Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerjasama Dengan Aparat Penegak Hukum Dan Pengakuan Bersalah Sebagai Alat Bukti (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1260/Pid.B/2010 Dengan Terdakwa Susno Duadji) Ichsan Zikry, Narendra Jatna, dan Febby Mutiara Nelson Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK Nama
: Ichsan Zikry
Program Studi : Ilmu Hukum (Hukum Acara) Judul
: Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerjasama Dengan Aparat Penegak Hukum Dan Pengakuan Bersalah Sebagai Alat Bukti (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1260/Pid.B/2010 Dengan Terdakwa Susno Duadji)
Penelitian ini dibuat untuk mengkaji kedudukan pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam rangka mempermudah terbongkarnya suatu tindak pidana baik dalam bentuk mengakui kesalahan perbuatannya, memberikan bukti-bukti atau keterangan mengenai keterlibatan orang lain dalam tindak pidana (dikenal sebagai Saksi Mahkota, Justice Collaborator dan Whistleblower) dikaitkan dengan insentif yang diberikan dan sepatutnya diberikan oleh aparat penegak hukum, serta proses pemberian insentif tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum pada dasarnya belum sepenuhnya dilindungi dikarenakan regulasi yang belum memadai dan masih terdapat kelemahan secara kelembagaan dalam memberikan insentif bagi pelaku yang bekerjasama. Kata kunci: Kedudukan, Perlindungan, Insentif, Pengakuan Bersalah, Saksi Mahkota, Justice Collaborator dan Whistleblower
1 Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
ABSTRACT Name
: Ichsan Zikry
Program
: Law (Practition Law)
Title
: The Position of Criminal Subject Who Cooperate With Law Enforcement Agency and Plead Guilty as a Legal Evidence. (Case Studies: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Decision Number 1260/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel with the Accused Susno Duadji)
This research made to discussed about position of criminal subject who cooperate with law enforcement agency in order to help breaking a case with giving a plead guilty of his act or direction about evidences or information of others involevement (known as Crown Witness, Justice Collaborator and Whistleblower) and relevancy with an incentives they got and properly deserved provided by law enforcement agency as a retain of their cooperation and the process of incentives implementation. This research concluded that the regulation not utterly protect cooperative criminal subject and institutionally there is any weaknesses on giving protection for cooperative criminal subject.
Keywords: Position, Protection, Incentive, Plead Guilty, Crown Witness, Justice Collaborator and Whistleblowe
Pendahuluan Pada pertengahan tahun 2010 mencuat dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Susno Duadji selaku Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia. Susno Duadji didakwa menerima suap dari Syahril Djohan dan Haposan Hutagalung serta melakukan pemotongan biaya pengamanan pemilihan kepala daerah Jawa Barat.1 Selama proses persidangannya Susno Duadji kerap membeberkan fakta-fakta terkait dengan tindak pidana lain yang terjadi. Dari fakta-fakta tersebut sedikit banyak menjadi
cikal bakal
terbongkarnya kasus-kasus korupsi yang lain. 2 Atas kontribusinya membongkar kasus-kasus korupsi yang belum sempat diusut oleh aparat penegak hukum menimbulkan anggapan bahwa Susno Duadji adalah seorang Whistleblower sehingga patut mendapatkan perlindungan hukum diantaranya berupa hak
1
Putusan No. 1260/Pid.b/2010/PN.Jkt.Sel atas nama Terdakwa Susno Duadji.
2
Dari fakta-fakta yang dibeberkan Susno Duadji diantaranya menjadi titik awal dari terbongkarnya kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Halomoan Tambunan dalam kasus mafia pajak. 2 Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
3
untuk tidak dilakukan penuntutan terhadap dirinya.3 Pandangan mengenai kedudukan Susno Duadji sebagai seorang Whistleblower atau bukan serta patut atau tidaknya mendapat hak untuk tidak dilakukan penuntutan terhadapnya dapat dikaji dengan terlebih dahulu membedakan seorang Whistleblower dan Justice Collaborator. Jauh sebelum adanya istilah Whistleblower dan Justice Collaborator telah dikenal terlebih dahulu mengenai hak seseorang untuk dibebaskan dari penuntutan dalam istilah Saksi Mahkota (Kroongetuige). Saksi Mahkota dikenal dalam praktik pengadilan di Belanda yang didefinisikan sebagai salah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan suatu kejahatan dikeluarkan dari daftar terdakwa untuk kemudian dijadikan saksi dan terhadapnya tidak dilakukan penuntutan atas dasar asas oportunitas. 4 Istilah Saksi Mahkota tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP)5, tetapi Indonesia mengenal istilah splitsing, yaitu tindakan penuntut umum yang melakukan pemecahan berkas perkara.6 Splitsing berguna untuk mengungkap suatu kasus dalam kondisi tidak terdapat saksi yang dapat digunakan untuk membuktikan surat dakwaan dalam hal terjadi tindak pidana yang dilakukan secara bersamasama.7 Splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru agar para terdakwa dapat saling menjadi saksi. 8 Kedudukan seorang terdakwa yang dijadikan saksi untuk terdakwa yang lain dalam perkara yang sama ini seringkali dianggap sama dengan Saksi Mahkota.9 3
Dirangkum dari beberapa sumber: “Membuka Misteri Makelar Kasus”, http://nasional.kompas.com/read/2011/03/25/10030814/Vonis.Susno.Preseden.Buruk.Whistle.Blower , “Sang Whistleblower Susno Duadji dituntut 7 Tahun”, http://regional.kompasiana.com/2011/02/14/sang-whistleblower-susnoduadjidituntut7tahun, “Vonis Susno Preseden Buruk”, http://nasional.kompas.com/read/2011/03/25/10030814/Vonis.Susno.Preseden.Buruk.Whistle.Blower . diunduh pada 7 Januari 2013. 4
Andi Hamzah (a), Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2008), hlm. 164.
5
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengenal istilah saksi mahkota, namun praktek menjadikan terdakwa pada persidangan lain sebagai saksi bagi terdakwa lainnya pada kasus yang sama seringkali dilakukan untuk kepentingan pembuktian. 6
Indonesia (b), Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No.76 Tahun 1982, TLN No. 3209, Ps 142. 7
Hamzah, Op.Cit., hlm. 271.
8
Ibid., hlm. 164.
9
Ibid. Terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi Saksi Mahkota di Indonesia, Andi Hamzah berpendapat bahwa tindakan pemecahan berkas perkara (Splitsing) tidaklah sama dengan Saksi Mahkota sedangkan Loebby Loekman berpendapat bahwa tindakan melakukan pemecahan berkas perkara sama maksudnya dengan Saksi Mahkota. Beberapa Yurisprudensi diantaranya putusan Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 2 Maret 1990 juga menyebutkan bahwa istilah Saksi Mahkota muncul dari tindakan splitsing oleh Penuntut Umum.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
4
Seorang terdakwa yang berkedudukan sebagai saksi dalam persidangan terdakwa lain untuk kasus yang sama seringkali dinilai sebagai pelanggaran atas asas non self incrimination, anggapan ini timbul karena terdakwa yang dijadikan saksi tersebut akan memberikan keterangan dibawah sumpah10, dan oleh karenanya secara hukum terdakwa dipaksa mengatakan keterangan yang sebenar-benarnya karena apabila ia berbohong maka ia dapat dikenakan sumpah palsu.11 Keterangan seorang terdakwa yang sedang berkedudukan sebagai saksi ini memiliki nilai pembuktian sebagai keterangan saksi, sehingga dapat digunakan untuk menjadi alat bukti dalam menentukan bersalah atau tidak rekannya sesama pelaku kejahatan. 12 Penggunaan teknik Splitsing berkaitan dengan Perubahan alat bukti pengakuan terdakwa dalam HIR menjadi keterangan Terdakwa dalam KUHAP. HIR mengatur bahwa pengakuan terdakwa adalah salah satu alat bukti yang sah dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa dan pengakuan terdakwa itu sendiri dianggap sebagai alat bukti yang sempurna dalam HIR.13 Pengakuan Terdakwa identik dengan paksaan, sehingga akan terdengar lebih manusiawi apabila pengakuan diganti dengan keterangan terdakwa. 14 perbedaan lainnya antara pengakuan terdakwa dan keterangan terdakwa adalah, pada alat bukti pengakuan terdakwa ruang lingkupnya sangat terbatas yaitu disyaratkan sebatas pengakuan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dan pengakuan bahwa dirinya bersalah melakukan tindak pidana tersebut, sedangkan pada alat bukti keterangan terdakwa ruang lingkupnya menjadi lebih luas yaitu termasuk didalamnya penyangkalan oleh terdakwa.15 Keterangan terdakwa yang diatur dalam KUHAP secara normatif memang lebih luas pengaturannya dibanding dengan pengakuan terdakwa, karena keterangan terdakwa dalam KUHAP meliputi apa yang terdakwa nyatakan dalam persidangan, apa yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau alami sendiri. 16 10
Ibid.,, hlm. 272.
11
Ibid., hlm .271.
12
Mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah diatur dalam pasal 184 KUHAP dimana salah satu syarat sahnya adalah dengan disumpah terlebih dahulu . 13
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinarta, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Mandar Maju 2009), hlm. 80. 14
M. Yahya Harahap (a), Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed. Ke-2, (Jakarta:Sinar Grafika,2002), hlm. 319. 15
Hamzah, Op.Cit., hlm 278.
16
Indonesia (b), Op.Cit., Ps. 189 (1).
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
5
Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti coba diakomodir dalam Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara pidana dengan mengadopsi Plea Bargaining System.17 Terkait dengan perlindungan bagi pihak yang bekerjasama membongkar suatu tindak pidana, di Amerika Serikat dikenal adanya The Witness Security Program. 18 Program ini menjalankan salah satu fungsinya berupa memberikan perlindungan terhadap orang yang memberikan keterangan terhadap tindak pidana tertentu.19 Program perlindungan ini menjadi tanggung jawab dari United States Marshals. 20 U.S. Marshals memiliki salah satu tanggung jawab berupa perlindungan selama 24 jam kepada orang yang memberikan kesaksian melawan orang yang diduga melakukan tindak pidana narkotika, terorisme dan tindak pidana tertentu lainnya pada seluruh tahapan persidangan. 21 Fungsi U.S. Marshals dalam memberikan perlindungan bagi pihak yang bekerjasama membantu membongkar suatu tindak pidana juga dimiliki oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia. 22 Dari uraian singkat diatas, adapun permasalahan yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah kedudukan Komisaris Jenderal Susno Duadji apabila ditinjau dari sudut pandang Justice Collaborator atau Whistleblower? 2. Bagaimanakah peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan kepada tersangka dan terdakwa yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum?
17
Tim Penyusun, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. Pasal
18
Witness Protection Program diatur dalam Organized Criminal Control Act tahun 1970.
199.
19
Witness Protection Program menjadi salah satu tugas dari U.S. Marshals yang berada dibawah Department of Justice. Tindak pidana tertentu diantaranya narkotika dan terorisme. Diunduh dari http://www.usmarshals.gov/witsec/index.html. 20
United States Marshals merupakan suatu perangkat peradilan di Amerika Serikat yang berperan sebagai Federal Police. Pengaturan U.S Marshals terdapat didalam Judiciary Act dan Organized Crime Control Act yang telah diamandemen melalui Comprehensive Crime Control Act. 21
United States Marshals tidak hanya bertanggungjawab atas keselamatan saksi pada saat proses persidangan akan tetapi juga meliputi kehidupan saksi setelah tahap persidangan yang diwujudkan dengan memberikan tempat tinggal baru disertai identitas baru bagi dirinya dan anggota keluarganya, memberikan layanan kesehatan, pelatihan kerja dan lowongan pekerjaan. 22
Indonesia (a), Op.Cit., Ps. 5. Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang lembaga perlindungan saksi dan korban juga diatur salah satu fungsi dari LPSK yaitu memberikan perlindungan bagi saksi yang mebantu membongkar suatu kejahatan tertentu berupa identitas baru, tempat tinggal baru dan lain sebagainya.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
6
3. Bagaimanakah hubungan Tersangka dan Terdakwa yang bekerja sama membongkar suatu tindak pidana dengan hak untuk tidak dilakukan penuntutan bagi dirinya?
Tinjauan Teoritis Di bawah ini merupakan beberapa teori yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penulisan ini. 1. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.23 2. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri.24 3. Keterangan saksi Adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 25 4. Keterangan Terdakwa adalah keterangan yang meliputi apa yang terdakwa nyatakan dalam persidangan, apa yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau alami sendiri.26 5. Pengakuan Terdakwa adalah salah satu alat bukti yang sah dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa terbatas yaitu disyaratkan sebatas pengakuan bahwa terdakwa melakukan delik yang didakwakan dan pengakuan bahwa dirinya memang bersalah.27 6. Saksi mahkota adalah saksi yang juga merupakan terdakwa pada kasus yang sama pada persidangan rekannya. 28 7. Justice Collaborator atau Collaboorator of Justice atau saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia 23
Harahap (a), Op.Cit, hlm. 274.
24
Indonesia (b), Op. Cit, Ps. 1 angka 26.
25
Ibid., Ps. 1 angka 27.
26
Ibid., Ps. 189.
27
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinarta, Op.Cit., hlm. 80.
28
M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hlm
848.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
7
membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses pengadilan.29 8. Whistleblower adalah seseorang dalam suatu organisasi yang menyaksikan perilaku anggota organisasi tersebut yang dapat berbentuk bertentangan dengan tujuan organisasi atau perilaku anggota organisasi tersebut dan memutuskan untuk menyampaikan hal-hal tersebut.30
Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis serta didukung dengan hasil wawancara dengan Hendro Dewanto selaku anggota tim penuntut umum pada perkara Susno Duadji.31 Penelitian ini disebut juga sebagai penelitian yuridis normatif karena peneliti mengarahkan penelitian pada dara-data sekunder seperti buku, hukum positif dan norma tertulis.32 Dalam penelitian ini peneliti mengkaji aspek-aspek yuridis terkait dengan peranan tersangka atau terdakwa dalam menyelesaikan proses penanganan perkara pidana dikaitkan dengan perkembangan mekanisme yang digunakan mulai dari splitsing (pemecahan berkas perkara), Justice Collaborator dan yang terbaru berupa Plea Bargaining System. Dilihat dari sifatnya penelitian ini tergolong dalam penelitian eksplanatoris, karena dalam penelitian ini akan digambarkan dan dijelaskan lebih dalam mengenai suatu gejala ditinjau dari landasan hukum yang berlaku mengenai peranan tersangka atau terdakwa dalam menyelesaikan perkara pidana. Dilihat dari segi bentuknya, penelitian ini tergolong sebagai penelitian preskriptif karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan saran untuk mengetahui permasalahan terkait dengan peranan tersangka atau terdakwa dalam
29
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, op.cit., Pasal 1 angka 3. 30
Fr Floriano C Roa, Bussiness Ethics And Social Responsibility, (Manila :Philippine Copyright First Edition, 2007 31
Ibid.,, Hlm. 153.
32
Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penelitian Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
8
menyelesaikan perkara pidana khususnya dalam sistem yang akan dianut yaitu Plea Bargaining System. Jenis data yang akan digunakan penulis adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka tanpa perlu diperoleh langsung dalam masyarakat .33 Data sekunder ini diantaranya diperoleh melalui membaca peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel, atau bahan lain yang berhubungan dengan penelitian yang dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian.
Hasil Penelitian Dari penelitian ini dikaitkan dengan pokok permasalahan yang mendasari dilakukannya penelitia ini maka diperoleh hasil berupa: 1. Dalam menentukan kedudukan seseorang sebagai seorang Justice Collaborator atau Whistleblower perlu diperhatikan dari sudut pandang apakah ia terlibat atau tidak dalam tindak pidana yang ia laporkan. 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan sekaligus menjalankan perlindungan bagi pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum. 3. Insentif bagi Justice Collaborator belum sampai kearah penghentian penuntutan. hal ini dikarenakan regulasi yang ada belum memadai untuk memberikan insentif berup a penghapusan penuntutan
Pembahasan 1. Analisis Kedudukan Susno Duadji Ditinjau dari Sudut Pandang Justice Collaborator dan Whistleblower. Komisaris Jenderal Susno Duadji selaku terdakwa pada dua kasus tindak pidana korupsi, yaitu menerima suap dalam penanganan perkara PT SAL dan pemotongan dana pengamanan pemilihan kepala daerah Jawa Barat menimbulkan pro dan kontra mengenai kedudukannya yang seringkali dianggap sebagai seorang Whistleblower. Pandangan ini timbul karena dalam proses pemeriksaan dirinya sebagai seorang terdakwa ia juga memberikan keteranganketerangan mengenai dugaan tindak pidana lain diantaranya dugaan penyimpanganpenyimpangan dalam penanganan kasus PT SAL dan penanganan kasus pajak.
33
Soekanto, Op.Cit.,, hlm. 51.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
9
Berdasarkan surat dakwaan penuntut umum, dapat dilihat bahwa Susno Duadji didakwa melakukan dua tindak pidana dalam dua rentang waktu yang berbeda; 1. Tindak pidana pertama merupakan dugaan menerima suap dari haposan hutagalung untuk mempercepat proses penangan perkara PT SAL. Tindak pidana ini diduga terjadi pada tanggal 5 Desember atau setidak-tidaknya dalam rentang waktu bulan noveber sampai desember 2008. 2. Tindak pidana kedua merupakan dugaan pemotongan dana hibah pemprov jabar untuk pengamanan pemilihan kepada daerah jawa barat yang diduga terjadi pada bulan Maret sampai Juni 2008. Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, yaitu pada tanggal 18 Maret 2010 Susno Duadji memberikan keterangan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum mengenai penanganan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan, tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana Lestari, dan mengenai penggunaan anggaran di Mabes Polri dan Polda-Polda seluruh Indonesia. Keterangan-keterangan ini diberikan tidak hanya pada tanggal 18 Maret yaitu sebelum Susno Duadji menjadi tersangka, namun juga diberikan pada tanggal 12 April 2010. Pada tanggal 8 April 2010 Susno Duadji kembali memberikan keterangan mengenai penanganan dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Gayus Tambunan dan tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT Salmah Arwana Lestari. Selain memberikan keterangan dihadapan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Susno Duadji juga telah memberikan kesaksian di media massa baik cetak maupun elektronik tentang dugaan tindak pidana korupsi yang juga melibatkan oknum aparat baik di kepolisan, kejaksaan dan oknum hakim di pengadilan. salah satu tindak lanjut dari keterangan Susno Duadji dihadapan Satgas Mafia Hukum adalah telah dilakukannya penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan oleh Gayus Tambunan. Dari fakta-fakta yang telah disebutkan diatas juga dapat dikualifikasikan kedalam dua hal, yaitu tindak pidana yang Susno Duadji ungkap kepada satgas dan tindak pidana yang melibatkan dirinya. 1. Tindak pidana yang diungkap kepada Satuan Tugas Mafia Hukum a. Dugaan adanya makelar kasus dalam penanganan tindak pidana korupsi dan pencucian uang oleh Gayus Tambunan b. Terkait dengan penanganan perkara PT Salmah Arwana Lestari c. Kasus lain yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
10
2. Tindak pidana yang melibatkan dirinya a. Tindak pidana korupsi/suap PT Salmah Arwana Lestari b. Tindak pidana korupsi pemotongan dana hibah pemprov jabar. Setelah mengkualifikasikan tindak pidana yang melibatkan Susno Duadji dan tindak pidana lain yang ia ungkap, maka untuk mengaitkannya dengan apakah Susno Duadji dapat disebut sebagai Whistleblower atau Justice Collaborator maka penulis berpandangan untuk melihat dari sudut pandang apakah Susno Duadji terlibat atau tidak pada tindak pidana yang ia laporkan dan tindak pidana yang melibatkan dirinya sebagai terdakwa, serta memperhatikan bentuk keterangan yang ia berikan baik mengenai tindak pidana yang melibatkan dirinya dan tindak pidana lain yang ia ungkap. Dalam pasal 10 Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam pasal 10 ayat 1 disebutkan bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Ketentuan dalam pasal 10 ayat 1 ini yang diekuivalenkan
dengan
Whistleblower, sedangkan dalam pasal 10 ayat 2 yang berisi ketentuan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, namun kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan. Ketentuan ini yang diekuivalenkan dengan Justice Collaborator. Secara konseptual, Whistleblower diartikan sebagai pembocor rahasia34, atau lebih lengkapnya sebagai orang yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai adanya dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. 35 Sedangkan Justice Collaborator yaitu merupakan pelaku kejahatan36, dan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk memberikan informasi, data, kesaksian atau pernyataan yang dapat membongkar suatu
tindak pidana.37 Penulis
berpendapat,
dari konsep mengenai
Whistleblower dan Justice Collaborator diatas, perbedaan paling mendasar dari keduanya adalah masalah keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana, apabila ia sama sekali tidak
34
Reda Mantovani dan Naredra Jatna, Op.Cit., hlm. 21.
35
Surya Jaya, Op.Cit., hlm. 1.
36
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Op.Cit., hlm. 11. Pandangan mengenai pengertian Pelaku tindak pidana disini diartikan juga sebagai tindak pidana yang sama dengan yang dituduhkan kepadanya atau tindak pidana yang lain. 37
Abdul Haris Semendawai, Memahami Whistleblower, Op.Cit.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
11
terlibat maka ia dikategorikan sebagai Whistleblower, sedangkan apabila ia juga terlibat dalam tindak pidana yang ia ungkap, maka ia masuk kedalam kategori Justice Collaborator, meskipun tindak pidana yang diungkapkannya sama sekali belum diketahui oleh aparat penegak hukum, namun apabila si pengungkap ternyata juga terlibat maka ia tetap dikategorikan sebagai Justice Collaborator atau disebut juga Participant Whistleblower. Hakim Agung Artidjo Alkotsar juga menyebutkan bahwa seorang Whistleblower haruslah orang yang tidak terlibat dalam kasus yang ia laporkan, sedangkan Justice Collaborator merupakan orang yang mengungkap adanya suatu tindak pidana dan ia sendiri juga terlibat dalam tindak pidana tersebut.38 Dalam kasus suap PT SAL bila dikaitkan dengan keterangan yang diberikan oleh Susno Duadji dihadapan satgas mafia hukum diperoleh fakta bahwa sebelum Susno Duadji memberikan informasi dihadapan satgas mafia hukum (yang salah satunya informasi mengenai kasus PT SAL) pada tanggal 18 Maret dan 12 April terjadi lebih dahulu dibanding dengan dimulainya penyidikan terhadap Susno Duadji yang ditandai dengan diterbitkannya Surat Permberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh kepo lisian kepada kejaksaan pada tanggal 6 Mei 2010. 39 Namun meskipun Susno Duadji terlebih dahulu memberikan informasi mengenai kasus PT SAL dibanding dengan diterbitkannya SPDP atas dirinya dan dilanjutkan dengan penetapan tersangka dan dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap dirinya pada tanggal 10 dan 11 Mei menurut penulis tidak serta merta disimpulkan bahwa Susno Duadji adalah seorang Whistleblower. Karena meskipun ia mengungkap informasi lebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka namun dalam tahap penyidikan diketahui terdapat keterlibatan Susno Duadji. Untuk kasus kedua mengenai pemotongan dana hibah pemprov jawa barat sama sekali tidak diungkap oleh Susno Duadji kepada satgas mafia hukum maupun melalui media massa, sehingga Susno Duadji juga tidak dapat dikategorikan sebagai Whistleblower karena ia terlibat dalam tindak pidana itu sendiri dan tindak pidana tersebut terbongkar juga bukan karena informasi yang diberikan oleh Susno Duadji. Jadi, kesimpulannya apabila dikaitkan dengan konsep Whistleblower yaitu sebagai orang yang membongkar suatu tindak pidana dan ia juga tidak terlibat dalam tindak pidana 38
Artidjo Alkotsar http://news.detik.com/read/2013/03/17/111450/2196045/10/ Whistleblower dengan Justice Collaborator”. Diunduh pada tanggal 8 Mei 2013.
“ini
bedanya
39
“Detik.com spdp Susno Duadji sudah diterima kejagung sejak pekan lalu” http://news.detik.com/read/2010/05/11/181440/1355480/10/spdp-susno-duadji-sudah-diterima-kejagung-sejakpekan-lalu?nd771108bcj. Diunduh pada tanggal 8 Mei 2013.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
12
yang ia bongkar, maka menurut penulis Susno Duadji tidak dapat dikategorikan sebagai seorang Whistleblower. Selanjutnya untuk menganalisa apakah Susno Duadji dapat dikategorikan sebagai seorang Justice Collaborator atau tidak, penulis akan terlebih dahulu membahas mengenai informasi yang ia berikan kepada satgas mafia hukum mengenai dugaan adanya mafia hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi dan pencucian uang gayus halomoan tambunan. Dari informasi yang ia sebutkan telah dikembangkan lebih lanjut dan tidak ada keterlibatan dirinya dalam kasus tersebut. untuk kasus yang satu ini, Susno Duadji dapat dikategorikan sebagai seorang Whistleblower, karena menurut penulis ia telah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai seorang Whistleblower seperti
yang
dikemukakan oleh Surya Jaya yaitu mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik dalam hal ini satgas mafia hukum dan media massa baik cetak maupun elektronik, dan juga ia adalah bagian dari orang dalam yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada dalam hal ini membongkar kejahatan yang dilakukan oleh rekan Susno Duadji sesama aparat penegak hukum. hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh maharany siti shopia selaku jubir LPSK yang menyebutkan bahwa Susno Duadji berkedudukan sebagai Whistleblower dalam kasus korupsi penggelapan pajak. 40 Begitupula dengan tindak pidana lain yang Susno Duadji laporkan (kecuali kasus PT SAL) sampai saat ini tidak ada indikasi keterlibatan Susno Duadji, sehingga untuk kasus-kasus lain yang tidak melibatkannya maka ia juga dapat dikategorikan sebagai seorang Whistleblower. Lalu apabila dikaitkan dengan tuntutan penuntut umum dan juga pertimbangan majelis hakim yang menyebutkan bahwa Susno Duadji dianggap sebagai seorang Justice Collaborator seperti yang diatur dalam pasal 10 ayat 2 Undang-Undang LPSK sehingga dijatuhi hukuman yang lebih ringan memiliki keterkaitan dengan ketiga kasus diatas. Sebelumnya, perlu
diuraikan mengenai
keterlibatan
Susno Duadji
dalam kasus
penyelewengan dana pengamanan pilkada jawa barat. untuk tindak pidana penulis berpendapat bahwa Susno Duadji tidak masuk kedalam kategori whistleblower ataupun justice collaborator karena perkara ini terungkap tanpa ada kontribusi dari Susno Duadji dan ia tidak mempermudah aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara ini dengan membantu memberikan informasi maupun bukti-bukti seperti yang menjadi ciri dari seorang
40
“Lpsk perpanjang perlindungan susno sebagai Whistleblower” http://nasional.kompas.com/read/2013/03/31/18524583/LPSK.Perpanjang.Perlindungan.Susno.sebagai.Whistle. Blower Diunduh pada tanggal 10 Mei 2013.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
13
Justice Collaborator, hal ini tercermin keterangan Susno Duadji di persidangan yang menyangkal keterlibatan dirinya dalam perkara tersebut. Sedangkan dalam perkara pt sal yang melibatkan Susno Duadji, meskipun ia menyangkal keterlibatannya dalam persidangan Susno Duadji memiliki kontribusi dalam terbongkarnya perkara ini dengan memberikan keterangan kepada komisi III DPR dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, meskipun pada akhirnya diketahui bahwa ia juga terlibat dalam perkara tersebut. penulis berpendapat bahwa untuk kasus ini Susno Duadji dapat dikategorikan sebagai seorang justice collaborator atau participant whistleblower karena pada dasarnya ia turut berperan dalam membongkar tindak pidana tersebut. mengenai tindakan Susno Duadji yang tidak mengakui keterlibatannya dalam perkara yang didakwakan kepadanya, menurut penulis tidak menjadi masalah karena memang pengakuan tersebut tidak menjadi salah satu syarat untuk dapat dikategorikan sebagai seorang justice collaborator dalam pasal 10 ayat 2 undang-undang lpsk dan perlu diketahui kasus ini sudah ada sebelum diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011 dan Keputusan Bersama Menteri Hukum dan Ham RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang didalamnya diatur dengan jelas mengenai persyaratan seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang justice collaborator. Pendapat penulis sejalan dengan pernyataan Majelis hakim yang mengadili perkara Susno Duadji dalam pertimbangan putusan menyebutkan dalam salah satu poin hal yang meringankan bahwa terdakwa sebagai salah seorang yang mengungkap penyimpangan penanganan perkara arwana dimana terdakwa mendapat perlindungan saksi dan sekaligus sebagai tersangka/terdakwa dari lembaga perlindungan saksi dan korban sehingga berdasarkan pasal 10 ayat 2 Undang-Undang LPSK berhak mendapatkan keringanan hukuman41. Selain itu kontiribusi Susno Duadji dalam mengungkap tindak pidana penyelewengan penanganan perkara gayus tambunan juga menjadi salah satu pertimbangan yang meringankan tuntutan dan hukuman Susno Duadji sebagaimana yang dikatakan Hendro Dewanto selaku anggota tim penuntut umum Susno Duadji menganggap peranan Susno Duadji dalam membongkar kasus lain seperti kasus gayus tambunan adalah sebuah tindakan yang membantu aparat penegak hukum dalam membongkar tindak pidana lain yang terjadi 42 41
Putusan No. 1260/Pid.b/2010/PN.Jkt.Sel atas nama Terdakwa Susno Duadji.
42
Argumentasi ini diperoleh penulis dari hasil wawancara dengan Bapak Hendro Dewanto, anggota penuntut umum pada kasus Susno Duadji.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
14
dan majelis hakim juga sependapat bahwa tindakan Susno Duadji mengungkap penyelewengan perkara gayus tambunan sebagai hal yang meringankan dalam putusannya. 43 Jadi dapat disimpulkan bahwa Susno Duadji dalam kasus yang melibatkan dirinya dikategorikan sebagai justice collaborator karena ia turut mengungkap perkara pt sal. Meskipun dalam kasus penyelewengan dana pengamanan pilkada jawa barat ia tidak berjasa mengungkap ataupun membantu kelancaran proses penanganan perkara tersebut namun kontribusinya pada perkara pt sal sudah cukup untuk memenuhi rumusan pasal 10 ayat (2) undang-undang lpsk sehingga ia dapat dikategorikan sebagai seorang justice collaborator. Selain itu status Susno Duadji sebagai whistleblower atas pengungkapan perkara pajak juga turut memberikan andil dalam pemberian keringanan hukuman atas dirinya. Perlu diperhatikan pula pada saat kasus ini bergulir memang belum ada persyaratan jelas mengenai kapan seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang justice collaborator, sehingga penentuan status justice collaborator oleh penuntut umum dan majelis hakim dapat dikatakan masih sebatas diskresi dengan didasari pada konsep dasar dari justice collaborator itu sendiri.
2. Analisis Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Memberikan Perlindungan Kepada Orang yang Bekerjasama dengan Aparat Penegak Hukum. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 dengan dilandaskan pada pemikiran pentingnya keterangan saksi dan korban sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam rangka menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, dan seringkali aparat penegak hukum kesulitan mencari dan menemukan kejelasan dari suatu tindak pidana dikarenakan kesulitan menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.44 Dalam rangka melindungi saksi dan atau korban suatu tindak pidana, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengelompokkan perlindungan tersebut kedalam tiga jenis perlindungan yaitu perlindungan fisik, psikis dan hukum. 45 diluar perlindungan tersebut, ada mekanisme perlindungan lain yang juga diakomodir oleh ketentuan hukum Indonesia berupa
43
Putusan No. 1260/Pid.b/2010/PN.Jkt.Sel atas nama Terdakwa Susno Duadji
44
Poin Menimbang dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
45
Lihat kembali penjelasan mengenai perlindungan bagi Justice Collaborator pada bab III
Korban.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
15
penanganan khusus dan penghargaan bagi seorang saksi yang juga pelaku dari tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum dalam membongkar suatu tindak pidana. Perlindungan Fisik dan Psikis yang diberikan oleh LPSK diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan tersebut meliputi hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya, ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan, mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, mendapatkan identitas baru, mendapatkan tempat kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, mendapat nasihat hukum dan atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. 46 Namun ketentuan dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang LPSK mengatur perlindungan yang berhak diperoleh bagi saksi dan korban menimbulkan konsekuensi bahwa seorang pelaku yang bekerjasama haruslah menjadi saksi agar mendapatkan perlindungan. Lebih lanjut dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 mengatur mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada seorang saksi. Secara eksplisit dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 diatur dua macam perlindungan hukum bagi dua jenis saksi, pasal 10 ayat 1 mengatur perlindungan hukum berupa tidak dapat dituntut baik secara pidana ataupun perdata atas keterangan yang akan, sedang atau telah diberikannya, sedangkat pasal 10 ayat 2 memberikan perlindungan hukum bagi seorang saksi yang juga merupakan pelaku pada kasus yang sama sebatas pada dijadikannya kesaksiannya sebagai pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan, namun keringanan pidana ini menjadi seluruhnya kewenangan hakim mengingat ketentuan pasal 10 ayat 2 menyebutkan kata “dapat” dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Untuk mempermudah pembahasan mengenai peranan LPSK dalam memberikan perlindungan maka pembahasan pad sub-bab ini akan dibagi kedalam beberapa poin. 1. Persyaratan masuk kedalam program perlindungan saksi pertama akan dibahas mengenai peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan bagi saksi yang juga pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar suatu tindak pidana. 46
Indonesia (a), Op.Cit. Pasal 5.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
16
Berdasarkan pasal 10 ayat 2 dan pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, maka seorang saksi pelaku yang bekerjasama berhak untuk memperoleh perlindungan fisik, psikis dan hukum selama ia bersedia menjadi saksi di persidangan dan keterangan yang ia berikan masuk kedalam kategori kasus yang disebutkan dalam penjelasan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang LPSK, yaitu tindak pidana narkotika, korupsi, terorisme dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. 2. Kewenangan persetujuan dan pelaksanaan perlindungan saksi Pemberian perlindungan oleh LPSK kepada seorang saksi atau korban diatur dalam pasal 29 Undang-Undang LPSK, yaitu dengan mengajukan permohonan secara tertulis ke LPSK yang diinisiasi oleh saksi atau korban itu sendiri ataupun atas permintaan pejabat yang berwenang. Untuk kemudian permohonan tersebut diperiksa oleh LPSK dan dalam waktu paling lambat 7 hari sejak permohonan diajukan LPSK akan memberikan keputusan. Selanjutnya mengenai mekanisme dalam pemberian perlindungan bagi saksi pelaku yang bekerjasama, LPSK juga dimungkinkan untuk bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang seperti lembaga pemerintah atau non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK dan keberadaan instansi terkait ini juga disetujui keberadaannya oleh saksi. 47 Setelah permohonan perlindungan saksi disetujui oleh LPSK, maka saksi diharuskan untuk membuat pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban yang berisi kesediaan saksi dan untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan, kesediaan saksi untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya, kesediaan saksi untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK selama ia berada dalam perlindungan LPSK, kewajiban saksi untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya dibawah perlindungan LPSK dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. 48 Setelah mencermati prosedur mengajukan permohonan perlindungan saksi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa LPSK memiliki kewenangan dalam 47
Indonesia (a), Op.Cit. Pasal 36.
48
Indonesia (a), Op.Cit., Pasal 30
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
17
memberikan persetujuan perlindungan kepada saksi sekaligus melaksanakan perlindungan kepada saksi. Apabila dibandingkan dengan witness protection program di amerika serikat, terdapat pemisahan antara pihak yang memberikan persetujuan perlindungan saksi dengan pihak yang melaksanakan perlindungan saksi. Prosedur terkait kewenangan untuk memberikan persetujuan mengenai witness security program diatur dalam peraturan nomor 9-21-000 tentang witness security. Pengaturan ini mempunyai ruang lingkup mengenai prosedural perlindungan saksi yang berlaku bagi seluruh organisasi dibawah department of justice yang menjalankan program perlindungan saksi atau bagi individu yang dalam pengawasan U.S Marshals dan bureau of prisons. Program witness protection dijalankan dibawah supervisi dari office of enforcement operation yaitu divisi yang berada didalam criminal divisi yang merupakan bagian dari department of justice. 49 Proses pemberian perlindungan saksi dalam witness protection program dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan perlindungan saksi seperti U.S Marshals dan Bureau of Prison, namun prosesnya dimulai dengan permintaan dari penuntut umum kepada office of enforcement Operation bagian witness security unit yang nantinya akan membuat formulir yang meminta informasi spesifik yang dapat mendukung diterimanya permohonan witness protection program.50 Setelah informasi tersebut diterima, maka akan diserahkan kepada attorney general untuk dievaluasi terkait dengan informasi yang diberikan oleh saksi untuk menentukan apakah saksi dapat mengikuti witness protection program. Sebelum penuntut umum meminta kepada OEO untuk melindungi seorang saksi, sebelumnya terlebih dahulu melewati proses negosiasi dalam Plea Bargaining yang intinya meminta janji terdakwa untuk memberikan kesaksian atas tindak pidana lainnya. Mengenai hal ini disebut sebagai agreements involving cooperation yang berisi mengenai keharusan terdakwa untuk memberikan informasi dan kesaksian mengenai semua tindak pidana lain kapanpun dibutuhkan oleh negara dalam setiap tahapan persidangan ataupun setelah tahap persidangan guna mengetahui keterlibatan
49
USAM Witness Security. 9-21.020
50
USAM Witness Security. 9-21.100. informasi yang dimaksud berisi ringkasan dari kesaksian yang akan diberikan oleh saksi dan informasi lainnya terkait dengan bukti-bukti yang diberikan oleh saksi pelaku yang bekerjasama, ancaman kepada saksi dan segala resiko yang mungkin akan diterima oleh saksi. Informasi lainnya juga dapat berupa evaluasi kondisi psikologis saksi dan informasu mengenai anggota keluarga saksi yang berusia diatas 18 tahun yang akan mengikuti program witness protection, serta catatan kriminal saksi.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
18
pihak lain ataupun informasi mengenai aset yang hilang atau aset hasil tindan pidana.51 Terkait dengan kewenangan untuk pemberian persetujuan seorang saksi dapat masuk program witness protection atau tidak pada dasarnya merupakan kewenangan jaksa agung, namun jaksa agung dapat mendelegasikan kewenangan tersebut kepada unsur pimpinan criminal division meliputi deputy attorney general, the associate attorney general, the assistant attorney general of the criminal and right division, sedangkan OEO Senior associate director memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada pejabat berwenang diatas untuk menyetujui seorang saksi dapat masuk program perlindungan atau tidak, apabila OEO Senior associate director berhalangan maka OEO Director berwenang untuk menggantikan kewenangannya. 52 Setelah oeo menerima aplikasi permohonan perlindungan saksi, secepat mungkin oeo akan mengatur pertemuan antara us marshals dengan saksi untuk memberitahukan hal-hal apa yang akan diterima saksi dan yang tidak diterima saksi terkait dengan witness protection program.53 Investigative agency dan penuntut umum tidak berwenang untuk menjanjikan saksi mengenai witness protection service sebelum permohonan witness protection dikabulkan oleh lembaga yang berwenang.54 Dari uraian yang diatas maka terlihat bahwa dalam melaksanakan witness protection program dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berada satu atap dengan Department of Justice yaitu Criminal Division (yang salah satu lembaga didalamnya yaitu office of enforcement operation) selaku lembaga yang membawahi mekanisme administratif dan U.S Marshals selaku lembaga yang melaksanakan perlindungan kepada saksi. Melihat karakteristik antara prosedural dan pelaksanaan perlindungan saksi di Indonesia dan Amerika serikat maka dapat ditarik kesimpulan berupa: a) Program perlindungan saksi di Indonesia dijalankan oleh LPSK selaku lembaga independen, sedangkan program perlindungan saksi di Amerika Serikat dijalankan oleh lembaga-lembaga dibawah Department of Justice. 51
David Taylor Shannon. Making Your Deal With The Devil:Plea Agreements Under The Federal Rules, Federal Sentencing Guidelines, hlm. 28. 52
USAM Chapter Witness Security. 9-21.200.
53
Ibid., 9-21.300.
54
Ibid., 9-21.310.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
19
b) Kewenangan
pemberian
persetujuan
perlindungan
saksi
dan
pelaksana
perlindungan saksi di Indonesia seluruhnya merupakan kewenangan LPSK, sedangan di Amerika Serikat memisahkan prosedur pemberian persetujuan dengan pelaksanaan pemberian perlindungan yang masing-masing dijalankan oleh Criminal Division dan U.S. Marshals. c) Di Amerika Serikat terdapat proses Plea Bargaining yaitu proses negosiasi antara terdakwa dan penuntut umum yang salah satunya dapat berisikan perjanjian bahwa si terdakwa bersedia untuk memberikan kesaksian bagi terdakwa lainnya. Dan atas kesediannya tersebut maka penuntut umum memohonkan kepada lembaga yang berwenang untuk memberikan perlindungan bagi dirinya
3. Analisis Mengenai Hubungan Antara Pelaku yang Bekerjasama Membongkar Suatu Tindak Pidana dengan Hak Untuk Tidak Dilakukan Penuntutan Bagi Dirinya. Selain memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan, penuntut umum juga berwenang untuk melakukan penghentian penuntutan., secara umum penghentian penuntutan dibedakan menjadi dua jenis, penghentian penuntutan atas dasar kepentingan hukum dan kepentingan umum. Penghentian penuntutan atas dasar kepentingan hukum merupakan salah satu kewenangan penuntut umum yang diatur dalam pasal 140 ayat 255 sedangkan penghentian penuntutan atas dasar kepentingan umum merupakan kewenangan jaksa untuk menutup perkara atas dasar kepentingan umum (Depoonering) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan. a) Penghentian penuntutan untuk kepentingan hukum. seperti yang sempat disinggung sebelumnya, penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penuntutan untuk kepentingan hukum berdasarkan pasal 140 ayat 2 KUHAP. Pasal 140 (2) menyebutkan bahwa penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu perkara, hal ini diartikan hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. 56 dalam menghentikan penuntutan untuk kepentingan hukum, penuntut umum mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP). 55
Dalam pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap pasal 140 ayat 2 menyebut terminologi “dihentikan perkara demi kepentingan hukum” 56
M. Yahya Harahap(b), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002). hlm. 436.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
20
Dalam menghentikan suatu perkara atas kepentingan hukum, penuntut umum mengacu kepada syarat-syarat yang telah ditentukan diantaranya dalam buku 1 KUHP bab VIII tentang hapusnya hak menuntut seperti yang tersebut dalam pasal 76, 77, dan 78 KUHP. 57 Alasan lainnya dilakkukan penghentian penuntutan adalah karena perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan, diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim.58 Alasan selanjutnya adalah apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukanlah suatu tindak pidana kejahatan ataupun pelanggaran. 59 Alasan-alasan penghentian penuntutan demi hukum yang telah disebutkan diatas didasarkan kepada alasan hukum dan demi tegaknya hukum.60 sehingga, apabila penuntut umum melakukan penghentian penuntutan diluar dari apa yang telah diatur, maka sesuai pasal 77 kuhap menimbulkan hak bagi pihak-pihak tertentu untuk mengajukan praperadilan atas penghentian penuntutan yang tidak sah. 61 b) Penghentian penuntutan unuk kepentingan umum. Penghentian penuntutan untuk kepentingan umum disebut juga sebagai deponering. Perbedaan dengan penghentian penuntutan untuk kepentingan hukum adalah dalam deponering sebenarnya perkara yang bersangkutan sudah cukup alasan dan bukti untuk diajukan kemuka persidangan namun perkara ini sengaja dikesampingkan dengan alasan kepentingan umum. 62 Yang dimaksud sebagai kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas.63 Yang dapat melakukan penyampingan perkara demi kepentingan umum hanyalah jaksa agung. 64
57
Alasan penghentian penuntutan terdapat dalam bab VIII Buku I KUHP diantaranya berupa ne bis in idem, terdakwa meninggal, dan daluwarsa. 58
Yahya Harahap (b), Op.Cit., hlm. 437.
59
Ibid.
60
Ibid., hlm. 438.
61
Indonesia (b), Op.Cit., Pasal 77 KUHAP jo. Penjelasan pasl 77 KUHAP.
62
Yahya Harahap (b), Op.Cit., hlm. 436.
63
Indonesia (d), Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, LN. No. 67, TLN No. 4401. Penjelasan pasal 35 64
Undang-undang kejaksaan mengamanatkan bahwa penyampingan perkara demi kepentingan umum hanya dapat dilakukan oleh jaksa agung dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga-lembaga terkait dengan masalah tersebut.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
21
Akibat hukum yang timbul dari penghentian perkara tersebut. apabila penghentian perkara demi kepentingan hukum diuji keabsahannya dalam praperadilan, dan hakim menyatakan penghentian penuntutan dilakukan secara tidak sah, maka akibat hukum yang timbul adalah perkara tersebut haruslah dilanjutkan. 65 Sedangkan apabila suatu perkara dideponering, maka akibat hukum yang timbul adalah perkara tersebut tidak dapat diajukan lagi kemuka persidangan.66 Mekanisme lain yang berkaitan dengan tidak dapat dituntutnya seseorang juga terdapat dalam pasal 10 (1) Undang-Undang LPSK yang mengamanatkan seorang saksi, korban ataupun pelapor tidak dapat dituntut berdasarkan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. Ketentuan ini merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi seorang Whistleblower dari kemungkinan adanya serangan balik dari pihak yang ia laporkan. Apabila dikaitkan dengan kasus Susno Duadji yang sempat menimbulkan polemik mengenai dapat dituntut atau tidaknya Susno Duadji atas tuduhan tindak pidana yang ia lakukan, maka penulis berpendapat untuk menganalisa dari sudut pandang alasan-alasan yang menggugurkan hak menuntut dan menimbulkaan penghentian penuntutan dan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang LPSK. a. penghentian penuntutan demi kepentingan hukum. seperti yang telah disebutkan diatas, ada tiga alasan dalam menghentikan perkara demi kepentingan hukum yang pertama adanya alasan-alasan yang menggugurkan hak menuntut, kedua tidak cukup bukti mengenai tindak pidana yang dituduhkan dan yang ketiga perkara tersebut bukanlah suatu tindak pidana. Untuk kedua alasan yang terakhir, mengingat telah dilimpahkannya perkara tersebut ke persidangan maka penuntut umum selaku pemegang kekuasaan dalam melakukan penuntutan telah meyakini terdapat cukup bukti atas tindak pidana yang dituduhkan kepada Susno Duadji, begitupula dengan alasan perkara tersebut bukanlah suatu tindak pidana, dengan dilimpahkannya perkara tersebut kemuka persidangan maka penuntut umum dapat dikatakan juga telah meyakini bahwa perkara yang dituduhkan kepada terdakwa memang merupakan suatu tindak pidana. Begitupula dengan alasan gugurnya hak menuntut, perkara Susno Duadji berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya tidak memenuhi unsur ne bis in idem, terdakwa meninggal dunia ataupun daluwarsa. Sehingga dapat disimpulkan dalil bahwa Susno Duadji secara hukum tetap dapat dilakukan penuntutan.
65
Yahya Harahap (b), Op.Cit., hlm. 439.
66
Ibid., hlm. 438.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
22
b. tidak dapat dilakukan penuntutan berdasarkan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 pada sub-bab sebelumnya telah dibahas mengenai kedudukan Susno Duadji sebagai seorang Whistleblower atau Justice Collaborator. Penulis berpendapat bahwa Susno Duadji tidak tepat masuk kedalam kategori Whistleblower untuk tindak pidana yang dituduhkan kepadanya yaitu perkara PT SAL dan Pemotongan biaya pengamanan pilkada jabar karena ia terlibat didalam dua tindak pidana tersebut, meskipun perkara PT SAL terbongkar salah satunya karena ada informasi dari Susno Duadji tetapi ia masuk kategori Participant Whistleblower yang disetarakan dengan Justice Collaborator. Selain itu untuk tindak pidana pemotongan biaya pengamanan pilkada jabar Susno Duadji tidak mengungkap tindak pidana tersebut maupun membantu aparat penegak hukum menyelesaikan perkara tersebut baik dalam bentuk memberikan
informasi ataupun membantu menemukan bukti-bukti.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, maka dalil Susno Duadji mengenai seharusnya ia tidak dituntut karena ia berjasa membongkar tindak pidana67 menurut penulis tidak tepat. Hal ini dikarenakan kedudukan Susno Duadji dalam perkara yang melibatkannya tidak tepat disebut sebagai Whistleblower karena ia juga terlibat dalam tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, hal ini juga dikuatkan dengan perlindungan yang diberikan kepada Susno Duadji oleh LPSK yang didasarkan pada pasal 10 ayat (2) Undang-Undang LPSK bukan pasal 10 (1) sehingga dapat disimpulkan LPSK juga berpendapat bahwa Susno Duadji bukanlah seorang Whistleblower dalam perkara yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi, mengingat fakta berupa Susno Duadji juga mengungkap tindak pidana lain yang sampai saat ini tidak ada indikasi keterlibatan dirinya yaitu salah satunya dugaan penyelewengan penanganan perkara gayus tambunan, maka seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya untuk kasus ini tepat apabila Susno Duadji dikatakan sebagai Whistleblower sehingga ia tidak dapat dituntut atas keterangannya mengenai tindak pidana ini. Berkaitan dengan tidak dituntutnya seseorang, selain berhubungan dengan asas oportunitas juga berkaitan dengan asas legalitas. 68 Asas oportunitas sebagai dasar untuk tidak 67
Mahkamah Konstitusi, Sinopsis Putusan 42 PUU VIII 2010 Perlindungan Saksi dan Korban, Dalil
ini dapat dilihat dalam keterangan Susno Duadji dalam sidang pengujian undang-undang LPSK di Mahkamah Konstitusi. 68
Asas legalitas dalam konteks hukum acara pidana mengacu kepada seseorang haruslah dituntut apabila melanggar ketentuan pidana. Selain dengan pengertian asas legalitas dalam konteks hukum pidana yaitu seseorang hanya dapat dituntut atas suatu perbuatan yang telah diatur dalam undang-undang dan tidak dapat dituntut atas hukum yang berlaku surut.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
23
melakukan penuntutan di Indonesia berbeda dengan di beberapa negara lain. Di Indonesia, hanya Jaksa Agung yang memiliki kewenangan untuk mengenyampingkan pekara untuk kepentingan umum, sebagai perbandingan di beberapa negara lain seperti denmark, belanda dan Amerika serikat, kewenangan untuk mengenyampingkan perkara melekat pada setiap penuntut umum. Di Amerika Serikat dimungkinkan untuk mempertimbangkan seorang terdakwa untuk tidak dituntut dalam suatu proses Plea Bargaining disebutkan sebelumnya bahwa informasi yang dimiliki oleh terdakwa mungkin sangat penting bagi kepentingan masyarakat, dan untuk menilai penting atau tidaknya, penuntut umum perlu memperhatikan hal-hal seperti kepentingan dilakukannya penyidikan dan penuntutan kasus tersebut untuk kepentingan penegakan hukum, nilai dari tingkat kooperatifitas terdakwa dalam penyidikan dan penuntutan, serta keterlibatan terdakwa dalam perkara tersebut dan catatan kriminal terdakwa.69 dalam beberapa kasus dalam melakukan kesepakatan untuk tidak melakukan penuntutan, penuntut umum harus mendapatkan persetujuan dari assistant attorney general, yaitu untuk kasus-kasus yang ditentukan oleh undang-undang harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu sebelum dilakukannya kesepakatan untuk tidak melakukan penuntutan, atau kasus-kasus yang melibatkan federal official, state official atau local official, official atau agent dari federal investigative atau law enforcement agency, dan kasus yang menyita perhatian publik. 70 Kesimpulan 1. Justice Collaborator dan Whistleblower pada dasarnya sama-sama merupakan pihak yang membantu aparat penegak hukum dalam membongkar suatu tindak pidana. Akan tetapi antara Justice Collaborator dan Whistleblower terdapat perbedaan yang sangat mendasar yaitu apakah terlibat atau tidaknya ia dalam tindak pidana yang ia bongkar. Apabila melihat pada contoh kasus Susno Duadji yang telah memberikan informasi-informasi mengenai dugaan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam kasus penyelewengan penanganan perkara gayus tambunan dan tindak pidana lain yang sering dilakukan oleh kalangan aparat penegak hukum kepada publik maka Susno Duadji dapat dikategorikan sebagai seorang Whistleblower karena ia sendiri tidak terlibat dalam tindak pidana tersebut, namun 69
USAM Principles of Federal Prosecution. 9-27-620.
70
Ibid., 9-27.640. kasus-kasus tertentu yang dimaksud diantaranya seperti kasus bankruptcy frauds dan internal security offense
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
24
untuk tindak pidana yang melibatkan ia pada kasus suap pt sli dan penyelewengan dana pengamanan pemilihan kepala daerah jawa barat, Susno Duadji tidak dapat dikategorikan sebagai seorang Whistleblower karena ia terlibat dalam tindak pidana tersebut sehingga lebih tepat apabila ia dikategorikan sebagai seorang Justice Collaborator. 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan lembaga yang berwenang memberikan perlindungan sekaligus menjalankan perlindungan kepada saksi yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum. apabila dikaitkan dengan kasus Susno Duadji, lembaga perlindungan saksi dan korban berperan dalam memutuskan pemberian perlindungan kepada Susno Duadji sebagai seorang Justice Collaborator berdasarkan pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006. Pemberian perlindungan kepada Susno Duadji terlihat dari surat perjanjian perlindungan saksi kepada Susno Duadji sebagai seorang Justice Collaborator dan atas perlindungan LPSK kepada Susno Duadji inilah yang menjadi pertimbangan kepada penuntut umum dan majelis hakim dalam memberikan keringanan tuntutan dan hukuman kepada Susno Duadji. 3. Terkait dengan hak untuk tidak dilakukan penuntutan oleh penuntut umum di Indonesia dibatasi oleh dua hal yaitu atas dasar kepentingan umum dan kepentingan hukum. apabila dikaitkan dengan kasus Susno Duadji yang sempat menimbulkan pertanyaan apakah Susno Duadji seharusnya tidak dapat dituntut karena telah berjasa membongkar tindak pidana maka dapat disimpulkan bahwa meskipun ia membongkar tindak pidana lain tidak berarti kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan kepada dirinya menjadi hapus. Dalam kasus yang melibatkan dirinya yaitu suap penanganan perkara pt sal dan penyelewenangan dana pengamanan pemilihan kepada daerah jawa barat tetap dapat dilakukan penuntutan karena dalam kasus tersebut terbukti bahwa Susno Duadji terlibat didalamnya, selain itu informasi mengenai tindak pidana yang ia ungkap kepada publik tidak terkait dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya melainkan informasi mengenai tindak pidana yang lain. Saran 1. Untuk menjamin kepastian hukum dan tentunya menjamin perlindungan bagi saksi pelaku yang bekerjasama maka penulis berpendapat diperlukan definisi khusus mengenai seorang Justice Collaborator dan Whistleblower disertai dengan
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013
25
sinkronisasi persyaratan yang jelas mengenai syarat tertentu bagi seseorang untuk menjadi seorang Justice Collaborator ataupun Whistleblower. 2. Salah satu poin penting dalam mempertimbangkan seseorang masuk kedalam kriteria Justice Collaborator ataupun Whistleblower adalah pentingnya informasi yang ia berikan, penulis berpendapat bahwa secara objektif pihak yang dapat menilai suatu keterangan saksi berguna atau tidak bagi kepentingan proses persidangan adalah penuntut umum. Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator ataupun Whistleblower dapat menjadi kewenangan penuntut umum sedangkan untuk menjalankan perlindungan tersebut dapat dijalankan oleh LPSK. 3. Tidak dilakukannya penuntutan terhadap seseorang dapat menjadi salah satu stimulus untuk memicu timbulnya saksi pelaku yang bekerjasama, namun di Indonesia kewenangan untuk tidak melakukan penuntutan atas dasar asas oportunitas hanya merupakan kewenangan dari Jaksa Agung. Penulis berpendapat meskipun tidak semua penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan pengenyampingan penuntutan, namun perlindungan berupa untuk tidak dituntutnya saksi pelaku yang bekerjasama yang benar-benar memiliki informasi penting dapat dijalankan. ketentuan ini memiliki keterkaitan erat dengan salah satu bentuk perlindungan bagi seorang saksi pelaku yang bekerjasama. Sejalan dengan kovenan internasional seperti UNCAC yang telah mengakomodir dimungkinkannya untuk tidak melakukan penuntutan bagi saksi pelaku yang bekerjasama dan bukan pelaku utama.
Universitas Indonesia
Kedudukan pelaku ..., Ichsan Zikry, FH UI, 2013