Febriza Putri dan Chandra Motik Yusuf. Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Abstrak

PENERAPAN ASAS CABOTAGE DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN TERHADAP KAPAL PENUNJANG KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI Febriza Putri dan Chandra Motik Yusuf Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abstrak Asas cabotage di Indonesia merupakan kebijakan yang mengharuskan kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh warga negara Indonesia. Asas cabotage tersebut diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang mana pada ketentuan peralihannya mengatur bahwa kapal asing yang melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tidak dapat lagi melakukan kegiatannya mulai tanggal 7 Mei 2011. Ketentuan dalam Undang-Undang ini menimbulkan reaksi khususnya di kalangan pelaku usaha industri minyak dan gas bumi karena kapal-kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi lepas pantai sebagian besar masih berbendera asing pada saat itu. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan yang mengatur bahwa kapal asing yang melakukan kegiatan penunjang usaha minyak dan gas bumi masih tetap dapat beroperasi maksimal hingga akhir Desember 2015. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif hukum. Penulis melakukan analisis penerapan dan kedudukan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tersebut terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang secara substansi tidak sejalan atau bertentangan dengan asas hukum bahwa norma hukum yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi derajatnya (lex superior derogate legi inferiori).

Kata Kunci: Asas cabotage; kapal asing; kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi.

Abstract Indonesia's cabotage principle is a policy that requires domestic marine transportation activities conducted by national shipping companies to use Indonesian-flagged vessels and manned by Indonesian citizens. Cabotage principle is implemented in the Law No. 17 Year 2008 on the voyage, which is the provision of its transitional states that foreign vessels serving domestic marine transportation activities shall no longer perform its activities began on May 7, 2011. The provisions in this Act had a reaction especially among oil and gas businessmen because of the oil and gas offshore support vessels are still largely foreign-flagged at that time. Thus, Government issued Government Regulation No. 22 Year 2011 regarding Amendment to Government Regulation No. 20 Year 2010 on Water Transportation governing that foreign vessels conducting business activities in the field of oil and gas are still able to operate up until the end of December 2015. The research method is a normative legal research. Authors analyze the implementation and status of Government Regulation No. 22 Year 2011 against the Law No. 17 Year 2008 on the voyage which is substantially inconsistent or in conflict with the legal principle that lower legal norms degree must not conflict with the more high legal norms degree (lex superior derogate legi inferiori). Keywords: Cabotage principle; foreign vessel; oil and gas support vessel.

Penerapan asas..., Febriza Putri, FH UI, 2013.

Pendahuluan Laut Indonesia dinilai berpotensi besar karena didukung oleh faktor geografis yang terletak di antara dua benua Asia dan Australia serta dua Samudera Pasifik dan Hindia.1 Selain berpotensi dalam menunjang aktivitas perdagangan internasional, dimana sebesar 90% perdagangan internasional diangkut melalui laut yang mana 40% perdagangan tersebut melalui perairan Indonesia, laut Indonesia juga berpotensi karena memiliki cadangan minyak dan gas bumi (migas) di bawahnya.2 Bahkan sejak Sidang Umum I UNCTAD pada tahun 1964, disadari bahwa pelayaran atau angkutan laut dalam negeri memegang peranan penting dalam perdagangan dan neraca pembayaran luar negeri negara-negara berkembang.3 Hal inilah yang menjadi awal mula perlu diterapkannya asas cabotage sebagai bentuk perlindungan yang didasarkan pada pemikiran bahwa transportasi laut dalam negeri mempunyai peranan strategis dan signifikan dalam pembangunan nasional, mulai bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan sampai keamanan.4 Pemberlakuan asas cabotage ini berarti memberikan hak perusahaan angkutan dari negara Indonesia untuk melakukan kegiatan perdagangan atau kegiatan komersial secara eksklusif dalam artian bahwa setiap kegiatan angkutan laut dalam negeri harus dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal yang berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.5 Penerapan asas cabotage sesungguhnya telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 50-an, ditandai dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda pada tahun 1957 yang menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip archipelagic state sehingga laut antar pulau 1

Indonesia memiliki wilayah lautan seluas 5,8 Juta km persegi, wilayah daratan seluas 1,9 juta km persegi, panjang garis pantai 104 ribu km, serta 17.504 pulau (http://statistik.kkp.go.id/kpda11_ok_r06_v02.pdf diunduh pada tanggal 27 September 2012). 2

INSA, “Video Kesuksesan Cabotage 2013” diputar pada kesempatan yang dihadiri penulis dalam 5th Indonesia Maritime Advocation Forum, pada tanggal 10-11 April 2013, di Jakarta Convention Center. 3

M. Husseyn Umar (b), Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia III, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 3. 4 Indonesia Maritime Institute, “ASAS CABOTAGE, Pelayaran Nasional Tersenyum..?” http://indomaritimeinstitute.org/?p=1525 diunduh pada tanggal 26 September 2012. 5

M. Husseyn Umar (a), Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 138 dan INCAFO (a), Evaluasi dan Resolusi Penerapan Asas Cabotage dalam Rangka Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional sebagai Lokomotif Kebangkitan Ekonomi Bangsa, (Jakarta: ILUNI FTUI, 2011), hlm. 3.


adalah bagian yang tak terpisahkan dari NKRI.6 Kemudian barulah pada tanggal 28 Maret 2005 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inilah tonggak kongkret diberlakukannya kembali asas cabotage secara utuh untuk memberdayakan industri pelayaran nasional meskipun dari segi produk hukum tidak mengikat secara kuat, akan tetapi instruksi presiden ini dinilai mampu mengakomodir seluruh pihak yang terkait/stakeholder industri pelayaran nasional guna bersama melaksanakan amanat berupa cabotage sesuai tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.7 Seiring dengan perkembangan zaman dan dorongan dari berbagai pihak, pada tanggal 7 Mei 2008 lahirlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992.8 Secara teknis, penerapan asas cabotage dalam Undang-Undang Pelayaran tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Di Perairan yang menegaskan bahwa penyelenggaraan angkutan dilaksanakan dengan cara memberlakukan asas cabotage secara konsekuen dan konsisten, agar perusahaan angkutan laut nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri.9 Namun pada kenyataannya, pemberlakuan asas cabotage belum dapat dilaksanakan secara konsekuen pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi lepas pantai karena belum tersedianya atau belum cukup tersedianya kapal-kapal penunjang kegiatan usaha migas berbendera Indonesia.10 Kondisi ini dikhawatirkan akan mengakibatkan terganggunya kelangsungan kegiatan minyak dan gas bumi di lepas pantai, yang berdampak pada ketahanan energi nasional dan pembangunan nasional yang berkelanjutan mengingat

6

INCAFO, Op.Cit., hlm. 13. Berdasarkan sejarahnya, Pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia telah menerapkan cabotage melalui Undang-Undang Pelayaran 1936 (Indische Scheepvaartswet) yang memberikan hak monopoli kepada kapal-kapal berbendera Belanda, yaitu Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang merupakan perusahaan pelayaran milik pemerintah Belanda, untuk mengangkut barang-barang dari Indonesia yang dahulu disebut Hindia Belanda. 7

INCAFO, Ibid. Inpres No. 5 Tahun 2005 ini diinstruksikan kepada 13 (tiga belas) menteri dan gubernur serta bupati seluruh Indonesia untuk dapat mengoptimalkan perannya dalam mendukung terlaksananya prinsip cabotage secara murni dan konsekuen di Indonesia. 8

Indonesia (c), Undang-undang tentang Pelayaran, UU No. 17 Tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, TLN No. 4849. Pihak-pihak tersebut adalah para Akademisi, Businessman, dan Government atau dikenal dengan sebutan ABG (Hasil wawancara dengan Idris Hadi Sikumbang, ST, M. Eng., Koordinator Indonesia Cabotage Advocation Forum (INCAFO)). 9

INCAFO (a), Op.Cit., hlm. 12.

10

Buletin BP Migas, “Asas Cabotage, Anugerah atau Musibah?”, http://www.bpmigas.go.id/wpcontent/uploads/2011/02/edisi.58.pdf diunduh pada tanggal 27 September 2012.


sebagian besar sumber APBN masih ditunjang oleh sektor migas, selain dari sektor perpajakan.11 Oleh karena itu, untuk meredam protes yang terjadi di kalangan perusahaan minyak, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Di Perairan.12 Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 48 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri.13 Peraturan tersebut menyebutkan bahwa kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia, namun dengan syarat bahwa kapal asing tersebut wajib memiliki izin dari Menteri Perhubungan.14 Diterbitkannya kedua peraturan tersebut dinilai sebagai suatu bentuk komitmen pemerintah dalam menjamin keberlangsungan kegiatan eksplorasi dan eksplotasi minyak dan gas bumi, dengan tetap memberikan prioritas utama kepada industri pelayaran nasional. Dengan begitu, terkait dengan produksi minyak yang ditargetkan pemerintah sebesar 930 ribu barel per hari dapat tercapai mengingat pada perhitungan hingga akhir Mei 2012, rata-rata produksi minyak nasional hanya mencapai 877,3 ribu barel per hari.15

11

Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan, “Asas Cabotage Tidak Dilanggar”, http://www.dephub.go.id/read/berita/direktorat-jenderal-perhubungan-laut/4443 diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012. 12

Indonesia (e), Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan, PP No. 22 Tahun 2011, Lembaran Negara Nomor 43 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5208, Pasal 5 ayat (2). 13

Indonesia (f), Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri, PM 48 Tahun 2011, Lampiran II. 14

Yang dimaksud dengan kegiatan lain tersebut adalah kegiatan dalam rangka menunjang kelangsungan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, kegiatan pengerukan, kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air. Indonesia (d), Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di Perairan, PP No. 20 Tahun 2010, LN No. 26 Tahun 2010, penjelasan Pasal 5 ayat (2)). 15

Realisasi produksi minyak mentah siap jual (lifting) Indonesia, pada periode (Desember 2011-Mei 2012) rata-rata mencapai 877,3 ribu barel per hari. Jumlah tersebut sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasi semester I tahun 2011 yang sebesar 879 ribu barel per hari. (Direktorat Jenderal Anggaran, “Laporan Pelaksanaan APBN Semester I 2012”, http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/Laporan%20Semester%202012.pdf diunduh pada tanggal 7 Februari 2013).


Di sini penulis menemukan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 terpaksa dikeluarkan untuk mengakomodir khususnya kepentingan industri migas. Hal ini dikarenakan bagi industri migas, adanya Peraturan Pemerintah ini menjadikan kapal-kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang belum mampu untuk dimiliki warga negara atau perusahaan Indonesia, yakni berbendera asing, tetap dapat beroperasi maksimal hingga akhir Desember 2015, sehingga diharapkan tidak akan mengganggu ketahanan energi nasional. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah menetapkan bahwa dalam Pasal 341, asas cabotage berlaku efektif mulai tanggal 7 Mei 2011. Selanjutnya, jika ditinjau dari kedudukan peraturan perundang-undangan Indonesia, seharusnya ketentuan mengenai kebolehan beberapa jenis kapal asing untuk berada di perairan Indonesia tidak tepatlah diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun justru harus diatur dalam peraturan yang setingkatnya, yaitu Undang-Undang. Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan asas cabotage setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan? 2. Bagaimana kedudukan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran? Secara umum, tujuan dari penelitaian ini adalah untuk mengkaji secara mendalam mengenai sejauh mana Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 dapat mengakomodir kepentingan industri minyak dan industri maritim sehingga potensi laut Indonesia yang begitu kaya dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi semua sektor. Sementara secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan dan kedudukan asas cabotage setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011. Tinjauan Teoretis 1. Asas Cabotage Cabotage menurut Black's Law Dictionary adalah “The carrying on of trade along a country’s coast; the transport of goods or passengers from one port or place to another in the same country. The privilege to carry on this trade is usually limited to vessels flying the


flag of that country.”16 Menurut Undang-Undang Maritim Kanada, “No foreign ship or non-duty paid ship shall, except under and in accordance with a licence, engage in the coasting trade.”17 Menurut Husseyn Umar, “cabotage merupakan pemberian hak istimewa kepada kapal-kapal niaga berbendera negara yang bersangkutan untuk melakukan angkutan barang atau orang dari atau ke pelabuhan-pelabuhan negara yang bersangkutan yang dikaitkan dengan ketentuan perundang-undangan bahwa kapal yang bersangkutan harus dimiliki ataupun dioperasikan oleh warga negara atau badan usaha yang dibentuk berdasarkan hukum negara tersebut dan kapal bersangkutan harus berbendera negara tersebut.”18 2. Kapal Dalam Konvensi London 1954 tentang Pencegahan Polusi Laut dan Konvensi London 1973 tentang Minyak dan Pencegahan Polusi Kapal terdapat didalamnya pengertian kapal, yaitu mencakup bangunan permanen (rig-rig) maupun berbentuk floating platforms di laut lepas.19 Selanjutnya, dalam Konvensi London 1972 tentang Peraturan Internasional Pencegahan Tubrukan di Laut menggunakan kata “vessel” untuk menggantikan kata “ship” dan mendefinisikan “vessel” sebagai “...every description of water craft, including nondisplacement craft and seaplanes used or capable of being used as a means of transportation on water.”20 Sedangkan pengertian kapal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran lebih bersifat teknis dimana dalam pasal 1 angka 36 merumuskan bahwa kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.21

215.

16

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ed. 8, (St. Paul Minnesota: Thomson West, 2004), hlm.

17

Canadian Coasting Trade Act, S.C. 1992, Chapter 31, dimuat dalam http://www.canlii.com/ca/sta/c33.3/ diunduh pada tanggal 30 Desember 2012. 18

Umar (a), Op.Cit.

19

Brian Baker, “Flags of convenience and the Gulf oil spill: problems and proposed solutions”, Houston Journal of International Law Summer 2012, http://www.gale.cengage.com/AcademicOneFile/ diunduh pada tanggal 10 Januari 2013. 20

Ibid.

21

Indonesia (c), Op. Cit., Pasal 1 angka 36.


3. Norma Hukum Hans Kelsen yang diilhami oleh seorang muridnya bernama Adolf Merkl, mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (stufenbautheorie) yang berpendapat bahwa normanorma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).22 Grundnorm atau disebut juga asas-asas hukum merupakan norma tertinggi dalam jajaran hukum yang menjadi dasar atau sumber dari norma-norma hukum selanjutnya (hukum yang positif).23 Menurut teori ini, dasar (legalitas) dari suatu norma ada pada norma yang lebih tinggi tingkatannya sehingga norma yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi tingkatannya.24 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang berarti bahwa penelitian ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dengan pendekatan yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan penulis adalah data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari kepustakaan dengan cara membaca peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel, atau bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian yang dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian. Terdapat alat pengumpulan data yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini. Alat pengumpulan data yang dimaksudkan untuk mendukung perolehan data tersebut, adalah: a. Penelitian kepustakaan Studi kepustakaan ini bertujuan untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai konsep asas cabotage terutama setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011. b. Wawancara 22

Maria Farida Indrati Soeprapto dalam Buku Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 41. 23

Amiroedin Sjarif, Perundang-Undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 8. 24

Ibid., hlm. 11.


Disamping penelitian kepustakaan, untuk memperoleh data, penulis juga melakukan wawancara dengan narasumber, yang mengerti serta menguasai permasalahan mengenai penerapan asas cabotage, khususnya yang terkait dengan usaha jasa perhubungan laut. Diantaranya dengan Koordinator Indonesia Cabotage Advocation Forum (INCAFO) Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Partner Lawfirm Kincaid Brazil, Ketua Bidang Angkutan Lepas Pantai DPP INSA, dan pengajar Ilmu Perundangundangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hasil Penelitian Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 disambut baik oleh para stakeholder di industri migas. Hal ini dikarenakan kapal asing masih dapat beroperasi di wilayah perairan Indonesia sepanjang tidak melakukan kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang. Dengan kata lain, kapal asing yang melakukan kegiatan penunjang usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi masih dapat beroperasi selama kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 dikeluarkan untuk mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010, yaitu pertama, ketentuan dalam pasal 5 ayat (2) diubah menjadi sebagai berikut: (2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang antarpelabuhan laut di wilayah perairan Indonesia. Sebelumnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2011 berbunyi sebagai berikut: (2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang antarpelabuhan laut serta kegiatan lainnya yang menggunakan kapal di wilayah perairan Indonesia. Dapat dilihat dengan jelas bahwa terdapat norma yang dihilangkan dalam Peraturan Pemerintah yang baru tersebut, yaitu penghapusan ketentuan mengenai “kegiatan lainnya yang menggunakan kapal”, sehingga definisi mengenai kegiatan angkutan laut dalam negeri hanya terbatas dalam hal kegiatan yang dilakukan untuk mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang. Selain itu, penjelasan pasal 5 ayat (2) dihapus sehingga tidak terdapat definisi mengenai “kegiatan lainnya yang menggunakan kapal” sebagaimana yang telah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah terdahulu. Kemudian, pada Peraturan Pemerintah baru ini, ketentuan dalam pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) dihapus sehingga kapal asing dapat melakukan kegiatan angkutan dalam negeri sepanjang kegiatannya tidak untuk mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau


barang. Dengan kata lain, kapal asing dapat kembali masuk ke wilayah perairan Indonesia untuk melakukan kegiatan angkutan dalam negeri terutama dalam hal kegiatan peunjang usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi. Hal yang menarik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 ini adalah disisipkannya satu bab yang berbunyi:25

(1)

(2) (3)

(4)

BAB XIIIA KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 206a Kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia. Kapal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin dari Menteri. Kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. survey minyak dan gas bumi; b. pengeboran; c. konstruksi lepas pantai; d. penunjang operasi lepas pantai; e. pengerukan; dan f. salvage dan pekerjaan bawah air. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Berdasarkan penyisipan pasal tersebut, maka kegiatan lainnya terutama dalam

kegiatan industri minyak dan gas bumi lepas pantai dapat dilakukan oleh kapal asing. Kapal asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia tersebut wajib memiliki izin dari Menteri Perhubungan terlebih dahulu serta harus memenuhi syarat bahwa kapal asing diperkenankan beroperasi sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia. Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 48 Tahun 2011. Kapal asing tersebut harus mendapatkan izin dari Menteri Perhubungan terlebih dahulu dan harus melakukan minimal satu kali upaya pengadaan kapal berbendera Indonesia dan ternyata tidak tersedia kapal sejenis yang berbendera Indonesia yang dibuktikan dengan pengumuman lelang.26 Ketentuan dalam Peraturan Menteri Perhubungan ini mengatur bahwa kapal asing yang melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang, 25

Indonesia (e), Op. Cit., Pasal 206a.

26

Indonesia (f), Op. Cit., Pasal 10 ayat (2).


pengoperasiaannya harus dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan mekanisme carter kapal.27 Izin penggunaan kapal asing diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga bulan dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi.28 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 48 Tahun 2011 mengatur jangka waktu kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang atau barang dalam kegiatan angkutan dalam negeri sebagai berikut: kapal asing untuk kegiatan survei minyak dan gas bumi jangka waktu penggunaannya sampai dengan akhir Desember 2014, kapal asing untuk kegiatan survei pengeboran jangka waktu penggunaannya sampai dengan akhir Desember 2015, kapal asing untuk kegiatan konstruksi lepas pantai jangka waktu penggunaannya sampai dengan akhir Desember 2013, kapal asing untuk kegiatan penunjang operasi jangka waktu penggunaannya sampai dengan akhir Desember 2012, kapal asing untuk kegiatan pengerukan jangka waktu penggunaannya sampai dengan akhir Desember 2013, dan kapal asing untuk kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air jangka waktu penggunaannya sampai dengan akhir Desember 2013. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 dikeluarkan secara terpaksa untuk mengakomodir kepentingan semua pihak. Hal ini dikarenakan bagi industri migas, adanya Peraturan Pemerintah ini menjadikan kapal-kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang belum mampu untuk dimiliki warga negara atau perusahaan Indonesia tetap dapat beroperasi sehingga tidak mengganggu ketahanan energi nasional. Di sisi lain, untuk memberdayakan industri pelayaran nasional, SKK Migas mewajibkan kepada seluruh KKKS untuk menggunakan kapal berbendera Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Pelayaran 2008 dan peningkatan Local Content sesuai PTK Nomor 007-Revisi II dalam rangka mendukung penerapan asas cabotage di perairan Indonesia.29 Menurut Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 terpaksa dikeluarkan bukan untuk menghilangkan asas cabotage namun hanya menunda pelaksanaan asas cabotage di perairan Indonesia secara utuh. Namun, perlu disadari bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 menimbulkan ketidakpastian hukum karena menimbulkan permasalahan terkait jangka waktu penerapan asas cabotage di perairan Indonesia. Seperti yang telah diatur dalam Undang 27

Ibid., Pasal 10.

28

Indonesia (e), Op. Cit., Pasal 10 ayat (3).

29

Johanes Widjonarko, Cabotage Journey 2011-2015 Kegiatan Usaha Hulu Migas, (Reading Material pada 5 Indonesia Maritime Advocation Forum) diselenggarakan oleh INCAFO ILUNI FTUI, pada tanggal 1011 April 2013. th


Undang Pelayaran 2008, asas cabotage secara absolut mulai diterapkan pada 7 Mei 2011, namun dalam Peraturan Pemerintah ini mengecualikan kapal-kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang belum berbendera Indonesia untuk tetap dapat beroperasi hingga akhir Desember 2015. Bagi pelaku usaha di bidang pelayaran nasional merasa bahwa Peraturan Pemerintah ini merupakan suatu kemunduran dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena masih membiarkan kapal asing untuk melakukan kegiatan angkutan laut dalam negeri khususnya dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi lepas pantai. Namun, para pelaku usaha pelayaran nasional menyadari betul bahwa keterbatasan kondisi dalam hal pendanaan kapal berbendera Indonesia khusus migas yang menyebabkan asas cabotage belum dapat diimplementasikan secara tuntas. Oleh karena itu, para pelaku usaha pelayaran nasional bersama dengan pemerintah berusaha untuk menghidupkan industri pelayaran nasional dalam pengadaan kapal-kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang berbendera Indonesia, baik dengan cara peralihan bendera kapal ataupun dengan membuka usaha patungan (joint venture) dengan perusahaan pelayaran asing. Para stakeholder industri pelayaran mencoba untuk bersikap realistis dan terpaksa mendukung adanya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 48 Tahun 2011 untuk menunda realisasi penerapan asas cabotage secara penuh di dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa pemberian dispensasi hingga akhir Desember 2015 bagi kapal asing yang melakukan kegiatan penunjang usaha minyak dan gas bumi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tidak tepat apabila diatur di dalam suatu Peraturan Pemerintah. Padahal dalam Undang-Undang Pelayaran 2008, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilarang untuk dioperasikan oleh kapal asing tanpa pengecualian mulai berlaku pada tanggal 7 Mei 2011. Hal ini dikarenakan, sesuai asas hukum bahwa norma hukum yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi derajatnya (lex superior derogate legi inferiori), maka muatan Peraturan Pemerintah harus sejalan dengan Undang-Undangnya. Apabila dikaitkan, norma hukum dalam Undang-undang Pelayaran 2008 adalah dilarangnya kapal asing melakukan kegiatan angkutan laut dalam negeri yang termasuk didalamnya kegiatan usaha minyak dan gas bumi, sedangkan norma hukum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 adalah dibolehkan dengan syarat tertentu bagi kapal asing untuk melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi di perairan Indonesia.


Pembahasan Asas cabotage merupakan suatu hak eksklusif bagi negara untuk menerapkan peraturan dibidang pelayaran, udara, atau darat dilingkup wilayah kekuasaan negara tersebut melalui peraturan perundang-undangannya sendiri. Di Indonesia, pengaturan mengenai asas cabotage telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yaitu pada Pasal 8 yang menyebutkan bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh (i) perusahaan angkutan laut nasional (ii) dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta (iii) diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.30 Dikarenakan adanya perluasan makna dari apa yang diartikan sebagai kapal, maka penerapan asas cabotage juga berdampak terhadap industri minyak dan gas bumi yang melakukan kegiatan usahanya di lepas pantai di wilayah perairan Indonesia. Kapal-kapal penunjang kegiatan usaha migas ini tentunya harus tunduk kepada peraturan cabotage sebagaimana yang mulai berlaku efektif pada tanggal 7 Mei 2011.31 Sedangkan pada dunia praktiknya, kapal-kapal yang digunakan di sektor migas adalah kapal-kapal dengan teknologi canggih dan fungsi-fungsi khusus yang pada umumnya kapal-kapal tersebut merupakan kapal berbendera asing. Sehingga pada kenyataannya, pemberlakuan asas cabotage belum dapat dilaksanakan secara konsekuen pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi lepas pantai karena belum tersedianya atau belum cukup tersedianya kapal-kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi berbendera Indonesia. Pengaturan asas cabotage diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan untuk meredam protes yang terjadi di kalangan perusahaan minyak karena pemberlakuan asas cabotage dapat menghambat kegiatan industri minyak dan gas bumi. Sebelumnya pemerintah telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Pelayaran 2008 untuk menjawab protes yang dilakukan oleh pelaku usaha dunia migas tersebut. Namun, karena tidak terjadi kesepakatan baik dari pelaku usaha pelayaran dan instansi-instansi pemerintah 30

Indonesia (c), Op.Cit., Pasal 8. Berdasarkan Undang-undang Pelayaran 2008, Indonesia termasuk negara yang menerapkan tipe relaxed cabotage law karena hanya mensyaratkan kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh (i) perusahaan angkutan laut nasional (ii) dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta (iii) diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Tidak diwajibkan oleh Undang-undang Pelayaran ini bahwa kapal harus dibuat di Indonesia. (Michael Igbokwe (a), “The New Cabotage ActIts Intended Effect on The Local Shipping Industry”,http://www.mikeigbokwe.com/new1/Cabotage%20Act.Intended%20Effect.pdf diunduh pada tanggal 19 Maret 2013). 31

Indonesia (c), Op. Cit., Pasal 341.


mengenai perubahan Undang-Undang Pelayaran 2008 tersebut, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 ini sebagai jawaban atas protes tersebut. Dilihat dari segi peraturan, Peraturan Pemerintah merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.32 Menurut Prof. Maria, Peraturan Pemerintah berisi peraturan-peraturan untuk menjalankan Undang-Undang, atau dengan kata lain Peraturan Pemerintah merupakan peraturan-peraturan yang membuat ketentuan-ketentuan dalam suatu Undang-Undang dapat berjalan atau diperlakukan dimana suatu Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya, tetapi walaupun demikian suatu Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun dalam Undang-Undangnya tidak ditentukan secara tegas agar diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.33 Apabila pemerintah memandang perlu untuk melaksanakan suatu undang-undang dengan dengan Peraturan Pemerintah, maka pemerintah dapat membuatnya namun Peraturan Pemerintah tersebut haruslah tetap sebagai peraturan pelaksanaan saja yang tidak menambah atau tidak membuat norma-norma baru.34 Hal ini sesuai pula dengan pendapat Prof. Dr. J.H.A. Logemann yang menyatakan bahwa: “Dit is een zeer ruime bevoegheid, maar het moet uitvoering blijven, geen aanvulling”, artinya ini adalah suatu kewenangan yang sangat luas, tetapi Peraturan Pemerintah haruslah tetap sebagai pelaksanaan belaka tidak ada penambahan.35 Pembentukan Peraturan Pemerintah ialah berdasarkan delegasi kewenangan yang dilimpahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, yaitu Peraturan Pemerintah itu sendiri. Kewenangan delegasi tidak diberikan, melainkan diwakilkan, serta bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.36 Sehingga sebagai peraturan yang mendapatkan delegasi dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah hanya boleh mencantumkan hal seperti kebolehan penggunaan kapal asing dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri dengan beberapa pembatasan apabila ditentukan dalam 32

Indonesia (a), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 5 ayat (2).

33

Soeprapto, Op. Cit., hlm. 194.

34

Sjarif, Op. Cit., hlm. 36.

35

Ibid.

36

Ibid.


Undang-Undang yang dilaksanakannya, sehingga apabila Undang-Undangnya tidak mencantumkan kebolehan penggunaan kapal asing dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri dalam ketentuan pasal-pasalnya, maka ketentuan ketentuan Peraturan Pemerintahnya tidak boleh mencantumkan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah adalah seluruh materi muatan Undang-Undang tetapi sebatas yang dilimpahkan atau hanya sebatas yang perlu dijalankan atau diselenggarakan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah.37 Hal tersebut sejalan dengan prinsip hierarki norma, suatu perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya. Berdasarkan asas ini dapatlah diperinci hal-hal sebagai berikut:38 a. Perundang-undangan

yang

rendah

derajatnya

tidak

dapat

mengubah

atau

mengeyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi yang sebaliknya dapat. b. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya. c. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh perundangundangan yang lebih rendah. d. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat.

37

Indonesia (v), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 10 Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Pasal 10. Saat ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam menganalisis, penulis tidak menggunakan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 telah diundangkan pada tanggal 4 April 2011, sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 baru diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011. Dengan demikian, berdasarkan asas tidak berlaku surut, maka Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dipergunakan untuk menganalisis Peraturan Pemerintah ini. 38

Sjarif, Op.Cit., hlm. 78


Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian ilmiah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis menyimpulkan bahwa: 1.

Apabila saat ditetapkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2005 dan Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor 71 Tahun 2005 Pemerintah cq. BP Migas dapat secara tegas menghimbau kepada para KKKS untuk menggunakan kapal-kapal berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi serta secara konsekuen berusaha untuk mendorong pemberdayaan perusahaan pelayaran nasional agar kapal-kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi dapat dioperasikan oleh kapal berbendera Indonesia, maka asas cabotage di perairan Indonesia sudah dapat diterapkan secara penuh sejak 7 Mei 2011, tanpa harus membuat pengecualiannya seperti saat ini, yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 mengatur bahwa kapal berbendera asing masih dapat beroperasi di wilayah perairan Indonesia sepanjang tidak melakukan kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang. Dengan kata lain, kapal asing yang melakukan kegiatan penunjang usaha minyak dan gas bumi masih dapat beroperasi selama kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia. Kapal asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia tersebut wajib memiliki izin dari Menteri Perhubungan terlebih dahulu. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 ini dianggap sebagai penundaan pelaksanaan asas cabotage, khususnya dalam kegiatan usaha migas, dengan jangka waktu bervariasi tergantung jenis kapal dengan batas maksimal hingga akhir Desember 2015.

2.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 diatur bahwa kapal asing yang melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi masih dapat beroperasi dengan batas maksimal hingga akhir Desember 2015, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah diatur bahwa kapal asing dapat melakukan kegiatan angkutan laut dalam negeri paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran berlaku, yaitu berarti hingga 7 Mei 2011. Berdasarkan sifat dari peraturan pelaksana yaitu bersumber dari kewenangan delegasi, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20


Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan merupakan suatu produk hukum yang tidak tepat karena secara substansi tidak sejalan dengan apa yang diatur oleh Undang-Undang diatasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 saat ini masih berlaku dan diakui keberadaannya karena setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap benar sampai ada pembatalannya. Dengan demikian, kapal asing penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi masih tetap dapat beroperasi hingga akhir Desember 2015, kecuali jika Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Saran Berdasarkan hasil kajian ilmiah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis memberikan saran antara lain: 1. Pemerintah cq. Kementerian ESDM dan SKK Migas diharapkan secara tegas menghimbau kepada para KKKS untuk mengutamakan penggunaan kapal-kapal berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2013 yang mengatur mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN/Local Content) untuk jasa kapal berbendera Indonesia sebesar 35%. Selain itu, Pemerintah diharapkan juga dapat memfasilitasi kontrak jangka panjang dalam kegiatan usaha hulu migas agar kapal dapat digunakan bergantian oleh masing-masing kontraktor eksplorasi mengingat masa kontrak penggunaan kapal untuk kegiatan eksplorasi tidak panjang, maksimal hanya tiga atau empat bulan. 2. Dalam rangka pemberdayaan industri pelayaran nasional, diharapkan Pemerintah cq. Kementerian Perhubungan membantu untuk meningkatkan modal perusahaan pelayaran nasional dan industri galangan kapal nasional agar ketersediaan kapal tertentu penunjang migas dapat tersedia cukup di dalam negeri. Kemudahan yang dapat diberikan yaitu berupa mempercepat ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penahanan Kapal (The International Convention on Arrest of Ships 1999) sehingga lembaga pembiayaan tertarik untuk membiayai proyek pengadaan kapal. Ketentuan penahanan kapal ini memberikan kewenangan kepada lembaga pembiayaan atau perbankan untuk melakukan penahanan kapal milik debitur yang


melanggar ketentuan atau wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya kepada kreditur sehingga peluang industri pelayaran nasional untuk memperoleh pendanaan alternatif dari lembaga keuangan atau perbankan semakin terbuka. 3. Pemerintah perlu menggalakkan joint venture sebagaimana diperbolehkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, agar pengadaan kapal berbendera Indonesia dapat terlaksana melalui investor asing yang bekerjasama dengan investor dalam negeri. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bahwa pengadaan kapal berbendera Indonesia tidak terjangkau dari segi finansial maupun teknologi. 4. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 karena merupakan produk hukum yang tidak tepat. Apabila ingin diatur pengecualian mengenai kapal asing untuk tetap dapat beroperasi, seharusnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran diubah/direvisi dengan menambahkan pengecualian yang bersifat terbatas tersebut. Selain itu, perlu disadari bahwa dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan, Pemerintah seharusnya melakukan studi dan evaluasi yang mendalam guna mengetahui kondisi yang terjadi sebenarnya di kehidupan masyarakat, sehingga produk hukum yang nantinya dihasilkan dapat diterapkan secara aplikatif. Kebiasaan merubah suatu Undang-Undang berulang kali menunjukkan kedangkalan struktur naskah akademik dan analisa perundangannya tidak visioner (berjangka panjang).

Kepustakaan Buku Garner, Bryan A. 2004. Black’s Law Dictionary, Ed. 8. St. Paul Minnesota: Thomson West. INCAFO. 2011. Evaluasi dan Resolusi Penerapan Asas Cabotage dalam Rangka Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional sebagai Lokomotif Kebangkitan Ekonomi Bangsa. Jakarta: ILUNI FTUI. Sjarif, Amiroedin. 1997. Perundang-Undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya. Jakarta: Rineka Cipta. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius.


Umar, Husseyn. 2001. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. --------------------. 2001. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia III. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. -------------. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 10 Tahun 2004. LN No. 53 Tahun 2004. TLN No. 4389. -------------. Undang-undang tentang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008. LN No. 64 Tahun 2008. TLN No. 4849. -------------. Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di Perairan. PP No. 20 Tahun 2010. LN No. 26 Tahun 2010. -------------. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan. PP No. 22 Tahun 2011. Lembaran Negara Nomor 43 Tahun 2011. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5208. -------------. Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri. PM 48 Tahun 2011. Internet Buletin

BP Migas, “Asas Cabotage, Anugerah atau Musibah?”, http://www.bpmigas.go.id/wp-content/uploads/2011/02/edisi.58.pdf diunduh pada tanggal 27 September 2012.

Canadian Coasting Trade Act, S.C. 1992, Chapter 31, dimuat dalam http://www.canlii.com/ca/sta/c-33.3/ diunduh pada tanggal 30 Desember 2012. Direktorat Jenderal Anggaran. “Laporan Pelaksanaan APBN Semester I 2012,” http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/Laporan%20Semester%202012.pdf diunduh pada tanggal 7 Februari 2013. Indonesia Maritime Institute, “ASAS CABOTAGE, Pelayaran Nasional Tersenyum..?” http://indomaritimeinstitute.org/?p=1525 diunduh pada tanggal 26 September 2012. Michael Igbokwe. “The New Cabotage Act- Its Intended Effect on The Local Shipping Industry”http://www.mikeigbokwe.com/new1/Cabotage%20Act.Intended%20Effect.p df diunduh pada tanggal 19 Maret 2013.


Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan, “Asas Cabotage Tidak Dilanggar”, http://www.dephub.go.id/read/berita/direktorat-jenderal-perhubungan-laut/4443 diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012. Workshop Widjonarko, Johanes. “Cabotage Journey 2011-2015 Kegiatan Usaha Hulu Migas.” Reading Material pada 5th Indonesia Maritime Advocation Forum) diselenggarakan oleh INCAFO ILUNI FTUI, pada tanggal 10-11 April 2013.


Febriza Putri dan Chandra Motik Yusuf. Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Abstrak

Recommend Documents