NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
Rp 7000,- ( Luar Aceh Rp 10.000,- )
MODUS ACEH
2
Redaksi
NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
TABLOID BERITA MINGGUAN
MODUS ACEH BIJAK TANPA MEMIHAK
P e n a n g g u n g j awa b / Pimpin an Red aksi Pimpinan Redaksi Muhammad Saleh Direktur Usaha Agusniar Man a ger Mana
liput an liputan
Juli Saidi Editor Salwa Chaira Kar tunis/Design Kartunis/Design
Grafis
Rizki maulana Pemasaran/Sirkulasi Firdaus, Hasrul Rizal, Ghifari Hafmar iklan M. Supral iklan/Sirkulasi Lhokseuma we/a ceh Lhokseumawe/a we/aceh
ut ara utara
mulyadi Sekret aria t/ADM ta at Yulia Sari Kep ala B a gian Keuang an Kepala Agusniar Bagian I T Joddy Fachri
MODUS ACEH
Wa r taw a n rt Muhammad Saleh Juli Saidi ZULHELMI azhari usman
Ko r e s p o n d e n Aceh Selatan Sabang Nagan Raya Takengon Aceh Besar Aceh Tenggara Gayo Lues Kuala Simpang Pidie, Langsa Bener Meriah Simeulue
Alama aksi Alamat Redaksi t Red Jl. T. Panglima Nyak Makam No. 4 Banda Aceh. Telp (0651) 635322 email:
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected] www.modusaceh.com. Penerbit PT Agsha Media Mandiri Rek Bank Aceh: 01.05.641993-1 Rek Bank BRI Cabang Banda Aceh: 0037.01.001643.30.9 NPWP: 02.418.798.1-101.000 Percetakan PT. Medan Media Grafikatama
Wajah Baru Redaksi Pembaca Setia Jika Anda membuka dan membaca berita di media cetak ini, tentu Anda melihat ada satu nama baru, yakni Azhari Usman. Benar, dialah energi baru bagi kami di redaksi. Begitupun, pria bujang yang lahir di Leubok, Aceh Barat, 17 Juni 1984 ini bukanlah orang asing di PT Agsha Media Mandiri, Kelompok Media (MODUS ACEH, MODUSACEH.CO dan Majalah INSPIRATOR). Sebab, jauh sebelum terjun ke dunia jurnalistik, Azhari sudah menjadi karyawan perusahaan ini. Dimulai tahun 2014 lalu. Karir awalnya di Bagian Sirkulasi dan sempat beralih ke Bagian Iklan. Namun, seiring bergulirnya waktu, bakat menulis terpendamnya terangkat ke permukaan. Itu dimulai saat dia bertugas sebagai piket bila malam deadline tiba. Diam-diam, Azhari menulis di dinding media sosialnya, Facebook, tentang berbagai isu nasional dan Aceh. Lalu, sejumlah kawan-kawan di redaksi meliriknya. Tak lama kemudian, kawan-kawan di redaksi menawarkan dirinya untuk pindah haluan. Nah, tawaran tadi disambut gembi-
ra anak kedua dari tiga bersaudara ini. Setelah melalui tes di internal dan mengikuti pelatihan singkat di redaksi, alumni S1 Bahasa Inggris ini pun akhirnya dinyatakan lulus dan layak terjun sebagai wartawan media ini. Pembaca Budiman Promosi dan degradasi adalah hal lumrah terjadi dan kami lakukan. Ini sejalan dengan peraturan perusahaan yang kami terapkan. Seorang karyawan bisa memilih atau beralih tugas serta bagian sesuai dengan penilaian pimpinan. Selain itu, memang ada bakat yang terpendam. Sebaliknya, berlaku pula degradasi jika seorang karyawan dinilai sudah tidak mampu lagi bekerja dengan baik, termasuk melakukan kesalahan atau pelanggaran fatal. Bagi dia, hanya ada dua pilihan; diberhentikan atau mengundurkan diri. Tak hanya itu, khusus bagi wartawan, kami menerapkan aturan relatif ketat. Misal, jika tidak menulis atau meliput selama tiga bulan berturut-turut atau tidak masuk kantor tanpa laporan selama tujuh hari kerja, maka terhadap dirinya dinyatakan secara otomatis telah mengundurkan diri.
Sekali lagi, itu kami lakukan semata-mata untuk mencetak jurnalis yang berintegritas, bukan abal-abal. Karena itu, jangan heran, sebagai perusahaan media pers, kami tak sepenuhnya berorientasi pada profit, tapi juga mengemban misi edukasi. Misal, memberi fasilitas dan kesempatan pada mahasiswa semester akhir untuk magang atau kerja praktik di media ini. Nah, jika dinilai cakap dan sepakat untuk memilih pekerjaan sebagai jurnalis, maka kami rekrut. Sebaliknya, jika tidak atau kurang memenuhi persyaratakan, dengan sangat terpaksa, tak dapat kami ajak untuk bersama-sama dalam skuad MODUS ACEH. Sebab, kami sadar sepenuhnya, tanpa Anda pembaca setia, kami bukanlah apa-apa. Selain itu, melalui media ini, kami mohon pengawasan dan kerja sama dari Anda semua, terutama terhadap tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan Azhari Usman. Sebaliknya, segera laporkan kepada kami jika yang bersangkutan melakukan berbagai pelanggaran. Utamanya, kode etik jurnalistik serta etika pers. Sebelumnya, kami ucapkan terima kasih. Saleum.***
Terbit Sejak 2003
Dalam Menjalankan Tugas Jurnalistik, Wartawan MODUS ACEH Dibekali Kartu Pers. Tidak Dibenarkan Menerima Atau Meminta Apapun Dalam Bentuk Apapun dan Dari Siapa Pun
Sudut kutaraja
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
3
Nasib Benda Sejarah di Museum Aceh MODUS ACEH/Mirna
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menyimpan banyak benda sejarah di Nusantara, mulai dari kebudayaan kuno, kerajaan-kerajaan, masa penjajahan, konflik, hingga tragedi tsunami Aceh 2014 silam. Sayang, karena alasan minusnya anggaran, perawatan menjadi kurang maksimal. Laporan Mirna| Reporter Banda Aceh
J
IKA ke Banda Aceh, tak salah bila Anda datang ke Museum Aceh di Jalan Sultan Alaidin Mahmud Syah, Kota Banda Aceh. Di sana, banyak benda-benda sejarah yang bisa dilihat dan pelajari. Mulai kebudayaan kuno, kejayaan kerajaan Aceh Darussalam, masa penjajahan Belanda dan Jepang sampai era konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) versus Pemerintah Indonesia, termasuk bencana dahsyat gempa dan tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam. Nah, beragam jenis bendabenda bersejarah ada di museum ini. Misal, berbagai jenis perkakas, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian, pernakpernik perhiasan kuno, senjata dan pakaian tradisional. Juga ada koleksi manuskrip kuno,
Museum Aceh di Jalan Sultan Alaidin Mahmud Syah, Kota Banda Aceh.
dokumentasi foto sejarah dan lain-lain. Namun, jangan kecewa jika tempat memamerkan bendabenda peninggalan sejarah ini belum memadai. Itu terlihat dari banyaknya koleksi museum yang tidak dipamerkan. Tidak hanya koleksi benda bersejarah, tapi bangunan dan tata ruang di museum serta sistem keamanan juga belum memenuhi standar. Padahal, ada sekitar 6.700 koleksi benda bersejarah yang ada di Museum Aceh, tetapi hanya 40 persen dari jumlah benda tersebut yang terpajang. Itu pun
sudah termasuk dengan Rumoh Aceh (Rumah Adat Aceh). Sisanya berada dalam gudang penyimpanan. Dibanding dengan beberapa tahun lalu, jauh lebih banyak, seperti pernak-pernik perhiasan wanita pada zaman dahulu, duplikat Mesjid Raya Baiturrahman dari satu kubah hingga menjadi tiga kubah dan lain sebagainya. Kenapa semua itu bisa terjadi? Pejabat Pengganti Kepala Pengelola Museum Aceh, Almunizar Kamal S.STP, M.Si mengaku, benda-benda bersejarah lain yang tidak dipajang atau diMODUS ACEH/Mirna
simpan dalam gudang karena kapasitas gedung saat ini tidak memadai. Sehingga, tidak dapat dipajang semuanya. Alasannya, pada tahun 2015 lalu, dilakukan renovasi gedung pameran tetap karena gedung tersebut sudah tidak layak pakai. Maklum, kondisi atap banyak yang bocor, ventilasi udara rusak, lantainya juga mulai hancur. “Tahun 2015, kita merenovasi gedung tersebut. Ternyata gedung tersebut menjadi lebih kecil dikarenakan interior dalam gedung tidak bisa dirubah atau digeser, sehingga hanya benda yang sudah mempunyai tempat yang bisa dipajang. Dan, untuk benda lainnya, kita membuat pameran kontemporer dengan jenis barang yang dipamerkan sesuai dengan tema,” ujarnya. Selain itu, gedung tiga lantai ini pun belum memenuhi standar kenyamanan dan keamanan pengunjung. Itu terlihat dari bentuk tangganya yang tidak ramah gempa serta anak-anak saat turun berdesakan di tangga yang sempit. Selain itu, pegangan di dinding ruangan pameran tidak memudahkan bagi penyandang disabilitas yang ingin berkunjung. Ironisnya, segi keamanan juga kurang memadai. Bayangkan, tidak semua ruangan terpasang closed circuit television (CCTV) dan Museum Aceh hanya dijaga dua tenaga satuan pen-
gamanan (satpam) yang bekerja 24 jam sehari dengan dua shift setiap enam jam. Nah, kondisi tak elok ini lagilagi karena terkendala masalah dana atau anggaran dari Pemerintah Aceh. “Berbicara tentang sejarah dan budaya, inilah karakter bangsa. Karena itu, harus dijaga dengan ketat. Namun, pengamanan Museum Aceh belum memenuhi standar yang profesional,” ujar Almunizar Kamal. Begitupun, dia mengaku, tetap dan terus berbenah serta memperbaiki kondisi yang ada di tengah keterbatasan dan kekurangan anggaran dari pemerintah. Tujuannya agar barang bersejarah ini aman tersimpan. “Menyangkut anggaran, Museum Aceh berada di bawah wewenang Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh. Makanya, kami bekerjasama untuk mengupayakan tempat yang layak bagi benda-benda bersejarah tersebut,” jelas Almunizar. Mungkin sulit dipercaya jika alasan kekurangan dana membuat pengelolaan dan penyimpanan koleksi benda bersejarah di Museum Aceh kurang maksimal. Sebab, hampir saban tahun, Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran mencapai belasan triliun rupiah. Tapi, itulah fakta dan kondisi nyata. Siapa peduli?***
4
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
Sudut kutaraja
■ Haji Harun Keuchik Leumiek, Kolektor Benda Sejarah
Apa Tunggu Hilang, Baru Bertindak? MODUS ACEH/Dok
Pengusaha emas, wartawan senior, kolektor serta pemerhati benda bersejarah Aceh, Haji Harun Keuchik Leumiek, mengaku prihatin dengan perawatan bendabenda bersejarah yang kini berada di Museum Aceh. Jika terus dibiarkan dengan alasan minusnya anggaran, bukan mustahil benda-benda tersebut akan lenyap. Selain hilang, juga akan berada di tangan kolektor luar negeri. Mirna, reporter MODUS Berikut penuturannya pada Mirna ACEH, pekan lalu. emang saya mendapat banyak informasi bahwa koleksi benda-benda bersejarah Aceh di Museum Aceh tidak banyak lagi yang dipamerkan karena terbatasnya tempat atau ruangan di gedung itu. Kondisi ini sangat disayangkan, sebab animo atau minat masyarakat terhadap barangbarang peninggalan sejarah Aceh sangat tinggi sekali. “Saya kenal dekat dengan orang-orang Museum Aceh sejak tahun 1970 hingga 1990. Dulu, perhatian Pemerintah Aceh terhadap Museum Aceh besar sekali. Namun, di tahun-tahun terakhir ini, perhatian serta dana yang dikucurkan untuk Museum Aceh sangat sedikit sekali,” urai Haji Harun Keuchiek Leumiek. Padahal, sebutnya, dana Pemerintah Aceh melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sangat besar. Namun, tidak sebanding dengan perhatian terhadap perawatan dan penjagaan barang-barang atau benda bersejarah tadi. “Karena itu, jangan heran jika barang dan benda bersejarah
M
Aceh yang ada pada masyarakat tidak lagi dijual pada pemerintah melalui Museum Aceh. Alasannya tidak ada anggaran. Akibatnya, benda dan barang itu jatuh ke tangan para kolektor dalam dan luar negeri,” ungkapnya. Itu sebabnya, Haji Harun berharap, Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menaruh perhatian besar terhadap Museum Aceh. Sebab, selain sebagai saksi sejarah kejayaan Aceh, juga menjadi media edukasi (pendidikan) bagi masyarakat Aceh, khusus generasi muda (anak-anak dan pelajar), bahkan turis asing yang berkunjung ke Aceh. Selain itu, menjadi referensi bagi para peminat sejarah dalam dan luar negeri. Jika salah satu alasan bahwa benda dan barang sejarah Aceh tak maksimal lagi dipamerkan di Museum Aceh karena keterbatasan ruangan, Haji Keuchik Leumiek mengusul pada Pemerintah Aceh untuk memperluas bangunan Museum Aceh. Caranya, dengan mencari lahan lain atau membebaskan lahan di samping bangunan Museum Aceh sendiri. Karena, kata Haji Harun, Komplek Museum Aceh
sangat terbatas, sejalan dengan bertambahnya koleksi bendabenda bersejarah yang ada. “Kenapa bangunan lain bisa diperluas atau diperlebar, mengapa Museum Aceh tidak? Ini kan untuk kepentingan daerah dan negara. Jadi, tidak ada alasan untuk membiarkan Museum Aceh terhimpit oleh bangunanbangunan baru yang semakin tumbuh di Kota Banda Aceh,” saran dia. Hanya itu? Nanti dulu. Jika tidak segera dilakukan langkah penyelamatan, Haji Harun Keuchik Leumiek khawatir jika koleksi benda bersejarah Aceh akan berpindah tangan ke kolektor-kolektor dalam dan luar negeri, misal Belanda dan
Jepang. Sebab, merasa memiliki dana besar untuk mendapatkannya. “Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan?” sebut dia. Menurut Haji Harun, terdapat empat museum besar di Belanda yang banyak menyimpan benda-benda sejarah masa penjajahan Belanda. Bahkan, sebagiannya dari Aceh. Ada yang dibawa Belanda sendiri, ada pula yang dibeli dari para kolektor di Aceh. “Saya sudah melihatnya sendiri,” kata Haji Harun yang kini berusia 74 tahun. Nah, karena muncul kekhawatiran tadi saat pertemuan di Kherkof (komplek kuburan serdadu Belanda di Banda Aceh) beberapa bulan lalu yang dilaku-
kan para sejarawan. Dia mengusulkan, benda-benda sejarah Aceh yang berada di Museum Belanda agar dikembalikan ke Aceh. Namun, usulan tadi sempat terjadi pro dan kontra. Ada yang setuju dikembalikan, ada juga yang tidak—karena alasan pengamanan dan perawatan di sana jauh lebih bagus dibandingkan Aceh. “Kenapa tidak aman? Karena selama ini Pemerintah Aceh tidak menyediakan tempat serta pengamanan yang bagus. Padahal, semua itu peninggalan nenek moyang kita, endatu kita. Seharusnya bisa dilihat oleh anak cucunya sekarang. Kalau di Belanda, hanya beberapa orang Aceh saja yang bisa melihatnya,”papar Harun. Diungkapkan Haji Harun, sebenarnya pemerintah Belanda setuju dengan usulan tadi, hanya saja pengembalian barang tersebut harus ditempuh melalui jalur diplomatik. “Itu tidak masalah. Dulu, juga kita sudah pernah menempuh jalan tersebut dan Belanda mengembalikan beberapa item benda-benda sejarah Aceh. Salah satunya film sejarah penyerbuan Belanda di Batee Iliek dan bendera yang direbut oleh Letnan Clark dari Tengku Ali. Jadi, saya rasa tidak masalah jika kita tempuh jalur tersebut lagi,” tegasnya. Nah, sekali lagi, adakah yang peduli? Inilah yang jadi soal. Sebab, selama ini, pimpinan Aceh selalu berujar: mate aneuk meupat jerat, gadoh adat hana pat tamita (jika anak meninggal, kita tahu di mana kuburannya, tapi jika adat hilang, tidak tahu cari ke mana). Kita tunggu.***
parlementaria
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
5
Mencari Akar Alasan Mutasi MODUS ACEH / Muhammad Saleh
Komisi I DPRA memanggil Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah terkait mutasi sejumlah kepala SKPA. Untuk dan atas nama UUPA. Azhari Usman
R
apat dengar pendapat Komisi l Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah terkait mutasi 33 pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Aceh, Senin malam pekan lalu, berlangsung di Ruang Banggar DPRA, Jalan Tgk. Daud Beureueh, Banda Aceh. Ini sejalan dengan maraknya pemberitaan pasca mutasi tersebut. Itu sebabnya, rapat yang berlangsung alot itu dibuka Ketua DPRA Tgk. H. Muharuddin S. Sos, dihadiri Wakil Pimpinan Drs. Sulaiman Abda M.Si, Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Drs. Dermawan MM yang juga Kepala Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Aceh, Kepala Biro Hukum Gubernur Aceh Edrian SH, M.Hum, Ketua dan anggota Komisi l yang dipimpin Abdullah Saleh SH. Saat membuka pertemuan, Tgk. H. Muharuddin mengatakan, pertemuan terkait mutasi 33 pejabat eselon II di lingkup Pemerintah Aceh yang menuai polemik sengaja dilakukan malam hari. Menurut Muharuddin, DPRA perlu mengetahui alasan dasar yang menjadi kebijakan Gubernur Aceh dalam melakukan pergantian pejabat eselon II dimaksud. Maklum, sesuai peraturan DPRA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib DPRA, wakil rakyat ini mempunyai tugas dan wewenang, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan kepala Pemerintah Aceh dan keputusan kepala Pemerintah Aceh. “DPRA seperti yang diatur pada Pasal 20 dalam tata tertib juga mempunyai hak untuk meminta keterangan kepada Pemerintah Aceh terkait kebijakan yang dikeluarkan. Alat kelengkapan dewan seperti komisi-komisi juga mempunyai wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan terhadap rakyat yang menjadi
bidang tugas komisinya. Selain itu, dalam Undang-Undang Pemeritah Aceh (UUPA), juga secara gamblang dijabarkan wewenang DPRA, pada Pasal 23 ayat (1) huruf b dalam melakukan pengawasan,” jelas Tgk. H Muharuddin. Masih kata Tgk. H Muharuddin, persoalan yang muncul akibat mutasi tersebut adalah saling berpegang kepada aturan masing-masing. Kepala Pemerintah Aceh misalnya, mengacu pada Pasal 119 UUPA. Isinya membolehkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari jabatan eselon II ditetapkan oleh Gubernur. Sedangkan pihak yang merasa dirugikan berpegang kepada Pasal 71 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Daerah (Pilkada) yang melarang kepala daerah melakukan pergantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon (paslon) sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Untuk itu, kata H Muharuddin, Gubernur Aceh perlu meluruskan persoalan ini agar tidak menjadi semakin liar dan mengganggu roda Pemerintahan Aceh, terutama keberlanjutan pembangunan. Selanjutnya, ia juga mempertanyakan apakah surat Gubernur Aceh yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah mendapat persetujuan. Selain itu, Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang mempunyai tugas pokok memberikan pertimbangan kepada pejabat pembina kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah. “Apakah Baperjakat juga ber-
tugas memberikan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang dalam pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara dan pertimbangan perpanjangan batas usia pensiun pegawai negeri sipil (PNS) yang menduduki jabatan struk-
melakukan mutasi 33 pejabat eselon II, sehingga tidak menjadi polemik dalam masyarakat Aceh. Permintaan itu disampaikan Gubernur Aceh Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto. Dia mengatakan, beberapa pejabat eselon II yang telah dimutasi tidak mengikuti peraturan yang berlaku. Nah, atas dasar itulah, sambung Abu Doto, dirinya te-
Edrian, SH, M.Hum
Tgk. H. Muharuddin, S. Sos
tural eselon II? Dan, apa jaminan objektivitas serta kepastian dalam pengambilan keputusan, termasuk apakah anggota Baperjakat yang ditetapkan dalam jumlah ganjil?” tanya Muharuddin. Dia berharap, untuk waktu mendatang, proses mutasi yang dilakukan secara tertutup dapat dilakukan secara terbuka, berdasarkan UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab, tugas Baperjakat akan digantikan oleh tim penilai kinerja PNS. “Tim penilai inilah yang akan menyeleksi pelamar yang masuk dan mengerucutkan menjadi tiga kandidat untuk selanjutnya ditentukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di bawah gubernur untuk provinsi,” urai Tgk H Muharuddin. Ketua Komisis I DPRA Abdulah Saleh SH yang juga pemimpin rapat meminta jawaban Gubernur Aceh atas dasar hukum yang digunakan untuk
lah membahas masalah mutasi itu dengan beberapa pejabat terkait. Dan, pada akhirnya, diambil kesimpulan terhadap 33 pejabat eselon II untuk dimutasi. “Sebelumnya, kami telah melayangkan surat permohonan pada Mendagri tertanggal 13 Februari 2017. Memang surat itu tidak mendapat balasan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo. Namun, selanjutnya, saya mengirim sms (pesan singkat) kepada beliau dan menjawab, ‘Ya, terserah Gubernur’,” ujar Abu Doto. Masih kata Abu Doto. Dengan berakhirnya konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI, maka lahirlah UUPA yang menjadikan lex specialis. Atas dasar itulah, dirinya berpegang pada UUPA yang membolehkan pergantian pejabat eselon II oleh Gubernur Aceh. “Yang lain, ada sedikit kesalahan yang dilakukan sejum-
lah pejabat SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh). Daripada kita biarkan terlalu lama akan membuat bahaya, maka saya putuskan untuk diganti,” kata Abu Doto. Sejalan dengan Abu Doto, Kepala Biro Hukum Gubernur Aceh, Edrian M.Hum, yang diminta tanggapannya menjelaskan, ditinjau dari aspek hukum, mutasi yang dilakukan Abu Doto tak lepas dari persoalan pengukuhan pejabat oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo beberapa waktu lalu. Dan ini dinilai kurang sejalan dengan filosofi hukum yaitu Pasal 124 ayat (4) daripada Peraturan Presiden (PP) 16 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dalam pasal itu disebutkan, untuk pertama kali dilakukan pengukuhan terhadap pejabat struktural yang telah memegang jabatan, dengan mengisi jabatan kosong yang setingkat. “Nah, kewenangan Plt Gubernur Aceh hanya mengukuhkan pejabat yang lowong sesuai dengan tingkatnya,” kata Edrian. Hal lain yang menjadi pertimbangan hukum, sambung Edrian, adalah tidak sejalan PP 23 Tahun 2015. Sebab, Pasal 6 isinya, pengangkatan dan pergantian Kepala Badan Pertanahan Aceh itu dilakukan oleh Agraria dan Tata Ruang atas usulan Gubernur. Selanjutnya, ada beberapa pejabat eselon II yang akan memasuki masa pensiun. “Apakah Gubernur Aceh dapat mengganti pejabat ini, kita berhadapan pada dua regulasi. Pertama, UUPA dan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Kalau Gubernur Aceh jelas berpegang pada UUPA. Yang menjadi masalah adalah UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada adanya larangan kepala daerah melakukan pergantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Maka, kalaupun UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada itu dilanggar, maka gubernur sebagai petahana akan dibatalkan sebagai pasangan calon (paslon) peserta pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, masa pilkada sudah lewat,” ulas Edrian. Atas dasar dan pertimbangan itulah, lanjut Edrian, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menganggap mutasi sejumlah pejabat eselon II tidak bertentangan dengan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.***
Informasi Ini Kerjasama Tabloid Berita Mingguan MODUS ACEH dengan Sekretariat DPR Aceh.
6
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
Liputan Khusus
■ Sengketa Pilkada Aceh
MK dan Pertaruhan UUPA MODUS ACEH/Muhammad Saleh
Sidang perdana sengketa Pilkada Serentak 2017 di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, menarik perhatian berbagai elemen di negeri ini, termasuk Aceh dan media pers. Sebab, inilah proses hukum (sengketa) Pilkada Aceh terbanyak sejak Pilkada langsung di gelar negeri ini. Selain itu, tampilnya Prof. Dr Yusril Izha Mahendra sebagai kuasa hukum pasangan calon Nomor Urut 5, H. Muzakir Manaf-TA Khalid, mampu menyedot perhatian awak media dan sejumlah advokat, pengamat dan pemerhati politik. Betapa tidak, persoalan Pilkada Aceh memang sejak awal menerapkan regulasi standart ganda yaitu, UUPA dan PKPU. Nah, persoalan ini pula yang membuat Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) yang juga mantan Menkumham RI dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini bersemangat. “Aceh dan Papua itu menjadi perhatian saya, sebab sejak awal saya ikut terlibat dari berbagai regulasi,” begitu kata Prof Yusril. Entah itu sebabnya, sejumlah advokat pemula atau junior menilai, selain kaya pengalaman dan pengetahuan. Lompatan logika hukum Prof Yusril terkadang sulit untuk ditebak dan prediksi. “Bisa muncul mendadak sehingga melahirkan second opinion terhadap majelis hakim,” begitu ungkap seorang advokat, saat menyaksikan sidang perdana, Kamis pekan lalu di Jakarta. Lantas, bagaimana perjalanan persidangan tersebut, khususnya perkara yang diajukan Muzakir Manaf-TA Khalid? Wartawan MODUSACEH.CO, Muhammad Saleh melakukan Liputan Khusus di MK, Jakarta, Kamis pekan lalu.
U
NTUK dan atas nama regulasi (undangundang). Tradisi beracara di Mahkamah Konstitusi (MK), selalu terjadi di negeri ini. Terutama usai mengelar pesta demokrasi lima tahunan bertajuk; pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tak kecuali Aceh. Maklum, selain hak konstitusi warga negara, juga ada aturan khusus yang mengaturnya. Itu hanya berlaku untuk wilayah paling barat dan timur Indonesia yaitu; Aceh serta Papua. Nah,
khusus untuk Aceh, ada Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), Nomor 11/2006. Ini merupakan penjabaran dari butir-butir perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia yang terwujud, 15 Agustus 2005 lalu di Helsinki, Finlandia, setelah lebih dari 30-an tahun terlibat konflik bersenjata. Itu sebabnya, Kamis pekan lalu, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta ramai disatroni politisi dan para pendukungnya. Inilah potret kesetiaan mereka terhadap calon atau ‘jagoan-
nya’ yang berperkara di MK. Mereka berasal dari Aceh sampai Papua, dengan tujuan sama, mengadu nasib dan berharap datangnya dewi fortuna (keberuntungan) dari ketukan palu majelis hakim. Makanya, selain membeberkan berbagai fakta dan dalil hukum serta aturan, sejumlah barang bukti (BB), juga harus mampu menghadirkan saksisaksi. Namun, sebelum menuju ke arah sana, ‘pertarungan’ awal tentu saja bagaimana meyakinkan majelis hakim agar gugatan para pihak dapat diterima. Selanjutnya berperkara hingga muncul putusan ingkrah (tetap). Bisa jadi, karena alasan itu pula, pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Nomor Urut 5, Muzakir Manaf-TA Khalid, mengunakan jasa Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukumnya. Ini diyakini, selain memiliki kemampuan dan pengalaman hukum di atas rata-rata. Guru besar UI ini pun, merupakan mantan pejabat tinggi negara (Kemenkum dan HAM RI), yang ikut terlibat langsung dalam merumuskan berbagai regulasi (undang-undang) terhadap Aceh dan Papua, khususnya paska perjanjian damai antara GAM-Pemerintah Indonesia. “Antara saya dan Aceh memang tak bisa dipisahkan. Ini sudah terjalin sejak pendahulu kita sebelumnya, terutama para ulama Masyumi. Selain itu, konflik bersenjata yang begitu panjang, harusnya menjadi pemikiran bersama elit di negera ini,
untuk tidak mengulangi ‘kesalahan’ dan ‘kecelakaan’ sejarah masa lalu terhadap Aceh. Saya bisa merasakan suasana kebatihan itu,” kata Yusril, saat ditemui di kantornya, Lantai 19, Tower 88, Kota Kasablanka, Jalan Casablanca 88, Kuningan, Jakarta. Menurut putra kelahiran Pangkal Pinang ini, di Aceh berlaku aturan khusus atau UUPA, yang mengatur soal Pilkada yaitu Pasal 74, bukan pasal 158 undang-undang Pilkada secara nasional. Penerapan Pasal 158 UU Pilkada, menurutnya telah menyebabkan kliennya— Muzakir Manaf-TA Khalid— dirugikan. “Jadi kalau pasal 158 UU Pilkada, pemenang kedua ingin mengajukan keberatan ke MK, tentu ada persyaratan 2 persen, 1 persen atau 1,5 persen,” ujarnya, Kamis pekan lalu. Pendapat itu juga yang disampaikan Yusril kepada Majelis Hakim MK. Yusril mengatakan, jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka MK tidak bisa menerima perkara yang diajukan. Namun, untuk pasal 74 UU Pilkada di Aceh tidak memiliki persayaratan tersebut, karena bersifat lex specialis. “Setelah kami pelajari ketentuan pasal 74 UU Aceh tidak mengatur hal seperti itu, hanya mengatakan ‘Apabila terjadi perselisihan ke Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung itu final dan mengikat’. Status lex generalis tidak dikesampingkan,” ungkap Yusril. Ini bermak-
na, UUPA memang bukan regulasi (undang-undang) biasa. *** Tentu, tak ada asap, jika tidak ada api. Majunya persoalan Pilkada Aceh ke MK, Jakarta, tidak muncul pula secara serta merta. Itu sebab, dalam permohonannya mewakili Muzakir Manaf-TA Khalid. Yusril Ihza Mahendra bersama rekan dari Kantor Advokat Ihza-Ihza dan Mukhlis Mukhtar SH (asal Aceh), mengeluarkan sejumlah dalildalil. Nah, dari sinilah titik awal UUPA dipertaruhkan. Misal, Form Model DB2-KWK, catatan kejadian khusus dan/atau keberatan saksi dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara di kabupaten dan kota. Inikah efek dari inkonsistensi KIP Aceh dalam menjalankan regulasi? Entahlah, tapi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh serta Bupati dan Walikota di Aceh, 15 Februari 2017, telah melahirkan sejumlah masalah. Di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Utara, Simeleu dan Aceh Tengah misalnya, petugas tidak melaksanakan pengumuman sebagaimana ketentuan PKPU Nomor 15 tahun 2016 Pasal 4 ayat (10 huruf (a). Ini dibuktikan dengan surat pernyataan Geuchik (kepala desa) di Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Besar. Bayangkan, mereka mengaku, petugas tidak melaksanakan pengumuman Form C1KWK pada Papan Pengumuman Milik Desa. Untuk memperkuat alasan ini, kuasa hukum Muzakir ManafTA Khalid melakukan dokumentasi atau foto-foto papan pengumuman kantor desa yang tidak dipasang pengumuman sebagaimana dimaksud PKPU Nomor 15 Tahun 2016 Pasal 4 ayat (1) Huruf (a). Itu terjadi di Kabupaten Aceh Utara, Kota Langsa, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Kabupaten Bireun dan Aceh Tenggara. Itu sebabnya, Prof Yusril menilai, telah terjadi pelanggaran, sejalan dengan temuan Panwaslih Aceh tentang adanya penggelembungan suara di kabupaten Aceh Tengah kepada kandidat nomor urut 6 yaitu; Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah. Temuan ini sempat diprotes Ketua Panwaslih Aceh pada saat Rekapitulasi Suara di Tingkat Provinsi Aceh, 25 Februari 2017 lalu di
MODUS ACEH
Liputan Khusus Banda Aceh. “Namun Termohon dan KIP Aceh tidak menggubrisnya,” ungkap Yusril. Tak hanya itu, Termohon juga tidak menindaklanjuti laporan masyarakat terhadap dugaan pemalsuan tanda tangan dalam surat dukungan dari pasangan calon jalur independen (perseorangan). Karena itu, dinilai telah terjadi pelanggaran berupa pemekaran TPS oleh Termohon yang tidak sesuai dan tidak berdasarkan Peraturan PKPU Nomor 8 Tahun 2016, Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2015, Tentang Pemutakhiran Data Dan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota. Bukan hanya itu, berdasarkan PKPU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pemutakhiran Data Dan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/ Atau Walikota Dan Wakil Walikota, pasal 9 ayat (2) Penyusunan data pemilih untuk tiap TPS
paling banyak 800 orang dengan memperhatikan (a) Tidak menggabungkan desa atau kelurahan atau sebutan lain; (b) memudahkan pemilih, (c) Halhal berkenaan dengan aspek geografis dan (d) jarak dan waktu tempuh menuju TPS dengan memperhatikan tenggang waktu pemungutan suara. Terkait pelanggaran massif, menurut Yusril dan rekan, telah terjadi di 23 Kabuaten/Kota seluruh Aceh. Misal, tanggal 15 Februari 2017, sekira pukul 02.00 WIB, terjadi pelanggaran berupa pembongkaran kotak suara yang dilakukan Ketua PPK Rantau Peurlak, Kabupaten Aceh Timur, untuk mengambil form C-1 Hologram. Pembongkaran tersebut dilakukan Ketua PPK Rantau Peurlak atas perintah Ketua KIP Aceh Timur. “Bahwa telah terjadinya pelanggaran yang dilakukan Termohon berupa amplop surat suara yang tidak tersegel yang terjadi di Kabupaten Aceh Tengah. Selain itu, Pemohon menemukan adanya aparat keamanan berada di dalam TPS pada saat pemungutan suara dan saat rekapitulasi suara. Ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,”
NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
ungkap Yusril. Masih ada, juga terdapat pelanggaran berupa KTP pasangan calon Independen yang diduga banyak palsu, tetapi tidak ditindak lanjuti Termohon. Karena itu, terdapat pelanggaran yang massif di Kabupaten Bener Meriah, Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Singkil, berupa Panwaslih dan saksisaksi tidak diberikan C-1. Pelanggaran dan kecurangan massif juga dilakukan Termohon, berkaitan dengan dokumen C1-KWK yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireun, Kabupaten Bener Meriah, Kota Sabang, Kota Langsa, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, KabupatenAceh Selatan, KabupatenAceh Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya. Semua pelanggaran serta kecurangan tadi, telah diinventarisir Pemohon. Misal, adanya indikasi penggelembungan suara dengan selisih suara antara model C1-KWK dengan lampiran model C1-KWK. Jumlah suara yang tidak sah berbeda dengan model C1-KWK.
Sebab, terdapat perbedaan penjumlahan suara yang sah antara penjumlahan suara sah pasangan seluruh calon, tanda tangan saksi-saksi yang berbeda antara C-KWK dan Lampiran C1-KWK. Itu terlihat pada lampiran Model C1-KWK tidak diisi nomor TPS, nama desa, kecamatan, dan kabupaten. Nah, dari berbagai pelanggaran tadi, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif serta berdampak pada bertambahnya suara yang signifikan bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nomor Urut 6. “Berbagai pelanggaran-pelanggaran serta kecurangan-kecurangan sebagimana yang telah disebutkan di atas, telah mengakibatkan hasil pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh menjadi inkunstitusional,” tegas Prof Yusril. Sebab, dengan adanya pelanggaran terstruktur, sitematis, dan massif itu, telah mengurangi perolehan suara Pemohon secara signifikan. Berdasarkan analisa secara logika matematis, jika pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas tidak terjadi, maka sesungguh-
7
nya jumlah suara Pemohonlah yang terbanyak sebagaimana yang dimaksud dalam posita keempat tadi. Itu sebabnya, atas pelanggaran-pelanggaran yang disebutkan Pemohon, Panwaslih Aceh telah mengeluarkan rekomendasi Nomor 318/Panwaslih-Aceh/II/2017, tanggal 28 Februari 2017. Namun Termohon tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut. “Bahwa atas dasar pelanggaran yang dilakukan Termohon itulah, telah memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan massif, maka sudah layak untuk dilakukan pemungutan suara ulang pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di seluruh Aceh maupun di kabupaten/Kota tertentu,” jelas Yusril Ihza Mahendra bersama rekan, termasuk Mukhlis Mukhtar SH. Begitupun, proses peradilan masih berlangsung di Jakarta atau Selasa (21/3/2017) hingga adanya putusan tetap. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah Majelis Hakim MK merujuk pada UU Pilkada Nasional atau memberi ruang terhadap UUPA? Kita tunggu saja, sebab UUPA kembali menjadi pertaruhan di Jakarta.***
Mualem: Jangan Khianati UUPA! Atjeh satoe
Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf-TA Khalid beserta seluruh kader dan politisi Partai Aceh (PA), Partai Gerindra, termasuk Ketua DPW PAN Aceh, Anwar Ahmad, hadir pada sidang perdana di MK, Jakarta, Kamis pekan lalu. Usai sidang, Mualem dan TA, begitu keduanya disapa, meluncur ke Kantor Yusril Ihza Mahendra, kawasan Casablanca, Jakarta Selatan. Setelah berdiskusi, Mualem bersedia diwawancara MODUSACEH.CO. Berikut penuturannya.
U
ntuk kesekiankalinya, rakyat Aceh kembali diuji kesabarannya. Ini terkait dengan realisasi butir-butir MoU Helsinki dan UUPA yang hingga kini masih belum tuntas diberikan Jakarta atau Pemerintah Indonesia. Salah satunya, soal Pilkada Aceh. Itu sebabnya, muncul gugatan di MK. Ini merupakan hak konstitusi warga negara. Selama ini, kita (rakyat Aceh) sudah cukup banyak bersabar. Salah satunya soal bendera dan lambang Aceh. Karena itu saya minta Pemerintah Indonesia (Jakarta), jangan mengkhianati UUPA yang merupakan turunan dari MoU Helsinki. Gugatan saya ke MK, sekaligus menjadi pelajaran penting bagi penyelenggara Pilkada (KIP Aceh) dan rakyat Aceh untuk tidak bermain-main dengan UUPA dan menguji apakah Pemerintah Indonesia masih komit serta konsisten dengan kesepakatan damai MoU Helsinki. Jika UUPA sudah tidak lagi bermakna, maka siapa sesungguhnya yang ‘mengkhianati’ perjanjian damai tadi. Rakyat Bangsa Aceh semua tahu bahwa MoU dan UUPA bukan hadiah dari
Jakarta atau Pemerintah Indonesia, tapi hasil perjuangan dengan darah, nyawa dan air mata. Bila Jakarta sudah tidak lagi konsekwen dan konsisten dengan UUPA, tentu rakyat Aceh bisa menilai sendiri. “Saya tak mau UUPA itu ibarat ‘ayam hutan’ yang begitu langka untuk kita dapatkan, tapi kemudian dengan mudah kita lepaskan,” tegas Mualem. Kalau kemudian ada yang berpendapat, kenapa baru sekarang kita sibuk memperjuangkan UUPA? Menurut saya itu pernyataan bodoh dan orang yang tidak mengerti sejarah perjuangan bangsa Aceh. Sebab, setelah damai, saya selalu memperjuangkan UUPA. Tapi, karena tidak punya kuasa, makanya jadi begini. Sebagai Panglima GAM (Ketua KPA dan Ketua PA), dulu saya berjuang di Aceh bersama puluhan ribu pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saya begitu merasakan makna dan arti perjuangan bangsa Aceh. Karena itu, saya selalu mengingatkan penguasa Aceh, setelah perjanjian damai. Baik saat Irwandi berkuasa maupun Abu Doto. Tapi, karena saya bukan penguasa utama, makanya jadi ter-
hambat semua. Karena itu, saya maju sebagai Gubernur Aceh 2017, setelah dua periode saya serahkan pada mereka (Irwandi dan Abu Doto). Tapi, hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Saya ingin menyelamatkan butir-butir MoU dan UUPA yang tercecer. Perjuangan ini bukanlah mengadaada, tapi hasil kesepakatan bersama antara GAM dengan Pemerintah Indonesia.
Jadi, bukan sesuatu yang haram dan ilegal, tapi sah secara hukum Indonesia dan Internasional. Karena itu saya tegaskan, tolong Jakarta atau Pemerintah Indonesia, jangan khianati MoU Helsinki dan turunannya UUPA. Karena itulah yang telah kita sepakati bersama, berdamai, menghentikan perang yang telah banyak meninggalkan korban nyawa, darah dan air mata.***
8
MODUS ACEH
Hukum
NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
■ Sengketa Proyek Tanggap Darurat 2009-2011
‘Warisan’ Tak Kunjung Usai MODUS ACEH-DOK
Sedikitnya, ada 53 proyek tanggap darurat yang ditinggal pemerintahan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar (2006-2011) berlabuh di Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung. Ada yang telah dilunasi pemerintahan dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (2012-2017). Kini, tanggung jawab serupa akan diterima penguasa selanjutnya. Muhammad Saleh Jalan Tiro Blangrikui, Sigli amblas karena hujan
S
UDAH lama, Haji Saifannur, Direktur Utama PT Mutiara Aceh Lestari bisa tersenyum dan bernapas lega. Maklum, sisa bayaran dari pekerjaan konstruksi penanggulangan bencana alam di Jalan Bireuen-Takengon (Cot Panglima) telah dia terima dan nikmati. Namun, semua ini tak semudah membalik telapak tangan. Untuk mendapatkan haknya, Bupati Kabupaten Bireuen terpilih pada Pilkada 15 Februari 2017 lalu itu terpaksa dan harus berjuang dan berjibaku di ranah hukum. Bayangkan, mulai tingkat pertama (Pengadilan Negeri) hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Ini disebabkan, terjadi perselisihan antara dirinya dengan Pemerintah Aceh terkait pembayaran dari pekerjaan yang telah ia lakukan. Awalnya, memang sempat tak ada persoalan. Pemerintah Aceh menggelontorkan pembayaran tahap pertama, Rp 24,8 miliar lebih. Menyusul tahap kedua, Rp 50 miliar lebih. Nah, masuk tahap ketika atau sisanya, Rp 52,4 miliar lebih, dari total Rp 107,1 miliar lebih. Dari sinilah muncul sengketa. Ini merupakan sisa pekerjaan yang dilakukan melalui perintah lisan Kepala Dinas Bina Marga
Aceh. Saat itu, kendali Pemerintah Aceh dipegang duet Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Proyek lanjutan tadi berada pada kilometer 27 plus 500 sampai dengan kilometer 28 plus 725 atau total pekerjaan 1.225 meter. Pekerjaan ini dilakukan Haji Saifannur melalui Surat Gubernur Aceh Nomor 620/1887, tanggal 24 Januari 2011, perihal persetujuan penunjukan langsung (PL) untuk pekerjaan penanggulangan bencana alam dengan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) Nomor 602/BIDPBJ/251/2011 tanggal 24 Januari 2011. Nah, setelah diselesaikan PT Mutiara Aceh Lestari. Tapi, sempat dinilai tidak sesuai dengan izin prinsip dan SPMK atau ada satu kegiatan lain tidak ada izin prinsip dan SPMK. Tak terima dengan keputusan sepihak, Haji Saifan kemudian melakukan gugatan terhadap Pemerintah Aceh. Hasilnya, di Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) Haji Saifan menang. Namun, Pemerintah Aceh melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dan, melalui putusan Nomor 3067 K/Pdt/ 2014, MA tetap memenangkan Haji Saifannur. Nasib apes justru menimpa perusahaan atau kontraktor pelaksana pekerjaan perbaikan Jalan Tanggul Leubok Pusaka,
Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, 2010 silam. Jalan tanggul itu dibangun setelah diterjang bencana banjir di Kabupaten Aceh Utara. Nah, dari total Rp 1,8 miliar lebih anggaran yang dialokasikan, sudah dibayar Rp 1,4 miliar lebih. Sisanya, Rp 376 juta lebih masih tersangkut di Pemerintah Aceh. Sebab, hingga saat ini, masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung alias belum inkrah? Pekerjaan itu dilakukan sesuai Surat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Nomor 360/69620, tanggal 8 Desember 2010, tentang Permohonan Persetujuan Penerbitan SPMK untuk Pekerjaan Penanggulangan Bencana Alam. Kabarnya, pekerjaan telah diselesaikan, namun tidak sesuai dengan izin prinsip dan SPMK. Nasib serupa juga dialami kontraktor pelaksana pekerjaan pembangunan tanggul pengaman jalan Desa Bak Paoh, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya akibat bencana banjir di kabupaten itu. Termasuk pekerjaan pengamanan Pantai Suak Ujong Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat (lihat tabel). Kini, setelah dua penguasa Aceh berganti, persoalan atau sengketa tersebut belum juga berakhir. Walau sebagian telah dibayar pemerintahan dr. Zaini
Abdullah atau akrab disapa Abu Doto, tapi tidak sedikit yang masih menggantung alias belum ada putusan tetap dari MA. Itu sebabnya, siapa pun Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh nantinya (2017-2022), masalah ini tetap menjadi ‘warisan’ untuk diselesaikan. Tentu, setelah adanya putusan tetap secara hukum. Sebaliknya, kejadian ini menjadi pelajaran penting serta berharga bagi para pengusaha atau kontraktor di Aceh untuk tidak cepat tergiur dengan tawaran pekerjaan, menyangkut proyek bencana atau tanggap darurat. Kalau sudah begini, siapa yang menanggung akibat? *** “Habis sudah, rumah, tanah dan mobil saya jual untuk menutupi seluruh hutang. Saya pasrah menanti putusan MA. Jika menang, saya bisa bangkit kembali. Jika tidak, sudah menjadi nasib dan garis kehidupan saya dan keluarga,” begitu ucap Teuku Badu (samaran), pasrah. Warga Aceh Besar ini, satu di antara puluhan pengusaha Aceh yang bernasib kurang beruntung tadi. Penantian panjangnya untuk mendapat pembayaran dari proyek tanggap darurat 2006-2011 silam, hingga kini masih belum jelas juntrungannya. Ini sejalan dengan gugatan yang dia lakukan.
“Sama seperti Haji Saifannur, di PN dan PT saya menang, tapi Pemerintah Aceh belum mau membayar. Mereka banding ke MA. Padahal, saya berharap, Pemerintah Aceh tak perlu terlalu hitung-hitungan dengan rakyatnya sendiri. Toh, pekerjaan sudah selesai kami kerjakan,” ulas Teuku Badu. Yang menarik, untuk mendapatkan proyek ‘basah’ tadi, ternyata tidak gratis. Menurut Teuku Badu, itu dia peroleh dengan membayar oknum pejabat terkait saat itu. Dan, ada beberapa proyek serupa yang dia beli dari rekan, sesama kontraktor. Harapannya saat itu, bisa memperoleh keuntungan berlebih. Kebiasaan ini telah dia lakukan saat proses rehab-rekon Aceh, pasca gempa dan tsunami, 26 Desember 2004 silam. Namun, proses pembayarannya dengan mudah dilakukan pihak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. “Nyatanya, untuk membayar pengacara saja, saya sudah tak mampu,” ujarnya lesu. Selain itu, memang ada tawaran dari oknum pejabat dinas terkait untuk mengurusnya di Jakarta. Tapi, jika sukses, hasilnya diminta bagi dua. “Mana mungkin saya mau. Jangankan untung, untuk membayar kredit bank saja, saya sudah morat-marit,” ujar Teuku Badu. Nasib..nasib.***
Hukum
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
9
10
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
HUKUM
HUKUM
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
11
12
MODUS ACEH
Utama
NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
Opini
‘PL’ GeRAK UNTUK KEJATI ACEH kejatiaceh.go
U
NTUK ke sekian kali, Rabu pekan lalu, aktivis Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh bertandang ke Gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Jalan Dr. Muh. Hasan, Desa Lamcot, Batoh, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Tentu mudah ditebak. Kehadiran para pegiat anti rasuah ini bukan untuk cipika-cipiki dengan aparat penegak hukum tersebut. Sebaliknya, mereka membawa segepok data dan fakta tentang dugaan praktik rasuah yang dilakukan pejabat (kepala dinas) di jajaran Pemerintah Aceh. Kali ini, ‘target’ GeRAK adalah Ir. Syamsurizal, mantan Kepala Dinas Pengairan Aceh dan Ir Anwar Ishak, mantan Kepala Dinas Bina Marga Aceh. Namun, yang menjadi sasaran atau ‘penunjukan langsung’ alias “PL” GeRAK Aceh untuk Kejaksaan Tinggi Aceh adalah Ir. Syamsurizal. Ini terkait dugaan praktik rasuah yang dilakonkan Syamsurizal-Anwar Ishak dengan modus operandi penunjukkan langsung proyek di dua dinas tersebut pada tahun anggaran 2013-2014. Tentu tak asal usung. GeRAK juga melampirkan temuan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Aceh 2014 dan hasil audit Inspektorat Aceh 2015. Termasuk pendapat, saran dan usul Komisi IV DPR Aceh terkait rancangan Qanun Aceh tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBA Tahun Anggaran 2014. Nah, dari laporan ketiga institusi ini, GeRAK Aceh melakukan sejumlah kajian serta analisis. Hasilnya, ditemukan sejumlah dugaan adanya praktik rasuah berbentuk penunjukan langsung (PL) sejumlah proyek di Dinas Pengairan Aceh dan Dinas Bina Marga Aceh. Menurut aktivis GeRAK Aceh, upaya PL yang dilakukan Dinas Pengairan dan Dinas Bina Marga Aceh dilakukan secara sistemik serta terencana dengan tujuan menghindari pelelangan umum, terutama untuk menutup pihak lain untuk bersaing, memperoleh kegiatan atau proyek yang dilaksanakan. Itu sebabnya, untuk menghindari pelelangan umum, ada indikasi menutup peluang bagi
perusahaan lain secara umum untuk memperoleh pekerjaan. Termasuk kuasa pengguna anggaran (KPA) menyetujui harga prakiraan sendiri, terutama untuk paket pekerjaan lanjutan yang tidak sesuai ketentuan. “Kami menemukan dugaan dan motivasi PL yang mengarah pada dugaan conflict on interest (kepentingan) antara pengguna anggaran (PA), KPA dan PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) dengan pihak penyedia jasa,” kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, dalam laporannya pada penyidik Kejati Aceh, diterima Kepala Seksi (Kasi) Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH. Kasus itu juga melibatkan dua mantan kepala dinas tersebut yaitu Ir. Anwar Ishak dan Ir. Syamsurizal, PPTK dinas itu, serta 17 perusahaan penerima proyek PL. Tak hanya itu, GeRAK juga melampirkan 17 nama perusahaan pelaksana PL serta lokasi proyek dan alokasi anggaran (lihat boks), termasuk bukti dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LPH) BPK RI Perwakilan Aceh atas laporan keuangan Pemerintah Aceh 2014. Pandangan akhir Komisi IV DPR Aceh serta surat balasan BPK RI Perwakilan Aceh terhadap penjelasan, terkait pemeriksaan atas proyek PL pada Dinas Pengairan Aceh, 13 Agustus 2015, yang dinilai berpotensi merugikan keuangan daerah atau negara.
Bahkan, temuan dan rekomendasi serupa juga disampaikan Inspektorat Aceh dalam suratnya tanggal 18 Agustus 2015 tentang dugaan pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara, terkait proyek PL di Dinas Pengairan serta Dinas Bina Marga Aceh. GeRAK Aceh berpendapat, berdasarkan hasil investigasi dan analisa pihaknya, diduga ada potensi korupsi dan kerugian negara dari kebijakan PL oleh kedua pejabat ini. Caranya, kedua pejabat tersebut, diduga telah melakukan pelanggaran terstruktur dan terencana, sehingga melanggar aturan hukum dengan aspek yang dapat merugikan keuangan negara. Tentu saja, ada aturan dan perundangan yang dilanggar. Misal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nah, Pasal 2 ayat (1) menjelaskan, setiap orang yang secara sah melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 miliar dan paling banyak satu miliar rupiah.
Pasal 3, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak satu miliar rupiah. Selain itu, ada juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pasal 12 ayat (1) menyatakan, penunjukan langsung pelaksana konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, berlaku untuk keadaan tertentu seperti penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera. Kedua, pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi baru dan penyedia jasa yang mampu mengaplikasikan hanya satu-satunya pekerjaan yang perlu dirahasiakan, menyangkut keamanan dan keselamatan negara yang ditetapkan
oleh presiden. Ketiga, pekerjaan berskala kecil dengan ketentuan; untuk keperluan sendiri, mempunyai risiko kecil, menggunakan teknologi sederhana dan atau dilaksanakan oleh penyedia jasa usaha orang perorangan dan badan usaha kecil dan atau pekerjaan lanjutan yang secara teknis merupakan kesatuan konstruksi, sifat pertanggungnya terhadap kegagalan bangunan tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Dan, sejumlah peraturan lainnya. GeRAK juga melampirkan bukti dokumen terkait LHP BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Aceh Tahun 2014, Nomor: 18 C/LHP/XVII.BAC/05/ 2015, tertanggal 23 Mei 2015 tentang Uji Petik Pelaksanaan Pembangunan Jetty yang dikelola Dinas Pengairan Aceh dan diduga menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi. Termasuk pandangan akhir Komisi IV DPRA tentang kinerja Dinas Pengairan Aceh yang menyebutkan, diperlukan pendalaman terhadap temuan hasil audit BPK RI atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2014 yang diduga tidak sesuai dan berpotensi merugikan keuangan Aceh. Lalu, ada surat balasan dari BPK RI Perwakilan Aceh terhadap penjelasan terkait pemeriksaan atas proyek PL di Dinas Pengairan Aceh, tanggal 13 Agustus 2015, tentang dugaan adanya pelanggaran hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara terhadap pelaksanaan kegiatan. Termasuk surat balasan dari Inspektorat Aceh terhadap penjelasan hasil audit terkait proyek PL di Dinas Pengairan Aceh, tanggal 18 Agustus 2015, tentang dugaan adanya pelanggaran hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara pelaksanaan kegiatan. Lantas, bagaimana sesungguhnya isi laporan GeRAK Aceh dan modus operandi Syamsurizal dan Anwar Ishak dalam melakonkan aksinya tersebut berdasarkan temuan BPK RI Perwakilan Aceh serta Inspektorat Aceh? Wartawan MODUS ACEH, Muhammad Saleh menulisnya untuk Laporan Utama pekan ini.***
MODUS ACEH
Utama
NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
13
■ Syamsurizal dan Anwar Ishak
SATU KISAH DUGAAN PRAKTIK RASUAH Nama Syamsurizal, mantan Kepala Dinas (Kadis) Pengairan Aceh dan Anwar Ishak, mantan Kadis Bina Marga Aceh sontak menjadi buah bibir. Ini bukan soal 17 Kepala SKPA yang masuk daftar mutasi pekan lalu. Bukan pula mengenai ‘gerakan perlawanan’ mereka terhadap Gubernur Aceh. Sebaliknya, dugaan praktik rasuah dengan modus operandi PL sejumlah proyek pada dinas tersebut.
UDAH jatuh, tertimpa tangga pula. Agaknya, nasib apes itu akan dihadapi Ir. Syamsurizal. Lihat saja, setelah dipecat dari jabatannya sebagai Kadis Pengairan Aceh, mantan kepala dinas basah ini pun bakal berhadapan dengan aparat penegak hukum dari Kejaksaan Tinggi Aceh. Ini sejalan dengan laporan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh pada Kejaksaan Tinggi Aceh, Rabu pekan lalu, terkait dugaan praktik korupsi proyek penunjukan langsung (PL) tahun 2013-2014 yang terjadi di Dinas Pengairan Aceh. Ditaksir, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 224 miliar lebih. Laporan itu disampaikan Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, bersama beberapa orang badan pekerja GeRAK. Berkas aduan tersebut kemudian diagendakan petugas Bagian Persuratan Kejati Aceh yang disaksikan Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah SH. Kepada awak media, Askhalani mengatakan, dugaan korupsi proyek PL di Dinas Pengairan Aceh itu terjadi pada tahun 2013 dan 2014. Kasus itu juga melibatkan dua mantan kepala dinas tersebut yaitu Ir. Anwar Ishak dan Ir. Syamsurizal, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dinas itu, serta 17 perusahaan penerima proyek PL. Berdasarkan hasil kajian dan analisa GeRAK, dalam proyek yang tersebar di enam kabupaten/kota itu, ditemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan para pihak. Menurutnya, penunjukan proyek PL dilakukan secara sistemik dan terencana dengan tujuan menghindari pelelangan umum. “Rata-rata jumlah pagu anggaran proyek PL mencapai dua miliar lebih. Padahal, dalam
S
proses PL, tidak boleh melebihi Rp 200 juta. Asumsi kita, kerugian negara Rp 224 miliar lebih. Karena itu, kita minta Kejati untuk mengusut dan mengaudit kasus ini, apakah memenuhi unsur tindak pidana korupsi atau tidak,” papar Askhalani. Ungkap Askhalani, Kepala Dinas Pengairan Aceh dan kuasa pengguna anggaran dalam menetapkan sistem pengadaan dengan penunjukan langsung tidak berpedoman pada ketentuan berlaku. “Temuan lainnya, ada kekurangan volume pekerjaan oleh kontraktor pelaksana secara masif. Serta dugaan kelebihan pembayaran terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibayarkan kepada kontraktor,” lanjutnya. Dalam laporannya, GeRAK Aceh turut melampirkan daftar pelaksanaan proyek penunjukan langsung di Dinas Pengairan serta daftar perusahaan yang melaksanakan pekerjaan di lapangan. Kemudian, bukti dokumen terkait laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) Perwakilan Provinsi Aceh, dan lampiran pandangan akhir Komisi IV DPRA terkait pelaksanaan pekerjaan yang diduga korupsi tersebut. Serta surat BPK Perwakilan Aceh terkait penjelasan hasil pemeriksaan atas proyek penunjukan langsung di Dinas Pengairan Aceh.
Dan, surat Inspektorat Aceh menyangkut penjelasan hasil audit proyek penunjukan langsung yang diduga merugikan keuangan negara hingga dua ratusan miliar rupiah tersebut. “Kami berharap, Kejaksaan Tinggi Aceh menindaklanjuti laporan ini dengan mengusut dugaan korupsi di Dinas Pengairan tersebut hingga tuntas serta menyeret para pihak yang terlibat ke pengadilan,” kata Askhalani. GeRAK Aceh berdalih, berdasarkan hasil investigasi dan analisa pihaknya, diduga ada potensi korupsi dan kerugian negara dari kebijakan penunjukan langsung (PL) oleh kedua pejabat ini. Caranya, kedua pejabat tersebut diduga telah melakukan pelanggaran terstruktur dan terencana, sehingga melanggar aturan hukum dengan aspek yang dapat merugikan keuangan negara. Tentu saja, ada aturan dan perundangan yang dilanggar. Misal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nah, Pasal 2 ayat (1) menjelaskan, setiap orang yang secara sah melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugiakan keuangan negara atau perekonomian nega-
ra, maka dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 miliar dan paling banyak satu miliar rupiah. Pasal 3, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak satu miliar rupiah. Selain itu, ada juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pasal 12 ayat (1) menyatakan, penunjukan langsung pelaksana konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berlaku untuk keadaan tertentu seperti penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera. Kedua, pekerjaan yang ko-
mpleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi baru dan penyedia jasa yang mampu mengaplikasikan hanya satu-satunya pekerjaan yang perlu dirahasiakan, menyangkut keamanan dan keselamatan negara yang ditetapkan oleh presiden. Ketiga, pekerjaan berskala kecil dengan ketentuan; untuk keperluan sendiri, mempunyai risiko kecil, menggunakan teknologi sederhana dan atau dilaksanakan oleh penyedia jasa usaha orang perorangan dan badan usaha kecil dan atau pekerjaan lanjutan yang secara teknis merupakan kesatuan konstruksi, sifat pertanggungnya terhadap kegagalan bangunan tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Dan, sejumlah peraturan lainnya. GeRAK Aceh juga melampirkan bukti dokumen terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Aceh Tahun 2014, Nomor: 18 C/LHP/XVII.BAC/05/ 2015, tertanggal 23 Mei 2015 tentang Uji Petik Pelaksanaan Pembangunan Jetty yang dikelola Dinas Pengairan Aceh dan diduga menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi. Termasuk, pandangan akhir Komsi IV DPRA tentang kinerja Dinas Pengairan Aceh yang menyebutkan, diperlukan pendalaman terhadap temuan hasi audit BPK RI atas APBA 2014 yang diduga tidak sesuai dan berpotensi merugikan keuangan Aceh. Lalu, ada surat balasan dari BPK RI Perwakilan Aceh terhadap penjelasan terkait pemeriksaan atas proyek PL di Dinas Pengairan Aceh, tanggal 13 Agustus 2015, tentang dugaan adanya pelanggaran hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara terhadap pelaksanaan kegiatan. Termasuk surat balasan dari Inspektorat Aceh terhadap penjelasan hasil audit terkait proyek PL di Dinas Pengairan Aceh, tanggal 18 Agustus 2015, tentang dugaan adanya pelanggaran hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara pelaksanaan kegiatan.***
14
MODUS ACEH
utama
NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
BPK-INSPEKTORAT ACEH SEPENDAPAT Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Aceh dan Inspektorat Aceh berpendapat sama tentang adanya dugaan ketidak-beresan dalam pelaksanaan sejumlah proyek dengan metode PL pada Dinas Pengairan dan Dinas Bina Marga Aceh tahun 2013-2014. Menanti aksi nyata Kejati Aceh. adan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh merekomendasi Gubernur Aceh agar menginstruksikan Kepala Dinas Bina Marga Aceh untuk mengenakan sanksi sesuai ketentuan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan panitia serah terima pekerjaan atas ketidakcermatannya dalam melaksanakan tugas. Kedua, memerintahkan KPA supaya mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan, Rp 125 juga dan menyampaikan kopi (salinan) bukti setor kepada BPK serta mengenakan sanksi kepada PT NPM atas wanprestasi kontrak pekerjaan sesuai ketentuan. Begitulah, salah satu kesimpulan auditor BPK RI Perwakilan Aceh dalam Laporan Keuangan Pemerintah Aceh 2014. Selanjutnya, berbagai temuan lain diungkap secara lugas. Termasuk pekerjaan pembangunan jetty Krueng Teunom dan Jembatan Inspeksi (tahap V—lanjutan) di Kabupaten Aceh Jaya yang tidak sesuai ketentuan serta terdapat kekurangan volume pekerjaan. Alkisah, Pemerintah Aceh tahun anggaran 2014 merealisasikan anggaran Rp 2,6 miliar lebih untuk pekerjaan pembangunan jetty Krueng Teunom dan Jembatan Inspeksi di Kabupaten Aceh Jaya. Pekerjaan itu di bawah kendali Dinas Pengairan Aceh dan diserahkan kepada PT AS tanpa proses lelang alias melalui penunjukan langsung (PL). Alasan Kadis Pengairan Aceh kepada auditor BPK RI Perwakilan Aceh saat itu adalah pekerjaan tadi merupakan satu kesatuan tanggung jawab PT AS. Karena itu tidak dapat dipecah-pecahkan. Namun, hasil pemeriksaan di lapangan, 4 Mei 2015, ternyata pembangunan tersebut bukan
B
merupakan satu kesatuan konstruksi. Tak hanya itu, Dinas Pengairan Aceh tahun 2014 juga melakukan sejumlah pengadaan proyek dengan sangat variatif. Misal, ada empat paket pekerjaan yang dilakukan dengan motode pengadaan dengan lelang umum (LU) dengan alokasi anggaran Rp 49,4 miliar lebih. Ada 128 paket dengan pemilihan langsung (PML) atau Rp 132,1 miliar lebih. Seleksi sederhana satu paket, Rp 68,1 miliar lebih. Swakelola (SWK) 16 paket, Rp 1,5 miliar lebih. Pengadaan langsung (PL) 461 paket, Rp 80,2 miliar lebih. Penunjukan langsung (PNL) ada 29 paket, Rp 163,6 miliar lebih serta tanpa keterangan (TK) sebanyak 28 paket dengan anggaran Rp 2,3 miliar lebih. Sehingga, total anggaran yang tersedot Rp 429,5 miliar lebih. Ironisnya, hasil audit BPK diketahui, ternyata paket lelang umum tadi bukan baru atau yang diinisiasi tahun 2015 dengan nilai harga perkiraan sendiri (HPS)nya mencapai lima miliar rupiah. Sebaliknya, ada 128 paket yang diadakan justru melalui pemilihan umum. Lalu, bagaimana dengan Dinas Bina Marga di bawah kendali Anwar Ishak? Menurut LHP BPK RI Perwakilan Aceh 2014, penetapan biaya langsung personel paket jasa konsultasi perencanaan teknis jalan wilayah barat Aceh tidak sesuai ketentuan. Tulis BPK, pekerjaan itu dilakukan PT SBJ dan dari hasil
pemeriksaan ditemukan bahwa dari komponen biaya kontrak Rp 661 juta lebih, ada Rp 410 juta lebih untuk biaya langsung personel dan Rp 191 juta lebih untuk biaya langsung non personel (BLNP). Namun, diketahui kemudian bahwa tenaga ahli yang diikutkan dalam perencanaan merupakan pegawai tidak tetap pada PT SBJ. Karena adanya dugaan tidak beres tadi, GeRAK Aceh, tanggal
29 Juli 2015, mengirim surat pada Inspektorat Aceh. Isinya, mohon penjelasan audit terkait penjelasan hasil audit terkait penunjukan langsung 17 paket pekerjaan pada Dinas Pengairan Aceh. Dan, gayung bersambut. Pada 18 Agustus 2015, Kepala Inspektorat Aceh, Syahrul SE, M.Si membalas surat GeRAK Aceh. Isinya, Inspektorat Aceh telah melakukan pemeriksaan terhadap program/kegiatan yang dilaksanakan Dinas Pengairan Aceh tahun anggaran 2013 dan
2014 melalui pemeriksaan regular. Pemeriksaan lapangan untuk pekerjaan yang dilaksanakan di kabupaten/kota itu dilakukan secara sampling, sehingga tidak semua paket pekerjaan yang tercantum dalam daftar GeRAK Aceh menjadi sasaran pemeriksaan lapangan. Diuraikan Syahrul dalam suratnya saat itu, ada lima paket di antara 17 paket dalam daftar pekerjaan tahun 2013 yang dimasukkan dalam sampling, yaitu Pembangunan Jetty TPI Kuala Jangka yang dikerjakan CV Pati Bunga dengan nilai kontrak Rp 985,33 juta lebih. Pembangunan Jetty Kuala Samalanga yang dilaksanakan PT Mita Na Rezeki dengan nilai kontrak satu miliar rupiah. Pembangunan Jetty Kuala Samalanga yang dilaksanakan oleh PT Kota Metro Dollar dengan nilai kontrak Rp 9,77 miliar lebih. Pembangunan Jetty Kuala Pandrah oleh PT Citajok Bintang Kejora dengan nilai kontrak Rp 4,5 miliar lebih. Pembangunan Jetty Krueng Teunom, dilaksanakan PT Andesmont Sakti dengan nilai kontrak Rp 56,79 miliar lebih, serta paket pekerjaan tahun 2014 yang tidak termasuk dalam sampling adalah pekerjaan Pembangunan Jetty Ie Meulee Kota Sabang, sedangkan 16 paket lainnya telah dilakukan pemeriksaan. Nah, dari hasil pemeriksaan, sebut Syahrul, dapat disimpulkan bahwa prosedur pemilihan penyedia barang/jasa melalui penunjukan langsung untuk pa-
ket-paket tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta Pasal 38 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya. Syahrul juga menilai, penunjukan langsung yang dilakukan setiap tahun anggaran tersebut mengakibatkan pemborosan dan berpotensi dapat merugikan keuangan daerah karena tidak ada seleksi yang kompetitif terhadap harga satuan yang ditawarkan. Pemilihan penyedia barang/ jasa pekerjaan tersebut, ungkap Syahrul, mestinya dilakukan melalui pelelangan umum. Bila memenuhi kriteria dan tidak dapat diselesaikan dalam satu tahun anggaran, dapat dilakukan melalui kontrak tahun jamak atau multiyear contract. Ini sesuai ketentuan Pasal 52 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahanperubahannya dan Pasal 54A Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Atas adanya penyimpangan prosedur tersebut, Inspektorat Aceh saat itu merekomendasikan kepada Pengguna Anggaran (PA) agar menerapkan prinsipprinsip pengadaan barang/jasa yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, tidak diskriminatif dan akuntabel sesuai maksud Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan aturan-aturan perubahannya. Kedua, tidak menunjuk langsung penyedia barang/jasa untuk paket lanjutan ulang sifat pertanggungjawabannya dapat dipisahkan maupun pada pekerjaan dari STA/lokasi/titik yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan yang telah ada sebelumnya. Termasuk, mempertimbangkan kontrak multiyear bagi paket pekerjaan yang memerlukan waktu lebih dari satu tahun anggaran. Nah, cukup jelas kan, Pak Kajati? Jadi, alasan apalagi untuk tidak melakukan proses hukum?***
utama
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
15
16
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
Di balik Berita
■ Di Balik Mutasi Kepala SKPA
Cukup Bila Tak Lagi Setia Sudah cukuplah sudah. Ku memberikan waktu. Kau selalu tak bisa. Mencoba untuk setia. Dan harus kau sadari. Bila ingin bersamaku. Jangan coba kau ingkari. Cobalah untuk setia. (Cobalah Untuk Setia; Krisdayanti).
acehtribunnews
Azhari Usman dan Muhammad Saleh
W
alau tak sama persis, setidaknya lagu ini bisa menjadi gambaran tentang kesetiaan seseorang terhadap pasangannya. Jika sang Diva Indonesia, Krisdayanti, menyentil soal percintaan dan kasih sayang dalam merawat mahligai rumah tangganya. Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto justru mengkritik para pejabatnya atau Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang mulai tak setia di penghujung masa tugasnya. Akibatnya, hingga pekan lalu, pro dan kontra soal regulasi terkait kebijakan mutasi yang dilakukan Abu Doto terus bergulir. Bahkan, 17 mantan kepala SKPA tersebut, melakukan ‘perlawanan’ terhadap Abu Doto. Nah, mutasi awalnya adalah biasa, tapi menjadi luar biasa ketika ada pejabat yang dimutasi justru merapatkan barisan, melakukan perlawanan. Entah itu sebabnya, banyak pihak menggugat dan mempertanyakan loyalitas serta kesetiaan para kepala SKPA tersebut. Maklum, sebagian besar dari mereka justru berasal dari kabupaten dan kota serta bisa duduk di kursi empuk itu karena dipercaya Abu Doto. Tapi, lepas dari semua itu, keputusan telah diambil Abu Doto walau berbagai kritik menimpa dirinya. Mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh hingga Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo? Namun, mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini tetap keukeuh dan punya alasan sendiri. “Tujuan lain adalah untuk meluruskan agar sesuai isi UUPA sekaligus membersihkan ‘jentikjentik’ nyamuk sebelum menetas jadi nyamuk besar dan bisa
menggigit,” ungkap Abu Doto pada awak media dalam temu pers, Minggu pekan lalu di Banda Aceh. Makna kata ‘jentik-jentik’ nyamuk sebelum menetas jadi nyamuk besar dan bisa menggigit tentu saja kata bersayap. Bisa jadi, salah satunya soal kesetiaan dan kinerja. Simak pula dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi l DPR Aceh, Senin malam pekan lalu. Abu Doto kembali mengutarakan alasannya. “Kinerja mereka juga kurang bagus dan ada yang memasuki masa pensiun,” kata Abu Doto secara terbuka di ruang Banggar DPRA, Jalan T. Daud Beureueh, Banda Aceh. Rapat malam itu memang membahas pergantian beberapa Kepala SKPA. Ikut hadir Ketua DPRA Tgk. Muharuddin, Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Dermawan yang juga Ketua Baperjakat, Ketua dan anggota Komisi l, dipimpin Abdullah Saleh. Kata Abu Doto, sebelum dirinya mengikuti Pilkada 2017, berbagai program strategis telah direncanakan dan diamanahkan pada Kepala SKPA. Namun, dalam perjalanannya, tidak dijalankan dengan baik. Sementara, Karo Hukum Gubernur Aceh, Andrian, mengatakan, dalam pertimbangan hukum, juga tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Sebab, dalam Pasal 119, jelas diatur pemindahan dan pengangkatan pejabat eselon ll Pemerintah Aceh adalah wewenang Gubernur Aceh, dan juga UU Pemerintah Indonesia Nomor 10 Tahun
2006. Pasal 1 contohnya menerangkan bahwa enam bulan sebelum dan sesudah masa jabatan gubernur berakhir. Namun, sanksinya hanya pembatalan sebagai calon gubernur. Tapi, masa pilkada sudah berakhir dan kalaupun hukuman itu diberlakukan, sudah terlewati. Di sisi lain, Abu Doto juga mengaku, kebijakannya ini untuk meluruskan pelantikan 62 pejabat eselon II, 23 Januari 2017 yang dilaksanakan Plt Gubernur Aceh, Mayjen TNI (Purn) Soedarmo. Abu Doto menilai, ada aturan yang dilanggar Soedarmo. Dia mencontohkan, pelantikan Kepala Dinas Pertanahan Aceh melanggar Perpres Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota. Plt Gubernur, lanjut Zaini, tidak berhak melantik Kepala Dinas Pertahanan Aceh karena calon Kepala Dinas Pertahanan Aceh, sebelum dilantik gubernur, lebih dulu diusul kepada Menteri Agraria/Kepala BPN. “Tahapan ini belum dilakukan Plt Gubernur. Makanya, dalam pelantikan 33 pejabat eselon II yang baru, pejabat Kepala Dinas Pertanahan Aceh, Ir Iskandar M.Sc, ditarik kembali dan dilantik menjadi Kepala Badan Investasi dan Perizinan Satu Pintu Aceh. Sedangkan pejabat Kepala Dinas Pertanahan saat ini ini kosong,” kata Abu Doto. Dijelaskan juga, jika mengacu pada isi Pasal 119 UUPA
ayat (1), disebutkan, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dalam jabatan eselon II pada Pemerintahan Aceh ditetapkan oleh gubernur. Dan, atas dasar pasal itu pula, dia melakukan mutasi dan pemberhentian sejumlah pejabat eselon II yang dinilai sudah tidak disiplin dan tidak patuh lagi pada perintahnya. Pergantian dan pelantikan 33 pejabat eselon II tersebut, lanjut Abu Doto, sudah menenuhi ketentuan UUPA yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di Aceh. Contohnya, persiapan Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (Penas KTNA) XV yang akan berlangsung di Banda Aceh pada 6-11 Mei 2017. Menurutnya, ada beberapa Kepala SKPA yang sudah bekerja maksimal dan bahkan ada yang tidur di lokasi Penas. “Ada juga laporan yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Makanya, mereka yang bekerja lamban harus diganti dengan pejabat baru dan bisa bekerja lebih kencang lagi,” ujar gubernur. Gubernur Zaini juga mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap hasil kerja Tim Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang dilakukan pejabat eselon II dari jajaran Pemerintah Aceh atas penerbitan PP Nomor 5 Tahun 2017 tentang KEK Arun Lhokseumawe. Sebagai Gubernur Aceh, kata Zaini Abdullah, dirinya ingin Pemerintah Aceh diwakili badan usaha milik daerah (BUMD) bukan konsorsium badan usaha milik negara (BUMN). Karena
kalau BUMN yang di depan, keberpihakan konsorsium BUMN kepada lingkungan sekitarnya akan rendah. Sama seperti masa operasional Arun sebelumnya, masyarakat Aceh tetap miskin seperti yang terjadi selama ini. “Kami belum setuju dengan pola pengembangan KEK Arun melalui konsorsium BUMN, meski BUMD/PDPA (Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh) kalau beroperasi akan diberikan saham sebesar 25 persen,” ujarnya. Terkait ada 17 pejabat SKPA yang melawan dirinya dan mengadukan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jakarta, dinilai Zaini, adalah hak mereka. “Silakan saja, kami tidak takut. Apa yang dilakukan sudah benar menurut UUPA. UUD 1945 juga mengakui kekhususan satu daerah. Kenapa harus takut?” ujar Abu Doto. Jadi, lanjutnya, kalau Pemerintah Pusat sudah memberikan hak khusus kepada satu daerah, maka harus dijalankan. Sebelum melakukan pergantian dan pelantikan 33 pejabat eselon II tersebut, Pemerintah Aceh juga sudah menyampaikan surat kepada Mendagri pada 13 Februari 2017. “Karena tidak direspon, makanya pada 10 Maret 2017, langsung kita lakukan pelantikan dengan maksud agar bisa dilakukan pelaksanaan lelang proyek APBA 2017 dan persiapan Penas KTNA 2017 secepatnya,” jelasnya. Benarkah Abu Doto mencari Kepala SKPA yang setia dengan sisa waktu tak sampai 50 hari lagi? Hanya dia yang tahu.***
Di balik Berita
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
■ Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra:
■ Prof. Dr. Ryas Rasyid
Mendagri Tak Bisa Batalkan Putusan
Jakarta Jangan Terlalu Campur Tangan!
mediaintegritas
Polemik soal mutasi pejabat SKPA di jajaran Pemerintah Aceh akhirnya mendapat perhatian dan tanggapan serius dari Prof. Dr. Ryas Rasyid, mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI. Dia menilai, Pemerintah Pusat, khususnya Mendagri, jangan terlalu mencampuri urusan pemerintah daerah.
“
Ini masalah daerah, apalagi otonomi khusus Aceh. Sudah menjadi kebiasaan jelek pejabat di daerah. Sedikit-sedikit dan seolah-olah kalau ada masalah dibawa ke Jakarta. Sebaliknya, Jakarta atau Mendagri terlalu campur tangan dengan persoalan di daerah, kecuali ada undangundang yang dilanggar. Coba tunjukkan pada saya mana undang-undang yang dilanggar Gubernur Aceh,” begitu tantang ahli ilmu pemerintahan dan otonomi daerah ini. Itu disampaikan Ryas Rasyid Jumat malam lalu saat diminta tanggapannya, sekira pukul 20.22 WIB di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta terkait polemik mutasi yang digulirkan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdul-
17
lah dua pekan lalu. Pertemuan bertajuk; diskusi ini, rekaman videonya dikirim ke redaksi MODUSACEH.CO, sekira pukul 22.30 WIB. Lantas, bagaimana sikap Pemerintah Pusat terhadap persoalan in? Kata Prof. Ryas Rasyid, “Seharusnya tidak bersikap. Ngapaian dia cari-cari masalah yang bukan urusannya. Kalau semua persoalan di daerah diselesaikan di Jakarta, balik seperti dulu lagi kan: sentralistik! Itulah maknanya otonomi, bukan hanya memindahkan kewenangan, tapi juga masalah. Jangan masalah daerah dibawa ke Jakarta. Selesaikan sendiri. Mestinya begitu cara Pemerintah Pusat (Kemendagri) menyelesaikan masalah,” kritik putra Makassar ini. Tapi, ada pihak yang mengaitkan dengan Undang-Undang Pilkada. Tidak ada! Setelah pilkada, maka Gubernur selesai masa cutinya dan dia tidak masuk putaran kedua atau menang. Karena itu, dia lepas dari urusan pilkada. Dia kembali definitif, lanjut Ryas Rasyid. “Jadi, UU Pilkada tidak relevan dan tidak bisa dijadikan rujukan atau landasan untuk menilai keputusan Gubernur Aceh soal mutasi. Dan, tidak sewajarnya UU Pilkada menilai penyelenggaraan pemerintah sehari-hari. Itu terlalu dipaksakan,” tegas Ryas Rasyid. Karena itu, sebut Prof. Ryas Rasyid, mutasi yang telah dilakukan dua pekan lalu sepenuhnya menjadi kewenangan Gubernur Aceh Zaini Abdullah. “Ini menyangkut pemerintah daerah secara murni dan keseluruhan,” tegas Staf Khusus Kemenko Polhukam itu. Lalu, bagaimana cara Gubernur Aceh mengakhiri polemik? “Tidak perlu mengakhiri, karena dia tidak memulai. Yang bikin polemik ini kan orang lain, bahwa ada yang tidak puas dan kecewa itu biasa. Saya sudah bilang pada Pak Gubernur; biasa-biasa saja. Dinamika kehidupan memang begitu,” tegas Ryas Rasyid.***
uru Besar Tata Negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, berpendapat, Mendagri tidak bisa membatalkan pejabat yang sudah dilantik. Yang bisa hanya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” kata Prof. Yusril. Pendapat itu disampaikannya menjawab MODUSACEH.CO di kantornya, Lantai 19, Gedung Casablanca, Jakarta, Kamis pekan lalu. Menurut Yusril, pergantian pejabat sepenuhnya menjadi hak Gubernur Aceh dan itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Apalagi, dia tidak terpilih pada pilkada lalu, sementara surat Mendagri lebih rendah dari UUPA. “Yang bisa hanya melalui Pengadilan PTUN,” tegas Prof. Yusril. Dia mengusulkan, sebaiknya pejabat di daerah tidak latah dengan membawa semua persoalan di daerah ke Jakarta. “Bisa dibayangkan, pejabat yang ada sekarang tidak mengerti betul makna, isi dan suasana batin UUPA itu. Jadi, kacau semuanya,” tegasnya lagi. Namun, secara politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh bisa memanggil dan mempertanyakan masalah itu pada Gubernur Aceh. Ini sesuai dengan fungsi pengawasan yang ada. Selain itu, ada UU Nomor 10, memberikan kewenangan kepada gubernur untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat daerah. Hanya saja, ada aturan yang lebih spesifik, apalagi gubernur incumbent terpilih. Nah, di sana, memang ada larangan enam bulan sebelum dan sesudahnya, tidak boleh melakukan mutasi atau pergantian pejabat. “Kalau upaya DPR Aceh tidak efektif, upaya pembatalan hanya bisa melalui Pengadilan PTUN. Mendagri tidak bisa membatalkan keputusan. Mendagri bisa membatalkan peraturan semisal perda. Apalagi, filosofi merumuskan UUPA dan Qanun Aceh berbeda secara nasional. Itu merupakan transformasi dari aspek perdamaian. Karenanya, tidak segampang itu Mendagri bisa membatalkan. Saya dari dulu tidak setuju,” sambungnya. Menurut dia, langkah yang bisa dilaku-
G
megapolitan
kan DPR Aceh adalah dengan mempertanyakan alasan-alasan mutasi tadi dilakukan, kecuali ada pihak yang dirugikan secara personal dan menggugat ke PTUN supaya mutasi dibatalkan. “Dia yang mengajukan gugatan ke PTUN,” kata Yusril. Begitupun, sebut Prof. Yusril, saat mengajukan gugatan ke PTUN, lebih dulu diminta putusan provinsi supaya putusan tentang mutasi ditunda lebih dulu sampai ada putusan tetap. “Kalau di Aceh, tidak ada PTUN dan sidangnya melalui putusan PTUN Medan, itu tidak bisa dikasasi ke MA,” jelas dia. Lantas, bisakah Presiden atau Mendagri memberhentikan Gubernur Aceh? “Tidak ada hak dan kewenangan Presiden dan Mendagri mengintervensi persoalan daerah,” ujarnya. Dia memberi contoh mantan Gubernur Lampung, Syahruddin Pagar Alam, yang dinilai terlambat dan menghambat proses Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Nah, dewan di sana mendesak agar Presiden memberhentikan. “Saat itu, saya Mensesneg dan menyatakan tidak setuju,” ucap Yusril. Itu sebabnya, jangankan kalah, tidak kalah pun dia bisa mengambil keputusan itu. “Jadi, ada dua langkah. Pertama, DPR Aceh bisa melakukan pengawasan. Kedua, lewat PTUN dan itu harus dimasukkan sebelum 60 hari sejak mutasi dilakukan,” saran Prof. Yusril.***
18
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
Di balik Berita
■ Haji Syafruddin Budiman
The Man Behind the Gun MODUS ACEH / Muhammad Saleh
Bang Syaf bersama istri.
Lahir di Kabupaten Bireuen, kemudian bermukim di Panton Labu, Kabupaten Aceh Utara, Haji Syafruddin Budiman tak hanya dikenal kalangan mantan kombatan dan elit GAM, khususnya Wilayah Pasee (Aceh Utara), tapi juga TNI. Cara dia bergaul dan berkomunikasi serta pengetahuannya yang luas tentang konflik Aceh, membuat ayah lima anak ini menjadi tempat bertanya bagi para pihak yang bertikai saat itu. Muhammad Saleh am sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, Rabu malam pekan lalu. Namun, kawasan Gampong Ie Masen Kayee Adang, Kota Banda Aceh masih sibuk dengan berbagai aktivitas. Itu terlihat dari hilir mudik kendaraan roda empat dan dua, baik di lintasan jalur ramai Jalan T. Nyak Makam maupun keluar-masuk kawasan Jalan Kayee Adang IV, Desa Ie Masen Kayee Adang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Memang, sejak lima tahun lalu, kawasan ini terus berkembang menjadi pusat kuliner dan kafe tersibuk di Banda Aceh, mulai dari pagi hingga dini hari. Bila bulan Ramadhan tiba, bahkan menjelang makan sahur. Makanya, banyak warga Kota Banda Aceh dan pendatang dari luar memberi julukan kawasan ini ibarat Orchard Road (Singapura) atau Kawasan Alor, Bukit Bin-
J
tang (Kuala Lumpur). Selain disesaki warung-warung kopi, juga ada hotel berbintang empat sekelas Hermes Hotel. Nah, di kawasan ini pula atau Jalan Kayee Adang IV, bersebelahan dengan Jalan Nyak Makam, tinggal seorang pengusaha dan politisi senior Aceh. Namanya cukup dikenal di tingkat nasional, khususnya petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia adalah Haji Syafruddin Budiman (68) atau akrab disapa Bang Syaf. Menyebut namanya tentu tak ada yang tak kenal politisi dan pengusaha satu ini. Sebab, dialah salah satu aktor di balik Damai Aceh, 15 Agustus 2005 silam yang nyaris tidak terpublikasi media pers. Ini dibuktikan saat status daerah operasi militer (DOM) dicabut serta pengaktifan kembali Kodam Iskandar Muda setelah sempat dilikuidasi, termasuk jelang detik-detik perundingan
damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia. Bang Syaf bersama ulama kharismatik Aceh yaitu Abu Panton ikut berperan dengan meyakinkan sejumlah elit GAM di Wilayah Pasee agar menerima perdamaian tersebut. Itu sebabnya, sosok Bang Syaf tidak asing bagi Muzakir Manaf (Mualem), Sofyan Daud serta sejumlah kombatan GAM di Pasee lainnya. *** Usai menyantap makan malam di salah satu restoran di Simpang Lima Banda Aceh, bersama seorang teman, Reza Fahlevi (RV) yang juga masih bertalian darah dengan Bang Syaf (keponakan), dia mengajak saya berkunjung ke rumah tokoh ini. Ajakan itu langsung saya aminkan karena memang sudah lama tidak bersilaturahmi dengan Ketua DPD Partai Hanura Aceh tersebut. Karena itu, dari Simpang Lima, kami menuju satu rumah di Jalan Kayee Adang IV yaitu kediaman Bang Syaf. Rupanya, di sana, sudah ada Munawar Liza, mantan Walikota Sabang. Kami pun terlibat diskusi banyak hal, terutama tentang merajut konsolidasi dan rekonsiliasi berbagai elemen rakyat Aceh pasca Pilkada Aceh, 15 Februari 2017 lalu. Sesekali, muncul sang istri tercintanya, Hajjah Nuryatin (63),
mendampingi kami diskusi sambil menyajikan makanan ringan dan kopi. Begitupun, jangan dikira ibu lima anak ‘buta’ dengan pengetahuan konflik Aceh. Sebaliknya, dia juga ikut berjasa dalam menyelamatkan banyak orang. Salah satunya, Kak Nur— begitu saya memanggilnya—telah menyelamatkan (bebaskan) dr. Idris dari aksi penculikan yang sempat dilakukan mantan kombatan GAM, saat konflik dulu. Pembicaraan semakin menarik karena Bang Munawar Liza adalah tim pemenangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah, sedangkan Bang Syaf adalah pimpinan partai politik nasional. Sementara, saya dan Reza hanya menjadi pendengar setia walau sesekali ikut bicara. Bang Munawar lebih dulu pamitan dan tinggallah kami berempat yang larut dengan berbagai kisah. Sesekali, kami pun tertawa jika mengenang cerita yang memang janggal, tapi nyata terkait perjalanan konflik Aceh. Antara saya dengan Bang Syaf, bukan sebatas ikatan abang dan adik, apalagi Reza Fahlevi. Lebih dari itu, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh ini pun sekaligus menjadi guru, tempat kami bertanya dan berdiskusi banyak hal, terutama saat Aceh masih dilanda konflik. Bahkan, sejak Kodam Iskandar Muda berdiri pada 22 Desember 1956, kemudian dilikuidasi pada 1985 hingga di-
hidupkan kembali, 5 Februari 2002, saya banyak berdiskusi panjang dengan Bang Syaf, mulai dari ba’da Maghrib hingga menjelang Subuh. Itu terjadi di Banda Aceh, Panton Labu hingga Jakarta. Itu dimulai sejak lama dan puncaknya tahun 1998, 2000 hingga 2001. Saat itu, saya masih menjadi anggota Tim Penasihat Presiden RI BJ. Habibie Urusan Penyelesaian Konflik Aceh yang dipimpin almarhum H. Usman Hasan. Salah satu perintah Bang Usman saat itu, saya wajib bertemu dan meminta pendapat Bang Syaf sebagai tokoh Aceh, terkait rekomendasi untuk diaktifkan kembali Kodam Iskandar Muda kepada Presiden Habibie saat itu, termasuk usulan agar status Polda Aceh ditingkatkan dari tipe B menjadi A. Sebelumnya atau persis 1998, saat saya menjadi Ketua Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh, satu-satunya peuneutoh atau petuah yang saya minta juga pada Bang Syaf terkait desakan agar DOM dicabut. Ini saya lakukan setelah bertemu Jenderal TNI Fachrurrazi, Wakil Panglima TNI ketika itu, di Pendopo Bupati Aceh Utara, saat dijabat Tarmizi A. Karim. Maklum, kondisi saat itu benar-benar genting. Posisi saya ibarat buah simalakama. Maju kena, mundur kena. Apalagi, setelah Ketua DPR Aceh Mayjen TNI (Purn) HT Djohan, Rektor Universitas Syiah Kuala Prof. Dr Dayan Dawod serta Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof Dr. Safwan Idris tertembak. Di satu sisi, ada yang tak setuju DOM dicabut. Sehingga, saya dinilai sebagai pihak yang anti operasi, bahkan cenderung mendukung gerilyawan. Di sisi lain, saya dinilai sebagai ‘antek’ TNI karena bisa berkomunikasi dengan Jenderal Fachrurrazi. Termasuk, saat mendukung pengaktifan kembali Kodam Iskandar Muda dan peningkatan status Polda Aceh dari tipe B menjadi tipe A. Padahal, saya bisa kenal dengan Jenderal Fachrurrazi dan sejumlah pimpinan tinggi TNI saat itu karena jasa dua tokoh ini, yakni Bang Syaf dan (alm) Zulkarnein, Walikota Banda Aceh yang juga abang kandung Jen-
Di balik Berita
deral Fachrurrazi. Hasilnya, 7 Agustus 1998, Panglima TNI Wiranto mencabut DOM di Aceh. Itu sebabnya, saya atau mungkin juga sejumlah rakyat Aceh lainnya, yang paham dan mengerti rekam jejak konflik Aceh, harus mengakui bahwa sosok Bang Syaf adalah ‘the man behind the gun’. Andai tak ada Bang Syaf ketika itu, bisa jadi saya hanya tinggal nama. “Itu adik saya. Jangan ganggu atau sentuh dia,” begitu tegas Bang Syaf sekali waktu pada satuan operasi yang bertugas di Aceh Utara. Di kesempatan berbeda, Bang Syaf juga menyelamatkan nyawa saya. “Nyan adoe lon. Bek na yang peukaru! (Dia itu adik saya. Jangan ada yang berani ganggu dia!)” kata Bang Syaf saat saya dituding sebagai anggota TNI dalam sebuah operasi kombatan GAM di Wilayah Pasee. Itu terjadi karena rambut saya cepak. Mereka menduga, saya adalah oknum TNI (intel) yang menyamar jadi wartawan. Hahaha…. Nah, berbagai kenangan yang sulit terlupakan itu kemudian terungkap kembali, Rabu malam pekan lalu. Ibarat memutar rekaman masa lalu, semua menjadi manis untuk dikenang. Sebab, hidup adalah perjalanan panjang. Saya sungguh mengetahui dan memahami peran serta jasa Bang Syaf dalam rekam jejak konflik dan perdamaian Aceh. Saya berfirasat, Bang Syaf juga tahu tentang diri saya yang sering disebut ‘anak bandel’ dan nekat ketika itu. Kini, dia usianya yang semakin bertambah, tak berarti semangat Bang Syaf redup. Sebaliknya, masih berapi-api. Bukan hanya soal politik, tapi juga ter-
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
19
politikita
kait haru biru kondisi Aceh saat konflik hingga perdamaian saat ini. Satu ciri khas Bang Syaf, dia masih mampu dan sangat kuat ingatan tentang angkatan sejumlah jenderal TNI, baik yang sudah pensiun maupun berdinas, termasuk peran dan posisi sejumlah elit kombatan GAM di Wilayah Pasee. Makanya, ketika dia dipercaya kembali memimpin Partai Hanura Aceh, tak ada satu keraguan pun bagi saya terhadap kemampuannya. Keyakinan itu akhirnya menjadi kenyataan tatkala melihat hasil Pilkada Serentak Aceh, 15 Februari 2017 lalu. Bayangkan, sebagai nakhoda Partai Hanura Aceh, Bang Syaf berhasil memenangkan sejumlah kursi Bupati di Aceh, baik sebagai pengusung maupun pendukung paslon (koalisi), misal Aceh Besar, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Nagan Raya,
Simeulue, dan Gayo Lues. Namun, patut dicatat, khusus untuk Kabupaten Aceh Tenggara, Hanura berhasil unggul secara tunggal mengusung Raidin Pinem sebagai bupati daerah tersebut untuk lima tahun mendatang. Ibarat membelah badai, melawan derasnya ombak politik di Aceh Tenggara, Partai Hanura berdiri tegak melawan hegemoni Partai Golkar yang berkoalisi dengan sejumlah partai nasional dan partai lokal lainnya. Success story ini sekaligus bukti bahwa sentuhan tangan tak terduga Bang Syaf membuahkan hasil gemilang. Ini tak lepas dari karya nyata dan komunikasinya yang menembus awan elit perpolitikan nasional dan Aceh. Bang Syaf adalah aktor politik Aceh yang banyak mengalami asam garam dari berbagai gesekan dan ekses konflik Aceh hing-
ga damai saat ini. Tak hanya itu, Bang Syaf pantas disebut tokoh politik Aceh yang dihormati oleh elit Jakarta dan ditakzim petinggi atau elit kombatan GAM. Inilah salah satu tokoh perdamaian Aceh yang tak banyak dikenal oleh publik secara umum (menyeluruh). Namun, cukup melekat bagi mereka yang pernah bersentuhan dengan kondisi Aceh sesungguhnya. Apalagi, dia sangat tidak suka untuk tampil secara terbuka, kecuali saat maju ke gelanggang politik. *** Malam semakin larut, segelas kopi ludes kami sedot. Jarum jam pun terus bergerak hingga pukul 23.30 WIB. Saya dan Reza mohon pamit karena alasan memberi waktu istirahat untuk Bang Syaf. Namun, sang ‘the man behind the gun’ ini justru tak tampak lelah dan menolaknya.
“Tunggu dulu. Ngapain cepat pulang?” katanya tetap semangat dan menantang kami untuk melek. Lalu, Bang Syaf kembali berkisah tentang cerita nanggroe endatu; Aceh yang belum sampai ke tepi dari perjalanan waktu dan sejarah masa lalu dengan tetap sikap optimis untuk masa depan. Begitupun, persis pukul 00.00 WIB, keinginan untuk permisi tak lagi kuasa dia hentikan. “Baiklah, lain waktu kita duduk kembali,” sebutnya memberi restu kepada saya dan Reza untuk pamit, menembus remang malam di ruas jalan Nyak Makam yang mulai sepi. Walau dia tak meminta dan berharap, apalagi menuntut, agaknya wajar bila Pangdam Iskandar Muda dan Kapolda Aceh memberikan ia penghargaan atas jasa-jasanya tadi. Semoga. ***
20
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
Di balik Berita
■ Teuku Ismuhadi Jafar
Ditangkap Sebelum, Dibebaskan Setelah Pilkada MODUS ACEH / Muhammad Saleh
Setelah sempat menjalani hukuman tujuh bulan penjara di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, terhitung sejak 7 Maret 2017 lalu, Teuku Ismuhadi akhirnya bebas murni. Ini sesuai surat lepas dari Kemenkumham RI, Kanwil DKI Jakarta, Rutan Kelas I, Jakarta Pusat, No: W10.PAS.PAS9.PK.01.01.02.REG-414. Mantan tapol/ napol Aceh berteman dan berada di tempat yang salah. Muhammad Saleh | Azhari Usman enin dua pekan lalu, langit Ibukota Jakarta sedikit kurang bersahabat. Walau sempat mendung di siang hari, hujan tak jadi turun hingga malam tiba. Saat kaki melangkah, meninggalkan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Senayan Jakarta. Satu pesan melalui media sosial (medsos) WhatsApp (WA) masuk ke telpon seluler saya, “Alhamdulillah, Teuku Ismuhadi sudah bebas,” tulis seorang teman. Saat itu juga, dalam taksi menuju hotel, saya membuka kembali daftar nomor di telpon seluler. Ternyata, nomor Teuku Ismuhadi masih tersimpan. Saya hubungi dia dan minta kami untuk bertemu di satu tempat. Maklum, saat kabar ia ditangkap pada 4 Agustus 2016 lalu, saya selalu berusaha untuk bertemu dengannya serta meminta kuasa hukumnya Buchari dan J. Kamal Farza untuk memfasilitasi pertemuan saya dan Teuku Ismuhadi di Badan Narko-
S
tika Nasional (BNN) Pusat. Tujuannya, ingin mendapat pengakuan atau kisah sebenarnya. Ini menjadi bagian penting dari tugas jurnalistik. Selain sumber utama, juga harus berimbang. Bayangkan, hampir semua media pers lokal dan nasional saat itu menyebut posisi Teuku Ismuhadi dengan sangat tidak menguntungkan. Tapi, tentu saja tak mudah. “Baik, Insya Allah saya segera ke sana,” jawab Teuku Ismuhadi bersahabat. Memang, antara saya dan dia sudah kenal lama. Bahkan, saat dia menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur dengan status sebagai tahanan/narapidana politik (tapol/napol), saya pun sempat berkunjung ke sana. Jadi, boleh disebut, tak ada persoalan di antara kami. Nah, pertemuan itu pun akhirnya terwujud. Kepada saya, Teuku Ismuhadi berkisah tentang perkara yang dia hadapi ketika itu. “Saya ditangkap sebelum pilkada dan dibebaskan setelah pilkada. Ini semua kuasa
Tuhan. Allah SWT itu adil,” katanya, tersenyum. Menariknya, malam itu juga, bersama Tuanku Mirza Keumala dan J Kamal Farza, saya menikmati kopi sanger arabika di Fakultas Kopi, Jalan Hang Tuah Raya, No. 7, Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun, sebagai salah satu kuasa hukum Teuku Ismuhadi, J Kamal
Farza tak bercerita dan saya pun tidak memberitahu sudah bertemu Teuku Ismuhadi. Selanjutnya, ibarat air mengalir, dengan santai Teuku Ismuhadi mengungkapkan kronologis penangkapannya itu. *** Syahdan, cerita ‘duka’ itu dimulai tanggal 4 Agustus 2016. Tim BNN Pusat, Jakarta
menangkap Ismuhadi di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat, persis di kawasan Tugu Patung Kuda. Dan, 7 Maret 2017 lalu, dia dibebaskan dari Rutan Salemba, Jakarta Pusat, sesuai putusan Majelis Hakim Jakarta Pusat yang menghukumnya tujuh bulan penjara. “Saya didakwa karena tidak melapor adanya tindak pidana
Di balik Berita
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
21 fokusaceh
narkotika, bukan sebagai anggota dari gembong jaringan narkotika internasional, seperti berita media pers yang sempat beredar saat itu,” jelas Ismuhadi saat temu pers di Banda Aceh pekan lalu. Tapi, semua itu dia hadapi dengan sabar dan lapang dada. Sebab, dalam hidup, selalu menghadapi dan mendapat pujian, juga celaan. Seperti siang dan malam, ada juga musim kemarau dan penghujan. Semua itu tak lepas dari kehendak Allah SWT. Dan, tidak ada satu manusia pun yang mampu menghindarinya kecuali atas kuasa Allah SWT. Karena itu, dia merasa bangga ketika mendapat pujian dan tidak pula merasa sakit hati saat mendapat celaan. “Bahkan, saat saya dituduh sebagai bandar narkoba. Tapi, Allah itu adil,” ucapnya. Menurut Ismuhadi, setelah dirinya ditangkap BNN, rekan saya di Aceh melalui media sosial dan online memberitakan dengan luas. Itu sebabnya, dia menerima cemooh dan cenderung dihakimi. Sementara, dia atau penasihat hukum, tidak pernah dikonfirmasi tentang fakta yang sebenarnya terjadi. “Informasi dari pengacara saya, hanya MODUS ACEH yang bertanya dan berusaha untuk mendapat informasi yang sebenarnya,” ungkap Ismuhada. Tapi, dia mengaku maklum. Saat itu, dia tidak bisa bicara karena sedang dalam pengamanan BNN. “Saya kemudian mendapat kabar dari J. Kamal Farza dan Buchari jika MODUS ACEH mau bertemu saya di BNN Jakarta. Tapi, saat itu, kondisi memang sedang tidak menguntungkan bagi saya dan Anda. Karena itu, keinginan dan permohonan untuk bertemu langsung dengan saya, kami tunda dulu. Dan, baru saat ini, kita bertemu kembali setelah semuanya selesai. Hahaha…,” ujar Ismuhadi saat datang ke redaksi media ini, pekan lalu. Sambil meneguk secangkir kopi ekspreso, dia kembali bercerita. “Mungkin Anda bertanya, bagaimana kisah sebenarnya? Seperti yang pernah Anda tulis, ‘Saya berteman dan berada di tempat yang salah’,” tegasnya. Nah, 4 Agustus 2016, sekira pukul 16.00 WIB, saat itu dia sedang mengendarai mobil di seputaran Patung Kuda, Jalan Thamrin, kawasan Monas, Jakarta Pusat. Tiba-tiba, dihadang pasukan bersenjata lengkap dengan posisi siap tembak. “Awalnya, saya berpikir sedang ada perampokan, namun saya ketahui kemudian mereka tim dari BNN. Itu pun setelah mereka berteriak, ‘Dari BNN! Mana yang namanya Riki?’ Kebetulan dia ada dalam mobil
Ismuhadi bin Jakfar (kiri) berbicara dalam konferensi pers
saya. ‘Riki, turun!’ bentak mereka. Saya pun pasrah saat itu,” ujar Ismuhadi. Bersama Riki, dia ditangkap dan dimasukkan dalam mobil Avanza dan dibawa ke Hotel Orchardz, langsung menuju kamar yang di dalamnya sudah banyak wartawan dan narkoba jenis sabu-sabu, termasuk dua warga Malaysia dan dua warga Indonesia (suku Aceh) yaitu Defan dan Sulaiman alias Riki. Nah, sekitar pukul 22.00 WIB malam itu juga, saya dibawa ke Markas BNN di Cawang, Jakarta Timur. Setelah melewati rangkaian proses pemeriksaan dan penyelidikan yang melelahkan di BNN atau selama seratus hari kemudian, Ismuhadi dikirim ke Rutan Kelas I Salemba, Jakarta Pusat untuk proses pengadilan. Dan, tanggal 10 Januari 2017, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman tujuh bulan penjara terhadap dirinya. “Majelis Hakim PN Jakarta Pusat sependapat dengan jaksa penuntut umum (JPU) bahwa saya telah melanggar Pasal 131 UU Anti Narkoba, No; 35/2009. Menurut asumsi JPU, saya mengetahui adanya tindak pidana penyalahgunaan narkoba, tapi tidak melaporkan kepada pihak berwenang,” sambungnya. Yang jadi soal, apakah benar Ismuhadi mengetahui semua itu seperti dakwaan JPU? “Allah SWT lebih tahu dari apa yang saya atau kita tahu. Karena itu, saya juga berdoa kepada Allah agar tidak menghukum orangorang yang telah menghakimi dan menghukum saya! Sebab, bagi saya, takdir adalah urusan Allah,” kata Ismuhadi mengutip Surat At-Taubah ayat 51. Itu sebabnya, dia juga mengucapkan terima kasih kepada penasihat hukumnya, yaitu Bu-
chari HY, SH, MIP, J. Kamal Farza, SH, MH, Teuku Arifin SH, MH, Teuku Iskandar SH, MH dan Sayuti Abubakar SH, MH. Mereka telah bekerja siang dan malam untuk memperjuangkan nasib Ismuhadi hingga bebas dari penjara. “Tanpa jasa mereka, tentu saya tidak seperti ini dan tak sanggup saya bayangkan apa yang akan terjadi.” Jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Kami pun sepakat untuk mengakhiri pertemuan tersebut. Teuku Ismuhadi balik kanan, menuju rumahnya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sementara, saya bersiapsiap shalat Maghrib dan dijemput Tuanku Mirza Keumala. Malam itu, kami sepakat untuk ngopi bersama. “Insya Allah, nanti saya ke Banda Aceh dan kita bertemu kembali,” ucap Teuku Ismuhadi sambil mohon diri, menembus Kota Jakarta yang mulai gelap dan tentu saja: macet! *** Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, menjatuhkan hukuman
tujuh bulan penjara karena Ismuhadi tidak melapor adanya tindak pidana narkotika yang dilakonkan dua WNA asal Malaysia dan dua warga Aceh yaitu Sulaiman alias Riki dan Defan. Ini sejalan dakwaan JPU dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Itu sebabnya, Ismuhadi secara sah dan meyakinkan tidak terlibat kasus narkotika yang didakwakan pada dirinya. Hanya saja, dia dijerat BNN dan JPU ketika itu karena tidak melapor adanya tindak pidana narkotika. “Ya, karena saya memang tidak tahu bahwa Riki adalah bagian dari bandar narkoba. Tapi, sekali lagi, semua kuasa Allah SWT. Yang benar tetap benar dan salah tetap salah,” ucap Teuku Ismuhadi. Akibat dari putusan itu, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, Budhy Hertantiyo SH, MH (ketua), H Syamsul Edi SH, M.Hum dan Hastopo SH, MH (anggota) dalam amar putusannya 10 Januari 2017 lalu, memerintahkan JPU untuk mengembalikan seluruh alat bukti dan barangbarang milik Ismuhadi. Salah
satunya mobil Toyota Fortuner. Nah, genap seratus hari sejak penangkapan dan penahanan serta menjalani hukuman, Teuku Ismuhadi akhirnya dapat berkumpul kembali bersama keluarganya. Sekedar mengulang, Kamis, 4 Agustus 2016 lalu, Tim Badan Narkotika Nasional (BNN) Pusat, Jakarta menangkap lima orang; dua WNA asal Malaysia dan tiga WNI asal Aceh yaitu Sulaiman alias Riki alias Whesle, Defan dan Ismuhadi di sejumlah tempat di Jakarta. Namun, setelah dilakukan penyelidikan mendalam, Teuku Ismuhadi ternyata tidak terlibat dengan sindikat narkoba internasional tersebut. Sementara, dua WNA asal Malaysia, Riki dan Defan, saat ini, sedang menjalani persidangan di PN Jakarta Pusat. Diduga, mereka adalah sindikat gembong narkoba internasional. Sebab, saat ditangkap, BNN mengamankan 30 kilogram narkoba jenis sabu di kamar 809 Hotel Orchardz, kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.***
MODUS ACEH
Di balik Berita 22 Mengendus ‘Operasi’ Sulaiman alias Riki NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
Sulaiman alias Riki, ternyata pemain lama dan berpengalaman dalam bisnis narkoba jenis sabu-sabu. Di negeri jiran Malaysia, dia belajar memproduksi barang haram tersebut. Sempat ditangkap dan dihukum di LP Cipinang, Jakarta Timur. Setelah bebas beroperasi kembali. Jaringannya hingga ke Kalimantan, Riau dan Medan, Sumatera Utara. Muhammad Saleh|dbs
Sulaiman alias Riki.
“
Saya disuruh Sulaiman alias Riki (berkas terpisah) membawa 30 bungkus sabu keluar dari kamar 809 Hotel Orchardz, Gunung Sahari. Ada 21 bungkus yang saya bawa dengan koper dan sembilan bungkus menggunakan tas ransel,” begitu ungkap Defan menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Domo Pranoto. Itu disampaikan Defan (44) warga Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Itu sebabnya, dia terancam hukuman pidana mati karena menyerahkan atau menerima 30 bungkus narkotika jenis sabu-sabu. Dalam persidangan yang diketuai Majelis Hakim Desbenneri Sinaga (ketua), Abdul Kohar dan Tafsir Sembiring (anggota), terdakwa mengaku jika barang haram sebanyak itu diambil dari atas plafon kamar mandi hotel Hotel Orchardz, Gunung
Sahari. “Tiap satu bungkus sudah dilakban warna coklat,” urai terdakwa yang dalam persidangan yang didampingi kuasa hukumnya dari Posbakumadin Jakarta Pusat, Hendra Ambarita, Dony Yonny Siregar dan Chandra Sinaga. Menurut pengakuan Defan, kunci kamar hotel diberikan Sulaiman saat mereka bertemu di Starbuck Atrium Senen. Sebelumnya, saat di Bandara Soekarno-Hatta, Sulaiman memberikan uang Rp 1 juta kepada terdakwa. “Ini uang Rp 1 juta untuk ongkos dan biaya sewa hotel kamu. Nanti tunggu telpon dari saya,” urai terdakwa menirukan perintah Sulaiman alias Riki kala itu. Selanjutnya, terdakwa atas perintah Sulaiman, dari Atrium Senen pergi menuju Hotel Orchardz di Gunung Sahari, untuk mengambil sabu yang tersimpan di plafon kamar mandi. Nah, saat keluar dari kamar 809 menuju lobby itu-
Rumah Sulaiman alias Riki di Samalanga
lah, terdakwa dibekuk petugas dari BNN Pusat. Perbuatan Defan, menurut isi dakwaan yang dibuat JPU Adhitya Trisanto, Agus Suryadi dan Meiyana DM, melanggar pasal 114 ayat 2 Jo pasal 132 ayat 1UURI No.35/2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman mati. Rencananya, JPU akan membacakan tuntutan pada sidang selanjutnya, Senin, 20 Maret 2017. “Untuk memberikan waktu kepada jaksa membuat surat tuntutan, sidang diundur dua pekan,” kata hakim Desbenneri Sinaga, menutup sidang hari itu. *** Nama Sulaiman alias Riki yang disebut Defan, rupanya memang bukan pemain baru di dunia hitam narkoba. Sebelumnya, dia sempat mendekam di hotel prodeo (Rutan) Cipinang, Jakarta Timur karena kasus narkoba. Setelah bebas, putra kelahiran
sumber BNN
Samalangga, Kabupaten Bireuen ini kembali terjun dalam bisnis narkoba tersebut. Bahkan, dari habil bisnis tadi, Sulaiman berhasil mengembangkan usaha sembako, pakaian serta tambak ikan dan udang di Samalanga. Hasilnya, dia bisa membangun rumah mewah yang kini dalam pengawasan BNN Pusat. Hanya itu? Tunggu dulu. Dalam menjalankan bisnis tersebut, Sulaiman rupa tak sendiri alias memiliki jaringan cukup luas di Malaysia, Jakarta, Singkawang dan Medan. Itu terbukti setelah sejumlah pelaku diciduk BNN. Misal, ada nama Susanto, Afong dan Atak di Singkawang dengan barang bukti (BB) sekira 15 kilogram sabu-sabu. Ada pula nama Stephen dan Michael di Malaysia atau yang tertangkap di kamar 809 Hotel Orchardz, Gunung Sahari (30 kilogram) dan Manan dan Irwan di Medan, Sumatera Utara (18 kilogram). Dugaan ini, sejalan dengan temuan Direktorat TPPU Deputi Bidang Pemberantasan BNN, yang menyidik empat kasus pencurian uang tersangka narkotika. Hasilnya, total aset senilai Rp 25 miliar lebih dari berbagai jenis aset berhasil disita. “Total aset para tersangka Rp 25.956.000.000,” kata Direktur TPPU BNN Brigjen Rachmad Suwanto kepada awak media, Rabu, 28 September 2016 lalu di Jakarta. Aset yang disita dari para tersangka narkoba itu berupa rumah, mobil mewah, ruko, perhiasan dan lainnya. Rahmat kemudian merinci empat kasus itu. Pada 3 Agustus 2016 misalnya, tersangka TPPU atas nama Piter Chandra Jaringan Chandra Halim alias Akiong dengan barang bukti sekitar 34.5 kilogram sabu yang disimpan dalam Hydraulic Pump berhasil diamankan. “Akiong merupakan narapidana hukuman mati dalam kasus 1.4 juta ekstasi tahun 2011 bersama dengan terpidana mati Freddy Budiman,” ujar Rahmat. Lalu, BNN menangkap tiga orang tersangka TPPU narkotika atas nama Ruslam dan kawan-kawan terkait jaringan Pony Tjandra pada (19/8/ 2016) di Batam, Kepulauan Riau. “Tersangka Ruslan menerima uang hasil penjualan narkotika melalui transfer ataa nama Ardi W yang dikendalikan oleh tersangka Loei Kok Ming alias Koming,” ujarnya. Kemudian, BNN juga menangkap Sulaiman alias Riki di Aceh, (4/8/2016) lalu dengan barang bukti narkotika jenis shabu 30 kilogram. Lalu pada 10 September 2016, tersangka Susanto als Wesley ditangkap di Pontianak, Kalbar dengan barang bukti narkotika jenis shabu sebanyak 10 kilogram. Kedua tersangka tersebut terkait merupakan jaringan Jamal yang masih DPO. Kasus keempat merupakan tersangka Loei Kok Ming alias Koming sendiri yang akhirnya berhasil dibekuk di Medan, (16/9/2016). Koming merupakan residivis dalam perkara narkotika tahun 2006 de-
ngan vonis 2 tahun penjara. Tidak hanya itu, Pada 2008 Koming juga diproses untuk kasus narkotika dengan barang bukti 12 ribu Inek dengan vonis 12 tahun penjara. Lalu perkara pada 2016 terkait jaringan Tjia Sun Fen dan Pony Tjandra yang saat ini sedang menjalani proses penyidikan BNN. Nah, berat dugaan, Sulaiman merupakan jaringan sindikat narkoba asal Malaysia yang beroperasi di Indonesia seperti Aceh, Medan, Riau, Batam, Jakarta hingga Kalimantan. Sumber media ini mengungkapkan, sebelum ditangkap dan ditahan pada Rutan Cipinang beberapa tahun lalu, Sulaiman, merupakan salah satu sindikat narkoba di Malaysia. Posisinya sebagai taster (penguji) dari hasil produksi yang siap edar ke Indonesia, apakah layak untuk dipasarkan atau tidak. Nama alias Riki diperoleh Sulaiman dari seorang rekannya yang berprofesi serupa, tapi dia tewas ditembak polisi Malaysia. Nah, sejak Riki yang juga tester itu tewas, Sulaiman atau rekan-rekannya menambalkan nama Sulaiman alias Riki dengan posisi sebagai tester. “Ya, misal sebelum barang haram itu dipasarkan ke Indonesia, Sulaiman yang mencoba lebih dulu, apakah sabu tersebut sudah layak di pasarkan atau tidak. Jika ‘gagal’ maka diproduksi kembali,” ungkap sumber ini. Terkait penangkapan terhadap dirinya di Hotel Orchardz, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pada Kamis, (4/8/2016) lalu, semakin mensahihkan bahwa Sulaiman alias Riki dan Defan asal Kota Lhokseumawe, merupakan anggota sindikat narkotika Internasional China-Malaysia-Indonesia. Sebelumnya, BNN Pusat, juga melakukan penggerebekan ‘pabrik’ sabu-sabu home industri di kawasan Paloh Lada, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Syahdan, bahan dasar dan alat pembuat barang haram ini, juga didatangkan dari Jakarta. Tapi, sejauh ini BNN Pusat belum mempublikasi secara terang menderang, terkait dua kasus tadi. “Sedang dalam pengembangan, “ kata Kombes Slamet Pribadi, Humas BNN Pusat pada media ini, Minggu siang (21/8/2016). Penjelasan Slamet memang masuk akal. Namun, besarnya keingintahuan publik atau rakyat Aceh, terkait dua warga Serambi Mekah itu pun tak bisa disalahkan. Tentu, kita belum bisa melupakan praktik dugaan serupa yang kini menyeret Faisal dan Abdullah untuk menjalani hukuman di LP Lambaro, Aceh Besar. Awalnya, bagi awak media nama Sulaiman alias Riki memang agak asing. Namun, warga Samalanga, Bireuen ini mendadak populer, setelah namanya tersebut sebagai salah satu anggota sindikat narkotika lintas negara oleh BNN.***
Menggapai Keadilan
MODUS ACEH NO 47/TH XIV 20 - 26 MARET 2017
23 acehterkini
■ Putusan untuk Darwis:
Pak Hakim, Begitu Besarkah Kesalahan Saya? MODUS ACEH/Juli Saidi
Vonis majelis hakim tiga tahun penjara dianggap Darwis bin almarhum Jubah sangat berat. Upaya banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, diakui Darwis, sebagai jalan baginya untuk mencari keadilan. Juli Saidi
enggunakan kain sarung dan baju kaos oblong warna kuning, Rabu pagi, 15 Maret 2017 lalu, terdakwa pencoblosan ganda pada Pilkada Aceh Barat, Darwis bin almarhum Jubah, berjalan agak lamban dari ruang tahanan Lembaga Permasyarakatan (LP) Meulaboh, Paya Peunaga, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat. Bisa jadi, baju kaos yang digunakan hari itu, satu-satunya yang dia miliki, sebab selain baju tahanan, kaos yang sama juga dia pakai saat mengikuti proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh. Atas izin Kepala LP Meulaboh, Sapto Winarno, Rabu pagi
M
pekan lalu itu, dari ruang jeruji besi, Darwis menuju ke ruang kerja Kepala Pengamanan Lembaga Permasyarakatan (KPLP). Dia memberi keterangan pada media ini terkait vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh yang menghukumnya tiga tahun penjara. Dalam perjalanan dari ruang tahanan ke ruang KPLP tersebut, tampak raut wajah Darwis sedih serta menyesali perbuatannya itu. Pria yang akan menjadi ayah ini memang mengaku sedih dan menyesal. Darwis bersedih bukan tanpa sebab, karena di putusan Majelis Hakim PN Meulaboh yang diketuai Muhammad Tahir dan hakim anggota T. Latiful dan Muhammad Alqudri, dinilainya terlalu berat. Suami Rahibon yang sedang hamil besar itu mengatakan, semua perbuatan yang dilakukan telah diakui secara jujur dalam proses persidangan. Namun, majelis hakim tetap menghukumnya sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Maka, hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 36 juta yang divonis majelis hakim, menurut Darwis, tidak adil. “Saya telah jujur, tapi tetap dihukum tiga tahun, ini tidak adil,” kata Darwis dalam bahasa Aceh. Terdakwa melanjutkan, ia
melakukan pencoblosan dua kali karena semata-mata faktor tidak tahu. Sebab, tidak pernah mendapatkan penyuluhan dari penyelenggara pilkada, baik dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa. Darwis juga menyoal namanya muncul dalam daftar pemilih tetap (DPT) di Desa Babah Iseung, Kecamatan Pante Cermin, Kabupaten Aceh Barat. Alasannya, ia sudah dua tahun pindah ke rumah istrinya, Desa Manggie, Kecamatan Panton Reu. Bahkan, jelas Darwis, di Desa Manggie, Panton Reu, ia sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). “Saya sudah dua tahun pindah. KK dan KTP juga sudah ada. Tetapi, kenapa nama saya masuk DPT di Desa Babah Darwis bin almarhum Jubah Iseung?”gugat Darwis. Cerita Darwis, ia mencoblos di Desa Babah Ise- milih lebih dari satu kali. Menuung karena mendapat undan- rut Darwis, ia benar-benar tidak gan. Tepat Selasa, 14 Februari tahu. Sebab, tahun 2017 ini, per2017 lalu, Darwis pulang ke ru- tama kali ia menggunakan hak mah ibunya untuk pergi ke ke- pilih pada Pilkada Aceh Barat. bun kacang tanah di kebun mil- Sedang pada Pemilu 2014 lalu, iknya. Nah, sampai di rumah ibu- Darwis mengaku tidak memilih nya, Darwis mendapat undangan karena tinggal bersama kakaknuntuk memilih yang diberikan ya di Simeulue. petugas pada adiknya. BerdasarTak hanya itu, jelas Darwis, kan undangan itulah, Darwis selama proses pelaksanaan mencoblos di Desa Babah Ise- pilkada serentak, ia juga tidak ung, Rabu, 15 Februari 2017 lalu. pernah mendapat sosialisasi terKemudian, usai melakukan kait pelaksanaan Pilkada Aceh pencoblosan di sana, Darwis Barat, terutama tentang larangan pulang ke rumah mertuanya, di tidak boleh menggunakan hak Desa Manggie. Darwis yang saat pilih lebih dari satu kali. “Saya itu sedang mencuci baju istrinya tidak tahu sama sekali aturan yang sedang hamil, sekira pukul memilih, juga tidak ada sosial12.00 WIB mendengar pengu- isasi yang saya dapatkan,” kata muman dari masjid yang tak jauh Darwis, Rabu pekan lalu. Itu sebabnya, menurut Dardari rumah mertuanya. Pengumuman itu, kata Dar- wis, dalam kesalahannya itu, sewis, menyeru pada masyarakat mestinya penegak hukum tidak yang tidak dapat undangan, na- hanya memproses dirinya saja. mun ada KTP, bisa memilih. Tetapi juga kedua kepala desa, Maka, ia datang dan membawa penyelenggara pilkada di tingkat KTP, lalu melakukan pencob- desa, kecamatan dan kabupaten. Semestinya juga harus diproslosan di Desa Manggie. Sampai Darwis di Tempat es, misal kenapa ada DPT DarPemungutan Suara (TPS) Desa wis di Desa Babah Iseung, seManggie, dia diberikan kertas dangkan KK dan KTPnya sudah suara untuk memilih. Dan, saat di Desa Manggie. “Penahanan ia melakukan pencoblosan, tidak terhadap diri saya sendiri tidak ada satu pun petugas memberi adil. Seharusnya geuchik, petutahu tata cara memilih atau me- gas pilkada juga harus diperiknegurnya terkait tidak boleh me- sa,” kata Darwis, sedih.
Darwis juga menyesali karena ia tak bisa baca tulis, sehingga tidak tahu ada aturan yang melarang coblos dua kali. “Yang sangat saya sesali karena saya tidak bisa baca tulis,” ujar Darwis sembari tertunduk, Rabu pekan lalu. Jelas Darwis, dari sembilan bersaudara, hanya adik bungsu yang tamat sekolah menengah atas (SMA), sedang delapan lainnya senasib dengan dirinya. Sebab, saat Darwis masih kecil, ayahnya sudah meninggal dunia dan keluarganya tak mampu untuk menyekolahkan mereka. Berbagai alasan itulah, setelah berumbuk dengan keluarga, maka ia memilih banding ke Pengadilan Tinggi atas putusan Pengadilan Negeri Meulaboh. Sebab, putusan yang diterima Darwis, dinilainya sangat berat. Memang, Pengadilan Negeri Meulaboh menvonis tiga tahun penjara, denda Rp 36 juta dan subsider satu bulan kurungan jika tak membayar uang denda. Putusan majelis hakim itu, sesuai Pasal 178 b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Darwis berharap, hasil bandingnya nanti, majelis hakim pengadilan tinggi bisa memaafkannya ketidak-tahuannya, terkait undang-undang tak boleh memilih lebih dari satu kali. “Saya banding ingin mencari keadilan. Semoga bisa dibebaskan. Kalau tidak bisa juga, minimal dikurangi hukuman terhadap saya,” ujar Darwis, berharap, Rabu pekan lalu. Terkait adanya kuasa hukum, Darwis mengatakan, bukan berarti ia mampu untuk membayar. Namun, pada pengacara Said Atah SH, hanya doa yang dapat ia berikan. “Saya orang tidak mampu. Hanya doa yang dapat kami berikan pada kuasa hukum,” kata Darwis. Sementara itu, Rabu siang pekan lalu, kuasa hukum Darwis telah mengajukan banding di PN Meulaboh. Itu sesuai nomor ajuan banding, nomor 35/Akta Pid.Sus/2017/ PN Mbo. Said Atah di PN Meulaboh Rabu siang pekan lalu mengatakan, keputusan hakim hanya memenuhi asas kepastian hukum, namun belum ada asas keadilan. “Hukuman yang diterima Darwis tidak sebanding dengan perbuatannya,” ujar Said Atah.***