Surat Kabar Harian “PIKIRAN RAKYAT”, terbit di Bandung, Edisi 12 Januari 2000 _____________________________________________ Laporan dari Kongres Ke-21 PAPE di Manila (1): PENDIDIKAN PADA MILENIUM KE-3 Oleh : Ki Supriyoko
Pertemuan penting kalangan pengembang pendidikan swasta di negara-negara Asia Pasifik baru-baru ini dilaksanakan di Manila, Philippina melalui forum PanPacific Association of Private Education (PAPE). Ada dua agenda penting di dalam pertemuan ini; masing-masing ialah pertemuan pimpinan (board meeting) yang diikuti oleh 13 orang dan kongres ke-21 yang diikuti oleh sekitar 300 orang. Dalam tradisi PAPE memang sudah dibiasakan adanya kongres tahunan yang dilaksanakan secara bergiliran di masing-masing ne-gara anggota. Kalau tahun ini diselenggarakan di Manila, Philippina maka tahun sebelumnya kongres dilaksanakan di Seoul, Korea; dan tahun depan akan dilaksanakan di Hawai, Amerika Serikat (AS). Di dalam kongres tahunan ini dibahas persoalan-persoalan pendidikan yang berkembang, baik yang berskala internasional maupun yang berskala regional, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Kongres ke-21 menampilkan "kata-kata kunci" dari seorang pakar pendidikan bernama Bro. Andrew Gonzalez, FSC; di samping sekretaris Departemen Pendidikan Philippina, dia adalah Presiden Asosiasi Universitas-Universitas Katholik di Asia. Dalam kongres ini juga ditampilkan presentasi dari nara sumber lain di luar Philippina antara lain dari Indonesia. Oleh panitia saya diminta membawakan makalah dengan judul "The National Education Performance for Sus-tainable Development in The Third Millennium". Setidak-tidaknya ada tiga permasalahan yang berkembang di dalam kongres ke21; masing-masing adalah tuntutan pendidikan di Milenium Ke-3, kinerja pendidikan yang bervariasi di negara-negara anggota PAPE, serta peran pendidikan swasta di dalam membangun kinerja pendidikan di masing-masing negara. Karakteristik Milenium Ke-3 "The time is running short", demikian apa yang disampaikan oleh Takashi Hara, kepala sekolah Showa Daiichi High School, To-kyo, Jepang. Sekarang, menjelang datangnya Milenium Ke-3 muncul persaingan yang sangat ketat di semua
2
bidang kehidupan sehingga terasakan bahwa peredaran waktu berjalan dengan sangat cepat dan pendek. Siapa cepat akan dapat, siapa lambat tidak akan dapat. Di dalam persaingan ini diperlukan sosok manusia unggul; manusia yang bukan saja berkualitas tetapi mau menjalani kehidupan dengan penuh keseriusan dan kesungguhan, yang oleh orang Jepang disebut "makotto". Keadaan yang demikian itu akan lebih dirasakan lagi dalam Milenium Ke-3 nanti. Orang harus bersungguh-sungguh menghadapi kehidupan ini dan harus mampu bersaing sehingga dapat "bermain" di dalam waktu yang berjalan cepat. Senada dengan pendapat tersebut di atas maka Heisik Oh, seorang kepala sekolah Ewha Girls 'Foreign Language High School Seoul, Korea secara sistematis mengiidentifikasi apa yang diprediksi akan mewarnai kehidupan manusia pada era Milenium Ke-3 nanti. Heisik mengidentifikasi ada enam kecenderungan yang akan mewarnai kehidupan kita nantinya sebagai berikut. Pertama, tentang perbedaan (diversity). Tumbuhnya perbedaan da-lam kehidupan semakin tidak mungkin dihindarkan. Dalam konteks pendidikan; kalau suatu bangsa ada yang cenderung mengaplikasi budaya Barat seperti Australia maka bangsa lain justru cenderung kembali ke budaya Timur seperti Jepang, sementara bangsa lainnya lagi akan menyimbangkan di antara keduanya seperti Indonesia. Kedua, tentang kualitas (quality). Milenium Ke-3 menuntut terpe-nuhinya kualitas di semua bidang kehidupan. Kualitas akan menjadi pilihan. Guru yang berkualitas akan dipilih oleh yayasan untuk di-beri kesempatan berkembang. Sekolah yang berkualitas akan dipilih oleh masyarakat tanpa membedakan statusnya, negeri atau swasta. Tanpa kualitas dipastikan siapapun dia dan apapun jenisnya akan mengalami gulung tikar. Ketiga, tentang faktor ekonomi (economic). Kehidupan di Milenium Ke-3 nanti akan lebih ekonomis dalam pengertian adanya relevansi antara harga dengan kualitas. Orang-orang Asia akan mau memba-yar mahal bersekolah di AS apabila kualitas pendidikan AS memang menonjol; sementara itu orang-orang Amerika mau membayar mahal untuk berstudi di Jepang kalau kualitas pendidikan Jepang memang unggul. Sebaliknya tidak ada seorang pun yang mau membayar, apalagi mahal, untuk sesuatu yang tidak berkualitas. Sekolah gra-tis pun akan ditolak masyarakat kalau mutunya jelek. Keempat, tentang faktor generasi (generational). Kemajuan yang pesat di Milenium Ke-3 menyebabkan apa-apa yang diajarkan kepada anak-anak di sekolah berbeda dengan apa-apa yang dialami orang tua sebagai generasi sebelumnya. Nilainilai di sekolah bukan tidak mungkin berbeda dengan nilai-nilai di rumah. Itu sudah merupakan konsekuensi dari proses alih generasi yang cepat. Di dalam hal ini diperlukan penyelarasan nilai-nilai, meskipun untuk melaksanakan-nya diperlukan enerji tersendiri. Kelima, tentang faktor alam (nature). Yang lepas dari pengamatan banyak orang barangkali adalah diprediksi di Milenium Ke-3 nanti akan muncul gerakan kembali
3
kepada alam. Teori-teori kedokteran, ilmu-ilmu pertanian, teknologi-teknologi irigasi, dsb, yang selama ini sudah berkembang dengan pesat akhirnya akan kembali kepada teori alam. Dalam pendidikan demikian juga halnya; teori mendidik anak yang sudah dikembangkan secara pesat akhirnya pun akan kembali kepada alam. Mendidik anak secara natural, sederhana, dan tidak berbelit-belit. Keenam, tentang agama (religy). Milenium Ke-3 juga akan tertandai dengan kehidupan dalam konteks multi-religius; artinya ilmu-ilmu yang berkembang pesat justru akan menyadarkan manusia betapa kita ini mempunyai berbagai keterbatasan. Apabila dengan teknologi satelit kita dapat mengetahui secara lebih jelas mengenai kekayaan alam dan karakteristik manusia penghuninya maka kita akan sadar bahwa dibalik itu semua ada kekuatan tertentu yang telah menciptakannya. Pada akhirnya kita tidak akan lagi sombong dan arogan dengan penguasaan ilmu dan teknologi yang kita kuasai. Sudah Mulai Bahwa kehidupan manusia pada Milenium Ke-3 nantinya akan semakin kompleks kiranya tidak terhindarkan; sebagai akibatnya pelaksanaan pendidikan pun akan menjadi semakin kompleks pula. Seorang kepala sekolah di Jepang seperti Takashi Hara serta kepala sekolah di Korea seperti Heisik Oh sudah mempunyai wawasan yang sedemikian luas. Bagaimana dengan wawasan kepala-kepala sekolah di Indonesia? Keluasan wawasan kepala sekolah serta praktisi pendidikan lainnya di Jepang, Korea, dan negara-negara maju lainnya bahkan sudah ditindaklanjuti dalam aktivitas akademiknya di sekolah seha-ri-hari. Mereka sudah mulai mengaplikasi konsepkonsep pendidikan dalam aktivitas sehari-hari untuk mempersiapkan diri memasuki Mi-lenium Ke-3. Karena orang Jepang meyakini kompetisi akan mewarnai ke-hidupan manusia pada Milenium Ke-3 nanti maka sejak sekarang ini siswa-siswa SD, SLTP dan SM di Jepang secara mental sudah disi-apkan untuk mengalahkan bangsa-bangsa lainnya. Ketika ia belajar komputer maka semangatnya ialah untuk mengalahkan bangsabang-sa lain agar supaya tidak mengalahkan Jepang. Di Korea sejak dini anak-anak sudah ditanamkan semangat untuk mengalahkan Jepang dalam berbagai aspek kehidupan karena Jepang dianggap bangsa yang paling unggul sekarang ini. Sekolah-sekolah di Taiwan lebih drastis lagi. Peralatan yang ada di sekolah seperti komputer, alat peraga, laboratorium, sampai buku-buku perpustakaan dirombak total untuk diganti yang baru sebagaimana dengan tuntutan teknologi mutakhir. Sejak di bangku sekolah para siswa sekolah sudah mempraktekkan segala sesuatu yang berstandard internasional supaya "kebiasaan" seperti ini bisa dipertahankan di masyarakat. Hanya dengan cara dan metode de-mikian mereka yakin dapat memenangkan persaingan pada Milenium Ke-3 nantinya. Apakah sekolah-sekolah di Indonesia sekarang ini sudah me-lakukannya?
4
Permasalahan kedua yang cukup menyita perhatian di dalam kongres adalah mengenai kinerja pendidikan yang sangat bervariasi di antara negara-negara maju, berkembang dan belum maju. Seperti diketahui kemajuan suatu negara biasanya berhubungan secara tim-bal balik (reciprocal relationship) dengan kemajuan pendidikannya. Semakin maju suatu negara semakin maju pula pendidikan, demikian pula sebaliknya, semakin belum maju suatu negara semakin belum maju pula pendidikannya. Hal tersebut menjadi cukup relevan karena sejak berdirinya PAPE pada tahun 1979, keanggotaan lembaga ini telah mengakomodasi negara-negara yang pendidikannya sudah maju seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang dan Republik Korea; negara-negara yang sedang berkembang pendidikannya seperti Taiwan, Hong Kong dan Singapura; serta negara-negara yang sama sekali belum maju pendidikannya seperti Malaysia, Thailand, dan Philippina. Dimanakah posisi Indonesia? Sampai sekarang, posisi negara kita masih berada dalam kelompok yang terakhir. Indonesia masih termasuk di dalam kategori negara yang sama sekali belum maju pendidikannya. Kinerja pendidikan suatu negara amat penting untuk diukur, dievaluasi dan ditingkatkan karena hal ini juga berimplikasi kepada kehidupan masyarakatnya. Dalam soal kedisiplinan misalnya; kalau kita boleh jujur, kedisiplinan masyarakat Indonesia masih sangat rendah bila dibanding dengan masyarakat Singapura karena kinerja pendidikan Indonesia masih jauh berada di bawah Singapura. Demi-kian juga dalam soal kemandirian, transparansi, profesionalisme dan permasalahan kehidupan yang lain. Sangat Bervariasi Kinerja pendidikan suatu negara tercermin di dalam berbagai angka sekaligus; misalnya saja Human Development Index (HDI), Competitiveness Index (CI), kualitas perguruan tinggi, daya tam-pung pendidikan dasar, menengah dan tinggi, kemampuan membaca siswa, kemandirian siswa, profesionalisme guru, dsb. Berdasarkan angka-angka tersebut pula ternyata diperoleh peringkat yang bervariasi di antara negara-negara di Asia Pasifik anggota PAPE. Namun demikian kalau kita cermati ternyata negara-negara di Asia Tenggara, terkecuali Singapura, umumnya berada dalam posisi tertinggal. Dalam soal HDI misalnya. Publikasi terakhir UNDP, "Human Development Report 1999", menuliskan bahwa negara-negara di Asia Tenggara umumnya memiliki peringkat yang rendah. Kelompok Lima Besar dalam soal ini adalah Kanada di peringkat satu (1), Norwegia (2), AS (3), Jepang (4), dan Belgia (5); sedangkan negara-negara di Asia Tenggara berada di peringkat menengah dan bawah, misal Malaysia (56), Thailand (67), Philippina (77) dan Indonesia (105). Dalam soal CI juga diperoleh gambaran yang sama. Publikasi terakhir WEF,
5
"Global Competitiveness Report 1999", juga menyatakan bahwa negara-negara di Asia Tenggara umumnya berada dalam posisi yang rendah. Kelompok Tujuh Besar dalam kemampuan ber-kompetisi secara ekonomik dipegang oleh Singapura (1), AS (2), Hong Kong (3), Taiwan (4), Kanada (5), Swis (6) dan Luksemburg (7); sementara itu negara-negara di Asia Tenggara berada di dalam peringkat menengah dan bawah, misalnya Malaysia (16), Thailand (30), Filipina (33), dan Indonesia (37). Dalam hal tingkat partisipasi pendidikan menengah demikian pula halnya. Negara seperti Jepang angkanya sudah 99,9 atau ka-takanlah 100 persen; artinya 100 dari 100, atau seluruh anak usia pendidikan menengah telah bersekolah. Tak ada seorang pun yang tidak bersekolah. Negara-negara seperti AS, Australia, Canada dan New Zealand angkanya masing-masing adalah 96,3, 96,0, 95,2 dan 92,9; sementara itu Philippina, Malaysia, Indonesia, dan Thailand berturut-turut baru mencapai 77,8, 64,0, 56,1 dan 47,6. Peringkat perguruan tinggi sebagaimana yang dipublikasi oleh AsiaWeek dalam "World Class University 1999"juga merupakan indikator kinerja pen-didikan suatu negara. Dari publikasi ini terlihat bahwa ternyata Jepang, Australia dan negara-negara "Cina Modern" seperti Hong Kong, Taiwan, Singapura dan Republik Korea mengungguli negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya. Di dalam kategori perguruan tinggi umum (multi disciplinary university) tidak satu pun negara di Asia Tenggara, kecuali Singa-pura, yang berhasil memasukkan wakilnya dalam kelompok Sepuluh Besar. Kesepuluh perguruan tinggi dalam kelompok ini berasal dari Jepang (2), Republik Korea (2), Hong Kong (2), Australia (2), Taiwan (1), dan Singapura (1). Kinerja negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia dalam masalah pemeringkatan kualitas perguruan tinggi belum "oke". University of Malaya (UM) Kuala Lumpur yang diunggulkan oleh Malaysia hanya berhasil menempati posisi 46; sedangkan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang diunggulkan oleh Indonesia hanya menempati posisi 67. Bahkan yang lebih tragis lagi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang di Indonesia dianggap cukup berkualitas ternyata justru menempati posisi paling "bontot", yaitu posisi 79 dari 79 perguruan tinggi. Inilah gambaran kualitas perguruan tinggi di negara-negara Asia Tenggara pada umumnya. Dari angka-angka tersebut tergambarkan dengan jelas bahwa kinerja pendidikan negara-negara anggota PAPE sendiri masih amat bervariasi; ada yang sudah memuaskan, ada pula yang menjanjikan, akan tetapi ada yang masih sangat menyedihkan. Lagi-lagi Indone-sia termasuk di dalam kelompok yang terakhir ini. Kolaborasi Mutualistik Kalau dirunut lebih jauh sebenarnya kinerja pendidikan suatu negara sekaligus mencerminkan kesiapan negara yang bersangkutan di dalam menghadapi datangnya Milenium Ke-3. Kinerja pendidikan yang memuaskan mencerminkan kesiapan, sedangkan kinerja pendidikan yang menyedihkan mencerminkan ketidaksiapan.
6
Seperti diketahui bahwa prinsip yang akan berkembang pada Milenium Ke-3 nanti adalah "win win competition" dalam menjalankan kehidupan yang menuntut persaingan dan persandingan. Oleh kare-na itu amat beralasan bahwa negara-negara yang "kuat" membantu negara-negara yang "lemah" dalam meningkatkan kinerja pendidikan di masa-masa mendatang. Jepang misalnya; kinerja pendidikan negara Matahari Terbit ini tentu tidak diragukan lagi. Negara ini ternyata memiliki ranking HDI yang tinggi (4), mempunyai daya saing yang kuat (14), angka harapan hidup paling tinggi (80 tahun), memiliki GNP yang sangat tinggi (4.812,1 US$ billions), dan anggaran pendidikan yang amat memadai (3,6 persen dari GNP). Wajarlah kalau negara ini memiliki banyak perguruan tinggi kelas dunia, tidak ada anak berusia pen-didikan dasar dan menengah yang tidak bersekolah, dan tidak ada satu pun orang tua yang tidak dapat membaca. Jepang sangat ber-potensi membantu negara-negara lain. Keadaan tersebut juga berlaku bagi negara-negara anggota PAPE lainnya yang memiliki kinerja pendidikan secara memadai se-perti AS, Canada, Australia, Republik Korea, dan sebagainya. Negara-negara lain yang memiliki kinerja pendidikan belum memuaskan, khususnya negara-negara di lingkungan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Philippina dan Thailand harus bersiap diri menerima bantuan secara profesional. Terlebih-lebih lagi nega-ra-negara yang baru saja "standing up" seperti Vietnam, Papua Neugini, Fiji, dsb, juga perlu segera mempersiapkan diri secara mental dan fisik untuk menerima bantuan. Pasalnya, untuk menerima bantuan dari manca negara kini memang perlu persiapan. Kolaborasi mutualistik seperti itu dapat membantu meningkatkan kesiapan negara-negara di Asia Pasifik, khususnya anggota PAPE, dalam memantapkan kinerja pendidikannya untuk memasuki Milenium Ke-3 yang sudah ada di depan mata!
( bersambung ) --------------------------------------------------------