PERAN PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK PELAJAR (Studi Kasus Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta Periode 1998 – 2010)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: CECEP SOPANDI NIM : 10703220 1 741
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
ABSTRAK
Realitas sejarah menunjukkan bahwa gerakan pelajar memiliki peran yang cukup signifikan dalam dinamika sosial politik di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan kiprah dan perjuangannya yang secara aktif terlibat dalam berbagai situasi politik, baik pada pra-kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru, era Reformasi dan pasca Reformasi dewasa ini. Atas peran dan kontribusinya tersebut, pelajar mendapatkan posisi yang cukup terhormat di masyarakat sebagai generasi penerus estapeta kepemimpinan bangsa. Peran serta pelajar dalam arena politik nasional sempat mengalami pasang surut sesuai dengan situasi politik yang terjadi pada zamannya. Perubahan politik yang melanda negeri turut merubah pula gerakan pelajar, terutama dalam masa peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru. Situasi politik yang tidak mendukung akibat dominasi kebijakan Orde Baru tersebut perlahan melemahkan gerakan pelajar dalam pentas politik nasional. Sementara itu, kebijakan pemerintah pada era Reformasi yang sejatinya menjadi babak baru dalam budaya politik di Indonesia belum mampu mendorong peran pelajar untuk ikut kembali berpartisipasi dalam arena politik. Maka dari itu peran organisasi pelajar dipercaya mempunyai peranan dalam menumbuhkan kesadaran politik pelajar, salah satunya dengan melakukan pemberdayaan politik kepada pelajar. Dalam penelitian ini, penulis menganalisa mengenai Peran Pelajar Islam Indonesia (PII) yang ada di Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar pada kurun waktu 1998-2010. Motode yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, di mana penulis melakukan observasi, wawancara dan studi dokumentasi terhadap Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta. Dari hasil data penelitian yang diperoleh dapat diketahui, PW PII Jakarta menilai bahwa peran politik pelajar sangat penting, hal itu karena posisi pelajar selain memiliki makna secara sosial dan juga politis. Dari sisi sosial, pelajar merunjuk kepada sebuah entitas yang eksistensinya terkait dengan proses belajar dan masuk dalam daur dunia pendidikan. Sementara secara politis keberadaan pelajar mewakili komunitas terdidik dan relatif berperadaban sehingga peranannya dalam proses perubahan sosial menjadi sebuah keniscayaan. Pandangan PW PII Jakarta terhadap peran politik pelajar tidak berada pada wilayah politik praktis, yakni orientasi pada jabatan di tingkatan kekuasaan formal (DPR RI, Bupati, Gubernur dan lain-lain), tetapi dalam bentuk high politic yaitu sikap moral dan kepedulian pelajar terhadap permasalahan bangsa serta ikut berperan aktif sebagai tanggung jawab sosial pelajar dalam masyarakat. Dalam melaksanakan pemberdayaan politik terhadap pelajar, PW PII Jakarta menggunakan tiga aras strategi pemberdayaan, yaitu mikro, mezo dan makro. Pada wilayah mikro dilaksanakan Hari Komunikasi (Harkom) dan posko pengaduan pelajar sebagai media bimbingan dan konseling kepada individu pelajar dalam permasalahan sosial politik yang di hadapinya. Pada wilayah mezo dilaksanakan kaderisasi kepemimpinan dalam bentuk Leadership Basic Training (LBT), pendidikan politik pelajar, seminar dan diskusi pelajar. Sementara itu, pada wilayah makro dengan melaksanakan aksi sosial dan kampanye pelajar dalam menjaring aspirasi pelajar serta ruang aktualisasi pelajar dalam menyuarakan sikap politiknya. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang tercurah pada setiap manusia. Tuhan sang pemilik hati dan pemelihara cinta sejati tanpa rasa benci. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, para sahabatnya serta para pengikutnya yang komitmen dan patuh pada ajarannya. Akhirnya, setelah berjuang dengan sekuat tenaga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, walau pun dalam prosesnya penuh dengan suka dan duka. Skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Bapak Dr. Zulkifly, MA selaku Ketua Jurusan Program Studi Sosilogi dan Ibu Iim Halimatussa’diyah, MA selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktunya, tenaganya, perhatiannya, serta saran-saran dan kritik yang diberikan kepada penulis selama menyusun skripsi ini. 5. Seluruh dosesn dan staf pengajar pada program studi Sosiologi atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan pengalaman yang mendorong penulis ii
selama menempuh studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Jajang yang membantu penulis dalam segala hal yang berhubungan dengan administrasi. 6. Keluarga tercinta, yang penulis anggap sebagai sumber motivasi dan harapan. Untuk Ayahanda M. Amin (alm), seorang guru pencerah kehidupan dalam keluarga, walaupun beliau sudah menghadap Tuhan sejak penulis masih kecil, tetapi penulis yakin di surga sana beliau selalu mendo’akan yang terbaik bagi semua anaknya. Ibunda Rohmanah (alm), sosok wanita yang luar biasa, kuat dan tangguh dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Meskipun berjuang seorang diri, tetapi beliau mampu menjadikan anak-anaknya menjadi sarjana. Sedih, karena impian terbesar beliau dapat melihat penulis memakai toga, tapi beliau terlebih dahulu dipanggil sang penguasa sebelum melihat anaknya memakai toga. Perhatian dan pendidikan moralnya selalu akan diingat sebagai motivasi dan prinsip dalam kehidupan. Semoga Allah SWT memberikan jalan yang indah untuk mereka berdua serta mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah SWT, Amin. 7. Teman-teman Pengurus Besar PII yang sudah menyediakan fasilitas perpustakaan dan kemudahan bagi penulis dalam mencari data yang diperlukan penulis. Untuk Kang Randi, Kang Helmi, Ka Eka Setiawati, Kang Ii, Kang Fadlan yang jauh-jauh dari Bandung bawa buku referensi dan literatur tentang PII. Untuk semua temanteman yang terhimpun dalam keluarga besar PII yang tidak bisa disebutkans satu persatu. 8. Teman-teman Pengurus Wilayah PII Jakarta yang telah memberikan fasilitas perpustakaan dan kemudahan dalam mencari data yang diperlukan penulis. Untuk Doni yang sudah bersedia bongkar gudang asrama untuk mencari data penelitian,
iii
Yazid yang selalu respon setiap penulis meminta bantuan dan wawancara, Rifqi yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk wawancara. 9. Segenap keluarga besar PII Jakarta, terima kasih atas kerjasamanya selama proses berlangsungnya penelitian ini. Terutama kepada Bapak Ali Said, Bapak M.Nasir, Bapak Nuril Anwar, Bapak Rahmat Banu Widodo, Bapak Shood Solehuddin, Bapak Basori, Bapak Syahnan Tanjung, Bapak Nasrullah dan Bapak Ahmad Fadhil. Dengan waktu dan aktivitas yang sangat padat tetapi mau bersedia dan menyempatkan diri untuk diwawancarai. 10. Teman-teman KASOGI (Kajian Sosiologi) tempat penulis berdiskusi dan menggali gagasan besar dari para tokoh sosoiologi. Kepada bung Maman, Kang Nana, Haikal, Yusuf, Wira, Egits, Ogi, Abdi dan lain-lain. Teruskan perjuangan dalam menyebarkan budaya intelektualisme di kampus hijau ini. 11. Teman-teman HMI Cabang Ciputat terutama Komisariat HMI FISIP, tempat penulis mendalami pemikiran-pemikiran yang segar. Kepada bung Ali Wafa, Ikhsan, Adis, Ilham, Irdi, Yeni, Anis, Kholil, Defi, Isma, Eroh. Pengalaman berorganisasi bersama kalian di HMI memberikan warna segar bagi kehidupan. 12. Teman-teman satu kelas yang hari ini masih berjuang menempuh proses skripsi. Kepada Eky semangat terus dan kurang-kurangilah, Feri Bastian yang mengaku fanatik Persib, Jakfar anak Madura yang baru muncul lagi dalam peredaran kampus, Sulaeman “Tole” sang pendekar Madura, Abee senior tertua di kelas, Erte Sibli pejabat ketua kelas seumur hidup, Matin tokoh intelektual di kelas, Muftie sang pengusaha muda dan tidak lupa kepada M.Satria Anugerah Wijaya, S.Sos yang punya semangat luar biasa dalam mencapai cita-citanya. Terima kasih atas persahabatannya selama ini, sukses untuk kalian dan tetaplah jaga silaturahmi.
iv
13. Spesial untuk seorang gadis tercinta yang saat ini mungkin sedang tersenyum bahagia melihat tulisan ini. Gadis itu bernama Rahmawati. Dialah yang selama ini selalu menemani hari-hari penulis suka maupun duka dan tak pernah lelah memotivasi selama proses penulisan skripsi ini ketika penulis kehilangan percaya diri. Dia juga yang harus ikhlas merelakan laptponya dipinjam dengan jangka waktu yang tidak pasti. Semoga Tuhan sang pemilik cinta dan pemelihara hati memberikan izin untuk mewujudkan mimpi-mimpi besar kita. Amin. 14. Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua Pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis menyadari tidak ada sesuatu yang sempurna, begitu pula dengan skripsi ini, karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat diperlukan untuk perbaikan di masa mendatang.
Jakarta, 17 Mei 2013
Cecep Sopandi
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................................. vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ............................................................................ 1 B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 9 D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 11 E. Kerangka Teoritis ............................................................................... 14 F. Metodologi Penelitian ........................................................................ 22 1. Waktu dan Tempat ...................................................................... 23 2. Teknik dan Pengumpulan Data ................................................... 23 3. Analisis Data ............................................................................... 24 G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 25
BAB II
GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) A. Konteks Sosiologis Kelahiran Pelajar Islam Indonesia (PII) ............ 26 B. Proses Kelahiran dan Perkembangan Pelajar Islam Indonesia (PII) .. 31 C. Tujuan dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII) ................................ 35 D. Kiprah Pelajar Islam Indonesia (PII) Dalam Pemberdayaan Politik Pelajar ..................................................................................... 37 1. Pelajar Islam Indonesia (PII) di era Orde Lama ............................. 37 2. Pelajar Islam Indonesia (PII) di era Orde Baru .............................. 43 vi
BAB III
TEMUAN HASIL PENELITIAN A. Pandangan PW PII Jakarta Terhadap Peran Politik Pelajar ............... 50 B. Strategi dan Kegiatan PW PII Jakarta dalam Pemberdayaan Politik Pelajar ..................................................................................... 56 1. Aras Mikro .................................................................................. 59 2. Aras Mezo ................................................................................... 63 3. Aras Makro ................................................................................. 69 C. Respon Pelajar Terhadap Pemberdayaan Politik PW PII Jakarta ...... 78 D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan Politik Pelajar ..................................................................................... 82 1. Faktor Pendukung ....................................................................... 82 2. Faktor Penghambat ..................................................................... 84
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................ 87 B. Rekomendasi ...................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 95 LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah Skripsi ini membahas tentang peran Pelajar Islam Indonesia (PII) yang ada di Jakarta dalam melakukan aktifitas pemberdayaan politik kepada pelajar. Alasan utama penulis mengangkat judul ini berangkat dari realitas sejarah yang menunjukan bahwa pelajar mempunyai peran yang strategis dalam proses pembentukan pergerakan nasional yang secara langsung atau tidak langsung telah memberikan kontribusi bagi kelompok sosial pelajar di Indonesia. Kehadiran pelajar sendiri tidak bisa dipisahkan oleh realitas politik yang dihadapinya, karena posisi pelajar masih sangat rentan menjadi korban dari proses sosial politik dan intervensi budaya yang menyelimuti kesehariannya. Sementara itu, peran organisasi yang mempunyai basis massa pelajar menjadi sangat penting dalam melakukan pemberdayaan politik kepada pelajar untuk menumbuhkan kepekaan sosial dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya, serta menumbuhkan daya kritis pelajar dalam merespon isu-isu politik yang berkaitan dengan hak-hak dasarnya sebagai warga negara dan bentuk tanggung jawab sosial pelajar terhadap bangsanya. Pelajar yang masuk dalam kategori remaja merupakan masa mencari identifikasi diri atau jati diri. Mereka memasuki masa peralihan; suatu masa perubahan yang sangat pesat, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang menakutkan, masa tidak realistik, dan masa ambang dewasa (Sabri, 2007: 25). Pada situasi seperti itu
1
remaja cenderung labil dan belum mampu menyesuaikan diri secara sempurna terhadap lingkungannya. Di sisi lain, ego eksistensi diri pelajar direfleksikan melalui aktivitas berkelompok, seperti: geng, klub hobi, atau komunitas tongkrongan sehingga tercipta semacam ikatan solidaritas antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelompoknya. Pada kondisi ini, pelajar sangat rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif. Kepatuhan akan norma kelompok sangat kuat dan seringkali mendobrak tatanan sistem nilai yang terbangun baik di masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan ruang terbuka bagi berbagai kebudayaan belum secara kritis dihadapi pelajar. Bahkan cenderung semakin terbius oleh arus modernisasi yang dijadikan pilihan dan gaya hidup pelajar. Hal itu pada akhirnya menjungkirbalikkan pemahaman tanpa kritik kesadaran terhadap realitas yang terjadi. Perubahan yang kian hari terus bergerak tanpa mengindahkan elemen apa yang ada didalamnya semakin mendobrak apapun yang menghalanginya. Hal tersebut pada akirnya menciptakan mental pelajar lemah dan mudah menjadi korban kebijakan politik, objek politik, sasaran budaya konsumerisme, hedonisme dan permisif dalam pergaulan. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08 persen atau sekitar 1.318 siswa dari total 1.647.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa diantaranya meninggal dunia (ANTARA, Senin 30 November 2009). Perilaku aksi tawuran antar pelajar itu merupakan ekspresi nyata dari sikap intolerasi akibat kurangnya kepedulian sosial pelajar.
2
Aksi kekerasan pelajar tersebut secara politis mungkin berkelindan dengan ketidakadilan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Menurut Septi Gumiandari, sistem pendidikan dan kebijakan pemerintah yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral, yang kemudian bergesekan dengan kultur sosial masyarakat yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu (Jurnal Islam Indonesia: Volume 01, Nomor 01, Tahun 2009/1431). Kebijakan Ujian Nasional (UN) yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran di setiap daerah, dengan tujuan dapat dipetakan tingkat kemampuan sekolah sehingga dapat menentukan skala prioritas penanganan proses pendidikan. Tetapi banyak yang menilai UN melanggar hak-hak pelajar karena menjadi satu-satunya standar kelulusan. Selain itu, penyeragaman standar nilai secara nasional menimbulkan dampak sosial yang negatif dalam pelaksanaannya. Menurut Utomo Dananjaya: pelaksanaan UN selama ini telah mengancam dan menekan peserta didik kita sehingga dikategorikan melanggar HAM. Jadi memang harus dihentikan. Kasus gugatan penghentian UN telah diajukan pada 2006 oleh tim advokasi korban ujian nasional (Tekun). Pada 21 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakpus mengabulkan gugatan tersebut dan langsung diajukan banding oleh pihak tergugat. Namun Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan nomor 377/PDT/2007/PT.DKI kembali menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Perlawanan pemerintah kembali kandas setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan pemerintah dengan putusan MA No 2596 K/Pdt/2008 pada 14 September 2009 (thecrowdvoice.com http://www.thecrowdvoice.com/post/unharus-dihentikan-karena-langgar-ham-2885226.html). Fenomena yang tidak menarik adalah maraknya perilaku aksi bunuh diri akibat ketidakberdayaan dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Kisah sedih yang sangat dramatis itu sempat menyentil hati nurani bagi setiap orang yang mengetahui dan 3
membacanya. Seperti yang dirilis oleh harianjoglosemar.com pada sabtu 1 Mei 2010, mengisahkan berbagai peristiwa sedih yang dilakukan oleh pelajar. Salah satu korbannya adalah Wahyu Ningsih. Ia adalah siswi SMKN 1 Muara Jambi. Di sekolah, Ningsih dikenal sebagai siswi berprestasi, tetapi karena dilema UN ia nekat mengakhiri hidupnya pada Senin 26 April 2010 dengan meminum cairan pestisida, alasannya karena ia tidak lulus UN (Harian Joglo Semar, 2010 www.harianjoglosemar.com). Tindakan bunuh diri yang dilakukan Ningsih di Jambi merupakan salah satu dari puluhan serangkaian kasus lainnya yang dialami oleh pelajar di Indonesia. Fenomena tersebut merupakan bukti adanya ketidakberdayaan yang dialami oleh pelajar sehingga mereka kehilangan orientasi dan visi yang pada akhirnya mengambil jalan pintas, yaitu mengambil tindakan bunuh diri. Dalam kondisi seperti itu, pelajar seolah dihadapkan oleh kondisi yang serba sulit. Satu sisi mereka tidak bersepakat dengan aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, di sisi lain posisi mereka sebagai pelajar kurang mendapatkan perhatian dan cenderung dipandang sebelah mata, bahkan pemerintah seolah memandang pelajar tidak ada. Akibatnya para pelajar mengalami kehilangan jati dirinya, disorientasi dan frustasi karena kurang adanya ruang kebebasan untuk sekedar mencurahkan segala permasalahannya. Bagaimanapun pelajar merupakan bagian dari lapisan generasi muda yang tidak terpisahkan dari realitas sosial politik bangsa ini. Mereka dikenal sebagai tulang punggung masyarakat yang diberikan tugas untuk turut serta mengemban arah perbaikan masa depan bangsa ini. Oleh karena itu peranan pelajar sangat dinantinantikan oleh masyarakat. Peranan pelajar tersebut tidaklah dibatasi pada kewajiban
4
akademis dalam lingkungan sekolah saja, melainkan juga pada berbagai fungsi lain di masyarakat. Pelajar dituntut untuk secara kritis mampu terlibat lebih aktif dalam upaya pembangunan nasional, melalui proses belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan yang diiringi pula dengan kerja nyata di lingkungannya. Pengabdian pelajar di bidang pembangunan masyarakat ini dapat dimulai sejak dini melalui berbagai pelatihan dan aksi sosial dalam bentuk aplikasi karya dan bakti nyata dalam masyarakat. Peranan pelajar diharapkan mengisi ruang kosong dalam masyarakat, yakni berperan secara alamiah dalam kepeloporan dan kepemimpinan dengan menggerakan potensi dan sumber dayanya pada masyarakat. Kepeloporan dan kepemimpinan itu tidak hanya dimaknai dalam keterlibatan pelajar dalam lingkaran kekuasaan politik, akan tetapi sejatinya kepemimpinan menghasilkan jiwa kepeloporan dalam melakukan perubahan masyarakat menuju yang lebih baik meski tidak berada dalam kekuasaan yang strategis, sehingga kepeloporan itu dapat mengilhami masyarakat untuk termotivasi menjalani hidup dengan baik. Sebagai upaya untuk menarik peran serta dan partisipasi politik pelajar, diperlukan sarana dan fasilitas dan ruang belajar dalam menunjang keberlangsungan situasi demokrasi yang baik, tujuannya adalah mempersiapakan generasi bangsa dalam berprilaku dan bertindak demokratis melalui aktifitas menanamkan pada generasi muda pengetahuan, kesadaran, dan nilai-nilai demokrasi (Winarno, 2006: 82-83). Dalam bidang pendidikan sebenarnya pemerintah sudah menerapkan prinsipprinsip demokratis yang mengapresiasi peran serta pelajar dalam proses pendidikan. Sebagaimana tercantum dalam pasal (3) Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), menegaskan bahwa pendidikan nasional
5
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mencetak generasi bangsa yang mempunyai tanggung jawab moral dan komitmen tinggi bagi tercapainya cita-cita bangsa yang berkeadilan, demokratis dan sejahtera. Hal tersebut menuntuk berbagai institusi pendidikan seperti sekolah untuk mengambil peranan penting dalam menciptakan kultur yang demokratis sehingga potensi pelajar dapat berkembang. Agar pelajar memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial politik, tentu saja diperlukan pemberdayaan terhadap pelajar. Dengan adanya pemberdayaan pelajar diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada mereka, sehingga menumbuhkan peran aktif pelajar dalam setiap permasalahan yang memungkinkan hakhak dasarnya terganggu akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Peranan organisasi pelajar sebagai sebuah kekuatan dari kaum pelajar sendiri sangat potensial dalam melakukan gerakan sosial, di antaranya melalui pemberdayaan. Analisa ini sejalan dengan pendapat Paul (1987), ia berpendapat bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitable sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan” (Sedarmayanti, 2000: 78).
6
Pemberdayaan juga dinilai sebagai sebuah sarana untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia dengan menempatkan manusia sebagai aktor dari pembangunan (people centered), dengan cara meningkatkan kemampuan sumber daya masyarakat, mengembangkan
dan
mendinamiskan
potensinya,
atau
dengan
kata
lain,
memberdayakannya (Kartasasmita, 1996: 141). Tujuan dari pemberdayaan politik pelajar di orientasikan pada pemahaman dan kesadaran politik pelajar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, sehingga pelajar diharapkan ikut serta secara aktif dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan. Hal itu sangat berkaitan dengan sejauhmana pelajar terlibat dalam masalah-masalah politik dan mampu memaknai dirinya sendiri dan juga memaknai realitas sosial yang menyertainya (Rush dan Althoff , 2005: 122). Kompleksitas permasalahan yang telah diuraikan di atas, memberikan peluang bagi organisasi atau lembaga sosial lainnya dalam membantu meningkatkan pemberdayaan politik bagi pelajar. Organisasi dengan berbagai fasilitas yang dimiliki mempunyai potensi untuk memberikan pemberdayaan melalui ragam kegiatan dan dinamika di dalamnya. Mengingat permasalahan yang cukup kompleks, terlebih dampak dari arus globalisasi dan perubahan lingkungan yang cukup besar menjadikan tantangan tersendiri bagi organisasi untuk lebih menjalankan peranannya (Lina dan Lena, 2007: 124). Pelajar Islam Indonesia (kemudian disebut PII) merupakan organisasi pelajar tertua di Indonesia yang masih aktif diharapkan mampu berkontribusi dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pelajar mengenai politik yang menjadi basis anggotanya. Pelajar sebagaimana yang sudah dijelaskan, merupakan
7
bagian dari warga negara yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan sering dihadapkan oleh masalah-masalah politik. Fokus penelitian ini ditujukan pada wilayah PII Jakarta Raya, alasannya karena penulis melihat posisi Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia dan pusat kegiatan PII dalam melancarkan aksinya dan sekaligus menjadi barometer pergerakan PII secara nasional. Penulis mengambil periode 1998 – 2010 karena pada waktu itu selain terjadi peristiwa Reformasi, juga era kebangkitan kembali PII setelah lama tenggelam dari tidur panjangnya akibat tekanan politik Orde Baru. Di Indonesia juga terdapat beberapa organisasi pelajar, di antaranya: Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang dibawah naungan Muhammadiah, dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di bawah sayap Nahdlatul Ulama (NU). Dari beberapa organisasi pelajar tersebut, PII memiliki kelebihan tersendiri. Selain sebagai organisasi pelajar tertua di Indonesia yang hari ini masih eksis sebagai wadah pemberdayaan pelajar, PII juga merupakan organisasi independen yang menegaskan gerakannnya untuk tidak memiliki underbow mana pun, atau tidak memposisikan dirinya berada dalam naungan organisasi apapun sehingga PII dapat secara bebas melakukan aktifitasnya dan mencurahkan gagasannya untuk membangun serta mengembangkan organisasi. Dengan melihat uraian diatas penulis mengambil judul penelitian : Peran Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam Pemberdayaan Politik Pelajar (Studi Kasus PW PII Jakarta periode 1998-2010).
8
B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan masalah dalam penelitian dan penulisan skripsi ini adalah : a. Bagaimana pandangan PW PII Jakarta terhadap peran politik pelajar ? b. Apa strategi dan kegiatan yang dilakukan PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar ? c. Bagaimana respon pelajar terhadap pemberdayaan politik PW PII Jakarta d. Apa faktor pendukung dan penghambat PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab serta mengungkapkan hal-hal pokok yang terdapat dalam perumusan masalah. Dalam pembahasan bagaimana pandangan PW PII Jakarta terhadap peran politik pelajar di Jakarta diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai cara pandang PII terhadap peran politik pelajar. Selain itu, mengenai strategi dan kegiatan yang dilakukan PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar akan memberikan gambaran mengenai langkah-langkah dan strategi yang menjadi serangkaian proses dalam kegiatan pemberdayaan politik pelajar Sementara mengenai respon pelajar terhadap pemberdayaan politik PW PII Jakarta akan memberikan gambaran mengenai dampak atau hasil yang dirasakan langsung oleh pelajar sebagai objek dari pemberdayaan. Hal ini
9
kemudian akan menjadi analisa sejauh mana keberhasilan PW PII Jakarta dalam pelaksanaan pemberdayaan politik pelajar. Adapun faktor pendukung dan penghambat PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar akan memberikan gambaran dan analisa mengenai hal-hal yang secara signifikan memberikan dampak terhadap kesuksesan dalam merealisasikan berbagai kegiatan yang dilakukan, serta analisa mengenai hal-hal yang mampu menghambat realisasi kegiatannya. 2.
Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan tambahan literatur mengenai kajian sosiologi politik dan sejarah tentang gerakan pelajar, selain itu menjadi tambahan pengetahuan mengenai pemberdayaan politik pelajar yang dilakukan oleh organisasi pelajar. Secara akademis juga dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan referensi ilmu pengetahuan tentang konsep pemberdayaan dan strategi implementasinya bagi organisasi pelajar lainnya. b. Manfaat Praktis Diharapkan penelitian ini bisa menjadi masukan dan pertimbangan yang berguna bagi organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam menjalankan sebuah program dan menyusun konsep serta strategi dalam melakukan pemberdayaan politik terhadap pelajar dimasa yang akan datang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memotivasi organisasi
10
lainnya agar terinspirasi untuk melakukan peningkatan dalam hal pemberdayaan politik pelajar terhadap objek garapannya.
D. Tinjauan Pustaka Berdasarkan pengamatan penulis tentang kepustakaan yang berkaitan dengan yang akan dikaji, studi mengenai organisasi PII masih menggunakan perspektif historispolitis secara nasional pada era Orde Lama dan Orde Baru. Sementara sepengetahuan penulis kajian lokal mengenai Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta belum ada, tetapi penulis mendapatkan beberapa buku dan tesis yang menjelaskan tentang Pelajar Islam Indonesia yang bagi penulis membantu dalam proses penelitian ini.: Pertama, penelitian berupa tesis yang kemudian dijadikan buku berjudul Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-Bayang Negara; Studi Kasus Pelajar Islam Indonesia tahun 1980-1997, yang ditulis oleh Djayadi Hanan di Universitas Gajah Mada Tahun 1999. Berdasarkan penelitiannya Djayadi Hanan menekankan kerincian narasi yang bersifat kronologis dalam kasus Asas Tunggal, bagaimana peran pelajar Islam Indonesia dalam merespon konstelasi politik era Orde Baru pada kurun waktu 1980-an dan 1990-an. Pemerintah menetapkan UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang memaksa seluruh organisasi mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal. Kondisi tersebut mengakibatkan PII berada pada tekanan rezim Orde Baru karena pada tahun 1985 PII menolak dengan keras pemberlakuan asas tunggal tersebut dengan alasan ideologis. Dampak dari penolakan tersebut, status keorganiasian PII tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Akan tetapi, fenomena yang terjadi ketika pada
11
tahun 1995 secara resmi PII mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri dengan alasan pragmatis. Kedua, penelitian yang berjudul Student and Politics; the Response of the Pelajar Islam Indonesia (PII) to Politics in Indonesia. Tesis yang ditulis oleh Muhammad Wildan di Leiden University Tahun 1999. Dalam penelitian ini, Wildan membuat studi perbandingan dengan analisa gerakan sosial mengenai kekuatan politik di masyarakat yang direpresentasikan antara PII dengan organisasi-organisasi Islam lain dalam merespon asas tunggal. Diantara organisasi-organisasi Islam itu adalah NU, Muhammadiyah, Persis, dan HMI. Hasil penelitian ini menunjukan sikap PII yang secara konsisten mempertahankan idealismenya untuk menolak Pancasila sebagai asas dari organisasinya, dibandingkan dengan organisasi Islam lainnya yang berikap akomodatif. Sikap PII itu berdasarkan pada sistem kaderisasinya dalam berbagai training yang mengajarkan bahwa kekuasaan hanya berada di tangan Allah SWT. Ketiga, buku yang berjudul Gerakan Pemuda Berjuang KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang ditulis oleh Drs. Erwin M. Hasan, M. Psc. Dalam buku ini menceritakan secara kronologis tentang kontribusi gerakan pelajar yang berjuang dalam sebuah wadah Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada kurun waktu 1965 sampai dengan 1967. Pada saat itu KAPPI yang mayoritas anggotanya adalah aktifis PII ikut terlibat dalam berbagai aksi maupun gerakan fisik melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) terutama cengkraman dan ancaman kudeta dalam G-30-S PKI. Bahkan dalam buku ini menceritakan bahwa KAPPI sebagai gerakan pelajar ikut terlibat dalam perubahan kehidupan bangsa dan negara dan menghantarkan lahirnya Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
12
Keempat, buku yang bejudul Tafsir Asasi PII ; Darma Bakti Pelajar Islam Indonesia yang ditulis oleh H. Anton Timur Djaelani dan disahkan oleh Kongres PII ke5 di Kediri yang berlangsung pada tanggal 22-26 Februari 1956. Dalam buku ini menceritakan gerak sejarah PII dari masa ke masa dan upaya yang ditempuh dalam melaksanakan cita-citanya. Buku ini juga menjadi inspirasi dan rujukan bagi aktivis PII dalam melihat peran dan kedudukan PII sebagai organisasi pendidikan dan dakwah serta posisi stretgis PII dalam dinamika sosial politik yang menyertainya. Secara umum ke empat litarur diatas masih menekankan terhadap aspek historispolitis sebagai bentuk relasi PII dengan Orde Lama dan Orde Baru. Djayadi Hanan lebih fokus menceritakan situasi politik yang dialami oleh PII pada saat mengalami fase radikalisme
ideologis
karena
terpaan
politik
Orde
Baru,
terutama
ketika
diberlakukannya asas tunggal. Muhammad Wildan fokus studinya mengenai perbandingan sikap PII dengan organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam merespon asas tunggal Pancasila. Erwin M. Hasan fokus pada kontribusi gerakan pelajar dalam wadah Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada saat tragedi G-30-S PKI. Sementara itu, Anton Timur Djaelani menceritakan tentang gerak sejarah PII dari masa ke masa dan upaya yang ditempuh dalam melaksanakan cita-cita perjuangannya. Melihat kepustakaan yang telah disebutkan diatas, fokus studi mengenai pemberdayaan politik di wilayah PII Jakarta menerut peneliti belum ada. Dengan demikian, penulis berkeinginan membaca PII dari perspektif yang lain sebagai sebuah sumbangan literatur mengenai gerakan pelajar islam yang secara spesifik masih belum banyak yang membahas.
13
E. Kerangka Teoritis 1. Pengertian Pemberdayaan Pemberdayaan dalam bahasa Inggris disebut ”empowerment”. Kata ”power” dalam empowerment disebut "daya" sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Kata ”daya” merupakan kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat
dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar.
(Kartasasmita, 1996 http://www.ginandjar.com/public/12PowerdanEmpowerment.pdf). Sementara itu kata “empower” menurut Webster dalam Oxford English Dictionary mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority, dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai member kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain. Dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk member kemampuan atau keberdayaan (Sedarmayanti, 2000: 79). Menurut Edy Suharto, pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan, yang mana memiliki fokus atas kegiatan dalam memperkuat kekuasaan atau keberdayaan yang ada dalam diri seseorang. Pemberdayaan juga merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang dihadapinya (Suharto, 2005: 59-60). A.M.W
Pranaka
dan
Vidhyadika
Moelyarto
menempatkan
konsep
pemberdayaan sebagai bagian dari ”upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia dalam kerangka proses
14
aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab (Bachtiar dalam Nuril, 2008: 28). Dengan kata lain posisi pemberdayaan sebagai upaya menciptakan suasana memanusiakan manusia yang adil dan beradab sehingga masyarakat memiliki harkat dan martabat yang mengangkat eksistensi dirinya dalam kehidupan organisasi dan masyarakat. Selanjutnya, pemberdayaan menurut Ginanjar Kartasasmita adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1996: h.144). Pemberdayaan juga diartikan pemberdayaan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial dan hak-haknya, lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri dan kemampuan dalam berpartisipasi. Dalam hal pemberdayaan politik, Paul menjelaskan bahwa
pemberdayaan
berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitable sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan” (Sedarmayanti, 2000: 78). Jadi pemberdayaan dalam pembahasan ini adalah proses memberikan kekuasaan dan kemampuan kepada pelajar dalam serangkaian berbagai kegiatan dan pelatihan, dengan tujuan dan diorientasikan pada pemahaman dan kesadaran politik pelajar akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara.
15
2. Pelaksanaan Pemberdayaan Pemberdayaan dalam prosesnya mengandung dua kecenderungan, yaitu : pertama, proses yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan individu menjadi lebih berdaya. Dalam proses ini lebih produktif dan menundung kemandirian individu dalam organisasi. Kedua. Proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog atau musyarawah (Pranaka, 1966: 56). Hal yang paling terpenting dalam upaya pemberdayaan pelajar adalah dengan membangun kesadaran terhadap realitas sosial, sehingga tumbuh kemampuan atau daya, agar memastikan pelajar tersebut berdaya. Dalam mendukung kesadaran itu perlu adanya ruang aktualisasi yang menciptakan suasana kondusif dalam organisasi yang memungkinkan kesadaran pelajar itu terbangun. Selanjutnya, dengan memperkokoh kesadaran pelajar tersebut dengan berbagai simulasi dan aktifitas yang nyata dan memfasilitasinya berupa ruang untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dan aspirasinya. Dengan demikian, pelajar tidak hanya mengetahui dan memahami permasalahan, tetapi ikut terlibat secara aktif didalamnya.
3. Strategi Pemberdayaan Dalam melaksanakan pemberdayaan diperlukan langkah-langkah atau strategi pemberdayaan untuk memudahkan agar dalam pelaksanaannya lebih tepat sasaran. Strategi pemberdayaan berupaya untuk mendorong adanya perubahan sosial yang memungkinkan masyarakat bisa berdaya baik secara sosial ekonomi, budaya, politik,
16
maupun bidang kehidupan lainnya sehingga pemberdayaan dapat memacu pembangunan di Indonesia (Sumodiningrat, 1998: 153). Edy Suharto menerangkan setidaknya strategi pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting), yaitu Mikro, Mezo, dan Makro : 1). Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada Tugas (Task Centered Approach). 2).
Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok Klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Penddikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3). Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada system lingkungan yang lebih luas. Perumasan kebijakan, perencanaan social, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi system Besar memandang klien sebagai orangan yang memiliki kompetensi untuk
17
memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak (Suharto, 2005: 66).
4. Pengertian Politik Secara etimologis, politik berasal dari kata polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan (Kamarulzaman, 2005: 556). Pemikiran politik banyak terinspirasi oleh filsuf Yunani kuno, yakni Aristoteles yang memaknai politik sebagai inti dari kehidupan sosial.
Menurutnya, politik
merupakai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi (Budiarjo, 2008: 14). Pembahasan mengenai politik sangat luas dan tidak terbatas pada satu pemaknaan saja. Disana banyak sekali
ragam pemikiran dan pengertian yang
diungkapkan oleh para ahli yang mendefinisikan pengertian politik dengan perspektif yang beragam. Diantaranya : 1). Miriam Budiarjo mendefinisikan politik secara umum adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan yang harmonis.
18
2). Deliar Nur menyebutkan, ilmu politik memusatkan pada perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. 3). W.A Robson, menjelaskan ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, ... yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup, dan hasilhasil (Budiarjo, 2008: 15-20).
Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan politik
dalam suatu negara
berkaitan dengan kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan distribusi atau alokasi (allocation or distribution) (Budiarjo, 2008: 14). Namun demikian, politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara saja. Dalam beberapa hal, politik juga menyentuh pada wilayah aspek kehidupan sosial dalam kehidupan masyarakat.
5. Peran Politik Pelajar di Indonesia Pelajar dari sisi usia termasuk kategori remaja berkisar antara umur 15,0 atau 16,0 sampai 21,0 tahun, atau berlangsung saat individu matang secara seksual sampai mencapai usia matang secara hukum (Sabri, 2007: 25). Pelajar sebagai generasi muda Indonesia mempunyai jumlah yang signifikan untuk berperan dalam berbagai aktifitas politik di negeri ini. Tetapi realitas politik yang melanda negeri ini belum mampu memberikan contoh yang baik bagi masyarakat sehingga proses perjalanan demokrasi tidak mendapatkan apresiasi dari pelajar, bahkan mereka cenderung bersifat apolitik dan tidak peduli dengan permasalahan politik.
19
Politik yang menjadi pandangan umum masyarakat mungkin hanya berkutat pada wilayah kekuasaan, partai politik dan perebutan jabatan di berbagai tingkatan lembaga pemerintahan. Apalagi fenomena politik yang tersaji dari berbagai tayangan media massa tentang perilaku negatif para politisi semakin menegaskan buruknya citra politik di mata pelajar, sehingga sangat wajar apabila mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab sebagai wujud protes atau perlawanan terhadap fenomena politik yang sedang terjadi. Pemahaman mengenai politik menjadi sangat penting untuk menjelaskan bahwa pembahasan tentang politik itu sangat luas dan mencakup ruang lingkup kehidupan sosial. Mengerti politik bukan berarti pelajar diarahkan pada keikutsertaannya dalam politik praktis, seperti partai politik atau lembaga politik lainnya, tetapi
dengan meningkatkan partisipasi
pelajar dalam berbagai
permasalahan sosial, baik dalam bentuk forum-forum diskusi maupun aksi demonstrasi (Rush dan Althoff, 2005: 126). Dengan memiliki pemahaman politik, diharapkan akan menumbuhkan sikap kepekaan sosial dalam menghadapi berbagai macam permasalahan yang ada di sekitarnya dan memunculkan kepedulian sosial dalam merespon isu-isu sosial politik yang berkembang sebagai bentuk tanggung jawab sosial pelajar dan fungsi sosialnya di masyarakat. Dalam usia yang masih relatif muda, pelajar mempunyai sejarah yang gemilang dalam berbagai kiprah dan perjuangannya dalam berbagai dinamika sosial di Indonesia. Peran politik pelajar pada era pra-kemerdekaan lebih memiliki
20
orientasi dalam menyatukan identitas nasional sebagai anti-tesa atas kolonialisme penjajahan yang menguasai sendi-sendi kehidupan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, para pelajar yang bergabung dalam berbagai wadah pergerakan pelajar terlibat dalam perhelatan politik nasional dan ikut andil secara aktif dalam membangun pondasi politik dan persatuan bangsa dan berjuang bersama rakyat dalam melawan hegemoni kolonialisme penjajahan pada waktu itu yang menguasi berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia. Pada tahun 1908 lahir gerakan Boedi Oetomo dari lapisan generasi Soetomo yang memiliki momentumnya bagi lahirnya gerakan pemuda-pelajar nasional dan sebagai perintis pergerakan pelajar (Erwin, 2002: 9). Selanjutnya, Jong Islamieten Bond (JIB) didirikan pada tahun 1925 di Jakarta. Kelahiran JIB sebagai ungkapan kekecewaan terhadap Jong Java, dan merefleksikan persaingan dalam ruang publik dan marginalnya pelajar Islam (Latif, 2005: 306). Proyek historis JIB diorientasikan untuk “mengislamkan kaum terpelajar” yang berpendidikan Barat agar lebih dekat dengan umat Islam. Walaupun JIB merupakan representasi dari kalangan pelajar Islam, tetapi tetap mempunyai komitmen terhadap solidaritas nasional dan tidak mengurangi keterikatan dengan tujuan pembentukan sebuah blok (historis) nasional (Latif, 2005: 308). Pada tahun 1926, JIB mendirikan organisasi kepanduan yang bernama National Indonesische Padvinderij (Gerakan Pandu Nasional Indonesia), yang merupakan organisasi pertama pada waktu itu yang menggunakan kata-kata “nasional Indonesia”. JIB juga turut serta dalam keterlibatannya yang aktif dalam kongres pemuda ke dua pada bulan Oktober 1928 (Latif, 2005: 308). Secara umum,
21
para anggota JIB merupakan para pelajar atau mantan pelajar dari sekolah menengah dan lulusan dari sekolah dasar bisa bergabung dalam organisasi ini, terutama pada tahun 1930-an di antara anggota organisasi JIB terdapat mahasiswa (Latif, 2005: 308). Pada tahun 1934 didirikan Studenten Islam Studiesclub (SIS) di Jakarta, SIS adalah kelanjutan dari proyek gerakan JIB yang fokus terhadap perhimpunan pelajar di perguruan tinggi, SIS didirikan dengan sebuah kegelisahan para pendirinya akan kurangnya pemahaman tentang pengetahuan Islam diantara pelajar, sehingga orientasi gerakannya adalah dengan mengislamkan kaum terpelajar (Latif, 2005: 312). Kehadiran kedua gerakan pelajar tersebut mewarnai perkembangan gerakan-gerakan intelektual Muslim sepanjang abad ke-20 dan menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan pelajar selanjutnya.
F. Metodologi Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prodedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss, 2003: 4). Penelitian seperti ini bertumpu pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dasar dan bersifat deskriptif (Moloeng, 2000: 7). Adapun data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara berstruktur
22
yang dilakukan terhadap PW PII Jakarta periode 1998 - 2010. Sedangkan data sekunder didapat dari buku-buku, internet, jurnal dan karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini. 1. Waktu dan Tempat Observasi atau penelitian skripsi ini dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan di sekretariat PW PII Jakarta yang beralamat di Jl. Menteng Raya No.58 Jakarta Pusat. 2. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara. Dalam wawancara ini penulis melakukan wawancara kepada 12 orang yang memiliki keterkaitan dalam penelitian ini. Dari 12 orang itu sebanyak 7 orang dilakukan wawancara tatap muka dan 5 orang wawancara melalui telephone dan blackberry massanger (BBM). Wawancara dengan tatap muka diantaranya, 1. Ali Said (Ketua Umum PW PII Jakarta periode 1998-2000), 2. Rahmat Banu Widodo (Ketua Bidang PPO PW PII Jakarta periode 1998-200), 3. Shood Solehuddin (Komandan Brigade PW PII Jakarta periode 1999-2000), 4. M. Natsir (Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Jakarta periode 2000-2002), 5. Nuril Anwar (Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2002-2004), 6. Ahmad Basori (Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2006-2008), 7. Ahmad Fadhil (Ketua Bidang Eksternal PW PII Jakarta periode 2008-2010). Sementara itu wawancara melalui telephone dan blackberry massanger (BBM) diantaranya, 1. Yazid Qulbuddin (pelajar SMK 69 Persis Jakarta Barat), 2. M.Rifqi Syahrizal (pelajar MAN Karawang), 3. Eka Setiawati
23
(pelajar SMAN 1 Cikampek), 4. Nasrullah (Ketua Umum PW PII Jakarta priode 2004-2006), 5. Syahnan Tanjung (Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Jakarta periode 2004-2006). Wawancara informal dilakukan karena faktor ketersediaan waktu yang minim, kesibukan dan jarak yang menyulitkan untuk wawancara tatap muka. b. Studi Dokumentasi. Penulis melakukan studi dokumentasi yakni mengobservasi dokumen-dokumen yang memiliki keterkaitan dengan sumber data penelitian skripsi ini diantaranya buku, modul, laporan pertanggungjawaban, foto-foto kegiatan, dan sebagainya. 3. Analisis Data Setelah data dan informasi yang dibutuhkan cukup, kemudian data yang diperoleh tersebut ditelaah dan diolah dengan mereduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data yang didapat kemudian dipilah-pilah dan dikelompokan kedalam pola-pola, kategori-kategori atau tema-tema tertentu. Sajian data dan informasi penelitian diwujudkan dalam bentuk narasi-narasi deskriptif. Setelah analisa selesai kemudian ditarik kesimpulan (Moloeng, 2000: 24).
24
G. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Terdiri atas : Pernyataan masalah,
pertanyaan penelitian, tinjauan
pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, kajian teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II
GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) Terdiri atas : Konteks Sosiologis kelahiran Pelajar Islam Indonesia (PII), proses berdiri dan perkembangan Pelajar Islam Indonesia (PII), Tujuan dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII), kiprah dan perjuangan Pelajar Islam Indonesia (PII).
BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS DATA Terdiri atas : Pandangan PW PII Jakarta terhadap peran politik pelajar, strategi dan kegiatan pemberdayaan politik pelajar, respon pelajar terhadap pemberdayaan politik PW PII Jakarta, serta faktor pendukung dan penghambatan yang dihadapi PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Secara khusus berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi terhadap pokok-pokok permasalahan.
25
BAB II GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)
A. Konteks Sosiologis kelahiran Pelajar Islam Indonesia (PII) Faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda dan Jepang. Pada saat itu pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian, yaitu pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi “akhirat” sementara sekolah umum berorientasi “dunia”. Akibatnya para pelajar juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Akibat dualisme pendidikan tersebut, santri dari kalangan pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kebijakan kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan "Pelajar Kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional, mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri “teklekan". Menurut Anton Timur Djaelani (2000): Terpisahnya pelajar-pelajar madrasah atau pesantren dengan pelajar-pelajar sekolah umum itu adalah warisan zaman penjajahan. Lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran rakyat Islam berupa madrasah dan pesantren itu terpaksa mengisolir atau mengasingkan diri supaya mampu bertahan dalam menghadapi desakan pengaruh Barat (terutama Belanda) yang menganut paham serba benda (materialisme). Paham Barat yang demikian pada itulah yang menghilangkan segala cita susila (h.11).
26
Pada saat partai Kristen meraih kekuasaan pada Pemilu Belanda tahun 1901. Ratu Welhelmina dalam pesan tahunannya mengenai “utang budi” dan tanggung jawab etis negeri Belanda kepada rakyat Hindia yang disampaikan dihadapan Dewan Parlemen di tahun yang sama. Orientasi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda kepada Hindia kemudian dikenal sebagai “politik etis” yang kemudian digerakan oleh Van Deventer (Latif, 2005: 81). Semangat yang dibangun dalam kebijakan politik etis ini adalah bentuk tanggung jawab moral kolonial Belanda terhadap negeri jajahan Hindia, salah satunya dalam bentuk pendidikan. Tujuannya besarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan kaum pribumi dan memimpikan lahirnya kembali Hindia melalui perbaikan pendidikan yang terinspirasi oleh Barat (Latif, 2005: 82). Dalam era politik etis ini membawa dampak yang cukup signifikan terhadap Islam. Dalam pandangan Belanda, Islam merupakan sebuah kekuatan yang dapat mengancam berbagai bentuk kebijakan penjajahan yang ada di Indonesia. Ajaran Islam
memberikan
pandangan
dalam
kehidupan
sosial
melalui
doktrin
keagamaannya melalui Amar ma’ruf dan nahiy munkar yang memiliki dimensi revolusioner (Hannan, 2006: 48-49). Ajaran tersebut menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk selalu berbuat kebaikan dan memerangi segala bentuk kejahatan. Dengan ajaran itu, umat Islam yang disatukan oleh satu ikatan ketauhidan menyadari bahwa haikatnya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda merupakan sebuah bentuk kejahatan. Belanda merasa khawatir atas kekuatan dan ajaran Islam yang revolusioner itu. Tetapi berkat seorang ahli arab dan Islam, Christian Snouck Hurgronje, semua
27
kekhawatiran orang Belanda terhadap Islam itu berhasil diatasi. Dia melakukan pemetaan terhadap Islam sekaligus mengkritik asumsi-asumsi orang Belanda terhadap Islam. Snouck kemudian memberikan penjelasan bahwa Islam di kepulauan Hindia memiliki watak damai, walaupun dia juga menyadari adanya bahaya yang cukup potensial dari sekelompok kecil kalangan ulama fanatik yang terpengaruh oleh gagasan Pan-Islamisme (Latif, 2005: 82). Dengan kecerdasannya, Snouck mengajukan rekomendasi-rekomendasi kebijakan
terhadap
Islam
dalam
suatu
kerangka
kerja
yang
disebut
“splitsingstheorie” yang membagi Islam menjadi dua bagian, pertama, yaitu Islam yang bersifat keagamaan, dan yang kedua, Islam yang bersifat politik. Snouck memandang Islam yang bersifat keagamaan tidak berbahaya dan pemerintah Belanda harus menghormatinya, tetapi untuk bagian Islam yang bersifat politik harus disikapi secara tegas dan dihadapi dengan kekuatan sejak awal-awal kemunculannya (Latif, 2005: 82). Menurut H. Aqib Suminto dalam Hannan (2006:49), Pemerintah Belanda pada waktu itu memberikan tiga jenis kebijakan terhadap Islam. Pertama, kebijakan netral
agama.
Dari
kebijakan
ini
pada
awalnya
Pemerintah
Belanda
mempromosikan organisasi pendidikan berskala luas diatas landasan nilai-nilai universal dan bersifat netral secara keagamaan. Akan tetapi dalam perjalanannya kebijakan tersebut lebih mendorong para pelajar Islam dari kalangan bumiputera untuk menjauhkan dirinya dari ajaran Islam. Kedua, politik asosiasi kebudayaan. Dalam kebijakan ini ada sebuah dorongan kuat dari Pemerintah belanda untuk menciptakan “sebuah negara Belanda raya”, yang terdiri dari dua wilayah yang
28
terpisah secara geografis, tetapi merupakan bagian yang terkait secara spiritual. Artinya dalam bidang sosial dan kehidupan, pemerintah Belanda menghendaki agar para pelajar Islam dari kalangan bumiputera senafas dan seirama dengan kebudayaan Belanda, dengan jalan yang ditempuh melalui pemanfaatan adat dan asosiasi pendidikan. Dibalik kebijakan pemerintahan Belanda yang menerapkan pendidikan sekuler di bawah bendera politik etis, ternyata mempunyai misi kristenisasi, usaha tersebut dengan cara memperkenalkan sistem pendidikan modern a la Barat kepada masyarakat Hindia tertentu dilakukan oleh misi-misi Kristen. Sekolah dijadikan sebagai sarana untuk menyebarluaskan injil dan menarik pengikut Kristen baru dengan menjanjikan keuntungan-keuntungan bagi pengikut barunya itu. Seperti yang diungkapkan oleh Gavin W. Jones, “menjadi Kristen, juga berarti terbaratkan, dan pendidikan merupakan bagian integral dari westernisasi” (Latif, 2005: 87-88). Kondisi semacam itu mematahkan kebijakan politik netral agama yang dicetuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Masyarakat pribumi sendiri yang dari kalangan bangsawan muslim, pedagang muslim, dan keluarga yang masih kuat dan taat agamanya, lebih memilih untuk mempertahankan tradisi dan keyakinannya dengan cara mengirimkan anakanaknya untuk belajar di sekolah-sekolah Islam tradisional (seperti pesantren, surau, meunasah, dayah), atau ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah. Setelah Belanda, kini giliran Jepang yang mengambil alih komando penjajahan di bumi Indonesia. Dimulai pada saat penyerahan kedaulatan dari Gubernur Jenderal Garda Van Starkenborgh Stachhouwern kepada Jenderal
29
Imamura pada 8 Maret 1942. Berkhirnya penjajahan Belanda disambut dengan antusiasme masyarakat bumiputera. Tetapi apakah dengan kehadiran Jepang di Indonesia berarti segala permasalahan yang telah diwariskan hilang, tentu tidak demikian. Malah selama penjajahan baru yang dilakukan jepang pada kurun waktu 1942-1945 membawa cerita baru, kisah-kisah baru dalam halaman-halaman selanjutnya, terutama bagi kalangan Islam. Jepang yang pada awalnya mendapatkan simpati besar dari masyarakat yang ketika itu mendeklarasikan diri dengan semboyan 3 A (yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Pelindung Asia), lambat laun dalam perjalanannya berubah menjadi antipati. Hal itu karena kebijakan yang dilakukan Jepang terlalu keras dan fundamental bagi keberlangsungan keyakinan masyarakat Indonesia. Terdapat tiga langkah dan kebijakan yang dibuat Jepang yang membuat rakyat menarik simpatinya. Pertama, segera setelah berkuasa, Jepang memasukan kehendak untuk mengubah corak kebudayaan rakyat Indonesia. Semua sekolah harus bercorak Jepang dan yang tidak mematuhi akan dilarang kegiatannya. Kedua, Jepang melaksanakan kerja paksa (romusha) dan menjerat kaum perempuan Indonesia menjadi budak sex (jugun ianfu) bagi tentara Jepang. Ketiga, Jepang mewajibkan kepada setiap rakyat Indonesia untuk melakukan sekere yakni menyembah Tenno Heika (Kaisar Jepang) setiap pagi dengan cara menghadap ke arah negeri Jepang (Hanan, 2006: 51-52). Kebijakan Jepang tersebut mengundang reaksi besar dari kalangan umat Islam, terutama kebijakan menyembah Kaisar Jepang yang menurut ajaran Islam
30
adalah perbuatan musyrik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu penyembahan selain-Nya, dan hal itu merupakan dosa besar yang tidak dapat diampuni. Ternyata Jepang melakukan gaya yang hampir sama dengan Belanda dan juga mendapatkan protes serta perlawanan yang sama dari rakyat Indonesia.
B. Proses Kelahiran dan Perkembangan Pelajar Islam Indonesia (PII) Yoesdi Ghozali yang saat itu berstatus sebagai pelajar di STI Yogyakarta berkeinginan membuat sebuah wadah kepelajaran yang menampung seluruh kalangan. Ketika itu memang pelajar mempunyai wadah organisasi bernama Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) pada tanggal 27 September 1945, akan tetapi keberadaannya tidak mewakili kalangan “Islam” karena IPI berhaluan “umum” dan terindikasi didominasi aktivis sayap kiri (Latif, 2005: 429). Hasrat yang kuat untuk mendirikan wadah gerakan pelajar tersebut dimulai ketika Yoesdi Ghozali beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta tanggal 25 Februari 1947. Saat itu terlintas dalam pikirannya sebuah gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 11 Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam (Darban, 1976: 22). Pada tanggal 30 Maret-1April 1947 di gedung Mu‟allimin Yogyakarta dilaksanakan Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Dalam kesempatan
31
itu Yoesdi kembali menyuarakan gagasannya tersebut. Pada saat pembahasan kepelajaran, Yoesdi dipersilahkan untuk mempresentasikan gagasannya untuk membentuk wadah bagi pelajar Islam yang ketika itu dipimpin oleh Anton Timur Djaelani sebagai Pimpinan Pusat GPII Bagian Kepelajaran (Darban, 1976: 22). Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing. Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri yang mewakili Bagian Pelajar GPII. Sementara itu Ibrahim Zarkasji dan Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS). Dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta diwakili oleh Multazam dan Shawabi serta Dida Gursida dan Supomo NA yang mewakili Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947. Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei diperingati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.
32
Kata “siswa” tidak digunakan dalam penamaan organisasi PII karena berasal dari bahasa sansakerta. Selain itu, sudah ada kata siswa yang digunakan dalam istilah “mahasiswa”. (Jaelani, 2011: 21). Sementara itu, kata “mahasiswa” secara prinsip mempunyai makna yang sama yaitu pelajar. antara “mahasiswa” dan “pelajar” dalam bahasa Inggris memiliki terjemahan yang sama yakni “student”, sehingga secara implisit, PII menamakan semuanya sebagai pelajar. Tetapi, PII lebih diorientasikan sebagai organisasi untuk kelompok SD, SMP, dan SMA (Hannan, 2006: 58). Kelahiran PII yang eksis mewarnai kehidupan pelajar di sekolah-sekolah sempat mendapat kecurigaan di berbagai kalangan, yang mana PII dituduh memecah belah persatuan pelajar umum. Untuk menepis dugaan tersebut, pada tanggal 9 Juni 1947 disepakai “Perjanjian Malioboro” dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam perjanjian Malioboro itu, IPI berjanji akan menjelaskan bestaanrecht (hak hidup) organisasi Pelajar Islam Indonesia, kepada daerah-daerah dan cabang-cabangnya, jika diperlukan akan membantu berdirinya PII ditempattempat yang belum ada organisasi tersebut (Djaelani, 2000: 14). Dengan demikian, perjanjian itu meneguhkan keberadaan PII sebagai organisasi pelajar Islam dan disambut baik keberadaannya dan diberikan haknya untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Posisi PII sendiri mendapatkan tempat di hati masyarakat, terutama di madrasah-madrasah dan pesantren, sementara keberadaan IPI sendiri sulit diterima karena tidak mempunyai dasar agama Islam. Pada 20-25 Desember 1949 PII menyelenggarakan kongres pendahuluan di Yogyakarta, poin yang dibicarakan ketika itu adalah persiapan Konferensi Besar III
33
di Bandung pada 1950 dan upaya konsolidasi PII dan melebarkan sayap gerakan dakwahnya. Hasil keputusan dari pertemuan itu adalah bahwa hanya ada satu organisasi pelajar, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII) Setelah dilaksanakannya Kongres Pendahuluan PII di Yogyakarta, pada tahun yang sama dilaksanakan Kongres Muslimin Indonesia (KMI), yang mana dalam kegiatan itu PII sebagai salah satu panitia. Kegiatan KMI dihadiri oleh para ulama Indonesia yang memiliki basis massa pesantren sangat besar. Seperti K.H. Ali Maksum, K.H. Imam Zarkasyi, utusan ulama dari Aceh Teuku Daud Beureuh, dan lain-lain. Peluang itu tidak disia-siakan oleh PII untuk berdialog dan membicarakan strategi pelebaran dakwah PII di seluruh tanah air. Salah satu hasil keputusan dalam Kongres Muslimin Indonesia (KMI) adalah bahwa satu-satunya Organisasi Pelajar Islam adalah “Pelajar Islam Indonesia (PII)”, ketika itu PII mendapatkan momentumnya, terlebih pada saat Konferensi besar III di Bandung tanggal 27-31 Maret 1950 merupakan tonggak sejarah bagi PII. Tiga organisasi lokal, yaitu Pelajar Islam Indonesia Jakarta Raya, PERPINDO di Aceh, dan Pelajar Islam Makasar melebur dalam tubuh PII. Dengan demikian, PII pada saat itu merupakan organisasi pelajar terbesar di Indonesia dengan memiliki beberapa cabang di hampir seluruh Indonesia (Djaelani, 2000: 22). PII Jakarta secara wilayah administratif terbentang dari Tangerang sampai Subang. Wilayah binaan PII selain Provinsi DKI Jakarta sendiri, juga mengambil wilayah eks Karesidenan Purwakarta di Jawa Barat, juga mengambil sebagian wilayah Provinsi Banten. Dengan luasnya garapan binaan PII Jakarta, kultur dan
34
karakter
yang beragam
menjadi
warna dan keunikan tersendiri
dalam
kepengurusan. Wilayah garapan PW PII Jakarta di Provinsi DKI Jakarta diantaranya, Pengurus Daerah PII Jakarta Pusat, Pengurus Daerah PII Jakarta Timur, Pengurus Daerah PII Jakarta Utara, Pengurus Daerah PII Jakarta Barat, Pengurus Daerah PII Jakarta Selatan dan Pengurus PII Kepulauan Seribu. Pada wilayah Provinsi Jawa Barat, meliputi Pengurus Daerah PII Karawang, Pengurus Daerah PII Purwakarta, Pengurus Daerah PII Subang, Pengurus Daerah PII Kota Bekasi, Pengurus Daerah PII Kabupaten Bekasi, dan Pengurus PII Kota Depok. Selain itu, sebagian wilayah Provinsi Banten diantaranya Pengurus Daerah PII Kota Tangerang Selatan, Pengurus Daerah PII Kota Tangerang, dan Pengurus Daerah PII Batu Ceper (Wawancara dengan Ahmad Fadil pada 19 April 2013).
C. Tujuan dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII) Pelajar Islam Indonesia (PII) mempertegas peranan dan eksistensinya sebagai organisasi berbasis pelajar yang konsen terhadap pendidikan dan dakwah dan kebudayaan. Sebagai implementasinya, PII menggariskan tujuan organisasi yaitu: “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia” (PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2004: 137). Pada mulanya tujuan PII adalah, "Kesempurnaan pendidikan dan pengajaran bagi seluruh anggotanya." Dalam Kongres I PII, 14-16 Juli 1947 di Solo tujuan tersebut diperluas menjadi "Kesempurnaan pengajaran dan pendidikan yang sesuai
35
dengan Islam bagi Republik Indonesia." Akhirnya tujuan tersebut semakin universal dengan perubahan lagi pada Kongres VII tahun 1958 di Palembang menjadi "Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia." Rumusan tujuan PII hasil Kongres VII terse-but yang digunakan sampai sekarang ini sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) PII Bab IV pasal 4 (PB PII Dokumen Sejarah PII, 2010: 2). Pada tujuan ini terdapat dua hal yang ingin dicapai oleh PII, yakni kesempurnaan pendidikan dan kesempurnaan kebudayaan. Kedua komponen tersebut merujuk pada Islam Islam sebagai sumber nilai dan pandangan dunia, sedangkan segenap rakyat Indonesia dan umat manusia adalah setting sosio-historis atau wilayah dakwahnya.Untuk mewujudkan tujuannya, usaha yang dilakukan PII sesuai dengan Bab VI Pasal 7, adalah : a. Mendidik anggotanya menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT b. Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan untuk memahami, mengkaji, mengapresiasi, dan melaksanakan ajaran serta tuntunan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat c. Mencetak kader-kader pemimpin yang memiliki pandangan hidup Islami, keluasan pandangan global, dan berkpribadian muslim dalam segala bidang kehidupan d. Mendidik anggotanya untuk memiliki dan memelihara jiwa independen yang tangguh
36
e. Membina mental dan menumbuhkan apresiasi keilmuan serta kebudayaan yang sesuai dengan Islam f. Menumbuh-kembangkan semangat dan kemampuan anggota untuk mengikuti,
menguasai,
dan
memanfaatkan
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan ummat manusia g. Mengembangkan kecerdasan, kreativitas, keterampilan, minat, dan bakat anggotanya h. Membantu dalam pemenuhan dan pengembangan minat, bakat, dan potensi masyarakat pelajar i. Membela hak-hak dan mengatasi problematika pelajar j. Menyelenggarakan kegiatan sosial untuk kepentingan Islam dan umat Islam serta manusia pada umumnya (PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2006: 162).
E. Kiprah Pelajar Islam Indonesia (PII) Dalam Pemberdayaan Politik Pelajar 1. Pelajar Islam Indonesia di era Orde Lama Sebagai organisasi pelajar tertua di Indonesia yang saat ini masih eksis, dalam sejarahnya PII turut terlibat dalam dinamika sosial politik bangsa, hal tersebut turut mewarnai perjuangan PII dalam aktifitas organisasinya. Tidak lama setelah berdirinya PII, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer I yang berusaha mencoba merebut kembali tanah air Indonesia. Ketika itu PII dihadapkan oleh situasi yang mengharuskan diri ikut terlibat dalam perjuangan fisik melawan kolonial Belanda. Anggota-anggota PII pun
37
banyak yang bergabung ke Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Tentara Pelajar, Mujahidin, Angkatan Perang Sabil, dan sebagainya (Hannan, 2006: 61). Kondisi negara yang sedang terancam kedaulatannya itu memaksa PII untuk merubah model perjuangannya, dari perjuangan menggunakan pena menjadi perjuangan yang menggunakan bedil di medan tempur (Djaelani, 2000: 9). Dalam kondisi seperti itu, PII membentuk Korps Brigade PII dalam Konferensi Besar yang ke-1 di Ponorogo pada 6 November 1947 yang dipimpin oleh Abdul Fattah Permana. Untuk memperkokoh perjuangan akibat agresi Belanda tersebut, PII ikut membentuk “Front Pelajar” pada tanggal 17 November 1947 (Djaelani, 2000: 17). Brigade PII berfungsi sebagai sarana penyaluran minat pelajar pada dunia ketentaraan, ia merupakan salah satu dari pasukan rakyat yang berjuang melawan penjajah. Brigade PII berjuang saling bahu membahu dengan saudara perjuangan lainnya seperti : TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI Hizbullah, BPRI (Baris dan Pemberontakan RI), TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur) Sabilillah, Tentara pelajar ketentaraan IPPI, TPI (Tentara Pelajar Islam Aceh), CM Corps- Mahasiswa, CP ( Corps Pelajar Solo ) dan lain sebagainya (PB PII Dokumen Sejarah PII, 2010: 6). Pada saat itu Brigade PII ikut serta dalam agresi militer I dan II dan bergerilya ke pelosok-pelosok mendampingi panglima besar Jenderal Sudirman. Dengan konsistensi perjuangan yang dilakukan PII dalam mempertahankan kedaulatan negara, hal itu menunjukan bahwa PII merupakan organisasi pelajar
38
yang terlahir dari rahim revolusi, PII mengkonsolidasi kekuatan pelajar di seluruh Indonesia, meninggalkan bangku sekolah dan bersama barisan rakyat melawan segala bentuk penjajahan baru di Indonesia. Atas perjuangan PII, secara khusus Jenderal Sudirman mengapresiasi peranan PII dalam pidatonya pada peringatan Hari Bangkit I PII tahun 1948 di Yogyakarta. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku di PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara. Teruskan perjuanganmu. Hai anak-anakku Pelajar Islam Indonesia. “Negara di dalam penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia (Djaelani, 2000: 8). Ketika kondisi negara dalam keadaan genting karena agresi Belanda, PII kembali terlibat dalam pergulatan politik bangsa Indonesia, kali ini perjuangan menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mencoba merongrong stabilitas politik Indonesia. Djayani Hanan membagi tiga peristiwa penting yang merepresentasikan hubungan antagonistik antara PII dengan PKI (Hannan, 2006: 66-67). Pertama peristiwa pemberontakan dan pembantaian terhadap ratusan Kyai, ulama, dan pemimpin rakyat oleh PKI-Musso dan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 18 September 1948 di Madiun. Dalam pemberontakan itu, menurut Hanan, PKI sedang melakukan test case untuk melakukan program politiknya. Barisan Brigade PII yang ketika itu baru dibentuk ikut berhadapan langsung melakukan perlawanan dengan PKI. Dalam perlawanannya yang keras, komanandan Brigade PII Madiun, Suryosugito yang masih berstatus pelajar SMP gugur dan kemudian disemayamkan di Taman Makan Pahlawan Madiun.
39
Peristiwa kedua adalah teror Kanigoro yang berlangsung pada waktu subuh di awal Ramadhan 1385 H atau 13 Januari 1965 M. Pada saat itu sebanyak ribuan kader PKI, Pemuda Rakyat, dan BTI (Barisan Tani Indonesia) menyerbu 127 kader PII yang sedang melaksanakan mental training di Desa Kanigoro, Kecamatan Keras, Kabupaten Kediri. Dalam serangan tersebut PKI menuduh PII melaksanakan pertemuan terlarang yang subversif (Hannan, 2006: 69). Menurut Anis Abiyoso, peristiwa Kanigoro dapat dikatakan istimewa karena pelaksanaan penyerbuan arena training PII itu diawasi oleh tokoh Central Comite PKI yakni Nyoto. Ia menyimpulkan bahwa sasaran akhir PKI adalah menghancurkan PII secara total (Hannan, 2006: 69). PII pada awal-awal didirikan sudah mempunyai kedekatan dengan militer, terutama Jenderal Sudirman, PII bersama militer yang anti-komunis ikut terlibat dalam penuntasan PKI. Kerjasama PII dan ABRI dimulai pada tahun 1963, dalam bentuk penyelenggaraan transmigrasi pemuda-pelajar ke lampung. Pada kurun waktu 1963-1964 PII menjalin kerjasama dengan ABRI dalam bentuk latihan militer Brigade PII dan dibekali kemampuan intelijen. Kader PII yang sudah dilatih kemiliteran secara penuh diberikan tugas di berbagai tempat pada saat meletus G-30-S PKI, bahkan ada diantaranya berjaga di Markas Besar ABRI di Jalan Merdeka Barat (Hannan, 2006:72-73). Peristiwa ketiga adalah Gerakan 30 Septempember / G-30-S/PKI. Sebelum terjadi pemberontakan, pada tanggal 20-25 Agustus 1963 PII melakukan analisis tentang bahaya komunis. PII merasa yakin bahwa suatu saat nanti PKI akan melakukan gerakan politik berupa kudeta. Tetapi analisis yang dilakukan PII
40
memperkirakan pemberontakan tersebut terjadi sekitar tahun 1970. Dalam merespon kemungkinan dampak buruk akibat pemberontakan itu, secara internal PII melakukan penguatan basis-basis militansi kader, sistem kaderisasi, penyiapan dan penguatan struktur pendukung seperti Brigade PII (Hannan, 2006:70-71). Pada saat memanasnya isu PKI, lahir berbagai kesatuan aksi yang turut serta menghalau pergerakan PKI, diantaranya dari kalangan mahasiswa lahir Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didirikan pada tanggal 25 Oktober 1965, sementara itu dari kalangan pelajar lahir Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) yang penggeraknya adalah kader PII. Pendirian KAPPI dilaksanakan setelah tiga kali rapat di Markas Besar PII Menteng Raya 58 dan SMEA di Kebayoran, Jakarta Selatan pada tanggal 23 Desember 1965. Pembentukan KAPPI dihadiri oleh PII sebagai tuan rumah dan pengundang, IPPI-Pancasila, Ikatan Pelajar Ekonomi (IPE), Ikatan Pelajar (IP) AlWashliyah, IP Al-Irsyad, IP Mathlaul Anwar, Gerakan Siswa Nasional Indonesia (Osa-Usep/Osa Maliki-Usep Ranawidjaja), Persatuan Pelajar Sekolah Katholik (PPSK), Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Persatuan Pelajar Kristen Indonesia (PERPEKI), dan Ikatan Pelajar Puteri (Hannan, 2006:77). KAPPI dipimpin oleh Moh. Husni Thamrin dari PII dan sekretaris jenderal Abdul Kahar Dangka dari IPPI-Pancasila. Sesaat setelah didirikan, KAPPI sudah terlibat berbagai gerakan aksi massa, pada tanggal 8 Maret 1966, KAPPI bekerjasama dengan Laskar Arif Rahman Hakim menduduki Departemen Luar Negeri. Gerakan KAPPI terus berkembang dan menyebar ke daerah-daerah dibantu oleh jaringan PII yang sudah tersebar luas (Rizal, 1993: 33). Aktor
41
penting dalam pergerakan di KAPPI Jaya adalah Anhari Achadi, Oo Cholis Rohendi, Gomsoni yasin, M. Najib, Maryati Nasution, Titi Nurhayati, Ruminah ER dan lain-lain (Erwin, 2002: 127). Pada tanggal 30 Maret 1966 kabinet Dwikora (Dwi Komando Rakyak) dilantik sebagai jawaban dari Soekarno terhadap Tiga Tuntutan Rakyat (TRITURA) yang populer sejak tanggal 10 Januari 1966. Isi TRITURA itu adalah, pembubaran PKI, Pembersihan Kabinet dari unsur-unsur PKI, dan penurunan harga / perbaikan ekonomi (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: 404). Respon atas situasi tersebut mengundang reaksi kekecewaan dari berbagai kesatuan aksi, termasuk KAPPI dan melakukan demontrasi untuk menuntut pelaksanaan Sidang Istimewa MPRS IV agar mengoreksi total segala penyelewengan yang terjadi di pemerintahan (Hannan, 2006: 79). Pada tanggal 24-31 Mei 1966 di Senayan, Jakarta, KAPPI melaksanakan Musyawarah Luar Biasa, Anhari Achadi hadir sebagai perwakilan KAPPI Jaya. Pada saat itu KAPPI merancang transformasi gerakan massa menjadi gerakan rakyat, gerakan itu mendapat perhatian dari pelajar-pelajar SD, SLTP, dan SLTA yang ikut serta terlibat dalam gerakan KAPPI dan didampingi oleh guru-gurunya yang juga menghimpun dalam KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia). Dalam serangkaian aksi gerakan rakyat yang dimotori oleh KAPPI dan KAMI berhasil mengantarkan perubahan hingga terbentuk rezim Orde Baru dalam sidang MPRS, Soekarno diturunkan dari Presiden dan digantikan oleh Soeharto sebagai Pejabat Presiden (Hannan, 2006: 80).
42
2. Pelajar Islam Indonesia di era Orde Baru Pada era Orde Baru, PII mendapatkan banyak ujian terutama dalam berhadapan dengan negara yang ketika itu sangat dominan di berbagai sisi kehidupan, sehingga memaksa PII berhadapan langsung dengan negara dan tentunya hal itu berimpplikasi langsung bagi eksistensi PII sendiri. Lahirnya rezim Orde Baru, menurut Hannan terjadi karena pada saat itu kondisi negara yang sedang mengalami krisis ekonomi dan politik yang diwariskan oleh rezim demokrasi terpimpin Soekarno (Hannan, 2006: 83-84). Dalam masalah ekonomi terjadi inflasi pada tahun 1965 mencapai 500% dan harga beras naik 900%. Defisit anggaran belanja pada tahun itu mencapai 300% dari pemasukan. Disamping itu rezim demokrasi terpimpin meninggalkan hutang negara sejumlah US$ 2.356 juta, diantaranya 42% kepada Uni Sovyet, 10% kepada Jepang, dan 7,5% kepada Amerika Serikat (Aminuddin, 1999: 72). Dalam masalah politik terjadi pertarungan ideologi dari masing-masing kelompok yang terorganisir untuk memaksanakan penerapan ideologinya sebagai asas negara. Diantaranya ketika percobaan kudeta yang dilaksanakan oleh PKI dalam serangan maut G 30 S PKI pada tahun 1965, akan tetapi upaya itu gagal. Konflik ideologi yang sudah mengakar pada kenyataannya terus berlangsung dan menghiasi dinamika sosial politik di Indonesia. Dalam mencegah meluasnya konflik sosial yang berdasarkan ideologi itu, menurut Ali Moertopo, pada waktu itu Soeharto menerapkan kebijakan untuk menciptakan politik yang bebas dari konflik ideologis, berdasarkan ketertiban dan kesepakatan (Hannan, 2006: 86).
43
Kebijakan ini menghasilkan penyederhanaan partai politik, sebagai landasan hukumnya pemerintah Orde Baru menerbitkanlah UU No. 3 Tahun 1975 yang memposisikan partai politik ke dalam tiga partai, yaitu PPP, Golkar dan PDI (Mulkan, 1989: 87). Partai-partai Islam seperti NU, PERTI, PSII, Parmusi mengalami difusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Selanjutnya pemerintah Orde Baru membatasi partisipasi politik yang pluralistik. Partisipasi masyarakat lebih diorientasikan pada arah program pembangunan ekonomi. Melihat gelagat kurang bersahabat yang ditampilkan oleh pemerintah Orde Baru, umat Islam merasa kecewa, bukan hanya karena tidak diakomodir kepentingan dan aspirasi politiknya, juga sebuah kekecewaan karena kalangan umat Islam memiliki peran yang cukup besar dalam awal pembentukan Orde Baru. Akibatnya, situasi mulai memanas dan pada akhirnya terjadi konfrontasi antara umat Islam dan negara. Pada tahun 1980-an merupakan puncak dari pemusatan kekuasaan pemerintah Orde Baru. Berbagai permasalahan pembangunan ekonomi, stabilitas keamanan, tipologi elit yang berkuasa, pengembangan ideologi, dan ketersediaan sumbersumber kekuasaan ketika itu telah membuat rezim Orde Baru seolah-olah bagian otonom dan terpisah dari rakyatnya. Dalam keadaan demikian, rakyat seolah-olah tidak dapat menyentuh, apalagi mengontrol pemerintahan (Hannan, 2006: 123). Keterlibatan PII dalam arus politik di era Orde Baru dimulai ketika pemerintah mengeluarkan RUU Perkawinan tahun 1973. RUU perkawinan itu dinilai bertentangan dengan ajaran Islam dan memuat agenda pemisahan umat
44
Islam dengan ajaran Islam. Sebagai bentuk protes atas lahirnya RUU Perkawinan itu, PII mempelopori pembentukan Badan Kontak Generasi Pelajar Islam (BKGPI) yang dipimpin oleh Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Jakarta, A. Yunani Aloetsyah. Anggota yang berhimpun dalam BKGPI ini adalah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Pelajar Al-Wasliyah dan Ikatan Pelajar Mathlaul Anwar (Hannan, 2006: 117). Pada 27 September 1973, massa BKGPI berhasil menduduki Gedung DPR RI lebih dari dua jam pada saat pelaksanaan sidang RUU Perkawinan. Mereka meminta diberikan kesempatan untuk bicara menyampaikan pendapatnya kepada Menteri Agama dan Menteri Kehakiman yang hadir dalam sidang, tetapi aparat keamanan menghalau massa BKPGI dan berhasil memukul mundur sampai ke luar ruangan (Hannan, 2006: 118). Pada era sebelum 1998 ini, kondisi PII tidak begitu aktif menjalankan aktivitasnya dalam pemberdayaan kepada pelajar. Hal itu karena posisi saat itu menjadi organisasi terlarang akibat sikap politiknya menentang kebijakan pemerintah Orde Baru. Pada waktu itu PII dilarang menjalankan aktivitvitasnya di sekolah dan memaksa bergerak di bawah tanah. Rezim Orde Baru pada saat itu dengan alat kekuasaannya secara leluasa mengontrol dan menekan berbagai elemen sosial yang berpotensi oposan untuk membangun
legitimasi
kekuasaan
yang
kokoh.
Di
antaranya
dengan
mengeluarkan kebijakan depolitisasi gerakan pelajar dan mahasiswa. Melalui Mendikbud yang saat itu dijabat oleh Daoed Joesoef, pemerintah mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dalam SK Mendikbud No.
45
0156/V/1978 pada tanggal 19 April 1978 yang menyatakan bahwa aktivitas dan ekspresi politik mahasiswa di dalam kampus adalah tidak sah serta hanya mengijinkan adanya diskusi akademik tentang subjek politik (Suharsih dan Ign Mahendra K, 2007: 86-87). Kebijakan tersebut beriringan dengan adanya upaya pembungkaman daya kritis pelajar secara sistematis melalui TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Strategi Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda. Sebuah kebijakan yang menegaskan bahwa satu-satunya organisasi yang sah dan diakusi di sekolah hanyalah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Keputusan tersebut kemudian diteruskan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0323/U/1978 tentang Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda (Dwiwibawa dan Theo Riyanto, 2008: 25). Selain PII, di Indonesia juga terdapat beberapa organisasi pelajar yang mendapatkan langsung kebijakan ini, seperti Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Sebelum adanya OSIS dan kebijakan yang melarang organisasi ekstra sekolah, para pelajar bebas memilih dan mengikuti berbagai organisasi yang ada pada saat itu. Semenjak dibentuk OSIS, keberadaan organisasi ekstra sekolah seperti PII, IPM, IPNU, IPPNU tergusur dari pergaulan pelajar di sekolah. Politik kebijakan tersebut berefek pada penyempitan ruang gerak pelajar untuk bebas berserikat, pemosisian pelajar menjadi objek kebijakan, bukan subyek dan lemahnya daya tawar antara pelajar dengan aparatus pendidikan di sekolah.
46
Selain depolitisasi terhadap mahasiswa dan pelajar, pemerintah Orde Baru juga menerapkan kebijakan pelarangan organisasi massa yang berasaskan Islam melalui instrumen UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada BAB II pasal 1 berbunyi bahwa “Organisasi kemasyarakatan berazaskan Pancasila sebagai satu-satunya azas” (Karim, 1997: 127). PII termasuk diantara organisasi pelajar yang menolak tegas diberlakukannya asas tunggal karena secara konsisten terhadap asas Islam sebagai dasar organisasi. Sikap PII yang keras itu mengundang kecaman dari pemerintah, tetapi PII dengan konsisten teguh dengan pendiriannya. Sikap PII tersebut berdasarkan pada keputusan Muktamar PII pada tahun 1986 di Jakarta yang memutuskan, bahwa PII menerima Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah negara Indonesia, sebagai konsensus nasional dan landasan bersama untuk negara yang mengikat segenap aliran dan golongan, akan tetapi PII menolak menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai dalam aktifitasnya, karena menurut PII Islam sudah cukup sebagai sumber nilai setiap gerakannya (Tausikal dalam Thamrin, 1998: 52). Akibat sikap PII yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, Menteri Dalam Negeri RI yang saat itu dijabat oleh Soepadjo Rustam atas nama pemerintah mengeluarkan SK No. 120 tahun 1987 tentang Organisasi Kemasyarakatan Pelajar Islam Indonesia tertanggal 10 Desember 1987, yang menyatakan "PII tidak diakui keberadaannya karena tidak memenuhi persyaratan undang-undang dan semua kegiatan yang mengatasnamakan Pelajar Islam Indonesia (PII) dinyatakan dilarang (Tempo, 1988: 34).
47
Situasi politik yang menerpa gerakan pelajar pada era Orde Baru tersebut mengakibatkan kekosongan gerakan di kalangan pelajar. Pada saat itu berbagai organisasi pelajar dilarang keberadaannya di sekolah-sekolah. Kekosongan gerakan pelajar di sekolah akibat kebijakan rezim otoriter tersebut secara langsung mematikan aktifitas politik pelajar, selanjutnya pelajar dipaksa untuk kembali ke sekolah dan ikut dalam permainan sistem penguasa. Pelajar dilarang melakukan kritik terhadap berbagai situasi sosial, sementara organisasi yang menaungi para pelajar tersebut dibubarkan. Situasi politik yang menerpa PII pada era Orde Baru tersebut memaksa PII bergerak di bawah tanah karena keberadaannya dilarang untuk melaksanakan aktifitas pemberdayaan di sekolah-sekolah. Akibat pelarangan itu, berdampak pula pada gerakan PII di Jakarta. Saat itu terjadi penurunan aktifitas yang berdampak pada merosotnya kuantitas basis PII dan kualitas struktur di setiap daerah. Respon atas pembubaran PII yang secara signifikan berpengaruh pada kaderisasi dan eksistensi organisasi agar tetap eksis, ketika itu PW PII Jakarta mencari format baru gerakannya. Analisa itu disesuaikan dengan melihat PP No. 18 tahun 1986 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Perhimpunan yang bersifat kekerabatan yang mempunyai kegiatan, tujuan yang bersifat sementara, serta keanggotaan yang bersifat longgar misalnya arisan tidak termasuk pengertian organisasi kemasyarakatan”. Oleh karena itu, dengan inisiatif pengurus, PII di Jakarta kala itu berubah namanya menjadi Forum Pembinaan Pribadi Muslim (FPPM). (sesuai dengan keterangan dari Rahmad Banu Widodo, 20 Mei 2013).
48
Walaupun organisasi PII dinyatakan dilarang keberadaannya oleh pemerintah, tetapi saat itu tidak menghilangkan aktivitas pemberdayaan di kalangan pelajar. Forum-forum musyawarah dan pergantian kepengurusan tetap berjalan, sementara pada aspek pemberdayaan yang dilakukan hanya terfokus pada kajian-kajian internal dan kegiatan training, sementara merepon isu-isu eksterbak relatif tidak dilakukan.
49
BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN
A. Pandangan PW PII Jakarta Terhadap Peran Politik Pelajar Pandangan negatif terkait peran politik pelajar merupakan hasil konstruksi sosial dari kebijakan politik orde baru yang melarang pelajar aktif pada wilayah politik dalam upaya mengkritisi kebijakan pemerintah. Pelajar diposisikan sebagai anak kecil yang tugasnya belajar dan hanya berkutat pada wilayah akademis, sementara politik diasumsikan sebagai konsumsi orang dewasa. Lemahnya perhatian pemerintah pada wilayah kebijakan makro terhadap pelajar berdampak secara nyata menyurutkan perhatian pelajar terhadap politik yang menjadi bagian dari peran dan fungsinya dalam masyarakat. Padahal dalam realitas sejarah menunjukan bahwa gerakan pelajar mempunyai kontribusi yang besar dalam pembangunan bangsa, terutama dalam kiprah dan perjuangannya yang mewarnai dinamika sosial politik di Indonesia. Pandangan PII terhadap peran politik pelajar tersirat dari kata “pelajar” di awal nama organisasinya. Hal tersebut menjadi ciri dan karakteristik gerakannya sebagai organisasi yang fokus terhadap permasalahan pelajar. Oleh karena itu PII mempunyai penafsiran tersendiri dalam mendefinisikan pelajar yang dirangkum dalam sebuah sebuah komitmen kepelajaran, yakni: 1. Pelajar sebagai sebuah entitas sosial Pelajar merupakan representasi dari lapisan sosial yang berjumlah massa sangat besar, oleh karena itu keberadaannya harus menjadi realitas
50
yang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan sosial (public policy making). Selain itu, pelajar merupakan representasi dari generasi pemimpin masa depan, dengan demikian posisi pelajar dalam sebuah negara menjadi komponen terpenting di dalamnya. Pelajar sebagai bagian dari entitas sosial, memiliki konsep yang tidak saja bermakna secara sosial, tetapi juga politis. Dari sisi sosial, pelajar merunjuk kepada sebuah entitas yang eksistensinya terkait dengan proses belajar dan masuk dalam daur dunia pendidikan. Secara politis keberadaannya mewakili komunitas terdidik dan relatif berperadaban sehingga peranannya dalam proses perubahan sosial menjadi sebuah keniscayaan. 2. Pelajar sebagai subjek pendidikan, kebudayaan, dan subjek transformasi pendidikan dan kebudayaan Posisi pelajar sebagai komunitas terdidik selayaknya diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasinya dalam merumuskan sebuah kebijakan. Pada wilayah pendidikan misalnya, pelajar harus diposisikan sebagai subjek dari pendidikan itu sendiri, hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan mengenai pendidikan pelajar turut dilibatkan sehingga dapat menjadi daya tawar antara pelajar dengan aparatus di sekolahnya mau pun pemerintah. Sementara itu, dengan menempatkan pelajar sebagai subjek dari kebudayaan, akan menumbuhkan kesadaran kritis (critical consciousness) pada diri pelajar terhadap kooptasi budaya massa (mass culture) (PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2006: 143).
51
Dengan menempatkan pelajar sebagai subjek pendidikan dan kebudayaan, pelajar akan mampu menjadi subjek perubahan yang memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap tugas dan fungsinya sebagai pelajar serta partisipasinya dalam melakukan kritik sosial atas kondisi yang tidak sesuai dengan apa yang diyakininya. Apabila melihat realitas yang terjadi di masyarakat, pelajar selalu menjadi sorotan dan perbincangan, hal itu karena potret buram yang sempat direkam berbagai tayangan media dari jejak langkah pelajar dan perilaku-perilaku negatifnya. Melihat kenyataan tersebut mengundang keprihatinan dari masyarakat, termasuk PII yang memang fokus melakukan pembinaan pelajar. Dalam hal ini, Ahmad Basori, Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2006-2008 menjelaskan: Ada semacam ketidakberdayaan dari kalangan pelajar sendiri dalam merespon berbagai situasi politik yang sedang berkembang, terutama yang berkaitan dengan dunia pelajar. Hal itu karena ada sebagian diantara pelajar yang masih terjebak pada pergaulan bebas, narkoba, dan tawuran. Padahal, pelajar merupakan agen perubahan sosial yang mempunyai basis massa potensial memiliki daya tawar yang tinggi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebut memberikan sebuah keniscayaan mengenai posisi strategis pelajar dalam sebuah negara (Wawancara dengan Ahmad Basori pada 19 April 2013).
PII yang mempunyai komitmen kepelajaran memandang perlu adanya penanaman nilai-nilai kepemimpinan kepada pelajar, selain untuk memberikan pemahaman mengenai hak dan kewajibannya, juga ikut berperan serta dalam memainkan peran politiknya di masyarakat. Menurut Shood Solehuddin, Komandan Brigade PII Jakarta: Peran politik pelajar terlukis dari doktrin tentang nilai-nilai kepemimpinan yang selalu ditanamkan kepada para kadernya di setiap momen pengkaderan. Doktrin tersebut adalah “pelajar hari ini pemimpin hari esok”, dan hal itu diyakini
52
menjadi ruh penggerak bagi seluruh kader PII untuk berperan serta dalam memainkan peranan penting dalam kebijakan-kebijakan politik di negera ini (Wawancara dengan Shod Solehuddin pada 13 Januari 2013). Sementara itu, menurut Syahnan Tanjung: Di setiap pengkaderan PII selalu mengajarkan kepada pelajar untuk respon terhadap fenomena sosial yang dihadapinya, kemudian mampu memecahkan sendiri persoalan-persoalan tersebut. Dengan demikian mereka akan mampu menghadapi berbaga persoalan pribadinya dan tergerak hatinya untuk berbuat dalam masyarakat (Wawancara informal dengan Syahnan Tanjung pada 10 April 2013). Pemahaman politik bagi pelajar sangat penting karena posisi pelajar sebagai bagian dari warga negara mempunyai hak yang sama dan dilindungi UU dalam menyatakan pendapat, selain itu sebagai tanggung jawab moral pelajar terhadap bangsanya. Oleh karena itu, PII diharapkan mengambil peran dalam memberikan pemahaman dan meningkatkan kesadaran politik pelajar agar pelajar mampu menjalankan peranannya di berbagai situasi sosial politik yang ada di masyarakat, terlebih pada era Reformasi yang menuntut lebih partisipasi warga negara dalam pemerintahan. Shood menjelaskan: Dalam masalah politik bagi pelajar, PII hanya bergerak pada wilayah pembangunan kesadaran kepada pelajar dalam memperjuangkan hak-hak politiknya, selain itu juga sebagai tanggung jawab moral seorang pelajar terhadap negaranya. Hal itu sebagai modal besar ideologi yang dimiliki oleh PII dalam bertindak dan menarik keterlibatan pelajar dalam merespon situasi politik (Wawancara dengan Shod Solehuddin pada 13 Januari 2013). Pandangan politik dalam dunia pelajar tidak bergerak pada wilayah kekuasaan politik praktis, yakni orientasi pada jabatan di tingkatan kekuasaan formal (DPR RI, Bupati, Gubernur dan lain-lain), tetapi bisa juga dalam bentuk sikap moral dan kepedulian pelajar terhadap permasalahan bangsa, seperti yang telah diungkapkan
53
oleh Miriam Budiarjo, yaitu berperan aktif dalam pengambilan keputusan (decision making) maupun kebijakan publik (public policy) dan distribusi atau alokasi (allocation or distribution) (Budiarjo, 2008: 14). Dalam hal ini Nuril Anwar, Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2002-2004 menjelaskan : Politik yang dijalankan oleh PII bukan dalam artian politik praktis tapi high politik yang berkaitan dunia pelajar, masyarakat bahkan bangsa Indonesia. Karena pelajar sangat banyak jumlahnya, selama ini pelajar hanya dijadikan sebagai objek, hari ini harus dibalik bahwa pelajar itu mempunyai peranan penting pemikirannya terhadap perubahan-perubahan di masyarakat mau pun bangsa (Wawancara dengan Nuril Anwar pada 7 April 2013).
PII bukan lah organisasi politik atau lembaga yang bernaung dalam partai politik mana pun. Hal tersebut kemudian ditegaskan dalam khittah perjuangan PII,1 bahwa PII merupakan organisasi yang bersifat independen, tidak melibatkan diri pada partai politik dan politik praktis serta tidak menjadi bagian dari golongan atau organisasi politik mana pun (PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2004: 154). Aktivitas politik yang dijalankan oleh PII hanya mempelajari dan mengikuti perkembangan politik (Djaelani, 2000: 49). Pandangan politik tersebut dipertegas oleh Ahmad Fadhil, Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Jakarta periode 2008-2010: Pandangan kita atau PII secara umumnya bahwa pelajar harus tau politik dan politik menjadi alat untuk mereka memperjuangkan hak-haknya. Tetapi politik yang dijalankan oleh PII hanya sebagai upaya penanaman daya kritis dan kepekaan sosial pelajar dalam menghadapi permasalahan dirinya sendiri dengan lingkungan sekitar. Nah kalau pelajar sudah tau politik dan mereka kritis, jadi mereka akan mudah mengontrol setiap kebijakan yang akan dan telah dikeluarkan oleh pemerintah. (Wawancara dengan Ahmad Fadhil pada 19 April 2013). 1
Khittah Perjuangan PII merupakan koridor aktualisasi yang menjadi pedoman dalam merancang kebijakan-kebijakan, program kerja dan tindakan bagi seluruh eselon pimpinan, kader dan anggota PII.
54
Pelajar harus mempunyai sikap kritis agar selalu respon terhadap permasalahan ketika mereka menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Seperti yang dikatakan M Nasir, Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Jakarta periode 2000-2002. Pelajar mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam perumusan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sejauh kebijakan itu bertentangan dan melanggar hak-hak dasar pelajar. Melalui serangkaian aksi demonstrasi, pelajar melancarkan kritik sosialnya kepada pemerintah, seperti menentang kebijakankebijakan yang tidak berpihak kepada pelajar (Wawancara dengan M. Nasir pada 5 Maret 2013).
Sikap kritis dan keterlibatan pelajar dalam setiap permasalahan sosial dan politik tidak akan terbentuk tanpa adanya apresiasi dan keberpihakan dari organisasi pelajar untuk memberikan kesempatan kepada mereka dalam mengikuti kontestasi politik pada momen konferensi/musyawarah organisasi. Maksudnya untuk membuka akses seluas-luasnya kepada pelajar dalam memperoleh jabatan-jabatan penting dan strategis, minimal menduduki jabatan penting di tingkat daerah (Kabupaten/Kota). Hal itu selain untuk menjadi media pembelajaran berdemokrasi bagi pelajar, juga memberikan ruang aktualisasi yang nyata bagi mereka menentukan sikap politiknya. Pandangan kritis seperti itu berangkat dari sebuah fenomena menarik sekaligus menggelitik dari hasil observasi singkat yang penulis lakukan akhir-akhir ini terhadap beberapa organisasi pelajar lainnya yang ada di Jakarta, yang mana posisi kepemimpinan organisasi di tingkat daerah (Kabupaten/Kota) masih didominasi oleh kelompok tua dan bukan mereka yang berstatus sebagai pelajar.
55
Pada kasus PW PII Jakarta, sebenarnya gagasan seperti itu sudah muncul pada saat reformasi 1998 yang menjadi awal dari kebangkitan kembali PII. Seperti yang dikatakan oleh Nasrullah (Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2004-2006), bahwa di PW PII Jakarta sudah ada gagasan peremajaan pada zaman Ali Said sesuai dengan semangat yang dibawa oleh Jayadi Hanan pada saat Muktamar ke XX di Aceh (Wawancara informal dengan Nasrullah pada 14 Mei 2013). Pada periode sebelum adanya gagasan peremajaan itu, posisi kepemimpinan di PII banyak dihuni oleh kalangan tua, semenjak tercetus tentang gagasan peremajaan yang menggelora pada saat Muknas tersebut langsung disikapi secara serius oleh PW PII Jakarta untuk segera merealisasikan gagasan tersebut. Langkah kongkritnya dengan memberikan peluang kepada pelajar dalam menduduki posisi strategis di setiap tingkatan struktur kepemimpinan organisasi PII. Nasrul adalah salah satu dari sekian kader PII merupakan hasil peremajaan, pada usia 19 tahun dia sudah terpilih menjadi Ketua Umum PW PII Jakarta.
B. Strategi dan Kegiatan Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta dalam Pemberdayaan Politik Pelajar Era Reformasi pada tahun 1998 membawa angin segar dalam sejarah politik Indonesia. Bagi PII sendiri era Reformasi tersebut memberikan sebuah kekuatan dan energi yang lebih besar dalam upaya memunculkan eksistensinya kembali. Maka bisa dikatakan pada era ini menjadi babak baru dalam pergerakan di internal PII Jakarta, bahkan PII secara nasional (Wawancara dengan Rahmat Banu Widodo pada tanggal 7 April 2013).
56
Pembekuan yang pernah di alami PII secara nyata berdampak pada penurunan kualitas dan kuantitas organisasi pada generasi berikutnya. Hampir semua struktur di daerah mati dan pengurusnya dihinggapi oleh penyakit ketidakpercayaan diri yang sangat akut, sehingga berakibat roda perjalanan organisasi tidak berjalan dengan baik. Kondisi tersebut diakui sendiri oleh Ali Said, Ketua Umum PW PII Jakarta periode 1998-2000. Lebih lanjut ia menjelaskan : Yang masih saya ingat PII pada tahun itu, secara umum ada semacam ketidakpercayaan diri yang parah di kalangan kader-kadernya, satu sisi ada situasi eksternal dimana gejolak perubahan itu sangat hebat yang disuarakan kelompok mahasiswa, tapi di sisi yang lain PII tidak punya kekuatan apa-apa karena untuk masuk kedalam gejolak semacam itu kan mesti harus punya massa, PII gak punya massa (Wawancara dengan Ali Said pada 13 Maret 2013). Kondisi internal pada saat itu yang sangat parah tidak lantas membuat pengurus PII Jakarta lemah, penurunan kualitas dan kuantitas organisasi dengan langkah cepat dan terorganisir segera dapat diatasi. Caranya, dengan mengoptimalkan seluruh kekuatan pengurus untuk bergerak melakukan kaderisasi dan konsolidasi internal dalam menghidupkan kembali basis-basis massa PII yang masih ada. Waktu itu satu-satunya cara untuk membangun eksistensi PII adalah fokus kaderisasi karena itu menjadi nilai inti dan pengalamannya PII disitu, disamping terus membangun rasa kebanggaan sehingga memiliki nilai jual yang kadernya bangga punya identitas sebagai PII. Dari situlah saya memulainya untuk bagaimana kegiatan kaderisasi terus diintensifkan (Wawancara dengan Ali Said pada 13 Maret 2013). Era kebangkitan kembali PII ketika itu tidak berdiri sendiri, akan tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, PII secara nasional melakukan formalisasi sebagai organisasi resmi dengan mendaftar diri ke Departemen Dalam Negeri pada tanggal 2 Desember 1996 dengan nomor surat 01/PII/regis/1417-1996.
57
Keputusan tersebut walau banyak yang mengecam karena dianggap reaktif dan tidak mampu membaca realitas politik, tetapi sedikit banyaknya memberikan nafas segar bagi PII untuk hadir kembali dalam pentas nasional. Faktor kedua yang menjadi semangat kebangkitan PII adalah bertemunya dua semangat zaman, satu sisi era Reformasi yang menghendaki adanya perubahan besar dalam percaturan politik nasional, di sisi lain tumbuhnya semangat dan idealisme yang dimiliki kader PII pada saat itu yang menginginkan kebangkitan PII kembali dari tidur panjangnya. Nuansa pergerakan yang ramai pada waktu itu turut mewarnai perjalanan PII selanjutnya. Waktu itu, menurut Shod walaupun PII masih dalam proses “rehabilitasi politik”, tetapi kehadiran PII diperhitungkan sebagai organisasi pergerakan pelajar (Wawancara dengan Shod Solehuddin pada 13 Januari 2013). Strategi pemberdayaan berupaya untuk mendorong adanya perubahan sosial yang memungkinkan masyarakat bisa berdaya baik secara sosial ekonomi, budaya, politik, maupun bidang kehidupan lainnya sehingga pemberdayaan dapat memacu pembangunan di Indonesia (Sumodiningrat, 1998: 153). Langkah-langkah atau strategi pemberdayaan yang dilakukan PII Jakarta sesuai dengan yang dijelaskan Edi Suharto, yakni menggunakan strategi-strategi pemberdayaan pada wilayah mikro, mezo dan makro. Dari hasil data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat dijelaskan beberapa strategi yang dilakukan oleh PII Jakarta pada kurun waktu 1998-2010 dalam proses pelaksanaan pemberdayaan politik kepada pelajar. Secara umum strategi yang digunakan PII Jakarta dengan menggunakan tiga aras pemberdayaan, yaitu Mikro, Mezo dan Makro sebagai sebuah rangkaian dari proses kaderisasi. Diantaranya :
58
1. Aras Mikro Pemberdayaan pada wilayah mikro ini dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. PW PII Jakarta dalam pendekatan mikro ini, yaitu dengan menyediakan ruang bagi pelajar melalui bimbingan dan konseling mengenai permasalahan pribadi, sekolah, dan kondisi sosial politik yang sedang terjadi, baik di lingkungan sekolah, daerah, maupun situasi politik nasional dalam kegiatan Hari Komunikasi (Harkom). Hari Komunikasi PII Jakarta pada era Reformasi 1998 sangat kental dengan nuansa pergerakan. Hal itu secara langsung mempengaruhi akivitasnya pada wilayah mikro ini. Menurut Shood Solehuddin, Komandan Brigade PII Jakarta periode 1998-2000, Harkom PII dilaksanakan setiap satu minggu sekali, tepatnya hari Jum‟at di kantor Pengurus Wilayah PII Jakarta, Jl. Menteng Raya 58 Jakarta Pusat. PII Jakarta membuka media konsultasi berupa Harkom. Itu dilakukan setiap jumat dan itu jelas membahas situasi politik yang sedang hot atau in. Kemudian membicarakan gimana PII menyikapi itu? Harkom itu diadakan seminggu sekali (Wawancara dengan Shod Sholehuddin pada 13 Januari 2013). Dalam harkom tersebut, kata Shood, pelajar yang sudah menjadi kader PII datang menemui pengurus PII Jakarta secara individual, lalu menceritakan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Kasus yang diceritakan pelajar dalam konsultasi tersebut, salah satunya mengenai bagaimana menyikapi situasi politik di sekolah, serta permasalahan penunggalan OSIS di sekolah yang menyulitkan akifitas PII.
59
Dalam merespon keluhannya tersebut, Pengurus PII Jakarta berperan sebagai
konselor
dalam
memberikan
bimbingan
dan
masukan
terkait
permasalahan yang disampaikan pelajar. Dalam merespon penunggalan OSIS di sekolah yang berpotensi menghambat aktifitas PII, pengurus memberikan strategi untuk aktif dalam kegiatan intra sekolah dan menyiapkan diri menguasai pimpinan OSIS, selain itu juga mendorong untuk melakukan aksi penolakan atas kehadiran OSIS sebagai organisasi tunggal di sekolah (Wawancara dengan Shod Sholehuddin pada 13 Januari 2013). Hasil bimbingan dan konseling sebagai strategi pemberdayaan pada wilayah mikro ini sangat efektif dalam meningkatkan kepekaan terhadap problematika sosial dan politik bagi pribadi kader PII yang nota bene masih berstatus pelajar. Selain itu juga merupakan salah satu ruang produktif untuk meningkatkan kesadaran politik bagi setiap pelajar. Lebih lanjut Shood menjelaskan : Setelah pulang dari Harkom, individu kader PII biasanya membuat kelompok-kelompok sendiri di daerahnya untuk menyikapi permasalahan yang dihadapinya atau dia menyikapi kondisi daerahnya atau kondisi internal organisasi dan macam-macam. Karena itu menjadi ruang publik bagi kader PII untuk membicarakan internal organisasi dan ekternal organisasi (Wawancara dengan Shod Sholehuddin pada 13 Januari 2013). Situasi Jakarta yang hangat dengan nuansa pergerakan pada waktu itu menjadi tambahan energi tersendiri bagi kader PII untuk turut terlibat di dalamnya, sehingga pada era 1998 interaksi politik antar kader PII Jakarta cukup intensif, hal itu memudahkan untuk menyatakan sikap politiknya dalam merespon berbagai situasi politik nasional.
60
Geliat politik yang sempat muncul pada era 1998-2000 tidak terlihat pada kepengurusan selanjutnya, hal itu dirasakan pada kepengurusan periode 2000-2002. Tradisi-tradisi kajian politik dan obrolan-obrolan politik yang menjadi khas dari periode sebelumnya hampir tidak ada, bahkan bisa dikatakan kepengurusan pada periode ini sedikit menjauh dari interaksi politik. Hal tersebut diungkapkan oleh M. Nasir, Ketua Bidang Kaderisasi periode 2000-2002. Ia menjelaskan: PII setelah era Reformasi malah mencoba untuk menjaga jarak dengan politik, itu pengamatan saya. Memang pada saat zaman Hakam Naja atau era Reformasi memang sangat kental, karena mereka memang tergabung dalam era Reformasi. pada saat itu saya gak tahu kok seolah-olah PII bersikap anti-pati terhadap politik, itu sangat nampak ketika di internal PII sudah mewanti-wanti, sudah melarang-larang (Wawancara dengan M. Nasir pada 5 Maret 2013). Nasir Menambahkan, ketika itu yang dalam Harkom ingatannya, PII tidak pernah membicarakan mengenai politik, yang kita bicarkan internal kita saja (Wawancara dengan M. Nasir pada 5 Maret 2013). Dalam periode ini memang bisa dikatakan interaksi sosial di antara pengurus tidak cukup harmonis. Hal itu karena adanya konflik internal dalam tubuh pengurus wilayah PII Jakarta, sehingga merubah pola bimbingan dan konseling dari perbincangan politik setiap kader PII ke permasalahan internal kepengurusan. Konflik-konflik tersebut muncul ke permukaan, diantaranya dalam satu periode kepengurusan ini sudah mengalami empat kali pergantian ketua umum (Wawancara dengan M. Nasir pada 5 Maret 2013). Pola bimbingan dan konseling yang menyentuh pada wilayah politik dalam kegiatan harkom muncul kembali pada periode 2002-2004, saat itu PW
61
PII Jakarta dipimpin oleh Nuril Anwar. Pada periode ini situasi politik nasional sedang menggeliat, terutama pada saat menghadapi pemilihan presiden pada tahun 2004. Hal itu yang kemudian mendorong pengurus PII Jakarta untuk memfungsikan kembali pembicaraan politik di kalangan pelajar. Sebagai bagian dari komitmen kepelajaran, PII Jakarta berupaya dengan sepenuh tenaga merespon berbagai situasi politik yang berkaitan dengan pelajar, terutama dalam mengawasi perjalanan Pilpres yang dipenuhi oleh perilaku politik tidak layak dilakukan oleh beberapa partai politik besar. Langkah kongkritnya dengan membuka bimbingan dan konseling dalam bentuk posko pengaduan pelajar di sekretariat PII Jakarta, Jl. Menteng Raya 58 Jakarta Pusat. Posko pengaduan itu sebagai media pengaduan pelajar sekaligus antisipasi adanya dugaan politisasi pelajar pada Pemilihan Presiden tahun 2004. Kita membuat posko pelajar intinya adalah ada semacam pengaduan ketika ada politisasi pelajar. Maksudnya adalah pelajar dilibatkan seperti politik praktis, semacam kampanye terbuka pakai seragam, intimidasi terhadap pelajar, politisasi sekolah, itu yang saya kira tidak layak dilakukan oleh partai politik secara praktis (Wawancara dengan Nuril Anwar pada 19 April 2013).
Nuril menyayangkan adanya politisasi dikalangan pelajar untuk kepentingan politiknya. Tetapi ia juga tidak menutup kemungkinan adanya partai-partai politik lainnya yang melakukan hal yang sama, akan tetapi diakui Nuril bahwa yang paling dominan pada saat itu memang PKS (Wawancara dengan Nuril Anwar pada 19 April 2013). Posko pengaduan pelajar yang dibuat PII Jakarta, tambah Nuril, tidak hanya fokus terhadap masalah-masalah politik pada pemilihan presiden maupun
62
legislatif. Tetapi juga menerima pengaduan kader PII secara individual terhadap masalah-masalah politik kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti pengaduan pelajar korban Ujian Nasional (PeKa UN) dan lain-lain. Tardisi tersebut dilanjutkan oleh kepengurusan selanjutnya, yakni periode 2004-2006 yang dipimpin oleh Nasrullah dan periode 2006-2008 yang dipimpin oleh Ahmad Basori. Pada periode tersebut PII Jakarta setiap tahunnya selalu membuka keluhan dari pelajar yang menjadi korban UN, baik dalam pelaksanaannya maupun dampak yang dirasakan dari kebijakan tersebut. Hasil hasil dari keluhan yang disampaikan pelajar tersebut kemudian dikaji oleh PII Jakarta untuk ditindak lanjuti ke proses selanjutnya (Wawancara dengan Ahmad Basori pada 19 April 2013). Pada periode 2008-2010 yang dipimpin oleh Deden Komaruddin kurang begitu aktif dalam menjalankan pemberdayaan pada wilayah mikro ini. Nuansa konflik di tubuh internal kepengurusan turut mempengaruhi perjalanan organisasi. Kegiatan harkom yang dalam periode sebelumnya menjadi media bimbingan dan konseling pribadi kader PII yang hangat dengan permasalahan sosial politik, pada periode ini bisa dikatakan tidak aktif (Wawancara dengan Ahmad fadhil pada 19 April 2013). 2. Aras Mezo Strategi pemberdayaan dalam aras mezo ini dilakukan terhadap kelompok sebagai media intervensi, baik dalam bentuk kegiatan pendidikan dan pelatihan serta dinamika kelompok. PII Jakarta dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap pelajar agar memiliki kemampuan
63
memecahkan permasalahan yang dihadapinya turut menggunakan strategi pada aras mezo ini, yakni kegiatan kaderisasi kepemimpinan. Kaderisasi dalam organisasi sangat penting, selain untuk menjalankan fungsi regenerasi organisasi, juga sebagai sarana menciptakan kader pemimpin masa depan dalam menduduki berbagai posisi kepemimpinan, baik pemerintahan, partai politik, maupun lembaga-lembaga lainnya. Bagi PII, kaderisasi merupakan ruh dari organisasi sekaligus sarana dalam
menyiapkan
generasi
kepemimpinan
selanjutnya.
Seperti
yang
diungkapkan oleh Syahnan Tanjung, Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Jakarta 2004-2006 : Kaderisasi merupakan ruh dari organisasi PII. Di PII kan kita menyebutnya kader PII bukan anggota PII, artinya setiap pelajar yang ikut PII dan terlibat dalam proses kaderisasi PII mereka adalah kader, dan mereka kita bina untuk disiapkan menjadi pemimpin (Wawancara informal dengan Syahnan Tanjung pada 10 April 2013). Pada wilayah mezo ini, PII Jakarta aktif secara rutin menjalankan pengkaderan dalam setiap periode kepengurusan, yakni kegiatan Leadership Basic Training (LBT) kepada pelajar. LBT adalah training level dasar, dilaksanakan di sekolah yang ditunjuk oleh PW PII Jakarta, dengan waktu efektif selama selama 6 hari (Wawancara dengan Syahnan Tanjung pada 10 April 2013). Dari hasil observasi yang dilakukan penulis dalam melihat proses dan dinamika saat berjalannya LBT PII. Metode pembelajaran yang digunakan fasilitator melalui pendekatan partisipatif. Interaksi sosial antar peserta berjalan dinamis dengan menekankan peserta sebagai subjek dari pembelajaran. Materi
64
yang diberikan pun cukup menarik peran serta pelajar selama mengikuti training, karena pada setiap pemaparan materi, fasilitator selalu menggunakan simulasi dan game sebagai pengantarnya. Terdapat 15 materi yang diberikan kepada peserta LBT, tetapi penulis hanya menggambarkan 4 materi saja yang berkaitan dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan pelajar, diantaranya : a). Aqidah Orientasi dalam materi ini peserta diharapkan mampu menyadari dan meyakini, bahwa Allah SWT menjadi realitas utama dalam kehidupan. Hal itu sebagai pedoman bagi setiap kader PII dalam mencegah berbagai bentuk penyimpangan aqidah yang berdampak pada semakin jauhnya seseorang dari hakikat dan misi penciptaan manusia sebagai hamba (Abdullah) dan wakil Allah SWT (Khalifatullah). Keadaan demikian mendorong seseorang cenderung menjadikan kepentingan, hawa nafsu, pemikiran sebagai seseuatu yang dituhankan. Dampak lebih jauh dari hal itu adalah masyarakat akan mengalami disorientasi kehidupan sehinggan akan terjadi pola dan langkah hidup yang salah arah, longgar nilai, hedonistik dan terjebak dalam materialisme. b). Personal Introductions (kedirian) Orientasi dari materi ini peserta diharapkan mampu mengenali diri sendiri dan menyadari identitasnya di tengah realitas sosial. Hal tersebut untuk menghindarkan krisis identitas yang menjadikan
65
seseorang tidak memiliki konsep dan citra diri yang berdampak pada kesulitan untuk mengambil keputusan dan menentukan sikap. Kesulitan bertindak dalam rangka aktualisasi diri. Kondisi seperti ini menjadikan seseorang tidak bisa mengembangkan potensi dirinya secara optimal untuk menunjang tugas-tugas kehidupan, dan tidak mampu menyikapi dan mengatasi problem-problem diri dan masyarakat. Sehingga kehadirannya cenderung menjadi beban sosial, bukan dinantikan oleh masyarakat sekitarnya. c). Kepemimpinan Orientasi dari materi ini peserta diharapkan menyadari bahwa setiap manusia diciptakan sebagai pemimpin, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, maupun lingkungan masyarakat. Hal tersebut untuk menghindari adanya budaya paternalisme yang akan mengungkung potensi kreativitas dan kemandirian seseorang, karena tertutup oleh ketakutan dan ketergantungan kepada orang lain. Hal ini menyebabkan kepribadian seseorang tidak bisa tumbuh dan berkembang sehingga potensi kepemimpinannya tidak teraktualisasi secara optimal. d). Keumatan (Sosial Politik) Orientasi dari materi ini peserta diharapkan mengetahui kondisi sosial politik yang terjadi dan mau ikut terlibat sebagai agen perubahan sosial dalam masyarakat. Problem dan tantangan dalam bidang keumatan dan sosial politik meliputi eksklusifisme,
66
sekterianisme, lemahnya struktur politik dan akses terhadap kekuasaan, lemahnya perlindungan HAM, menguatnya hegemoni tata dunia baru, struktur politik yang feodal, perimbangan kekuasanaan (demokratisasi) dan krisis ideologi (Ta‟dib Kaderisasi PII, 2010). Selain mengadakan kegiatan training kepemimpinan, PW PII Jakarta pada wilayah mezo ini juga melaksanakan kegiatan diskusi pelajar, untuk memberikan ruang bagi pelajar dalam memahami situasi politik yang sedang berlangsung, sehingga tumbuh kepekaan dan kesadaran pelajar dalam menghadapi permasalahan yang kemungkinan terjadi. Pada periode 1998-2000, PW PII Jakarta menyelenggarakan diskusi internal dengan mengundang puluhan pelajar mengenai pandangan para tokoh terhadap situasi sosial politik pada era reformasi, di Sekretariat PII Jakarta, Jln. Menteng Raya 58, Jakarta Pusat dengan narasumber Prof.Dr. Imam Prasodjo dan lain-lain (PW PII Jakarta Kowil ke-24, 1999). Pada periode 2000-2002, PW PII Jakarta menyelenggarakan kajian dengan melibatkan puluhan pelajar mengenai isu pornografi dan porno aksi, tawuran pelajar, dan kebijakan pemerintah mengenai kurikulum budi pekerti, di Sekretariat PII Jakarta Jln. Menteng Raya 58, Jakarta Pusat (Wawancara dengan M. Nasir pada 5 Maret 2013). Pada periode 2002-2004, PW PII Jakarta mengadakan kegiatan berupa “Ngompol” atau ngomong politik sebagai ruang pendidikan politik bagi pelajar dalam menghadapi pemilihan presiden tahun 2004. Acara tersebut berangkat
67
dari bacaan pengurus pada saat itu, bahwa pelajar yang dikategorikan sebagai pemilih pemula sangat potensial dan rentan terjadinya politisasi dan mobilisasi massa pelajar untuk kepentingan kampanye partai politik. Kegiatan tersebut dilaksanakan di sekretariat PII Jakarta, Jl. Menteng Raya 58 dan melibatkan puluhan pelajar Jakarta. Untuk menjelaskan seluk beluk partai politik dan mengenalkan calon presiden kepada pelajar, PW PII Jakarta mengundang seluruh tim sukses pasangan calon presiden untuk memberikan pengetahuan politik kepada pelajar, diantaranya Andi Alfian Mallarangeng dan dari partai-partai lain-lain (Wawancara dengan Nuril Anwar pada 19 April 2013). Dalam acara tersebut, PW PII Jakarta meminta penjelasan dari narasumber kepada pelajar tentang visi dan misi partai politik yang sudah dijalani, selain itu juga mempertanyakan tentang fokus kebijakan pendidikan serta komitmen dari para tim sukses pasangan calon presiden terhadap hak-hak pelajar serta nasib pendidikan ke depan. Dalam kesempatan lain, kata Nuril Anwar, PII Jakarta juga sempat melaksanakan acara serupa di Istiqlal dengan mengundang para calon presiden langung, tetapi semua calon tidak bersedia untuk datang memberikan penjelasan mengenai visi misinya kepada pelajar. Pada periode 2004-2006, PW PII Jakarta menyelenggarakan training kepemimpinan pelajar selama 3 hari dalam acara “OSIS Camp” di Bumi Perkemahan Mekar Buana, Karawang. Kegiatan tersebut hasil kerjasama dengan Pengurus Daerah PII Kabupaten Karawang yang dilaksanakan secara rutin setiap
68
tahun sejak tahun 2005. Acara tersebut melibatkan seluruh OSIS di Kabupaten Karawang dan berhasil membentuk Badan Koordinasi OSIS se-Kabupaten Karawang (Wawancara dengan Syahnan Tanjung pada 10 April 2013). Pada periode 2006-2008, PW PII Jakarta menyelenggarakan diskusi kepemimpinan politik untuk pelajar di Sekretariat PII Jakarta, Jl. Menteng Raya, Jakarta Pusat dengan mengundang alumni PII yang sudah menjadi tokoh politik, seperti AM. Fatwa, Dani Anwar, Kivlan Zein dan lain-lain (Wawancara dengan Ahmad Basori pada 19 April 2013). Dalam acara tersebut, tokoh-tokoh politik yang juga alumni PII menceritakan mengenai pengalamannya dalam aktivitas politik serta memberikan pemahaman mengenai kepemimpinan. Pada periode 2008-2010 PW PII Jakarta menyelenggarakan Seminar dan Diskusi Pelajar mengkritisi RUU Badan Hukum Pendidikan di Aula Student Centre UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kerjasama dengan BEM Sosiologi dan Hima Persis. Hadir sebagai pembicara Prof. Utomo Dananjaya (Education Reform), Asfinawati (LBH Jakarta) dan Nasrullah (Ketua Umum PB PII) (Wawancara dengan Ahmad Fadhil pada 19 April 2013). 3. Aras Makro Strategi pemberdayaan dalam aras makro ini lebih diorientasikan pada sasaran perubahan system lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, dan lain-lain. Sebagai organisasi yang memiliki basis massa pelajar, PII sering berhadapkan oleh berbagai tantangan eksternal yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan
69
pemerintah yang menurut PII tidak berpihak terhadap pelajar. Dalam merespon berbagai fenomena tersebut, PII Jakarta menggunakan strategi aras makro ini. Menurut data yang penulis peroleh, selama kurun waktu 1998-2010 PII Jakarta bisa dikatakan cukup vokal dalam menjalankan strategi aras makro ini, terutama berkaitan dengan penolakan terhadap beberaoa kebijakan pemerintah, dan ikut menyuakan aspirasi pelajar dalam bentuk aksi sosial dan kampanye pelajar. a. Kampanye Tolak Politisasi Pelajar Pada kurun waktu 1998-2002 PII Jakarta ikut hadir dan terlibat dalam berbagai situasi politik nasional. Pada era ini PII Jakarta turut hadir moment peralihan presiden Soeharto ke presiden B.J Jabibie dan peralihan B.J Habibie ke Megawati. Hal ini menegaskan bahwa gerakan pelajar juga ikut mewarnai perjalanan arah Reformasi, walau diakui oleh kalangan aktivis sendiri bahwa keterlibatan gerakan pelajar tidak sehebat gerakan mahasiswa pada saat itu. Untuk mengantisipasi praktek politisasi pelajar yang ramai menjelang pemilu, PII membentuk lembaga Crisis Centre for Student (CCS). Melalui CCS itu, PII berupaya menggalakkan kampanye melalu selebaran famplet, spanduk dan orasi pelejar agar pelajar tidak menjadi komoditas politik semata, tapi justru para politisi semestinya memiliki perhatian serius kepada para pelajar (PB PII Dokumen Sejarah PII, 2010). Belakangan nama CCS tidak lagi terdengar dan dipakai dalam gerakan PII pada periode selanjutnya.
70
b. Aksi Sosial Mendukung Reformasi Konstitusi Setelah runtuhnya kerajaan Soeharto dari kursi presiden pada 21 Mei 1998, posisi presiden digantikan oleh B.J Habibie. Posisi Habibie sebagai presiden menimbulkan gejolak politik, gerakan mahasiswa dan pelajar saat itu terbelah, ada yang menolak dan ada juga yang mendukung. Pada saat Habibie mengumumkan kabinetnya 22 Mei 1998, ribuan mahasiswa yang didominasi oleh Forkot dan Front nasional menduduki gedung MPR/DPR dengan melakukan tuntutan, Tolak Habibie, percepat Pemilu ulang, pertanggung jawaban Soeharto atas kegagalan Orde Baru dan mengusut kekayaannya (Suharsih dan Mahendra, 2007: 111). Ketika ribuan massa dari kalangan mahasiswa yang menolak Habibie dan dilaksanakannya Reformasi total, ratusan pelajar yang dikoordinir oleh PII melakukan aksi mendukung Habibie dan lebih mendorong kepada Reformasi konstitusional. (Wawancara dengan Rahmat Banu Widodo 7 April 2013). c. Membentuk Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia (KA-PII) Dalam mengantisipasi perkembangan situasi politik pasca runtuhnya Orde Baru, yang ditandai dengan banyaknya peristiwa kekerasan politik, PII membentuk sayap gerakan Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia (KA-PII). Seperti diungkapkan oleh Rahmat Banu Widodo : Nama KA-PII berawal dari usulan dari Shod Solehudin hasil obrolan santai pengurus wilayah PII Jakarta dalam merespon peristiwaperistiwa politik pada saat itu, terutama pada saat menghadapi konflik di Ambon. Pada Rapat Pimpinan Wilayah (Rapimwil) PII Jakarta dibahas tentang optimalisasi sayap politik PII Jakarta dan kemudian ditetapkan menjadi organ gerakan aksi PII pada Konferensi Wilayah PII
71
ke-24 di Attaqwa, Bekasi (Wawancara dengan Rahmat Banu Widodo 7 April 2013). Jaringan aksi KA-PII mengoptimalkan partisipasi massa pelajar melalui simpul-simpul massa PII yang berada di berbagai lokasi atau basis sekolah dan pondok pesantren di Jabotabek. Dengan demikian, pendidikan politik terhadap pelajar telah dilakukan sedari dini melalui penyaluran aspirasi kritis mereka kepada pihak-pihak yang berwenang, terkait dengan berbagai isu/persoalan yang tengah terjadi di masyarakat. d. Aksi Simpatik Tolak Kekerasan Menjelang Pemilu 1999 Melalui sayap gerakan KA-PII, aspirasi politik pelajar dapat tersalurkan dengan bebas. Misalnya, KA-PII melakukan aksi menentang kekerasan menjelang penyelenggaraan pemilu 1999 di Bundaran Hotel Indonesia. Aksi yang melibatkan kurang lebih 1000 orang pelajar se-Jakarta itu juga menuntut agar para politisi tidak hanya fokus pada perebutan kekuasaan semata, melainkan juga ikut memperhatikan nasib pendidikan (PW PII Jakarta Konwil ke-24, 1999). e. Aksi Moral Penyelesaian Kasus Ambon dan Aceh Pasca Reformasi juga berdampak pada konflik di berbagai daerah, diantaranya konflik di Ambon dan Aceh. Melalui sayap gerakan KA-PII, pada 10 November 1999, sebanyak 3000 pelajar se-Jakarta melakukan aksi di Istana Negara dengan agenda menuntut penyelesaian kasus Ambon. Aksi ini diikuti dengan pengiriman delegasi PII Jakarta bersama PB PII ke Dirjen Protestan Depag RI (PW PII Jakarta Konwil ke-24, 1999). Aksi ini
72
merupakan aksi terbesar dalam sejarah PII yang melibatkan banyak pelajar setelah sebelumnya pernah dilakukan KAPPI pada era 66. Pada tahun yang sama, KA-PII juga melakukan aksi ke kantor Menkumdang yang melibatkan ratusan pelajar, menuntut penyelesaian kasus Aceh dengan pengadilan koneksititas bagi para pelanggar HAM di Aceh. Dalam aksi ini diterima langsung oleh Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjabat Menkumdang (Wawancara dengan Rahmat Banu Widodo 7 April 2013). f. Terlibat dalam Gerakan Muda Islam (GeMUIS) Dalam melebarkan sayap aksinya, PII Jakarta mengembangkan jaringan kerjasama dengan ormas-ormas Islam di dalam Gemuis (Generasi Muda Islam) dan menjadi inisiator pertemuan ormas-ormas pemuda Islam dalam menyikapi maraknya pornografi media massa, yang menjadi cikal bakal kelahiran MTP (Masyarakat Tolak Pornografi), serta berpartisipasi aktif dalam MTF tersebut (PW PII Jakarta Konwil ke-24, 1999). g. Aksi Penolakan Pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur), aksi „turun jalan‟ PII melalui sayap KA-PII tersebut, semakin sering dilakukan seiring dengan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan amanat Reformasi. Pemerintahan Gusdur yang sangat kontroversial karena sempat beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang tidak populer mendapat kritikan dari berbagai pihak.
73
Beberapa kebijakan pemerintah yang tidak populer itu diantaranya soal usulan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang Komunisme, serta rencana membangun hubungan diplomasi dengan Israel. Kebijakan luar negeri Gusdur yang pro zionis-kapitalis dan mengabaikan solidaritas terhadap negara-negara muslim, terutama didalamnya persoalan Palestina. Persoalan-persoalan tersebut disikapi secara kritis oleh aktivis PII melalui aksi-aksi sosial dalam KA-PII (PB PII Dokumen Sejarah PII, 2010) h. Merespon isu-isu politik dunia Internasional Pada era 2002-2004 PII Jakarta dihadapkan oleh kontalasi politik nasional, diantaranya peralihan dari pemerintah Abdurahman Wahid ke Megawati, dan peralihan dari Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono. Tidak seradikal gerakan PII era 66-an dan era 98-an yang terlibat langsung dalam proses peralihan rezim, aksi-aksi PII dalam era ini lebih menyentuh pada politik kebijakan, terutama yang menyentuh langsung ke persoalan pelajar dan ummat Islam. Menurut Nuril, pada saat itu telah terjadi pergolakan politik internasional yang menyandera umat Islam di seluruh dunia, yaitu pertama invansi Amerika Serikat ke Afganistan dan invansi Amerika Serikat ke Irak sebagai dampak dari tragedi bom WTC pada 11 September 2001. Sebagai respon atas itu semua, kata Nuril, PII Jakarta sering melancarkan aksi-aksi demonstrasi
dalam
merespon
isu-isu
politik
dunia
internasional.
Diantaranya pada tanggal 20 Maret 2003 ratusan pelajar yang tergabung dalam KA-PII melakukan aksi “Tolak Perang Terhadap Iraq”, di depan
74
Kedutaan Besar Amerika Serikat. Tidak lama setelah itu, KA-PII bersama KISRA kembali melakukan aksi sejuta umat menentang Amerika Serikat, di Bunderan HI dan kantor perwakilan PBB (Wawancara dengan Nuril Anwar pada 7 April 2013). i. Aksi Mendukung RUU Sisdiknas Pendidikan merupakan pintu menuju gerbang kesejahteraan masyarakat. Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka perlu dibentuk suatu perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya. Sebagai bentuk dukungan diberlakukannya UU No 20 Tahun 2003, PII Jakarta pada 9 April dan 1 Mei 2003 melakukan aksi damai mendukung RUU Sisdiknas di depan Gedung DPR/MPR RI (Wawancara dengan Nuril Anwar pada 7 April 2013). j. Aksi kenaikan harga BBM PII sebagai bagian dari elemen masyarakat mempunyai peran tanggung jawab sosial di masyarakat, untuk itu isu-isu di masyarakat tidak luput dari perhatian PII. Salah satu wujud kepedulian sosial, PII melakukan aksi yang melibatkan ratusan pelajar mengenai kenaikan harga BBM pada tahun 2005 di Bundaran Hotel Indonesia. Kenaikan BBM ini berimplikasi terhadap kenaikan harga-harga lainnya. Seperti kenaikan tarif angkutan umum, sembako, biaya sekolah dan lain-lain. Hal tersebut menjadi persoalan yang disikapi secara kritis oleh aktivis PII (Wawancara dengan Syahnan Tanjung pada 13 April 2013).
75
k. Aksi Menolak Ujian Nasional (UN) Ujian Nasional (UN) menjadi fokus perhatian PII sejak pertama kali diberlakukan menjadi standar penilaian hasil belajar secara nasional. Setiap tahunnya PII selalu melakukan aksi di depan Mendiknas (sekarang Mendikbud) dan aktif melakukan kajian mengenai UN bersama poros pelajar (terdiri dari IPM, IPNU/IPPNU), LBH Jakarta dan koalisi pendidikan lainnya untuk mengevaluasi dan mengkritisi berbagai kekacauan yang menyertai pelaksanaannya (Wawancara dengan Ahmad basori pada 19 April 2013). l. Terlibat dalam Citizen Law Suit Korban Ujian Nasional Ahmad Basori, Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2006-2008 menjelaskan keterlibatan PII dalam Citizen Law Suit terhadap negara. Sebelum melakukan gugatan, terlebih dahulu PII Jakarta mengumpulkan keluhan dari pelajar yang menjadi korban UN, setelah itu data dikaji dan diserahkan kepada LBH Jakarta untuk dijadikan bahan dalam materi gugatan. Pada tahun 2006, PII Jakarta saat itu diwakili oleh Awwaluddin salah satu dari 58 orang yang terdiri dari pemerhati, pendidik, aktivis, dan orang tua murid yang menjadi korban UN, tergabung dalam Tim Advokasi korban Ujian Nasional (TeKUN) mengajukan Citizen Law Suit tentang Ujian Nasional terhadap Negara Republik Indonesia. Untuk memastikan proses berjalan lancar, kata Basori, PII Jakarta selalu mengawal gugatan itu dan hadir di pengadilan negeri Jakarta Pusat setiap
76
kali persidang. Sampai pada tanggal 22 Mei 2007, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Citizen Law Suit tersebut. dan menyatakan bahwa pemerintah lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Pemerintah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, hasilnya pada pada tanggal 6 Desember 2007, Pengadilan Tinggi Jakarta juga menolak permohonan pemerintah. Sampai akhirnya pemerintah melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Lagi-lagi permohonan kasasi pemerintah ditolak oleh MA melalui putusan No.256 K/PDT/2008 pada tanggal 14 September 2009 (Wawancara dengan Ahmad basori pada 19 April 2013). Walaupun MA telah menolak permohonan Kasasi dari pemerintah, UN masih tetap dijalankan oleh pemerintah pada tahun berikutnya. Kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan dan dinilai pemerintah tidak mematuhi aturan hukum yang ditetapkan. Sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah yang ngotot melaksanakan UN, PII Jakarta pada periode 20082010 melakukan aksi pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2010. Aksi tersebut dinamakan Koalisi Bersama (Kobar 2 Mei) yang terdiri dari FGII, PII, IPM, FMN, BEM UI, Forum OTM, E-Net For Justice, LAP, PMKRI, KPKB, dan IKABI (Wawancara dengan Ahmad Fadhil pada 19 April 2013). Pada wilayah makro ini, peran dan keterlibatan pelajar dalam politik lebih pada peningkatan partisipasi pelajar dalam berbagai aksi demonstrasi
77
(Rush dan Althoff, 2005: 126). Walaupun aksi tersebut sudah menjaring partisipasi politik pelajar, tetapi penulis melihat dari serangkaian aksi yang sudah dilakukan belum seluruhnya menyentuh pada wilayah permasalahan pelajar. Upaya transformasi pemahaman pelajar mengenai politik seharusnya diorientasikan pada peningkatan sikap kepekaan sosial pelajar dalam menghadapi berbagai macam permasalahan yang ada di sekitarnya, seperti merespon aksi tawuran pelajar yang sudah menjadi kultur generasi muda dan permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan sekolahnya supaya pelajar mampu memberikan alternatif solusi atas permasalahan itu.
C. Respon Pelajar terhadap Pemberdayaan Politik PW PII Jakarta Pemberdayaan politik yang dilakukan oleh PW PII Jakarta terhadap pelajar, secara langsung dapat menumbuhkan peran serta pelajar dalam berbagai dinamika sosial politik yang ada di Indonesia, terutama hal-hal yang berkaitan dengan dunia kepelajaran. Dari berbagai aktifitas dan kegiatan pemberdayaan yang sudah dijalankan, pelajar merasakan secara langsung dampaknya, yaitu meningkatnya pemahaman, pengetahuan, keterampilan, sikap kritis dan kemandirian dalam menjalankan kehidupannya. Dengan demikian, pelajar mampu menentukan arah dan tujuan hidupnya serta kreatif dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan dan mampu berkembang tanpa sedikitpun mendapat tekanan dari konstruktri sosial yang membelenggunya. Sementara sikap kritis memberikan ruang bagi oelajar dalam melakukan dialog
78
atas dinamika sosial yang dihadapinya serta mampu memposisikan dirinya ditengah arus budaya dan perubahan sosial. Penanaman nilai-nilai kemandirian dan daya kritis pelajar karena doktrin ideologi PII yang menekankan untuk bersikap berani berbuat dan bersikap. Hal itulah yang kemudian memberikan peluang bagi setiap anggota memilih jalan hidupnya setelah mereka sudah tidak aktif lagi di PII. Pada wilayah mikro, PW PII PII Jakarta melaksanakan kegiatan Hari Komunikasi (Harkom) sebagai media bimbingan dan konseling secara individual dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pelajar. Mulai dari persoalan pribadi, organisasi, situasi politik di sekolah, daerah tempat tinggalnya, bahkan fenomena politik nasional. Hasil dari bimbingan dan konseling tersebut membawa perubahan yang positif bagi pelajar untuk secara terbuka mencurahkan permasalahan yang dihadapinya. Seperti yang dialami oleh Eka Setiawati, kader PII yang juga pelajar SMAN 1 Cikampek. Dalam momentum Harkom itu, eka mengeluhkan situasi politik di sekolahnya, bahwa ada organisasi pelajar bernama Generasi Islam Karawang (Generik) yang merupakan binaan dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Eka khawatir dengan keberadaan organisasi tersebut membawa pengaruh yang ditanamkan oleh partai politik kepada pelajar sehingga pelajar menjadi korban (Wawancara informal dengan Eka Setiawati pada 7 Mei 2013). Selain itu, Yazid Qulbuddin, kader PII yang juga pelajar SMA Persis 69 Jakarta Barat pernah menemui pengurus PII Jakarta, ia adalah salah satu pelajar yang tidak lulus UN. Dalam keluhannya, ia menceritakan mengenai kekacauan dan
79
ketidakadilan UN yang dihadapinya. Dalam pelaksanaan UN, kata Yazid, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang pengawas membocorkan jawaban UN, tetetapi anehnya kenapa dia tidak lulus UN dan harus ujian kembali di paket C (Wawancara informal dengan Yazid Qulbuddin pada 07 Mei 2013). Pada wilayah mezo, PW PII Jakarta mengadakan kegiatan berupa Leadership Basic Training (LBT), Pendidikan Politik Pelajar, dan diskusi pelajar dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap pelajar agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Rifqi Syahrizal, kader PII yang juga pelajar MAN Karawang mengaku aktif dalam mengikuti beberapa kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh PW PII Jakarta. Ia mengisahkan perjalanannya selama aktif menjadi anggota PII. Awalnya, saya ikut PII karena ingin belajar organisasi sehingga pengetahuan dan pengalaman yang saya dapatkan tentang organisasi dapat saya terapkan di sekolah (Wawancara informal dengan Muhammad Rifqi Syahrizal pada 15 April 2013). Rifqi aktif mengikuti kegiatan LBT PII sejak duduk di kelas 2 MAN Karawang. Ia tertarik melibatkan dirinya dalam kegiatan PII karena dalam kegiatan itu, dia mendapatkan sesuatu yang dinginkan. Teman, pengalaman, pengetahuan, jaringan, dan sebagainya tentang keoorganisasian, kepelajaran, ke-Indonesia-an, ke-Islam-an, sedikitnya saya dapatkan di LBT PII (Wawancara informal dengan Muhammad Rifqi Syahrizal pada 15 April 2013). Setelah mengikuti kegiatan LBT PII, lanjut Rifqi, banyak hal yang dia dapatkan, terlebih bagi perubahan sikap sebelum aktif dan setelah ikut LBT PII. Rifqi merasakan keaktifannya di PII sebagai ruang belajar, berlatih dan membina
80
pribadinya untuk lebih siap menghadapi kehidupan nyata di masyarakat. Dengan berbagai kegiatan yang dia ikuti, rifqi telah mampu mengembangkan potensi yang dia miliki. Secara kedirian, setidaknya saya bisa lebih mandiri di banding sebelumsebelumnya. Sehingga saya bisa memecahkan problem pribadi. Selain itu, saya juga dapat berperan lebih dalam bidang sosial dan pendidikan itu sendiri. Secara Intelektual, paradigma PII dan proses training serta pelatihanpelatihan di PII membuat saya lebih baik secara intelektual sehingga eksistensi saya bisa diakui oleh sekitar (Wawancara informal dengan Muhammad Rifqi Syahrizal pada 15 April 2013). Pada wilayah makro, PW PII Jakarta menjalankan aksi sosial dan kampanye pelajar dalam menarik peran serta pelajar dalam dinamika sosial politik di Indonesia. Secara umum keterlibatan pelajar dalam berbagai kegiatan tersebut dapat menumbuhkan peran serta pelajar dalam dinamika sosial politik yang sedang terjadi. Pelajar mampu menyuarakan aspirasi dan hak-hak politiknyanya secara bebas dengat ikut di dalamnya mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan idealisme dan aspirasi pelajar. Seperti yang dirasakan oleh Yazid, ia merupakan satu di antara jutaan pelajar yang merasakan dampak secara langsung atas kebijakan pemerintah. Yazid yang sudah tercerahkan melibatkan dirinya dalam berbagai aksi sosial yang dilaksanakan oleh PII Jakarta, ia merasa bahwa dirinya telah menyuarakan aspirasi pelajar sebagai tanggung jawab moral atas permasalahan yang dihadapinya. Lebih lanjut Yazid mengungkapkan: Setelah selesai menjalani aksi demonstrasi banyak yang saya rasakan, dari mulai ketenangan karena suara kita ada yang memperjuangkan, ada rasa bangga karena suara kita dihargai, dan ada kenikmatan tersendiri ketika tuntutan kita diterima dan dilaksanakan (Wawancara informal dengan Yazid Qulbuddin pada 07 Mei 2013).
81
Keterlibatan pelajar dalam berbagai situasi politik memberikan ruang bagi mereka untuk ikut serta menyuarakan aspirasi dan kegelisahannya pada setiap proses kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal itu secara langsung memberikan dampak yang positif bagi perkembangan iklim demokrasi di Indonesia, karena pelajar merasa diakui keberadaannya sebagai bagian dari warga negara yang memiliki hak-hak politik yang sama.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan Politik Pelajar 1. Faktor Pendukung Dalam merealisasikan strategi dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta, tentu ada faktor pendukung dan penghambat dan berbagai macam kendala dan permasalahan yang kerap dihadapi. Berikut di bawah ini faktor-faktor pendukung tersebut. a. Ideologi Ideologi dalam hal ini adalah cara pandang PII terhadap realitas. Dalam setiap moment kaderisasi di PII selalu ditanamkan sikap kritis dan kemandirian, sesuai jargon pergerakannya “tandang ke gelanggang meski seorang”. Sehingga ketika seorang kader PII dihadapkan oleh realitas yang tidak sesuai dengan idealita yang diyakini, maka secara otomatis akan bergerak. Kader PII dididik untuk selalu bergerak dari kesadaran aktifisnya sendiri dan tidak bisa digerakan oleh siapapun kemudian oleh kesadaran kader PII sendiri, tanpa ada pihak luar yang mampu mengintervensi, termasuk alumni PII. Misalnya di setiap aksi-aksi sosial PII tidak dibayar dan bukan aksi massa bayaran, tapi memang ada
82
kesadaran ideologi (Wawancara dengan Shod Solehuddin pada 13 Januari 2013). b. Situasi politik Situasi politik dalam hal ini berhubungan dengan suasana politik yang mendukung bagi PII dalam melaksanakan aktifitasnya. Yaitu era Reformasi pada tahun 1998 yang secara langsung memberikan nafas segar dalam pergerakan pelajar. Era Reformasi hadir sebagai anti-tesa dari rezim otoritarianisme yang membawa budaya politik baru yang lebih terbuka dan manusiawi. Kondisi tersebut juga membawa dampak positif bagi pergerakan PII yang kembali bangkit dan tampil ke permukaaan menyuarakan aspirasi dan kegelisahan pelajar setelah mengalami tidur panjangnya (Wawancara dengan Ahmad Basori pada 19 April 2013). c. Jaringan Jaringan disini adalah akses yang luas dan potensial yang dimiliki oleh PII, diantaranya adalah terdapatnya tokoh-tokoh alumni PII yang tersebar di hampir semua jenis profesi dan kedudukan di masyarakat, seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, budayawan, TNI/Polri, akademisi, tokoh masyarakat, guru dan lain-lain. Potensi jaringan itu mampu menunjang dan memudahkan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh PW PII Jakartadalam merealisasikan programnya (Wawancara dengan Ahmad Fadhil pada 19 April 2013).
83
d. Militansi Kader Semangat dan militansi kader PII memberikan kekuatan untuk terus mengembangkan organisasi. Hal tersebut karena di PII sifatnya voluntary atau sukarela, tidak ada paksaan untuk terlibat dalam kegiatan PII, karena aktif di PII tidak di gaji dan hanya semata-mata belajar tanpa ada timbal balik yang di dapatkan (Wawancara dengan Syahnan Tanjung pada 10 April 2013). 2. Faktor Penghambat Dalam perjalanannya, Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta dalam melaksanakan aktifitas keorganisasiannya tidak terlepas dari faktor hambatan yang berpotensi menghambat kinerja dalam merealisasikan kegiatan pemberdayaan.Berikut faktor-faktor penghambat yang ditemukan: a. Faktor Biaya Dalam menjalankan program terkadang faktor biaya menjadi penghambat. Hal itu karena setiap program yang dijalankan selalu mengandalkan swadaya dari anggota yang notabene masih belum banyak yang bekerja, sementara sumber pendanaan dari alumni PII jumlahnya terbatas (Wawancara dengan M. Nasir pada 5 Maret 2013). b. Ketergantungan Kepada Alumni Alumni PII adalah seseorang yang sudah menjadi status mantan aktifis PII yang pernah mengikuti kegiatan PII dan terikat dalam jenjang kepengurusan PII. Peran alumni sangat krusial, terutama masalah pendanaan atau biaya untuk kegiatan kepengurusan. Permasalahannya
84
adalah ketika munculnya sikap ketergantungan terhadap alumni yang secara tidak langsung mampu menghambat kreatifitas dan potensi kelembagaan yang dimiliki. Konsekuensinya, banyak diantara alumni itu mempengaruhi langkah dan pola pikir pengurus dengan berbagai intervensi dan doktrinasi yang dilakukannya (Wawancara dengan Ahmad Fadhil pada 19 April 2013). c. Cara Berpikir Yang Status Quo PII merupakan organisasi yang ideologis, hal itu yang menjadikan pandang hitam putih menjadi sesuatu umum diantara kader PII dan penghakiman tehadap seseorang yang memunculkan konflik diantara pengurus. Sebuah komunitas seperti PII yang bawaannya ideologis, sifatnya status quo dan revivalisme, artinya dia lebih mengagungkan sebuah idealitas di masa lampau dan ingin menciptakan idealitas itu kemudian memaksakan cara pandangnya, orang cenderung tidak mampu untuk melihat kenyataan sebenarnya, karena memang prasangka ideologis yang ada dalam pikirannya (Wawancara dengan Ahmad Basori pada 19 April 2013). d. Kepengurusan Luasnya wilayah garapan PW PII Jakarta yang tidak hanya mencakup daerah di DKI Jakarta membuka peluang bagi kader PII di daerah-daerah
pinggiran
seperti
Karawang,
Bekasi,
Subang,
Purwakarta, Depok dan Tangerang mengisi kepengurusan di tingkat wilayah. Latar belakang Pengurus Wilayah PII Jakarta yang dihuni
85
mayoritas daerah pinggiran, sementara personil asli daerah Jakarta rapuh, berdampak pada psikologi atau cara berpikir pengurus yang belum mampu membaca persoalan kompleksitas daerah perkotaan yang notabene berbeda dengan daerah-daerah mereka tinggal (Wawancara dengan Ahmad Fadhil pada 19 April 2013). e. Waktu Permasalahan waktu juga menjadi salah satu faktor penghambat. Hal itu karena keterbatasan waktu para pelajar dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan selalu berbenturan dengan padatnya waktu belajar di sekolah, sehingga mereka harus membangi waktunya antara kebutuhan studi dan keaktifannya di PII (Wawancara dengan Nuril Anwar pada 7 April 2013).
86
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Pandangan Pengurus Wilayah PII Jakarta terhadap peran politik pelajar tercermin dari cara pandang kritisnya terhadap komitmen kepelajaran, yaitu pelajar sebagai entitas sosial dan pelajar sebagai subjek pendidikan, kebudayaan, dan subjek transformasi pendidikan dan kebudayaan. Pelajar sebagai entitas sosial memiliki konsep yang tidak saja bermakna secara sosial, tetapi juga politis. Dari sisi sosial, pelajar merunjuk kepada sebuah entitas yang eksistensinya terkait dengan proses belajar dan masuk dalam daur dunia pendidikan. Sementara itu dalam makna politis, keberadaan pelajar mewakili komunitas terdidik dan relatif berperadaban sehingga peranannya dalam proses perubahan sosial menjadi sebuah keniscayaan. Sementara itu, pelajar sebagai subjek pendidikan, kebudayaan, dan subjek transformasi pendidikan dan kebudayaan memposisikan pelajar sebagai subjek dari perubahan sosial. Dengan menempatkan pelajar sebagai subjek perubahan sosial, pelajar akan memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap tugas dan fungsinya sebagai pelajar serta meningkatkan partisipasinya dalam melakukan kritik sosial atas kondisi yang tidak sesuai dengan apa yang diyakininya. Politik yang dijalankan oleh PII bukan dalam artian politik praktis, tapi high politik yang bergerak pada wilayah pembangunan kesadaran politik kepada pelajar dalam melihat permasalahan sosial di lingkungannya, menumbuhkan budaya kritis
87
dan berani memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai tanggung jawab moral seorang pelajar terhadap negaranya. Dalam menyusun program pemberdayaan politik terhadap pelajar, PW PII Jakarta melakukan langkah-langkah atau strategi pemberdayaan dalam memberikan kekuasaan, kemampuan, pemahaman dan kesadaran politik pelajar melalui tiga aras strategi pemberdayaan, yaitu mikro, mezo dan makro. Pada wilayah mikro, PW PII Jakarta melaksanakan kegiatan: 1. Mulai pada periode 1998-2000, PW PII Jakarta melaksanakan kegiatan Hari Komunikasi (Harkom), yaitu media konsultasi dan bimbingan pelajar mengenai permasalahan pribadi, sekolah, dan kondisi sosial politik yang sedang terjadi, baik di lingkungan sekolah, daerah, maupun situasi politik nasional. 2. Pada periode 2000-2002 terjadi perubahan pola bimbingan dan konseling dari perbincangan politik setiap kader PII ke permasalahan konflik internal kepengurusan. 3. Pada periode 2002-2004 mulai membuka kembali bimbingan dan konseling untuk pelajar dengan membuka Posko Pengaduan Pelajar, yaitu salah satu media dalam menjaring keluhan pelajar dalam merespon berbagai situasi politik dalam pemilihan presiden tahun 2004. 4. Pada periode 2004-2006 mengubah tema bimbingan dan konseling dalam posko pengaduan pelajar dari keluhan mengenai situasi politik menjelang pemilihan presiden tahun 2004 ke pengaduan pelajar korban UN. Pola tersebut diteruskan oleh periode selanjutnya, yakni 2006-2008. Tetapi
88
pada periode 2008-2010 pola bimbingan dan konseling dalam wilayah mikro ini tidak berjalan secara aktif. Pada wilayah mezo, PW PII Jakarta melaksanakan kegiatan: 1. Pada periode kepengurusan 1998-2010, PW PII Jakarta secara rutin menyelenggarakan pelatihan kepemimpinan dalam bentuk leadership basic training (LBT) dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap pelajar dalam memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 2. Seminar dan Diskusi Pelajar, yaitu kegiatan yang dilakukan baik secara tertutup maupun terbuka dalam merespon berbagai situasi sosial politik, diantaranya : a). Pada periode 1998-2000, diskusi internal kepengurusan mengenai pandangan para tokoh terhadap situasi sosial politik, di sekretariat PII Jakarta. b). Pada periode 2000-2002, menyelenggarakan kajian dengan melibatkan puluhan pelajar mengenai isu pornografi dan porno aksi, tawuran pelajar, dan kebijakan pemerintah mengenai kurikulum budi pekerti, di Sekretariat PII Jakarta Jln. Menteng Raya 58, Jakarta Pusat c). Pada periode 2002-2004, menyelenggarakan Pendidikan Politik Pelajar, untuk memberikan pemahaman mengenai politik bagi pelajar dalam menghadapi pemilihan presiden pada tahun 2004.
89
c). Pada periode 2004-2006, melaksanakan training kepemimpinan pelajar selama 3 hari dalam acara “OSIS Camp” di Bumi Perkemahan Mekar Buana, Karawang dan melahirkan Badan Koordinasi OSIS se-Kabupaten Karawang. c). Pada periode 2006-2008, diskusi kepemimpinan politik dengan mengundang tokoh-tokoh politik alumni PII untuk pelajar di Sekretariat PII Jakarta. d). Pada periode 2008-2010 menyelenggarakan Seminar dan Diskusi Pelajar mengkritisi RUU Badan Hukum Pendidikan di Aula Student Centre UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kerjasama dengan BEM Sosiologi. Pada wilayah makro, selama kurun waktu 1998-2010, PW PII Jakarta menjalankan aksi sosial dan kampanye sosial dalam menyuarakan aspirasi pelajar yang berkaitan dengan situasi sosial politik dan beberapa kebijakan pemerintah, diantaranya : 1.
Membentukan Crisis Centre for Student (CCS) sebagai sebuah lembaga sayap aksi PII yang fokus melakukan kampanye dalam mengantisipasi praktek politisasi pelajar yang ramai menjelang pemilu 1999.
2.
Membentuk Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia (KA-PII), merupakan jaringan aksi PII untuk menjaring aspirasi pelajar serta ruang aktualisasi pelajar dalam menyuarakan sikap politiknya. Pada periode 1998-2010 PW PII Jakarta beberapa aksi, diantaranya: aksi sosial mendukung Reformasi konstitusi, aksi tolak kekerasan pemilu pada tahun 1999, aksi penuntasan
90
kasus Ambon dan Aceh, Aksi Penolakan Pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966, aksi moral terkait dunia politik internasional, aksi mendukung RUU Sisdiknas, aksi menolak kenaikan BBM, dan aksi menolak Ujian Nasional (UN). 3.
Bersama ormas-ormas Islam terlibat dalam Gerakan Muda Islam (GeMUIS) yang menjadi cikal bakal kelahiran MTP (Masyarakat Tolak Pornografi).
4.
Terlibat aktif dalam Tim Advokasi Korban UN (TeKUN) dalam melakukan gugatan warga negara terhadap negara (Citizen Law Suit) Korban Ujian Nasional pada tahun 2006, yang menuntut bahwa pemerintah telah lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.
Respon pelajar terhadap pemberdayaan politik PW PII Jakarta cukup bagus. Dari berbagai aktifitas dan kegiatan pemberdayaan yang sudah dijalankan, pelajar merasakan secara
langsung
dampaknya,
yaitu
meningkatnya
pemahaman,
pengetahuan,
keterampilan, sikap kritis dan kemandirian dalam menjalankan kehidupannya. Dalam melaksanakan pembedayaan politik kepada pelajar, terdapat faktor pendukung dan penghambat dalam proses pelaksanaannya. Faktor pendukung merupakan hal yang membantu dalam pelaksanaan kegiatan, di antaranya: ideologi, situasi politik, jaringan, dan militansi kader. Sementara itu, faktor penghambat merupakan hal yang dapat menghalangi pelaksanaan kegiatan, di antaranya: faktor biaya, ketergantungan kepada alumni, cara berpikir status quo, kepengurusan yang
91
didominasi kader PII di wilayah pinggiran Jakarta dan permasalahan waktu pelajar dengan aktivitas akademiknya di sekolah. B. Rekomendasi Peranan politik pelajar terkadap dipandang sebelah mata, padahal dalam sejarahnya pelajar turut ikut andil dalam berbagai dinamika sosial politik di Indonesia. Keberadaan organisasi pelajar sangat penting dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pelajar serta memberikan ruang aktualisasi untuk menyerukan aspirasinya. Dalam rekomendasi ini penulis akan menyampaikan berbagai hal berkaitan dengan hal-hal yang yang sedang dikaji dalam proses penelitian ini. Diantaranya : 1. Struktur kepengurusan Dalam perjalanan waktu, eksistensi PII mulai runtuh dan kurang menarik simpati pelajar untuk ikut aktif dan bergabung dalam PII, bahkan dewasa ini PII mulai menghilang dari pergaulan pelajar di sekolah-sekolah. Berbeda ketika kondisi PII era 60an yang sempat menjadi organisasi pelajar terbesar di Indonesia yang memiliki basis massa di sekolah-sekolah dan kegiatan yang cukup aktif dalam merespon berbagai situasi sosial di masyarakat. Rapuhnya kaderisasi PII di daerah perkotaan menjadi penyebab atas dominasi kader PII di daerah pinggiran Jakarta yang mengisi posisi pimpinan di PW PII Jakarta. Akibatnya PW PII Jakarta mengalami ketidak berdayaan struktur dalam merespon kompleksitas budaya perkotaan. Untuk itu perlu adanya
pembasisan
kembali
di
sekolah-sekolah
penyederhanaan struktur pada wilayah kerja PW PII Jakarta.
92
perkotaan
dengan
2. Kaderisasi Permasalahan kaderisasi merupakan hal yang sangat penting karena berdampak pada maju atau mundurnya sebuah organisasi. Untuk itu dalam menjalankan kaderisasinya, PII Jakarta diharapkan perlu adanya pembacaan secara menyeluruh dan kontekstual dalam membaca kondisi zaman yang sangat kompleks dan terbuka, serta mampu membaca kebutuhan pelajar yang hidup di wilayah perkotaan dengan beragam status dan aksesoris budayanya masingmasing. Sehingga kedepan PII Jakarta mampu menjawab tantangan dan persoalan zaman serta kebutuhan pelajar. 3. Falsafah Gerakan Falsafah gerakan mrupakan cara pandang kader PII terhadap realitas sosial yang dihadapinya sehingga menjadi landasan bagi setiap kader PII dalam menjalankan aktifitasnya. Dalam memformulasikan gerakannya, perlu kiranya dirumuskan mengenai gagasan politik PII yang saat ini tidak dicantumkan dalam falsafah gerakan. Gagasan politik PII akan mampu memberikan pemahaman mengenai bagaimana seharusnya PII memposisikan dirinya dalam berbagai situasi politik yang sedang terjadi. Adapun Khittah Perjuangan hanya menjelaskan secara taktis pandangan politik PII, tetapi secara secara filosofis gagasan politik dan pandang politik PII tidak ditemukan dalam falsafah gerakan. Pandangan politik PII selama ini hanya bentuk tafsiran dari para kader PII yang tumbuh dalam situasi politik yang dihadapinya, sehingga terlihat dari beberapa periodisasi kepengurusan terdapat perbedaan pandangan mengenai kebijakan politiknya.
93
4. Perhatian Pemerintah Dalam melaksanakan program pemberdayaan politik terhadap pelajar, PII terkadang mendapatkan kesulitan dalam melakukan gerakannya. Maka diharapkan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan organisasi pelajar, diantaranya dengan membuka akses seluas-luasnya dan membuka kerjasama yang intensif dengan PII. 5. Fokus Gerakan Upaya transformasi pemahaman pelajar mengenai politik seharusnya diorientasikan pada peningkatan sikap kepekaan sosial pelajar dalam menghadapi berbagai macam permasalahan yang ada di sekitarnya dalam merespon situasi sosial yang dekat dengan pergaulan pelajar. Seperti memberikan kontribusi sosial dalam mencari alternatif solusi kasus aksi tawuran pelajar yang sudah menjadi kultur generasi muda dan permasalahanpermasalahan yang ada di lingkungan sekolahnya. Hal itu untuk lebih menjawab kebutuhan supaya pelajar agar mereka mampu memberikan alternatif solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
Demikian kesimpulan dan rekomendasi yang penulis sampaikan, dengan harapan PII Jakarta mampu menumbuhkan peran serta pelajar dalam berbagai situasi sosial politik di masyarakat, sehingga tercipta generasi bangsa yang kritis, peka terhadap permasalahan sosial dan ikut terlibat dalam pembangunan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan menarik perhatian bagi kalangan akademis untuk mempertajam kajian mengenai peran pelajar dalam politik.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Tuasikal. Sejarah Pelajar Islam Indonesia Dari Kongres Ke Kongres, editor M. Husni Thamrin. Jakarta: Cipta Jaya, 1998 Abdul Munir Mulkan. Perubahan Prilaku Politik Dan Popularisasi Umat Islam 19651987 Dalam Perspektif Sosiologis. Jakarta: Rajawali Press, 1989 Ahmad Adaby Darban. Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia. Yogyakarta: Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976 Aka Kamarulzaman. Kamus Istilah Serapan. Yogyakarta: Absolut, 2005 Aminuddin. Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999 A.M.W Pranaka. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS, 1966 Anslelm Strauss. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Anton Timur Djaelani. Tafsir Asas PII : Dasa Warsa Bakti Pelajar Islam Indonesia. Jakarta: Pengurus Perhimpunan Pusat Keluarga Besar PII, 2000 David Berry. Pokok-pokok pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: CV Rajawali, 1981 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005 Djayadi Hannan. Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-bayang Negara ; Studi Kasus Pelajar Islam Indonesia tahun 1980-1990, Yogyakarta: UII Press, 2006 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II, terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1994 DR. Sedarmayanti, M.PD. Restrukturasi Organisasi untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan. Bandung: Mandar Maju, 2000 DR. H.M. Alisuf Sabri. Psikologi Pendidikan ; berdasarkan kurikulum nacional. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2007
95
Dwiwibawa, F. Rudi dan Theo Riyanto. Siap Jadi Pemimpin? Latihan Dasar Kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius, 2008 Dwi Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewargamegaraan. Jakarta: Bumi Aksara, 2006 Edi Suharto. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat ; Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerja Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005 Erwin M Hasan. Gerakan Pemuda Pelajar Berjuang – KAPPI. Jakarta: Gerakan Nasional Patriot Indonesia, 2002 Gunawan Sumodiningrat. Membangun Perekonomian Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998 Ginanjar Kartasasmita. Pembangunan untuk Rakyat ; Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo, 1996 Hary Hikmat. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora, 2001 Hendropuspito. Sosiologi Sistematika. Yogyakarta: Kanisius, 1989 J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, edisi ke2. Jakarta: Kencana, 2006 Lexy J Moloeng. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000 Lina Anatan dan Lena Ellitan. Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Bisnis Modern. Bandung, Alfabeta, 2007 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993 Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka utama, 2008 M. Rusli Karim. HMI MPO Dalam Kemelut Modernisasi Politik Indonesia (Bandung: Mizan, 1997) Michael Rush dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005 Nuril Anwar (ed). Keluar dari Kemelut; Mewujudkan cita-cita Bangsa. Ciputat: Titian Pena, 2008
96
Suharsih dan Ign Mahendra K. Bergerak Bersama Rakyat. Yogyakarta: Resis Book, 2007 Yudi Latif. Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005
WAWANCARA Wawancara dengan Shood Solehuddin pada tanggal 13 Januari 2013 Wawancara dengan M.Nasir pada tanggal 5 Maret 2013 Wawancara dengan Ali Said pada tanggal 13 Maret 2013 Wawancara dengan Nuril Anwar pada tanggal 7 April 2013 Wawancara dengan Rahmat Banu Widodo pada tanggal 7 April 2013 Wawancara dengan Syahnan Tanjung pada tanggal 10 April 2013 Wawancara dengan M. Rifqi Syahrizal pada tanggal 15 April 2013 Wawancara dengan Ahmad Basori pada tanggal 19 April 2013 Wawancara dengan Ahmad Fadhil pada tanggal 19 April 2013 Wawancara dengan Yazid Qulbuddin pada tanggal 7 Mei 2013 Wawancara dengan Eka Setiawati pada tanggal 7 Mei 2013 Wawancara dengan Nasrullah pada tanggal 14 Mei 2013
JURNAL Septi Gumiandari. Kekerasan dan Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan. Jurnal Islam Indonesia: Volume 01, Nomor 01, Tahun 2009/1431
INTERNET Ginanjar Kartasasmita. Power dan Empowerment: Sebuah Telaah Mengenai KonsepPemberdayaan Masyarakat. Pidato Kebudayaan Disampaikan Pada Peringatan Hari Jadi ke -28 Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki. Jakarta, 19 November 1996. Internet: diakses pada tanggal 1 Oktober 2012 http://www.ginandjar.com/public/12PowerdanEmpowerment.pdf
97
Thecrowdvoice.com. UN harus dihentikan karena langgar HAM. Internet: diakses pada 21 Mei 2013 http://www.thecrowdvoice.com/post/un-harus-dihentikankarena-langgar-ham-2885226.html Kompas.com. Tawuran: Tradisi Buruk Tak Berkesudahan, 2011. Internet: diakses pada tanggal 27 Desember 2011 http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/23/10210953/Tawuran.Tradisi.Bur uk.Tak.Berkesudahan Harianjoglosemar.com. Banyak Siswa Bunuh Diri, UN Jalan terus. Internet: diakses pada tanggal 2 Februari 2013 www.harianjoglosemar.com
MEDIA MASSA Harian Kompas. Jum‟at 17 April 2009 Majalah Tempo. Edisi 6 Februari 1988
SKRIPSI Ahmad Rizal. Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia; Studi tentang Peranan KAPPI Jawa Barat dalam menegakkan Pemerintah Orde Baru (1966-1971). Skripsi S-1. Bandung: Fakultas Sastra Arab Universitas Padjajaran, 1993 Ardy Jaelani. Pelajar Islam Indonesia (PII) di Yogyakarta. Skripsi S-1 Universitas Padjajaran, 2011 DOKUMEN Sekretarit Jenderal PB PII. Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Muktamar Nasional ke-25 Pelajar Islam Indonesia (PII). Jakarta: PB PII 2004-2006 ------------------------------ Dokumen Sejarah PII. Jakarta: PB PII, 2010 ------------------------------ Ta’dib ; pedoman kaderisasi PII. Jakarta: PB PII, 2010 Sekretaris Umum PW PII Jakarta. Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Konferens Wilayah ke-24 Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta dan Konstitusi PII. PW PII Jakarta, 1999
98
FOTO KEGIATAN
Kajian Pelajar Membahas Situasi Politik di Indonesia
Foto : Dokumen PW PII Jakarta
FOTO KEGIATAN
Simulasi Aksi Pada Saat Leadership Basic Training (LBT)
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
FOTO KEGIATAN
Kampanye Crisis Centre For Student (CCS) Tolak Politisasi Pelajar
Foto : Dokumentasi PB PII
Foto : Dokumentasi PB PII
FOTO KEGIATAN
Aksi Sosial Mendukung Reformasi Konstitusi
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
FOTO KEGIATAN Aksi Simpatik Tolak Kekerasan Menjelang Pemilu 1999
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
FOTO KEGIATAN Aksi Moral Penyelesaian Kasus Ambon
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
FOTO KEGIATAN
Aksi Moral Penyelesaian Kasus Aceh
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
FOTO KEGIATAN
Aksi sejuta umat menentang Amerika Serikat
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
FOTO KEGIATAN
Aksi kenaikan harga BBM
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
FOTO KEGIATAN
Aksi Tolak Ujian Nasional
Foto : Dokumentasi PW PII Jakarta
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Ali Said
Jabatan
: Ketua Umum PW PII Jakarta periode 1998-2000
Pekerjaan
: Wiraswasta
Tanggal
: 13 Maret 2013
Tempat
: Kantor Dunamis Jln. Bendungan Jati Luhur No.56, Jakarta Pusat
1.
Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ? Secara umum apabila melihat garis politiknya keluarga besar PII cenderung pro status quo atau pendukung Soeharto karena dianggap lebih dekat dengan kelompok Islam, sementara kelompok yang banyak menginginkan perubahan malah didukung oleh kelompok yang nota bene ke kiri-kirian.
2.
Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Detailnya saya lupa, tapi kalau yang masih ingat PII pada taun itu, secara umum ada semacam ketidakpercayaan diri yang parah di kalangan kaderkadernya, satu sisi ada situasi eksternal dimana gejolak perubahan itu sangat hebat yang disuarakan kelompok mahasiswa, tapi di sisi yang lain PII tidak punya kekuatan apa-apa karena untuk masuk kedalam gejolak semacam itu kan mesti harus punya massa, PII gak punya massa. Menggerakan massa siapa, yang ada itu ya pengurusnya itu lah, itu pun tidak banyak. Jadi saya melihat waktu itu lebih tidak pergi kemana-mana, PII tidak terlalu banyak berkontribusi pada proses reformasi dan lain sebagainya. Problem yang mendasar karena sumber daya sangat terbatas, kadernya terbatas, kegiatan tidak kelihatan, kalau pun ada kadernya dihinggapi oleh rasa kepercayaan diri yang kronis. Sumber ke kronisannya karena kita gak tahu apa peran kita di masyarakat, waktu itu satu-satunya cara untuk membangun eksistensi PII adalah fokus kaderisasi karena itu menjadi nilai inti dan pengalamannya PII disitu, disamping terus membangun rasa kebanggaan sehingga memiliki nilai jual yang kadernya bangga punya identitas sebagai PII. Dari situlah saya memulainya untuk bagaimana kegiatan kaderisasi terus diintensipkan, bicaranya kuantitas saja dulu tidak usah bicara kualitas dulu, gimana caranya training rame lagi, orang mau datang ke menteng, orang mau jadi pengurus,
kegiatan itu kedengeran lagi. Menurut saya ketika itu bertemu antara semangat zaman yang memang ingin ada proses perubahan, kemudian ada orang-orang yang cukup idealis yang benar-benar ingin membangkitkan kembali PII dari tidur panjangnya, dan ditambah secara nasional PII baru aja berubah pada waktu muktamar yang kembali memproklamirkan PII dan dukungan ke PII terus bertambar besar, kami juga kerjasama dengan PB PII, zamannya Bang Jayadi mereka support dari segi perizinan, lobi-lobi diatas dan kita yang menggerakan massanya. Ketika itu memang kaderisasi kita intensif, tidak mungkin kita bisa menggerakan kantong-kantong PII di pesantren kalau kita gak punya kadersiasi. Salah satu kekuatan PII konten trainingnya lebih ke arah ideologis dan saya terus terang percaya dengan PII lama, kalau merujuk pada kitab training saya lebih sepakat poin daripada tadib. Satu-satunya yang saya tahu cara menanamkan ini semua dengan melihat kedalam atau instropeksi ke dalam. Kita juga pernah melakukan aksi, ya saat itu yang paling kelihatan karena ketika itu zamannya demonstrasi, jadi PII ambil kontribusi dalam demonstrasi tapi dalam area yang menjadi tradisional PII, misalnya isu yang menyangkut umat Islam. Pada saat itu ada kasus ambon yang meledak tahun 1999, itu demontrasi terbesar yang dibikin kembali PII di Jakarta. Ketika itu memang isu yang sangat seksi yaitu pembantaian umat Islam di Ambon, ditambah dengan networking. 4.
Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ? Responnya cukup bagus dan itu terbukti dengan banyaknya pelajar yang datang ke menteng dan pengurus daerah yang aktif. Saya sesadar-sadarnya ya, PII tidak mungkin bikin kegiatan yang variatif dan menarik buat pelajar kalau kadernya saja kurang. Salah satunya cara yaitu dengan membuat basis kader yang besar dulu sampai kemudian nanti basis kader yang besar ini membutuhkan saluran berbeda. Buat saya menekankan pada waktu itu berapa banyak kalian bisa bikin training, berapa banyak orang yang bisa di training, berapa banyak follow up yang disa jalan setelah training, kemudian berapa banyak komisariat yang tumbuh. Jadi kegiatannya training, ta’lim dan seterusnya.
5.
Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Saya beruntung saat itu dikelilingi oleh temen-temen yang menurut saya orang-orang hebat, pada dasarnya semua anak PII itu hebat tapi gak ada faktor yang membuat orang hebat ini bekerja secara sinergis. Jadi saya memposisikan diri sebagai orang yang ketika itu Cuma mengaransemen atau semacam konduktor orang-orang hebat ini saja. Saya tahu temen-temen ada
yang fokus di kaderisasi, jago membangun jaringan, networking, itulah yang saya bangun. Fokusnya Cuma dua saja, satu, bagaimana sebanyak mungkin membuat kaderisasi terutama kaderisasi di tingkat dasar, yang kedua menghidupkan jaringan-jaringan PII di daerah dan komisariat. Sebenarnya tidak ada yang baru, cuma waktu itu kita dihadapkan oleh konteks perubahan zaman yang menurut saya menambah energi kita berlapis-lapis, itu ditambah zaman ketika PII tampil ke permukaan, bagaimana PII tampil ke permukaan tapi dia gak punya sesuatu untuk ditampilkan. Jadi kita menghidupkan kembali basis-basis PII di pesantren-pesantren, komisariat-komisariat. 6.
Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? -
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Shood Solehuddin
Jabatan
: Komandan Brigade PW PII Jakarta periode 1998-2000
Pekerjaan
: Wiraswasta
Tanggal
: 13 Januari 2013
Tempat
: Rumah Shood Solehuddin, Ciputat.
1.
Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ? Pada periode itu kan kita kan sangat aktif dalam merespon situasi sosial politik, terutama pada era reformasi, memang tidak seaktif kalangan mahasiswa pada waktu itu. Tapi kita tidak terlibat dalam persoalan kader. Contohnya banyak anak-anak PII yang aktif di PORKOT,PKMSIJ atu dikelompok kami. Bahkan dikelompok KAMMI bisa dikatakan PII itu salah satu deklalator. Dalam masalah politik bagi pelajar, PII hanya bergerak pada wilayah pembangunan kesadaran kepada pelajar dalam memperjuangkan hakhak politiknya, selain itu juga sebagai tanggung jawab moral seorang pelajar terhadap negaranya. Dengan keterlibatan pelajar dalam merespon situasi politik secara langsung mereka terlibat dalam proses perubahan politik. Pada era reformasi dulu PII ikut terlibat politik reformasi negara, tetapi tidak semenonjol kalangan-kalangan mahasiswa, yang PII siapkan saat itu kesadaran politik pelajarnya melalui proses pengkaderannya, proses diskusinya dan lain-lain. Sehingga ketika itu banyak tokoh PII struktural yang terlibat dalam organ-organ gerakan, baik di FORKOT, kemudian di KAMI dan FKSMIJ. Itu bisa dipastikan ada kader-kader PII yang terlibat, Apalagi di BEM. Bahkan HMI juga ada kader-kader PII yang menjadi aktifis HMI. Tapi memang PII pada saat itu tidak pake baju PII secara formal, karna posisi kita kan organ yang masih dalam “proses rehabilitasi politik”. Dan PII Jakarta sendiri terlibat aktif secara personal, tapi secara kebijakan organisasi kita tidak dimunculkan, kita hanya person-person saja yang terlibat aktif. Semacam demo-demo dan lain sebagainya. Tidak semenonjol mahasiswa. Tapi pelajar memegang peran juga, terutama untuk kalangan pelajar PII yang bisa mewakili itu, walaupun tidak semuanya. Pperan PII tidak terlihat tapi dirasakan, karna saat itu jendral-jendral PII sedang manggung, seperti Z.A maulani, kemudian Kivlan dan sebagainya. PII jelas dalam politik itukan kita masih terlibat dalam proses perubahan bangsa itu sangat jelas. Peran-peran
PII itukan sangat jelas dia berperan aktif dalam proses-proses itu. Terlibat demo kemudian terlibat macem-macem untuk perubahan bangsa itu. Hingga terlihat juga peran-peran PII saat itu. Dan ini berdasarkan politik tadi kalau kita bermain penting dalam proses ini yang kemudian melahirkan sikap-sikap politik. Di setiap pengkaderan PII selalu mengajarkan kepada pelajar untuk respon terhadap fenomena sosial yang dihadapinya, kemudian mampu memecahkan sendiri persoalan-persoalan tersebut. Dengan demikian mereka akan mampu menghadapi berbaga persoalan pribadinya dan tergerak hatinya untuk berbuat dalam masyarakat. Peran politik pelajar terlukis dari doktrin tentang nilai-nilai kepemimpinan yang selalu ditanamkan kepada para kadernya di setiap momen pengkaderan. Doktrin tersebut adalah “pelajar hari ini pemimpin hari esok”, dan hal itu diyakini menjadi ruh penggerak bagi seluruh kader PII untuk berperan serta dalam memainkan peranan penting dalam kebijakan-kebijakan politik di negera ini. dokrin-dokrin itu yang kemudian menggerakan kita bahwa ketika kita berperan disitu, sudah pasti ini proses kesadaran kita sebagai pemimpim, sebagai pelajar dan pemimpim yang akan datang. Itu sebagai modal besar ideology yang dimiliki oleh PII dalam bertindak. Di era 1998 sangat kuat karena ada momen politik yang cukup signifikan untuk kita sikapi walaupun sebagian KB (Keluarga Besar) tidak setuju dengan proses situ. Tapi teman-teman semua bergerak. 2.
Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Yang saya rasakan pada saat itu kaderisasi, dan kaderisasi saat itu sangat booming, karena orang juga sesuai aura perubahan dan PII sebagai salah satu organ bawah tanah juga yang memang punya kharisma juga pada waktu itu. dan utama juga kita kaderisasi dalam rangka membangun kesadaran dan partisipasi pelajar. Ketika pelajar itu biasa-biasa saja, dia ketika masuk PII itu berubah, dia jadi kritis, terlibat aktif belajar, diskusi dan banyak kader-kader biasa saja jadi lulus di UI dan diperguruan tinggi dan sebagainya. Dan ini menjadi modal gerakan juga pada akhirnaya. Dan dia ketika dimahasiswa jadi tokoh mahasiswa. Banyak di era 2000-an kader-kader itulah yang menjadi gerakan pemimpin bagi mahasiswa. Dan saya lihat beberapa kaderkader. Setiap jum’at ada kader PII yang datang ke kita dan curhat tentang macam-macam masalah, ada yang cerita masalah penunggalan OSIS, masalah pribadi lalu kita buka media konsultasi berupa Harkom. Harkom itu dilakukan setiap hari jumat dan itu jelas membahas situasi politik yang sedang hot atau in. disana kita bicarakan masalah-masalah tersebut dan
gimana PII menyikapi itu, seperti kita membimbing agar dia mau aktif dan memimpin OSIS selain melakukan perlawanan di luar. Setelah pulang dari Harkom setiap pelajar biasanya membuat kelompok-kelompok sendiri untuk mensikapi politik-politik nasional atau dia mensikapi kondisi daerahnya atau kondisi internal organisasi dan macem-macem. Karena itu menjadi ruang publik agar PII untuk terbuka membicarakan internal organisasi dan ekternal organisasi. Cara untuk meningkatkan partisipasi politik pelajar di kaderisasi itu yang paling kerasa, pola-pola pendekatannya andragogi. Jadi kita punya materi kemudian diskusi itulah, setelah itu biasanya mereka itu sadar. Setelah pulang dari training dia aktif, terlibat, yang paling terasa itu dia terlibat diproses-proses kegiatan disekolah mengkritisi kebijakan sekolah, kemudian mau terlibat dalam kepemimpinan di OSIS dan sebagainya, itu paling kerasa, dan itu kemudian yang menjadi mobilisasi kita, ketika dia sadar terhadap situasi politik sekolah, kemudian dia ingin mengembangkan diri, itu menjadi proses komunikasi,mobilisasi dan sebagainya. Sehingga terjadi proses masifasi gerakan dari bawah. Ini yang tidak ada dikelompok-kelompok lain dikalangan pelajar. Dalam aksi-aksi sosial kita sangat vokal, yang jelas pada saat itu yang karena eranya demo ya kita demo. Bisa dilihat dipoto-poto disanakan, misalkan 1999 kasus Ambon kita demo 3 ribu pelajar kita turun. Dan meminta kepada BJ habibi untuk menyelesaikan kasus ambon secara seadil-adilnya. itu murni PII semua. Setelah itu demo “reformasi konstitusi”, kalau FORKOT “reformasi total”, yaitu reformasi yang harus mengacu kepada standar konstitusional negara. Itu PII terlibat . belum kasus-kasus lain. Kasus Bulog Gate dan kasus-kasus lainnya itu menjadi media-media konstitusi politik PII pada saat itu. 4.
Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ? Yang jelas terlihat itu kita bisa membuat performa struktur organisasinya lebih mantap, pertama pelajar punya bagian posisi yang jelas dengan kekuasaan walaupun itu tidak bisa rasakan secara tiba-tiba, tapi itu kita tetap dirasain PII Jakarta terlalu dalam proses hitungan. Itukan penting dalam proses politik. Yang kedua pelajar yang masuk jadi kader PII jadi lebih aktif dalam mensikapi, lebih kritis, lebih tanggap dan inisiatif dalam mensikapi isu-isu politik itu. seperti kebijakan pendidikan, kemudian kebijakankebijakan politik lainnya. Dan itu lebih berpartisipasi mereka dalam mensikapinya. Yang jelas pengurus wilayah pada saat itu menginstruksi kepada pengurus daerah untuk terlibat aktif dalam proses politik itu. Tapi kita memang ada kridor, ada fatsun, bahwa PII itu berada dikelompok islam . sehingga nama gerakanpun gerakan konstitusi yang dimotori rata-rata oleh umat islam. Pernah kita secara politik yang mendukung BJ habibi tidak reformasi total. Yang jelas disitu yang menjadi penguat kita ,jadi kita punya
fatsun politik bersama umat islam untuk mendukung BJ habibi jadi presiden itu fakta. Walaupun ada sebagian kader yang tidak setuju,tapi ini fakta politiknya. 5.
Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Yang jelas ideology. Ideology itu cara pandang kita terhadap realitas dan ketika kita memandang bahwa realitas ini tidak sesuai dengan idealita kita, kita pasti gerak. Dan jarang alumni alumni PII itu bisa mengalahkan. PII itu bergerak selalu dari kesadaran aktifisnya sendiri. Seperti kasus ambon PII bergerak atas kesadarannya, sehingga PII harus melakukan mobilisitasi. Dan ketika itu terjadi baru ada support dari alumni PII atau dari kelompokkelompok lain dalam logistiknya dan lain sebagainya. Itu ketika selesai dari prose situ. Mereka boleh bisa masuk.PII tidak bisa digerakan oleh siapapun kemudian oleh kesadaran kader sendiri. dan PII turun tidak dibayar dan bukan bayaran, tapi memang ada kesadaran ideology itu. dan itu modal penting buat gerakan.
6.
Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Yang pasti ada. Yang pertama faktor keterbatasan logistik itu pasti penghambat. Kemudian komunikasi yang tidak merata, karena dulu tidak ada HP, kemudian ada intervensi juga yang kita tidak tahu. Tapi yang jelas kita selama ini hambatan-hambatan kaya gitu bisa kita atasi.
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Rahmat Banu Widodo
Jabatan
: Ketua Bidang PPO PW PII Jakarta periode 1998-2000
Pekerjaan
: Wiraswasta
Tanggal
: 7 April 2013
Tempat
: Kantor Pusat KB PII Jl.Daksa V Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
1.
Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ? Pada tahun 1998-2000 itu eranya transisi politik secara nasional ataupun secara internal PII. Jadi sebelum-sebelumnya pada periode tersebut tidak terkonsolidasi biasa dikenal one men one show, kemudian basis dibawah itu lemah mengkondisikan peserta-peserta dan keanggotaan PII. Banyak pula yang rontok, trainig aja nyampe dirayu-rayu supaya orang ikut training, nyampe susah katanya. Ketika kita tawarkan. Kita adakan mental tranning? Tidak, kita gak mungkin mental training. Kenapa? Wong waktu itu saja susah kata Ipin. Sehingga di internal main teruhan. Kita punya teori itu semakin dipersulit persyaratan maka semakin mahal kita punya mental tranning. Akhirnya di kasih persyaratan itu hasilnya meledak, Booming itu training. Akhirnya lama-lama 1998 itu sebagai transisi nasional maupun keadaan PII Jakarta secara internal. Munculnya kembali eksistensi PII dari periode 19982000 itu didorong oleh nuansa kebatinan kader individu PII maupun kebatinan secara nasional. Sehingga kita mencoba untuk 1998 itu menjadi titik balik kebangkitan PII itu di Jakarta. Pada saat itu PII diberikan dua pilihan. Antara yang pro status quo dan kontra pemerintahan, yaitu ketika pada saat transisi peralihan Soeharto ke Habibie, kita pengen umat Islam secara nasional pengen BJ Habibi melanjutkan. Tapi disisi lain secara udah dipotong habis itu kekuatan ORBA diambil alih oleh MPR RI dan potong generasi. Karena PII pada saat itu pengen sama-sama dengan yang lain, agar aman transisi dipegang BJ Habibi tidak ikut main sama cara pandang kelompok sekuler dan ribuan masiswa yang menduduki MPR dan DPR yang menginginkan reformasi secara total. Karena pada saat diujung periode kejatuhan pak Harto itu dipegang oleh umat Islam dan kekuatan Habibie untuk bisa mengantarkan perjalanan reformasi. Tapi sebagian yang lain tidak menghendaki itu karna dianggap ini sebagian skenario besar kelanjutan dari Orde Baru untuk melanjutkan atau memperpanjang status kekuasaannya.
Pada saat itu PII menghendaki reformasi konstituonal bukan reformasi total. PII Jakarta terutama mengatakan sikap untuk tetep berada reformasi konstituonal bukan reformasi total. Karna itu segaris dengan kelompok umat islam yang lain yang menentukan itu. Karana PII Jakarta tidak mungkin keluar dari mindstream kebijakan dari PB PII pada waktu itu yang menghendaki supaya PII berada pada sikap reformasi konstituonal yang sampai akhirnya mengantarkan ke sidang istimewa MPR menyempatkan Habibi melanjutkan priodisasi pak Harto. 2.
Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? PII itu dilantik bulan juli Tahun 1998. Saat itu kita bikin jargon ekspansi, kaderisasi dan konsolidasi. Seiring dengan visinya PB PII pada waktu itu yakni ektsernal publis dan internal solid. Kita formulasi dalam kebijakan ekspansi dan kaderisasi. Jadi Kaderisasi itu kita tidak pernah berhenti melakukan kaderisasi dari bawah sampai kemudian goolnya melahirkan instutusi ditingkat lokal, bentuk daerah, bentuk badan otonom dan sebagainya. Kemudian ada progres di periode separuh berikutnya tumbuhlah daerah-daerah baru yang kita lahirkan dari proses kaderisasi tingkat internal. Kemudian kalau di ekspansi itu kita melakukan aksi-aksi soledaritas. Misalnya solidaritas urusan di ambon dan solidaritas aceh. PII Jakarta bareng PB PII ikut demo ke pak SBY untuk menentukan sikap pemerintah terhadap persoalan Aceh dipimpin oleh pak Marjuki. Nuansa ekspansi itu emang cenderung ke nuansa isu-isu politik. Karena belum bisa pada soal pendidikan pada saat itu demo-demonya politik semua dan menggerakan masa cukup banyak. Saya ketika berada didalam proses awal ketika test the wroter bagaimana kekuatan PII Jakara itu bisa dihitung. Akhirnya dikalkulasikan punya masa kuat gak? Akhirnya kita bikin sayap aksi momentumnya pada saat itu adalah kasus ambon. Saya menyetuskan Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia (KA-PII) spontan dari mulut Shood, ya udah KA-PII akhirnya di pake. Inspirasinya pada waktu itu memang kita belum diskusi background karena kita spontan mungkin inspirasinya belakangan. Kalau kita pengen mendorong eksistensi PII ke publik. Ini murni aksi PII bukan aksi koalisi dengan IPM atau IPPNU ini murni kekuatan PII secara masif kehadapan presiden di istana negara. Kita tunjukan kepada public kita care punya solidaritas umat islam di Ambon yang sedang terjadi dan terdzolimi pada bulan Januari tahun 1999. Karena pada saat itu saya buat tulisan di harian pelita soal itu. Sebulan dua bulan kemudian kita konsuldasi supaya kita sikap terhadap pemerintah jangan ragu untuk melakukan penyesuaian konflik
di Ambom. Habibie pada saat itu terombang ambing oleh kasus intervensi asing dan segala HAM dan lain sebagainya. Dan kita mendorong kepada Habibie agar pemerintah punya sikap yang jelas. Ini gak bisa dibiarkan, adanya aksi kekerasan pebantaian massal di Ambon. Kita turun untuk memberikan dukungan kepada presiden habibie bisa melakukan tindakan. Pada periode kita dulu ada tiga kali aksi besar yang satu kasus Ambon, yang kedua Aceh, yang ke tiga yang bawa bendera banyak dari bunderan HI muter-muter ke menteng tentang mendukung reformasi konstitusi dan satu lagi menghadapi pemilu 1999. Sebelum kita turun senantiasa melakukan kajian-kajian khusus tentang fenomena sosial politik. Terutama kasus Ambon misalnya, kita kasih pencerahan ke pelajar kalau kita harus berperan, ini momentum PII agar tetap eksis. Kita jangan kehilangan momentum, kemudian masuk ada yang turun, dan elemen-elemen PII harus menyikapi itu. Intinya PII ingin melakukan dukungan kepada pemerintah, memberikan dorongan moril kemudian memberikan penyelasaian yang tepat dan adil atas konflik ini. Kelahiran KA-PII seiring dengan momentum aksi yang kita lakukan, dan memang tidak pake alasan, kita pake analisis tentang menilai setrategi menggunakan kata-kata. Tapi itu momentum kita pakai PII biar habis dasar awalnya itu. Yang penting kita action ada benderaPII muncul dan kita punya peran dan bisa menyelesaikan terhadap masalah kebangsaan. 3.
Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ? Kita sebelumnya menjaring data keluarga besar PII disetiap daerah, kaderkader PII yang masih aktik di setiap daerah, dan keluarga PII yang punya sekolah. Tiga pilar jejaring ini kita maksimalkan untuk bisa memberikan peran massa pelajar. Waktu itu pengalam kita cuman sehari, kita rapat hari ini besok harus turunkan massa. Itu kita kontak semua walaupun saat itu belum ada HP. Kita bergerak karena kita dibangun dengan kesadaran moral, dan akhirnya kita turun membawa massa. Pelajar sangat merespon dan aktif dalam aksi massa itu dan tersebar di berbagai daerah. Seperti Karawang, ada dari Kabupaten dan Kota,tangerang, Jakarta Utara, Kota Bekasi, Jakarta Barat, Jakarta Pusat dari seolah Said Naum tidak signifikan yang dikirim, Jakarta selatan juga tidak terlalu signifikan. Yang signifikan itu Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang dan Jakarta utara. Cuma tiga kota itu yang memberikan konstribusi terhadap massa. Yang paling banyak Kabupaten Bekasi (cikarang), pelajar yang ikut tergabung bisa menghadirkan masa yang cukup bagus dan partisifasinya juga bagus dan hal itu merupakan dampak dari ekspansi dan kaderisasi. Saya sebut kita bekerja kita lihat hasilnya gimana. Waktu itu dalam rentang satu tahun dari 1998 dilantik dan 1999 kita melakukan aksi. Kita melakukan aksi dan langsung teruji.
4.
Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Faktor dukungan pinansial dari pemerintah keluarga besar PII dan lainnya mendukung pada waktu itu.
5.
Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Hambatan di Internal Bagaimana mengoptimalkan potensi yang ada didaerahdaerah, aktif di daerah itu kan kadang-kadang anak-anak itu kan sibuk dengan belajar dan aktifitas. Bahkan bisa aktif di PII dibandingkan di sekolah dan terhimpit dikegiatan sekolah. tapi itu bisa disiasati sebetulnya. Sehinggan dijajaran muncul semua. Hambatan secara individu maklum anak-anak kuliah, belum berpenghasilan, dan sebagainya. Tapi secara umum pungsi lain tidak mempengaruhi masalah itu. sebenarnya memaksimalkan potensi dan semangatnya tinggi saat itu
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: M. Nasir
Jabatan
: Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Jakarta periode 2000-2002
Pekerjaaan
: Wiraswasta
Tanggal
: 5 Maret 2013
Tempat
: Rumah M.Nasir, Pondok Cabe Ilir
1.
Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ? PII justeru setelah era reformasi malah mencoba untuk menjaga jarak dengan politik, itu pengamatan saya. Memang pada saat zaman Hakam Naja atau era Reformasi memang sangat kental, karena mereka memang tergabung dalam era reformasi. Justeru pada saat itu saya gak tahu kok seolah-olah PII bersikap anti-pati terhadap politik, itu sangat nampak ketika di internal PII sudah mewanti-wanti, sudah melarang-larang. Jadi kedekatan PII dengan politik dalam arti politik praktis memang pada saat itu sangat kurang. PII hanya memanfaatkan dari sisi pendanaan, tapi PII tidak mau dimanfaatkan balik, ketika dminta dukungannya oleh kelompok-kelompok tertentu PII menjaga jarak. Berbeda dengan HMI, HMI tentu dengan caranya sendiri yang agak cantik mengakomodir kepentingan orang yang bantu dia. Peran politik PII lebih pada oposan, jadi pelajar mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam perumusan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sejauh kebijakan itu bertentangan dan melanggar hak-hak dasar pelajar. Melalui serangkaian aksi demonstrasi, pelajar melancarkan kritik sosialnya kepada pemerintah, seperti menentang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada pelajar, contohnya ketika ada training di Batuceper, kita bangun mental temen-temen action-plannya setelah pulang disana adalah demontrasi di Departemen Pendidikan Nasional, menuntut diknas untuk segera menghapus mata pelajaran pendidikan budi pekerti, waktu itu sekjendnya pak Hidayat Syarif kalau tidak salah, bahkan kita menuntut untuk dia mundur. Artinya apa, meskipun dia orang PII dan ada kedekatan dengan PII, tapi PII posisinya oposan, tetep saja dia bersuara keras, dan itu yang dicanangkan pelajar. Jadi tetep kritis terhadap pemerintahan. Apalagi Mainstrem PII jakarta ketika itu keras.
2.
Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Ketika itu yang saat seingat saya tidak pernah membicarakan diskusi-diskusi mengenai pembicaraan politik, ketika itu yang seingat saya dalam harkom PII tidak pernah membicarakan mengenai politik, yang kita bicarkan internal kita saja karena saat itu penuh dengan konflik jadi yang kita bicarkan terkait internal pengurus kita saja. Kalau pun kita membicarakan itu, lebih ke isu-isu yang taktis saja, misalnya lagi ada kasus A, kita kumpulkan pelajar, kita diskusi lalu kita demo. Kita lebih merespon isu-isu aktual saja. Misalkan lagi ramai-ramainya pelajar bunuh diri, kita diskusi, lalu demo. Tentang pornografi. Selalu posisinya lebih ke seperti itu. Pada aspek pemberdayaannya pada pelajar, justeru PII jarang sekali memberikan isu-isu yang arahnya ke politik menurut saya. Kita lebih banyak pada nuansa tradisius. Forum-forum pengkaderan pelajar itu kan kita sering training kepemimpinan, mulai dari Batra, Intra, dan Advance, muatan-muatan dari training itu tidak ada politiknya, hanya pada politik sejarah, bukan pada politik saat ini. Penanaman-penanaman ideologi gerakannya lebih kepada masa lampau. Memang pernah juga kita mengadakan kajian mengenai tawuran pelajar, isu , itu isunya lebih kental isu pemerintah yang dibawa bukan inisiatif dari PII sendiri. Kita juga sering melakukan aksi seperti Isu pornografi, pendidikan budi pekerti, karena pada sat itu masih marak tawuran, free sex terus pemerintah mengeluarkan kurikulum pendidikan budi pekerti itu dan PII mengkritisi itu bahkan kita demo ke Depdiknas. Isinya sama saja, hanya berubah nama saja, makanya kita tolak. Kita mengusulkan semua mata pelajaran harus menjiwai dengan semangat budi pekerti. Karena pendidikan budi pekerti hampir sama dengan PMP, ini hanya berubah nama saja tapi kontennya sama. Kita sebelumnya melakukan audiensi, waktu itu dengan Kapolda metro jaya terkait masalah tawuran, yang kedua demo jalanan yang sebelumnya terlebih dahulu kita tanamkan ke kader-kader kita itu tentang pentingnya presure terhadap pemerintah terhadap isu-isu melalui trainingtraining dan forum-forum, terlebih dahulu kita godok di pengurus wilayah lalu diadakan forum ke pengurus daerah kemudian menjalankan aksi. Di training menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan, seperti isu pornografi dan pornoaksi kita tanamkan nilai-nilai mengenai pronografi itu apa, disana bukan hanya menolak tapi juga bereaksi dengan cara melakukan presure secara persuasip baik audiensi maupun aksi jalanan. Termasuk ketika itu kita demo penolakan terhadap ujian nasional (UN) karena ada standarisasi kelulusan hanya pada mata pelajaran tertentu.
4.
Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ? Alhamdulillah Partisipasi pelajar sendiri lumayan besar, terutama di tementemen daerah yang basis massa nya banyak kita libatkan, khususnya Karawang, Cikarang, jakpus, sama tangerang. Respon pelajar cukup bagus karena kita aktif melakukan training dan kepengurusan di tingkatan daerah jadi hidup.
5.
Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Dari sisi konten isu yang lagi hot dan diperbincangkan orang sehingga menjadi momen tersendiri bagi PII. Selain itu pengurus daerah yang aktif dalam mensupport pengerahan massa.
6.
Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Seperti biasalah masalah klasik, yaitu masalah biaya karena kita mengandalkan swadaya dari anggota yang notabene masih belum banyak yang bekerja, sementara sumber pendanaan dari alumni PII jumlahnya terbatas
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Nuril Anwar
Jabatan
: Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2002-2004
Pekerjaan
: Staf Ahli DPR RI Faksi Demokrat
Tanggal
: 7 April 2013
Tempat
: Kantor Pusat KB PII Jln. Daksa V Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
1.
Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ? Politik yang dijalankan oleh PII bukan dalam artian politik praktis tapi high politik yang berkaitan dunia pelajar, masyarakat bahkan bangsa Indonesia. Karena pelajar sangat banyak jumlahnya, selama ini pelajar hanya dijadikan sebagai objek, hari ini harus dibalik bahwa pelajar itu mempunyai peranan penting pemikirannya terhadap perubahan-perubahan di masyarakat mau pun bangsa
2.
Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Pada saat itu periode saya sebagai ketua umum PW PII Jakarta periode 20022004 kita dihadapkan pada pergolakan politik internasional yang menyandera umat Islam di seluruh dunia, yaitu pertama invansi Amerika Serikat ke Afganistan dan invansi Amerika Serikat ke Irak sebagai dampak dari tragedi bom WTC pada 11 September 2001. Kita juga dihadapkan oleh situasi politik yang berkaitan dengan pelajar, terutama dalam mengawasi perjalanan Pilpres tahun 2004. Karena PII punya komitmen terhadap kepelajaran, kita berupaya dengan sepenuh tenaga meresponnya, apalagi saat itu kita melihat adanya perilaku politik yang tidak layak yang dilakukan oleh beberapa partai politik besar. Ya Kita membuat posko pengaduan pelajar intinya adalah ada semacam pengaduan ketika ada politisasi pelajar. Maksudnya adalah pelajar dilibatkan seperti politik praktis, semacam kampanye terbuka pakai seragam, intimidasi terhadap pelajar, politisasi sekolah, itu yang saya kira tidak layak dilakukan oleh partai politik secara praktis. Saya sangat menyayangkan adanya prilaku dari politisi yang melakukan politisasi dikalangan pelajar untuk kepentingan politiknya. Memang tidak menutup kemungkinan partaipartai lain juga melakukan, tapi ya saya melihatnya dan ada yang melaporkan bahwa yang paling dominan pada saat itu memang PKS. Oh ya, posko pengaduan pelajar itu tidak hanya fokus terhadap masalah-masalah politik pada pemilihan presiden maupun legislatif. Tetapi juga menerima pengaduan
kader PII secara individual terhadap masalah-masalah politik kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti kasus Ujian Nasional. Kita juga merespon fenomena pilpres 2004 itu dengan melakukan kajian berupa “Ngompol” atau ngomong politik sebagai ruang pendidikan politik bagi pelajar dalam menghadapi pemilihan presiden tahun 2004. Acara “ngompol” itu dilaksanakan di sekretariat PII Jakarta dan undang puluhan pelajar yang ada di Jakarta. Kita dalam kegiatan itu meminta kepada para tim sukses untuk menjelaskan seluk beluk partai politik dan mengenalkan calon presiden kepada pelajar, saat itu kita undang seluruh tim sukses pasangan calon presiden untuk memberikan pengetahuan politik kepada pelajar, yang datang saat itu Pak Andi Alfian Mallarangeng dan dari partai-partai lain-lain. Kita juga ikut berpartisipasi malahan sering aksi-aksi demonstrasi bahkan bisa dalam seminggu sekali dalam merespon isu-isu politik dunia internasional. Diantaranya aksi “Tolak Perang Terhadap Iraq”, di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan pernah juga aksi bersama KISRA melakukan aksi sejuta umat menentang Amerika Serikat, di Bunderan HI dan kantor perwakilan PBB. Aksi itu kita membawa ratusan pelajar yang ikut dari berbagai daerah di Jakarta. Kita juga terlibat aksi mendukungan RUU tentang sisdiknas di depan Gedung DPR/MPR RI. Kita juga aktif dalam menjalankan kaderisasi dan melalui LBT kita laksanakan dan daerah-daerah mulai saat itu saya aktifkan kembali seperti Karawang, Ciputat dan lain-lain.
4. Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ? Respon pelajar bagus dan banyak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang kita laksanakan. 5.
Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Semangat yang muncul dari kader-kader PII
6.
Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Masalah waktu dan kesediaan untuk aktif dalam kegiatan PII, kadang berbenturan dengan padatnya waktu belajar di sekolah dan harus membangi waktunya antara kebutuhan studi dan keaktifannya di PII.
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Ahmad Fadhil
Jabatan
: Ketua Bidang Eksternal PW PII Jakarta
Pekerjaan
: Wiraswasta
Tanggal
: 19 April 2013
Tempat
: Rumah Ahmad Fadhil, Batu Ceper.
1.
Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ? Bagi saya pelajar adalah harapan bangsa dan calon pemimpin masa depan. Sesuai dengan simbol yang selalu kita serukan kepada pelajar kalau pelajar hari ini adalah pemimpin hari esok, dari situ menjadi titik awal untuk pelajar bergerak dan bangkit menjadi pemimpin, baik untuk dirinya maupun dalam masyarakat. Pandangan kita atau PII secara umumnya bahwa pelajar harus tau politik dan politik menjadi alat untuk mereka memperjuangkan hak-haknya. Tetapi politik yang dijalankan oleh PII hanya sebagai upaya penanaman daya kritis dan kepekaan sosial pelajar dalam menghadapi permasalahan dirinya sendiri dengan lingkungan sekitar. Nah kalau pelajar sudah tau politik dan mereka kritis, jadi mereka akan mudah mengontrol setiap kebijakan yang akan dan telah dikeluarkan oleh pemerintah.
2.
Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Seperti pada umumnya ya, kita aktif melakukan kaderisasi karena itu program pokok dan rutin yang wajib dilakukan oleh PII untuk memastikan kelangsungan regenerasi kepemimpinan PII selanjutnya. Pada aspek bimbingan kepada pelajar kurang aktif karena pada periode ini bisa saya katakan ada semacam sinyal vakum of power atau masalah kepemimpinan. Roda organisasi kurang berjalan efektif, masing-masing ketua bisang jalan sendiri-sendiri dan kurang terkontrol, tradisi-tradisi harkom yang jadi warisan periode-periode selanjutnya juga tidak aktif. Bahkan karena problem kepemimpinan itu pada pertengahan periode ketua umum diganti. Tapi walaupun di internal kurang solid, ada lah yang kita kerjakan. Kita sering mengadakan kajian-kajian mengenai politik dan kita undang alumni-alumni PII yang sekarang jadi tokoh politik untuk bicarakan pengalamannya kepada pelajar, terus juga seminar dan diskusi Pelajar mengkritisi RUU BHP di UIN Jakarta, kerjasama dengan BEM Sosiologi dan Hima Persis, kita undang mas Tom dan ketum PB juga ketua LBH Jakarta untuk menjelaskan hal itu. Saya
juga kebetulan memegang tanggung jawab di eksternal untuk melakukan konsolidasi gerakan PII di luar, kita lakukan kerjasama dengan IPM, IPNU dan aliansi-aliansi lain untuk bersama-sama melakukan aksi. Saat itu isu yang kita fokuskan tentang mengawal perjalan UN setelah pada periode lalu PII Jakarta melakukan apa namanya citizen law suit di PN Pusat, saat periode saya hanya mengawal saja karena saat itu pemerintah ngeyel mengajukan kasasi ke MA setelah kalah oleh penggugat di PN Pusat. Saat itu alhamdulillah MA menolak kasasi pemerintah dan UN akan dihapus. Tapi kenyataannya pemerintah tidak mau mengikuti putusan MA dan mereka tetap melaksanakan UN di tahun 2010. Kita dari aliansi segera bertemu untuk membahas agenda selanjutnya, kita diskusi di wisma kodel dengan educations reform bersama Mas Tom dan FGII, kita juga diskusi dengan KOBAR 2 Mei yang didalamnya ada BEM UI, PII, IPM, FMN, Forum OTM, E-Net For Justice, LAP, PMKRI, KPKB, dan IKABI di Paramadina, juga diskusi di LBH Jakarta, dan paa akhirnya kita sepakat untuk melakukan aksi bersama aliansi itu dengan melibatkan ratusan pelajar di bundaran HI untuk tegas menolak UN dan meminta pemerintah untuk menghormati putusan MA tersebut. 4.
Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ? Respon pelajar lumayan aktif dan sebelum kita melakukan aksi terlebih dahulu kita adakan kajian mengenai isu yang akan jadi tema aksi itu. Mereka akhirnya mengerti dan paham kenapa harus aksi dan pada akhirnya kritis merespon isu-isu yang akan kita angkat nantinya.
5.
Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Faktor pendukung ya banyak diantaranya karena PII itu sudah lama berdiri dan termasuk organisasi pelajar terutua di Indonesia jadi PII tentu sudah melahirkan banyak alumni dan itu adalah jaringan potensial PII. Alumnialumni PII banyak yang tersebar di hampir semua jenis profesi dan kedudukan di masyarakat, seperti Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Soetrisno Bachir, Tifatul Sembiring, Mahfud MD, Hatta Radjasa, Sofyan Djalil, KH Hasyim Mujadi, Kholil Ridwan, Taufiq Ismail, Muchdi Pr, Mas Tom, Mas Mansyur Suryanegara, dan banyak lagi dan mereka tersebar di jajarang posisi strategis di bangsa ini dari eksekutif, legislatif, patai politik, TNI/POLRI seniman, budayawan, akademisi, agamawan dan lain-lain. Jaringan yang dimiliki PII itu jadi salah satu faktor pendukung.
6.
Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Nah selain jadi faktor pendukung, alumni PII juga jadi salah satu penghambat. Hal itu karena pembacaan saya sangat krusial, terutama masalah pendanaan atau biaya untuk kegiatan kepengurusan. Masalahnya adalah
ketika munculnya sikap ketergantungan terhadap alumni yang secara tidak langsung mampu menghambat kreatifitas dan potensi kelembagaan yang dimiliki PII juga memberikan pengaruh bagi pergerakan PII. Selain itu Luasnya wilayah garapan PW PII Jakarta yang tidak hanya mencakup daerah di DKI Jakarta membuka peluang bagi kader PII di daerah-daerah pinggiran seperti Karawang, Bekasi, Subang, Purwakarta, Depok dan Tangerang mengisi kepengurusan di tingkat wilayah. Latar belakang Pengurus Wilayah PII Jakarta yang dihuni mayoritas daerah pinggiran, sementara personil asli daerah Jakarta rapuh, berdampak pada psikologi atau cara berpikir pengurus yang belum mampu membaca persoalan kompleksitas daerah perkotaan yang notabene berbeda dengan daerah-daerah mereka tinggal.
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Ahmad Basori
Jabatan
: Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2006-2008
Pekerjaan
: Wiraswasta
Tanggal
: 19 April 2013
Tempat
: Rumah Ahmad Basori, Batu Ceper.
1.
Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ? Pandangan politik PII sesuai dengan Khittah Perjuangan PII. Disana kita hanya berada pada tataran high politik bukan ke arah politik praktis. Sementara itu politik yang kita mainkan mengarah ke politik kebijakan yang memandang politik sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak dasar pelajar dalam rangkaian masalah pendidikan. PII fokus pada politik kebijakan dalam pendidikan itu sebagai kelompok penekan. Hal itu agar formasi yang menjadi gerakan kita bisa berjalan linear, misalnya kalau masalah buruh, orang akan mencari organisasi buruh, nah kalau ada masalah pendidikan orang akan mencari PII, karena kita berperan di situ. Pelajar merupakan agen perubahan sosial yang mempunyai basis massa potensial memiliki daya tawar yang tinggi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tapi permasalahannya pelajar sekarang kurang mampu memaknai dirinya sebagai pelajar yang punya jutaan potensi yang dimilikinya. Ada semacam ketidakberdayaan dari kalangan pelajar sendiri dalam merespon berbagai situasi politik yang sedang berkembang, terutama yang berkaitan dengan dunia pelajar. Hal itu karena ada sebagian diantara pelajar yang masih terjebak pada pergaulan bebas, narkoba, dan tawuran. Padahal, pelajar merupakan agen perubahan sosial yang mempunyai basis massa potensial memiliki daya tawar yang tinggi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebut memberikan sebuah keniscayaan mengenai posisi strategis pelajar dalam sebuah Negara. Politik yang diperankan oleh pelajar hanyalah gerakan moral, advokasi permasalahan-permasalan yang dihadapi pelajar dan menyuarakan politik kepentingan kelompok pelajar.
2.
Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Strateginya kita fokus pembenahan di internal kepengurusan dan memantapkan jaringan eksternal organisasi dengan mengikuti berbagai aktifitas di luar. Setiap liburan sekolah kita laksanakan training
kepemimpinan untuk pelajar, jadi bagi PII liburan sekolah itu malah kita sibuk-sibuknya adakan training. Dalam merespon isu-isu politik dalam pendidikan, kita aktif terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi, seperti yang lagi hangat-hangatnya mengenai kasus Ujian Nasional. Kita pernah mengajukan gugatan kepada negara dalam Citizen Law Suit tahun 2006. Saat itu PII Jakarta diwakili oleh Awwaluddin salah satu dari 58 orang yang terdiri dari pemerhati, pendidik, aktivis, dan orang tua murid yang menjadi korban UN, yang tergabung dalam Tim Advokasi korban Ujian Nasional (TeKUN). Kita selalu mengawal prosesnya dan hadir di pengadilan negeri Jakarta Pusat setiap kali persidang. Alhamdulillah PN Pusat mengabulkan gugatan kita dan menyatakan bahwa pemerintah lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Pemerintah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, hasilnya pada pada tanggal 6 Desember 2007, Pengadilan Tinggi Jakarta juga menolak permohonan pemerintah. Sampai akhirnya pemerintah melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Lagi-lagi permohonan kasasi pemerintah ditolak oleh MA melalui putusan No.256 K/PDT/2008 pada tanggal 14 September 2009. 4.
Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ? Setiap kali ada aksi atau apapun kita tersebih dahulu mengundang pelajar untuk berdiskusi. Seperti ketika Citizen Law Suit itu, kita ita terlebih dahulu mengumpulkan keluhan dari pelajar yang menjadi korban UN, setelah itu data dikaji dan diserahkan kepada LBH Jakarta untuk dijadikan bahan dalam materi gugatan. Tapi memang tidak semuanya mau ikut berpartisipasi karena banyak diantara mereka yang masih belum memahami mengenai hal ini.
5.
Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Yang menjadi faktor pendukung bagi PII Jakarta khususnya karena situasi politik di era reformasi ini yang lebih terbuka dan sangat mendukung bagi pergerakan pelajar tidak seperti zaman orde baru dulu yang sangat mengekang. yang secara langsung memberikan nafas segar dalam pergerakan pelajar dan membawa dampak positif bagi pergerakan PII yang kembali bangkit dan tampil ke permukaaan menyuarakan aspirasi dan kegelisahan pelajar setelah mengalami tidur panjangnya
6.
Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? PII merupakan organisasi yang ideologis, hal itu yang menjadikan pandang hitam putih menjadi sesuatu umum diantara kader PII dan penghakiman tehadap seseorang yang memunculkan konflik diantara pengurus.