UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN PRAPERADILAN YANG MELAMPAUI KEWENANGAN LEMBAGA PRAPERADILAN (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NO. 38/PID.PRAP/2012/PN.JKT.SEL ATAS NAMA BACHTIAR ABDUL FATAH) Beatrik Dwi Septiana Flora Dianti Febby Mutiara Nelson Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum ABSTRAK Judul : Upaya Hukum Atas Putusan Praperadilan Yang Melampaui Kewenangan Lembaga Praperadilan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel Atas Nama Bachtiar Abdul Fatah). Pengaturan mengenai praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP saat ini sudah tidak lagi memadai. Pengadilan yang berwenang melakukan pemeriksaan Praperadilan yang bertujuan melindungi pihak-pihak yang dirugikan akibat upaya paksa justru dapat menimbulkan permasalahan baru. Misalnya terkait upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal putusan praperadilan berada di luar kewenangan lembaga tersebut. Tidak adanya pengaturan lebih lanjut terhadap kemungkinan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap pihakpihak yang berperkara dan kasus serupa yang mungkin timbul di masa depan. Agar dapat menjelaskan mengenai pengaturan praperadilan yang ada saat ini maka digunakan metode penelitian yuridis normatif. Selain itu penulisan ini juga dimaksudkan untuk dapat memberi gambaran mengenai permasalahan hukum yang terjadi serta upaya hukum yang dapat dilakukan atas suatu putusan praperadilan yang telah melampaui batas kewenangan. Hasil dari penulisan ini menyarankan agar segera dilakukan pembaharuan KUHAP agar tercipta kepastian hukum mengenai pengaturan praperadilan. Selain itu tulisan ini juga memberi solusi terhadap pihak yang ingin melawan putusan yang melampaui kewenangan institusi tersebut, yaitu melalui permohonan kepada Mahkamah Agung. Kata kunci: Praperadilan, putusan, upaya hukum. ABSTRACT Title : Remedy for Pretrial Ruling that Exceeds the Authority of Pretrial Institution (Case Study No.38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel on Behalf of Bachtiar Abdul Fatah) Recently Regulation regarding Pretrial Review (Habeas Corpus) which is stated in the Code of Criminal Procedure is no longer sufficient. District Court's Competency to do the examination of Pretrial Review (Habeas Corpus), aims to protect the parties violated by coercive measures, however could make new problems. For example, a problem related to legal remedy in terms of a pretrial
Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2
judgment which is exceeds the competency of the Pretrial review. This lack of regulation is more likely shall create legal uncertainty for litigants parties and similar cases that may arise in the future. Normative research method is used in order to illustrate the current pretrial rules. This writing is also intended to be an overview of legal issues and remedies on a pretrial judgment that have exceeded the competency. Results of this study suggest that immediate revision of the Criminal Procedure Code in order to create legal certainty of pretrial issues. In addition, this paper also gives solutions to those who want to challenge the pretrial judgment or court decision that exceeds their competency. Keywords: Pretrial, ruling, remedy A. Pendahuluan Sistem peradilan pidana Indonesia mengenal adanya lembaga praperadilan yang diatur secara khusus dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 82 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun putusan praperadilan yang dapat dibanding adalah putusan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Dengan demikian pengadilan tinggi berfungsi sebagai pengadilan tingkat akhir dalam proses praperadilan tersebut. Akan tetapi kemudian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 hal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.1 Permasalahan timbul ketika hakim yang memeriksa dan memutus permohonan praperadilan kemudian mengeluarkan putusan yang berada di luar kewenangannya. Pada putusan a quo hakim memandang bahwa penahanan yang dilakukan terhadap tersangka tidaklah sah sehingga status tersangka yang menjadi dasar penahanan menjadi tidak sah pula. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan apakah putusan yang seperti itu dapat diajukan banding atau apakah terdapat upaya hukum lain selain banding karena KUHAP tidak memberikan fasilitas untuk upaya hukum setelah putusan praperadilan karena pada dasarnya praperadilan menerapkan proses peradilan cepat.2 Contoh kasus akan diambil dari putusan praperadilan atas nama Bachtiar Abdul Fatah. 1
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Nomor 65/PUU-IX/2011. 2 Afiah, Op.Cit., hlm. 104.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
3
Tulisan ini akan membahas permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dari adanya suatu proses praperadilan yang dapat dinyatakan dalam pertanyaanpertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut. 1. Permasalahan hukum apa sajakah yang dapat ditimbulkan akibat suatu putusan praperadilan yang berada di luar kewenangan lembaga praperadilan terkait putusan mengenai tidak sahnya penetapan status tersangka? 2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan terkait dengan adanya putusan yang berada di luar wewenang lembaga praperadilan (Studi kasus Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel atas nama Bachtiar Abdul Fatah)? Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk menelaah dan memberikan penjelasan mendetail mengenai hal-hal yang terkait dengan lembaga praperadilan di Indonesia serta dalam RKUHAP dan negara lain seperti Perancis dan Amerika Serikat. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan tentang permasalahan-permasalahan hukum apa saja yang dapat timbul atas suatu putusan mengenai tidak sahnya penetapan tersangka dan mengetahui secara lebih mendalam bagaimana tindak lanjut atau upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan putusan praperadilan Bachtiar Abdul Fatah yang mengabulkan permohonan praperadilan dari tersangka. Penelitian hukum normatif merupakan metode penelitian yang tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Berdasarkan jenis data yang digunakan maka penulisan ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer akan didapatkan melalui wawancara dengan Prim Hariyadi selaku Ketua Hakim Pengadilan Negeri Depok, Ariawan Agustiartono selaku Jaksa dari Satuan Khusus Penanganan Tindak Pidana Korupsi Divisi Penuntutan di Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan Maqdir Ismail selaku penasihat hukum Bachtiar Abdul Fatah. Data sekunder akan diperoleh penulis dari hasil penelaahan buku-buku yang berkaitan dengan hukum acara pidana Indonesia terutama terkait lembaga praperadilan. Bahan hukum yang akan digunakan dalam tulisan ini mencakup bahan hukum primer dan sekunder. Terkait dengan metode analisis data maka metode analisis data yang tepat adalah secara kualitatif dimana penulis akan menganalisis putusan yang menjadi objek kajian penulisan ini dikaitkan
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
4
dengan
teori-teori
yang
berkembang
di
Indonesia
dan
melakukan
perbandingannya dengan negara lain. B. Pembahasan Tinjauan Teoritis Sebelum menganut KUHAP, terkait dengan hukum acara pidana, Indonesia berpedoman pada kitab undang-undang hukum acara pidana colonial yang dikenal sebagai Herziene Inlands Reglement (HIR). Adapun yang menjadi maksud dan tujuan diselenggarakannya lembaga praperadilan adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya terjaminnya hak-hak tersangka dan terdakwa dalam pemeriksaan tingkat penyidikan, penuntutan, dan di pengadilan. Pengaturan mengenai lembaga praperadilan seperti yang terjelma dalam KUHAP saat ini, sebelumnya telah melalui beberapa proses pembentukan. Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dibuat dan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat- Republik Indonesia (DPR-RI) pada tahun 1974 memuat konsep yang disebut sebagai ‘Konsep 1974’. Pada konsep tersebut diperkenalkan lembaga hakim komisaris yang berperan dalam tahap pemeriksaan pendahuluan. Rancangan KUHAP kemudian diajukan oleh Pemerintah dibawah Menteri Kehakiman Mudjono ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1979. Akan tetapi rancangan tersebut masih menuai protes keras dari kalangan LBH/YLBHI, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), akademisi, hingga kalangan pers yang menilai bahwa rancangan tersebut masih berorientasi terhadap penguasa sehingga mereka mengajukan RUU tandingan.3 Gagasan lembaga praperadilan tersebut sebenarnya tidak terlepas pula dari diterapkannya hak Habeas Corpus yang memberikan hak pada seseorang untuk menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya, seperti polisi atau jaksa, dengan membuktikan bahwa penahanan tersebut memang tidak sah dan telah melanggar hukum. 4
3
Adnan Buyung Nasution, Praperadilan versus Hakim Komisaris, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan-vs-hakim-komisarisbeberapa pemikiranmengenai keberadaan keduanya, Diunduh 22 Maret 2013. 4
Ibid.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
5
Secara etimologi praperadilan terdiri dari dua kata, yaitu pra dan peradilan. Pra berarti sebelum, peradilan berarti suatu proses pemeriksaan perkara di depan pengadilan. Dengan demikian praperadilan adalah proses pemeriksaan yang dilakukan sebelum pemeriksaan terhadap pokok perkara yang berlangsung di pengadilan. Oleh karena itu praperadilan hanya bersifat accessoir dari perkara pokok tersebut sehingga putusannya bersifat voluntair. Kewenangan dan tugas-tugas praperadilan seperti pada Pasal 1 butir 10 KUHAP mencerminkan bahwa praperadilan mengemban fungsi pengawasan dan kontrol terhadap tindakan penyidikan dan penuntutan, yaitu pengawasan oleh Hakim Praperadilan terhadap Penyidik dan Penuntut Umum terutama menyangkut upaya paksa. Tujuan praperadilan adalah untuk menempatkan pelaksanaan hukum pada proporsi yang sebenarnya demi terlindunginya hak-hak asasi manusia khususnya
hak-hak
tersangka
dalam
pemeriksaan
ditingkat
penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di depan pengadilan.5 Berdasarkan Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP, ruang lingkup lembaga praperadilan adalah memeriksa dan memutus tentang: a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Berdasarkan Pasal 79, Pasal 80, Pasal 95 ayat (2), dan Pasal 97 ayat (3) ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan yaitu: -
Tersangka, keluarganya, atau kuasanya
-
Penuntut Umum
-
Penyidik
-
Pihak ketiga yang berkepentingan. Sebelum suatu permohonan praperadilan dapat diperiksa oleh pengadilan
negeri maka terlebih dahulu pemohon praperadilan atau surat kuasanya harus mendaftarkan surat permohonan pemeriksaan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri melalui bagian kepaniteraan pengadilan negeri yang 5
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989), hlm.
3.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
6
bersangkutan untuk mendapatkan nomor register perkara. Ketua Pengadilan Negeri kemudian menunjuk seorang hakim untuk memimpin sidang praperadilan yang dibantu oleh seorang panitera.6 Dihitung sejak diterimanya permohonan maka dalam waktu tiga hari hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri harus menetapkan hari sidang.7 Pada saat menetapkan hari sidang, hakim sekaligus menyampaikan panggilan kepada para pihak pada sidang pertama yang telah ditetapkan itu. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) butir c KUHAP pemeriksaan dilakukan dengan acara cepat dimana selambat-lambatnya dalam tujuh hari hakim sudah menjatuhkan putusannya. Berdasarkan ketentuan mengenai isi putusan praperadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 83 ayat (2) dan (3) KUHAP dapat dikatakan bahwa putusan praperadilan bersifat declaratoir,8 yang pada dasarnya merupakan suatu putusan yang menegaskan bahwa seseorang memiliki hak. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP ditegaskan bahwa “Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”. Terkait hal ini terdapat perbedaan pendapat menurut beberapa ahli dimana menurut Andi Hamzah tidak ada upaya hukum terhadap putusan praperadilan karena praperadilan menganut acara cepat dan yang menjadi objek pemeriksaan terbatas pada proses administrasi dan mekanisme dari sebuah penyidikan dan penahanan yang dilakukan aparat instansi penegak hukum sehingga pokok perkara dari penyidikan dan penuntutannya tidak masuk dalam ranah praperadilan.9 Lain pula dengan yang diungkapkan oleh Bagir Manan, 6
Indonesia, Op.Cit., Ps. 78 ayat (2).
7
Ibid., Ps. 82 ayat (1) huruf a. 8
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara Perdata di Indonesia, menyatakan bahwa putusan yang bersifat declaratoir yaitu apabila putusan yang diminta itu mempunyai akibat hukum. Meskipun putusan yang bersifat declaratoir artinya menentukan sifat suatu keadaan dengan tidak mengandung perintah kepada suatu pihak untuk berbuat ini dan itu, tetapi pemohon terang mempunyai kepentingan atas adanya ini, oleh karena ada akibat hukum yang nyata dan penting dari putusan ini. Lihat dalam R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 126. 9
Kmb 3, “Hindari Penumpukan Perkara, Putusan Praperadilan Tidak Dapat Dikasasi,” http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/2/21/n1.htm, diunduh pada 14 Mei 2013.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
7
beliau menyetujui bahwa berdasarkan undang-undang maka tidak ada upaya hukum atas suatu putusan praperadilan namun hal tersebut tidak dapat diterjemahkan secara teoritis saja karena pada praktiknya hakim pasti dapat melakukan kekeliruan. Selain itu Mahkamah Agung juga pernah melakukan terobosan hukum dengan menerima kasasi putusan praperadilan sehingga dimaksudkan agar hal ini dapat mencegah terhambatnya proses mencari keadilan.10 Perbandingan Lembaga Praperadilan Pada RKUHAP dan di Negara Lain Ruang Lingkup Hakim Komisaris, Juge d’Instruction, dan Magistrate Judge Berdasarkan Pasal 111 RKUHAP, hakim komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; b. Pembatalan atau penangguhan penahanan; c. Bahwa keterangan yang dibuat tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti; e. Ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; g. Bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; h. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. Berdasarkan ketentuan-ketetentuan yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa hakim komisaris di dalam RKUHAP memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan hakim praperadilan.
10
ZAE, “MA Tegaskan Tak Akan Tutup Upaya Hukum Kasasi Terhadap Putusan Praperadilan,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12161/ma-tegaskan-tak-akan-tutupupaya-kasasi-terhadap-putusan-praperadilan, diunduh pada 14 Mei 2013.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
8
L’instruction (pre-trial) merupakan tahap pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Juge d’ Instruction dimana kewenangan juge d’instruction sangatlah luas terutama dalam hal melakukan investigasi. Selain itu pada Pasal 164 Code de Procedure Penale, juge d’instruction juga berwenang untuk memeriksa terdakwa, saksi-saksi, dan alat-alat bukti yang lain seperti meminta hasil atau laporan investigasi dari seorang ahli seperti ahli psikiatri. Selain itu ia juga dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah, dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu.11 Kewenangan lain adalah apabila tersangka berumur dibawah 21 tahun maka juge d’instruction berwenang untuk memerintahkan dilakukannya pemeriksaan latar belakang si tersangka, baik latar belakang keluarga maupun kehidupan sosialnya. Akan tetapi tidak semua perkara harus melalui lembaga juge d’instruction, hanya perkara-perkara besar dan sulit pembuktiannya saja atau yang tergolong dalam tindak pidana serius (crimes). Bagi perkara yang pembuktiannya tidak sulit, pemeriksaan pendahuluan cukup dilakukan sendiri oleh polisi dengan perintah dan petunjuk dari jaksa.12 Dengan luasnya wewenang yang dimilikinya tersebut maka juge d’instruction yang bertugas pada perkara tersebut tidak diperbolehkan untuk menjadi hakim saat proses pengadilan (trial) perkara yang sama. Apabila dibandingkan dengan lembaga praperadilan yang ada di Indonesia maka jelas bahwa kewenangan juge d’instruction sangatlah luas karena mencakup kewenangan investigasi. Berbeda dengan ruang lingkup kewenangan hakim praperadilan dimana hanya terbatas pada peranannnya sebagai examining judge yang hanya menangani perkara perihal sah atau tidaknya suatu upaya paksa seperti penangkapan atau penahanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Magistrates judge memiliki wewenang yang diatur dalam Federal Rules of Criminal Procedure dimana magistrate judge memiliki kewenangan seperti halnya hakim komisaris dalam RKUHAP untuk mengeluarkan surat perintah, seperti
surat
perintah
penangkapan,
penyitaan,
penggeledahan,
hingga
11
Pasal 122 Code de Procedure Penale.
12
Hamzah, Op.Cit., hlm. 184. Seperti yang telah dikutip dari Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 92-94.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
9
pemasangan alat lacak untuk melacak pergerakan orang atau barang di dalam wilayahnya, wilayah lain, maupun kedua wilayah. Selain itu Magistrate judge berperan dalam menentukan apakah suatu perkara layak dimasukkan ke dalam proses full trial atau tidak. Peran hakim magistrate di sini justru sebelum suatu tindakan akan dilakukan, dan bukan seperti halnya fungsi hakim dalam praperadilan dimana hakim praperadilan akan berperan setelah adanya suatu tindakan. Hakim pada preliminary hearing melakukan pemeriksaan sebelum terjadinya suatu penangkapan sehingga apabila terjadi suatu penangkapan ataupun suatu penahanan maka telah didukung oleh dasar hukum yang telah dikeluarkan oleh pengadilan. Apabila kita perbandingkan dengan fungsi praperadilan di Indonesia, maka hakim praperadilan barulah berfungsi setelah adanya suatu tindakan penangkapan maupun penahanan dimana tindakan penangkapan maupun penahanan tersebut dikira tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Prosedur Hakim Komisaris, Juge d’Instruction, dan Magistrate Judge Permohonan mengenai hal-hal yang masuk di dalam kewenangan hakim komisaris diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum kecuali ketentuan mengenai layak atau tidaknya suatu perkara dilakukan penuntutannya ke pengadilan hanya dapat dilakukan oleh penuntut umum.13 Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak sah maka di dalam putusannya hakim komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi. Selain itu penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus mengeluarkan tersangka dari tahanan. 14
Terkait penyitaan apabila hakim komisaris menetapkan penyitaan tidak sah
maka dalam waktu satu hari setelah ditetapkan benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak kecuali terhadap benda yang terlarang. Sedangkan apabila hakim komisaris menetapkan bahwa penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah maka maka penyidik atau penuntut umum 13
Ps. 111 ayat (2) RKUHAP.
14
Ps. 113 RKUHAP.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
10
harus segera melanjutkan penyidikan atau penuntutan.15 Terkait dengan hakim komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi maka dalam jangka waktu lima hari kerja setelah menerima permohonan harus mulai meyidangkan permohonan. Apabila perkara sudah diperiksa oleh pengadilan negeri maka permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada hakim komisaris.16 Dengan demikian terdapat sedikit perbedaan prosedur pada hakim komisaris tergaantung dari perkara atau gugataan yang diajukan. Akan tetapi pada dasarnya persidangan praperadilan menganut proses yang cepat sehingga jangka waktu yang dibutuhkan tidak akan lebih dari tujuh hari kerja dihitung sejak permohonan diajukan hingga putusan. Sebelum seseorang diajukan kepada juge d’instruction tentunya telah ada tahapan atau proses yang harus dilaluinya. Di Perancis proses tersebut dimulai dari penangkapan kemudian penahanan oleh polisi (dinamakan tahap garde a vue)17, pelimpahan perkara kepada jaksa (procereur), pemeriksaan oleh juge d’instruction, hingga trial. Tentu saja semua tahapan tersebut tergantung dari jenis tindak pidana yang dilakukan.18 Selama berlangsungnya instruction, juge d’instruction harus selalu mengkomunikasikannya kepada procureur de la Republique untuk menghormati kedudukannya terkait dengan kewenangannya dalam mengeluarkan surat perintah penangkapan, perintah penangguhan penahanan, dan pengawasan yudisial. Setelah proses instruction (pemeriksaan pendahuluan) selesai, juge d’instruction harus memberi waktu kepada procureur de la Republique selama tiga bulan (satu bulan apabila tersangka ditahan) untuk memberikan komentar atau tanggapan sebelum ditentukan apakah suatu perkara perlu dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Jika cukup alasan untuk melimpahkannya ke pengadilan maka ia akan mengirimkan perkara tersebut 15
Ps. 113 RKUHAP.
16
Ibid.
17
West, Op.Cit., hlm. 240.
18
Law Commission, “French Criminal Procedure,” http://www.lawcom.govt.nz/sites/default/files/french_criminal_procedure.pdf, diunduh 23 April 2013.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
11
dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi. Sebaliknya jika tidak terdapat cukup alasan maka ia harus membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu.19 Suatu investigasi yang dilakukan oleh juge d’instruction dapat memakan waktu berbulan-bulan hingga tahunan. Biasanya hukuman yang dijatuhkan pada proses pre trial ini diberikan oleh juge d’instruction akan tetapi belakangan peran untuk memberikan detensi diserahkan kepada juge des libertes et de la detention.20 Akibat panjangnya proses yang dilalui tentunya waktu yang dibutuhkan juga akan lebih lama dan membutuhkan lebih banyak biaya. Oleh karena itu terkadang jaksa akan menggolongkan suatu crimes menjadi delit dan mengirimkan perkara tersebut ke tribunal correctionnel untuk menghindari panjangnya proses instruction dan trial pada Cour d’Assises atau bahkan jaksa juga dapat memutuskan untuk tidak memprosesnya.21 Prosedur magistrate court di Amerika Serikat diatur dalam Title II mengenai Preliminary Proceedings. Apabila terjadi suatu pelanggaran (offense) tindak pidana di suatu daerah dan tersangka ditangkap di daerah dimana kejahatan tersebut dilakukan maka magistrate judge yang berwenang untuk menangani perkara tersebut adalah magistrate judge dimana tindak pidana tersebut dilakukan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa proses seseorang dibawa menuju trial adalah bermula dari ditangkapnya pelaku tindak pidana oleh polisi. Setelah dirinya didata meliputi sangkaan yang dikenakan, foto, dan sidik jari, tersangka tersebut kemudian dibawa ke hadapan magistrate judge oleh polisi dimana hakim kemudian akan memberitahukan tersangka mengenai hak-haknya salah satunya yaitu untuk mendapat pendampingan hukum. Pada dasarnya pengadilan yang wajib menyediakan penasihat hukum baginya akan tetapi apabila tersangka menghendaki sendiri dan memiliki uang maka ia dapat memilih sendiri pengacaranya. Sebelum dibawa ke trial tersangka akan diproses oleh jaksa terlebih dahulu sebelum dibawa ke magistrate dimana jaksa akan mengumpulkan 19
Ibid., hlm. 260.
20
Buchanan, loc.cit.
21
Law Commision, loc,cit.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
12
informasi-informasi yang diperlukan. Kemudian magistrate akan mendengarkan hasil dari pemeriksaan jaksa yang terwujud dalam tuntutan jaksa dimana pada tahap ini magistrate belum memutuskan apakah tersangka bersalah atau tidak. Magistrate memiliki tiga pilihan yaitu apabila magistrate merasa tidak ada tindak pidana yang terjadi maka ia akan membebaskan tersangka, menyatakan bahwa kejahatan tersebut merupakan tindak pidana ringan, atau ia dapat memutuskan bahwa jelas ada kasus dan dapat diproses lebih lanjut dan diproses dalam full trial. Apabila perrkara tersebut dilanjutkan ke trial maka perkara tersebut akan dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana (court for felonies) dimana apabila di California pengadilan ini disebut sebagai superior court.22 Di Amerika Serikat suatu praperadilan yang disebut pre trial merupakan sidang yang dilangsungkan karena merupakan bagian dari prosedur pokok peradilannya. Setiap kasus yang ditangani pasti akan melewati prosedur pre trial tersebut sebelum memasuki tahap persidangan yang sebenarnya. Dengan demikian sulit untuk membandingkan antara prosedur yang berlaku di Amerika Serikat dan Indonesia karena hal yang ditangani juga sangat berbeda satu sama lain. Upaya Hukum Atas Putusan Hakim Komisaris, Juge d’Instruction, dan Magistrate Judge Pada RKUHAP secara jelas telah disebutkan bahwa putusan yang dikeluarkan oleh hakim komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum apapun, dalam hal ini upaya hukum banding maupun kasasi. Hal ini tercantum dalam Pasal 122 RKUHAP yang berbunyi bahwa penetapan atau putusan hakim komisaris tidak dapat diajukan hukum banding atau kasasi. Dengan demikian semua perkara praperadilan yang sudah diputus dalam mekanisme hakim komisaris tidak membuka peluang upaya hukum apapun. Sebagai lembaga yang tidak hanya berperan sebagai examining judge tetapi juga sebagai investigating judge tentunya wewenang yang dimiliki oleh juge d’instruction sangat besar. Oleh karena itu dipandang perlu adanya lembaga lain yang turut mengawasi juge d’instruction dalam menjalankan perannya sebagai 22
Friedman, Op.Cit., hlm. 164.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
13
investigating judge. Lembaga yang sesuai untuk mengawasi kinerja juge d’instruction dalam peranannya sebagai investigating judge adalah chamber d’accusation yang merupakan bagian dari Cour d’Appel.23 Fungsi dari lembaga ini adalah untuk mengatur legalitas dari tindakan yang diambil oleh juge d’instruction seperti prosedur audition yaitu pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka atau interogasi, konfrontasi antara saksi dan tersangka, dan pemeriksaan bukti forensik oleh ahli.24 Pengawasan atau kontrol yang dilakukan oleh chambre d’accusation terhadap tindakan-tindakan juge d’instruction hanya dapat dilakukan berdasarkan klaim yang diajukan oleh jaksa atau juge d’instruction itu sendiri dimana tersangka tidak dapat mengajukan petisi atas hal tersebut karena bisa saja tersangka mengajukan petisi terhadap keduanya, yaitu jaksa dan juge d’instruction. Pada dasarnya upaya hukum yang dapat dilakukan setelah adanya putusan dari magistrate judge adalah dengan mengajukannya ke pengadilan distrik (district court). Hal ini didasarkan pada Federal Rule of Civil Procedure 72 dan 28 U.S.C. § 636, putusan magistrate judge dapat dibanding ke district court. Dalam Pasal 72(a) Federal Rules of Criminal Procedure disebutkan bahwa keberatan atas putusan atau perintah dari magistrate judge haruslah dibuat dalam bentuk tulisan, dan harus diajukan dalam waktu empat belas hari sejak putusan diterima berdasarkan penghitungan yang diatur dalam Pasal 6 Federal Rules of Civil Procedure. Akan tetapi aturan terkait masa pengajuan tersebut tidaklah mutlak berlaku dimana apabila dalam kondisi tertentu waktu empat belas hari tidak terpenuhi maka hal tersebut dapat ditoleransi demi kepentingan keadilan. Sangat berbeda dengan upaya hukum banding atas putusan magistrate judge di Amerika Serikat, di Indonesia, upaya hukum banding apabila dimungkinkan maka akan diajukan ke pengadilan tinggi. Hal ini dikarenakan lembaga praperadilan terletak di dalam struktur pengadilan negeri sehingga semua perkara banding diajukan kepada pengadilan tinggi sesuai dengan kompetennya. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat yang memisahkan kedudukan magistrate court 23
West, Op.Cit., hlm. 260.
24
Ibid.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
14
dengan district court sehingga banding atas keputusan magistrate judge diajukan kepada district court, bukan court of appeals, yang apabila dibandingkan dengan Indonesia maka court of appeals merupakan pengadilan tinggi. Analisis Kasus Putusan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel Kasus Posisi Bachtiar Abdul Fatah dalam perkara ini adalah Pemohon praperadilan dimana ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Termohon, yaitu Jaksa Agung Republik Indonesia karena diduga telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP. Pemohon mengajukan praperadilan
ini
karena
Termohon
telah
melakukan
penahanan
tanpa
menunjukkan alasan objektif dan subjektif sesuai hukum yang mendasari penahanan Pemohon. Adapun hakim praperadilan mengeluarkan amar putusan sebagai berikut. 1.
Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk sebagian;
2.
Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3.
Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan terhadap Pemohon sesuai Surat Perintah Penahanan Nomor Print-30/F.2/Fd.1/09/2012 tanggal 26 September 2012 sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
4.
Memerintahkan kepada Termohon untuk membebaskan Tersangka BACHTIAR ABDUL FATAH dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan;
5.
Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 1.000.000,- (ssatu juta rupiah) kepada Pemohon;
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
15
6.
Memulihkan hak-hak Pemohon dalam kemapuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
7.
Menolak permohonan pemohon untuk selebihnya;
8.
Menghukum Termohon untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara praperadilan ini sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).
Menanggapi putusan tersebut Termohon ingin mengajukan banding kepada pengadilan tinggi melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan timbul karena pada dasarnya tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh atas suatu putusan praperadilan sehingga pengadilan negeri menolak meneruskan memori banding tersebut dikarenakan pengadilan negeri berpendapat sama yakni bahwa tidak ada upaya hukum apapun yang dapat ditempuh terkait dengan putusan praperadilan karena asas peradilan cepat yang dianut oleh lembaga tersebut.25 Analisis Mengenai Permasalahan Hukum yang Dapat Ditimbulkan Akibat Suatu Putusan Praperadilan yang Berada di Luar Kewenangan Lembaga Praperadilan Terkait Putusan Mengenai Tidak Sahnya Penetapan Status Tersangka Terkait dengan subjek praperadilan, subjek yang terlibat dalam permohonan praperadilan terdiri dari Pemohon dan Termohon. Permohonan dapat diajukan dari pihak tersangka atau terdakwa maupun dari pihak penuntut umum. Adapun yang mengajukan permohonan praperadilan adalah pihak yang merasa dirugikan atas suatu upaya paksa atau penghentian tahap sebelum pengadilan. Di dalam Bab 2 tentang tinjauan umum praperadilan telah disebutkan bahwa menurut Pasal 79, Pasal 80, Pasal 95 ayat (2), dan Pasal 97 ayat (3) KUHAP, pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan yaitu tersangka, keluarganya, atau kuasanya, penuntut umum, penyidik, dan pihak ketiga yang berkepentingan. Adapun dalam kasus praperadilan pada topik pembahasan ini yang mengajukan gugatan praperadilan adalah tersangka sendiri yaitu Bachtiar Abdul Fatah, melalui kuasa atau penasihat hukumnya berdasarkan Surat Kuasa Khusus. Jaksa Agung Republik Indonesia yang menjadi Termohon dalam kasus ini diwakili oleh jaksa-jaksa dari Kejaksaan Agung RI dilengkapi dengan Surat 25
Pasal 82 ayat (1) huruf c “ Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambatlambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya”.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
16
Perintah Penunjukan Jaksa Untuk Sidang Praperadilan dari Jaksa Agung RI dengan Nomor: PRINT-098/A/JA/11/2012 tertanggal 14 November 2012. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 123 HIR26 dimana pejabat publik yang tidak dalam kapasitas sebagai wakil pemerintah akan tetapi dalam konteks bertanggung jawab terhadap tugas yang telah dilakukannya maka ia harus memiliki Surat Kuasa Khusus. Dengan demikian, tidak ada permasalahan dalam hal subjek praperadilan karena legal standing dari kedua belah pihak yang berperkara dapat diterima atau sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga mereka layak untuk berperkara di pengadilan. Mengenai kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai pengadilan yang memeriksa permohonan praperadilan. Praperadilan merupakan suatu proses peradilan yang unik karena praperadilan berada dalam ranah pidana, akan tetapi hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata. Hal ini dikarenakan praperadilan tidak disebut dengan tuntutan, melainkan permohonan praperadilan. Sesuai dengan hukum acara perdata maka gugatan tersebut harus diajukan di pengadilan yang berwenang di wilayah hukum Termohon. Hal ini sesuai dengan Pasal 118 ayat (1) HIR yang menyebutkan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama yang masuk ke pengadilan negeri harus diajukan di daerah hukum dimana tergugat bertempat tinggal. Dalam hal ini yang menjadi Termohon adalah Kejaksaan Agung dimana Kejaksaan Agung berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sehingga dengan demikian tidak terdapat permasalahan pula mengenai pengadilan yang berwenang dalam menangani praperadilan tersebut karena yang berwenang adalah benar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terkait dengan objek permohonan yang diajukan ke persidangan praperadilan, Pemohon, yaitu Bachtiar Abdul Fatah, melalui kuasa hukumnya, pada permohonan tersebut mengajukan permohonan untuk ditetapkannya dalam sidang praperadilan terkait dengan tidak sahnya penetapan status tersangka Pemohon, permohonan untuk dihentikannya penyidikan terhadap Pemohon, menyatakan tidak sahnya penahanan Pemohon, tidak sahnya Keputusan Jaksa Agung tentang Pencegahan ke Luar Negeri atas nama Pemohon, serta ganti 26
Pasal 123 ayat (2) HIR “Pegawai yang karena peraturan umum, menjalankan perkara untuk Indonesia sebagai wakil negeri, tidak perlu memakai surat kuasa yang teristimewa yang sedemikian itu”.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
17
kerugian dan rehabilitasi harkat dan martabat Pemohon. Apabila mengacu pada Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP maka perihal sah atau tidaknya penetapan status tersangka, penghentian proses penyidikan, serta perihal sah tidaknya pencegahan Pemohon ke luar negeri, tidaklah termasuk ke dalam kewenangan praperadilan. Kewenangan pemeriksaan pada praperadilan hanyalah terkait dengan sah atau tidaknya penahanan serta menentukan besaran ganti kerugian dimana baru akan ditentukan kemudian apabila hakim memutuskan bahwa penahanan terhadap Pemohon tidak sah menurut hukum. Menanggapi tuntutan ganti kerugian, hakim praperadilan sependapat dengan jawaban Termohon bahwa jumlah yang dimohonkan oleh Pemohon telah melebihi apa yang telah ditentukan undang-undang sehingga akan disesuaikan dengan ketentuan yang telah tercantum dalam PP Nomor 58 Tahun 2010 dimana telah diputuskan yaitu sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Akibat hukum atas putusan praperadilan dapat timbul terutama terhadap pihak-pihak yang berperkara yaitu Pemohon dan Termohon. Dalam hal ini, terkait dengan putusan hakim yang menyatakan bahwa penahanan Pemohon tidak sah maka Termohon harus menghormati dan menaati perintah pengadilan dengan mengeluarkan Pemohon dari tahanan dan membayar ganti kerugian sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Pemohon seperti yang telah ditetapkan dalam amar putusan. Terkait dengan penetapan tersangka yang dinyatakan oleh hakim tidak sah, tentu saja hal ini menimbulkan kesulitan terhadap Termohon, yaitu jaksa agung, dalam melaksanakan eksekusi putusan tersebut. Termohon memandang bahwa hakim telah melampaui batas kewenangan lembaga praperadilan dengan adanya putusan mengenai tidak sahnya penetapan tersangk. Adapun mengenai penetapan tersangka adalah kewenangan dari penyidik dan hakim tidak dapat memutus mengenai hal tersebut, apalagi di dalam ranah praperadilan. Dengan demikian, putusan tersebut dapat menimbulkan kesulitan dalam pengeksekusiannya karena apabila mengacu pada KUHAP maka jelas bahwa putusan hakim mengenai tidak sahnya penetapan tersangka telah melampaui kewenangan praperadilan yang diberikan oleh KUHAP sehingga mendorong pihak kejaksaan untuk melakukan upaya hukum atas putusan tersebut.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
18
Analisis Mengenai Upaya Hukum Atas Putusan Praperadilan yang Berada di Luar Wewenang
Lembaga
Praperadilan
(Studi
Kasus
Putusan
No.
38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel) Pada KUHAP diatur mengenai tidak adanya upaya hukum banding atas putusan praperadilan kecuali putusan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Akan tetapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 sudah jelas bahwa tidak ada upaya hukum apapun yang dapat ditempuh atas putusan praperadilan, baik mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan maupun mengenai sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Walau demikian, hal ini ditanggapi oleh beberapa kalangan dengan mengajukan upaya hukum lain yaitu kasasi. Hal ini dikarenakan putusan praperadilan yang tidak dapat dibanding maka dapat dikatakan bahwa perkara praperadilan tersebut berakhir pada tingkat pengadilan negeri sehingga putusan praperadilan tersebut merupakan putusan tingkat akhir yang dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Sebenarnya upaya hukum kasasi atas putusan praperadilan sebelumnya sudah pernah ditempuh dimana yang menjadi pemohon kasasi adalah Jaksa Agung RI terhadap putusan praperadilan yang dikeluarkan oleh hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun permohonan kasasi atas putusan praperadilan tersebut diterima oleh Mahkamah Agung dan menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung. Hal ini dapat dilihat pada salah satu yurisprudensi yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 35 K/Pid/2002 tanggal 6 Maret 2002 dengan Pemohon Kasasi adalah Jaksa Agung RI dan Termohon Kasasi Prof. Dr. Ir. Ginanjar Kartasasmita. Hakim praperadilan yang memutus putusan yang menjadi objek analisis tulisan ini memutus hal yang berada di luar kewenangan praperadilan yaitu mengenai tidak sahnya status tersangka Pemohon, Bachtiar Abdul Fatah yang tertuang pada amar Putusan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel. Penetapan mengenai status tersangka jelas merupakan wewenang di luar praperadilan karena menurut KUHAP hal tersebut bukan merupakan lingkup kewenangannya.
Hal
ini
kemudian
memunculkan
kontroversi
dalam
melaksanakan eksekusi dari putusan hakim tersebut. Akan tetapi berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Ketua Pengadilan Negeri Depok, pada
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
19
dasarnya dalam hal bagaimanapun juga, baik putusan yang sesuai dengan kapasitas pengadilan maupun yang melampaui kewenangan pengadilan, maka putusan hakim tersebut harus tetap dihormati dan dilaksanakan oleh para pihak yang terlibat di dalamnya. Apabila memang terdapat keberatan maka pihak yang tidak puas dengan keputusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum, baik banding ataupun kasasi, sesuai dengan hukum yang mengaturnya. Oleh karena praperadilan tidak memfasillitasi upaya hukum apapun terhadap putusan mengenai sah tidaknya penangkapan ataupun penahanan maka kemudian timbul pertanyaan mengenai upaya hukum apa yang dapat dilakukan apabila hakim memutus hal di luar kewenangan praperadilan, apakah kasasi seperti contoh kasus di atas dapat ditempuh juga atau tidak. Termohon, yaitu Jaksa Agung RI, dalam kasus ini diberitakan akan mengajukan banding kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri. Akan tetapi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan permohonan tersebut ditolak karena Ketua Pengadilan Negeri memandang bahwa tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan praperadilan. Adapun terkait dengan upaya hukum kasasi merupakan hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh Jaksa Agung mengingat sebelumnya upaya ini pernah dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi yang paling memungkinkan dilakukan saat ini adalah dengan menulis permohonan kepada Mahkamah Agung untuk meminta petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan atas putusan praperadilan tersebut.27 Permohonan tersebut dapat dibuat oleh Jaksa Agung RI selaku Termohon dalam gugatan praperadilan dengan dilengkapi tembusan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi terkait hal tersebut yaitu Mahkamah Agung akan membuka peluang dilakukannya upaya hukum atas putusan praperadilan tersebut atau memberi tanggapan bahwa tidak ada upaya hukum apapun yang dapat ditempuh atas putusan praperadilan tersebut. Oleh karena itu Kejaksaan Agung dalam perkara ini selain tetap mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi juga telah menulis surat kepada Mahkamah Agung terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suko Harsono. Surat tersebut juga telah dijawab oleh 27
Seperti yang telah diungkapkan oleh Ketua Pengadilan Depok, Prim Hariyadi, dalam wawancara di Pengadilan Negeri Depok tanggal 23 Mei 2013.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
20
Mahkamah Agung dengan menyebutkan mengenai telah dijatuhinya sanksi terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan atas suatu putusan praperadilan. Akan menjadi lebih baik bagi pihak yang ingin mengajukan perlawanan atas putusan praperadilan untuk menulis surat terlebih dahulu kepada Mahkamah Agung meminta petunjuk mengenai upaya hukum apa yang dapat dilakukan atas suatu putusan praperadilan yang dinilai telah melampaui kewenangan lembaga itu sendiri. C. Penutup Kesimpulan 1. Permasalahan hukum yang timbul adalah terkait objek pemeriksaan praperadilan karena penetapan mengenai tidak sahnya status tersangka bukanlah objek pemeriksaan praperadilan sehingga putusan a quo telah melampaui batas kewenangan lembaga praperadilan. 2. Upaya hukum banding tidak dapat ditempuh dalam melawan putusan praperadilan. Apabila melihat contoh kasus terdahulu maka yang paling memungkinkan untuk ditempuh adalah kasasi namun sebelumnya perlu didahului dengan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk memohon petunjuk mengenai upaya hukum apa yang terbaik dan dapat ditempuh terkait dengan putusan praperadilan yang demikian. Saran 1. Perlu dilakukan pembaharuan peraturan dalam KUHAP terutama mengenai praperadilan sehingga menimbulkan kepastian hukum bagi masyarakat. 2. Pihak yang berkepentingan sebaiknya mengajukan surat terlebih dahulu untuk memohon petunjuk kepada Mahkamah Agung mengenai upaya hukum apa yang dapat dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Buku Abraham, Henry. The Judicial Process. Ed.2. New York: Oxford University Press, 1968. Adji, Oemar Seno. Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi. Jakarta: Erlangga, 1984.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
21
Afiah, Ratna Nurul. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Ed.1. Jakarta: Akademika Pressindo, 2011. Anwar, H.A.K. Mochamad, Chalimah Suyanto, Sunanto, Praperadilan. Jakarta: IND-HIL-CO, 1989. Bureau of International Information Programs United States Department States, Outline of The U.S Legal System. Washington D.C: Bureau of International Information Programs United States Department States, 2004. Burton, William C. Legal Thesaurus. Ed. 2. New York: Simon & Schuster and Prentice Hall International, 1992. Departemen Kehakiman. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Cet. II. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1982. Dickson, Brice. Introduction to French Law. London: Pitman Publishing, 1994. Friedman, Lawrence M. American Law An Invaluable guide to The Many Faces of The Law, and How It Affects Our daily Lives. New York: Norton, 1996. Hall, Kermit L. William M. Wiecek, Paul Finkelman. American Legal History: Cases and Materials. New York: Oxford University Press, 1991. Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Ed. 2. Cet.11. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. _______. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Ed.2. Cet. 10. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Holten, N. Gary and Lawson L. Lamar. The Criminal Courts Structures, Personnel, and Processes. New York: McGraw-Hill. Inc, 1991. Jenkins, Jeffrey A. The American Courts: A Procedural Approach. Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers, 2013. Loeqman, Loebby. Praperadilan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987. Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Pangaribuan, Luhut. Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat. Cet. I. Jakarta: Djambatan, 1992. Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar Jakarta: Djambatan, 1989. Prodjodikoro, R.Wirjono. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Alumni, 1982. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet. 13. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Sutanto, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Alumni, 1980. Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. West, Andrew et.al. The French Legal System an Introduction. London: Format Publishing, 1992. Jurnal
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
22
Freed, Doris Jonas. “Aspects of French Criminal Procedure.” Dalam Louisiana Law Review. Vol. 17. No.4. Louisiana: Louisiana State University,1957. Hlm. 730-755. Malarangeng, Andi Bau. “Solusi Praperadilan oleh Hakim Komisaris Berdasarkan RUU KUHAP.” Dalam Pandecta. Vol. 7. No. 1. Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2012. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article/download/2361/241 4. Hlm. 36. Peraturan Perundang-undangan Reglemen Indonesia yang Dibaharui [Herziene Inlands Reglement S. 1941 No. 44]. Diterjemahkan oleh M. Karjadi. Bogor: Politeia, 1992. Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No.8 tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN 3209. _______. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN 3874. _______. Undang-undang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 21 Tahun 2001, LN No. 136 Tahun 2001, TLN 4152. _______. Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, RUU Tahun 2010. Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Repbulik Indonesia tentang Manajemen Penyidikan, Perkap No. 14 Tahun 2012. Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus. PERJA-039/A/JA/10/2010. Perancis, Code de Procedure Penale. 2010. Amerika Serikat, Federal Rules of Criminal Procedure. Washington: U.S Government Printing Office, 2010. Putusan Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011. Wawancara Agustiartono, Ariawan. Wawancara Pribadi. 13 Juni. 2013. Hariyadi, Prim. Wawancara Pribadi. 23 Mei. 2013. Internet http://kbbi.web.id/distrik. Diunduh 28 April 2013. Rahmi, Novrieza. “Hakim Perintahkan Jaksa Bebaskan Karyawan Chevron,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b4e182d6856/hakimperintahkan-jaksa-bebaskan-karyawan-chevron. Diunduh 1 Februari 2013.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013
23
_______. “Kejagung Verzet Atas Putusan Praperadilan Chevron,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50bcbdc4432dd/kejagungiverzet-i-atas-putusan-praperadilan-chevron. Diunduh 1 Februari 2013. Chevron Corporation, “Profil Chevron Indonesia” http://www.chevronindonesia.com/about/. Diunduh 10 Maret 2013. Nasution, Adnan Buyung. Praperadilan versus Hakim Komisaris, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan-vs-hakim-komisarisbeberapa pemikiranmengenai keberadaan keduanya. Diunduh 22 Maret 2013. Setiyono, “Kajian Yuridis Mengenai Interpretasi Pihak Ketiga yang Berkepenntingan dalam Praktek Praperadilan” http://www.m2sconsulting.com/main/index.php/publication/artikel/5-kajian-yuridismengenai-interpretasi-pihak-ketiga-yang-berkepentingan-dalam-praktekpraperadilan. Diunduh 23 Maret 2013. “Prof. Andi Hamzah: Studi Banding RUU KUHAP, KUHP Itu Perlu”, http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi3/2013/apr/11/5634/Prof.-AndiHamzah-Studi-Banding-RUU-KUHAP,-KUHP-itu-Perlu. Diunduh 3 Mei 2013. Buchanan, DSK. A Tale of Two Criminal Procedure, http://blogs.loc.gov/law/2011/10/dsk-a-tale-of-two-criminal-procedures/. Diunduh 24 April 2013. “Steps in Trial, Pre-trial Conference”, http://www.americanbar.org/groups/public_education/resources/law_related _education_network/how_courts_work/pretrial_conference.html. Diunduh 3 Mei 2013. “Habeas Corpus”, http://www.law.cornell.edu/wex/habeas_corpus. Diunduh 5 Mei 2013. “Questions and Answers About Magistrate Judges” http://www.utd.uscourts.gov/judges/qa_magjudge.html. Diunduh 1 Mei 2013 Law Commission, “French Criminal Procedure”, http://www.lawcom.govt.nz/sites/default/files/french_criminal_procedure.p df. Diunduh 23 April 2013. “Bioremediation”, http://ei.cornell.edu/biodeg/bioremed/. Diunduh 21 Mei 2013. Nov/Ash. “Hakim Praperadilan Chevron Kena Hukuman Disiplin”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt515efe1c0bc32/hakimpraperadilan-chevron-kena-hukuman-disiplin. Diunduh 30 April 2013.
Universitas Indonesia Upaya hukum…, Beatrik Dwi Septiana, FH UI, 2013