Surat Kabar Harian “SUARA MERDEKA”, terbit di Semarang, Edisi 3 Agustus 1988
MENCERMATI FENOMENA LANGKA EKSAKTA TANTANGAN UNTUK DEPDIKBUD Oleh : Ki Supriyoko
Dunia pendidikan kita dewasa ini nampaknya tengah dihadapkan pada satu fenomena yang sudah menjadi semacam "penyakit", ialah Penyakit Langka Eksakta (PLE); sebuah fenomena akademik yang ditandai dengan adanya disbalansi proporsi antara pecinta dan pengembang ilmu eksakta dengan pecinta dan pengembang ilmu non-eksakta. Menggejalanya fenomena akademik tersebut sangat mudah kita amati. Manakala kita menyempatkan diri, tentu saja dengan seijin "birokrasi", untuk terjun ke sekolahsekolah menengah maka akan kita dapati kenyataan tentang masih kurangnya jumlah guru bidang studi eksakta; Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Pada hal, pada sisi yang lain persediaan guru non-eksakta seringkali lebih dari cukup, untuk tidak mengatakan berlebihan. Ada contoh konkrit: bila dibanding dengan wilayah propinsi lain maka Daerha Istiwewa Yogyakarta dan Bali kiranya termasuk "kaya" guru SMTA. Pada kedua daerah ini mempunyai rasio tertinggi untuk SMA, ialah 2,6 guru tiap kelas. Bahkan kalau Kepala Sekolah dan Guru Tidak Tetap masuk hitungan maka tahun ini ratio guru kelas di DIY mencapai angka 3,8, artinya tiap kelas rata-rata memiliki 3,8 guru. Bandingkan dengan ratio serupa di Maluku (1), NTB (1), Kalimantan Barat (1,1), Bengkulu (1,2), dsb (data diambil dari beberapa sumber). Meskipun demikian, berbagai sekolah di kedua wilayah tersebut toh tetap merasa kekurangan guru eksakta. Apalagi sekolah-sekolah lain di luar kedua wilayah itu. Sungguh "ironis", konon di Kalimantan Tengah yang luas itu hanya ditemui seorang guru bidang studi biologi guna seluruh propinsi. Benarkah .......? Entahlah, yang jelas kekurangan guru eksak tadi daerah tersebut memang tak terbantahkan lagi. Langkanya para eksaktawan di negara kita yang berprofesi bukan guru, yaitu para matematikawan, fisikawan, kimiawan dan biologi pun sudah sangat kita rasakan dalam beberapa tahun tera-khir ini. Pada hal kehadiran mereka jelas sangat diperlukan untuk ikut mendorong gerak roda-roda pembangunan nasional kita.
2
Indikator lain tentang berjangkitnya PLE terletak pada "minim"-nya lembaga pendidikan yang berkonsentrasi untuk mencetak para guru eksakta dan para eksaktawan. Hitung saja, dari seluruh program studi yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta di negara kita hanya ada beberapa persen program studi eksakta didalamnya. Dari sebanyak 177 program studi yang dikembangkan oleh 51 Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta, misalnya, (baca: "Pengumuman Bersama PPMB Thn 1988/89 PTS di DIY") ternyata hanya didapati 10 (5,56%) program studi eksakta kependidikan. Itu pun sebagian program studi eksakta yang sedikit itu berstatus "mencari" kandidat mahasiswa, bukan "dicari" kandidat mahasiswa. Ilustrasi tersebut menunjukkan pada kita betapa PLE sudah sedemikian tajamnya dalam "menyerang" sistem pendidikan di negara kita. "Trauma" Eksakta Berjangkitnya PLE dalam dunia pendidikan kita sudah barang tentu telah dan akan menghambat sistem pengembangan ilmu-ilmu eksakta di negara kita; dan masalah ini akan semakin kompleks lagi bila ditemui kenyataan tentang rendahnya "prestasi Ebtanas" untuk bidang-bidang studi eksakta pada para siswa SMTA pada umumnya. Meski rata-rata angka kelulusan 100%, bukan berarti kelulusan para siswa tersebut telah didukung oleh prestasi Ebtanas yang memuaskan. Tidak jarang kita jumpa siswa yang NEM-nya untuk bidang-bidang studi eksakta kurang dari 4 tetapi toh dapat menyelesaikan pendidikan menengahnya dengan "baik". Pada Ebtanas tahun 1985/86 yamh lalu sekitar 85% peserta Ebtanas dari SMA Negeri di seluruh DKI Jakarta mendapat NEM 5,99 kebawah untuk bidang studi Matematika. Sedangkan untuk bidang studi Biologi angkanya mencapai sekitar 86%, bidang studi Kimia sekitar 96%, dan bidang studi Fisika hanya sekitar 4%. Untuk Ebtanas tahun ini kiranya tidak akan jauh berbeda hasilnya. Rendahnya "prestasi ebtanas" pada khususnya serta prestasi belajar pada umumnya untuk bidang-bidang studi eksakta bukan tidak mungkin telah mengakibatkan timbulnya semacam "trauma" pada para siswa untuk bidang studi yang sering dianggap elite tersebut. Dengan adanya "trauma" tersebut maka para lulusan SMTA menjadi enggan untuk memilih program studi eksakta yang mengembangkan bidang studi tersebut di perguruan tinggi. Bahkan dian-taranya bukan saja enggan, tetapi menjadi 'takut' memilih program studi keeksaktaan karena khawatir prestasinya kelak akan "jelek" sebagaimana yang dialaminya di SMTA dulu. Peminat Menurun
3
Keengganan para lulusan SMTA untuk mencintai dan mengembangkan bidang eksakta nampak pada menurunnya peminat pada program studi eksakta atau IPA pada beberapa perguruan tinggi negeri. Pada waktu diselenggarakan Sipenmaru 1986 seluruh program studi IPA di sepuluh IKIP Negeri di negara kita (IKIP Yogyakarta, IKIP Jakarta, IKIP Menado, IKIP Medan, IKIP Ujung Pandang, dsb) ternyata telah diminati oleh sebanyak 86.579 calon. Satu tahun kemudian, pada waktu diselenggarakan Sipenmaru 1987 ternyata peminatnya turun menjadi 63.505 calon. Dari data tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hanya dalam waktu satu tahun akademik, ternyata program studi IPA pada IKIP Negeri di seluruh negara kita telah mengalami penurunan peminat sebanyak 23.074 calon, atau sebesar 26,65%. Angka tentunya bukan merupakan angka yang kecil; apalagi kalau dibandingkan dengan tingginya minat masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan tinggi. Selengkapnya periksa Tabel! Memang kita bisa berdiskusi bahwa penurunan calon peminat program studi IPA pada IKIP Negeri tersebut erat kaitannya dengan adanya penurunan peserta Sipenmaru secara keseluruhan, atau erat kaitannya dengan penurunan jumlah program studi pada IKIP Negeri itu sendiri. Beberapa waktu yang lalu Depdikbud telah mengambil kebijaksanaan untuk "menutup" berbagai program studi kependidikan. Jumlahnyapun tidak sedikit, ialah sebanyak 209 program studi kependidikan. Akibat dari kebijaksanaan tersebut maka beberapa program studi pada IKIP akan mengalami penurunan jumlah; tidak terkecuali untuk program studi IPA atau keeksaktaan. Dari kesepuluh IKIP Negeri di negara kita pada tahun 1987 mengalami penurunan program studi IPA sebanyak 22 program studi, dibanding dengan kondisi tahun 1986. Pada tahun 1986 terdapat 150 program studi, dan pada tahun 1987 jumlahnya menyusut menjadi 128 program studi. Penurunan jumlah program studi tersebut dapat menurunkan daya tampung, dan menurunnya daya tampung dapat menurunkan jumlah calon atau peminat. Meskipun jumlah program studi IPA pada IKIP Negeri menyusut, tetapi bila dihitung angka penyusutannya dalam persen tidak akan lebih dari 20%; tepatnya adalah 14,67% (22 dibagi dengan 150). Jadi penurunan jumlah calon atau peminat program studi IPA yang besarnya 25,65%, adalah masih jauh tinggi penurunan jumlah program studi IPA itu sendiri yang besarnya 14,6%. Kesimpulannya adalah bahwa penurunan jumlah calon atau peminat program studi IPA dan IKIP bukan semata-mata disebabkan karena adanya penurunan program studinya itu sendiri; akan tetapi memang minat masyarakat terhadap bidang studikeeksaktaan semakin menurun. Program Minor
4
Bagaimana caranya mencetak guru-guru eksakta dan para eksaktawan lainnya? Inilah pertanyaan yang harus segera dijawab. Kiranya cukup banyak alternatif yang layak diaplikasikan untuk mengatasi problematika kurangnya tenaga kependidikan bidang studi eksakta di sekolah. Salah satu diantaranya adalah dengan mempertahankan program minor pada struktur kurikulum IKIP untuk program studi eksakta atau IPA. Sebagaimana kita ketahui program studi minor pada struktur kurikulum IKIP adalah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk menambah keahlian atau tepatnya "spesialisasi" bidang studi disamping spesialisasi utama yang ditekuninya. Program minor memberi "spesialisasi kedua" bagi mahasiswa, yang secara legal akan memberikan kewenangan mengajar baginya. Kita ambil contoh mahasiswa program studi Fisika mengambil program minor Kimia. Setelah lulus nanti maka dia akan mempunyai kewenangan untuk mengajar dua bidang studi tersebut. Utamanya dia akan mengajar Ilmu Fisika, akan tetapi apabila disekolah dimana dia mengajar tidak didapati guru bidang studi Kimia maka dia dapat mengajar Ilmu Kimia secara penuh; dalam arti dari segi legalitas maka kewenangannya dapat dipertanggungjawabkan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa IKIP telah mendegradir program minor ini dengan pertimbangan program tersebut cukup "memberatkan" mahasiswa; karena disamping harus menempuh program utama maka mahasiswa tersebut juga diwajibkan menempuh program pilihan. Argumentasi tersebut memang cukup tepat dan tidak berlebihan. Tetapi, untuk program studi eksakta kiranya pantas dipertimbangkan secara khusus. Mengingat padakondisi di lapangan atau sekolah-sekolah yang sampai sekarang ini masih sangat kekurangan guru eksakta, maka cukup normal kalau program minor tetap dipertahankan dalam struktur kurikulum. Pemertahanan program minor ini kiranya tidak akan bertentangan dengan sistem kredit semester yang saat ini sedang diacu oleh IKIP itu sendiri. Untuk kurikulum sarjana atau strata satu, maka besarnya beban kredit ditentukan antara 144 s/d 160 sks. Dengan ketentuan ini bisa saja program utama ditentukan atas dasar beban minimal kurikulum (144 sks), sedangkan selebihnya disediakan untuk program minor. Atau proporsinya dibuat sedemikian rupa sehingga antara program utama dengan program minor sama-sama masih berada dalam batas-batas toleransi. Dengan cara tersebut maka mahasiswa tidak perlu merasa ditambah bebannya, sebab beban kredit yang mereka tempuh tetap tidak melewati batas maksimal yang telah ditentukan; ialah 160 sks untuk program sarjana. Cara tersebut merupakan salah satu alternatif untuk mencetak guru eksakta yang cukup dan memadai, masih banyak alternatif lain untuk kepentingan tersebut. Di
5
samping masih diperlukan alternatif yang lain lagi untuk mencetak para eksaktawan bukan guru. Semoga tulisan ini bermanfaat, dan menggejalanya fenomena langka eksakta, atau berjangkitnya PLE, dalam dunia pendidikan kita mendapatkan perhatian yang serius dari Depdikbud dan dari kita semua !!!!! -------------------------------------------------------Drs. Ki Supriyoko, M.Pd, Staf edukatif dan Ketua Lembaga Penelitian Sarjanawiyata (LPST) Tamasiswa Yogyakarta, Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan.
TABEL PENURUNAN PEMINAT PROGRAM IPA PADA IKIP NEGERI ( Data Sipenmaru Tahun 1986-1987 ) ________________________________________________________ PTN 1986 1987 Turun Persen ________________________________________________________ IKIP Medan 7.136 4.758 2.378 33,32 IKIP Padang 7.463 5.995 1.468 19,67 IKIP Jakarta 9.238 5.595 3.643 39,43 IKIP Bandung 12.065 8.919 3.146 26,07 IKIP Semarang 10.551 7.600 2.951 27,97 IKIP Yogyakarta 8.813 7.398 1.415 16,06 IKIP Surabaya 9.824 7.179 2.645 26,92 IKIP Malang 9.424 6.709 2.715 28,81 IKIP U. Pandang 10.335 7.723 2.612 25,27 IKIP Manado 1.730 1.627 103 5,95 ________________________________________________________ Jumlah 86.579 63.505 23.074 26,65 ________________________________________________________ Sumber: Ditjen Dikti, "Masalah Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru)", 1987