Majalah Bulanan Tamansiswa “PUSARA”, terbit di Yogyakarta, Edisi Januari 1989
DARI RUUPN SAMPAI PERKELAHIAN PELAJAR Oleh : Ki Supriyoko
Sebagimana yang selalau terjadi jpada tahun-tahun sebelumnya maka perjalanan pendidikan di Indonesia untuk Tahun 1988 ini diwarnai oleh berbagai macam peristiwa dan kebijakan; baik kebijakan yang langsung bisa diterima dengan "mulus" oleh masyarakat maupun kebijakan yang masih mengandung respon, diskusi, adu argumentasi sempai semacam "polemik". Meskipun demikian tidak berlebihan kalau tahun 1988 me-nyimpan peristiwaperistiwa dan kebijakan-kebijakan pendidikan yang bersifat 'spesifik'; karena peristiwa dan kebijakan tersebut hampir tidak pernah termanifestasikan pada tahuntahun sebelum-nya. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Nasional yang tidak putusputusnya untuk sepanjang tahun, dan yang telah melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat, kiranya merupakan moment yang amat spesifik dan sangat mengesankan. Kenapa ...? Karena hal tersebut secara langsung telah mencerminkan tumbuh suburnya iklim demokrasi di negara kita, khususnya dalam hal pembahasan masalahmasalah pendidikan. Peristiwa lainnya yang tidak kalah spesifik ialah runtuhnya keperkasaan dinasti lembaga pendidikan guru; terutama untuk jenjang sekolah menengah keguruan. Berbagai SPG (dan sekolah sejenis lainnya) terkena kebijakan untuk segera beralih fungsi menjadi sekolah umum, sedangkan yang lainnya tidak diperkenankan lagi menerima calon siswa baru. Masih cukup banyak peristiwa-peristiwa pendidikan lain pada pereode Tahun 1988 yang tidak kalah spesifik dan menarik untuk dicatat; artikel ini mencoba ingin mempresentasikannya sebagai bahan renungan dan evaluasi. Rancangan UUPN
2
Topik pendidikan yang senantiasa aktual sepanjang Tahun 1988 ini adalah tentang Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN), yang rancangannya sudah dikomonikasikan kepada masyarakat luas sejak awal tahun. Ibarat sebuah bom yang telah tersimpan lama di gudang, maka meledaklah bom itu di Tahun 1988. Begitu Tahun 1988 "dibuka", maka muncullah sebuah isyu nasional tentang UUPN yang rancangannya sudah dapat dinikmati secara terbuka oleh masyarakat luas. Bersamaan dengan peristiwa ini, hal yang perlu sangat kita hargai, pemerintah membuka diri terhadap segala masukan, kritik, saran, usul, komentar, bahkan "kecaman" dari masyrakat luas; tidak pandang apakah itu masyarakat akademik atau masyarakat nonakademik. Berbagai seminar pendidikan yang khusus mengangkat topik rancangan UUPN segera dilaksanakan diberbagai perguruan tinggi, lembagai pendidikan nonperguan tinggi dan intansi-intansi baik pemerintah maupun nonpemerintah. Demikian juga halnya dengan diskusi-diskusi, panel, atau bentuk-bentuk temu ilmiah lainnya yang khusus membicarakan masalah Rancangan UUPN. Hasil dari diskusi, panel atau berbagai pertemuan ilmiah oleh kelompokkelompok masyarakat tersebut ada yang dipakai untuk kepentingan kelompok masyarakat atau mengambil inisiatif itu sendiri; akan tetapi tak jarang pula yang dikirimkan pada Mendikbud, DPR, Panitya Khusus Rancangan UUPN, maupun intansi-intansi tertentu yang dipandang bersangkut paut dengan rancang-an UUPN tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memberi masukan bagi kesempurnaan UUPN kelak. Hal tersebut memang sangat beralasan; bukan saja karena UUPN merupakan masalah yang penting dan pendesak, akan tetapi masalah pendidikan memang merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat, bukan hanya menjadi tanggung jawab para birokrat atau Depdikbud saja. Undang-undang pada dasarnya merupakan manivistasi, ekspresi, serta deskripsi dari ciri-ciri bangsa yang didasarkan pada latar belakang perjuangan bangsa itu sendiri. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 umpamanya; undang-undang ini merupakan menivestasi, ekspresi dan deskripsi dari ciri-ciri bangsa Indonesia yang didasarkan pada latar belakang perjuangan bangsa Indonesia itu sendiri, tentunya perjuangan yang penuh dengan romantika. Analoginya: UUPN merupakan menivistasi, ekspresi dan diskripsi dan cita-cita pendidikan bangsa Indonesia yang didasarkan pada latar belakang perjuangan bangsa Indonesia, terrutama perjuangan di bidang pendidikannya. Karena UUPN merupakan manivestasi, ekspresi serta des-kripsi cita-cita pendidikan bangsa; sementara itu di pihak yang lainnya masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat, maka tidak mengherankan kalau seluruh lapis-an masyarakat ingin menyumbangkan pendapatnya bagi kesempurnaan UUPN kelak.
3
Penuntutan Program Kependidikan Perjalanan pendidikan di negara kita pereode 1988 ternyata juga diwarnai oleh penutupan berbagai program studi kependidikan pada IKIP atau perguruan tinggi kependidikan lainnya. Dilihat dari jenis program atudinya maka sebanyak 10 jenis program studi harus mengalami "tutup buku" masing-masing adalah Bimbingan dan Konseling, Administrasi Pendidikan, Fondasi Pendidikan, Pendidikan Luar Sekolah, Filsafat Sosiologi Pendidikan, Psikologi Pendidikan, Pengembangan Kurikulum, Teknologi Pendi-dikan, Pendidikan Pra Sekolah, dan Pendidikan Dasar. Sementara itu apabila dilihat dari jumlah program studinya maka secara keseluruhan terdapat sebanyak 209 program studi untuk seluruh PTN di Indonesia yang harus mengalami "tutup buku". Tentu saja angka ini bukan angka yang kecil bila dibandingkan dengan jumlah PTN itu sendiri yang jumlahnya belum mencapai angka 50 lembaga. Kiranya perlu dicatat bahwa angka 209 tersebut di atas belum termasuk 74 program studi yang digabung atau "dimerger" menjadi 34 program studi. Kebijakan tersebut diturunkan dengan pertimbangkan karena berbagai program studi kependidikan itu sudah mengalami 'keje-nuhan akademik'; dalam artian bahwa kesempatan kerja di lapangan bagi lulusannya sudah demikian sempitnya. Jadi apabila program studi tersebut tidak ditutup dikhawatirkan para lulusannya kelak akan menjadi 'penganggur intetek'. Untuk kalangan PTN sebenarnya pelaksanaan kebijakan tersebut sudah dimulai sejak Sipenmaru 1987/88, akan tetapi dampaknya akan sangat terasa pada tahun 1988 ini; karena baru pada tahun inilah kebijakan tersebut secara intensif dijalankan pula oleh berbagai PTS di tanah air kita. Kita dapat belajar berhitung lagi: apabila di PTN saja ada sejumlah 209 program studi yang ditutup, maka untuk jumlah keseluruhan (termasuk PTS) pasti angkanya jauh lebih besar lagi. Apabila hanya sepuluh program studi kependidikan tersebut yang sudah mengalami kejenuhan akademik? Konon tidak! Masih ada berbagai program studi lain, nonkependidikan, yang disinyalir dewasa ini juga muali mengalami kejenuhan akademik; masing-masing adalah ekonomi, hukum, serta sosial dan politik. Jadi, mungkin dalam waktu dekat program-program ini juga mengalami penutupan. Siapsiap sajalah! RIWAYAT SPG KINI Tahun 1988 ternyata juga mencatat peristiwa yang sangat penting dan spesifik;
4
yaitu berakhirnya "masa keemasan" SPG (dan sekolah menengah keguruan sejenis yang lainnya). Sekolah yang sudah menunjukkan dharma-bhaktinya dalam mencetak guru SD yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia terpaksa harus segera mengakhiri riwayat pengabdiaannya. Depdikbud telah mengambil kebijakan SPG-SPG tertentu atau mengalih fungsikan SPG-SPG. Oleh karena itu mulai tahun 1988 berbagai SPG tidak lagi diperkenankan menerima siswa baru, sedang berbagai SPG yang lainnya mengalihkan fungsikan diri menjadi SMA. Kebijakkan tersebut di atas mermula dari "studi lapangan" yang menghasilkan kesimpulan tentang banyaknya lulusan SPG yang belum tertampung di SD sebagaimana yang seharusnya. Semenjak tahun 1987 telah teridentifikasi bahwa di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur saja terdapat sekitar 70.000 (baca:tujuh puluh ribu) lulusan SPG yang belum memperoleh tempat kerja sebagaimana semestinya alias menganggur. Dapat dibayangkan kalau mereka menjadi resah karena kemampuan dan legalitas yang diperolehnya melalui lembaga pendidikan keguruan tidak atau belum dapat didharmabhaktikan untuk bangsa dan negara. Seterusnya terdapat perkembangan data kuantitatif yang terbaru: bahwa pada tahun 1988 ini terdapat sekitar 200.000 (baca: dua ratus ribu) lulusan SPG yang belum memperoleh penempatan kerja yang sesuai dengan kemampuan dan legalitasnya. Mereka ini terdistribusi di seluruh wilayah negara kita. Sebagai tindakan preventif untuk menghindari semakin menumpuknya para lulusan SPG yang menganggur, maka turunlah kebijakan Depdikbud untuk menutup atau mengalihfungsikan SPG. Dengan adanya kebijakan ini maka arus lulusan SPG yang akan menumpuk di "gudang pengangguran" dapat dicegah secara lebih dini. Dibalik argumentasi tersebut akhirnya ada faktor lainnya yang ikut mendukung turunya kebijakan penutupan dan pengalihfungsikan SPG, yaitu faktor mutu lulusan. Akhir-akhir ini memang banyak bermunculan kritik masyarakat tentang mutu lulusan SPG yang pada prisipnya mengatakan bahwa kualitas pengetahuan, keterampilan dan mentalnya belum pantas untuk menjadikan dirinya sebagai guru SD yang "bonafide", atau guru dalam pengertian yang sebenarnya. Untuk menjadi guru dengan kesiapan pengetahuan, keterampilan, dan mental yang memadai maka masih diperlukan beberapa tahun lagi bagi lulusan SPG, atau sekolah umum, untuk menjalani pendidikan. Oleh karena itu muncul sebuah pandangan yang menyatakan guru-guru SD tidak "dicetak" oleh SPG, akan tetapi oleh IKIP atau perguruan tinggi dan lain yang sejenis. Saat ini banyak pakar yang menyadari bahwa proses belajar mengajar di SD akan sangat menentukan kualitas pendidikan di negara kita pada umumnya karena, ibarat sebuah rumah maka pendidikan di SD merupakan fondasinya. Kalau fondasinya tidak kuat maka mudah runtuhlah rumah tersebut. Untuk membentuk fondasi yang kuat
5
inilah maka guru-guru SD dipandang mesti dihasilkan oleh IKIP, bukan dari SPG. Pandangan tentang kurang "bermutu"nya luludan SPG tersebut di samping mendukung kebijakan penutupan serta pengalihfungsikan SPG, sekaligus memberi isarat yang lebih jelas tentang segera tamatnya SPG yang pada masa jayanya pernah "dipuja-puja" orang !!! Diskusi, Dialog Tahun 1988 ternyata juga mencatat terjadinya argumentasi, diskusi dan dialog tentang sistem manajemen pendidikan pada jenjang pendidikan dasar; yaitu antara 'sistem monodepartementasi' di satu pihak dengan 'sistem multidepartementasi' pada pihak yang lain. Sistem manajemen pendidikan dasar di negara kita sampai sekarang ini masih mengacu pada sistem multidepartemantasi, yaitu sistem pengelolaan lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh lebih dari satu departemen secara bersama-sama. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa samoai saat ini lembaga pendidikan dasar atau sekolah dasar (SD) di negara kita dikelola bersama-sama oleh Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbut) beserta Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Sebenarnya telah ada semacam pembagian tugas dan kewenangan antara Depdikbut dengan Depdagri dalam mengelola SD, sekolah dasar yaitu Depdikbut lebih bertanggung jawap pada masalah-masalah proses belajar mengajar, sedangkan Depdagri lebih bertangung jawap pada masalah-masalah apministratif dan persaranaan. Sebagai contoh praktisnya: masalah pengembangn kurikulum dan silabus, penataran guru, sistem evaluasi, dsb, menjadi tanggung jawap Depdikbut; sementara itu masalah pengembangan sarana fisik pergedungan, perkantoran, dsb, menjadi tanggung jawab Depdagri. Sistem manajemen yang di Indonesia sudah berjalan selama bertahun-tahun tersebut oleh sementara pengamat dipandang sudah tidak efektif lagi,karena lebih banyak menimbulkan kesulitan daripada kemudahannya. Oleh karena itu sistem multidepartementasi itu hendaknya diakhiri untuk selanjutnya diganti dengan sistem mono departementasi; di mana Depdikbut bertanggung jawab secara penuh terhadap pengelolahan SD. Tentu saja ada yang sependapat dengan gagasan tersebut di atas, akan tetapi ada yang menolaknya; hal yang biasa yang terjadi dalam sistem demokrasi. Tetapi yang jelas sampai saat ini sistem multidepartementasi jenjang pendidikan dasar masih tetap bertahan dengan kokohnya. Wajib Belajar SMTP
6
Peristiwa yang sangat monumental terjadi setelah ditangani-nya GBHN oleh Ketua serta para Wakil Ketua Majelis Permusyawa-ratan Rakyat RI, pada tanggal 9 Maret 1988. Peristiwa ini sangat monumental karena salah satu butir uraiannya secara eksplisit menyatakan Wajib Belajar tingkat SMTP akan diangkat menjadi prioritas pembangunan bidang pendidikan pelita V. Salah satu bagian dari latar belakang diangkatnya program wajib belajar SMTP sebagai prioritas pembangunan pendidikan adalah terdapatnya pengalaman sukses atas diselenggarakannya program serupa untuk jenjang pendidikan dasar. Pada sisi yang lain kebijaka tersebut juga didasarkan ata keinginan pemerintah serta masyarakat untuk bisa meratakan pelayanan pendidikan kepada seluruh warga negara, sampai pada jenjang pendidikan yang setinggi mungkin. Kondisi pendidikan menengah di Indonesia dilukiskan oleh TPP, tingkat partisipasi pendidikan, SMTP dan SMTA saat ini yang berkisar pada angka 58% dan 34%. Pada sisi yang lain daya tampung sekolah terhadap jumlah lulusan jenjang pendidikan di bawahnya untuk SMTP dan SMTA berturut-turut berkisar pada angka 63% dan 82%. Untuk tahun akademik 1987/88 sebanyak 6.687.000 dari 11.537.000 penduduk berusia pendidikan menengah pertama, 13 s/d 15 tahun sudah dapat ditampung di sekolah. pada sisi yang lain 3.655.000 dari 10.745.000 penduduk usia pendidikan menengah atas, 16 s/d 18 tahun, sudah dapat ditampung di sekolah. Jadi, TPP untuk jenjeng SMTP dan SMTA masing-masing adalah 58% dan 34%. pada sisi yang lain daya tampung sekolah terhadap jumlah lulusan jenjang pendidikan di bawahnya untuk SMTP dan SMTA berturut-turut berkisar pada angka 63% dan 82%. Untuk tahun akademik 1987/88 sebanyak 6.687.000 dari 11.537.000 penduduk berusia pendidikan menengah pertama, 13 s/d 15 tahun sudah dapat ditampung di sekolah. pada sisi yang lain 3.655.000 dari 10.745.000 penduduk usia pendidikan menengah atas, 16 s/d 18 tahun, sudah dapat ditampung di sekolah. Jadi, TPP untuk jenjeng SMTP dan SMTA masing-masing adalah 58% dan 34%. Ini merupakan pencapaian TPP yang maksimal selama beberapa tahun yang terakhir ini. Daya tampung sekolah menengah pertama pun sampai seka-rang belum mampu mencapai titik yang maksimal. Pada tahun 1987/88 seluruh SMTP di negara kita hanya mampu menampung 2.377.000 siswa baru dari sebanyak 3.786.000 lulusan SD pada tahun ajaran sebelumnya. Hal ini berarti bahwa daya tampung pendidikan menengah pertama di negara kita masih berkisar pada angka 63%. Dari ilustrasi kuantitatif tersebut di atas terlihat bahwa pelaksanaan pemerataan pelayanan pendidikan menengah, khususnya jenjang SMTP, masih perlu ditingkatkan. Atas dasar semua itulah maka menempatkan program wajib belajar (Wajar) SMTP sebagai prioritas pembangunan pendidikan pada Pelita V nanti, kiranya merupakan kebijakan yang cukup argumrntatif.
7
TKU Sipenmaru Peristiwa lain yang juga banyak menyita perhatian para pengamat pendidikan maupun masyarakat pada umumnya ialah adanya perkembangan materi testing masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Ketatnya kompetisi masuk PTN di negara kita telah menempatkan perguruan tinggi yang dikelola langsung oleh pemerintah tersebut menjadi pusat perhatian masyarakat. Oleh karena itu ketika Depdikbud mengumumkan akan adanya pengembangan materi tes dalam Sipenmaru, seleksi penerimaan mahasiswa baru, untuk PTN maka pengumuman ini cepat "ditangkap" oleh masyarakat. Pengembangan materi tes yang dimaksud, yaitu TKU (Tes Kemampuan Umum), banyak menimbulkan spekulasiakan jenis soal-nya. Masyarakat pun kemudian banyak yang main "tebak-tebakan"; ada yang berpendapat bahwa TKU merupakan "power test" sebagaimana soal-soal dalam Sipenmaru sebelumnya, akan tetapi ada yang berpendapat bahwa TKU merupakan 'speeded test' yang lebih menekankan pada kecepatan berfikir dan bereaksi. Kelompok yang pertam berangkat dari dimensi terminologis. Berangkat dari istilahnya, maka TKU termasuk "tes kemampuan" (power test) sebagaimana yang dikembangkan di berbagai negara untuk berbagai kepentingan. Jenis "tes kemampuan" biasanya digunakan untuk mengungkap atau mengembangkan kemapuan abilitas seseorang. Jenis tes ini umumnya dibangun di atas tiga materi dasar; yaitu materi dasar yang ditujuksn untuk mengungkap kemampuan verbal (verbal ability), kemampuan kuantitatif (quantitatif ability), serta kemampuan penalaran (analitycal ability). Sementara itu kelompok kedua berargumentasi atas dasar perbandingan jumlah soal dengan jumlah waktu yang disediakan. Adanya informasi tentang materi soal yang banyak dengan alokasi waktu pengerjaan yang sedikit, 115 butir soal TKU dikerjakan dalam waktu 90 menit menyebabkan adanya sementara pengamat yang cenderung menebak jenis TKU ke dalam kelompok "tes kece-patan" (speeded test). Tes ini memang lebih cenderung mengungkap atau mengembangkan kemampuan psikologis seseorang. Main "tebak-tebakan" tersebut berakhir pada tanggal 1 Juni 1988, jam 13.30 WIB atau jam 14.30 WIT tepat, pada saat Panitya Sipemaru PTN secara resmi menyajikan materi TKU sebagai bagian dari sebuah keseluruhan materi testing masuk PTN di negara kita. Pembekuan Ijin Pendirian PTS Masalah ke-PTS-an pun ternyata ikut memberi warna dalam perjalanan pendidikan di negara kita untuk periode 1988, kali ini menyangkut rekomendasi atau
8
ijin pendirian PTS baru. Dalam kaitanya dengan pendirian PTS baru mulai tahun ini Depdikbut lebih bersikap selektif; bahkan diturunkan kebijakan untuk membekukan ijin oprasional PTS baru, kecuali bagi lembaga suasta yang perijinnya sudah naik proses. Pembekuan ijin oprasional terhadap PTS baru yang diturunkan kebijakannya oleh Depdikbut pada beberapa waktu yang lalu tentunya bukan tanpa latar belakang sama sekali. Masalah kualitas PTS yang ada di negara kita saat ini rupanya ikut melatarbelakangi kebijakan tersebut; yaitu masih rendahnya kualitas mayoritas PTS di negara kita saat ini rupanya ikut melatarbelakangi kebijakan tersebut yaitu masih rendahnya kualitas mayoritas PTS di negara kita pada umumnya. Masalah ke-PTS-an pun ternyata ikut memberi warna dalam perjalanan pendidikan di negara kita untuk periode 1988, kali ini menyangkut rekomendasi atau ijin pendirian PTS baru. Dalam kaitanya dengan pendirian PTS baru mulai tahun ini Depdikbut lebih bersikap selektif; bahkan diturunkan kebijakan untuk membekukan ijin oprasional PTS baru, kecuali bagi lembaga suasta yang perijinnya sudah naik proses. Pembekuan ijin oprasional terhadap PTS baru yang diturunkan kebijakannya oleh Depdikbut pada beberapa waktu yang lalu tentunya bukan tanpa latar belakang sama sekali. Masalah kualitas PTS yang ada di negara kita saat ini rupanya ikut melatarbelakangi kebijakan tersebut; yaitu masih rendahnya kualitas mayoritas PTS di negara kita saat ini rupanya ikut melatarbelakangi kebijakan tersebut yaitu masih rendahnya kualitas mayoritas PTS di negara kita pada umumnya. Rendahnya kualitas mayoritas PTS di negara kita dapat dilihar dari relatif tingginya persentase PTS yang masih berstatus 'terdaftar'; merupakan status akreditasi akademik yang paling rendah peringkatnya. Informasi yang pernah dikomunikasikan oleh Direktur Perguruan Tinggi Swasta Depdikbut, Prof. Dr. Yuhara Sukra beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa dari 744 PTS yang terdistribusi di seluruh wilayah negara kita maka 85% di antaranya "hanya " berstatus ' terdaftar'; padahal keseluruhan PTS tersebut pada umumnya menginginkan status akreditasi yang paling tinggi peringkatnya, yaitu 'disamakan'. Keadaan tersebut di atas masih diwarnai oleh kenyataan lain yang juga cukup mempreihatinkan, yaitu relatif sedikitnya program studi eksakta bila dibandingkan dengan program studi sosial. Melihat data tersebut di atas kiranya kebijakan yang diambil oleh Depdikbud untuk membekukan ijin operasional PTS baru da-patlah dipahami; karena dibekukannya ijin oprasional terhadap PTS baru maka pembinana Depdikbud terhadap PTS yang sudah ada, khususnya yang masih berstatus 'terdaftar' akan dapat lebih ditingkatkan konsentrasi dan intensifikasinya.
9
Kalau kemudian timbul masalah baru; banyaknya PTS yang "merengek-rengek" untuk direkomendasi dengan argomendasi memajukan pendidikan rakyat, sehingga yang demikian ini menyulitkan "posisi" Depdikbud dalam mengambil sikap, kiranya hal ini memeng sudah menjadi resiko, dan tentunya sudah diperhitungkan sebelumnya. Perkelahian Pelajar Acara tutup tahun ternyata tidak selalu diakhiri dengan sesuatu yang indah, demikian juga yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita. Tahun 1988 ternyata harus ditutup dengan peristiwa yang berada di luar skenario para pengambil keputusan kebijakan pendidikan, sekaligus merupakan peristiwa yang tidak diharapkan oleh masyarakat, yaitu munculnya berbagai kasus perkelahian pelajar yang cukup "memusingkan" orang tua dan aparat sekolah. Masalah perkelahian pelajar tersebut memang amat mencemaskan. adanya sekolah yang terpaksa mengambil tindakan tegas "mengeluarkan" siswanya yang terlibat dalam kasus perkelahian pelahar, bahkan ada yang dalam jumlah tidak sedikit, mengisaratkan bahwa kasus tersebut "main-main" lagi. Kasus perkelahian pelajar tersebut memang perlu mendapatkan penangan yangb serius dari berbagai pihak; orang tua, sekolah, dan aparat keamanan. Berbagai kassus perkelahian pelajar ini sekaligus telah menjadi "pekerjaan rumah" bagi para orang tua, pihak sekolah maupun aparat keamanan untuk menyongsong datangnya Tahun 1989. Sebuah "pekerjaan rumah" yang harus segera diselesaikan agar masalahnya tidak menjadi semakin kompleks. Begitulah dunia pendidikan yang penuh romantika dan problematika. Perjalanan pendidikan di negara kita untuk periode 1988 pun ternyata juga penuh dengan romantika dan problematika !!!*** ============================================================= Drs. Ki Supriyoko, M.Pd. adalah Ketua Litbang Pendidikan Majelis Luhur Tamansiswa, dan Ketua Lembaga Penelitian Sarjanawiyata Tamansiswa (LPST) Yogyakarta. Pengamat dan peneliti masalahmasalah pendidikan.