NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
Rp 7000,- ( Luar Aceh Rp 10.000,- )
MODUS ACEH
2
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
Redaksi
TABLOID BERITA MINGGUAN
MODUS ACEH BIJAK TANPA MEMIHAK
P e n a n g g u n g j awa b / Pimpin an Red aksi Pimpinan Redaksi Muhammad Saleh Direktur Usaha Agusniar Man a ger Mana
liput an liputan
Juli Saidi Editor Salwa Chaira Kar tunis/Design Kartunis/Design
Grafis
Rizki maulana Pemasaran/Sirkulasi Firdaus, Hasrul Rizal, Ghifari Hafmar iklan M. Supral iklan/Sirkulasi Lhokseuma we/a ceh Lhokseumawe/a we/aceh
ut ara utara
mulyadi Sekret aria t/ADM ta at Yulia Sari Kep ala B a gian Keuang an Kepala Agusniar Bagian I T Joddy Fachri Wa r taw a n rt Muhammad Saleh Juli Saidi ZULHELMI azhari usman
Ko r e s p o n d e n Aceh Selatan Sabang Nagan Raya Takengon Aceh Besar Aceh Tenggara Gayo Lues Kuala Simpang Pidie, Langsa Bener Meriah Simeulue
Alama aksi Alamat Redaksi t Red Jl. T. Panglima Nyak Makam No. 4 Banda Aceh. Telp (0651) 635322 email:
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected] www.modusaceh.com. Penerbit PT Agsha Media Mandiri Rek Bank Aceh: 01.05.641993-1 Rek Bank BRI Cabang Banda Aceh: 0037.01.001643.30.9 NPWP: 02.418.798.1-101.000 Percetakan PT. Medan Media Grafikatama
Terbit Sejak 2003
“Love the Leuser Ecosystem” Tarik Perhatian Dunia Sebagai Pusat Keanekaragaman Hayati ebuah gerakan global telah melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal dan internasional untuk bergabung dengan seniman grafis terkenal Asher Jay, fotografer peraih penghargaan Paul Hilton, serta aktor dan aktivis Leonardo DiCaprio untuk membawa perhatian internasional pada ekosistem Leuser, suatu wilayah di tepi utara Sumatera, Indonesia agar lebih dikenal dunia. Mulai dari komunitas lokal, ahli biologi satwa liar ternama, konservasionis hutan, aktivis hak asasi manusia dan pejuang perubahan iklim mengatakan bahwa sudah waktunya untuk ekosistem Leuser mendapatkan pengakuan layak yang penting sebagai prioritas konservasi global. Mereka kemudian menggunakan media seni grafis, fotografi, video dan realitas maya yang disebarkan melalui media sosial dan tradisional untuk mengangkat profil dari lanskap ekosistem Leuser yang unik pada ketenaran, agar para pelaku industri berusaha untuk menghindari risiko reputasi sebagai penyebab kerusakan yang terjadi di ekosistem Leuser demi mendapatkan keuntungan jangka pendek. Ada 2,6 juta hektar hutan hujan yang membentang di ekosistem Leuser menjadi salah satu yang terluas dan tersisa di Asia Tenggara dan menjadi tempat terakhir di dunia di mana orangutan, gajah, harimau, dan badak hidup bersama di alam bebas. Para ilmuwan satwa liar telah memperingatkan bahwa empat jenis satwa yang kini terancam punah akan punah selamanya jika hutan yang tersisa di ekosistem Leuser ini hancur. Ekosistem Leuser merupakan ekosistem bersejarah yang dikenal oleh ilmu pengetahuan telah mengalami ribuan tahun evolusi tak terputus hingga menghasilkan salah satu konsentrasi keanekaragaman hayati tertinggi. Ekosistem ini kaya flora dan fauna, termasuk setidaknya 105 jenis mamalia, 386 jenis burung, 95 jenis reptil dan amfibi dan 8.500 spesies tanaman. Banyak di antaranya seperti Thomas Leaf Monkey atau dikenal sebagai ‘monyet kedih,’ merupakan spesies endemik yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Ekosistem Leuser membentang di antara dua provinsi di Sumatera yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Baru-baru ini, Aceh telah mengangkat kembali mantan gubernur Irwandi Yusuf yang terkenal dengan julukannya sebagai ‘Gubernur Hijau’. Beberapa pihak sangat berharap agar pada era kepemimpinan politik baru ini Irwandi akan memprioritaskan usaha
S
konservasi Leuser pada tingkat yang lebih kemudian menjadi film dokumenter yang tinggi dibandingkan beberapa tahun- paling banyak ditonton dalam sejarah. Selain dijuluki sebagai ‘ibukota orangutahun terakhir. Meskipun sekitar sepertiga dari tan dunia’, ekosistem Leuser juga meruwilayah ekosistem Leuser ditunjuk se- pakan rumah bagi tiga rawa gambut utabagai Taman Nasional Gunung Leuser ma yang berfungsi sebagai tempat penytelah menjadi situs warisan dunia impanan karbon paling kaya di bumi. UNESCO, namun sebetulnya masih ban- Hutan-hutan rawa gambut yang basah yak wilayah ekosistem Leuser dengan menangkap sejumlah besar karbon dari tingkat keanekaragaman hayati hutan atmosfer kita dan menyimpannya dengan hujan dataran rendah dan lahan gambut aman di bawah tanah. Sayangnya, meskipun ilegal, banyak yang paling kaya berada di luar batasbatas taman nasional. Jutaan orang yang tinggal di wilayah tersebut tergantung pada sungai-sungai bersih yang berasal dari ekosistem Leuser untuk air minum, melindungi dari banjir, dan irigasi bagi mata pencaharian masyarakat yang sebagi- Siamang di Warung Siamang, Geuruete, Aceh Jaya an besar hidup dari pertanian. Sebuah gerakan konser- lahan gambut ini dikeringkan dan dibakar vasi lokal juga tengah berkembang den- untuk dijadikan industri perkebunan kegan memasukkan upaya politik, ilmiah lapa sawit. Ketika ini terjadi, polusi kardan hukum yang kuat bagi warga yang bon dalam jumlah besar dilepaskan ke tinggal di wilayah ini. Usaha tersebut di- udara. Peristiwa kebakaran terakhir lakukan dengan memberikan advokasi diperkirakan telah menyebabkan 100.000 untuk perlindungan dan strategi pertum- kematian di seluruh Asia Tenggara. Kebakaran hutan yang terjadi di puncak buhan hijau untuk pembangunan. Ekosistem Leuser muncul dalam film tahun 2015 telah membuat Indonesia dokumenter Leonardo DiCaprio yang ber- melepaskan polusi karbon yang sama judul Before the Flood sebagai daerah dengan jumlah polusi dari seluruh yang berfungsi penting untuk melindun- gabungan kegiatan ekonomi Amerika gi keseimbangan iklim dunia. Film ini Serikat setiap harinya.***
Dalam Menjalankan Tugas Jurnalistik, Wartawan MODUS ACEH Dibekali Kartu Pers. Tidak Dibenarkan Menerima Atau Meminta Apapun Dalam Bentuk Apapun dan Dari Siapa Pun
Aceh Barat
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
3
APA KABAR KASUS PERAMPOKAN MONALISA? Kasus perampokan Monalisa sudah berjalan enam bulan. Keluarga korban masih berharap polisi bisa mengusut tuntas. Juli Saidi nam bulan sudah, Monalisa (39) terbaring di pusaranya. Dia korban perampokan sadis, Minggu, 25 September 2016 di rumahnya Jalan Swadaya, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Perempuan berdarah Aceh Besar itu meninggal dunia setelah ditusuk benda tajam di sekujur tubuhnya. Mantan istri Bupati Nagan Raya, Teuku Zulkarnaini, ini meninggalkan seorang anak lelaki bernama Poncut. Itu sebabnya, pasca ibunya meninggal, Poncut memilih tinggal bersama ayahnya, Teuku Zulkarnaini, yang kini masih aktif menjabat Bupati Nagan Raya. Poncut memang anak buah pernikahan Monalisa dengan Teuku Zulkarnaini. Entah itu sebabnya, saat kejadian, Poncut tinggal di rumah bersamanya ibunya, namun anak dan ibu ini tidak sekamar. Karena itu, Poncut tidak mengetahui ada kejadian perampokan ketika itu. Namun, Poncut baru sadar ketika sejumlah polisi menggedor pintu kamarnya dan memberi tahu bahwa ibunya sudah dirampok dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut Nyak Dhien, Meulaboh, Aceh Barat. “Poncut baru tahu setelah polisi mengetuk pintu kamarnya,” kata Samsidar, Ibu Monalisa yang juga nenek Poncut. Dia menjelaskan, pasca peristiwa
E
berdarah yang menimpa anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara ini, Monalisa memang sempat dirawat di RSUD Cut Nyak Dhien, Meulaboh. Namun, Kamis, 29 September 2016, ajal menjemputnya. Monalisa meninggal dunia dan disebutsebut karena menderita sesak napas (asma). Tetapi, saat terjadi perampokan, Monalisa sempat mengalami pukulan dari tiga perampok yang memakai pakaian serba hitam, termasuk sebo, sarung tangan serta baju. “Anak saya dipukul hingga berdarah, dadanya juga dipijak-pijak,” kata Samsidar mengulang cerita mendiang Monalisa saat masih hidup. Tiga kawanan perampokan itu juga berhasil membawa kabur 100 mayam emas murni dan kalung berlian senilai Rp 200 juta. Perhiasan mahal itu memang sengaja dilepas Monalisa dari badannya, kemudian disimpan di bawah kasur tempat tidurnya. Harta berharga itu diketahui hilang saat Monalisa menjalani perawatan di RSUD Cut Nyak Dhien dan meminta ibunya untuk mengambil ke rumah Monalisa. “Mendiang minta Ibu ambil. Tetapi, ketika Ibu lihat, harta tersebut tidak ada lagi,” ujar Samsidar, Rabu pekan lalu. Samsidar mengaku, harta yang hilang itu dibeli saat Monalisa masih aktif suami-istri dengan Bupati Nagan Raya. “Itu harkat Monalisa dengan Ponzul, bukan dengan suami keduanya,” kata Samsidar. Nenek asal Aceh Barat Daya (Abdya) itu juga mengaku, selama Monalisa hidup, dia menjadi tulang punggung Samsidar, sebab Monalisa sering menafkahi ibunya. Monalisa, kata Samsidar, anak yang sangat sayang pada keluarga. “Almarhumah sangat penyayang pada keluar-
MODUS ACEH/Juli Saidi
Samsidar Menunjuk foto almarhum Monalisa, anaknya.
AKP Fitriadi
ga,” ujar Samsidar lirih. Itu sebabnya, meskipun sudah berlangsung enam bulan, Samsidar mengaku masih berharap agar Kepolisian Aceh Barat dapat mengusut tuntas kasus yang menimpa anak perempuannya itu. Harapan ini disampaikan Samsidar di rumahnya, Lorong Keumala, Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh,
Kabupaten Aceh Barat, Rabu pekan lalu. Menurut Samsidar, kejadian perampokan itu sekira pukul 7.30 WIB, Minggu, 25 September 2016. Saat itu, Monalisa sedang menyapu teras rumah, menyiram bunga dan memanaskan mobil miliknya. Setelah itu, Monalisa masuk dalam rumah ingin buang air kecil di WC. Namun, sampai dalam rumah, Monalisa dipegang dan mulutnya dilakban serta dipukul hingga berdarah. “Kalau penjelasan Mona, kejadian sudah mau jam delapan pagi,” kata Samsidar mengulang penjelasan anaknya itu. Kasat Reskrim Polres Aceh Barat, AKP Fitriadi, di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu menjelaskan, berdasarkan hasil olah tempat kejadian peristiwa (TKP), diperkirakan, kejadian perampokan Monalisa mau menjelang
Subuh. Sedangkan perkembangan kasus tersebut, hingga enam bulan ini masih dalam proses lidik. “Kasus itu masih lidik. Jadi, sampai kapan pun tetap kita cari, kita tidak diam. Tetapi, dalam hal ini, kita memiliki keterbatasan informasi,” ujar AKP Fitriadi. Kasat Reskrim juga berharap pada keluarga untuk tetap percaya pada pihak kepolisian. Sebab, kasus itu tidak ada kedaluwarsa. “Kasus ini tetap kita dalami, tidak mungkin kita diami,” kata Kasat Reskrim. Pihak kepolisian juga mengaku, pelakunya lebih satu orang dan dilakukan secara profesional, sehingga tidak meninggalkan bekas sidik jari karena pelaku perampokan memakai sarung tangan. “Kalau kita lihat, memang sudah profesional karena tidak ada jejak, pakai sarung tangan,” kata AKP Fitriadi.***
MODUS ACEH
4
Aceh Barat
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
MENANTI KERJA POLISI MODUS ACEH/Juli Saidi
Rumah Monalisa di Jalan Swadaya
Jajaran Kepolisian Aceh Barat dituntut untuk bekerja ekstra, mengungkap motif dan pelaku pembunuhan Monalisa. Juli Saidi umah berkonstruksi beton dan berdiri megah di Jalan Swadaya itu letaknya memang strategis. Boleh disebut, ini kawasan elit untuk wilayah Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Rumah bercat putih tersebut berdampingan dan berhadapan dengan perkantoran, misal, Kantor Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Barat dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan sisi kanan, berdiri Kantor Perizinan Terpadu dan sisi kiri, ada berapa unit rumah masyarakat berkonstruksi besar yang juga tak kalah megahnya. Bahkan, rumah megah tadi juga tidak jauh dengan Kantor Polres Aceh Barat. Jaraknya sekitar 350 meter. Di bagian belakang rumah tadi juga tidak terlihat tanah kosong karena sudah dibangun rumah-rumah. Saking padatnya, amatan media ini, Kamis, 30 Maret 2017 di komplek rumah tersebut, tak ada jalan yang tembus ke Jalan Swadaya kecuali dua jalan setapak, itu pun buntu. Tidak hanya ramai penduduk dan letaknya strategis, rumah yang dihuni almarhumah Monalisa, korban perampokan pada Minggu, 25 September 2016 lalu itu juga dipagari beton. Tinggi pagarnya sekitar dua meter lebih. Bahkan, pagar bagian depan rumah juga dipasang besi runcing. Jika dinaiki maling, sudah pasti sulit. Sedangkan pintu pagar ru-
R
mah almarhumah Monalisa juga dipasang besi. Namun, jalan umum depan Rumah Monalisa itu satu arah, masuk dari jalan Manek Roo-melintasi depan Mapolres--tembus lampu merah jalan nasional Kota Meulaboh. Tetapi, di sanalah tiga kawanan perampok tadi dengan nekat menyatroni rumah dan menghabisi Monalisa. Saat dirawat, Monalisa sempat bercerita pada Samsidar (ibunya) tentang perampokan itu. Kata Samsidar, kejadiannya sekira pukul 7.30 WIB pagi. Kala itu, Monalisa sedang menyapu teras rumah, menyiram bunga dan memanaskan mobil miliknya. Lalu, karena Monalisa ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil, Monalisa masuk dalam rumah. Tiba-tiba perampok memegang Monalisa dan langsung melakban mulutnya serta memukul. Sehingga, Monalisa tidak dapat berteriak untuk minta tolong. Jelas Samsidar, berdasarkan cerita mendiang anaknya itu, tiga perampok sempat memeriksa pada bagian hidung Monalisa apakah masih hidup. Namun, mendiang Monalisa menahan napasnya agar dikira oleh perampok ia sudah pingsan. Monalisa, kata Samsidar, sempat melihat isyarat perampok yang menganggap Monalisa sudah meninggal. “Ketika diperiksa oleh perampok pada bagian hidung, Monalisa menahan napas
supaya dikira pingsan,” kata Samsidar, mengulang cerita almarhumah anaknya itu, Rabu pekan lalu. Masih penjelasan Samsidar, tiga perampok itu tak satu pun bersuara. Bahkan, pada Monalisa, perampok tidak menanyakan di mana hartanya disimpan. Jika perampok itu mau bertanya, kata Samsidar, mungkin Monalisa akan memberi tahu asal ia tidak dipukul. “Perampok itu diam, tidak ada bicara dan tidak menanyakan di mana harta disimpan. Kalau ditanya, mungkin Monalisa memberi tahunya, yang penting ia tidak dipukul,” jelas Samsidar. Masih mengulang cerita Monalisa, sebut Samsidar, ada dugaan pelaku orang dekat yang sudah lihai membaca suasana. Salah satu yang membuat Monalisa curiga, jelas Samsidar, ketiga perampok itu tidak bersuara. “Jika perampok itu bersuara, pasti ketahuan,” kata Samsidar,
Rabu pekan lalu, berdasarkan cerita mendiang anaknya. Ketiga perampok itu, kata Samsidar, berdasarkan penjelasan almarhumah, tingginya sama dengan orang yang dicurigai. Tetapi, kecurigaan Monalisa saat masih hidup, kata Samsidar, tidak terdukung sebab polisi tidak menemukan alat bukti sidik jari. Sebab, tiga kawanan perampok itu memakai sebo, sarung tangan dan baju hitam. Sedangkan Monalisa hanya bisa melihat hidung dan mata tiga perampokan tersebut. Itu sebabnya, Monalisa tidak bisa menyebut oknum yang dicuragai karena tidak memiliki alat bukti kuat. “Ketiga perampok itu besarnya sama, dugaan Monalisa ada, tetapi tidak kuat alat bukti,” ujar Samsidar. Entah karena perampok tidak bertanya, maka harta lain tidak berhasil diambil perampok, kecuali 100 mayam emas murni dan kalung berlian senilai Rp 200 juta. Kemudian, saat Monalisa dirawat, lanjut Samsidar, ada intel polisi yang mengaku bahwa pelaku perampokan sudah lari ke Banda Aceh. Bahkan, Monalisa sempat memberikan uang minyak pada intel polisi senilai lima juta rupiah dan satu unit mobil sebagai transportasi untuk mengejar pelaku perampokan. “Ada intel minta uang minyak dan mobil pada almarhumah untuk mengejar perampok. Katanya, sudah ke Banda Aceh,” ungkap Samsidar, Rabu pekan lalu. Sayangnya, meskipun mengeluarkan modal untuk mengungkap kasus tersebut, pelakunya hingga kini belum juga berhasil ditangkap. Kasus itu terjadi sebelum AKP Fitriadi menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Aceh Barat. “Kasus ini sebelum
saya menjabat Reskrim, saya melanjutkan saja,” kata AKP Fitriadi, Rabu pekan lalu. Kasat Reskrim mengatakan, pelaku perampokan memang sudah profesional karena tidak alat bukti yang bisa ditemukan. “Kalau kita lihat, memang sudah profesional karena tidak ada jejak yang ditinggalkan,” ujar AKP Fitriadi. Berdasarkan olah TKP, menurut polisi, perampok itu diperkirakan malam menjelang Subuh saat orang sedang terlelap tidur. “Saksi yang melihat tidak ada. Kejadiannya malam hari mau Subuh,” ujarnya. Dalam menangani kasus ini, polisi sudah meminta keterangan saksi, terutama keluarga korban seperti Poncut, anak korban. Polisi juga meminta keterangan suami kedua Monalisa yakni Danil. “Keluarganya kita tanya semua, apakah ada masalah sebelumnya. Semuanya kita kumpulkan,” ujar AKP Fitriadi. Polisi juga menduga, berdasarkan olah TKP, perampok masuk lewat jendela belakang. Sedangkan almarhumah Monalisa menceritakan pada ibunya, ia menduga perampok masuk lewat pintu belakang karena jendela yang disungkit tidak terbuka lebar. “Perampoknya masuk lewat jendela,” ujar AKP Fitriadi. Lalu, dalam proses lidik, polisi mengambil alat bukti seperti baju yang dipakai korban, termasuk mengamati larinya perampok tersebut. “Alat bukti; pakaian dia, jendela rusak tetap kita kumpulkan, masuknya lewat mana, keluarnya dari mana, larinya dari mana. Memang diperkirakan pelakunya bukan satu orang. Dari olah TKP, pelakunya lebih dari satu orang,” jelas Kasat Reskrim Polres Aceh Barat.***
MODUS ACEH
Fokus
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
5
DIGDAYA AMIRUDDIN DI KURSI REKTOR Meski kalah pada pemilihan Bupati Bireuen, 15 Februari 2017 lalu, dewi fortuna masih memihak pada Amiruddin Idris. Dia terpilih kembali secara aklamasi sebagai Rektor Universitas Almuslim (Umuslim) Peusangan, Bireuen periode 2017-2012. Begitu digdayakah dia? Wartawan MODUS ACEH, Muhammad Saleh dan Zulhelmi Zulhelmi, menulisnya untuk liputan Fokus pekan ini.
Wakil Sekretaris Panitia Pemilihan Rektor Mukhlis Amu SE, MM dan Kabag Humas Umuslim Zulkifli S
M
ungkin, inilah satu-satunya yang terjadi di Indonesia. Seorang akademisi bisa menduduki jabatan rektor empat kalinya berturut-turut. Lazim terjadi, hanya dua kali. Tapi, berbeda dengan Dr. Amiruddin Idris SE,M.Si. Dia begitu bebas melenggang dan terpilih untuk keempat kalinya sebagai Rektor Universitas AlMuslim (Umuslim) Peusangan, Kabupaten Bireuen. Begitupun, kursi keempat ini tak semulus pertama, kedua dan ketiga. Sebaliknya, sempat menuai kontroversi. Itu lantaran dia dianggap telah melakukan monopoli terhadap jabatan rektor dan gagal melakukan kaderisasi secara internal. “Secara aturan atau statuta perguruan tinggi, itu mungkin tak masalah, sebab saya tidak mempelajarinya. Tapi, secara etika akademis, ini jelas tidak baik,” begitu kritik Prof. Dr. Yusni Sabi, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Prof Yusni juga berasal dari Bireuen. Berawal Amiruddin mendaftarkan diri untuk maju pada pemilihan rektor. Selain itu, ada Pembantu Rektor (Purek) I, Dr. Marwan Hamid M.Pd, yang juga ikut sebagai kontestan. Entah bagaimana kemudian, tiba-tiba nama Marwan tak muncul lagi ke permukaan. Marwan dianggap tak memenuhi syarat dan dia pun dibatalkan sebagai calon rektor. Nah, tinggalah nama Amirud-
din sendiri hingga akhirnya dia terpilih secara aklamasi. Usai pemilihan, kemudian muncul kabar tak sedap terutama di kalangan masyarakat Peusangan. Seakan-akan hanya Amiruddin yang mampu mengemban tugas sebagai rektor di Umuslim. Tak tinggal diam atas kabar itu, pihak panitia pemilihan rektor menggelar konferensi pers untuk meluruskan kabar tak sedap itu. Anehnya Marwan Hamid tak dihadirkan dalam konferensi pers yang berlangsung di Kampus Ampon Chiek Peusangan, Matang Glumpang Dua ini, Jumat, 24 Maret 2017 lalu. Waktu itu, hanya dihadiri Wakil Sekretaris Panitia Pemilihan Rektor Mukhlis Amu SE, MM, Kabag Humas Umuslim Zulkifli S.Kom dan Bidang Protokoler dan Administrasi Umuslim Said Fajri SH. Saat ditanyai wartawan tentang ketidakhadiran Purek I Marwan Hamid, Mukhlis menyebutkan bahwa Marwan sedang rapat. Tak jelas rapat apa dan dengan siapa. “Untuk memastikannya, silakan telepon saja,” jawabnya singkat. Kata Mukhlis, pemberitaan soal terpilihnya Amiruddin Idris tidak benar seperti diwartakan sejumlah media pers. Alasan Mukhlis, kabar itu mungkin saja datang dari orang- oang yang kurang memahami proses pengambilan keputusan dalam suatu organisasi. “Panitia yang dibentuk pada pemilihan Rektor Umuslim itu terdiri dari orang-
orang yang berpengalaman di SE,MM (sekretaris). bidang birokrasi pemerintahan,” “Panitia telah bekerja secara bantah dia. profesional dengan memperItu sebabnya, jelas Mukhlis, siapkan dan membuat penguproses pemilihan Rektor Umus- muman tentang rekrutmen pemilim dimulai dengan rapat pem- lihan rektor, 11 Maret 2017 serbahasan mekanisme pemilihan ta menempelnya di areal kampus Rektor Umuslim. Ini sesuai den- induk, kampus timur, kampus gan Surat Ketua Yayasan Al- Ampon Chiek untuk menjadi inmuslim Peusangan Nomor: formasi bagi dosen-dosen yang 0 0 4 / YA P / I / 2 0 1 7 , tanggal 24 Februari 2017, perihal pemberitahuan berakhir masa perpanjangan jabatan Rektor, 31 Maret 2017. Lalu, Jumat, 10 Maret 2017, sekira pukul 10.00- 16.30 WIB, panitia menggelar rapat. Hadir dalam rapat itu seluruh Senat Umuslim (39 orang), termasuk unsur Yayasan Almuslim Peusangan. “Pada rapat itu, lahir kesepakatan yaitu menetapkan proses-prosDr Amiruddin Idris SE,M.Si es tahapan pemilihan, menyepakati syaratsyarat pencalonan Rektor Umus- ingin mencalonkan diri secara lim dan menyepakati tata tertib terbuka. “Pendaftaran calon pada pemilihan,” jelas Mukhlis. Sabtu-Senin 11-13 Maret 2017, Ditambahkan Muklis, Ketua pukul 8.30 WIB-16.00 WIB di Senat Dr. H. Amiruddin Idris Ruang Sekretariat Panitia PemiSE,M.Si pada 8 Maret 2017 lihan Rektor di Lantai II Biro Remengeluarkan Surat Keputusan ktor,” jelasnya. Rektor Nomor: 161/SK/UmusKemudian, sebutnya, pada lim/PP.2017 tentang pembentu- 13 Maret, pukul 16.15 WIB, pankan Panitia Pemilihan Rektor itia membuat Berita Acara Penuyang diketuai Dr. Marwan Hamid tupan Pendaftaran Calon Rektor M.Pd, Dra Zahara M.Pd (Wakil dengan jumlah pendaftar hanya Ketua) dan Chairul Bariah satu orang, yaitu Dr. H. Amirud-
din SE,M.Si yang didukung 29 anggota senat. Namun, katanya, pada pukul 17.30 WIB, Ketua Yayasan Almuslim Peusangan menyerahkan berkas calon rektor atas nama Dr. Marwan Hamid M.Pd kepada Zahara dan Chairul Bariah, dengan syarat kelengkapan tiga item dokumen yaitu; surat pernyataan kesediaan menjadi rektor tanpa materai, Surat Keterangan Tanda Lulusan S3 dari Universitas Negeri Medan (Unimed), surat pernyataan dukungan lima orang senat unsur yayasan. “Sedangkan persyaratan lainnya tidak dilengkapi sesuai pengumuman panitia. Bahkan, Marwan Hamid telah membuat surat dukungan atas nama calon Amiruddin Idris,” jelas Mukhlis. Nah, berkas hasil seleksi administrasi, sebut Muklis, diserahkan langsung Ketua Panitia Zahara kepada Ketua Yayasan Almuslim, H Yusri Abdullah S.Sos, disaksikan Ketua Pembina Yayasan Almuslim Peusangan, Selasa, 14 Maret 2017, pukul 14.15 WIB. Selanjutnya, tibalah pada tahapan penyampaian visi-misi calon rektor yang dilaksanakan, Kamis, 16 Maret 2017, pukul 8.30-12.00 WIB. Acara ini dihadiri 39 anggota senat. “Dalam rapat itu, memang kita akui ada saling berpendapat terhadap kenapa terjadinya calon tunggal. Namun, panitia pelaksana telah membacakan semua proses yang telah dilakukan,” sebutnya. Setelah sempat berhenti un-
6
MODUS ACEH
Fokus
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
tuk makan siang, rapat dilanjutkan pada pukul 14.00 WIB dan dihadiri 35 anggota senat. Dalam rapat itu, hampir seluruh anggota senat menyetujui rapat dilanjutkan dan secara aklamasi memutuskan/mendukung atau memilih kembali Amiruddin Idris sebagai Rektor Umuslim 2017-2021. “Berita Acara Pemilihan Rektor tersebut ditandatangani Marwan Hamid (ketua) dan Chairul Bariah (sekretaris panitia) serta saksi-sakis yaitu; Ketua Pembina Yayasan Almuslim Peusangan H. Anwar Idris (abang kandung Amiruddin Idris), Ketua Yayasan Almuslim Peusangan Yusri Abdullah, Ketua Pengawas Yayasan Almuslim Peusangan Tgk Kafrawi S.Ag dan Wakil Rektor III Umuslim/anggota senat Ir. Saiful Hurri, M. Si,” urainya. Terkait batas waktu seseorang menjabat sebagai Rektor Umuslim, Zulkifli S.Kom menyebutkan, Umuslim merupakan perguruan tinggi swasta dan tidak mempunyai batasan masa
jabatan untuk seorang rektor. “Itu juga sesuai statuta Yayasan Almuslim Peusangan,” ujarnya. Menurut Zulkifli M.Kom , tidak ada aturan yang dilanggar terkait dengan pemilihan rektor. Dalam waktu dekat, pihaknya akan segera melaporkan hasil pemilihan rektor ke Pendidikan Tinggi (Dikti) melalui Kopertis Wilayah 13, Aceh. Sementara, Marwan Hamid mengaku dirinya juga mendaftarkan pada pemilihan rektor itu. Namun, pendaftarannya sudah terlambat atau habis masanya. “Saya sudah terlambat mendaftar, itu pun diminta yayasan untuk mendaftar supaya tidak ada calon tunggal. Saya pun tak berencana mendaftar,” jelasnya singkat. Nah, lepas dari berbagai penjelasan Wakil Sekretaris Panitia Pemilihan Rektor Mukhlis Amu SE, MM yang jelas tak semua pihak mengaminkannya. Salah satunya, Munazir Nurdin, Ketua Alumni Umuslim. Menurutnya, tak ada aturan pemilihan rek-
tor bisa dipilih dua kali secara berturut-turut. Kalaupun ada, harus dalam musyawarah yayasan. Sebutnya, dalam statuta Umuslim Pasal 12 ayat (2) disebutkan, masa jabatan rektor empat tahun untuk satu periode dan dapat dipilih/diangkat kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua periode berturut-turut, kecuali atas kesepakatan yayasan dan senat dengan pertimbangan tertentu. “Nah, dalam hal ini, tidak disebutkan pertimbangan apa harus Amiruddin dipilih kembali,” jelasnya. Namun, dia mengakui, selama Umuslim di tangan Amiruddin Idris, perguruan tinggi swasta ini telah mampu go internasional. Tapi, dia menyesalkan karena Amiruddin tidak mendidik kader lain. “Secara pengkaderan di universitas, saya melihat hal itu tidak dilaksanakan atau Pak Amir gagal mendidik kader,” ungkapnya. Sementara itu, mantan Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh,
Prof. Dr. Yusni Sabi yang juga putra Peusangan ini menilai, sebagai lembaga akademis, harusnya pemilihan rektor Umuslim dilakukan secara fair dan terbuka dengan menjunjung tinggi etika serta budaya akademis. “Siapa pun bisa jadi rektor, tapi tunjukkanlah dengan jiwa besar akademis, itu yang penting sekali. Akademisi itu kan teladan, perguruan tinggi itu juga teladan. Jadi, siapa pun bisa menjadi rektor, harus sesuai dengan prosedur yang etis dan harus memenuhi etika akademis,” jelasnya pada MODUSACEH, Rabu pekan lalu, melalui sambungan telepon. Terbuka dan fair, sebut Prof Yusni, dapat diartikan dengan memberi kesempatan dan peluang yang sama kepada setiap orang. Bukan sebaliknya dengan cara-cara rekayasa dukungan dan aturan, sehingga dapat berjalan dengan baik dan lurus. “Kalau dilihat dari etika, rektor itu dijabat orang yang sama
selama dua periode. Di republik ini kan menganut sistem demikian, termasuk pemilihan Presiden. Setelah dua periode kemudian ganti dengan yang lain,” katanya. Ini juga terjadi di UIN ArRaniry dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), setelah dua periode, maka selesai—apakah rektor dan dekan. Kesempatan itu diberikan pada yang lain. Begitulah etika akademis perguruan tinggi yang berlaku di Indonesia dan peraturannya juga ada begitu,” tegasnya. Namun, diakui Prof Yusni, dia tak mempelajari statuta yang ada di Umuslim. “Tapi beginilah, walau tak ada aturan, kita bicara etika akademis, kurang pas rasanya jika sampai empat kali. Sepertinya, Peusangan dan Bireuen itu kurang sekali kader akademisi terbaik di Jakarta, Medan dan Banda Aceh. Padahal, cukup banyak yang bisa diminta pulang untuk mengabdi di sana,” ulas Prof Yusni. Ini kah yang disebut: digdaya Amiruddin Idris? Hayeu that!***
■ Kilas Balik
Jejak Universitas Almuslim Berdiri 1 Agustus 1985, Universitas Almuslim Peusangan, Kabupaten Bireuen, Aceh telah melahirkan puluhan ribu alumni. Kini, terus bergerak maju, setara dengan perguruan tinggi swasta lainnya di Aceh dan Indonesia.
J
IKA melintas di jalan nasional Banda Aceh-Medan, sesekali bolehlah Anda berhenti di Kota Matang Glumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen atau sekitar 265 kilometer arah timur Kota Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh menuju Sumatera Utara. Kota ini tak hanya dikenal sebagai penghasil berbagai buah-buahan segar seperti rambutan, mangga, jeruk bali serta sawo, juga dikenal dengan sate matang. Kota itu sarat dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, pendidikan serta agama. Nah, di kota ini pula, lahir satu perguruan tinggi swasta. Namanya Universitas Almuslim Peusangan. Universitas ini berdiri berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 02/D/O/2003, merupakan perubahan bentuk dari Sekolah Tinggi Pertanian, Sekolah Tinggi Ilmu
Keguruan dan Pendidikan, Akademi Manajemen Informatika dan Komputer, didirikan tahun 1986. Universitas Almuslim merupakan perguruan tinggi di bawah pembinaan Yayasan Almuslim Peusangan. Yayasan ini boleh disebut unik karena pemiliknya adalah masyarakat dari empat kecamatan, yaitu Peusangan, Jangka, Peusangan Siblah Krueng dan Peusangan Selatan. Itu sebabnya, setiap lima tahun sekali, masyarakat yang diwakili kepala desa, imuem meunasah dan imuem mukim bermusyawarah untuk memilih ketua yayasan. “Mungkin, inilah satu-satunya perguruan tinggi swasta di Indonesia yang melibatkan masyarakat secara langsung. Mayoritas yang terjadi adalah pemilik yayasan
selalu para pengusaha berduit. Tapi, Universitas Almuslim tidak. Bukan milik pribadi atau pengusaha tertentu,” begitu ungkap Dr. Amiruddin Idris, Rektor Universitas Almuslim. Tak hanya itu, Universitas Almuslim merupakan kampus yang sarat dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia dan Aceh. Maklum, di tempat inilah lahir Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). “Jadi, berjalan seiring antara gerakan perjuangan kemerdekaan dengan pemikiran dan pembaharuan kelompok intelektual Islam yang tergabung dalam PUSA,” ujar Amiruddin Idris. Berawal dari pemikiran Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dengan dukungan kalangan ulama dan Ulee Balang Peusangan, Ampon
Chik Peusangan (Teuku Chik Peusangan Muhammad Johan Alamsyah). Dari sanalah, titik awal bangkitnya sejarah dunia pendidikan di Peusangan. Tepat pada 21 Jumadil Akhir 1348 Hijriah, 24 November 1929, organisasi Jami’ah Almuslim yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan keagamaan terbentuk di Nanggroe (negeri) Peusangan. Ini berarti, dua puluh tahun lebih awal dari kelahiran Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta tahun 1949. Sepuluh tahun kemudian, terbentuklah satu wadah perkumpulan para ulama yaitu PUSA di Matang Glumpang Dua, Kecamatan Peusangan pada 5 Mei 1939 atau bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1358 H. Sejarah lahirnya Jami’ah Almus-
lim dan PUSA inilah yang kemudian menjadi lokus serta inspirasi bagi kelahiran Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini menunjukkan bahwa Universitas Almuslim melalui sejarah Jami’ah Almuslim Peusangan memiliki posisi sejarah yang khusus dan unik dibanding perguruan tinggi swasta dan negeri lainnya di Provinsi Aceh. Karena itu, wajar bila di tempat inilah pemikiran pendidikan Islam serta gerakan nasionalisme Aceh dilahirkan. Bahkan, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kabinet Indonesia Bersatu, Dahlan Iskan pernah memuji keunikan yayasan yang dimiliki masyarakat dari empat kecamatan di Kabupaten Bireuen ini. Karena alasan sejarah panjang itu pula, maka wajar pada usianya ke-12 tahun (15 Januari 2003-15 Januari 2015) lalu, Universitas Almuslim telah memiliki 13.354 mahasiswa aktif, 25 dosen tetap negeri dan telah melahirkan 18.607 alumni yang tersebar di berbagai daerah. Mereka juga telah bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Untuk melaksanakan proses perkuliahan, Umuslim memiliki 417 orang tenaga pengajar, terdiri 230 orang dosen tetap dan 167 dosen tidak tetap serta 20 dosen DPK (diperkerjakan) dari Kopertis XIIIAceh. Saat ini, terdapat 86 orang dosen yang sedang menyelesaikan studi strata (S) S2 dan S3 di berbagai universitas dalam dan luar negeri dengan beasiswa program pasca sarjana (BPPS) dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Ristek Dikti Republik Indonesia serta beasiswa dari Universitas Almuslim.***
MODUS ACEH
7 15 Rancangan Qanun Prioritas 2017
Parlementaria
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
menara news
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menetapkan 15 rancangan qanun (raqan) untuk dibahas dan menjadi qanun pada 2017. Azhari Usman emasuki 2017, berbagai program kerja strategis telah dipersiapkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Salah satu, program yang mendapat perhatian khusus legislatif adalah menampung usulan rancangan qanun sebagai program legislasi prioritas, baik usulan dari semua fraksi di DPRA maupun yang datang dari Pemerintah Aceh atau eksekutif. Nah, atas usulan tersebut, pimpinan DPRA telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK), Nomor 24/DPRA/ 2016 tentang penetapan Program Legislasi Aceh (Prolega) Prioritas tahun 2017. Surat keputusan itu ditandatangani Ketua DPRA, Tgk. Muharuddin, memaparkan ada 15 daftar Rancangan Qanun Prolega Prioritas tahun 2017. Dari 15 qanun itu, dua di antaranya diusul legislatif, yaitu Rancangan Qanun Aceh tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Rancangan Qanun Aceh tentang Himne Aceh. Sementara, 13 qanun lainnya diusul Pemerintah Aceh atau eksekutif yaitu Rancangan Qanun Aceh tentang perubahan atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Rancangan Qanun Aceh tentang Bantuan Hukum Fakir Miskin dan Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2012 tentang Perkebunan. Selain itu, rancangan Qanun Aceh tentang Pengelolaan Barang Milik Aceh, Rancangan Qanun Aceh tentang Penagihan Pajak Aceh, Rancangan Qanun Aceh tentang Irigasi, Rancangan Qanun Aceh tentang Tata Cara Pemberian Pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan, Mineral dan Batu Bara. Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Bentuk Hukum Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh Menjadi Perseroan Terbatas Pembangunan Aceh. Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Aceh. Rancangan Qanun Aceh tentang Kawasan Ekonomi Khusus, Rancangan Qanun Aceh tentang Lembaga Keuangan Syariah, Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Di samping itu, terdapat 10 Rancangan Qanun Aceh kumulatif terbuka tahun 2017. Artinya, qanun tersebut tidak menjadi prioritas, namun apabila sangat dibutuhkan, maka akan dibahas pada tahun ini.
M
Dari 10 rancangan qanun tersebut, terdapat tujuh rancangan qanun diusul pihak legislatif atau DPRA, yaitu Rancangan Qanun Aceh tentang Penyelenggara Keterbukaan Informasi Publik, Rancangan qanun Aceh tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kesehatan. Rancangan Qanun Aceh tentang Kawasan Bebas Rokok, Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan.
Iskandar Usman Al-Farlaky Ada lagi, Rancangan Qanun Aceh tentang Perlindungan Kebudayaan Situs Bersejarah dan Purbakala Aceh. Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanahan, Rancangan Qanun Aceh tentang Penanganan dan Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis. Sementara, yang menjadi usulan Pemerintah Aceh atau eksekutif adalah Rancangan Qanun Aceh tentang Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Rancangan Qanun Aceh tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu serta Rancangan Qanun Aceh tentang Kepemudaan. Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky S.HI memaparkan, dari 15 rancangan qanun yang masuk Prolega, semuanya ditargetkan untuk dijadikan qanun. “Nah, 15 rancangan qanun itu semua kita prioritaskan untuk dilembar-acehkan (qanunkan),” katanya saat ditemui media ini di sela-sela rapat paripurna di Gedung Utama DPRA,
Jalan Tgk Daud Beureueh, Kuta Alam, Banda Aceh, Jumat malam, 31 Maret 2017. Kata Iskandar, beberapa hari lalu atau sebelum masa reses (rehat sidang), anggota DPRA menggelar Rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPRA. Rapat itu disepakati, menetapkan pendistribusian penetapan qanun yang menjadi Prolega 2017 kepada semua komisi, panitia khusus (pansus) dan kepada Banleg. Lanjut Iskandar, kepada masing-masing komisi, diberi mandat untuk membahas sesuai bidang masing-masing. Komisi I misalnya, menangani persoalan hukum, akan diberikan rancangan qanun tentang hukum serta komisi-komisi lainnya. “Ada satu memang tidak kebagian yaitu Komisi V, karena terlambat mengajukan judul rancangan qanun. Kita sudah minta beberapa kali. Namun demikian, jika tidak ada qanun prioritas 2017 maka, akan dimasukkan pada 2018,” urai Iskandar. Iskandara menceritakan, tahun 2016 lalu, DPRA berhasil menuntaskan semua rancangan qanun yang masuk Prolega. Dari 15 usulan prioritas yang dibahas, semuanya telah menjadi qanun. Adapun qanun dimaksud; Qanun Nomor 6 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Qanun Nomor 10 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Qanun Nomor 13 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Nomor 3 tentang Pengendalian Sapi Kerbau Betina Produktif. Qanun Nomor 7 tentang Kehutanan Aceh, Qanun Nomor 9 tentang Pembangunan Olahraga Aceh. Qanun Nomor 4 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Qanun Nomor 8 tentang Sistem Jaminan Halal Aceh. Qanun Nomor 12 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Qanun Nomor 5 tentang Pembentukan Bank Syariah. Sementara, empat qanun lagi sudah ditetapkan, namun belum memiliki nomor
registrasi, yaitu Qanun tentang Dana Cadangan Pemerintah Aceh. Qanun tentang Retribusi Jasa Umum. Qanun tentang Retribusi Perizinan Tertentu, dan Qanun tentang Zakat, Infaq dan Sadaqah. “Itu semua sudah menjadi qanun, hanya empat ini yang belum ada nomor registrasinya,” jelas politisi Partai Aceh (PA) ini. Iskandar juga berjanji, jika dari 15 qanun yang masuk Prolega tahun 2017 tidak bisa dituntaskan semua, maka pada tahun 2018 akan diprioritaskan kembali untuk dibahas. Maka dari itu, ia mengharap, baik Banleg dan komisi serta pansus yang telah dibentuk dapat menggenjot pembahasan qanun ini sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, sehingga capaian dapat dilakukan seperti tahun sebelumnya. Anggota DPRA, kata Iskandar, akan terus bekerja secara profesional dalam membahas rancangan qanun yang menjadi Prolega 2017 dan ini sudah menjadi tugas pokok anggota DPRA, selain tugas lainnya yaitu pengawasan dan budgeting (anggaran). “Legislasi ini menjadi tulang punggung atau pagar utama lembaga DPRA, maka harus kita bahas secara profesional, sehingga melahirkan qanun yang berkualitas,” jelasnya. Tentunya, tambah Iskandar, dari capaian jumlah qanun yang sudah dihasilkan, DPRA belumlah merasa puas. Namun, ia berjanji akan lebih meningkatkan lagi rancangan qanun yang akan dijadikan Prolega tahun 2018 serta akan dibahas bersama Pemerintah Aceh. Alasannya, sebut Iskandar, Pemerintah Aceh telah mengakomodir setiap usulan dari dinas terkait dan sudah melalui seleksi dari Biro Hukum. “Kami berharap setiap qanun yang sudah dilembar-acehkan (menjadi qanun atau undang-undang), harus dijalankan Pemerintah Aceh, karena ini tugas kita bersama dan hasil pembahasan serta persetujuan bersama. Tentu yang mengeksekusi tetap pemerintah bukan DPRA. Kami hanya bertugas melakukan pengawasan sejauh mana qanun-qanun yang sudah disahkan itu dilaksanakan fungsinya oleh Pemeritah Aceh melalui satuan SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh) terkait,” papar Iskandar.***
Informasi Ini Kerjasama Tabloid Berita Mingguan MODUS ACEH dengan Sekretariat DPR Aceh.
8
MODUS ACEH
HUkum
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
■ Mempekerjakan Orang Asing
Edi Ratna Tersangkut di Meulaboh MODUS ACEH/Juli Saidi
Kejaksaan Negeri Aceh Barat sudah siap melimpahkan berkas tersangka ayah dan anak yaitu Edi Ratna dan Fandrik ke Pengadilan Negeri Meulaboh. Keduanya tersandung karena mempekerjakan lima orang asing. Juli Saidi di Ratna menjabat komisaris, sementara Fandrik, Direktur Utama PT Rezeki Sungai Mas. Nah, ayah dan anak ini, Kamis, 30 Maret 2017 lalu duduk berdekatan di ruang Kejaksaan Negeri (Kejari), Aceh Barat. Hari itu, penyidik Imigrasi Kelas IIB Meulaboh, Said Azhar, melimpahkan berkas Edi Ratna dan Fandrik pada kejaksaan. Itu lakukan karena berkas dua tersangka yang beralamat di Jalan Rahmadsyah Nomor C 1-2 RT/ RW, Desa Kota Matsumi, Kecamatan Medan Area, Sumatera Utara itu dianggap sudah lengkap. Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Aceh Barat, Ahmad Sahruddin, melalui Kasi Pidum, Mawardi SH, Jumat, 31 Maret 2017 menjelaskan, berkas tersangka Edi Ratna dan Fandrik sudah siap dilimpahkan ke pengadilan. Jelas Mawardi, dua pria
E
Edi Ratna dan Fandrik di Kejari Aceh Barat
beragama Budha itu dijerat dengan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011. Aturan yang disangkakan, Pasal 122 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke satu KHUP. Maka, berdasarkan undangundang tadi, Edi Ratna dan Fandrik diancam hukuman paling lama lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Penyebab Edi Ratna dijerat penegak hukum, karena mempekerjakan lima warga negara asing (WNA) tanpa izin kerja. Meskipun, lima WNA itu memiliki paspor, tetapi bukan paspor kerja, sebaliknya paspor kunjungan ke Indonesia. “Berkasnya sudah lengkap,” kata Kajari Aceh Barat Ahmad Sahr-
uddin melalui Kasi Pidum Mawardi SH, Jumat pekan lalu di ruang kerjanya. Mawardi menjelaskan, Edi Ratna dan Fandrik juga ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Meulaboh. “Sudah ditahan di Lapas Meulaboh,” ujar Mawardi. Sementara, lima WNA—satu asal Malaysia dan empat dari Republik Rakyat Tiongkok— bekerja sebagai teknisi dan merakit kapal PT Rezeki Sungai Mas milik Edi Ratna dan Fandrik. Kapal pengeruk emas di kawasan Tutut, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat yang dirakit lima WNA itu senilai Rp 1,4 miliar lebih. Cerita ini berawal dari PT Rezeki Sungai Mas menjalin kerjasama dengan Koperasi Putra Putri Aceh (KPPA) Meulaboh. KPPA itu bergerak di bidang pertambangan emas. Namun, PT Rezeki Sungai Mas tidak memiliki izin usaha pertambangan, yang memiliki izin adalah KPPA. Setelah kesepakatan tercapai antara KPPA dengan PT Rezeki Sungai Mas, Edi Ratna membeli kapal melalui trading di Malaysia. Kemudian, pihak trading Malaysia menghubungi perusahaan di Tiongkok untuk membeli kapal pengeruk emas seharga Rp 1,4 miliar lebih tersebut. Dari cerita itulah, lima WNA tadi berada di Indonesia, khususnya Aceh Barat pada September 2016. Lima WNA ini mendarat di Bandara Cut Nyak Dhien, Nagan Raya, lalu menuju Gampong Tutut, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat. Namun, nahas bagi lima WNA tersebut, 2 November 2016, tim Imigrasi melakukan investigasi. Sehingga, singkat cerita, lima WNA tadi diamankan dan berlanjut ke Pengadilan
hanya penerjemah bagi lima WNA tersebut. Siapa Edi Ratna? Sebenarnya ia bukan pemain baru di Aceh. Sebelumnya, untuk kelas Provinsi Aceh, Banda Aceh, Edi Ratna miliki CV Cahaya Aceh. Perusahaan itu bergerak bidang jasa pengurusan Surat Keterangan Jalan (SKJ) bagi kendaraan roda dua dan empat baru. Tak hanya itu, dialah satusatunya pengusaha biro jasa yang menerbitkan sertifikat tes praktik dan teori untuk pengurusan surat izin mengemudi (SIM). Dari SIM C hingga SIM BII Umum. Tanpa sertifikat tadi, mustahil Polres Banda Aceh mau menerbitkan SIM kepada pemohon. Disebut-sebut, dia (Edi Ratna) menjalin hubungan cukup baik dengan oknum dan pejabat di jajaran Polda Aceh, tak kecuali Dirlantas Polda Aceh saat itu, Kombes Pol. Indra Gautama. Entah itu sebabnya, ketika itu, sejumlah perwira menengah di Polda Aceh, khususnya jajaran satuan polisi lalu lintas mengaku,
Negeri (PN) Meulaboh. Lima terdakwa WNA juga telah divonis Majelis Hakim PN Meulaboh yaitu Muhammad Tahir SH (ketua), T. Latiful dan Muhammad Alqudri (anggota), dengan delapan bulan penjara, denda Rp 50 juta dan bila tidak membayar denda, lima Nama Lengkap : Edi Ratna Tempat/Tanggal Lahir : Medan/19 September 1963 WNA mendaUmur : 53 tahun pat satu bulan Kebangsaan : Indonesia hukuman kuTempat Tinggal : Jl. Rahmadsyah No. C 1-2 RT/RW, Desa rungan (subMatsumi, Kec. Medan Area sider). PutuAgama : Budha Status Perkawinan : Kawin san itu dibaPekerjaan : Komisaris Utama PT Rezeki Sungai Mas cakan dalam Pendidikan : SMA sidang, Jumat, 31 Maret 2017 Nama Lengkap : Fandrik lalu. Tempat/Tanggal Lahir : Medan/30 Maret 1991 Umur : 26 tahun Kelima Kebangsaan : Indonesia WNA itu dinTempat Tinggal : Jl. Rahmadsyah No. C 1-2 RT/RW, Kelurayatakan terhan Kota Matsumi, Kec. Medan Area bukti bersalah Prof, terkait izin tingSumatera Utara, Kota Medan Agama : Budha gal di IndoneStatus Perkawinan : Belum Kawin sia. Putusan Pekerjaan : Direktur Utama PT Rezeki Sungai Mas majelis hakim Pendidikan : SMA lebih ringan dua bulan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak berani mengusik Edi Ratna. Selain kuat, dia juga loyal terKejari Aceh Barat, Mawardi SH, Faizah SH dan Dedek Sumartha hadap pimpinan mereka. “SalahSuir SH. Sebab, JPU menuntut salah, kami bisa tergeser atau satu tahun penjara pada lima dimutasi ke bagian lain,” ungkap seorang perwira muda di DirlanWNA tersebut. Meski putusannya ringan, tas Polda Aceh, Lamteumen, lima WNA itu menyatakan ban- Banda Aceh. Sebelumnya, SKJ ini diterding pada majelis hakim. Berdasarkan pengakuan penerje- bitkan masing-masing Polres mah Marsudi, Jumat pekan atau wilayah hukum pemilik kenlalu di PN Meulaboh, lima daraan. Namun, kebijakan semWNA itu banding karena mera- pat ditarik ke Dirlantas Polda sa ditipu PT Rezeki Sungai Aceh di Lamteumen, Banda Mas, Edi Ratna. “Merasa di- Aceh. Kabarnya, pengambil-alitipu,” kata Marsudi. Namun, han ini atas dorongan Edi Ratna penerjemah itu enggan men- kepada Kapolda Aceh. Syahdan, jelaskan lebih lanjut. Alasan- Edi Ratna memang berteman nya bukan kapasitas dia dekat dengan jenderal purmemberi keterangan, karena ia nawirawan bintang dua ini.***
Di Balik Berita
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
9
■ Mendagri Setuju Mutasi SKPA
Ngeri! Abu Doto Fb Fadli Abdullah
Setelah membutuhkan waktu relatif panjang dan melelahkan. Polemik tentang sah atau tidak, pro dan kontra soal mutasi 33 kepala SKPA berakhir sudah. Ini terjadi setelah Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla turun tangan. Muhammad Saleh
Untuk Aceh harus berpegang teguh pada UUPA,” begitu tegas Wakil Presiden RI Jusuf Kalla atau akrab disapa JK pada Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto. Itu disampaikan arsitek perdamaian Aceh ini, saat bertemu empat mata di Kantor Sekretariat Wapres, Jakarta, Kamis pekan lalu. Pertemuan Abu Doto dengan JK bukan tanpa alasan. Ini disebabkan munculnya konflik panjang, terkait kebijakan mutasi yang dia lakukan Abu Doto. Maklum, ada 17 mantan kepada SKPA yang melawan dan protes. Mulai dari Banda Aceh hingga terbang ke Jakarta. Namun, Abu Doto tak gentar. Semangatnya kian bertambah, setelah bertemu dan mendapat ‘petuah’ dari JK. Nah, kepada JK, Zaini Abdullah juga melaporkan tentang kondisi Aceh, terkini. Salah satunya, membahas tentang polemik mutasi pejabat eselon II yang dilakukannya, Jumat 10 Maret 2017 lalu. Mendengar cerita Zaini, JK mengatakan bahwa persoalan mutasi pejabat SKPA memang harus berpegang teguh pada UUPA. Dalam pertemuan selama satu jam atau dari pukul 10.00 – 11.00 WIB itu, juga membahas revisi PP No: 5/2017 tentang KEK. Maklum, , Pemerintah Aceh sebagai pengusul, badan pembangunan serta pengelola Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe. Selain itu, Gubernur Zaini juga melaporkan situasi Aceh pasca Pilkada. Sumber media ini menyebut, setelah mendengar penjelasan dari Abu Doto, Wapres Jusuf Kalla langsung melakukan komunikasi dengan Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo. Kepada Mendagri, JK minta agar tidak
“
terlalu mencampuri urusan internal Pemerintah Aceh. Sebab, Aceh memiliki undang-undang khusus yaitu UUPA. Nah, menurut JK, UUPA itu pun tak didapatkan secara gratis dari pemerintah pusat, tapi melalui jalan panjang perdamaian, paska konflik 30-an tahun. Dan, JK merupakan arsitek utama dari proses perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia yang terwujud, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Demi menjaga perdamaian itulah, JK berpesan kepada Mendagri untuk memperhatikan dan menghargai kekhususan Aceh. Kecuali ada persoalan kenegaraan yang memang tidak bisa dikompromi. Mendapat wejengan dari JK, hari itu juga Tjahyo Kumolo menghubungi Abu Doto dan mengajaknya untuk bertemu. Sehari kemudian, Abu Doto pun ikut bersama Mendagri, meresmikan salah satu acara peresmian di Jakarta. Dan, keluarlah pernyataan dari Mendagri bahwa kebijakan mutasi yang dilakukan Abu Doto sah secara hukum dan aturan yang berlaku. Lantas, apa kata Mendagri? “Pak Mendagri mengatakan, pelantikan tersebut sah sesuai pesan tertulis maupun lisan,” kata Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Edrian pada media ini melalui telpon, Sabtu pekan lalu. Ini berarti, polemik mutasi pejabat SKPA yang dilakukan Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Jumat (10/3/2017) lalu, sah dan sesuai dengan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Sebelumnya, Jumat (31/3) Kabiro Hukum Edrian mendampingi Gubernur Aceh Zaini Abdullah bertemu dengan Menteri Tjahjo. Dikatakan Menteri Tjahjo, pelantikan atau mutasi 33 pejabat eselon II SKPA itu memang sudah kewenangan gubernur. Kecuali untuk pejabat eselon I harus ada persetujuan Presiden melalui Mendagri. Menteri Tjahjo juga menegaskan, bagi pihak yang tidak mau menerima pelantikan tersebut silahkan menempuh jalur hukum. Pertemuan tersebut dihadiri Mendagri dan didampingi Sekretaris Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri). Sementara dari Pemerintah Aceh dihadiri Gubernur Zaini Abdullah, didampingi Kepala Biro Hukum Pemerintahan Aceh Edrian, dua staf khusus gubernur, Fachrulsyah Mega, dan Aznal. Pendapat Mendagri sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, dalam wawancara khusus dengan MODUS ACEH, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, juga mengatakan pendapat serupa. Guru Besar Tata Negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, berpendapat, Mendagri tidak bisa membatalkan pejabat yang sudah dilantik. “Yang bisa hanya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” kata Prof. Yusril. Pendapat itu disampaikannya menjawab MODUSACEH.CO di kantornya, Lantai 19, Gedung Casablanca, Jakarta beberapa waktu lalu. Menurut Yusril, pergantian pejabat sepenuhnya menjadi hak
Gubernur Aceh dan itu sesuai amanat Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). “Apalagi, dia tidak terpilih pada pilkada lalu, sementara surat Mendagri lebih rendah dari UUPA. Yang bisa hanya melalui Pengadilan PTUN,” tegas Prof. Yusril. Dia mengusulkan, sebaiknya pejabat di daerah tidak latah dengan membawa semua persoalan di daerah ke Jakarta. “Bisa dibayangkan, pejabat yang ada sekarang tidak mengerti betul makna, isi dan suasana batin UUPA itu. Jadi, kacau semuanya,” tegasnya lagi. Namun, secara politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh bisa memanggil dan mempertanyakan masalah itu pada Gubernur Aceh. Ini sesuai dengan fungsi pengawasan yang ada. Selain itu, ada UU Nomor 10, memberikan kewenangan kepada gubernur untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat daerah. Hanya saja, ada aturan yang lebih spesifik, apalagi gubernur incumbent terpilih. Nah, di sana, memang ada larangan enam bulan sebelum dan sesudahnya, tidak boleh melakukan mutasi atau pergantian pejabat. “Kalau upaya DPR Aceh tidak efektif, upaya pembatalan hanya bisa melalui Pengadilan TUN. Mendagri tidak bisa membatalkan keputusan. Mendagri bisa membatalkan peraturan semisal Perda. Apalagi, filosofi merumuskan UUPA dan Qanun Aceh berbeda secara nasional. Itu merupakan transformasi dari aspek perdamaian. Karenanya, tidak segampang itu Mendagri
bisa membatalkan. Saya dari dulu tidak setuju,” sambungnya. Menurut dia, langkah yang bisa dilakukan DPR Aceh adalah dengan mempertanyakan alasan-alasan mutasi tadi dilakukan, kecuali ada pihak yang dirugikan secara personal dan menggugat ke PTUN supaya mutasi dibatalkan. “Dia yang mengajukan gugatan ke PTUN,” kata Yusril. Begitupun, sebut Prof. Yusril, saat mengajukan gugatan ke PTUN, lebih dulu diminta putusan provinsi supaya putusan tentang mutasi ditunda lebih dulu sampai ada putusan tetap. “Kalau di Aceh, tidak ada PTUN dan sidangnya melalui putusan PTUN Medan, itu tidak bisa dikasasi ke MA,” jelas dia. Dia memberi contoh mantan Gubernur Lampung, Syahruddin Pagar Alam, yang dinilai terlambat dan menghambat proses Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Lampung. Nah, dewan di sana mendesak agar Presiden memberhentikan. “Saat itu, saya Mensesneg dan menyatakan tidak setuju,” ucap Yusril. Itu sebabnya, jangankan kalah, tidak kalah pun dia bisa mengambil keputusan itu. “Jadi, ada dua langkah. Pertama, DPR Aceh bisa melakukan pengawasan. Kedua, lewat PTUN dan itu harus dimasukkan sebelum 60 hari sejak mutasi dilakukan,” saran Prof. Yusril. Begitupun, keputusan sudah diambil Mendagri Tjahjo Kumolo, terkait polemik mutasi SKPA. Dan, pemenangnya adalah; Abu Doto.***
MODUS ACEH
10
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
Sudut Kutaraja
■ Proyek BMEC Kota Banda Aceh
Gedung Megah Sarat Masalah MODUS ACEH/Dok
Diduga, proyek BMEC Banda Aceh sarat masalah, mulai dugaan tak punya amdal, IMB hingga temuan BPK RI. Azhari Usman etak Gedung Madani Education Centre (BMEC) Kota Banda Aceh memang cukup strategis. Lokasinya di kawasan Jalan T. Panglima Nyak Makam, Lampineung, Banda Aceh. Alokasi anggaran untuk proyek raksasa ini juga tak tanggung-tanggung. Diperkirakan, total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 150 miliar. Pengalokasiannya dilakukan tiga tahap, tahun 2015 misalnya, anggaran yang sudah dialokasikan Rp 35 miliar bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Otsus). Namun, siapa sangka, pembangunan Gedung BMEC Kota Banda Aceh itu ternyata tidak memiliki analisis dampak lingkungan (amdal) dan izin mendirikan bangunan (IMB). Padahal, syarat tersebut menjadi mutlak dipenuhi. Tentu tak hanya pembangunan proyek Pemerintah Kota Banda Aceh, masyarakat juga dituntut mengikuti aturan ini, misal membangun rumah, hotel dan rumah toko (ruko). Kepala Bidang (Kabid) Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota Banda Aceh (DLHK3), Cut Safarina Yulianti, membenar-
L
Gedung Madani Centre Banda Aceh
kan pembangunan BMEC tidak memiliki amdal. “Apapun itu harus ada, minimal surat pernyataan harus ada. Beda kalau rumah sakit,” kata Cut Safarina Yulianti, Kamis, 27 Maret 2017 lalu di Banda Aceh. Semestinya, kata Cut Safarina, untuk membangun Gedung BMEC harus memiliki amdal. Bahkan, Cut Safarina mencontohkan, pembangunan komplek yang di dalamnya terdapat banyak bangunan, namun untuk satu bangunan, amdalnya harus ada. “Kalau dari sisi lingkungan, lebih ke gedung dioperasikan sebagai apa, mau dimanfaatkan untuk apa. Misalnya, walau tidak semua satu bangunan dulu harus ada,” ujar Cut Safarina. Lanjut dia, sebelum pembangunan BMEC Banda Aceh dimulai oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Banda Aceh, Dinas PU telah mendatangi pihak DLHK3 dan mempertanyakan terkait amdal pembangunan BMEC terse-
but, termasuk bertanya apakah proyek itu dibangun sekaligus. “Ketika itu, saya tanyakan apa sekali bangun. Mereka jawab, ‘Tidak, dana saja belum jelas’,” kata Cut Safarina. Itu sebabnya, karena tidak jelas, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Banda Aceh tidak bisa mengeluarkan amdal. “Seharusnya, sebelum dibangun, harus ada amdal, minimal ada dokumen mau dibangun apa. Ini dokumen saja kami tidak punya,” Cut Safarina menegaskan. Begitupun, kata Cut Safarina, sesuai surat edaran Menteri Lingkungan Hidup, mulai November 2016, kalau bangunannya sudah dibangun, amdal bisa diurus menyusul. “Di sisi aturan, memang bagi perusahaan besar yang berdampak bagi masyarakat, seperti pabrik kelapa sawit yang membuang limbah, jangan mencemari lingkungan, merusak sungai. Kalau ini kan menja-
ga lingkungan,” sebutnya. Untuk itu, ia meminta agar Dinas PU Kota Banda Aceh dan pengusaha lain untuk memanfaatkan momentum surat edaran Menteri Lingkungan Hidup ini dan segera mengajukan dokumen pembuatan amdal, sehingga tidak menyalahi aturan. Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur, mengatakan informasi yang ia terima dari Komisi Amdal, pembangunan Gedung BMEC yang hampir seleasai ini memang tidak pernah ada pembahasan amdal. Bahkan, jangankan amdal yang sudah wajib, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantau lingkungan tidak pernah dibaca. “Amdal itu dibuat pada tahap perencanaan. Jadi, sebelum pembangunan, amdal itu harus ada. Selemah-lemahnya, satu bangunan harus ada itu,” kata Muhammad Nur di Kantor Walhi Aceh, Lambhuk, Banda Aceh,
Rabu pekan lalu. Muhammad Nur melanjutkan, selain tak memiliki Amdal, proyek gedung BMEC Kota Banda Aceh itu juga diduga tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Menurutnya, IMB BMEC itu masih dalam pengurusan. Tetapi, tegas Muhammad Nur, IMB gedung tersebut tidak akan disetujui kalau rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantau lingkungannya belum jadi. “Syarat administrasi pembangunan ada tahapannya, acuan pembangunan, baru naik pada pengurusan amdal. Hak status lahan, kita tahu lahan itu kan milik Pemerintah Aceh karena bekas sekolah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Kita tidak tahu juga pembangunan hibah ini sudah selesai atau belum karena dokumennya tidak bisa diakses publik,” jelas Muhammad Nur, Rabu pekan lalu. Karena itu, Muhammad Nur menduga, dari awal pembangunan BMEC, tidak memenuhi aspek hukum. Sebab, kalau ada pelimpahan pengelolaan SMK, itu harus ada pengumuman pada publik dari SMK menjadi gedung apa. “Itu diwajibkan untuk memberikan pengumuman pada masyarakat, mengingat dana itu bersumber dari dana negara, bukan dana bantuan,” tegas Muhammad Nur. Ia juga mengakui, untuk bangunan yang luasnya lima hektar, maka wajib ada amdal sesuai Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 25 Tahun 2012 dan UndangUndang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Pengendalian Lingkungan Hidup (PPLH). Artinya, sambung Mu-
MODUS ACEH
Sudut Kutaraja hammad Nur, yang dilanggar adalah UU dan Permen tentang izin lingkungan dan kegiatan yang wajib amdal terkait pembangunan Gedung BMEC Kota Banda Aceh itu. Alasanya, karena Permen dan UU telah dilanggar, maka Muhammad Nur menyarankan agar aparat penegak hukum, baik polisi maupun Kejaksaan Negeri Banda Aceh, mengusut kasus pembangunan BMEC itu kepada pihak-pihak yang diduga terlibat. “Semua orang tahu pembangunan itu kenapa hilang dari pantauan, dalam kota saja pembangunan bisa hilang kendali, apalagi jauh dari pantauan. Di pinggir mata saja hukum bias dilanggar, apalagi di hutan,” kata Muhammad Nur. Menurutnya, untuk pemeriksaan kasus tersebut, dimulai dari Bapedal Kota Banda Aceh. Kemudian, dijadikan sebagai pokok perkara yang diserahkan pada polisi atau jaksa. “Kami dari Walhi mendorong justru proyek ini harus diusut dengan memenuhi tahapan dan prosedurnya. Kami juga minta proyek itu dihentikan,” ujar Muhammad Nur, Rabu pekan lalu. Ia juga mencurigai, ada dug-
aan permainan terencana dalam proyek BMEC tersebut. Karena, menurut Muhammad Nur, semua informasi tentang proyek dimaksud tidak bisa diakses oleh publik alias sangat tertutup. Bukan hanya itu, Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, juga terlihat diam dalam dugaan berbagai kesalahan terkait proyek megah tersebut. “Ini kan proyek sangat tertutup. Walaupun ini bisnis daerah yang menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun aspek hukum juga wajib dipenuhi, apalagi proyek punya swasta,” jelas Muhammad Nur. Kabid Penataan Bangunan dan Jasa Konstruksi, Muhammad Yasir, membenarkan pembangunan Gedung BMEC belum memiliki amdal. “Memang amdal belum punya,” kata Muhammad Yasir di ruang kerjanya, Kantor Dinas PU Kota Banda Aceh, Jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango, Kamis pekan lalu. Yasir menjelaskan, pembangunan Gedung BMEC itu berbentuk komplek, luas tujuh hektar. Di dalamnya, terdapat gedung besar yang sedang dibangun. Maka, nantinya ada dua sekolah
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
Muhammad Yasir
yaitu SMK Negeri 5 Telkom Banda Aceh dan Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 12 Banda Aceh, serta terdapat satu hotel mewah yang akan dibangun dalam komplek itu. Karena tidak mencukupi anggaran, maka proses pekerjaan dibagi dalam tiga tahap, yang nilai totalnya mencapai Rp 150 miliar. “Saya tegaskan, proyek pembangunan BMEC ini kita tender (lelang), jadi tidak betul penunjukan langsung (PL). Dan, kalau proyek ini bisa terwujud, maka satu-satunya proyek yang megah di Aceh telah ada,” sebut Muhammad Yasir. Namun, kata Yasir, persoalan muncul karena dalam pembangunan Gedung BMEC itu tidak memiliki amdal. Lanjut Yasir, itu
disebabkan tidak adanya minat dari kontraktor dalam pengadaan amdal. Masih penjelasan Muhammad Yasir, mengingat dalam pembuatan satu amdal harganya Rp 400 juta lebih, maka pekerjaan pembuatan amdal harus melalui pelelangan (tender). Namun, sambungnya, hingga proyek BMEC dikerjakan, tidak ada satu pun kontraktor yang mengikuti tender. Tambah Muhammad Yasir, karena semua dokumen pekerjaan BMEC sudah siap dan akan dikerjakan oleh kontraktor, maka tidak mungkin ditunda mengingat dana pembangunan BMEC bersumber dari Dana Otsus yang harus dikerjakan secepatnya. Begitupun, ia berjanji akan melakukan tender ulang terhadap proyek pengadaan amdal pada tahun ini. “Saya pastikan tahun 2017 ini kita tender lagi untuk pengadaan pekerjaan amdal, apalagi ada surat edaran dari Menteri Lingkungan Hidup. Apabila bangunan yang tidak mempunyai amdal, walau bangunan itu telah dibangun tidak menjadi masalah, namun wajib memiliki amdal,” jelas Yasir.
11
Terkait tidak adanya izin mendirikan bangunan (IMB) pada BMEC, juga diakui Yasir. “IMB juga kita belum punya. Itu kan butuh anggaran juga,”kata Yasir. Lagi-lagi, Muhammad Yasir juga berjanji pada 2017 ini akan melengkapi semua dokumen yang diperlukan dalam pembuatan IMB pada pekerjaan BMEC. “Sekarang kita fokus pada Gedung Madani Center saja dulu, baik pada pembuatan amdal maupun IMB. Karena anggarannya juga banyak kita butuhkan, maka tidak mungkin sekalian kita urus,” terang Yasir. Tak hanya soal tidak ada amdal dan IMB. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Aceh, dalam laporan BPK tahun 2016, ditemukan indikasi kerugian negara. Ini terkait penambahan item sewa scaffolding (rangka penyangga) Rp 1,6 miliar lebih dan kelebihan pembayaran untuk item pekerjaan bekisting Rp 202 juta lebih pada proyek pembangunan gedung tersebut. Namun, semua indikasi kerugian negara tadi sudah dilunaskan kontraktor pelaksananya, PT BAK.***
Haba Senator
Ke Eropa Timur DPD RI Promosikan Sabang dan Simeulue FOTO: IST
Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) asal Aceh, Fachrul Razi MIP dan anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSP) DPD RI beserta rombongan mengunjungi Gedung Senat Polandia di negara Polandia, 20 sampai 25 Maret 2017.
P
ada kunjungan itu, Fachrul Razi MIP mempresentasikan dan mengkampanyekan potensi pariwisata serta pantai luar biasa indah yang dimiliki Pulau Sabang dan Pulau Simeulue. Tak hanya itu, Fachrul Razi juga mempromosikan potensi sumber daya alam (SDA) Sabang dan Simeulue yang sangat luar biasa. Menurutnya, ini semua merupakan pintu gerbang terdepan wilayah barat bagi Indonesia. Jika benar-benar Indonesia serius, maka Sabang akan menjadi pusat transit di Asia Tenggara. Sebab, jika Terusan Kra di Thailand akan dibuka, tentunya Sabang akan menjadi pusat transit antara penghubung Laut Cina Selatan dengan Samudera Hindia. “Potensi ekonomi, politik maritim dunia ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin,” jelas Fachrul Razi. Secara historis, sambung Fachrul Razi, Sabang memang dikenal karena pelabuhannya. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Teluk Sabang telah melayani kapal-kapal besar dari benua Eropa, Afrika, dan Asia. Pemerintah kolonial Belanda melihat potensi Sabang. Bahkan, menurutnya, pada tahun 1881, Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Kolen Station di Teluk Sabang yang terkenal dengan pelabuhan alamnya. “Sebagai Senator asal Aceh yang juga anggota DPD RI, membidangi kerja sama Parlemen Dunia dan Hubungan Internasional, menjadi kewajiban bagi saya mengkampanyekan Sabang dan Simeulue ke berbagai negara di belahan dunia. Potensi yang dimiliki tak kalah dari tempat wisata tersohor di luar negeri, tinggal dikelola dengan baik saja”, ujar politisi Partai Aceh (PA) itu. Ia juga berharap, sesuai Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Sabang Menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pela-
buhan Bebas di Wilayah Indonesia Bagian Barat telah memberi kesempatan kebebasan bagi perkembangan kawasan wisata setempat. Namun, rendahnya promosi yang dilakukan pemerintah daerah (pemda) dan juga minimnya insfrastruktur serta fasilitas wisata yang masih belum akomodatif menjadi salah satu faktor terkendalanya perkembangan pariwisata di dua pulau itu. Karenanya, kepada pemerintah agar lebih peduli dalam menyediakan fasilitas wisata, sehingga bisa memperkenalkan sebagai destinasi wisata yang aman dan nyaman bagi warga Eropa khususnya Eropa Tengah dan Eropa Timur. Sabang memiliki luas 156,3 km² dengan puncak tertinggi 617 meter di atas permukaan air laut. Ujung barat negeri Indonesia ini merupakan salah satu potensi wisata yang memiliki daya tarik mendunia. Sehingga, untuk mencapai Sabang, dapat menempuh perjalanan langsung menggunakan penerbangan dari kota Medan atau juga dari Aceh yang terlebih dahulu menyeberang dengan kapal. Kalau melalui penerbangan langsung, maka dari Bandar Udara Kualanamu, Medan menggunakan maskapai Garuda Indonesia. Selain parawisata, sambung Fachrul Razi, Sabang juga memiliki potensi dalam pengembangan kawasan Sabang sebagai international hub port and transshipment (pelabuhan internasional dan lokasi singgah kapal). Kesiapan Sabang, menurutnya, sebagai vocal point (harus disuarakan) sebagai kawasan maritim di Aceh yang juga sejalan dengan konsep poros maritim atau marine transportation connectivity yang dilakukan Presiden RI Joko Widodo. Fachrul Razi memaparkan potensi Kawasan Sabang dan Pulau Simeulue akan datang menjadi destinasi yang direncanakan sebagai pelabuhan berkelas internasional dan transshipment (alih
kapal). “Potensi Simeulue, selain memiliki wisata alam dan pantai yang luar biasa, Simeulue telah ditemukan cadangan migas yang amat besar perairan timur laut Pulau Simeulue, Aceh. Bahkan, diperkirakan yang terbesar didunia, yakni 320,79 miliar barel. Artinya, menurut Fachrul Razi, Simeulue berpotensi sebagai pulau terkaya di Indonesia di masa depan jika benar-benar potensi ini dimanfaat untuk rakyat Simeulue dan rakyat Aceh,” ungkap Fachrul Razi Selain mengkampanyekan Sabang dan Simeulue, dalam kunjungannya sejak tahun 2015 sampai 2017 di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Swiss, Swedia, Rusia, Belarusia, Romania dan Polandia, Fachrul Razi juga mengkampanyekan kualitas kopi Gayo Aceh yang saat ini memiliki produksi tinggi di wilayah dataran tinggi Gayo. “Perkebunan kopi yang telah dikembangkan di daerah tinggi tanah Gayo tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia yaitu dengan luas sekitar 81.000 hektar. Masing-masing 42.000 hektar
berada di Kabupaten Bener Meriah dan selebihnya 39.000 ha di Kabupaten Aceh Tengah,” jelas master ilmu politik Universitas Indonesia (UI) itu. Lanjut Fachrul Razi, pengembangan kopi Gayo Aceh dapat dilakukan oleh rakyat Aceh sendiri tanpa harus hilang identitas aslinya. Selama ini, nama kopi Gayo telah berubah menjadi nama lain setelah dijual via Medan dan Padang. Bahkan, menurut Fachrul Razi, saat ini, masih ada yang berkantor di Medan dan Padang. “Perusahaan-perusahaan ini merupakan pemasok kopi ke pasar dunia, seperti Starbucks, Paul dan pasar fair trade. Kopi berasal dari Gayo, namun yang punya nama perusahaan luar atau daerah luar Aceh. Dia berharap, ke depan, rakyat Aceh dapat bangkit dengan potensi Kopi Gayo yang dapat dikelola sendiri dengan pasar ke negara-negara di Eropa. Demikian juga dengan potensi Sabang dan Simelue yang merupakan potensi investasi Aceh masa depan. “Jika ke depan Aceh gemilang, Indonesia akan bangkit dan menjadi negara yang makmur,” kata putra Lhoksemawe tersebut.***
12
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
Opini
TENTANG KISAH DANA ASPIRASI N
yaris sepi bukan berarti tak berbunyi. Cerita tentang dana aspirasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh 2017 kembali menuai kisah. Ini bukan soal patut atau tidak, tapi lebih pada siapa dekat dia dapat. Berbeda dengan tahun 2015-2016 yang relatif ‘ricuh’ dan kasak-kusuk. Alokasi dana aspirasi wakil rakyat (DPR Aceh) 2017 ini, nyaris ditelan isu pilkada yang berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) dan ‘sengketa’ soal sah atau tidak, pengangkatan sejumlah Kepala Satuan Ker-
ja Perangkat Aceh (SKPA), yang baru berakhir Sabtu pekan lalu setelah adanya penegasan dari Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Namun, bukan berarti tak bertalian antara satu tahun dengan tahun berikut atau 2017. Toh, persoalan tetap pada bagi-bagi ‘kue’ untuk dan atas nama dana aspirasi untuk rakyat. Seperti tahun-tahun sebel-
umnya, jatah ‘preman’ ini pun jumlahnya tak sedikit. Bayangkan, dari sederet SKPA yang menjadi ‘rumah singgah’ bagi
Utama
MODUS ACEH
Utama anggota DPR Aceh dalam menitipkan fulusnya, tercatat tak kurang Rp 900 miliar lebih dari total APBA 2017, Rp 14,5 triliun terkuras untuk dan atas nama dana aspirasi anggota DPR Aceh. Sebatas ini tentu tak soal. Sebab, untuk bisa meraih kursi terhormat tadi pada Pileg 2014 lalu, mereka pun tak mendapatnya secara gratis. Walau pemilu disebut-sebut bebas dan rahasia, tetap saja ada buah tangan (fulus) dan janji-janji yang harus mereka bawa saat bertemu konstituen atau masyarakat. Itu sebabnya, salah satu cara mereka bisa ‘menarik’ kembali modal yang telah keluar dan menuaikan janjinya, tentu melalui program dana aspirasi yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang tinggal menghitung tahun serta akan segera berakhir. Selain itu, bukan tak mungkin akan terjadi tumpang tindih program dan anggaran dengan alokasi dana rutin yang tersedia pada setiap SKPA. Sinyalemen ini tentu saja
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
bukan asal ucap. Sebab, sempat pula terjadi tarik-menarik kepentingan saat pembahasan APBA 2017 lalu. Kembali sedikit ke belakang, pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2017 sebetulnya juga sempat tak menuai titik kesepahaman antara eksekutif diwakili Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Mayjen TNI (Purn) Soedarmo versus anggota DPR Aceh. Dua pihak yang bertanggungjawab ini sempat bersitegang pada argumen masing-masing. Bahkan, Ketua DPRA, Teungku Muharuddin, saat itu sempat berujar, pihaknya menunggu satu tahapan pembahasan, yakni Rencana Kerja Anggaran. Jika ini selesai dibahas, maka bersama eksekutif dan legislatif, APBA 2017 segera disahkan menjadi qanun. Di sisi lain, saat itu Plt Gubernur Aceh Soedarmo meminta APBA 2017 dapat disahkan pada 17 Januari 2017. Jika tidak dapat disanggupi DPR Aceh, maka Soedarmo akan mengeluarkan peraturan gubernur (pergub).
Dengan demikian, anggaran Aceh tahun ini akan menggunakan perhitungan yang sama dengan anggaran di tahun 2016. Itu sebabnya, berdalih untuk mengevaluasi poin demi poin anggaran, sebetulnya yang terjadi adalah saling tawar-menawar memasukkan dana aspirasi yang nominalnya cukup membuat mata terbelalak. Bayangkan saja, Ketua DPR Aceh misalnya, akan mengelola dana Rp 40 miliar, diikuti wakil ketua Rp 25 miliar dan masing-masing anggota Rp 11 miliar. Ini juga belum termasuk dugaan “usulan siluman” pada setiap SKPA yang nilainya mencapai ratusan miliar. Dana inilah yang ditentang Pemerintah Aceh, sehingga akhirnya DPR Aceh terkesan ogah-ogahan dalam membahas APBA 2017. Memang, Gubernur Zaini Abdullah beberapa kali menolak anggaran siluman ini dimasukkan. Di awal-awal masa kepemimpinannya, anggaran dengan jumlah yang tak sedikit ini juga sarat masalah dan nyaris tidak
dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Aceh. Alih-alih menjadi instrumen pemberdayaan, dana yang besar ini juga menjadi alat bajakan bagi sekelompok orang saja. Akibatnya, muncul sikap untuk saling menyandera antara eksekutif versus legislatif. Praktik saling menyandera ini jelas tidak baik bagi alam demokrasi dan pembangunan daerah. Karena saat dua “gajah” berkelahi, apapun yang berada di tengah-tengah mereka akan menjadi korban. Begitupun, ibarat kata pepatah, tak ada hujan yang tidak reda dan tak ada perbedaan pendapat yang tidak berakhir dengan penyelesaian. Kata kuncinya adalah ketika dua kepentingan berbeda dapat terpenuhi secara merata, maka apapun perbedaan sebelumnya pasti akan bermuara pada satu kesepahaman, termasuk persoalan alokasi dana aspirasi anggota DPR Aceh pada APBA 2017.
13
Lantas, bagaimana dengan postur dana aspirasi anggota DPR Aceh 2017? Menariknya, tak sedikit pula bantuan yang disalurkan dalam bentuk dana segar alias cash. Itu terlihat pada bantuan modal usaha dan beasiswa S1, S2 dan S3, yang kalau ditilik lebih jauh, penerimanya juga kaum berada. Terkait soal bantuan dalam bentuk proyek, ini pun tak jelas. Sebab, ada bantuan yang jumlahnya di bawah Rp 500 juta. Padahal, ketentuan usulan kegiatan Dana Otsus sudah sangat jelas yaitu minimal Rp 500 juta ke atas. Ini diatur dalam Pergub Nomor 79 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Pergub Aceh Nomor 79 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan TDBK Migas dan Otonomi Khusus. Lalu, kenapa saja dana aspirasi anggota DPR Aceh 2017 mengalir dan siapa saja penerimanya? Wartawan MODUS Saleh, ACEH, Muhammad Saleh menulisnya untuk Liputan Utama pekan ini.***
14
MODUS ACEH
utama
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
BERSERI NIKMATI DANA ASPIRASI koranbireuen.com
FOTO: FB
Hasan Basri M.Nur
Pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2017 sempat tak mencapai kesepahaman. Dua pihak yang bertanggung jawab, eksekutif dan legislatif bertahan pada argumen masing-masing. Lantas, menjadi cair setelah Rp 904,6 miliar lebih fulus mengalir untuk dana aspirasi anggota DPR Aceh. Siapa saja yang menikmati?
elajar pada tahun anggaran 2015-2016 lalu, alokasi dana aspirasi anggota DPR Aceh memang sempat melahirkan gonjang-ganjing dan nyaris menuai banyak kritik dari masyarakat. Maklum, selama ini wakil rakyat terhormat itu memang getol memperjuangkan dana aspirasi dengan dalih untuk konstituen di daerah pemilihan. Nyatanya, alih-alih untuk tim sukses, dana aspirasi tahun 2015-2016 lalu itu justru mengalir bukan pada daerah mereka memperoleh suara. Berbeda dengan tahun ini, pembahasan dan penyalurannya justeru terkesan adem ayem dan biasa-biasa saja. Entah karena masyarakat tak tahu atau memang sudah diatur sedemikian rupa, sehingga nyaris tak terdengar hingga keluar Gedung DPR Aceh. Nah, sesuai dokumen yang diperoleh media ini menyebutkan, dana aspirasi berada pada pos bantuan yang dititipkan
B
Akmal anggota dewan pada sejumlah Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Mulai dari bantuan dalam bentuk proyek hingga bantuan tunai. Menariknya, ada kesan alokasi dana tadi tumpang tindih dengan program SKPA tersebut. Untuk pembangunan rumah kaum dhuafa dan pesantren, tentu tak jadi soal. Namun, yang perlu ditelisik lebih dalam adalah, bantuan dana tunai untuk beasiswa S1, S2 dan S3. Maklum, selain tak memiliki kreteria yang jelas dan terbuka pada publik tentang jati diri penerima, apakah dari kaum miskin atau tidak, patut diduga, si penerima juga bukan atas dasar kebutuhan, tapi karena kedekatan dengan anggota dewan. Bahkan, ada pengakuan, dana yang mereka terima tidak seutuhnya, seperti yang tertera dalam daftar bantuan. “Saya terima tahun ini yang kedua Rp 20 juta. Tapi, yang sampai pada saya Rp 5 juta. Ndak masalah, itu pun sudah bersyukur mau dibantu,” ungkap seorang mahasiswa S1 asal Kota Lhokseumawe yang kini menempuh pendidikan di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Pengakuan serupa juga disampaikan salah seorang mahasiswa S2 di Unsyiah. Dia mendapatkan Rp 10-15 juta dari total dana yang tertera, Rp 40 juta. “Lumayan untuk beli buku dan bayar uang kos,” sebut mahasiswa asal Aceh Timur ini. Selain itu, ada alokasi dana aspirasi anggota DPR Aceh yang justeru disalurkan bagi pemberdayaan SKPA. Padahal, niat dan tujuan awal mereka untuk masyarakat di daerah pemilihannya. Sebut saja, pengadaan dan pengolahan buku ilmu pengetahuan umum untuk perpustakaan Aceh di Banda Aceh, Rp 2 miliar dan pengadaan rak buku untuk perpustakaan Aceh, Rp 1 miliar. Nah, program ini berada pada Dinas
Perpustakaan dan Arsip Aceh. Ada lagi, pengadaan mesin dry clean dan loundry untuk kelompok usaha Best Dry Clean and Premium Loundry, Desa Lambhuk, Banda Aceh, Rp 700 juta. Termasuk pengadaan mobiler sekolah SMA di Lhokseumawe. Namun, tak disebutkan SMA mana? Dan yang jadi soal, bukankah dalam program bantuan mobiler juga sudah ada anggaran di Dinas Pendidikan Aceh? Hanya itu? Tunggu dulu. Ada juga alokasi dana aspirasi anggota DPR Aceh untuk pembangunan jetty di Lhok Kuala Giging, Aceh Besar, Rp 3 miliar. Padahal, sebelumnya proyek ini sempat menuai masalah (lihat tabel). Terkait soal bantuan tunai bea siswa S3. Tersebut sejumlah penerima, misal Hasan Basri M.Nur, dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh (S3) di Malaysia, Basri A. Gani (Kedokteran Gigi) di Universitas Indonesia, Dr. Murdani (Obstetri dan Genekologi) Unsyiah, Akmal S.Sos, MA, dosen Unimal Lhokseumawe dan mantan kepala dinas di Pemkab Bireuen, Rp 40 juta serta Ahyar (S3) di Universitas Merdeka Malang. Mereka masing-masing mendapat bantuan dana aspirasi Rp 75 juta. Nama Ahyar yang juga Universitas Abul Yatama Aceh ini, juga tercatat sebagai penerima dana aspirasi di tahun yang sama (2017), Rp 50 juta melalui Dinas Pengembangan Sumber Daya Manusia Aceh. Tanda tanya besar juga terarah pada Dinas Pemuda dan Olahraga yaitu ada program renovasi Bumi Perkemahan Pramuka Seulawah, Aceh, Rp 5 miliar dan program minat baca di Aceh, Rp 1 miliar pada Dinas Perpustakaan dan Arsip Aceh. Untuk Sekretariat DPR Aceh, tercantum juga dana aspirasi anggota DPR Aceh untuk kegiatan Parlementaria, Rp 500
MODUS ACEH/Dok
Ahyar juta. Padahal, program ini sudah dialokasikan pada dana rutin. Disusul program publikasi dan promosi Sekretariat Baitul Mal Aceh, Rp 500 juta. Publikasi dan promosi wisata dan budaya Aceh pada media cetak, Rp 20 pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Program serupa juga tercatat di Dinas Pangan Aceh, Rp 450 juta, Bappeda Aceh, Rp 300 juta dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, Rp 300 juta. Dan yang sangat fantastis justeru terjadi di BLUD RSUZA Banda Aceh. Untuk publikasi kegiatan di media, ada dana aspirasi anggota DPR Aceh, Rp 1 miliar. Gila! Dosen Unimal Lhokseumawe Akmal S.Sos. MA saat dikonfirmasi media ini mengaku memang ada memasukkan proposal bantuan dana aspirasi untuk pendidikan S3 di Unsyiah. Proporal itu disampaikan pada Azhari Cage, anggota DPR Aceh dari Fraksi Partai Aceh. “Memang ada saya masukkan. Tapi, saya belum mendapat konfirmasi apakah dibantu atau tidak,” jelasnya. Pengakuan serupa juga disampaikan Ahyar dan Hasan Basri M. Nur. Keduanya mengaku mendapatkan dana aspirasi dari wakil pimpinan DPR Aceh, Sulaiman Abda. “Betul, tahun lalu saya juga mendapatkan Rp 50 juta dari Pak Jamaluddin T.Muku,” ujar Ahyar dan Hasan Basri. Terkait alokasi dana aspirasi anggota DPR Aceh untuk publikasi media, juga diakui Direktur RSUZA Banda Aceh dr, Fachrul Djamal. “Betul, itu dana aspirasi dari Samsul Bahri alias Tiong, anggota DPR Aceh dari PNA. Tapi, saya pusing, soalnya gelondongan begitu,” ungkap Fachrul Djamal, pekan lalu. Begitu mudahkah? Entahlah, yang pasti mereka masuk dalam barisan berseri, penerima dana aspirasi anggota DPR Aceh. Selamat!***
MODUS ACEH
utama
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
15
■ Kilas Balik
DANA ASPIRASI TAK PERNAH ‘MATI’ lintasgayo
Ketika itu, Zainuddin benar-benar kesal. Ketua Komisi III DPRA ini memang pantas kecewa. Maklum, program aspirasinya tak tertampung dalam dokumen Perubahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2015. Persis di depan pintu ruang kerja Ketua DPRA Tgk Muharuddin, Zainuddin melampiaskan rasa kecewanya. Tinjau Pembangunan Masjid di Tebes Lues
“
Pada APBA murni hilang empat miliar. Diusul lagi dalam anggaran perubahan, Rp 3,7 miliar juga tak tertampung,” ungkapnya, Senin, 12 Oktober 2015. Saat dikonfirmasi ulang, Zainuddin membenarkan itu. Nah, 4 Oktober 2015, eksekutif-legislatif memang sudah mengambil kesepakatan setelah sebelumnya melakukan sinkronisasi dan rasionalisasi Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Perubahan dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan 2015. Dari total Rp 12,7 triliun belanja Aceh setelah perubahan, Rp 285 miliarnya dialokasinya untuk membiayai program aspirasi dewan. Inilah yang membuat Zainuddin kesal. Realisasinya dinilai tak sesuai komitmen. “Tak diinput dalam dokumen,” katanya. Tapi, beberapa hari berselang, anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA), Abdullah Saleh, mengatakan, rupa-rupa program aspirasi itu sudah ditampung seluruhnya dalam dokumen KUAPPAS 2015. “Sudah clear, tertampung semua Rp 285 miliar,” katanya saat itu. Kisah dana aspirasi yang ditukangi alias kutak-katik ini sebetulnya sudah berkembang jauh-jauh hari. Menurut Wakil Ketua DPRA, Irwan Djohan, kesepakatan awal antara eksekutif dan legislatif membolehkan kebutuhan program aspirasi dewan ditampung dalam APBA murni 2015. Menurutnya, kebijakan itu disepakati langsung dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah saat rapat di Bandara Sultan Iskandar Muda awal 2015 lalu. “Pembahasan itu waktu genting pasca evaluasi Mendagri (terhadap APBA murni 2015),” cerita Irwan Djohan pada MODUS ACEH, Senin 12 Oktober 2015. Hasilnya, kata politisi Nas-
Dem ini, Ketua DPRA mendapat alokasi Rp 30 miliar untuk membiayai program aspirasinya. Masing-masing wakil ketua Rp 25 miliar, untuk seluruh anggota masing-masing senilai Rp 10 miliar. “Realisi terakhir tidak sesuai kesepakatan,” paparnya. Menurut Irwan Djohan, usulan programnya saja hilang sekitar delapan miliar rupiah. “Ada juga seorang anggota dewan yang program aspirasinya hanya tertampung tiga miliar rupiah,” ungkap Irwan Djohan. Irwan menduga, momen “pengamputasian” program aspirasi mereka terjadi setelah dokumen APBA 2015 dikoreksi Mendagri. Sejumlah usulan anggota dewan memang dicoret Pemerintah Pusat. “Setelah diobok-obok Kemendagri, eksekutif punya peluang untuk mengobok-obok semuanya. Padahal, ada juga usulan mereka yang dicoret Kemendagri. Dari sini, awal tak harmonisnya,” kata gampongcotbaroh.desa.id
Bantuan rumah bersumber dari dana aspirasi dua Anggota DPRA
Irwan Djohan buka kartu. Menurut Irwan Djohan, hasil sinkronisasi usulan program DPRA yang tidak tertampung Rp 285 miliar. Nilai inilah yang ditagih anggota dewan agar masuk dalam anggaran perubahan. Tapi, eksekutif berlindung dengan alasan Aceh mengalami kekurangan pembiayaan lantaran menurunnya penerimaan dan melesetnya kalkulasi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) 2014. “Eksekutif yang tahu kondisi pendapatan dan pembiayaan waktu itu mengatakan hanya bisa menampung Rp 167 miliar dalam APBA-P. Ada Rp 117 miliar yang tidak dapat ditampung karena tidak ada uangnya lagi,” katanya. Dewan tak kehilangan akal, apalagi langsung percaya. Komisi-komisi lantas ditugaskan menggelar pertemuan dengan mitra kerja. Berbagai program di SKPA diinventarisir. Hasilnya, ada begitu banyak program yang dinilai layak untuk digeser. “Bahkan, beberapa yang tidak mungkin dijalankan lagi, ada yang belum tender, ada yang secara regulasi tidak mungkin, misalnya pembebasan lahan,” katanya. Bergerak cepat, dewan mengalihkan sejumlah program eksekutif tersebut untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan aspirasinya. “Dari penelusuran itu, maka didapat Rp 120 miliar, sehingga bisa tertampung Rp 285 miliar. Usulan kawan-kawan sudah beres, sudah tertampung semua versi DPRA,” ucapnya. Tapi, “pertarungan” belum selesai. Anggota DPRA yang Ketua Tim Perumus APBA-Pe-
rubahan 2015, Anwar Ramli, mengatakan, hasil evaluasi terhadap kebijakan umum, khususnya dari sisi belanja perubahan 2015, masih belum sepenuhnya sinkron. “Ada sedikit perbedaan, tapi bukan masalah yang besar,” katanya dalam rapat penandatanganan Nota Kesepahaman KUAPPAS Perubahan 2015. *** Kisah haru-biru dana aspirasi anggota DPR Aceh juga terjadi 2016 lalu. Saat itu, Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Dr. Reydonnyzar Moenek dan Direktur Anggaran Daerah, Ach. Bakir Al Afif Haq, bersuara lantang di ruang Gedung Utama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Jalan Teungku Daud Beureueh, Banda Aceh. Di hadapan para wakil rakyat Aceh itu, dengan tegas dia menyatakan, mekanisme dan jadwal pembahasan Anggaran 2016, harus tepat waktu dan sasaran. Rapat koordinasi yang diselenggarakan Dinas Keuangan Aceh (DKA) Aceh ini dihadiri jajaran eksekutif-legislatif tingkat provinsi dan kabupaten/kota seAceh. Kegiatan itu bertujuan, selain pembahasan anggaran tepat waktu, Dr. Reydonnyzar Moenek dan Bakir Al Afif Haq berharap, peruntukan Anggaran 2016 meski berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Itu sebabnya, Dr. Reydonnyzar Moenek dan Bakir Al Afif Haq ketika itu berulangkali mengajak eksekutif-legislatif agar konsisten membahas anggaran sesuai alur yang ditetapkan. Makanya, proses perencanaan dan penganggaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2016 sudah dibuatkan perencanaan oleh Pemerintah Pusat pada Mei 2015. Anggaran KUA dan PPAS 2016 sudah harus disepakati bersama antara eksekutif dan DPR Aceh. Sayang, prosedur itu telah dilanggar DPR Aceh. Sebab, wakil rakyat itu menolak KUAPPAS 2016 yang diserahkan eksekutif. Sumber media ini di DPR Aceh menyebutkan, awal Juni 2015 lalu, Pemerintah Aceh sudah empat kali menyerahkan KUA-PPAS 2016, tapi DPR Aceh keukeuh menolaknya. Karena itu, Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) akhir Juni 2015 lalu mengirim kembali KUA-PPAS melalui kurir. Celakanya, dewan tetap menolak. Terkait penolakan yang dilakukan
16
MODUS ACEH
utama
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017 lintasatjeh
DPR Aceh, diakui Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, Prof. Dr. Abubakar Karim. “KUA-PPAS harus diserahkan Juni, maka TAPA menyerahkan, tapi DPRA tidak mau menerima dengan alasan masih banyak tugas,” kata Abubakar Karim ketika itu. Putra asal Gayo Lues itu menceritakan, jadwal KUA-PPAS diakuinya sudah mepet. Makanya, untuk menghindari tidak melanggar jadwal yang telah diatur, TAPA mengantar kembali KUAPPAS melalui kurir untuk diserahkan pada Bagian Umum Sekretariat DPR Aceh. “Lalu, dikembalikan lagi,” ujar Abubakar Karim. Pengembalian dokumen KUA-PPAS 2016 dilakukan DPR Aceh pada rapat serapan Anggaran 2015, Rabu, 29 Juli 2015 lalu itu dengan dalih masih ada usulan masyarakat yang belum dimasukkan dalam KUA-PPAS 2016. “Diminta masukkan usul masyarakat, maka dikembalikan,” kata Abubakar Karim. Wakil Ketua I DPR Aceh, Drs. H. Sulaiman Abda, di sela-sela rapat koordinasi mengatakan, KUA-PPAS 2016 dikembalikan pada TAPA karena ada program Gubernur Aceh yang belum tertampung. Sementara, Wakil Ketua II, Teuku Irwan Djohan, Kamis pekan lalu menjelaskan, dewan menunda nota kesepakatan KUA-PPAS karena hasil Panitia Khusus (Pansus) Proyek 2014 belum disampaikan. Tak hanya itu, Irwan Djohan mengaku, dewan menolak KUA-
Proyek rabat beton tahun 2016 di Desa Sidodadi, bersumber dari paket dana aspirasi anggota dewan Partai Gerindra Kabupaten Aceh Tamiang
PPAS karena mayoritas anggota dewan berpendapat bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Aceh terhadap pelaksanaan APBA 2014 belum ditanggapi dewan. Soal hasil reses juga menjadi dalih anggota dewan untuk menunda KUA-PPAS. Irwan Djohan menjelaskan, anggota DPR Aceh meminta berbagai program yang disampaikan saat reses untuk diakomodir dalam KUAPPAS 2016. “Jadi, ada beberapa argumen dan alasan sebenarnya,” kata Irwan Djohan.
Sumber lain menyebutkan, saat rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR Aceh, Juli 2015 lalu, ada anggota dewan yang berbeda pendapat, sehingga KUA-PPAS 2016 ditunda. Ceritanya, salah seorang ketua komisi mendesak agar dilakukan pansus terhadap Dana Otsus dan Migas Aceh, yang diduga ada yang hilang, karena kegiatan anggaran di lapangan tidak ditemukan. Sehingga, muncul pro dan kontra atas desakan untuk dibentukkan pansus dan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (P-ABPA) 2015. Ketua Komisi I DPR Aceh, Abdullah Saleh, dis-
ebut-sebut memilih keluar dari rapat Banggar ketika itu. Masih kata sumber tadi, Abdullah Saleh merupakan salah satu anggota dewan yang meminta pada pimpinan untuk dibentuk pansus. Sedangkan Anwar Ramli dan Muharuddin, menurut sumber media ini, tidak sependapat dengan Abdullah Saleh untuk dilakukan pansus terhadap dana yang dicurigai itu. Meski Abdullah Saleh memilih keluar, rapat banggar hari itu bersepakat membentuk pansus pada Agustus 2015 dan adanya perubahan Anggaran 2015. “Perubahan ABPA 2015 direncanakan ada dan sedang dihitung,”
kata Ketua Bappeda Aceh, Prof. Dr. Abubakar Karim. Desakan adanya pansus dan anggaran perubahan itu, satu tuntutan yang diharapkan sebahagian anggota DPRA. Namun, saat rapat serapan Anggaran 2015 dengan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) Rabu, 29 Juli lalu, ketua komisi dan pimpinan DPR Aceh, diakui salah seorang anggota DPRA, kembali menagih dana aspirasi yang dipangkas eksekutif. Menariknya, untuk jatah dana aspirasi ini, diplot dana Rp 10 miliar untuk anggota dan Rp 25 miliar terhadap pimpinan DPR Aceh. Nah, dana itulah yang disebut-sebut DPR Aceh hanya terakomodir berkisar enam miliar rupiah untuk anggota dan Rp 15 miliar untuk pimpinan. Berkurangnya dana aspirasi itulah menjadi salah satu faktor mengapa anggota dewan menolak KUA-PPAS. “Jika ada anggaran, kita akomodir,” kata Prof Abubakar Karim. Pengakuan Prof Abu, begitu dia akrab disapa ini, juga didengar Wakil Ketua DPRA Drs. H. Sulaiman Abda, dan Teuku Irwan Djohan. Yang jadi masalah adalah bila semua dana aspirasi dewan tertampung, maka fulus untuk program itu lebih kurang Rp 800 miliar. Bayangkan, jika dihitung anggaran aspirasi yang dipangkas, maka ada sekitar Rp 200 miliar dana segar yang tak tahu mau dialihkan ke mana. Dan, kondisi inilah dipertanyakan anggota DPRA pada Pemerintah Aceh. Sebab, dalam paparan, Dr. Reydonnyzar Moenek, dana hibah dan bantuan sosial 2015 ada Rp 1,5 triliun. “Kalau semua program aspirasi dewan ditempatkan untuk bantuan sosial dan hibah hanya Rp 800 miliar. Jadi, lebihnya program siapa?” tanya Teuku Irwan Djohan.***
utama
Inilah Program dan Penerima Dana Aspirasi
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
17
18
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
utama
utama
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
19
20
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
utama
utama
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
21
22
MODUS ACEH
Utama
NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
Bersambung
iklan
MODUS ACEH NO 49/TH XIV 3 - 9 APRIL 2017
23