Majalah Bulanan Tamansiswa “PUSARA”, terbit di Yogyakarta, Edisi Januari 1990
AKTUALISASI KONSEP PEMERATAAN PENDIDIKAN Oleh : Ki Supriyoko
"Oleh karena pengajaran yang hanya terdapat pada sebagian kecil rakyat kita itu tidak berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakyat yang besar memperoleh pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan negara itu merupakan jumlah kekuatan orang-orangnya. Karena itu lebih baik memajukan pengajaran bagi rakyat umum daripada mempertinggi pengajaran, kalau usaha mempertinggi itu akan mengurangi tersebarnya pengajaran". ( Ki Hadjar Dewantara )
Pada waktu-waktu yang tertentu sangat sering kita dihadapkan pada dua ekstremitas pendidikan yang sama pentingnya; yaitu antara meratakan pelayanan pendidikan kepada banyak orang yang kadang disertai konsekuensi logis berupa pengorbanan mutu, dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang kadang disertai konsekuensi logis berupa kurang meratanya pelayanan pendidikan. Ambil contoh: dapat saja kita membangun perguruan tinggi yang paling hebat di Asia dengan berbagai sarana dan fasilitasnya. Putra-putra bangsa secara selektif dapat memanfaatkannya; dan mereka akan mendapat kesempatan untuk menjadi orangorang pilih-an di Indonesia khususnya dan di Asia pada umumnya. Tentu saja itu semua sangat bagus; tetapi keadaan tersebut harus dibayar dengan pengorbanan putra-putra Indonesia yang lainnya. Banyak putra-putra bangsa yang "batal" menikmati pelayanan pendidikan dasar maupun menengah; hal ini disebabkan alokasi dananya sudah terhisap pada proyek perguruan tinggi yang serba hebat tersebut. Pada sisi yang lain dapat saja semua alokasi dana pembangunan pendidikan digunakan untuk membangun gedung SMTP sehingga semua anak usia sekolah dapat tertampung di dalamnya, dan wajib belajar SMTP berjalan dengan sukses. Tetapi hal inipun akan memerlukan pengorbanan yang tidak kecil; perkembangan pengetahuan dan teknologi bisa terhambat karena konsentrasi kita hanya difokuskan pada pembangunan gedung-gedung SMTP saja.
2
Pada posisi seperti tersebut di atas nampaknya memang serba sulit; alternatif mana yang harus dipilih memang memerlukan dasar pemikiran yang filosofis dan argumentatif. Dalam keadaan seperti tersebut di atas kita perlu membuka kembali pesan-pesan dalam karya yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara. Di dalam salah satu bagian dari konsep pemerataan pendidikannya dengan tegas beliau berpesan: seharusnya pelayanan pendidikan bagi banyak orang harus senantiasa diutamakan. Dan pesan ini sangat penting dan sangat relevan dengan apa yang disepakati oleh bangsa Indonesia bahwa mendapatkan pelayanan pendidikan adalah hak setiap warga negara (Pasal 31 UUD 1945). Apakah itu berarti bahwa kita boleh saja mengorbankan mutu pendidikan asalkan kita dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada banyak orang? Asalkan konsep pemerataan pendidikan dapat diwujudkan maka masalah mutu adalah masalah yang kesekian? Tentu bukan seperti itu maksudnya! Yang benar jangan kita mengejar mutu semata-mata kalau hal itu harus dibayar mahal dengan pengorbanan pemerataan pendidikan bagi banyak orang. Yang menjadi tantangan kita saat ini adalah bagaimana dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada banyak orang sembari meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Inilah sebuah tantangan! Fenomena Elitisme Pembicaraan mengenai konsep pemerataan pendidikan akhir-akhir ini menjadi menarik karena munculnya semacam fenomena elitisme pendidikan pada jenjang tertentu; yang mana pelayanan pendidikan terasa lebih dinikmanti oleh kelompok masyarakat "elite" saja, dalam hal ini kelompok elite ekonomik. Fenomena tersebut lebih terasa lagi pada jenjang pendidikan tinggi sektor swasta, yaitu Perguruan Tinggi Swasta, PTS. Relatif tingginya beaya pendidikan pada PTS telah menimbulkan kecende-rungan bahwa pelayanan PTS lebih dinikmati oleh kelompok masya-rakat berduit saja; bukan kelompok masyarakat pada umumnya. Beaya pendidikan pada PTS, baik di dalam maupun di luar negeri, pada umumnya memang relatif cukup tinggi; tentu saja apabila dibandingkan dengan beaya pendidikan pada Perguruan Tinggi Negeri, PTN. Di Harvard (private) University misalnya, perguruan tinggi swasta (PTS) di Amerika Serikat yang sangat terkenal itu, pengeluaran seorang mahasiswa konon dapat mencapai US $ 15.000 untuk setiap tahunnya. Itu berarti, apabila seorang mahasiswa memerlukan waktu penyelesaian studi selama lima tahun maka dia harus mengeluarkan beaya pendidikan sebanyak US $ 75.000. Beaya pendidikan PTS di Jepang lebih "murah", sekitar US $ 3.500 untuk setiap mahasiswa per tahunnya. Jadi untuk lima tahun masa studi "hanya" memerlukan dana pendidikan sekitar US $ 17.500.
3
Berapakah beaya pendidikan pada PTS di Indonesia? Bila kita ambil angka ratarata setengah sampai dua juta rupiah pada setiap tahunnya, memang terhitung lebih murah dibanding dengan beaya pendidikan pada PTS di AS dan Jepang; namun hal itu tetap saja bernilai sangat aduhai bagi kondisi keuangan kebanyakan warga negara kita. Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan relatif tingginya beaya pendidikan pada PTS; baik PTS di dalam maupun di luar negeri pada umumnya. Kalau kita membuat rentangan beaya pendidikan PTS di Indonesia antara 500 ribu sampai 2 juta rupiah untuk setiap tahunnya, dengan waktu penyelesaian studi sekitar 5 atau 6 tahun; maka seorang mahasiswa PTS harus bersiap diri dengan dana sebanyak 2,5 sampai 12 juta rupiah untuk dapat menyelesaikan studinya. Oh ya jangan lupa; uang tersebut tentu saja belum termasuk "extra-cost" seperti misalnya beaya pondokan, beaya transportasi, beaya rekreasi, dan sebagainya. Jadi kalau "extra-cost" ini ditotal ke dalam beaya pendidikan tentu jumlahnya akan lebih menggelembung lagi. Keadaan tersebut dapat membuat kita menjadi "pusing" manakala disodori pertanyaan tentang sejauh mana misi PTS untuk mencerdaskan kehidupan bangsa benar-benar dapat menjangkau masyarakat "grass root", yang notabene jauh dari uang yang "berlimpah". Dengan bahasa sederhana bagaimana mungkin masya-rakat kelas bawah yang mempunyai keterbatasan ekonomik ini sanggup memanfaatkan jasa PTS yang harus ditebusnya dengan mahal itu. Di sanalah konsep pemerataan pendidikan menjadi aktual untuk dibicarakan. Apabila PTS-PTS kita pada umumnya belum mampu menjangkau masyarakat kelas bawah dalam proporsi yang wajar maka hal itu berarti bahwa konsep pemerataan pendidikan masih melayang-layang di angkasa; belum terjun di bumi. Kalau sudah sampai pada fenomena tersebut nampaknya aktualisasi konsep pemerataan pendidikan menjadi teramat penting untuk didiskusikan; bagaimana caranya "membumikan" konsep pemerataan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi tersebut dapat direalisasikan. Dua Alternatif Masalah pemerataan pendidikan sesungguhnya tidak hanya terjadi pada sektor PTS saja, akan tetapi di berbagai sektor tertentu juga ada, meski dengan kadar yang tidak sama. Namun kita perlu bersyukur bahwa pembangunan pendidikan yang digalakkan dalam beberapa tahun terakhir ini telah berhasil menekan "angka ketidakmerataan" tersebut seminimal mungkin. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana membuat sistem agar supaya "angka ketidakmerataan" tersebut, khususnya pada PTS, dapat lebih
4
ditekan lagi Dua alternatif utama untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah: pertama, menurunkan biaya pendidikan sehingga dapat dijangkau oleh banyak orang, serta kedua, menyokong rakyat yang tidak/belum dapat memanfaatkan pelayanan pendidikan karena adanya keterbatasan ekonomik pada mereka. Alternatif yang pertama dapat dicoba, akan tetapi ada konsekuensi yang harus dibayar mahal; yaitu menurunnya mutu pendidikan disebabkan adanya pengurangan sarana dan fasilitas belajar. Alternatif kedua nampaknya lebih "fisibel", meskipun bukan berarti tanpa risiko sama sekali. Risikonya adalah kita harus pandai-pandai menyisihkan "extramoney" untuk menyokong kelas bawah tersebut. Sebagai realisasi dari alternatif kedua tersebut maka harus dikembangkan sebuah sistem yang realistik dan kontinu untuk mensubsidi masyarakat kelas bawah di dalam upayanya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan semaksimal mungkin. Operasionalisasi dari sistem ini antara lain adalah dengan jalan membentuk yayasanyayasan ataupun lembaga-lembaga sosial pendidikan yang memberi santunan secara terprogram kepada kelompok masyarakat bawah. Kita mengenal yayasan-yayasan atau lembaga-lembaga seperti itu yang ber"home-base" di luar negeri; misal Ford Foundation, Asia Foundation, Toyota Foundation, Rockeffeler Group, dan sebagainya. Sedangkan di Indonesia kita mengenal "Yayasan Super Semar" yang memberi bantuan serupa bagi masyarakat yang mengalami kekurangan dana pendidikan. Yayasan-yayasan pemberi dana pendidikan semacam "Super Semar" tersebut memang perlu dikembangkan di negara kita. Secara langsung yayasan tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh kelompok masyarakat yang perlu mendapat subsidi dana, sedangkan secara tidak langsung eksistensi dari yayasan-yayasan atau lembagalembaga semacam ini akan ikut memacu terealisasikannya konsep pemerataan pendidikan. Seharusnyalah birokrasi pemerintahan kita mulai memikirkan hal tersebut, sementara itu pihak swasta pun dapat memulainya terlebih dahulu kalau segala sesuatunya memungkinkan. Alangkah bahagianya kalau kita dapat menyisihkan sebagian rizeki kita untuk menyantuni anak-anak yang memerlukan subsidi bagi kelanjutan pendidikannya. Semoga menjadi bahan renungan !!!***** ________________________________________________________ BIODATA SINGKAT; nama: DR.Drs. Ki Supriyoko, SDU, M.Pd. pek.: Ketua Litbang Pendidikan Majelis Luhur Tamansiswa dan Ketua Pusat Kerja Sama Ilmiah (PKSI) Kopertis Wilayah V Yogyakarta
5
prof: Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan