TINJAUAN YURIDIS HUBUNGAN KERJASAMA PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN KOPERASI UNIT DESA MENGGUNAKAN PRINSIP KEMITRAAN INTI-PLASMA: STUDI KASUS P.T. SUMBER INDAH PERKASA DENGAN KOPERASI KRIDA SEJAHTERA DI KABUPATEN TULANG BAWANG, LAMPUNG Taufan Maulana Pamungkas, M. Sofyan Pulungan, dan Myra R. Budi Setiawan Hukum tentang Kegiatan Ekonomi Fakultas Hukum
Peraturan Menteri Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan memberikan kewajiban bagi perusahaan perkebunan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk membangun lahan perkebunan bagi masyarakat sekitar sebesar 20% dari luas lahan yang diusahakan oleh perusahaan. Namun pelaksanaan dari ketentuan ini tidak sepenuhnya berjalan dengan baik karena ada beberapa perusahaan yang tidak menjalankannya dan tidak memiliki iktikad baik pada saat membangun kebun bagi masyarakat tersebut. Petani yang dalam hal ini memiliki posisi tawar yang lebih rendah dari pada Perusahaan sering kali menjadi pihak yang selalu dirugikan karena kurangnya pemahaman serta kemampuan dalam mengelola perkebunan. Oleh karena itu Petani butuh suatu badan hukum yang berfungsi untuk melindungi kepentingan para petani dari iktikad tidak baik perusahaan. Kerjasama dalam bidang perkebunan antara Perusahaan dengan Koperasi yang sering kali digunakan adalah pola kemitraan inti plasma dimana perusahaan memiliki lahan perkebun sendiri (inti) dan begitu juga dengan petani (plasma). Kemitraan inti plasma terbagi menjadi 3 yaitu pola PIR Trans, KKPA dan Program Revitalisasi Perkebunan. Salah satu Perusahaan yang bergerak dibidang agribisnis yaitu P.T Sumber Indah Perkasa yang berada di kabupaten Tulang Bawang, Lampung juga melakukan kemitraan inti Plasma dengan Koperasi Krida Sejahtera dengan pola KKPA dimana terdapat kredit pinjaman dari bank untuk petani yang telah dikuasakan kepada Koperasi Krida Sejahtera. Kata Kunci: Kemitraan, Kemitraan Perkebunan, Inti Plasma, Petani Plasma, Perusahaan inti, Koperasi In Ministerial Regulation Number: 26/Permentan/OT.140/2/2007 on Plantation Business Licensing Guidelines provide liability for plantation companies that have business licenses Plantation to establish plantations for people around 20% of the area of land cultivated by the company . However, implementation of these provisions are not completely worked well because there are some companies that do not run and do not have the time to build good will for the community garden. Farmers who in this case has a lower bargaining position of the company is often a party that always disadvantaged because of a lack of understanding and ability to manage the estate. Therefore, farmers need a legal entity that serves to protect the interests of the farmers of faith is not good company. Cooperation in the field of oil between the Company and Cooperative frequently used plasma core is a partnership where the company has its own plantation land (core) and so does the farmer (plasma). Plasma core partnership is divided into 3 PIR pattern Trans, KKPA and Plantation Revitalization Program. One of the Company engaged in agribusiness, PT Sumber Indah Perkasa located in the district Of Tulang Bawang, Lampung also doing core partnership with the Cooperative of Krida
Sejahtera of Plasma Prosperous KKPA pattern where there is a loan from a bank loan for farmers who have been authorized to Cooperative Activities of Prosperity.
Key Words: Plasma Core, Plantation Partnership, Cooperative, Farmer, Company
Pendahuluan Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, perekonomian Indonesia didasarkan oleh beberapa pemikiran konsep para founding father’s Republik ini, yaitu salah satunya oleh seorang dari dua proklamator Republik Indonesia yang juga merupakan seorang sarjana dari Handels Hoge School di Rotterdam (1930), Belanda, yaitu Mohammad Hatta.1 Moh. Hatta sebagai salah satu founding father Republik ini juga berkontribusi terhadap lahirnya konstitusi Negara Republik Indonesia. Moh. Hatta menyumbang beberapa perumusan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) khususnya yang berkaitan dengan ideologi perekonomian negara.2 Rumusan UUD NRI 1945 yang merupakan hasil gagasan Moh. Hatta berbunyi “Perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”3 Selain itu, rumusan UUD NRI 1945 yang merupakan hasil gagasan Moh. Hatta adalah rumusan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.4 Dalam ketentuan pasal-pasal yang dirumuskan oleh Moh. Hatta tersebut disebutkan bahwa perekonomian Indonesia didasarkan pada suatu sistem ekonomi yang berdasarkan kerakyatan. Sistem ekonomi merupakan suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antar-manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. 5
1
Mohammad Hatta, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi, (Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara, 2011), hlm. 149-162. 2
Cornelis Rintuh dan Miar, Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2003), hlm. 80. 3
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD NRI 1945, ps.
4
Ibid., ps. 31 (2) dan (3).
31(1).
Dalam sistem ekonomi yang dikonsepkan oleh Moh. Hatta ini merupakan sebuah landasan ekonomi nasional yang ditujukan untuk mengubah sistem kapitalisme-liberalisme penjajah. Secara ekonomi Indonesia juga merupakan negara demokrasi. Dalam konstitusi Republik Indonesia sangat jelas disebutkan bahwa ideologi perekonomian Indonesia adalah demokrasi ekonomi. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.6 Demokrasi ekonomi mengutamakan kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran masingmasing individu. Nilai kemasyarakatan dalam kehidupan ekonomi tersebut adalah keadilan dalam kehidupan ekonomi. Dengan demikian, demokrasi ekonomi merupakan kedaulatan ekonomi rakyat yang bertujuan untuk mencapai keadilan ekonomi.7 Prinsip perekonomian Indonesia yang menganut sistem demokrasi ekonomi dimana pada sistem tersebut menjadikan sistem perkonomian yang dijalankan di Indonesia harus berpedoman kepada pancasila dan UUD NRI 1945. Pada sistem ini Pemerintah dan seluruh rakyat, baik individual maupun badan usaha, aktif dalam usaha mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Dalam ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 secara implisit disebutkan bahwa perekonomian Indonesia didukung oleh tiga komponen, yaitu perusahaan pemerintah atau biasa disebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan swasta dan koperasi.8 Ketiga komponen badan usaha tersebut dalam menjalankan aktivitasnya, tentu juga turut menjalankan agenda pembangunan perekonomian nasional. Oleh karena itu aktivitas dari ketiga komponen badan usaha tersebut harus bersinergi dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu mensejahterakan kehidupan bangsa.9 Ekonomi rakyat dan demokrasi ekonomi yang didasarkan pada pancasila dan UUD NRI 1945 adalah cita-cita dari para pendiri Republik Indonesia ini. Dalam sistem ini 5
Dumairy, Perekonomian Indonesia, cet. 5, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 30.
6
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, op. cit., ps. 33(4).
7
Cornelis Rintuh dan Miar, Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat, op. cit., hlm. 86.
8
Erman Rajagukguk, “UMKM”, dalam Yustisia Negara dan Masyarakat, Jurnal Nasional (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Januari 2008-Juli 2009), hlm. 41. 9
Ibid.
perekonomian berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya etik dan moral agama, bukan materialisme semata), kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal kekerasan dan eksploitasi manusia), persatuan Indonesia (kekeluargaan, kebersamaan, nasionalisme dan patriotisme ekonomi), kerakyatan (mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak) serta keadilan sosial (persamaan dan kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran individu atau kelompok).10 Dalam ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 disebutkan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat.11 Dalam hal ini sistem koperasi merupakan suatu pengejawantahan dari ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 tersebut yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. 12 Sistem koperasi dalam ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 merujuk pada koperasi yang tidak hanya sebagai badan usaha saja, tetapi juga sebagai suatu sistem ekonomi yang menjiwai ekonomi pancasila. Sistem koperasi merupakan lima wahana pokok, yaitu pertama koperasi sebagai wahana ekonomi dan menjadi alat memenuhi kepentingan kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya. Kedua, koperasi sebagai wahana pendidikan mengembangkan anggota ke arah tujuan manusia Indonesia seutuhnya. Ketiga koperasi sebagai wahana pendemokrasian masyarakat. Keempat koperasi sebagai wahana pengimbang antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta. Dan kelima koperasi sebagai wahana penghayatan ideologi Pancasila.13 Menurut Moh. Hatta dalam bukunya “The Cooperative Movement in Indonesia,” mengemukakan bahwa koperasi merupakan usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong. Selanjutnya Moh. Hatta mengemukakan bahwa gerakan koperasi melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang melahirkan rasa percaya diri dan persaudaraan.14 Dari pendapat tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang
10
Sri Edi Swasono, Wawasan Ekonomi Pancasila, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988),
11
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, op. cit., pembukaan.
hlm. 19.
12
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, cet. 1, (Bandung: P.T.. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 81. 13
Emil Salim, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1995), hlm
69. 14
Andjar Pacta W., et al, Hukum Koperasi Indonesia (Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha), cet 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 19.
terkandung dalam koperasi, yaitu merupakan kumpulan orang (bukan semata kumpulan modal), adanya kesamaan dalam tujuan, usaha yang bersifat sosial (tetapi tetap bermotif ekonomi), bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya dan dikelola bersama dengan prinsip gotong royong.15 Koperasi didasarkan atas adanya motif ekonomi (profit motive), namun tidak hanya motif ekonomi yang menjadi tujuan dari koperasi, tetapi juga terdapat di dalamnya unsur yang paling utama, yaitu motif sosial. Hal ini dapat dilihat dari tujuan utama koperasi adalah kesejahteraan anggota yang dilakukan dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan serta prinsip gotong royong. 16 Koperasi juga memiliki nilai dasar, yaitu nilai kemandirian, tanggung jawab, demokrasi, kesetaraan, keadilan dan solidaritas.17 Selain itu koperasi juga memiliki berbagai prinsip yang dijadikan pedoman pelaksanaan kegiatan di dalamnya. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya adalah prinsip sukarela dan terbuka
18
, prinsip
demokrasi19, pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota 20 , prinsip otonomi dan independen 21 , kerjasama antarkoperasi22 dan perhatian terhadap komunitas23.
15
Ibid. hlm. 20.
16
M. Udin Silalahi, Badan Hukum dan Organisasi Perusahaan, cet. 1, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005), hlm. 13. 17
Andjar Pacta W., et al, Hukum Koperasi Indonesia (Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha), op. cit., hlm. 23. 18
Prinsip yang menyatakan bahwa koperasi merupakan organisasi sukarela, terbuka kepada setiap orang untuk dapat menggunakan pelayanan yang diberikannya dan mau menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa membedakan jenis kelamin, sosial, suku, politik atau agama. R. T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, cet. 2, (Jakarta: P.T.. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 48. 19
Prinsip yang menyatakan bahwa koperasi merupakan organisasi demokratis yang dikontrol oleh anggotanya, yang aktif berpartisipasi merumuskan kebijakan dan membuat keputusan. Ibid., hlm. 48-49. 20
Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam koperasi tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota terhadap koperasi. Ketentuan yang demikian ini merupakanperwujudan nilai kekeluargaan dan keadilan. C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum: Yayasan, Perguruan Tinggi, Koperasi dan Perseroan Terbatas, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hlm. 106-107. 21
Dimaksudkan bahwa organisasi ini mandiri dan dikendalikan oleh anggotanya. R. T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, op. cit., hlm. 50. 22
Koperasi melayani para anggotanya dan memperkuat gerakan koperasi melalui kerja sama dengan struktur koperasi lokal, nasional dan internasional. Andjar Pacta W., et al, Hukum Koperasi Indonesia (Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha), op. cit., hlm. 24. 23
Koperasi bekerja untuk perkembangan yang berkesinambungan atas komunitasnya. Ibid., hlm. 25.
Koperasi timbul setelah kapitalisme mengalami masa jayanya dan mulai dengan masa tuanya. Kapitalisme sangat menekankan pada arti pentingnya peranan kapital (modal) dalam kegiatan ekonomi. Koperasi lebih mengutamakan dan menghargai peranan manusia daripada modal. Perbedaan di antara keduanya dengan demikian hanyalah terletak pada penekanan peranan faktor-faktor produksi dalam kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa yang satu tidak memerlukan faktor produksi yang lainnya. Di dalam kapitalisme tenaga kerja manusia diakui pula peranannya seperti halnya koperasi mengakui pula peranan faktor modal.24 Dilihat dari perbedaan tersebut jelas terlihat bahwa koperasi merupakan satu aliran yang termasuk dalam aliran sosialisme. Sosialisme sendiri merupakan suatu aliran yang ingin membebaskan manusia dari belenggu rantai penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa melalui revolusi dimana alat-alat produksi harus menjadi milik bersama (seluruh anggota masyarakat), digunakan bersama dan hasilnya untuk memenuhi kepentingan hidup bersama di bawah pengaturan bersama.25 Tujuan usaha koperasi adalah untuk memenuhi kebutuhan anggotanya atau bermotif pelayanan kepada para anggotanya. Koperasi mewujudkan demokrasi ekonomi melalui kebersamaan, kekeluargaan, keterbukaan, tanggung jawab dan demokrasi. Koperasi memiliki kedudukan yang strategis, yaitu: a.
Koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat;
b.
Koperasi sebagai lembaga ekonomi yang berwatak sosial;
c.
Koperasi sebagai salah satu soko guru perekonomian nasional, memajukan kesejahteran anggota pada khusunya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur. Anggota koperasi memiliki peran yang menentukan dalam proses manajemen dan
pengambilan keputusan organisasi maupun jalannya usaha koperasi. Anggota berkedudukan sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pengguna jasa dari perusahaan koperasi. Anggota berpartisipasi aktif dalam pemupuk modal, pemanfaatan pelayanan, menanggung resiko dan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan. Partisipasi anggota dan manajemen koperasi
24
25
Departemen Koperasi Direktorat Bina Penyuluhan Koperasi, op. cit., hlm. 72-73.
Andjar Pacta W., et al, Hukum Koperasi Indonesia (Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha), op. cit., hlm. 13.
menjadi pilar keberhasilan koperasi. Setiap anggota koperasi memiliki hak suara yang sama (satu anggota satu suara). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian (yang saat ini telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2012) memberikan definisi mengenai koperasi dalam pasal 1, yaitu:
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. 26 Secara garis besar, UU No. 25 Tahun 1992 ini menegaskan bahwa pemberian status badan hukum koperasi, pengesahan perubahan anggaran dasar dan pembinaan koperasi merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah. Namun demikian dinyatakan (dalam penjelasan umum UU No. 25 Tahun 1992), bahwa hal itu tidak berarti Pemerintah mencampuri urusan internal dari organisasi koperasi dan tetap memperhatikan prinsip kemandirian koperasi. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, menciptakan dan mengembangkan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi. Demikian juga dinyatakan bahwa Pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan dan perlindungan kepada koperasi. Kalau pun dalam UU No. 25 Tahun 1992 Pemerintah menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang dapat diusahakan koperasi, akan tetapi Pemerintah juga akan menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu yang telah berhasil diusahakan oleh koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya. Hal itu dilakukan dengan memperhatikan kepentingan ekonomi nasional dan perwujudan pemerataan kesempatan berusaha. Selain semua itu, UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian juga memberikan kesempatan bagi koperasi untuk memperkuat permodalan melalui pengerahan modal penyertaan, baik dari anggota maupun dari bukan anggota. Dengan kemungkinan ini, koperasi dapat menghimpun dana untuk pengembangan usahanya. Sejalan dengan itu, dalam UU No. 25 Tahun 1992 ditanamkan pemikiran ke arah pengembangan pengelolaan koperasi secara profesional.27
26
Indonesia, Undang-Undang Perkoperasian, No. 25 Tahun 1992, (LN No. 3502 Tahun 1992), ps.
1 angka 1. 27
Andjar Pacta W., et al, Hukum Koperasi Indonesia (Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha), Loc., cit. hlm. 72-73.
Perusahaan sebagai pemilik teknologi dan modal juga dapat menjalin kerjasama dengan koperasi. Salah satu bentuk kerja sama yang banyak digunakan adalah kemitraan. Contoh dari bentuk kerjasama antara perusahaan dengan koperasi adalah kemitraan dalam bidang Agribisnis. Kemitraan dalam bidang Agribisnis diharapkan dapat memecahkan kebuntuan pelaku usaha agribisnis di tingkat masyarakat yang tidak memiliki modal-modal pokok yang menjadi kendala dalam pengembangan usahanya. Solusi ini diimplementasikan ke dalam suatu bentuk kemitraan antara pelaku usaha lokal seperti petani dengan perusahaan. Agribisnis dapat dikelompokkan dalam tiga sub sistem agribisnis: Pertama, sub sistem agribisnis hulu, yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off-farm) seperti bioteknologi, industri agrokimia (pupuk, petisida), alat-alat pertanian dan pakan ternak. Sedangkan kegiatan dalam pertanian (on-farm) seperti pembibitan/pembenihan, budidaya perikanan, peternakan, perkebunan dan pertanian. Kedua, sub sistem agribisnis hilir, yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan. Ketiga, sub sistem jasa penunjang, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menunjang
sektor
agribisnis
seperti
industri
pengolahan/pengawetan,
agro-wisata,
perdagangan/jasa, transportasi dan jasa pembiayaan/keuangan.28 Pelaku usaha agribisnis ditingkat masyarakat seperti pertanian berada di sub sistem agribisnis hulu (on-farm). Kegiatan usaha mereka cenderung marginal, dalam arti karena keterbatasan dukungan pendanaan serta relatif masih sederhananya tehnik produksi yang dipergunakan menyebabkan pelaku usaha ini kurang dapat berkembang. Di lain pihak pelaku usaha di sub sistem yang lain rata-rata merupakan pengusaha non marginal, dalam arti kapasitas usaha mereka relatif cukup besar serta dukungan permodalan mereka cukup baik. 29 Ketimpangan kedua kelompok pelaku usaha ini semakin diperparah dengan adanya penyebaran demografis yang kurang mendukung perkembangan sektor agribisnis pada umumnya. Kegiatan agribisnis dalam pertanian (on-farm) cenderung berada di daerah yang jauh dari pusat kegiatan pasar maupun sub sistem hulu atau di luar pertanian (off-farm) maupun sub sistem agribisnis hilir dan jasa penunjang. Akibatnya pelaku usaha on-farm sering terdiskriminasikan dalam hal penentuan harga jual produknya karena faktor jarak distribusi, tingginya struktur biaya, serta sulitnya dalam memperoleh dukungan pendanaan.
28
Agus Adi Dewanto, Perjanjian Kemitraan dengan Pola Inti Plasma Pada Peternak Ayam Potong/Broiler di Pemerintahan Kabupaten Grobongan Jawa Tengah, (Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang; 2005 hlm. 1 29
Ibid., hal 2-3
Untuk dapat meningkatkan kinerja para pelaku sektor agribisnis, khususnya petani (on-farm), harus dipahami bahwa kegiatan sub sistem agribisnis yang ada sebenarnya saling berkaitan dan saling mendukung. Apabila dibiarkan berjalan sendiri-sendiri, maka akan terlihat terkotak-kotak dalam melakukan aktifitas usahanya, yang akibatnya akan terjadi diskriminasi usaha, sehingga hasil produksi dari sub sektor agribisnis ini menjadi tidak optimal. Salah satu solusi yang dapat diambil untuk mengatasi kendala terkotaknya masingmasing sub sistem agribisnis, khususnya dalam rangka meningkatkan peran pelaku usaha petani (on-farm) adalah melalui pola kemitraan. Pola kemitraan yang menghubungkan antara perusahaan inti dengan plasma mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup tinggi, karena disamping pola kemitraan ini dapat mengatasi kendala pendanaan maupun kualitas produk di tingkat petani, kemitraan juga dapat menjamin pemasaran maupun tingkat harga hasil produksi petani. Perusahaan inti juga memperoleh manfaat yang besar, antara lain mereka dapat memasarkan produknya kepada plasma mitra mereka, selain itu mereka juga akan mendapat jaminan pasokan bahan baku dari mitranya. Pola kemitraan tersebut perlu terus dikembangkan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan baik dengan koperasi, swasta, dan Badan Usaha Milik Negara, serta antara usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional. Senada dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono,
30
dalam rangka
meningkatkan kemampuan usaha yang berskala kecil harus dibarengi dengan kebijakan berupa beberapa upaya secara sistematis antara lain yaitu: 1. Menyediakan perangkat peraturan yang sifatnya: a. Mendorong terjadinya kerjasama/kemitraan b. Menciptakan bentuk kerjasama/kemitraan c. Memberi kemudahan dalam rangka terciP.T.anya kerjasama/kemitraan 2. Membentuk wadah-wadah kerjasama/kemitraan secara formal antara departemen, jawatan dan instansi yang bersifat teknis dengan pengusaha-pengusaha swasta (menengah dan kecil). Contoh pola kemitraan agribisnis yang cukup berkembang saat ini adalah kemitraan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan petani. Pola kemitraan yang terjadi adalah inti plasma, dimana perusahaan perkebunan kelapa sawit berperan sebagai inti dan petani
30
Sri Rejeki Hartono, 13 SeP.T.ember 1997, Menuju Pada Kemitraan yang Harmonis dan Berdayaguna, Makalah pada Lokakarya Kemitraan Usaha yang Berkesinambungan, FH-UNDIP, Semarang, hal 3
sebagai plasma. Pembentukan plasma ini merupakan suatu kebijakan pemerintah, dimana setiap perusahaan
yang akan memperoleh izin usaha, mempunyai kewajiban untuk
membangun pola kemitraan dengan masyarakat. Dalam pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman
Perizinan Usaha
Perkebunan disebutkan bahwa: Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 % (dua puluh per seratus) kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri.31 Pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan juga sebagai salah satu bentuk usaha kemitraan yang harus dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. 32 Oleh karena itu pelaksanaan pola kemitraan antara inti dan plasma ini perlu lebih dicermati pola hubungan kelembagaan antar mitra, sebab secara umum memang harus disadari bahwa pola kemitraan ini mempertemukan dua kepentingan yang sama tetapi dilatarbelakangi oleh kemampuan manajemen dan pemahaman dalam pengetahuan hukum serta permodalan yang berbeda sehingga plasma sangat rentan untuk menjadi korban dari perusahaan inti yang jelas-jelas mempunyai latar belakang lebih kuat, baik dari segi permodalan dan manajemen. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan yang dapat membantu petani plasma, tetapi pada kenyataannya pola kemitraan yang terjadi seringkali merupakan perjanjian standar atau baku, dimana petani plasma tidak mempunyai kebebasan untuk merundingkan isi perjanjian tersebut. Hal inilah yang mendorong petani bersama-sama membentuk koperasi sebagai badan hukum yang diharapkan dapat mengakomodir semua aspirasi dari para petani dan menjembatani antara kepentingan perusahaan dengan petani perkebunan karena kebanyakan dari mereka adalah masyarakat dengan pendidikan yang minim, bahkan buta huruf. Keadaan seperti ini memberi peluang bagi pihak-pihak atau oknum-oknum nakal untuk memanfaatkan kesempatan melakukan perbuatan atau tindakantindakan atau bahkan dalam bentuk sikap-sikap yang merugikan petani plasma. 31
Indonesia, Peraturan Menteri Pertanian Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Permen Nomor 26 Tahun 2007, ps. 11 ayat (1). 32
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkebunan, UU No. 18 Tahun 2004, (LN No. 85 Tahun 2004,T LN No. 4411), Ps. 22 ayat (1) dan (2). Yang berbunyi: (1) Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. (2) Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. “Setiap penanam modal berkewajiban:
Artinya dalam hubungan kemitraan yang dibentuk di antara mereka harus mencerminkan dan memiliki prinsip saling menghargai antara perusahaan dan pekebun serta masyarakat sekitar. Dalam kerjasama kemitraan inti plasma dibidang perkebunan ini diharapkan semua pihak yang terlibat tidak merasa dirugikan sehingga bentuk kerja sama ini dapat menjadi kerja sama yang ideal demi terwujudnya kemandirian ekonomi bagi masyarakat. Oleh karena itu pembahasan mengenai hal ini sangatlah penting dan penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan mengangkat tema: “TINJAUAN YURIDIS HUBUNGAN KERJASAMA PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN KOPERASI UNIT DESA MENGGUNAKAN PRINSIP KEMITRAAN INTI-PLASMA: STUDI KASUS P.T. SUMBER INDAH PERKASA DENGAN KOPERASI KRIDA SEJAHTERA DI KABUPATEN TULANG BAWANG, LAMPUNG.”
Tinjauan Teoritis Pengertian Koperasi Ditinjau dari segi bahasa, secara umum koperasi berasal dari berbagai bahasa yang memiliki arti yang sama. Bahasa latin dari kata koperasi terdiri dari dua kata yaitu Cum yang berarti dengan, dan Aperari yang berarti bekerja. Sedangkan dari bahasa Inggris, koperasi berasal dari kata Co-operation (co = bersama, operation = usaha), yang dalam bahasa Belanda disebut dengan Cooperatieve Vereneging yang berarti bekerja bersama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dari kata Co-operation kemudian diangkat menjadi istilah ekonomi yang dikenal dengan koperasi.33 Di dalam Undang-Undang Koperasi No.12 tahun 1967 pada pasal tiga mendefinisikan pengertian koperasi Indonesia sebagai organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang, atau badan hukum Koperasi yang merupakan tata-susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Sedangkan menurut Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 bagian kesatu, dinyatakan bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan atas asas kekeluargaan. Didalam Undang-Undang Perkoperasian yang baru Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 17 tahun 2012 memberikan definisi koperasi sebagai berikut:
33
Hadhikusuma, R.T. Sutantya Raharja. 2002. Hukum Koperasi Indonesia. Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada.
Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahaan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, social, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.34
Untuk mendirikan koperasi yang kokoh diperlukan landasan yang terbagi ke dalam tiga macam landasan, yaitu landasan idiil, landasan strukturil, dan mental.35 Landasan idiil koperasi adalah Pancasila, landasan struktural koperasi adalah UUD ’45 pasal 33 ayat 1, sedangkan landasan mental koperasi adalah sifat setia kawan dan kesadaran berkepribadian. Konsep Kemitraan Padanan kata kemitraan dalam bahasa inggris adalah “partnership”. Menurut kamus hukum Black Law Dictionary, yang dimaksud dengan partnership adalah, “a voluntary assoiation of 2 or more persons who jointly own and carry on a business for profit”. 36 Sementara itu, menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah jo Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 tentang Kemitraan, yang dimaksud dengan Kemitraan adalah: “Kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar yang disertai dengan pembinaan dan pengembangan”.37 Dari definisi-definisi di atas, dapat ditarik 4 unsur penting, yaitu: 1. Kemitraan adalah suatu kerjasama usaha; 2. Pihak-pihak yang melaksanakan kerjasama adalah Usaha Besar
38
dan Usaha
Menengah39 dan Usaha Kecil40 atau Usaha Mikro41 (koperasi atau petani plasma); 34
Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian, ps. 1 ayat (1)
35
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar & Menengah. 1977. Pengetahuan Perkoperasian. Jakarta: DEPDIKBUD. 36
37
Bryan A. Gartner, Black’s Law Dictionary, Revised Eight Edition. West Publishing Co, 2004.
Indonesia, Undang-undang tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No.:20 tahun 2008, LN No.: 93 tahun 2008, Pasal 1 Ayat (13) junto Peraturan Pemerintah tentang Kemitraan, PP Nomor 44 tahun 1997, LN.: 91 tahun, TLN No.: 3718 tahun 1997, Pasal 1 ayat (1) 38 Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang dimaksud dengan Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan
3. Kerjasama tersebut mengandung unsur pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar terhadap Usaha Besar terhadap Usaha Kecil atau Usaha Mikro; 4. Kerjasama tersebut dilakukan oleh 2 pihak yang merasa saling membutuhkan,saling memperkuat dan saling menguntungkan. Menurut Johanes Ibrahim, karakteristik atau cirri umum dari suatu kerjasama yang dibuat oleh para pihak dalam hal kemitraan adalah:42 1. Timbul karena adanya keinginan untuk mengadakan hubungan konsesual, di mana keinginan itu timbul bukan karena diatur oleh Undang-Undang (melainkan dari masing-masing pribadi para pihak); 2. Selalu melibatkan unsur-unsur seperti modal, pekerja atau gabungan dari keduanya; 3. Pada umumnya terdiri atas perusahaan (firma) dan mitranya; dan Dibentuk untuk memperoleh keuntungan bagi para pihak.
ekonomi di Indonesia. Indonesia, Undang-undang tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No.:20 tahun 2008, LN No.: 93 tahun 2008, Pasal 1 Ayat (13) junto Peraturan Pemerintah tentang Kemitraan, PP Nomor 44 tahun 1997, LN.: 91 tahun, TLN No.: 3718 tahun 1997, Pasal 1 ayat (4) 39
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang dimaksud dengan Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sesuai criteria. Adapun criteria Usaha Menengah menurut pasal 6 ayat (3) adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 miliar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2,5 miliar rupiah sampai dengan paling banyak 50 miliar rupiah. ________, Ibid., Pasal 1 ayat (3). 40
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang dimaksud dengan Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi criteria. Adapun criteria Usaha Kecil menurut Pasal 6 ayat (2) adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta sampai dengan paling banyak 500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta sampai dengan paling banyak 2,5 miliar. . ________, Ibid., Pasal 1 ayat (1) 41
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang dimaksud dengan Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi criteria. Adapun criteria Usaha Mikro menurut Pasal 6 ayat (1) adalah memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempt usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 300 juta. ________, Ibid., Pasal 1 ayat (1) 42
Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan: Pola Kemitraan dan Badan Hukum, cet 1, (Bandung: PT. Refika Aditama, April 2006), hlm. 26-27
Penerapan Etika Bisnis Dalam Kemitraan Mengutip pendapat John L. Mariotti yang disampaikan oleh Mohammad Jafar Hafsah, ada 6 dasar etika berbisnis kemitraan. 4 dasar etika yang pertama merupakan hubungan interaksi manusia dan selebihnya merupakan perspektif bisnis. Keenam dasar etika bisnis tersebut adalah:43 1. Karakter, Integritas dan Kejujuran.44 Pengertian karakter seperti yang terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat kejiwaan, ahlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dalam kemitraan diperlukan pelaku-pelaku yang berkarakter kuat tidak mudah putus asa. Pengertian integritas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewajiban. Kemitraan yang dibangun dengan integritas yang terpuji dari pelakunya akan menghasilkan suatu bangun kemitraan yang kokoh dan tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai hambatan. Pengertian kejujuran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai ketulusan hati dan merupakan sikap dasar yang harfiah dimiliki oleh manusia. Kemitraan yang diawali dengan kejujuran dari pelaku yang bermitra dapat merupakan awal terbentuknya transparasi dalam segala manifestasinya. 2. Kepercayaan Kepercayaan yang teguh terhadap seseorang atau mitra merupakan modal dasar dalam menjalin bisnis. Pengertian kepercayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar-benar atau nyata. Kemitraan yang direncanakan oleh dua pihak atau lebih dimulai atas dasar sikap saling mempercayai. Kegagalan dalam membangun kemitraan diantaranya biasanya dimulai dari sikap yang saling mencurigai dan akhirnya saling tidak percaya. 3. Komunikasi yang Terbuka Komunikasi yang terbuka merupakan suatu rangkaian proses dimana suatu informasi atau gagasan dipertukarkan secara transparan. Kemitraan senantiasa berkembang 43
Muhammad Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi, cet. 2, (Jakarta, PT. Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm. 47-51 44
1999
Pusat Penulisan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Cet.9. Tahun
sesuai dengan tantangan dan masalahnya. Kemitraan itu dinamik, agar supaya dapat eksis bertahan maka kemitraan selalu memerlukan ide, gagasan dan informasi yang terus berkembang. Pertukaran informasi secara bebas oleh pelaku yang bermitra akan melahirkan suatu ide atau gagasan cemerlang yang akan memicu kreativitas sehingga berdampak pada kegiatan atau usaha yang akan dilakukan. 4. Adil Secara harfiah adil diartikan tidak berat sebelah atau tidak memihak. Kemitraan yang dilandasi sikap adil menunjukkan adanya pengorbanan dari pihak yang bermitra untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Pengorbanan yang diberikan oleh satu pihak tidak berarti merupakan suatu kerugian melainkan suatu tindakan yang telah diperhitungkan demi meraih suatu nilai tambah yang maksimal. 5. Keinginan pribadi dari pihak yang bermitra Sebelum dua pihak memulai untuk bekerjasama dalam kemitraan maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini sudah barang tentu tidak selalu diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga non-ekonomi seperti peningkatan kemampuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasaan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekuensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan. Batasan dari pencapaian keinginan tersebut harus didasari sampai sejauh mana kemampuan untuk memanfatkaan keinginan tersebut untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga dengan bermitra, terjadi sinergi antara pelaku yang bermitra sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. 6. Keseimbangan antara insentif dan resiko Kemitraan merupakan perpaduan antara resiko yang diberikan dengan hasil atau insentif yang diterima. Keseimbangan ini akan terus mewarnai perjalanan kemitraan. Dengan kata lain bagi pihak-pihak yang bermitra harus ada keinginan untuk memikul beban resiko yang dihadapi bersama selain menikmati keuntungan secara bersama. Keseimbangan ini harus terus di tumbuh kembangkan sebagai penjabaran dari aturan praktek-praktek bisnis secara umum. Keinginan untuk mengambil resiko dari suatu usaha dapat diartikan sebagai awal dari keberhasilan kemitraan.
Menurut Yusuf Wibisono, setidaknya ada 3 prinsip penting dalam membentuk kemitraan adalah:45 1. Kesetaraan atau keseimbangan adalah: Pendekatannya bukan top-down atau bottom-up bukan pula berdasar kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya. Untuk menghindari antagonism perlu dibangun rasa saling percaya. 2. Transparasi Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja. 3. Saling menguntungkan Suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Kemitraan Inti Plasma Secara garis besar, di Indonesia pola kemitraan yang paling sering digunakan adalah pola inti plasma. Terdapat tiga pola kemitraan inti plasma, yaitu Pola PIR, Pola KKPA, dan Pola PRP.46
a.
Kemitraan Pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat) Kemitraan Perusahaan Inti Rakyat merupakan kemitraan perkebunan generasi
pertama yang dimulai pada tahun 1980-an. Program PIR merupakan pola pengembangan perkebunan rakyat dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti dan sekaligus sebagai pelaksana pengembangan kebun plasma. Pola ini awalnya dibangun perusahaan perkebunan Negara untuk masyarakat diwilayah pedesaan. Dalam pola ini, perkebunan besar membangun kebun inti, pabrik, lalu membangun plasma. Secara rinci, pekerjaan pembangunan program PIR meliputi tiga tahap. Tahap pertama, perusahaan inti melaksanakan pembangunan kebun. Pada tahap kedua, dilakukan pengalihan kebun kepada petani plasma dan akad kredit konversi. Selanjutnya, tahap ketiga dilakukan pengembalian atau pelunasan kredit (hutang petani).
b.
Kemitraan Pola KKPA (Kredit Koperasi Primer kepada Anggota) 45
Yusuf Wibisono, Membelah Konsep & Aplikasi CSR, cet.2, (Jakarta: Fascho Pbulishing, November 2007, hlm. 109-110 46 Sunarko, Budidaya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit dengan Sistem Kemitraan. Penerbit PT. AgroMedia Pustaka, 2009 Jakarta.
Kemitraan pola KKPA merupakan pola kemitraan perusahaan inti dan petani dalam wadah koperasi untuk meningkatkan daya guna lahan petani peserta dalam usaha meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para anggota melalui kredit jangka panjang dari bank. Perusahaan inti sebagai pengembang melaksanakan pembangunan kebun kelapa sawit untuk petani peserta dengan biaya pembangunan dari kredit bank hingga tanaman kelapa sawit menghasilkan. Perusahaan inti juga membangun kelembagaan petani sebagai wadah pembinaan dan bimbingan bagi petani peserta budidaya dan manajemen perkebunan kelapa sawit. Pembinaan minimum dilakukan selama satu siklus tanam. Pada pola kemitraan KKPA, perusahaan inti bertanggung jawab atas pengembalian kredit bank. Angsuran kredit ini diambil dari pemotongan hasil jual TBS dari petani plasma. Artinya petani wajib menjual hasil kebunnya pada perusahaan inti. Dalam hal ini, perusahaan inti wajib membeli hasil TBS petani plasma dengan harga plasma yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Selama proses ini, koperasi sebagai wadah petani berhak melakukan pengawasan pada perusahaan inti. Selanjutnya, setelah semua kewajiban petani anggota terselesaikan, perusahaan inti wajib menyerahkan sertifikat kebun kepada petani.
c.
Kemitraan Pola PRP (Program Revitalisasi Perkebunan) Pemerintah menyiapkan program – revitalisasi perkebunan (PRP) yang merupakan
kemitraan perkebunan generasi II pada tahun 2006. Berdasarkan pedoman umum program revitalisasi perkebunan, konsep kemitraannya adalah kerjasama usaha antara petani pekebun (plasma) dengan perusahaan perkebunan (inti) sebagai mitra usaha dengan prinsip yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan. Program PRP diharapkan dapat lebih mensejahterakan petani plasma dan mampu mengamankan kepentingan perusahaan inti dan pihak perbankan, baik itu produksi maupun angsuran kreditnya. Perusahaan inti ditetapkan sebagai developer dan avails. Artinya, inti bertanggung jawab untuk membangunkan kebun dan menyediakan atau mencarikan dananya. Dengan demikian, fungsi dan perannya menjadi lebih nyata (lebih bertanggung jawab sampai dengan terwujudnya kebun dan lunasnya kredit petani).
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif47 karena menelaah asas-asas hukum tertulis yang berkaitan dengan kegiatan kerjasama perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan Koperasi Unit Desa (KUD) menggunakan prinsip kemitraan inti-plasma. Berdasarkan bentuknya, penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris.48 Penelitian yang berbentuk eksplanatoris ini hasil mempelajari pelaksanaan berkaitan dengan kegiatan kerjasama perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan koperasi unit desa menggunakan prinsip kemitraan inti-plasma antara P.T. Sumber Indah Perkasa dengan Koperasi Krida Sejahtera di Kabupaten Tulang Bawang Bandar Lampung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. 49 Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari kepustakaan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (yang telah diganti dengan UU No. 17 tahun 2012), UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (yang telah diubah dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1997 tentang Kemitraan serta Peraturan Menteri Pertanian NO: 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Bahan hukum sekunder yang digunakan di antaranya adalah buku, artikel, jurnal dan literatur lain yang membahas mengenai kegiatan kerjasama perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan koperasi unit desa menggunakan prinsip kemitraan inti-plasma. Untuk memperkuat data sekunder tersebut, penulis juga akan melakukan wawancara dengan pihak dari P.T. Sumber Indah Perkasa dan Koperasi Krida Sejahtera untuk memperoleh data dan penjelasan mengenai topik skripsi yang penulis angkat sehingga peneliti dapat menganalisa data yang diperoleh dari perusahaan atau pun koperasi tersebut dengan dasar hukum dan teori-teori yang dijelaskan dalam data sekunder.
47
Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan terhadap norma hukum tertulis, seperti peraturan perundang-undangan. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hlm. 10. 48
Sri Mamuji, Hang Raharjo, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4. Menurut Soerjono Soekanto, peneltian eksplanatoris adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menguji hipotesa-hipotesa tertentu. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, op. cit., hlm. 10. 49
Ibid., hlm. 12. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan atau data yang diperoleh dari studi dokumen, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan lain sebagainya.
Setelah semua data terkumpul, data-data tersebut dianalisa secara kualitatif, 50 yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.51 Hasil dan Pembahasan Penelitian Dalam kaitannya dengan Kemitraan Inti Plasma yang telah dijelaskan dalam Bab II bahwa Perusahaan sebagai Usaha Besar bertindak sebagai Inti sedangkan Petani yang dalam hal ini diwakili oleh Koperasi bertindak sebagai Plasma. Kemitraan Inti Plasma yang dilakukan oleh P.T. Sumber Indah Perkasa dan Koperasi Krida Sejahtera bermula dari Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/247/DAHK/1989 yang menetapkan bahwa P.T. Sumber Indah Permai (sebelum dibeli oleh P.T. Sinar Mas) harus membangun Perkebunan bagi masyarakat sekitar. Hal inilah yang melandasi beberapa orang yang memiliki kegiatan usaha dan tujuan yang sama yakni perkebunan kelapa sawit disekitar wilayah perusahaan Inti untuk membentuk Koperasi Unit Desa sebagai badan hukum yang nantinya akan menjalankan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit milik petani/plasma. Maka pada tahun 1994 dibentuklah Koperasi Krida Sejahtera di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Surat Keputusan Gubernur tersebut merupakan aturan khusus dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman
Perizinan Usaha
Perkebunan pasal 11 ayat (1) yang berbunyi:
Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 % (dua puluh per seratus) kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri.52
Untuk membangun Perkebunan kelapa sawit dibutuhkan dana yang cukup besar, oleh karena itu petani plasma yang dalam hal ini telah dikuasakan oleh Koperasi Krida Sejahtera melakukan pinjaman kepada Bank Indonesia melalui Bank Internasional Indonesia sebagai penyandang dana dengan Pola KKPA (Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya) yang ditegaskan melalui Surat Persetujuan Kredit dari Bank Indonesia Kantor Pusat No. 50
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, op. cit., hlm. 32.
51
Ibid., hlm. 67. Indonesia, Peraturan Menteri Pertanian Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Permen Nomor 26 Tahun 2007, op., cit ps. 11 ayat (1). 52
27/116/UKK/KOP tanggal 25 juli 1994 perihal Plafon Individual Kredit Likuiditas dalam rangka Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) atas nama Koperasi unit Desa (KUD) Krida Sejahtera. Kredit ini bisa diberikan untuk membiayai usaha-usaha produktif disemua sektor ekonomi. Jumlah kredit diberikan menurut kebutuhan dan kemampuan mengembalikan kredit dengan jumlah maksimum sebesar Rp 50 juta per anggota. Petani dan Koperasi Krida Sejahtera setuju mengadakan kerjasama untuk melaksanakan pembangunan dan pemeliharaan perkebunan yang pembiayaannya diperoleh dari dana kredit yang merupakan pinjaman dari bank dengan jumlah kredit sebesar Rp. 5.466.052,- (lima juta empat ratus enam puluh enam ribu lima puluh dua rupiah) dengan Surat Penegasan Kredit (SPK) dari bank sebagaimana tesebut sebagai berikut: a. Jangka waktu kredit: 13 (tiga belas) tahun termasuk masa tenggang waktu (grace period) kredit 5 (lima) tahun; b. Suku bunga kredit: 14% (empat belas persen) per tahun dan selama masa tenggang waktu (grace period) kredit sebesar 11% (sebelas persen) per tahun; c. Jaminan: -
Hasil penjualan Tandan Buah Segar kepada Koperasi atau Inti;
-
Jaminan berupa tanah beserta Sertifikat Hak Milik;
Bentuk pekerjaan dalam perjanjian tersebut meliputi: a. Pembangunan perkebunan; b. Pemeliharaan Perkebunan selama Tanaman Baru Belum Menghasilkan (TBBM) dan Tanaman Menghasiilkan (TM) c. Pemanenan Tandan Buah Segar (TBS) d. Pemasaran Tandan Buah Segar (TBS) Salah satu syarat Bank memberikan pinjaman kepada Koperasi Krida Sejahtera adalah adanya penjamin yang bertanggung jawab apabila ada hal-hal yang tidak diinginkan, penjamin Koperasi Krida Sejahtera yaitu P.T. Sumber Indah Perkasa. Setelah pinjaman tersebut cair maka diserahkan kepada perusahaan (P.T. SIP) sebagai mitra yang ahli dan memiliki kompetensi dalam pembangunan kebun kelapa sawit. Dana yang dipinjam dari Bank tersebut merupakan modal awal untuk membiayai pembangunan kebun kelapa sawit dari 0 sampai 4 tahun (selama Tanaman Baru Belum Menghasilkan (TBBM)) sehingga pada masa ini petani plasma belum membayar angsuran pengelolan kebun kelapa sawit kepada P.T. Sumber Indah Perkasa.
Kesimpulan 1.
Terdapat 6 bentuk pola kemitraan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu pola inti plasma, pola subkontrak, pola perdagangan umum, pola keagenan, pola waralaba, dan bentuk lainnya. 53 Khusus untuk perkebunan, ada 5 bentuk yang diperkenalkan yaitu: Pertama, Inti plasma, Hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasma dalam penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktifitas usaha. Kedua Subkontrak, Suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil/menengah, di mana uasaha besar sebagai perusahaan induk (parent firm) meminta kepada usaha kecil/menengah (selaku subkontraktor) untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. Ketiga Dagang umum, Hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan atau usaha menengah yang bersangkutan. Keempat Waralaba Suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara Usaha Besar (franchisor) dengan Usaha Kecil (franchisee), dengan Usaha Kecil (franchisee), di mana franchisee diberikan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan ciri khas usaha, dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak franchisor dalam rangka penyediaan atau penjualan barang dan atau jasa. Kelima Keagenan Hubungan kemitraaan, di mana pihak principal memproduksi/memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga. Sedangkan dalam kemitraan inti plasmaitu sendiri terdapat 3 bentuk pola kemitraan yang sering digunakan oleh perusahaan perkebunan dan koperasi plasma, yaitu pola PIR Trans, KKPA dan Program Revitalisasi Perkebunan. 53
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, 2008 (LN No.: 93 tahun 2008), ps. 26 junto Peraturan Pemerintah Tentang Kemitraan, PP Nomor 44 tahun 1997, LN No: 91, TLN No: 3718, op., cit ps. 3-5
2.
Ketentuan mengenai Program kemitraan Inti Plasma diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU No. 20 tahun 2008)
junto Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 Tentang Kemitraan (PP No. 44 tahun 1997) dimana dalam ketentuan tersebut yang dimaksud Inti-plasma adalah hubungan kemitraan
antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasma dalam penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktifitas usaha. Selain itu diatur pula mengenai ketentuan yang mengharuskan setiap perusahaan inti untuk membangun lahan bagi petani plasma yang
terdapat
dalam
pasal
11
Peraturan
Menteri
Nomor:
26/Permentan/OT.140/2/2007. Dalam penjelasan tentang pasal tersebut disimpulkan bahwa setiap perusahaan yang telah memiliki IUP atau IUP-B mempunyai kewajiban untuk membangun 20% lahan dari total areal kebun yang diusahakan. Kebijakan pemerintah ini sangat berperan membangun perekonomian dimasyarakat dan untuk menghindari konflik sosial antara perusahaan dengan masyarakat. Membangun lahan disini bisa melalui bentuk pola kredit, hibah atau bagi hasil.
3.
Pelaksanaan kemitraan Inti plasma sebagai bentuk kerja sama antara P.T. Sumber Indah Perkasa dengan Koperasi Krida Sejahtera dilaksanakan dengan Program KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya). Petani plasma yang dalam hal ini telah dikuasakan oleh Koperasi Krida Sejahtera melakukan pinjaman kepada Bank Indonesia melalui Bank Internasional Indonesia sebagai penyandang dana dengan Pola KKPA (Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya) yang ditegaskan melalui Surat Persetujuan Kredit dari Bank Indonesia Kantor Pusat No. 27/116/UKK/KOP tanggal 25 juli 1994 perihal Plafon Individual Kredit Likuiditas dalam rangka Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) atas nama Koperasi unit Desa (KUD) Krida Sejahtera. Fungsi dari Perusahaan Inti (P.T. Sumber Indah Perkasa) adalah sebagai penjamin kredit yang dilakukan oleh Koperasi Krida Sejahtera. Peran penjamin disini sangatlah penting karena tanpa adanya penjamin maka bank tidak akan mencairkan pinjaman Koperasi Krida Sejahtera. Pada prinsipnya hubungan kemitraan Inti Plasma antara PT. Sumber Indah Perkasa dengan Koperasi Krida Sejahtera adalah hubungan kerjasa sama yang saling menguntungkan. Dimana selain
memperoleh bantuan permodalan berupa sarana produksi dari perusahaan inti seperti pembukaan lahan, pembibitan, pengangkutan, dan pengolahan kelapa sawit, petani atau masyarakat yang berada disekitar perkebunan juga dapat menjadi tenaga kerja bagi Perusahaan. Sebaliknya perusahaan inti, mendapat keuntungan dari penjualan hasil produksi yang bertambah dengan adanya kemitraan ini. Selain itu Perusahaan inti juga dapat memasarkan produknya kepada plasma mitra dan mendapat jaminan pasokan bahan baku dari mitranya. Perusahaan inti dalam hal ini PT. Sumber Indah Perkasa telah berperan cukup aktif dalam membangun kemitraan dengan petani plasma karena PT. SIP juga melakukan pembinaan terhadap petani plasma lewat Koperasi Krida Sejahtera, pembinaan tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kemandirian petani.
Saran 1.
Perlu adanya aturan (perangkat peraturan) yang secara tegas mengatur perjanjian kemitraan dengan pola inti plasma di tingkat pemerintah daerah, karena harus dipahami bahwa potensi masalah yang timbul antara daerah satu dengan daerah yang lain tidak sama. Dengan adanya perangkat peraturan tersebut diharapkan kepentingan plasma mendapat perlindungan secara hukum. Selain itu juga harus ada peraturan pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada petani plasma apabila kelapa sawit sudah tidak lagi menghasilkan atau setelah 25 tahun.
2.
Perlu adanya penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dari isi perjanjian yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan, dengan demikian akan mendorong pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk mempunyai komitmen dan itikad yang baik.
3.
Bagi Perusahaan Inti, selain memperhatikan kesejahteraan petani plasma yang melakukan kemitraan dengan inti, juga diharapkan memperhatikan kesejahteraan bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan sebagai salah satu syarat untuk bermitra dengan perusahaan inti.
Daftar Referensi BUKU Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, cet. 1. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1999. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar & Menengah. Pengetahuan Perkoperasian. Jakarta: DEPDIKBUD, 1977. Dumairy. Perekonomian Indonesia (cet. 5). Jakarta: Erlangga, 1996. Gartner, A. Bryan. Black’s Law Dictionary, Revised Eight Edition. West Publishing Co, 2004. Hadhikusuma, R. T. Sutantya Rahardja. Hukum Koperasi Indonesia, cet. 2. Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002. Hafsah, Muhammad Jafar. Kemitraaan Usaha. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Hatta, Mohammad. Untuk Negeriku: Sebuah Otobiograf. Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara, 2011 Hendrarojogi. Koperasi: Asas-asas, Teori, dan Praktik. Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada 1997. Ibrahim, Johannes. Hukum Organisasi Perusahaan: Pola Kemitraan dan Badan Hukum, cet 1. Bandung: PT. Refika Aditama, April 2006. Pacta, W. Andjar, et al. Hukum Koperasi Indonesia (Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha), cet 1. Jakarta: Kencana, 2007. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. ________. Undang-Undang Tentang Perkoperasian, UU No. 25 Tahun 1992. LN No. 3502. ________. Undang-Undang Tentang Perkoperasian, UU No. 17 Tahun 2012. ________. Undang-Undang Tentang Perkebunan, UU No. 18 Tahun 2004. LN No. 85 Tahun 2004, TLN No. 4411
________. Undang-Undang Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008. LN No. 93. Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah. Direktorat Jenderal Fasilitasi Pembiayaan dan Simpan Pinjam: Himpunan ketentuan Skim Kredit Program Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Departemen Pertanian, Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, SK Mentan No:940/Kpts/OT.210/10/1997 Makalah Enke, Stephen . “Consumer Cooperative and Economic Efficiency”. The American Economic Review, Vide: Bahri Nurdin, 1945. hlm.139. Hartono, Sri Rejeki. “Menuju Pada Kemitraan yang Harmonis dan Berdayaguna”. Makalah pada Lokakarya FH-UNDIP: Kemitraan Usaha yang Berkesinambungan, Semarang, 13 September 1997. Niaga, Rudianto Salmon. Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kemitraan Inti Plasma Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus Pada P.T.. SHM dengan koperasi PGH) dan Tindakan Notaris dalam Menghadapi Perjanjian kemitraan Inti Plasma dalam perkebunan Kelapa Sawit). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2011. Halm. 19. Laporan Penelitian Agus Adi Dewanto, Perjanjian Kemitraan dengan Pola Inti Plasma Pada Peternak Ayam Potong/Broiler di Pemerintahan Kabupaten Grobongan Jawa Tengah, (Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang; 2005. Sumber lain: Sinaga, Edi. “Pengembangan Kebun Kelapa Sawit Pola KKPA”, http://e7naga.blogspot.com/2011/01/pengembangan-kebun-kelapa-sawitpola.html. diunduh pada tanggal 7 januari 2013.