Surat Kabar Harian “KOMPAS”, terbit di Jakarta, Edisi 12 Januari 1987 MENYELAMATKAN SEKOLAH KEJURUAN Oleh : Ki Supriyoko
Salah satu tradisi pendidikan yang dipertahankan di negara kita sejak jaman kolonial dulu adalah diterapkannya sistem dikotomi sekolah; ialah dengan membentangkan seutas "benang merah" diantara sekolah umum (academic school) dan sekolah kejuruan (vocational school). Secara konsepsional sekolah umum bertugas menyi-apkan para lulusan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sedangkan sekolah kejuruan bertugas menyiapkan para lulusannya untuk dapat langsung memasuki dunia kerja. Dengan diterapkannya sistem dikotomi sekolah ini maka disiplin dan kualifikasi tenaga kerja sebagai pro-duk lembaga pendidikan akan dapat lebih diperjelas. Sekolah kejuruan akan memproduksi "tenaga kerja trampil menengah" (middle skilled worker), sedangkan sekolah u-mum akan memproduksi lulusan yang dipersiapkan menjadi "tenaga kerja trampil tinggi" (upper skilled worker) dan"tenaga kerja ahli" (professional) melalui pendidikan lanjutan. Sedangkan melalui pendekatan kuantitatif dapat ditentukan proporsi tenaga kerja dengan berbagai disiplin dan kualifikasinya yang dapat dan harus diproduksi oleh lembaga pendidikan. Negara kita yang tengah memasuki era pembangunan ini memang sangat membutuhkan tenaga kerja dari berbagai disiplin dan kualifikasi, sehingga memang sangat beralasan untuk mempertahankan sistem dikotomi sekolah ini. Meskipun dalam pelaksanaannya sistem ini banyak menga-lami romantika akademis yang penuh dengan "ganjalan". Sekolah Kejuruan Kurang Peminat Dewasa ini dalam struktur ketenagakerjaan di ne-gara kita masih dijumpai perbandingan kuantitas tenaga kerja yang kurang seimbang antara "tenaga kerja tidak trampil" (unskilled); "tenaga kerja trampil" (skilled); serta "tenaga kerja ahli" (professional).
2
Di satu pihak dijumpai "tenaga kerja tidak teram-pil" (ekuivalen dengan tidak tamat SD) yang berlebih, sementara itu dilain pihak sangat dirasakan betapa kurangnya "tenaga kerja trampil" (ekuivalen dengan tamatan sekolah Menengah Kejuruan dan Politeknik); serta tenaga kerja tingkat tinggi" (ekuivalen dengan tamatan Univer-sitas atau perguruan tinggi). Kondisi semacam ini sebenarnya dapat menarik mi-nat masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan pendidikan kejuruan. Tetapi pada kenyataannya dalam beberapa tahun terakhir ini minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan terasa semakin menipis. Sebagai ilustrasi pada awal tahun REPELITA III jumlah siswa SMTP menunjukkan angka 2.983 ribu orang, terdiri dari siswa SMTP umum sebanyak 2.895 ribu orang (97,05%) serta siswa SMTP kejuruan sebanyak 88 ribu o-rang (2,95%). Pada akhir tahun REPELITA III jumlah siswa SMTP meningkat menjadi 4.713,3 ribu orang yang terdiri dari siswa SMTP umum yaitu sebanyak 4.629,5 ribu orang (98,22%) dan siswa SMTP kejuruan sebanyak 83,8 ribu orang (1,78%). Untuk tingkat SMTA dijumpai data ratio yang tidak jauh berbeda keadaannya. Pada awal tahun REPELITA III jumlah siswa SMTA tercatat 1.574 ribu orang; terdiri dari jumlah siswa SMTA umum, SMTA kejuruan dan siswa SPG/SGO berturut-turut adalah 843 ribu (53,56%), 489 ribu (31,07%) dan 242 ribu (15,37%) orang. Sedang pada akhir tahun REPELITA III jumlah siswa SMTA tercatat 2.489,9 ribu orang; terdiri dari jumlah siswa SMTA umum, SMTA kejuruan serta siswa SPG/SGO berturut-turut sebanyak 1.696,9 ribu (68,16%), 551,7 ribu (2,16%) dan 241 ribu (9,68%) orang (Sumber: "Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI Soeharto 1984"). Sedangkan prediksibilitas jumlah siswa, guru ser-ta lulusan SMTA umum dan kejuruan dalam REPELITA IV di-sajikan dalam tabel berikut. Periksa Tabel! Di lain pihak apabila dikomparasikan antara jumlah sekolah umum dan sekolah kejuruan juga akan dijumpai kon disi yang tidak jauh berbeda. Sebagai misal dewasa ini di Yogyakarta yang mengantongi predikat "kota pelajar" ini memilki 491 SMTP dan 387 SMTA umum. Rinciannya adalah sebagai berikut: 482 (98,17%) SMTP umum, 9 (1,83%) SMTP kejuruan, 207 (53,49%) SMTA umum, dan 180 (46,51%) SMTA kejuruan termasuk SPG / SGO (Kanwil Depdikbud DIY "Daftar SMTP, SMTA dan Pendidikan Tinggi di DIY", 1983/ 1984). Berbagai ilustrasi diatas menunjukkan betapa ti-pisnya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan; ialah sekolah yang berjanji mampu mempredikati para lulusannya sebagai "tenaga kerja trampil" (skilled worker). Masalah "Reward" Terdapat semacam kesepakatan dari berbagai referensi bahwa sekolah kejuruan (vocational school) dapat hidup dan berkembang hanya bila para lulusannya diberi
3
"reward"; dan "reward" itu adalah 'pekerjaan'. Dalam sistem pendidikan kejuruan kita maka "reward" inilah yang menjadi barang mahal; yang dibuktikan dengan banyaknya lulusan sekolah kejuruan yang"ditampik" untuk memasuki dunia kerja. Bekal ketrampilan yang dida-patkan dari lembaga pendidikan sangat sering tidak mampu diperankan sebagai "derek" untuk mengangkat nasib. Lebih ironis lagi banyak kasus menunjukkan lulusan sekolah jeuruan yang secara formal berhasil mengantongi predikat sebagai "tenaga kerja trampil" (skilled workwer) ternyata tidak mampu bersaing dengan para lulusan sekolah umum dalam hal memperebutkan pos-pos kerja di lapangan. Akhirnya banyak pos-pos kerja yang sepantasnya menjadi kapling lulusan sekolah kejuruan "terserobot" oleh para lulcsan sekolah umum. Keadaan seperti tersebut diatas kiranya bukan hal baru lagi. Banyak para pengguna tenaga kerja yang secara terus terang mengakui bahwa lulusan sekolah kejuruan tidak atau kurang dibekali dengan disiplin ketrampilan yang relevan dan kualitatif. Akhirnya mereka lebih suka menerima lulusan sekolah umum dari pada lulusan sekolah kejuruan. Kenapa? Sama-sama belum memiliki disiplin ketrampilan yang relevan dan kualitatif maka lulusan seko-lah umum akan lebih mudah untuk "dibentuk". Kita mudah mengawasi bahwasannya banyak perusahaan, pabrik dan para pengguna tenaga kerja akan lebih se-nang menerima lulusan SMA dari pada STM, SMEA, SKKA, dsb, meski mereka akan diberi "pekerjaan kejuruan". Tradisi ini perlu segera diakhiri, karena di samping akan mengaburkan konsepsi sistem dikotomi sekolah yang di pertahankan juga akan mengkhawatrikan kelestarian sekolah kejuruan. Padahal, diakui atau tidak, lembaga pendidikan kejcruan sampai saat ini masih dapat digolong kan sebagai lembaga yang cukup efektif untuk memproduksi "tenaga kerja trampil", sementara belum ditemukan sistem yang lebih baik dan sempurna. Langkah-langkah inovasi untuk "menyelamatkan" sekolah kejuruan mau tak mau harus segera diambil. Antar Departemental Kiranya hampir tidak ada yang tak sependapat bah-wa menangani sekolah kejuruan jauh lebih komplek apabila dibandingkan dengan sekolah umum. Bukan saja karena sekolah kejuruan memerlukan "kancah" yang lebih luas;beaya yang lebih tinggi; peralatan yang lebih komplit; anti pasi perkembangan teknologi yang lebih jitu; dsb, akan tetapi sekolah kejuruan mempaunyai interaksi dan inter dependensi langsung dengan sektor lain: ketenagakerjaan. Penanganan masalah-masalah pada sekolah umum sa-ngat memungkinkan diselesaikan secara 'inter departemen-tal' dalam hal ini dilingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saja. Tetapi penanganan masalah-masalah sekolah
4
kejuruan harus bersifat 'antar departemental', dalam artian harus ada kerja sama yang apik antara satu departemen dengan departemen yang lainnya; dalam hal ini setidak-tidaknya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja. Depdikbud memproduksi tenaga kerja, sedang Depnaker mengkonsumsi tenaga kerja. Jelas bahwa antara Depdikbud dengan Depnaker harus tercipta komunikasi dan kerja sama yang benar-benar apik. Seharusnya kebijaksanaan apapun yang diambil oleh salah satu departemen hendaknya selalu dipertimbangi bahwa kebijaksanaan tersebut menyangkut kepentingan antardepartemen, baik kepentingan secara langsung maupun tidak langsung. Sebuah ilustrasi dapat diangkat, ialah ketika Di-rektorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdikbud mengeluar-kan aturan tentang persyaratan lulusan sekolah menengah atas yang akan meneruskan studinya ke perguruan tinggi. Salah satu butir dari peraturan Dirjen Dikti No-mer: 212/D/Q/1983 mengisyaratkan bagi lulusan sekolah kejuruan yang belum mempunyai pengalaman kerja sesuai dengan bidangnya sedikit-dikitnya dua tahun dan disertaidengan tanda bukti tertulis, maka untuk bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi mereka dikenakan persyaratan "batas rata-rata nilai minimal dalam STTB" yang harganya sangat aduhai bagi lulusan sekolah kejuru an. Peraturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai se-buah "pembatasan" atau pengecilan "kans" bagi lulusan sekolah kejuruan yang akan meneruskan studinya ke Uni-versitas atau perguruan tinggi. Apabila kita kembali kepada konsep dasar sistem dikotomi, ialah sekolah kejuruan bertugas menyiapkan lu-lusan untuk memasuki dunia kerja (bukan untuk meneruskan studi) sedangkan sekolah kejuruan sebaliknya, maka "pem-batasan" tersebut bisa dimengerti. Akan tetapi akan le- bih sempurna apabila dilain pihak Depnaker mengeluarkan "pembatasan" yang serupa bagi lulusan sekolah umum yang ingin bekerja. Karena "pembatasan" serupa tidak pernah ada maka jelas bahwa kesempatan lulusan sekolah umum jauh lebih nyaman bila dibandingkan dengan lulusan sekolah kejuruan. Lulusan sekolah umum bebas meneruskan studi maupun men-cari pekerjaan,sementara lulus sekolah kejuruan diberi batasan untuk menlajutkan studi. Wajar kalau minat masyarakat kemudian terkonsentrasikan pada sekolah umum. Selama ini alternatif yang ditempuh untuk meng-angkat pamor akademis sekolah kejuruan nampaknya belum sampai menyentuh pada "masalah dasar". Sebenarnya kunci untuk dapat "menyelamatkan" atau mengangkat pamor akademis sekolah kejuruan justru terda-pat pada "masalah dasar" ini; ialah menegakkan kembali konsep dasar sistem dikotomi sekolah. Membentangkan "be-nang merah" diantara sekolah umum (academic school) de-ngan sekolah kejuruan (vocational school). Lulusan sekolah umum untuk melanjutkan studi, lu-lusan sekolah kejuruan untuk
5
bekerja. Konsekuensinya, prioritas untuk melanjutkan studi harus diberikan pada lulusan sekolah umum, sedangkan prioritas untuk mendapat kan pos kerja harus diberikan pada lulusan sekolah keju-ruan. Secara lebih ekstreem lulusan sekolah kejuruan tidak diperbolehkan melanjutkan studi di perguruan ting-gi selama masih ada lulusan sekolah umum yang mendambaan masuk perguruan tinggi. Sebaliknya lulusan sekolah umum tidak diperbolehkan mengisi pos-pos kerja selama lulusan sekolah kejuruan masih ada yang ingin mengisi pos kerja tersebut. Meskipun masalah sekolah kejuruan adalah dibawah satu departemen, tetapi pemecahannya sebaiknya bersifat 'antar departemental'; setidak-tidaknya melibatkan Dep-dikbud dan Depnaker secara integral. Setiap kebijakan dan aturan harus berangkat dari pengertian menegakkan kembali konsep sistem dikotomi sekolah tersebut diatas. Dan apabila hal ini bisa dijalankan secara konsekuen, pelan tapi pasti minat masyarakat terhadap sekolah keju-ruan akan pulih kembali. Kunci untuk "menyelamatkan" sekolah kejuruan memang sangat sederhana, meski disadari bahwa birokrasinya bisa menjadi sulit !!!***** ============================================================= BIODATA SINGKAT: Drs. Ki Supriyoko, M.Pd., adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta serta pengamat masalah-masalah pendidikan dan sosial
TABEL PERKIRAAN JUMLAH SISWA, GURU DAN LULUSAN SEKOLAH MENENGAH TINGKAT ATAS SELAMA REPELITA IV (jumlah dalam ribuan) ------------------------------------------------------------ No Komponen 84/85 85/86 86/87 87/88 88/89 ------------------------------------------------------------ 1. Jumlah siswa baru 1.1 SMTA Umum 651,3 707,8 724,7 787,3 843,5 1.2 SMTAKejuruan 204,6 209,7 214,9 202,3 225,8 2. Jumlah seluruh siswa 2.1 SMTA Umum 1769,6 1902,9 2036,6 2170,7 2305,0 2.2 SMTA Kejuruan 586,1 601,4 616,6 632,3 648,3 3. Jumlah guru 3.1 SMTA Umum 111,3 118,0 124,5 130,8 137,0 3.2 SMTA Kejuruan 46,6 47,6 48,7 49,7 50,8 4. Jumlah lulusan 4.1 SMTA Umum 500,1 512,4 570,1 621,4 639,5 4.2 SMTA Kejuruan 170,2 175,3 180,3 185,4 190,5
6
------------------------------------------------------------ Sumber: Depdikbud, "Proyeksi-Proyeksi Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi serta Pendidikan Luar Sekolah Periode REPELITA IV"