NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
Rp 7000,- ( Luar Aceh Rp 10.000,- )
MODUS ACEH
2
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
Redaksi
TABLOID BERITA MINGGUAN
MODUS ACEH BIJAK TANPA MEMIHAK
P e n a n g g u n g j awa b / Pimpin an Red aksi Pimpinan Redaksi Muhammad Saleh Direktur Usaha Agusniar Man a ger Mana
liput an liputan
Juli Saidi Editor Salwa Chaira Kar tunis/Design Kartunis/Design
Grafis
Rizki maulana Pemasaran/Sirkulasi Firdaus, Hasrul Rizal, Ghifari Hafmar M. Supral iklan/Sirkulasi Lhokseuma we/a ceh Lhokseumawe/a we/aceh
ut ara utara
mulyadi
Sekret aria t/ADM ta at Yulia Sari Kep ala B a gian Keuang an Kepala Agusniar Bagian I T Joddy Fachri Wa r taw a n rt Muhammad Saleh Juli Saidi ZULHELMI azhari usman
Ko r e s p o n d e n Aceh Selatan Sabang Nagan Raya Takengon Aceh Besar Aceh Tenggara Gayo Lues Kuala Simpang Pidie, Langsa Bener Meriah Simeulue
Alama t Red aksi Alamat Redaksi Jl. T. Panglima Nyak Makam No. 4 Banda Aceh. Telp (0651) 635322 email:
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected] www.modusaceh.com. Penerbit PT Agsha Media Mandiri Rek Bank Aceh: 01.05.641993-1 Rek Bank BRI Cabang Banda Aceh: 0037.01.001643.30.9 NPWP: 02.418.798.1-101.000 Percetakan PT. Medan Media Grafikatama
Dalam Menjalankan Tugas Jurnalistik, Wartawan MODUS ACEH Dibekali Kartu Pers. Tidak Dibenarkan Menerima Atau Meminta Apapun Dalam Bentuk Apapun dan Dari Siapa Pun
MODUS ACEH
politik
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
3
Yang Nyata Mualem-TA
Dari enam pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang akan merebut kursi Aceh-1 dan 2 pada Pilkada 15 Februari 2017. Hanya paslon Muzakir Manaf-TA Khalid yang mendapat sambutan massa hingga 30-an ribu. Jumlah tersebut terlihat di beberapa kabupaten dan kota saat pertemuan akbar dilakukan. Berikut laporan liputan koresponden dan kontributor MODUS ACEH di sejumlah daerah yang dirangkum Muhammad Saleh Saleh.
L
AMA tak bersuara keras, Sabtu, 7 Januari 2017 lalu, Ketua Partai Aceh (PA)/Komite Peralihan Aceh (KPA), Muzakir Manaf, akhirnya mengeluarkan ultimatum. Isinya, siapa saja bupati, walikota dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh serta DPRK dari PA yang tidak mendukung pasangan calon (paslon) gubernur, bupati atau walikota yang diusung dan didukung Partai Aceh, maka dia akan mengambil sikap tegas. “Jika ada kader Partai Aceh baik di jajaran pengurus pusat maupun daerah, termasuk anggota DPRA dan DPRK yang tidak mendukung serta bekerja untuk memenangkan calon gubernur, bupati serta walikota yang diusung Partai Aceh. Bahkan, wa-
lau ada satu atau bupati yang sedang menjabat saat ini, saya akan ambil tindakan tegas,” ucap Mualem. Sinyal itu disampaikan Mualem saat menghadiri pelantikan tim pemenangan paslon gubernur dan wakil gubernur aceh serta bupati dan wakil bupati dari Partai Aceh di Lapangan Susoh Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Nah, di hadapan sekitar 20 ribuan massa yang diguyur hujan tersebut, dengan nada tinggi Mualem terkesan marah setelah mendengar orasi politik dari Ketua KPA/PA Blangpidie, Abdurrahman Ubit serta Tgk Khalidi, yang meminta Mualem untuk tegas terhadap Bupati Jufri Hasanuddin. Dia adalah Pengurus DPA Partai Aceh sekaligus Bupati Abdya saat ini yang diusung
PA. Namun, sebut Abdurrahman Ubit yang diamini Khalidi, fakta di lapangan, Jufri justru memberi dukungan kepada paslon lain. Itu sebabnya, Mualem memberi waktu sampai tanggal 1 Februari 2017 kepada seluruh anggota PA dan KPA yang berseberangan selama ini untuk bersatu kembali dalam jemaah. “Kita harus bersatu, jangan mudah dipecah belah. Mari bersama berjuang menuju cita-cita perjuangan,” ajak Mualem. Jika masih ada yang membandel, keputusan tegas akan dilakukan, katanya di hadapan sekitar 30an massa, kader dan simpatisannya. Mendapat ultimatum seperti itu, tak lantas membuat Bupati Abdya, Jufri Hasanuddin, kecut. Sebaliknya, dengan tegas dia mengatakan kecintaannya pada Partai Aceh dan mematok harga mati untuk memenangkan Mualem di Abdya. “Bagi saya, PA itu beda dengan partai lain secara umum. PA media perjuangan orang Aceh. Dulu, kita berperang dengan senjata, tapi sekarang kita berperang dengan politik. Saya sangat mencintai PA,” kata dia pada Juli Saidi, Minggu, 8 Januari 2017 lalu. Tak hanya itu, mantan anggota DPRA periode 2009-2014
itu dengan tegas mengatakan, baginya, memenangkan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada, 15 Februari 2017 yaitu Muzakir ManafTA Khalid adalah harga mati. “Harga mati dan tidak ada tawarmenawar bagi saya untuk memenangkan Mualem pada Pilkada 2017,” tegas Jufri yang mengaku sedang di Jakarta saat dihubungi media ini. Sebelumnya, Ketua PA/KPA Abdya Abdurrahman Ubit dan Khalidi sempat menyinggung tentang dugaan sikap mendua Jufri Hasanuddin. Itu disampaikan di hadapan 30-an ribu lebih massa PA yang hadiri acara tersebut. Kontributor MODUSACEH.CO (Kelompok Media MODUS ACEH dan INSPIRATOR) melaporkan, memang sempat beredar sas-sus, Jufri tak mendukung pasangan calon Bupati Aceh yang diusung PA yaitu Erwanto-Muzakir pada pilkada mendatang. Itu sebabnya, Ketua KPA/PA Blangpidie Abdurrahman Ubit serta Tgk Khalidi, meminta Mualem tegas terhadap Bupati Jufri Hasanuddin, yang menurut Abdurrahman Ubit dan Tgk Khalidi memberi dukungan pada pasangan calon lain.
“Saya tidak mau menanggapi apa yang disampaikan Abdurrahman Ubit dan Khalidi. Tapi, yang perlu dipahami bahwa saya sangat mencintai Partai Aceh. Kapan pun, walaupun orang menganggap diri saya mendukung si A dan B. Soal itu, saya tidak mengomentarinya. Biarlah mereka berpendapat,” tegas Jufri Hasanuddin. Lepas dari pengakuan Abdurrahman Ubit dan Tgk Khalidi serta bantahan Jufri Hasanuddin, Mualem sendiri berjanji, jika terpilih sebagai Gubernur Aceh, dia akan menempati janji-janji yang pernah diucapkannya kepada masyarakat Abdya di masa kampanye masa Zaini AbdullahMuzakkir Manaf (ZIKIR) dulu. “Jika saya terpilih, saya akan tebus dosa-dosa saya di Abdya,” kata Mualem dalam acara deklarasi akbar dan pengukuhan tim pemenangan Partai Aceh untuk calon gubernur dan wakil gubernur Aceh, Mualem-TA Khalid serta calon Bupati-Wakil Bupati Abdya Erwanto-Muzakir di lapangan bola kaki Desa Pulau Kayu, Kecamatan Susoh, Sabtu 7 Januari 2017. Mualem menyebutkan, antara Banda Aceh dan Abdya tidak ada benteng penghalang. “Dulu masa ZIKIR, saya pernah berka-
4
MODUS ACEH
politik
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
mpanye di Abdya. Namun, saya tidak bisa berbuat banyak untuk Abdya karena saya adalah wakil dan jika nanti saya terpilih, maka saya akan menepati janji-janji saya dulu,” ujarnya. Masih kata Mualem, “Banda Aceh dengan Abdya adalah satu nyawa dan tidak ada benteng pemisah. Saya siap membantu Abdya dengan cacatan Erwanto mesti menang di Abdya,” perintah Mualem yang disambut teriakan tiga puluhan ribu lebih massa pendukungnya. Amatan media ini, pertemuan akbar itu membuat lapangan bola kaki, Desa Pulau Kayu, Kecamatan Susoh, Abdya merah dengan lautan manusia yang mengenakan atribut; merah, putih dan hitam. Ini adalah ciri khas warta bendera serta atribut Partai Aceh. Kenyataan serupa juga terjadi di Lapangan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Tangse, Kabupaten Pidie serta sejumlah kabupaten dan kota lainnya di Aceh yang digelar kampanye akbar pasangan Muzakir ManafTA Khalid, calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada, 15 Februari 2017.
Koresponden MODUS ACEH di Pidie Utara melaporkan, Muzakir Manaf menghadiri deklarasi akbar Partai Aceh di Gampong Pulo Mesjid, Kecamatan Tangse, Pidie, Kamis, 12 Januari 2017. Kunjungan pria yang akrab disapa Mualem ini dalam rangka zikir bersama serta kampanye pemenangan Mualem-TA Khalid sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh maupun Sarjani Abdullah-Iriawan sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Pidie. Begitu tiba di lokasi, sekira pukul 12.15 WIB, Mualem dan rombongan serta para kader dan simpatisan Partai Aceh lainnya disambut Sarjani. Turut hadir, Tu Bulqaini, anggota DPR Aceh Nurzahri, Teungku M Harun serta sejumlah kader KPA/PA Pusat dan Pidie. “Hidup Mualem. Ka teuka panglima prang (telah tiba panglima perang). Insya Allah akan menang,” teriak massa pendukung. Setali tiga uang, kondisi serupa juga terjadi di Subulussalam. Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf dan TA Khalid, menggelar kampanye di Lapan-
gan Beringin, Simpang Kiri, Kota Subulussalam, Sabtu 10 Desember 2016. Dalam orasi politiknya, Mualem menyampaikan, jika ia terpilih menjadi Guberbur Aceh periode 2017-2022, ada beberapa program yang ia janjikan. Di antaranya, mengupayakan jalan tembus Gelombang (Subulussalam)-Muara Situlen (Aceh Tenggara), pembangunan kanal untuk mengatasi banjir dan mengupayakan adanya bantuan bidang pertanian dan perkebunan. Di bidang birokrasi, sebut Mualem, dia berjanji akan mempercayakan salah satu kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) kepada putra daerah Subulussalam. Kampanye akbar hari itu tak kurang dari empat ribu massa hadir. Di Aceh Selatan, Ketua DPA Partai Aceh yang juga Ketua KPA Pusat, Muzakir Manaf, berkunjung ke Desa Lawe Sawah, Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan, Rabu malam 28 Desember 2016. Daerah ini merupakan “markas” Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pertama di Aceh Selatan serta basis GAM saat konflik
dulu. Di sini, Mualem juga disambut oleh ribuan massa pendukungnya. Sambutan dan perlakuan istimewa juga diperoleh Mualem saat berkampanye di kampung halamannya, Kabupaten Aceh Utara, Rabu, 11 Januari 2017 lalu. Hari itu, Partai Aceh menggelar kampanye akbar untuk calon gubernur/wakil gubernur, Bupati/Wakil Bupati Aceh Utara, dan calon Walikota/Wakil Walikota Lhokseumawe yang diusung PA berlangsung meriah di Lapangan Landing, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Kandidat yang diusung PA tersebut adalah H Muzakir Manaf-TA Khalid, H Muhammad ThaibFauzi Yusuf, dan Suaidi YahyaYusuf Muhammad. Kampanye itu dilaksanakan di samping Kantor Bupati Aceh Utara yang baru. Dihadiri massa pendukung PA dalam jumlah besar atau tak kurang dari 30 ribuan. Mereka datang dari beberapa kabupaten/kota di Aceh. Massa yang disebut Muzakir Manaf “berpuluh-puluh ribu orang” itu sudah mulai menuju lokasi kampanye pada pukul 11.00 WIB. Iring-iringan mobil
dan sepeda motor berbendera PA dari wilayah barat dan timur yang menuju lokasi kampanye sempat memacetkan jalan di beberapa titik meski dikawal polisi. Kemeriahan kampanye PA ini diawali dengan pengibaran bendera PA pada pukul 12.00 WIB. Terlihat pula massa yang mayoritas memakai baju merah bergambar pasangan Muzakir Manaf-TA Khalid, Muhammad Thaib-Fauzi Yusuf, dan Suaidi Yahya-Yusuf Muhammad. Suasana semakin meriah ketika Mualem bersama TA Khalid tiba di lokasi dan disambut dengan shalawat Badar dan Rapai Pase. Juga dilanjutkan dengan Hikayat Prang Sabi dan Mars Partai Aceh. Saat Mualem tiba, juga dilepaskan balon ke udara. Di balon itu digantung bendera PA. Lokasi kampanye juga dimeriahkan dengan belasan layanglayang PA. Massa yang bergerak dari arah barat dan timur Aceh Utara sempat memacetkan jalan nasional sekitar tiga kilometer selama tiga jam, mulai dari Simpang Dama, Kecamatan Lapang, Tanah Pasir, Tanah Luas, dan Lhoksukon.***
Mesin Partai Berputar, Arus Dukungan Terus Bergerak FB
Hingga selesai acara pukul 17.30 WIB, jalanan masih macet. Maklum, jajaran Komite Peralihan Aceh dan Pengurus PA dari sejumlah kabupaten/kota di Aceh sudah hadir satu hari sebelum acara tersebut. Bukti mesin partai terus bergerak?
S
EBELUM Mualem tiba, politisi yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) asal Aceh dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) M Nasir Djamil, anggota DPR RI dari Partai Gerindra asal Aceh Khaidir Abdurahman, dua senator asal Aceh, Fachrul Razi dan H Sudirman alias Haji Uma telah lebih dulu berada di lokasi. Lalu, disusul Ketua DPR Aceh Tgk Muharuddin, Ketua KPA Samudera Pase Tgk Zulkarnaini
bin Hamzah (Tgk Ni), Jubir KPA Pase M Jhony, dan anggota DPRK Aceh Utara dan Lhokseumawe serta petinggi KPA/PA lainnya.
Kehadiran sejumlah wakil rakyat dan senator muda Aceh tersebut ikut menarik perhatian sekira 30-an massa pendukung
Partai Aceh. Ketika itu, M Nasir Djamil didapuk untuk memberikan orasi pertama. Nah, seakan larut dalam lau-
tan massa, politisi PKS ini menyampaikan bahwa pemimpin Aceh yang tidak memiliki kekuatan politik di parlemen, seperti
MODUS ACEH
politik orang berjalan sebelah kaki. Ia dapat berjalan, tetapi lambat, sehingga sulit memajukan daerah dan rakyat Aceh. Itu sebabnya, kata Nasir Djamil, jika rakyat Aceh ingin daerahnya maju dan sejahtera, dibutuhkan dukungan politik di parlemen dan itu dimiliki Partai Aceh yang didukung sejumlah partai nasional. “Saleum, Panglima,” kata Nasir. Pendapat Nasir Djamil diamini Mualem. Katanya, calon pemimpin yang diusung PA untuk menyelesaikan persoalan MoU Helsinki. “Seluruh ulama ka geuduek sajan geutanyoe. Jinoe tameupakat ngon ulama dan umara, tapeugot Aceh lagee masa Iskandar Muda (seluruh ulama sudah bersama kita. Sekarang kita bermufakat dengan ulama dan umara, kita jadikan kejayaan Aceh seperti masa Sultan Iskandar Muda),” kata Mualem didampingi calon wakilnya, TA Khalid, selain Cek Mad-Sidom Peng dan Suaidi Yahya-Yusuf Muhammad. Sementara, TA Khalid dalam orasi politiknya mengatakan, sehebat apa pun pemimpin Aceh, jika tidak memiliki suara di parlemen, maka tidak ada artinya karena tidak akan mampu menyejahterakan rakyatnya. “Karena itu, jangan terkecoh dengan pelayanan kesehatan selama ini. Sebab, pelayanan selama ini ada karena Dana Otonomi Khusus (Otsus). Dana tersebut diberikan Pemerintah Pusat karena ada Partai Aceh, bukan dana pribadi seseorang,” tegas TA Khalid. Massa yang hadir saat kampanye tersebut juga dihibur dengan penampilan Imum Jhon dan Malika Azzahra Muhri, anak Cek Mad yang masih bocah dengan nyanyian lucu. Bocah itu juga sempat menyebutkan, “Hidup Cek Mad”. Senator Aceh Fachrul Razi dalam orasinya menyampaikan, masyarakat di provinsi lain sangat menginginkan adanya Dana Otsus dan memiliki bendera sendiri seperti Aceh, tapi mereka tak memilikinya. Karena itu, hasil perjuangan Aceh yang khusus ini harus dijaga karena tak mudah mendapatkannya jika tak ada damai. Sedangkan Tgk Yunus dari Aceh Timur mengajak para KPA yang sudah bergabung dengan kandidat lain supaya kembali ke PA untuk membangun Aceh. Nah, dari serangkaian kegiatan kampanye akbar itulah, semakin tergambar bahwa arus dukungan terhadap Muzakir Manaf-TA Khalid, semakin nyata.***
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
5
Mualem: MoU dan UUPA Tak Cukup Gantikan Darah dan Nyawa! Walau datang terlambat, ternyata tak menyurutkan massa, kader dan simpatisan Partai Aceh (PA) untuk mendengarkan “petuah” Mualem pada Debat Kandidat Tahap II, Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di Gedung Amel, Kamis malam pekan lalu.
“
Cukup, waktunya sudah habis,” begitu kata pemandu debat saat Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem menyampaikan pernyataan penutup atau closing statement, pada Debat Kandidat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Menuju Pilkada Aceh, 15 Februari 2017 di Gedung Amel, Kamis malam pekan lalu di Banda Aceh. Menariknya, walau kehadirannya bersama TA Khalid terlambat, namun tak mengurangi minat dan keinginan peserta yang hadir untuk mendengarkan langsung pernyataan dari Ketua DPA PA dan KPA ini. Akibatnya, tak semua peserta, termasuk wartawan MODUSACEH.CO serta rakyat di seluruh Aceh yang dikabarkan dapat mengikuti siaran langsung melalui TVRI Banda Aceh mendengarkan secara utuh pernyataan Mualem tersebut. Nah, merasa penasaran, media ini pun meminta beberapa pendapat Mualem terkait pernyataannya yang tidak tuntas tadi usai acara debat malam itu. Berikut pernyataan Mualem.
Seperti saya sebutkan di awal kata pembuka; sudah cukup darah yang tumpah dan nyawa melayang serta hilang ketika rakyat Aceh berjuang, mewujudkan citacitanya. MoU Helsinki dan UUPA (UndangUndang Pemerintahan Aceh), sebenarnya belum cukup sepadan untuk menggantikan darah dan nyawa rakyat Aceh yang hilang. Tetapi, rakyat Aceh setuju menerima MoU Helsinki dan UUPA sebagai bukti cinta kita pada perdamaian. Perjuangan belum selesai! Sebelas tahun sudah berlalu, kendati
UUPA belum sepenuhnya sesuai dengan butir-butir MoU Helsinki, namun kita masih mampu bertahan, merawat dan menjaga perdamaian ini. Karena kami yakin, UUPA yang sesuai dengan MoU Helsinki adalah solusi terbaik untuk menjaga perdamaian di Aceh. Semua kita menyadari, mustahil akan tercapai kesejahteraan sebuah negeri apabila negeri itu tidak aman dan damai. Karena hanya dengan perdamaian, ekonomi Aceh akan bangkit, investasi akan mengalir, lapangan kerja akan terjamin, kemiskinan akan berkurang, serta pendidikan anak cucu kita ke depan akan lebih baik. Itu sebabnya, saya sebagai Panglima Perang Gerakan Aceh Merdeka, akan berdiri tegak di garda terdepan demi terealisasinya MoU Helsinki yang sesuai dengan apa yang telah disepakati agar perjanjian damai ini tidak menjadi bom waktu bagi kehidupan Bangsa Aceh di masa depan. Karena itu, jika kami terpilih sebagai Gubernur Aceh, kami akan mengajak semua elemen, baik yang berada di Aceh maupun luar negeri untuk bersama-sama membangun “Tanoh Endatu Teuh”, seperti yang dicita-citakan Paduka Yang Mulia, almarhum Teungku Hasan Muhammad Di Tiro. Itu cita-cita kita.***
6
MODUS ACEH
Fokus
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
■ Ngeri-ngeri Sedap Dana Hibah Rp 650 Miliar
Masuk Barang Tuh! Tribratanews
Seperti debat kandidat tahap pertama beberapa waktu lalu, pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang bertarung pada Pilkada Aceh, 15 Februari 2017 saling ‘menyerang’ dengan pertanyaan kritis dan menggelitik. Salah satunya Zakaria Saman atau akrab disapa Apa Karya. Nah, dalam debat Rabu malam pekan lalu, dia bertanya kepada Zaini Abdullah tentang alokasi dana Rp 650 miliar yang disalurkan untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2013 lalu. Akibatnya, bola itu pun kembali menggelinding setelah beberapa saat berhenti dari pusaran arus politik Aceh yang memang mulai menebar aura ‘panas’. Siapa bermain api, bersiaplah untuk terbakar. Wartawan MODUS ACEH, menulisnya untuk Liputan Fokus pekan ini.
B
UKAN Apa Karya (Zakaria Saman) namanya jika tak mampu menyedot perhatian publik. Kelakarnya kembali menjadi viral di media sosial (medsos) dalam debat kandidat tahap dua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Rabu malam pekan lalu di Amel Convention Hall, Banda Aceh. “Saya ini GAM. Saya dulu Menteri Pertahanan (GAM). Saya dengar Anda pernah membagikan uang senilai Rp 650 miliar untuk kombatan GAM. Di mana uang itu? Kok kami tidak pernah menikmatinya?” begitu tanya Apa Karya pada Zaini Abdullah dalam bahasa Aceh. Entah karena usia atau memang perkataan Apa Karya tak
jelas hingga Zaini Abdullah minta Apa Karya mengulang pertanyaannya dalam bahasa Indonesia. “Saya minta pertanyaannya diulang dalam bahasa Indonesia biar semuanya yang ada di sini mengerti,” kata Zaini Abdullah sesaat setelah Apa Karya melontarkan pertanyaannya. Maklum saja, Zakaria Saman mengaku tak pernah diberitahukan tentang pemberian dana Rp 650 miliar itu untuk pemberdayaan ekonomi para mantan kombatan GAM oleh Gubernur Aceh nonaktif, Zaini Abdullah. “Lon hana dibie, meu dipeugah pih tan (saya tak diberi, dikasih tahu pun tidak),” ungkap Apa Karya seperti diwartakan Serambi Indonesia di Banda Aceh, Kamis pekan lalu. Nada suara Apa Karya sempat meninggi, tulis Serambi, saat
ditanya kembali apa benar ia tidak menerima kucuran uang tersebut. “Demi Allah, wallah, tallah, meusiringget tan lon teurimong (satu ringgit pun saya tidak terima). Kalau saya terima, nggak mungkinlah saya menanyakan itu dalam debat di depan orang ramai,” ujarnya berlogika. Lalu, dia menarik napas dan melanjutkan kalimat, tulis Serambi, “Meuseu lam debat nyan tapeugah, ilon hana begini, hana begitu. Haap dibeudoh si jeh, Apa Karya, iem. Idroen na syit bagian uroe jeh. Meunyo nyan dikheun dikeu ureung rame, peu haba? Ho tameujak? Man kon ka lon peugah, meunyo tapeugot gob, droe teuh beugleh dilee. (Jika dalam debat itu saya berkata, saya tidak begini, tidak begitu. Lalu, ada yang berdiri dan bilang, ‘Apa Karya, tolong diam,’ Anda juga pernah menerima bagian. Apa jadinya kalau itu disampaikan di depan orang ramai? Makanya, saya bilang, kalau mau memperbaiki orang lain, bersihkan dulu diri kita).” Ditanya kenapa mengangkat isu ini dalam debat kandidat, Apa Karya mengatakan, keberadaan dana itu perlu diperjelas agar tidak menimbulkan fitnah berkepanjangan di kalangan mantan kombatan GAM dan korban konflik. Menurutnya, selama ini, banyak eks kombatan yang mempersoalkan keberadaan dana itu pada dirinya selaku mantan Menteri Pertahanan GAM. “Kombatan GAM demikian sengsara. Rp 650 miliar kalau dibagi rata untuk 30 ribu or-
ang mantan kombatan GAM, maka mendapat lebih Rp 20 juta per orang. Jadi, saya perlu pertanyakan, ke mana uang itu dipergunakan? Saya dapat informasi banyak yang terima uang itu bukan GAM. Padahal, uang itu diberikan untuk kesejahteraan mantan kombatan GAM,” gugat Apa Karya. Apa Karya mengaku, pertanyaan itu keluar spontan setelah sebelumnya ia mendapatkan pertanyaan dari calon gubernur nomor urut 6, Irwandi Yusuf. “Jangan sampai ada tuduhan bahwa Apa Karya ikut menikmati dana tersebut. Jadi, pas kali ada pertanyaan Irwandi tentang janji satu juta rupiah per KK (kepala keluarga). Maka, saya tanyakan soal dana Rp 650 miliar itu kepada Doto (Zaini Abdullah). Saya sebagai mantan Menteri Pertahanan GAM, sangat berhak tahu tentang penggunaan dana itu,” jelas Apa Karya. Mendapat pertanyaan itu, Gubernur Aceh nonaktif dr Zaini Abdullah meminta aparat penegak hukum mengusut dugaan penyelewengan dana pemberdayaan ekonomi bagi mantan kombatan GAM senilai Rp 650 miliar. Zaini menyebut, anggaran sebesar itu dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2013 dalam bentuk sejumlah program dan kegiatan. Permintaan itu disampaikan Zaini, Rabu malam pekan lalu terkait pernyataannya dalam debat kandidat paslon Gubernur Aceh tahap II yang digelar Komisi Independen Pemilihan (KIP)
Aceh di gedung Amel Convention, Banda Aceh. Menurut Zaini, dana sebesar itu digelontorkan tahun 2013 untuk program peternakan dan perikanan. “Tapi, karena dikelola oleh tangan-tangan yang tidak amanah, maka ini sudah lari ke kantong mereka mungkin, tapi nggak tahu saya,” ujar Abu Doto malam itu. Zaini mengatakan, program pemberdayaan ekonomi bagi eks kombatan GAM didasarkan atas fakta bahwa masih banyak mantan kombatan GAM yang belum mendapat bantuan dari program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan berbagai lembaga donor pada masa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias (pasca tsunami), termasuk pada era Badan Reintegrasi Aceh (BRA). “Untuk menjaga dan merawat usia perdamaian Aceh yang masih relatif muda pada saat itu, maka program pemberdayaan ekonomi yang pernah dilaksanakan BRA, dilanjutkan kembali pada saat tahun kedua Pemerintah ZIKIR (Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf),” ujarnya. Menurut Zaini, ada banyak jenis program yang dibuat. Misalnya, untuk bidang peternakan, dibuat program pengadaan bibit sapi betina unggul sebanyak 1.300 ekor di Kuta Malaka, Aceh Besar, kemudian pengadaan ayam petelur 100.000 ekor di Blang Bintang, Aceh Besar. Belakangan, lanjut Zaini, ia menerima laporan kegiatan program pengembangan ayam petelur itu sudah tidak beroperasi lagi. Asetnya Rp 46 miliar jadi telantar. “Sedangkan program pengembangan anak sapi betina 1.300 ekor, sebagian sudah disalurkan kepada eks anggota GAM, sebagian lagi dijual. Tapi, siapa yang menjualnya? Ini yang menjadi tugas Inspektorat dan aparat penyidik untuk mencari tahu,” ujar Zaini. Untuk sektor perikanan, programnya antara lain penyaluran bibit ikan, pengadaan boat tangkap ikan kapasitas 30 gros ton dan lainnya. Boat yang jumlahnya sekitar 30 unit itu sudah dibagi-bagikan kepada kelompok eks GAM, tapi tak merata, sehingga banyak yang komplain. “Pembuatan kapalnya diduga ada yang berkualitas di bawah standar. Nilai kontrak untuk satu unit kapal tangkap ikan bersama pukatnya mencapai miliaran rupiah,” ungkap Doto Zaini.***
MODUS ACEH
Fokus
7
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
Kisah Lama Digugat Kembali MODUS ACEH-DOK
Kandang Ayam Blang Bintang.
Kisah alokasi dana hibah Rp 650 miliar yang bersumber dari APBA 2013 bukanlah cerita baru. Dibalik terwujudnya proyek ayam petelur ini, tersebutlah nama Kepala Bappeda Aceh dan kader Partai Aceh.
antan Kepala Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh, Dr. Ir. M. Yunus M.Sc pada media ini pernah bercerita secara terbuka. Keberaniannya memang patut dan pantas diberi acuan jempol serta apresasi. Bayangkan, di tengah dugaan mendapat tekanan saat itu, pejabat di Pemerintah Aceh ini justru tak sungkan membuka tentang sosok aktor di balik terwujudnya anggaran berbalut program ayam petelur untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini. Berlaku surut tiga tahun silam atau awal 2013 lalu, orang nomor satu Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh, M. Yunus, ini mengaku, pernah memenuhi undangan Kepala Badan Perencanaan Pemban-
M
gunan Daerah Aceh (Bappeda) Prof. Dr. Ir. Abubakar Karim, MS. Nah, karena dia masih baru menjabat, M. Yunus langsung tancap gas--menghadiri pemanggilan Kepala Bappeda Aceh tadi. Saat itu, pada M. Yunus, Kepala Bappeda Aceh Prof. Dr. Abubakar Karim minta agar dinasnya melaksanakan program industri ayam petelur untuk kesejahteraan mantan kombatan GAM. Ketika itu, Kepala Bappeda Abubakar Karim juga mendesak M. Yunus agar segera merealisasikan program tersebut. Tak membantah dan banyak bicara, M. Yunus mengamininya. Apalagi, kata M. Yunus, dirinya masih belum begitu paham tentang program yang minta untuk dilaksanakan atas nama pemberdayaan ekonomi bagi mantan Gerakan Aceh Merdeka. “Kita sadarlah bahwa Pemerintah Aceh dipimpin mantan dan elit GAM. Karena itu, wajar saja bila ada program pemberdayaan para mantan kombatan GAM,” kata Yunus beralasan ketika itu. Selain M. Yunus dan Abubakar Karim, pertemuan itu juga dihadiri dua mantan aktivis yang kemudian menjadi kader Partai Aceh (PA) yaitu Kautsar dan Erwanto. “Saat itu, Kepala Bappeda Aceh Prof Dr. Abubakar Karim meminta pada saya untuk laksanakan program tersebut. Hadir juga Kautsar dan Erwan-
to,” ungkap M. Yunus. Dia juga membeberkan nama lain di balik lahirnya program industri ayam petelur Desa Dataran Makmur, Kecamatan Blang Bintang, Aceh Besar. Selain Kautsar dan Erwanto, pelopornya juga ada Dahlan, Tgk Ilyas Abit dan Kamaruddin Abu Bakar alias Abu Razak. Bahkan, 50 nama yang disebut dalam Surat Keputusan (SK) Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf sebagai penerima hibah ayam petelur, semuanya disodorkan Abu Razak pada Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh. “Nama-nama penerima itu diserahkan Abu Razak. Jika kemudian ada dugaan bahwa mereka bukan mantan kombatan, kami tidak tahu dan silakan minta klarifikasi langsung pada Abu Razak,” kata M. Yunus. Nah, dari pertemuan dengan Kepala Bappeda Abubakar Karim, Kautsar dan Erwanto tadi. M. Yunus bersama anak buahnya mulai merealisasikan intruksi Kepala Bappeda Abubakar Karim saat itu. Dia memulai dengan membangun kandang hingga menghibahkan 100 ribu ekor ayam kepada mantan kombatan GAM meskipun kemudian diketahui mayoritas penerimanya bukan para mantan kombatan GAM. “Mereka yang mengurus dana dari Bappeda, kemudian
memanggil kami ke kantor Bappeda Aceh. Saat itu, yang memanggil adalah Kepala Bappeda Prof. Dr. Abubakar Karim. Sebagai leading sector, tentu kami tak bisa menolak. Toh, anggarannya memang sudah diplot,” jelas M. Yunus. Namun, walau program itu sudah ada, tapi tak berjalan mulus. M. Yunus mengaku sempat dimarahi Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah. Menurut M. Yunus, saat itu, Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah marah besar karena saat membahas program industri ayam petelur di Bappeda Aceh, dia tak memberitahu dan Kepala Bappeda serta Kadis Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh juga tak melapor pada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. Bahkan, M. Yunus sempat terancam dimutasi dari jabatan Kepala Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh bila program tersebut dibatalkan Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto. Namun, rencana tadi gagal dilaksanakan karena Abu Doto tak mau bersinggungan dengan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf yang juga Ketua PA dan KPA. Dan, niat Gubernur Aceh ingin mencopot M. Yunus juga batal dilakukan. Alasannya, setelah dr. H. Zaini Abdullah turun ke lapangan dan melihat proyek tadi, dia tak beralasan untuk mengganti M. Yunus.
Alasan lain, setelah M. Yunus menjelaskan secara rinci pada Gubernur Aceh tentang program tersebut, “Terus saya klarifikasi pada Pak Gub bahwa saya hanya menjalankan perintah. Saat itu, Kepala Bappeda Prof. Abubakar Karim sempat tak enak dengan Pak Wagub. Lalu, marahnya ditimpakan pada saya hingga akhirnya saya mau diganti,” ungkap M. Yunus. Selain itu, M. Yunus juga mengaku bahwa harga ayam hibah per ekornya Rp 52 ribu. Itu sudah termasuk biaya transportasi. Maka, jika 100 ribu ekor, dikali 50 orang penerima, maka jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2013 yang tersedot untuk hibah ayam sekitar Rp 5,2 miliar. Terkait beberapa nama yang disebut M. Yunus, hingga kini, gagal mendapat konfirmasi langsung. Komunikasi media ini melalui pesan singkat (SMS) serta telepon langsung pada para pihak juga tak direspon. Termasuk dari mantan Kepala Bappeda Aceh Prof. Dr. Abubakar Karim, Abu Razak, Ilyas Abit dan Kautsar yang kini menjabat Ketua Fraksi Partai Aceh (PA) di DPR Aceh serta Erwanto, Wakil Bupati Aceh Barat Daya (Abdya). Alamak, ngeringeri sedap dan masuk barang tuh, karena disasar Apa Karya!***
8
MODUS ACEH
Fokus
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
■ Kisah Ayam Petelur Made in Blang Bintang
Bisakah Zaini Abdullah Lepas Tangan?
DIKENANG tiga tahun silam, dua mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dr. H. Zaini Abdullah dan H. Muzakir Manaf (ZIKIR) resmi menjabat sebagai orang nomor satu dan dua di Aceh. Pelantikan keduanya dilakukan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, pada Sidang Paripurna Istimewa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Jalan Teungku Daud Beureueh, Banda Aceh, Senin, 25 Juni 2012 silam. ejak itulah, mantan Menteri Kesehatan dan Luar Negeri gerakan Aceh merdeka (GAM), dr. H. Zaini Abdullah dan mantan Panglima GAM Muzakkir Manaf resmi mengelola Aceh untuk masa jabatan lima tahun. Namun, walau berjalan pada pertengahan tahun pertama atau lanjutan dari pejabat Gubernur Aceh Tarmizi A. Karim, tapi tetap dapat mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), Rp 9,511 triliun. Begitupun, setelah enam bulan bekerja, pada tahun anggaran 2013, giliran program murni Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dr.H. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf dilaksanakan bersama eksekutif dengan total anggaran Rp 11,78 triliun dan bertambah menjadi Rp 12,39 triliun pada anggaran perubahan. Dari APBA sebanyak itu, teralokasilah berbagai program, ter-
S
masuk peruntukan bagi mantan GAM se-Aceh. Terkait, bantuan bersifat hibah ini tak tanggungtanggung, Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah menggelontorkan dana segar Rp 650 miliar. Peruntukan bantuan tadi dengan tujuan untuk menyejahterakan mantan kombatan GAM yang disebut-sebut berkat usulan petinggi Komite Peralihan Aceh (KPA). Penempatan dana segar itu, menyebar di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Nah, program itu berupa pengadaan kapal nelayan yang disalurkan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. Seterusnya, untuk pertanian Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan serta Dinas Perkebunan. Begitu juga program ayam petelur dan penggemukan sapi disalurkan melalui Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh. Adanya peruntukan dana Rp 650 miliar pada tahun 2013
lalu itu juga pernah diucapkan orang nomor satu Aceh dr. H. Zaini Abdullah. Dalam pertemuan dengan mantan kombatan GAM alumni Tripoli, Libya di The Pade Hotel, Sabtu, 21 November 2015 lalu, Gubernur Aceh juga menceritakan bantuan dimaksud. Menurut Sayed Mustafa Usab yang ikut hadir dalam pertemuan saat itu, Gubernur Aceh mengaku, oknum mantan GAM tak bisa dipercaya. Sebab, bantuan Rp 650 miliar tahun 2013 sudah dinikmati. “Memang Gubernur Doto Zaini tidak menyebut KPA, tapi dia mengaku dana Rp 650 miliar sudah dimakan orang kita,” kata Sayed Mustafa Usab. “Makan” diucapkan dr. H. Zaini Abdullah dalam bahasa Aceh, kata Sayed. “Awak tanyoe han jeuet tapeucaya. Peng Rp 650 miliar ka habeh dipantak,” ujar Doto Zaini dalam bahasa Aceh. Adanya kalimat awak tanyoe (orang kita), diakui Sayed Mustafa yang juga alumni GAM Libya ini, mereka sudah paham dan maksud dari ucapan Doto Zaini tadi. Menurut mantan Koordinator GAM wilayah barat-selatan itu, kesalnya Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah bukan tanpa sebab. Karena, Gubernur Aceh ini meminta pertanggungjawaban terhadap kondisi riil bantu-
an Rp 650 miliar itu tidak dapat ditunjukkan. Itu sebabnya, usulan tambahan untuk kelompok yang sama pada APBA 2014, Rp 550 miliar, ditolak Gubernur Aceh. Dari sikap itulah, hubungan petinggi GAM mulai retak jika tak elok disebut pecah kongsi. “Ketika diusulkan program tambahan Rp 550 miliar, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menolak. Cerita Doto pada kami, alasan beliau menolak karena saat diminta pertanggungjawaban program Rp 650 miliar tahun 2013 tidak ada,” kata Sayed Mustafa Usab. Lepas dari semua itu, banyak pihak berharap, terkait dana Rp 650 miliar jangan sampai berbalik arah terhadap Gubernur Aceh saat itu, dr. Zaini Abdullah. Sebab, sebagai orang nomor satu Aceh, dia tak bisa lepas tangan begitu saja terhadap penggunaan fulus milik negara ini. Apalagi, ada indikasi, sejumlah kerabatnya diduga juga ikut ‘bermain’ dalam menentukan perusahaan pelaksana. “Para mantan kombatan GAM itu kan hanya penerima hibah atau manfaat. Semua proses ada di Pemerintah Aceh (SKPA). Jadi, dia ikut bertanggungjawab juga,” ungkap sumber media ini. *** Kisah ini berawal pada bulan September dan Oktober 2012.
Ketika itu, masuk proposal program pemberdayaan ekonomi bagi mantan kombatan. Program ini sebenarnya agak terlambat. Sebab, saat itu, KUA PPA telah disahkan bersama antara legislatif dan eksekutif. Namun, proposal senilai Rp 650 miliar itu, kemudian dapat dimasukkan dalam APBA 2013 yang saat itu ditandatangani Kamaruddin Abu Bakar alias Abu Razak sebagai Ketua dan Kautsar Shi, sekretaris. Dalam proposal itu, kemudian, berbagai kegiatan dititipkan atau ditempatkan pada sejumlah SKPA. Misal, Dinas Pertanian, Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Dinas Perikanan. Kegiatan inilah yang kemudian dijalankan oleh para kepala SKPA. Sebab, nilai dan volume kegiatan sangat besar. Bahkan, nilai per kegiatan mencapai miliar. Itu sebabnya, SKPA selaku pengguna anggaran melakukan tender atas kegiatan tersebut. Nah, diduga, dalam proses tender itulah, kemudian tercipta kondisi yang diseting oleh seseorang atau kelompok tertentu untuk memenangkan pengusaha A atau B. Bahkan, ada intervensi kekuasaan untuk memenangkan tender-tender tadi. Orang tadi, memiliki peran sentral pada Kepala SKPA untuk proses pemenangan tender sangat besar ini. “Nah, jika ingin objektif, mari kita cek satu per satu perusahaan-perusahaan mana saja sebagai pemenangan tender dan siapa afiliasi dari perusahaan tersebut. Jangan-jangan ada muaranya juga ke Pendopo. Kita berharap jangan sampai masalah ini blunder. Mendulang air dari tempayan, akhirnya kena muka sendiri,” duga salah seorang petinggi Partai Aceh pada media ini. Alasan lain, andaipun ada mantan kombatan GAM/KPA dan kelompok lainnya, mereka hanya penerima manfaat dari berbagai jenis kegiatan yang dilaksanakan tadi. Muncul sassus, ada pengusaha yang banyak memenangkan paket kegiatan itu diduga sempat beberapa kali melakukan ‘setoran’ kepada pihak terkait atau orang dekat kekuasaan saat itu. Benarkah? Setidaknya, Abu Doto tak bisa lepas tangan begitu saja.***
MODUS ACEH
Di balik berita
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
9
■ Diduga Lakukan Pelanggaran
Apa Karya Sebut Tebang Pilih Bang Lah Minta Panwaslih Belajar Bahasa MODUS ACEH/Azhari Usman
Dua dari tiga kandidat calon Gubernur Aceh pada Pilkada Aceh diminta keterangan oleh Komisioner Panwaslih Aceh. Diduga, mereka melanggar aturan saat debat kandidat tahap awal beberapa waktu lalu. Menariknya, Zakaria Saman (Apa Karya) menyebut Panwaslih tebang pilih, sementara Abdullah Puteh (Bang Lah) minta untuk belajar bahasa Indonesia. Ada-ada saja!
Azhari Usman Abdullah Puteh saat dimintai keterangan Panwaslih Aceh.
S
ABAR itu ada batasnya. Mungkin pesan itulah yang ingin disampaikan dan tunjukkan Abdullah Puteh atau akrab disapa Bang Lah, salah satu calon Gubernur Aceh nomor urut 3 pada Pilkada Aceh, 15 Februari 2017. Maklum, mantan Gubernur Aceh ini dituding telah melakukan pelanggaran saat debat kandidat beberapa waktu lalu di Hotel Hermes Banda Aceh. Bersama dia, ada dua calon dari jalur perseorangan (independen) lainnya yang ditohok tuduhan serupa, yaitu Zakaria Saman (Apa Karya) dan Zaini Abdullah (Abu Doto). Tapi, hanya Bang Lah dan Apa Karya yang memenuhi undangan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh tersebut. Sementara, Abu Doto, tak hadir tanpa keterangan yang jelas. “Justru saya harus mengajar Anda tentang tugas anggota Panwaslih Aceh,” ujar Abdullah Puteh dengan nada sedikit tinggi. Kalimat itu disampaikan ketika Panwaslih Aceh memintai keterangan dari dirinya di Kantor Panwaslih Aceh, Rabu, 11 Januari 2016, Banda Aceh. Nah, seharusnya, Panwaslih mengerti dulu apa tugasnya,
salah satunya harus netral, sebut Bang Lah. “Ini sungguh tidak netral,” protes Bang Lah. Menurut dia, Panwaslih Aceh tak semata-mata mendengar dan merujuk pada rekomendasi surat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh, sehingga seenaknya saja memanggil pihaknya. Harusnya, kritik Bang Lah, Panwaslih Aceh meneliti dulu apakah ucapannya ada unsur pelanggaran atau tidak. “Sungguh sangat merugikan kami, apalagi status kami sebagai kandidat. Bagaimana pe-
untuk memakai narkoba. Itulah yang dipersoalkan Panwaslih Aceh berdasarkan rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh. “Saya dengar elit-elit politik Aceh banyak ke Malaysia memakai narkoba. Itu kan kalau kita analisa, tidak ada yang salah karena saya mengatakan mendengar, bukan saya yang bilang,” bantah Bang Lah. Dihari yang sama, Panwaslih Aceh, Rabu,
Zakaria Saman
nilaian masyarakat terhadap kami? Apalagi, dalam surat panggilan yang dilayangkan Panwaslih Aceh, saya disebutkan telah melakukan pelanggaran, padahal kami belum diperiksa. Kok sudah dikatakan seperti itu,” tegas Bang Lah. Sekedar mengulang, saat debat kandidat tahap pertama, Bang Lah sempat mengeluarkan pernyataan tentang elit politik Aceh yang pergi ke Malaysia
11 Januari 2017, juga meminta keterangan dari calon Gubernur Aceh Nomor Urut 2; Zakaria Saman atau akrab disapa Apa Karya. Diduga, dia telah melakukan pelanggaran saat debat kandidat tahap satu beberapa waktu lalu di Hotel Hermes Banda Aceh. Pemeriksaan itu dilakukan di Kantor Panwaslih Aceh, Banda Aceh. Pemanggilan Apa Karya oleh Panwaslih, berdasarkan surat
rekomendasi dari KPI Aceh dan Panwaslih sebagai lembaga pengawas, berhak meminta keterangan tentang pelanggaran yang dilakukan. Namun, usai pemeriksaan, pada MODUSACEH.CO (Kelompok Media MODUS ACEH dan INSPIRATOR), Apa Karya mengatakan, ada beberapa pernyataan yang dipersoal KPI Aceh, yaitu mengenai ucapan yang dilontarkannya saat debat kandidat tahap satu itu. “Ada beberapa statemen saya yang dipersoalkan seperti bek pileh mie lam karung (jangan beli kucing dalam karung). Artinya, jangan pilih pemimpin tanpa mengetahui latar belakangnya. Ada lagi tentang (tinggai Apa) tinggal apa. Itu artinya yang belum pernah memimpin Aceh cuma Apa. Yang dimaksud Apa adalah Apa Karya atau Zakaria Saman,” ujarnya. Begitupun, Apa Karya mengaku tetap kooperatif apabila diminta keterangan lanjutan. Namun, Zakaria Saman juga mempertanyakan sikap Panwaslih Aceh yang terkesan tebang pilih. Dia memberi contoh ketika pasangan nomor urut 5 Muzakir Manaf-TA Khalid mengatakan, “Bek töh ék dalam gaca minyeuk
angen (jangan buang air besar dalam kaca minyak angin). Kejadian itu, sebut Apa Karya, di depan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Tapi, mengapa Panwaslih Aceh tidak memanggil mereka. “Saya percaya kalau Allah SWT menghendaki saya menjadi Gubernur Aceh. Apa pun yang terjadi, saya pasti jadi gubernur karena janji Allah itu pasti,” sebut Apa Karya, yakin dan tenang. Menanggapi protes Bang Lah dan Apa Karya, Panwaslih Aceh tetap pada pendiriannya. Menurut mereka, setiap laporan yang masuk akan diproses, termasuk akan memanggil siapa saja calon Gubernur Aceh yang diduga melakukan pelanggaran. “Tugas kami hanya meminta keterangan. Setelah itu, kami analisa dan selanjutnya baru akan kami putuskan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada calon-calon gubernur ini,” ujar Ketua Panwaslih Aceh, Said Firdaus. Panwaslih Aceh juga memanggil calon Gubernur Aceh nomor urut 4 yaitu Zaini Abdullah untuk dimintai keterangan. Namun, Zaini Abdullah yang akrab disapa Abu Doto tak menyambangi Kantor Panwaslih Aceh.***
10
MODUS ACEH NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
Aceh Timur
AKSI TAMU TAK DIUNDANG DI LAPAS IDI waspada
Muhammad Iqbal (26) berhasil kabur dari Lapas Idi, Aceh Timur setelah dijemput ‘tamu tak diundang’ berseragam TNI. Cara baru melepas tahanan? Muhammad Saleh | Kontributor Aceh Timur
alam belum begitu gelap. Jarum jam juga masih berada di angka 18.30 WIB, Sabtu pekan lalu. Saat itu, ratusan narapidana di Lembaga Permasyarakatan (LP/lapas) Idi, Kabupaten Aceh, Provinsi Aceh sudah bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Maghrib. Berbeda dengan Muhammad Iqbal (26), seorang tahanan narkoba di LP itu. Dia justru tampak sedikit rapi dari biasanya. Tak ada gelagat aneh, apalagi mencurigakan. Tenang, seolah tidak akan terjadi apa-apa. Lima belas menit kemudian atau pukul 18.45 WIB, dua pria berseragam oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI), mengendarai mobil Avanza, nomor polisi BK 2012 KZ tiba dan parkir di depan LP. Salah satu dari mereka menenteng rantang nasi. “Kami ingin bertemu dengan Iqbal,” kata salah seorang dari mereka pada sipir, penjaga LP saat itu. Tak curiga, sang sipir itu pun kemudian memanggil Iqbal dan membawanya ke ruang lobi LP. Belum sempat merebahkan badannya di kursi tamu. Tibatiba, dua oknum berseragam TNI itu mendorong petugas jaga dan membawa kabur Iqbal. “Aksi itu begitu cepat terjadi, persis sep-
M
Pengawasan Rutan Idi.
erti di film-film action,” kata sumber media ini di LP tersebut. Diduga, sebut sumber tak mau ditulis namanya ini, Iqbal bersama dua orang tadi kabur dalam kegelapan malam, menuju arah barat atau Kabupaten Aceh Utara. Hingga kini, tak jelas nasib Iqbal. Dari catatan narapida yang ada di LP itu, Muhammad Iqbal adalah warga Desa Tanah Rata, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Dia terjerat perkara narkoba dengan masa tahanan 16 tahun dan sudah menjalani tahanan selama satu tahun. Diduga, mudahnya Iqbal kabur karena jasa dua orang berseragam TNI yang datang ke LP itu. Caranya, ya itu tadi, purapura ingin mengantar nasi dan melihat wajah Iqbal. Kepala Rutan Idi, Yusnaidi, pada awak media, Minggu pekan lalu membenarkan bahwa Iqbal adalah terpidana kasus narkoba. Dia divonis 16 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Idi, Aceh Timur. “Namun, kasusnya belum inkrah karena masih dalam proses banding ke Pengadilan Tinggi,” kata Yusnaidi.
Yusnaidi menyebutkan, berdasarkan keterangan yang dikumpulkan, kejadian tersebut diawali dengan kedatangan mobil Avanza warna hitam BK 1220 KZ, pada pukul 19.15 WIB. Mobil itu parkir tepat di depan teras masuk Rutan Idi Rayeuk yang berada di tepi jalan Medan-Banda Aceh, kawasan Gampong Jalan. Dari mobil itu, jelas Yusnaidi, turun dua laki-laki berpakaian loreng, namun tidak terlihat menyandang senjata. Sementara, seorang lain yang duduk di kursi supir menunggu di dalam mobil. Kemudian, kedua pria itu berjalan menghampiri dan menggedor pintu masuk rutan (pintu portir). Saat petugas jaga, Husni (30) menanyakan maksud dan tujuan kedatangan mereka sembari memperlihatkan bungkusan plastik warna merah, kedua pria itu mengatakan hendak menitipkan makanan kepada Iqbal. Husni kemudian meminta tahanan pendamping bernama Zaki untuk memanggil M Iqbal ke dalam sel. Saat M Iqbal tiba di ruang portir, kedua pria berpakaian
loreng ini meminta petugas jaga membuka pintu portir untuk memberikan makanan secara langsung kepada M Iqbal. “Ketika petugas jaga membuka pintu portir, kedua pria itu langsung mendobrak masuk ke dalam. Mereka langsung memegang tangan Iqbal dan bertanya, ‘Mana uang teman saya?’ sambil menyeret Iqbal keluar dan memasukkannya ke dalam mobil. Mereka langsung tancap gas ke arah Banda Aceh,” jelas Yusnaidi. Saat kejadian itu, jelas Yusnaidi, di ruang portir hanya ada satu orang penjaga. Sedangkan yang lainnya di dalam blok karena waktu itu baru selesai shalat Maghrib. “Setelah kejadian ini, saya sudah melaporkannya ke Polsek dan Koramil Idi Rayeuk, Kapolres dan Dandim, serta Komandan PM Langsa,” kata Yusnaidi. Diduga, kaburnya Iqbal masih belum lepas dari persoalan jual beli narkoba. Itu terindikasi dari hukuman yang diterima Iqbal serta pertanyaan dua pria tak dikenal tersebut. Mereka mempertanyakan, “Mana uang teman saya?”.
Nah, karena berbagai dugaan itulah, Kepolisian Resor Aceh Timur mengaku masih menyelidiki kasus tersebut. Kapolres Aceh, Timur AKBP Rudi Purwiyanto, pada wartawan mengatakan, informasi yang sempat beredar bahwa pelaku menggunakan senjata tidak benar, karena berdasarkan penyelidikan polisi, tidak ada saksi lain yang mengetahui kejadian itu. “Hasil interogasi terhadap saksi Husni dan Zaki, saat itu datang dua orang pelaku dari luar dan minta untuk membukakan pintu. Kemudian, saat dibukakan pintu, kedua orang tersebut menarik Iqbal keluar dan memasukkan ke dalam mobil Avanza warna hitam BK 1220 KZ,” kata Rudi Purwiyanto. Namun, tambah Rudi, belum ada keterangan saksi lain di luar lapas yang menerangkan ada mobil Avanza di depan rutan. “Sampai saat ini, polisi masih melakukan penyelidikan dan belum bisa menyimpulkan apakah pelaku diculik atau melarikan diri yang telah direncanakan dari awal dengan cara dijemput,” jelas Rudi Purwiyanto.***
MODUS ACEH
kolom
11 Demi Waktu, Demi Rakyat NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
aya terkaget ketika membaca buku Chomsky pada bagian “Demokrasi yang Cacat”. Ia mengatakan bahwa peran publik di dalam demokrasi “adalah sebagai penonton.” Bahkan, katanya, publik menurut Lippmann adalah “kawanan yang membingungkan.” Dalam teori demokrasi yang lama, dikenal istilah rakyat jelata. Dalam teori demokrasi modern disebut publik. Jika demikian, saya ini adalah bagian dari “penonton”? Saya ini adalah bagian dari “kawanan yang membingungkan” itu? Kalau dilihat dari satu seri waktu berdemokrasi, memang ada sebuah siklus bernegara. Pertama, individu mondar-mandir ikut kampanye dan pulang menggenggam receh, serta pada hari-H mencoblos (kandidat partai untuk menjadi eksekutif dan legislatif) pada setiap pilpres, pileg dan pilkada yang diselenggarakan setiap lima tahunan. Kedua, individu menonton hasil penghitungan suara dan berlanjut per tahun menonton pertarungan eksekutif dan legislatif, serta persekongkolan mereka dalam membagi kekuasaan di parlemen. Ketiga, individu mulai mendengar atau membaca argumen-argumen apologis dari anggota parlemen dan pelaksana ek-
S Otto Syamsuddin Ishak*
sekutif sekait penyusunan (selentingan) dan pengesahan APBA (yang relatif mengemuka). Mari kita letakkan siklus demikian di dalam konteks kompetisi pengesahan APBA 2017 antara pihak yang mau meng-qanunkan dengan pihak yang hendak mem-pergub-kan APBA senilai Rp 14,5 triliun. Hal yang pasti, nilai tersebut terus meningkat sejak 2012 (bernilai Rp 9,511 triliun), dengan tak perlu perduli habis atau sisa anggaran itu, apalagi terhadap naik-turunnya angka pengangguran dan kemiskinan “kawanan yang membingungkan” ini. Saya tertarik untuk melihat perilaku politisi muda, yang beranjak dari latar belakang yang berbeda dan berasal dari partai yang berbeda pula, namun sama-sama memiliki posisi yang di atas kertas bisa bermain tikitaka yang menentukan. Bagaimanakah mereka berapologi terhadap “kawanan yang membingungkan” ini? Khususnya, mereka yang telah bersikap pro-
kontra terhadap tindakan politik untuk mengqanun-kan atau mem-pergub-kan APBA, yang mereka ekspresikan melalui media arus utama maupun medsos. Suara mereka rupanya sudah bagaikan suara lebah yang mendengung-dengung di sekitar telinga politisi di legislatif dan pejabat eksekutif, sehingga sangat mengganggu tidur siang mereka. Bahkan, ada juga pihak yang memutar tindakan politik untuk mem-pergub-kan RAPBA adalah bentuk tindakan politik pusat untuk mendikte Aceh. Apa relevansinya? Bukankah lebih relevan bahwa perlambatan meng-qanun-kan RAPBA merupakan tindakan politik yang memperlambat kesejahteraan rakyat Aceh sendiri? Seorang politisi muda berapologi dengan waktu yang singkat, sehingga mustahil untuk meng-qanun-kan sesuai dengan batasan waktu yang disodorkan pihak eksekutif. Apalagi, terkendala oleh perubahan struktur dan Organisasi Tata Kerja (SOTK) pemerintahan, yakni restrukturisasi berdasarkan PP 18/2016 tentang Organisasi Perangkat Pemerintah, maka perlu perubahan Qanun 5/2007. Baiklah, namun Aceh punya rekam jejak yang selalu telat mensahkan anggaran pembangunan (APBA). Untuk 2016, misalnya, Kemendagri sudah mengingatkan sejak Agustus 2015, “Kita tak ingin Aceh kembali terlambat mensahkan anggarannya. Jangan seperti tahuntahun lewat, Aceh selalu telat.” Nampaknya, DPRA tak mengambil hikmah dari keterlambatan yang berulang, yang sudah menjadi siklus tahunan yang mencerminkan kapasitas kinerja yang rendah. Keterlambatan ini memiliki sanksi. Keterlambatan ini memiliki konsekuensi pada dinamika perekonomian Aceh, khususnya peredaran uang dan akhirnya menohok kesejahteraan masyarakat. Sementara, penyusunan Rancangan APBA memiliki agenda waktu yang tersendiri. Ketika muncul PP 18/2016, apakah tidak dapat disinkronkan atau diparalelkan kedua agenda tersebut dalam mengeksekusinya? Nampaknya, DPRA tidak mengikuti penjadwalan waktu penyusunan APBA dan tidak mampu untuk mengeksekusi agenda secara pararel, sehingga waktu berjalan dan terbuang terus, dan selanjutnya waktu dijadikan alasan untuk menutupi niat busuk atau kapasitas kinerja yang rendah. Politikus muda lainnya sedikit agak tipis telinganya, sehingga mudah tersinggung oleh kritikan yang disampaikan publik melalui berbagai media. Ia berapologi dengan demi kepentingan masyarakat, sehingga butuh waktu untuk mempertimbangkan RAPBA yang disodorkan oleh pihak eksekutif. Meskipun ia tak menguraikan, apa yang ia
maksudkan dengan kepentingan masyarakat itu. Jika kita merujuk pada tahun 2015, manakala berlangsung pembahasan RAPBA 2016, maka apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat adalah tuntutan anggota DPRA kepada pihak eksekutif untuk menaikkan dana aspirasi dari Rp 10 miliar ke Rp 20 miliar. Namun, pihak eksekutif belum memenuhi, sehingga DPRA melayangkan surat ke pihak eksekutif bahwa mereka belum bersedia membahas RAPBA 2016. Demi kepentingan masyarakat seperti inilah yang memperlambat RAPBA menjadi qanun. Sejauh manakah dana aspirasi anggota DPRA tersebut secara signifikan menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan? Sebetulnya, Aceh belumlah sampai ke hal meningkatkan kesejahteraan. Kepentingan masyarakat—yang secara eksplisit adalah dana aspirasi anggota dewan—hanya dipakai untuk membangun apologi politik, yang beranjak dari kepentingan masyarakat, tetapi tidak bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat bila APBA di-qanun-kan atau dipergub-kan. Peningkatan dana aspirasi hanya rupa lain candu politik untuk–seperti money politic dalam pilkada—menciptakan ketergantungan hidup pada personal anggota parlemen yang rentan terhadap korupsi atau bahkan justru membangun jaringan korupsi merebak hingga ke lapisan sosial terbawah. Praktek politik yang melambatkan pengesahan RAPBA–apalagi bila sudah menjadi bagian dari tradisi politik dalam menyelenggarakan negara—justru bisa menjadi salah satu faktor yang menggelembungkan pengangguran dan kemiskinan, yang akhirnya memerosotkan kualitas kehidupan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Chomsky mengatakan, peningkatan terhadap kejahatan dengan kekerasan ada kaitannya dengan adanya “penurunan pendapatan yang luar biasa yang dialami mayoritas penduduk, juga penurunan kesempatan untuk kerja-kerja yang konstruktif.” Sejak 2012, statistik kekerasan terhadap anak di Aceh cenderung meningkat. Karena itu, tindakan membangun apologi politik berbasis waktu (padahal sudah ada agenda kerja dan terkait kapasitas kinerja) dan kepentingan masyarakat (karena tidak signifikan terhadap angka pengangguran dan kemiskinan) adalah menyesatkan publik. Hal itu tidak menyelesaikan masalah dalam meng-qanun-kan RAPBA yang sudah hampir satu dasawarsa di dalam rezim politik pasca MoU Helsinki yang terus selalu terlambat. Ada baiknya, para politisi yang memiliki tanggung jawab moral untuk membangun apologi politiknya dengan cara menjelaskan dinamika politik antara DPRA dan gubernur; dan merincikan dinamika internal DPRA, baik antar fraksi maupun anggota di dalam kaitannya dengan penyusunan dan pembahasan RAPBA. Meskipun hal ini hampir mustahil karena membuka aurat, sehingga akan merusak persekongkolan jahat terhadap rakyat.*** ■ Sosiolog
12
MODUS ACEH
utama
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
MENGENDUS ALIRAN DANA YAYASAN TABINA ACEH
Yayasan Tabina Aceh, tahun 2016 lalu, mendapat alokasi anggaran Rp 3,267 miliar dari Kementerian Sosial Republik Indonesia. Dana tersebut untuk menjalankan program kerja sama rehabilitasi korban pengguna narkoba, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA) di Aceh. Dari Rp 3,267 miliar dana itu, salah satu peruntukannya untuk biaya makan residen. Nilainya, Rp 25 ribu per hari selama enam bulan untuk satu periode rehab residen. Jumlah residen di Yayasan Tabina Aceh ada 367 orang. Mereka tersebar di dua lokasi, Lhokseumawe dan Gampong Garot, Aceh Besar dengan jumlah residen 50 orang. Lalu, dari Rp 3,267 miliar itu, juga diperuntukkan untuk baju seragam residen. Namun, kabarnya baju tersebut tak kunjung dibagikan. Kini, panti rehab di Garot, Darul Imarah, Aceh Besar sudah tutup dengan alasan renovasi. Namun, persoalan lain tiba-tiba muncul. Sejumlah residen dan pekerja di Yayasan Tabina Aceh membuat pernyataan sikap yang ditujukan pada Direktur Rehabilitas Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA, Kementerian Sosial Republik Indonesia, Jakarta. Apa pernyataan sikap itu? Wartawan MODUS ACEH, Juli Saidi dan Azhari Usman Usman, menulisnya untuk Liputan Utama pekan ini.
mirul Mukminin asal Kabupaten Aceh Barat adalah satu dari puluhan residen yang menjalani rehabilitasi di Yayasan Tabina Aceh, Jalan Garot, Nomor 6, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Dia adalah korban penyalahgunaan NAPZA jenis ganja dan sabu-sabu. Itu sebabnya, Amirul Mukminin menjalani rehabilitasi di Yayasan Tabina Aceh, Darul Imarah, Aceh Besar sejak April 2016 lalu. Lima bulan kemudian atau September 2016, masa rehab selama enam bulan di Yayasan Tabina Aceh sudah tuntas dijalaninya. Kini, Amirul Mukminin sedang mengikuti proses pasca rehab. Program ini merupakan kerja sama Yayasan Tabina Aceh dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). “Benar ada kerja sama, tapi untuk itu saya minta persetujuan atasan saya dulu,” kata Saiful dari BNN Aceh melalui sambungan telepon, Jumat pekan lalu. Ini artinya, ada tiga sumber suntikan dana yang diterima Yayasan Tabina Aceh. Pertama, Kementerian Sosial (Kemensos), Rp 3,267 miliar. Kedua, BNN dan ketiga, iuran dari keluarga residen. Jumlahnya, Rp 300 ribu per bulan. Ambil contoh dana dari residen.
A
Amirul Mukminin
Jika jumlah klien yang direhab pada Yayasan Tabina Aceh berjumlah 50 orang (kantor di Aceh Besar), maka suntikan fulus untuk satu tahun adalah Rp 180 juta, ditambah dari Kemensos Rp 3,267 miliar tadi. Untuk dua sumber ini saja, Yayasan Tabina Aceh sudah mengelola anggaran hingga Rp 3,447 miliar per tahun. Namun, yang jadi soal adalah besarnya dana tadi tidak sebanding dengan pelayanan terhadap korban rehabilitasi atau residen. Bahkan, pemberian makan pada residen juga dianggap tidak layak. General Manajer Yayasan Tabina Aceh, dr. Natalina Christanto dan salah seorang residen Amirul Mukminin mengaku, biaya makan pagi, siang dan malam untuk satu orang
residen tarifnya Rp 10 ribu. Itu sebabnya, tak jarang residen menggoreng telur ayam sendiri untuk mengisi perutnya. Tak hanya itu, enam butir telur terpaksa dibagi untuk 50 residen. “Dari Rp 10 ribu, dua ribu untuk pagi, siang dan malam Rp 4 ribu. Anggarannya dari residen yang disetor ke yayasan Rp 300 ribu per bulan,” ungkap Amirul Mukminin di Beurawe, Banda Aceh, Kamis, 12 Januari 2017. Selain Amirul, cerita miris tentang Yayasan Tabina Aceh di bawah kepemimpinan dr. Arief El Habibie ini diungkapkan dr. Natalina dalam pernyataan sikapnya, termasuk residen, tukang masak, pekerja sosial, dan konselor Yayasan Tabina Aceh. Residen mengatakan, selama mereka menjalani rehabilitasi di Yayasan Tabina Aceh, diberikan makanan yang tidak layak konsumsi. Misal, ikan yang gatal-gatal dan bau busuk. “Kami pernah tak makan seharian dan hanya makan daun kangkung,” kata Amirul dalam pernyataan sikap yang telah diserahkan pada Dinas Sosial Aceh untuk diteruskan pada Kemensos RI, 27 Desember 2016 lalu. Nurjannah, tukang masak di Yayasan Tabina Aceh, juga membuat pernyataan sikap. Mereka mengungkapkan, sejak 13 Oktober sampai 23 Desember 2016, mereka hanya mendapatkan honor masak Rp 500 ribu per bulan, dari biaya makan residen per orang Rp 12 ribu untuk tiga kali makan. Makanya, Nurjannah terpaksa berhutang pada warung dan mengambil inisiatif sendiri untuk berbelanja menggunakan uang pribadi. “Saya merasa sedih dengan jumlah dana yang diberikan untuk keperluan lauk residen. Sehingga, saya sering mengambil inisiatif untuk belanja lebih dengan menggunakan uang pribadi,” ungkap Nurjannah dalam surat pernyataan sikapnya, 27 Desember 2016 lalu. Diakui dr. Natalina, ia sempat menggantikan tukang masak Yayasan Tabina Aceh dari Zulfikar pada Nurjannah. Dan, kabarnya, dari situlah, beredar sas-sus, dr. Arief El Habibie tak suka lagi pada dr. Natalina. Tapi, Natalina mengaku, dia mengambil tukang masak lain karena prihatin terhadap masakan residen. Sehingga, dia memberanikan untuk menggantikan Zulfikar dengan Nurjannah.***
MODUS ACEH
utama
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
13
■ Atas Nama Program Rehabilitasi Pengguna Narkoba
DANA DIRAUP PEMBINAAN REDUP
FOTO: IST
Bukan hanya biaya makan, baju seragam, makanan ringan hingga tes urin ditanggung Kemensos RI untuk setiap residen yang menjalani rehabilitasi di Yayasan Tabina Aceh tahun 2016. Namun, mengapa pelayanan justru tak sepadan?
urat pernyataan sikap itu dibuat 11 konselor adiksi Yayasan Tabina Aceh. Mereka adalah Arif Mizalman, Teuku Muhammad Zulfikar, Teuku Muhammad Nur Nikmad, Cut Putroe Andalia, Rina Junita, Muhammad Zaiz, Eka Zahrina, Fahrurrazi, Rahmat Hidayat, Jufri Al Hafidz, dan Mukhlis, tanggal 27 Desember 2016 lalu. Surat itu mengungkapkan berbagai kejanggalan di Yayasan Tabina Aceh. Pernyataan setebal tiga halaman ini juga menceritakan uang laporan staf Asrama 1 yang belum dibayar sejak Maret-Desember 2016. Konselor juga mengungkapkan, Yayasan Tabina Aceh tak menyediakan kebutuhan residen. Sebut saja, perlengkapan mandi, makanan sehari-hari yang tidak layak makan serta perlengkapan obat-obatan ketika residen sakit. Bukan hanya itu, konselor juga mengatakan, mereka juga
S
Residen Yayasan Tabina Aceh Sedang Makan Bersama. Kegiatan Seperti Ini Diakui dr. Natalina Christanto Saat Ia Bergabung, Sebelumnya Kata Natalina Tidak ada, Bahkan Residen Terlihat Pucat.
mendapat tekanan dan ancaman berlebihan dari ketua atau direktur yayasan yaitu dr. Arief El Habibie. Bahkan, mengarah pada pemecatan apabila tidak mengikuti instruksi untuk memanipulasi data residen dan laporan residen. Diakui konselor, mereka disuruh melakukan konseling dan membuat laporan setiap hari walaupun residen tidak mempunyai masalah dan kendala selama menjalani program rehabilitasi. Lalu, beberapa staf, kata konselor tadi, sering tinggal di Yayasan Tabina Aceh dan bekerja double job--security dan konselor. Ini disebabkan, yayasan tidak mempekerjakan tenaga satuan pengamanan (satpam) selama 2016,
sehingga konselor mendapat tanggung jawab lebih dari Yayasan Tabina Aceh. Begitu juga ada beberapa staf yang masuk bulan Juni misalnya, tapi dilaporkan ke Kementerian Sosial RI di Jakarta bulan Januari. Ini artinya, ada dugaan meraup untung dari laporan fiktif yang mengatasnamakan staf bekerja, yaitu enam bulan kegiatan. Bahkan, kata konselor, ketika gaji staf dirapel dan masuk ke rekening, uang tersebut diminta kembalikan ke yayasan, mulai Januari hingga Mei pada tahun berjalan. Padahal, surat keputusan (SK) kontrak yang diberikan kepada staf terhitung dari Januari-Desember 2016. Hanya itu? Tunggu dulu. Ada
delapan staf yang dikuliahkan yayasan menggunakan sumber dana yang tidak jelas (dana yayasan). Lalu, dari 60 staf yang dikontrak Kemensos RI, hanya 40 orang yang benar-benar bekerja dan membuat laporan. Sedangkan 20 orang lagi tidak jelas, baik pada Asrama 1 di Aceh Besar maupun Asrama 2, Lhokseumawe. Nah, muncul dugaan, ada beberapa staf Yayasan Tabina Aceh yang menerima gaji ganda selama 2016. Sebab, beberapa staf tadi mendapat gaji dari BNN dan Kemensos RI. Begitu juga dengan tes urin, hanya dilakukan satu kali, tapi laporan dibuat tiga kali. Ungkapan serupa juga disampaikan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) Yayasan Tabina Aceh. Mereka adalah Muhammad, Safrizal, Natalina, Inka Adera. Keempatnya mengaku, yayasan memungut biaya Rp 300 ribu dari residen dengan alasan untuk kebutuhan uang medis dan makanan ringan. “Tapi, tidak ada buku pengeluaran dan pemasukan secara detail. Jadi, tidak jelas dipakai untuk apa uang tersebut,” kata mereka dalam pernyataan sikap, 27 Desember 2016 lalu. Begitu juga dengan residen yang kabur sebelum enam bulan, disuruh buat laporan sampai enam bulan. Lanjut mereka, kebanyakan staf dari keluarga Ketua Yayasan Tabina Aceh sendiri. Kasubdit Kelembagaan dan
Sumber Daya Direktorat Sosial, Kementerian Sosial RI, Prayitno A. KS, melalui sambungan telepon, Kamis, 12 Januari lalu membenarkan Kemensos RI tahun 2016 ada memberi bantuan dana pada Yayasan Tabina Aceh. Namun, jumlahnya tidak senilai yang diberitakan selama ini. Tapi, bantuan Kemensos RI itu, kata Prayitno Rp 3,267 miliar. Fulus sebanyak itu, sebutnya, digunakan untuk merehabilitasi 367 orang korban penyalahgunaan narkotika di Aceh, yaitu 367 residen tersebar di Lhokseumawe (Asrama 2) dan Darul Imarah, Aceh Besar (Asrama 1). Prayitno mengatakan, setiap satu orang korban menerima bantuan per bulan Rp 1,5 juta dari Pemerintah Pusat atau Kemensos RI, Jakarta. Dan, setiap residen menjalani rehab selama enam bulan. Jika jumlah residen yang direhab di Asrama 1 Yayasan Tabina Aceh, Jalan Garot, Nomor 6, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, maka untuk rehabilitasi residen 50 orang selama enam bulan, Kemensos RI mengucurkan fulus, Rp 450 juta. Artinya, selama Januari-Desember 2016, anggaran bantuan untuk rehabilitasi residen di Asrama 1 Yayasan Tabina Aceh berjumlah Rp 900 juta. Karena, per bulan residen mendapat bantuan Rp 1,5 juta. Untuk tes urin, mesti dilakukan minimal tiga kali dan pihaknya, sebut Prayitno, juga mengeluarkan bantuan biaya
14
MODUS ACEH NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
untuk minimal tiga kali tes urin. “Bantuan itu untuk makan, tes urin, pakaian seragam, menjaga kesehatan yaitu peralatan sabun mandi, sabun cuci, sikat gigi dan lain-lain,” ungkapnya. Selain itu, ada biaya asesmen, konseling, tukang jaga, tapi tidak termasuk biaya obat-obatan. “Karena ini rehabilitasi sosial, Kementerian Sosial itu IPWLnya tidak menggunakan obatobatan, masuk panti rehab, itu sudah berhenti,” katanya. Prayitno menegaskan, sistem rehab Kementerian Sosial berbeda dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kemenkes hanya mengurangi sedikit-sedikit. “Memang tidak boleh ada obatobatan kecuali sakit secara fisik, dia diobati di rumah sakit, diobati dulu sakitnya, baru dikirim lagi ke lembaga itu,” jelasnya. Di Aceh, ulas Prayitno, ada dua yang menerima bantuan dari Kemensos RI yaitu Yayasan Yakita dan Tabina Aceh. Untuk Yakita, jumlah kliennya 20 orang. Sedangkan Tabina 367 orang. Dari 367 orang yang direhab, maka biaya makan per hari Rp 25 ribu. Itu sebabnya, kalau ada yang ingin makan enak, maka boleh diminta tambah pada keluarga yang bersangkutan. “Kalau punya pemerintah itu gratis, tidak boleh bayar, tapi kalau punya masyarakat masih bisa bayar. Tabina punya masyarakat,” sebutnya. Kemudian, dana Rp 3,267 miliar itu diberikan dalam empat tahap. Pertama, Rp 900 juta
utama
Prayitno, A.KS
untuk 100 klien, kedua juga sama. Sedangkan tahap ketiga, Rp 828 juta untuk 92 klien dan tahap keempat, Rp 639 juta untuk 71 klien. “Rincinya, Rp 1,5 juta dikali enam bulan. Tapi, yang besar, ya itu biaya makan,” kata Prayitno. Terkait sas-sus tadi, dia juga mengaku sudah memanggil Ketua Yayasan Tabina Aceh, dr. Arief El Habibie. Tujuannya, mempertanyakan kenapa laporan tidak diberikan pada Dinas Sosial Aceh. Tapi, pengakuan Arif pada Prayitno, pihaknya telah berikan laporan pada Dinas Sosial Aceh, termasuk ke pusat dan arsip. “Kemarin, diperiksa BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) tidak ada masalah. Sampai sekarang, di Aceh, tidak ada temuan. Kalau provinsi lain, ada temuan,” ujar Prayitno. Kalau begitu, masalah apa yang terjadi di Yayasan Tabina Aceh hingga menimbulkan berbagai informasi miring?*** Wordpress
utama
MODUS ACEH NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
15
PATGULIPAT ALASAN RENOVASI DIUCAP MODUS ACEH/Azhari Usman
Akhir Desember 2016 lalu, Ketua Yayasan Tabina Aceh, dr. Arief El Habibie, mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa yayasan itu tutup. Alasan utamanya, karena sedang renovasi. Tapi, banyak pihak menduga, itu dilakukan untuk menghilangkan jejak.
umah berlantai II, Nomor 6, Desa Garot, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh itu terlihat kosong tanpa penghuni. Pintu pagar Asrama 1 milik Yayasan Tabina ini bahkan terkunci. Itu sudah terjadi sejak 22 Desember 2016 lalu. Maklum, Ketua Yayasan Tabina Aceh (YTA), dr. Arief El Habibie, telah mengeluarkan surat edaran tentang penutupan tersebut. Kebijakan ini dibenarkan General Manager YTA, dr. Natalina. Menurutnya, dr. Arief El Habibie yang juga asal Bandung, Jawa Barat beralasan, penutupan asrama itu karena dilakukan renovasi. Itu sebabnya, dr. Arief mengatakan, klien di sana akan dirujuk ke Asrama 2 yang berada di Lhokseumawe. Sedangkan 20 staf diminta pindah ke yayasan rehabilitasi lain. Dan, terhitung 26-30 Desember 2016, asrama itu harus kosong. Namun, sejumlah residen menolak kebijakan tersebut. Begitupun, dr. Natalina tak kuasa menahannya dan dengan terpaksa, 24 Desember 2016, menyerahkan puluhan residen pada keluarganya. Sebab, dia tidak tahu mereka mau ditempatkan di mana. Karena, sejak 25 Desember 2016, panti rehabilitasi tadi sudah mulai kosong, kecuali enam staf yang tinggal luar Banda Aceh dan Aceh Besar. Parahnya, sekira pukul 19.00 WIB, tanggal 25 Desember 2016 lalu, dr. Arief datang bersama dua laki-laki lain. Malam itu juga, Arief mengaku ingin tidur nyaman dipanti dan meminta mereka untuk segera hengkang dari asrama. Saat keluar, tas dan kopor staf diperiksa polisi dengan alasan dr. Arief melaporkan ada TV 21 inci yang hilang. Sehingga, enam staf tadi diperiksa sampai larut malam dan pergi tanpa tujuan. Adanya kebijakan itu, menurut dr. Natalina, setelah berbagai persoalan terungkap, termasuk pasca kehadiran tim BPK RI untuk melakukan pemeriksaan, terkait bantuan Kementerian Sosial RI yang mencapai tiga miliar rupiah lebih. Nah, diduga ada yang tidak beres dari penggunaan kucuran dana tadi. Misal, biaya makan residen malah dipungut dari keluarga mereka yang menjalani rehabilitasi yaitu Rp 300 ribu per bulan. Selain ada temuan, Dinas Sosial Aceh juga menyoalkan karena Arief tak kunjung memberikan laporan singkat pada Dinas Sosial Aceh. Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial (Kabid Rehsos) Aceh, Devi Riansyah,
R
kan lalu. Masih kata Arief, “Saya dari Yayasan Tabina Aceh dan staf dari Yakita Aceh menyerahkan laporan masing-masing ke Bapak Devi. Selanjutnya, laporan tersebut diserahkan ke Tim Auditor BPK RI di Aula Dinsos Aceh untuk tanya jawab atas laporan yang diserahkan tersebut,” ungkap Arief. Dijelaskan, perlu diketahui dan dipahami bahwa bantuan yang diberikan Kemensos RI ke seluruh IPWL/yayasan di bawah Kemensos RI, hanya bersifat stimulan atau subsidi dari Kemensos RI kepada IPWL/yayasan rehabilitasi swasta yang ada di Indonesia. Selain itu, pihak IPWL/yayasan rehabilitasi swasta yang melayani rehabilitaAsrama Yayasan Tabina Aceh di Garot Darul Imarah Aceh Besar, dalam keadaan kosong. si narkoba seluruh Indonesia, mengaku, dia mengetahui Yayasan Tabi- an hanya Rp 140 juta, jadi tidak perlu kita diperbolehkan memungut biaya atau tarif na Aceh hanya satu kali pertemuan. Na- panggil dan juga audit mereka pun tidak pelayanan rehabilitaasi narkoba kepada mun, ia tidak mengetahui tentang aktivi- dipersoalkan,” katanya. klien/keluarga, seperti yang dilakukan Lantas, apa Ketua Yayasan Tabina saat ini oleh sebagian besar IPWL/yatas yang dilakukan yayasan tersebut. Alasan Devi, pihak yayasan tidak pernah Aceh, dr. Arief El Habibie. Dihubungi mela- yasan rehabilitasi swasta di bawah Kemelapor kepada dirinya. Dia justru men- lui telepon seluler, dokter asal Jawa Barat mensos RI di Indonesia. gaku terkejut ketika dimintai keterangan dan sudah beristri dengan putri Aceh itu Nah, soal biaya perawatan klien, itu oleh Auditor BPK RI Pusat, terkait bantu- kemudian memberi klarifikasi melalui su- merupakan kewenangan dari aturan/kebian dari Kementerian Sosial (Kemensos) rat elektronik (email). Dia menjelaskan, jakan masing-masing IPWL/yayasan yang RI, tiga miliar rupiah lebih untuk Pusat terkait pengakuan Devi Riansyah (Kabid ada di Indonesia. “Penggunaannya dikelRehabilitasi Yayasan Tabina Aceh (YTA). Rehabsos Dinsos Aceh), memang benar ola sendiri oleh yayasan sebagai subsidi/ Devi menceritakan, pertengahan No- saat itu dirinya ada dipanggil untuk meng- tambahan operasional atau kebutuhan lainnya yang dibutuhkan yayasan,” kata dia. vember 2016 lalu, datang tiga orang au- hadap di Dinas Sosial Provinsi Aceh. Terkait laporan kegiatan dan laporan lainnya di yayasan/ IPWL di bawah Kementerian Sosial RI yang berada di seluruh Indonesia. Kata Arief, bukan hanya Yayasan Tabina Aceh yang berkewajiban untuk melaporkan langsung segala jenis laporan tersebut kepada Kementerian Sosial RI di Jakarta. “Dan, Yayasan Tabina Aceh sudah melaporkan segala laporan IPWL pada Kementerian Sosial RI. Jika Dinas Sosial Aceh menginginkannya kembali kami akan berikan sebagai tembusan,” ujar Arief. Dan, laporan tersebut sudah diterima dan juga diaudit Tim BPK RI Pusat pada November 2016 lalu. Mengenai hasil pemeriksaan audit BPK RI beberapa waktu Devi Riansyah dr. Arief El Habibie lalu, kata Arief, “Saya sependapat seperti ditor dari BPK RI Pusat dan meminta ketIni terkait adanya audit rutin dari BPK Pak Devi dari Kabid Rehabsos Dinsos erangan pada dirinya, seputar aktivitas RI Pusat terhadap seluruh program yang Aceh. Kami masih sama-sama menunggu dua Institusi Penerima Wajib Lapor menggunakan dana Anggaran Pendapa- informasi laporan hasil pemeriksaan BPK (IPWL) yaitu YTA dan Yayasan Yakita tan dan Belanja Negara (APBN) di Kemen- RI dari Kementerian Sosial RI,” papar dia. Aceh (YYA), serta adanya bantuan yang terian Sosial RI, khususnya Aceh. Salah Diakui dr. Arief, kegiatan monitoring dikucurkan Kemensos RI kepada yayasan satu programnya berada pada yayasan/ dan evaluasi selama ini sering dilakukan yang merehabilitasi para pasien narkoba IPWL (Institusi Wajib Lapor) dari Kemen- langsung oleh Kementerian Sosial RI. tersebut. “Saya banyak menjawab tidak sos RI yaitu Yayasan Tabina Aceh dan Sebab, ada kaitan dengan bantuan, baik tahu ketika ditanya auditor BPK RI Pusat, Yayasan Yakita Aceh. sebelum bantuan itu diberikan, selama Bang. Karena memang saya tidak pernah Saat itu, sebut Arief, dirinya diminta bantuan itu digunakan dan setelah banmenerima laporan dari yayasan itu,” untuk menyerahkan laporan pada Kabid tuan itu digunakan. ujarnya, Senin pekan lalu. Rehabsos Dinsos Aceh guna pemerik“Soal staf yang dikontrak, penempaDevi melanjutkan, setelah pemeriksaan saan Tim Auditor BPK RI. “Keesokan tannya di seluruh yayasan/IPWL yang ada itu, dia langsung memanggil pihak YTA harinya, saya dan staf dari Yakita Aceh di Indonesia oleh Kementerian Sosial, teruntuk mengklarifikasi tentang aktivitas menyerahkan laporan yang diminta Din- masuk Yayasan Tabina Aceh. Nah, memereka serta pertanggungjawaban atas sos Aceh dan saat itu kami diterima kanisme pembayaran gajinya, langsung bantuan dana yang telah mereka terima. langsung oleh Devi Riansyah sebagai oleh Kementerian Sosial RI melalui rekNamun, sampai sekarang, pihak Yayasan Kabid Rehabsos Dinsos Aceh,” kata Ke- ening masing-masing staf bukan melalui Tabina Aceh belum juga menyerahkan tua Yayasan Tabina Aceh, dr. Arief El Habi- yayasan,” begitu bantah dr. Arief El Habilaporan. “Kalau untuk pihak YYA, bantu- bie, pada MODUS ACEH, Kamis pe- bie.***
16
MODUS ACEH
Utama
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
YAYASAN TABINA ACEH DAN TESTIMONI dr. NATALINA CHRISTANTO
MODUS ACEH/Juli Saidi
Kamis sore, 12 Januari 2017, media ini mendapat penjelasan dari dr. Natalina Chistanto, mantan General Manajer Pusat Rehabilitasi Yayasan Tabina Aceh. Dia berkisah pada catatan setebal tujuh halaman. Selain dr. Natalina, pernyataan sikap serupa juga disampaikan sejumlah konselor, tukang masak, residen dan tenaga kerja spesial Yayasan Tabina Aceh. Berikut ceritanya.
AYA mengenal dr. Arief el Habibie tahun 2007. Saat itu, kami sama-sama bertugas sebagai dokter PTT di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Saya bertugas di Puskesmas Lamteuba, sementara dr. Arief el Habibie bertugas di Puskesmas Saree. Tahun 2008, dr. Arief el Habibie dipindahkan ke Puskesmas Pulo Aceh. Selanjutnya, pindah lagi ke Kabupaten Simeulue dan saya tidak pernah lagi mendengar kabar maupun beritanya. Nah, Juni 2016, dr. Arief el Habibie menghubungi saya melalui akun media sosial (medsos) Facebook dan meminta PIN Blackberry Messenger (BBM) dan nomor telepon seluler. Persis, 14 Juni 2016, dr. Arief el Habibie meminta saya untuk bertemu selesai shalat Tarawih di salah satu kedai kopi di Banda Aceh. Saya penuhi permintaannya. Saya datang bersama suami dan anak. Tidak ada orang lain pada malam itu kecuali kami berempat. Singkat kata, malam itu, dr. Arief el Habibie menyerahkan Yayasan Tabina Aceh yang bergerak di bidang rehabilitasi NAPZA pada saya dengan alasan dia sudah pindah ke Jakarta dan tidak mau lagi kembali ke Aceh. Sejujurnya, saya ragu mengingat rekam jejak yang telah dibuatnya saat bertugas di Aceh
S
Besar. Namun, dr. Arief el Habibie meyakinkan saya bahwa apa yang dilakukannya saat ini murni kegiatan kemanusiaan, demi menyelamatkan putra-putra Aceh yang terjerat narkoba. Disampaikannya, kondisi Yayasan Tabina Aceh dalam masalah, tidak ada dana dan program yang jalan apa pun yang dilakukan murni kerja sosial. Arief el Habibie menyerahkan sepenuhnya yayasan tersebut kepada saya dan dia mengaku tidak akan ikut campur lagi dalam masalah apa pun. Dia hanya fokus mencari donator di luar Aceh. Setelah meminta persetujuan suami, saya menyatakan bersedia untuk membantu dan membina putra-putra Aceh yang sedang menata kembali hidup mereka di Yayasan Tabina. Disampaikan dr. Arief el Habibie bahwa Yayasan Tabina Aceh mempunyai empat tempat, yang semua diserahkan kepada saya untuk dibenahi, yaitu Asrama 1 Banda Aceh, Asrama 2 Lhokseumawe, pasca rehab, dan pusat administrasi di Banda Aceh. Semuanya harus dikelola dengan dana yang sangat minim. Tidak ada dukungan dari pihak mana pun, baik Dinas Sosial Aceh maupun BNN Provinsi Aceh. Dalam perjalanan, selanjutnya, dr. Arief el Habibie sangat jarang datang ke Aceh. Sebaliknya, kami berkomunikasi hanya via telepon, BBM, atau WhatsApp. Nah, pertama, saya berjumpa dengan klien rehab di Asrama 1 Banda Aceh. Semua dalam kondisi tidak sehat dan ketakutan. Putih pucat, mata cekung seperti orang kurang gizi. Awalnya, klien tidak berani berbicara dengan saya. Namun, saya berupaya melakukan pendekatan dengan mereka dan akhirnya saya mendapatkan informasi bahwa mereka sering mendapatkan perlakuan tidak wajar seperti pemukulan, dirantai di jeruji besi tanpa pakaian, dikurung dalam rumah 24 jam serta tidak pernah melihat matahari. Dan, M. Syaifullah Assydiqqy (adik kandung dr. Arief el Habibie sekaligus bendahara Yayasan Tabina Aceh) dan Yogie Kurniawan Wijaya (konselor sekaligus asisten pribadi dr. Arief el Habibie) setiap hari makan
nasi basi dan ikan busuk. Sarapan pagi juga dengan telur yang sangat tipis. Jangan tanya makan siang dan malam, hanya dengan sepotong ikan goreng tipis serta nasi. Yang menyedihkan saat bulan puasa, mereka hanya berbuka dengan satu potong kue yang dibagi dengan empat orang. Sekali lagi, klien tidak berani protes atau bicara kepada orang tua, karena ketika protes mereka akan menerima hukuman berat dan keluarga diminta menarik klien dengan membayar yang sembilan juta rupiah. Kondisi ini kemudian saya konfirmasi pada staf. Ternyata benar ada kejadian semacam itu. Bahkan, terungkap lagi, honor laporan yang seharusnya menjadi hak konselor, peksos, dan TKS tidak pernah dibayarkan. M. Syaifullah Assydiqqy dan Yogie Kurniawan saat ini berada di Jakarta bersama dr. Arief el Habibie. Menindaklanjuti kenyataan pahit tersebut, saya membuat rapat staf. Saya putuskan, tidak boleh ada lagi tindakan kekerasan di lingkungan panti. Saya akan menindak tegas siapa pun yang melakukan itu di panti. Dan, klien rehab saya ajak melakukan berbagai aktivitas di halaman panti. Tujuannya, agar mereka bisa menikmati matahari dan udara segar. Hasilnya, banyak perubahan terjadi pada klien di panti, yang sebelumnya, isu split (melarikan diri) sangat tinggi sekarang. Namun sekarang, jika pintu terbuka pun, tidak ada lagi yang melarikan diri. Klien sudah nyaman menjalani pemulihan, tanpa siksaan dan rasa takut. Mengenai masalah makan klien rehab, saya tanyakan langsung kepada dr. Arief el Habibie. Berapa uang makan klien per orang untuk per hari dan bagaimana yang seharusnya, dr. Arief el Habibie hanya menjawab; masalah makan tanya aja pada Ikhsan (adik ipar dr. Arief el Habibie), karena dia yang belanja dan uang pada dia.
Dan, sesuai instruksi dr. Arief, lalu saya tanya kepada Ikhsan. Nah, dari Ikhsan, saya mendapatkan informasi. Setiap hari, dia belanja ikan dan sayuran Rp 300 ribu untuk makan siang dan malam klien di Asrama 1 Banda Aceh. Dan, pasca rehab yang jumlahnya berkisar 45-55 orang. Kadang-kadang uang tersebut tidak cukup, tetapi dipaksakan harus cukup. Sehingga, Ikhsan sering membeli ikan yang sudah lama dan tidak laku karena murah yaitu Rp 100 ribu. Tentu jumlahnya banyak, bisa dapat satu keranjang dan digunakan untuk dua hari makan klien. Sumber uang belanja berasal dari uang bulanan yang disetor keluarga klien setiap bulan, yaitu Rp 300 ribu per orang. Menurut Ikhsan, semua itu dia lakukan atas perintah dr. Arief el Habibie. Misal, uang tersebut digunakan untuk makan harian klien yaitu Rp 10 ribu per orang
untuk satu hari dengan pembagian makan pagi Rp 2.000, makan siang Rp 4.000 dan makan malam Rp 4.000. Jangan tanya untuk biaya sehari-hari, sumber uangnya dari dana bulanan klien, seperti pembelian voucer listrik, alat kebersihan, alat tulis, air minum isi ulang, dan beras. Nah, dari dana minim tadi, Ikhsan harus mengatur dengan baik semua penggunaan uang tersebut dan akhirnya membeli barang-barang murah agar bisa mencukupi, hingga akhirnya dibelinya beras plastik. Kenapa beras plastik? Karena warna beras sangat putih. Ketika dimasak, mudah dibentuk bola-bola dan dilempar ke dinding tidak hancur. Jika tersisa dan diberikan untuk ikan-ikan di kolam, warna air kolam berubah hitam dan berbau, ikan-ikan pun mati. Saat itu, saya cek persediaan beras, jumlahnya masih lebih dari 10 karung dan semua sama.
MODUS ACEH
Utama
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
17 FOTO: IST
dr. Natalina Christanto Outbound Bersama Residen Yayasan Tabina Aceh.
Saya minta Ikhsan mengganti semua beras tersebut, tapi jawabannya tidak ada uang karena dr. Arief el Habibie tidak pernah memberi uang untuk yayasan. Yang ada hanya uang bulanan klien. Dari keterangan Ikhsan itulah, saya meminta laporan keuangan yang disetor keluarga klien setiap bulan. Ikhsan menjawab tidak ada buku. Secara logika, jika masing-masing klien membayar Rp 300 ribu per bulan dengan jumlah klien rata-rata 50 orang, berarti panti mempunyai uang setiap bulan Rp 15 juta. Semua uang dipegang Ikhsan tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Ikhsan berkelit tidak ada bon, ada keluarga yang belum membayar, kuitansi hilang, dan lain sebagainya. Karena ada yang tidak beres, lalu saya bersikap. Tujuannya, ingin mengetahui semua kejadian ini. Lalu, saya mengganti tukang masak di yayasan yang juga banyak melakukan kelalaian dalam menyiapkan makanan untuk klien dan mencari tukang masak yang baru. Namun, keputusan saya itu ditentang keras dr. Arief el Habibie, tapi saya tetap mengganti tukang masak tanpa ada penambahan uang belanja klien. Saya juga menunjuk bendahara dan kasir yang baru untuk mencatat setiap pengeluaran. Membukukan dengan baik dan menggunakan uang yang diberikan keluarga sesuai dengan pos yaitu uang medis dan snack (makanan ringan) klien. Maklum, obat-obatan juga tidak tersedia secara lengkap di panti.
Bahkan, pernah selama satu bulan tidak ada obat-obatan dan saya membeli sendiri untuk penyediaan di panti dengan uang pribadi. Alasan Ikhsan, lagi-lagi tidak ada uang untuk membeli obat. Tapi, setelah saya protes berulang-ulang, akhirnya saya dan Ikhsan pergi membeli obat-obatan untuk di panti sejumlah satu juta rupiah dan obat-obatan tersebut masih ada hingga panti dibubarkan. Persis Juli 2016, Yayasan Tabina Aceh merekrut 120 orang petugas penjangkauan dan pendampingan di 23 kabupaten/ kota di Aceh melalui iklan di Harian Serambi Indonesia dengan tiga kali tayang. Tugas mereka adalah melakukan penjangkauan dan pendampingan terhadap korban penyalahgunaan NAPZA, melakukan home visit (kunjungan rumah) kepada keluarga klien yang sedang rehab dan melakukan rawat jalan. Saat itu, disampaikan dr. Arief el Habibie bahwa petugas lapangan tidak menerima gaji bulanan, tetapi honor dari setiap kegiatan yang mereka lakukan dengan rincian; untuk penjangkauan dan pendampingan Rp 100 ribu per klien. Untuk home visit Rp 100 per klien dan rawat jalan satu juta rupiah per klien untuk 10 kali konseling dengan dilengkapi bukti kartu tanda penduduk (KTP), tes urin, asesmen, dan laporan konseling. Kegiatan lapangan ini sudah dijalankan sejak Agustus 2016 oleh petugas lapangan. Laporan bulanan juga sudah mulai dikirimkan, tetapi honor mereka tidak
pernah dibayarkan hingga hari ini. Petugas lapangan semua protes dan marah kepada saya, karena selama ini saya yang mengkoordinir kerja mereka dan melakukan verifikasi terhadap laporan-laporan mereka. Tanggal 7 November 2016, saya meminta dr. Arief el Habibie untuk membayarkan honor petugas lapangan. Namun, saya terkejut karena dr. Arief el Habibie mengatakan bahwa; tidak ada kegiatan penjangkauan dan pendampingan di Kemensos RI. Program itu hanya ada di Badan Narkotika Nasional (BNN). Itu sebabnya, semua laporan yang masuk harus diganti dan dijadikan home visit dan harus dibuktikan dengan kuitansi/bon bensin. Sebaliknya, tidak ada kegiatan rawat jalan dan untuk honor petugas hanya dibayarkan Rp 50 ribu per laporan. Itu pun jika ada bukti bon bensin dan dibayarkan sesuai jumlah bon bensin yang tertera. Mendapat jawaban dan penjelasan tersebut, saya sangat marah. Saya ambil keputusan saat itu juga untuk menghentikan semua kegiatan di lapangan dan menuntut honor laporan yang sudah dikirimkan untuk dibayarkan penuh, sesuai kesepakatan di awal. Akhirnya, saya juga mengetahui bahwa disebutkan ada 60 orang staf kontrak IPWL, Kemensos RI di Yayasan Tabina Aceh. Kenyataannya hanya 36 orang di Banda Aceh dan di Lhokseumawe serta empat orang staf titipan Yakita. Sisanya, kami tidak pernah tahu di mana ke-
beradaannya dan apa aktivitasnya? Bahkan, ada tiga orang staf yang juga menerima gaji dari BNN Provinsi Aceh, yaitu Yogie Kurniawan Wijaya, Mukadis dan Nasliansyah Putra. Fakta dan kondisi ini sudah saya sampaikan juga kepada Sunarto melalui WhatsApp dan sudah direspon. Dia minta yang bersangkutan untuk memilih salah satu. Informasi ini saya sampaikan kepada dr. Arief el Habibie dan dijawab bahwa tidak masalah. Melihat banyak hal mulai terkuak dan sikap protes saya, Ikhsan melapor kepada abang iparnya itu yaitu dr. Arief el Habibie. Dan, 21 November 2016, Ikhsan mengirim pesan melalui BBM kepada saya. Isinya, surat keputusan (SK) penggantian saya sebagai General Manajer Yayasan Tabina Aceh. SK itu ditandatangani dr. Arief el Habibie. Anehnya, SK tersebut berlaku mundur, yaitu terhitung 1 Oktober 2016 sampai 31 Desember 2016. Selain saya, beberapa pengurus yang memang dekat dengan saya juga menerima SK pencopotan jabatan. Semua dicopot, hanya saya yang dipindah ke pasca rehab yang notabenenya adalah milik BNN Provinsi Aceh dan tidak ada aktivitas apa pun di sana, rumah kosong . Tanggal 22 November 2016, dr. Arief el Habibie datang ke panti dan membuat rapat. Dia menyampaikan bahwa saya tidak mempunyai program apa pun. Saya tidak mengerti tentang program rehabilitasi, sehingga
saya dipindah dan digantikan oleh Yogie Kurniawan Wijaya. Hari itu juga saya menyatakan mundur dan keluar dari Yayasan Tabina Aceh. Tanggal 23 November 2016 pagi hari, saya membereskan aset yang saya gunakan di panti sambil menyerahkan surat pengunduran diri serta berpamitan dengan staf maupun klien rehab. Mengetahui hal tersebut, klien rehab yang saat itu berjumlah 47 orang menolak keras karena mereka merasa sudah nyaman bersama saya. Mereka mendapatkan makna pemulihan dan sudah menganggap saya sebagai ibu mereka. Mereka juga menghalangi saya pulang dan berteriak-teriak agar saya tidak meninggalkan mereka. Akhirnya, saya pamit kepada mereka untuk berpikir sejenak dan kemudian saya pulang. Informasi selanjutnya yang saya dapat dari staf adalah semua klien menolak melakukan kegiatan dan mengamuk. Bahkan, beberapa barang dihancurkan dan dirusak. Mereka ingin dipertemukan dengan dr. Arief el Habibie. Staf menghubungi dr. Arief el Habibie dan menyampaikan kejadian di panti. Hasilnya, dr. Arief el Habibie datang membawa polisi dan BNNP. Tuntutan klien saat itu adalah; kembalikan Ibu Kami yaitu saya. Berikan apa yang menjadi hak klien selama menjalani rehabilitasi! Sorenya, saya mendapat telepon dari panti agar saya datang karena suasana benar-benar kacau. Jika saya tidak kembali, maka semua klien mengancam pulang ke rumah masing-ma-
18
MODUS ACEH
Utama
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
FOTO: IST
sing. Salah satu klien diizinkan berbicara dengan saya melalui telepon. Tuntutan mereka hanya kembali ke panti bersama mereka karena masih ingin menjalani pemulihan bersama saya. Akhirnya, malam itu, saya kembali dan berbicara dengan dr. Arief el Habibie. Kesempatan ini saya gunakan untuk memaksa dr. Arief el Habibie terbuka masalah anggaran, uang makan harian klien, hak-hak yang seharusnya diperoleh klien, sekaligus honor-honor yang menjadi hak staf dan petugas lapangan, serta pembatalan SK penggantian saya. Sebab, staf serta klien menolak Yogie Kurniawan Wijaya sebagai general manajer di Yayasan Tabina Aceh, karena apa yang diperbuatnya pada masa
lalu, membuat staf dan klien tidak merasa nyaman, selalu menciptakan keributan. Dalam pertemuan malam itu, dr. Arief el Habibie menyampaikan bahwa hak makan residen Rp 25 ribu per orang untuk satu hari. Ketika ditekan lagi, akhirnya dia mengaku Rp 50 ribu per orang untuk satu hari. Lalu, ada hak untuk melakukan kegiatan outing selama seminggu sekali secara bergantian dan diperbolehkan untuk pergi rekreasi ke Sabang dan menginap dua malam. Saya tanya, apakah ada dananya? Dijawab dr. Arief el Habibie di hadapan semua klien; nanti aku transfer ke dr. Nat! Entah kenapa, di hari yang sama (23 November 2016), datang pula auditor BPK RI Pusat
ke Aceh. Tujuannya, melakukan audit. Tanggal 25 November 2016, tim BPK RI dan Kemensos RI datang ke panti untuk meninjau. Ada hal tak terduga yang membuat dr. Arief el Habibie terkejut. Saya mengenal baik staf Kemensos RI yang mendampingi auditor BPK RI untuk melakukan pemeriksaan. Saat itu, dr. Arief el Habibie bertanya, bagaimana bisa saya mengenal orang tersebut. Saya mengatakan, kami adalah kawan seperjuangan. Sesungguhnya, sehari sebelum kunjungan tim BPK RI dan Kemensos RI ke panti, saya sudah diperkenalkan terlebih dahulu dengan staf pendamping tadi, yang difasilitasi Kasie Rehab Dinas Sosial Aceh. Saya pun mengetahui, ada
dua IPWL di Aceh yaitu Yakita dan Tabina. Perbedaan jumlah dana yang diterima kedua IPWL ini sangat drastis. Yakita mendapat dana Rp 140 juta tahun 2016, sementara Tabina Rp 3,8 miliar tahun 2016. Saya terkejut dan tidak percaya, sebab apa yang kami jalani sehari-hari di panti, tidak mencerminkan adanya sebesar itu. Dalam proses pemeriksaan, ada beberapa hal yang saya ketahui. Pertama, ada pembelanjaan obat-obatan untuk panti senilai Rp 193 juta, sementara yang saya belanja obat-obatan hanya Rp 1 juta. Ada bon pembuatan baju residen rehab di butik Rosalinda. Kenyataannya, butik tersebut sudah lama tutup dan hanya
menjual baju. Tidak ada mesin jahit di sana dan tidak ada baju seragam residen. Begitu juga tes urin residen dilaporkan tiga kali selama masa rehab. Kenyataannya, hanya satu kali saat pertama kali residen masuk. Ada bukti belanja makan harian residen dari katering, faktanya tidak ada katering. Sarapan pagi residen dimasak sendiri, makan siang dan makan malam diantar oleh tukang masak yayasan dengan sumber pembelanjaan dari uang bulanan yang disetor keluarga residen. Setelah pemeriksaan berakhir, dr. Arief el Habibie dan tim manipulasinya kembali ke Jakarta dan tidak ada lagi kabar beritanya. Semua janji untuk mem-
MODUS ACEH
Utama
berikan hak klien dan staf diingkari. Uang makan klien tidak diberikan, tapi tetap disuruh menggunakan uang bulanan yang disetor keluarga klien. Uang tersebut sudah dipegang bendahara yang saya tunjuk, bukan lagi adik iparnya (Ikhsan Juliadi). Mengetahui hal tersebut, dr. Arief el Habibie marah besar dan menelepon bendahara yang saya tunjuk serta menginstruksikan agar semua uang diberikan kepada Ikhsan. Melihat situasi yang sudah tidak kondusif serta perlawanan yang saya lakukan, 22 Desember 2016, dr. Arief el Habibie datang dan memberikan surat edaran bahwa yayasan ditutup dengan alasan renovasi. Klien akan dirujuk ke Lhokseumawe, dan staf 20 orang plus dua orang staf OJT disuruh pindah ke IPWL lain dan dr. Arief el Habibie meminta surat edaran diperbanyak serta dibagikan kepada keluarga. Pengosongan panti dilakukan
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
mulai tanggal 26-30 Desember 2016. Untuk staf yang berasal dari luar daerah, diperkenankan tinggal di panti sampai tanggal 30 Desember 2016. Setelah pengumuman tersebut, dr. Arief el Habibie kemudian pergi. Tapi, klien menolak pemindahan karena mereka merasa sudah nyaman dengan suasana yang ada. Mereka minta dipulangkan saja. Akhirnya, tanggal 24 Desember 2016, bersamaan dengan perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, saya serahkan klien kepada keluarganya masing-masing. Nah, pemulangan ini telah memicu reaksi keras dari pihak keluarga klien. Malah, sebagian dari keluarga klien emosi, tetapi tidak ada jalan lain kecuali membawa anak-anaknya kembali pulang. Klien menyampaikan kepada orang tua bahwa mereka tidak mau dipindah ke mana pun. Mereka hanya ingin bersama
saya hingga akhir program, tetapi karena saya pun tidak punya kesiapan apa-apa, maka saya memohon kepada keluarga untuk membawa pulang dulu sampai ada jalan keluar lain. Nah, 25 Desember 2016, semua klien sudah keluar dari panti. Yang tersisa hanya enam orang staf yang berasal dari luar daerah dan tetap tinggal untuk menjaga fasilitas. Tidak diduga, pukul 19.00 WIB, dr. Arief el Habibie datang bersama dua orang kaki tangannya ke panti dan mengusir staf yang tinggal di panti tadi. Staf yang tinggal menuntut kata-kata dr. Arief el Habibie bahwa mereka boleh tinggal di panti sampai 30 Desember 2016. Tetapi, dijawab malam itu oleh dr. Arief el Habibie bahwa dia mau tidur nyenyak di panti tersebut. Untuk itu, semua staf harus keluar dari panti. Saat keluar, semua tas dan koper staf diperiksa karena takut
ada barang milik panti yang dibawa. Tidak lama kemudian, datang tiga orang polisi dari Polsek setempat yang memeriksa semua staf, sesuai dengan laporan dr. Arief el Habibie bahwa telah terjadi pencurian TV 21 inci. Akibatnya, keenam staf diperiksa hingga tengah malam dan kemudian pergi tanpa tujuan. Dua orang staf langsung dijemput keluarga dan pulang ke kampung halamannya. Sebagian lagi menginap di tempat staf yang lain. Inilah beberapa fakta yang terjadi di Yayasan Tabina Aceh. Begitu juga yang terjadi di Asrama 2 Lhokseumawe. Uang bulanan klien rehab dipegang Hasanudin (adik ipar Pembina Yayasan Tabina Aceh). Bedanya, Asrama 2 Lhokseumawe tidak dibubarkan karena sebagian besar staf di sana adalah keluarga atau masih mempunyai hubungan dekat dengan dr. Arief el Habibie. Kondisi saat ini, beber-
19
apa klien tidak diizinkan pulang kampung oleh keluarganya, karena ketakutan dan khawatiran keluarga mereka masih berkeliaran di Banda Aceh dan menginap di tempat klien lain, karena mereka tidak tahu harus pulang ke mana. Setiap malam, kami berkumpul untuk saling sharing, saya ikut menemani mereka juga karena sesungguhnya banyak hal yang harus mereka dapatkan untuk mencapai pemulihan. Yang menjadi tanda tanya besar, bagaimana mungkin sebuah IPWL yang menerima anggaran dari Kementerian Sosial RI dan menjabat sebagai ketua umum serta bendahara kakak dan adik kandung, yaitu dr. Arief el Habibie dan M. Syaifullah Assydiqqy. Sementara, untuk pemegang uang harian di Asrama 1 dan 2, juga adik-adik ipar dari pimpinan. Tidak ada keterbukaan manajemen dan transparansi dana di sini.***
20
MODUS ACEH
pariwara
NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
Tiga Bulan Sebagai BUS Bank Aceh Raih Laba Rp 136 Miliar Pasca konversi menjadi bank umum syariah (BUS), Bank Aceh langsung tancap gas dengan memperoleh laba Rp 136 miliar. Ini merupakan bukti bahwa konversi yang dilakukan Bank Aceh dari sistem konvensional ke sistem syariah memberikan keberkahan bagi perkembangan Bank Aceh serta bagi nasabah dan masyarakat Aceh yang bermuamalah dengan Bank Aceh
D
irektur Utama (Dirut) Bank Aceh, Busra Abdullah, menjelaskan secara keseluruhan performa kinerja Bank Aceh di tahun 2016 berjalan sangat baik dari tahun sebelumnya. Lihat saja, aset Bank Aceh yang sebelumnya sebesar Rp 18,5 triliun di tahun 2015 naik menjadi Rp 18,9 triliun pada tahun 2016. Sementara itu, penghimpunan DPK sebesar Rp 14,1 triliun (tahun 2015) juga naik menjadi Rp 14,4 triliun (2016), sedangkan penyaluran pembiayaan sebesar Rp 11,8 triliun (2015) tumbuh menjadi Rp 12,2 triliun di 2016. “Ini membuktikan bahwa dengan konversi, dapat memberikan keberkahan bagi perkembangan Bank Aceh,” kata Busra. Itu sebabnya, pencapaian prestasi ini, Busra Abdullah menegaskan, wajib disyukuri bersama karena ber-
kat rahmat Allah SWT dan dukungan dari seluruh masyarakat serta kekompakan seluruh unit kerja Bank Aceh, maka berbagai target yang telah ditetapkan dapat berhasil dan tercapai. Sebaliknya, Dirut Bank Aceh Busra Abdullah mengajak seluruh jajarannya agar tidak cepat puas dengan keberhasilan tersebut. Tapi, harus dapat dijadikan motivasi untuk dapat memberikan kontribusi dan pelayanan yang lebih baik lagi di tahun 2017. “Sistem IT (informasi teknologi) akan terus dilakukan pengembangan ke arah yang lebih baik. Sumber daya insani yang saat ini dimiliki Bank Aceh juga akan terus dibekali dengan pengetahuan perbankan syariah secara berjenjang dan berkelanjutan agar seluruh karyawan Bank Aceh nantinya dapat memberikan pelayan-
an perbankan yang islami lebih baik lagi demi memberikan kepuasan kepada seluruh nasabah Bank Aceh,” ucap Busra. Dia berharap, seluruh nasabah
Busra Abdullah
serta masyarakat Aceh mendapatkan servis secara islami, sehingga mereka merasa nyaman untuk bermuamalah bersama Bank Aceh. Harapan Busra Abdullah me-
mang pantas. Sebab, selama kurun waktu 2016, Bank Aceh berhasil memperoleh berbagai penghargaan di tingkat nasional. Misal, Best Syariah Award Kategori Unit Usaha Syariah Terbaik dari Majalah Investor, Golden Award dari Infobank sebagai bank yang memiliki Kinerja Sangat Bagus Selama 5 Tahun berturut-turut, serta The Best Sharia Finance Award 2016. Makanya, tahun 2017 disebut sebagai lembaran baru bagi bank ini karena telah melakukan perubahan operasionalnya dari sistem konvensional ke sistem syariah tadi. Tujuannya, PT Bank Aceh Syariah dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Sebelumnya, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia belum
mampu mencapai angka lima persen sejak Bank Syariah beroperasional di negeri ini. Nah, dengan dikonversinya Bank Aceh, maka pertumbuhan perbankan syariah telah mencapai 5,13 persen dan mencatatkan Bank Aceh sebagai bank umum syariah nomor lima terbesar di Indonesia. Perubahan sistem yang sempat menimbulkan keraguan atas performa perkembangan bisnis Bank Aceh selama ini ternyata tidak terbukti. Itu jelas terlihat sejak dinobatkannya Bank Aceh menjadi salah satu bank umum syariah, tanggal 19 September 2016. Bank Aceh berhasil memperoleh laba sebesar Rp 136,5 miliar selama tiga bulan beroperasi dengan sistem syariah. Secara keseluruhan, laba yang berhasil diperoleh Bank Aceh pada tahun 2016 sebesar Rp 545,5 miliar.***
Bank Aceh Bantu Korban Banjir dan Gempa Bumi Rp 690 Juta
B
ank Aceh Syariah terus membuktikan kepeduliannya kepada masyarakat Aceh melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Aceh Peduli. Tahun 2016 misalnya, Bank Aceh Peduli telah menyalurkan dana CSR Rp 690 juta untuk korban bencana banjir di lima kabupaten dan kota yaitu Aceh Barat, Calang, Jeuram, Singkil dan Subulussalam serta korban gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya. “Bantuan melalui CSR ini merupakan bentuk kepedulian Bank Aceh terhadap sesama. Kami berharap ban-
tuan-bantuan tersebut bisa meringankan beban saudara-saudara kita yang tertimpa musibah,” harap Busra Abdullah. Busra menjelaskan, bantuan tersebut merupakan bantuan tanggap darurat untuk memenuhi kebutuhan masa panik bagi korban, baik yang mengalami musibah banjir maupun gempa bumi. “Bantuan CSR tersebut diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota setempat untuk diserahkan pada korban,” sambung Corporate Secretary Bank Aceh, Amal Hasan. Pada tahun 2017 ini, diharapkan program-program CSR Bank Aceh akan terus memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat Aceh.***
kabar dunia
MODUS ACEH
21 Yahoo Ganti Nama Jadi Altaba? NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
wikimedia.org
etentuan kesepakatan tersebut bisa diubah--atau transaksi bahkan bisa dibatalkan setelah tahun lalu Yahoo mengungkapkan dua pembobolan data; satu meliputi 500 juta akun pelanggan dan kedua meliputi lebih dari satu miliar. Itu sebabnya, para eksekutif Verizon berpendapat, mereka melihat strategi kuat yang cocok dengan Yahoo, dan mereka akan terus melakukan penyelidikan atas pembobolan data tersebut. Bersamaan dengan itu, seperti dikutip Reuters, lima Direktur Yahoo juga mengundurkan diri setelah kesepakatan dibuat. Direktur yang masih ada akan mengatur Altaba, sebuah perusahaan induk yang aset utamanya 15 persen saham ada di perusahaan e-commerce China Alibaba Group Holding dan 35,5 persen saham ada di Yahoo Jepang. Perusahaan baru itu juga menunjuk Eric Brandt sebagai direktur dan akan efektif berjalan mulai 9 Januari 2017. Bermula dari hobi mahasiswa yang kemudian berubah menjadi brand global. Ini telah mengubah cara orang untuk berkomunikasi satu sama lain, mencari dan mendapatkan informasi dan membeli berbagai macam barang. Pendiri Yahoo; David Filo dan Jerry Yang, keduanya kandidat doktor bidang teknik elektro di Universitas Stanford. Keduanya memulai karier di trailer kampus pada bulan Feb-
K Beredar kabar, Yahoo Inc akan berganti nama menjadi Altaba Inc. Selain itu, CEO Marissa Mayer akan mundur dari jajaran pimpinan setelah penutupan kesepakatan dengan Verizon Communications Inc. Yahoo sepakat untuk menjual bisnis internet utamanya termasuk periklanan digital, email dan aset media pada Verizon senilai 4,38 miliar dolar AS. Muhammad Saleh|dbs
ruari 1994 sebagai jalan untuk tetap dalam ketertarikan pribadi mereka terhadap internet. Jauh sebelum mereka menghabiskan lebih banyak waktu dalam daftar jaringan favorit mereka dibanding dengan disertasi doktor. Bagaimanapun juga daftar Jerry and David men-
phisticated, uncouth.” Yahoo sendiri pertama kali dibuat di work station mahasiswa Yang, “Akebono,” ketika software dibuat di komputer Filo, “Konishiki”–keduanya nama pemain sumo yang melegenda. Jerry dan David akhirnya tidak sendiri untuk menemukan huffington post
Marissa Mayer, CEO Yahoo, sosok paling berpengaruh versi majalah Time.
jadi sangat panjang dan mereka mengklasifikasikannya dalam bentuk kategori. Nah, ketika kategori pun semakin panjang dan mereka membuatnya menjadi subkategori. Maka, lahirlah konsep inti di balik Yahoo. Website dimulai sebagai “Jerry’s Guide to the World Wide Web” tetapi mereka juga menerima moniker baru dengan bantuan kamus. Nama Yahoo merupakan akronim untuk “Yet Another Hierarchical Officious Oracle,” namun Filo and Yang memilih nama yang mereka suka dengan definisi umum dari yahoo: “rude, unso-
website yang sangat berguna itu. Jauh sebelum ratusan orang mengakses panduan mereka dari trailer di Stanford. Dukungan dari kolega netter datang dan membuat usaha yang digulirkan kian banyak peminat komunitas internet. Lalu, Yahoo untuk pertama kalinya merayakan jutaan klik per harinya pada tahun 1994. Tak kurang dari 100 ribu pengunjung yang unik. Berdasarkan tingkat lalu lintas dan antusias penerimaan terhadap Yahoo itulah, para pendiri akhirnya menyadari bahwa mereka mempunyai bisnis yang
potensial di tangan. Pada bulan Maret 1995, kerja sama bisnis dengan para pemilik lembaga modal seperti Ventura Silicon Valley dilakukan. Mereka kemudian menjalin kerja sama dengan Sequoia Capital, perusahaan yang mempunyai reputasi dalam bidang investasi, termasuk untuk Apple Komputer, Atari, Oracle dan Cisco Systems. Mereka setuju untuk mendanai Yahoo. Dan, pada April 1995, dengan investasi awal mendekati dua juta dolar. Realisasi perusahaan baru mereka ini mempunyai pertumbuhan potensial yang cepat. Jerry dan David memulainya untuk membuat tim manajemen. Mereka merekrut Tim Koogle, seorang veteran Motorola dan alumni dari jurusan teknik Stanford sebagai chief executive officer dan Jeffrey Mallett. Tak hanya itu pendiri Novell’s Divisi konsumen WordPerfect, sebagai chief operating officer. Mereka berhasil menyelamatkan perputaran pendanaan kedua pada tahun 1995 dari investor Reuters Ltd. dan Softbank. Yahoo diluncurkan dalam go public dengan sangat sukses pada April 1996 dengan total 49 karyawan. Saat ini, Yahoo Inc. telah menjadi pemimpin komunikasi global lewat internet, komersil dan perusahaan media yang telah menjadi brand jasa jaringan lebih dari 232 juta individu setiap bulannya di dunia maya. Sebagai navigasi pertama secara online yang memandu dalam web , Yahoo adalah pemimpin pemandu dalam konteks lalu lintas, periklanan, keperluan rumah tangga dan jangkauan pengguna bisnis. Yahoo adalah brand internet global pertama dan menjangkau pemirsa paling besar dalam dunia maya. Perusahaan ini juga membangun bisnis online dan perusahaan jasa yang mendesain produktivitas dan web untuk klien-klien Yahoo. Jasa ini termasuk dalam Corporate Yahoo—sebuah jasa kustomisasi solusi portal untuk perusahaan; audio dan video streaming; toko hosting dan manajemen; dan jasa serta perlengkapan website. Jaringan perusahaan web global termasuk dalam 25 world properties (aset dunia). Dengan kantor pusat di Sunnyvale, California, Yahoo Juga telah mempunyai kantor di Eropa, Asia, Amerika Latin, Australia, Kanada and Amerika Serikat.***
22
MODUS ACEH NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
kabar dunia
■ Calon Menlu Trump
Rex Wayne Tillerson dan Tuduhan Pelanggaran HAM di Aceh the global journal
Pekan ini, parlemen Amerika Serikat, kongres dan senat tengah mewawancarai sejumlah calon menteri yang akan duduk dalam kabinet pemerintahan presiden terpilih Donald Trump. Salah satu sosok yang menarik perhatian banyak pihak adalah Rex Wayne Tillerson, calon menteri luar negeri. Namun, dia diduga terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh. Muhammad Saleh |dbs Pendemo Pasang Tenda di Depan Pintu Utama ExxonMobil
alau menghabiskan seluruh kariernya di perusahaan minyak dan gas raksasa, Exxon Mobil, Rex Wayne Tillerson (64) tak pernah berurusan dengan masalah diplomatik. Namun, langkahnya sebagai calon Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) dalam kabinet Presiden Donald Trump tidaklah mulus. Maklum, diduga dia terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh. Padahal, sejak 10 tahun terakhir, ia didapuk sebagai orang nomor satu di perusahaan minyak tersebut. Begitupun, sosok Tillerson menjadi kontroversial bagi jabatan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat karena sejumlah alasan. Selain kedekatannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan minim pengalaman diplomatik, kini Tillerson dikaitkan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaannya di Aceh, Indonesia. Hingga 2015 lalu, ladang gas di Provinsi Aceh merupakan “permata” bagi perusahaan Exxon Mobil. Dan, pada 1970-an, Mobil Corp— yang bergabung dengan Exxon Corp—memperoleh hak eksklusif dari pemerintahan Suharto untuk menambang gas dengan perusahaan pemerintah Indonesia tahun 1999. Nah, sejak beroperasi, perusahaan ini telah menyewa militer untuk menjaga fasilitas di Aceh. Seiring pertempuran antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan militer Indonesia pada 1990-an hingga awal 2000.
W
Sejumlah tentara yang bekerja untuk Exxon dituduh melakukan penyiksaan, menangkap, memperkosa hingga membunuh warga sekitar. Tuduhan ini kemudian diajukan ke pengadilan Amerika Serikat oleh sejumlah korban pada 2001. Gugatan lain juga diajukan pada 2007. Pengadilan belum menentukan masa persidangan karena pengacara korban kesulitan meminta visa agar mereka dapat bersaksi.
saan di kongres pada Rabu lalu, Tillerson mengatakan, “Saya akan menghindari seluruh masalah terkait Exxon Mobil selama menjadi menlu,” katanya. Salah satu saksi korban menyebut dirinya ditembak di lutut oleh petugas keamanan Exxon Mobil saat sedang mengendarai motor dari kebun tempatnya bekerja. Korban lain mengaku disetrum di alat vitalnya. Sebelum dibebaskan, sang petugas memperlihatkan deretan ke-
Rex Wayne Tillerson
Itu sebabnya, banyak pihak khawatir penunjukan Tillerson sebagai menteri luar negeri dapat mengancam proses persidangan. Sebab, dengan dalih untuk menyelamatkan hubungan ASIndonesia, Tillerson dapat meminta pengadilan untuk menghentikan persidangan. Preseden ini pernah terjadi ketika Kementerian Luar Negeri AS pada 2002 mendesak pengadilan untuk melarang warga Indonesia menggugat Exxon Mobil. “Hal ini dapat menyebabkan masalah serius dalam hubungan kedua negara.” Dalam pemerik-
pala manusia dan mengancam akan menjadikannya, “Salah satu dari koleksi itu.” Terry Collingsworth, pengacara para korban dari International Rights Advocates, menyatakan telah menemui warga Aceh dengan keluhan serupa. “Menjawab pertanyaan saya, juru bicara Exxon Mobil membantah perusahaan terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara Indonesia selama konflik Aceh.” Para penggugat asal Indonesia menyebut para petinggi Exxon Mobil di Texas tahu atau seharusnya mengetahui pelangga-
ran ini, namun tetap menyewa tentara untuk pengamanan perusahaan di Aceh. Selama masa awal kasus penyiksaan di Aceh, Rex Tillerson, merupakan wakil Presiden Exxon Mobil Development Company, anak perusahaan yang mengembangkan eksplorasi Exxon Mobil di seluruh dunia. Ia menjadi Wakil Presiden Senior Exxon Mobil Corp tahun 2001 dan menjadi orang nomor satu sejak 2006. Exxon Mobil menegaskan Tillerson tidak bertanggungjawab atas tindak kekerasan di Aceh. Memang, Collingsworth mengakui bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan ia memberi perintah terkait pelanggaran tentara di Aceh. Namun, sulit dimengerti jika Tillerson tidak mengetahui mengenai masalah ini. Kasus penyiksaan itu menjadi topik utama di sejumlah media besar Amerika Serikat, seperti Associated Press and The Wall Street Journal—sejak awal 1990-an. “Tidak ada satu pun orang di Aceh yang tidak mengetahui masalah ini,” ujar seorang bekas pejabat provinsi Aceh kepada BusinessWeek pada 1998. Pada 2001, majalah Time menulis laporan, “Warga Aceh membentuk barisan untuk menceritakan kepada kami tentang penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan tentara Indonesia untuk Exxon.” “Entah dia tahu atau tidak memiliki kendali yang cukup untuk menghentikan pelanggaran kemanusiaan itu,” tutur Mar-
co Simons, Direktur Legal kelompok advokasi EarthRights International. Lembaga ini memberikan dukungan kepada para korban pada 2010 silam. Setelah gugatan pertama diajukan pada 2001, pelanggaran HAM terus berlanjut hingga tsunami dahsyat menghentikan perang pada 2004. Exxon tetap menyewa tentara Indonesia setelah tsunami. Pada 2005, pemilik saham Exxon Mobil meminta keterangan soal penggunaan tentara sebagai pengamanan di Aceh, tetapi ditolak oleh dewan direktur. Pada 2006, Tillerson mengambil alih jabatan tertinggi di Exxon Mobil. Perusahaan tetap menyewa militer hingga 2007. “Tergugat menolak tuntutan untuk menyelidiki, memperbaiki atau menghentikan aksi penyiksaan aparat pengamanannya,” demikian pernyataan gugatan terbaru. Pada 2015, Exxon Mobil menjual seluruh sahamnya kepada Pertamina. Beberapa tahun sebelumnya, Tillerson dan sejumlah eksekutif Exxon Mobil sempat bertemu dengan pejabat perusahaan di Indonesia, seperti bekas Direktur Lucio Noto dan Wakil Presdir Harry Longwell. Mereka disebut membahas masalah ini, tetapi tidak diketahui apa yang diucapkan Tillerson dalam pertemuan itu. Collingsworth menegaskan, kliennya masih menginginkan keadilan. “Rex Tillerson adalah bekas pemimpin tertinggi. Dia bisa mengatakan bahwa orang-orang ini terluka. Mengapa kita tidak membantunya.”***
iklan
MODUS ACEH NO 38/TH XIV 16 - 22 JANUARI 2017
23