“Takkan ada ikan gurih di meja makan, Tanpa ada jerih payah nelayan. Daging ikan sumber gizi bermutu tinggi, Diperlukan semua manusia, Tiap malam mengembara di lautan, Ombak badai menghadang dan menerjang, Pak Nelayan tak gentar dalam dharmanya, Demi kita yang membutuhkan pangan.” Bono Budi Priambodo, Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia Terdapat suatu paradoks antara kekayaan sumber daya alam dengan keberhasilan di dalam proses pembangunan yang berlandaskan pertumbuhan ekonomi. Negaranegara yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia cenderung untuk tidak berhasil di dalam proses pembangunan, sedangkan negara-negara yang miskin sumber daya alam seperti Korea Selatan jauh lebih berhasil. Kebutuhan dan tuntutan untuk mengatasi kemiskinan rakyatnya tanpa didukung oleh adanya sumber daya alam memaksa negara ini untuk membuat kebijakan-kebijakan yang bersifat akomodatif terhadap kepentingan masyarakat akan peningkatan standar hidup. Disinilah letak hubungan terbalik dari proses perubahan sosial. Jika ada pelajaran yang dapat ditarik dari hubungan antara sumber daya alam dengan proses pembangunan, hal itu adalah perlunya suatu strategi pembangunan yang bukan hanya berlandaskan pada orientasi pertumbuhan ekonomi semata, melainkan strategi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat secara lokal dan keadilan sosial secara merata. 1 Pemikir klasik Asa Griggs dalam bukunya The Welfare state in Historical Perspective (1961), memberikan gagasan bahwa sejatinya Negara yang
1 Seda, Francisia. 2004. Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm: 28 - 29
1
berorientasi pada kesejahteraan masyarakat memiliki tiga kewajiban esensial2: Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok. Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial. Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan, sanitasi, dan air bersih. Negara kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dengan menjunjung asas kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royong dalam suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Konsep negara kesejahteraan dapat ditemukan di dalam pandangan hidup Bangsa dan dasar Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. 3 Pancasila merupakan sekumpulan nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya, yang kemudian dijabarkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dengan Sila Ketuhanan yang Maha Esa, menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap 2 Griggs, Asa. 1961. The Welfare State in Historical Perspective. http://www.econ.boun.edu.tr/content/2015/summer/EC-‐ 48B01/Lecture%20Note-‐3_Briggs_2006-‐06-‐29-‐2015.pdf. Hlm: 14 3 Tap MPR II/MPR/1978
2
saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan "tepa salira", serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Dengan Sila Persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan Bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dengan Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan Negara dan kepentingan Masyarakat. Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Dengan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. Pengembangan sikap adil terhadap sesama manusia, kesamaan kedudukan terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia, keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan sikap yang tercermin dari pengamalan nilai Pancasila yakni sila ke-5. Sila ke lima Pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia diliputi, didasari, dan dijiwai oleh sila ke 1, 2, 3, 4. Dengan demikian makna yang terkandung dalam sila ke lima Pancasila merupakan gambaran terlengkap dari makna keseluruhan Pancasila. Namun nilai yang terkandung
3
dalam Pancasila selain sila ke 5 juga memiliki keterkaitan dengan sila lainnya. Pemahaman ini dapat dilihat secara berurutan-terbalik: •
Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
•
Mementingkan
kepentingan
rakyat
(demokrasi)
bilamana
dalam
pengambilan keputusan; •
Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
•
Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
•
Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Secara konstitusional, melalui penelaahan terhadap semua UUD yang pernah dimiliki Indonesia, dapat dibuktikan bahwa negara hukum Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (Welfare State).4 Adanya demokrasi ekonomi yang menjadi ciri khas dari negara kesejahteraan tercermin pada Pembukaan UUD 1945 dan dalam Pasal 33 yang mengamanatkan bahwa salah satu tujuan Negara adalah memajukan kesejahteraan umum. Dan oleh karena itu, maka cabangcabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan penguasaannya kepada Negara (UUD 1945, Pasal 33 Ayat 2). Lebih dari itu, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga dikuasakan kepada Negara pengelolaannya untuk dipergunakan mencapai salah satu tujuan bernegara, yakni sebesar-besar kemakmuran rakyat (UUD 1945, Pasal 33 Ayat 3).5 Mahkamah Konstitusi, ketika membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan 4 Azhary. 1982. Pancasila dan UUD ’45. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm: 32 5 Priambodo, Bono Budi. 2013. Ikan untuk Nelayan: Paradigma Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Mengenai Pembangunan Perikanan Nasional Indonesia. Jawa Barat: Badan Penerbit FHUI.
4
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sekaligus mengeluarkan terobosan berupa penjelasan 4 (empat) tolok-ukur pengertian “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Keempat hal tersebut adalah: kemanfaatan SDA bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam (SDA) bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat menentukan manfaat SDA, serta penghormatan hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan SDA. 6 Isi pasal ini sejatinya bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritori NKRI berarti dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara atau pemerintah dengan segenap lembaga
pengelolanya
untuk
dipergunakan
bagi
kemakmuran
atau
menyejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya. Hal ini terimplikasi dengan berdirinya lembaga-lembaga yang ditugasi untuk mengurusi dan mengelola elemen-elemen alam milik bumi Indonesia, contohnya adalah beberapa BUMN seperti Perusahaan Air Minum (PAM), Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas), Pertamina, Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan lain sebagainya. Pasal ini pun berusaha melindungi dan mengusahakan kekayaan alam Indonesia yang begitu banyak agar pemanfaatannya benar-benar untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat. Pada tanggal 13 Desember 1957 Deklarasi Djuanda menyatakan kepada masyarakat Internasional bahwa Indonesia terdiri dari beriburibu pulau sebagai satu kesatuan di bawah kedaulatan Indonesia serta penetapan garis batas teritorial dengan lebar 12 mil diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau di Indonesia, yang kemudian diperkuat dengan UU No. 4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1928, dan menjadikan luas wilayah laut Indonesia 2.027.087 km2 (wilayah daratan) menjadi 5.193.250 km2 dan penambahan wilayah perairan nasional sebesar 3.166.163 km2. 7 Melihat berapa besarnya potensi yang kita miliki mulai dari letak geografis yang strategis dengan kekayaan alam yang begitu besar, hal tersebut haruslah menjadi faktor 6
Baca selengkapnya di Putusan MK. No.3/PUU-VIII/2010 terkait Uji Materil UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 7 Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretaris Jendera Satuan Kerja Dewan Maritim Indonesia., “Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia”, (DKP: Jakarta, 2008), hal. 2.
5
kuat munculnya kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Maka dari itu, potensi sumber daya alam kita harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti apa yang diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun, harus kita pahami terlebih dahulu bahwa sumber daya alam adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumber daya alam ini muncul secara alami dengan proses yang lama dan bukan merupakan ciptaan manusia. Jika kita secara sederhana melihat fotografi planet bumi dari udara untuk mengetahui sumber daya alam yang ada di Bumi, hasilnya akan menampakkan warna dominan biru. Warna biru ini terjadi karena warna laut yang menutupi hampir 70,78% dari permukaan planet bumi.8 Laut ialah seluruh badan air asin yang saling berhubungan dan menutupi permukaan bumi. Air pada permukaan bumi, dengan demikian, bisa dibedakan berdasarkan tempatnya, ialah: air laut dan badan air yang ada di darat, selain Laut. Dari total badan air yang menutupi permukaan bumi, 97% ialah air laut. Hanya sekitar 3% air di bumi yang bukan air laut. Citra dari satelit terhadap planet bumi memperlihatkan warna dominan biru. Laut lebih banyak menyerap spektrum cahaya selain biru; spektrum warna biru akan dipantulkan dan tertangkap oleh citra satelit, yang menunjukkan identitas laut.9 Dari sisi luas permukaan, laut jelas sangat dominan, namun kita tampaknya belum menghargai laut sebagai mana mestinya.
Luas lautan dibandingkan luas daratan di dunia mencapai kurang lebih 70 berbanding 30, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara di dunia yang memiliki kepentingan laut untuk memajukan maritimnya. Seiring perkembangan lingkungan strategis, peran laut menjadi signifikan serta dominan dalam mengantar kemajuan suatu negara. Laut merupakan investasi terbesar bagi kehidupan manusia untuk masa depan yang lebih baik. Di lautlah terletak sumber 8
Allaby, M., 2009. Oceans: A Scientific History of Oceans and Marine Life. New York, USA, Facts on File. 9 Laut dan Fungsinya, http://wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/1-‐
Laut-‐Dan-‐Fungsinya.pdf. Diakses pada 18 Agustus 2016, 10:16 WIB
6
daya alam yang terbesar, yang kelak dapat memberikan nilai ekonomis bagi bangsa ini, dimana berdasarkan laporan World Wide Fund for Nature (WWF) yaitu “Reviving the Ocean Economy”, seluruh lautan di dunia ternyata bernilai hingga US$ 24 triliun atau Rp 310 ribu triliun (kurs: Rp 12.922/US$). Nilai aset lautan di dunia ini ditentukan oleh empat komponen yaitu, sumber daya berupa produk senilai US$ 6,9 triliun, pantai produktif senilai US$ 7,8 triliun, perdagangan/transportasi senilai US$ 5,2 triliun dan penyerapan karbon yang bernilai US$ 4,3 triliun.10 WWF pun mengatakan bahwa angka hingga ratusan ribu triliun rupiah itu belum termasuk potensi minyak lepas pantai dan pengeboran gas. Itu lantaran kesulitan para analis untuk melakukan penghitungan potensi migas yang ada. Fakta ini menguatkan gagasan yang dikatakan Themistocles: “Siapa yang menguasai laut, dialah yang menguasai dunia”.11 Alfred Thayer Mahan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya “The Influence of Sea Power Upon History” mengemukakan teori bahwa Sea Power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara, yang mana jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan akan berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut. Kebijakan-kebijakan dan instrumen hukum nasional merupakan bentuk perlindungan dan penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang digunakan untuk kemakmuran rakyatnya. Pengertian dikuasai oleh negara artinya tidak harus dimiliki negara, tetapi negara berhak untuk menguasai air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya melalui fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen) 12 . Negara berwenang menentukan pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pelestariannya. 10 WWF. Reviving Ocean Economy, http://awsassets.wwf.or.id/downloads/oc_revivingoceaneconomy_summary _super_fix__1.pdf diakses pada 18 Agustus 2016, 10:30 WIB 11
Suhartono, Agus. 2010. Dewa Ruci: Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudra. Jakarta: Kompas. 12 Mawuntu, Ronald. April-Juni 2012. Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi. Repo Unsrat. Vol. XX/No.3,
7
Dikuasai oleh negara harus diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan 5 hal yaitu:13 1) Fungsi kebijakan (beleid); 2) Fungsi pengurusan (bestuursdaad); Fungsi ini dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). 3) Fungsi pengaturan (regelendaad); Fungsi ini dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. 4) Fungsi pengelolaan (beheersdaad); Fungsi ini dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, dalam hal ini Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 5) Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi ini dilakukan oleh Negara, dalam hal ini Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. http://repo.unsrat.ac.id/273/1/KONSEP_PENGUASAAN_NEGARA_BERDASARKAN__PASAL_3 3_UUD_1945__DAN_PUTUSAN_MAHKAMAH_KONSTITUSI.pdf diakses pada 15 Juli 2016 13 Lihat Putusan Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Putusan Perkara Nomor 002/PUU- I/2003 Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, 5 aspek ini menjadi salahsatu parameter utama MK dalam memutuskan undang-undang yang terkait dengan pasal 33 ayat 3.
8
Hal ini menunjukkan kewajiban bangsa Indonesia dalam memanfaatkan potensinya demi kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya. Menjaga dan mengelola kekayaan sumber daya alam Indonesia menjadi sangat penting karena Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dengan panjang pantai 99.093 km yang menempati urutan ke-4 di dunia setelah Kanada (265.523 km), Amerika Serikat (133.312 km) dan Rusia (110.310 km) (KKP, 2014). Masyarakat hanya dapat menikmati seluruh kekayaan sumber daya alam jika pemerintah bersikap aktif, protektif dan mengelola sebaik-baiknya demi kemakmuran rakyat. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, keberadaan sumber daya laut di Indonesia didayagunakan untuk perhubungan laut, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri maritim, bangunan laut, dan jasa kelautan.14 Selanjutnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, arah kebijakan dan strategi pembangunan bidang peningkatan tata kelola laut, pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil serta pengembangan ekonomi kelautan berkelanjutan difokuskan meningkatkan tata kelola sumber daya kelautan, meningkatkan konservasi, rehabilitasi dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap bencana di pesisir dan laut, pengendalian IUU Fishing dan kegiatan yang merusak di laut, mengembangkan industri kelautan berbasis sumber daya, penguatan peran SDM dan IPTEK kelautan serta budaya maritim.15 14
Lihat Lampiran UU No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, hlm. 33-34. 15
Lihat Buku II RPJM 2015-2019 hlm. 10-46 s.d 10-47. Hal ini terkait erat dengan Pembangunan ekonomi sektor maritim yang menjadi visi misi Jokowi dan Jusuf Kalla untuk berdikari dalam bidang Ekonomi dengan melaksanakan program aksi poin No. 10 yaitu: “; (1) Peningkatan kapasitas dan pemberian akses terhadap sumber modal (melalui bank pertanian), sarana produksi, infrastruktur, teknologi dan pasar, (2) Pembangunan 100 sentra perikanan sebagai tempat pelelangan ikan terpadu, (3) Pemberantasan illegal, unregulated dan unreported fishing (IIU), (4) Mengurangi intensitas penangkapan di kawasan overfishing, dan meningkatkan intensitas penangkapan di kawasan underfishing sesuai batas kelestarian, (5) Rehabilitasi kerusakan lingkungan pesisir dan lautan, (6) Peningkatan luas kawasan konservasi perairan yang dikelola secara berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan dalam lima tahun mendatang dikelola secara
9
Satu potensi kelautan yang paling esensial adalah sumber daya perikanan yang melimpah didalamnya. Arti penting perikanan sebagai salah satu sumber pangan dunia tidak diragukan lagi. Food and Agriculture Organization atau FAO dalam laporannya “The State of World Fisheries and Aqua-culture 2012” mendorong negara-negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan dunia secara berkelanjutan agar mampu menopang pemenuhan kebutuhan pangan jutaan warga dunia 16. Namun, dalam laporan yang berbeda, tahun 2014 FAO menyatakan bahwa tingkat kelestarian secara biologis sumber daya ikan menurun secara drastis dari 90% pada tahun 1974 menjadi tinggal 71.2% pada tahun 2011, dimana 28.85% overfished, 61.3% fully fished, dan menyisakan 9.9% underfished. 17 Keprihatinan masyarakat internasional sendiri sudah mulai disuarakan pada berbagai forum internasional pada akhir 1970an. Dalam urgensi untuk menciptakan keberlanjutan stok perikanan inilah yang akhirnya banyak melahirkan kaidah-kaidah Internasional maupun instrumen hukum nasional seperti: •
Compliance Agreement FAO yang merupakan kesepakatan internasional yang menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk patuh dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas sesuai dengan hukum internasional dan peraturan konservasi dan manajemen internasional yang berlaku;
•
United Nation Fish Stock Agreement yang mengamanahkan negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh di laut lepas (high seas) wajib menerapkan
pendekatan
kehati-hatian,
mempelajari
akibat
dari
penangkapan ikan, menggunakan upaya-upaya konservasi dan manajemen, berkelanjutan menjadi 17 juta hektar dan penambahan kawasan konservasi seluas 700 hektar, (7) Penerapan best aqua culture practices untuk komoditas-komoditas unggulan, (8) Mendesain tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang mendukung kinerja pembangunan maritim dan perikanan, (9) Meningkatkan produksi perikanan dua kali lipat, menjadi sekitar 40-50 juta ton per tahun pada tahun 2019. 16 Rusmana. Perikanan Internasional dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Perikanan Indonesia, https://www.academia.edu/11809274/PERIKANAN_INTERNASIONAL_DAN_PENGARUHNY A_TERHADAP_HUKUM_PERIKANAN_INDONESIA diakses pada 24 Juni 2016 14:41 WIB 17 FAO. State of the World Fisheries and Aquaculture 2014, Fisheries and Aquaculture Department, Rome. ISBN 1020-5489
10
melindungi kategori stok target, melindungi keanekaragaman organisme, menghindari penangkapan ikan, dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebih, memperhatikan kepentingan nelayan kecil, melaksanakan upaya konservasi dan manajemen melalui observasi, serta kontrol dan pemantauan yang efektif; •
The Code of Conduct for Responsible Fisheries merupakan kode etik pengelolaan
perikanan
mengamanahkan sumberdaya
bertanggung
beberapa
ikan,
yakni:
hal harus
jawab
penting
ini
kepada
menjaga
pada
prinsipnya
negara
pengguna
sumberdaya
ikan
dan
lingkungannya, hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggungjawab, negara harus mencegah terjadinya penangkapan yang berlebih, kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan harus berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia, pelaksanaan pengeloaan sumberdaya ikan harus menerapkan pendekatan kehati-hatian, pengembangan dan penerapan alat penangkapan ikan yang selektif dan ramah lingkungan, perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat perikanan yang kritis, negara menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam melaksanakan pengelolaan perikanan. Penerapan CCRF dalam pengelolaan dan perencanaan pembangunan perikanan nasional suatu negara, akan memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara tersebut dalam hal penyediaan pangan bergizi, lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, rekreasi dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya, baik untuk generasi kini maupun mendatang; •
The Internasional Plan of Action for the Management of Fishing Capacity adalah kaidah internasional sukarela yang berlaku untuk semua negara yang terlibat dalam aktivitas perikanan tangkap dengan mengamanahkan beberapa hal penting, yakni melakukan penilaian dan pemantauan kapasitas penangkapan ikan nasionalnya dan merumuskannya kedalam National Plan of Action (NPOA). Kode Etik Perikanan yang Bertanggungjawab menetapkan bahwa Negara harus mengambil langkahlangkah untuk mencegah atau menghilangkan kapasitas perikanan berlebih
11
dan harus menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikannya sepadan dengan potensi sumber daya ikan yang tersedia; •
The International Plan of Action on Illegal Unreported and Unregulated Fishing adalah sebuah kaidah internasional yang lahir dari keprihatinan beberapa negara terhadap kondisi masih berlangsungnya praktik-praktik perikanan yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsepkonsep CCRF, seperti: kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilengkapi dengan surat izin resmi, melanggar batas kedaulatan suatu negara, tidak melaporkan atau memalsukan data hasil tangkapannya, sea transhipment, melakukan praktek reflagging, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab tersebut, kemudian dikenal dengan istilah kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing). IUU fishing tentu sangat mengganggu upaya pengelolaan perikanan, sehingga sangat merugikan niat baik bagi negara dalam melaksanakan pembangunan perikanan yang bertanggungjawab. Kaidah internasional ini pada intinya mengamanatkan kepada setiap negara anggota FAO untuk menyusun National Plan of Action (NPOA) untuk mencegah, menghalangi, dan menghilangkan IUU fishing;
•
Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan yang mengatur mengenai aktivitas perikanan di dalam wilayah Republik Indonesia. UU ini menjadi hukum dari usaha perlindungan sumber daya perikanan Indonesia yang begitu melimpah dari aksi pencurian, dan praktik illegal fishing yang kerap terjadi di perairan Indonesia.
Dengan memperhatikan begitu pentingnya perikanan bagi suatu negara, dan pelbagai kaidah-kaidah internasional yang mengatur dan menjadi landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, sudah saatnya Indonesia dengan potensi yang dimilikinya untuk serius membangun peradaban maritim.
12
Bagi Indonesia, perikanan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor, diantaranya adalah:18 1) Banyaknya nelayan menggantungkan hidupnya dari kegiatan usaha perikanan tangkap; 2) Adanya sumbangan devisa yang jumlahnya cukup signifikan dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun; 3) Untuk memenuhi sumber protein hewani bagi masyarakat; 4) Membuka lapangan kerja bagi angkatan kerja, sehingga diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran; dan 5) Adanya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia. Menurut Dahuri, pada tahun 2013 sektor perikanan telah menyumbang 6,90 persen terhadap PBD nasional pada tahun 2013. Meskipun masih tergolong rendah, pertumbuhan PDB Perikanan 2013 sebesar 6,9 persen lebih tinggi dari PDB Nasional (5,8%) dan PDB Pertanian dalam arti luas (3,6%). Dinilai dari sisi economic size PDB perikanan tahun 2013 mencapai Rp. 291,79 triliun. 19 Ke depan tentunya potensi perikanan ini harus dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam praktiknya masih banyak yang menganggap pengelolaan bidang perikanan di Indonesia belum cukup baik dan bahkan sering menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Hingga kini sebagian besar aktivitas perikanan nasional faktanya belum memperlihatkan kinerja yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Isu strategis
18
Agung, Ayu. Beberapa Permasalahan Perikanan Indonesia, http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/120752-T%2025649-Beberapa%20permasalahan-Literatur.pdf diakses pada 16 Juli 2016 14:59 WIB 19 Rokhmin Dahuri, MS dalam Pembahasan Draf RUU Kelautan yang diadakan oleh Tim Task Force RUU Kelautan DPD RI , 18 Maret 2014 dalam Konsep Mainstreaming Ocean Policy ke dalam Rencana Pembangunan Nasional, Kedeputian Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, hlm. 5, www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/16890/5025/
13
dan permasalahan umum yang menjadi kendala utama dalam mewujudkan kegiatan perikanan di Indonesia adalah: 1) Instrumen hukum materiil terkait perikanan; 2) Sumber daya manusia perikanan; dan 3) Lembaga-lembaga yang berkaitan dengan perikanan. Untuk mengetahui akar permasalahan yang menghambat dalam mewujudkan perikanan tangkap, maka dilakukan analisis yang disusun dalam beberapa isu permasalahan utama sektor perikanan tangkap. Terdapat sepuluh isu yang dapat dibagi ke dalam tiga aspek besar yaitu Materiil, Sumber Daya Manusia Perikanan, dan Kelembagaan beserta permasalahan dan dampak potensial yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Aspek yang pertama merupakan aspek Materiil dengan 3 permasalahan. Yang pertama ialah Pengaturan zona tangkap yang bertabrakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU Pemerintah Daerah menegaskan kewenangan daerah provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. 20 Kewenangan kepada daerah provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan tersebut meliputi lima aspek: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; (2) pengaturan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan (5) ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.21 Kewenangan provinsi dibatasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.22 Daerah provinsi yang berciri kepulauan mendapatkan mandat tugas dari pemerintah pusat untuk melaksanakan kewenangan pemerintah pusat di bidang kelautan berdasarkan asas tugas pembantuan.23
20
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014. Sebelumnya dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tidak tegas menunjuk kepada daerah provinsi, tetapi dengan luas memberi kewenangan kepada daerah yang memiliki wilayah laut untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. 21 Ibid, Pasal 27 ayat (2). 22 Ibid, Pasal 27 ayat (3). 23
Ibid, Pasal 28 ayat (2).
14
Meski, pengaturan kewenangan pengelolaan telah ditegaskan dalam Lampiran Y UU Pemda, pengaturan ini sulit ditindaklanjuti karena belum diterbitkannya peraturan turunannya. Pasal 30 UU Pemda menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan daerah provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan diatur dengan peraturan pemerintah. Setidaknya terdeteksi 5 (lima) potensi masalah yang akan berkaitan dengan penerapan dalam UU Pemerintah Daerah. Pertama, kemungkinan terjadi konflik adalah dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah yang sangat luas merujuk pada UU Perikanan. Boleh jadi solusi yang dikeluarkan tidak mendapatkan penerimaan dari daerah. Kedua, dalam pengelolaan wilayah pesisir, daerah dimandatkan untuk menetapkan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil. Namun dengan ditariknya mandat pengelolaan wilayah pesisir kepada pemerintah provinsi menimbulkan masalah tarik menarik kepentingan antara daerah kabupaten/kota dengan provinsi. Hal ini menjadi sangat relevan mendapat perhatian di tengah maraknya proses penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ketiga, Pengaturan desentralisasi dalam UU Pemerintah Daerah berpotensi menimbulkan konflik pengaturan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) berdasarkan UU Perikanan dan perencanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan UU PWP3K. Konflik pengaturan dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antarpemerintah daerah. Konflik dapat muncul terkait kewenangan pengelolaan sumber daya antara masing-masing badan pemerintahan. Itulah
sebabnya
pemerintah
berkepentingan
memastikan
kewenangan
pengelolaan. Kelima, di sisi lain terjadi keterbatasan akses dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ke pusat-pusat pemerintahan (provinsi dan pusat) berpotensi memperparah ketidakefektifan pengelolaan perikanan, khususnya di kawasan remote area (wilayah yang tidak mudah diakses).24 Kedua, ialah tidak meratanya ketersediaan infrastruktur pelabuhan perikanan. Pasal 1 Ayat 23 UU Perikanan menyebut Pelabuhan Perikanan merupakan tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan 24 Lihat Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Bidang Perikanan 2015
15
yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan. Lalu, di Pasal 7 Ayat 1 (j) disebutkan dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: Pelabuhan perikanan.25 Di seluruh Indonesia terdapat 1.375 pelabuhan perikanan, baik berupa PP Samudera, PP Nusantara, PP Pantai, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), dan PP Swasta (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan KKP, 2014). Dari jumlah tersebut, sebanyak 68% berada di Barat Indonesia, 25% ada di Tengah Indonesia, dan sisanya 7% ada di Timur Indonesia.26 Dengan kondisi demikian tersebut, fungsifungsi pemerintahan dalam rangka menjamin pengelolaan perikanan adil dan lestari mustahil dapat terwujud. Selain jumlahnya terbilang tidak seimbang (antara barat dan timur), pelabuhan perikanan umumnya juga tidak menyediakan fasilitas minimum yang dipersyaratkan, semisal penyediaan data dan informasi terpadu, layanan pelatihan, hingga terkait langsung dengan perangkat keselamatan nelayan. Alhasil, terkait akurasi penyaluran BBM bersubsidi, efektivitas dan efisiensi produksi, kelayakan harga jual ikan, hingga keselamatan nelayan telah menjadi persoalan besar yang belum juga terselesaikan. Ketiga, ialah Ketimpangan dalam partisipasi masyarakat nelayan. Laut terlalu luas untuk dikelola sendiri oleh pemerintah. Bahkan untuk melakukan pengawasan pengelolaan perikanan di Indonesia. Undang- undang No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan sedari awal telah menyadari tentang pentingnya partisipasi masyarakat nelayan dalam pengawasan sumber daya perikanan. Pasal 70 UU Perikanan menyebutkan:27 “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan, kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri lainnya, yang digunakan oleh pengawas perikanan dan/atau yang dipasang di atas kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat 25
Pasal 7 Ayat 1 UU Perikanan. http://pipp.djpt.kkp.go.id, diakses pada 16 Juli 2016 17:20 WIB 27 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan pasal 70 26
16
(1) dan ayat (2), Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Namun sayangnya, selang 10 tahun sejak UU tersebut disahkan, pemerintah belum juga mengeluarkan PP terkait partisipasi masyarakat tersebut. Di Tanjung Balai Sumatera Utara dan Tarakan Kalimantan Utara misalnya, anggota-anggota KNTI aktif memberikan informasi terkait praktik pencurian ikan dan penggunaan alat tangkap merusak kepada petugas. Ketiadaan PP Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Perikanan telah menyulitkan masyarakat maupun petugas dalam menindaklanjuti laporan yang ada. Tidak sedikit laporan yang diberikan justru berakhir tanpa tindaklanjut atau bahkan dibebaskan dengan proses tidak transparan. Lalu, aspek besar yang kedua adalah Sumber Daya Manusia Perikanan yang dibagi dalam 2 permasalahan. Yaitu yang keempat, kesejahteraan dan kualitas nelayan kecil dan masyarakat pesisir yang masih rendah. Isu-isu tentang kemiskinan nelayan di Indonesia membuktikan bahwa peluang sumber daya laut yang dimiliki tidak diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia nelayan yang memadai. Mutu sumber daya manusia nelayan masih sangat lemah. Kemiskinan nelayan paling tidak dicirikan oleh empat karakteristik, yaitu: (1) tingkat pendidikan nelayan atau anak- anak nelayan pada umumnya rendah. Kondisi demikian mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan, sedangkan anak-anak nelayan yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, maupun sarjana perikanan, enggan berprofesi sebagai nelayan, karena menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmapanan; (2) sifat produk yang mudah rusak dan harus segera dimusnahkan, menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. Hal ini menyebabkan harga ikan dari nelayan dikuasai pedagang; (3) bidang perikanan membutuhkan investasi cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang besar dibandingkan sektor usaha lainnya. Karena itu nelayan cenderung menggunakan peralatan tangkap yang sederhana, ataupun hanya menjadi anak buah kapal dan (4) kehidupan nelayan yang miskin
17
diliputi kerentanan, ditunjukkan oleh terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada satu mata rantai pencaharian, yaitu menangkap ikan. Keempat faktor di atas merupakan faktor internal, selanjutnya dari sumber yang sama disebutkan bahwa kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti: (1) makin terbatasnya potensi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan nelayan; (2) persaingan yang semakin intensif; dan (3) irama musim; Kelima, ialah kurang berkembangnya pasar domestik untuk produk perikanan tangkap dan pengamanan kualitas ikan. Permasalahan yang timbul adalah kurangnya daya beli masyarakat terhadap produk perikanan. Keinginan makan ikan masyarakat Indonesia termasuk rendah jika dibandingkan dengan negara lain, hal ini terlihat dari konsumsi ikan per kapita Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan negara Asia lain. Penyebab kurangnya konsumsi ikan per kapita adalah kondisi ekonomi masyarakat, dan masih sulitnya mendapat ikan di daerah pelosok. Karena arus distribusi lambat dan produk yang mudah rusak tanpa kualitas pengamanan ikan yang baik yang dimiliki nelayan tradisional pada umumnya, ikan segar tidak lagi murah sampai ke tangan konsumen. Kurang berkembangnya pasar domestik perikanan tangkap di Indonesia menyebabkan usaha perikanan sangat tergantung dengan negara-negara pengimpor yang memiliki kualitas pengamanan ikan yang baik. Selain itu kurangnya konsumsi ikan per kapita juga dapat menurunkan kualitas masyarakat Indonesia, hal ini karena ikan merupakan sumber protein yang tersusun atas asam amino esensial yang lengkap dan mudah dicerna dibanding protein dari sumber hewani lainnya. Selain itu lemak pada ikan mengandung lemak tak jenuh yang biasa disebut omega 3. Dimana salah satu dari keunggulan omega 3 pada ikan adalah dapat meminimalisir penyakit degeneratif seperti jantung koroner.
18
Dan aspek besar yang ketiga adalah aspek Kelembagaan yang dibagi dalam lima permasalahan. Keenam, Kegiatan Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing. Dalam PERMA No. 01 Tahun 2007 tentang Perikanan, juga dikenal istilah Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing. Adapun yang dimaksud dengan Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing dalam PERMA No.01 Tahun 2007 yaitu Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal perikanan berbendera asing atau berbendera Indonesia di WPP-RI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia) tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional. Kemudian Unregulated Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan pada suatu area penangkapan atau stok ikan di WPP-RI: a) Yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaannya; b) Dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung jawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai hukum internasional.28 Dari 14 zona fishing ground di dunia, saat ini tinggal dua zona yang masih potensial. Perairan di Indonesia merupakan salah satu dari dua zona yang masih potensial tersebut. Oleh karena itu sejak tahun 2000, perairan di Indonesia kerap menjadi sasaran illegal fishing. Zona Laut Malaka dan Laut Jawa merupakan zona terburuk dari illegal fishing sehingga masuk dalam kategori tangkap lebih (over fishing). Adapun Laut Arafuru, Laut Timor, Laut Banda dan perairan sekitar Maluku dan Papua merupakan zona fishing yang menjadi incaran para pencuri ikan selanjutnya.29 Oleh karena dalam perairan Indonesia terkandung kekayaan sumber daya ikan yang berlimpah dan merupakan salah satu dari dua zona fishing ground yang masih memiliki sumber daya ikan yang cukup potensial, maka 28
Perma No. 01 tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan. Sihotang, Tommy. “Masalah Illegal, Unregulated, Unreported Fishing dan Penanggulangannya Melalui Pengadilan Perikanan,” Jurnal Keadilan (Vol. 4.No. 2, Tahun 2005/2006): 58. 29
19
perairan Indonesia menjadi tujuan utama dari para pelaku perompakan ikan dari berbagai negara. Akibatnya semakin banyak kegiatan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Praktik illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia mengakibatkan kerugian hingga Rp. 30 Triliun setiap tahun atau sekitar 25 persen dari potensi perikanan yang ada di Indonesia. Bila dihitung, angka itu sama dengan 1,6 juta ton per tahun. Sementara produktivitas perikanan tangkap di Indonesia selama 2006 mencapai 4,9 juta ton dengan nilai ekspor mencapai 2,18 miliar dollar AS. Jumlah tersebut di luar volume ikan hasil tangkapan illegal, yang biasanya langsung dibawa ke negara asal pencuri ikan.30 Saat ini kita sudah memiliki Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai perubahan dari UU No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan beberapa peraturan pelaksanaan lainnya. Undang-Undang No.31 Tahun 2004 ini bertujuan untuk mengantisipasi IUU. Hal ini dikarenakan undang- undang ini sangat jelas mengatur hal-hal yang selama ini belum jelas. Undang-Undang ini mengatur mengenai peningkatan kapasitas kelembagaan dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang kini tak hanya mengelola pada aspek pengelolaan satwa dan taman laut, dan peran dalam penegakan peraturan perikanan.
Implementasi
dari
peningkatan
kapasitas
kelembagaan
dari
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lembaga yang berperan dalam penegakan peraturan perikanan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu dengan mengadakan kerjasama dengan instansi terkait serta melakukan operasi pengawasan.31 Namun secara umum petugas pengawas sumber daya kelautan dan perikanan (PSDKP) belum berfungsi secara optimal. Selain itu di banyak daerah Kelompok Masyarakat
Pengawas
(POKMASWAS)
belum
berfungsi
dan
belum
berkoordinasi dengan PSDKP dengan baik. POKMASWAS sendiri seharusnya 30
Data diperoleh dari Forum Keadilan, lihat Forum No.50115-21 April 2008 “Kejutan di Bulan April, hal.41. 31
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
20
dapat menjadi informasi awal yang baik bagi kegiatan ilegal yang dilakukan di laut, baik destructive fishing maupun pelanggaran oleh negara lain. Sarana dan prasarana yang digunakan untuk penegakan hukum di laut sangat kurang. Para pengawas belum dilengkapi dengan transportasi dan peralatan yang memadai. Sehingga cenderung tidak dapat berbuat banyak walaupun melihat adanya pelanggaran di laut terutama yang dilakukan oleh asing. Kegiatan IUU fishing yang terjadi di perairan Indonesia memberikan dampak negatif terhadap dua sektor penting yaitu lingkungan dan pendapatan negara. Dengan adanya kegiatan IUU fishing sumber daya ikan terkuras tanpa dimanfaatkan dengan baik sehingga akan mengalami degradasi dan overfishing. Sedangkan dari sektor pendapatan negara terjadi kehilangan nilai devisa dari subsektor perikanan tangkap yang cukup besar dan berkurangnya nilai PNPB perikanan tangkap. Ketujuh, padat tangkap (Overfishing) di perairan pantai. Sebagian besar kegiatan perikanan tangkap di Indonesia (89%) merupakan skala kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT yang beroperasi di hampir semua pesisir Indonesia. Hal ini utamanya disebabkan kondisi sosial masyarakat pesisir yang memiliki berbagai keterbatasan baik dari segi ekonomi maupun SDM. Permasalahan lainnya adalah belum diterapkannya kebijakan “limited access” secara menyeluruh, sehingga saat ini belum terjadi pembatasan baik armada penangkapan, alat tangkap maupun jumlah dan jenis tangkapan. Permasalahan yang terjadi di atas menyebabkan terjadinya dampak negatif berupa terganggunya ekosistem pantai yang merupakan sumber trophic level, sehingga dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan kehancuran sumber daya bahkan kepunahan ikan. Kedelapan, lemahnya kapasitas kelembagaan pengawas dan penegakan hukum. Sejalan dengan Pengawas Perikanan yang diatur dalam Undang-Undang Perikanan, Pemerintah membuat suatu lembaga yang memiliki tugas mengawasi kelautan dan Perikanan di Indonesia, lembaga tersebut adalah Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP). Ditjen
21
PSDKP adalah lembaga Pemerintah yang berada di bawah Pengelolaan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang secara resmi dibentuk pada 23 November 2000 sesuai Kepres Nomor 165 Tahun 2000, Ditjen PSDKP merupakan Direktorat Jenderal yang bertanggung jawab untuk melakukan Pengawasan di bidang sumberdaya kelautan dan Perikanan. Dalam melakukan Pengawasan Ditjen PSDKP berkoordinasi dengan TNI Angkatan Laut, Bakorkamla dan Polair. Adapun struktur Organisasi yang ada dalam Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) ialah Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Pengawasan Sumber Daya Perikanan, Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan, Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan, Direktorat Pemantau Sumber Daya KP Dan Pengembangan Infrastruktur
Pengawasan,
Direktorat
Penanganan
Pelanggaran.
Namun,
sayangnya lembaga-lembaga pengawas tersebut baik dari sisi sarana, SDM, maupun dana operasionalnya masih terbatas kemampuannya. Hal ini menjadi salah satu kendala untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal, apalagi dengan cakupan wilayah perikanan tangkap yang sangat luas, tentu memerlukan kapasitas kelembagaan pengawasan perikanan yang kuat. Kemudian, ditambah lagi dengan belum optimalnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengendalian sumber daya ikan, yang menyebabkan banyaknya celah untuk terjadi pelanggaran di laut, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Kapasitas kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan tangkap juga belum kuat, tegas, dan independen, karena keputusannya seringkali masih dipengaruhi oleh oknum-oknum penguasa dibuktikan dengan kerugian yang dialami Negara sekitar 30 hingga 40 Trilliun Rupiah per tahun karena ilegal fishing, belum termasuk maraknya penyelundupan, kerusakan lingkungan laut dan pantai serta pelayaran. Hal ini terjadi, karena Pemerintah belum memberikan dukungan penuh kepada lembaga penegakan hukum tersebut, sehingga oknumoknum penguasa masih bisa dapat mempengaruhi dalam proses penegakan hukumnya. Bila permasalahan ini tidak segera diatasi maka akan menimbulkan dampak maraknya aksi IUU fishing, yang tidak hanya dilakukan oleh kapal asing tetapi juga oleh kapal Indonesia. Selain itu, karena kurangnya keterpaduan dalam
22
melakukan operasi pengawasan, maka biaya operasi pengawasan akan menjadi mahal dengan hasil yang kurang efektif. Kesembilan, sistem pendataan perikanan tangkap yang belum andal dan masih parsial. Pendataan perikanan termasuk hal utama yang harus diatasi terlebih dahulu. Hal ini disebabkan pendataan perikanan merupakan input utama dalam menentukan pengambilan kebijakan yang akan dilakukan kemudian. Saat ini pencatatan data perikanan tangkap belum tepat, cepat, dan efisien serta masih parsial. Penyebabnya utamanya adalah belum dibangunnya sistem basis data yang komprehensif dan bersifat pro-aktif. Selain itu, juga karena terbatasnya SDM pengelola data perikanan tangkap dan terbatasnya sarana dan prasarana pendukung untuk pengelolaan sistem basis data dan informasi perikanan tangkap. Dampak yang dihasilkan dari ketidakakuratan data perikanan tangkap adalah terciptanya rumusan kebijakan pembangunan perikanan tangkap yang tidak tepat sasaran, sehingga menghasilkan pengelolaan yang salah. Disamping itu, ketidaktepatan data dan informasi perikanan tangkap juga berdampak pada investasi bidang perikanan tangkap yang tidak tepat, sebagai contoh kesalahan dalam penentuan lokasi pelabuhan perikanan, penentuan jumlah alokasi kapal ikan dan sebagainya. Dan yang terakhir, kesepuluh yaitu sulitnya mendapatkan akses permodalan usaha. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah sulitnya prosedur perbankan bagi masyarakat nelayan yang sebagian besar merupakan nelayan skala kecil. Selain itu suku bunga kredit yang relatif tinggi juga menjadi salah satu penghambat berkembangnya usaha perikanan nelayan di Indonesia. Dampak dari terbatasnya akses permodalan usaha bagi nelayan adalah sulitnya perkembangan usaha perikanan tangkap atau cenderung stagnan. Di sisi lain terbatasnya akses permodalan bagi nelayan juga menyebabkan pemanfaatan sumber daya ikan yang tidak berimbang terutama di daerah pesisir.
23
Dari sekian permasalahan yang muncul dari 3 aspek besar yaitu materiil, sumber daya manusia perikanan dan kelembagaan, ada satu lagi permasalahan penting yang harus dikuatkan dalam rangka mengembalikan kejayaan bangsa dari laut adalah dengan kembali membangun suatu Budaya Maritim di dalam masyarakat. “Budaya Maritim” sendiri secara harafiah bisa diartikan sebagai keseluruhan gagasan yang mampu menghasilkan tindakan dan perilaku yang menjadi milik suatu kolektif yang tinggal dan hidup dekat dengan laut.32 Paradigma yang salah bahwa laut adalah suatu pemisah daratan, dan bukan pemersatu bangsa membuat kita kurang berhasil membangun Nusantara modern yang dicita-citakan karena selama ini sistem-sistem dan tata sosial, ekonomi, dan politik kita masih terbawa suasana kental budaya kontinental penjajah, sehingga hasilnya carut-marut di sana-sini. Kita belum mampu menerjemahkan potensi laut menjadi realitas. Kita masih memfokuskan kegiatan-kegiatan ekonomi kita saat ini di darat melalui pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan, pertambangan serta industri. Kita meminggirkan lautan selama ini disebabkan antara lain karena kurangnya alokasi anggaran untuk mengembangkan kemaritiman atau kurang banyaknya orang yang memiliki kualifikasi dan keterampilan memajukan sektor maritim. Namun masalah yang lebih mendasar daripada itu adalah tentang kurangnya kesadaran kolektif kita bahwa kita adalah manusia maritim dan oleh karenanya kita sepatutnya menjadikan samudera, laut, selat, dan teluk sebagai ‘ibu’ kita. Dalam kondisi yang masih carut-marut demikian, disinilah diperlukan intervensi pemerintah secara vertikal dan kesadaran masyarakat secara horizontal, untuk memutus rantai permasalahan yang kian mencekik sektor perikanan Indonesia. Permasalahan-permasalahan yang dijelaskan sebelumnya hanya beberapa masalah dari sekian banyak permasalahan yang menjauhkan sektor perikanan Indonesia untuk menyejahterakan bangsa ini.
32
Nino, Nikolas. Maritime Culture is Connecting People, https://www.academia.edu/4430969/Maritime_Culture_is_Connecting_People_Budaya_Maritim_ Menghubungkan_Manusia_ diakses pada 24 Juli 2016 16:38 WIB
24
Sebagai salah satu program kerja Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2016, Simposium Hukum Nasional 2016 adalah pengejawantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam bentuk konkret sebagai mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang masih sarat akan adanya keadilan sosial di Bumi Pertiwi. Kontribusi ini sesuai dengan apa yang termaktub dalam Pembukaan UUD IKM UI paragraf satu: “...sepatutnya mahasiswa bergerak untuk mengubah kondisi bangsa menuju masyarakat madani yang adil dan makmur” Dan paragraf dua: “Perjuangan pergerakan kemahasiswaan akan selalu ada selamanya sebagai agen perubah, kekuatan moral, dan bekal masa depan untuk mengusung cita-cita perjuangan Negara.”33 Kami berharap Simposium Hukum Nasional dapat memainkan peran advokasi dan menjadi unsur penggerak bagi masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan sektor perikanan Indonesia agar dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia demi mewujudkan keadilan sosial sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila. Oleh karena itu, acara ini berupaya untuk mempertemukan delegasi-delegasi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum dari universitas di seluruh Indonesia untuk berdiskusi, berdialektika, berpikir kritis dan solutif mengenai penguatan peran dan fungsi pemerintah serta kesadaran budaya maritim masyarakat di seluruh Indonesia.
33 Pembukaan UUD IKM UI.
25