Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Kegiatan Pertambangan Batubara di Indonesia dan Kaitannya Dengan Investasi Marisa Harfiana, Tri Hayati, Bono Budi Priambodo Program Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Marisa Harfiana : Ilmu Hukum : Tinjauan Hukum Mengenai Masalah Penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Kegiatan Pertambangan Batubara di Indonesia dan Kaitannya Dengan Investasi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep, tujuan, pengaturan, dan permasalahan penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dalam kegiatan pertambangan batubara di Indonesia serta mengetahui dampaknya terhadap investasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundangan-undangan, buku, dan wawancara dengan narasumber. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan yang menjawab pokok permasalahan, yaitu bahwa IPPKH merupakan sebuah fasilitas untuk menjembatani kepentingan investasi dan kepentingan pelestarian hutan dimana keduanya merupakan kepentingan strategis bagi Negara yang tidak bisa dikesampingkan salah satunya. Namun, IPPKH masih mengalami masalah dalam penerapannya karena beberapa faktor seperti masih banyaknya perusahaan yang tidak atau belum mengajukan IPPKH, perbedaan pemetaan, serta kepastian hukum pengaturan IPPKH. Masalah-masalah tersebut disebabkan oleh faktor dari Pemerintah maupun pihak pengusaha pertambangan itu sendiri. Kondisi ini menimbulkan potensi terganggunya investasi di bidang pertambangan batubara. Dengan demikian perlu diwujudkan penerapan IPPKH yang efektif sehingga fungsi dan tujuan dari IPPKH untuk mengakomodir kepentingan investasi dan pelestarian hutan dapat terlaksana secara optimal. Kata kunci
: batubara, hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, investasi, pertambangan.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
ABSTRACT Name : Marisa Harfiana Study Program : Law Title : Juridical Review of The Issues on Implementation of Borrow-to-Use Permit for Forest Area on Coal Mining in Indonesia and Its Relation to Investment This research aims to determine the concept, purpose, regulations, and implementation of Borrow-toUse Permit For Forest Area (IPPKH) on coal mining activities in Indonesia, as well as the impact on investment climate. This research is a normative legal research using secondary data, such as legislations, books, and interviews with experts. From this research, it can be concluded that IPPKH is a permit to facilitate the interests of forest protection and investment which both of them have strategic importance to Indonesiaand none of them can be ruled out. However, IPPKH still experiencing problems in its implementation because of several factors such as; many companies don’t obtain IPPKH, differences in mapping, and legal certainty of IPPKH regulations. These problems are caused by factors from the Government and the mining investors itself. This condition poses a potential disruption of investment climate in coal mining. Thus, IPPKH needs an effective implementation so that the function and the purpose of IPPKH to accommodate the interests of investment and forest protection can be implemented optimally. Key words
:coal, forest, borrow-to-use permit for forest area, forest area use, investment, mining.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam yang mencakup kekayaan hutan, laut, dan tambang. Kekayaan alam Indonesia menjadi faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian negara. Konsep dari kepemilikan dari kekayaan alam bangsa Indonesia, termasuk bahan galian tambang adalah “milik seluruh Rakyat Indonesia”, sesuai amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. 1 Atas hal tersebut, Negara harus dapat mengelola kekayaan alam untuk kemanfaatan bagi rakyat. Pertambangan adalah salah satu sektor penting yang dapat menghasilkan komoditas bernilai tinggi yang dapat menarik perhatian para investor. Indonesia terus menjadi pemain signifikan dalam industri tambang global dengan level produksi tinggi pada batubara, tembaga, emas, besi, dan nikel. 2 Pemerintah memegang peran vital dalam industri pertambangan dengan membentuk peraturan pertambangan nasional, standar, panduan, dan kriteria, serta membuat keputusan.3 Hampir seluruh wilayah geografis Indonesia mengandung kekayaan alam tambang, termasuk Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. Di antara wilayah tersebut, banyak daerah yang mengandung bahan galian tambang yang berada di kawasan hutan. Maka dari itu, dalam industri pertambangan dilakukan kerja sama antara Kementrian Energi Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementerian terkait lainnya untuk menjamin berbagai aturan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan dan meningkatkan manfaat terhadap masyarakat lokal.4 Pemanfaatan kawasan hutan tidak hanya untuk pembangunan sektor kehutanan, namun juga sektor non-kehutanan. Kegiatan pertambangan di kawasan hutan menggunakan
suatu izin khusus
5
bernama izin pinjam pakai kawasan hutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 38 Undang 1
Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. vi. PricewaterhouseCoopers, Mining in Indonesia: Investment and Taxation Guide (4th edition), (Indonesia: Pwc, 2012), hlm. 3. 3 PricewaterhouseCoopers, Ibid. hlm 3. 4 Adrian Sutedi, op. cit., hlm. 39. 5 Izin pinjam pakai adalah izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Indonesia (a), Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.18/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pasal 1 ayat (8). 2
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimana ditentukan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini bertujuan untuk membatasi dan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan strategis atau kepentingan umum terbatas di luar sektor kehutanan tanpa mengubah status, fungsi, dan peruntukan kawasan hutan tersebut, serta menghindari terjadinya enclave di kawasan hutan.6 Potensi tambang yang terkandung di kawasan hutan dapat berada di berbagai jenis kawasan hutan. Namun, dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II Tahun 2011 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, diatur bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat diberikan di dalam kawasan hutan produksi dan atau kawasan hutan lindung. 7 Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan diklasifikasikan menjadi beberapa kegiatan, termasuk di dalamnya adalah kegiatan pertambangan yang meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara, dan panas bumi termasuk sarana dan prasarananya. Hasil tambang yang banyak terkandung di kawasan hutan salah satunya adalah batubara, dimana pertambangan batubara memberikan pengaruh signifikan dalam industri sektor pertambangan di Indonesia. Pengaturan
mengenai
Izin
Pinjam
Pakai
Kawasan
Hutan
mengalami
perkembangan dari masa ke masa. Pedoman mengenai Izin Pinjam Pakai pertama kali diterbitkan pada tahun 1994 yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994. Setelah itu Keputusan Menteri tersebut mengalami perubahan pada tahun 1996, 1997, dan 1998 sebelum diterbitkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kemudian, pada tahun 2006 akhirnya diputuskan untuk diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Izin 6
Kementerian Kehutanan, Pinjam Pakai Kawasan Hutan, www.bpkh4.dephut.go.id diunduh pada tanggal 29 Oktober 2012, pukul 00:31 WIB. 7 Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memproduksi hasil hutan. Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan LN RI Tahun 2010 Nomor 15, Pasal 1 ayat (8) dan . Pasal 1 ayat (12).
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Pinjam Pakai Kawasan Hutan karena Keputusan Menteri sebelumnya yakni tahun 1994, 1996, 1997, dan 1998 dianggap sudah tidak sesuai lagi. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14/ Menhut-II/2006 ini kemudian juga kerap mengalami perubahan hingga tahun 2012 ini. Undang-undang dan peraturan tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan mengatur berbagai hal mengenai penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan mulai dari prosedur permohonan, kewajiban yang harus dipenuhi, persyaratan, dan beberapa hal penting lainnya. Para pengusaha pertambangan perlu mencermati
pengaturan
Izin
Pinjam
Pakai
Kawasan
hutan
ini
karena
perkembangannya cukup dinamis dari tahun ke tahun. Pada prakteknya, ternyata terjadi beberapa masalah pada penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam kegiatan pertambangan. Seperti yang terjadi pada proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)8, dimana terdapat sembilan proyek MP3EI yang berlokasi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi terhambat karena tersandung masalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Di antara sembilan proyek tersebut terdapat proyek yang bergerak di bidang pertambangan batubara. Hambatan ini terjadi karena beberapa faktor seperti tumpang tindih lahan dengan lahan hutan produksi serta belum keluarnya surat rekomendasi dari Gubernur. 9 Permasalahan ini otomatis menyebabkan beberapa proyek MP3EI tertunda. Target proyek ground breaking tahun 2012 yang sebelumnya dipublikasikan sebanyak 86 proyek dengan nilai Rp 493,68 miliar turun menjadi 55 proyek dengan nilai Rp 369,85 miliar per Juli 2012. Hal demikian diungkapkan oleh Luky Eko Wuryanto, Deputi Menteri Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah.10 8
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan melalui melalui pengembangan 8 (delapan) program utama yang terdiri dari 22 (dua puluh dua) kegiatan ekonomi utama. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, (Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011), hlm. 10. 9 Wahyu Utomo, Internalisasi Kemajuan Debottlenecking Proyek MP3EI Semester I-2012, Hotel Borobudur, Jakarta, 8 Agustus 2012. 10 Luky Eko Wuryanto, Internalisasi Kemajuan Debottlenecking Proyek MP3EI Semester I-2012, Hotel Borobudur, Jakarta, 8 Agustus 2012.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Hal di atas merupakan beberapa masalah dalam penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan di Indonesia. Hasil tambang yang banyak terkandung di bawah kawasan hutan Indonesia menjadi tugas tersendiri bagi Pemerintah Indonesia untuk merancang dan merumuskan peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi kepentingan hutan negara maupun investasi. Pengaturan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini pada dasarnya untuk melindungi kelestarian hutan Indonesia. Namun, di sisi lain negara juga memiliki kepentingan untuk menarik penerimaan negara sebesarbesarnya. Penerimaan negara dapat diperoleh dari sektor pertambangan dimana sektor ini mampu menghasilkan komoditas yang sangat potensial. Kepentingan investasi tidak dapat dikesampingkan karena hal ini sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian negara. Menyikapi hal tersebut, diperlukan analisa lebih lanjut terhadap penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini. Apakah penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini membawa dampak khusus terhadap iklim investasi khususnya di sektor pertambangan batubara? Mengingat sebagian besar pertambangan batubara dilakukan di kawasan hutan. Sesuai dengan latar belakang di atas, penulis akan membatasi masalah menjadi beberapa permasalahan pokok, yaitu: 1. Bagaimanakah pengaturan mengenai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk kegiatan pertambangan? 2. Masalah apa saja yang timbul dalam penerapan Izin Pinjam Pakai dalam rangka kegiatan usaha pertambangan batubara? 3. Apakah pengaruh masalah penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan terhadap investasi pertambangan batubara? Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai ruang lingkup penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk kegiatan pertambangan dan implikasi nya terhadap investasi sektor pertambangan batubara di Indonesia. Tinjauan Teoritis 1. Pertambangan “Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umumm
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
eksplorasi,
studi
kelayakan,
konstruksi,
penambangan,
pengolahan
dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.” (Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara)11 2. Batubara “Merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat di alam dalam tingkat/grade yang berbeda dari lignit, subbitumine, dan antarasit.”12 3. Investasi / Penanaman Modal “Segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia” (Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal).13 4. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan “Izin penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan setelah dipenuhinya seluruh kewajiban dalam persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.”14 5. Baseline “Merupakan deskripsi secara kuantitatif dan kualitatif kondisi awal penutupan lahan areal pinjam pakai pada masing-masing kategori L1, L2, dan L3 yang mengklasifikasikan kondisi lahan yang dapat direvegetasi atau tidak direvegetasi sebagai dasar penilaian keberhasilan reklamasi.”15 6. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) “Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan”16 11
IBR Supanca, et.al., Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal, (Jakarta: National Legal Reform Program, 2010), hlm. 409. 12 Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 217. 13 Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3. 14 Indonesia (f), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.02/2009 Tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan, Pasal 1 ayat (7). 15 Indonesia (f), Ibid. Pasal 1 ayat (7). 16 Indonesia (d), Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, LN RI Tahun 1997 Nomor 43, TLN Nomor 3687, Pasal 1 ayat (1).
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
7. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan “Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau.”17 8. Enclave "Lahan milik pihak ketiga (bukan kawasan hutan) yang terletak di dalam kawasan hutan."18 Metode Penelitian Metode penelitan yang digunakan penulis adalah penelitian yang bersifat yuridisnormatif, dimana penelitian ini mengacu kepada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan
serta
kebiasaan-kebiasaan
yang
berlaku
di
masyarakat.19 Norma hukum yang menjadi acuan dalam penelitian ini antara lain mencakup Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Kehutanan, Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II Tahun 2011 Tentang Pedoman pinjam Pakai Kawasan Hutan. Tipe penelitian yang akan dilakukan jika ditinjau dari sifatnya adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk 17
Indonesia (e), Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan, Pasal 1 ayat (1). 18Kementerian Kehutanan, Pranalogi Kehutanan, http://www.dephut.go.id/halaman/pranalogi_kehutanan/definisi.pdf . diakses pada tanggal 25 April 2013, pukul 20:00 WIB. 19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hlm. 18.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
menentukan frekuensi suatu gejala.20 Tipe penelitian deskriptif ini terkait dengan pembahasan tentang masalah penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam kegiatan investasi sektor pertambangan batubara. Dipandang dari sudut bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian evaluatif. Penelitian evaluatif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk menilai suatu program yang dijalankan.21 Dalam hal ini penulis ingin menilai dan mengevaluasi penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam kegiatan investasi sektor pertambangan batubara. Sedangkan jika dipandang dari sudut tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian problem identification. Penelitian problem identification bertujuan untuk mengidentifikasi suatu masalah. 22 Dalam hal ini penulis ingin mengidentifikasi masalah dari penerapan sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan terhadap iklim dan kelangsungan kegiatan usaha sektor pertambangan batubara. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari tulisan-tulisan, data arsip, data resmi, dan data-data lain yang dipublikasikan pada bidang hukum pertambangan, bidang kehutanan, dan bidang hukum investasi. Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier yaitu antara lain: 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yang meliputi bahan hukum yang berkekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia seperti Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II Tahun 2011 Tentang Pedoman pinjam Pakai Kawasan Hutan. 20
Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4. 21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), hlm. 10. 22 Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 10.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terkait erat dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Contoh bahan hukum sekunder antara lain teori para sarjana, buku, penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, disertasi, surat kabar, serta makalah. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, meliputi bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia. Selain itu, untuk mendukung penelitian lebih mendalam, akan dilakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pertambangan batubara dan kehutanan seperti dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia serta Kementerian Kehutanan. Hasil Penelitian Batubara merupakan salah satu hasil galian tambang yang strategis. Batubara, atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan coal ini adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan. 23 Ditinjau secara historis, pertambangan batubara di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda dulu. Selain mencari rempah-rempah, pemerintah kolonial Hindia Belanda mencari sumber daya batubara untuk kepentingan armada angkatan laut dan kereta api uap. 24 Lokasi pertambangan batubara di Indonesia yang pertama kali dibuka pada tahun 1849 berlokasi di Pengaron, Kalimantan Timur yang dikelola oleh sebuah perusahaan swasta yaitu NV Oost Borneo Maatschappij (OBM).25 Dalam Undang-undang Minerba yang lama, yaitu UU nomor 11 Tahun 1967, bentuk pengusahaan mineral dan batubara ada dua jenis. Untuk batubara, kontrak yang berlaku adalah Kuasa Pertambangan (KP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan 23 Indonesia
(h), Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, LN RI Tahun 2009 Nomor 4, TLN Nomor 4959, Pasal 1 ayat (3). 24 Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia-ICMA, Pengabdian Pertambangan Batubara di Bumi Indonesia, (Jakarta : Tigot Communications, 2012), hlm. 50. 25 APBI-ICMA, Ibid. hlm. 50.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Pertambangan Batubara (PKP2B). Sedangkan untuk mineral, kontrak yang berlaku adalah
Kuasa
Pertambangan
(KP)
dan
Kontrak
Karya
(KK).
Dalam
perkembangannya, rezim kontrak pertambangan batubara berubah menjadi rezim perizinan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggantikan UU Minerba lama yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam UU ini, diatur bahwa pengelolaan pertambangan batubara dilakukan melalui IUP (Izin Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Sesuai Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 02 Tahun 2013
Tentang
Pengawasan
Terhadap
Penyelenggaraan
Pengelolaan
Usaha
Pertambangan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
Menteri
melakukan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Direktur Jenderal yang dalam pelaksanaanya dapat berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan atau instansi terkait lainnya. Pengawasan yang dilakukan Direktur Jenderal adalah berdasarkan evaluasi dan verifikasi dalam rekonsiliasi IUP dan IPR secara nasional terhadap penerbitan perizinan. 26 Hasil pengawasan oleh Direktur Jenderal diumumkan dengan pengumuman status Clear and Clean dan penerbitan sertifikat Clean and Clear. Terdapat empat syarat Clean and Clear, yaitu:27 1.
Syarat Administrasi, lokasi tidak tumpang tindih dan dokumen perizinan sesuai dengan prosedur;
2.
Syarat Teknis, seperti melengkapi laporan eksplorasi dan studi kelayakan;
26
KP, SIPD, dan SIPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 oleh gubemur dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya termasuk proses penyesuaian menjadi IUP dan IPR; serta IUP yang diterbitkan oleh gubemur dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan Kuasa Pertambangan yang telah diterima oleh gubemur atau bupati/walikota dan telah mendapatkan pencadangan wilayah sebelum terbitnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009, dinyatakan tetap berlaku. Indonesia (i), Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 02 Tahun 2013 Tentang Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten/Kota, Pasal 11 huruf (a). 27 Ibid., Pasal 11 huruf (c).
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
3.
Syarat Lingkungan, seperti melengkapi persetujuan dokumen lingkungan;
4.
Syarat Finansial, seperti membayar kewajiban iuran tetap dan royalti yang termasuk dalam PNBP.
Proses Clean and Clear dikenal juga dengan proses rekonsiliasi IUP. Proses Clean and Clear ditujukan untuk menata industri pertambangan di Indonesia atas permasalahan-permasalahan yang terjadi seperti masalah tumpang tindih. Proses Clean and Clear ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terkait dengan industri pertambangan. Terkait pengelolaan sumberd daya batubara di kawasan hutan, di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam hukum publik. Hutan sebagai kekayaan alam memiliki fungsi yang beraneka ragam, tidak hanya sebagai penyangga kehidupan lokal dan penggerak perekonomian nasional, namun juga memiliki fungsi kelestarian bagi keseimbangan ekosistem global. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan lokal masih sangat dominan di Indonesia dimana sebanyak 49 juta penduduk masih menggantungkan kehidupannya dari sumber daya hutan. 28 Indonesia memiliki hutan yang sangat luas. Dimana sampai tahun 2011, luas hutan Indonesia tercatat mencapai 99 juta hektar.29 Hutan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu forest. Forest merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan. Definisi hutan juga dipaparkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.” Semua kawasan hutan di Indonesia termasuk kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran 28
Komisi Pemberantasan Korupsi, Semiloka Menuju Kawasan Hutan Yang Berkepastian Hukum Dan Berkeadilan, (Jakarta:KPK, 2012), hlm. 13. 29 Ibid., hlm. 14.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
rakyat sebesar-besarnya. Dalam angka penguasaan tersebut Negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan.30 Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Beberapa izin terkait pemanfaatan hutan antara lain; IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan), IUPJL (Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan), IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu), dan beberapa izin lainnya. Sedangkan penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan.
Izin yang diberikan untuk
penggunaan kawasan hutan adalah IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Pertambangan merupakan salah satu kegiatan penggunaan kawasan hutan sehingga membutuhkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan adalah izin atas penggunaan sebagian kawasan hutan oleh pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan, dan fungsi kawasan hutan tersebut. Penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini adalah untuk membatasi dan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan strategis atau kepentingan umum terbatas di luar sektor
kehutanan tanpa mengubah status, fungsi, dan
peruntukan kawasan hutan, serta menghindari terjadinya enclave.31 Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia pertama kali pada tahun 1978 yaitu dengan Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978. Kemudian, pada tahun 1994 pengaturan tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan disempurnakan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang kemudian direvisi sebanyak tiga kali sampai tahun 1998 yaitu dengan Keputusan 30 Indonesia (g), Op. cit., Pasal 4. 31
Kementerian Kehutanan, Pinjam Pakai Kawasan Hutan, http://bpkh4.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57&Itemid=80, diunduh pada tanggal 11 Januari 2013, pukul 18:31 WIB.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1996, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 614/Kpts-II/1997, dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1998. Dari tahun 1994 hingga tahun 1998, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dilakukan dengan konsep perjanjian yang melibatkan pihak pemohon dan pihak dari Kementerian Kehutanan sebagai pihak Pemerintah. Hal ini menimbulkan kerancuan antara konsep izin dan perjanjian. Kemudian, pada tahun 2006 diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2006 yang merevisi seluruh pengaturan pinjam pakai kawasan hutan sebelumnya karena dianggap sudah tidak sesuai lagi. Dalam peraturan ini, pinjam pakai kawasan hutan sudah sepenuhnya diatur dalam bentuk izin dan bukan lagi dengan bentuk perjanjian. Setelah itu, peraturan ini terus mengalami penyempurnaan yaitu dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/MenhutII/2006, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011. Peraturan pinjam pakai kawasan hutan tahu 2011 ini kemudian selanjutnya mengalami dua kali revisi yaitu dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2012 dan terakhir, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2013. Dengan demikian pengaturan tentang IPPKH telah mengalami penyempurnaan sebanyak sepuluh kali. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) ini diberikan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan permohonan.32 Kewenangan pemberian IPPKH ini dapat dilimpahkan kepada gubernur, dengan ketentuan untuk: a. luasan paling banyak 1 (satu) hektar; b. pembangunan fasilitas umum; dan c. kegiatan yang bersifat non-komersial. Terdapat dua bentuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yaitu:33 a. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan Kompensasi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan kompensasi diberikan untuk kegiatan operasi produksi. IPPKH dengan kompensasi terbagi menjadi dua yaitu: 1) Kompensasi Lahan Pada Provinsi Dengan Luas Kawasan Hutan < 30% 32 33
Indonesia (a), Op. cit., Pasal 8. Indonesia (a), Op., cit, Pasal 7.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Adalah kompensasi lahan pada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan di provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi. Terdapat tiga jenis kompensasi lahan, yaitu: a) Non-Komersil Rasio paling sedikit 1:1 ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3. b) Komersil Rasio paling sedikit 1:2 ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3. c) Jika realisasi L3 lebih luas dari rencana L3, maka luas kompensasi ditambah dengan luas perbedaan dari selisih antara rencana L3 dengan realisasi L3. 2) Kompensasi Membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan Melakukan Penanaman Pada Provinsi Dengan Luas Kawasan Hutan > 30% a) Non-Komersil Rasio penanaman 1:1. b) Komersil Rasio penanaman paling sedikit 1:1 ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3. b. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan tanpa Kompensasi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan tanpa kompensasi diberikan untuk kegiatan survei atau eksplorasi dan untuk kegiatan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Dalam melakukan kompensasi lahan, ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu: a.
Memenuhi syarat lahan kompensasi yaitu antara lain: 1) letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan, kecuali lahan kompensasi tersebut dapat dikelola dan dijadikan satu unit pengelolaan hutan;
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
2) terletak dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi yang sama; 3) dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; 4) tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; dan 5) mendapat rekomendasi dari Gubernur atau Bupati/Walikota. b. penilaian kelayakan teknis LK oleh tim yang dikoordinasikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi, dan hasilnya dituangkan ke dalam berita acara kelayakan teknis calon lahan kompensasi; c. serah terima fisik lapangan yang dituangkan dalam berita acara serah terima fisik lapangan; dan d. serah terima dokumen lahan kompensasi untuk selanjutnya dilakukan proses pengukuhan kawasan hutan. Sesuai Pasal 26 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2013, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pihak pelaku usaha pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk kegiatan operasi produksi. Kewajiban tersebut antara lain:34 a. melaksanakan reboisasi pada lahan kompensasi bagi pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan kewajiban menyediakan lahan kompensasi; b. melaksanakan reklamasi dan revegetasi pada kawasan hutan yang sudah tidak dipergunakan tanpa menunggu selesainya jangka waktu Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; c. memenuhi kewajiban keuangan sesuai peraturan perundang-undangan, meliputi: 1) membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan; 2) membayar penggantian nilai tegakan, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR); 3) membayar ganti rugi nilai tegakan kepada pemerintah apabila areal yang dimohon merupakan areal reboisasi; 34
Ibid., Pasal 26 ayat (2).
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
4) mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang Izin Pemanfaatan Hutan apabila kawasan hutan yang diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berada pada areal yang telah dibebani Izin Pemanfaatan Hutan/pengelolaan; 5) mengganti iuran izin yang telah dibayarkan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan berdasarkan luas areal yang digunakan kepada pemegang izin pemanfaatan hutan apabila kawasan hutan yang diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berada pada areal yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan; dan d. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) dan dilaksanakan sebelum jangka waktu Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berakhir; e. melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar areal Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; f. melakukan pemeliharaan batas areal pinjam pakai kawasan hutan; g. melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang- undangan; h. mengamankan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung dalam hal areal pinjam pakai kawasan hutan berbatasan dengan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. i. membuat daerah penyangga (buffer zone) yang berbatasan dengan kawasan hutan konservasi selebar 500 (lima ratus) meter dari batas luar kawasan hutan konservasi bagi kegiatan pertambangan, kecuali minyak, gas, dan panas bumi; j. memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah pada saat melakukan monitoring atau pengawasan dan evaluasi di lapangan; k. mengkoordinasikan kegiatan kepada instansi kehutanan setempat dan/atau kepada pemegang Izin Pemanfaatan Hutan atau pengelola hutan; l. menyerahkan rencana kerja pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i, selambat-lambatnya 100 (seratus) hari kerja setelah ditetapkan keputusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
m. membuat laporan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Menteri mengenai penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai n. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf m di atas memuat antara lain: a. rencana dan realisasi penggunaan kawasan hutan; b. rencana dan realisasi reklamasi dan revegetasi; c. rencana dan realisasi reboisasi lahan kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. pemenuhan kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan; e. rencana dan realisasi penanaman dalam wilayah daerah aliran sungai sesuai peraturan perundang-undangan; dan f. pemenuhan kewajiban lainnya sesuai izin pinjam pakai kawasan hutan. Pembahasan Sebelum adanya sistem Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluruh kegiatan non-sektor kehutanan di kawasan hutan dilakukan dengan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan. Namun, sejak diterapkan IPPKH, semua pelaku kegiatan non-sektor kehutanan termasuk pertambangan di kawasan hutan wajib memiliki IPPKH. Permasalahannya adalah, hingga kini masih banyak perusahaan tambang yang belum mengajukan IPPKH. Padahal perusahaan tambang yang melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan tanpa adanya IPPKH telah melakukan pelanggaran dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 51 UU Kehutanan. Tumpang tindih ini juga disebabkan oleh faktor tumpang tindih izin dan wilayah seperti tumpang tindih IUP dengan izin sektor lainnya. Pejabat yang berwenang mengeluarkan izin melakukan penerbitan dua izin berbeda di wilayah yang sama. Hal ini menyebabkan pemegang izin tidak dapat memperoleh status dan sertifikat clean and clear sehingga tidak dapat memperoleh IPPKH. Selanjutnya, setiap pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan akan dibebani tarif PNBP. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.35 35
Indonesia (d), Op., cit, Pasal 1 butir 1.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Salah satu bentuk PNBP di Indonesia yang memberikan kontribusi cukup signifikan dalam penerimaan negara adalah PNBP di bidang pertambangan umum. Penerimaan PNBP di bidang pertambangan umum ini tidak lepas kaitanya dengan sektor kehutanan. Pembayaran PNBP Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c butir 1 di atas mengacu pada Pasal 26 ayat (1) butir b jo. Pasal 16 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/Tahun 2011 dimana PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dibayar berdasarkan baseline penggunaan kawasan hutan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri tersebut. Pembayaran PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dilakukan beserta penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) bagi pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan jenis kewajiban tersebut. IPPKH seperti yang diketahui, dapat dilakukan dengan cara sesuai luas kawasan hutannya. Dulu, IPPKH diterapkan hanya dengan penggantian lahan kompensasi. Namun, pada akhirnya IPPKH dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan lahan kompensasi dan pembayaran tarif PNBP. IPPKH dengan pembayaran tarif PNBP efektif mulai berlaku sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasn Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Banyak pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang melakukan penunggakan pembayaran PNBP Penggunaan Kawasan Hutan yang disebabkan beberapa faktor seperti misinterpretasi teknis pembayaran PNBP itu sendiri dan besarnya jumlah tarif PNBP yang memberatkan pemegang izin. Sampai tahun 2011 terdapat 85 perusahaan tambang pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang mengunggak pembayaran PNBP yang berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp60.898.385.950. Tunggakan tersebut merupakan akumulasi tunggakan sejak tahun 2009. Pada tahun 2010 terdapat 32 perusahaan penunggak dengan nilai potensi kerugian negara sebesar Rp15.074.704.489.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Perusahaan yang menunggak ini juga terancam pencabutan izin pinjam pakai hutannya.36 Selain masalah pengajuan dan penunggakan, beberapa masalah juga terjadi dalam penerapan IPPKH, seperti yang terjadi pada PT X. Permasalahan terjadi ketika PT X sebelumnya telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. XXX. Daerah yang terganggu pada kegiatan pertambangan PT X ini adalah kategori L1 dan L2. Namun, terdapat kendala dalam penentuan perhitungan PNBP PT X ini yang disebabkan adanya perbedaan batas kawasan hutan yang ditetapkan Pemerintah Pusat dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) IV. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesamaan acuan dalam menentukan batas kawasan hutan antara Pemerintah Pusat,
yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Planologi
Kementerian Kehutanan dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) yang berkedudukan di daerah. Di atas areal-areal yang menjadi sengketa tersebut terdapat bangunan dan sarana kantor, CPP, dan gudang Handak yang berdasarkan peta lampiran IPPKH SK Menteri Kehutanan No. XXX berada di luar kawasan hutan. Sedangkan berdasarkan hasil desk analysis tim verifikasi PNBP BPKH IV menyatakan bahwa sarana-sarana dan bangunan tersebut dianggap berada di dalam kawasan hutan, dimana analisa tersebut didasarkan pada peta lampiran Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan Produksi Hulu Sungai Kendilo–Sungai Samu. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perbedaan acuan perhitungan PNBP bagi PT X. Berdasarkan Berita Acara Verifikasi PNBP, PT X dianggap melakukan pelanggaran terhadap penggunaan kawasan hutan karena sarana-sarana dan bangunan berupa kantor, CPP, dan gudang Handak tidak sesuai dengan areal yang diberikan IPPKH berdasarkan SK No. XXX tersebut. Hal ini juga menyebabkan beban PNBP PT X bertambah akibat bangunan dan sarana milik PT X yang tadinya tidak berada di kawasan hutan menjadi dianggap berada di kawasan hutan berdasarkan Berita Acara Verifikasi oleh BPKH IV. Karena verifikasi wajib dilakukan secara reguler setiap tahunnya, maka acuan besaran 36
Bambang Soepijanto, Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan bidang Planologi Kehutanan, Samarinda, 14 Juli 2011. http://agroindonesia.co.id/2011/07/19/puluhan-perusahaantambang-menunggak-pnbp/, diakses pada tanggal 2 Mei 2013, pukul 19:00 WIB.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
nilai dalam pembayaran PNBP PT X didasarkan pada hasil verifikasi tersebut. Masalah perbedaan pemetaan ini salah satunya dapat terjadi karena kurangnya koordinasi. Pihak Direktorat Jenderal Planologi dan BPKH yang bersama-sama berada di lingkup Kementerian Kehutanan seharusnya mampu melakukan koordinasi dengan baik. Meskipun masalah perbedaan pemetaan ini tidak selalu terjadi di setiap pemegang IPPKH, namun pada nyatanya masih dapat terjadi seperti pada PT X ini. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini salah satunya adalah dengan meningkatkan koordinasi dan perbaikan tata batas kawasan hutan. Secara umum, upaya pengukuhan kawasan hutan sangat diperlukan saat ini dalam rangka menyelaraskan kegiatan seluruh sektor agar tidak terjadi lagi masalah tumpang tindih dan masalah-masalah lain yang timbul akibat penataan ruang yang kurang baik. Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menjalankan program Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan yang dilakukan dengan koordinasi seluruh sektor. Sebagai salah satu sektor yang berpartisipasi, Kementerian Kehutanan melakukan beberapa upaya dalam rangka program Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan ini yang salah satunya adalah dengan meningkatkan kinerja tata batas kawasan hutan. Hal ini merupakan langkah yang tepat dan hendaknya ditingkatkan lagi agar pemetaan kawasan hutan selaras sehingga tidak lagi muncul masalah perbedaan pemetaan hingga masalah tumpang tindih. Selain masalah penerapan di lapangan, masalah juga terjadi pada kepastian hukum pengaturan mengenai IPPKH itu sendiri. Pengaturan mengenai IPPKH yang telah mengalami perubahan sebanyak sepuluh kali cenderung terlalu sering mengalami perubahan, terutama perubahan dari tahun 2011 hingga tahun 2013. Perubahan peraturan dari tahun 2012 ke tahun 2013 hanya berjarak lima bulan. Inkonsistensi pengaturan salah satunya terlihat dalam ketentuan mengenai jangka waktu IPPKH untuk kegiatan operasi produksi. Ketentuan mengenai jangka waktu IPPKH bagi kegiatan produksi sebelumnya diatur dalam Pasal 36 (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 dimana jangka waktu IPPKH bagi kegiatan operasi produksi adalah paling lama dua puluh tahun. Kemudian pada tahun 2012, pasa tersebut diubah dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2012 yang mengatur bahwa jangka waktu IPPKH kegiatan
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
operasi produksi diberikan paling lama lima tahun. Pada tahun 2013, pasal tersebut
kembali
diubah
dalam
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.14/Menhut-II/2013 yang mengatur bahwa IPPKH untuk operasi produksi kini ditetapkan berlaku sesuai dengan jangka waktu izin kegiatannya.37 Perubahan ketentuan mengenai jangka waktu IPPKH operasi produksi dari tahun 2011 hingga 2013 mencerminkan inkonsistensi karena pengaturan jangka waktu dalam peraturan tahun 2011 tidak berbeda dengan jangka waktu yang diatur dalam peraturan tahun 2013. Jangka waktu 20 tahun adalah sama dengan jangka waktu maksimum IUP operasi produksi. Pengaturan jangka waktu IPPKH operasi produksi maksimal 5 tahun dalam peraturan tahun 2012 bertujuan untuk memperketat kegiatan pertambangan di kawasan hutan. Namun, pengaturan tersebut tidak bertahan lama dan menurut beberapa pihak kembali memberikan kelonggaran bagi pengusaha pertambangan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengaturan IPPKH dan dapat menimbulkan kerancuan pagi kalangan pengusaha pertambangan. Kesimpulan Berikut ini adalah beberapa kesimpulan yang dapat ditarik: 1. Terkait pengaturan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan pertambangan: a. IPPKH diterapkan sesuai dengan amanat UU Kehutanan yang mengatur bahwa penggunaan kawasan hutan di luar fungsi dan peruntukannya, sejauh mungkin harus dibatasi dan ditertibkan sehingga penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan dengan pemberian IPPKH. b. Pengaturan tentang IPPKH telah mengalami penyempurnaan sebanyak sepuluh kali. Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah terus berusaha untuk mencari jalan terbaik untuk mendukung kepentingan kehutanan dan pembangunan negara tanpa harus mengesampingkan salah satu sektor. c. IPPKH menjadi salah satu sarana untuk menjembatani kepentingan 37
Ibid.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
perlindungan hutan dan kepentingan investasi sehingga investasi sektor pertambangan batubara tetap dapat dilakukan di kawasan hutan dengan syarat dan batasan tertentu dan kelestarian hutan pun tetap terlindungi. 2. Terkait permasalahan penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk kegiatan pertambangan: a. Penerapan IPPKH masih mengalami banyak masalah seperti masih banyaknya perusahaan yang tidak atau belum mengajukan IPPKH, perbedaan pemetaan IPPKH dan kepastian hukum pengaturan IPPKH. Masalah ini disebabkan oleh faktor dari perusahaan itu sendiri dan dari pihak Pemerintah. b. Dari pihak perusahaan, masih banyak perusahaan yang belum kompeten dalam menjalankan usahanya termasuk belum kompeten dalam menjalankan prosedur sehingga menyulitkan diri sendiri dalam memperoleh IPPKH dan melaksanakan kewajiban IPPKH. c. Faktor utama masalah penerapan IPPKH dari pihak Pemerintah adalah sosialisasi IPPKH yang belum berjalan maksimal dan masih banyaknya masalah tumpang tindih izin dan wilayah. Sementara masalah tumpang tindih tersebut disebabkan oleh belum sempurnanya pengukuhan hutan di Indonesia, lemahnya pengawasan, dan banyaknya aparat yang tidak melaksanakan kewajiban dengan baik. d. Perubahan pengaturan mengenai IPPKH yang telah direvisi sebanyak sepuluh kali cenderung terlalu sering. Hal ini menimbulkan tidak terwujudnya kepastian hukum. Dalam kurun waktu yang singkat sosialisasi atas satu peraturan belum berjalan maksimal namun sudah terbit perubahan yang baru lagi sehingga penerapan peraturan tersebut tidak efektif. 3. Masalah penerapan IPPKH dan masalah lain yang terjadi pada pertambangan batubara di kawasan hutan otomatis akan mengganggu kegiatan investasi itu sendiri. Kondisi ini tidak berbanding lurus dengan iklim pertambangan batubara dunia yang juga cenderung berdinamika, seperti harga batubara yang sedang anjlok saat ini dan isu pengurangan emisi gas rumah kaca yang sedang digalakkan. Investasi pertambangan batubara sebagai kegiatan investasi yang menjanjikan sekaligus berisiko tinggi seharusnya didukung dengan iklim investasi yang kondusif.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Saran Beberapa saran yang dapat Penulis berikan dalam skripsi ini, adalah: 1.
Dengan adanya perubahan berkali-kali pada pengaturan tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan, maka diperlukan adanya konsistensi pengaturan oleh Pemerintah dengan membentuk satu peraturan yang lengkap, menyeluruh, dan mampu mengakomodir seluruh aspek terkait IPPKH agar peraturan ini dapat berlaku dalam jangka waktu yang panjang dan tidak perlu mengalami perubahanperubahan esensial di kemudian hari. Dengan demikian, IPPKH dapat diterapkan secara efektif dan tidak menimbulkan kerancuan bagi masyarakat dan pihak pengusaha.
2.
Hendaknya
diupayakan
penyelarasan
pemetaan
kawasan
hutan
dengan
menyelaraskan peta dasar yang digunakan oleh seluruh instansi agar tidak terjadi perbedaan interpretasi. Gagasan KPK bersama sektor-sektor lainnya untuk melakukan upaya percepatan pengukuhan kawasan hutan merupakan langkah yang tepat. Sebagai salah satu sektor yang mendukung, Kementerian Kehutanan hendaknya terus memaksimalkan upaya tata batas kawasan hutan. Dengan demikian, kepastian hukum batas wilayah dan kawasan hutan seluruh Indonesia akan tercapai. 3.
Pemerintah hendaknya meningkatkan pengawasan di kawasan hutan dan memperbaiki kinerja aparat yang berwenang dalam penerbitan izin agar seluruh kegiatan termasuk pertambangan batubara di kawasan hutan menjadi tertib. Dengan dilakukannya pencegahan pelanggaran, maka sanksi pidana tidak lagi diperlukan. Pemerintah juga hendaknya memaksimalkan sosialisasi seluruh prosedur kegiatan investasi pertambangan di kawasan hutan termasuk tentang IPPKH yang dilakukan dengan berkoordinasi antar sektor pertambangan, kehutanan, dan sektor terkait lainnya. Sosialisasi ini diperlukan agar masyarakat terutama pihak pengusaha pertambangan memiliki pemahaman yang baik sehingga seluruh prosedur dijalani secara tertib.
4.
Mengingat pertambangan batubara merupakan kegiatan usaha yang berisiko tinggi dan membutuhkan modal yang besar, perlu dibentuk suatu standarisasi kompetensi bagi pengusaha yang hendak melakukan kegiatan investasi pertambangan.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.
Hendaknya dicantumkan persyaratan yang lebih detil serta standar tertentu dalam syarat finansial permohonan IUP. Dengan membentuk standarisasi ini, kompetensi perusahaan pertambangan akan terjamin dan mencegah terjadinya pelanggaran prosedur dan kewajiban dalam rangkaian kegiatan investasi pertambangan, termasuk IPPKH.
Tinjauan hukum..., Marisa Harfiana, FH UI, 2013.