1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia pastilah akan tua dan meninggal dunia, maka jika berbicara tentang seseorang yang meninggal dunia, arah dan jalan pikiran tentu akan menuju kepada masalah warisan.4 Karena itu seseorang pada saat menjelang kematiannya jauh sebelumnya sering mempunyai maksud tertentu terhadap harta kekayaan yang akan ditinggalkannya. Hal ini dikarenakan setelah seseorang itu meninggal dunia, maka harta warisan yang ditinggalkannya dapat menimbulkan berbagai masalah baik sosial maupun hukum. Bisa saja para ahli waris akan berselisih, selanjutnya akan mengakibatkan terputusnya tali silaturahmi di antara mereka, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berakhir dengan pembunuhan. Warisan merupakan harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia atau sebagai pemberian pewaris kepada ahli warisnya yang berhak yang ditentukan oleh Undang-Undang atau karena mendapat wasiat/ testament.5 Terhitung sejak meninggalnya pewaris, maka hak dan kewajibannya demi hukum akan beralih kepada para penerima waris. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan bahwa “Penerima waris berhak menguasai kekayaan pewaris (boedel) berlandaskan pada haknya sebagai penerima waris dari pewaris”.6
4
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 1. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hal. 95. 6 Wilbert D. Kolkman, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris Di Belanda Dan Indonesia, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), hal. 148. 5
1
Universitas Sumatera Utara
2
Menurut Wirjono Prodjodikoro, suatu pewarisan terdapat tiga unsur penting, antara lain7: 1. adanya orang yang meninggal dunia selaku pewaris, 2. adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dan, 3. adanya ahli waris. Pewaris sebagai pemilik harta, mempunyai hak mutlak untuk mengatur apa saja yang dikehendaki atas hartanya. Ini merupakan konsekuensi dari hukum waris sebagai hukum yang bersifat mengatur.8 Sedangkan ahli waris adalah orang-orang yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang hukum harta kekayaan, karena meninggalnya pewaris. Diperlukan penyelesaian secara tertib dan teratur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila kehendak terakhir seseorang (dari pewaris) ingin diungkapkan dengan jelas dan tegas. Kehendak pewaris dapat dituangkan dalam akta otentik yang lazim disebut testament atau surat wasiat. Menurut Effendi Perangin, ada 3 (tiga) macam bentuk testament,9 di antaranya: 1. Openbaar testament, wasiat yang dibuat oleh seorang Notaris; 2. Olographis testament, wasiat yang ditulis tangan oleh orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri; 3. Testament tertutup atau rahasia, wasiat yang juga dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri dan selalu tertutup dan disegel.
7
Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal.4. Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 23. 9 Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 80. 8
Universitas Sumatera Utara
3
Di antara ketiga bentuk testament ini, bentuk Openbaar testament ini paling banyak dipakai dan juga memang yang paling baik, karena Notaris dapat mengawasi isi surat wasiat itu, sehingga ia dapat memberikan nasehat-nasehat supaya isi testament tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.10 Untuk dapat membuat suatu testament, seseorang harus sudah mencapai umur 18 tahun atau sudah dewasa, atau sudah kawin meskipun belum berumur 18 tahun. Selanjutnya, orang yang membuat suatu testament harus sungguh-sungguh mempunyai pikiran yang sehat. Jika dapat dibuktikan, bahwa pada waktu orang itu membuat testament pikirannya tidak sehat atau sedang terganggu, testament itu dapat dibatalkan oleh hakim.11 Pemberian dalam wasiat tersebut baru dapat dilaksanakan, setelah pemberi wasiat (pewaris) meninggal dunia.12 Menurut J. Satrio, unsur-unsur wasiat (testament) ada 4 (empat),13 antara lain sebagai berikut: 1. Suatu wasiat (testament) adalah suatu “akta”. 2. Suatu wasiat (testament) berisi “pernyataan kehendak”. 3. Suatu wasiat (testament) berisi mengenai “apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dunia.” 4. Suatu wasiat (testament) “dapat dicabut kembali.” Pembuatan akta wasiat dapat dilakukan di hadapan Notaris, seperti yang tertuang dalam Pasal 939 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa Notaris harus menulis atau menyuruh menulis kehendak si pewaris dalam 10
Subekti, Op.cit., hal. 110. Ibid., hal. 111. 12 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 269. 13 J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 165. 11
Universitas Sumatera Utara
4
kata-kata yang jelas menurut apa adanya yang disampaikan oleh pewaris kepadanya.14 Setiap akta wasiat harus dibuat oleh seorang Notaris, karena Notaris dalam Pasal 1 huruf 1 Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang”.15 Setiap testament yang dibuat di hadapan Notaris berbentuk akta, yang disebut dengan Akta Notaris. Akta Notaris merupakan alat pembuktian sempurna, terkuat dan terpenuh sehingga selain dapat menjamin kepastian hukum, akta notaris juga dapat menghindari terjadinya sengketa. Menuangkan suatu perbuatan, perjanjian, ketetapan dalam bentuk akta notaris dianggap lebih baik dibandingkan dengan menuangkannya dalam surat di bawah tangan, walaupun ditandatangani di atas materai, dan juga diperkuat dengan tanda tangan para saksi, namun dalam prakteknya, seringkali sengketa timbul sebagai akibat keberadaan sebuah akta notaris. Bahkan, kasus-kasus yang membawa Notaris sebagai tersangka sebagai konsekuensi dari akta notaris yang dibuatnya, bukan lagi hal yang baru. Tidak saja menjadi alat bukti yang terkuat dan terpenuh, akta notaris malah menjadi sumber perselisihan bagi para pihak yang mempersoalkan sah atau tidaknya akta notaris tersebut.16 Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya bahwa isi akta tersebut oleh hakim harus dianggap benar kecuali apabila diajukan bukti lawan, atau dengan perkataan lain bahwa apa yang termuat dalam akta otentik itu 15
Undang-Undang Jabatan Notaris No 30 Tahun 2004, pasal 1. Otentisitas Suatu Akta Otentik, https://notarisarief.wordpress.com/2011/05/15/otentisitassuatu-akta-otentik/. Diakses pada tanggal 27 Januari 2016 16
Universitas Sumatera Utara
5
harus dianggap benar selama ketidak-benarannya itu tidak dibuktikan.17 Seiring dengan diakuinya akta otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian mengikat dan sempurna, “mengikat” artinya hakim terikat untuk mempercayainya selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan, sedangkan “sempurna” artinya sudah cukup sebagai alat bukti tanpa harus ditambah dengan alat bukti lain.18 Dalam melaksanakan tugasnya, Notaris tunduk serta terikat dengan aturanaturan yang ada yakni Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan peraturan lainnya yang berlaku umum. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan Notaris tersebut telah sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam Pasal 15 UUJN dan tidak melanggar ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, maka hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara UUJN dengan kode etik profesi. Kode etik profesi mengatur Notaris secara internal dan UUJN secara eksternal. Menurut Muhammad, sebagaimana dikutip Nico dan Abdul Ghofur Anshori,19 notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:
17 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1997), hal. 66. 18 Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 19 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika ,(Yogyakarta:UII Press, 2009), hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
6
1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena jabatannya. 2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu, artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Namun sekarang ini, banyak Notaris, didalam menjalankan jabatannya kurang cermat, bahkan ada yang dengan sengaja menggampangkan suatu masalah. Notaris itu dapat membuat akta apa saja, tapi tanggung jawab ada pada diri Notaris itu sendiri. Tanggung jawab notaris berkaitan dengan norma moral yang merupakan ukuran bagi notaris untuk menentukan benar-salahnya atau baik buruknya tindakan yang dilakukan dalam menjalankan profesinya. Sebelum seorang Notaris dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa:20 1. Adanya diderita kerugian; 2. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris terdapat hubungan kausal; 3. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan. Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga sebagai akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta 20
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Cetakan IV, (Bandung: Refika Aditama, 2014),
hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
7
di bawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya:21 1. Hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan bentuk sebagai Perbuatan Melawan Hukum. 2. Ketidakcermatan, ketidaktelitian, dan ketidaktepatan dalam: a. Teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN, b. Penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya. Dalam Pasal 1869 KUHPerdata, akta otentik dapat terdegradasi menjadi kekuatan pembuktian di bawah tangan, bahkan dapat dibatalkan,22 dengan alasan : 1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan; 2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan dalam membuat akta; 3. Akta notaris cacat dalam bentuknya, atau karena akta Notaris dibatalkan berdasarkan Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hakim secara ex officio pada dasarnya tidak dapat membatalkan akta notaris kalau tidak dimintakan pembatalan, karena hakim tidak boleh memutuskan yang tidak diminta.23 Kalau dimintakan pembatalan oleh pihak yang bersangkutan pada dasarnya akta otentik dapat dibatalkan oleh hakim apabila ada bukti lawan. Untuk menentukan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akan menjadi batal demi hukum, dapat dilihat dan ditentukan dari:24 21
Ibid., Habib Adjie, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hal.116. 23 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 126. 22
Universitas Sumatera Utara
8
a.
Ketentuan pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika notaris melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. b. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka dikembalikan kepada ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata mengenai akta batal demi hukum. Akta notaris batal atau batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syaratsyarat yang sudah ditentukan menurut hukum, tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu dari yang bersangkutan yang berkepentingan. Oleh karena itu, kebatalan bersifat pasif, artinya tanpa ada tindakan aktif atau upaya apapun dari para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, maka akan batal atau batal demi hukum karena secara serta merta ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi.25 Istilah pembatalan bersifat aktif, artinya meskipun syarat-syarat perjanjian telah dipenuhi, tapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berkehendak agar perjanjian yang dibuat tersebut tidak mengikat dirinya lagi dengan alasan tertentu, baik atas dasar kesepakatan atau dengan mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan umum, misalnya para pihak telah sepakat untuk membatalkan akta yang pernah dibuatnya, atau diketahui ada aspek formal akta yang tidak dipenuhi, yang tidak diketahui sebelumnya, dan para pihak ingin membatalkannya.26
24
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 93 25 Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Cet. II, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2013), hal. 67. 26 Ibid,,
Universitas Sumatera Utara
9
Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti. Oleh karena itu undang-undang memberi waktu terbatas untuk menuntut berdasarkan pembatalan. Undang-undang memberi pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri. Dalam hal pembatalan akta notaris itu dimungkinkan dengan melihat kasusnya secara insidentil.27 Dalam prakteknya tidak sedikit Notaris mengalami masalah sehubungan dengan akta yang telah dibuatnya dinyatakan batal oleh hukum oleh putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam pembuatannya. Permasalahan mengenai pembatalan akta tersebut, salah satunya mengenai pembatalan akta wasiat yang tergambar dari kasus yang diangkat sebagai referensi dalam penelitian ini, yaitu Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 3124 K/Pdt/ 2013. Kasus hukum tersebut bermula pada Djoni Malaka/DM (Penggugat) yang merupakan anak kandung kedua dari alm. Tan Malaka (Pewaris). Pada tanggal 9 Oktober 2009, Tan Malaka datang ke Kantor Notaris Laurensia Siti Nyoman/ LSN (Tergugat) dengan menggunakan kursi roda untuk dibuatkan akta wasiat. Namun dalam hal ini, Alm. Tan Malaka (Pewaris) memiliki riwayat gangguan kesehatan seperti stroke, diabetes, dan hipertensi yang secara langsung mempengaruhi kemampuan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan keterangan Penggugat, Alm. Tan Malaka tidak dapat berkomunikasi, tidak dapat membuat tulisan, catatan maupun tanda tangan. Djoni Malaka/DM (Penggugat) menggugat akta wasiat yang
27
Sudikno Mertokusumo, Pembatalan Isi Akta Notaris dengan Putusan Pengadilan, Mimbar Hukum Nomor 15/V/1992, hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
10
telah dibuatkan oleh Notaris Laurensia Siti Nyoman/LSN (Tergugat), bahwasanya dalam akta wasiat tersebut terdapat Alm. Tan Malaka telah memberikan hibah wasiat atas sejumlah bidang tanah kepada beberapa ahli waris Alm. Tan Malaka yaitu kepada Turut Tergugat I sampai dengan Turut Tergugat XV. Dalam akta wasiat tersebut Alm. Tan Malaka telah menghibah wasiatkan harta benda yang bukan merupakan hak miliknya, tetapi tanah milik Djoni Malaka/DM (Penggugat) kepada Turut Tergugat II dan Turut Tergugat IX, yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan 3180/ Kapuk seluas 2.964 m² (duaribu sembilanratus enampuluh empat meter persegi) yang diuraikan dalam surat ukur tanggal 28 Maret 2000 Nomor 52/2000, Sertifikat (tanda bukti hak)-nya tanggal 21 Desember 2000 yang tercatat atas nama Penggugat Djoni Malaka sebagaimana ternyata dalam Akta Perjanjian tanggal 3 September 1979 Nomor 12 dan berdasarkan Akta Kuasa Tanggal 3 September 1979 yang keduanya dibuat oleh Raden Santoso, Notaris di Jakarta. Dalam putusan MA No 3124 K Pdt 2013, Penggugat menyatakan dalam gugatannya Notaris Laurensia Siti Nyoman/LSN (Tergugat) mengetahui dengan benar bahwa keadaan Alm. Tan Malaka ketika datang ke Kantor Notaris Laurensia Siti Nyoman, dalam keadaan sakit (stroke, hipertensi, diabetes) dan menggunakan kursi roda, dimana sebelum membuat akta wasiat semuanya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh Alm. Tan Malaka dan Notaris Laurensia Siti Nyoman/LSN (Tergugat) membantu Alm. Tan Malaka untuk membubuhkan cap jempol pada akta wasiat tanpa ada tanda tangan Alm. Tan Malaka. Notaris Laurensia Siti Nyoman/LSN selaku Tergugat telah mengetahui dengan benar bahwa Sertifikat Hak Guna
Universitas Sumatera Utara
11
Bangunan 3180/ Kapuk tersebut bukan milik dari Alm. Tan Malaka, masih tetap membuatkan akta wasiat dan mencatatkan akta wasiat tersebut ke Turut Tergugat XVI. Dinyatakannya tanah tersebut milik Penggugat dalam akta yang dibuat Notaris Lurensia Siti Nyoman/LSN (Tergugat), telah membuktikan suatu kekeliruan dalam pembuatan akta, sedangkan posisi Tergugat selaku Notaris berkewajiban untuk memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh penghadap Alm. Tan Malaka selaku pembuat testament, dan seharusnya Notaris Laurensia Siti Nyoman/LSN juga harus mengetahui bahwa penghadap harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian tesis ini mengambil judul tentang : “Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Putusan MA No 3124 K/ Pdt/ 2013 antara Penggugat DM vs Tergugat Notaris LSN). B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal sebagaimana yang telah disampaikan dalam latar belakang diatas, maka permasalahan pokok yang akan diteliti dan dianalisis serta dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana akibat hukum terhadap akta wasiat yang dibuat oleh Notaris atas kelalaiannya sehingga dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum ? 2. Bagaimana tanggung jawab Notaris atas kelalaiannya sehingga dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta ?
Universitas Sumatera Utara
12
3. Bagaimana pertimbangan dan putusan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No 3124 K/ Pdt/ 2013? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap akta wasiat yang dibuat oleh Notaris sehingga dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab Notaris atas kelalaiannya sehingga dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam permbuatan akta. 3. Untuk
mengetahui
dan
menganalisis
sudah
tepatkah
putusan
dan
pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No 3124 K/ Pdt/ 2013. D. Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Secara Teoretis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbang pemikiran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta di bidang hukum kenotariatan pada khususnya yaitu mengenai kelalaian notaris dalam pembuatan akta wasiat sehingga melanggar aturan hukum. 2. Manfaat Praktis
Universitas Sumatera Utara
13
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan, serta dapat dijadikan perbandingan untuk penelitian yang akan dilakukan oleh calon notaris maupun mahasiswa pasca sarjana pada khususnya, sebagai acuan mengenai kecermatan dan kehati-hatian notaris dalam membuat akta, khususnya akta wasiat agar pewarisan yang dilakukan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan bahan masukan bagi para penegak hukum dalam menyelesaikan masalah berkaitan dengan pembatalan akta wasiat sebagai akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan notaris. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan maupun di lingkungan Magister Ilmu Hukum, sejauh yang diketahui belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Kasus atas Putusan MA No 3124 K/ Pdt/ 2013 antara Djoni Malaka vs Notaris Laurensia Siti Nyoman)”. Akan tetapi ada beberapa tesis yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa kenotariatan di MKn USU sebagai berikut: 1. Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Studi Kasus Perkara Perdata No 107/ Pdt.G/ 2010/ PN. Medan, oleh Akhmad Mighdad
Universitas Sumatera Utara
14
(097011114), Mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU Tahun 2012. Permasalahan: a. Bagaimana kedudukan hukum sebuah akta jual beli ? b. Bagaimanakah akibat hukum dari pembatalan akta jual beli ? c. Bagaimanakah peran Notaris/ PPAT dalam penyelesaian akibat pembatalan akta jual beli ? 2.
Analisis yuridis terhadap pembatalan akta Notaris (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan) oleh Zuliana Maro Batubara (087011134), Mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2012. Permasalahan : a. Bagaimana suatu akta Notaris dapat menjadi batal oleh suatu putusan pengadilan? b. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang menjadi batal demi hukum oleh suatu putusan pengadilan ? c. Bagaimana pandangan badan peralihan khususnya pengadilan negeri Medan dalam perimbangannya dalam membatalkan akta Notaris ?
3.
Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Hakim Dalam Membatalkan Akta Notaris Yang Diajukan Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Di Persidangan oleh Darma Indo Damanik Permasalahan :
Universitas Sumatera Utara
15
a.
Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta notaris yang dijadikan alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan?
b.
Sampai dimanakah kewenangan hakim dalam menilai dan membatalkan suatu akta notaris yang diajukan kepadanya sebagai alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan ?
c.
Faktor-faktor pertimbangan apakah yang dijadikan dasar oleh Hakim dalam memutuskan untuk membatalkan suatu akta notaris yang dijadikan alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan ?
F.
Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi
1.
Kerangka Teori Kerangka Teori merupakan landasan teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari kebenaran yang dianalisis. Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau pendapat-pendapat, teori tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.28 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.29 Fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian 28 29
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
16
dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dikatakan benar.30 Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang digunakan
sebagai
pisau
analisis
dalam
penulisan
ini
adalah
teori
pertanggungjawaban dan teori kewenangan. 1.
Teori Pertanggung jawaban Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab. Liability meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian
dan
penggunaan
praktis,
istilah
liability
menunjuk
pada
pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh
subyek
hukum,
sedangkan
istilah
responsibility
menunjuk
pada
pertanggungjawaban politik. 31 Mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig terdapat dua teori yang melandasinya, yaitu: 30
M. Solly Lubis, Op.Cit., hal 17. Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal.
31
335-337.
Universitas Sumatera Utara
17
a. Teori fautes personalles Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini, tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat dan atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.32 Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan atau berlawanan hukum. Sanksi dikenakan deliquet karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab: pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).33 Tanggung jawab mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan dengan akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya.
32
Ibid., hal. 365. Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) , hal. 61. 33
Universitas Sumatera Utara
18
Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa, “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.34 Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa35: “Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan”. Hans Kelsen selanjutnya membagi tanggung jawab menjadi 4 (empat) bagian yang terdiri dari:36 a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri; b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain; c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian; d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
34
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, DasarDasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi, ( Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007), (selanjutnya ditulis Hans Kelsen II), hal. 81. 35 Ibid., hal. 83. 36 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, (selanjutnya ditulis Hans Kelsen III), (Bandung: Nuansa & Nusamedia, 2006), hal.140.
Universitas Sumatera Utara
19
Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan, dan oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang kepercayaan,
Notaris
berkewajiban
untuk
merahasiakan
semua
apa
yang
diberitahukan kepadanya selaku Notaris.37 Notaris di dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum telah membuat akta otentik yang baik dan benar serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak dipungkiri di dalam menjalankan tugasnya tersebut seorang Notaris bisa saja melakukan kesalahankesalahan didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila Notaris melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka Notaris tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Sehingga teori pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban apa saja yang dapat dibebankan kepada Notaris yang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan melawan hukum. 2.
Teori Kewenangan Istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang sering ditemukan dalam
literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
37
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
20
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).38 Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Harus dibedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.39 Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik, namun terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Kewenangan merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau
38
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998),
hal. 35-36.
39
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2002), hal. 22
Universitas Sumatera Utara
21
kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang (authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi.40 Kewenangan dapat dikatakan sebagai kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan
untuk
menimbulkan
akibat-akibat
hukum.
Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang. Perolehan kewenangan dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Atribusi Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan pada wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi atau peraturan perundang-undangan.
b. Pelimpahan wewenang Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian wewenang dari pejabat atasan
kepada
bawahan
dalam
membantu
melaksanakan
tugas-tugas
kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang 40
Andi Asrianti, 2013, Teori Kewenangan, diakses dari: URL:http://andiasrianti. blogspot.com/2013/02/normal-0-false-false-false-en-us-zh-cn.html , pada tanggal 3 Juli 2016.
Universitas Sumatera Utara
22
bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain secara atribusi, wewenang juga dapat diperoleh melalui proses pelimpahan yang disebut: 1) Delegasi Pendelegasian diberikan antara organ pemerintah satu dengan organ pemerintah lain. Pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang. 2) Mandat Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan dan bawahan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dapat dilihat mengenai kewenangan dari seorang Notaris yang telah diatur dalam Pasal 15 UUJN. Kewenangan seorang Notaris ini selanjutnya akan berkaitan dengan tanggung jawab Notaris tersebut terhadap akta-akta yang dibuatnya. Hal ini disebabkan dengan adanya sebagian kewenangan negara yang diberikan kepada Notaris maka dengan kewenangan tersebut Notaris juga turut bertanggung jawab atas tindakannya sebagai pejabat umum. 2.
Konsepsi Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus
yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan diteliti
Universitas Sumatera Utara
23
dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.41 Menurut Burhan Ashshofa, “suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok, atau individu tertentu”.42 Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka, konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.43 Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan. Adapun uraian yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a.
Pembatalan diartikan secara yuridis yaitu pernyataan batal, yang terdiri atas pembatalan mutlak dan pembatalan relatif. Pembatalan mutlak (absolute nietigheld) adalah pembatalan yang terjadi tanpa diminta oleh suatu pihak dan harus dianggap tidak pernah ada sejak semula dan terhadap siapa pun juga, sedangkan pembatalan relatif (relatief nietigheld) adalah pembatalan yang hanya
41
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hal. 96. Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) hal. 19. 43 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21. 42
Universitas Sumatera Utara
24
terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orangorang tertentu itu.44 b.
Wasiat merupakan suatu akta notarial, yang di dalamnya dicantumkan apa yang seseorang kehendaki, yang akan terjadi setelah ia meninggal dunia.45
c.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.46
d.
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Buku III BW adalah: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang disebut pada Pasal 1365 KUH Perdata, tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan juga
44
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 142. 45 Muhammad Adam, Notaris dan Bantuan Hukum, (Bandung: Sinar Baru, 1985), hal. 68. 46 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
25
meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat kaedah-kaedah sosial.47 Setiap orang memiliki hak yang sama di mata hukum, oleh karena itu sudah sepatutnya saling menghargai dalam menikmati hak masing-masing dalam pergaulan hidup sehari-hari. Suatu perbuatan yang dilakukan dengan mengabaikan kepentingan orang lain terlanggar maka dapat dikatakan telah bertentangan dengan kepatutan. Kepatutan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh Notaris dalam membuat atau memformulasikan suatu akta. Notaris harus menghindari membuat akta yang di dalamnya lebih membela kepentingan salah satu pihak dengan melanggar kepentingan pihak lainnya. Notaris hanya sekedar bertanggung jawab secara formalitas terhadap suatu akta otentik yang dibuatnya, oleh karena itu Notaris wajib bersikap netral terhadap para pihak yang mengadap di hadapannya (client).48 G. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Metode adalah suatu cara tertentu yang didalamnya mengandung suatu teknik
yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.49 Metode Penelitian dapat diartikan sebagai penelitian/ penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu dengan tujuan agar penelitian tidak acak-acakan.50
47
E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), hal. 294. Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 17-21. 49 Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Usaha Nasional, 1997), hal. 11. 50 Jhony Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 239-240. 48
Universitas Sumatera Utara
26
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan putusan pengadilan, yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap permasalahan pembatalan akta wasiat sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan notaris, yang menjadi topik permasalahan dalam penelitian ini yang diurai secara cermat terhadap apek-aspek hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.51 Menurut Roland Dworkin, yang menyatakan bahwa penelitian ini juga disebut dengan penelitian doctrial (doctrine research) yaitu penelitian yang menganalisa hukum sebagai baik tertulis maupun tidak tertulis di dalam buku (law as it written in the book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process).52 Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu memaparkan, menggambarkan atau mengungkap keadaan tentang fakta-fakta dalam Putusan MA No 3124 K/ Pdt/ 2013 antara Penggugat DM melawan Tergugat Notaris LSN, dikaitkan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini kemudian dibahas atau dianalisa menurut ilmu dan teori-teori atau pendapat sendiri, kemudian terakhir menyimpulkannya.53 51
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
hal. 36. 52
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 18 Februari 2013, hal 1. 53 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
27
2.
Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan ciri-ciri
data tersebut sudah dalam keadaan siap dibuat dan dapat dipergunakan dengan segera serta bentuk dan isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa, maupun konstruksi data. Data sekunder dapat diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, kamus, dan data lain, yang terbagi atas: 54 a. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini, diantaranya adalah Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) tanggal 29 Mei 2015 di Banten. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan primer yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasilhasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah pembatalan akta wasiat dan notaris yang melawan hukum.
54
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990),
hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Bahan hukum tertier Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum dan bahan-bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, jurnal ilmiah, ensiklopedia, bahan dari internet, majalah yang berhubungan atau berkaitan dengan materi penelitian.55 3.
Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan uraian penelitian di atas, untuk mendapatkan data yang
diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, dan kamus yang berkaitan dengan judul tesis yang bersifat teoretis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan penganalisaan masalah yang dihadapi.56Studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian57 Adapun metode lain yang digunakan selain library research yaitu penelitian lapangan (field research) dimana sarana utama yang dipakai adalah cara field interview (wawancara) yang artinya mencari dan mempelajari data melalui wawancara dari seseorang (informan) yang memang mengetahui tentang gejala yang diteliti maupun dengan observasi di lapangan tempat gejala yang diteliti berada. Informan yang dimaksud dalam tesis ini adalah Notaris yang memiliki pengetahuan 56
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 21 Muis, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1990), hal. 48. 57
Universitas Sumatera Utara
29
tentang tugas dan kewenangan Notaris dan juga dalam hal pembuatan akta wasiat sehingga informasi yang didapat kemudian akan digunakan sebagai data pendukung dari data sekunder dalam penulisan tesis ini. 4.
Analisis Data Analisis Data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan
data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu kesimpulan yang ekstrak dan tepat seperti yang disarankan oleh data.58 Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data yang digunakan dalam tesis ini adalah analisis data kualitatif yaitu analisis dengan memahami manusia dari sudut pandang orang yang bersangkutan itu sendiri, berguna memahami dan mengerti gejala yang diteliti.59 Metode kualitatif ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.60 Analisis kualitatif sangat erat kaitannya dengan subjektivitas yang meneliti, design-nya lebih fleksibel tergantung pada hal-hal spesifik yang penting dipandang oleh yang meneliti. Penarikan kesimpulan akan dilakukan dengan metode deduktif yaitu menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan konkrit mengenai kaidah yang benar dan tepat untuk diterapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan (perkara) tertentu. 61
58
hal. 106.
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
59
Soerjono Soekanto,Op.Cit., hal. 32. Miles dan Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), hal. 15. 61 Bambang Sunggono, 1996, Op. Cit., hal. 73. 60
Universitas Sumatera Utara
30
Dengan begitu, kesimpulan yang didapat berupa apakah permasalahan atau perkara tertentu telah sesuai atau tidak dengan pengetahuan-pengetahuan konkrit yang diyakini tersebut.
Universitas Sumatera Utara