Surat Kabar Harian “KEDAULATAN RAKYAT”, terbit di Yogyakarta, Edisi 10 Juli 1989 _____________________________________________ MENUJU "RESEARCH UNIVERSITY" SEBAGAI PERGURUAN TINGGI DI MASA DEPAN Oleh : Ki Supriyoko
Adalah Department of Electrical Engineering and Electronics pada Manchester University. Berkat jurnal penelitian yang berhasil diterbitkan secara kualitatif, "International Journal of Electrical Engineering Education", maka lembaga ini lebih banyak dikenal orang. Jurnal tentang pendidikan keteknikan tersebut memang telah diakui sebagai berkualitas. Laporan-laporan penelitian yang dijurnalkan bukan saja sangat bervareasi baik materi maupun peneliti-nya, tetapi bobot penelitian serta metode samerisasinya pun memang layak dibanggakan. Jurnal ini diterbitkan ke dalam empat bahasa sekaligus: Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol; distribusinya menembus seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Dengan jurnal penelitian tersebut di atas sudah barang tentu pamor akademik perguruan tingginya pun ikut terangkat. Apabila Manchester bangga dengan "International Journal of Electrical Engineering Education"-nya, maka Illinois University boleh bangga dengan "Illinois Journal of Mathematics", University of Chicago dengan "International Journal of American Linguistics", George Was-hington University dengan "Journal of Northeast Asian Studies", dan sebagainya. Berbagai ilustrasi tersebut di atas menggambarkan betapa telah terciptanya aktivitas penelitian yang kuarelevantif pada berbagai perguruan tinggi, dan berhasil mengekspresikan aktivitasnya dalam bentuk karya tulis ilmiah publikatif, sekaligus mendistribusikannya. B. Perguruan Tinggi Tradisional Tugas perguruan tinggi di Indonesia secara eksplisit disebutkan di dalam 'tridharma perguruan tinggi': yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabian masyarakat. Meskipun demikian sampai saat ini pada umumnya perguruan tinggi kita masih berada pada taraf "teaching university"; hal ini ditandai dengan masih terkonsentrasikannya pelaksanaan tridharma pada salah satu dharma saja, yaitu
2
dharma pengajaran. Apakah keadaan tersebut di atas dapat diartikan bahwa dharma penelitian telah terabaikan? Jawabnya bisa ya, dan bisa pula tidak; akan tetapi harus diakui dengan sejujurnya bahwa perhatian perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya terhadap dharma ini belum sebanding dengan perhatian terhadap dharma pengajaran. Belum berkembangnya iklim penelitian berakibat pada terjadinya proses pengajaran yang masih dilakukan secara tradisional, baik dari segi materi maupun metode penyampaiannya. Mengapa? Karena proses pengajaran dewasa ini bukan jamannya lagi semata-mata mengandalkan teori-teori literer dari referensi klasik, akan tetapi perlu dukungan hasil-hasil penelitian sebagai acuan empiris dalam mengembangkan teori-teori yang bersangkutan. Acuan empiris tersebut sangatlah penting karena dalam berbagai kasus sering ditemukan kenyataan tentang tidak adanya relevansi antara "teori literer referentif" dengan temuan empiris dari lapangan; bahkan keduanya sering bertolak belakang. Kasus seperti ini justru sangat menarik sebagai bahan diskusi ilmiah untuk mengembangkan teori-teori tertentu; dan ini tidak mungkin dimunculkan tanpa adanya aktivitas penelitian yang mendasarinya. Perguruan tinggi yang ruang geraknya masih terbatas dalam dharma pengajaran, dan proses pengajarannya itu sendiri masih dilakukan secara tradisional, kiranya cukup pantas dimasukkan dalam kategori "perguruan tinggi tradisional". Dan kalau kita mau bicara jujur, di sekeliling kita masih sangat banyak ditemui perguruan tinggi dengan kualifikasi seperti itu; "tradisional". “Research University” Problematika penelitian di perguruan tinggi kita masih sangat kompleks; minimnya produktivitas penelitian dan miskinnya publikasi ilmiah merupakan indikator yang mudah dicermati. Pada umumnya perguruan tinggi kita tiap tahunnya tidak mampu memproduksi laporan-laporan penelitian dalam jumlah yang lebih banyak dari jumlah dosennya. Hal ini menunjukkan belum semua dosen mampu melakukan penelitian sekali saja dalam setiap tahunnya. Pada sisi yang lain belum ada publikasi ilmiah bertaraf nasional, apalagi internasional, yang layak dibanggakan pada kebanyakan perguruan tinggi kita, hal ini bukan saja disebabkan karena belum terciptanya kebiasaan menulis pada kebanyakan dosen dan mahasiswa; akan tetapi lebih dari itu belum terciptanya iklim penelitian di kalangan perguruan tinggi merupakan teori "adam-hawa"-nya. Perguruan tinggi di masa yang akan datang adalah "research university", yaitu merupakan perguruan tinggi yang penuh dengan aktivitas penelitian di dalamnya. Para civitas akademika masing-masing mempunyai tanggung jawab untuk
3
melaksanakan penelitian, baik dalam kepentingannya untuk mengembangkan ilmu, menemukan kerangka acuan dalam pengambilan kebijakan, maupun untuk kepentingan-kepentingan yang lainnya. Kalau berbagai universitas atau perguruan tinggi pada negara-negara maju, negara-negara industri, sudah berada dalam kualifikasi "research university" seperti tersebut di atas, maka di Indonesia hal tersebut masih merupakan tantangan untuk mera-ihnya. Di samping tridharma yang diemban oleh perguruan tinggi di Indonesia telah membuka kemungkinan untuk kepentingan tersebut, maka Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) lebih menjaminnya lagi. Pasal 22 ayat (2) menegaskan: "Perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah". Sementara itu Pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa salah satu tugas yang diemban oleh tenaga kependidikan, termasuk dosen di perguruan tinggi, di samping kegiatan edukatif seperti mengajar serta memberi pelayanan teknis dalam bidang pendidikan adalah tugas meneliti. Berangkat dari pasal-pasal tersebut di atas maka tak ada alasan bagi seluruh civitas akademika perguruan tinggi untuk tidak bekerja keras berupaya meningkatkan kualifikasi lembaganya sampai pada taraf "research university". Hak otonomi yang diberikan oleh UU Sisdiknas untuk mengembangkan penelitian ilmiah di perguruan tinggi tentu saja menciptakan ruang gerak yang lebih longgar; dan keadaan ini harus benar-benar dimanfaatkan untuk menuju tercapainya "research university" sebagai perguruan tinggi di masa depan. Pada sisi yang lain secara empiris terdapat korelasi yang positif di antara kemajuan suatu negara dengan peran penelitian di dalamnya. Hubungannya pun bersifat "kautatif resiprokal"; makin tinggi peran lembaga penelitian dan/atau peneliti semakin maju negara tersebut, sebaliknya semakin maju suatu negara maka peran lembaga penelitian dan/atau peneliti semakin diperlukan. Daniel Bell (1976) secara tersirat melukiskan hubungan antara kemajuan suatu negara dengan peran lembaga penelitian dan/atau peneliti sebagai dilukiskan di dalam Tabel 1. Indonesia yang sedang giat-giatnya membangun, dan berupaya menyetarakan kedudukannya dengan negara-negara industri dan negara-negara pasca industri yang lainnya, sudah barang tentu semakin menuntut berperannya lembaga-lembaga penelitian dan/atau para peneliti. Secara tidak langsung hal ini mengisyaratkan akan tertinggalnya peran perguruan tinggi yang tidak berupaya untuk menempatkan dirinya dalam kualifikasi "research university". Berbagai Kendala
4
Bahwa setiap perguruan tinggi harus meningkatkan aktivitas penelitiannya kiranya semakin mendesak adanya, namun untuk merealisasikan aktivitas tersebut berbagai kendala telah menghadangnya; antara lain, Pertama, peneliti yang terbatas baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Banyak dosen yang diharapkan mampu menjadi "prime mover" aktivitas penelitian ternyata justru belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang laik. Sementara itu iklim penelitian di kalangan mahasiswa lebih memprihatinkan; memang metodologi penelitian yang diberikan kepadanya belum cukup memadai. Kedua, "kum oriented". Banyak dosen di perguruan tinggi yang melakukan penelitian semata-mata berorientasi pada "kum". Keadaan ini dapat memperbesar persentase penelitian yang tidak bermutu. Hal ini dapat terjadi karena penelitian yang hanya berorientasi pada "kum", umumnya secara kualitatif ada di kawasan "passing grade line". Ketiga, alokasi dana penelitian yang relatif rendah. Banyak ditemui perguruan tinggi yang lebih mengandalkan dana penelitiannya dari subsidi luar lembaga daripada alokasi yang memang didisain di dalam rencana budgeting lembaganya; bahkan masih ada perguruan tinggi yang memandang penelitian sebagai kebutuhan sekunder, sehingga alokasi dananya ditentukan secara "tentatif". Keempat, kurang gencarnya publikasi penelitian. Publikasi yang kurang gencar dan belum tumbuhnya kelompok pembaca yang "research minded" dapat menghambat motivasi meneliti dan membuat karya tulis publikatif. Keadaan ini juga kurang dapat mengenalkan hasil-hasil penelitian (findings) yang sebenarnya sangat bermanfaat. Kelima, menyangkut aspek kompetisi. Belum tumbuhnya organisasi-organisasi profesi dan lembaga-lembaga penelitian non-perguruan tinggi yang profesional seperti American Educational Research Association (AERA) di AS, European Psychological Association (EPA) di Eropa, dsb kurang menumbuhkan sistem kompetisi meneliti di kalangan peneliti sehingga produktivitas penelitian menjadi rendah. Alternatif Kunci utama untuk menghantarkan perguruan tinggi sampai pada kualifikasi "research university" terletak pada iklim penelitian pada perguruan tinggi itu sendiri; oleh karena itu menumbuhkan iklim meneliti di kalangan dosen dan mahasiswa harus mendapat sentuhan yang paling awal. Berbagai alternatif dapat ditempuh untuk menumbuhkan iklim meneliti tersebut, antara lain: Pertama, memberikan 'enrichment programme' kepada civitas akademika, terutama para dosen. Bentuknya berupa pem berian kesempatan melanjutkan studi ke jenjang formal S2 maupun S3, atau menyajikan program nonformal yang berupa "in service training" di dalam atau di luar kampus.
5
Kedua, memperbaiki "budgeting system". Pada prinsipnya perlu dilakukan upaya untuk memperbesar dana penelitian; secara intern dapat ditempuh dengan "memperluas" alokasi dana penelitian dari lembaganya masing-masing, sedangkan secara ekstern maka sikap perguruan tinggi yang selama ini sekedar "welcome" atas subsidi perlu mempertimbangkan untuk "hunting" kepada pihak luar, sepanjang tidak mengurangi nilai-nilai ilmiah yang diperjuangkan dalam proses penelitian. Ketiga, mengefektivkan sistem "reward". Bagi para dosen sesungguhnya telah disediakan "reward" yang lebih dari cukup, terutama menyangkut sistem "kum"; meski demikian sistem "reward" ini masih bisa ditingkatkan efektivitasnya; misalnya menyangkut publikasi, komunikasi, kaitannya dengan proses pengambilan kebijakan (decision making process), dsb. Sementara itu untuk mahasiswa diperlukan pemikiran ulang yang komprehensif. Apabila tiga alternatif tersebut di atas dapat dilaksanakan secara sistematis dan terpadu kiranya iklim meneliti di kalangan dosen dan mahasiswa benar-benar akan dapat ditumbuh-mekarkan. Dengan demikian hasil upaya meningkatkan mutu perguruan tinggi sampai pada kualifikasi "research university" kiranya akan lebih cepat terrealisasikannya !!!***** ________________________________________________________ BIODATA SINGKAT; nama: Drs. Ki Supriyoko, M.Pd pek.: Ketua Litbang Pendidikan Majelis Luhur Tamansiswa, dan Ketua Lembaga Penelitian Sarjanawiyata Tamansiswa (LPST) Yogyakarta prof: Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan
Tabel 1: Hubungan antara Kemajuan Suatu Negara dengan Peran Lembaga Penelitian dan/atau Peneliti pada Negara yang Bersangkutan ______________________________________________________ Classification of Country Dimension --------------------------------------- Pre-indust. Industrial Post-indust. ______________________________________________________ Resource L a n d Machinery Knowledge Social F a r m, Business University, locus Plantation firm Research institute Dominant Landowner, Business- Scientists, figures Military men Researchmen ______________________________________________________
6
Sumber: Daniel Bell, "The Coming of Post Industrial Society", 1976, p. 359 (diadaptasi)