Memperingati HUT Perguruan Nasional Tamansiswa Ke-71: TAMANSISWA SEBAGAI LEMBAGA KEJUANGAN Oleh : Ki Supriyoko
Pada suatu saat terjadilah peristiwa sejarah yang tercatat dalam lembaran pendidikan di jaman prakemerde-kaan. Pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan politik yang cukup mengagetkan, yaitu (1) seluruh sekolah swasta yang tak dibeayai oleh pemerintah (Belanda) harus minta izin, (2) guru-guru yang mengajar di sekolah swasta juga harus mendapat izin dari pemerintah terlebih dahulu, dan (3) materi pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa sekolah swasta tak boleh melanggar peraturan negeri dan harus sesuai dengan sekolah pemerintah. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1932 tersebut lazim disebut dengan Onderwijs Ordonnantie (OO). Adapun yang dimaksud dengan sekolah negeri/pemerintah adalah se kolah yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial, dan sekolah swasta adalah sekolah yang (kebanyakan) diseleng garakan oleh putra-putra Indonesia. Kebijakan politik OO tersebut di atas jelas-jelas merugikan sekolah swasta, yang notabene merugikan bangsa Indonesia. Pasalnya eksistensi sekolah swasta (bumi putera) waktu ini merupakan bagian dari kerangka strategi perjuangan untuk melawan penjajah melalui jalur pendidik an. Bayangkan, kalau keberadaan sekolah dan gurugurunya harus menunggu ijin resmi pemerintah kolonial; dan apa-lagi materi pelajarannya harus direkomendasi oleh peme-rintah kolonial pula maka proses penanaman jiwa merdeka dan jiwa kebangsaan tentu akan berhenti. Artinya, tujuan perjuangan bangsa akan makin sulit direalisasi. Menghadapi situasi yang tidak sehat tersebut maka Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa mengadakan perlawanan secara terbuka. Untuk melawan OO tersebut Ki Hadjar dan keluarga besar Tamansiswa mengadakan gerakan diam (lij-delijk verzet). Dalam kultur bangsa kita, utamanya Jawa, waktu itu gerakan diam merupakan kulminasi dan akumulasi dari ketidaksenangan terhadap kebijakan tertentu. Sikap yang diambil Tamansiswa kala itu benar-benar mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat,bahkan berbagai organisasi sosial, politik, agama, dan kemasya-rakatan hampir tidak ada yang tidak mendukung dan menye-pendapatinya. Barangkali tak berlebihan untuk menyatakan bahwa Tamansiswa memimpin masyarakat dan berbagai orga-nisasi sosial, politik, agama, dan kemasyarakatan untuk melawan kebijakan politik pemerintah yang tidak aspira-tif. Aksi Tamansiswa benar-benar "menggigit"; dan berkat adanya kekompakan ini hanya dalam waktu sekitar lima bu-lan maka kebijakan politik OO dapat diruntuhkan.
Nonkooperatif
2
Peristiwa OO tersebut sekedar melukiskan demikian besarnya komitmen pendidikan Tamansiswa sehingga sikap-nya terhadap pemerintah menjadi nonkooperatif. Begitu pe merintah meluncurkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang kurang aspiratif maka Tamansiswa tanpa ragu-ragu segera mengambil inisiatif untuk melawannya. Pada zaman prakemerdekaan dulu bahkan orang-orang Tamansiswa terkenal sebagai dissident, senang menentang, dan bahkan melawan kebijakan pemerintah. Keadaan seperti ini ternyata secara otomatis dapat menggembleng mental siswa-siswa Tamansiswa kala itu. Hal itu pula lah yang menyebabkan para alumni pendidikan Tamansiswa tidak seke dar pandai berolah ilmu dan berolah budi tetapi juga memiliki jiwa kebangsaan yang sangat meyakinkan. Lebih dari pada itu kemudian ada para pakar yang berhipotesis: karena Tamansiswa biasa bersikap nonkoope-ratif dan melawan kebijakan pemerintah maka secara oto-matis mental para siswanya menjadi tergembleng; dengan begitu alumninya banyak yang berkualitas, ilmunya tinggi, budinya baik, ulet,mandiri dan siap menghadapi tantangan jaman. Akhirnya banyak alumni Tamansiswa yang berhasil menjadi "orang", menjadi pemimpin masyarakat, baik pemim pin formal maupun bukan formal. Apabila sekarang ini ada alumni Tamansiswa yang duduk di Kabinet Pembangunan VI, ada yang menjadi pengusaha berhasil,dan ada yang menjadi ahli di bidang yang ditekuninya; kiranya hal ini merupa-kan bagian dari keberhasilan Tamansiswa. Secara historis aksi perlawanan dan pembangkangan terhadap kebijakankebijakan politik dan pendidikan kala itu memang baru menjadi mode, sehingga ketika Tamansiswa tampil di barisan depan ("tampil beda") maka dukungan rakyat pun segera mengalir. Sebagai indikator mengalirnya dukungan tersebut ialah berkembang pesatnya Perguruan Tamansiswa sampai ke seluruh pelosok negeri.Sebagai ilustrasi riil pada tahun 1930 ketika usia Perguruan Tamansiswa baru delapan tahun (sewindu) dan ketika Tamansiswa mengadakan kongres yang pertama kalinya maka jumlah cabang Tamansiswa sudah men-capai 52 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada hal setiap cabang dapat menyelenggarakan beberapa bagian perguruan (sekolah) sekaligus dengan jenjang yang sama ataupun tidak sama. Dalam kongres pertama ini terbentuk-lah Majelis Luhur sebagai pimpinan pusat Tamansiswa. Indikator lain: sekolah-sekolah Tamansiswa dengan cepat segera berkembang, apabila mulanya Ki Hadjar hanya membuka Taman Indria (TK) seterusnya berkembang ke Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SLTP), Taman Madya (SMA), Taman Karya Madya (SMK), dan sebagainya.
Kooperatif Sikap menentang dan melawan kebijakan pendidikan pemerintah yang tidak
3
aspiratif sebagaimana terjadi pada jaman prakemerdekaan tersebut ternyata sempat mencipta-kan kerinduan di sebagian kelompok masyarakat.Lebih dari itu bahkan ada sementara orang yang ingin bernostalgia agar Tamansiswa menentang dan melawan kebijakan-kebijak-an pendidikan yang membikin bingung masyarakat. Keadaan tersebut tentu dapat dimengerti, walaupun nampaknya mereka lupa bahwa pemerintah yang dihadapi Ta-mansiswa sekarang ini berbeda dengan pemerintah di jaman prakemerdekaan.Kalau pemerintah yang dihadapi Tamansiswa tempo dulu adalah pemerintah kolonial maka pemerintah yang sekarang ini adalah pemerintah republik, pemerintah kita sendiri. Sikap Tamansiswa pun dalam hal ini telah berubah, kalau dulu sikapnya nonkooperatif maka sekarang menjadi kooperatif (meskipun disertai sikap konsultatif dan korektif). Tegasnya: karena yang dihadapi Tamansiswa sekarang adalah pemerintahnya sendiri maka sikap melawan dan me-nentang diganti dengan sikap konsultatif dan korektif. Meskipun sikap Tamansiswa terhadap pemerintah me-ngalami perubahan,dari nonkooperatif menjadi kooperatif, namun komitmen pendidikan dan kebudayaan Tamansiswa ma-sih tetap tinggi. Dengan kata lain Tamansiswa tetap saja menaruh perhatian besar terhadap pendidikan sang anak untuk menghantarkan mereka kepada alam budaya yang lebih etis, estetis dan agamis. Implikasinya: kalau memang ada kebijakan pendidikan pemerintah yang kurang aspiratif ma ka Tamansiswa tidak segan-segan untuk memberikan koreksi, namun kalau kebijakan pendidikannya memang aspiratif dan bermanfaat bagi rakyat banyak maka Tamansiswa bukan saja mendukung tetapi sanggup bekerja sama dengan pemerintah. Contoh riil: dalam skala nasional pemerintah akan mencanangkan program Wajib Belajar Sembilan Tahun (WBST). Kebijakan ini oleh Tamansiswa dipandang aspiratif serta bermanfaat bagi rakyat banyak, di samping juga relevan dengan ajaran Tamansiswa mengenai konsep perataan pendi-dikan. Oleh karena itu Tamansiswa pun mendukung rencana ini secara sepenuhnya; bahkan tanpa dengan "berteriak-teriak" dukungannya langsung disampaikan kepada Presiden RI pada saat delegasi Tamansiswa diberi kesempatan untuk bersilaturrahmi dengan Pak Harto di Istana Negara. Contoh lain: dalam skala propinsial Kanwil Depdik bud DIY mengadakan pembatasan jumlah siswa SD di dalam penerimaan siswa barunya, dari maksimal 40 menjadi 30 per kelas. Kebijakan ini oleh Tamansiswa dipandang tidak aspiratif karena hanya lebih menguntungkan pihak pemerin tah dan merugikan pihak swasta penyelenggara sekolah, di samping tidak menguntungkan masyarakat yang akan memilih sekolah yang berkualitas. Oleh karena itu Tamansiswa mem berikan koreksi atas kebijakan tersebut, bahkan koreksi ini langsung diberikan kepada Mendikbud (waktu itu Pak Fuad Hassan), di samping juga kepada teman-teman pengam-bil kebijakan di daerah.
4
Jalur Kejuangan Merunut sejarah berdirinya Tamansiswa jelas tidak akan dapat dilepaskan dengan sejarah kejuangan Ki Hadjar Dewantara sebagai pendirinya. Mendudukkan Tamansiswa se-bagai lembaga pendidikan dan kebudayaan yang berkiprah di tengahtengah masyarakat sejak jaman prakemerdekaan memang tidak salah, namun demikian sebenarnya Tamansiswa bukanlah sekedar lembaga pendidikan dan kebudayaan akan tetapi merupakan lembaga kejuangan yang tak pernah ber-henti berusaha untuk mengentaskan rakyat Indonesia dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ki Hadjar sendiri sebenarnya memulai kejuangannya melalui jalur politik. Ketika berusia sekitar 16 tahun Ki Hadjar sempat mengikuti pendidikan di STOVIA Jakarta, dan dari sana Ki Hadjar banyak bergaul dengan teman-te-mannya yang berasal dari berbagai daerah. Dari sana pula Ki Hadjar banyak berhubungan dengan tokoh pergerakan na-sional. Boleh dikatakan pengalaman berorganisasi secara modern juga banyak diperoleh dari STOVIA ini. Pada waktu Boedi Oetomo berdiri pada tahun 1908, yang oleh para sejarawan sering disebut sebagai permula-an sejarah modern di Indonesia, Ki Hadjar sudah mendapat kepercayaan untuk duduk pada bagian propaganda. Ketika Sarekat Islam berdiri maka Ki Hadjar pun ikut bergabung di dalamnya, bahkan satu tahun berikutnya bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoema dan Dauwes Dekker mendirikan In-dische Partij. Dari aktivitas politiknya ini Ki Hadjar mulai menjadi dissident di mata pemerintah kolonial. Di samping bergerak di jalur politik Ki Hadjar pun memanfaatkan jalur media massa (pers).Caranya: Ki Hadjar menulis berbagai artikel yang mampu mengobarkan semangat juang bangsanya. Sejarah kita mencatat, Ki Hadjar pernah menulis artikel yang berjudul "Als ik eens Nederlander was" (An-daikan Aku Seorang Belanda) dan "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (Satu untuk Semua namun Juga Semua untuk Satu) sebagai protes atas rencana pemerintah kolonial untuk merayakan genap 100 tahun kemerdekaan Belanda.Oleh Ki Hadjar rencana ini ditolak karena akan dilaksanakan di Indonesia dan biayanya akan dipungut dari uang rakyat. Dari segi tata krama rencana tersebut tentu kurang etis, ibarat merayakan kebebasan dari kesengsaraan sambil me-nyengsarakan orang lain; sedang dari finansial membebani rakyat. Kedua artikel ini sempat menghantarkan Ki Hadjar ke Belanda dengan status sebagai orang buangan. Selama enam tahun Ki Hadjar menjadi orang buangan di negeri Kincir Angin, dan setelah pulang ke Indonesia kemudian mencoba lagi berjuang di jalur politik dan jalur pers. Rupanya Ki Hadjar kurang mendapatkan luck pada jalur politik. Perjuangannya pada jalur politik dan pers kurang mendapatkan hasil yang optimal, meskipun tak bisa dikatakan sebagai gagal.
5
Lembaga Kejuangan Pada tahun 1921, sekitar dua tahun sepulangnya da ri tanah buangan (Belanda),Ki Hadjar bersama teman-teman seperjuangannya mengadakan pertemuan rutin guna membahas berbagai hal yang menyangkut pergerakan nasional. Tokohtokoh yang terlibat dalam pertemuan ini selain Ki Hadjar antara lain Ki Ageng Soerja Mataram, Ki Soetatma Soerjo-koesoemo, Ki Soerjaputra, dan sebagainya. Oleh karena sarasehan ini dilaksanakan secara rutin setiap 35 hari (selapan dina) serta jatuh pada hari Selasa Kliwon (hari dan pasaran jawa) maka pertemuan ini sering disebut de-ngan sarasehan "Selasa Kliwonan". Salah satu kesamaan pandang dari segenap peserta sarasehan waktu itu menyangkut faktor penyebab kekurang-optimalnya hasil perjuangan, yaitu belum tumbuhnya jiwa merdeka di kalangan rakyat. Atas adanya kesamaan pandang ini sarasehan mengambil kesepakatan perlunya ditanamkan jiwa merdeka bagi rakyat; untuk itulah Ki Hadjar akhir-nya diserahi tugas melaksanakan pendidikan jiwa merdeka bagi anak-anak, sedangkan untuk orang-orang dewasa tugas ini dipercayakan kepada Ki Ageng Soerjo Mataram. Untuk melaksanakan putusan saresehan tersebut Ki Hadjar dan isteri serta temantemannya pada 3 Juli 1922 mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Per guruan Nasional Tamansiswa) yang berpusat di Yogyakarta, dan tetap eksist sampai kini. Bahwa hadirnya Tamansiswa di tengah-tengah kancah pergerakan nasional tidak terlepas dari sarasehan"Selasa Kliwonan", yang oleh pemerintah kolonial disebut dengan Gerombolan Selasa Kliwonan, kiranya memang benar adanya. Tamansiswa mengembangkan misi saresehan "Selasa Kliwonan" dengan semangat mamayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, memayu hayuning manungsa. Dari semangat tersebut di atas terciptalah tujuan umum Tamansiswa, yaitu membangun masyarakat tertib damai salam dan bahagia. Dari semangat itu pula Tamansiswa me-rumuskan tujuan pendidikannya sbb: "membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir dan batinnya, luhur akal dan budinya,serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya". Adapun semangat keju-angan yang terkandung ialah bahwa hasil pendidikan Taman siswa bukanlah untuk keluarga Tamansiswa sendiri, tetapi untuk bagi bangsa, tanah air dan manusia pada umumnya. Dari ilustrasi historis tersebut nampaklah bahwa keberadaan Tamansiswa bukan kehendak Ki Hadjar sendiri, akan tetapi atas kehendak bangsa Indonesia yang direpre-sentasi dalam forum sarasehan. Hadirnya Tamansiswa waktu itu merupakan bagian dari strategi perjuangan bangsa un-tuk menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat, khususnya bagi sang anak. Apabila fisiknya Tamansiswa merupakan lembaga pendidikan dan kebudayaan maka jiwanya Tamansiswa meru-pakan lembaga
6
kejuangan yang tidak pernah akan berhenti dalam mengarungi komitmen perjuangannya.
Tetap Relevan Apakah keberadaan Tamansiswa masih diperlukan di era pasca kemerdekaan sekarang ini? Pertanyaan ini masih sering muncul pada saat orang keliru menginterpretasikan komitmen jiwa merdeka. Memang benar bahwa salah satu tujuan didirikannya Perguruan Nasional Tamansiswa kala itu adalah untuk me-nanamkan jiwa merdeka bagi bangsa Indonesia. Oleh karena tujuan Tamansiswa ingin menanamkan jiwa merdeka di sanubari rakyat Indonesia inilah maka sementara orang mengin terpretasi bahwa tujuan tersebut telah tercapai manakala bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya. Oleh karena itu eksistensi Tamansiswa pada pasca kemerdekaan menjadi tidak diperlukan lagi karena tujuan yang diper-juangkannya telah tercapai. Pandangan yang demikian itu sungguh kurang tepat. Pasalnya, meskipun secara politis-kenegaraan Indonesia telah merdeka akan tetapi masih ada rakyat yang jiwanya belum merdeka akibat terkungkung oleh "penyakit" kebodoh an, kemiskinan dan keterbelakangan. Sampai sekarang pun masalah kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan masih menjadi problema yang kompleks untuk disolusi. Hal yang demikian ini justru memberikan tantangan bagi Tamansiswa, bukan saja sekedar untuk eksist di tengahtengah masyarakat tetapi dituntut lebih meningkatkan perannya untuk mengentaskan masyarakat dari kungkungan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Bahkan, dalam perubahan alam dan perkembangan ja-man (globalisasi) yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi seperti sekarang ini maka masalah ke-bodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi sangat kompleks dan relatif. Ilustrasinya: seseorang yang dalam masa tertentu sudah tergolong pintar dan maju bukan mus-tahil menjadi "bodoh" dan "terbelakang" apabila dirinya tidak pandai-pandai mengikuti perubahan alam dan perkem-bangan jaman. Demikian pula orang yang kaya suatu saat bisa saja menjadi "miskin" apabila standard hidup masyarakat kelompoknya mengalami peningkatan dan dirinya tak mampu menyesuaikannya. Terjadinya fenomena relativitas tersebut di atas menyebabkan masalah kebodohan, kemiskinan, dan keterbe-lakangan menjadi semakin kompleks dan pelik. Dan, selagi masalah kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan belum tersolusikan serta jiwa merdeka belum mekar merata bagi seluruh manusia Indonesia maka eksistensi dan peran Ta-mansiswa senantiasa diperlukan. Sebagai lembaga kejuangan Tamansiswa memang tidak pernah berhenti mengarungi komitmen perjuangannya. Sema-ngat mamayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayuning manungsa rasanya tetap akan relevan untuk
7
menjawab tantangan masa kini !!!***** ________________________________________________________