Surat Kabar Harian “SUARA KARYA”, terbit di Jakarta Edisi 17 Juli 1990 _____________________________________________ MISTERI RIBUAN KURSI KOSONG SMTP Oleh : Ki Supriyoko
Ironis! Itulah kata-kata yang paling tepat untuk melukiskan terjadinya kekosongan kursi belajar pada SMTP (Negeri) di wilayah DKI Jakarta yang jumlahnya mencapai 2.800-an; suatu jumlah yang mungkin tidak pernah "terbayangkan" oleh para anggota panitya penerimaan siswa baru SMTP, atau bahkan oleh Depdikbud sekalipun. Seperti yang biasa dilaksanakan pada tahun-tahun yang sebelumnya maka dalam penerimaan siswa baru tingkat SMTP tahun ajaran 1990/1991 baru-baru ini telah diadakan kesepakatan guna mengumumkan hasil seleksi secara serentak pada semua SMTP (Negeri) di DKI Jakarta. Dan setelah pengumuman hasil seleksi dilaksanakan ternyata didapati sebanyak 2.800-an kursi belajar yang kosong karena tanpa penghuni; yaitu para siswa baru. Para kandidat siswa baru tidak dikenakan testing ataupun ujian tertulis semacam UMPTN di perguruan tinggi negeri misalnya, karena untuk menentukan ranking kandidat dilaksanakan dengan membandingkan tinggi rendahnya pencapaian Nilai Ebtanas Murni (NEM) Sekolah Dasar (SD) antar kandidat itu sendiri. Makin tinggi NEM yang dimiliki oleh seorang kandidat otomatis akan semakin tinggi pula rankingnya; ini berarti semakin tinggi pula kemungkinan untuk diterima menjadi siswa baru SMTP. Mengapa peristiwa tersebut sangat ironis ..? Oleh karena di tengah-tengah adanya keterbatasan daya tampung SMTP di negara kita dalam beberapa tahun yang terakhir ini masih dijumpai adanya kursi belajar yang kosong tidak atau belum (?) terisi siswa baru. Pada umumnya setiap kursi belajar SMTP rata-rata diperebutkan oleh lebih dari seorang kandidat, bahkan di beberapa daerah tertentu setiap kursi diperebutkan oleh empat atau lima kandidat; ini berarti bahwa jumlah kursi belajar jauh lebih sedikit dari jumlah peminatnya. Nah, mengapa ribuan kursi belajar tidak "terhuni"? Bukankah hal ini seperti sebuah misteri? Daya Tampung SMTP
2
Secara nasional daya tampung SMTP di negara kita belum mampu menunjukkan angka yang maksimal, sampai saat ini masih berkisar pada angka 65%; artinya dari setiap 100 lulusan SD maka hanya 65 saja yang dapat tertampung sebagai siswa baru di SMTP, baik umum maupun kejuruan. Sebagai ilustrasi yang lebih riil dapat diajukan data sbb: pada tahun ajaran 1988/1989 terdapat 3.389.548 lulusan SD, sementara itu yang dapat ditampung sebagai siswa baru SMTP hanya 2.191.826 anak. Ini berarti bahwa daya tampung SMTP baru mencapai angka 64,66%; artinya masih ada sekitar 35,34%, atau sebanyak 1.197.722 lulusan yang belum tertampung di SMTP. Jumlah ini akan makin "membengkak" bila ditambah dengan lulusan SD tahun-tahun sebelumnya yang belum tertampung. Untuk tingkat propinsial ditemui angka-angka daya tampung yang cukup bervariasi, dan beberapa di antaranya ada yang jauh lebih rendah daripada daya tampung SMTP secara nasional. Provinsi Jawa Tengah adalah salah satu contohnya. Secara propinsial pada tahun 1990/1991 ini daya tampung SMTP di Jawa Tengah baru mencapai angka 56,52%; dari sebanyak 557.684 lulusan SD baru 315.203 di antaranya yang dapat ditampung sebagai siswa baru SMTP. Banyak propinsi lain yang kondisinya "senada" dengan Jawa Tengah. Daya tampung tingkat lokal bahkan ada yang lebih rendah lagi, ada yang hanya 25%. Keadaan ini menunjukkan bahwa sarana dan fasilitas belajar tingkat SMTP yang disediakan oleh pemerintah, bersama-sama dengan masyarakat, adalah masih jauh dari kebutuh-an yang sebenarnya. Pada sisi yang lain secara nasional daya tampung siswa baru kelas satu SMTP tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Misalnya dari tahun 1986/1987, 1987/1988 dan 1988/1989 secara berturut-turut angkanya ialah sekitar 2.181, 2,238 dan 2,191 ribu siswa. Periksa tabel untuk rincian angkanya! Mengikuti perkembangan angka tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa daya tampung siswa baru SMTP tidak menunjukkan angka yang berarti, bahkan untuk periode tertentu mengalami penurunan. Pada tahun 1990/1991 ini pun angkanya relatif tidak banyak mengalami perubahan; pada hal di sisi yang lain jumlah lulusan SD jumlahnya cenderung tidak mengalami penurunan yang berarti. Akibatnya: banyak di antara para lulusan SD yang terpaksa "meletakkan" citacitanya disebabkan tidak atau belum mendapatkan kesempatan untuk mengenyam manisnya proses belajar mengajar di lembaga pendidikan sekolah, yaitu di SMTP. Keadaan inilah yang sesungguhnya telah menjadi salah satu kendala utama untuk mengoperasionalisasikan program wajib belajar tingkat SMTP yang pernah (akan) dicanangkan oleh Depdikbud. Bagaimana nasib selanjutnya bagi lulusan SD yang tidak tertampung di SMTP? Hampir dapat dipastikan bahwa sebagian dari mereka akan menjadi "penganggur-
3
penganggur kecil" karena mau melanjutkan studi tidak memperoleh kesempatan sedangkan mau masuk dunia kerja belum mempunyai keterampilan yang memadai. Sementara itu usianya pun sebenarnya belum masuk dalam "usia kerja". Harus Dipenuhi Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Depdikbud masih harus berusaha keras untuk meningkatkan daya tampung SMTP-nya agar jangan ada lulusan SD yang tidak tertampung di sekolah dan menjadi "penganggur kecil" yang tidak produktif. Implikasinya: ribuan kursi belajar SMTP yang masih kosong perlu segera dipenuhi, karena kalau tidak hal ini akan menghambat usaha-usaha meningkatkan daya tampung baik secara propinsial maupun secara nasional; yang juga sama artinya dengan menghambat rencana dicanangkannya program wajib belajar tingkat SMTP. Terjadinya kasus kursi kosong kiranya bukan monopoli DKI Jakarta saja; mengingat sistem penerimaan siswa baru yang sama kiranya beberapa propinsi lain juga telah mengalami hal yang sama, yaitu terdapatnya kursi kosong, meskipun dengan kadar yang berbeda. Tegasnya bila di DKI Jakarta saja terdapat 2.800-an kursi kosong maka secara nasional jumlahnya tentu lebih "membengkak" lagi; karena di propinsi yang lain pun kemungkinan juga terdapat kursi-kursi belajar yang kosong, meskipun tidak sebanyak di DKI Jakarta dan tidak dipublikasikan (unpublished). Untuk memenuhi kursi-kursi yang kosong setidaknya ada tiga cara yang dapat ditempuh; pertama, membuka lagi seleksi masuk SMTP (Negeri) untuk gelombang ke-2, kedua, memanggil pendaftar yang dulu (gelombang ke-1) dengan menurunkan NEM minimal, dan ketiga, melakukan kerja sama antar rayon dengan menerima siswa baru "lemparan" dari rayon lain yang NEM minimalnya lebih tinggi. Ketiga alternatif tersebut kiranya memang sangat fisible untuk dilaksanakan, masalahnya adalah bagaimana keterkaitannya dengan SMTP swasta; menyangkut etika kolegial, pamor sekolah, dan sebagainya. Sekolah-sekolah atau SMTP-SMTP di DKI Jakarta rupanya lebih senang memilih alternatif yang pertama yaitu membuka gelombang ke-2 dengan menganjurkan kandidat yang belum mendapatkan sekolah untuk mendaftar pada SMTP-SMTP yang masih ada kursi kosongnya, meskipun tidak disertai dengan penurunan NEM minimal. Alternatif ini mengandung risiko; yaitu kemungkinan tidak dipenuhinya target untuk mengisi sejumlah kursi belajar yang masih kosong. Modifikasi Sistem Peristiwa terjadinya ribuan kursi kosong pada penerimaan siswa baru SMTP tahun ini, khususnya di wilayah DKI Jakarta, harus menjadi catatan kita. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan masih adanya celah-celah kekurangan dalam
4
sistem penerimaan siswa baru, yang tahun ini mengaplikasikan "sistem rayonisasi". Sistem rayonisasi memang mempunyai berbagai kelebihan; di antaranya ialah dapat mendistribusikan potensi dasar para kandidat secara lebih merata. Para kandidat yang mempunyai potensi tinggi, dengan mengasumsikan NEM dapat menunjukkan potensi dasar, tidak lagi tersentralisasikan pada satu atau dua sekolah "favourite" saja akan tetapi terdistribusi menurut banyaknya rayon dalam satu wilayah propinsi. Pada sisi yang lain sistem ini kurang memberikan iklim kompetisi pada masingmasing sekolah untuk menggaet siswa baru, karena bagi sekolah yang kurang berprestasi toh akan "tertolong" oleh sekolah-sekolah lain yang tergabung dalam kelompok rayonnya. Bagaimana sistem rayonisasi ini dapat menimbulkan terjadi-nya misteri ribuan kursi kosong? Salah satu sebabnya ialah dikarenakan sistem informasi yang kurang cepat sampai pada para kandidat. Setiap jam bahkan setiap menit panitya penerimaan siswa baru masing-masing sekolah dapat menghitung kemungkinan diterima atau ditolaknya kandidat dengan NEM tertentu yang akan mendaftar di sekolahnya. Hal ini dapat dihitung berdasarkan perbandingan jumlah kandidat yang sudah mendaftar terhadap variasi NEM-nya. Jadi bagi para kandidat yang kemungkinan diterimanya sangat tipis, atau bahkan tidak ada kemungkinan diterima sama sekali, seyogyanya langsung disarankan untuk mendaftar pada sekolah yang lain. Hal ini terasa lebih "fair". Kecepatan dan ketepatan informasi seperti tersebut di atas kalau dilakukan dapat menghindari terjadinya kasus misteri ribuan kursi kosong; setidak-tidaknya menurunkan angka kursi kosong. Lepas dari itu adanya modifikasi sistem berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ada memang sangat diperlukan. Itulah berbagai catatan penting tentang misteri ribuan kursi kosong pada SMTP kita tahun ini; mudah-mudahan pengalaman "pahit" ini tidak akan terulang kembali pada tahun-tahun mendatang !!!***** ________________________________________________________ BIODATA SINGKAT; nama: DR. Drs. Ki Supriyoko, SDU, M.Pd. pek.: Ketua Litbang Pendidikan Majelis Luhur Tamansiswa dan Ketua Pusat Kerja Sama Ilmiah (PKSI) Kopertis Wilayah V Yogyakarta prof: Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan TABEL PERKEMBANGAN JUMLAH SISWA BARU KELAS I (SATU) SMTP DI INDONESIA MENURUT JENIS SEKOLAHNYA
5
___________________________________________________ Jenis Sekolah 1986/1987 1987/1988 1988/1989 ___________________________________________________ SMP (Umum) 2.140.974 2.198.809 2.157.206 SKKP (Keluarga) 6.353 6.332 5.099 ST (Teknik) 33.673 32.891 29.521 ____________________________________________________ SMTP (Jumlah) 2.181.000 2.238.032 2.191.826 ___________________________________________________ Sumber: Pusat Informatika Balitbang Depdikbud, "Statistik Persekolahan 1988/1989"