TAPA.
Rencana anggaran Aceh 2017 mulai terancam. Sebab, dari total APBA, hanya 2,9 triliun dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Selebihnya, terserap untuk belanja rutin Pemerintah Aceh serta 20 persen untuk pendidikan dan 10 persen bagi kesehatan. Ancaman defisit di depan mata.
K
etua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) Drs. Dermawan yang juga Setda Provinsi Aceh, menyerahkan secara simbolis Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS-2017), Rp 14,5 triliun lebih kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tgk. Muharuddin, di Ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR Aceh, Jalan
Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh, Rabu siang, 28 Desember 2017 lalu. Diawal penjelasannya, Ketua TAPA Dermawan mengatakan, pada Juni 2016 lalu TAPA sudah pernah menyerahkan KUAPPAS 2017. Namun kata Setda Aceh, berhubung keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 2016, tentang Perangkat Daerah, KUA-PPAS yang pernah diserahkan Juni 2016 lalu itu, dikembalikan lagi pada eksekutif. Usai pemaparan Setda Aceh, giliran Nota Dinas (ND) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Marthunis, menjelaskan ringkasan KUA dan PPAS 2017. Menurut Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Ekonomi dan Ketenagakerjaan Bappeda Aceh itu, total rencana RAPBA 2017, Rp 14, 5 triliun lebih. Nah, sumbernya dari Pendapatan Asli Aceh (PAA) Rp 2,078 triliun. Dari jumlah itu, pendapatan pajak Aceh Rp 1,257 triliun, pendapatan restribusi Aceh Rp 10 miliar, pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan Rp 158 miliar lebih, dan lain-lain pendapatan yang sah, Rp 651 miliar lebih. Lalu, ada dari bagi hasil pajak, bukan pajak, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), termasuk dana bantuan operasional sekolah (BOS), sehingga pendapatan transfer Pemerintah Pusat-Dana Perimbangan yang diterima Aceh Rp 3,7 triliun lebih. Terbesar adalah dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Rp 8,094 triliun lebih. Dan, bagi hasil minyak serta gas bumi (DTBH Migas), Rp 281 miliar lebih. Sedangkan lain-lain pendapatan daerah yang sah yaitu; pendapatan hibah dari Pemerintah (WISMP), hibah pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, hibah KFW, dan pendapatan dari badan/lembaga organisasi swasta dalam negeri, total yang dihabiskan Rp 20,3 miliar lebih. Untuk dana Otsus Aceh, dari Rp 8,094 triliun, ditransfer ke kabupaten-kota 40 persen. Sedangkan sisa 60 persen untuk provinsi, termasuk dipergunakan untuk biaya kesehatan 20 persen dan kesehatan 10
persen. Pengalokasian dana pendidikan 20 persen ini, diperuntukan bagi dana beasiswa lembaga peningkatan sumber daya manusia (LPSDM), Rp 108 miliar lebih. Selanjutnya untuk beasiswa anak yatim Rp 199 miliar lebih, dan sisa alokasi untuk Dinas Pendidikan, Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah (BPPD), dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Rp 632, miliar lebih. Jadi, total dari 20 persen yang dimaksud adalah, Rp 941 miliar lebih. Sedangkan alokasi untuk kesehatan 10 persen, diperuntukan pada Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) Rp 560 miliar lebih dan untuk pembangunan Rumah Sakit Kota Langsa, Pidie, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Rumah Sakit Meuraxa dan rumah sakit lain, Rp 202 miliar lebih. Karena itu, berdasarkan penjelasan Marthunis pada Badan Anggaran DPR Aceh, dana Otsus provinsi yang bisa diperuntukan untuk kegiatan lain, sesuai aturan penggunaan dana Otsus yaitu berkisar Rp 2,9 miliar lebih. Itu pun, sudah ada pembagi-
annya. Makanya, bila Aceh tanpa dana Otsus, besar kemungkinan mengalami defisit. Ini karena, total APBA murni hanya Rp 6 triliun. Sementara, pasca Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang menjadi tanggungjawab provinsi, beban Provinsi Aceh bertambah sebanyak 15 ribu guru pegawai negeri sipil (PNS) yang membutuhkan anggaran per tahun, Rp 1,2 triliun. Mirisnya, penambahan Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pemerintah Pusat tahun 2017, hanya Rp 600 miliar. Padahal, dari total PNS yang ada di Provinsi Aceh yaitu 24.510, membutuhkan anggaran Rp 2,4 triliun lebih. Sedangkan DAU yang tersedia dari DAU awal ditambah penambahan DAU 2017, Rp 600 miliar berjumlah Rp 1.9 triliun lebih. Artinya, terjadi kekurangan anggaran untuk gaji PNS, berkisar Rp 500 miliar. “Kalau tidak ada dana Otsus, harus dilakukan efisiensi anggaran pada sektor tertentu,” kata Marthunis. Wakil Ketua DPR Aceh Teu-
20
MODUS ACEH
Utama
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
kariraceh.com
ku Irwan Djohan mengaku, pengalokasian anggaran mesti dikaji serius semua pihak di Aceh. Sebab, tanpa dana Otsus, Aceh akan defisit. “Besarnya belanja rutin menyedot semua APBA tanpa Otsus. Berarti ada sesuatu yang salah di sini. Apa yang salah? Mungkin pemborosan yang luar biasa besarnya,” ungkap Irwan Djohan, usai memimpin rapat Banggar DPR Aceh, Banda Aceh, Jumat dini hari, 30 Desember 2016. Celakanya, sudah sembilan tahun dana Otsus Aceh diberikan pemerintah pusat untuk Aceh, sektor lain pendapatan di Aceh tak tumbuh dengan baik. Bahkan, bertaburnya kehadiran bank pemerintah dan swasta nasional di Aceh, tapi tak pernah diajak duduk oleh Pemerintah Aceh, khususnya untuk membicarakan tumbuhnya industri kecil dan menengah di Aceh. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Rustam Effendi pada Diskusi Outlook Aceh 2017, Rabu pekan lalu berpendapat. Kondisi uang di perbankan yang ada di Aceh, menjadi simpanan
sangat likuid. Bahkan, ada bank yang penerimaannya Rp 1 miliar namun pembiayaan Rp 1,2 miliar. Begitupun, ada bank penerimaan Rp 1 miliar, tapi pembiayaannya nol untuk Aceh. “Tabungan yang dibentuk, harusnya berjangka yang paling banyak disimpan masyarakat,”
kata Rustam Effendi. Karena itu menurut Rustam Effendi, kehadiran perbankan di Aceh saat ini hanya sebagai pengumpul uang, tapi tidak dibagikan ke bawah. “Tugasnya hanya mendistribusikan, menjadi terminal uang saja. Pinjaman yang paling banyak itu adalah untuk
konsumtif bukan membuka lapangan usaha. Artinya bank juga ingin aman sendiri,” kata Rustam Effendi. Maka kata Rustam Effendi, pemerintahan di Aceh, khususnya gubernur dan ekonom, wajib melihat dan mengkritisi persoalan itu, sebagai ditindaklan-
jut dalam mengatur regulasi. Apalagi, ekonomi Aceh tumbuh lamban. “Yang paling menonjol hanya pejabat di pemerintahan, sementara pengusaha dan dunia usaha belum tumbuh dan berkembang secara normal dan berkembang,” ujar Rustam Effendi.***
MODUS ACEH
Politik
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
21
■ ‘Angin Ribut’ Mulai Menerpa Partai Pohon Beringin Aceh
TM Nurlif Menuding Ada ‘Kutu Busuk’ Ketua DPD I Partai Golkar Aceh TM Nurlif meminta kepada calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Tarmizi A. Karim-HT Machsalmina Ali, agar tidak mendengar masukan dan arahan dari orang-orang yang dia disebut sebagai; ‘kutu busuk’. Siapa yang disasar? Juli Saidi| Azhari Usman
P
elantikan Pengurus DPD II Partai Golkar Aceh Besar Periode 2017-2019 di Gedung Hajjah Yusriah, Aceh Besar, Selasa pekan lalu, yang semula tenang, tiba-tiba saja terusik. Itu terjadi saat Ketua DPD I Partai Golkar Aceh TM Nurlif menyampaikan sambutan. Nah, dari sejumlah ‘tausiyah’ yang diucapkan, tersebutlah beberapa kata dan kalimat menyentak. Dia menuding, ada ‘kutu busuk’. Tak jelas apa maksud dari kata-kata tersebut serta siapa yang dia sasar? Namun, ucapan itu tak hanya di dengar pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tarmizi A. KarimT Machsalmina Ali. Tapi juga Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah I (Sumatera Utara-Aceh) Andi Sinulingga, anggota DPR RI Fraksi Golkar asal Aceh Firmandes, yang juga Koordinator Wilayah (Korwil) Aceh serta Salim Fachri. Selain itu, ada Ketua Dewan Pembina DPD I Partai Golkar Aceh H Lukman CM, anggota DPR Aceh Sulaiman Abda maupun sejumlah tokoh Aceh Besar dan Pengurus DPD II Partai Golkar Aceh Besar. “Kami serius mendukung Pak Tarmizi dan Pak Macks sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Karena itu jangan dengar kutu busuk,” tegas Nurlif. Dikonfirmasi MODUS ACEH, Andi Sinulingga membenarkan perkataan TM Nurlif. “Benar beliau bicara begitu jangan dengarkan kutu busuk,” kata Andi. Namun, siapa yang dimaksud ‘kutu busuk’ oleh Nurlif, Andi mempersilahkan media ini untuk bertanya pada Nurlif. “Sebaiknya tanya sendiri sama yang bersangkutan,” elak Andi. Apakah perkataan itu baik secara etika politik, apalagi diucapkan pada acara resmi partai?
Andi Sinulingga
TM Nurlif
Yusuf Ishak
Muntasir Hamid
Menurut Andi. “Perkataan itu sulit untuk dibenarkan, apalagi dalam sambutan resmi kegiatan partai,” tegas Andi. Dia berharap, sebagai pimpinan partai besar, TM Nurlif tidak memperbanyak musuh. “Ya, saya hanya berharap bahwa kita semua wajib memperbanyak kawan, bukan memperbanyak lawan, merangkul bukan memukul,” ajak Andi. Kepengurusan DPD II Partai Golkar Aceh Besar Periode 2017-2019 dipimpin Muhibuddin Ibrahim dan Anshari (Sekretaris) serta sejumlah wakil ketua dan bidangbidang. Nah, tak sampai berkelang hari, pernyataan Ketua DPD I Partai Golkar Aceh TM Nurlif meminta kepada calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Tarmizi A. Karim-HT Machsalmina Ali, agar tidak mendengar masukan dan arahan dari orangorang yang dia disebut sebagai ‘kutu busuk’, langsung menuai tanggapan. Salah satunya dari Ketua Harian DPD I Partai Golkar Aceh H. Yusuf Ishak. “Siapa pastinya ‘kutu busuk’ itu, tanyakan saja pada ketua, biar kita bersihkan. Sebab, siapa yang dia maksudkan itu,” kata Yusuf Ishak pada MODUSACEH.CO, Rabu malam (27/12/2016) di Banda Aceh. Menurut Yusuf Ishak, penjelasan itu penting, sehingga tidak menimbulkan fitnah di internal DPD I Partai Golkar Aceh. “Inikan soal penafsiran, bisa saja untuk saya atau orang lain. Atau yang ngomong itu sendiri kutu busuk,” ungkap Yusuf. Itu sebabnya kata Yusuf Ishak, banyak pertanyaan dari masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, terutama sepuh Golkar Aceh. Ada apa sebenarnya yang terjadi di tubuh Partai Golkar, sehingga muncul sejumlah persoalan. “Karena itu, selama ini kami menghindari hal-hal yang
bisa merusak citra Partai Golkar Aceh, apalagi menghadapi Pilkada 2017. Kita harapkan yang diusung dan dukung Partai Golkar bisa berhasil,” ungkap Yusuf Ishak. Karena itu, dia berharap, sebagai pimpinan partai, TM Nurlif hendaknya jangan bicara dan mengeluarkan kata-kata atau pernyataan yang justeru bisa merusak citra serta kesolidan internal partai. “Karena itu, sekali lagi, silahkan tanyakan pada ketua, siapa yang dia maksud sebagai ‘kutu busuk’, supaya bisa kita bersihkan dari Partai Golkar Aceh. Kalau saya dikatakan ‘kutu busuk’, apa saya pernah buang kotoran di kantor atau forum,” tantang Yusuf Ishak. Dia menyarankan, sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Aceh tidak mengeluarkan pernyataan yang justeru dapat merusak citra partai. Kader Partai Golkar Aceh, Muntasir Hamid SH, akhirnya juga angkat bicara, terkait pernyataan Ketua DPD I Partai Golkar Aceh, TM. Nurlif, tentang ‘kutu busuk’. Menurutnya, perkataan itu kurang patut dan santun. Karena itu, mantan Sekretaris DPD I Partai Golkar ini mengaku kecewa terhadap TM Nurlif. “Terus terang saya kecewa dengan Nurlif. Walau saya tidak hadir, tapi informasi itu juga saya terima dan dengar dari kawankawan,” ungkap Muntasir pada MODUSACEH.CO, Rabu siang (28/12/2016), usai mengikuti Diskusi Outlook Aceh 2016 di Sulthan Hotel, Banda Aceh. Menurut Muntasir, persoalan Ancol dan Bali sudah selesai, karena itu Nurlif jangan lagi menciptakan persoalan baru lagi di Aceh. “Karena Aceh serba seksi, berita itu begitu mudah terbaca oleh pimpinan di tingkat pusat. Dia harus tahu posisinya sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Aceh dan harus paham tentang hirarki
partai. Sebab, saat itu ada unsur Pengurus DPP Partai Golkar yaitu Bung Andi Sinulingga dan Firmandez. Mereka itu diangkat berdasarkan surat keputusan resmi dan sah,” sebut Muntasir. Begitupun kata Muntasir, walaupun TM Nurlif berdarah Aceh, tapi dia lama di Medan dan Jakarta. Karena itu wajar bila dia tak paham tentang kearifan lokal Aceh. Nah, karena kondisi itulah, Muntasir Hamid mengaku bisa paham dan maklum, mengapa kata-kata seperti itu keluar dari mulut seorang TM Nurlif. “Dia harus banyak belajar berorganisasi dan berkomunikasi lagi,” saran Muntasir yang juga Pengurus DPP Partai Golkar. Kenapa? “Karena tujuan partai politik sekarang untuk merebut hati rakyat, bukan angkuh dan sombong dengan rakyat. Karena itu, saya minta kepada Pengurus DPP Partai Golkar untuk mengevaluasi semua ini, sehingga tidak melahirkan jurang perpecahan yang lebih dalam di tubuh DPD I Partai Golkar Aceh,” jelas Muntasir Hamid. Sementara itu, Ketua DPD I Partai Golkar Aceh TM Nurlif, enggan mengungkapkan apa yang dimaksud ‘kutu busuk’ tersebut serta siap yang dia sasar dari perkataannya itu. “Lusa kita jawab,” katanya singkat saat dikonfirmasi media ini, Selasa malam. Namun, hingga Jumat malam pekan lalu, Nurlif belum menjelaskan maksud dari katakata ‘kutu busuk’ dan siapa yang dia maksud. Karena tertutupnya Nurlif, terkait pernyataannya itu, lantas mengundang berbagai komentar di tubuh internal DPD I Partai Golkar Aceh. Sumber media ini menyebutkan, pernyataan Nurlif merupakan letupan dari berbagai kritik yang dia terima selama ini, terutama mengenai menejemen partai serta beberapa kebijakan yang dinilai tak sesuai AD/ART
serta pedoman organisasi (PO) serta petunjuk pelaksana (juklak). “Misal soal pelaksana tugas ketua. Walau Ketua Harian Yusuf Ishak ada ditempat (Banda Aceh), tapi dia menunjukkan wakil ketua lainnya. Ini jelas tak mencerminkan azas hirarkis dan kepemimpinan yang kolektif kolegial, sesuai pasal 19 AD/ ART partai,” ungkap sumber itu. Persoalan lain, keputusan penetapan Plt Ketua DPD II di beberapa kabupaten dan kota, juga tak dibawa dalam rapat pleno harian, sehingga banyak muncul keputusan ‘setengah kamar’. “Salah satunya ya soal Plt Ketua DPD II Golkar Gayo Lues,” papar sumber tersebut. Sebelumnya, juga Plt Ketua DPD II Partai Golkar Aceh Tengah. Ketua Harian DPD I Partai Golkar Aceh Yusuf Ishak membenarkan pendapat sumber tadi. “Ya, saya kira itu fakta yang terjadi selama ini. Kalau memang pendapat itu benar, tidak mungkin saya katakan bohong. Begitu juga sebaliknya, kalau bohong, tidak mungkin juga saya katakan benar,” ucap Yusuf Ishak. Yusuf Ishak, sebenarnya banyak persoalan yang perlu diluruskan, menginggat di depan mata ada Pilkada pasangan Gubernur, Bupati dan Walikota yang diusung dan dukung Partai Golkar, makanya dia memilih untuk diam. “Contoh lain adalah, penyelesaian kasus pimpinan DPR Aceh antara Sulaiman Abda dengan Muhammad Saleh. Hingga kini belum juga tuntas, sementara masyarakat terus bertanyatanya ada apa di tubuh Partai Golkar Aceh sehingga masalah ini terus berlarut-larut,” papar Yusuf Ishak. Benarkah ‘badai belum berlalu’ di tubuh DPD I Partai Golkar Aceh? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.***
22
MODUS ACEH NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
Politik
■ Dilema RAPBA 2017
Keinginan Soedarmo Melenceng dari Target Badan Anggaran DPR Aceh sudah menjadwalkan penandatanganan KUAPPAS, 25 Januari 2017. Padahal, Plt. Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo berharap akhir Desember 2016 sudah ketuk palu. Tapi, eksekutif juga tak siap memenuhi keinginan atasannya itu. Juli Saidi
apat Badan Anggaran (Banggar), Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) berlangsung sejak pukul 22.00 WIB, Kamis malam, 29 Desember 2016 dan berakhir Jumat dini hari, 30 Desember 2016, sekira pada pukul 00.30 WIB, di Ruang Banggar DPR Aceh, Jalan Teungku Daud Beureueh, Banda Aceh. Salah satu agenda pertemuan tertutup tim Banggar DPR Aceh dipimpin Wakil Ketua DPR Aceh, Teuku Irwan Djohan, membahas jadwal yang diajukan eksekutif yaitu pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2017 untuk disepakati bersama, Rabu, 7 Januari 2017. Jadwal versi Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) yang diperoleh media ini, penyampaian penyesuaian rancangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dimulai pada 20 Desember 2016. Kemudian, pembahasan penyesuaian rancangan KUA-PPAS 2017 antara Banggar DPRA dengan TAPA berlangsung selama dua hari, 28-29 Desember 2016. Selanjutnya, penyempurnaan hasil pembahasan penyesuaian rancangan KUA-PPAS satu hari, yaitu 29 Desember 2016. Berikutnya, kesepakatan antara Gubernur Aceh dan DPR Aceh atas penyesuaian rancangan KUA dan PPAS, juga satu hari atau 30 Desember 2016.
R
Serba singkat, lalu dilanjutkan penerbitan surat edaran Gubernur Aceh, perihal pedoman penyesuaian Rencana Kerja Anggaran (RKA) Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), RKA Pejabat Pengelola Keuangan Pemerintah (PPKA), dan berlanjut terhadap dokumen pelaksanaan anggaran (DPA-SKPA), hanya satu hari-30 Desember 2016. Masih pada 30 Desember 2016 sampai 2 Januari 2017, dilakukan penginputan RKASKPA, sistem informasi pengelolaan keuangan daerah (SIPKD). Dan, tanggal 1-3 Januari 2017, dilakukan pembahasan serta review RKA-SKPA dengan TAPA. Sedangkan penyempurnaan inputan RKA-SKPA pasca keputusan bersama TAPA akan dilakukan 4 Januari 2017, sampai akhirnya pengesahan atau persetujuan bersama DPRA dan Gubernur Aceh versi Pemerintah Aceh pada 7 Januari 2017. Berdasarkan jadwal, menurut eksekutif itu, lantas Banggar DPR Aceh membahas ulang. Menurut kesepatan tim Banggar DPR Aceh, limit pembahasan yang diajukan eksekutif itu tak mungkin dapat direalisasikan DPR Aceh. Alasannya, jadwal yang diajukan eksekutif berlaku mundur. Sebab, jadwal eksekutif penyampaian penyesuaian rancangan KUA dan PPAS, 20 Desember 2016, sedangkan penyerahan KUA dan PPAS 2017, baru diserahkan eksekutif pada 28 Desember 2016.
MODUS ACEH/Juli Saidi
MODUS ACEH
Politik
NO 36/TH XIV 2 - 8 JANUARI 2017
23
kabargayo.com
pada Rabu, 28 Desember 2016. Sedangkan persoalan lain, Plt. Gubernur Aceh juga belum melantik Kepala SKPA, sesuai Qanun tentang Susunan Organisasi Tata Kerja (SOTK). Padahal, berdasarkan qanun itu, ada perombakan organisasi SKPA di Aceh, maka akan berlanjut pada penempatan Kepala SKPA. Selain itu, secara politik, Soedarmo hanya menjabat sebagai Plt. Gubernur Aceh, sementara TAPA masih bentukan Gubernur Aceh nonaktif yaitu dr. Zaini Abdullah. Sudah pasti, walau tak loyal seratus persen, tetap akan memberi dampak terhadap keinginan Plt. Gubernur Aceh dalam percepatan pengesahan anggaran 2017. Namun, ada juga sinyalemen, keinginan pengesahan anggaran 2017 agar seluruh proyek dapat ditender pada Januari 2016 mendatang, sebelum berakhir masa jabatan Soedarmo sebagai Plt. Gubernur Aceh. Ada apa?***
Meskipun KUA dan PPAS secara administrasi sudah diantar ke Sekretaris Dewan (Sekwan), Senin, 19 Desember 2016. “Sudah diserahkan eksekutif pada DPRA, tapi baru sebatas administratif ke Sekwan. Sesuai tatib, harus diserahkan TAPA pada Banggar, dan itu baru dilakukan 28 Desember 2016,” kata Wakil Ketua DPR Aceh, Teuku Irwan Djohan, Jumat hari, 30 Desember 2016. Itu sebabnya, DPR Aceh tak bisa mengakomodir keinginan Plt. Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo, bahwa pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2017 pada 31 Desember 2016. “Eksekutif menginginkan 31 Desember. Kita yakin itu mustahil. Lalu, kami minta tahapan dari eksekutif, ternyata tidak bisa juga mereka buat. Artinya, harapan Plt. Gubernur agar RAPBA 2017 itu disahkan sebelum berakhir tahun 2016, tidak mampu tahapan itu disusun eksekutif,” kata Teuku Irwan Djohan. Perlu dipahami, kata kader NasDem itu, pembahasan APBA adalah ranah DPRA. Sedangkan eksekutif berwenang menyusun dan menyerahkan pada DPRA, kemudian DPRA membahasnya. “DPRA dalam membahas juga harus rasional,” ujar Teuku Irwan Djohan. Karena itu, menurut kesepakatan yang dilakukan dalam rapat Banggar, penandatanganan bersama KUA dan PPAS 2017 dijadwalkan DPR Aceh pada 25 Januari 2017 mendatang. Setelah itu, baru dilanjutkan pem-
bahasan RAPBA 2017. Menurut Irwan Djohan, untuk pembahasan RAPBA akan lebih cepat, dibandingkan KUA dan PPAS. “Pengesahannya akhir Januari 2017,” katanya. Sebelumnya, Selasa, 27 Desember 2016, Plt. Gubernur Aceh Soedarmo masih yakin pengesahan RAPBA 2017 dapat dilakukan akhir Desember 2016. “Kita masih optimis akhir tahun anggaran 2016,” katanya usai menggelar rapat dengan Kepala SKPA di ruang Pengendali dan Percepatan Kegiatan (P2K) APBA, Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Selasa pekan lalu. Bahkan, keyakinan Soedarmo disampaikan bertubi-tubi pada tiga media, termasuk MODUS ACEH. “Saya harapkan bisa duduk bersama untuk menyelesaikan RAPBA 2017 dan bisa disahkan akhir Desember 2016. Yakin, insya Allah, semua itu masih bisa dan dimungkinkan. Kita masih yakin,” ujarnya menjawab pertanyaan wartawan, Selasa pekan lalu. Bila mengikuti pembahasan APBA sebagaimana mestinya, tentu keinginan Soedarmo itu bertolak belakang dengan realita yang ada. Pertama, penyerahan KUA dan PPAS baru dilakukan TAPA