Tabloid Pelajar “PELAJAR INDONESIA”, terbit di Bandung, Edisi November 2002
PRAKTEK MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) MENUJU KEMANDIRIAN SEKOLAH Oleh : Ki Supriyoko
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang diterjemahkan dari konsep aslinya, School-Based Management, merupakan terminologi yang sedang populer dan aktual di masyarakat khususnya masyarakat pendidikan. Istilah itu dalam beberapa waktu terakhir ini amat sering diperbincangkan oleh para guru, kepala sekolah, pengawas, eksponen pendidikan, dan bahkan sampai kepada orang tua siswa dan tokoh masyarakat. MBS hampir senantiasa menjadi pembicaraan dalam berbagai pertemuan insan pendidikan, khususnya insan pen-didikan yang bergerak dalam dunia pendidikan formal. Dalam forum seminar, lokakarya, simposium, temu karya, rapat kerja, dan jenis pertemuan lainnya topik MBS hampir tak pernah tidak dibicarakan. Keadaan itu bisa terjadi karena MBS telah menjadi kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, di dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia; khususnya melalui jalur sekolah. Dengan diberlakukannya pendekatan MBS yang sudah teruji di beberapa negara maju diharapkan terjadi kemajuan yang signifikan dalam pelaksanaan pendidikan nasional sehingga akan menghasilkan kinerja yang membanggakan. Secara kebetulan munculnya istilah MBS tersebut bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan yang merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan yang otonomis. Seperti kita ketahui, dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan besar dalam penyelenggaraan pendidikan, karena pendidikan (dan kebudayaan) termasuk bidang pemerintahan yang diotonomikan. Dari situlah kemudian muncul istilah desentralisasi pendidik-an, meskipun sebenarnya istilah tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi se-bagai Daerah Otonomi lebih memperjelas kewenangan kabupaten/kota untuk menjalankan pendidikan, dalam hal
2
ini pendidikan dasar dan menengah. Kondisi ini merupakan manifestasi dari konsep desentralisasi pendidikan, di mana keputusan untuk menjalankan pendidikan nasional berada di daerah; tidak lagi serba terpusat di Jakarta. Di berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Australia dan Jepang, desentralisasi pendidikan sudah dijalankan semenjak lama serta terbukti telah membawa kemajuan yang sangat signifikan terhadap kemajuan bangsa dan negara. Apakah penerapan konsep desentralisasi di Indonesia secara otomatis akan membawa kemajuan bagi bangsa? Secara lebih mikro, apakah penerapan konsep desen-tralisasi pendidikan secara otomatis membawa kemajuan sekolah? Meski di negara-negara lain penerapan konsep desentralisasi pendidikan telah membawa kemajuan bangsa dan negara dalam skala makro serta kemajuan sekolah dalam skala mikro; tetapi penerapan konsep desentralisasi pendidikan di Indonesia tak serta merta akan membawa kemajuan sekolah. Adapun yang lebih membawa kemajuan sekolah adalah sistem yang dijalankan di masing-masing sekolah itu sendiri. Oleh karena itulah bersamaan dengan dijalankannya desentralisasi pendidikan maka dikembangkan konsep MBS sekaligus. Kemandirian Sekolah Di Indonesia sebenarnya MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali meskipun kebanyakan sekolah atau satuan pendidikan belum menjalankannya secara efektif. MBS sekarang ini dikembangkan sebagai program resmi departemen pendidikan. Pada dasarnya MBS itu merupakan suatu sistem manajemen yang dirancang untuk memandirikan sekolah; di mana pihak sekolah yang dalam hal ini kepala sekolah serta para guru dan insan sekolah yang lainnya, memiliki kewenangan penuh untuk mengambil dan mengembangkan kebijakan dan/atau keputusan di dalam beraktivitas akademis maupun nonakademis. Pihak sekolah memiliki kewenangan penuh untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan akademik dan/atau kegiatankegiatan nonakademik yang diyakini akan dapat memajukan sekolah. Dalam konsep MBS kepala sekolah memiliki kewenangan yang memadai untuk menjalankan manajemen sekolahnya. Seorang kepala sekolah memiliki kewenangan untuk menjalankan kebijakan apa saja yang dianggap berpotensi dalam memajukan sekolah, termasuk men-cari dana dan memilih guru yang tepat bagi anak didiknya. Secara teoretis, dalam konsep MBS maka kewenangan yang dimiliki oleh kepala sekolah bersifat penuh; namun demikian dalam prakteknya kewenangan tersebut seringkali terkurangi banyak oleh kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah setempat. Sebagai con-toh yang konkrit, para kepala sekolah sesungguhnya mempunyai kewenangan penuh untuk memilih dan menerapkan kurikulum yang tepat bagi siswa akan tetapi ternyata pemerintah membuat kebijakan mengenai penyeragaman kurikulum (nasional) yang harus dijalankan oleh sekolah. Dalam kasus seperti ini
3
keharusan untuk menjalankan kurikulum (nasional) secara konkrit telah mengurangi kewenangan kepala sekolah. Dalam konsep MBS, kepala sekolah berperan sebagai seorang manajer. Dengan kewenangan yang dimilikinya seorang manajer bisa melakukan apa saja yang dianggap positif, konstruktif, relevan dan potensial untuk memajukan sekolah yang dimanageri. Sudah barang tentu kewenangan yang dimiliki oleh seorang kepala sekolah meski-pun bersifat penuh bukan berarti tidak terbatas. Ada hal-hal yang membatasi kewenangan kepala sekolah. Di dalam pengembangan konsep MBS di Indonesia maka oleh Tim Teknis MBS yang dibentuk secara bersama oleh Bappenas dan Bank Dunia telah diformulasikan tawaran-tawaran lingkup strategi sesuai dengan kondisi sekolah di Indonesia. Adapun lingkup strate-gi yang ditawarkan oleh tim tersebut adalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5.
Kurikulum yang bersifat inklusif. Proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang mendukung. Sumber daya yang berasas pemerataan. Standardisasi dalam hal tertentu, monitoring, evaluasi dan tes.
Meskipun sekolah memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum secara penuh akan tetapi dalam tawaran tersebut dibatasi pada kurikulum yang bersifat inklusif yang selama ini lebih dikenal dengan muatan lokal. Tegasnya, kurikulum nasional dikembangkan oleh pemerintah pusat sedangkan kurikulum lokal oleh sekolah. Menyangkut proses belajar mengajar, kepala sekolah memiliki kewenangan yang lebih luas. Sebagai manager, kepala sekolah bisa mengatur guru, mengatur jam belajar, mengatur ruangan, mengatur komposisi siswa, dsb, sepanjang hal itu semua dilaksanakan dalam kerangka mengefektifkan proses belajar mengajar. Dalam kapasitas-nya sebagai manager, kepala sekolah juga dapat melakukan apa saja untuk menciptakan lingkungan, baik fisik maupun sosial, untuk memajukan sekolah. Sementara itu mengenai sumber daya, seperti guru, instruktor, laboran, tenaga administrasi,dsb, kepala sekolah berhak menatanya untuk mencapai efektivitas yang memadai. Mengenai standardisasi dalam hal tertentu, monitoring, eva-luasi dan tes dapat dikerjakan pula oleh kepala sekolah dengan ada kesepakatan terlebih dahulu dengan pusat. Dengan kata lain kepala sekolah diberi kebebasan menjalankan evaluasi misalnya, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah dite-tapkan oleh pemerintah pusat. Lingkup strategis yang ditawarkan oleh Tim Teknis Bappenas dan Bank Dunia tersebut memang cukup menarik namun begitu bukan berarti tawaran tersebut sudah sempurna. Tawaran tersebut masih jauh dari kata sempurna; dan salah satu ketidaksempurnaan terletak pada tidak dicantumkannya manajemen di bidang
4
keuangan. Pada hal keuangan atau finansial sekolah merupakan aspek penting yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kemajuan sekolah. Kemajuan suatu sekolah sangat tergantung pada manajemen keuangan sekolah yang bersangkutan. Apabila manajemen sekolah tidak profesional maka kemajuan sekolah akan sulit diperoleh. Sejarah membuktikan banyak sekolah tidak maju dikarenakan tidak memiliki keuangan yang cukup; di sisi yang lain banyak pula sekolah yang tidak maju dikarenakan manajemen keuangannya tidak profesional meski sesungguhnya sekolah tersebut memiliki keuangan yang cukup. Keadaan ini membuktikan demikian besarnya pengaruh manajemen keuangan terhadap kemajuan sekolah. Bagi sekolah-sekolah nonpemerintah alias swasta, MBS bukan merupakan hal baru. Selama ini sekolah swasta sudah melaksanakan MBS; mereka mencari dana operasional sendiri, menseleksi kandidat pamong atau guru, memilih siswa, mengatur jam belajar di sekolah, menata ruangan, serta memprioritaskan kegiatan akademik dan non- akademik yang harus dipilih. Kegiatan seperti ini merupakan tanda atau indikasi telah dijalankannya konsep MBS yang secara langsung mencerminkan kemandirian sekolah. Kendala di Lapangan Sekarang ini konsep MBS masih disosialisasi ke masyarakat, khususnya masyarakat sekolah; meskipun demikian sesungguhnya sebagian sekolah di negara kita, baik SD, SLTP, SMU maupun SMK sudah menjalankan konsep manajemen persekolahan tersebut. Praktek MBS diantaranya ialah penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Praktek MBS, utamanya MPMBS, di sekolah-sekolah ternyata menghadapi kendala kultural yang signifikan; khususnya menyangkut kreativitas dan kemandirian civitas sekolah. Selama ini kepala sekolah (negeri) utamanya di SD dan SLTP, sudah terbiasa bekerja "nunggu dawuh" (instruktif). Mereka pada umumnya melaksanakan sesuatu apabila ada instruksi dari atasan, apalagi menyangkut hal-hal yang fundamental atau agak fundamental. Kebiasaan seperti ini tidak menumbuhkan kreativitas dan kemandirian yang justru sangat diperlukan dalam pengembangan MPMBS. Dengan melihat keadaan seperti tersebut di atas sebenarnya konsep MBS tidak bisa diterapkan secara serta merta pada seluruh sekolah di Indonesia. Di dalam hal ini ada sekolah-sekolah tertentu yang cocok melaksanakan MBS, yaitu sekolahsekolah yang setidak-tidaknya memiliki SDM memadai; di sisi lainnya ada sekolahsekolah yang tidak cocok melaksanakan MBS dikarenakan kondisi kultural SDMnya yang tidak mendukung. Konsep MBS pada dasarnya amat konstruktif untuk memajukan pendidikan di Indonesia, meskipun sesungguhnya hal itu bukan barang baru di Indonesia. Penerapan konsep MBS untuk mencapai hasil yang optimal menghadapi banyak
5
kendala, utamanya menyangkut kendala kultural. Meskipun pada dasarnya konsep MBS sangat konstruktif tetapi tidak selalu cocok untuk keseluruhan sekolah di Indonesia; maksudnya ada sekolah yang cocok akan tetapi ada pula yang tidak cocok untuk menerapkan konsep MBS !!!*****
-------------------------------------------------------BIODATA SINGKAT: * Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. * Pengamat dan peneliti masalah-masalah sosial dan pendidikan