Surat Kabar Harian “SUARA KARYA”, terbit di Jakarta Edisi 3 Agustus 1990 _____________________________________________ KEGUNDAHAN MENUNGGU HASIL UMPTN Oleh : Ki Supriyoko
Sebuah tradisi akademik yang terjadi pada setiap awal tahun ajaran baru di perguruan tinggi negeri, PTN, baru-baru ini telah berlangsung secara lancar, meskipun bukan tanpa cacat. Tradisi akademik ini berupa ujian tertulis dalam sistem penerimaan mahasiswa baru, yang sejak tahun 1989 yang lalu dikemas di dalam bentuk Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). UMPTN 1990 berlangsung dengan cukup lancar, namun sedikit cacat dikarenakan masih ada (banyak) "joki" yang secara illegal ikut berpartisipasi di dalamnya. Dengan selesainya penyelenggaraan UMPTN tersebut kewajiban peserta boleh dikatakan telah selesai; peserta telah berhasil mencari informasi tentang PTN, juga informasi tentang mekanisme penerimaan mahasiswa barunya, mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian tertulis, mendaftar, kembali belajar giat untuk lebih memantabkan persiapannya, dan terakhir mengikuti ujian pada hari "H". Semua kegiatan tersebut di atas tentu saja memerlukan energy, waktu dan dana; oleh karena itu selesainya penyelenggara-an UMPTN tersebut seolah-olah telah membebaskan segala beban yang selama ini disandang oleh para kandidat mahasiswa baru PTN tersebut. Sekarang ini mereka tinggal menunggu hasilnya; apakah jerih payahnya selama ini akan membawa hasil yang memuaskan, atau sebaliknya usahanya belum membawa hasil: lolos atau gagal! Dalam keadaan yang demikian masih ada kegiatan yang dapat dilaksanakan, yaitu secara spiritual berdo'a kepada Tuhan agar upaya-nya dapat membawa hasil. Memberi "Angin" Sampai sekarang ini masyarakat kita masih sering mende-ngarkan pomeo klasik sbb: keberhasilan seseorang di masyarakat tidak semata-mata ditentukan oleh pernah atau tidaknya belajar pada PTN, atau dengan bahasa lain tidak semua lulusan PTN akan berhasil di masyarakat. Pomeo ini kiranya 100% benar; tetapi harus diakui bahwa di negara kita yang tercinta ini umumnya status seseorang sebagai lulusan
2
PTN masih sangat sering memberikan kontribusi di dalam keberhasilan dirinya. Pomeo tersebut muncul karena adanya persepsi masyarakat yang walaupun tidak dapat dikatakan salah namun juga tidak dapat dikatakan benar 100%; yaitu yang selalu memberikan "angin" kepada PTN. Masyarakat kita umumnya masih menganggap kualitas PTN setingkat lebih tinggi dibanding dengan kualitas PTS; meskipun dalam realitasnya banyak pula PTN tertentu yang mutunya jauh di bawah PTS tertentu. Atas adanya persepsi yang mendudukkan PTN di atas PTS inilah maka lulusan PTN pun hampir selalu dianggap lebih berkualitas dibanding dengan lulusan PTS. Akhirnya para lulusan PTN diberi tempat yang lebih "terhormat" di masyarakat. Menghadapi kenyataan seperti tersebut di atas maka tidaklah salah apabila setiap kandidat mahasiswa baru berjuang habis-habisan untuk meraih "ticket" ke PTN melalui segala bentuk "kemasan"-nya, termasuk berkompetisi melalui UMPTN. Secara argumentatif masih banyak pertimbangan lainnya mengapa masyarakat kita sangat antusias "mengejar" PTN; di antaranya menyangkut beaya pendidikan yang lebih terjangkau kalau dibanding dengan beaya pendidikan pada PTS, menyangkut "elitisme" status kemahasiswaannya, menyangkut kemudahan akademik yang diperoleh, dsb. Berbagai pertimbangan yang argumentatif tersebut di atas menyebabkan makin besarnya harapan para kandidat untuk dapat diterima pada PTN. Implikasinya: dalam periode waktu menunggu pengumuman hasil UMPTN sekarang ini banyak kandidat yang memiliki perasaan "deg-deg plus"; apakah jerih payahnya akan membawa hasil, atau upayanya belum memberikan hasil yang memuaskan. Kegundahan Sang Birokrat Dalam menunggu hasil UMPTN saat ini yang memiliki perasaan gundah tidaklah para peserta saja, tetapi sementara birokrat akademik kiranya juga dihinggapi perasaan yang sama. Mengapa? Karena Sang birokrat berharap agar hasil UMPTN 1990 secara keseluruhan bersifat "prestatif", yaitu lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Bagi para birokrat akademis yang benar-benar bertanggung jawab atas hasil UMPTN 1990 barangkali tidak nyenyak tidur selama menghabiskan waktu tunggu ini; karena adanya pengalaman pahit di tahun-tahun yang lampau, yaitu tentang kurang berprestasinya para peserta ujian masuk PTN, sehingga hasilnya pun juga kurang memuaskan. Pengalaman pada Sipenmaru 1988 kiranya pantas dijadikan ilustrasi. Kalau dilihat dari tajamnya kompetisi dalam memperebutkan kursi belajar pada PTN memang tidak ditemui hal-hal yang istimewa; dalam beberapa tahun yang terakhir ini kompetisi pada PTN memang dirasakan sangat tajam. Sebuah kursi belajar rata-rata
3
diperebutkan oleh enam, tujuh atau lebih banyak lagi kandidat. Suatu trend kompetisi yang nampaknya makin "melembaga" saja. Pengalaman pahit pada Sipenmaru 1988 terletak pada rendahnya pencapaian skor oleh para kandidat sehingga menyebabkan hasil Sipenmaru yang masih kurang memuaskan kita, lebih-lebih bagi para birokrat akademis kita. Sipenmaru 1988 diikuti oleh 436.230 peserta untuk bersaing memperebutkan sekitar 71.000 kursi belajar pada PTN. Mayoritas peserta ternyata memiliki skor yang "jelek", yaitu di bawah 500 dari kemungkinan skor tertinggi 1000. Artinya: apabila disediakan nilai 0 s/d 10 untuk para peserta, yang dalam 'Educational Evaluation' dikenal dengan 'Standard Sebelas (SS)', maka sebagian besar peserta hanya mampu mencapai nilai di bawah 5 (=lima). Yang lebih "runyam" lagi: kandidat yang berhasil menca-pai skor di atas 500, jumlahnya hanya sekitar 10% dari yang lolos Sipenmaru. Jadi kalau yang lolos Sipenmaru sekitar 71.000 kandidat, maka yang sanggup mencapai skor di atas 500 hanya sekitar 7.100 kandidat. Bagaimana kalau angka-angka tersebut disubstitusikan ke dalam SS? Hasilnya: dari 436.230 kandidat maka yang sanggup mencapai nilai 5 (lima) hanya 7.100 kandidat saja. Sangat kecil-nya jumlah kandidat yang mencapai skor/nilai yang "wajar" ini, hanya sekitar 1,70%, kiranya memberi gambaran kepada kita tentang rendahnya mutu input PTN kita pada umumnya. Tentu saja kita dapat berfikir secara analitis: dengan input PTN yang "sedemikian" itu kita dapat memprediksi peristiwa-peristiwa akademis apa yang akan dan harus terjadi; di antaranya kemungkinan rendahnya kualitas lulusan PTN, padat serta bervari-asinya kegiatan akademis untuk mem-"pushing" peningkatan mutu, dsb. Hal-hal seperti tersebut di atas bukan tidak mungkin "menghantui" para birokrat akademis di negara kita, tentu saja birokrat yang benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan nasional. Jadi, bukan hanya peserta saja yang gundah dalam menunggu hasil UMPTN 1990 ini, melainkan sementara birokrat akademis pun kiranya mempunyai perasaan yang tidak jauh berbeda. Lupakan Sejenak UMPTN 1990 diikuti oleh sekitar 500.000 peserta, sedangkan kursi belajar yang diperebutkan hanya sekitar 75.000 saja; artinya setiap kursi belajar rata-rata diperebutkan oleh enam atau tujuh peserta. Menurut teori probabilitas maka kemungkinan seorang peserta dapat meloloskan diri dari jaringan UMPTN, artinya dapat diterima sebagai mahasiswa baru PTN, tidak lebih dari 20%. Dengan bahasa yang sangat sederhana maka secara umum bagi peserta UMPTN lebih banyak gagalnya daripada suksesnya. Tentu saja hal ini tidak
4
berarti untuk mengecilkan arti usaha atau jerih payah yang telah dilakukan menjelang UMPTN dilaksanakan. Menghadapi realitas seperti tersebut di atas maka bagi peserta UMPTN disarankan untuk "melupakan sejenak" UMPTN 1990; untuk selanjutnya mengalihkan konsentrasinya pada lembaga pendidikan tinggi lainnya yang memungkinkan dirinya untuk melanjutkan studi. Masih terdapat dua jenis lembaga yang memberikan kemungkinan untuk itu, yaitu Perguruan Tinggi Kedinasan, PTK, atau Perguruan Tinggi Swasta, PTS. Pada umumnya PTK khusus diperuntukkan bagi "orang dalam", artinya peserta dari "dinas" dimana PTK tersebut dilaksanakan. Misalnya saja Akademi Pertanahan Nasional (Yogyakarta) khusus dibuka bagi peserta dari lingkungan pegawai pertanahan di seluruh Indonesia, demikian pula dengan PTK-PTK yang lainnya. Meskipun kemungkinan memilih PTK sangatlah kecil, tetapi para peserta UMPTN masih cukup waktu untuk memilih PTS yang legal serta bermutu. Legal maksudnya adalah semua aktivitas akademis yang dilaksanakan oleh PTS yang bersangkutan telah seijin Depdikbud, dan bermutu maksudnya kualitas akademisnya layak dipertanggungjawabkan. Seperti diketahui bahwa masa pendaftaran PTS pada umum-nya telah dibuka sebelum UMPTN dilaksanakan, terutama bagi PTS yang bermutu. Meskipun demikian beberapa PTS sekarang ini masih membuka untuk "gelombang I" sedangkan beberapa PTS sudah menutupnya, sehingga (mantan) peserta UMPTN 1990 dapat mengikutinya pada "gelombang II" sebagai kelanjutannya. Langkah untuk melibatkan diri pada PTS sejak saat ini tersebut bisa dikatakan sebagai "langkah pengamanan"; artinya apabila UMPTN-nya gagal masih dapat melanjutkan studi pada PTS yang bermutu, sedangkan apabila UMPTN-nya berhasil maka peserta tersebut memiliki alternatif yang sama-sama prospektif, yaitu memilih alternatif melanjutkan studi pada PTN atau pada PTS yang bermutu. Tentunya dengan asumsi apabila mereka juga sanggup "menundukkan" testing masuk PTS yang bermutu tersebut. Sebaiknya jangan melibatkan diri pada PTS dengan menunggu setelah pengumuman UMPTN dilaksanakan, dan dirinya dinyatakan gagal dalam menempuh tes masuk PTN itu; hal ini cukup "riskan" karena pada saat-saat seperti itu beberapa PTS yang berkualitas telah menutup diri, selebihnya tinggal PTS-PTS lain yang kualitasnya masih perlu didiskusikan. Semoga .......!!!***** ________________________________________________________ BIODATA SINGKAT; nama: DR. Drs. Ki Supriyoko, SDU, M.Pd. pek.: Ketua Litbang Pendidikan Majelis Luhur Tamansiswa
5
dan Ketua Pusat Kerja Sama Ilmiah (PKSI) Kopertis Wilayah V Yogyakarta prof: Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan
NB: Dimuat pada SKH "Suara Karya" edisi 3/8/1990 dengan judul KEGUNDAHAN MENUNGGU HASIL UMPTN