PENGELOLAAN LIMBAH TAMBANG BATUBARA DALAM PRAKTEK UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA PROPOSAL SKRIPSI
OLEH : KARJONO NPM : 29120095
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
0
PENGELOLAAN LIMBAH TAMBANG BATUBARA DALAM PRAKTEK UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
NAMA
: KARJONO
NPM
: 29120095
JURUSAN
: ILMU HUKUM
FAKULTAS
: HUKUM
DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH : PEMBIMBING
TRI WAHYU ANDAYANI, S.H., C.N., M.H
1
Telah diterima dan Disetujui Oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syaratsyarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya,
1.
Ketua
: Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H(
)
(Dekan) 2.
Sekretaris
: Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H(
)
(Pembimbing) 3.
Anggota
: 1. Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum(
)
(Dosen Penguji I) 2. H. Arief Syahrul Alam, S.H., M.Hum(
)
(Dosen Penguji II)
2
Kita berdo’a saat kesusahan dan membutuhkan sesuatu, mestinya kita berdo’a dalam kegembiraan besar dan saat rizki melimpah (Khalil Qibran)
3
MOTTO JANGAN LIHAT MASA LAMPAU DENGAN PENYESALAN, JANGAN PULA LIHAT MASA DEPAN DENGAN KETAKUTAN. (JAMES THUBER)
BELAJARLAH DARI KESALAHAN ORANG LAIN, ANDA TAK DAPAT HIDUP CUKUP LAMA UNTUK MELAKUKAN SEMUA ITU. (MARTIN VANBEE)
ORANG YANG SUKSES TELAH BELAJAR MEMBUAT DIRI MEREKA MELAKUKAN HAL YANG HARUS DIKERJAKAN ENTAH MEREKA MENYUKAINYA ATAU TIDAK. (ALDUS HUXLEY)
4
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-NYA. Sehingga, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGELOLAAN LIMBAH TAMBANG
BATUBARA
DALAM
PRAKTEK
UNDANG-UNDANG
LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA” sebagai persyaratan wajib bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Tak lupa pula penulis panjatkan shalawat dan salam bagi junjungan dan teladan Nabi Muhammad S.A.W, beserta keluarga, dan para sahabat beliau yang senantiasa menjadi penerang bagi kehidupan umat muslim di seluruh dunia, amin. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak yang senantiasa membantu dan membimbing penulis dalam suka dan duka. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh hak yang telah membantu baik moril, maupun materiil demi terwujudnya skripsi ini, yakni kepada: 1. Orang tua tercinta ibunda Aniyah yang selalu senantiasa memberikan dukungan dan Doa serta kasih sayang kepada penulis.
2. Bapak Budi Endarto., S.H., M.Hum. selaku rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.
3. Bapak Dr. H. Taufiqurrohman., S.H., M.Hum. selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.
i
5
4. Ibu Tri Wahyu Andayani., S.H., C.N., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya serta Pembimbing dalam penulisan Skripsi ini.
5. Bapak Andy Usmina Wijaya., S.H,. M.H. Selaku Kepala Program Study Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
6. Bapak H. Arif Syahrul alam., S.H., M.Hum. selaku sekretaris rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.
7. Bapak/Ibu Dosen Penguji Skripsi Penulis.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Universitas Wijaya putra Surabaya, terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan kepada Penulis, Semoga Allah SWT membalasnya dengan limpahan pahala. Amin.
9. Bapak/Ibu Staf Akademik dan keamanan Universitas Wijaya Putra Surabaya, yang selalu memberikan pelayanan dan kenyamanan dalam dalm penulisan skripsi maupun kuliah.
10. Khosiyah (sang isteri) serta kedua Belahan jiwaku Nova Ovalia Rosa dan Ayub Dwiki Armadhani, yang selalu memberikan semangat dan do’a sehingga terselesaikan penulisan skripsi ini.
11. Sahabatku yang istimewa mas Yuda Permadi Kusuma Dinata yang tidak henti-hentinya menemani dan memberikan penulis semangat dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
ii
6
12. Serta sahabatku Mas I Komang dan mbak Sukma yang mensuport dalam penulisan skripsi ini.
13. Semua pihak yang terlibat dalam membantu penulisan skripsi ini yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu karena keterbatasan waktu dan pikiran penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kesalahan maupun kekurangan, baik dari segi teknik materi maupun dari segi teknik
penulisannya, Olehnya
itu
penulis
sangat
mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun dalam rangka perbaikan skripsi ini. Akhirnya harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hokum pada khususnya.
Surabaya, 29 Maret 2014 Terima kasih
Penulis
iii
7
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1 1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................8 1.3 Penjelasan Judul .................................................................................................8 1.4 Alasan Pemilihan Judul .....................................................................................9 1.5 Tujuan Penelitian ..............................................................................................10 1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................................10 1.7 Metode Penelitian .............................................................................................11 1.8 Sistematika Pertanggung Jawaban ..............................................................14 BAB II PENGELOLAAN LIMBAH PERTAMBANGAN BATUBARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN DAN UNDANGUNDANG LINGKUNGAN HIDUP ...............................................................................15 2.1 Pengelolaan Limbah Tambang Batubara Berdasarkan UndangUndang Pertambangan ....................................................................................15 2.2 Sistem Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Tambang Batubara Berdasarkan Undang-Undang Lingkungan Hidup ....................................21 BAB III MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMAR LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA .................................................................................................35 3.1 Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Berdasarkan Aspek Hukum Administrasi .......................................................................................................35 3.2. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Berdasarkan Aspek Hukum Perdata ................................................................................................................40 3.3. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Berdasarkan Aspek Hukum Pidana ..................................................................................................................61 BAB IV PENUTUP ........................................................................................................77 iv 8
4.1 KESIMPULAN .....................................................................................................77 4.2 SARAN .................................................................................................................78 DAFTAR BACAAN .......................................................................................................79
v
9
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan era globalisasi pada saat ini kehidupan di Indonesia selalu mengalami perubahan serta peningkatan di berbagai bidang/aspek, terutama di bidang hukum. Oleh karena itu, Sebagai Negara hukum yang mengatur tentang berbagai macam aturan-aturan maupun norma-norma hukum, perlu adanya penyesuaian dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945 setelah perubahan), Guna tercapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (setelah perubahan), Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Memang salah satu sifat dari hukum adalah dinamis. Hukum merupakan hasil interaksi sosial dengan kehidupan masyarakat. Indonesia dikarunia sumber daya alam dan energi yang melimpah
dan
sebagai salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, apabila
dikelola
dengan
baik
akan
memberikan
kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi negara. Pemerintah sebagai pengelola sumberdaya alam yang terkandung di dalam tanah, laut, dan udara Indonesia tersebut sesuai dengan amanat
1
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 setelah perubahan. Yang menyatakan bahwa Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,1 sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Maka harus diatur tingkat penggunaan untuk pencegahan terhadap eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang besar, sehingga dapat dinikmati dan dirasakan oleh manusia masa kini dan masa yang akan datang, dan dapat mengoptimalkan pendapatan dari sumberdaya alam
tersebut untuk kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia 2. Untuk dapat mencapai kemakmuran tersebut di perlukan kerja keras, pengaturan regulasi terhadap explorasi dan exploitasi sumber daya alam. Sehingga tidak diambil secara besar-besaran yang dipergunakan untuk kepentingan
pribadi
dan
golongan
untuk
semata-mata
mendapatkan
keuntungan tanpa memperhatikan pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari explorasi dan exploitasi sumber daya alam tersebut. Karena, keberadaan bahan tambang yang ada di dalam perut bumi terbatas dalam jangka waktu tertentu akan habis dan tidak dapat di ambil kembali. Sumber daya bumi di bidang pertambangan harus dikembangkan semaksimal mungkin untuk tercapainya pembangunan. Dan untuk ini perlu adanya survei dan evaluasi yang terintegrasi dari para ahli agar menimbulkan keuntungan yang besar dengan sedikit kerugian baik secara ekonomi maupun secara ekologis. Pertambangan mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran, yang sudah tidak diragukan lagi bahwa 1 2
Undang-Undang Dasar 1945 sesudah amandemen, Pustaka Agung Harapan, Surabaya, 2009. Gatot Supramono, (Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara diIndonesia).
2
sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun dan sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Setelah bertahun-tahun dikelola Sumber Daya Alam diperut bumi, sekarang bangsa Indonesia mulai sadar bahwa perlu ada perbaikan. Jika hanya mengejar bagaimana mengoptimalkan pengelolaan tambang untuk penerimaan negara, akan terjadi ketimpangan dalam sektor-sektor lain yang berkaitan. Pengelolaan pertambangan harus memperhatikan sejumlah elemen dasar praktek pembangunan berkelanjutan, baik ekonomi, sosial, dan lingkungan
hidup.
Indonesia
harus
mengubah
cara
pengelolaan
pertambangan, dengan melakukan kegiatan penambangan yang mengacu kepada kaidah-kaidah penambangan yang baik perekonomian daerah secara optimal, dan tambang wajib menjadi motor penggerak pembangunan.3 Kegiatan pertambangan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, bahkan ada ungkapan “Tiada kegiatan pertambangan tanpa ada perusakan/pencemaran lingkungan”. Meskipun kedua hal tersebut tidak dapat
dipisahkan
karena
keterkaitannya
(interdependency),
tetapi
pengaturannya (regulasi) tetap terpisah dan bahkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini wajar saja, sebab hukum sumber daya alam dan hukum lingkungan mempunyai asal usul yang berlainan bahkan bertentangan satu sama lainnya.4 Hal ini perlu adanya perhatian bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap pengelolahan lingkungan agar tidak tercemari oleh berbagai limbah bahan tambang. Sehingga ada keseimbangan antara ekploitasi yang dilakukan oleh seseorang dengan kepedulian terhadap pencemaran lingkungan. 3
Ibid.
4
Abrar Saleng, “Risiko-risiko dalam Eksplorasi dan Eksploitasi Pertambangan serta Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak”, artikel pada Jurnal Hukum Bisnis, edisi no.2 Vol.26, 2007, hlm.12.
3
Perusakan dan/atau pencemaran lingkungan sangat berbahaya bagi kesejahteraan umat manusia. Perusakan atau pencemaran terhadap sumber daya hayati, maupun nonhayati akan menyebabkan habisnya atau punahnya sumber daya tersebut, dan kalau ini terjadi yang rugi bukan satu atau dua orang saja melainkan seluruh umat manusia di bumi ini. Dari segi penegakan hukum memerlukan perhatian dan aksi pemberdayaan secara maksimal terhadap para pelanggar perusakan lingkungan hidup. Fakta-fakta tersebut antara lain yaitu, akibat penambangan tanah tidak dapat kembali seperti semula walaupun dilakukan reklamasi, namun lahan tersebut sulit untuk bisa ditanami dengan tumbuh-tumbuhan karena sumber daya tanah tersebut tidak ada lagi, tanah sudah tidak subur. Dampaknya pada tanah yang gundul jika kena hujan menjadi longsor dan banjir, masyarakat sendiri mengalami banyak kerugian. Memang benar pertambangan sangat rentang dengan lingkungan apabila pelakunya tidak dapat melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik, akan mengalami kerusakan yang fatal bagi kehidupan manusia5. Dan itu sangat jelas sekali berbenturan atau bertentangan dengan Pasal 65 Undangundang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia“. Dalam usaha dan/atau kegiatan pertambangan mengakibatkan beraneka ragam dampak yang terjadi pada lingkungan hidup sekitarnya yang disebabkan limbah-limbah tambang batubara, oleh karena itu dalam hal menyatakan limbah batu bara itu tergolong limbah yang berbahaya bagi 5
Gatot Supramono, Hukum pertambangan Mineral dan Batubara diIndonesia. hlm, 237.
4
lingkungan hidup, dapat di tentukan melalui ketentuan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Karena dalam peraturan tersebut telah memberikan gambaran secara jelas Limbah Bahan berbahaya dan beracun (untuk selanjutnya disebut B3) dapat diidentifikasikan menurut sumber uji karakteristik dan/atau uji toksikolog, uji toksisitas merupakan uji terakhir yang dilakukan apabila suatu limbah tidak termasuk dalam daftar sumber spesifik dan tidak memiliki karakteristik sebagai limbah B3 serta tidak beracun. Uji toksikolog yang dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut meliputi uji akut dan kronis. jenis-jenis limbah yang berbahaya atau B3 menurut pasal 7 ayat 1 meliputi ; Limbah B3 dari sumber tidak spesifik, Limbah B3 dari sumber spesifik, Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifik, Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum dalam lampiran I peraturan pemerintah, Pasal 7 ayat (2) bahwa, Uji karakteristik limbah B3 meliputi ,mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, meracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat efektif, pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan/atau kronik. Melihat dari dasar hukum tersebut diatas untuk menjadikan atau sebagai acuan bahwa, limbahlimbah dari pertambangan batu bara tersebut apakah termasuk jenis limbah B3 atau bukan. Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan batubara beraneka ragam sifat, bentuk, dampak dan resikonya antara lain ;
5
1) Usaha pertambangan dalam waktu singkat dapat mengubah bentuk fopografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya;6 2) Menimbulkan berbagai macam gangguan, antara lain; pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, berbagai macam limbah serta buangan tambang yang mengandung zat beracun. Gangguan juga berupa suara bising dari berbagai alat berat, suara ledakan eksplosive (bahan peledak) dan gangguan lainnya; 7 3) Pertambangan yang dilakukan tanpa mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi lapangan dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang, dan gempa;8 4) Air limbah pertambangan batu bara adalah air yang berasal dari kegiatan
penambangan
batu
bara
yang
meliputi
penggalian,
pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah batu bara yang akan dibuang
atau
pertambangan
dilepas batu
ke
bara
air akan
permukaan. berbeda
Akibat
pencemaran
dengan
pencemaran
pertambangan mangan atau pertambangan gas dan minyak bumi. Keracunan mangan akibat menghirup debu mangan akan menimbulkan
6
Abrar Saleng, Risiko-risiko dalam Eksplorasi dan Ekploitasi Pertambangan serta Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak, loc. cit. 7 Ibid. 8
Ibid.
6
gejala sukar tidur, nyeri dan kejang–kejang otot, ada gerakan tubuh diluar kesadaran, kadang-kadang ada gangguan bicara dan impotensi. 5) Abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) merupakan limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batubara yang menimbulkan masalah lingkungan seperti pencemaran udara, perairan dan penurunan kualitas ekosistem, karena berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, abu terbang dan abu dasar dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindian secara alami dan mencemari lingkungan. Dampak negatif dari aktifitas pertambangan batubara bukan hanya menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan. Melainkan, ada bahaya lain yang saat ini diduga sering disembunyikan para pengelola pertambangan batubara di Indonesia, yaitu kerusakan permanen akibat terbukanya lahan, kehilangan beragam jenis tanaman, dan sejumlah kerusakan lingkungan lainnya ternyata hanya sebagian dari dampak negatif yang terlihat oleh mata, seharusnya ada suatu
penanganan
yang
perlu
diperhatikan
oleh
para
perusahaan
pertambangan batubara sebagai bentuk pertanggung jawaban yang telah dilakukannya. Menyimpulkan dari penjelasan tersebut diatas bahwa, perlu adanya pengaturan Perundang-undangan, baik pelaksanaan pengelolaan limbah pertambangan batubara maupun dari Undang-Undang tentang lingkungan hidup, yang mempunyai konsekwensi jelas dan mengikat terhadap kedua instansi, sehingga tidak ada yang akan menjadi beban berat sebelah dari
7
salah satu instansi tersebut. Dari usaha atau kegiatan pertambangan telah diatur dalam Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dari segi hukum lingkungan hidup. Ada suatu aturan yang membatasi sebagai upaya perlidungan yang berkaitan dengan pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah Pertambangan Batubara. untuk mengetahui lebih jauh lagi akan di dijelaskan pada bab berikutnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari penjelasan latar belakang di atas maka, penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah
sistem
pelaksanaan
pengelolaan
limbah
tambang
Batubara menurut Undang-Undang Pertambangan dan Undang-Undang Lingkungan Hidup di Indonesia ? 2. Bagaimana pengelolaan
mekanisme limbah
penegakan
Tambang
hukum
Batubara
terhadap
pelanggaran
berdasarkan
Perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia ?
1.3 Penjelasan Judul Untuk menghindari multi tafsir dalam penelitian ini maka, diperlukan adanya penjelasan istilah proposal skripsi ini berjudul : “PENGELOLAAN LIMBAH TAMBANG BATUBARA DALAM PRAKTEK UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA”
8
1. Pengelolaan limbah adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan,
pengumpulan,
pengangkutan,
pemanfaatan,
pengolahan, dan/atau penimbunan.9 2. Tambang Batu bara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat didalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.10 3. Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah suatu aturan atau norma yang mengatur tentang lingkungan hidup yang sudah di ratifikasi oleh pemerintah dan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.11
1.4 Alasan Pemilihan Judul Untuk mengetahui lebih jauh tentang permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan limbah tambang batubara yang berdampak terhadap lingkungan hidup dengan ketentuan Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup Nomor 32
Tahun
2009.
Serta
pencegahan
dan
penanggulangan
terhadap
pencemaran limbah Pertambangan Batubara yang berdampak besar dan penting bagi masyarakat sekitar mengenai limbah yang mengandung bahan kimia baik lingkungan hidup maupun kesehatan manusia, dan ingin mengetahui bagaimana mekanisme penegakan hukum bagi korporasi atau perusahaan
yang
melanggar
ketentuan
dalam
pengelolaan
limbah
Pertambang Batubara menurut Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
9
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan Hidup, Bab I Pasal 1 ayat 23. 10 Ibid, Pasal 5. 11
Ibid.
9
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diambil tujuan dari penelitian sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui sistem pelaksanaan pengelolaan limbah tambang batubara menurut Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan, dan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2. Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum yang akan di berikan
kepada
perusahaan
pertambangan
batu
bara
yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan yang disebabkan pembuangan limbah yang tidak memperhatikan pengelolaan limbah batu bara yang dapat merusak lingkungan hidup di sekitarnya menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup
dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
1.6 Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa dalam penelitian penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan berbagai pihak yang mempunyai keterkaitan didalamnya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum terutama di bidang pelestarian lingkungan hidup.
10
1) Hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan dalam hal ini mengenai pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang di akibatkan dari limbah Pertambangan Batubara yang bertentangan dengan Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup di Indonesia; 2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenisnya untuk tahap berikutnya.
b. Manfaat Praktis 1) Sebagai wahana penulis mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang di peroleh dibangku perkuliahan, 2) Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. 1.7 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dari penulisan hukum ini adalah menggunakan yuridis normatif yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup, PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, PP RI Nomor 27 tahun 1999 tentang AMDAL dan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3.
11
2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang mengacu pada UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang di dasarkan pada UUD 1945 (setelah perubahan), Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan, PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan beracun, PP RI Nomor 27 tahun 1999 tentang AMDAL serta pendekatan yang melihat dari pandangan-pandangan para ahli dan putusan pengadilan (yurisprudensi).
3. Langkah Penelitian 1) Obyek Penelitian Menganalisis implementasi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta
Undang-Undang
Nomor
4
tahun
2009
tentang
Pertambangan, PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan beracun dan PP RI Nomor 27 tahun 1999 tentang AMDAL;
2) Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah berupa bahan hukum yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan, meliputi :
12
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat secara yuridis seperti UndangUndang Dasar 1945 (sesudah perubahan), UU No. 4 tahun 2009, UU No 32 tahun 2009, PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan
Limbah
Bahan
Berbahaya
dan
beracun, dan PP RI Nomor 27 tahun 1999 tentang AMDAL; b) Bahan
Hukum
Sekunder,
yaitu
bahan
hukum
yang
memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan Perundang-undangan, literatur, jurnal, buku-buku, hasil penelitian, majalah, internet, teks-teks tentang hukum.
3) Langkah Kajian Dari hasil pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut,
yaitu
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, penulis dapat menafsirkan dan menganalisa secara cermat dan jelas dengan penuh ketelitian sehingga dapat menyimpulkan bahwa sistem pengelolaan limbah pertambangan batubara yang berdampak besar
dan
penting
yang
menimbulkan
pencemaran
dan
perusakan terhadap lingkungan hidup itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun metode analisis tersebut menggunakan cara deduktif, dimana
13
pembahasan diuraikan lebih lanjut dengan menggambarkan wilayah-wilayah yang bersifat umum menjadi wilayah-wilayah penelitian yang bersifat khusus.
1.8
Sistematika Pertanggung Jawaban Dalam pembuatan proposal penelitian hukum (skripsi) ini digunakan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I pendahuluan, berisi uraian mengenai Latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggung jawaban. BAB II Pengelolaan Limbah Pertambangan Batubara menurut UndangUndang Pertambangan dan Undang-Undang Lingkungan Hidup, berisi uraian mengenai sistem Undang-undang
Pengelolaan limbah Pertambangan Batubara menurut Pertambangan
dan
sistem
Pengelolaan
limbah
Pertambangan Batubara menurut Undang-undang Lingkungan Hidup. BAB III Penegakan Hukum Bagi Pencemar Lingkungan Hidup dari limbah pertambangan Batubara, berisi uraian mengenai Mekanisme Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup di
Indonesia. BAB IV Penutupan yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan penulis.
14
15
BAB II PENGELOLAAN LIMBAH PERTAMBANGAN BATUBARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN DAN UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP 2.1 Pengelolaan Limbah Tambang Batubara Berdasarkan Undang-Undang Pertambangan
Pertambangan Batubara adalah Pertambangan endapan karbon yang terdapat dalam bumi, termasuk batumen padat, gambut, dan batuan aspal (Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 4 Tahun 2009) Tidak seperti pada pertambangan lainnya, untuk pertambangan batubara tidak mengenal adanya macam-macam penggolongan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalam di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat Batubara adalah salah satu sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumberdaya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya berkalanjutan,
diperlukan dan
seoptimal
berwawasan
mungkin,
lingkungan,
efesien,
serta
transparan,
berkeadilan
agar
memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.12
a.
Baku Mutu Limbah Limbah Tambang Batubara adalah sisa-sisa dari usaha/kegiatan
Pertambangan yang menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan 12
Penjelasan “undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara”.
15
hidup, oleh karena itu dengan adanya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, maka Baku mutu sangat di perlukan. Baku mutu limbah tambang batubara adalah untuk menilai ambang batas yang menentukan bahwa limbah tersebut berbahaya atau tidak. Apabila hasil kajian AMDAL atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh AMDAL atau UKL dan UPL.
b.
Pengolahan Limbah Tambang Batubara Limbah batubara yang dikenal sebagai fly ash (FA) dan bottom ash
(BA) digolongkan sebagai limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999.13 oleh karena itu, Dalam proses pengolahan limbah tambang batubara perlu penelitian, seperti baku mutu. Usaha dan/atau kegiatan pertambangan batubara wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan batubara dan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan. Limbah tambang batubara tidak boleh di alirkan secara langsung ke media lingkungan hidup, harus ada penampungan sementara untuk merubah atau dapat mengola dalam suatu tempat tersendiri hingga batas ketentuan dalam kreteria baku mutu yang
13
http://www.bbt.kemenperin.go.id/index.php/hasil-penelitian/arena-tekstil/49-arena-2007/176-PengelolaanLimbah-Bahan-Berbahaya-Dan-Beracun, unduh internet, Tanggal 02-Januari-2014, jam 20: 50:25.
16
telah di tetapkan oleh aturan Undang-Undang yang berlaku. Maksudnya, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan batu bara wajib mengelola limbah yang berdampak pada lingkungan hidup yang diakibatkan dari kegiatan penambangan batubara melalui kolam pengendapan (pond). Dan melakukan kajian lokasi titik penataan (point of compliance) air limbah dari kegiatan pertambangan.14 .
Bupati/Walikota
wajib
mencantumkan
persyaratan
dalam
izin
pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan yang diterbitkan. Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang ijin Pengolahan Limbah,15 baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar.
c.
Izin usaha dan/atau kegiatan Kegiatan yang banyak mempengarui pencemaran atau rusaknya
lingkungan hidup lebih banyak disebabkan karena kegiatan perusahaan dari pada kegiatan rumah tangga. Terutaman dari perusahaan industri yang menghasilkan limbah membuang limbahnya tidak di daur ulang lebih dulu. Di samping itu dari perusahaan industri perkayauan dan pertambangan juga ikut andil dalam kerusakan lingkungan.
14
www.ampl.or.id/digilib/read/baku-mutu-air-limbah-bagi-usaha-dan-atau-kesiapan-pertambangan-batubara/47423 unduh internet jam 20:44:30 15
Keputusan Menteri Menteri Lingkungan Hidup No.113 Tahun 2003 tentang ijin Pengolahan Limbah.
17
Oleh karena banyaknya perusahaan yang usahanya berdampak terhadap lingkuangan, maka Negara melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup wajib setiap perusahaan wajib memiliki izin lingkungan (Pasal 36 UU.PPLH). Izin lingkungan menjadi dasar bagi perusahaan untuk memperoleh izin usaha (Pasal 40 UU.PPLH). sebagaimana di jelaskan diatas bahwa izin lingkungan merupakan izin prinsip bagi perusahaan, agar setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatannya memiliki perhatian dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Dengan aturan yang demikian, memaksa kepada setiap perusahaan untuk memiliki izin lingkungan sebelum pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha perusahaan. dengan izin lingkungan digunakan pemerintah untuk mengontrol perusahaan-perusahaan dalam menjalankan usahanya. Apabila di dalam menjalankan kegiatannya ditemukan pelanggaran izin lingkungan, maka akibatnya pemerintah menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin lingkungan. Izin lingkungan yang di cabut berakibat fatal bagi perusahaan, karena perusahaan akan menjadi tutup lantaran izin usaha tidak memiliki landasan hukum atau tidak berlaku lagi. Dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan diatas disebutkan bahwa, setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Adapun perusahaan
yang
wajib
memiliki
AMDAL
adalah
Perusahaan
yang
usaha/kegiatannya yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Dengan memiliki AMDAL di gunakan perusahaan untuk mengurus penerbitan izin Lingkungan. Untuk mengatakan bahwa suatu usaha/kegiatan perusahaan
18
berdampak penting dan besar, maka perlu ukuran-ukuran yang sudah di tentukan oleh Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut ; a) Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan. b) Luas wilayah penyebaran dampak, c) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d) Banyaknya komponen lingkungan hidupyang akan terkena dampak, e) Sifat komulatif dampak f) Berbalik (reversible) atau tudak berbaliknya (irreversible) dampak,dan/atau g) Kreteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Usaha dibidang
pertambangan yang termasuk di dalam ukuran
berdampak penting terhadap lingkungan hidup karena setidaknya memenuhi kriteria huruf a sampai huruf d Pasal 22 ayat (2) UU PPLH karena inti dari pertambangan
adalah
melakukan
penggalian
tanah
dengan
jumlah,
kedalaman dan luas yang tidak kecil yang memiliki akibat yang sangat besar antara lain tanah longsor, ambles, tanah tidak subur, tidak mudah di reklamasi, banjir, dan berdampak akan merugikan kepada masyarakat luas yang ada disekitar pertambangan.
d.
Penanggulangan dan Pemulihan Lingkungan Hidup Tindakan penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup hanya
ditujukan terhadap setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran
19
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup di lakukan dengan;16 a. b. c. d.
Pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; Pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; Penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan /atau Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Di samping itu setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan ; a. Penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur-unsur pencemaran; b. Remediasi; c. Rehabilitasi; d. Restorasi; dan/atau e. Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
e.
Peran Masyarakat Bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam kegiatan pertambangan di
suatu daerah. Perananan masyarakat ini tertuang dalam pasal 33 Peratuaran Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup” dimana masyarakat setempat dapat menentukan untuk pengambilan keputusan apakah perusahaan pertambangan layak beroperasi di daerahnya sendiri dengan melihat aspek lingkungan hidup. Yang terjadi 16
Gatot Supramono, Bab XII : Aspek Lingkungan Hidup di Bidang Pertambangan, hlm, 241.
20
kebanyakan di daerah-daerah sehingga menimbulkan banyak konflik dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, pertambangan telah beroperasi dan sangat memberikan dampak negatif bagi masyarakat, sehingga masyarakatpun seharusnya bergerak untuk menghentikan kegiatan pertambangan tersebut, agar tidak berdapak parah terhadap lingkungan hidup.
2.2
Sistem Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Berdasarkan Undang-Undang Lingkungan Hidup
Tambang
Batubara
Definisi dari llingkungan hidup adalah tercantum dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
alam
itu
sendiri,
kelangsungan
perikehidupan,
dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup. Pemahaman lingkungan hidup mungkin akan lebih rinci sebagaimana di jelaskan menurut Otto Soemarwoto, bahwa sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam faktor. Pertama , oleh jenis dan jumlah masingmasing jenis unsur lingkungan hidup tersebut. Kedua, hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup itu. Ketiga, kelakuan atau kondisi unsur lingkungan
hidup.
Keempat,
fakto
nonmaterial
suhu,
cahaya,
dan
kebisingan.17 Dari pengertian Lingkungan Hidup menurut Pasal 1 angka 1 UndangUndang No. 32 tahun 2009 tersebut maka dapat di rumuskan menjadi unsurunsur sebagai berikut ; 17
Otto Soemarwoto, Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan, (Jakarta: Djambatan, Cetakan Ketujuh, 1997), hlm. 53.
21
1. Kesatuan ruang Maksud kesatuan ruang adalah suatu bagian tempat berbagai komponen lingkungan hidup bisa menempati dan melakukan proses interaksi diantara berbagai komponen lingkungan hidup tersebut. 2. Semua benda Benda juga dapat dikatakan sebagai Materi atau Zat, Maksudnya Zat adalah apa saja yang mempunyai massa dan menempati suatu ruang baik yang berbentuk padat, cair dan gas. Dan materi adalah sesuatu yang dapat di lihat dan di pegang seperti kayu, kertas, batu, makanan, dan pakaian. 3. Daya Daya atau juga disebut juga dengan energi atau tenaga merupakan sesuatu yang memberikan kemampuan untuk menjalankan kerja atau dengan kata lain energi atau tenaga adalah kemampuan untuk melakukan kerja, seperti energi cahaya energi panas, energi magnet, energi listrik, energi gerak, energi kimia dan lain-lain. 4. Keadaan Keadaan disebut juga situasi dan kondisi,memiliki berbagai ragam yang satu sama yang lain ada yang membantu berlangsungnya proses kehidupan lingkungan, ada yang merangsang makhluk hidup untuk melakukan sesuatu, ada juga yang mengganggu berprosesnya interaksi lingkungan dengan baik. 5. Makhluk Hidup (termasuk manusia dan perilakunya) Makhluk hidup merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat dominan dalam siklus kehidupan. Makhluk hidup seperti binantang, tumbuh-tumbuhan peranannya dalam lingkungan hidupsangat penting, tetapi makhluk hidup seperti itu tidaklah merusak atau mencemari lingkungan, lain halnya dengan manusia. Dari uraian tersebut berarti pengertian lingkungan hidup disini hanyalah lingkungan fisik saja, baik yang biotik atau yang abiotik. 18
a.
Perizinan Lingkungan Hidup Instrumen pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan dalam upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, satu diantaranya yaitu perizinan. Instrumen perizinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), terdiri dari izin lingkungan dan izin kegiatan/usaha. Izin 18
Ibid.
22
lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (35) UUPPLH adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Sebagai suatu instrumen, izin lingkungan berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, Perekayasa, dan perancang pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Jika di telaah lebih mendalam makna izin lingkungan Pengelolaan
sebagaimana Lingkungan
diatur dalam Hidup,
Undang-Undang
berisikan
suatu
Perlindungan
keputusan
tentang
kelayakan lingkungan atas suatu usaha dan/atau kegiatan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 yang memberikan batasan izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, dan Pasal 47 PP Nomor 27 tahun 2012 yang menegaskan izin lingkungan diterbitkan
untuk
Keputusan
Kelayakan
Lingkungan
Hidup
atau
Rekomendasi UKL-UPL. Kesimpulannya adalah Setiap orang atau perusahaan yang melakukan usaha dibidang apa saja, itu wajib memiliki izin dari pihak yang berwenang yaitu pemerintah ( Menteri Lingkungan Hidup ). Maka sejak diberlakunya UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) perusahaan wajib memiliki izin lingkungan. Dengan izin
23
lingkungan yang dimiliki digunakan sebagai dasar bagi perusahaan untuk mengurus/penerbitan izin usaha perusahaan agar dapat menjalankan usahanya. Dampak penting ditentukan berdasarkan kreteria ; 1) Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan. 2) Luas wilayah penyebaran dampak, 3) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; 4) Banyaknya komponen lingkungan hidupyang akan terkena dampak, 5) Sifat komulatif dampak; 6) Berbalik (reversible) atau tudak berbaliknya (irreversible) dampak,dan/atau 7) Kreteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b.
Baku Mutu Lingkungan Setiap aktivitas yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan
lingkungan selalu terjadi penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan hidup merupakan yang esensial, sehingga perlu di tanggulangi dan tidak berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Untuk menentukan penurunan kualitas lingkungan ditentukan tolak ukur yang berupa baku mutu lingkungan, dan untuk menentukan baku mutu lingkungan diperlukan disiplin ilmu yang lain. Baku mutu lingkungan dapat ditentukan berbeda untuk setiap Sumber Daya Alam. Perbedaan disebabkan olen perbedaan peruntukannya. Baku mutu lingkungan yang ditentukan berbeda untuk setiap peruntukan itu memberikan ukuran maksimum jumlah bahan atau materi atau juga energi yang boleh terdapat didalam lingkungan yang telah ditetapkan peruntukannya. Dengan adanya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, maka baku mutu lingkungan adalah untuk menilai ambang batas yang menentukan bahwa lingkungan masih atau tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya,
24
atau untuk menentukan bahwa lingkungan belum atau telah terjadinya perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup. Jadi baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang harus ada atau unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup (pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009). Menurut Koesnadi, bahwa baku mutu lingkungan diperlukan untuk menetapkan apakah telah terjadi kerusakan lingkungan, artinya apabila keadaan lingkungan telah ada di atas ambang batas baku mutu lingkungan, maka lingkungan tersebut telah rusak atau tercemar.19 Pada
dasarnya
setiap
usaha/kegiatan
seperti
halnya
industri/perusahaan pertambangan tentu akan menghasilakan limbah yang seringkali dapat membahayakan masyarakat sekitarnya, apabila limbah itu tidak di olah dengan baik. Oleh karena itu, setiap limbah perlu di olah sebelum di buang atau di alirkan kesungai, berarti perusahaan tersebut harus mempunyai alat pengolahan limbah.
c.
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Limbah adalah sisa suatu usahadan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 20
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009). Jadi limbah adalah bahan sisa dari suatu usaha atau kegiatan dalam proses produksi yang menghasilkan sisa.
19
Koesnadi Hardjasoemantri, Op, Cit, hlm. 217.
25
Adapun yang dimaksud limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracunyang karena sifat dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain (pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009). Jadi limbah bahan berbahaya dan beracun yang kemudian disebut dengan limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan
berbahaya
dan/atau
beracun
yang
karena
sifat
dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia. Limbah bahan berbahaya dan beracun ini antara lain adalah bahan yang bersifat berbahaya dan beracun yang tidak digunakan karena rusak, sisa pada kemasan, sisa proses, sisa oli bekas dari kapal yang memerlukan penanganan dan pengelolaan khusus.20 Pasal 59 Undang-undang Nomor 32 tahum 2009 secara umum mengatur ketentuan tentang pengelolaan limbah yang menyatakan ; Pasal 59 (1) Setiap orang yang menghasilakn limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah bahab berbahaya dan beracun (B3) yang dihasilkannya. (2) Dalam hal limbah bahab berbahaya dan beracun (B3) sebagaimana di maksud dalam pasal 58 ayat (1) telah kadaluarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3 (3) Dalam hal setiap oramg tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan B3, pengelolaannya diserahkan pihak lain. (4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
20
Gatot soemartono, Hukum Lingkungan Hidup, (Jakarta: sinar Grafika, 1996), hlm. 143.
26
(5) Menteri,Gubernur, atau Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus di patuhi pengelolaan limbah B3 dalam izin. (6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas berarti didalam melakukan usaha/kegiatan sebagai sarana pengelolaan limbah dan limbah B3, maka pengelolaan limbah dan limbah B3 harus komitmen menjamin pelestarian fungsi
lingkungan
hidup
dan
mengurangi
serta
mencegah
adanya
perkembangan limbah B3 yang sangat membahayakan bagi lingkungan hidup. Pengaelolaan limbah juga wajib memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yaitu suatu kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha/kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha/kegiatan. Di samping
itu, dalam
pengelolaan
limbah
sebagai
usaha/kegiatan yang menimbulkan dampak penting dan besar terhadap lingkungan hidup, hendaknya sesuai dengan baku mutu lingkungan. Jadi, dalam pengelolaan limbah dan limbah B3 harus sesuai dengan AMDAL dan baku mutu lingkungan. Pelaksanaan AMDAL dimaksudkan sebagai salah satu alat atau sarana pencegahan kerusakan lingkungan, sebab pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, sedangkan pelaksanaan baku mutu lingkungan yaitu limbah harus diolah terlebih dahulu sebelum di buang ke media lingkungan hidup sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
27
d.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) Konsep Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau disingkat
AMDAL yang merupakan konsep yang sangat penting, khususnya dalam penerapan asas pembangunan yang berkelanjutan ( sustainable development ). Konsep Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebenarnya bukan hal yang baru, karena hal ini diperlukan untuk memperkecil konsekwensi dari pembangunan yang direncanakan yang berdampak besar dan penting pada lingkungan hidup, walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dan tidak dilakukan secara komperhensif. Hal yang penting diberikannya izin AMDAL adalah adanya dampak besar dan penting yang berakibat pada lingkungan hidup. Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usah dan/atau kegiatan ( Pasal 1 angka 2 Perturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 ). Jadi, dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas, baik aktivitas manusia maupun karena alam. Untuk mendapatkan suatu kepastian tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang harus dilengkapi dengan AMDAL, perlu dijabarkan dalam suatu peraturan pelaksanaan yang menentukan apa yang dimaksud dengan “dampak besar dan penting“, kemudian rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut di perkirakan mempunyai dampak besar dan penting terhadap lingkungan. Menurut pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 , bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi ;
28
a. Perubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. Eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran, dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya; d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengarui lingkungan hidup alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial budaya; e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengarui pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f.
Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik;
g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besara untuk mempengarui lingkungan hidup; i.
e.
Kegiatn yang mempunyai risiko tinggi, dan/atau mempengarui pertahanan Negara.
Audit Lingkungan Hidup Audit lingkungan adalah untuk memantau suatu kegiatan atau usaha
yang semakin meningkat yang mengandung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup perlu diadakan suatu pengawasan terhadap setiap jenis usaha dan atau kegiatan. Salah satunya, dengan memberlakukan audit lingkungan.Pasal 48 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa “Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup”. Audit lingkungan adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, periodik, dan objektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan
29
memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian penataan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan.21 Sementara audit lingkungan yang diwajibkan adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan berdasarkan perintah Menteri atas ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang terkait dengan kegiatan tersebut.22 Gunawan Djayaputra mengatakan, audit lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi massa kini dan generasi masa depan. Selain itu, dengan audit lingkungan dapat meminimalisasi terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan.23 Oleh karena itu, audit lingkungan hidup merupakan perangkat menejemen yang dilakukan oleh suatu usaha /kegiatan sebagai bentuk rasa tanggung jawab terhadap pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Perusahaan yang membuat audit lingkungan hidup mempunyai nilai lebih apabila dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membuatnya. Dengan demikian, perusahaan dianjurkan untuk membuat audit lingkungan, tetapi audit lingkungan ini bersifat sukarela, dan tidak memaksa. Akan tetapi, kemudianaudit lingkungan hidup itu menjadi wajib, apabila penanggung jawab
21 22 23
Muhamad Erwin, op. cit., hlm. 108.
Ibid Supriadi, op. cit., hlm. 200.
30
usaha/kegiatan menunjukan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangundangan lingkungan hidup. Sebagai upaya pelaksanaan audit lingkungan hidup, maka ditetepkan Surat Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No: KEP-42
/
MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup. Adapun dasar pertimbangan ditetapkannya surat Keputusan tersebut adalah ; a. Bahwa setiap orang menjalankan suatu bidang usaha/kegiatan wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan. b. Bahwa audit ligkungan hidup sebagai suatu perangkat pengelolaan yang dilakukan secara sadar telah diakui merupakan alat yang efektif dan sangat bermanfaat bagi suatu usaha atau kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup. c. Bahwa audit lingkungan hidup adalah suatau proses untuk melaksanakan suatu kajian secara sistematis, terdokumentasi, berkala dan obyektif terhadap prosedur dan praktek-praktek dalam pengelolaan lingkungan hidup. d. Bahwa audit lingkungan hidup dapat membantu menemukan upaya penyelesaikan yang efektif tentang masalah lingkungan hidupyang dihadapi suatu usaha/kegiatan, sehingga dapat meningkatkan kinerja uasaha/kegiatan yang bersangkutan dalam kaitan dengan pelestarian kemampuan lingkungan hidup. Di dalam prinsip-prinsip dan pedoman umum pelaksanaan audit lingkungan yang tercantum dalam Lampiran Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa audit lingkungan dilaksanakan secara suka rela oleh penanggung jawab usaha/kegiatan dan merupakan alat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang bersifat internal. Dengan adanya pedoman tersebut
maka
pengelolaan
dan
pemantauan
suatu
usaha/kegiatan
diharapkan dapat dilakukan dengan baik, lebih terarah, efektif dan efisian.
31
f.
Pengawasan Lingkungan Hidup Untuk melakukan tugas pengawasan dalam pengendalian dampak
lingkungan
pemerintah
membentuk
badan
khusus
untuk
melakukan
pengawasan yang dimaksud, sebagaimana ditentukan dalam pasal tersebut diatas,yaitu Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan khusus dilakukan oleh suatu lembaga yang di bentuk khisus untuk itu oleh pemerintah.
Sebelum
dihapuskannya
BAPEDAL
(Badan
Pengawasan
Dampak Lingkungan), maka badan yang berwenang melakukan pengawasan adalah BAPEDAL tersebut, akan tetapi setelah BAPEDAL dihapus maka badan yang berwenang sebagai pengawas dampak lingkungan ditingkat pusat langsung dibawah Menteri Negara Lingkungan Hidup. Di daerah badan pengawasan dampak lingkungan tersebut badab pengendalian lingkungan hidup
daerah
(LHBPD),
baik
ditingkat
propinsi
maupun
ditingkat
kabupaten/Kota. Menurut Philipus mandiri hadjon, wewenang petugas pengawasan dibedakan menjadi, pertama wewenang yang tidak membutuhkan respon dan penanggung jawab kegiatan dan kedua, wewenang yang membutuhkan respon dari penanggung jawab kegiatan untuk dapat terlaksananya wewenang pengawas. Dalam hal ini, wewenang melakukan pemantauan tidak membutuhkan respon dari penanggung jawab kegiatan, sedang wewenang lainnya hanyan dapat terlaksana kalau ada respon dari penanggung jawab usaha/kegiatan dan wewenang ini bersifat imperatif, karena itu wajib ditaati. 24 Institusi pengawasan tidak hanya dilakukan oleh tingkat pusat saja, tetapi pada tingkat daerah juga diberikan kewenangan dalam pengawasan 24
Philipus Mandiri Hadjon, “UU No. 23 tahun 1997 dan penegakan hukumnya, ditinjau dari aspek hukum administrasi”, Makalah Seminar Fakultas Hukum UNDIP, Tanggal 21 Pebruari 1998, hlm. 8.
32
sebagaimana dikemukakan diatas tersebut. Pada tingkat daerah pengawasan dan pengendalian dampak lingkungan dilakukan oleh daerah Propinsi dan daerah kabupaten/Kota sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dalam pengelolaan
lingkungan
pengawasan
pada
hidup
tingkat
di daerah. Oleh
pusat
yang
karena
mempunyai
itu,
institusi
program-program
pengawasan dan pengendalian lingkungan, maka didaerah juga membuat program yang sama dalam bidang pengawasan dan pengendalian lingkungan di daerah. Dalam melakukan usaha/kegiatan yang menimbulkan limbah yang dapat mempengaruhi
lingkungan
hidup
dalam
hal
ini
pencemaran
dan
pengerusakan perlu dilakukan pengawasan oleh pejabat Pemerintah dalam hal ini, Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi sebagai berikut ; Pasal 71 (1) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewarganegaraan wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Menteri, gubernur, atau bupat/walikota dapat mendelegasikan kewenangan nya dalam melakukan pengawasannya kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri. Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapkan pejabat pengawasan lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Ketentuan tersebut memberi wewenang kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk melakukan pengawasan dan penaatan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. menjelaskankan bahwa dalam hal yang berkaitan dengan penetapan pejabat yang berwenang dan
33
instansi lain untuk melakukan pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan.25
25
Sodikin, SH, MH, Msi, (penegakan hukum lingkungan) hlm 91
34
35
BAB III MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMAR LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
3.1 Penegakan Hukum Administrasi
Lingkungan
Hidup
Berdasarkan
Aspek
Hukum
Hukum administrasi merupakan instrumen yuridis bagi penguasa untuk secara aktif terlibat dengan masyarakat, pada sisi lain hukum administrasi merupakan hukum yang memungkinkan anggota masyarakat mempengarui penguasa dan memberikan perlindungan terhadap penguasa.26 Dalam sistem hukum di Indonesia penguasa itu terdiri dari penguasa di tingkat pusat dalam hal ini adalah Pemerintah dan penguasa ditingkat daerah adalah pemerintah Propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan mengkaji lebih mendalam permasalahan hukum tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, maka bagian terbesar hukum lingkungan hidup di Indonesia merupakan hukum administrasi. Dengan demikian aspek hukum administrasi akan tampak berkaitan dengan peran pemerintah
(baik
Pemerintah
maupun
Pemerintah
Propinsi
dan/atau
Kabupaten/Kota) dalam memberikan perizinan pendirian usaha/kegiatan, dan melakukan langkah penyelamatan lingkungan apabila ketentuan yang disyaratkan dalam perizinan itu di langgar. Oleh karena itu tugas Pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada warga masyarakatnya sebelum
26
Philipus M. Hadjon, Pengantar hukum administrasiIndonesia,Yogyakarta,Gajah Mada University Press, 2002), hlm, 27.
35
melakukan aktifitas kehidupan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan, maka pelayanan pemerintah pada masyarakat adalah sesuai dengan tujuan pengelolaan lingkungan hidup secara berdaya guna dan berhasil guna. Dengan Peraturan perundang-undangan tersebut dapat diberikan landasan dan kewenangan kepada pemerintah untuk menerbitkan keputusan pemerintahan yang berfungsi melindungi (preventif) dan menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Keputusan tersebut berbentuk perizinan
untuk
melakukan
usaha/kegiatan
dengan
mencantumkan
persyaratan yang wajib ditaati penerima izin separti yang berkenaan dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), baku mutu air buangan, dan lain-lain, sehingga perizinan merupakan suatu instrumen penegakan hukum Administratif, kemudian apabila persyaratannya dilanggar maka akan dikenakan sanksi administratif. Sarana administrasi dapat bersifat preventif dan bertujuan menegakkan peraturan
perundang-undangan
(misalnya:
Undang-Undang,
Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota, dan sebagainya). Penegakan hukum dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut perizinan, baku mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan (RKL), dan sebagainya. Penindakan represif oleh
penguasa
terhadap
pelanggaran
peraturan
perundang-undangan
lingkungan administratif pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung keadaan terlarang itu. Sanksi administrasi terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang.
36
Di samping itu, Sanksi administrasi terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 (PPLH).27 Beberapa jenis sarana penegakan hukum administratif yakni, pasal 76 UUPPLH adalah: 1. Teguran Tertulis; 2. Paksaan Pemerintah; 3. Pembekuan Izin Lingkungan; 4. Pencabutan Izin Lingkungan. Pasal 77 Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 78 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. Pasal 79 Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
27
Muhammad Erwin, Op. Cit. hlm, 117
37
Pasal 80 (1) a. b. c. d. e. f. g.
(2)
Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa: Penghentian sementara kegiatan produksi; Pemindahan sarana produksi; Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; Pembongkaran; Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; Penghentian sementara seluruh kegiatan; atau Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Pasal 81 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Pasal 82 1.2. Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya. 2.2. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
38
Sanksi administrasi tersebut mempunyai fungsi instrumental yaitu pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarang dan terutama ditujukan terhadap perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar itu. Oleh karena itu, aspek hukum administrasi bertujan agar yang melanggar hukum atau yang tidak memenuhi persyaratan yang diizinkan, agar berhenti atau mengembalikan pada keadaan semula, yaitu sebelum terjadinya pencemaran
dan
perusakan.
Jadi,
fungsi
pengawasan
administrasi
mempunyai peran yang penting dalam mekanisme penegakan hukum lingkungan administrasi tersebut. Oleh karena itu fokus sanksi administrasi adalah perbuatannya, berbeda halnya dengan sanksi pidana adalah orangnya, agar ia berubah menjadi orang yang baik dan memperhatikan lingkungan serta hak orang lain untuk hidup yang layak didalam lingkungan yang sehat.28 Selanjutnya untuk menjatuhkan suatu sanksi dapat dilakukan dari tingkat Menteri sampai penjabat di tingkat daerah, tergantung bobot dan pokok pelanggarannya. Hal ini untuk memperoleh ketentuan-ketentuan yang lebih jelas, yang kemudian dapat diterapkan bagi instansi-istansi yang terkait di dalamnya. Penegakan hukum merupakan salah satu cara atau strategi dalam mendorong penaatan terhadap standar, baku mutu dan peraturan perundangundangan lingkungan hidup. Dibandingkan dengan penegakan hukum pidana dan keperdataan, penegakan hukum administrasi walaupun ada unsur paksaan (force), namun jenis penegakan hukum ini memiliki fungsi pencegahan (preventive). Melalui pengawasan yang konsisten dan teratur maka berbagai bentuk pelanggaran izin dan peraturan perundang-undangan yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan dapat dicegah sedini 28
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan.
39
mungkin.
Dengan
demikian
pengawasan
merupakan
"jantung"
dari
penegakan hukum administratif. Perangkat pengelolaan lingkungan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin (terutama izin lingkungan atau izin yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup) dapat dijadikan tolak ukur pelaksanaan pemantauan atau pengawasan penaatan dalam kemasan penegakan hukum administrasi. Hasil pengawasan inilah yang dapat ditindaklanjuti dengan pembinaan dan atau penjatuhan sanksi administratif.
3.2. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Berdasarkan Aspek Hukum Perdata Aspek hukum perdata dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah satu aspek penegakan hukum lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan perbuatan yang mengakibatkan rusak dan tercemarnya lingkungan hidup. Pencemaran dan perusakan yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan hidup perlu ada usaha untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Mengenai hal ini perlu dibedakan antara penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksanaan lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Dengan terjadinya pencemaran dan perusakan maka, akan ada korban pencemaran dan perusakan, dalam arti sebagai pihak yang di rugikan, dan pihak yang dirugikan dapat berupa orang perorangan, masyarakat atau negara, penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat di tempuh melalui pengadilan maupun diluar pengadilan
40
berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Hukum lingkungan keperdataan terutama mengatur perlindungan hukum bagi korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap pencemar.29 Dalam penegakan lingkungan hidup dari segi sanksi perdata, Penyelesaian lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan (litigasi) maupun diluar pengadilan (Nonlitigasi). Proses penegakan hukum Lingkungan melalui Prosedur perdata penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau luar pengadilan berdasarkan pilihan secara suka rela para kedua belah pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Apabila telah dipilih upaya penyelasaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Penyelesaian diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadi atau terulang dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat digunakan jasa orang ketiga baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan segketa lingkungan hidup. Pemerintah dan Masyarakat dapat membentuk lembaga penyediaan jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas
29
Suparto Wijoyo, ”Penyelesaian Sengketa Lingkungan” hlm, 106.
41
dan tidak berpihak sesuai dengan pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Ganti rugi setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Selain untuk pembenahan melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Tanggung jawab mutlak usaha dan/atau kegiatan yang usahanya atau kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan /atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, Bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan membayar kewajiban membayar ganti rugi secar langsungdan seketika pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, penanggung jawab usaha/keguatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran atau perusakan di sebabkan oleh :
Adanya bencana alam atau peperangan;
Adanya keadaan terpaksa di luar tanggung jawab manusia;
Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya;
Pencematan atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak
ketiga wajib membayar gantu rugi. Tentang daluarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana di atur dalam
42
ketentuan hukum acara perdata yang berlaku dan di hitung sejak saat korban mengetaui adanya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Ketentuan mengenai tenggang daluarsa tidak berlaku terhadap pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang di akibatkan oleh usaha/kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun. Ketentuan-ketentuan mengenai pemberian sanksi perdata yang diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kingkungan Hidup, bagian ketiga paragraf satu Yang menyatakan sebagai berikut : Pasal 87 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. (2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. (3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. (4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan. Dalam masalah penyelesaian ganti kerugian, hal ini juga diatur pula dalam Pasal 1243 dan Pasal 1365 KUHPerdata untuk menentukan siapa yang telah melakukan perbuatan hukum. Isi dari Pasal 1243 KUHPerdata adalah : “Pergantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak berpenghuninya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila pihak si terutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatan, tetapi melalaikanya, atau jika suatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”. Sedangkan berdasarkan Pasal
43
1365 KUHPerdata berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal ini hukum lingkungan hidup dengan melakukan kerugian bagi orang lain, maka orang tersebut harus memberikan ganti rugi terhadap pihak yang (melakukan) atau diinginkannya. Dalam sarana sanksi (hukum) perdata ada 2 (dua) cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup yaitu melalui proses di luar
pengadilan dan
melalui proses pengadilan. a.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar Pengadilan penyelesaian Sengketa lingkungan hidup diataur dalam pasal 85
Undang
Undang
Nomor 32
tahun 2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :
bentuk dan besarnya ganti rugi;
tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup. Sedangkan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa “Dalam penyelaesaian sengketa lingkungan hidup di luar
44
pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”. Penjelasan Pasal 85 ayat (3) menyatakan bahwa lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang mampu memperlancar pelaksanaan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa dengan mendasarkan pada prinsip ketidakberpihakan dan profesionalisme. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk pemerintah dimaksudkan sebagai pelayanan publik. Sebagaimana di jelaskan diatas bahwa penyelesaian sengketa melalui lembaga ADR adalah Arbitrase, mediasi, negosiasi, konsiliasi, yang saat ini banyak di gunakan oleh para pihak bersengketa dalam menyelesaikan perkaranya dalam hal ini sengketa lingkungan hidup.
1. Arbitrase (Arbitration) Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999. Arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata diluar peradialan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dapat dikatakan arbitrase adalah kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan, jadi arbitrase adalah perjanjian perdata diantara para pihak sediri yang bersepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka, yang diputuskan oleh pihak ketiga yang netral (wasit) secara musyawarah. Ada beberapa alasan untukmenggunkan lembaga arbitrase, yaitu : a.
Adanya kebebasan, kepercayaan dan keamanan,
b.
Wasit/arbiter memiliki keahlian (expertise),
45
c.
Lebih cepat dan hemat biaya,
d.
Bersifat rahasia,
e.
Adanya kesepakatan arbiter/wasit,
f.
Bersifat nopreseden,
g.
Pelaksanaan mudah dilaksanakan30 Di Indonesia ada dua macam lembaga arbitrase, yaitu arbutrase
Institusional dan arbitrase ad hoc, arbutrase Institusional adalah arbitrase yang bersifat permanan atau melembaga, yaitu suatu organisasi tertentu yang menyediakan jasa administrasi yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagipara pihak, dan pengangkatan para arbiter. Adapun arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASARNAS). Sedangkan Arbitrase Ad hoc adalah badan arbitrase yang tidak permanen atau disebut juga Arbiter volunter.31 badan Arbitrase ini bersifat sementara atau temporer saja, karena di bentuk khusus untuk menyelesaikan/memutuskan perselesaian tertentu sesuai kebutuhan saat itu dan selesai tugasnya, maka badan itu bubar dengan sendirinya.
2. Mediasi (Mediation) Mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi, mediator adalah orang yang menjadi penengah.32 Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar tidak memihak (impartial) dan netral bekerja
30
dengan
pihak
yang
bersengketa
untuk
membantu
mereka
Felix OS (ed), Arbitrase di Indonesia, (jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), hlm, 19-20.
31
Joni Emirzon, Alternatif penyelesauan sengketa di luar pengadilan (Negosiasi, Mediasi, konsiliasi, Dan Arbitrase), (jakarta ; gramedia pustaka utama , hlm, 103. 32 Jhon M. Echols dan hassan shadily, Kamus inggris-Indonesia, (jakarta : gramedia,hlm,377.
46
memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalanpersoalan diantara mereka.33 Dengan kata lain mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa (lingkungan) melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan bantuan substansi dan proseduralkepada para pihak yang bersengketa.34 Namun mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus atau menerapkan suatu bentuk penyelesaian. Kewenangan mediator sebagaimana dikatakan G.W. Cormick dan L.K.Patton: “Terbatas pada pemberian saran, pihak yang bersengketa lah yang mempunyai otoritasuntuk membuat keputusan berdasarkan konsensus diantara pihak-pihak yang bersengketa.35 Pada prinsipnya Mediasi adalah Negosiasi yang melibatkan pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak ada yang disebut mediasi. Mediasi merupakan perluasan dari negosiasi sebagai mekanisme ADR dengan bantuan seorang mediator. 36 Dalam lembaga ini, peran seorang mediator mempunyai dua macam peran yang dapat dilakukan, yaitu
33
Gary goodpaste, Negosiasi dan Mediasi,, sebuah pedoman Negosiasi dan penyelesaian sengketa melalui Negosiasi, (jakarta; Elips Projeck, 1993), hlm. 201. 34 Andreas Pramudianto, “Soft Law dalam perkembangan hukum lingkungan Internasioanal”, pro justisia, tahun XIII Nomor 4 Oktober 1995, h, 91-96. 35 36
Ibid. Ibid.
47
a. mediator berperan pasif,artinya para pihak sendiri yang bersengketa memiliki kepedulian yang tinggi dan lebih aktif untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi, sehingga peran mediator hanya sebagai
penengah,
mengarahkan
penyelesaian
sengketa
dan
mengatur perundingan, memimpin rapat dan sebagainya. b. Mediator dapat berperan aktif, yang berarti mediator dapat melakukan berbagai tindakan, seperti mempersiapkan dan membuat notulen perundingan, merumuskan dan mengartikulasikan titik temu untuk mendapatkan kesamaan pandangan, memberi pengertian kepada para pihak bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk di menangkan, tetapi sebuah masalah untuk diseslasaikan, membantu para pihak memahami pengertian kepada para pihak tentang bagaimana
proses
perundingan
berlangsung,
menyusun
dan
mengusulkan alternatif pemecahan masalah, membantu para pihak untuk menganalisis aternatif pemecahan masalah, dan membujuk para pihak untuk menerima usulan tertentu.
2.
Negosiasi (Negotiation) Negosiasi
artinya
penyelesaian
sengketa
(lingkungan)
melalui
perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan.37
37
Pada waktu terjadinya kasus kebakaran hutan tersebut, Presiden soeharto menyampaikan permintaan maaf pada masyarakat negara tetanggayang terganggu akibat kebakaranhutan dalm pertemuan Menteri-menteri lingkungan hidup ASEAN di Jakarta tanggal 16 September 1997. Presiden juga menyebut kebakaran besar ini sebagai bencana alam nasional dan mangimbau semua lapisan masyarakat memobilisasi diri bersama-sama mengatasi masalah asap. Baca kompas, Asap, Bencana Alam Nasional, 12 Oktober 1997, Namun , permintaan maaf tersebut bukan penyelesaian yuridis. Dengan semangat ASEAN, kasus asap kebakaran hutan tidak disengketakan oleh Negara-Negara anggota ASEAN yang dirugikan.
48
Dalam negosiasi para pihak yang bersengketa berunding secara langsung ( kadang-kadang didampingi pengacaranya masing-masing ) tanpa perantara pihak ketiga dalam menentukan kata akhir penyelesaian sengketa (lingkungan). Penyelesaian sepenuhnya dikontrol para pihak sendiri atas dasar prinsip”win-win sollution”. Negosiasi bersifat informal dan tidak terstruktur (tidak ada bentuk baku) serta waktunya pun tidak terbatas. Bahasa indonesia sehari-hari dikenal
dengan istilah berunding atau
bermusyawarah ; a) Proses tawar-menawar dengan jalan berunding dengan memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau orgnisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain. b) Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihakpihak yang bersengketa.38 Dengan demikian, negosiasi itu sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif. Para pihak yang bersengketa berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dengan cara koorporatif dan saling terbuka.
38
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta; Balai pustaka,1997), hlm, 686.
49
3. Konsiliasi (Conciliation) Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian perselisihan.39 Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antar kedua belah pihak secara negosiasi. 40 Adapun menurut Oppenheim sebagaimana dikutip oleh huala Adolf, bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada suatu komisi orang-orang
yang
bertugas
menguraikan/menjelaskan
fakta-fakta
dan
(biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai
suatu
kesepakatan),
membuat
usulan-usulan
untuk
suatu
penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.41 Kedudukan seorang konsiliator dalam proses konsiliasi hanyalah memainkan peran pasif, konsiliasi didifinisikan sebagai upaya penyelesaian sengketa (lingkungan) melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Bantuan pihak ketiga netral dalam konsiliasi lazimnya bersifat pasif atau terbatas pada fungsi prosedural.42
b. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan (litigasi) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan yang diatur dalam pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang 39 40
Ibid, hlm 457. Joni Emirzon, Op-cit, hlm. 91.
41
Huala Adolf, Dan Chandrwulan A, Masalah-masalah Hukum dalam Perdagangan internasional, (jakarta : Raja Grafindo persada, 1994), hlm 186. 42 J.G, Merrillis, op.cit., h. 22-23.
50
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jo pasal 34 dan 35 Undang-Undang Nomor 27 tahun 1997 dalam pasal ini di kenal dua dasar gugatan perdata sebagai bentuk pertanggung jawaban perdata (tanggung jawab perdata). Tanggung jawab merupakan akibat dari adanya kewajiban hukum (legal obligation)43. Tanggung jawab perdata dapat berupa tanggug jawab yang di timbulkan hukum (legal liability) dan tanggung jawab kontraktual (contractual liability).44 Tanggung jawab yang timbul karena undang-undang (hukum) sifatnya tertentu dan tidak tercipta keinginan bebas para pihak tetapi semata-mata karena di tentukan oleh undang-undang. Komar Kantaatmadja dalam disertasinya menyatakan: dalam hal ini harus dibedakan antara pengertian responsibility, yaitu sebagi apa yang secara sepihak harus dipertanggung jawabkan kepada suatu pihak, disegi lain dikenal pengertian liability, yaitu kewajiban untuk mengganti kerugian atau perbaikan kerusakan yang terjadi. Pengertian pertanggung jawaban ini tidak selalu bersamaan denagn pengertian kewajiban memberi ganti rugi dan memperbaiki kerusakan.45 Di dalam kepustakaan hukum terdapat beberapa prinsip tanggung jawab dari yang klasik seperti yang dianut dalm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Pasal 1365-1380 KUHPerdata, sampai pada Prinsip-prinsip hukum modern yang dipengertian oleh perkembangan hukum Anglo Saxon dan ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada umumnya pertanggung jawaban didasarkan pada kesalahan. Artinya, 43
Gunanto, Indonesian Laws on Civil Liability, Batan, 7-8 Nopember 1989.
44
Ibid. Komar kantaatmadja, Ganti rugi Internasional, pencemaran minyak di laut, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 69. 45
51
pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti kerugian setelah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahan. Berdasarkan teori tersebut, maka dalam pasal 87 dan pasal 88 UndangUndang Nomor 32 tahun 2009, jo Pasal 34 dan 35 undang-Undang Nomor 23 tahun 1997. Lingkungan Hidup mengenal dua pertanggung jawaban perdata, yaitu; (1) pertanggung jawaban yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan (fault based liability), dan (2) pertanggung jawaban ketat (strict liability). Dua pertanggung jawaban tersebut merupakan instrumen hukum perdata untuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang terdapat dalam undang-undang lingkungan hidup sebagai suatu penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
1.
Pertanggung jawaban yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan (Fault Based Liability) Bentuk pertanggung jawaban ini pengaturan terdapat dalam pasal 87
ayat (1) Undang-undang Nomor. 32 tahun 2009, yang menyatakan; Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Penjelasan
Pasal 87
untuk memperjelas
pasal tersebut dapat
dinyatakan dalam ayat (1) merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Sealain duharuska
52
membayar ganti kerugian. Pencemar dapat pula di bebani oleh hakim untuk melakukan tindakan tertentu, misalnya perintah untuk :
Memasang atau memperbaiki unit pengelolaan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang di tentukan;
Memulihkan fungsi lingkungan;
Menghilangkan atau memusnakan penyebab timbulnya pencemaran atau perusakan lingkungan. Pertanggung jawaban yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan
(fault based liability) adalah bentuk-bentuk pertanggung jawaban yang biasa dikenal
di
Indonesia
dalam
doktrin
Perbuatan
Melanggar
Hukum
(Onrechmatigedaad) berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan Melanggar Hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan (fault). Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karana itu menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian. Tuntutan melalui jalur pasal 1365 KUHPerdata harus juga orang yang menuntut mempunyai kepentingan dalam perkara itu. I.H Nieuwenhuis dalam komentarnya mengenai kasus (arrest) De Nieuwe meer menyebutkan bahwa seseorang
yang menuntut nerdasarkan
perbuatan melanggar hukum
(Onrechtmatige daad) harus mempunyai kepentingandalam perkara ini. Oleh karena itu, tuntutan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdataharus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut, seperti kesalahan, kerugian, hubungan kausal, dan relativitas.46
46
Abdi Hamzah, Op-Cit, hlm 124.
53
a.
Kesalahan Adanya suatu perbuatan melanggar hukum berarti telah terjadinya suatu
kesalahan, dan kesalahn itu harus di pertanggung jawabkan.orang yang melanggar hukum dalam bidang lingkungan hidup, misalnya melanggar tentang ketentuan lingkungan hidup, melanggar tentang larangan berdasarkan undang-undang atau melanggar tentang ketentuan perizinan, sehingga hal yang demikian di pandang melakukan perbuatan melanggar hukum, maka ia harus membuktikannya. Oleh karena itu apabila penggugat dapat membuktkan bahwa tergugat telah melanggar syarat-syarat yang tercantum dalam izin atau tidak mempunyai izin sama sekali, maka pelanggar di pandang telah melakukan kesalahan dan apabila tergugat menolak, maka ia harus bahwa ia tidak bersalah. b.
Kerugian Syarat lain yang ditentukan dalam pasal 1365 KUHPerdata adalah
adanya unsur kerugian. Unsur ini harus dibuktikan oleh pihak penggugat, bahwa tergugat telah melakukan pencemaran yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Unsur kerugian ini untuk menentukan besar ganti kerugian yang diberikan oleh pihak tergugat yang akan diberikan setelah ada putusan hakim. c.
Hubungan kausal Unsur beriutnya adalah hubungan kausal, artinya harus ada kaitan
antara perbuatan yang melanggar hukum dengan terjadiny kerugian, yang berarti adanya kerugian itu harus dapat di pertanggung jawabkan kepada tergugat (pelanggar).
54
Dengan demikian, kalau hanya menyangkut larangan atas perbuatan yang melanggar hukum atau perintah kepada pelanggar adanya kerugian tidak penting sehingga hubungan kausal pun tidak penting, oleh karena itu hubungan kausal itu menjadi enting, apabila yang dituntut adalah ganti kerugian dari pelanggar. d.
relativitas unsur yang terakhir adalah relativitas. Maksudnya dari unsur ini adalah
tidak semua perbuatan melanggar hukum dapat di tuntut melalui jalur perbuatan melamggar hukum, yang dapat dituntut berdasarkan perbuatan melanggar hukum hanya jika norma yang dilanggar itu termasuk dalam ruang lingkup pengertian yang di rugikan dilindungi oleh peraturan. Oleh karena itu, tuntutan ganti kerugian yang diajukan menurut pasal 1365 KUHPerdata ini mensyaratkan penggugat harus membuktikan adanya unsur dalam pasal 1365KUHPerdata tersebut.
2.
Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) Gugatan perdata berdasarkan tanggungjawab mutlak (strict liability)
merupakan bentuk pertanggungjawaban hukum (liability) yang berkembang sejak lama yaitu berawal dari sebuah kasus di Inggris (dalam kasus Rylands v. Flatcer) pada tahun 1868. Kemudian bentuk gugatan ini diadopsi dalam berbagai peraturan peraturan perundang-undangan nasional dan konvensikonvensi internasional. Indonesia menundukkan diri untuk menerapkan bentuk gugatan ini sebagai pihak atau pertifikasi dari konvensi internasional, yang kemudian secara tegas mengaturnya dalam peraturan perundangundangan nasional. Bermula dari undang-undang Nomor 4 tahun 1982
55
tentang Ketentuan-Ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan diganti sekarang dengan UndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 menyatakan mbahwa “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
(B3), dan atau menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Penjelasan Pasal 88 tersebut diatas yang di maksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau (strict liability) adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat di bebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “batas tertentu” adalah jika menurut penetapan pereturan perundang-undangan di tentukan
keharusan
asuransi
bagi
usaha/
dan/atau
kegiatan
yang
bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. c.
Macam-macam Gugatan
Dalam penegakkan hukum lingkungan yang terdapat dalam UndangUndang no 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa terdapat beberapa pihak yang memiliki hak untuk menggugat apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum
56
lingkungan, yaitu perwakilan kelompok (class actions), pihak pemerintah, masyarakat, dan pihak organisasi lingkungan hidup.
1.
Perwakilan Kelompok (Class Actions) Gugatan perwakilan kelompok atau dikenal juga dengan class actions.
Istilah class actions berasal dari bahasa Inggris, yaitu gabungan dari kata class dan actions. Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas atau kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan actions dalam dunia hukum berarti tuntutan yang diajukan ke pengadilan. Lembaga class actions (gugatan perwakilan kelompok) sebenarnya telah dikenal lama di banyak negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, seperti di Inggris yang memperkenalkan class action yang didasarkan pada judge made law dalam perkara-perkara yang didasarkan equity yang di periksa oleh Court of Chancery. Di kanada yang mengenal prosedur class actions pertama kali yang diatur dalam The Ontario judicature Act, 1982, kemudian diperbaharui menjadi Supreme of Ontario Rule of Preclice (SCORP) yang terdapat di Propinsi Ontario. Di Indonesia lembaga ini dikenalkan melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997, yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang lainnya, seperti Undang-Undang 9 tahun1999 tentang perlindungan konsumen, UndangUndang Nomor 41 tahun 1999 Mahkama Agung Nomor 1 tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan kelompok. Gugatan perwakialn kelompok atau class actions merupakan hal baru yang telah lama di nantikan oleh masyarakat, gugatan ini yang kemudian di gunakan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang pengaturannya
57
dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Pasal 89 sampai Pasal 93 (UUPPLH) dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 (UUPLH). Class actions atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan gugatan perwakilan kelompok yaitu prosedur beracara dalamperkara perdata yang memberikan hak prosedural satu atau beberapa orang (dalam jumlah yang tidak
banyak)
bertindak
sebagai
penggugat
untuk
memperjuangkan
kepantingan para penggugat yang disebut Wakil Kelas (class representative), yang sekaligus mewakili kepentingan orang banyak (ratusan, ribuan, ratusan ribu ataun jutaan) yang disebut dengan class members, yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2002, menyatakan bahwa gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelmpok dan anggata kelompok dimaksud.
2.
Pemerintah.
Adapun pihak pemerintah yang berhak mengajukan gugatan apabila terjadi pelanggaran atau kejahatan terhadap lingkungan diatur dalam pasal 90 ayat 1 dan 2 undang – undang no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup. Pasal 90 (1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
58
menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Menurut pasal tersebut secara garis besar pemerintah maupun pemerintah daerah dapat meminta ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Sedangkan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian yang dimaksud dalam pasal 90 diatur lebih dalam dengan Peraturan Menteri.
3.
Masyarakat.
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, ketentuan diatur dalam pasal 91 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 yang berbunyi ;
(1)
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
59
(2)
Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
(3)
Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4.
Organisasi Lingkungan Hidup
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan “Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan
lingkungan
hidup,
organisasi
lingkungan
hidup
berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan, berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
60
3.3. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Berdasarkan Aspek Hukum Pidana Tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, sejak zaman hindia belanda sampai sekarang, sebagai sesuatu yang dibuat oleh orang yang menimbulkan akibat pada orang lain baik merasa tidak senang, cidera meninggalnya seseorang. Perbuatan pidana tersebut menunjukan kepada tingkah laku yang berupa kejahatan tertentu dan menimbulkan akibat pada orang lain. Menurut Moeljatno,47 perbuatan pidana menurut wujud dan sifatnya bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu perbuatan yang melawan (melanggar) hukum48. Lebih lanjut Moeljatno mengatakan bahwa perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada kedua keadaan konkrit, pertama, adanya jaminan tertentu, dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. 49 Oleh
karena
istilah
perbuatan
pidana
bersifat abstrak sebagaimana
dikemukakan oleh Moeljatno, maka istilah itu akhirnya menjadi tindak pidana atau delik dengan maksud yang sama. Perbuatan dengan mengambil istilah belanda Strafbaar fiet, maka menurut simon bahwa Strafbaar fiet adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.50 Van Hamel merumuskan, Strafbaar fiet adalah kelakuan orang (menselijk gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
47 48 49 50
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (jakarta : Rienkea Cipta, 1993), hlm. 2.
Ibid, hlm, 54. Ibit, hlm 56. Ibid.
61
hukum,
yang
patut
dipidana
(Strafwaarding)
dan
dilakukan
dengan
kesalahan.51 Akan tetapi pada umumnya dalam setiap Undang-Undang tidak menggunakan perbuatan pidana, tetapi menggunakan tindak pidana, dan juga orang-orang menyebutnya dengan delik.
a.
Delik Materiil Delik materiil adalah perbuatan pidana perumusannya di titik beratkan
pada akibat yang dilarang yang dirumuskan dalam suatu undang-undang. Oleh karena itu, delik materiil yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat tertentu. Menurut Schaffmeister dkk., pada delik materiil yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat tertentu, misalnya matinya orang lain.52 Di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 pasal 98 dan 99, dan/atau Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, ketentuan tentang delik materiil terdapat didalam pasal 41 dan pasal 42 sebagaimana melakukan
disebutkan perbuatan
diatas. yang
Ketentuan
mengakibatkan
delik
materiilnya
pencemaran
adalah dan/atau
pencemaran lingkungan hidup, dan mengakibatkan orang mati atau luka berat, baik dilakukan dengan sengaja maupun karena kealpaan. Jadi, perbuatan pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang dari suatu perbuatan yang telah terjadi. Dalam rumusan delik materiil perlu dituntut pembuktian yang lebih rumit dibandingkan
dengan
rumusan
delik
formil
yang
tidak
memerlukan
pembuktian dari perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga ketentuan pasal 98 dan 99 Nomor 32 Tahun 2009 (UUPPLH) maupun Pasal 51 52
Ibid. D. Schaffmeister, et-al (editor: JE Sahetapi), Hukum pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 31.
62
41 dan pasal 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 menyangkut penyiapan alat bukti serta penentuan hubungan kausal misalnya antara perbuatan
pencemar
dan
recemarnya
lingkungan
yang
mekanisme
penyidikannya tunduk pada Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rumusan delik materiil dalam pasal 98 dan 99 Nomor 32 Tahun 2009 (UUPPLH) dan pasal 41 dan pasal 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tersebut menunjukan peranan penyidikan dalam delik lingkungan sangat penting, karena berfungsi mengumpulkan alat bukti yang sering kali bersifat ilmiah.
Oleh
karena
mengumpulkan
bersifat
ilmiah,
alat bukti dalam
maka
pihak
kasus pencemaran
penyidik
dalam
dan perusakan
lingkungan ini seringkali mendapat kesulitan, apalagi pencemaran dan perusakan lingkungan sering terjadi secara kumulatif.
b.
Delik Formil Delik formil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititik
beratkan pada perbuatan yang dilarang. Begitu juga menurut Schaffmeister dkk., bahwa delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas dari akibat yang mungkin timbul, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana.53 Ketentuan dalam delik formil menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 pasal 100, 101, dan pasal 102 (UUPPLH) serta undang-Undang nomor 23 tahun 1997, Pasal 43 dan pasal 44 sebagaimana disebutkan diatas. Ketentuan delik formilnya adalah melakukan perbuatan
53
Ibit.
63
yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, baik sengaja maupun karena kealpaan. Jadi, perbuatan pidana itu telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang yang sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 dan UndangUndang Nomor 23 tahun 1997 , delik formil yang dirumuskan sebagaimana tersebut diatas bahwa sebagai delik formil yang tidak memerlukan pembuktian akibat dari perbuatan pencemar atau perusak lingkungan, sehingga suatu akibat tertentu hanya dapat memberatkan atau meringankan pidana, meskipun tanpa akibat perbuatan itu sendiri sudah dilarang dan sudah dapat dipidana. Dengan demikian delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas apakah akibat yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan perintah atau larangan dan sudah dapat dipidana. c.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencemaran sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 angka 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Dengan demikian, Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, memuat Unsur-unsur perbuatan pencemaran lingkungan hidup, yaitu : a. Masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lainnya kedalam lingkungan. b. Dilakukan (adanya) kegiatan manusia. c. Turunnya kualitas lingkungan pada sampai tingkat tertentu.
64
d. Menyebab lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Adapun perusakannya lingkungan hidup perumusannya dalam pasal 1 angka 16 yaitu, Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu, pasal 1 angka 16 memuat Unsur-unsur perbuatan perusakan lingkungan hidup, yaitu:
Adanya suatu tindakan manusia.
Terjadinya
perubahan
terhadap
sifat
fisik
dan/atau
hayati
lingkungan.
Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
Hal ini dikategorikan sebagai perbuatan pidana karena perbuatan pencemaran dan perusakan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem bahkan biosfer bumi, yang dapat terganggunya kelestarian lingkungan hidupitu (ekosistem dan biosfer) baik untuk generasi masa sekarang maupun masa yang akan datang. Sebagaimana dikatakan Abdurrahman, bahwa bahaya yang
senantiasa
mengancam
lingkungan
dari
waktu
kewaktu
ialah
pencemaran dan penrusakan lingkungan. Ekosistem dari suatu lingkungan dapat terganggu kelestariannya oleh karena pencemaran dan perusakan lingkungan.54 Untuk memperoleh penjelasan tentang pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tidak cukup dengan kacamata hukum saja, tetapi ditentukan
54
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm.
65
oleh ukuran ilmiah dari berbagai disiplin ilmu yang lain. Disamping tiu juga perlu dibatasi bahwa lingkungan itu tercemar dan rusak atau tidak, sehingga perlu adanya suatu baku mutu lingkungan. Dengan demikian, Unsur-unsur perbuatan pidana terhadap lingkungan hidup dapat dijabarkan sebagai berikut: a.
Barang siapa yang secara nyata melawan hukum.
b.
Karena sengaja atau kealpaan
c.
Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
d.
Perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup.
e.
Mengakibatkan orang mati atau luka berat (membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain).
f.
Diancam dengan pidana. Perbuatan pidana terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhkan pidana
apabila syarat esensial yang berupa kesalahan, dan kesalahan itu dapat dipertanggung
jawabkan
secara
pidana,
sehingga
merupakan
suatu
perbuatan pidana.
d.
Penyidikan Kegiatan penyidikan merupakan tahapan kegiatan beracara pidana
sebagai penegak hukum pidana, yang mungkin didahului dengan kegiatan penyidikan dan harus di laksanakan dengan kegiatan berikutnya yaitu kegiatan penuntutan, kegiatan pemeriksaan perkara dipengadilan dan kegiatan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jadi penegakan hukum pidana meliputi kegiatan penyidikan
66
(yang dapat didahului atau di barengi dengan kegiatan penyidikan) yang harus dilaksanakan secara terpadu, kegiatan penuntutan kegiatan peradilan (pemeriksaan perkara dipengadilan) dan kegiatan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan. Kegiatan penyidikan adalah untuk mencari dan mengumpulkan yfaktafakta dan bukti-bukti yang diperlukan dilapanganatau di tempat kejadian perkara (TKP), sehingga akan ditemukan jenis tindak pidana apa yang terjadi, maka diuraikan proses penyidikan.oleh karena itu penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi yang guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Dari pernyataan tersebut berarti kegiatan penyidikan baru dimulai apabila terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Sebelum mlakukan penyidikan maka penyidikan harus menerbitkan Surat Perintah Penyidikan. Apabiala Surat Perintah Penyidikan dan pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
maka
PPNS
tersebut
harus
segera
menyampaikan
hasil
penyidikannya kepda penyidik polri. Sesuai dengan namanya Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) hanya mempunyai kewenangan dibidang penyidikan dan tidak pidna tertentu, sehingga untuk apa dia dibentuk yaitu untuk melakukan penyidikan dibidang tindak pidana lingkungan yang terjadi di wilayah Indonesia.
67
Adanaya pejabat Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan ketentuan pasal 94 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, karena tindak pidana dibidang lingkungan hidup sering menyangkut aspek yang sangat teknis, sehingga memerlukan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan, karena sulit diharapkan dari penyidik polri. Oleh karena itu, diperlukan Pejabat Ppegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk mengadakan penyidikan di bidang lingkungan hidup. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tersebut diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana (KUHAP). Berkas hasil penyidikan dibuat dalam suatu Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk dapat disampaikan kepada pengadilan melalui penuntutan umum harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil berkaitan dengan dipenuhinya syarat prosedurat menurut ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan syarat materiilnya berkaitan dengan kelengkapan data hasil penyidikan yang akan dijadikan bahan argumentasi untuk membuktikan di pengadilan. 55 oleh karena itu ketentuan diatur dalam pasal 94 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan : (1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. (2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang: b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
55
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan. Hlm, 178.
68
c. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; d. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; f. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain; g. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; i. menghentikan penyidikan; j. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual; k. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau l. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. (3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. (5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum. Mekanisme penyidikan dalam tindak pidana lingkungan selanjutnya secara umum diatur dalam KUHAP. Akan tetapi dalam sistem penegakan lingkungan hidup di Indonesia harus memperhatikan asas atau persyaratan prosedural lain yang bersifat spesifik yang harus dipenuhi bila hendak memulai kegiatan penyidikan dalam tindak pidana lingkungan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu adanya asas subsidaritas. Asas
69
ini dipergunakan apabila ketentuan hukum administrasi dan hukum perdata tidak mampu mengatasi pencemaran dan perusakan. Begitu juga manfaat yang terkandung dalam asas susidaritas tidak akan efektif apabila sistem pengaturan pembinaan, pengawasan, dan penindakan secara administratif tidak dilaksanakan secara baik. Karena itu, dalam pelaksanaan penegakan hukum
lingkungan
perlunya
keterpaduan
antara
penegakan
hukum
administrasi dengan hukum pidana lingkungan yang diatur dalam bentuk suatu pedoman penegakan hukum lingkungan.56
e. Tindak Pidana Lingkungan Hidup sebagai Ultimum Remedium Ultimum Remedium atau juga disebut asas subsidaritas merupakan asas yang bersifat universal. Dalam bukunya Hukum Tata Lingkungan 57 Koesnadi berpendapat bahwa asas subsidaritas adalah wewenang diskresi yang ada pada jaksa untuk tidak memberlakukan ketentuan hukum pidana diberikan rambu-rambu. Selanjutnya dapat dikutip pendapat Mudzakir 58 dalam menafsirkan asas subsidaritas, bahwa: a.
b.
56 57 58
Prosedur pidana sebagai prosedur pamungkas (ultimum remedium), artinya unsur pidana didayagunakan untuk pelanggaran lingkungan hidup setelah prosedur hukum administrasi, hukum perdata, alternatif penyelesaian sengketa gagal atau tidak efektif untuk mencapai tujuan penegakan hukum lingkungan hidup. Jadi tidak dibenarkan menggunakan prosedur pidana tanpa didahului dengan prosedur lain (prosedur administrasi perdata atau alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup). Disamping itu masih ditambah lagi syarat-syarat lain yang bersifat berat, akibat perbuatanya relatif besar dan/atau perbuatanya menimbulkan keresahan masyarakat. Sanksi pidana sebagai sanksi alternatif. Jadi untuk menggunakan sanaksi pidana tidak perlu terlebih dahulu menjatuhkan sanksi-sanksi
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan, hlm, 180.
Ibid. hlm 355.
Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan Hidup (dalam buku “Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun prof. DR. Koesnadi Hardjasoemantri”).
70
c.
d.
lain, cukup berdasarkan pengalaman pada penerapan sanksi pada kasus-kasus sebelumnya dinilai tidak efektif. Sanksi pidana sebagai sanksi kumulatif. Prosedur pidana dan penjatuhan sanksi pidana digunakan sebagai sanksi yang dikumulasikan dengan sanksi lain dimungkinkan apabila sanksi-sanksi lain tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatan relatif besar, dan/atau perbuatanya menimbulkan keresahan masyarakat. Sanksi pidana sebagai sanksi alternatif yang berdiri sendiri. Penafsiran ke-4 ini menempatkan prosedur pidana dan sanksi pidana sebagai sanksi alternatif yang berdiri sendiri, maksudnya penggunaan prosedur dari sanksi pidana tidak dihubungkan dengan sanksi cabang hukum lain. Prosedur pidana ditempuh apabila memenuhi syarat baik alternatif berat, dan/atau akibat perbuatan pelaku relatif besar, dan/atau perbuatan pelaku menimbulkan keresahan masyarakat. Siti Sundari Rangkuti59 berpendapat sebagimana telah diuraikan
sebelumnya,
bahwa
kalimat
sebagai
penunjang
hukum
administrasi
menunjukan bahwa pengertian asas subsidaritas ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan yang dilarang karena penegakan hukum administrasi ditujukan pada perbuatan pelanggaranya dan dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran dihentikan yang sanksinya bersifat reparatoir yang dilarang. Penyelesaian hukum lingkungan tidak hanya dapat diselesaikan dengan instrumen hukum perdata maupun hukum administrasi saja, melainkan dapat pula menggunakan instrumen hukum pidana yang pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum remidium (obat terakhir). Artinya instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum acara pidana dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan merupakan suatu jalan terakhir yang dipakai dalam suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum lingkungan, akan tetapi dapat pula langsung menggunakan instrumen hukum pidana apabila kasus tersebut disinyalir sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar atau
59
Siti Sundari Rangkuti, Op Cit, Hlm 217.
71
extraordinary crime. Dengan demikian instrumen hukum pidana ikut pula dalam ruang lingkup penyelesaian sengketa hukum lingkungan. Dengan demikian, perbuatan yang mengakibatkan tercemar dan rusaknya lingkungan hidup adalah perbuatan pidana, sebagaimana ditentukan dalam pasal 97 sampai dengan pasal 115 Undan-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga secara tegas dapat dirumuskan perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup
dalam
pasal-pasal tersebut,
termasuk
pasal yang
merupakan hukuman tambahan dalam bentuk tindakan tata tertib.
f.
Ketentuan Pidana Lingkungan Hidup Ketentuan-ketentuan mengenai sanksi pidana lingkungan hidup diatur
dalam
pasal-pasal Undang-Undang
Nomor 32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai beikut ; Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Pasal 98 (1)
(2)
(3)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana
72
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 (1)
(2)
(3)
Setiap orang yang karena kelalaiannyamengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Pasal 100 (1)
(2)
Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,0 (tiga miliar rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tigan miliar rupiah).
73
Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 104 Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
74
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 (1)
(2)
Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
75
Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 Setiap
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
76
77
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut : 1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan limbah tambang batubara mengenai perijinan pengolahan limbah tambang batubara yang ditimbulkan dari koorporasi atau perusahan masih lemah penegakan hukum mengenai sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintah terhadap perusahaan yang mengabaikan mengenai pengolahan limbah minimnya pengawasan dan regulasi yang jelas dan dalam praktek dilapangan banyak perusahaan yang melanggar hukum. 2) Lemahnya tanggungjawab dan kepedulian terhadap pengolahan limbah batu bara perlu adanya suatu kesepakatan bersama dalam berbagai pihak untuk ikut serta dalam mengolah dan menindak perusahaan yang mengabaikan terhadap pencemaran limbah yang diakibatkan dari perusahan batu bara tersebut.
77
4.2 SARAN 1) Perlu adanya suatu regulasi dan undang-undang yang jelas terhadap pengolahan limbah batu bara dan penerapan sanksi yag tegas dan jelas tanpa pandang bulu sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku atau perusahaan yang mengabaikan limbah batu bara yang mengakibatkan
pencemaran
lingkungan
yang
mengakibatkan
masyarakat dan atau pegawainya sehingga kesehatannya terganggu serta berdampak terhadap hasil industri batu bara dari perusahaan tersebut. 2) Dalam penerapan mengenai sanksi pemerintah dan pihak-pihak yang berkaitan harus saling memantau dan mengawasi terhadap penerapan sanksi tanpa tembang pilih dan ada unsur-unsur lain yang menjadi kendala dalam penerapan sanksi yang tegas untuk memberikan dan memberi pelajaran bagi perusahan yang melanggar hukum mengenai pengolahan limbah batu bara di Indonesia.
78
DAFTAR BACAAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945 Setelah Perubahan. UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan mineral dan BatuBara. UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Pengelolan Lingkungan Hidup. UU No. 27 Tahun 2012 Tentang Ijin Lingkungan. PP No. 27 Tahun 1999 Tentang AMDAL. KepMen Lingkungan Hidup No. 133 Tahun 2003.
BUKU Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990). Adolf Huala, Dan A. Chandrwulan, Masalah-masalah Hukum dalam Perdagangan internasional, (jakarta : Raja Grafindo persada, 1994). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta; Balai pustaka,1997). Erwin Muhamad, op. cit. Emirzon Joni, Alternatif penyelesauan sengketa di luar pengadilan (Negosiasi, Mediasi, konsiliasi, Dan Arbitrase), (jakarta ; gramedia pustaka utama. Echols M. Jhon dan Shadily Hassan, Kamus inggris-Indonesia, (jakarta : Gramedia.Supramono Gatot, (Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara diIndonesia). Goodpaste Gary, Negosiasi dan Mediasi, sebuah pedoman Negosiasi dan penyelesaian sengketa melalui Negosiasi, (jakarta; Elips Projeck, 1993). Gunanto, Indonesian Laws on Civil Liability, Batan, 7-8 Nopember 1989.
79
Hamzah Abdi, Op-Cit. Hardjasoemantri Koesnadi, Op, Cit. Hadjon Mandiri Philipus, “UU No. 23 tahun 1997 dan penegakan hukumnya, ditinjau dari aspek hukum administrasi”, Makalah Seminar Fakultas Hukum UNDIP, Tanggal 21 Pebruari 1998. Hadjon M. Philipus, Pengantar hukum administrasi Indonesia,Yogyakarta,Gajah Mada University Press, 2002). Kantaatmadja Komar, Ganti rugi Internasional, pencemaran minyak di laut, (Bandung : Alumni, 1981). Merrillis J.G, op.cit. Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan Hidup (dalam buku “Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun prof. DR. Koesnadi Hardjasoemantri”). Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (jakarta : Rienkea Cipta, 1993). OS Felix (ed), Arbitrase di Indonesia, (jakarta : Ghalia Indonesia, 1995). Pada waktu terjadinya kasus kebakaran hutan tersebut, Presiden soeharto menyampaikan permintaan maaf pada masyarakat negara tetanggayang terganggu akibat kebakaranhutan dalm pertemuan Menteri-menteri lingkungan hidup ASEAN di Jakarta tanggal 16 September 1997. Presiden juga menyebut kebakaran besar ini sebagai bencana alam nasional dan mangimbau semua lapisan masyarakat memobilisasi diri bersama-sama mengatasi masalah asap. Baca kompas, Asap, Bencana Alam Nasional, 12 Oktober 1997, Namun , permintaan maaf tersebut bukan penyelesaian yuridis. Dengan semangat ASEAN, kasus asap kebakaran hutan tidak disengketakan oleh Negara-Negara anggota ASEAN yang dirugikan. Pramudianto Andreas, “Soft Law dalam perkembangan hukum lingkungan Internasioanal”, pro justisia, tahun XIII Nomor 4 Oktober 1995. Rangkuti Sundari Siti, Op Cit. Schaffmeister D., et-al (editor: JE Sahetapi), Hukum pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995). Saleng Abrar, “Risiko-risiko dalam Eksplorasi dan Eksploitasi Pertambangan serta Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak”, artikel pada Jurnal Hukum Bisnis, edisi no.2 Vol.26, 2007. Saleng Abrar, Risiko-risiko ....., loc. cit. Soemarwoto Otto, Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan, (Jakarta: Djambatan, Cetakan Ketujuh, 1997).
80
Soemartono Gatot, Hukum Lingkungan Hidup, (Jakarta: sinar Grafika, 1996). Sodikin, (Penegakan Hukum Lingkungan). Supriadi, op. cit. Supramono Gatot, Bab Pertambangan.
XII
:
Aspek
Lingkungan
Hidup
di Bidang
Wijoyo Suparto, ”Penyelesaian Sengketa Lingkungan”.
KAMUS Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai pustaka,1997).
INTERNET
http://www.bbt.kemenperin.go.id/index.php/hasil-penelitian/arena-tekstil/49arena-2007/176-Pengelolaan-Limbah-Bahan-Berbahaya-Dan-Beracun, unduh internet jam 20: 50:25
www.ampl.or.id/digilib/read/baku-mutu-air-limbah-bagi-usaha-dan-ataukesiapan-pertambangan-batu-bara/47423 unduh internet jam 20:44:30
81
PENGELOLAAN LIMBAH TAMBANG BATUBARA DALAM PRAKTEK UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Sutabaya
OLEH :
KARJONO NPM : 29120095
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
82